BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Altruisme pada Mahasiswa Psikologi
1. Pengertian Perilaku Altruisme
Istilah altruisme (altruism) digunakan pertama kali pada abad ke-19
oleh filsuf Auguste Comte. Altruisme berasal dari kata Yunani “alteri”
yang berarti orang lain. Penggunaan istilah “alteri” oleh Comte pada
dasarnya untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang hidup di muka bumi
ini memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melayani umat manusia
sepenuhnya, sehingga setiap orang harus memiliki sikap dan perilaku yang
tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi lebih mengutamakan
kepentingan orang lain.
Altruisme adalah sebuah bentuk yang spesifik dari perilaku yang
menguntungkan orang lain tapi tidak ada ekspektasi akan memperoleh
keuntungan pribadi (Crisp dan Turner, 2007). Contoh dari altruisme
adalah menyelamatkan seseorang dari tertabrak kereta api secara spontan.
Usaha menolong ini memng menguntungkan bagi orang lain, namun tidak
dapat dipungkiri menyisakan kemungkinan adanya resiko bagi penolong.
Batson (1943) menyatakan bahwa altruisme adalah keadaan
termotivasi yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan orang lain.
Perilaku atau tindakan altruisme merupakan bentuk perilaku sosial yang
ditujukan untuk kebaikan orang lain. Pernyataan ini seperti diungkap oleh
Walstern dan Piliavin (Huffman dkk, 1997) perilaku altruisme adalah
perilaku menolong (perilaku altruisme) yang timbul bukan karena adanya tekanan
atau kewajiban, melainkan tindakan tersebut bersifat suka rela dan tidak berdasarkan
norma–norma tertentu, tindakan tersebut juga dapat merugikan penolong, karena
meminta pengorbanan waktu, usaha, uang dan tidak ada imbalan atau pun reward dari
semua tindakan tersebut.
Menurut Cohen (Sampson, 1976) perilaku altruisme diawali adanya suatu
keinginan untuk memberikan memberikan pertolongan tanpa mengharapkan imbalan.
Lebih lanjut Bartal, dkk (dalam Desmita, 2010) mendefinisikan altruisme sebagai
tahap dimana individu melakukan tindakan menolong secara sukarela. Perilaku
altruisme yang motifnya untuk mengurangi atau menghilangkan perasaan sedih atau
tekanan personal, maka akan menimbulkan perilaku altruisme yang bersifat egoistik.
Berdasarkan beberapa pengertian yang sudah dipaparkan diatas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku altruisme adalah perilaku menolong yang sengaja
ditujukan untuk menguntungkan orang lain yang dilakukan secara suka rela tanpa
adanya imbalan yang dapat menyebabkan kerugian waktu, usaha, uang pada si
penolong dari semua tindakan tersebut.
2. Aspek-aspek Perilaku Altruisme
Menurut Cohen (dalam Sampson, 1976) altruisme terdiri atas aspek – aspek
sebagai berikut:
a. Sifat suka memberi
Perilaku untuk mememnuhi keinginan orang lain, perilaku ini menguntungkan
orang lain yang mendapatkan perlakuan. Contoh: berbagi rezeki dengan orang
yang lebih membutuhkan.
b. Empati
Suatu kemampuan untuk merasakan keadaan orang lain, kepekaan perasaan yang
dicerminkan dalam perhatian terhadap penderitaan orang lain dan merupakan
dasar untuk melakukan tindakan pertolongan bagi orang lain. Contoh : ikut merasa
sedih ketika teman mengalami musibah dan memberi pertolongan.
c. Sukarela
Tindakan yang dilakukan tanpa adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan
apapun dengan perasaan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Contoh : menolong
orang lain tanpa mengharapkan balasan dari orang yang ditolong.
Menurut teori Myers (2012) membagi perilaku altruisme dalam tiga aspek yaitu:
a. Memberi perhatian terhadap orang lain
Individu membantu orang lain karena adanya kasih sayang. Pengabdian, kesetiaan
yang diberikan tanpa ada keinginan untuk memperoleh imbalan untuk dirinya
sendiri.
b. Membantu orang lain
Individu dalam membantu orang lain disadari oleh keinginan yang tulus dan hati
nurani dari orang tersebut, tanpa adanya penagruh dari orang lain.
c. Mengutamakan kepentingan orang lain
Dalam membantu orang lain, kepentingan yang bersifat pribadi dikesampingkan
dan lebih mementingkan kepentingan orang lain.
