13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Perkoperasian Menurut Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2012
A. 1. Pengertian Koperasi
Secara harfiah, Koperasi berasal dari bahasa Inggris yaitu co-
orperation yang terdiri dari dua suku kata co dan operation, yang berarti
kerjasama untuk mencapai tujuan. Maksud dari kerjasama disini adalah
ikut serta beberapa orang untuk bekerja sendiri-sendiri dengan maksud
tujuan yang sukar dicapai apabila mereka bekerja sendiri-sendiri1. Oleh
karenanya berkoperasi merupakan hal yang sangat penting guna mencapai
tujuan bersama yaitu kemakmuran dan kesejaterahan bersama.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU 17/2012 memberikan pengertian
koperasi sebagai berikut:
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh
orang perseorangan atau badan hukum Koperasi,
dengan pemisahan kekayaan para anggotanya
sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan
nilai dan prinsip Koperasi.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU 25/1992, Koperasi adalah:
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan
1 H. Budi Untung, op.cit, h. 1.
14
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasar atas asas kekeluargaan.
R.M. Margono Djojohadikoesoemo dalam bukunya yang berjudul
Selupuh Tahun Koperasi: Penerangan tentang Koperasi oleh Pemerintah
Tahun 1930-1940, menyatakan bahwa Koperasi adalah perkumpulan
manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja
sama untuk memajukan ekonominya.2
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Perkumpulan
Perseroan dan Koperasi Indonesia, mendefinisikan Koperasi adalah
bersifat kerjasama antara orang-orang yang termasuk golongan kurang
mampu, yang ingin bersama untuk meringankan beban hidup atau beban
kerja.3
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa
Koperasi adalah badan usaha yang anggotanya adalah orang-orang atau
badan hukum Koperasi. Artinya bahwa selain Koperasi sebagai badan
usaha tetapi dapat juga sebagai badan hukum. Koperasi sebagai pelaku
usaha yang berperan dalam persaingan bisnis, sehingga harus menjalankan
usahanya seefisien mungkin dengan tetap mengikuti nilai-nilai ekonomi
dengan mengedepankan asas kekeluargaan sehingga semakin banyak
keuntungan yang dirasakan oleh anggota pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
2 Andjar Pacta W., Myra Rosana Bacthiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Hukum Koperasi
Indonesia : Pemahanan, Regulasi, Pendirian, dan Modal Usaha, Penerbit Kencana, Jakarta, h. 18.
3 ibid
15
A. 2. Landasan Koperasi Indonesia
Landasan Koperasi adalah dasar atau pedoman yang harus dimiliki
oleh setiap koperasi dalam menentukan arah, tujuan dan kegiatan koperasi.
DalamPasal 2 UU 17/2012 disebutkan bahwa “Koperasi berlandaskan pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”.
A.2.1. Pancasila
Pancasila merupakan bintang pemandu dari keseluruhan
eksistensi Koperasi.4 Pancasila merupakan jiwa dan pandangan
hidup negara, bangsa, dan masyarakat Indonesia, serta merupakan
sumber dari segala sumber semangat, dan menjadi dasar dari setiap
pemikiran dalam mengarahkan tujuan organisasi Koperasi di
Indonesia.5 Sila-sila yang tercantum di dalam Pancasila harus
menjadi falsafah hidup dan aspirasi anggota-anggota Koperasi
Indonesia. Pancasila harus dihayati dan diramalkan oleh anggota-
anggota Koperasi Indonesia.6
Sesuai dengan sila-sila dalam Pancasila, maka Koperasi
berorientasi pada:7
1. Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etik moral agama, bukan
materialisme);
4 Tri Budiyono dan Christina Maya Indah S., “Pergeseran Politik Hukum Koperasi Dalam
UU RI No. 25 Tahun 1992 dan UU RI No. 17 Tahun 2012 Serta Putusan MK Nomor 28-PUU-XI-
2013,” Masalah-Masalah Hukum, Jilid 44, No. 3, Juli 2015, h. 336.
5 Ninik Widiyanti dan Sunindhia, Koperasi dan Perekonomian Indonesia, Penerbit Rineka
Cipta dan Penerbit Bina Adiakarsa, Jakarta, 2008, h. 162
6 Sagimun MD,Koperasi Indonesia, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Jakarta, 1983/1984, h.58
7 Sri-Edi Swasono, Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas : Koperasi di Dalam Orde
Ekonomi Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, h. 153
16
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal
pemerasan/eksploitasi, modernisasi);
3. Persatuan (kekeluargaan, kebersamaan), gotong-royong, tidak
saling mematikan, bantu-membantu antara yang kuat dan yang
lemah, nasionalisme dan patriotisme ekonomi;
4. Kerakyatan (demokrasi ekonomi, mengutamakan ekonomi
rakyat dan hajat hidup orang banyak);
5. Keadilan sosial (persamaan, kemakmuran masyarakat yang
utama, bukan kemakmuran orang-seorang).
Oleh sebab itu, jika Koperasi dibangun dan dijalankan sesuai
dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, maka tujuan
organisasi Koperasi di Indonesia akan terwujud.
A.2.2. UUD NRI 1945
Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusianal
Perkoperasian. Dalam Pasal 33 ayat (1) disebutkan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan”. Sedangkan ayat (4) “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pasal 33 ayat (1) dalam
UUD 1945 mengandung cita-cita bangsa, tujuan membangun usaha
perekonomian dan tata cara menyusun perekonomian bangsa.
17
Walaupun tidak disebutkan mengenai Koperasi di dalam Pasal
33, namun dalam penjelasaannya disebutkan bahwa tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di
bawah pimpinan atau penilaian anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha
bersama atas asas kekeluargaan. Perusahaan yang cocok dengan itu
ialah Koperasi. Penjelasan semacam ini harus dipertahankan.
Sebagai “das sollen” harus tetap demikian, agar semangat keusaha-
bersamaan dan hakikat usaha dengan asas kekeluargaan tidak
gampang memudar sebagai cita-cita dan bahkan harus menjadi alat
pengikat cita-cita sosialisme yang kita kehendaki.8
A. 3. Pendirian Koperasi dan Anggaran Dasar
A.3.1 Pendirian Koperasi
A.3.1.1 Koperasi Primer
Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan orang perseorangan. Koperasi primer ialah koperasi
yang anggotanya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan
kepentingan ekonomi dan melakukan kegiatan usaha yang langsung
melayani para anggotanya tersebut. Pada Bagian Kesatu Pasal 7 UU
17/2012 disebutkan mengenai Pendirian Koperasi. Pada ayat (1)
disebutkan bahwa Koperasi Primer didirikan oleh paling sedikit 20
8 Sri-Edi Swasono, ibid, h. 154.
18
(dua puluh) orang perseorangan dengan memisahkan sebagian
kekayaan pendiri atau Anggota sebagai modal awal Koperasi.
A.3.1.2 Koperasi Sekunder
Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan badan hukum Koperasi. Pada Bagian Kedua Pasal 7
ayat (2) disebutkan bahwa Koperasi Sekunder didirikan oleh paling
sedikit 3 (tiga) Koperasi Primer.
A.3.2 Anggaran Dasar
Anggaran Dasar Koperasi diatur Pada Bagian Kedua Pasal 16
UU 17/2012. Angaran dasar adalah keseluruhan aturan yang mengatur
secara langsung kehidupan Koperasi dan hubungan antara Koperasi
dengan para anggotanya9. Di dalam anggaran dasar Koperasi itu
tercantum antara lain:10
1) Nama, Tempat Kedudukan dan Daerah Kerja Koperasi.
Berdasarkan anggaran dasar setiap Koperasi dapat diberi nama.
Pemberian nama ini harus sesuai dengan jenis Koperasi,
misalnya Koperasi pertanian dapat diberi nama “Koperasi Tani
Makmur”. Di dalam anggaran dasar itu dijelaskan pula tempat
kedudukan dan daerah kerja usaha setiap Koperasi.
2) Maksud dan Tujuan
Sudah barang tentu Koperasi merupakan suatu perkumpulan
ekonomi rakyat. Koperasi merupakan suatu badan usaha
9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Koperasi, Penerbit Alumni – Bandung, Bandung, 1982,
h. 40.
10 Ninik Widiyanti dan Sunindhia, opcit, h. 99-100, dikutip dari Arifinal Chaniago,
Koperasi Indonesia, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979, h.16.
19
sekelompok orang yang diatur Undang-undang. Koperasi
merupakan suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan
tujuan. Kita ketahui bahwa setiap Koperasi bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan para anggotanya.
3) Ketegasan Usaha
Ketegasan usaha setiap Koperasi tercantum pula di dalam
anggaran dasar setiap Koperasi. Tanpa ditegaskan tentang usaha
Koperasi di dalam anggaran dasar, maka usaha Koperasi akan
semau-maunya.
4) Syarat-syarat Keanggotaan
Karena anggaran dasar merupakan aturan tertulis bagi setiap
perkumpulan, maka baik pengurus maupun anggota suatu
perkumpulan diatur oleh anggaran dasarnya. Demikian juga
syarat-syarat keanggotaan di dalam Koperasi, diatur oleh
anggaran dasarnya.
5) Ketentuan tentang Permodalan.
Setiap badan usaha harus memiliki modal usaha. Di dalam
Koperasi modal usaha diperoleh dari simpanan anggota.
Demikianlah segala ketentuan permodalan Koperasi diatur oleh
anggaran dasarnya.
Selain hal-hal tersebut, anggaran dasar Koperasi itu dimuat pula
tentang hak dan kewajiban pengurus, penetapan tahun buku, ketentuan
tentang surplus hasil usaha dan lain sebagainya. Oleh karena anggaran
dasar merupakan sumber tata tertib Koperasi, maka setiap langkah
20
Koperasi harus selalu berpedoman kepada anggaran dasar dan
anggaran rumah tangganya.
