BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Bank Syariah
2.1.1. Pengertian Bank Syariah
Menurut Ismail (2011:32) mendefinisikan bahwa “Bank syariah
merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum islam, dan dalam
kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada
nasabah”.
Imbalan yang diterima oleh bank syariah maupun yang dibayarkan kepada
nasabah tergantung dari akad perjanjian antara nasabah dan bank. Perjanjian
(akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun
akan sebagaimana diatur dalam syariah islam.
Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 dalam
Ismail (2011:33) menyatakan bahwa:
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank
syariah dan unit syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, secara
cara dan proses dalam melakukan melakukan kegiatan usahanya. Bank
Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah
(BUS), unit usaha syariah (UUS) dan bank perkreditan rakyat syariah
(BPRS).
Bank umum syariah adalah bank syariah yang berdiri sendiri sesuai
dengan akta pendiriannya, bukan merupakan bagian dari bank konvensional.
Beberapa contoh bank umum syariah antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mega, Bank Syariah Bukopin, Bank BCA
Syariah, dan Bank BRI Syariah.
7
8
Unit usaha syariah merupakan unit usaha syariah yang masih dibawah
pengelolaan bank konvensional. Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari
kantor induk dari bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/ atau
unit syariah. Contoh unit usaha syariah antara lain BNI syariah, Bank Permata
Syariah, BII Syariah, dan Bank Danamon Syariah.
Menurut Ascarya (2013:30) menyimpulkan bahwa:
Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga
keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil
melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya)
berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-
nilai syariah yang bersifat makro atau mikro.
Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, sistem zakat,
bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti
perjudian (masyir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar),
bebas dari hal-hal yang rusak dan tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai
alat tukar. Sementara nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku bank
syariah adalah sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh para Rasullah Saw yaitu
shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah.
Menurut Hasibuan (2011:39) menyimpulkan bahwa:
Bank berdasarkan Prinsip Syariah (BPS) adalah bank Umum Syariah
(BUS) atau Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang beroprasi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, atau dengan kata lain yaitu
bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan
Islam (Al-Quran dan Hadis).
9
Dalam tata cara tersebut dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan
mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atau
dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.
Dari beberapa teori diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa bank syariah
adalah bank yang kegiatannya berdasarkan hukum islam, dan tidak membebankan
bunga melainkan bagi hasil.
2.1.2. Fungsi Utama Bank Syariah
Menurut Ismail (2011:39) menyimpulkan bahwa “Bank syariah memiliki
tiga fungsi utama yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan
dan investasi, menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana dari
bank, dan juga memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah”.
Sumber: Ismail (2011:39)
Gambar II.1. Fungsi Utama Bank
2.1.3. Jenis-jenis Bank Syariah
1. Ditinjau Dari Segi Fungsinya
a. Bank Umum Syariah
Menurut Ismail (2011:51) ”Bank Umum Syariah adalah bank yang
dalam aktifitasnya melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip
syariah dan melakukan kegaiatan lalu lintas pembayaran”.
BANK SYARIAH
Penghimpunan Dana Penyaluran Dana Pelayanan Jasa
10
Bank umum syariah dapat melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Prinsip syariah adalah prinsip hukum islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang
syariah.
b. Unit Usaha Syariah
Menurut Ismail (2011:53) menyimpulkan bahwa “Unit usaha syariah
merupakan unit usaha yang dibentuk oleh bank konvensional, tetapi dalam
aktivitas menjalankan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah,
serta melaksanakan lalu lintas pembayaran”.
Aktivitas unit usaha syariah sama dengan aktivitas yang dilakukan
oleh bank umum syariah, yaitu aktivitas dalam menawarkan produk
penghimpunan dana pihak ketiga, penyaluran dana kepada pihak yang
membutuhkan serta memberikan layanan jasa perbankan lainnya.
Menurut Undangan-Undang Perbankan No. 21 Tahun 2008 dalam Ismail
(2011:53 ) menyatakan bahwa:
Unit usaha syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat bank
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit
kerja dikantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan diluar negeri
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah.
c. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Menurut Ismail (2011:54) “Bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS)
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
11
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran”.