Berdasarkan uraian aspek-aspek perilaku altruisme dari kedua tokoh diatas dapat
disimpulkan bahwa peneliti memilih aspek-aspek sesuai dengan teori Cohen (dalam
Sampson, 1976), yaitu: sifat suka memberi, empati, sukarela. Peneliti memilih ketiga
aspek tersebut karena aspek tersebut lebih rinci untuk menjelaskan altruisme secara
menyeluruh melalui ketiga aspek yang telah dipaparkan diatas.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Altruisme
Menurut Myers (2012) faktor-faktor altruisme adalah sebagai berikut :
a. Faktor yang mempertimbangkan pengaruh-pengaruh internal terhadap
keputusan menolong, hal ini juga termasuk menggambarkan situasi suasana
hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang.
b. Faktor eksternal seperti jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan
hubungan, daya tarik antar penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan
lain, tekanan waktu, kondisi lingkungan dan antribusi.
c. Faktor personal, yaitu mempertimbangkan sifat dari penolong, hal ini
mencakup sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas subyek (kepercayaan
religius).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku altruisme menurut Sarwono (1999)
adalah:
a. Pengaruh situasi, merupakan pengaruh eksternal yang diperlukan sebagai
motivasi yang mungkin timbul dalam diri individu pada situasi itu pengaruh
ini terdiri atas : (1.) Kehadiran orang lain; (2.) Menolong jika orang lain
menolong; (3.) Desakan waktu; (4.) Kemampuan yang dimiliki
b. Pengaruh dari dalam diri individu, sangat berperan pada perilaku individu
dalam menolong yang dapat dibagi dalam : (1.) Perasaan dari dalam diri
individu dapat mempengaruhi perilaku menolong artinya baik perasaan
kasihan maupun perasaan antipasti dapat berpengaruh terhadap motivasi
individu dalam menolong; (2.) faktor sifat-sifat individu memiliki ciri-ciri dan
kualitas yang khas, setiap individu memiliki sifat yang unik dan berbeda
dengan sifat individu yang lain; (3.) Agama, ternyata juga dapat
mempengaruhi perilaku menolong. Menurut penelitian Sappington dan Baker
(dalam Sarwono, 1999), yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah
seberapa kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana
kepercayaan atau keyakinan orang bersangkutan tentang pentingnya menolong
yang lemah seperti yang diajarkan oleh agama.
c. Karakter orang yang ditolong, individu kadang-kadang dipengaruhi oleh
karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan apakah orang itu menarik
secara fisik atau ada hal-hal lain yang membuat individu merasa tertarik untuk
memberikan pertolongan.
Berdasarkan uraian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku altruisme
yaitu diantaranya: situasi suasana hati, pencapaian reward, empati, mood seseorang,
jenis kelamin, kesamaan karakteristik, kedekatan hubungan, dan daya tarik antar
penolong dan yang ditolong, jumlah pengamatan lain, tekanan waktu, kondisi
lingkungan dan antribusi, sifat-sifat kepribadian, gender, dan religiusitas. Peneliti
memilih faktor religiusitas, karena religiusitas merupakan keberagamaan yang
dilakukan oleh individu lewat suatu tindakan salah satunya adalah dengan berbuat
baik kepada sesama dengan cara memberikan bantuan tanpa mengharapkan imbalan
atau disebut juga dengan perilaku altruisme.
B. Religiusitas
1. Pengertian Religiusitas
Menurut Ancok dan Suroso (1994) religiusitas adalah keberagaman yang berarti
meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga ketika melakukan aktivitas lain yang
didorong oleh kekuatan supranatural. Sedangkan Nashori dan Mucharam (2002)
mendefinisikan religiusitas sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh
keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan
atas agama yang dianut.
Sedangkan Pargament (1999) mendefinisikan religiusitas “is an organizational,
ritualistic, and ideological system“ adalah organisasi, ritualistik, dan sistem ideologis,
senada dengan Piedmont et al. (2009) menyebutkan religiusitas “is concerned with how
one’s experience of a transcendent being is shaped by, and expressed through, community
or social organization.” berhubungan dengan pengalaman manusia sebagai makhluk
transenden yang diekspresikan melalui komunitas/organisasi sosial.
