BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Kasus
1. Bayi Baru Lahir
a. Definisi Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir disebut juga dengan neonatus merupakan individu yang
sedang bertumbuh dan baru saja mengalami trauma kelahiran serta
harus dapat melakukan penyesuaian diri dari kehidupan intrauterine ke
kehidupan ekstrauterine. (Vivian dan Dewi Nanny Lia, 2011:1)
Bayi baru lahir adalah bayi yang baru mengalami proses kelahiran dan
harus menyesuaikan diri dari kehidupan intrauterine ke kehidupan
ekstrauterin. (Paramita Budiarini, 2011:8)
b. Ciri Ciri Bayi Baru Lahir Normal
1) Lahir aterm antara 37 – 42 minggu
2) Berat badan 2.500 – 4.000 gram
3) Panjang badan 48 – 52 cm
4) Lingkar dada 30 – 38 cm
5) Lingkar kepala 33 – 35 cm
6) Lingkar lengan 11 – 12 cm
7) Frekuensi denyut jantung 120 – 160 x/menit
8) Pernapasan 40 – 60 x/menit
9) Rambut lanugo tidak terlihat dan rambut kepala biasanya telah
sempurna
10) Kuku agak panjang dan lemas
11) Nilai APGAR >7
12) Gerak aktif
13) Bayi lahir langsung menangis kuat
14) Refleks rooting (mencari puting susu dengan rangsangan taktil
pada pipi dan daerah mulut) sudah terbentuk dangan baik
15) Refleks sucking (isap dan menelan) sudah terbentuk dengan baik
16) Refleks morro (gerakan memeluk bila dikagetkan) sudah terbentuk
dengan baik
17) Refleks grasping (menggenggam) sudah terbentuk dengan baik
18) Genetalia
Pada laki laki kematangan ditandai dengan testis yang berada pada
skrotum daan penis yang berlubang.
Pada perempuan kematangan ditandai dengan vagina dan uretra
yang berlubang, serta adanya labia minora dan mayora.
19) Eliminasi baik yang ditandai dengan keluarnya mekonium dalam
24 jam pertama dan berwarna hitam kecoklatan. (Vivian dan
Nanny Dewi Lia, 2011:2)
c. Tahapan Bayi Baru Lahir
1) Tahap I terjadi segera setelah lahir, selama menit menit pertama
kelahiran. Pada tahap ini digunakan sistem scoring apgar untuk
fisik dan scoring gray untuk interaksi bayi dan ibu.
2) Tahap II disebut tahap transisional reaktivitas. Pada tahap II
dilakukan pengkajian selama 24 jam pertama terhadap adanya
perubahan perilaku.
3) Tahap III disebut tahap periodik, pengkajian dilakukan setelah 24
jam pertama yang meliputi pemeriksaan seluruh tubuh. (Vivian
dan Nanny Dewi Lia, 2011:3)
2. Asfiksia
a. Definisi Asfiksia
Keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan
adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai ke asidosis. Keadaan
asfiksia ini dapat terjadi karena kurangnya kemampuan fungsi
organ bayi seperti pengembangan paru paru. Proses terjadinya
asfiksia neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan,
persalinan, atau dapat terjadi setelah lahir. (Maryanti Dwi,
Sujianti, Budiarti Tri, 2011:176)
Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan untuk bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Selain dapat
menyebabkan kematian, asfiksia juga dapat menyebabkan
kecacatan. (Rohmatin Homsiatur, Agustina W, Umi N, 2014:5)
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir
yang gagal bernapas secara spontan dan teratur segara setelah lahir
seehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen daan tidak dapat
mengeluarkan zat asam arang dari tubuhnya. (Vivian dan Dewi
Nanny Lia, 2011:9)
b. Klasifikasi Asfiksia
Berdasarkan nilai APGAR asfiksia diklasifikasikan menjadi 4 :
1) Asfiksia berat (APGAR skor 0 – 3)
2) Asfiksia sedang (APGAR skor 4 – 6)
3) Asfiksia ringan (APGAR skor 7 – 9)
4) Bayi normal (APGAR 10)
(Rohmatin Homsiatur, Widayati Agustina, Narsih Umi,
2014:5)
Tanda Nilai : 0 Nilai : 1 Nilai : 2
Appearance
(warna kulit)
Pucat/biru
seluruh tubuh
Tubuh merah,
ekstremitas biru
Seluruh
tubuh
kemerahan
Pulse
(denyut
jantung)
Tidak ada <100 >100
Grimace
(tonus otot)
Tidak ada Ekstremitas
sedikit fleksi
Gerakan
aktif
Activity
(aktifitas)
Tidak ada Sedikit gerak Langsung
menangis
Respiration
(pernapasan)
Tidak ada Lemah/tidak
teratur
Menangis
Interpretasi :
1) Nilai 1 – 3 asfiksia berat
2) Nilai 4 – 6 asfiksia sedang
3) Nilai 7 – 10 asfiksia ringan (normal)
(Vivian dan Dewi Nanny Lia, 2011:2 – 3)
c. Penyebab dan Faktor Risiko Asfiksia
Beberapa kondisi ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi
menjadi berkurang yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam
rahim dan dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat berlanjut menjadi asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, faktor tali
pusat, dan faktor bayi.
