12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Masa Nifas
1. Definisi Masa Nifas
Masa nifas merupakan masa setelah proses partus selesai dan
berakhir setelah kira-kira 6-8 minggu hingga organ reproduksi kembali
kedalam keadaan normal seperti pra-hamil (Saleha, 2009). Komplikasi
bisa terjadi pada ibu postpartum seperti hemoragic atau pendarahan post
partum, trombosis, tromboflebitis (Bobak, 2005), maka dari itu diperlukan
suatu asuhan masa nifas untuk menjaga kesehatan ibu postpartum dan
bayinya (Bahiyatun, 2008). Asuhan masa nifas diberikan baik dari segi
fisiologis maupun psikologis (Sulistyawati, 2009).
2. Tujuan Asuhan Masa Nifas
Pemberian asuhan saat masa nifas ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan baik secara fisiologis maupun psikologis bagi ibu dan bayi.
Pada aspek fisiologis bertujuan untuk pencegahan diagnosa dini,
pengobatan komplikasi ibu dan bayi paska persalinan. Peningkatan
kesejahteraan psikologis ibu, ibu mampu melaksanakan perannya dalam
situasi baru, peningkatan pengembangan hubungan yang baik antara ibu
dan anak (Sulistyawati, 2009).
12
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
13
3. Tahapan Masa Nifas
Tahapan yang terjadi pada saat masa nifas antara lain:
a. Periode immediate postpartum
Tahapan pertama yang sering terjadi banyak masalah karena
atonia uteri. Masa ini dimulai ketika masa segera saat plasenta lahir
sampai 24 jam.10 Pemeriksaan yang biasa dilakukan diantaranya
pengeluaran lochea, tekanan darah, dan suhu (Saleha, 2009).
b. Periode early postpartum
Masa antara 24 jam-1 minggu postpartum. Pada periode ini perlu
dipastikan involusi uteri berjalan dengan baik dan normal. Involusi uteri
berjalan dengan baik ketika tidak terjadi pendarahan, lochea tidak
berbau sangat/busuk, gizi ibu terpenuhi, serta ibu dapat menyusui
dengan baik dan produksi ASI baik (Saleha, 2009).
c. Periode last postpartum
Masa antara 1-5 minggu postpartum. Pada masa ini dilakukan
kunjungan rutin paska nifas (Saleha, 2009). Periode selanjutnya yaitu
waktu remote puerperium merupakan waktu yang diperlukan untuk
pulih dan sehat kembali yang lamanya bisa berminggu-minggu, bulan,
tahunan.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
14
4. Perubahan Anatomi dan Fisiologis Masa Nifas
a. Perubahan Sistem Reproduksi
1) Uterus Gravidus, vagina, dan perineum
Ukuran uterus akan kembali mengecil setelah dua hari
postpartum setinggi umbilikus dan setelah 4 minggu kembali pada
ukuran sebelum hamil kurang lebih 30 gram (Saleha, 2009). Vagina
akan mengecil dan timbul ragae (lipatan-lipatan atau kerutan)
kembali ke ukuran normal kurang lebih 6-8 minggu setelah bayi
lahir (Wiknjosastro, 2008).
2) Lochea
Lochea merupakan darah yang dibuang dari rahim berbentuk
cairan sekret. Lochea memiliki bau yang khas. Bau ini tidak seperti
bau menstruasi.
3) Endometrium dan serviks
Hari pertama tebal endometrium 2,5 mm, setelah tiga hari
permukaan mulai rata, sehingga tidak ada pembentukan jaringan
parut. Perubahan serviks dimulai dari kala I dengan perubahan
serviks secara progresif dan diakhiri dengan pembukaan serviks
lengkap. (Bobak, 2005).
b. Perubahan Sistem Pencernaan
Kurangnya makanan berserat selama postpartum dapat
menyebabkan ibu mengalami konstipasi. Faktor lainnya yang
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
15
menyebabkan adalah karena rasa takut ibu ketika buang air besar,
jika terdapat luka pada perineum (Saleha, 2009).
c. Perubahan Sistem Perkemihan
Saluran kencing biasanya akan kembali normal dalam waktu 2
sampai 8 minggu paska melahirkan. Pelvis ginjal dan ureter yang
meregang dan berdilatasi selama proses kehamilan akan kembali
normal pada minggu ke empat (Saleha, 2009).
d. Perubahan Tanda-Tanda Vital
1) Nadi dan Pernafasan
Pada proses persalinan denyut nadi akan mengalami
peningkatan, dapat terjadi bradikardi (50-70 kali/menit) maupun
takikardi. Kebutuhan pernafasan pada ibu partus akan meningkat
karena proses mengejan/meneran.
2) Tekanan Darah
Tekanan darah yang mengalami peningkatan lebih dari 30
mmHg pada systole dan 15 mmHg pada dyastole perlu dicurigai
terjadinya pre-eklamsi pada ibu post partum. Selama beberapa
jam postpartum, ibu dapat terjadi hipotensi orthostik (penurunan
20mmHg) yang ditandai dengan pusing setelah berdiri (Saleha,
2009).
3) Suhu Tubuh
Masa postpartum dapat mengalami kenaikan suhu sekitar
0,5 derajat celcius dari keadaan normal (360C – 37,50C) namun
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
16
tidak lebih dari 38 derajat celcius. Jika suhu tubuh tidak kembali
normal atau meningkat setelah 12 jam post partum perlu dicurigai
adanya infeksi.
e. Perubahan Sistem Endokrin
Selama periode post partum, terjadi perubahan hormon yang
besar salah satunya hormon estrogene dan progesterone akan
diproduksi. Perubahan kadar estrogene dan progesterone yaitu terjadi
fluktuasi hormonal dalam tubuh. Kadar hormone kortisol (hormone
pemicu stres) pada tubuh ibu naik hingga mendekati kadar orang
yang mengalami depresi (Maryunani, 2009).
f. Perubahan Berat Badan
Peningkatan berat badan pada ibu hamil dapat mencapai 10-15
kg (Bahiyatun, 2008). Sebagian besar ibu akan kembali ke ukuran
badan semula setelah 7-8 minggu postpartum, tetapi adapula
beberapa ibu yang memerlukan waktu lebih lama.