Berdasarkan beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas
adalah bagaimana cara individu dalam mewujudkan aktivitas yang didorong oleh
kekuatan supranatural, bukan hanya bagaimana menjalankan ibadahnya, namun
bagaimana individu tersebut berperilaku dalam kehidupannya melalui perbuatan-
perbuatan baik maupun beramal, seperti : mengutamakan kepentingan orang lain diatas
kepentingan diri sendiri, dan bersedia membantu orang secara sukarela tanpa ada paksaan
maupun imbalan yang diperoleh.
2. Aspek - aspek Religiusitas
Menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso, 1994) religiusitas memilki lima aspek :
a. Aspek ideologis
Berisi tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal‐hal yang dogmatik dalam
agamanya. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para
penganutnya diharapkan taat. Misalnya: kepercayaan terhadap Tuhan, surga, dan
neraka.
b. Aspek intelektual
Tentang sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran‐ajaran
agamanya,tradisi, terutama yang ada di dalam kitab suci.
c. Aspek ritualitas
Mengacu pada tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban‐
kewajiban ritual dalam agamanya dan hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan
komitmen terhadap agama yang dianut. Misalnya sembahyang, beramal, berpuasa.
d. Aspek pengalaman
Mengenai perasaan‐perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan yang
pernah dialami dan dirasakan oleh individu. Misalnya perasan dekat dengan
Tuhan, merasa dilindungi Tuhan, merasa diberkati dan merasa doanya dikabulkan,
serta balasan dari perbuatan yang dilakukannya.
e. Aspek konsekuensi
Mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di
dalam kehidupan sosial. Misalnya apakah dia menjenguk temannya yang sakit,
membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan, serta menolong tanpa
mengharapkan imbalan, dan mengutamakan kepentingan orang lain diatas
kepentingan pribadi.
Lebih lanjut, Ancok dan Nashori (2008) mengungkapkan religiusitas memiliki lima
aspek, yaitu :
a. Pertama akidah, yaitu tingkat keyakinan seorang Muslim terhadap kebenaran
ajaran-ajaran agama Islam.
b. Kedua syariah, yaitu tingkat kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-
kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan dalam agama Islam.
c. Ketiga akhlak, yaitu tingkat perilaku seorang Muslim berdasarkan ajaran-ajaran
agama Islam, bagaimana berealisasi dengan dunia beserta isinya.
d. Keempat pengetahuan agama, yaitu tingkat pemahaman Muslim terhadap ajaran-
ajaran agama Islam, sebagaimana termuat dalam al-Qur’an.
e. Kelima penghayatan, yaitu mengalami perasaan-perasaan dalam menjalankan
aktivitas beragama dalam agama Islam. Konsep dimensi-dimensi religisuitas yang
diungkapkan Ancok dan Nashori (2008), menggambarkan konsep religisuitas
menurut agama Islam.
Berdasarkan uraian aspek-aspek religiusitas dari beberapa tokoh diatas dapat
disimpulkan bahwa peneliti memlih aspek-aspek sesuai dengan teori menurut Glock (dalam
Ancok dan Suroso, 1994) meliputi: aspek ideologi, aspek inteklektual, aspek ritualitas, aspek
pengalaman, dan aspek konsekuensi.
Peneliti memilih menggunakan aspek dari menurut Glock (dalam Ancok dan Suroso,
1994) ini karena dari kelima aspek tersebut lebih mendalam dan menyeluruh yang lebih
dapat mengungkap religiusitas individu. Kelima dimensi tersebut nantinya akan peneliti
jadikan acuan dalam penyusunan alat ukur didalam penelitian.
C. Hubungan Religiusitas dengan Perilaku Altruisme
Setiap agama mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan antara
makhluk hidup maupun dengan lingkungan sekitarnya agar manusia dapat melanjutkan
kehidupan, karena manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama
lain di dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana setiap agama mengajarkan untuk
tolong-menolong terhadap sesama manusia sebagai salah satu aktivitas religiusitas.