A. 4. Perangkat Organisasi Koperasi
Perangkat organisasi Koperasi terdiri dari:
A.4.1. Rapat Anggota
Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam
Koperasi. Pasal 33 UU 17/2012 menyebutkan bahwa Rapat Anggota
berwenang:
a. menetapkan kebijakan umum Koperasi;
b. mengubah Anggaran Dasar;
c. memilih, mengangkat, dan memberhentikan
Pengawas dan Pengurus;
d. menetapkan rencana kerja, rencana anggaran
pendapatan dan belanja Koperasi;
e. menetapkan batas maksimum Pinjaman yang
dapat dilakukan oleh Pengurus untuk dan atas
nama Koperasi;
f. meminta keterangan dan mengesahkan
pertanggungjawaban Pengawas dan Pengurus
dalam pelaksanaan tugas masing-masing;
g. menetapkan pembagian Selisih Hasil Usaha;
h. memutuskan penggabungan, peleburan,
kepailitan, dan pembubaran Koperasi; dan
i. menetapkan keputusan lain dalam batas yang
ditentukan oleh Undang-Undang ini.
Keputusan Rapat Anggota diambil berdasarkan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Apabila tidak diperoleh keputusan dengan cara
demikian, maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak dimana masing-masing anggota mempunyai hak satu suara.11
11 H. Budi Untung,Op.Cit.,h. 35.
21
A.4.2. Pengawas
Dalam Pasal 50 ayat (1) UU 17/2012 disebutkan bahwa Pengawas
bertugas:
a. mengusulkan calon Pengurus;
b. memberi nasihat dan pengawasan kepada
Pengurus;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijakan dan pengelolaan Koperasi
yangdilakukan oleh Pengurus; dan
d. melaporkan hasil pengawasan kepada Rapat
Anggota.
Pada ayat (2) disebutkan bahwa Pengawas berwenang:
a. menetapkan penerimaan dan penolakan
Anggota baru serta pemberhentian Anggota
sesuaidengan ketentuan dalam Anggaran
Dasar;
b. meminta dan mendapatkan segala keterangan
yang diperlukan dari Pengurus dan pihak lain
yangterkait;
c. mendapatkan laporan berkala tentang
perkembangan usaha dan kinerja Koperasi dari
Pengurus;
d. memberikan persetujuan atau bantuan kepada
Pengurus dalam melakukan perbuatan
hukumtertentu yang ditetapkan dalam Anggaran
Dasar; dan
e. dapat memberhentikan Pengurus untuk
sementara waktu dengan menyebutkan
alasannya.
Pengawas harus merahasiakan hasil pengawasannya kepada pihak
ketiga. Untuk maksud kerapihan dan penyusunan yang sistematik dari
laporan Pengurus, Koperasi dapat meminta jasa audit kepada akuntan
publik.12 Kehadiran UU 17/2012 bertujuan agar komunikasi atau kontak
12 Tiktik Sartika Partomo, M.S., Ekonomi Koperasi, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2009, h. 36.
22
antara Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas Koperasi dapat berjalan
dengan baik.
A.4.3. Pengurus
Dalam UU 17/2012 disebutkan bahwa Pengurus dipilih dari orang
perseorangan, baik Anggota maupun non-Anggota. Pengurus dipilih dan
diangkat atas dasar usul pengawas. Dalam Pasal 58 ayat (1) UU 17/2012
disebutkan bahwa Pengurus bertugas:
a. mengelola Koperasi berdasarkan Anggaran
Dasar;
b. mendorong dan memajukan usaha Anggota;
c. menyusun rancangan rencana kerja serta
rencana anggaran pendapatan dan belanja
Koperasiuntuk diajukan kepada Rapat Anggota;
d. menyusun laporan keuangan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas untuk
diajukan kepadaRapat Anggota;
e. menyusun rencana pendidikan, pelatihan, dan
komunikasi Koperasi untuk diajukan kepada
RapatAnggota;
f. menyelenggarakan pembukuan keuangan dan
inventaris secara tertib;
g. menyelenggarakan pembinaan karyawan secara
efektif dan efisien;
h. memelihara Buku Daftar Anggota, Buku Daftar
Pengawas, Buku Daftar Pengurus, Buku
DaftarPemegang Sertifikat Modal Koperasi,
dan risalah Rapat Anggota; dan
i. melakukan upaya lain bagi kepentingan,
kemanfaatan, dan kemajuan Koperasi sesuai
dengantanggung jawabnya dan keputusan
Rapat Anggota.
Dengan demikian dalam kehidupan Koperasi, kedudukan pengurus
sangat penting. Dapat dikatakan bahwa mati hidupnya Koperasi sangat
bergantung pada peran pengurus dalam menjalankan Koperasi. Dalam
hubungan ini pengurus mampu melaksanakan beberapa fungsi, antara
23
lain fungsi perencanaan, fungsi penyediaan sumber-sumber yang
diperlukan Koperasi, dan fungsi pengawasan.13
A. 5. Modal Koperasi
Setiap kegiatan usaha yang mengharapkan berkembang dan maju,
selalu memerlukan modal untuk membiayai keperluan-keperluan
opersionalnya. Sebagai perkumpulan yang menjalankan usaha dalam
bidang bisnis (perekonomian) Koperasi banyak memerlukan modal, jadi
modal itu tetap vital. Namun demikian modal tidak boleh diberi arti lebih
penting daripada orang-orang yang menjadi anggota Koperasi.14
Modal Koperasi diatur di dalam BAB VII Pasal 66 sampai dengan
Pasal 77 UU 17/2012. Menurut Pasal 66 UU 17/2012 modal Koperasi
terdiri atas:
(1) Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan
Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal.
(2) Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
modal Koperasi dapat berasal dari:
a. Hibah;
b. Modal Penyertaan;
c. modal pinjaman yang berasal dari:
1. Anggota;
2. Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya;
3. bank dan lembaga keuangan lainnya;
4. penerbitan obligasi dan surat hutang
lainnya; dan/atau
5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
dan/atau
d. sumber lain yang sah yang tidak bertentangan
dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
13 Parjimin Nurzain dan Djabaruddin Djohan, Buku Materi Pokok Perkoperasian ADNE
4330/2 1-3, Penerbit Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1986, h. 3.12
14 G. Kartasapoetra, Praktek Pengelolahan Koperasi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005, h. 45
24
Dengan hadirnya ketentuan ini, Koperasi dimasa depan diharapkan
tumbuh dengan lebih kuat karena pemupukan modalnya dari dalam, yakni
melalui Setoran Wajib dan Sertifikat Modal Koperasi yang sudah
ditetapkan ketika koperasi dibentuk. Jadi tidak ada lagi koperasi berdiri,
tanpa memiliki modal kerja.
A. 6. Surplus Hasil Usaha
Selisih Hasil Usaha merupakan istilah yang terdapat di dalam UU
17/2012. Berbeda istilah yang digunakan di dalam UU 25/1992 yaitu Sisa
Hasil Usaha. Dalam Pasal 1 angka 12 UU 17/2012 disebutkan bahwa
Selisih Hasil Usaha adalah Surplus Hasil Usaha atau Defisit Hasil Usaha
yang diperoleh dari hasil usaha atau pendapatan Koperasi dalam satu tahun
buku setelah dikurangi dengan pengeluaran atas berbagai beban usaha.
Ketentuan mengenai surplus hasil usaha diatur di dalam Pasal 78 UU
17/2012 yang menyebutkan bahwa:
(1) Mengacu pada ketentuan Anggaran Dasar dan
keputusan Rapat Anggota, Surplus Hasil Usaha
disisihkan terlebih dahulu untuk Dana Cadangan
dan sisanya digunakan seluruhnya atau sebagian
untuk:
a. Anggota sebanding dengan transaksi usaha
yang dilakukan oleh masing-masing Anggota
dengan Koperasi;
b. Anggota sebanding dengan Sertifikat Modal
Koperasi yang dimiliki;
c. pembayaran bonus kepada Pengawas,
Pengurus, dan karyawan Koperasi;
d. pembayaran kewajiban kepada dana
pembangunan Koperasi dan kewajiban
lainnya; dan/atau
e. penggunaan lain yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
25
(2) Koperasi dilarang membagikan kepada Anggota
Surplus Hasil Usaha yang berasal dari transaksi
dengan non-Anggota.
(3) Surplus Hasil Usaha yang berasal dari non-
Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat digunakan untuk mengembangkan usaha
Koperasi dan meningkatkan pelayanan kepada
Anggota.
Ketentuan ini dimaksud sebagai upaya umtuk meningkatkan usaha
Koperasi menjadi lebih berkembang dalam memenuhi kebutuhan anggota.
Pembagian SHU Koperasi didasarkan pada keaktifan dang partisipasi
langaung. Anggota-anggota Koperasi pada saat yang sama menjadi
pemilik Koperasi dan serentak menjadi nasabah yang memacu kegiatan-
kegiatan dalam Koperasinya dengan membeli, menjual, atau menyimpan
serta menyalurkan bersama sesuai dengan jenis Koperasinya.15
A. 7. Jenis Badan Usaha Koperasi
A.7.1. Koperasi Usaha Tunggal atau Singel Purpose Co-operative ataua
Specialized Co-operative
Pembangunan, kemajuan, ataupun modernisasi pada hakekatnya
adalah perkembangan spesialisasi, sehingga dapat dikatakan semakin maju
ekonomi dan masyarakat semakin banyak pula terjadi spesialisasi.
Koperasi usaha tunggal ialah Koperasi yang mengusahakan hanya satu
macam kegiatan usaha, meskipun kebutuhan para anggota dan kesempatan
untuk memperluas usaha ada. Misalnya Koperasi kredit atau sering disebut
“credit union” bahkan di Jerman Barat, Canada, Amerika Serikat, Korea
Selatan dan lain-lain jenis Koperasi ini sudah sangat maju dan
15 Phoby Mutis, Pengembangan Koperasi, Kumpulan Karangan, Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Jakarta, 1992, h. 20-21
26
menggunakan sistem komputer., namun tetap setia untuk mengelolahanya
satu jenis usaha. Juga Koperasi Batik, di Indonesia. Kesimpulan logis dari
perkembangan tersebut ialah: jangan ditutup kemungkinan timbulnya
spesialisasi dan Specialized Co-operatives karena ini bisa berarti menutup
perkembangan dan kemajuan.16
A.7.2. Koperasi Serba Usaha atau Multi Purpose Co-operative
Koperasi serba usaha ialah koperasi yang menyelenggarakan usaha
lebih dari satu macam kebutuhan ekonomi atau kepentingan ekonomi para
anggotanya. Biasanya Koperasi demikian tidak dibentuk sekaligus untuk
melakukan bermacam-macam usaha, melainkan makin luas karena
kebutuhan anggota yang makin berkembang, kesempatan usaha yang
terbuka dan lain-lain sebab. Namun tingkat kerumitan mengelola
bermacam-macam jenis usaha lebih tinggi dibandingkan dengan yang
hanya mengelola satu macam jenis usaha saja. Apalagi, kalau diingat,
tingkat resikonya pun juga lebih tinggi, dan sangat terbatasnya tenaga yang
dimiliki pengelolaan yang tinggi di dalam lingkungan Koperasi itu
sendiri.17
Jenis badan usaha Koperasi diatur di dalam Pasal 82, 83, dan 84 UU
17/2012. Dalam Pasal 82 disebutkan bahwa:
(1) Setiap Koperasi mencantumkan jenis Koperasi
dalam Anggaran Dasar.