BPRS tidak dapat melaksanakan transaksi lalu lintas pembayaran atau
transaksi dalam lalu lintas giral. Fungsi BPRS pada uumumnya terbatas
pada hanya penghimpunan dana dan penyaluran dana.
Dari beberapa teori diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Bank
Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
memiliki kesamaan yaitu bank yang menjalankan kegiatannya berdasarkan
hukum islam.
2. Ditinjau Dari Segi Statusnya
a. Bank Devisa
Menurut Ismail (2011:55) menyimpulkan bahwa “Bank devisa
merupakan bank syariah yang dapat melakukan aktivitas transaksi luar
negeri dan/atau transaksi yang berhubungan dengan mata uang asing
secara keseluruhan”.
b. Bank Non devisa
Menurut Ismail (2011:56) “Bank devisa merupakan bank yang belum
mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan seperti bank devisa.
Transaksi yang dilakukan oleh bank nondevisa masih terbatas pada
transaksi dalam negeri dan/atau transaksi dalam mata uang rupiah saja”.
2.2. Laporan Keuangan
2.2.1. Pengertian Laporan Keuangan
12
Laporan keuangan adalah laporan periodik yang disusun menurut prinsip-
prinsip akuntansi yang diterima secara umum tentang status keuangan dari
individu, asosiasi atau organisasi bisnis yang terdiri dari neraca, laporan
laba-rugi, dan laporan perubahan ekuitas pemilik.
Laporan keuangan bank sama saja dengan laporan keuangan perusahaan.
Neraca bank memperlihatkan gambaran posisi keuangan suatu bank pada saat
tertentu. Laporan laba rugi memperlihatkan hasil kegiatan atau operasional suatu
bank selama satu periode tertentu. Laporan perubahan posisi keuangan
memperlihatkan dari mana saja sumber dana bank dan kemana saja dana
disalurkan. Laporan ini disusun dari neraca pada dua periode (tanggal) dan
laporan laba-rugi selama periode yang dilaporkan. Selain dari ketiga komponen
utama laporan keuangan di atas, juga harus disertakan catatan dan laporan lain
serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Menurut Wardiah (2013:285) menyimpulkan bahwa:
Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan,
serta ringkasan dari transaksi keuangan yang disusun untuk menyediakan
informasi keuangan mengenai suatu perusahaan kepada pihak – pihak
yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembalian
keputusan ekonomi. Laporan keuangan merupakan sumber informasi
utama untuk berbagai pihak yang membutuhkan.
Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba
rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai
cara, misalnya: laporan arus kas dan laporan arus dana), catatan dan laporan lain,
serta informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut.
Menurut Myer dalam Munawir (2014:5) mengemukakan bahwa “Dua
daftar yang disusun oleh Akuntan pada akhir periode untuk suatu
perusahaan. Kedua daftar itu adalah daftar neraca atau daftar posisi
keuangan dan daftar pendapatan atau daftar rugi-laba. Pada waktu akhir-
akhir ini sudah menjadi kebiasaan bagi perseroan-perseroan untuk
menambahkan daftar ketiga yaitu daftar surplus atau daftar laba yang tak
dibagikan (laba yang ditahan)”.
13
Pada umumnya laporan keuangan itu terdiri dari Neraca dan perhitungan
rugi laba serta laporan perubahan modal, dimana neraca
menunjukkan/menggambarkan jumlah aktiva, hutang dan modal dari suatu
perusahaan pada tanggal tertentu, sedangkan perhitungan (laporan) rugi laba
memperlihatkan hasil-hasil yang telah dicapai perusahaan serta biaya yang terjadi
selama periode tertentu, dan laporan perubahan modal menunjukkan sumber dan
penggunaan atau alasan-alasan yang menyebabkan perubahan modal perusahaan.
Menurut Kasmir (2015:7) memberi batasan bahwa “Laporan keuangan
adalah laporan yang menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau
dalam periode tertentu”.