5. Adaptasi Psikologis Postpartum
Ada tiga fase penyesuaian ibu terhadap perannya sebagai orang tua,
yaitu fase taking-in, fase taking hold, fase letting go (Potter, 2009).
a. Fase Taking-in
Pada fase ini fokus ibu hanya pada dirinya sendiri. Fase ini
merupakan periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama
sampai hari kedua paska melahirkan. Kelelahan selama persalinan bisa
membuat ibu mudah tersinggung, kekecewaan karena tidak
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
17
mendapatkan apa yang diinginkan, ketidaknyamanan, rasa bersalah
belum mampu menyusui bayinya.
b. Fase Taking-Hold
Fase ini terjadi antara 3–10 hari setelah melahirkan. Pada fase
taking hold, ibu merasa khawatir atau rasa ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Perasaan mudah tersinggung
jika komunikasinya kurang hati-hati. Dalam fase ini, ibu sangat
membutuhkan dukungan dari keluarga
c. Fase Letting Go
Pada fase ini ibu sudah mulai mampu menyesuaikan diri dengan
ketergantungan bayinya. Fase ini merupakan fase menerima tanggung
jawab akan peran barunya sebagai ibu yang berlangsung 10 hari paska
persalinan.
6. Masalah Tanda Bahaya Masa Nifas
Tanda bahaya post partum sangat penting diketahui oleh ibu,
keluarga, dan petugas kesehatan (Bahiyatun, 2008) diantaranya :
a. Pendarahan pervaginam
Pendarahan postpartum (setelah minggu ke-4) yang berwarna
merah menyala melebihi 500 ml setelah bersalin dan dapat bervariasi.
Kekurangan darah dapat dideteksi dari kadar hemoglobin. Pendarahan
ini bisa terjadi secara lambat hingga tidak bisa dideteksi sampai terjadi
syok (Varney, 2007).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
18
b. Infeksi masa nifas
Gejala umum yang muncul dapat berupa uterus yang lembek,
kemerahan, rasa nyeri pada payudara, adanya dysuria. Penyebab adanya
infeksi karena bakteri endogen dan eksogen. Faktor lainnya yang
mempengaruhi adalah nutrisi yang buruk, defisiensi zat besi, persalinan
lama, rupture membrane, episiotomi, dan seksio sesaria (Bahiyatun,
2008).
c. Sakit kepala, nyeri epigastrik, dan penglihatan kabur
Ibu postpartum, umumnya sering mengeluh sakit kepala hebat
atau penglihatan kabur (Bahiyatun, 2008).
d. Pembengkakan wajah atau ekstremitas
Postpartum, perlu dipastikan apakah ibu mengalami gejala
pembengkakan. Periksa adanya varises, kemerahan pada betis,
ekstremitas (tulang kering, pergelangan kaki, atau kaki) mengalami
edema atau tidak.
e. Kontraksi uterus tidak baik (sub involusi uterus)
Beberapa penyebab tidak baiknya kontraksi uterus adalah
peregangan uterus yang maksimal, uterus yang tidak dalam kondisi baik
(tidak kompeten), keadaan umum ibu yang lemah (Bahiyatun, 2008).
f. Tromboflebitis
Inflamasi permukaan pembuluh darah disertai pembentukan
pembekuan darah disebut tromboflebitis. Tromboflebitis cenderung
terjadi pada periode postpartum pada saat kemampuan penggumpalan
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
19
darah meningkat akibat peningkatan fibrinogen, dilatasi vena
ekstremitas bagian bawah disebabkan oleh tekanan kepala janin selama
kehamilan dan persalinan, dan aktifitas pada periode tersebut yang
menyebabkan penimbunan, statis dan membekukan darah pada
ekstremitas bagian bawah.
7. Tujuan Perawatan Post Partum :
a. Meningkatkan involusi uterus menjadi normal dan kembali seperti
bentuk dan ukuran sebelum hamil
b. Meminimalkan komplikasi postpartum
c. Meningkatkan kenyamanan dan penyembuhan pelvis perineal dan
jaringan perineal.
d. Membantu perbaikan fungsi tubuh normal.
e. Meningkatkan pemahaman perubahan fisiologis dan psikologis
f. Memfasilitasi perawatan bayi ke dalam unit keluarga.
g. Memberikan perencanaan pulang yang efektif.
B. Nyeri
1. Defenisi Nyeri.
Smeltzer dan Bare (2002) dalam buku Judha (2012) mendefinikan
nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang actual dan potensional. Nyeri sangat
menganggu dan menyulitkan lebih banyak orang-orang dibanding suatu
penyakit manapun.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
20
Nyeri juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut Internasional Association for
Studi of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subjectif dan emosional yang
tidak menyenangkan yang dapat dikaitkan dengan kerusakan jaringan
actual maupun potensional, atau menggambarkan kondisi kerusakan.
2. Fisiologis nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsangan nyeri. Organ tubuh berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terdapat stimulus kuat
secara potensional merusak. Reseptor nyeri juga disebut nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (Nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielien dari saraf perifer. Berdasarkan letaknya,
nosireseptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada
kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral,
karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri dapat timbul dengan
sensasi yang berbeda-beda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan
subkutan. Nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk
dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi atas
dua kelompok yaitu:
a. Reseptor A delta: merupakan serabut komponen cepat (kecepatan
tranmisi 6-30m/det) yang memungkinkan timbulya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri hilang.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
21
b. Serabut C: merupakan serabut komponen lambat (kecepatan 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan tidak bisa dialokasasi.
Rangsangan yang datang maka serabut saraf besar dan serabut saraf
kecil membawa rangsangan menuju koenu dorsalis yang terdapat pada
medulla spinalis dan terjadi diantara keduanya yang disebut substantia
gelatinosa. Pada subtantia gelatinosa ini dapat terjadi perubahan
modifikasi serta mempengaruhi apakah sensasi nyeri yang diterima oleh
medulla spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat.
