9
BAB II
LANDASAN TEORI
1.1 Kajian Teori
1.1.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Menurut Mulyasa (2002:11), Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu konsep yang
menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan
pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan
masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang
erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Dalam konsep Mulyasa tersebut, terkandung
informasi bahwa MBS penekanannya pada pemberian
otonomi atau kewenangan yang luas kepada sekolah
dalam mengelola pendidikan. Kepala sekolah dan
stakeholder dalam institusi sekolah memiliki
kewenangan kebijakan guna peningkatan mutu sesuai
kebutuhan masyarakat belajar.
Berdasarkan konsep-konsep MBS sebagaimana
dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa
kebijakan manajemen berbasis sekolah merupakan
pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab yang
meningkat ke sekolah yang dapat memudahkan dan
mendorong peningkatan efektivitas dan efisiensi
pendidikan publik. Hal ini berarti bahwa tugas
manajemen sekolah ditentukan sesuai dengan
10
karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh
karena itu, pengelola sekolah (pengawas, kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah) memiliki otonomi
dan tanggung jawab lebih besar dalam mengelola
kegiatan pendidikan di sekolah.
Pelaksanaan manajemen pendidikan harus
lebih terbuka, accountable, mengoptimalkan
partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat
mengelola semua sumber daya yang tersedia di
sekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-
luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu
pendidikan pada umumnya (Indra Djati Sidi, 2001:
19-20).
Dalam penerapannya, MBS sebagai model
pengelolaan sekolah yang mengintegrasikan
seluruh sumber internal dan eksternal dengan lebih
menekankan pada pentingnya menetapkan
kebijakan melalui perluasan otonomi sekolah. MBS
penting (peranannya) diterapkan di sekolah untuk
meningkatkan kinerja sekolah dengan prinsip MBS
yang baik. Hubungan antara pilar-pilar MBS adalah
merupakan satu kesatuan seperti sistem yang
penting guna mencapai suatu tujuan secara efektif
dan efisien. Menurut Mulyasa (2007: 125) terdapat
3 pilar MBS yaitu: Manajemen sekolah, Pembelaja-
ran aktif kreatif dan menyenangkan (PAKEM), dan
Peran serta masyarakat (partisipasi). Ketiga pilar
MBS tersebut menjadi satu kesatuan yang harus
terintegrasi sehingga terwujud sekolah yang
11
mandiri dalam mencapai tujuan program
pendidikan. Untuk keterangan lebih perinci pilar
MBS berupa pembelajaran PAKEM akan dijelaskan
pada sub bab berikutnya.
1.1.2 Pembelajaran Model PAKEM
1.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Model PAKEM
Sebagaimana dikemukakan oleh Joyce & Weil
(dalam Susilana, 2006: 139), bahwa model
pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang
digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-
bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran
di kelas. Istilah PAKEM merupakan akronim
(singkatan) dari pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Belajar aktif adalah suatu sistem
belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa
secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna
memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan
antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
(Rochman Natawidjaja, 1985: 55). Model PAKEM
memberi kebebasan siswa dalam memperoleh dan
menentukan pengalaman belajarnya dengan
memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
Pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan
menyenangkan (PAKEM) berasal dari konsep bahwa
pembelajaran harus berpusat pada anak (student
centred learning). Pembelajaran aktif, kreatif, efektif
12
dan menyenangkan (PAKEM) terdiri dari empat unsur,
yaitu sebagai berikut:
1. Pembelajaran aktif.
Menurut Rusman (2010: 324), yang dimaksud
dengan pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang
lebih banyak melibatkan aktivitas siswa dalam
mengakses berbagai informasi dan pengetahuan
untuk dibahas dan dikaji dalam proses
pembelajaran di kelas, sehingga mereka
mendapatkan berbagai pengalaman yang
meningkatkan pemahaman dan kompetensinya.
Menurut Joel Wein (1997: 1) mendefinisikan
pembelajaran aktif sebagai suatu pendekatan untuk
mendidik para siswa dengan memberikan peranan
yang lebih aktif di dalam proses pembelajaran. Unsur
umum di dalam pendekatan ini adalah bahwa guru
dipindahkan peran dan kedudukannya dari yang
paling berperan depan suatu kelas dan
mempresentasikan materi pelajaran.
A.Y.Soegeng, pembelajaran aktif adalah kegiatan
pembelajaran dimana terdapat keterlibatan pelajar
dalam melakukan kegiatan dan memikirkan apa yang
sedang deilakukan.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa yang disebut dengan pembelajar-
an aktif adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran,
13
dengan menyediakan lingkungan belajar yang
membuat siswa tidak tertekan dan senang melakukan
kegiatan belajar.