Maksud laporan keuangan yang menunjukkan kondisi perusahaan saat ini
adalah merupakan kondisi terkini. Kondisi perusahaan terkini adalah keadaan
keuangan perusahaan pada tanggal tertentu (untuk neraca) dan periode tertentu
(untuk laba rugi)
Dari beberapa teori diatas, dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan
adalah laporan yang menunjukkan kondisi suatu perusahaan dalam waktu tertentu
yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi dan laporan tersebut akan
digunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
2.2.2. Jenis-jenis Laporan Keuangan
Menurut Kasmir (2015:7) memberikan batasan bahwa:
Dalam praktiknya, dikenal beberapa macam laporan keuangan seperti:
1. neraca;
14
2. laporan laba rugi;
3. laporan perubahan modal;
4. laporan catatan atas laporan keuangan; dan
5. laporan kas.
Menurut Rivai, dkk (2012:376) menyimpulkan bahwa:
Jenis laporan keuangan bank terdiri atas berikut ini:
1. Neraca
Neraca bank adalah suatu laporan keuangan yang diterbitkan setiap hari
kerja oleh satuan kerja akunting.
2. Perhitungan laba rugi
Laporan laba rugi bank (profit and loss statment) atau lebih dikenal dengan
income statment dari suatu bank umum adalah suatu laporan keuangan bank
yang menggambarkan pendapatan dan biaya operasional dan nonoperasional
bank serta keuntungan bersih bank untuk suatu periode tertentu
3. Laporan Komitmen dan Kontijensi
Rekening-rekening yang sifatnya administratif yang digunakan sebagai
tempat mencatat transaksi-transaksi yang belum efektif mengakibatkan
perubahan terhadap aktiva maupun kewajiban bank.
2.2.3. Tujuan Laporan Keuangan
Secara umum laporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi
keuangan suatu perusahaan, baik pada saat tertentu maupun pada periode tertentu.
Laporan keuangan juga dapat disusun secara mendadak sesuai kebutuhan
15
perusahaan maupun secara berkala. Jelasnya adalah laporan keuangan mampu
memberikan informasi keuangan kepada pihak dalam dan luar perusahaan yang
memiliki kepentingan terhadap perusahaan.
Menurut Rivai, dkk (2012:375) menyimpulkan bahwa:
Tujuan laporan keuangan adalah:
1. memberikan informasi kas yang dapat dipercaya mengenai posisi
keuangan perusahaan (termasuk bank) pada suatu saat tertentu.
2. memberikan informasi keungan yang dapat dipercaya mengenai hasil
usaha perusahaan selama periode akuntansi tertentu.
3. memberikan informasi yang dapat membantu pihak-pihak yang
berkepentingan untuk menilai atau menginterpretasikan kondisi dan
potensi suatu perusahaan.
4. memberikan informasi penting lainnya yang relevan dengan kebutuhan
pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan kebutuhan yang
bersangkutan.
Menurut Kasmir (2015:10-11) menyimpulkan bahwa:
Tujuan laporan keuangan adalah:
1. memberikan informasi tentang jenis dan jumlah aktiva (harta) yang
dimiliki perusahaan pada saat ini;
2. memberikan informasi tentang jenis dan jumlah kewajiban dan modal
yang dimiliki perusahaan pada saat ini;
3. memberikan informasi tentang jenis dan jumalah pendapatan yang
diperoleh pada suatu periode tertentu;
16
4. memberikan informasi tentang jumlah biaya dan jenis biaya yang
dikeluarkan perusahaan dalam suatu periode tertentu;
5. memberikan informasi tentang perubahan-perubahan ang terjadi terhadap
aktiva, pasiva dan modal perusahaan;
6. memberikan informasi tentang kinerja manajemen perusahaan dalam suatu
periode tertentu;
7. informasi keuangan lainnya.
Jadi, dengan memperoleh laporan keuangan suatu perusahaan, akan dapat
diketahui kondisi keuangan perusahaan secara menyeluruh. Kemudian, laporan
keuangan tidak hanya sekedar cukup dibaca saja, tetapi juga harus dimengerti dan
dipahami tentang posisi keuangan perusahaan saat ini. Caranya adalah dengan
melakukan analisis keuangan dengan berbagai rasio keuangan yang lazim
dilakukan.