1) Faktor ibu : Preeklamsi, eklamsi, perdahan abnormal (plasenta
previa atau solusio plasenta), kehamilan lewat waktu (sesudah
42 minggu kehamilan), partus lama, rupture uteri yang
memberat, dan kontraksi uterus yang terus menerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta .
2) Faktor tali pusat : Lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul
tali pusat, dan prolapsus tali pusat.
3) Faktor bayi : Bayi prematur, persalinan dengan tindakan
(sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,
ekstraksi forceps), kelainan bawaan (congenital) dan air
ketuban bercampur mekonium yang berwarna kehijauan.
(Rohmatin Homsiatur, Widayati Agustina, Narsih Umi, 2014:5)
Sedangkan menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia terdapat 2
faktor risiko : faktor risiko antepartum dan faktor risiko
intepartum
1) Faktor risiko antepartum
a) Diabetes pada ibu
b) Hipertensi dalam kehamilan hipertensi kronik
c) Anemia janin atau isoimunisasi
d) Riwayat kematian janin atau neonatus
e) Perdarahan pada trimester dua dan tiga
f) Infeksi ibu
g) Ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru, tiroid atau
kelainan nerologi
h) Polihidramnion
i) Oligohidramnion
j) Ketuban pecah dini
k) Hidrops fetalis
l) Kehamilan lewat waktu
m) Kehamilan ganda
n) Berat janin tidak sesuai dengan masa kehamilan
o) Terapi obat seperti magnesium karbonat, beta blocker
p) Ibu pengguna obat bius
q) Malformasi atau anomali janin
r) Berkurangnya gerakan janin
s) Tanpa pemeriksaan antenatal
t) Usia <16 atau >35 tahun
2) Faktor risiko intepartum
a) Seksio sesaria darurat
b) Kelahiran dengan ekstraksi forcep dan vakum
c) Letak sungsang atau persentasi abnormal
d) Kelahiran kurang bulan
e) Partus presipitatus
f) Kariomnionitis
g) Ketuban pecah lama (>18 jam sebelum persalinan)
h) Partus lama (>24 jam)
i) Makrosomia
j) Bradikardia janin persisten
k) Frekuensi jantung janin yang tidak beraturan
l) Penggunaan anastesi umum
m) Hiperstimulus uterus
n) Penggunaan obat narkotika pada ibu dalam 4 jam sebelum
persalinan
o) Air ketuban bercampur mekonium
p) Prolaps tali pusat
q) Solusio plasenta
r) Plasenta previa
s) Perdarahan intrapartum
(Kosim M. Sholeh; dkk, 2014:108 – 109)
Menurut Dwi Maryanti banyak faktor yang menyebabkannya
diantaranya adanya penyakit pada ibu sewaktu ibu hamil seperti
hipertensi, paru, gangguan kontraksi uterus. Dapat juga faktor
plasenta seperti janin dengan solusio plasenta, atau juga faktor
janin itu sendiri seperti kelainan pada tali pusat dengan
menumbung atau melilit pada leher atau juga kompresi tali pusat
antara janin dan jalan lahir. Kemudian faktor persalinan yaitu
partus lama atau partus dengan tindakan tertentu. (Maryanti Dwi,
Sujianti, Budiarti Tri, 2011:176)
d. Tanda dan Gejala Asfiksia
Beberapa tanda dan gejala yang dapat muncul pada asfiksia
neonatorum adalah
1) Tidak ada pernapasan (apnea) atau pernapasan lambat
(kurang dari 30x/menit).
Apnea terbagi atas dua yaitu
a) Apnea primer : Pernapasan cepat, denyut nadi menurun,
dan tonus neuromuscular menurun.
b) Apnea sekunder : Apabila asfiksia berlanjut, bayi
menunjukkkan pernapasan megap megap yang dalam,
denyut jantung terus menurun, terlihat lemah (pasif), dan
pernapasan makin lama makin lemah.
2) Pernapasan tidak teratur, dengkuran, atau retraksi (perlekukan
dada).
3) Tangisan lemah.
4) Warna kulit pucat atau biru.
5) Tonus otot lemas atau terkulai.
6) Denyut jantung tidak ada atau perlahan (kurang dari
100x/menit).
(Jenny J.S Sondakh, M.Clin.Mid, 2013:176)
Gejala asfiksia yang paling khas antara lain : Pernapasan cepat,
pernapasan cuping hidung, sianosis, nadi cepat, refleks lemah, dan
warna kulit pucat. Penilaian apgar skor menunjukkan adanya
asfiksia ringan, asfiksia sedang, atau asfiksia berat. (Maryanti
Dwi, Sujianti, Budiarti Tri, 2011:177)
e. Dampak Asfiksia Bagi Bayi Baru Lahir
1) Dampak sistem kardiovaskuler
Bayi dengan asfiksia perinatal dapat mengalami iskemia
miokardial transien. Secara klinis dapat juga ditemukan
gejala gagal jantung seperti, takipnu, takikardia, pembesaran
irama hati dan derap. Ekokardiografi menunjukkan struktur
jantung yang normal tetapi kontraksi ventrikel kiri berkurang
terutama di dinding posterior. Selain itu ditemukan hipertensi
pulmonal persisten, insufisiensi tricuspid, nekrosis
miokardium, dan renjatan.
2) Dampak terhadap ginjal
Hipoksia ginjal dapat menimbulkan gangguan perfusi dan
dilusi ginjal, serta kelainan filtrasi glumerulus. Hal ini timbul
karena proses redistribusi aliran darah akan menimbulkan
beberapa kelainan ginjal antara lain nekrosis tubulus dan
perdarahan medulla. Dalam penelitian terhadap 7 orang
neonatus dengan asfiksia perinatal ditemukan 4 dari 7 orang
neonatus mengalami gagal ginjal. Gejala utama oliguria
disertai dengan peningkatan blood urea nitrogen (BUN) dan
kreatinin. Gagal ginjal diduga terjadi karena ginjal sangat
sensitif terhadap hipoksia. Hipoksia yang terjadi dalam 24
jam pertama kehidupan akan mengakibatkan iskemia ginjal
yang awalnya bersifat sementara namun bila hipoksia
berlanjut akan menyebabkan kerusakan korteks dan medulla
yang bersifat menetap.
3) Dampak terhadap saluran cerna
Bayi asfiksia mempunyai risiko terjadinya iskemia saluran
cerna dan enterokolitis nekrotikan (EKN). Hal ini disebabkan
pada bayi asfiksia terjadi redistribusi aliran darah ke organ
organ vital. Perfusi otak dan jantung dipertahankan dengan
mengorbankan ginjal dan usus..
Gejala klinis EKN ada 2 tipe berdasarkan saat
timbulnya, yaitu EKN dini dan EKN lambat. Tipe pertama
seringkali terjadi 24 – 48 jam sesudah lahir. Tipe ini pada
umumnya terjadi pada bayi cukup bulan yang sakit berat.
Faktor risiko pada kelompok ini adalah, asfiksia neonatorum,
gagal nafas, polisetemia dan tranfusi tukar. Bayi bayi ini
biasanya belum mendapat makanan enteral. Penyebab EKN
dini adalah hipoksik-eskemik. Tipe yang kedua terjadinya
agak lambat dan terutama pada bayi kurang bulan, yaitu bayi
yang telah mendapat makanan enteral. Penyebab EKN tipe ini
adalah makanan enteral yang berlebihan dan bakteri tumbuh
lampau, sedangkan fungsi intestinal dan daya tahan tubuhnya
masih rendah.
4) Dampak terhadap hati
Hati dapat mengalami kerusakan yang berat (shock liver),
sehingga fungsinya dapat terganggu. Kegagalan fungsi hati
merupakan pertanda prognosis yang buruk.
5) Dampak terhadap sistem darah
Asfiksia berakibat pada rusaknya pembuluh darah, kegagalan
hati membuat faktor pembekuan dan sumsum tulang gagal
memproduksi trombosit.
6) Dampak terhadap paru
Dampak asfiksia terhadap paru adalah hipertensi pulmonal
persisten, mekanisme terjadinya adalah vasokonstriksi paru
akibat hipoksia dan asidosis, pembentukan otot arteriol paru
pada masa prenatal, pelepasan zat aktif seperti leukotrin dan
pembentukan mikrotrombus; perdarahan paru, edem paru
karena gagal jantung, HMD sekunder akibat gangguan
produksi surfaktan karena asfiksia, dan aspirasi mekonium.
Pengobatan berupa oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
(Vera Muna Manoe dan Idham Amir, 2016:75 – 77)
f. Patofisiologi
Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi
kurangnya oksigenasi sel, retensi karbondioksida berlebihan, dan
asidosis metabolik. Kombinasi ketiga peristiwa tersebut
menyebabkan kerusakan sel dan lingkungan biokimia yang tidak
cocok dengan kehidupan. Tujuan resusitasi adalah intervensi tepat
waktu yang membalikkan efek efek biokimia asfiksia, sehingga
mencegah kerusakan otak dan organ yang irreversible, yang
akibatnya akan ditanggung sepanjang hidup.