2. Pembelajaran kreatif
Menurut Indrawati (2009: 14), pmbelajaran
kreatif merupakan proses pembelajaran yang mensti-
mulus siswa untuk mengembangkan gagasannya
dengan memanfaatkan sumber belajar yang ada. Se-
dangkan Jerry Wennstrom (dalam Asmani, 2011: 88)
mengatakan bahwa pembelajaran kreatif adalah suatu
format eksplorasi yang berbeda dari yang lain, yaitu
proses yang dihubungkan dalam pengalaman hidup
dan bukan merupakan suatu model umum. Proses
pembelajaran kreatif adalah suatu tindakan
penemuan terus menerus, penggalian yang menda-
lam dengan hati, pikiran, dan semangat untuk
mendapatkan pengalaman yang baru dapat siswa
rasakan. Menurut Juliantine (2010: 24), strategi
mengajar yang dapat mengembangkan kreativitas
siswa. Pembelajaran kreatif akan menghasilkan siswa
yang kreatif yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
berpikiran terbuka untuk ide baru dan menolak
penilaian yang prematur. 2) selalu penasaran untuk
menemukan solusi yang tepat. 3) berani mengambil
resiko dalam mencoba sesuatu yang baru. 4) tidak
takut kepada masalah sulit dan tidak mempunyai
jawaban pasti. 5) independen, yakni percaya akan
pemikirannya. 6) perseptif, melihat sesuatu yang tidak
terlihat oleh orang lain. 7) tidak takut berbeda dengan
14
orang lain. 8) memiliki keberanian bertindak dan
menunjukkan idenya. 9) memiliki ketahanan,
semangat dan kerja keras untuk meraih sukses. 10)
mampu memotivasi diri. 11) berpikiran bagaimana
jika, bagaimana cara lainnya dan mengapa. 12)
memiliki rasa humor, mampu tertawa di saat gagal
dan tetap semangat sesudahnya.
Jadi pembelajaran kreatif adalah suau proses
pembelajaran yang dapat mengembangkan kreativitas
siswa, berupa pola pikir terbuka luas, penasaran
untuk menemukan solusi yang tepat, berani
mengambil resiko dalam mencoba sesuatu yang baru,
tidak takut kepada masalah sulit dan tidak
mempunyai jawaban pasti, independen, perseptif,
tidak takut perbedaan, memiliki keberanian bertindak
dan menunjukkan idenya dan mampu memotivasi diri
sendiri dan juga siswa lain.
3. Pembelajaran Efektif
Menurut Rusman (2010: 325), yang disebut
dengan pembelajaran efektif adalah pembelajaran
yang mampu memberikan pengalaman baru kepada
siswa membentuk kompetensi siswa serta
mengantarkan mereka ke tujuan yang ingin dicapai
secara maksimal. Menurut Ward (2010: 17),
pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang
melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran
termasuk penilaian.
15
Menurut Reiser Robert (1996:132), pembelajaran
dikatakan efektif apabila terjadi perubahan-perubahan
pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembe-
lajaran efektif adalah pembelajaran di mana siswa
memperoleh ketrampilan-ketrampilan spesifik,
pengetahuan dan sikap, serta pembelajaran yang
disenangi siswa.
4. Pembelajaran Menyenangkan
Menurut Dave Meier (dalam Indrawati, 2009: 24),
yang disebut dengan pembelajaran menyenangkan
adalah suasana belajar dalam keadaan gembira.
Gembira tidak dimaknai dalam pengertian suasana
rebut, hura hura, kesenangan yang sembrono dan
kemeriahan yang dangkal. Adapun ciri-ciri dari
pembelajaran menyenangkan adalah sebagai berikut:
1) Rileks 2) Bebas dari tekanan 3) Aman 4) Menarik
5) Bangkitnya minat belajar, 6) Adanya keterlibatan
penuh, 7) Perhatian siswa tercurah, 8) Lingkungan
belajar yang menarik, 9) Persemangat, 10) Bergem-
bira, 11) Konsentrasi tinggi.
Menurut Ma‟mur (2011: 89) yang disebut
dengan pembelajaran menyenangkan adalah suasana
belajar yang nyaman, sehingga siswa dapat
memusatkan perhatiannya secara penuh pada
belajar dan waktu curah perhatiannya menjadi tinggi”.
Guru memposisikan diri sebagai mitra belajar siswa,
bahkan dalam hal tertentu tidak menutup
kemungkinan guru belajar dari siswanya. Dalam
hal ini perlu diciptakan suasana demokratis dan
16
tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam
melaksanakan proses pembelajaran.
Pembelajaran menyenangkan adalah adanya pola
hubungan baik antara guru dan siswa dalam proses
pembelajaran. Menciptakan suasana demokratis dan
tidak ada beban, baik guru maupun siswa dalam
melakukan pembelajaran (Rusman, 2011, hlm.326).
Jadi pembelajaran menyenangkan merupakan
pembelajaran dengan suasana belajar yang nyaman,
sehingga siswa dapat memusatkan perhatiannya
secara penuh pada belajar dan waktu curah
perhatiannya menjadi tinggi.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
model pembelajaran PAKEM adalah pembelajaran yang
aktif di mana siswa dilibatkan lebih banyak dalam
proses pembelajaran; pembelajaran kreatif yaitu
proses pembelajaran yang menstimulus siswa untuk
dapat mengembangkan dan menghubungkan penge-
tahuan yang dimilikinya dengan konsep-konsep
materi yang dipelajari; efektif sebagai pembelajaran
yang mampu memberikan pengalaman baru dalam
memaksimalkan kompetensi demi pencapaian tujuan
pembelajaran itu sendiri; dan menyenangkan di
mana dalam pembelajaran berlangsung, siswa
merasakan suasana yang gembira dan bebas dari
tekanan baik fisik maupun psikologis.
