-
BAB II
PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES ,
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES
Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan
membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya,
baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat
berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau
berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan
dari interaksi soasial itu sendiri.
Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern
seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan
manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam
memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini
adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia.
Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan
dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk
-
dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan, dan
kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya
mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja.1 Di
dalam upah sendiri juga ada kebijakan pengupahan yang mengatur guna melindungi
pekerja/buruh yang apabila hak dan kewajibannya sebagai pekerja/buruh tidak
dipenuhi. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan meliputi:
1. Upah minimum;
2. Upah kerja Lembur;
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
6. Bentuk dan cara pembayaran upah;
7. Denda dan potongan upah;
8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
10. Upah untuk membayar pesangon; dan
11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.2
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa prinsip kebijkan pengupahan harus sesuai
dengan kebutuhan hidup yang layak yang diperoleh sehingga pekerja/buruh memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak, di
mana jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu untuk
1 R Joni Bambang,Hukum Ketenagakerjaan. Bandung. Penerbit Pustaka setia Bandung. 2013. Hal 15 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bab X-Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88
-
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi
makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan
jaminan hari tua.3
Pekerja/buruh selain berbicara tentang pengertian umum dan upah yang harus
diberikan, penulis juga melihat bahwa pekerja/buruh harus ada pengertian-pengertian
tentang Hubungan Kerja. Salah satu bidang di antara banyak bidang Hukum
Ketenagakerjaan yang sangat penting jika dikaitkan dengan perlindungan
pekerja/buruh.
B. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
Setelah mengetahui pengertian hubungan kerja dan perjanjian kerja sebagaimana
diterangkan di atas, maka hal pokok lain yang wajib diketahui agar sebuah perjanjian
yang dibuat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak yang melakukan
perjanjian, adalah syarat sahnya sebuah perjanjian. Apabila syarat perjanjian tidak
terpenuhi, maka perjanjian dapat menjadi batal atau bahkan batal demi hukum. Aturan
mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar, yakni :
a. Kesepakatan kedua belah pihak
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja
harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang
3 Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan indonesia. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.2014. Hal 122
-
dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima
pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk
dipekerjakan. Dengan kata lain tidak adanya unsur terjadinya penipuan (dwang),
paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog) dalam kesepakatan kedua belah pihak.
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan
telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberi batasan
umur minimal 18 Tahun bagi seseorang dianggap cakap membuat
perjanjian kerja, sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (26)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi
pengecualian bagi anak yang berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15
Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu
perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Selain itu juga
seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika
seseorang tersebut tidak dibawah pengampuanyaitu tidak terganggu
jiwanya/sehat.
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu
yang diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari
perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh,
yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajibanpara pihak.
-
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pada dasarnya obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang,ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan
yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan
secara jelas.
Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas
kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat
perjanjian lebih bersifat syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang
membuat perjanjian. Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan
yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut
obyek perjanjian. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum artinya bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat subyektif, pihak-pihak yang tidak
memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang tua/wali atau pengampu bagi
yang tidak cakap membuat perjanjiandapat meminta pembatalan perjanjian kepada
hakim. Dengan demikian,perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama
belum dibatalkanoleh hakim.4
4Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi ke-12, PT.
Rajagrafindo Persada, Depok, hlm 64.
-
Unsur perintah pada perjanjian bisa ditemukan pada kewajiban dalam
perjanjian.Namun tidak semua kewajiban mempunyai unsur perintah. Hal prinsip
inilah yang membedakan antara hubungan kerja dan hubungan tentang kerja.
Berdasarkan perbedaan ciri di atas dapat ditarik beberapa unsur-unsurdari hubungan
kerja kerja.5
a. Adanya unsur Pekerjaan (work)
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek
perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan
hanya seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hak ini
dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1630a yang berbunyi: “Buruh wajib
melakukan sendiri pekerjaanya;hanya dengan seizin majikan ia dapat
menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang
dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan
keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jiika pekerja meninggal
dunia, perjanjian kerja batal demi hukum.
b. Adanya unsur Perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan pekerja oleh perusahaan adalah
pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk
melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan
kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan
pasien dan pengacara dengan klienya. Hubungan tersebut bukan
merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada
perintah dan pasien.