Stimulus yang datang tidak adekuat dari serabut besar maka implus
nyeri akan dihantarkan menuju ke sel Tringger (sel T) untuk dibawa ke
otak dan akhirnya menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh tubuh.
Apabila implus nyeri diteruskan ke otak dan di proses dalam tiga tingkat
yang berbeda yaitu pada thalamus sebagai penerima input sensori sari
traktus spino talamikus lateral kemudian diteruskan ke otak. Otak tengah
berfungsi meningkatkan kewaspadaan dari kortek terhadap datangnya
rangsangan, sedangkan dari kortek berfungsi melokalisasi implus dan
implus dipersepsi sesuai dengan lokasi terjadinya nyeri (Tamsuri, 2007).
Fisiologis persepsi nyeri dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
22
Gambar 2.1 Fisiolofi nyeri
3. Penyebab Nyeri
Menurut ignatavicus pada buku Tamsuri (2007), secara umum
stimulus nyeri disebabkan oleh:
a. Kerusakan jaringan
b. Kontraksi atau spasme otot yang menimbulka ischemic type pain
c. Kebutuhan oksigen meningkat tetapi suplai darah terbatas misalnya ada
penekanan vaskuler.
4. Klasifikasi Nyeri
Tamsuri (2007), mengklasifikasikan nyeri berdasarkan waktu
kejadian meliputi:
a. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari satu
detik sampai dengan kurang dari enam bulan yang pada umumnya
terjadi cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan
yang cepat tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
23
b. Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam
bulan, dimana umumnya timbul tidak teratur, interniten atau bahkan
persisten.
Berdasarkan lokasinya, Tamsuri (2007) membedakan nyeri menjadi:
1) Nyeri superfisial merupakan nyeri yang biasanya timbul akibat
stimulasi terhadap kulit seperti laserasi, luka bakar dan sebagainya,
dimana nyeri ini memiliki sensasi yang tajam.
2) Nyeri somatic dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi
pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya
nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perengangan
dan iskemia.
3) Nyeri visceral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
internal.
4) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah
asal kejaringan sekitar.
5) Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang
mengalami amputasi.
6) Nyeri alih (reperred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya
nyeri visceral yang menjalan ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri
pada beberapa tempat atau lokasi.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
24
5. Mekanisme Terjadinya Rangsangan Nyeri
Andarmoyo (2013) mengungkapkan bahwa rangsang nyeri dapat
terjadi pada seseorang dengan beberapa teori, beberapa teori tentang
terjadinya rangsangan nyeri, yaitu:
a. Teori Pemisahan (Specificity Theory)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis
(spinal cord) melalui kornu dorsalis yang bersinapsis di daerah
posterior, kemudian naik ke tractus lissur, dan menyilang di garis
median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat
rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
b. Teori Pola (Pattern Theory)
Nyeri disebabkan oleh berbagai reseptorsensori yang di rangsang
oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulasi reseptor yang
menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Teori ini bertujuan bahwa
rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus
menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat
hipersensitif yang mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat
menghasilkan transmisi nyeri.
c. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
Dalam teori ini dikatakan bahwa nyeri dapat diatur atau di hambat
oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat pertahanan ditutup. Neuron Delta A
dan C melepaskan substansi P untuk mentrasmisi impuls melalui
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
25
mekanisme pertahanan. Selain itu juga terdapat neuron beta A yang
lebih tebal dan lebih cepat dalam melepaskan neurotransmiter
penghambat. Apabila rangsangan yang dominan berasal dari serabut
beta A, maka akan menutup mekanisme pertahanan, pesan yang
disampaikan akan menstimuli mekanoreseptor atau substansi yang
dapat menghambat rangsang nyeri. Namun, apabila rangsangan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka pertahanan tersebut dan klien dapat mempersepsikan sensasi
nyeri.
d. Endogenous opiat Theory
Endorphine adalah opiat endogen tubuh atau morfin alami yang
terdapat pada tubuh. Endorphine mempengaruhi transmisi impuls yang
diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine bertindak sebagai
neurotransmiter maupun neuromodulator yang menghambat transmisi
dari pesan nyeri. Kegagalan dalam melepaskan endorphine
memungkinkan terjadinya nyeri.
6. Respon Psikologi
Respon psikologi sangat berkaitan degan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu
berbeda-beda antara lain:
a. Bahaya atau merusak
b. Komplikasi seperti infeksi
c. Penyakit yang berulang
d. Penyakit baru
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
26
e. Penyakit yang fatal
f. Peningkatan kemampuan
g. Kehilangan mobilitas
h. Menjadi tua
i. Sembuh
j. Perlu untuk penyembuhan
k. Hukuman untuk berdosa
l. Tantangan
m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
n. Sesuatu yang harus ditoleransi
o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian anti nyeri sangat dipengaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalamam masa lalu dan juga factor social
budaya.
7. Respon fisiologis terhadap nyeri
a. Stimulasi simpatik (nyeri ringan, moderat, dan superficial)
1) Dilatasi saluran bronkial dan peningkatan respirasi rate
2) Peningkatan heart ratevasokonstriksi perifer
3) Peningkatan nilai gula darah
4) Diaphoresis
5) Peningkatan kekuatan otot
6) Dilatasi pupil
7) Penurunan motilitas gastrointestinal
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
27
b. Stimulasi parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
1) Muka pucat
2) Otot mengeras
3) Nafas cepat dan irregular
4) Nausea dan vomitus
5) Kelelahan dan keletihan
8. Respon tingkah laku terhadap nyeri
Respon perilaku ternyata nyeri dapat mencakup :
a. Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, mendengkur, dan sesak
napas)
b. Ekspresi wajah (meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir)
c. Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan, otot, peningkatan
gerakan jari dan tangan)
d. Kontak dengan orang lain/interaksi social (Menghindari percakapan,
menghindari kontak social, penurunan rentang perhatian, focus pada
aktifitas menghilangkan nyeri
Meinhart & Mc Caffery dalam buku Tamsuri (2007)
mendeskripsikan 3 fase pengalamam nyeri:
a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yang paling penting,
karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini
memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
28
menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri itu
bersifat subjektif, maka setiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu
orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransinya terhadap nyeri rendah akan mudah
merasa nyeri dengan stimulus kecil. Klien dengan tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya
orang yang toleransi terhadap nyeri rendah sudah mencari upaya
mencengah nyeri, sebelum nyeri datang.
c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti).