16 Hendrojogi, ed., Koperasi : Masalah Pengembangan dan Pembinaannya, Penerbit
Bagian Publikasi Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1985,
h. 19.
17 Parjimin Nurzain dan Djabaruddin Djohan, Op.Cit.,h.3.22.
27
(2) Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didasarkan pada kesamaan kegiatan
usaha dan/atau kepentingan ekonomi Anggota.
Dalam Pasal 83 disebutkan bahwa:
Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
82 terdiri dari:
a. Koperasi konsumen;
b. Koperasi produsen;
c. Koperasi jasa; dan
d. Koperasi Simpan Pinjam.
Selanjutanya dalam Pasal 84 dijelaskan bahwa:
(1) Koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan
usaha pelayanan di bidang penyediaan barang
kebutuhan Anggota dan non-Anggota.
(2) Koperasi produsen menyelenggarakan kegiatan
usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana
produksi dan pemasaran produksi yang
dihasilkan Anggota kepada Anggota dan non-
Anggota.
(3) Koperasi jasa menyelenggarakan kegiatan
usaha pelayanan jasa non-simpan pinjam yang
diperlukan oleh Anggota dan non-Anggota.
(4) Koperasi Simpan Pinjam menjalankan usaha
simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang
melayani Anggota.
Koperasi usaha tunggal atau Singel Purpose Co-operative dan
Koperasi serba usaha atau Multi Purpose Co-operative adalah untuk
menunjukan apakah suatu Koperasi melaksanakan satu atau berbagai
fungsi.
28
B. Hasil Penelitian
Untuk mengetahui apakah dalil pemohon dalam pengujian UU 17/2012
benar sepenuhnya bertentangan dengan UUD NRI 1945. Maka hasil penelitian
terdiri dari:18
B.1. Pasal yang Dimohonkan dan Dalil Pemohon:
B.1.1. Pemohon I sampai dengan Pemohon VI
Pemohon I sampai dengan Pemohon VI sebagai Badan Hukum
Koperasi beranggapan hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan
berlakunya ketentuan dalam UU 17/2012 sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 1 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang
perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan
kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha,
yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi,
sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.
Yang dimasalahkan pemohon adalah frasa “orang perseorangan”
menurut pemohon frasa ini berakibat pada pengutamaan kemakmuran
orang perseorangan, bukan kemakmuran bersama yakni anggota
Koperasi. Selain itu, dengan definisi Koperasi yang didirikan oleh
perseorangan maka prinsip usaha bersama dan asas kekeluargaan
tidak akan dapat terwujud sehingga tidak tepat/bertentangan dengan
Pasal 33 UUD 1945.
b. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2)
Pasal 37 ayat (1) berbunyi:
18 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013
29
Dalam Rapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(2) Pengurus wajib mengajukan laporan pertanggungjawaban
tahunan yang berisi: ... f. besar imbalan bagi Pengawas serta gaji
dan tunjangan lain bagi Pengurus.
Sedangkan Pasal 57 ayat (2) berbunyi:
Gaji dan tunjangan setiap pengurus ditentukan oleh Rapat Anggota
atas usul pengawas.
Pasal ini dimasalahkan oleh pemohon karena menetapkan pengurus
dan pengawas Koperasi digaji dan mendapat tunjangan. Para
Pemohon menganggap bahwa adanya ketentuan a quo membelenggu
hak para Pemohon untuk menjalankan Koperasi yang Pengurusnya
tidak digaji.
c. Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e
Pasal 57 ayat (2):
Pasal 50 ayat (1) berbunyi:
Pengawas bertugas: a. mengusulkan calon Pengurus;
Sedangkan Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e berbunyi :
Pengawas berwenang: a. menetapkan penerimaan dan penolakan
Anggota baru serta pemberhentian Anggota sesuai dengan ketentuan
dalam Anggaran Dasar; e. dapat memberhentikan Pengurus untuk
sementara waktu dengan menyebutkan alasannya.
Pasal-pasal tersebut dimohonkan pembatalannya karena memberikan
kewenangan sekunder teknis pengawas yang seakan-akan melebihi
wewenang rapat anggota sebagai perangkat organisasi Koperasi yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
d. BAB VII yang diantaranya:
Pasal 66:
30
(1) Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat
Modal Koperasi sebagai modal awal.
(2) Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) modal
Koperasi dapat berasal dari:
a. Hibah;
b. Modal Penyertaan;
c. modal pinjaman yang berasal dari:
1. Anggota;
2. Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya;
3. bank dan lembaga keuangan lainnya;
4. penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;
dan/atau
5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah. dan/atau
sumber lain yang sah yang tidak bertentangan
dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 67:
(1) Setoran Pokok dibayarkan oleh Anggota pada saat yang
bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota dan
tidak dapat dikembalikan.
(2) Setoran Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
telah disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penetapan
Setoran Pokok pada suatu Koperasi diatur dalam Anggaran
Dasar.
Pasal 68:
(1) Setiap Anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal
Koperasi yang jumlah minimumnya ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
(2) Koperasi harus menerbitkan Sertifikat Modal Koperasi
dengan nilai nominal per lembar maksimum sama dengan
nilai Setoran Pokok.
(3) Pembelian Sertifikat Modal Koperasi dalam jumlah minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti
penyertaan modal Anggota di Koperasi.
(4) Kepada setiap Anggota diberikan bukti penyetoran atas
Sertifikat Modal Koperasi yang telah disetornya.
Keseluruhan BAB VII mengenai Permodalan Koperasi antara Pasal
66 sampai dengan Pasal 68 dimasalahkan oleh Pemohon karena
31
dalam menjalankan Koperasinya tidak lagi dapat mendasarkan
pada asas kekeluargaan karena pada dasarnya Koperasi dijalankan
dengan prinsip sebatas modal yang dikeluarkan sehingga
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1) UUD
1945.
e. Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 84:
Pasal 82:
(1) Setiap Koperasi mencantumkan jenis Koperasi dalam
Anggaran Dasar.
(2) Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada kesamaan kegiatan usaha dan/atau
kepentingan ekonomi Anggota.
Pasal 83:
Jenis Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 terdiri
dari:
a. Koperasi konsumen;
b. Koperasi produsen;
c. Koperasi jasa; dan
d. Koperasi Simpan Pinjam.
Pasal 84:
(1) Koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan
Anggota dan non-Anggota.
(2) Koperasi produsen menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan
pemasaran produksi yang dihasilkan Anggota kepada
Anggota dan non-Anggota.
(3) Koperasi jasa menyelenggarakan kegiatan usaha
pelayanan jasa nonsimpan pinjam yang diperlukan oleh
Anggota dan non-Anggota.
(4) Koperasi Simpan Pinjam menjalankan usaha simpan
pinjam sebagai satusatunya usaha yang melayani Anggota;
Ketiga Pasal tersebut dimasalahkan oleh Pemohon karena seakan-
akan membatasi usaha Koperasi dengan hanya menentukan satu
32
Koperasi satu Jenis Usaha yang dilakukan Koperasi sehingga
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
B.1.2. Pemohon VII dan Pemohon VIII
Pemohon VII dan Pemohon VIII sebagai warga negara Indonesia
beranggapan hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya
ketentuan dalam UU 17/2012 sebagai berikut:
a. Pasal 50 ayat (1) huruf a dan Pasal 56 ayat (1)
Pasal 50 ayat (1) huruf a UU Perkoperasian, berbunyi:
Pengawas bertugas:a. mengusulkan calon Penguru;
Sedangkan Pasal 56 ayat (1) UU Perkoperasian, berbunyi:
Pengurus dipilih dan diangkat pada Rapat Anggota atas usul
Pengawas.
Pasal ini dimasalahkan oleh Pemohon karena menghilangkan hak
Pemohon untuk mencalonkan diri sebagai Pengurus Koperasi,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat
(1) UUD 1945.
b. Pasal 50 ayat (2) huruf e berbunyi:
Pengawas dapat memberhentikan pengurus untuk sementara waktu
dengan menyebutkan alasannya.
Ketentuan ini dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945.
c. Pasal 55 ayat (1) berbunyi:
Pengurus dipilih dari orang perseorangan, baik Anggota maupun
non-Anggota.
33
Ketentuan ini dimohonkan pembatalannya karena memberikan
kesempatan kepada orang yang bukan anggota Koperasi untuk
menjadi pengurus, sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945.
d. Pasal 67 ayat (1) berbunyi:
Setoran Pokok dibayarkan oleh Anggota pada saat yang
bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota dan tidak
dapat dikembalikan.
Ketentuan ini dimohonkan untuk dibatalkan karena dianggap
sebagai bentuk perampasan secara sewenang-wenang terhadap hak
milik pribadi yang dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
e. Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84.
Ketentuan ini diuji karena dianggap membatasi jenis Koperasi
sebatas pada Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi
Jasa, dan Koperasi Simpan Pinjam, oleh para Pemohon dianggap
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
B.2. Tanggapan Pemerintah dan Keterangan Ahli
Pemerintah memberikan tanggapan secara tertulis yang pada intinya
adalah sebagai berikut:
a. Bahwa tidak benar dan tidak berdasar adanya pelanggaran
konstitusional dalam Pasal 1 angka 1 UU 17/2012 khususnya frasa
"orang perseorangan", karena ketentuan tersebut merupakan
perumusan subjek hukum (subjectum juris) yang membedakan
subjek hukum orang perseorangan (persoon) dengan subjek hukum
Badan Hukum (recht persoon), yang tidak ada kaitannya dengan
34
sifat individualistik karena ada persyaratan wajib pendirian
Koperasi oleh paling sedikit 20 (dua puluh) orang sebagaimana
tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU 17/2012, sehingga Pasal 1
angka 1 UU 17/2012 adalah tidak benar dianggap sebagai badan
usaha berwatak individualistik. Menurut Dr. Sonny Dewi
Judiaasih, yang merupakan ahli Termohon menerangkan bahwa
tidak ada masalah terhadap perkataan orang per orang yang
terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU 17/2012. Karena suatu perjanjian
hanya bisa dilakukan oleh orang perorangan atau subjek hukum
sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagai subjek hukum orang
perorangan. Selain itu, Dr. Suwandi, S.E., M.Si., juga
menerangkan bahwa UU 17/2012 telah memberikan suatu solusi
dan suatu kemajuan dibanding dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian karena pada Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Koperasi disebut
sebagai badan usaha dan badan usaha itu kebutuhannya ke depan
ialah agar mempunyai status badan hukum dan status badan hukum
itu ialah dirinya sendiri yaitu Koperasi.
b. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan anggapan para Pemohon
terhadap Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU
17/2012, oleh karena Pengurus dan Pengawas memberikan prestasi
dalam menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya
sehingga absah/beralasan untuk memperoleh hak-hak berupa gaji
dan tunjangan bagi Pengurus, dan imbalan bagi Pengawas
35
sebagaimana ketentuan a quo, sehingga ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
c. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan norma Pasal 50 ayat (1)
huruf a UU Perkoperasian, dan Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, oleh karena
ketentuan a quo tidak menghilangkan kewenangan Rapat Anggota
sebagai kekuasaan tertinggi dalam mengangkat Pengurus Koperasi
yang dinormakan pada Pasal 32 dan Pasal 33 huruf c UU 17/2012.
d. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan anggapan para Pemohon
bahwa norma Pasal 55 ayat (1) UU 17/2012, bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena untuk menjadikan Koperasi
sebagai Badan Hukum dan badan usaha yang kuat, sehat, mandiri
dan tangguh diperiukan profesionalisme dalam pengelolaan
Koperasi, sehingga jika tidak ditemukan kualifikasi profesional dari
Anggota maka dapat diangkat dari non-anggota. Menurut ahli
Termohon, Dr. Burhanuddin Abdulah, pada tahun 2015 akan
dilaksanakan masyarakat ekonomi Asean, dan untuk bisa berkiprah
di pasar global maka salah satu aspek penting yang harus dipenuhi
adalah modal ketrampilan yang handal. Dengan dipenuhinya aspek
ini, Koperasi diharapkan dapat dikelola secara professional. Oleh
karena itu, kita boleh menaruh harapan pada implementasi UU
17/2012.
e. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan anggapan para Pemohon
bahwa norma Pasal 66 UU 17/2012 mengenai modal Koperasi
36
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena Koperasi
sebagai Badan Hukum dan badan usaha memerlukan modal awal
yang terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi
untuk memulai aktivitas usaha Koperasi. Sertifikat Modal Koperasi
tidak identik dengan saham (share) pada Badan Hukum Perseroan
Terbatas (PT), karena tidak berpengaruh pada hak suara dimana
hak suara anggota adalah tetap, satu orang anggota satu suara.
f. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan anggapan para Pemohon
bahwa norma Pasal 67 UU 17/2012 mengenai Setoran Pokok yang
dibayarkan anggota Koperasi tidak dapat dikembalikan,
bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4)
UUD, karena Setoran Pokok merupakan persyaratan sebagai
anggota Koperasi sebagai perwujudan asas kekeluargaan dan
reaiisasi dari partisipasi anggota Koperasi sebagai ruh koperasi,
serta menjadi sumber modal koperasi. Oleh karenanya, status
setoran pokok anggota merupakan harta kekayaan Koperasi selaku
Badan Hukum, dan karenanya tidak ada pengambilan harta pribadi
anggota namun mempertahankan asas kekeluargaan, malahan
mempertahankan harta kekayaan Badan Hukum Koperasi yang
juga dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Menurut ahli
Termohon, Dr. Suwandi, S.E., M.Si., menerangkan bahwa
UU/17/2012 secara dinamis telah mengakomodasi fakta-fakta di
masyarakat dalam perikehidupan koperasi bahwa modal koperasi
secara pada umumnya memang tidak stabil karena dipengaruhi oleh
37
keluar masuknya anggota yaitu dengan instrumen yang disebut
dengan Sertifikat Modal Koperasi (SMK) dan Setoran Pokok.
g. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan norma Pasal 68 UU 17/2012
mengenai anggota Koperasi harus membeli Sertifikat Modal
Koperasi, bertentangan dengan UUD 1945, oleh karena Sertifikat
Modal Koperasi merupakan bentuk dari partisipasi finansial
anggota, yang merupakan perwujudan prinsip "dari anggota, untuk
anggota, dan oleh anggota" yang bersesuaian dengan asas
kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UUD
1945. Sertifikat Modal Koperasi tidak merupakan saham dan tidak
mempengaruhi hak suara anggota Koperasi dalam rapat anggota.
Norma Pasal 68 UU 17/2012 tersebut bermanfaat dalam mencapai
filosofi koperasi yang tumbuh kuat, sehat, mandiri dan tangguh.
h. Bahwa tidak benar dan tidak beralasan norma Pasal 82, Pasal 83,
dan Pasal 84 UU 17/2012 mengenai jenis Koperasi bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, oleh karena pencantuman
jenis Koperasi dalam Anggaran Dasar sebagai bentuk kepastian
hukum dalam menentukan fokus kegiatan usaha Koperasi, guna
mencapai Koperasi yang kuat, sehat, mandiri dan tangguh. Menurut
ahli Termohon, Dr. Suwandi, S.E., M.Si., menerangkan bahwa
mengenai jenis tujuan dan usaha Koperasi dalam UU 17/2012,
esensi keempat jenis Koperasi yaitu Koperais produsen, Koperasi
Konsumen, Koperasi jasa dan Koperasi simpan pinjam, tiga bentuk
yang pertama adalah Koperasi yang bergerak di sektor riil
38
sedangkan simpan pinjam dan sebagian lagi dari kegiatan sektor
jasa keuangan selain simpan pinjam adalah Koperasi yang bergerak
pada sektor keuangan. Hal sama ditegaskan oleh ahli Termohon,
Dr. Bagong Suyanto, bahwa jenis koperasi yang bergerak di
sektor riil dan koperasi atau badan atau badan usaha yang bergerak
di bidang keuangan, itu memang seyogianya tidak dalam suatu
wadah usaha karena akan berpotensi menimbulkan conflict of
interest. Kenapa kemudian perlu dipisah antara koperasi sektor riil
dan koperasi yang bergerak di sektor keuangan.
B.3. Pertimbangan Hukum
a. Pengertian Koperasi (Pasal 1 angka 1 UU 17/2012)
Menimbang, para Pemohon mendalilkan bahwa frasa “orang
perseorangan” dalam pengertian Koperasi yang termuat dalam Pasal 1
angka 1 UU 17/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945
dengan alasan bahwa rumusan pengertian tersebut mengarah ke
individualisme. MK dengan beberapa pertimbangan yang dilakukan
memberikan penjelasan bahwa rumusan Pasal 1 angka 1 UU/17/2012
sangat berbeda yang menyatakan bahwa Koperasi adalah badan hukum.
Rumusan bahwa Koperasi adalah badan hukum tidak mengendung
pengertian subtantif sebagaimana Koperasi dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) UUD NRI 1945 dan penjelasannya yang merujuk pada
pengertian sebagai bangun perusahaan yang khas. Dengan demikian,
menurut MK, dalil pemohon bahwa pengertian Koperasi dalam pasal
39
tersebut mengandung individualisme, sehingga dalil pemohon beralasan
menurut hukum.
b. Gaji Pengurus dan Imbalan Pengawas (Pasal 37 ayat (1) huruf
f dan Pasal 57 ayat (2) UU 17/2012)
Menimbang para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 37 ayat (1)
huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU 17/2012 bertentangan dengan Pasal 33
ayat (1) UUD 1945. Terhadap isu tersebut, MK mempertimbangkan
bahwa pemberian imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji dan
tunjangan kepada pengurus merupakan hak dan kewenangan RAT
sebagai mekanisme kedaulatan para anggota koperasi untuk menentukan
perlu atau tidak perlunya imbalan pengawas serta pemberian gaji dan
tunjangan kepada pengurus atau manakala hal tersebut telah ditetapkan
berapa besarannya pun menjadi ruang lingkup kebijakan RAT untuk
menentukannya. Oleh karena itu, menurut MK, dalil para Pemohon tidak
beralasan menurut hukum.
c. Tugas dan Kewenangan Pengawas (Pasal 50 ayat (1) huruf a
dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal 56 ayat (1) UU
17/2012)
Menimbang para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 50 ayat (1)
huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf e serta Pasal 56 ayat (1) UU
17/2012 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945. Isu spesifik dari pasal-pasal tersebut adalah (i) tugas
pengawas mengusulkan pengurus; (ii) kewenangan pengawas menerima
40
dan menolak anggota baru serta memberhentikan anggota dan (iii)
kewenangan pengawas memberhentikan pengurus untuk sementara
waktu. Terhadap hal tersebut, MK berpendapat bahwa terdapat
kontradiksi antara Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan huruf e,
serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012, yang masing-masing memberikan
tugas kepada pengawas mengusulkan pengurus, memberikan
kewenangan kepada pengawas menerima dan menolak anggota baru,
memberhentikan anggota, serta memberhentikan pengurus untuk
sementara waktu, dengan Pasal 5 ayat (1) huruf d dan huruf e serta Pasal
29 ayat (2) huruf c UU 17/2012, yang menjadikan demokrasi dan
persamaan sebagai nilai dasar kegiatan koperasi serta hak bagi anggota
untuk memilih dan dipilih. Dengan demikian maka berarti pula
bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dengan kewenangan pengawas yang
demikian akan mereduksi, bahkan menegasikan kedaulatan anggota dan
eksistensi RAT. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil permohonan
para Pemohon mengenai Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a dan
huruf e, serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012 beralasan menurut hukum.
d. Pengangkatan Pengurus dari Non-Anggota
Menimbang, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 55 ayat (1)
UU 17/2012 yang menentukan bahwa pengurus koperasi dipilih dari non-
anggota (frasa non-anggota), bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) UUD
1945. Terhadap dalil tersebut, MK berpendapat bahwa secara khusus
ketentuan tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan hak anggota
41
Koperasi untuk menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih sesuai nilai
kekeluargaan, bertanggung jawab, demokrasi, dan persamaan yang
menjadi dasar Koperasi serta nilai keterbukaan dan tanggung jawab yang
diyakini anggota koperasi yang kesemuanya itu merupakan derivasi dari
demokrasi ekonomi Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Apabila alasannya adalah untuk membangun koperasi yang lebih
profesional, justru yang harus dibangun adalah anggota koperasi supaya
menjadi tenaga professional, sehingga tidak perlu merekrut non-anggota
untuk menjadi pengurus. Hal tersebut tentu tidak menjadi persoalan
apabila tenaga profesional tersebut direkrut menjadi karyawan koperasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permohonan para Pemohon
mengenai pengujian konstitusional frasa non-anggota dalam Pasal 55
ayat (1) UU 17/2012 beralasan menurut hukum.
e. Modal Koperasi [Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 UU 17/2012]
Menimbang para Pemohon menguji BAB VII UU 17/2012 tentang
Modal Koperasi, yaitu Pasal 66 sampai dengan Pasal 77 bertentangan
dengan Pasal 28H ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Pemohon
mendalilkan bahwa skema modal awal koperasi yang terdiri atas setoran
pokok dan sertifikat modal koperasi. Setoran pokok tidak dapat
dikembalikan, sertifikat modal koperasi tidak dapat ditarik dan hanya
dapat dijual kepada sesama anggota atau calon anggota atau ditalangi
maksimal 20% dari surplus hasil usaha (SHU) adalah bentuk perampasan
secara sewenang-wenang terhadap hak milik pribadi yang bertentangan
42
dengan hakikat usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Terhadap hal
tersebut MK mempertimbangkan sebagai berikut ;
Istilah setoran pokok, menurut MK, lebih menekankan pada
pengertiannya sebagai penyerahan sejumlah uang sebagai modal,
sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik kembali bila yang
bersangkutan keluar atau berhenti sebagai anggota koperasi. Berbeda
dengan penggunaan istilah simpanan pokok yang maknanya bahwa
anggota koperasi menyimpan sejumlah uang sebagai modal. Koperasi
adalah tempat, yang menurut anggota, aman karena pengurus yang
sesungguhnya adalah sesama anggota sepertinya bersifat amanah.
Dengan demikian setiap anggota yang membayar simpanan pokok
sebagai modal koperasi memercayai simpanan tersebut aman, sehingga
manakala yang bersangkutan keluar atau berhenti karena suatu alasan
maka simpanan tersebut dapat diambil kembali. Jadi, dalam konsep
simpanan pokok, uang yang disimpan itu tidak semata-mata menjadi
modal koperasi tetapi juga berfungsi sebagai tabungan dari anggota.
Kekayaan anggota yang merupakan modal koperasi inilah yang disebut
simpanan anggota. Karena itu, setoran pokok dalam koperasi harus
dilihat sebagai wujud keputusan seseorang untuk menggabungkan diri
secara suka rela sebagai anggota koperasi. Atas dasar kesukarelaan
tersebut bila anggota tersebut memutuskan untuk keluar atau berhenti
karena suatu alasan maka adalah wajar bila simpanan pokok tersebut
ditarik kembali. Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka makna
tetap atau bertahan menjadi anggota koperasi adalah suatu keterpaksaan.
43
Dengan demikian ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip
koperasi yang bersifat sukarela dan terbuka yang merupakan derivasi dari
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
Terhadap Pasal 68 dan Pasal 69 yang mengharuskan anggota
Koperasi membeli sertifikat modal koperasi, menurut MK, adalah norma
yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela dan
terbuka yang merupakan derivasi dari Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, karena ketentuan
tersebut jelas bahwa modal materiil telah menjadi hal utama dalam
berkoperasi. Hal ini berarti, orientasi koperasi telah bergeser ke arah
kumpulan modal, yang dengan demikian telah mengingkari jati diri
koperasi sebagai perkumpulan orang dengan usaha bersama sebagai
modal utamanya. Modal materiil dan finansial merupakan hal yang
penting, namun konsep modal koperasi harus berkelindan dengan makna
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan” sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Terlebih lagi di dalam UU 17/2012 tidak ada ketentuan batas maksimal
sertifikat modal koperasi dapat disetor. Meskipun modal tidak memiliki
suara, namun perbedaan pemilikan modal dipastikan akan berakibat pada
perbedaan kekuatan dan pengaruh dalam pengelolaan koperasi, sehingga
hal tersebut bertentangan dengan prinsip keanggotaan yang berdasarkan
kebersamaan dan kesukarelaan.
44
Berdasarkan pertimbangan di atas dan dengan tidak perlu
mempertimbangkan lagi secara khusus pasal-pasal yang belum atau tidak
dipertimbangkan, permohonan pengujian konstitusionalitas para
Pemohon mengenai BAB VII UU 17/2012 tentang Modal Koperasi, yaitu
Pasal 66 sampai dengan Pasal 77 beralasan menurut hukum.
f. Jenis Koperasi (Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 UU 17/2012)
Menimbang para Pemohon mendalilkan Pasal 82, Pasal 83, dan
Pasal 84 UU 17/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4)
UUD 1945. Terhadap hal tersebut, MK berpendapat bahwa membatasi
jenis kegiatan usaha koperasi hanya empat jenis telah memasung
kreativitas koperasi untuk menentukan sendiri jenis kegiatan usaha, yang
bisa jadi, berseiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
budaya, dan ekonomi, berkembang pula jenis kegiatan usaha untuk
memenuhi kebutuhan ekonomis manusia. Membatasi jenis usaha
koperasi dengan menentukan satu jenis usaha koperasi (single purpose
cooperative) bertentangan dengan hakikat koperasi sebagai suatu
organisasi kolektif dengan tujuan memenuhi keperluan hidup untuk
mencapai kesejahteraan anggota. Seharusnya suatu koperasi sebagai
usaha bersama diberi keleluasaan berusaha tanpa membatasi satu jenis
tertentu. Hal tersebut bukanlah berarti tidak boleh mendirikan suatu
koperasi dengan satu jenis usaha tertentu, melainkan sangat tergantung
pada kehendak para anggota sesuai kebutuhan yang dihadapinya. Hal ini
pun berlaku pada Perseroan Terbatas, yang dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas tidak membatasi jenis usaha setiap satu Perseroan
45
Terbatas harus satu jenis usaha. Lagipula, salah satu fungsi koperasi
adalah merasionalisasi ekonomi dengan memendekkan jalur
perekonomian sehingga dapat mensejahterakan anggotanya. Fungsi ini
tidak akan dapat tercapai jika ada pembatasan jenis usaha. Dengan
demikian dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
C. Tabel Hasil Penelitian
Tabel 1.
Deskripsi Putusan MK Nomor 28/PUU-XI/2013
Pasal yang Dimohonkan Dalil Pemohon Tanggapan Termohon
1.Pemohon I sampai dengan
Pemohon VI:
a. Pasal 1 angka 1yang bunyi:
Koperasi adalah badan
hukum yang didirikan oleh
orang perseorangan atau
badan hukum Koperasi,
dengan pemisahan kekayaan
para anggotanya sebagai
modal untuk menjalankan
usaha, yang memenuhi
aspirasi dan kebutuhan
bersama di bidang ekonomi,
sosial, dan budaya sesuai
dengan nilai dan prinsip
Koperasi.
b. Pasal 37 ayat (1) huruf f dan
Pasal 57 ayat (2)
Pasal 37 ayat (1) berbunyi:
Dalam Rapat Anggota
sebagaimana dimaksud dalam
1.Pemohon I sampai
dengan Pemohon
VI:
a. Pasal 1 angka 1
UU 17/2012
Yang dimasalahkan
pemohon adalah
frasa “orang
perseorangan”
menurut pemohon
frasa ini berakibat
pada pengutamaan
kemakmuran orang
perseorangan,
bukan kemakmuran
bersama yakni
anggota Koperasi.
Selain itu, dengan
definisi Koperasi
yang didirikan oleh
perseorangan maka
prinsip usaha
bersama dan asas
a. Bahwa tidak benar dan
tidak berdasar adanya
pelanggaran konstitusional
dalam Pasal 1 angka 1 UU
17/2012 khususnya frasa
"orang perseorangan",
karena ketentuan tersebut
merupakan perumusan
subjek hukum (subjectum
juris) yang membedakan
subjek hukum orang
perseorangan (persoon)
dengan subjek hukum
Badan Hukum (recht
persoon), yang tidak ada
kaitannya dengan sifat
individualistik karena ada
persyaratan wajib pendirian
Koperasi oleh paling sedikit
20 (dua puluh) orang
sebagaimana tercantum
dalam Pasal 7 ayat (1) UU
17/2012, sehingga Pasal 1
angka 1 UU 17/2012 adalah
46
Pasal 36 ayat (2) Pengurus
wajib mengajukan laporan
pertanggungjawaban tahunan
yang berisi: ... f. besar
imbalan bagi Pengawas serta
gaji dan tunjangan lain bagi
Pengurus.
Sedangkan Pasal 57 ayat (2)
berbunyi:
Gaji dan tunjangan setiap
pengurus ditentukan oleh
Rapat Anggota atas usul
pengawas.
c. Pasal 50 ayat (1) huruf a,
Pasal 50 ayat (2) huruf a
dan huruf ePasal 57 ayat
(2):
Pasal 50 ayat (1) berbunyi:
Pengawas bertugas: a.
mengusulkan calon Pengurus;
Sedangkan Pasal 50 ayat (2)
huruf a dan huruf e
berbunyi :
Pengawas berwenang: a.
menetapkan penerimaan dan
penolakan Anggota baru serta
pemberhentian Anggota
sesuai dengan ketentuan
dalam Anggaran Dasar; e.
dapat memberhentikan
Pengurus untuk sementara
waktu dengan menyebutkan
alasannya.
d. BAB VII (Pasal 66 s.d. Pasal
77) diantaranya:
Pasal 66:
(3) Modal Koperasi terdiri
kekeluargaan tidak
akan dapat
terwujudsehingga
tidak
tepat/bertentangan
dengan Pasal 33
UUD 1945.
b. Pasal 37 ayat (1)
huruf f dan Pasal
57 ayat (2).
Pasal ini
dimasalahkan oleh
pemohon karena
menetapkan
pengurus dan
pengawas Koperasi
digaji dan
mendapat
tunjangan. Para
Pemohon
menganggap bahwa
adanya ketentuan a
quo membelenggu
hak para Pemohon
untuk menjalankan
Koperasi yang
Pengurusnya tidak
digaji.
c. Pasal 50 ayat (1)
huruf a, Pasal 50
ayat (2) huruf a
dan huruf e Pasal
57 ayat (2).
Pasal-pasal tersebut
dimohonkan
pembatalannya
karena memberikan
kewenangan
sekunder teknis
pengawas yang
tidak benar dianggap
sebagai badan usaha
berwatak individualistik.
b. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan anggapan
para Pemohon terhadap
Pasal 37 ayat (1) huruf f
dan Pasal 57 ayat (2) UU
17/2012, oleh karena
Pengurus dan Pengawas
memberikan prestasi dalam
menjalankan tugas,
wewenang, dan tanggung
jawabnya sehingga
absah/beralasan untuk
memperoleh hak-hak
berupa gaji dan tunjangan
bagi Pengurus, dan imbalan
bagi Pengawas
sebagaimana ketentuan a
quo, sehingga ketentuan
tersebut tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
c. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan norma Pasal
50 ayat (1) huruf a UU
Perkoperasian, dan Pasal
56 ayat (1) UU 17/2012
bertentangan dengan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945, oleh
karena ketentuan a quo
tidak menghilangkan
kewenangan Rapat Anggota
sebagai kekuasaan tertinggi
dalam mengangkat
Pengurus Koperasi yang
dinormakan pada Pasal 32
dan Pasal 33 huruf c UU
17/2012.
47
dari Setoran Pokok dan
Sertifikat Modal Koperasi
sebagai modal awal.
Pasal 68:
(5) Setiap Anggota Koperasi
harus membeli Sertifikat
Modal Koperasi yang
jumlah minimumnya
ditetapkan dalam
Anggaran Dasar.
(6) Koperasi harus
menerbitkan Sertifikat
Modal Koperasi dengan
nilai nominal per lembar
maksimum sama dengan
nilai Setoran Pokok.
(7) Pembelian Sertifikat Modal
Koperasi dalam jumlah
minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
merupakan tanda bukti
penyertaan modal Anggota
di Koperasi.
(8) Kepada setiap Anggota
diberikan bukti penyetoran
atas Sertifikat Modal
Koperasi yang telah
disetornya.
e. Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal
84:
Pasal 82:
(3) Setiap Koperasi
mencantumkan jenis
Koperasi dalam Anggaran
Dasar.
(4) Jenis Koperasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didasarkan
pada kesamaan kegiatan
seakan-akan
melebihi wewenang
rapat anggota
sebagai perangkat
organisasi Koperasi
yang memegang
kekuasaan tertinggi
dalam Koperasi.
d. BAB VIImengenai
Permodalan
Koperasi (Pasal
66, Pasal 67 dan
Pasal 68)
dimasalahkan oleh
Pemohon karena
dalam menjalankan
Koperasinya tidak
lagi dapat
mendasarkan pada
asas kekeluargaan
karena pada
dasarnya Koperasi
dijalankan dengan
prinsip sebatas
modal yang
dikeluarkansehingg
a bertentangan
dengan Pasal 28H
ayat (4) dan Pasal
33 ayat (1) UUD
1945.
e. Pasal 82, Pasal 83
dan Pasal 84.
Ketiga Pasal
tersebut
dimasalahkan oleh
Pemohon karena
seakan-akan
membatasi usaha
Koperasi dengan
d. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan anggapan
para Pemohon bahwa
norma Pasal 55 ayat (1)
UU 17/2012, bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945, karena untuk
menjadikan Koperasi
sebagai Badan Hukum dan
badan usaha yang kuat,
sehat, mandiri dan tangguh
diperlukan profesionalisme
dalam pengelolaan
Koperasi, sehingga jika
tidak ditemukan kualifikasi
profesional dari Anggota
maka dapat diangkat dari
non-anggota.
e. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan anggapan
para Pemohon bahwa
normaPasal 66 UU 17/2012
mengenai modal Koperasi
bertentangan dengan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945,
karena Koperasi sebagai
Badan Hukum dan badan
usaha memerlukan modal
awal yang terdiri dari
Setoran Pokok dan
Sertifikat Modal Koperasi
untuk memulai aktivitas
usaha Koperasi. Sertifikat
Modal Koperasi tidak
identik dengan saham
(share) pada Badan Hukum
Perseroan Terbatas (PT),
karena tidak berpengaruh
pada hak suara dimana hak
suara anggota adalah tetap,
satu orang anggota satu
48
usaha dan/atau kepentingan
ekonomi Anggota.
Pasal 83:
Jenis Koperasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82
terdiri dari:
e. Koperasi konsumen;
f. Koperasi produsen;
g. Koperasi jasa; dan
h. Koperasi Simpan
Pinjam.
Pasal 84:
(5) Koperasi konsumen
menyelenggarakan
kegiatan usaha pelayanan
di bidang penyediaan
barang kebutuhan Anggota
dan non-Anggota.
(6) Koperasi produsen
menyelenggarakan
kegiatan usaha pelayanan
di bidang pengadaan
sarana produksi dan
pemasaran produksi yang
dihasilkan Anggota kepada
Anggota dan non-Anggota.
(7) Koperasi jasa
menyelenggarakan
kegiatan usaha pelayanan
jasa nonsimpan pinjam
yang diperlukan oleh
Anggota dan non-Anggota.
(8) Koperasi Simpan Pinjam
menjalankan usaha simpan
pinjam sebagai
satusatunya usaha yang
melayani Anggota;
2.Pemohon VII dan Pemohon
VIII
hanya menentukan
satu Koperasi satu
Jenis Usaha yang
dilakukan Koperasi
sehingga
bertentangan
dengan Pasal 33
ayat (4) UUD 1945.
2.Pemohon VII dan
Pemohon VIII.
a. Pasal 50 ayat (1)
huruf a dan Pasal
56 ayat (1).
Pasal ini
dimasalahkan oleh
Pemohon karena
menghilangkan hak
Pemohon untuk
mencalonkan diri
sebagai Pengurus
Koperasi, sehingga
bertentangan
dengan Pasal 28C
ayat (2) dan Pasal
33 ayat (1) UUD
1945.
b. Pasal 50 ayat (2)
huruf e.
Ketentuan ini
dimohonkan
pembatalannya
karena memberikan
kesempatan kepada
orang yang bukan
anggota Koperasi
untuk menjadi
pengurus, sehingga
bertentangan
dengan Pasal 33
suara.
f. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan anggapan
para Pemohon bahwa
norma Pasal 67 UU
17/2012 mengenai Setoran
Pokok yang dibayarkan
anggota Koperasi tidak
dapat dikembalikan,
bertentangan dengan Pasal
33 ayat (1) dan Pasal 28H
ayat (4) UUD, karena
Setoran Pokok merupakan
persyaratan sebagai anggota
Koperasi sebagai
perwujudan asas
kekeluargaan dan reaiisasi
dari partisipasi anggota
Koperasi sebagai ruh
koperasi, serta menjadi
sumber modal koperasi.
Oleh karenanya, status
setoran pokok anggota
merupakan harta kekayaan
Koperasi selaku Badan
Hukum, dan karenanya
tidak ada pengambilan harta
pribadi anggota namun
mempertahankan asas
kekeluargaan, malahan
mempertahankan harta
kekayaan Badan Hukum
Koperasi yang juga dijamin
dalam Pasal 28H ayat (4)
UUD 1945.
g. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan norma Pasal
68 UU 17/2012 mengenai
anggota Koperasi harus
membeli Sertifikat Modal
49
f. Pasal 50 ayat (1) huruf a
dan Pasal 56 ayat (1)
Pasal 50 ayat (1) huruf a,
berbunyi:
Pengawas bertugas:a.
mengusulkan calon
Penguru;
Sedangkan Pasal 56 ayat
(1), berbunyi:
Pengurus dipilih dan
diangkat pada Rapat
Anggota atas usul
Pengawas.
g. Pasal 50 ayat (2) huruf e
berbunyi:
Pengawas dapat
memberhentikan pengurus
untuk sementara waktu
dengan menyebutkan
alasannya.
h. Pasal 55 ayat (1) berbunyi:
Pengurus dipilih dari orang
perseorangan, baik Anggota
maupun non-Anggota.
i. Pasal 67 ayat (1) berbunyi:
Setoran Pokok dibayarkan oleh
Anggota pada saat yang
bersangkutan mengajukan
permohonan sebagai Anggota
dan tidak dapat dikembalikan.
ayat (1) UUD 1945.
c. Pasal 55 ayat (1).
Ketentuan ini
dimohonkan untuk
dibatalkan karena
dianggap sebagai
bentuk perampasan
secara sewenang-
wenang terhadap
hak milik pribadi
yang dijamin Pasal
28H ayat (4) UUD
1945.
d. Pasal 67 ayat (1).
Pemohon
mendalilkan bahwa
kehadiran ketentuan
inisangat
merugikan,
sehingga
bertentangan
dengan Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945.
e. Pasal 82, Pasal 83,
dan Pasal 84.
Ketentuan ini diuji
karena dianggap
membatasi jenis
Koperasi sebatas pada
Koperasi Konsumen,
Koperasi Produsen,
Koperasi Jasa, dan
Koperasi Simpan
Pinjam, oleh para
Pemohon dianggap
bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (4) UUD
1945.
Koperasi, bertentangan
dengan UUD 1945, oleh
karena Sertifikat Modal
Koperasi merupakan bentuk
dari partisipasi finansial
anggota, yang merupakan
perwujudan prinsip "dari
anggota, untuk anggota, dan
oleh anggota" yang
bersesuaian dengan asas
kekeluargaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) UUD 1945.
Sertifikat Modal Koperasi
tidak merupakan saham dan
tidak mempengaruhi hak
suara anggota Koperasi
dalam rapat anggota.
Norma Pasal 68 UU
17/2012 tersebut
bermanfaat dalam mencapai
filosofi koperasi yang
tumbuh kuat, sehat, mandiri
dan tangguh.
h. Bahwa tidak benar dan
tidak beralasan norma Pasal
82, Pasal 83, dan Pasal 84
UU 17/2012 mengenai jenis
Koperasi bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (1)
UUD 1945, oleh karena
pencantuman jenis Koperasi
dalam Anggaran Dasar
sebagai bentuk kepastian
hukum dalam menentukan
fokus kegiatan usaha
Koperasi, guna mencapai
Koperasi yang kuat, sehat,
mandiri dan tangguh.
50
Keterangan Ahli Termohon Pertimbangan Hukum
a. Terhadap Pengujian Pasal 1
angka 1 UU 17/2012.
Dr. Sonny Dewi Judiaasih,
memberikan keterangan bahwa
tidak ada masalah terhadap
perkataan orang per orang yang
terdapat pada Pasal 1 angka 1 UU
17/2012. Karena suatu perjanjian
hanya bisa dilakukan oleh orang
perorangan atau subjek hukum
sebagai pendukung hak dan
kewajiban sebagai subjek hukum
orang perorangan.Selain itu, Dr.
Suwandi, S.E., M.Si., juga
menerangkan bahwa UU 17/2012
telah memberikan suatu solusi
dan suatu kemajuan dibanding
dengan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian karena pada
Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang
Perkoperasian, Koperasi disebut
sebagai badan usaha dan badan
usaha itu kebutuhannya ke depan
ialah agar mempunyai status
badan hukum dan status badan
hukum itu ialah dirinya sendiri
yaitu Koperasi.
b.Terhadap PengujianPasal 55
ayat (1) UU 17/2012.
Menurut ahli, Dr. Burhanuddin
Abdulah, pada tahun 2015 akan
dilaksanakan masyarakat ekonomi
Asean, dan untuk bisa berkiprah
di pasar global maka salah satu
aspek penting yang harus
a. Pengertian Koperasi (Pasal 1 angka 1 UU
17/2012).
MK berpendapat bahwa penjelasan rumusan Pasal
1 angka 1 UU/17/2012 yang menyatakan bahwa
Koperasi adalah badan hukum tidak mengandung
pengertian subtantif sebagaimana Koperasi
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945
dan penjelasannya yang merujuk pada pengertian
sebagai bangun perusahaan yang khas. Dengan
demikian, menurut MK, dalil pemohon bahwa
pengertian Koperasi dalam pasal tersebut
mengandung individualisme, sehingga dalil
pemohon beralasan menurut hukum.
b. Gaji Pengurus dan Imbalan Pengawas (Pasal
37 ayat (1) huruf f dan Pasal 57 ayat (2) UU
17/2012).
MK mempertimbangkan bahwa pemberian
imbalan kepada pengawas serta pemberian gaji
dan tunjangan kepada pengurus merupakan hak
dan kewenangan RAT sebagai mekanisme
kedaulatan para anggota koperasi untuk
menentukan perlu atau tidak perlunya imbalan
pengawas serta pemberian gaji dan tunjangan
kepada pengurus atau manakala hal tersebut telah
ditetapkan berapa besarannya pun menjadi ruang
lingkup kebijakan RAT untuk menentukannya.
Oleh karena itu, menurut MK, dalil para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum.
c. Tugas dan Kewenangan Pengawas (Pasal 50
ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a dan huruf
e serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012)
MK berpendapat bahwa terdapat kontradiksi
antara Pasal 50 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a
dan huruf e, serta Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012,
yang masing-masing memberikan tugas kepada
pengawas mengusulkan pengurus, memberikan
51
dipenuhi adalah modal
ketrampilan yang handal.Dengan
dipenuhinya aspek ini, Koperasi
diharapkan dapat dikelola secara
professional. Oleh karena itu, kita
boleh menaruh harapan pada
implementasi UU 17/2012.
c. Terhadap pengujian Pasal 67
UU 17/2012
Menurut ahli, Dr. Suwandi, S.E.,
M.Si., menerangkan bahwa
UU/17/2012 secara dinamis telah
mengakomodasi fakta-fakta di
masyarakat dalam perikehidupan
koperasi bahwa modal koperasi
secara pada umumnya memang
tidak stabil karena dipengaruhi
oleh keluar masuknya anggota
yaitu dengan instrumen yang
disebut dengan Sertifikat Modal
Koperasi (SMK) dan Setoran
Pokok.
d.Terhadap pengujian Pasal 82,
Pasal 83, dan Pasal 84 UU
17/2012
Menurut ahli, Dr. Suwandi, S.E.,
M.Si., menerangkan bahwa
mengenai jenis tujuan dan usaha
Koperasi dalam UU 17/2012,
esensi keempat jenis Koperasi
yaitu Koperais produsen,
Koperasi Konsumen, Koperasi
jasa dan Koperasi simpan pinjam,
tiga bentuk yang pertama adalah
Koperasi yang bergerak di sektor
riil sedangkan simpan pinjam dan
sebagian lagi dari kegiatan sektor
jasa keuangan selain simpan
kewenangan kepada pengawas menerima dan
menolak anggota baru, memberhentikan anggota,
serta memberhentikan pengurus untuk sementara
waktu, dengan Pasal 5 ayat (1) huruf d dan huruf e
serta Pasal 29 ayat (2) huruf c UU 17/2012, yang
menjadikan demokrasi dan persamaan sebagai
nilai dasar kegiatan koperasi serta hak bagi
anggota untuk memilih dan dipilih. Dengan
demikian maka berarti pula bertentangan dengan
prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana
dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil
pemohon beralasan menurut hukum.
d. Pengangkatan Pengurus dari Non-Anggota
MK berpendapat bahwa secara khusus ketentuan
tersebut menghalangi atau bahkan menegasikan
hak anggota Koperasi untuk menyatakan
pendapat, memilih, dan dipilihsesuai nilai
kekeluargaan, bertanggung jawab, demokrasi, dan
persamaan yang menjadi dasar Koperasi serta
nilai keterbukaan dan tanggung jawab yang
diyakini anggota koperasi yang kesemuanya itu
merupakan derivasi dari demokrasi ekonomi Pasal
33 ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian dalil
beralasan menurut hukum.
e. Modal Koperasi [Pasal 66, Pasal 67 dan Pasal
68 UU 17/2012]
MK mempertimbangkan sebagai berikut;
Istilah setoran pokok (Pasal 66), menurut MK,
lebih menekankan pada pengertiannya sebagai
penyerahan sejumlah uang sebagai modal,
sehingga konsekuensinya tidak dapat ditarik
kembali bila yang bersangkutan keluar atau
berhenti sebagai anggota koperasi. Berbeda
dengan penggunaan istilah simpanan pokok yang
maknanya bahwa anggota koperasi menyimpan
sejumlah uang sebagai modal. Karena itu, setoran
pokok dalam koperasi harus dilihat sebagai
52
pinjam adalah Koperasi yang
bergerak pada sektor keuangan.
Hal sama ditegaskan oleh ahli,
Dr. Bagong Suyanto, bahwajenis
koperasi yang bergerak di sektor
riil dan koperasi atau badan atau
badan usaha yang bergerak di
bidang keuangan, itu memang
seyogianya tidak dalam suatu
wadah usaha karena akan
berpotensi menimbulkan conflict
of interest. Kenapa kemudian
perlu dipisah antara koperasi
sektor riil dan koperasi yang
bergerak di sektor keuangan.
wujud keputusan seseorang untuk
menggabungkan diri secara suka rela sebagai
anggota koperasi. Atas dasar kesukarelaan
tersebut bila anggota tersebut memutuskan untuk
keluar atau berhenti karena suatu alasan maka
adalah wajar bila simpanan pokok tersebut
ditarik kembali.
Apabila Pasal 67 ayat (1) tetap berlaku maka
makna tetap atau bertahan menjadi anggota
koperasi adalah suatu keterpaksaan. Dengan
demikian ketentuan tersebut jelas bertentangan
dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela
dan terbuka yang merupakan derivasi dari Pasal
33 ayat (1) UUD 1945, yaitu sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Terhadap Pasal 68 yang mengharuskan anggota
Koperasi membeli sertifikat modal koperasi,
menurut MK, adalah norma yang tidak sesuai
dengan prinsip koperasi yang bersifat sukarela
dan terbuka yang merupakan derivasi dari Pasal
33 ayat (1) UUD 1945, yaitu sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan, karena
ketentuan tersebut jelas bahwa modal materiil
telah menjadi hal utama dalam berkoperasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan
pengujian konstitusionalitas para Pemohon
mengenai Pasal 66 sampai dengan Pasal 68
beralasan menurut hukum.
f. Jenis Koperasi (Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal
84 UU 17/2012)
MK berpendapat bahwa membatasi jenis kegiatan
usaha koperasi hanya empat jenis telah memasung
kreativitas koperasi untuk menentukan sendiri jenis
kegiatan usaha, yang bisa jadi, berseiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi,
budaya, dan ekonomi, berkembang pula jenis
kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan
ekonomis manusia. Dengan demikian dalil para
Pemohon beralasan menurut hukum.
53
D. Analisis
a. Terhadap dalil pemohon dalam pengujian Pasal 1 angka 1 UU 17/2012.
Penulis berpendapat bahwa pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan secara
terpisah. Dimana jika dibahas secara keseluruhan atau dengan menggunakan
tafsir sistematis, maka tidak mengaplikasikan sifat individualistik. Hal
tersebut dapat ditemukan di dalam Pasal 1 angka 1 itu sendiri, bahwa selain
memuat frasa “orang perseorangan" dimuat juga frasa “para anggota” dan
diikuti dengan frasa “aspirasi dan kebutuhan bersama”. Pemaknaan frasa
"orang perseorangan" juga tidak benar, sebab hal itu yang membedakan
antara subjek hukum orang (persoon) dan subjek hukum badan hukum
(recht persoon). Artinya bahwa keberadaan frasa "orang perseorangan"
mempunyai makna bahwa Koperasi dapat dibentuk oleh setiap orang dan
tidak dalam konteks Koperasi hanya didirikan oleh 1 (satu) orang
perseorangan. Selain itu, ketentuan mengenai Koperasi sebagai badan
hukum juga sudah diatur sebelumnya di dalam UU 25/1992, akan tetapi
Pemohon mendalilkan seakan-akan hal itu baru diatur. Penegasan Koperasi
sebagai badan hukum harusnya disyukuri oleh para Pemohon karena sebagai
badan hukum Koperasi tentu memiliki suatu kepastian perlindungan hukum
yang mana Koperasi memiliki hak dan kewajiban seperti layaknya manusia
yang dapat memiliki harta, jadi apabila di kemudian hari terjadi hal-hal yang
menyangkut pertanggungjawaban hukum, maka harta milik pribadi para
anggotanya tidak dapat menjadi objek tuntutan untuk suatu tanggung jawab
badan, karena memang telah terjadi pemisahan yang tegas antara status
hukum dan kekayaan pribadi dari para anggota dengan organisasi badan
54
hukum koperasi tersebut. Oleh sebab itu, pengertian Koperasi dalam Pasal 1
angka 1 sudah secara jelas dan terang menjastifikasi bahwa ketentuan
mengenai Koperasi tidak mengandung sifat individualistik. Dengan
demikian dalil Pemohon dalam pengujian Pasal 1 angka 1 tidak benar.
b. Terhadap dalil pemohon dalam pengujian Pasal 37 ayat (1) huruf f dan Pasal
57 ayat (2)UU 17/2012. Penulis berpendapat bahwa pemberian gaji dan
tunjangan untuk pengurus dan imbalan untuk pengawas merupakan bentuk
penghormatan terhadap prestasi kerja yang telah diberikan kepada Koperasi
sehingga pelayanan yang diberikan oleh pengurus maupun pengawasdapat
ditingkatkan secara profesional.Hal ini sejalan denganPasal 27 ayat (2) yang
berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan" dengan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945
yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Ketika berbicara
mengenai Hak, maka yang menjadi urgensi bukan hanya perlindungan,
penghormatan, tetapi lebih kepada pemenuhan hak-hak tersebut. Oleh sebab
itu, dengan diberikan gaji dan tunjangan untuk pengurus dan imbalan untuk
pengawas, maka telah melaksanakan amanat konstitusi. Justru sebaliknya
akan dianggap melanggar hak-hak asasi manusia apabila tidak diberi gaji
dan tunjangan untuk pengurus dan imbalan untuk pengawas. Dengan
demikian hal tersebut telah sejalan dengan UUD NRI 1945.
c. Terhadap dalil Pemohon dalam pengujian Pasal 50 ayat (1) huruf a dan
Pasal 56 ayat (1) UU 17/2012 yang pada intinya dianggap telah melanggar
hak Pemohon VII dan Pemohon VIII akibat dari besarnya kewenangan
55
pengawas untuk mengusulkan calon pengurus. Penulis berpendapat bahwa
dalam menafsirkan suatu peraturan, maka kita mengenal berbagai macam
tafsiran, salah satunya adalah tafsiran gramatikal. Dengan menggunakan
tafsiran gramatikal atau menurut tata Bahasa Indonesia yang baik, maka kita
akan mengetahui makna dari bunyi pasal tersebut. Kata “mengusulkan”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menganjurkan yang artinya
tidak mengharuskan. Dengan demikian frasa “pengawas koperasi
mengusulkan pengurus” memliki makna tidak harus dipenuhi karena ini
sifatnya opsional. Selain itu, Rapat Anggotalah yang memutuskan siapa saja
yang berhak menjadi pengurus sebagimana telah termuat dalam Pasal 33
huruf c. Dengan demikian anggapan bahwa melanggar hak-hak Pemohon
justru tidak benar.
d. Terhadap pengujian Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi “Pengurus dipilih dari
orang perseorangan, baik anggota maupun non-anggota”. Pemohon menguji
frasa “non-anggota” yang dinilai tidak menjiwai asas kekeluargaan dalam
Koperasi. Penulis berpendapat bahwa Kepengurusan Koperasi yang bisa
merekrut dari non-anggota memungkinkan untuk mengangkat pengurus
yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam pengelolaan usaha/bisnis,
sehingga pengelolaan Koperasi menjadi lebih professional. Hal ini dilatar
belakangi dengan adanya jenis kegiatan usaha Koperasi yang tidak sesuai
dengan kemampuan Para Anggota Koperasi yang mau tidak mau harus
mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Namun demikian,
norma hukum tersebut sifatnya opsional yang mana ketika ada anggota
Koperasi memenuhi kualifikasi dalam jenis usaha yang akan dijalankan,
56
maka ketentuan ini tidak perlu diberlakukan. Dengan kata lain, langkah ini
merupakan pilihan terahkir yang ditempuh apabila terjadi situasi yang buruk
pada Koperasi karena pengurusnya tidak mempunyai kualitas dalam
menjalankan usaha atau kegiatan Koperasi. Oleh sebab itu, ketentuan ini
justru hadir untuk memenuhi segala kebutuhan hukum dan menjamin
keberlangsungan hidup Koperasi.
e. Terhadap pengujian Pasal 66 yang dianggap bahwa Sertipikat Modal
Koperasi (SMK) sama dengan konsep saham (share) seperti Perseroan
Terbatas (PT). Penulis berpendapat bahwa Koperasi merupakan organisasi
yang bekerja dengan modal dan bukan untuk modal. Dengan adanya
ketentuan mengenai SMK, maka Koperasi secara langsung dapat
menghimpun dana dari anggota untuk memperkuat modal Koperasi. Konsep
saham dalam PT memiliki pengaruh terhadap hak suara dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), sedangkan SMK tidak berpengaruh atau tidak
menjadi penentu hak suara dalam rapat anggota, yakni satu anggota satu hak
suara dengan tidak memandang banyaknya uang atau modal yang
diserahkan kepada Koperasi. Oleh sebab itu hal ini telah sejalan dengan
Pancasila dan UUD NRI 1945. Dengan kata lain dalil pemohon tidak benar.
f. Terhadap dalil Pemohon dalam pengujian Pasal 67 ayat (1) yang pada
intinya menyatakan bahwa setoran pokok yang diajukan saat menjadi
anggota tidak dapat ditarik kembali. Penulis berpendapat bahwa norma
hukum tersebut merupakan konsekuensi logis sebagai kewajiban anggota
Koperasi yang mana telah merasakan berbagai macam manfaat dari
Koperasi. Hal ini dimaksudkan karena setoran pokok yang awalnya untuk
57
membentuk Koperasi secara otomatis langsung mejadi kekayaan koperasi.
Selain itu, norma hukum tersebut hadir untuk melindungi dan menjamin
kehidupan Koperasi karena apabila setiap anggota Koperasi masuk keluar
secara bebas maka modal Koperasi menjadi tidak stabil yang berujung pada
kematian Koperasi. Menurut penulis, konsep sukarela memiliki makna yang
positif, artinya bahwa adanya sukarela setiap orang masuk menjadi anggota
Koperasi untuk tujuan kesejahteraan atas dasar kerja sama. Namun, tidak
dalam arti negatif yang mana anggota Koperasi bebas keluar yang berakibat
pada matinya Koperasi. Pasal 33 ayat (1) mengaminkan kebersamaan,
namun sukarela yang berdampak negatif disini tidak lagi menjamin
kebersamaan atau kekeluargaan karena tidak ada ikatan kepastian hukum
yang jelas. Oleh sebab itu, ketentuan ini justru sebagai derivasi dari Pasal 33
ayat (1) UUD NRI 1945.
g. Terhadap pengujian Pasal 68 UU 17/2012 mengenai Anggota Koperasi
harus membeli Sertipikat Modal Koperasi. Para Pemohon mendalilkan
bahwa ketentuan tersebut merupakan suatu paksaan. Terhadap anggapan
tersebut, penulis berpendapat bahwa kehadiran norma hukum tersebut
adalah untuk memperkuat modal Koperasi agar tumbuh sehat, kuat, mandiri
dan tangguh dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana disebutkan
dalam konsideran UU 17/2012. Selain itu, dengan terpenuhinya segala
kebutuhan modal Koperasi maka tidak lain pendapatan Anggota Koperasi
sendiri akan menjadi lebih besar yang tujuan akhirnya adalah untuk
kesejahteraan Para Anggota Koperasi sendiri.
58
h. Terhadap dalil pemohon dalam pengujian Pasal 82, 83 dan 84 UU 17/2012
yang pada intinya dianggap membatasi jenis usaha Koperasi. Penulis
berpendapat bahwa pemahaman Pemohon terhadap Pasal 82, 83 dan 84 UU
17/2012 sangat keliru, sebab norma hukum tersebut seharusnya dimaknai
bukan sebagai pembatasan jenis usaha Koperasi, tetapi untuk menspesialisai
usaha koperasi dalam rangka efisiensi. Artinya bahwa usaha Koperasi yang
sudah ada sebelumnya tidak serta merta dihapus karena hadirnya ketentuan
ini, namun dikategorissasikan dalam jenisnya masing-masing. Hal ini
bertujuan agar Koperasi menjadi lebih fokus pada satu jenis usaha saja,
sehingga Koperasi sebagai entitas bisnis dapat menjadi lebih kuat dan
tangguh dalam bersaing. Hal ini juga bertujuan agar terjamin sistem
pengawasan, baik yang dilakukan oleh pihak internal maupun eksternal
Koperasi lebih mudah dan optimalisasi dalam pengelolaan usaha Koperasi
lebih terarah bahkan lebih maju, sehingga dapat mencapai tujuannya yaitu
kesejahteraan anggota Koperasi khusunya dan masyarakat pada umumnya.
Dengan kata lain, dalil Pomohon dalam pengujian pasal ini tidak berdasar.