Religiusitas adalah keberagaman yang berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi
yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), namun juga
ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural (Ancok Dkk, 2001)
Individu dengan religiusitas yang tinggi tidak hanya meyakini mengenai perbuatan baik
dan melakukan amal baik hanya dengan membaca dari kitab, mendengarkan ceramah oleh
pemuka agama, atau sekedar menyampaikan dengan ucapan bahwa ia akan berperilaku
altruisme, namun ia akan melakukan kerja nyata didalam kehidupannya, sebagai contoh:
menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balas budi yang akan diterimanya,
mementingkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan lain-lain.
Menurut Malhotra (2010), religiusitas merupakan pengaruh utama melakukan perilaku
altruisme, karena orang yang religius berkarakteristik lebih stabil sehingga spontanitas untuk
beramal lebih tinggi. Munculnya spontanitas untuk berperilaku altruisme merupakan pertanda
bahwa individu mampu menerapkan apa yang telah ia yakini sebagai religiusitas didalam
kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain individu tersebut mampu mewujudkan perilaku
altruisme karena motivasi dari religiusitas.
Hal tersebut juga dapat dilihat dari kelima aspek menurut Glock (dalam Ancok dan
Suroso, 1994) yang pertama aspek ideologis dimana individu mempercayai Tuhan serta
adanya surga dan neraka, Tuhan adalah sang pencipta kehidupan yang memiliki perintah
mengenai hal yang tidak boleh dilakukan dan apa yang boleh untuk dilakukan, apa yang baik
dan yang buruk. Individu dengan religiusitas tinggi akan melakukan perilaku altruisme
dengan menolong sesamanya yang sedang kesusahan dengan ikhlas dan percaya bahwa akan
mendapat pahala guna tabungan untuk menuju ke surga, karena merupakan perbuatan baik
yang telah dilakukan. Diperkuat oleh Sappington (dalam Sarwono 1999) yang berpengaruh
pada perilaku altruisme bukanlah seberapa kuatnya kepercayaan beragama itu sendiri
melainkan bagaimana implikasi seseorang tentang pentingnya perilaku menolong telah
diajarkan oleh agama (religiusitas).
Ke dua aspek intelektual sejauh mana individu mengetahui tentang ajaran‐ajaran
agamanya seperti berbuat baik kepada orang lain maka akan mendapatkan balasan yang baik
pula, maka invidu dalam kehidupannya berusaha berperilaku altruisme dengan berbuat baik
kepada orang lain seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam baik berupa materi
maupun jasa menjadi seorang relawan. Seperti yang diungkapkan oleh Rogers (1977) bahwa
penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan
agama, maka perilaku tersebut akan berlangsung lama. Dimana dengan pengetahuan agama
yang baik akan membentuk religiusitas yang tinggi dalam diri individu untuk melakukan
perilaku yang tidak bertentangan dengan nilai norma dan melakukan tindakan postif untuk
dapat berperilaku altruisme.
Ke tiga aspek ritualitas dimana individu melaksanakan kewajiban sebagai orang
beragama mencakup ritual pemujaan, ketaatan, beramal yang dapat dicerminkan salah
satunya dengan berperilaku altruisme yakni beramal baik seperti berbagi rezeki kepada anak
yatim piatu sebagai cara untuk bersedekah. Ritualitas merupakan salah satu cara bagaimana
individu dapat mewujudkan apa yang ia percaya sesuai dengan tindakan nyata dalam
kehidupannya. Internalisasi ritualitas dalam setiap individu merupakan wujud nyata dari
kualitas keyakinan seseorang.
Ke empat aspek pengalaman yaitu seberapa jauh individu merasakan perasaan dan
pengalaman religius seperti: ketika ia mengalami kesusahan tanpa disangka-sangka ia
mendapat bantuan dari orang yang dulu telah ia bantu. Seperti yang diungkapkan oleh
(Ahyadi, 1995) individu akan mencoba menghayati, menginternalisasi dan menerapkan
religiusitas dalam dirinya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada salah satunya
perilaku altruisme.