Fase ini terjadi saat nyeri sudah terjadi atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan control dari perawat, karena nyeri bersifat
kritis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri.
Apabila pasien mengalami episode yang berulang, maka respon akibat
(aftermarth) dan menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat
berperan dalam membantu memperoleh control diri untuk
meminimalkan rasa takut akan memungkinkan nyeri berulang.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
29
9. Factor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Judha (2012) menuliskan beberapa factor yang mempengaruhi nyeri
adalah:
a. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga peran perawat
harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika suatu patologis dan mengalami kerusakan fungsi.
Pada lansia cenderung menahan nyeri yang alaminya. Karena
menganggap nyeri adalah suatu yang harus dialami dan mereka takut
kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b. Paritas.
Paritas mempengaruhi persepsi terhadap nyeri persalinan karena
primipara mempunyai proses persalianan yang lama dan lebih
melelahkan dengan multipara. Hal ini disebabkan karena serviks pada
klien primipara memerlukan tenaga yang lebih besar untuk mengalami
perengangan karena perngaruh intensitas kontraksi lebih besar selama
kala I persalianan. Selain itu, pda ibu primipara menunjukan
peningkatan kecemasan dan keraguan untuk mengantisipsi rasa nyeri
selama persalinan.
c. Jenis kelamin
Gill dalam buku Tamsuri (2010) menganggap laki-laki dan wania
tidak berbeda secara signifkan dalm merespon nyeri, justru lebih
dipengaruhi oleh factor budaya (contohnya: tidak pantas kalau laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
30
d. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
e. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap
nyeri dan bagaimana mengatasinya. Menurut Judha (2012) hal ini
berkaitan dengan latar belakang budaya individu tersebut.
f. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi perhatian persepsi nyeri. Menurut Gill pada buku
Tamsuri (2007), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri
yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Teknik relaksasi, guided imagery
merupakan teknik untuk mengatasi nyeri.
g. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan bisa
menyebabkan seseorang cemas.
h. Pengalamam masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau,
dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
31
mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
bergantung pada pengalaman dimasa lalu dalam mengatasi nyeri.
i. Pola koping
Pola koping adaptif akan seringkali bergantung mengatasi nyeri
dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengalami nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.
10. Manajemen nyeri
Manajemen nyeri mencakup pendekatan farkamologis dan
nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan
dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil
bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan keberhasilan
terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan
(Smeltzer and Bare, 2002).
a. Farmakologis
Menanggani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi
farmakologis dilakukan dengan kolaborasi dengan dokter atau pemberi
pelayanan lainnya pada pasien. Obat-obat tertentu untuk
penatalaksanaan nyeri mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal
(Smeltzer and Bare,2002). Obat-obat yang dapat mengurangi nyeri
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
32
antara lain : golongan opioid (narkotika), nonopioid/NSAIDs
(nonsteroid anti-imflamsi drugs), analgesic, dan obat anestesi
(Tamsuri,2007).
b. Nonfarmakologis
Penatalaksanaan Non Farmakologis terdiri dari berbagai tindakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulus fisik maupun kognitif, antara
lain:
1) Masase kulit
Masase kulit memberikan efektif penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase ini dipercaya akan merangsang
serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau
menurunkan implus nyeri. Massase adalah stimulus kulit tubuh
secara umum, dipusatkan pada punggung dan bahu, atau dapat
dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh dan dilakukan
sekitar 10 menit pada masing-masing tubuh untuk mencapai hasil
relaksasi yang maksimal.
2) Stimulasi kotralateral
Stimulasi kontralateral adalah stimulasi pada daerah kulit di
sisi yang berlawanan dari daerah terjadinya nyeri. Tehnik ini dapat
berupa garukan pada daerah yang berlawanan jika terjadi gatal,
menggosok jika terjadi kram.
3) Acupressure (Pijat Refleksi)
Pada tehnik ini, terapis memberi tekanan jari-jari pada
berbagai titik organ tubuh seperti pada akupuntur.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
33
4) Transcutaneous Elektrical nerve Stimulation (TENS)
Tehnik ini meggunakan satu unit peralatan yang dijalankan
dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan
sensasi kesemutan, getaran atau mendengung pada area kulit
tertentu. TENS telah digunakan, baik untuk menghilangkan nyeri
akut, maupun kronis. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan
stimulasi reseptor non nyeri di area yang sama dengan serabut yang
menstramisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan teori gerbang
kendali nyeri.
5) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri
ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri, jika
seseorang menerima input sensori yang berlebihan dapat
menyebabkan terhambatnya implus nyeri ke otak.
6) Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri
dengan merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri,
beberapa penelitian menunjukan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri pascaoperasi.
c. Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan invidual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
34
objectik yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologi
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun adanya pengukuran dengan
teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) Skala intensitas nyeri deskritif
Gambar 2.2 Skala intensitas nyeri deskritif
2) Skala intensitas Numerik
Gambar 2.3 Skala intensitas numeric
3) Skala analog visual
Gambar 2.4 Skala Analog visual
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
35
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Gambar 2.5 Skala Bourbonis
Keterangan:
Semakin besar nilai, maka semakin berat intensitas nyerinya:
(1) Skala 0 = tidak nyeri
(2) Skala 1- 3 = nyeri ringan
Secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, tindakan
manual dirasakan sangat membantu.
(3) Skala 4-6 = Nyeri sedang
Secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri dengan tepat dan dapat
mendeskripsikan nyeri, klien dapat mengikuti perintah dengan
baik dan responsif terhadap tindakan manual.
(4) Skala 7-9 = nyeri berat
Secara objektif terkadang klien dapat mengikuti perintah
tapi masih responsif terhadap tindakan manual, dapat
menunjukkan lokasi nyeri tapi tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang, destruksi
dll.
(5) Skala 10 = nyeri sangat berat (panik tidak terkontrol).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
36
5) Skala Nyeri menurut Wong Baker Facial Gramace Scale
Gambar 2.6 Skala nyeri menurut Wong Baker Facial Gramace
Scale
Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara objektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyer sedang : secara objektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dapat
mengikuti perntah dengan baik
7-10 : Nyeri berat : secara objektif terkadang pasien tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukan lokasi nyeri, tidak dapat mendikripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi napas panjang dan distraksi.
Ada beberapa untuk mengkaji intensitas nyeri yang biasanya
digunakan antara lain:
1) Visual analog scale (VAS)
Skala ini dapat diketahui engan kata-kata pada keadaan yang
ekstrem yaitu ‘tidak nyeri’ dan ‘nyeri-nyerinya’. Skala ini idak
memiliki tingkatan yang tepat tanpa angka dan tidak
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
37
memberikan pasien kebebasan untuk memilih dengan apa yang
dialami, ini menyebebkan kesulitan (Tamsuri, 2007).
2) Verbal Rating Scale (VNRS)
Skala ini memiliki nilai numeris dan hubungan anatar berbagai
tingkat nyeri, nyeri ini terdiri dari garis 0-10 cm yang telang
ditentukan terlebih dahulu berdasarkan daerah yang paling nyeri
kemudian diberi skalanya. Walaupun demikian, pasien masih
mengalami kesulitan dalam menentukan angka pada
pengalaman nyeri manusiawi dan membutuhkan perhitungan
yang sistematis (Tamsuri, 2007)
3) Mc Pain Quesioner (MPQ)
Skala ini kombinasi antara verbal dan nilai numeric yang
melekat dan gambar tubuh. Intrument ini mengubah pengenalan
sifat yang multidimensional pengalaman nyeri dengan
menentukan intensitas, kualitas, dan durasi seseorang. Aplikasi
MPq memberikan informasi kuantitatif dalam bentuk rangkaian
skor yang menunjukan dimensi sensorik, afektif, dan evaluasi,
sehingga MPQ bersifat valid, reliable, konsisten, dan berguna.
Apabila digunakan dalam penelitian, deskripsi metode susah
memberikan informasi yang maksimal.
Cara mengkaji nyeri dengan skala intensitas yaitu ibu berhak
memilih 12 kata-kata numeris yang telah ditentukan oleh peneliti dan
dinilai berdasarkan nilai terendah skor 0 dan nilai tertinggi skor 3
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
38
dan dinilai berdasarkan tingkatan nyeri yaitu jumlah skor 16 untuk
nyeri ringan, jumlah skor 7-12 untuk nyeri sedang, dan skor 13-18
untuk nyeri berat.
11. Nyeri Perineum
Nyeri perineum (Perineum pain) didefinisikan sebagai nyeri yang
terjadi pada badan perineum (perineal body), daerah otot dan jaringan
fibrosa yang menyebar dari simpisis pubis sampai ke coccyges oleh karena
adanya robekan yang terjadi baik disengaja maunpun yang rupture
spontan. Kondisi nyeri ini dirasakan ibu berbeda dengan nyeri lainnya.
Nyeri perineum cenderung lebih jelas dirasakan oleh ibu dan bukan
seperti nyeri yang dialami saat berhubungan (intercourse). Nyeri perineum
akan dirasakan setelah persalinan sampai beberapa hari persalinan. Nyeri
ini berbeda dengan nyeri dyspareunia yaitu nyeri khas ketidaknyaman
yang terjadi selama hubungan seksual (intercourse), termaksud nyeri saat
penetrasi. Dyspareunia dapat dikategorikan menjadi dyspareunia
superfisial dan dalam.
12. Dampak Nyeri Perineum
Chaweewan (2007) menyatakan bahwa laserasi perineum
menimbulkan ketidaknyamanan postpartum mengalami keterlambatan
mobilisasi, gangguan rasa nyaman pada saat duduk, berdiri, berjalan dan
bergerak sehingga berdampak pada gangguan istirahat ibu postpartum dan
keterlambatan kontak awal ibu dan bayinya.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
39
C. Ruptur Perineum
1. Definisi
Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa
(Dorland, 1994). Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan
anus panjangnya rata-rata 4 cm (Wiknjosastro, 2005). Klasifikasi ruptur
perineum ada 2, yaitu :
a. Ruptur perineum spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab
tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini
terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
1) Robekan perineum ada 2, yaitu:
a) Anterior : labia, vagina anterior, uretra atau klitoris
b) Posterior : dinding posterior vagina, otot perineum, spincter ani,
mukosa rektum.
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan
pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai
dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya
kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama,
karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak
janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama. (Wiknjosastro H, dkk 2005).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
40
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil dari pada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir
lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah
panggul dengan ukuran yang lebih besar dari pada sirkumferensia
suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan
vagina.(Wiknjosastro H, dkk 2005).
2) Faktor-faktor yang menyebabkan ruptur perineum (Harry Oxorn) :
a) Faktor maternal, mencakup:
(1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
(sebab paling sering).
(2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan.
(3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan.
(4) Edema dan kerapuhan pada perineum.
(5) Varikositas Vulva yang melemahkan jaringan-jaringan
perineum.
(6) Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit
sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior.
(7) Perluasan episitomi.
b) Faktor janin mencakup :
(1) Bayi yang besar.
(2) Posisi kepala yang abnormal, contohnya : presentasi muka.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
41
(3) Kelahiran bokong.
(4) Ekstraksi forceps yang sukar.
(5) Dystocia bahu.
(6) Anomali kongenital, seperti hydrocephalus.
3) Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan :
a) Tingkat I : robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina
dengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.
b) Tingkat II : Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selain
mengenai selaput lendir vagina juga mengenai muskulus
perineum transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
c) Tingkat III : Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum
sampai mengenai otot-otot sfingter ani.
d) Tingkat IV : Robekan mengenai perineum sampai otot sfingter
ani dan mukosa rectum.