2.3. Tingkat Kesehatan Bank
Menurut Haryani (2010:45) ”Tingkat kesehatan bank adalah hasil
penilaian kualitatif atas berbagai aspek yag berpengaruh terhadap kondisi
atau kinerja suatu bank melalui penilaian kuantitatif dan atau penilaian
kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, manajemen,
rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas terhadap risiko pasar”.
Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian
kualitatif dan kuantitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang
didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta
pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian
nasional.
17
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/1/PBI/2007 Tentang Sistem
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
mengatakan bahwa:
Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang
berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui:
1. Penilaian Kuantitatif dan Penilaian Kualitatif terhadap faktor-faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap
risiko pasar; dan
2. Penilaian Kualitatif terhadap faktor manajemen.
Penilaian Kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan
maupun proyeksi rasio-rasio keuangan Bank atau UUS. Penilaian Kualitatif
adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil Penilaian
Kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan Bank atau UUS.
2.4. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah
Perkembangan metodelogi penilaian tingkat kesehatan bank yang bersifat
dinamis, tidak hanya dilakukan untuk bank konvensional saja, tetapi juga
dilakukan untuk Bank Syariah baik untuk bank umum syariah maupun
bank perkreditan rakyat syariah untuk mendorong pengaturan kembali
sistem peniliaian tingkat kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah.
Tujuannya adalah agar dapat memberikan gambaran yang lebih tepat
mengenai kondisi saat ini dan mendatang (Kasmir, 2014:174)
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah dilakukan berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 9/1/PBI/2007 dalam Kasmir
(2014:175) tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah yang berlaku mulai 24 Januari 2007. Dari hasil penjelasan
Deputi Gubernur, Bank Indonesia Siti Chalimah Fadjrijah menjelaskan
bahwa:
Penerapan ini dilakukan dengan memperkirakan produk dan jasa
perbankan syariah ke depan kian beragam dan kompleks sehingga
eksposur risiko yang dihadapi juga meningkat. Meningkatnya eksposur
risiko terserbut akan merubah profil risiko Bank Syariah, yang pada
18
gilirannya akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank tersebut. Dalam
penilaian tingkat kesehatan, Bank Syariah telah memasukkan risiko yang
melekat pada aktivitas bank (inherent risk), yang merupakan bagian dari
proses penilaian manajeman risiko.
Bank Umum Syariah wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank
secara triwulan, yang meliputi faktor – faktor antara lain:
1. Permodalan (capital)
2. Kualitas aset (asset quality)
3. Manajemen (management)
4. Rentabilitas (earning)
5. Likuiditas (liquidity)
6. Sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk)
Penilaian komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor financial
(permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas dan sensitivitas terhadap risiko
pasar) dihitung secara kuantitatif dan kualitatif dengan mempertimbangkan unsur
judgment.
2.5. Komponen Capital Adequacy Ratio (CAR)
Secara umum, Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio kecukupan
modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi
oleh bank. Semakin tinggi nilai CAR semakin baik kemampuan bank tersebut
untuk menanggung risiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika
nilai Capital Adequacy Ratio (CAR) tinggi maka bank tersebut mampu
membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar
bagi profitabilitas.
19
Menurut Mulyono dalam Wardiah (2013:295) mengemukakan bahwa
“CAR merupakan perbandingan antara equity capital dan aktiva total loans dan
securities”.
Menurut Wardiah (2013:295) “CAR adalah rasio kecukupan modal bank
atau kemampuan bank dalam permodalan yang ada untuk menutup kemungkinan
kerugian dalam perkreditan atau perdagangan surat – surat berharga”.
Rasio CAR menunjukkan kemampuan dari modal untuk menutupi
kemungkinan kerugian atas kredit yang diberikan beserta kerugian pada investasi
surat-surat berharga. CAR menurut standar SBI (Bank For International
Settlements) minimum sebesar 8%. Jika kurang dari itu akan dikenakan sanksi
oleh Bank Sentral.
Menurut Haryani (2010:51) mengemukakan bahwa:
CAR (Capital Adequacy Ratio) atau rasio kecukupan modal. CAR adalah
rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank
yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada
bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri disamping memperoleh dana-
dana dari sumber-sumber diluar bank.
Tabel II.2.
Matriks Kriteria Penilaian Peringkat CAR
Rasio Peringkat Predikat
CAR ≥ 11% 1 Sangat Baik
9,5% ≤ CAR < 11% 2 Baik
8% ≤ CAR < 9,5% 3 Cukup Baik
6,5% ≤ CAR < 8% 4 Tidak Baik
CAR < 6,5% 5 Sangat Tidak Baik
Sumber: Kodifikasi Peraturan BI tentang Penilaian Tingkat Kesehatan 2012
Dari beberapa teori-teori yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan
bahwa Capital Adequacy Ratio atau disingkat dengan CAR adalah rasio
20
kecukupan modal yang harus dipenuhi oleh suatu bank sesuai dengan standar
ketetapan Bank Indonesia untuk menutupi risiko akibat kerugian dari setiap aktiva
produktif yang berisiko.
2.5.1. Permodalan Bank
Menurut Rivai, dkk (2012:469) “Modal adalah fakor penting dalam rangka
pengembangan usaha dan menampung kerugian”.
Agar mampu berkembang dan bersaing secara sehat makanya
permodalannya perlu disesuaikan dengan ukuran internasional yang lebih dikenal
sebagai standar BIS (Bank for International Settlement).
Menurut Zeurning, dkk (2011:211) “Modal juga merupakan faktor penentu
utama kapasitas kredit bank”.
Neraca sebuah bank tidak dapat diperluas melampaui tingkat yang
ditentukan oleh rasio kecukupan modalnya (CAR), ketersediaan modal pada
akhirnya menentukan tingkat maksimum aset.
Modal bank dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu modal inti
dan modal pelengkap. Modal inti disebut sebagai modal sendiri karena dananya
berasal dari pemilik (Darmawi, 2014:84).
Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.7/53/DPbS
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Semua Bank
Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Di Indonesia menyebutkan bahwa “Modal merupakan salah satu faktor
yang penting bagi bank syariah dalam rangka pengembangan usaha dan
menampung risiko kerugian”.
Agar perbankan syariah Indonesia dapat berkembang secara sehat dan
mampu bersaing dengan perbankan internasional maka permodalan bank syariah
21
senantiasa harus mengikuti ukuran yang berlaku secara internasional.
Sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia No.
7/13/PBI/2005 dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No.
7/53/Dpbs mengemukakan bahwa “Modal bagi bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, terdiri dari
modal inti (tier 1), modal pelengkap (tier 2) dan modal pelengkap
tambahan (tier 3).
Adapun rincian komponen dari masing-masing modal tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Modal Inti
Modal Inti terdiri dari :
a. Modal disetor, yaitu modal yang telah disetor secara efektif oleh
pemiliknya sebesar nominal saham. Bagi bank yang berbentuk hukum
koperasi, modal disetor terdiri atas simpanan pokok, simpanan wajib
dan modal penyertaan sebagaimana diatur dalam Undang-undangan
No.25 Tahun 1992 tentang Perkoprasian.
b. Cadangan tambahan modal (disclosed reserve), terdiri dari:
1) Agio saham, yaitu selisih lebih antara setoran modal yang diterima
oleh bank dengan nilai nominal saham yang diterbitkan. Dalam hal
bank memiliki disagio maka selisih kurang antara setoran modal
yang diterima oleh bank dengan nilai nominal saham yang
diterbitkan menjadi faktor pengurang modal inti.
2) Modal sumbangan adalah modal yang diperoleh bank darI
sumbangan. Modal yang berasal dari donasi pihak luar yang
diterima oleh bank yang berbentuk hukum koperasi juga termasuk
dalam pengertian modal sumbangan.
22
3) Cadangan Umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan
laba yang ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak, dan
mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota sesuai dengan ketentuan pendirian atau anggaran dasar
masing-masing bank.
4) Cadangan tujuan, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan
laba yang ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak yang
disisihkan untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan
rapat umum pemegang saham atau rapat anggota.
5) Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak, yaitu seluruh
laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah diperhitungkan pajak, dan
belum ditetapkan penggunaannya oleh rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi
tahun-tahun lalu maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor
pengurang dari modal inti.
6) Laba tahun berjalan, yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku
berjalan setelah dikurangi taksiran hutang pajak. Jumlah laba tahun
buku berjalan tersebut yang diperhitungkan sebagai modal inti
hanya sebesar 50%. Dalam hal pada tahun berjalan bank
mengalami kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi
faktor pengurang dari modal inti. Dalam perhitungan laba harus
dikeluarkan pengaruh perhitungan pajak tangguhan (deferred tax)
dan kekurangan jumlah penyisihan penghapusan aktiva produktif
23
(PPAP) dari jumlah yang seharusnya dibentuk sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang merupakan komponen biaya yang dibebankan
pada laba tahun berjalan.
7) Selisih lebih penjabaran Laporan Keuangan kantor cabang luar
negeri akibat penggabungan laporan keuangan kantor cabang luar
negeri dengan induknya. Dalam hal terdapat selisih kurang
penjabaran Laporan Keuangan cabang luar negeri, maka selisih
tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.
8) Dana setoran modal, yaitu dana yang telah disetor penuh untuk
tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan
kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal
disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham dan atau
pengesahan dari instansi yang
berwenang.
9) Penurunan nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk
dijual merupakan faktor pengurang modal inti. Jumlah modal inti
adalah jumlah sebagaimana tersebut pada angka 1) sampai dengan
angka 9) di atas, dikurangi dengan goodwill yang ada dalam
pembukuan bank.
2. Modal pelengkap (Tier 2). Secara rinci modal pelengkap dapat berupa :
a. Selisih penilaian kembali aktiva tetap yaitu nilai yang dibentuk sebagai
akibat selisih penilaian kembali aktiva tetap milik bank yang telah
mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Pajak. Selisih penilaian
24
kembali aktiva tetap tidak dapat dikapitalisasi ke dalam modal disetor
dan atau dibagikan sebagai saham bonus dan atau deviden.
b. Cadangan umum dari penyisihan penghapusan aktiva produktif, yaitu
cadangan umum yang dibentuk dengan cara membebani laba rugi
tahun berjalan, dengan maksud untuk menampung kerugian yang
mungkin timbul sebagai akibat dari tidak diterimanya kembali
sebagian atau seluruh aktiva produktif. Penyisihan penghapusan aktiva
produktif yang bersifat cadangan umum diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap maksimum sebesar 1,25% dari jumlah
ATMR. Sedangkan penyisihan penghapusan aktiva produktif yang
bersifat cadangan khusus diperhitungkan sebagai pengurang terhadap
nilai nominal dalam perhitungan ATMR.
a. Modal pinjaman yang memenuhi kriteria Bank Indonesia, yaitu
pinjaman yang didukung oleh instrumen atau warkat yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:
1) berdasarkan prinsip Qardh;
2) tidak dijamin oleh bank penerbit (issuer) dan sifatnya dipersamakan
dengan modal serta telah dibayar penuh;
3) tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa
persetujuan Bank Indonesia; dan
4) mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah
kerugian bank melebihi saldo laba dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi. Dalam
25
pengertian modal pinjaman ini, untuk bank yang berbadan hukum
koperasi, pengertian modal pinjaman sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang No.25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
b. Investasi Subordinasi yang dalam Laporan bulanan bank Syariah
disebut sebagai Pinjaman Subordinasi, yaitu pinjaman yang memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1) berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
2) ada perjanjian tertulis antara bank dengan investor;
3) mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam
hubungan ini pada saat bank mengajukan permohonan persetujuan,
bank harus menyampaikan program pembayaran kembali investasi
subordinasi tersebut;
4) tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah disetor penuh;
5) minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun;
6) pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari
Bank Indonesia, dan dengan pelunasan tersebut permodalan bank
tetap sehat; dan
7) dalam hal terjadi likuidasi hak tagihnya berlaku paling akhir dari
segala pinjaman yang ada (kedudukannya sama dengan modal).
Jumlah investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai
modal untuk sisa jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir adalah
jumlah investasi subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung
26
dengan menggunakan metode garis lurus atau prorata. Jumlah
investasi subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai komponen
modal pelengkap maksimum sebesar 50% (lima puluh perseratus)
dari modal inti.
e. Peningkatan nilai penyertaan pada portofolio untuk dijual setinggi-
tingginya sebesar 45% (empat puluh lima perseratus).
3. Modal Pelengkap Tambahan (tier 3)
a. Modal pelengkap tambahan dalam perhitungan kewajiban penyediaan
modal minimum adalah investasi subordinasi jangka pendek yang
memenuhi kriteria Bank Indonesia sebagai berikut:
1) berdasarkan prinsip mudharabah atau musyarakah;
2) tidak dijamin oleh Bank yang bersangkutan dan telah disetor
penuh;
3) memiliki jangka waktu perjanjian sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun;
4) tidak dapat dibayar sebelum jadwal waktu yang ditetapkan dalam
perjanjian pinjaman yang telah mendapat persetujuan Bank
Indonesia;
5) terdapat klausula yang mengikat (lock-in clausule) yang
menyatakan bahwa tidak dapat dilakukan penarikan angsuran
pokok, termasuk pembayaran saat jatuh tempo, apabila pembayaran
dimaksud dapat menyebabkan kewajiban penyediaan modal
minimum Bank tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
27
6) terdapat perjanjian penempatan investasi subordinasi yang jelas
termasuk jadwal pelunasannya;
7) memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
2.5.2. Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Menurut Darmawi (2014:97) mengemukakan bahwa “Tujuan menghitung
ATMR yaitu mengubah perbandingan aset sesuai dengan risikonya agar tercipta
sistem perbankan yang lebih aman”.
Sedangkan ATMR bagi bank didasarkan pada risiko aktiva. Dalam arti
luas hal itu meliputi elemen-elemen aktiva yang tercantum dalam neraca (on
Balance Sheet) dan kewajiban yang masih bersifat administratif (Off Balance
Sheet) sebagaimana tercermin pada kewajiban yang masih bersifat kontijensi dan
atau komitmen yang disediakan oleh bank bagi pihak ketiga.
Standar kecukupuan modal didasarkan pada prinsip bahwa tingkat modal
sebuah bank harus berkaitan dengan profil risiko yang spesifik terhadap bank
tersebut. Pengukuran persyaratan kecukupan modal ditentukan oleh tiga
komponen risiko-risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional (Greuning,
Zamir, 2011:215)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:15/12/PBI/2013 ATMR
yang digunakan dalam perhitungan modal minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3) dan perhitungan pembentukan tambahan modal sebagai
penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) terdiri atas:
1. Risiko Kredit (Credit Risk)
28
Risiko kredit adalah risiko keuangan yang disebabkan oleh
ketidakmampuan (gagal bayar) dari debitur atas kewajiban pembayaran
utangnya baik utang pokok maupun bunganya. Dalam perhitungan ATMR
untuk risiko kredit, bank menggunakan Pendekatan Standar (Standardized
Approach) dan Pendekatan Berdasarkan Internal Rating (Internal Rating
based Approach).
2. Risiko Operasional (Operational Risk)
Risiko opersional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh
kegagalan atau tidak memadainya proses internal, manusia dan sistem atau
sebagai akibat dari kejadian ekstenal. Dalam menghitung ATMR untuk
risiko operasional, bank menggunakan Pendekatan Dasar (Basic Indicator
Approach), Pendekatan Standar (Standardized Approach) dan Pendekatan
yang lebih Kompleks (Advanced Measurement Approach).
3. Risiko Pasar (Market Risk)
Risiko Pasar adalah risiko yang timbul karena menurunnya nilai
suatu investasi karena pergerakan pada faktor-faktor pasar. Risiko pasar
yang wajib diperhitungkan oleh bank secara individual dan secara
konsolidasi dengan perusahaan adalah risiko nilai tukar.