Pada awalnya, frekuensi jantung dan tekanan darah akan
meningkat dan bayi melakukan upaya megap megap (gasping).
Bayi kemudioan masuk ke periode apnea primer. Bayi yang
menerima stimulasi adekuat selama apnea akan mulai melakukan
usaha napas lagi. Stimulasi dapat terdiri atas stimulasi taktil
(mengeringkan bayi) dan stimulasi termal (oleh suhu persalinan
yang lebih dingin).
Bayi bayi mengalami proses asfiksia lebih jauh berada dalam
tahap apnea sekunder. Apnea sekunder dapat dengan cepat
menyebabkan kematian jika bayi tidak benar benar didukung oleh
pernapasan buatan, dan bila diperlukan, dilakukan kompresi
jantung. Warna bayi, berubah dari biru ke putih karena bayi baru
lahir menutup sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan
aliran darah ke organ organ seperti jantung, ginjal, dan adrenal.
Selama apnea, penurunan oksigen yang tersedia menyebabkan
pembuluh darah di paru paru mengalami konstriksi. Keadaan
vasokonstriksi ini menyebabkan paru resistant terhadap ekspansi,
sehingga mempersulit kerja resusitasi janin yang persisten.
Foramen ovale terus membuat pirau darah dari atrium kanan ke
atrium kiri dan ductus arteriosus terus membuat pirau darah ke
aorta, melewati paru paru yang konstriksi. Bayi baru lahir dalam
keadaan asfiksia tetap memiliki banyak gambaran sirkulasi janin.
Selama hipoksia, perubahan biokimia yang serius
menyebabkan penimbunan sampah metanbolik akibat
metabolisme anaerob. Akibat ketidakadekuatan ventilasi, bayi
baru lahir cepat menimbun karbondioksida. Hiperkarbia ini
mengakibatkan asidosis respiratorik yang lebih jauh lagi akan
menekan upaya napas.
Dalam periode waktu singkat, kurangnya oksigen
menyebabkan metabolisme pada bayi baru lahir berubah menjadi
metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya glukosa yang
dibutuhkan untuk sumber energi pada saat kedaruratan. Hal ini
mengakibatkan akumulasi asam laktat dan asidosis metabolic.
Asidosis metabolic hanya akan hilang setelah periode waktu yang
signifikan dan merupakan masalah sisa bahkan setelah frekuensi
pernapasan dan frekuensi jantung adekuat.
Efek hipoksia terhadap utak sangat terlihat. Pada hipoksia
awal, aliran darah ke otak meningkat, sebagai bagian mekanisme
kompensasi. Kondisi tersebut hanya dapat memberikan
penyesuaian sebagian. Jika hipoksia berlanjut, maka tidak akan
terjadi penyesuaian akibat hipoksia pada sel sel otak. Beberapa
efek hipoksia yang paling berat muncul akibat tidak adanya zat
penyedia energi, seperti ATP; berhentinya kerja pompa ion ion
transeluler; akumulasi air, natrium, dan kalsium; dan kerusakan
akibat radikal bebas oksigen. Seiring dengan penurunan aliran
darah yang teroksigenisasi, maka asam amino yang meningkat
akibat pembengkakan jaringan otak akan dilepas. Proses ini dapat
mengakibatkan kerusakan neurologis yang mencolok atau samar
samar. Kejang dapat muncul selama 24 jam pertama setelah bayi
lahir. Awitan kejang selama periode ini merupakan tanda yang
mengkhawatirkan dan merupakan tanda peningkatan
kemungkinan terjadinya kerusakan otak yang permanen. (Jenny
J.S Sondakh, M.Clin.Mid, 2013:177 – 178)
3. Penanganan Awal Asfiksia
a. Penilaian Awal
Penilaian awal dilakukan pada setiap bayi baru lahir untuk
menentukan apakah tindakan resusitasi harus dimulai. Segera
setelah lahir, dilakukan penilaian pada semua bayi dengan cara
petugas bertanya pada dirinya sendiri dan harus menjawab segera
dalam waktu singkat.
1) Apakah bayi lahir cukup bulan?
2) Apakah air ketuban jernih atau tidak (bercampur mekonium)?
3) Apakah bayi bernapas adekuat atau menangis?
4) Apakah tonus otot baik?