Robekan sekitar klitoris dan uretra menimbulkan pendarahan
yang banyak dan mungkin sulit untuk diperbaiki (Saifudin, 2010).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
42
4) Faktor-faktor yang mempengarui derajat rupture perineum:
a) Faktor ibu
(1) Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang mnghasilkan
kelahiran janin yang mencapai tahap bisa hidup selama 28
minggu. Beberapa pengertian yang harus diketahui dalam
istilah paritas yaitu:
(a) Primipara adalah seseorang wanita yang telah melahirkan
bayi aterm sebanyak satu kali
(b) Nulipara adalah seseorang wanita yang belum pernah
bersalin sama sekali
(c) Multipara adalah seorang wanita telah melahirkan anak
beberapa kali, di mana persalinan tersebut tidak lebih dari
lima.
(d) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan
aterm leih dari 5 kali (Manuaba, 2010)
(2) Partus presipitatus
Partus presipitatus adalah persalinan yang berlangsung sangat
cepat (Manuaba, 2010)
(3) Kesempitan pinggul
Kesempitan pada panggul dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
43
(a) Kesempitan pintu atas panggul
Pintu atas panggul biasanya dikatakan sempit apabila
diameter anteri-posterior dari 10 cm atau jika diameter
transversal terbesar kurang dari 12 cm. kesempitan pintu
atas panggul juga dinyatakan bila conjugatadiagonalis
kurang dari 11,5 cm.
(b) Kesempitan pada tengah panggul
Panggul tengah dianggap mengalami kesempitan
apabila jumlah diameter interspinalis kurang dari 10 cm.
(c) Kesempitan pintu bawah panggul
Kesempitan pintu bawah panggul biasanya
didefinisikan sebagai diameter interberosum 8cm.
(d) Kombinasi kesempitan pada pintu atas panggul, panggul
tengah, dan pintu bawah panggul adalah kesempitan
panggul menyeluruh (Manuaba, 2010).
(4) Faktor janin
(a) Janin besar
Janin besar adalah bila berat badan melebihi 4000gram.
(b) Malposisi
Adalah posisi kepala janin relative terhadap pelvis
dengan oksiput adalah titik referensi. Malposisi ada
beberapa macam yaitu: Letak kepala bagian terbawah
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
44
adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba
ubun-ubun besar
b. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau
perobekan pada perineum. Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada
perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin
selaput darah, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia
perineum dan kulit sebelah depan perineum (Wiknjosastro H, dkk
2007).
Penyembuhan luka perineum akan lebih sempurna bila pinggirnya
lurus dan otot-otot mudah dijahit. Pada persalinan spontan sering terjadi
robekan perineum yang merupakan luka dengan pinggir yang tidak
teratur. Hal ini akan menghambat penyembuhan perineum sesudah luka
dijahit. Oleh karena itu, dan juga untuk melancarkan jalannya
persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum pada saat kepala janin
tampak dari luar dan mulai meregangkan perineum.(Wiknjosastro H,
dkk 2005).
Dengan cara episiotomi, maka robekan perineum, regangan otot-
otot dan fasia pada dasar panggul, prolapsus uteri, stress incontinence,
serta perdarahan dalam tengkorak janin dapat dihindarkan. Luka
episiotomi lebih mudah dijahit dari pada robekan (Wiknjosastro H, dkk
2005).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
45
1) Jenis Episiotomi
Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus,
tetapi dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi
sayatan maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu:
a) Episiotomi medialis
Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus
ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani.
Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah: perdarahan yang
timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan
daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. Sayatan
bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali lebih
mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugiannya adalah
dapat terjadi ruptur perineum tingkat III inkomplet (laserasi
m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum).
b) Episiotomi mediolateralis
Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina
menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat
dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan
orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm.
Sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk
mencegah ruptur perineum tingkat III. Perdarahan luka lebih
banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh
darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
46
lebih susah. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga
setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris.
c) Episiotomi lateralis
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira
jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini
sekarang tidak dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat
pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan
perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat
menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.
d) Insisi Schuchardt
Insisi ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis,
tetapi sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari
rektum, serta sayatannya lebih lebar.
2) Indikasi episiotomi
Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun
faktor janin. Indikasi ibu antara lain adalah:
a) Primigravida umumnya.
b) Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan
yang lalu.
c) Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya
pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi
vakum dan anak besar.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
47
d) Arkus pubis yang sempit.
Indikasi janin antara lain adalah:
a) Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah
terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b) Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin
besar.
c) Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II
seperti pada gawat janin, tali pusat menumbung.
3) Kontra indikasi.
Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah:
a) Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam.
b) Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak
seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang
luas pada vulva dan vagina.
2. Faktor-faktor terjadinya rupture perineum adalah (Prawiharjo,
2010):
a. Faktor ibu
Yaitu umur ibu yang lebih dari 30 tahun, paritas, perineum tebal
kuat oedema panjang lebih dari 4cm, bekas luka parit pada persalianan
lalu, partus persipitatus, persalinan kulit, kesempitan panggul, ibu
kurang kooperatif atau takut, daya mengejan ibu terlalu kuat.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
48
b. Faktor janin
Janin terlalu besar, malposisi, malpresentasi, kelainan kongenital,
misalnya hidrosefalus dan distosia bahu.
D. Hecting Perineum
1. Definisi Hecting Perineum
Hecting adalah suatu tindakan untuk mendekatkan tepi luka dengan
benang sampai sembuh dan cukup untuk menahan beban fisiologis.
Hecting perineum adalah suatu cara untuk menyatukan kembali jaringan
tubuh (dalam hal perineum) dan mencegah kehilangan darah yang tidak
perlu dan mempertahankan integritas dasar panggul ibu.
2. Macam-macam Hecting
a. Jahitan Kulit
1) Jahitan interrupted
Jahitan simple interrupted (Jahitan satu demi satu)
Merupakan jenis jahitan yang paling dikenal dan paling banyak
digunakan. Jarak antara jahitan sebanyak 5-7 mm dan batas jahitan
dari tepi luka sebaiknya 1-2 mm. Semakin dekat jarak antara tiap
jahitan, semakin baik bekas luka setelah penyembuhan.
a) Jahitan Matras
(1) Jahitan matras vertikal jahitan jenis ini digunakan jika tepi
luka tidak bisa dicapai hanya dengan mengunakan jahitan
satu demi satu. Misalnya di daerah yang tipis lemak
subkutisnya dan tepi luka cenderung masuk kedalam.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
49
(2) Jahitan matras horizontal jahitan ini digunakan untuk
menautkan fassia dan aponeurosis. Jahitan ini tidak boleh
digunakan untuk menjahit lemak subkutis karena membuat
kulit diatansa terliat lebih bergelombang.
b) Jahitan Continous
c) Jahitan jelujur: lebih cepat dibuat, lebih kuat dan pembagian
tekanannya lebih rata bila dibandingkan dengan jahitan terputus.
Kelemahannya jika benang putus / simpul terurai seluruh tepi
luka akan terbuka.
d) Jahitan interlocking, festoon.
e) Jahitan kantung tembakau (tabl sac).
b. Jahitan Subkutis
1) Jahitan continous: jahitan terusan subkutikuler atau intrademal.
Digunakan jika ingin dihasilkan hasil yang baik setelah luka sembuh.
Juga untuk menurunkan tengan pada luka yang lebar sebelum
dilakukan penjahitan satu demi satu.
2) Jahitan interrupted dermal stitch.
c. Jahitan Dalam
Pada luka infeksi misalnya insisi abses, dipasang dren. Dren dapat
dibuat dari guntingan sarunga tangan fungsi dren adalah mengelirkan
cairan keluar berupa darah atau serum.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
50
3. Komplikasi
Jika robekan tingkat III tidak diperbaiki dengan baik, pasien dapat
menderita gangguan defekasi dan flatus. Jika robekan rektum tidak
diperbaiki, dapat terjadi infeksi dan fistula rektovaginal.
F. Mobilisasi Dini
1. Definisi Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah kebijakan untuk secepat mungkin
membimbing penderita keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya
secepat mungkin untuk berjalan. Pada persalianan normal baiknya
mobilisasi dini dilakukan setelah 2 jam postpartum, ibu boleh miring kiri
atau kanan untuk mencegah adanya trombosit (Dewi, 2011).
Disimpulkan bahwa mobilisasi dini adalah suatu upaya untuk
mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan arah membimbing
penderita untuk mempertahankan fungsi mobilisasi. Mobilisasi tidak
dibenarkan pada ibu postpartum dengan penyulit, anemia, penyakit
jantung, paru-paru, demam dan sebagainya (Saleha, 2009).
2. Rentang Gerak dalam Mobilisasi
Menurut Lia (2009), dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak
yaitu:
a. Rentang Gerak Pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
51
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
Mobilisasi dapat meningkatkan fungsi paru-paru semangkin dalam
nafas yang ditarik, semakin meningkatkan sirkulasi darah. Hal tersebut
memperkecil resiko pembentukan gumpalan darah, meningkatkan
fungsi pencernaan dan menolong saluran pencernaan agar mulai bekerja
lagi. Dalam 2-6 jam tenaga medis akan menolong ibu untuk melakukan
mobilisasi seperti duduk ditempat tidur, duduk di bagian samping
tempat tidur, dan mulai berjalan jarak pendek, Semakin cepat ibu bisa
bergerak kembali proses menyusui dan merawat anak juga semakin
mudah.
b. Rentang Gerak Aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring
pasien menggerakkan kakinya.
c. Rentang Gerak Fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan
melakukan aktifitas yang diperlukan. Gerakan mobilisasi ini diawali
dengan gerakan ringan seperti:
1) Miring ke kiri-kanan
Memiringkan badan kekiri dan kekanan merupakan mobilisasi
paling ringan dan yang paling baik dilakukan pertama kali.
Disamping dapat mempercepat proses penyembuhan, gerakan ini
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
52
juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus dan kandung
kemih secara normal.
2) Menggerakkan kaki
Setelah mengembalikan badan ke kanan dan ke kiri, mulai
gerakan kedua belah kaki. Mitos yang menyatakan bahwa hal ini
tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan timbulnya varices
adalah salah total. Justru bila kaki tidak digerakkan dan terlalu lama
diatas tempat tidur dapat menyebabkan terjadinya pembekuan
pembuluh darah balik yang dapat menyebabkan varices ataupun
infeksi.
3) Duduk
Setelah merasa lebih ringan cobalah untuk duduk di tempat
tidur. Bila merasa tidak nyaman jangan dipaksakan, lakukan
perlahan-lahan sampai terasa nyaman.
4) Berdiri atau turun dari tempat tidur
Jika duduk tidak menyebabkan rasa pusing, teruskan dengan
mencoba turun dari tempat tidur dan berdiri. Bila tersa sakit atau ada
keluhan, sebaiknya hentikan dulu dan dicoba lagi setelah kondisi
terasa lebih nyaman.
5) Ke kamar mandi
Hal ini harus dicoba setelah memastikan bahwa keadaan ibu
benar-benar baik dana tidak ada keluhan. Hal ini bermanfaat untuk
melatih mental karena adanya rasa takut pasca persalinan.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
53
Tahapan dan waktu mobilisasi ibu nifas setelah kala IV ibu
sudah bisa turun dari tempat tidur dan melakukan aktivitas seperti
biasa, karena selama persalinan kala IV ibu membutuhkan istirahat
untuk menyiapkan tubuh dalam proses penyembuhan (Mitayani,
2009). Menurut Bahiyatun (2008) pada persalinan normal, ibu
diperbolehkan untuk mandi dan ke WC dengan bantuan orang lain,
yaitu pada 1 atau 2 jam setelah persalinan jika ibu belum melakukan
rentang gerak dalam tahapan mobilisasi dini selama 1 atau 2 jam
setelah persalinan, ibu nifas tersebut belum melakukan mobilisasi
secara dini (Late Ambulation). Sebelum ibu mulai melakukan tahap-
tahap mobilisasi dini, ibu di anjurkan untuk melakukan napas dalam
serta latihan tungkai yang sederhana dan duduk di tepi tempat tidur.
Mobilisasi ini dapat dimulai segera setelah tanda vital stabil, fundus
keras dan tidak banyak pendarahan, kecuali jika ada kontraindikasi
serta dapat dilakukan sesuai kekuatan itu (Hamilton, 2004).
3. Kontraindikasi Mobilisasi
Mobilisasi masa nifas tidak dibenarkan pada ibu nifas dengan
penyakit atau penyulit, seperti anemia, penyakit jantung, penyakit paru,
syok sepsis, kontraindikasi lain dapat ditemukan pada kelemahan umum
dengan tingkat energi yang kurang (Sulistyawati, 2009).
4. Manfaat Mobilsasi Dini
Menurut Jannah (2011), keuntungan mobilisasi dini antara lain:
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
54
a. Penderita merasa lebih sehat dan kuat
b. Faal tubuh dan kandung kemih menjadi lebih baik
c. Memungkinkan tenaga medis untuk memberikan bimbingan kepada ibu
mengenai cara merawat bayinya.
d. Lebih sesuai dengan keadaan Indonesia (lebih ekonomis)
Menurut Dewi (2011), keuntungan mobilisasi dini antara lain:
a. Ibu merasa lebih sehat dan kuat
b. Faal usus dan kandung kemih baik
c. Kesempatan yang baik untuk mengajari ibu merawat bayinya
d. Tidak menyebabkan pendarahan abnormal
e. Tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka hecting.
5. Kerugian Tidak Mobilisasi Dini
Menurut Lia (2009), kerugian tidak melakukan mobilisasi dini antara
lain:
a. Peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi yang tidak baik
sehingga sisa darah yang tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan
infeksi, salah satunya ditandai dengan peningkatan suhu tubuh.
b. Pendarahan yang abnormal, dengan mobilisasi dini kontraksi uterus
akan baik, sehingga fundus uteri keras, maka resiko pendarahan yang
abnormal dapat dihindarkan. Karena kontraksi membentuk
penyempitan pembuluh darah yang terbuka.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
55
c. Involusi uteri yang tidak baik, apabila tidak dilakukan mobilisasi dini
akan mnghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga
menyebabkan terganggunya kontraksi uterus.
6. Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Partum Normal.
Persalinan merupakan proses yang sangat melelahkan oleh karena itu
ibu tidak dianjurkan langsung turun dari ranjang karena dapat
menyebabkan pingsan akibat sirkulasi yang belum berjalan baik. Karena
sehabis melahirkan ibu merasa lelah, dan harus beristirahat. Pergerakan
dilakukan dengan miring kanan atau kiri untuk mencegah terjadinya
trombosis dan tromboemboli. Biasanya pada 2 jam post partum ibu sudah
bisa turun dari tempat tidur dan melakukan aktifitas seperti biasa.
Mobilisasi dilakukan secara bertahap mulai dari gerakan miring kekanan
dan kekiri, lalu menggerakakan kaki. Cobalah untuk duduk di tepi tempat
tidur, setelah itu ibu bisa turun dari ranjang dan berdiri atau bisa pergi
kekamar mandi, sehingga sirkulasi dalam tubuh akan berjalan dengan baik.
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mobilisasi
a. Faktor Fisiologis
Apa bila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh
beresiko terjadi gangguan, tingkat keparahan dari gangguan tersebut
tergantung pada kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat
imobilisasi yang di alami.
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
56
b. Faktor Emosional
Yang mempengaruhi mobilisasi adalah cemas (ansietas).
Ansitetas merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan
dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan
dalam mengatasi permasalahan (Fundamental, 2006).
c. Faktor yang mempengaruhi adalah umur dan paritas (Potter, 2006).
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki oleh
seorang wanita dan umur adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun
yang dihitung sejak dilahirkan.
d. Faktor Psikososial
Imobilisasi menyebabkan respons emosional, intelektual sensori,
dan sosiokultural. Perubahan emosional paling umum adalah depresi,
perubahan perilaku, perubahan siklus tidur-bangun, dan gangguan
koping. mengidentifikasi efek imobilisasi yang lama pada psikososial
klien. Orang yang cenderung depresi atau suasana hati yang tidak
menentu beresiko tinggi mengalami efek psikososial selama tirah
baring atau imobilisasi (Perry& Potter, 2006).
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
57
G. Kerangka Teori
Sumber :
Kerangka Konsep
Sumber:
Menurut Bobak (2005), Fundamental (2006), Wiknjosastro (2007),Tamsuri (2007), Bahiyatun
(2008), Wiknjosastro (2008), maryunani (2009), Sulistyawati (2009), Saleha (2009), Lia (2009),
Jannah (2011), Judha (2012), Andarmoyo (2013).
Perubahan Fisiologis ibu Post
Partum :
1. Sistem reproduksi :
uterus, vagina, lochea,
endometrium, serviks,
payudara.
2. Sistem perkemihan.
3. Sistem pencernaan.
4. Sistem musculoskeletal.
5. Perubahan Tanda – tanda
Vital : Tekanan darah,
denyut nadi, suhu tubuh.
6. Sistem endokrin.
7. Sistem kardiovaskular
Factor-faktor Lain:
1. Ruptur perineum
2. Hecting perineum
Tingkat Nyeri
Hecting
Perineum
Mobilisasi Dini
1. Usia
2. Paritas
3. Budaya
4. Ansietas
5. Perhatian
6. Pengalaman
masa lalu
1. Fisiologis
2. Emosional
3. Perkembangan
4. Psikososial
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
58
H. Kerangka Konsep
Variabel Independent Variabel Dependent
I. Hipotesa Penelitian
Ha : Ada hubungan tingkat nyeri hecting perineum terhadap mobilisasi dini
ibu postpartum
Ho : Tidak ada hubungan tingkat nyeri hecting perineum terhadap
mobilisasi dini ibu postpartum
Tingkat Nyeri
Hecting Perineum Mobilisasi Dini
Hubungan Tingkat Nyeri..., LIDYA NUR HIDAYAH, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017