17
1.1.2.2 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran
PAKEM
Dalam proses penerapan PAKEM di sekolah, ada
keunggulan dan kelemahan yang perlu diperhatikan.
Menurut Ismail (2008: 50) keunggulan dan kelemahan
adalah sebagai berikut.
a. Keunggulan Pembelajaran PAKEM
1) Pembelajaran lebih menarik/rekreatif. Dengan kata
lain, pembelajaran dengan menggunakan metode
PAKEM dirasa lebih menyenangkan. Penggunaan
beberapa media dan sumber pembelajaran yang
beragam dalam metode PAKEM sangat membantu
siswa untuk mempermudah proses belajarnya. Dalam
metode pembelajaran ini, siswa juga diberi
kesempatan untuk ikut berperan aktif dalam proses
belajar mengajar. Siswa memiliki kesempatan untuk
mengungkapkan gagasan-gagasannya dan mengem-
bangkan keterampilannya. Kemampuan berpikir
siswa dan karya-karyanya sangat dihargai sehingga
sangat memotivasi siwa untuk belajar dengan lebih
baik lagi.
2) Pembelajaran lebih variatif. Dengan kata lain,
metode pakem ini memberikan kesempatan kepada
guru dan siswa untuk menciptakan suasana
pembelajaran dengan menggunakan beberapa metode
pembelajaran, tidak monoton dengan satu metode
pembelajaran. Dan dalam beberapa hal pula,
seseorang siswa dapat melakukan kegiatan
melakukan percobaan, pengamatan, atau wawancara
18
kemudian mengumpulkan data/jawaban dan
mengolahnya sendiri.
a. Kelemahan Pembelajaran PAKEM
Pada proses pembelajaran model PAKEM,
seorang dituntut harus berperan aktif, proaktif dan
kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan
ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana.
Tetapi tetap memiliki relevansi dengan tema mata
pelajaran yang sedang dipelajari siswa.
Penggunaan perangkat multimedia seperti ICT
sungguh sangat ideal, tetapi tidak semua sekolah
mampu mengaksesnya. Hal ini jelas sekali dapat
menjadi sebuah bumerang bagi guru, ketika seorang
guru tidak memiliki kemampuan untuk
memanajemen dan menguasai hal-hal yang harus ada
untuk melakukan metode pembelajaran pakem. Guru
yang tidak memiliki daya kreasi yang tinggi tidak akan
mampu melakukan metode pembelajaran PAKEM
dengan baik di dalam kelas.
1.1.2.3 Alasan Penerapan PAKEM
PAKEM diterapkan dilatarbelakangi oleh
kenyataan bahwa pembelajaran model konvensional
dinilai menjemukan, kurang menarik bagi peserta
didik sehingga berakibat kurang optimalnya
penguasaan materi bagi peserta didik. PAKEM
memungkinkan peserta didik mengerjakan kegiatan
yang beragam untuk mengembangkan ketrampilan
dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar
19
sambil bekerja, sementara guru menggunakan
berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk
pemanfaatkan lingkungan supaya pembelajaran lebih
menarik, menyenangkan, dan efektif.
Menurut Utami (2010: 37), terdapat dua alasan
pembelajaran PAKEM diterapkan di Indonesia, yaitu:
a. PAKEM memungkinkan peserta didik dan guru
sama-sama aktif.
b. PAKEM memungkinkan peserta didik dan guru
sama-sama kreatif.
Pembelajaran aktif menunjuk pada prakarsa
siswa dalam berperan untuk melakukan serangkaian
kegiatan yang diciptakan oleh guru mulai dari awal
hingga berakhirnya pelajaran. Pembelajaran kreatif
menunjuk pada kreativitas dan inovasi berpikir yang
diupayakan siswa dalam mengaitkan perolehannya
selama belajar menjadi sesuatu yang berarti.
Pembelajaran efektif menunjuk pada kualitas hasil
yang telah diupayakan oleh siswa dalam belajarnya.
Efektivitas akanhasil belajar di sini amat dipengaruhi
oleh tinggi rendahnya kadar keaktifan dan kreativitas
siswa selama belajar di sekolah dan tindak lanjutnya
di luar sekolah. Pembelajaran yang menyenangkan
menunjuk pada kondisi yang dapat diciptakan oleh
guru selama penyajian bahan pelajaran.
20
1.1.2.4 Prinsip PAKEM
Menurut Ismail (2008: 46-47), terdapat empat
prinsip utama dalam pembelajaran aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan yaitu sebagai berikut:
1. Mengalami, yaitu: peserta didik terlibat secara aktif
baik fisik, mental maupun emosional.
2. Interaksi, yaitu: kegiatan pembelajaran
memungkinkan terjadinya komunikasi antara guru
dan peserta diidik.
3. Komunikasi,yaitu: kegiatan pembelajarannyaa me-
mungkinkan terjadinya interaksi multi arah.
4. Refleksi, yaitu kegiatan pembelajarannya memung-
kinkan peserta didik memikirkan kembali apa yang
telah dilakukan.
1.1.3 Hakekat Evaluasi dan Evaluasi Program
Danim (2000: 14) mendefinisikan penilaian
(evaluating) adalah proses pengukuran dan perban-
dingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Dari pen-
dapat tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi
adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mengukur serta membandingkan hasil-hasil pelaksa-
naan kegiatan yang telah dicapai dengan hasil yang
seharusnya menurut rencana, sehingga diperoleh
informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan,
serta dapat dilakukan perbaikan bila terjadi
penyimpangan di dalamnya.
21
Evaluasi program merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat tingkat keberhasilan program. Ada beberapa
pengertian tentang program sendiri. Dalam kamus (a)
program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan
yang dilakukan dengan seksama. Melakukan evaluasi
program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari
kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 1993: 297).
Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Arikunto
dan Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah proses
untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah
terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963)
dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan
Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah upaya
menyediakan informasi untuk disampaikan kepada
pengambil keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan
bahwa evaluasi program merupakan proses pengum-
pulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi
pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
kebijakan.
1.1.4 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi
program dilakukan dengan tujuan untuk:
a. Menunjukkan sumbangan program terhadap
pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini
22
penting untuk mengembangkan program yang sama
di tempat lain.
b. Mengambil keputusan tentang keberlanjutan
sebuah program, apakah program perlu diteruskan,
diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui
kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat
dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian
evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program,
pelaksana berfikir dan menentukan langkah
bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut
Arikunto dan Jabar (2009: 7), terdapat perbedaan yang
mencolok antara penelitian dan evaluasi program
adalah sebagai berikut:
1. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian
hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi
program pelaksanan ingin menetahui seberapa
tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil
pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul
dibandingkan dengan criteria atau standar tertentu.
2. Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh
rumusan masalah karena ingin mengetahui
jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam
evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui
tingkat ketercapaian tujuan pgogram, dan apabila
tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan,
pelaksanan ingin mengetahui letak kekurangan itu
dan apa sebabnya.
23
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa evaluasi program merupakan penelitian
evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif
dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari adanya
kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi
atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya
adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
1.1.5 Manfaat Evaluasi Program
Dalam organisasi pendidikan, evaluasi program
dapat diartikan dengan kegiatan supervisi. Secara
singkat, supervisi diartikan sebagai upaya
mengadakan peninjauan untuk memberikan
pembinaan, maka evaluasi program adalah langkah
awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang
tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian
pembinaan yang tepat pula.
Kesalahan yang terjadi di masyarakat beberapa
waktu yang lalu, yaitu supervisi hanya menekankan
aspek ketatausahaan saja. Jika konsepnya seperti itu
maka ada perbedaan antara evaluasi program dengan
supervisi. Jika supervisi di lembaga pendidikan
dilakukan dengan objek buku-buku dan pekerjaan
clerical work maka evaluasi program dilakukan dengan
objek lembaga pendidikan secara keseluruhan.
Kebijakan supervisi yang berlangsung saat ini dapat
dikatakan sama dengan evaluasi program, tetapi
sasarannya ditekankan pada kegiatan pembelajaran.
Dengan kata lain, prestasi belajar menjadi titik pusat
perhatian. Oleh karena tujuan utamanya
24
memperhatikan prestasi belajar bidang studi atau
mata pelajaran maka supervisor (yang di dalam
praktik disebut pengawas), disyaratkan memiliki latar
belakang bidang studi tertentu dan harus memiliki
pengalaman menjadi guru. Dilihat dari ruang
lingkupnya, supervisi dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)
supervisi kegiatan pembelajaran, (2) supervisi kelas,
dan (3) supervisi sekolah (Arikunto dan Jabar, 2008:
75).
Berdasarkan pengertian tadi, supervisi sekolah
yang diartikan sebagai evaluasi program, dapat
disamaartikan dengan validasi lembaga dan akreditasi.
Evaluasi program merupakan langkah awal dari proses
akreditasi dan validasi lembaga. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa: Evaluasi program
pendidikan tidak lain adalah supervisi pendidikan
dalam pengertian khusus, tertuju pada lembaga secara
keseluruhan.
Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi
sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan
kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan
hasil evaluasi program itulah para pengambilan
keputusan akan menentukan tindak lanjut dari
program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud
dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari
evaluator untuk pengambil keputusan (decision
maker). Menurut Arikunto dan Jabar (2008: 80), ada
empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan
25
berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program
keputusan, yaitu:
1. Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak adamanfaatnya, atau tidak
dapat terlaksana sebagaimana diharapkan.
2. Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang
kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan
tapi hanya sedikit).