Bila semua jawaban diatas “ya”, berarti bayi baik dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi. Pada bayi ini segera dilakukan
Asuhan Bayi Normal. Bila salah satu atau lebih jawaban “tidak”,
bayi memerlukan tindakan resusitasi segera dimulai dengan
langkah awal resusitasi.
b. Bayi yang Memerlukan Resusitasi
1) Bila salah satu atu lebih dari 4 penilaian awal dijawab “tidak”,
bayi memerlukan tindakan resusitasi.
2) Bayi yang lahir kurang bulan mempunyai kecenderungan
untuk lebih memerlukan resusitasi karena beberapa hal
berikut. Bayi kurang bulan mudah mengalami hipotermia
karena rasio luas permukaan dan masa tubuhnya relative
besar, lemak subkutan sedikit, dan imaturitas pusat pengatur
suhu.
3) Bayi yang lahir dengan air ketuban bercampur mekonium dan
tidak bugar (ditandai dengan depresi pernapasan, frekuensi
jantung kurang dari 100 x/menit, dan tonus ototnya buruk),
mungkin memerlukan pengisapan trakea setelah seluruh tubuh
lahir. Pengisapan intrapartum saat kepala lahir sebelum bahu
dilahirkan, tidak direkomendasikan sebagai tindakan rutin.
Setelah penilaian awal dan tindakan yang perlu sudah dilakukan,
penilaian dilakukan secara berkala selama proses resusitasi.
Penilaian berkala selama resusitasi didasarkan pada pernapasan,
frekuensi denyut jantung, tonus otot, warna. Evaluasi dan
intervensi merupakan proses simultan terutama bila lebih dari
seorang resusitator hadir. Walaupun demikian, untuk lebih jelas,
proses ini dijabarkan sebagai sekues langkah pada diagram alur,
yang diambil dari panduan dalam program resusitasi BBL dari
American Academy of Pediatrics dan American Heart Association
2006.
Untuk menentukan apakah bayi baru lahir memerlukan resusitasi
atau tidak perlu memperhatikan 4 aspek :
1) PERNAPASAN
Setelah beberapa usaha pernapasan awal, bayi akan bernapas
secara reguler dan mantap sehingga cukup untuk
mempertahankan frekuensi jantung lebih dari 100x/menit.
Bila frekuensi jantung tidak dapat dipertahankan lebih
100x/menit, ventilasi tekanan positif perlu dilakukan. Retraksi
atau cekungan di daerah iga bawah dan sternum merupakan
tanda penting bahwa bayi menderita kesulitan
mengembangkan paru. Bila ini terjadi, bayi akan lebih baik
bila diberi ventilasi tekanan positif atau continuous positive
airway pressure (CPAP). “Apnu yang menetap, terutama
berhubungan dengan hipotonia, dan frekuensi jantung yang
kurang dari 100x/menitmerupakan tanda serius dan bayi
membutuhkan ventilasi tekanan positif”.
2) FREKUENSI DENYUT JANTUNG
Frekuensi denyut jantung dapat diperiksa dengan
mendengarkan pulsasi jantung dengan memakai stetoskop,
atau meraba pulsasi pada pangkal tali pusat. Bisa pulsasi tidak
teraba pada pangkal tali pusat, harus diperiksa dengan
menggunakan stetoskop. Oksimetri nadi dapat menunjukkan
gambaran yang akurat dan berkesinambungan dari frekuensi
denyut jantung dalam satu menit setelah lahir. Ini merupakan
bantuan yang berguna pada penilaian dan penanganan pada
BBL sakit.
3) TONUS
Seorang bayi dengan tonus yang baik, yaitu terdaapat gerakan
ekstremitas dengan postur fleksi, jarang mejadi buruk;
sedangkan bayi yang lemas, yaitu tidak ada gerakan dan
postur ekstensi, lebih sering memerlukan resusitasi aktif.
4) WARNA
Bayi yang normal secara bertahap warna kulit akan menjadi
kemerahan setelah menit menit pertama kehidupan. Bayi yang
diresusitasi secara efektif dengan oksigen 100% akan
menunjukkan warna kemerahan lebih cepat. Sianosis dapat
sulit dikenali. Sianosis dapat ditentukan dengan memeriksa
bibir dan gusi. Tangan dan kaki yang biru adalah keadaan
normal ditemukan segera setelah lahir. Oksimeter nadi yang
dipakaikan pada tangan kanan dapat memberikan gambaran
yang akurat dan berkesinambungan tentang saturasi oksigen
pra duktus satu menit setelah lahir. Pucat yang parah mungkin
menunjukkan anemia berat, hipovolemia, dan asidosis. Juga
hal ini terjadi pada bayi yang menderita hipotensi karena syok
dan luaran (output) jantung yang buruk.
c. Langkah Awal Resusitasi
Bila salah satu atau lebih dari penilaian awal mendapat jawaban
“tidak”, langkah awal resusitasi harus segera dilakukan. Langkah
awal tersebut adalah HAIKAL (Hangatkan, Atur posisi, Isap
lendir, Keringkan, Atur posisi kembali, Lakukan Penilaian)
Langkah awal resusitasi terdiri dari tindakan berurutan sebagai
berikut :
1) Memberikan kehangatan
Memberikan kehangatan untuk menghindari hipotermia
dilakukan dengan cara meletakkan bayi diatas meja resusitasi
di bawah pemancar panas. Tempat ini harus sudah
dihangatkan sebelumnya. Setelah membuka jalan napas dan
menghisap lender, upaya mencegah kehilangan panas
dilanjutkan dengan mengeringkan bayi lalu menyingkirkan
kain yang basah, dan membungkus bayi dengan kain/selimut
yang hangat.
Bayi yang lahir dengan umur gestasi kuraang dari 28
minggu dapat dibantu untuk mempertahankan kehangatannya
setelah lahir degan cara berikut. Segera setelah lahir, tanpaa
dikeringkan lebih dahulu bayi diletakkan atau dibungkus
dengan kantong plastik polietilen yang tembus pandang,
kepala bayi di luar kantong dan ditutupi topi, sedangkan
seluruh tubuh dibungkus plastik. Keadaan ini dipertahankaan
selama petugas melakukan tindakan resusitasi yang
diperlukan, sampai kemudian bayi diletakkan di tempat yang
sesuai. Cara demikian pada saat ini diajukan sebagai asuhan
baku. Namun demikian dalam melaksanakan pencegahan
hipotermia, harus dihindari agar bayi tidak menjadi
hipertermia. Hipertermia sama berbahayanya dengan
hipotermia. Pada prinsipnya bayi harus dalam keadaan
normotermia, yaitu suhu tubuh 36,5 - 37,5 derajat celcius.
Beberapa penelitian multisenter tentang efek
hipotermia dalam menurunkan kejadian ensefalopatia
hipoksik iskemik padaa BBL menghasilkn hasil berbeda.
Salah satu penelitia menunjukkan bahwa hipotermiaa tidak
berhubungan dengan penurunan jumlah bayi cacat berat pada
umur 18 bulan. Penelitian lain menunjukkan keuntungan pada
kelompok bayi dengan esefalopatia sedang. Data yang ada
saat ini belum cukup untuk megaanjurkan penggunaan rutin
hipotermia sistemik sederhana atau selebral selektif setelah
resusitasi bayi dengan asfiksia. Perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut. Sesuai dengan panduan resusitasi BBL oleh AAP
dan AHA, saat ini yang penting diperhatikan adalah menjaga
bayi tetap normotermia.
2) Meletakkan bayi pada posisi yag benar
BBL harus diletakkan terlentang dengan kepala pada posisi
menghidu atau sedikit ekstensi. Bila usaha pernapasan ada
tetapi tidak menghasilkan ventilasi efektif (frekuensi denyut
jantung tidak meningkat lebih dri 100x/menit), jalan napas
mungkin tersumbat dan posisi kepala harus diperbaiki.
3) Membersihkan jalan nafas (Mengisap mulut dan farings)
BBL normal tidak membutuhkan pengisapan dari mulut,
hidung, atau farings setelah lahir secara berlebihan. Bayi akan
dapat memersihkan jalan napasnya dengan sendirinya secara
efektif. Bila terdapat sekresi yang menyumbat jalan napas,
secret dapat dibersihkan dengan kateter penghisap yang
mempunyai lubang besar (no.10 – 12 F). walaupun demikian,
pengisapan farings dapat menyebabkan spasme larings,
trauma pada jaringan lunak, bradikardia, dan tertundanya
pernapasan spontan. Oleh karena itu, setiap pengispan farings
harus dilakukan dengan hati hati. Bila dilakukan pengisapan
pada BCB, lama pengisapan harus dibatasi dalam 5 detik dan
tidak lebih dari 5 cm dalamnya dari bibir bayi.
Tatalaksana jalan napas bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium : Pengisapan mulut dan farings
intrapartum, yaitu setelah kepala lahir sebelum bahu lahir,
tidak membuat perbedaan pada bayi dengan cairan ketuban
bercampur mekonium dank arena itu tidak lagi
direkomendasikan sebagai tatalaksana rutin. Demikian pula
intubasi secara rutin pada bayi dengan cairan amnion
mengandung mekonium tetapi bayi bugar, tidak
direkomendasikan karena hal tersebut tidak mengubah hasil
dan dapat menyebabkan bahaya. Bila cairan amnion
bercampur mekonium dan bayi tidak bernapas atau
mengalami depresi pernapasan dan penurunan tonus otot,
pengisapan mekonium dari mulut dan farings harus dilakukan
segera dengan laringoskop langsung dan bila perlu, diikuti
dengan intubasi dan pengisapan trakea.
4) Mengeringkan, sambil merangsang taktil
Pengeringan dan perangsangan sekaligus merupakan
intervensi penilaian dan resusitasi. Bila bayi gagal
mempertahankan pernapasan spontan dan efektif dengan
meningkatkan frekuensi denyut jantung lebih dari 100x/menit,
ventilasi tekanan positif perlu dilakukan. Rangsang taktil
dapat pula dilakukan dengan menepuk /menjentik telapak
kaki dengan hati hati, menggosok punggung atau perut.
Tindakan ini akan merangsang sebagian besar BBL untuk
bernapas. Melakukan rangsang taktil terus menerus pada bayi
yang apnea adalah berbahaya dan tidak boleh dilakukan. Bila
bayi tetap tidak bernapas, bantuan ventilasi harus segera
dimulai.
5) Memposisikan kembali
Memposisikan bayi dengan posisi yang benar setelah bayi
dikeringkan dan dilakukan rangsang taktil.
6) Menilai bayi
Setelah langkah awal selesai dilakukan dan bayi sudah
diposisikan kembali, dilakukan penilaian pernapasan,
frekuensi jantung dan warna kulit. Bila bayi apnu atau megap
megap atau frekuensi jantung di bawah 100x/menit, lakukan
ventilasi tekanan positif. Bila pernapasan dan frekuensi
jantung bayi memadai tetapi bayi sianosis (sentral), berikan
oksigen aliran bebas. Oksigen aliran bebas dapat diberikan
dengan cara meletakkan sungkup oksigen melekat pada wajah
bayi dengan pipa oksigen diletakkan di dekat wajah bayi, atau
dengan sungkup balon tidak mengembang sendiri diletakkan
di dekat wajah. (Kosim M. Sholeh; dkk, 2014:109 – 112)
B. Kewenangan Bidan Terhadap Kasus Tersebut
Sesuai dengan UUD No.4 tahun 2019 tentang kebidanan yang
disaahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 Maret 2019 disebutkan
pada Pasal 50 Paragraf 2 Pelayanan Kesehatan Anak pada huruf (a)
Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak
prasekolah. Dan pada huruf (d) Memberikan pertolongan pertama
kegawatdaruratan pada bayi baru lahir dilanjutkan dengan rujukan.
Dan terdapat dalam PERMENKES No.28 tahun 2017 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan pada Pasal 20 ayat 2 huruf (b) disebutkan
bahwa bidan berwenang Melakukan penanganan kegawatdaruratan,
dilanjutkan dengan rujukan. Dan pada ayat 4 huruf (a) Penanganan awal
asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan nafas, ventilasi tekanan
positif, dan/atau kompresi jantung.
C. Hasil Penelitian Terkait
Dalam penyusunan laporan tugas akhir ini, penulis sedikit banyak mereferensi
dan terinspirasi dari penelitian penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
latar belakang masalah pada laporan tugas akhir ini.
1. Penelitian oleh Munjiah, 2018
“Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia”
Penelitian ini dilakukan di RSUD Ansari Saleh Banjarmasin yang
dilaksanakan pada tanggak 05 November 2018.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan tindakan
penanganan awal dan lanjutan pada bayi baru lahir dengan asfiksia sedang
didapatkan hasil pemeriksaan : Frekuensi jantung 90x/menit, tonus otot
kurang baik, sianosis, dan reflek masih ada. Setelah dilakukan Langkah
Awal Resusitasi (HAIKAL), pemberian oksigen, infuse D5, dan
pemberian injeksi obat bayi menangis, bernapas normal, warna kulit
kembali normal, dan gerakan aktif. Bayi diperbolehkan pulang setelah 3
hari dirawat di ruangan bayi. Maka didapatkan kesimpulan bahwa asuhan
kebidanan bayi baru lahir dengan asfiksia berhasil diawali dengan langkah
resusitasi awal (HAIKAL) dan tidak ada kesenjangan antara teori dan
praktek.
2. Penelitian oleh Yahya Nur Hasanah, 2014
“Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia Sedang”
Penelitian ini dilakukan di ruang VK RSUD Karanganyar yang
dilaksanakan pada tahun 2014.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi baru lahir spontan dengan
induksi dengan indikasi KPD 10 jam dengan asfiksia sedang, sebelum
dilakukan tindakan APGAR skor pada 1 menit pertama adalah 6. Setelah
ditegakkan diagnosa dan diberikan penanganan resusitasi awal bayi
semakin baik, APGAR skor meningkat. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa asuhan yang diberikan dikatakan efektif karena bayi
dapat bernapas dengan normal dan teratur serta APGAR skor meningkat.
3. Penelitian dilakukan oleh U Latifah, 2014
“Faktor Risiko Kejadian Asfiksia pada Menit kelima”
Penelitian ini dilakukan di RSU Kardinah Kota Tegal dan dilaksanakan
pada bulan Juni – Agustus 2014.
Hasil penelitian menunjukkan bayi yang tidak sesuai pada langkah awal
resusitasi dalam 30 detik pertama yaitu HAIKAL (hangatkan, atur posisi,
isap lender, keringkan sambil rangsang taktil, reposisi kembali, dan
penilaian) maka pada 5 menit selanjutnya akan tetap mengalami asfiksia.
4. Penelitian dilakukan oleh Mustar, 2016
“Asuhan Kebidanan dengan Asfiksia Ringan”
Penelitian ini dilakukan oleh seorang dosen AKBID Bina Sehat Nusantara
Bone pada Mei 2016. Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasi
experiment dengan menggunakan rancangan penelitian pre and post test
without control. Sampel penelitian sebanyak 30 responden yang diambil
dengan tehnik consecutive sampling. Responden mendapat perlakuan
sebanyak 1 kali dengan waktu selama 20 menit. Analisis data pada
penelitian ini menggunakan uji statistic marginal homogeneity wilcoxon.
Hasil penelitian ini, diagnosa/masalah actual pada bayi yaitu bayi cukup
bulan, presentase belakang kepala, spontan dengan asfiksia ringan.
Diagnosa potensial yaitu terjadinya asfiksia sedang. Tidak ada data yang
mendukung untuk melakukan tindakan segera dan kolabosari dengan
dokter karena kondisi bayi dalam keadaan stabil yaitu tidak ditemukan
adanya tanda tanda distress pernapasan atau hipotermi . tindakan asuhan
kebidanan pada bayi yaitu menilai keadaan bayi setelah lahir,
membersihkan jalan napas dengan mengisap lendir, mengeringkan dan
membungkus bayi, melakukan ranghsangan taktil. Hal tersebut sesuai
dengan teori langkah awal resusitasi atau disebut HAIKAL.
5. Penelitian dilakukan oleh Haslian, 2016
“Asuhan Kebidanan pada Bayi dengan Asfiksia Ringan”
Penelitian ini dilakukan oleh seorang dosen KBID Bina Sehat Nusantara
Bone pada mei 2016. Penelitian ini dilakukan di ruang IRD BLUD RS.
Tenriawaru Kelas B Bone. Jenis penelitian ini merupakan penelitian
analitik kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi
dalam penelitian ini adalah sebanyak 42 tenaga perawat dengan jumlah
sampel sebanyak 42 perawat menggunakan teknik total sampling.
Hasil penelitian menguraikan yang dialami oleh bayi yaitu pernaapasan
cuping hidung, frekuensi napas 38x/menit, apgar skor setelah lahir 7/8,
ada secret menghalangi pernapasan, mulut terdapat lender dan tali pusat
masih basah. Diagnosa yaitu bayi cukup bulan, presentase belakang
kepala, spontan dengan asfiksia ringan. Diagnosa potensial yaitu potensial
terjadinya asfiksia sedang. Tindakan segera yang dilakukan yaitu
membersihkan jalan napas, mengisap lender, mengeringkan tubuh bayi,
melakukan rangsangan taktil dan pemberian oksigen. Hasil evaluasi yang
dilakukan pada bayi yaitu bayi dapat menangis dengan baik, suhu tubuh
36,5 derajat celcius, klien sudah bisa menyusu pada ibunya dan tidak
ditemukan adanya distress pernapasan.
D. Kerangka Teori
Penyebab :
1. Faktor ibu
2. Faktor bayi
3. Faktor talipusat
talitalipusat
Tanda dan Gejala :
1. Pernapasan tidak teratur
2. Tangisan lemah
3. Warna kulit pucat
4. Tonus otot lemas atau terkulai
5. Denyut jantung >100x/menit ASFIKSIA RINGAN
Dampak :
1. Rusaknya sistem kardiovaskuler
2. Gagal ginjal
3. Enterokolitis
4. Syok liver
5. Gagal memproduksi trombosit
6. Perdarahan paru dan edem paru
Penanganan :
HAIKAL
1. Hangatkan
2. Atur posisi
3. Isap lendir
4. Keringkan
5. Atur posisi kembali
6. Lakukan penilaian
Sumber :
1. Rohmatin Homsiatur, dkk. 2014:5
2. Jenny J.S Sondakh, M.Clin.Mid, 2013:176
3. Vera Muna Manoe dan Idham Amir, 2016:75 – 77
4. Kosim M. Sholeh; dkk, 2014:109 – 112
5. Ikatan Dokter Indonesia, 2014