5Lalu Husni, Op.Cit, hlm 56.
-
c. Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja.
Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seseorang pekerja bekerja pada
pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur
upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja.
C. Upah Proses
1. Pengertian tentang Upah Proses
Sesuai Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dihubungkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upah proses seharusnya dibayar
sampai putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkuatan hukum tetap (inkracht van
gewijde). sebagaimana yang telah dikatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
pasalnya 155 ayat 2 mengatakan bahwa selama belum ada putusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap maka baik pekerja maupun pengusaha sama-sama melakukan
kewajibannya. Upah proses bisa batal demi hukum apabila memang baik pekerja dan
pengusaha dalam keadaan sama-sama tidak ada tekanan memang tidak melakukan
kewajibannya lagi maka upah proses itu pun tidak bisa ditetapkan. Dalam praktik
peradilan, hakim PHI tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah
proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya
merujuk pada Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kelompok ini
menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak pernah mencabut
Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses
di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi berlaku. Alasannya,
-
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 memiliki kedudukan lebih tinggi dari
Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 telah
mengatur upah proses Pemutusan Hubungan Kerja tanpa batas waktu. Dalam kaitan
upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan Pengadilan
Hubungan Industrial. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah
proses selama enam bulan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar
upah proses lebih dari enam bulan. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha
membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Putusan menghukum
enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000. Putusan
hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap
merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Dan, yang memutus upah
proses sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), murni berkiblat pada
Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tiga macam putusan di
atas sekaligus sebagai petunjuk bahwa di dalam PHI terdapat tiga aliran hakim
mengenai upah proses.6
Dalam praktik, waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perselisihan PHK tidak
sama. PHI tingkat pertama relatif mampu menyelesaikan pemeriksaan perkara dalam
waktu 50 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004. Pencari
keadilan mulai mengeluhkan masalah waktu khususnya di tingkat kasasi. Penyebab
utama adalah UU No 2 Tahun 2004 tidak secara baku mengatur tahapan waktu
berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat
pertama.
6 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef3dcaacf2c6/putusan-mk-dan-ragam-tafsir-tentang-upah-proses-phk-broleh--juanda-pangaribuan-
-
Pengusaha tidak semua menyelesaikan kasus PHK menurut hukum. Pengusaha ada
yang melakukan PHK tetapi tidak menyelesaikan PHK pada lembaga yang berwenang
sesuai Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003. Di seluruh PHI, buruh lebih banyak
mengambil inisiatif mengajukan gugatan PHK. Waktu mengajukan gugatan oleh buruh
dilakukan dalam waktu beragam. Dalam praktik, buruh yang mengalami PHK tidak
serta merta mengajukan gugatan. Gugatan diajukan beberapa bulan setelah PHK
terjadi. Karena itu, bila pengusaha mendiamkan kasus PHK sama artinya pengusaha
berinvestasi dengan masalah. Jika gugatan PHK diajukan pada bulan ke sepuluh dan
PHI memutus pada bulan ke tiga belas maka, bila PHI memutus upah proses selama 13
bulan, keadaan itu timbul karena kelalaian pengusaha.
2. Ketentuan-Ketentuan tentang Upah Proses
a. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (2)
dan Ayat (3) berbunyi :
2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan
skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah
beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
-
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (3), Dalam
hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan
persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.
b. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Nomor
Kep-150/Men/2000 pasalnya yang ke 17 berbunyi :
1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia
Daerah atau Panitia Pusat sedangkan pengusaha tidak melakukan
skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap
memenuhi segala kewajibannya;
2. Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh
pengusah dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka
pengusaha wajib
membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar
100%(seratus perseratus);
3. Dalam hal pekerja tidak memenuhi segala kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kemauan pekerja
-
sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah pekerja
selama dalam proses;
4. Dalam hal pegusaha dan pekerja tidak dapat memenuhi segala
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan
karena pekerja dilarang bekerja oleh pengusaha atau bukan atas
kemauan pekerja sendiri, maka pengusaha wajib membayar upah
pekerja selama dalam proses sebesar 75% (tujuh puluh lima per
seratus).
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 antara Pemohon drg.
Ugan Gandar, Ir. Eko Wahyu, dan Ir. Rommel Antonius Ginting, hakim
menyatakan di Amar Putusan :
1. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Republik Undonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia nomor 4279)
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum
berkekuatan hukum tetap;
2. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
-
Dengan demikian selama putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan
hukum tetap, pekerja/buruh dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya,
atau pengusaha juga bisa melakukan skorsing kepada pekerja/buruh.
B. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor
01/G/2013/PHI.Yk, yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Para Pihak dalam Kasus
Kasus yang terjadi adalah antara penggugat Abdul Jalil, pekerjaan : Karyawan
Hotel Ogh Doni Jogja sebagai Staf Engineering yang beralamat di jalan tribata No.
1A, Yogyakarta, 55222. Alamat tempat tinggal Abdul Jalil : Karang Elak, RT/RW
009/004, Desa Pereng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang masing-masing bernama
: Mahendra Handoko, S.H.I., Advocate & Legal Consultant pada Law Firm
Mahendra&Partner yang beralamat di kompleks perkantoran Theater Msataram
Blok B-3, Jalan Dr. Sutomo No.57- Daerah Istimewa Yogyakarta, baik
-
sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal
28 November 2012 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Yogyakarta pada tanggal
10 Januari 2013 di bawah register No: W.13-U1/1/SK/PHI/2013, untuk selanjutnya
disebut sebagai Penggugat. Sedangkan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa),
beralamat di jalan Tribata No. 1A Yogyakarta, 55222, dalam hal ini diwakili oleh :
Afiq Anysyori CH, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 18 Februari
2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2013 di bawah register
Nomor : W13-U1/8/SK/PHI/2013 untuk selanjutnya sebagai tergugat.
2. Kasus Posisi
Bahwa Penggugat/Pemohon adalah karyawan hotel Tergugat/Termohon yang
ditugaskan pada bagian staf Engineering, mulai bekerja menjadi karyawan hotel
pada bulan Januari 1998, Penggugat/Pemohon telah bekerja di hotel selama 14
Tahun, selama 14 Tahun bekerja Penggugat/Pemohon hanya mendapatkan upah
sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) setiap bulannya, yang mana
besaran upah tersebut tidak sesuai dengan nilai Upah Minimum Propinsi D.I.
Yogyakarta dan bertentangan dengan isi Surat Keputusan Gurbernur D.I.
Yogyakarta Nomor 298/KEP/2011 tentang Upah Minimum Propinsi yakni sebesar
Rp. 892.660 (Delapan Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Enam Ratus Enam Puluh
Rupiah). Tergugat/Termohon melaksanakan jam kerja 3 shift : a. Pukul 07.00 WIB
s/d 15.00 WIB; b. Pukul 15.00 WIB s/d 23.00 WIB; c. Pukul 23.00 WIB s/d 07.00
WIB dan Penggugat/Pemohon bekerja di hotel Tergugat/ Termohon selama 8 jam
sehari serta Penggugat/Pemohon kerap kali bekerja atau mendapatkan giliran kerja
over time/lembur pada saat hari libur (tanggal merah) dan hari libur nasional,
kemudian selama Penggugat/Pemohon kerja over time/lembur, Tergugat/
-
Termohon tidak pernah memberikan upah atas kerja over time/lembur tersebut dan
Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan upah lembur atas waktu kerja lembur yang
telah dijalaninya selama 14 tahun dan Penggugat/ Pemohon hanya mendapatkan
gaji sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Seharusnya upah lembur wajib
diberikan oleh Tergugat/ Termohon kepada karyawannya sebagaimana sesuai
dengan pasal 77 dan 78 UU No. 13 Tahun 2003 jo. Kepmenakertrans No.
102/MEN/VI/2004, selama Penggugat/Pemohon menjadi karyawan
Tergugat/Termohon, Penggugat/Pemohon tidak dimasukkan dan atau
diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sehingga
kemudian Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja
yang telah diberikan dan atau pemerintah telah memberikan jaminan hak-hak
pekerja yakni berupa : Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan
Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana kemudian diatur
dalam UU No. 3 Tahun 1992 dan PP No. 14 Tahun 1993. Selama
Penggugat/Pemohon menjadi karyawan Tergugat/Termohon, Tergugat/Termohon
tidak pernah memberikan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang sesuai dengan
ketentuan Permenakertrans No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya kepada
Penggugat/Pemohon.
Bahwa awal mula terjadinya permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial
adalah pada saat Penggugat/Pemohon mendapatkan Surat Peringatan dari pihak
Tergugat/Termohon tertanggal 11 Oktober 2011 dengan alasan
Penggugat/Pemohon datang terlambat, pulang awal tanpa ada pemberitahuan
kepada atasan/security, lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada
saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk
menyalakan genzet, atas kejadian tersebut pada tanggal 31 Januari 2012 Pihak
-
Tergugat/Termohon melakukan pemanggilan kepada Penggugat/Pemohon dan
sekaligus memberikan surat yang beriisi “Penggugat/Pemohon diminta untuk
mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang
engineering” dan di dalam surat tersebut sekaligus menerangkan perihal hak-hak
dari pengunduran diri dan Penggugat/Pemohon diminta agar berkoordinasi dengan
pihak personalia dan Security koordinator. setelah hal tersebut dikordinasikan
dengan pihak personalia, alhasil didapati nilai yang ditawarkan pihak
Tergugat/Termohon adalah sebesar Rp. 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) atau 2 (dua)
kali gaji dan kemudian tawaran uang tersebut ditolak oleh Penggugat/Pemohon
dengan alasan dan pertimbangan lamanya waktu Penggugat/Pemohon bekerja,
kemudian Penggugat/Pemohon mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan Tergugat/Termohon, namun tidak ada titik temu, dan akhirnya
Penggugat/Pemohon mencatatkan permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial
tersebut ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sekitar
awal bulan April tahun 2012. Menindaklanjuti pencatatan Perselisihan Hubungan
Industrial tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta
telah melakukan klarifikasi dengan memanggil Penggugat/Pemohon dan
Tergugat/Termohon ke kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota
Yogyakarta dan kemudian beberapa kali diadakan pertemuan/pemanggilan untuk
mediasi/sidang, PERTAMA pada tanggal 09 Mei 2012, KEDUA tanggal 11 Juni
2012, KETIGA tanggal 15 Juni 2012, KEEMPAT tanggal 28 Juni 2012), KELIMA
10 Juli 2012, KEENAM 11 Juli 2012, dan dibuat Perjanjian Bersama pada hari
Kamis 19 Juli 2012 bertempat di ruang Pertemuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, namun pertemuan atau mediasi yang telah diupayakan tetap tidak
membuahkan hasil, atas permasalahan tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
-
Transmigrasi Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor :
565/7321 tertanggal 07 November 2012 dan ditandatangani oleh Kepala Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan Mediator yang
ditujukan kepada Tergugat/Termohon dan Penggugat/Pemohon yang berisi anjuran
agar Pihak Tergugat/Termohon membayarkan hak-hak Penggugat/Pemohon
sebesar Rp. 33.215.143,15 (Tiga Puluh Tiga Juta Dua Ratus Lima Belas Ribu
Seratus Empat Puluh Tiga Rupiah Lima Belas Sen) dan Tergugat/Termohon hanya
menawarkan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah),
kemudian diadakan beberapa kali pertemuan/mediasi/sidang, Pertemuan
PERTAMA tanggal 27 Juni 2012, KEDUA tanggal 04 Juli, KETIGA tanggal 19
Juli dan KEEMPAT tanggal 25 Juli 2012, Penggugat/Pemohon tetap pada sikapnya
yakni meminta hak-hak pekerja sesuai dengan Peraturan Perundang-udangan.
Sementara sikap Tergugat/Termohon-pun tetap yakni hanya memberi uang
kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) kepada Penggugat/Pemohon
yang mana hal tersebut sesuai dengan Surat Risalah Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial tertanggal 30 November 2012 terlampir yang ditandatangani
oleh Mediator Hubungan Industrial Bpk. R. Irwantono, SH.
Upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari Tergugat/Termohon. Berdasarkan
pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal
19 September 2011, Penggugat/Pemohon mohon kepada Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk berkenan memberikan
putusan sela berupa perintah kepada Tergugat/Termohon untuk membayar Upah
Proses yang belum dibayarkan dan hak–hak lainnya yang biasa diterima
Penggugat/Pemohon sebagai pekerja, selama proses penyelesaian terhitung dari Bulan
-
Januari- Desember 2012, secara tunai dan sekaligus, yaitu sebesar : 12 Bulan x Upah
Minimum Propinsi : 12 x Rp. 892.660 = Rp. 10.711.920 Uang Tunjangan Hari Raya
tahun 2012 = Rp. 892.660
= Rp. 11.604.580
(Sebelas Juta Enam Ratus Empat Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Rupiah).
oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil
menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan
upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.
Atas gugatan tersebut Tergugat telah mengajukan jawabannya tertanggal 26
Februari 2013, sebagai berikut:
EKSEPSI
Gugatan Penggugat/Pemohon Prematur
Bahwa gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada pasal 156 Ayat (2) dan
Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang No:13 tahun 2003 untuk menuntut pesangon
maupun uang penghargaan sebagai pekerja/buruh yang telah di PHK adalah
keliru/salah, karena pada pokoknya dalam pasal telah jelas dinyatakan bahwa: “uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya
diterima pekerja/buruh diberikan oleh pengusaha apabila telah terjadi pemutusan
hubungan kerja”.
-
Bahwa pada saat ini Penggugat/Pemohon masih berstatus sebagai pekerja/buruh di
Hotel OGH DONI JOGJA (Yogya Plassa), sehingga dengan demikian dirinya belum
berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian
hak lainnya, maka dengan demikian gugatan Penggugat/Pemohon haruslah dinyatakan
premature.
Gugatan Penggugat/Pemohon Kabur (Obscuur Libel)
Bahwa gugatan penggugat/Pemohon sangat tidak jelas dan kabur, karena perihal
gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon adalah: Gugatan Perselisihan
Hubungan Industrial, namun di dalam petitum Penggugat/Pemohon mengajukan
permohonan Pemutusan Hubungan Kerja beserta hak-haknya. Bahwa berdasarkan
hal-hal tersebut di atas jelaskah bahwa gugatan Penggugat/Pemohon PREMATUR dan
kabur (obscuur libel), sehingga oleh karenanya haruslah ditolak atau setidak-tidaknya
dinyatakan tidak dapat diterima.
JAWABAN (Pokok Perkara):
1. Bahwa Tergugat/Termohon menolak seluruh dalil-dalil gugatan
Penggugat/pemohon untuk seluruhnya, terkecuali yang nyata-nyata diakui
kebenarannya oleh Tergugat/Termohon.
2. Bahwa tidak benar apabila Penggugat/Pemohon mendalilkan bahwa dirinya selama
14 (empat belas) tahun hanya mendapatkan upah sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu
rupiah).
3 Bahwa Tergugat/Termohon telah memberikan upah kepada Penggugat/Pemohon
sesuai dengan Upah Minimum Propinsi dan juga Tunjangan Hari Raya (THR)
sebagaimana mestinya.
-
4 Bahwa walaupun Tergugat/Termohon tidak mengikutsertakan program Jamsostek
para pekerja/buruh, namun Tergugat/Termohon telah menjamin kesehatan dan
keselamatan para pekerja/buruh, hal ini telah dibuktikan oleh Tergugat/Termohon
dengan memberikan bantuan atau santunan yang sangat layak kepada para
pekerja/buruh ketika ada pekerja/buruh yang mengalami halhal sebagaimana tercantum
dalam Jamsostek.
5 Bahwa Penggugat/Pemohon bukanlah pekerja yang baik karena sering melakukan
kesalahan yang sama dan seakan-akan memang disengaja agar kemudian dilakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan maksud agar mendapatkan pesangon dan
hak-hak lainnya sebagaimana layaknya pekerja yang telah di PHK oleh suatu
perusahaan.
6. Bahwa kesalahan besaryang diulang-ulang oleh Penggugat/Pemohon antara lain:
• Sering mangkir/tidak masuk kerja tanpa alasan maupun pemberitahuan terlebih
dahulu.
• Membiarkan enginering kosong pada saat listrik padam/mati padahal sedang ada
event (kegiatan tamu hotel).
• Bekerja seenaknya (tidak melakukan perintah atasannnya) sehingga membuat
rekan-rekan pekerja lainnnya menghindari jangan sampai bekerja satu shift dengan
Penggugat/Pemohon.
7. Bahwa dengan kesalahan tersebut di atas maka sangat wajarapabila kemudian
Tergugat/Termohon memberikan surat peringatan I dan kemudian dilanjutkan dengan
Surat Peringatan II pada tanggal 11 Oktober 2011.
-
8. Bahwa walaupun Penggugat/Pemohon telah melakukan kesalahan-kesalahan besar
(fatal), namun tergugat/Termohon tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)
dan tetap akan memperkerjakan Penggugat/Pemohon dengan cara memberikan suatu
pekerjaan lain yang layak.
9. Bahwa namun demikianpada kenyataannya, semenjak disampaikan Surat Peringatan
II (11 Oktober 2011), Penggugat/Pemohon malah tidak pernah lagi masuk kerja
(mangkir) sehingga hal ini membuat kacaunya bagian enginering dan tentu saja hal ini
sangat merugikan perusahaan (hotel), dan kemudian mengajukan gugatan.
10. Bahwa oleh karena Penggugat/Pemohon telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja
atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan buktibukti
yang sah, maka hal tersebut dikualifikasikan mengundurkan diri (sesuai Pasal 168 Ayat
(1), maka oleh karenanya gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada Pasal
156 Ayat (2) jo. Pasal 164 Ayat (3) haruslah ditolak.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk.
Menimbang, bahwa Gugatan Penggugat telah pula dilampiri Risalah Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial yang diterbitkan serta ditandatangani Mediator Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kota Yogyakarta tertanggal 30
Nopember 2012, dengan demikian Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Yogyakarta berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas
perkara ini bahwa atas Gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah menyampaikan
-
bantahannya melalui Eksepsi, Jawaban Pokok Perkara, sekaligus mengajukan Gugatan
Rekonvensi, mengingat ketentuan Pasal 163 HIR yang menyatakan : “Barang siapa
yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian
untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Dengan demikian baik
Penggugat maupun Tergugat dibebani beban pembuktian yang seimbang, yang harus
dibuktikan kebenarannya, hanyalah apa yang disankal saja oleh yang digugat baik
dalam Konvensi maupun rekonvensi. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis
Hakim.
Sebelum perkara ini masuk ke dalam pengadilan antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh
Doni Jogja, telah diadakan mediasi untuk kedua belah pihak namun oleh karena
mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil menggugat pengusaha
Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan upah proses di posita
gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.
Selanjutnya, dalam Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.YK, hakim
mempertimbangkan permintaan upah proses pada bagian pertimbangan hukumnya
yang isinya tidak mengabulkan permintaan upah proses oleh Abdul Jalil.
-
C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk yang menyatakan hubungan
hukum antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa)
Dikualifasikan Sebagai Hubungan Kerja
Das sollen Upah Proses terdapat didalam Pasal 155 Ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi Ayat (2)
“Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum
ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala
kewajibannya”, dan Ayat (3) “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”.
Kemudian terdapat juga didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
37/PUU-IX/2011 Amar putusannya yang ke 2 berbunyi, Frasa “belum ditetapkan”
dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap, atau apabila diperjelas kalimatnya
menjadi “Selama Putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan hukum tetap
pekerja dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya. Kemudian das sein
dalam putusan ini adalah, pekerja tidak bekerja maka pengusaha tidah memberikan
-
upah (prinsip no work no pay) sehingga kemudian pertimbangan hakim tidak
mengabulkan permintaan upah proses.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan
kerja ada setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam
suatu perjanjian kerja. Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja
yang telah melakukan pekerjaan, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam
hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja dan atas jasanya dalam bekerja
yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sebelum penulis menganalisis lebih jauh mengenai pelaksanaan perjanjian kerja
antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja ada baiknya dilihat kembali duduk
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai perbedaan pertimbangan
hukum Majelis Hakim tentang status hubungan hukum yang terjadi.
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio
decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai pada
putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan
memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan
segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiel
tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan
hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut.7 Maka setelah
dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus kepada
7 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 158.
-
kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar pada
fakta-fakta materielnya.
a. Objek dan Subjek Perselisihan
Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab sebelumnya, maka
penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek dan subjek dalam perkara yang
sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah hal yang dipertentangkan atau yang
menjadi isu hukum dalam perkara antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh Jogja.
Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut.
Jika membicarakan hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah tidak lepas
dari titik awal terjadinya suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tidak memberikan
suatu rumusan dari perikatan, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut
rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih,
yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas
prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut.8
Objek dalam perkara aquo ialah permasalahan akibat penggugat yang sebagai
pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis
yang dilengkapi dengan bukti-bukti yang sah sebagaimana telah juga disebutkan dalam
kasus posisi. Karena Penggugat telah lalai dalam kewajibannya sebagai karyawan
engineering yang disebabkan lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan
pada saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga
untuk menyalakan genzet serta mangkir 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
8 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan I, 1996, hal. 1.
-
keterangan tertulis. Juga kelelaian Tergugat terhadap kewajibannya terkait gaji dan
hak-hak Penggugat.
Dengan demikian pada hakikatnya setiap hubungan kerja yang dibuat oleh para pihak
didasari dengan perjanjian kerja. Seperti pelaksanaan hubungan kerja yang dibuat
antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja didasari dengan perjanjian kerja karena
perjanjian kerjasama tersebut sebenarnya merupakan perjanjian kerja. Syarat sah
perjanjian kerja diatur berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
Bahwa sesuai fakta yang ada dalam pembuatan perjanjian kerja tersebut antara
Pemberi kerja yaitu Hotel Ogh Doni Jogja dengan pihak pekerja/buruh yaitu Abdul
Jalil telah sepakat melakukan perjanjian kerja.
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
Kedua belah pihak telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan
hubungan kerja.
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
Abdul jalil sebagai Pekerja/buruh di Hotel Ogh Doni Jogja. Penggugat mulai bekerja
sebagai karyawan hotel yang ditugaskan menjadi staf engineering di Hotel Ogh
Doni Jogja sejak bulan januari tahun 1998 telah bekerja di hotel selama 14 tahun
lamanya.
-
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerjaan sebagai Karyawan Hotel merupakan pekerjaan yang halal, tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Obyek
dalam perjanjian ini sudah disebutkan secara jelas.
Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga semua syarat tersebut harus
terpenuhi agar perjanjian tersebut sah. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat
subyektif, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi berakibat dibatalkannya perjanjian.
Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif apabila tidak terpenuhi batal
demi hukum perjanjian tersebut.
Setelah penulis membahas mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja seperti yang
telah diuraikan di atas, selanjutnya akan dijelaskan pihak dalam perjanjian kerja ialah
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dalam perjanjian kerja dan
hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU
Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 dan angka 5 UU Ketenagakerjaan
menyatakan:
Pasal 1 angka 3 “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Pasal 1 angka 4 “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum,
atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain”.
-
Pasal di atas membuktikan bahwa Hotel Ogh Doni Jogja (Tergugat) merupakan
subjek hukum dalam hukum ketenagakerjaan. Karena Hotel Ogh Doni Jogja
merupakan suatu bentuk usaha yang berbadan hukum yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan Abdul Jalil dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan
demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara antara
Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja ialah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undangt Penyelesaian Pengadilan
Hubungan Industrial.
Pendapat peneliti berkenaan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Hubungan Imdustrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menyatakan bahwa
Abdul Jalil berhak atas uang pesangon dan penggantian hak sebagai pekerja setelah di
PHK sudah tepat. Berdasarkan bukti dipersidangan bahwa hubungan kerja antara
Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja telah berlangsung selama 14 tahun
berturut-turut. Sesuai ketentuan pasal 57 ayat (2) UUK jo pasal 10 ayat (3) Kepmen No.
100/Men/VI/2004 yang menyatakan bahwa, “ Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu”. Hakim pun tidak mempertimbangkan upah proses karena di petitum
dimintakan lagi tentang upah proses, seharusnya bila di posita ada sekalipun tidak
dicantumkan dalam petitum, hakim akan mempertimbangkan upah proses tersebut.
Penulis tidak sependapat dengan eksepsi tergugat yang menyatakan Gugatan
penggugat/pemohon prematur dan gugatan penggugat/pemohon kabur, padahal sudah
sangat jelas apa yang sudah dipaparkan oleh penggugat benar adanya dan sesuai
dengan bukti-bukti yang jelas, peneliti juga tidak sependapat dengan Tergugat yang
menyatakan hubungan antara para Penggugat dengan Tergugat bukan merupakan
-
hubungan kerja seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tetapi
merupakan hubungan perdata berdasarkan adanya Perjanjian Kerjasama sebagaimana
diatur dalam KUHPerdata. Jika dikatakan sebagai perjanjian kerjasama antara pihak
yang membuat perjanjian mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, yang
akhirnya menciptakan kedudukan yang sederajat. Tetapi dalam kasus yang terjadi
antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja, perjanjian yang dibuat tidak
menunjukan kedudukan yang sama dan seimbang.
Berdasarkan analisis di atas mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial Yogyakarta yang menyatakan Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa
tidak benar Tergugat telah memberikan upah kepada Penggugat telah sesuai dengan
Upah Minimum Propinsi D.I. Yogyakarta, yang benar bahwa Tergugat telah
memberikan Upah kepada Penggugat berdasarkan bukti P-8 sebesar Rp 625.000,-
terdiri dari Gaji Pokok Rp 500.000,- + Uang makan Rp 125.000,- berarti masih
dibawah Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tahun 2011 yang
ditetapkan sebesar Rp 808.000,- per-bulan, bahwa mengingat Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor :
PER-04/MEN/1994 Tanggal 16 September 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan; Pasal 3 ayat (1) menyatakan : “Besarnya THR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih
sebesar 1 (satu) bulan upah;
b. dst; Pasal 3 ayat (2) menyatakan : “ Upah satu bulan sebagaiman dimaksud dalam
ayat (1) adalah Upah Pokok ditambah Tunjangan Tetap”. Di kasus ini penulis juga
-
melihat bahwa penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk kerja
sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan
November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji
kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan
demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat
sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.
Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berkesimpulan karena Tergugat
tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana dipersyaratkan Pasal 161 dan pasal 168
Undang undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka untuk keadilan
dan kemanfaatan bagi Pekerja dan keluarganya yang membutuhkan perlindungan,
maka konsekuensinya Tergugat sebagai pengusaha berkewajiban memberikan
kompensasi pesangon 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2) dan Uang penghargaan masa
kerja 1 x berdasarkan ketentua pasal 156 ayat (3) dan uang Penggantian hak
berdasarkan pasal 156 ayat (4). Hal demikian sudah tentu pertimbangan hukum dari
Majelis Hakim tingkat I sudah tepat dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Majelis
Hakim juga memberikan tanggapan untuk tidak menanggapi posita penggugat tentang
upah proses karena penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk
kerja sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan
November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji
kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan
demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat
sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.
Sehingga penulis setuju bahwa atas pertimbangan hakim diputusan ini tidak perlu
ada upah proses karena sudah jelas penggugat tidak pernah lagi bekerja di hotel ogh
-
doni Jogja selaku tergugat dan Penggugat dan tergugat sama-sama sudah tidak
melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.