3. Melanjutkan program, karena pelaksanaan program
menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah sesuai
dengan harapan dan memberikan hasil yang
bermanfaat.
4. Menyebar luaskan program (melaksanakan progran
ditempat-tempat lain atu mengulangi lagi program
dilain waktu), karena program tersebut berhasil
dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan
lagi di tempat dan waktu yang lain.
Menurut Arikunto dan Jabar (2008: 55), Evaluasi
dalam program proses pendidikan mempunyai
beberapa fungsi yaitu:
a. Memberi informasi yang valid mengenai kinerja
kebijakan, program dan kegiatan, yaitu mengenai
seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan
telah dicapai.
b. Memberi sumbangan pada klarifiaksi dan kritik.
Evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi dan
kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari tujuan
dan target.
26
c. Memberi sumbangan pada aplikasi metode analisis
kebijakan, termasuk perumusan masalah dan
rekomendasinya. Evaluasi dapat pula
menyumbangkan rekomendasi bagi pendefinisian
alternatif kebijakan, yang bermanfaat untuk
mengganti kebijakan yang berlaku dengan alternatif
kebijakan yang lain (Tim Penyusun Modul Sistem
AKIP, 2007: 50-51).
Menurut pendapat di atas, fungsi evaluasi adalah
untuk memberi informasi yang baik dan benar kepada
masyarakat, memberi kritikan pada klarifikasi suatu
nilai-nilai dari suatu tujuan dan target, kemudian
membuat suatu metode kebijakan untuk mencapai
kinerja sehingga program dan kegiatan yang di
evaluasi memberikan kontribusi bagi perumusan
ulang kebijakan suatu kegiatan dalam organisasi atau
instansi.
1.1.6 Model-Model Evaluasi Program
Untuk mengetahui ketercapaian suatu program,
diperlukan model evaluasi yang tepat sehingga teknik
dan sasarannya sesuai dengan kondisi yang ada
sebagaimana yang diharapkan. Ada terdapat banyak
model evaluasi yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi suatu program, meskipun antara satu
dengan yang lainnya berbeda. Menurut Isaac (dalam
Arikunto dan Jabar, 2008: 40), menyebutkan 4 macam
model evaluasi, yaitu (1) berorientasi pada tujuan
27
program (good oriented), (2) berorientasi pada
keputusan (decision oriented), (3) berorientasi pada
kegiatan dan orang-orang yang menanganinya
(transactional oriented), (4) berorientasi pada pengaruh
dan dampak program (research oriented).
Kaufman dan Thomas (dalam Arikunto dan Jabar,
2008: 24), membedakan model-model evaluasi dalam 8
model, yaitu:
1. Model Goal Oriented Evaluation, dikembangkan
oleh Tyler.
Langkah-langkah model ini adalah 1) menentu-
kan tujuan secara jelas, 2) mengklasifikasikan tujuan-
tujuan tersebut, 3) mendefinisikan tujuan-tujuan
dalam istilah perilaku terukur, 4) temukan situasi
dimana prestasi atau tujuan dapat diperlihatkan, 5)
mengembangkan atau memilih teknik-teknik
pengukuran, 6) mengumpulkan data, 7) membanding-
kan data kinerja dengan tujuan-tujuan yang
dinyatakan dalam perilaku terukur.
2. Model Goal Free Evaluation, dikembangkan oleh
Michael Scriven. Model tidak mengutamakan
tujuan melainkan pada proses pelaksanaan
program
Model ini hanya memperhatikan tujuan umum
program, tidak mementingkan tujuan khusus (tujuan
komponen).
Perhatian evaluator tertuju pada penampilan
komponen-komponen program yang bersangkutan.
28
Penampilan program diidentifikasi baik yang positif
(hal yang diharapkan) dan yang negatif (hal yang tidak
diharapkan).
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model. dikembangkan
oleh Michael Scriven.
Pada model ini, evaluator selalu melakukan
evaluasi formatif, yaitu evaluasi pada saat program
masih berjalan.Tujuan evaluasi formatif ialah untuk
mengetahui sejauh mana program yang dirancang
dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi
hambatan. Evaluator juga melakakukan evaluasi
sumatif, yaitu evaluasi pada akhir program.Tujuan
evaluasi sumatif ialah untuk mengukur ketercapaian
program.
4. Countenance Evaluation Model, model ini
dikembangkan oleh Stake.Penilaian harus
mengandung langkah-langkah berikut: menerangkan
program; melaporkan keterangan tersebut kepada
pihak yang berkepentingan; mendapatkan dan
menganalisis „judgment; melaporkan kembali hasil
analisis kepada pelanggan. Seterusnya, model
responsif mencadangkan perhatian yang terus
menerus oleh penilai dan semua pihak yang terlibat
dengan penilaian.
5. Responshif Evaluation, model ini dikembangkan oleh
Stake. Evaluasi tidak diartikan sebagai pengukuran,
melainkan pemberian makna sebuah realitas dari
berbagai perspektif orang-orang yang terlibat,
29
berminat dan berkepentingan dengan program. Tujuan
evaluasi untuk memahami semu komonen program
melalui berbagai sudut pandangan yang berbeda.
Langkah-langkah kegiatan evaluasi: observasi,
merekam hasil wawancara, mengumpulkan data,
mengecek pengetahuan awal peserta didik, dan
mengembangkan desain atau model. Hal yang penting
dalam evaluasi model ini adalqh pengumpulan dan
sintesis data.
6. CSE-UCLA Evaluation Model. Ciri dari model
CSE_UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan
dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan,
implementasi, hasil, dan dampak.
7. CIPP Evaluation Model. Model CIPP ini
dikembangkan oleh Stufflebeam, dkk. CIPP yang
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah kata, yaitu 1) context evaluation: evaluasi
terhadap konteks, 2) input evaluation : evaluasi
terhadap masukan, 3) procces evaluation: evaluasi
terhadap proses, 4) product evaluation: evaluasi
terhadap hasil. Untuk penjelasan lebih lanjut akan
dijabarkan pada sub point berikutnya.
8. Discrepancy Model. dikembangkan oleh Provus.
Pendekatan yang diperkenalkan Provus ini dinamakan
Discrepancy Evaluation Model. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan, meliputi: definisi, instalasi, proses,
produk, dan analisis biaya manfaat (cost-bebefit
analysis).
30
1.1.7 Evaluasi Model CIPP (Context, Input, Process,
Product)
1.1.7.1 Pengertian Model CIPP
Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu
dari beberapa teknik evaluasi suatu program yang ada.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan
kinerja dari berbagai dimensi program dengan
sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai
pada deskripsi mengenai kekuatan dan kelemahan
program yang dievaluasi.
Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam
(dalam Arikunto dan Jabar, 2008: 90), CIPP yang
merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat
buah kata, yaitu: 1) Context evaluation (evaluasi
terhadap konteks), 2) Input evaluation (evaluasi
terhadap masukan), 3) Process evaluation (evaluasi
terhadap proses), 4) Product evaluation (evaluasi
terhadap hasil). Keempat kata yang disebutkan dalam
singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi,
yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah
program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP
adalah model evaluasi yang memandang program yang
dievaluasi sebagai sebuah sistem.
Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup
empat macam keputusan:
a. Perencanaan keputusan yang mempengaruhi
pemilihan tujuan umum dan tujuan khusus,
b. Keputusan pembentukan atau structuring,
31
c. Keputusan implementasi,
d. Keputusan yang telah disusun ulang yang
menentukan suatu program perlu diteruskan,
diteruskan dengan modifikasi, dan atau
diberhentikan secara total atas dasar kriteria yang
ada.
Tabel 4.4. Model CIPP
Aspek
evaluasi
Tipe keputusan Jenis
pertanyaan
Context
evaluation
Keputusan yang
terencana
Apa yang
harus dilakukan?
Input
evaluation
Keputusan
terstruktur
Bagaimana
kita melakukannya?
Process
evaluation
Keputusan
implementasi
Apakah yang
dilakukan sesuai
rencana?
Product
evaluation
Keputusan yang
telah disusun ulang
Apakah
berhasil?
Empat aspek Model Evaluasi CIPP (context, input,
process and output) membantu pengambil keputusan
untuk menjawab empat pertanyaan dasar mengenai:
1. Apa yang harus dilakukan (What should we do?);
mengumpulkan dan menganalisa needs
assessment data untuk menentukan tujuan,
prioritas, dan sasaran.
2. Bagaimana kita melaksanakannya (How should we
do it?); sumber daya dan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai sasaran, tujuan dan
32
mungkin meliputi identifikasi program eksternal dan
material dalam mengumpulkan informasi
3. Apakah dikerjakan sesuai rencana (Are we doing it
as planned?); Ini menyediakan pengambil
keputusan informasi tentang seberapa baik program
diterapkan. Dengan secara terus-menerus
monitoring program, pengambil keputusan
mempelajari seberapa baik pelaksanaan telah sesuai
petunjuk dan rencana, konflik yang timbul,
dukungan staff dan moral, kekuatan dan kelemahan
material, dan permasalahan penganggaran.
4. Apakah berhasil (Did it work?); Dengan mengukur
outcome dan membandingkannya pada hasil yang
diharapkan, pengambil keputusan menjadi lebih
mampu memutuskan jika program harus
dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan sama
sekali.
Beberapa pertanyaan terkait dimensi tersebut di
antaranya untuk mengumpulkan dan menganalisa
needs assessment data untuk menentukan tujuan,
prioritas, dan sasaran. Pertanyaan tersebut
merupakan jenis pertanyaan yang terdapat pada
dimensi context evaluation. Sedangkan untuk
mendapatkan sumber daya dan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai identifikasi program
eksternal dan material dalam pengumpulan informasi
terdapat pada dimensi input evaluation. Pertanyaan
lainnya yang terdapat pada dimensi process evaluation
ialah pada penyediaan pengambilan keputusan
33
informasi tentang seberapa baik program diterapkan.
Dengan terus menerus memonitoring program,
pengambilan keputusan mempelajari seberapa baik
pelaksanaan telah sesuai petunjuk dan rencana,
konflik timbul, dukungan staf dan moral, kekuatan
dan kelemahan material, dan permasalahan
penganggaran. Sedangkan pada dimensi product
evaluation ialah untuk mengukur outcome dan
membandingkannya pada hasil yang diharapkan,
pengambilan keputusan menjadi lebih mampu
memutuskan jika program harus dilanjutkan,
dimodifikasi, atau dihentikan sama sekali.
Penjelasan masing-masing dimensi dapat
dijabarkan lebih jelas lagi seperti di bawah ini.
a. Contex evaluation
Contex evaluation (evaluasi konteks) diartikan
sebagai situasi atau latar belakang yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi yang
dilakukan dalam suatu program yang bersangkutan.
Penilaian dari dimensi konteks evaluasi ini seperti
kebijakan atau unit kerja terkait, sasaran yang ingin
dicapai unit kerja dalam waktu tertentu, masalah
ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja terkait dan
sebagainya.
Stufflebeam (dalam Hamid Hasan, 2008: 55)
menyebutkan, tujuan dari evaluasi konteks yang
utama ialah untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki evaluan, sehingga dapat
diberikan arahan perbaikan yang dibutuhkan. Konteks
34
evaluasi ini membantu merencanakan keputusan,
menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh
program, dan merumuskan tujuan program.
Evaluasi konteks adalah upaya untuk
menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan
yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang
dilayani, dan tujuan proyek.
b. Input evaluation
Input evaluation pada dasarnya mempunyai
tujuan untuk mengaitkan tujuan, konteks, input, dan
proses dengan hasil program. Evaluasi ini juga untuk
menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu
pencapaian tujuan dan objektif program.
Menurut Stufflebeam pertanyaan yang berkenaan
dengan masukan mengarah pada “pemecahan
masalah” yang mendorong diselenggarakannya
progran yang bersangkutan.
c. Process evaluation
Process evaluation ini ialah merupakan model
CIPP yang diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh
kegiatan yang dilaksanakan, apakah program
terlaksana sesuai dengan rencana atau tidak.
d. Product Evaluation
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
evaluasi produk ialah untuk melayani daur ulang
suatu keputusan dalam program. Dari evaluasi produk
diharapkan dapat membantu pimpinan proyek dalam
mengambil suatu keputusan terkait program yang
sedang terlaksana, apakah program tersebut
dilanjutkan, berakhir, ataukah ada keputusan lainnya.
35
Keputusan ini juga dapat membantu untuk membuat
keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah
dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program
itu berjalan.
Evaluasi produk diarahkan pada hal-hal yang
menunjukkan perubahan yang terjadi pada masukan
mentah.
1.1.7.2 Tujuan dan Fungsi Model CIPP
Tujuan evaluasi program model CIPP adalah
untuk keperluan pertimbangan dalam pengambilan
sebuah keputusan/kebijakan. Menurut Arikunto dan
jabar (2008: 65), Fungsi dari evaluasi model CIPP
adalah sebagai berikut:
a. Membantu penanggung jawab program tersebut
(pembuat kebijakan) dalam mengambil keputusan
apakah meneruskan, modifikasi, atau menghenti-
kan program.
b. Apabila tujuan yang ditetapkan program telah
mencapai keberhasilannya, maka ukuran yang
digunakan tergantung pada kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya.
1.1.7.3 Langkah-langkah Pelaksanaan Evaluasi
CIPP
Model evaluasi CIPP mengacu pada tahapan yang
sistematis sehingga mengahasilkan keputusan yang
tepat. Arikunto dan jabar (2008: 65), langkah-langkah
Model evaluasi CIPP sebagai berikut:
36
a. Menetapkan keputusan yang akan diambil.
b. Menetapkan jenis data yang diperlukan.
c. Pengumpulan data.
d. Menetapkan kriteria mengenai kualitas.
e. Menganalisis dan menginterpretasi data
berdasarkan kriteria.
f. Memberikan informasi kepada pihak
penanggungjawab program atau pengambil
keputusan untuk menentukan kebijakan.
1.2 Penelitian Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Penelitian yang dilakukan oleh Muh. Sholeh
(2009) dalam judul Implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (Pelaksanaan Program MBS Rintisan di SD
Case Study Negeri 2 Karangsari Kecamatan Pejawaran
Banjarnegara). Salah satu hasil penelitian adalah
proses belajar mengajar (PBM) di SD Negeri 2
Karangsari sudah menerapkan PAKEM, dimana
penerapan model PAKEM ini mampu mengoptimalkan
mutu pendidikan di SD Negeri 2 Karangsari sehingga
menjadi SD inti dan diminati masyarakat sekitar.
Dalam pelaksanaannya, manajemen pendidikan
harus lebih terbuka, accountable, mengoptimalkan
partisipasi orang tua dan masyarakat, serta dapat
mengelola semua sumber daya yang tersedia di
sekolah dan lingkungannya untuk digunakan seluas-
luasnya bagi peningkatan prestasi siswa dan mutu
37
pendidikan pada umumnya (Indra Djati Sidi, 2001:
19-20).
Menurut hasil penelitian Nurkolis (2003: 251-256)
antara lain menunjukkan: (1) hasil studi di India,
Papua Nugini, dan Chicago menunjukkan bahwa MBS
dengan partisipasi masyarakatnya meningkatkan
kehadiran siswa, dan (2) studi di Nikaragua
menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan
motivasi guru karena keterlibatannya dalam
pengambilan keputusan di MBS. Selain itu, kehadiran
guru dan siswa secara reguler meningkatkan
perubahan positif terhadap pengalaman belajar para
siswa. Menurut Fullan dan Watson (dalam Nurkolis,
2003: 256), terdapat bukti yang nyata bahwa
keterlibatan orang tua dan masyarakat berpengaruh
terhadap pembelajaran siswa yang bernuansa PAKEM
di kelas, namun pada sekolah-sekolah yang belum
maju pengaruhnya masih terbatas.
Penelitian yang dilakukan oleh Sumantri (2007:
50), menyimpulkan bahwa efektivitas MBS ditinjau
dari aspek proses pembelajaran berjalan cukup baik
dan perolehan out put yang berupa prestasi akademik
dan non akademik juga cukup baik sehingga menarik
perhatian masyarakat sekitar.
Penelitian yang dilakukan oleh Blimpo dan Evan
(2011) dalam School-Based Management and
Educational Outcomes: Lessons from a Randomized
Field Experiment. Penelitian ini mengevaluasi
efektivitas komprehensif manajemen dan pengemban-
38
gan program PAKEM dalam MBS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengaruh program pengembang-
an sekolah pada hasil belajar sangat dimediasi oleh
kapasitas lokal baseline yang diukur dengan
keaksaraan orang dewasa. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa, di desa-desa dengan melek huruf yang
tinggi, program pengembangan sekolah dapat
menghasilkan keuntungan pada hasil belajar siswa.
Proses pembelajaran menjadi lebih bernilai dengan
hasil optimal jika dikelola secara efektif dan efisien
dengan menerapkan model PAKEM.
Penelitian yang dilakukan oleh Barbara Lom
(2012) dalam Classroom Activities: Simple Strategies to
Incorporate Student-Centered Activities within
Undergraduate Science Lectures. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan pembelajaran aktif
(active learning), siswa memberikan dampak positif
pada siswa bahwa untuk mencapai tujuan program
pembelajaran tidak harus menggantungkan pada guru
semata. Pembelajaran aktif berdampak pula dalam
memunculkan tanggung jawab siswa dalam belajar
mandiri.
1.3 Kerangka Berpikir
Diberlakukannya MBS di Indonesia memberikan
ruang yang luas bagi semua institusi pendidikan
dalam mengembangkan sekolahnya. MBS juga
memberikan kesempatan pada semua pihak sebagai
stakeholder (kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat
39
dan komite sekolah) ikut berpartisipasi aktif dalam
mewujudkan tujuan program sekolah.
Salah satu aspek dari MBS adalah proses
pembelajaran yang berbasis PAKEM. Ide dasar model
PAKEM ini berupa harapan bahwa dalam proses
pembelajaran agar berlangsung secara efektif dan
efisien dengan berpusat pada siswa, dan guru sebagai
fasilitator. Tujuan akhirnya adalah agar siswa benar-
benar sebagai pembelajar yang aktif dan kreatif
dengan nuansa pembelajaran yang menyenangkan
serta kondusif. Dengan implementasi PAKEM dalam
pembelajaran sbegai salah satu aspek MBS ini
diharapkan sekolah memiliki out put mutu pendidikan
serta lulusan yang berkualitas dan berdaya saing.
Berkembangnya SDN Kalirejo 02 dari SD imbas
menjadi SD inti pada kurun 3 tahun terakhir sebagai
bentuk implementasi MBS dalam aspek PAKEM yang
perlu disoroti secara maksimal. Sehingga berdampak
pada adanya asumsi bahwa pengelolaan pembelajaran
berbasis MBS dalam PAKEM secara optimal akan
mampu memperbaiki kondisi sekolah menjadi lebih
baik dan berkualitas.
Untuk mengetahui secara terperinci
terlaksananya proses PAKEM di SDN Kalirejo 02 ini
diperlukan evaluasi program pendidikan dengan model
CIPP, sehingga mmapu mengetahui secara pasti
konteks, input, proses dan produk proses PAKEM
secara optimal.
40
Untuk menyederhanakan deskripsi penelitian ini
bisa dilihat sebagaimana bagan kerangka berpikir
berikut
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian
Implementasi
MBS Hasil
Evaluasi
MBS dalam
PAKEM Evaluasi Process MBS dalam
PAKEM
Evaluasi conteks MBS dalam
PAKEM
Evaluasi input MBS dalam
PAKEM
Evaluasi Product MBS dalam
PAKEM
Perencanaan MBS