Ke lima aspek konsekuensi individu merasa bersemangat dalam melakukan setiap
perilaku baik dihidupnya karena mengetahui jika perilaku yang dilakukannya didunia akan
mendapat balasan tidak hanya didunia namun juga di akhirat, jika berbuat baik mendapat
balasan yang baik pula begitupun sebaliknya, maka individu secara sadar berperilaku
altruisme seperti: menolong tanpa mengharapkan balas budi atau imbalan dari orang yang
telah ditolong. Individu yang mempunyai religiusitas tinggi mempunyai dasar keyakinan
yang akan membuatnya lebih mudah menentukan perilakunya mengenai yang harus
dilakukan yaitu perilaku altruisme dan yang harus dihindari, karena pada dasarnya religiusitas
telah mencakup aturan tentang hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak.
Religiusitas tidak dapat dipisahkan dari perilaku individu didalam kehidupan
bermasyarakat dan dalam prakteknya religiusitas memiliki beberapa fungsi antara lain fungsi
edukatif, fungsi kontrol sosial, fungsi pemupuk rasa solidaritas. Religiusitas menjadi faktor
integratif bagi individu dalam berperilaku altruisme dapat dilihat dari faktor kontrol sosial
yaitu adanya keterkaitan batin antara tuntutan ajaran religius dengan perwujudan
keberagamaan individu untuk melakukan perilaku altruisme dengan sesamanya.
Dapat disimpulkan bahwa perwujudan keberagamaan atau dengan kata lain religiusitas
adalah faktor dan pedoman individu dalam berperilaku altruisme dikehidupannya, individu
meyakini bahwa perilaku altruisme adalah suatu perbuatan baik sesuai dengan nilai-nilai
moral yang akan ia lakukan sebagai salah satu cara penerapan atas apa yang telah ia percaya
dan yakini sebagai kepercayaan religius dan mengaplikasikan keberagamaannya (religiusitas)
yang dapat menjadi motivasi untuk terus melakukan perilaku altruisme. Seperti yang
diungkapkan oleh Coles (2000) bahwa perilaku yang sesuai dengan nilai moral diungkapkan
dalam tingkat orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut
muncul karena adanya pertimbangan kesejahteraan orang lain diatas kepentingan atau
keuntungan pribadi (perilaku altruisme) yang berusaha diamalkan atau diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan nilai religi yang dianut (religiusitas).
Dari keterkaitan diatas semakin memperjelas bahwa religiusitas mempengaruhi individu
dalam berperilaku altruisme seperti yang diungkapkan Sarwono (1999) bahwa religiusitas
mempengaruhi seseorang untuk menolong, karena ada nilai-nilai religi yang dianut sehingga
seseorang mau menolong orang lain. Peneliti juga menyertakan penelitian sebelumnya yang
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu mengenai religiusitas dan perilaku altruisme guna
memperkuat penjelasan.
Penelitian tentang altruisme pernah dilakukan oleh Shah dan Ali (2012) dengan judul
Altruism and Belief in just world in young adults: relationship with Religiosity yang
bertujuan mengeskplorasikan antara altruisme dan kepercayaan dunia dengan religiusitas
pada orang dewasa dan dihasilkan bahwa religiusitas yang tinggi berhubungan positif dengan
altruisme yang tinggi pula.
Dengan demikian individu yang mempunyai religiusitas tinggi tidak hanya melakukan
ritual-ritual keagamaan saja seperti sembahyang dan puasa tetapi hal lain yang juga harus
dilakukan adalah menjalin hubungan dan berbuat baik kepada orang lain atau dapat juga
dikatakan sebagai beramal baik. Amal baik salah satunya adalah melakukan perilaku
altruisme seperti menolong, bekerja sama, berbagi, dan menyumbang (Ancok dan Suroso,
1994).
Berdasarkan penjelasan yang sudah disampaikan dapat ditarik kesimpulan adanya
hubungan yang positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme sehingga semakin tingggi
religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin tinggi, dan juga sebaliknya semakin
rendah religiusitas, maka perilaku altruisme cenderung semakin rendah.
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan bahwa, ada
hubungan positif antara religiusitas dengan perilaku altruisme mahasiswa psikologi
Universitas Mercubuana Yogyakarta. Artinya, semakin tinggi religiusitas maka semakin
tinggi pula perilaku altruisme pada mahasiswa psikologi Universitas Mercubuana
Yogyakarta. Sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin rendah pula perilaku
altruisme pada mahasiswa psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta.