10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. StresKerja
2.1.1. Definisi stres kerja
Menurut (Selye, dalam Beehr, et al., 1992)
“Work stres is an individual’s response to work related environmental stresors.
Stres as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or
behavioural reaction”
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber
atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis,
psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan
pekerjaan berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja merupakan segala
kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat
menimbulkan stres kerja.
Menurut (Beehr and Newman, 1978 ).
“a condition wherein job related factors interact with the worker to change(
disrupt or enhance) his or her psychological condition such that the person is
forced to deviate from normal fuctioning”
Definisi tersebut melihat stres kerja adalah kondisi dimana tuntutan
pekerjaan melebihi kemampuan pekerja menghadapinya sehingga menyebabkan
tergganggunya fungsi normal fisik maupun psikologis sang pekerja.
11
Bunk etal. (1998) mengatakan bahwa stres kerja adalah suatu hasil dari
ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan individu dan apa yang disediakan oleh
pekerjaannya, atau ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan
pekerja. Ross dan Altmaeier (1994) mengatakan bahwa stres kerja adalah interaksi
antara kondisi kerja dan karakteristik pekerja, dimana tuntutan dari pekerjaan
melebihi kemampuan yang dimiliki oleh pekerja untuk menghadapinya. Dari
keempat definisi stres kerja diatas dapat diambil kesimpulan bahwastres kerja
adalah sumber dari hasil ketidaksesuaian individu dengan lingkungannya
dikarenakan kondisi dimana tuntutan pekerjaan melebihi kemampuan pekerja
menghadapinya.
2.1.2. Definisi stres kerja guru
Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) mengungkapkan
guru adalah orang yang pekerjaanya mengajar. Kyriacou (dalam Alunpah, 2005)
mendefinisikan stres guru sebagai pengalaman seorang guru yang tidak
menyenangkan, seperti ketegangan, frustasi, cemas, marah, dan depresi, sebagai
akibat dari aspek pekerjaan seorang guru.
Seamon dan Kendrick (dalam Yulianti, 2000) mengatakan bahwa besarnya
tanggung jawab, beban dan tuntutan kerja yang harus ditanggung oleh guru tidak
sebanding dengan pandangan masyarakat terhadap profesi guru dan gaji yang
diterimanya. Keadaan inilah yang menyebabkan guru memiliki kemungkinan
lebih rentan terhadap stres kerja dibandingkan dengan profesi lainnya.
12
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa stres kerja guru adalah
tekanan yang terjadi di bidang pekerjaan sebagai akibat dari ketidakseimbangan
antara karakteristik seorang guru dengan tuntutan pekerjaan dan lingkungan yang
dianggap mengancam kesejahteraan guru, yang bisa merubah kondisi fisiologis
dan psikologis.
2.1.3. Aspek stres kerja
Behr dan Newman (dalam Sihombing, 2007) menempatkan stres kerja ada
tiga aspek, yaitu
a) Aspek Psikologis
Aspek yang terdiri dari kecemasan, ketegangan, menurunnya harga diri
dan rasa percaya diri, mengalami kebosanan, depresi, dan kehilangan
semangat hidup.
b) Aspek fisiologis
Yaitu meningkatnya detak jantung, tekanan darah, mudah lelah secara
fisik, kematian, gangguan pernafasan, sering berkeringat, kepala pusing,
migrain, ketegangan otot dan problem tidur.
c) Aspek perilaku
Aspek perilaku yang tampak dari menunda atau menghindari pekerjaan,
meningkatnya frekuensi absensi, menurunya produktivitas kerja,
meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan hubungan
interpersonal dengan keluarga dan teman.
13
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Stres dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Luthans (2008: 298 –
302), sumber-sumber stres kerja meliputi :
a. Sumber stres diluar organisasi, terdiri dari: adanya perubahan sosial dan
teknologi, keadaan ekonomi, pindah rumah, perbedaan ras dan keadaan
masyarakat.
b. Sumber stres dari organisasi, yaitu:
1) Kebijakan organisasi yang meliputi penilaian kinerja kerja yang tidak
adil, sistem penggajian yang tidak adil, peraturan yang kaku, prosedur
yang tidak jelas, sering berpindah pekerjaan, serta deskripsi pekerjaan
yang tidak realistis.
2) Struktur yang berupa kurangnya kesempatan mengembangkan diri,
kurangnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, situasi yang
sangat formal, departemen yang tidak memiliki otoritas, konflik atasan
terhadap bawahan.
3) Kondisi fisik, seperti: kurangnya privasi, cuaca yang tidak baik,
kebisingan bahaya radiasi, situasi kerja yang berbahaya, pencahayaan
yang kurang.
c. Sumber stres kelompok seperti kurangnya dukungan sosial, konflik
interpersonal, dan konflik kelompok dan
d. Sumber stres kerja individual, seperti: konflik peran, ambiguitas,
perubahan, kehidupan dan karier.
14
Stessor kerja bisa datang dari tempat kerja, stresor tersebut adalah:
1. Kondisi kerja, yang termasuk dalam kondisi kerja adalah:
a) Beban kerja yang berlebihan yaitu beban kerja dapat bersifat
kuantitatif, beban dapat muncul ketika tuntutan fisik dari pekerjaan
melebihi kemampuan yang dimiliki oleh pekerja. Secara kualitatif,
beban muncul ketika pekerjaan terlalu kompleks atau sulit dan
kemampuan teknis atau ketrampilan yang dimiliki oleh pekerja tidak
dapat memenuhi tuntutan tersebut.
b) Work underload, yaitu suatu kondisi dimana pekerjaan dinilai tidak
menantang dan tidak menarik minat ataupun perhatian pekerja. Hal ini
dapat terjadi karena pekerjaantidak menuntut digunakannya seluruh
kemampuan yang dimiliki oleh individu. Pengulangan pekerjaan,
dimana pekerjaan harus melakukan pekerjaan yang sama berulang-
ulang kali dapat menimbulkan kebosanan dan lama-kelamaan
menyebabkan stres kerja. Keadaan ini sering disebut dengan asembly-
line hysteriadan sering kali terjadi pada orang yang bekerja dibidang
perakitan atau di suatu organisasi dengan birokrasi yang rumit.
c) Kondisi lingkungan kerja yang tidak mendukung. Kondisi kerja yang
berbahaya juga dapat memenuhi stres kerja. Tempat kerja yang bising
adalah salah satu contoh keadaan yang dapat memicu stres kerja.
Selainitu penggunaan teknologi yang terbatasjuga dapat memicu stres
kerja (Ross & Altmaeier, 1994).
15
2. Ambiguitas peran merupakan suatu hal yang sering dikatakan berkaitan
dengan stres kerja (Rice, 1999). Rice mengatakan bahwa ambiguitas peran
terjadi ketika individu tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh
perusahaan dan dirinya. Selain itu ambiguitas peran dapat dialami ketika
terdapat ketidakjelasan tujuan dari suatu pekerjaan atau batasdialami
ketika terdapat ketidakjelasan tujuan dari suatu pekerjaan atau batas-batas
yang dimiliki oleh pekerja.
3. Hubungan interpersonal ditempat kerja merupakan suatu bagian penting
dari kepuasan kerja. Hubungan interpersonal dapat membantu individu
dalam menghadapi stres (Rice, 1999).
4. Pengembangan karir yakni, harapan pekerja terhadap pekerjaannya namun
terkadang hal tersebut tidak dapat dicapai oleh sebagian pekerja sehingga
menimbulkan stres kerja (Rice,1999).
5. Struktur organisasi yakni, keluhan pekerja tentang adanya struktur
organisasi yang kaku, politik yang berlaku ditempat kerja, atau
pengawasan yang kurang memadai dari manajemen sehingga dapat
menimbulkan stres kerja (Rice, 1999) Sejalan dengan faktor di atas
dikemukakan juga oleh Sarafino, Sutherland & Coper (1990: 72) yang
mengidentifikasi sumber stres, lima diantaranya berasal langsung dari
pekerjaan, sedangkan yang keenam berasal dari interaksi antara
lingkungan sosial dengan pekerjaan.
16
Stresor kerja meliputi :
1. Stresor yang ada dalam pekerjaan itu sendiri, meliputi : beban kerja,
fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama.
2. Konflik peran: peran didalam kerja yang tidak jelas, tanggung jawab yang
tidak jelas.
3. Masalah dalam hubungan dengan orang lain adalah stresor yang potensial,
seperti : hubungan dengan atasan, rekan sejawat, dan pola hubungan
atasan-bawahan.
4. Perkembangan karier: under/over-promotion, juga keselamatan kerja
5. Iklim dan struktur organisasi, adanya pembatasan-pembatasa perilaku
bagaimana iklim budaya didalam organisasi dan
6. Adanya konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga.
2.1.5. Dampak stres kerja
Cox (dalam Gibson, 1992) mengkatagorikan dampak stres sebagai berikut:
a. Dampak subyektif
Kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustasi,
kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup dan merasa kesepian.
b. Dampak perilaku
Kecenderungan mendapat kecelakan, alkoholik, penyalahgunaan obat-
obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok
berlebih.
17
c. Dampak kognitif
Ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, kosentrasi buruk,
rentang perhatian pendek, sangat peka terhadap kritik.
d. Dampak fisiologi
Meningkatkan kadar gula, meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah, kekeringan mulut, tubuh panas dingin.
e. Dampak organisasi
Tingginya absen, rendahnya prokduktivitas, ketersaingan dengan rekan
sekerjanya, ketidakpuasan kerja, menurunnya keterikatan dan kesetiaan
terhadap organisasi
2.2. Kecerdasan Emosional
2.2.1. Definisi kecerdasan emosional
Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosionaladalah suatu
kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta
mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan
maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
Senada dengan definisi tersebut, Mayer dan Solovey (Goleman, 1999;
Davies, Stankov, dan Roberts, 1998) mengungkapkan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain,
dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.
Berbedadengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan
kecerdasan emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif
18
guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat
meraih keberhasilan.Sementara itu Bar-On (2000) menyebutkan bahwa
kecerdasan emosiadalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan
kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu
untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.
Dari beberapa pengertian tersebut ada kecenderungan arti bahwa
kecerdasan emosionaladalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah
emosi dengan baik pada diri sendiri dan orang lain.
2.2.2. Aspek-aspek kecerdasan emosional
Aspek-aspek kecerdasan emosional menurut Goleman 1992 meliputi: 1)
pengelolaan diri, 2) kemampuan untuk memotivasi diri, 3) empati, 4)
keterampilan sosial. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan diri
Pengelolaan diri selalu perlu mempertimbangkan pemahaman tentang diri
yang selalu berada dan berkembang dalam konteks sosial, dimana
pengelolaan diri mengandung arti bagaimana seseorang mengelola diri
dan perasaan yang dialaminya.
b. Kemampuan untuk memotivasi diri
Kemampuan ini berguna untuk mencapai tujuan jangka panjang,
mengatasi setiap kesulitan yang dialami bahkan untuk melegakan
kegagalan yang terjadi. Kemampuan ini untuk memotivasi diri tanpa
19
memerlukan bantuan orang lain. Menurut sebuah situs memotivasi diri
merupakan proses menghilangkan faktor yang melemahkan dorongan
seseorang. Rasa tidak berdaya dihilangkan menjadi pribadi yang lebih
percaya diri. Sementara harapan dimunculkan kembali dengan
membangun keyakinan bahwa apa yang diinginkan bisa dicapai.
c. Empati
Empati ini dibangun dari kesadaran diri dan dengan memposisikan diri
senada, serasa dengan emosi orang lain akan membantu seseorang mampu
membaca dan memahami perasaan orang lain. Menurut Bullmer dalam
sebuah situs menjelaskan bahwa empati merupakan suatu proses ketika
seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan
itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa
hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang
lain. Empati lebih merupakan pemahaman terhadap orang lain ketimbang
suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain.
d. Keterampilan sosial
Menurut Combs dan Slaby (1997) dalam sebuah situs menyatakan bahwa
keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat
diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan
individu, atau bersifat saling menguntungkan atau menguntungkan orang
lain. Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial yaitu
faktor penting untuk memulai dan memiliki hubungan sosial dan dinilai
20
oleh sebaya sebagai anak yang tidak memiliki kompetensi sosial, akan
kesulitan dalam memulai dan menjalin hubungan yang positif dengan
lingkungannya, bahkan boleh jadi akan ditolak atau diabaikan oleh
lingkungan. Individu yang memiliki keterampilan sosial akan lebih efektif
karena ia mampu memilih dan melakukan prilaku yang tepat sesuai
dengan tuntutan lingkungan.
Cooper dan Slaby (1997) memetakan kecerdasan emosional meliputi lima
faktor dengan 21 aspek atau indikator.
a. Situasi saat ini terdiri atas tiga aspek, yaitu:
(1) peristiwa dalam hidup.
(2) tekanan pekerjaan.
(3) tekanan masalah pribadi.
Tiap peristiwa yang dialami dalam pekerjaan atau dalam kehidupan
pribadi antara lain : pernah menjadi korban kejahatan, diberhentikan atau
dipecat, pensiun, berpisah dan bercerai, dan kematian seorang teman atau
anggota keluarga, sakit atau cedera.
b. Keterampilan emosi. Komponen ini terdiri atas tiga aspek, yaitu:
(1) kesadaran diri emosi.
(2) ekspresi emosi.
(3) kesadaran emosi terhadap orang lain.
Komponen ini memuat pernyataan-pernyataan yang mengambarkan
seberapa baik pikiran dan perasaan tentang diri sendiri, seperti kapan bisa
marah, jika sedih tahu alasannya, cenderung menghakimi diri sendiri,
21
mengungkapkan emosi meskipun emosi tersebut negatif, membiarkan
orang lain tahu bila ada perasaan yang tidak enak, dalam berinteraksi dapat
merasakan perasaan orang lain.
c. Kecakapan emosi. Komponen ini terdiri dari lima aspek yaitu : (1)
intensionalitas, (2) kreatifitas, (3) ketangguhan, (4) hubungan antar
pribadi, dan (5) ketidakpuasan konstruktif. Tiap indikator hendak
mengungkapkan seberapa baik pekerjaan itu menggambarkan perilaku
atau tujuan seperti mudah mengabaikan gangguan-gangguan, tahu cara
mengatakan tidak, dapat menyingkirkan imbalan-imbalan jangka pendek
dari sasaran jangka panjang, dapat memusatkan perhatian pada satu tugas
sampai selesai, dapat menunda kepuasan pribadi demi sasaran yang lebih
luas, marah apabila dikritik, sering tidak mengetahui penyebab kemarahan.
d. Nilai-nilai emosi dan keyakinan. Komponen ini terdiri dari enam aspek,
yaitu : (1) belas kasihan, (2) sudut pandang, (3) intuisi, (4) radius
kepercayaan, (5) daya pribadi, dan (6) integritas. Indikator-indikatornya
tersusun untuk memberi nilai seberapa baik pernyataan itu
menggambarkan perilaku atau hubungan, seperti dapat melihat rasa sakit
pada orang lain, meskipun mereka tidak membicarakannya, tidak ragu
menimbulkan kesibukan guna menolong orang lain yang kesulitan, dapat
menemukan solusi atas masalah-masalah yang sulit, menyukai diri apa
adanya, mengikuti kata hati ketika dihadapkan masalah yang sulit, dan
bersedia melakukan kesalahan yang dilakukan.
22
e. Hasil-hasil emosi. Komponen ini terdiri atas empat aspek yaitu : (1)
kesehatan secara umum, (2) kualitas hidup, (3) kecakapan berelasi, dan (4)
kinerja optimal.Indikatornya menunjukkan seberapa sering (jika pernah)
mengalami gejala-gejala seperti sakit kepala karena tegang, sakit dan nyeri
yang sulit dijelaskan, merasa menjadi korban atau dimanfaatkan orang
lain, menyalahkan atau melecehkan orang lain, merasa kelebihan beban
pekerjaan, pikiran kosong, kesal dan putus asa.
Goleman, 1995 (Salovey) menjelaskan lima faktor yang dapat dipelajari
untuk mengembangkan kecerdasan emosional, faktor tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Mengenali emosi diri. Mengenali perasaan yang dirasakan terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau
perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi pemahaman
diri.
b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar dapat terungkap dengan pas
adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri. Kemampuan untuk
menghibur diri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau
ketersinggungan, merupakan hal-hal yang terkait dengan keterampilan
emosional ini.
c. Memotivasi diri sendiri. Penataan emosi sebagai alat untuk mencapai
tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi
perhatian untuk,memotivasi diri sendiri dan menguasai diri serta mampu
melakukan kreasi secara bebas. Pengendalian emosi seperti menahan diri
23
terhadap suatu kepuasan dan pengendalian dorongan hati merupakan
keberhasilan dalam berbagai bidang.
d. Memahami emosi orang lain. Empati adalah kemampuan yang juga
tergantung pada kesadaran diri emosional dan merupakan keterampilan
bergaul berinteraksi dengan orang lain. Jika seseorang diberikan
kemampuan empati yang tinggi, situasi demikian dapat mengarahkan
pekerjaan yang cocok untuk individu tersebut, seperti keperawatan,
pendidikan, penjualan dan manajemen.
e. Membina hubungan. Setelah melakukan identifikasi, hal lain yang perlu
dilakukan untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional yaitu
dorongan memelihara hubungan dan membina hubungan tersebut.
Keterampilan memberikan hubungan merupakan bagian dari keterampilan
sosisal dan dapat menunjang dalam mengembangkan pergaulan.
2.2.3. Efek kecerdasan emosional
Menurut Gunawan (dalam Oktiarini, 2004) dalam materi “7 habits”
beberapa manfaat kecerdasan emosi dibagi pengembangan diri sendiri, yaitu:
a. Lebih dapat berkembang dan berprestasi.
b. Menjadi pribadi yang menyenangkan.
c. Dapat memperbaiki prilaku.
d. Dapat mengendalikan diri.
e. Dapat meminimalisasikan pikiran negatif.
f. Menjadi rileks.
g. Sukses dalam kehidupan.
24
Sedangkan manfaat kecerdasan emosional bagi diri sendiri dan orang lain
yaitu:
a. Lebih bijaksana dalam berelasi.
b. Dapat membina hubungan dengan baik.
c. Dapat mengurangi konflik.
d. Dapat menciptakan iklim organisasi yang nyaman.
e. Memprioritaskan emosi dalam bekomunikasi denganorang lain
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat dilihat bahwa banyak sekali
efek positif dari seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Di
dalam suasana kerja seorang guru yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
akan lebih dapat mengenali emosinya sendiri sehingga mereka dapat mengelola
emosinya sendiri mengungkapkan amarah dengan tepat sehingga tidak merugikan
rekan kerjanya maupun siswa-siswa yang ada di sekolahnya. Mereka akan lebih
dapat berempati terhadap orang lain, dan lebih dapat memikirkan kepentingan
sosial daripada kepentingan pribadinya.
2.3. Kajian Penelitian yang Berhubungan
Berkaitan dengan kecerdasan emosional dan stres kerja guru, penelitian
yang dilakukan oleh Anitasari (2009) menemukan adanya hubungan yang negatif
dan signifikan antara kecerdasan emosional dan stres kerja yang terjadi pada guru-
guru SLB di Kota Malang. Subyek penelitian Anitasari adalah guru-guru SLB.
Penelitian oleh Rohkayati (2010) yang berjudul Hubungan kecerdasan
emosional dan stres kerja pada pegawai Kecamatan Sidoharjo, Kota Surabaya.
25
Menemukan ada hubungan yang positif dan tidak signifikan antara kecerdasan
emosional dengan stres kerja yang terjadi di pegawai Kecamatan Sidoharjodi Kota
Surabaya.
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik hipotesis.
Ada hubungan yang signifikan antara emosional dengan stres kerja pada guru SD.
Makin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki maka makin rendah stres
kerjanya. Sebaliknya, makin rendah emosionalnya makin tinggi stres kerjanya.