3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Kerbau
Kerbau (Bubalus bubalis) termasuk salah satu ternak ruminansia yang
mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak
asli daerah panas dan lembab khususnya daerah belahan utara tropika. Kerbau
hidup terutama di bagian yang berair dan dimusim hujan kerbau dapat menyebar
dalam kawasan besar. Dibandingkan dengan sapi, kerbau memiliki sistem
pencernaan yang lebih efisien dalam mencerna pakan kualitas rendah. Pada daerah
kering dimana ternak sapi kondisi tubuhnya sudah memprihatinkan (kurus),
kondisi tubuh kerbau masih cukup baik. Populasi ternak kerbau yang ada di
Indonesia saat ini hanya 40% berada di Pulau Jawa dengan kepemilikan hanya 1-2
ekor per keluarga petani Kurnia (2009) dalam Herawati (2010). Menurut Kerr
(1972) dalam Izza (2011) secara taksonomi kerbau lumpur dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Bovinae
Genus : Bubalus
4
Spesies : Bubalus bubalis
Ternak kerbau memiliki peran dan fungsi strategis bagi sebagian
masyarakat di Indonesia dan sejak lama ini tersebar luas walaupun tidak merata.
Perkembangan populasi kerbau di Pulau Jawa cenderung menurun hal ini
disebabkan berkurangnya fungsi kerbau sebagai tenaga kerja maupun alat angkut
dan maraknya ongolisasi. Kerbau masih dipelihara secara tradisional dan
umumnya ternak yang dipelihara merupakan warisan dari keluarga bersifat turun
temurun (Tarmuji et al., 1990). Dengan jumlah ternak yang relatif sedikit dan
tersebar secara luas maka akan mempersulit pengendalian penyakit diantaranya
Trypanosomiasis.
Iklim
Definisi Iklim
Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang (bulan, tahun).
Sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfer pada suatu saat. Cuaca
menggambarkan keadaan atmosfer dalam jangka pendek (Achmadi, 2005). Iklim
juga dapat digambarkan sebagai kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang
dan secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang
berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (LAPAN, 2009). Iklim secara
operasional didefinisikan sebagai deskripsi statistik dari unsur-unsur iklim seperti
temperatur (suhu), presipitasi (hujan), angin, kelembaban, dan variasinya dalam
rentang waktu mulai dari bulanan hingga jutaan tahun (Kementrian Negara
Lingkungan Hidup, 2009).
5
Unsur-unsur yang Mempengaruhi Perubahan Iklim
Perubahan iklim dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu :
1. Suhu
Suhu udara merupakan unsure iklim yang sangat penting. Suhu
udara berubah sesuai dengan tempat dan waktu (Tjasyono, 1992). Suhu
diladang yang berumput berbeda dengan suhu ladang yang dibajak.
Pengukuran suhu udara hanya memperoleh satu nilai yang menyatakan
nilai rata-rata suhu atmosfir. Pada umumnya suhu maksimum terjadi
sesudah tengah hari, biasanya antara pukul 12.00 sampai 14.00 dan suhu
minimum terjadi pada pukul 06.00 waktu lokal dan sekitar matahari lokal.
Suhu udara harian rata-rata diefinisikan sebagai rata-rata pengamatan
selama 4 jam (satu hari) yang dilakukan setiap jam. Secara kasar, suhu
maksimum dan suhu minimum ini kemudian dibagi menjadi dua. Suhu
bulanan rata-rata adalah jumlah dari suhu harian dalam satu bulan dibagi
dengan jumlah hari dalam bulan tersebut (Tjasyono, 2004).
2. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah
dalam waktu tertentu. Awan yang terbentuk sebagai hasil dari kondensasi
uap air akan terbawa oleh angin sehingga berpeluang untuk tersebar
keseluruhan permukaan bumi. Butiran air yang terebentuk mencapai
ukuran yang cukup besar akan jatuh kepermukaan bumi. Proses jatuhnya
butiran air atau kristal es disebut presipitasi. Butiran air yang berdiameter
lebih dari 0,5 mm akan sampai ke permukaan bumi yang disebut dengan
6
hujan (Lakitan, 2002). Pada gerimis berukuran butiran air berdiameter 0,2
sampai 0,5 mm sedangkan ukuran butiran air yang kurang dari 0,2 mm
tidak akan sampai ke permukaan bumi karena akan menguap dalam
perjalannya menuju permukaan bumi.
3. Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah rata-rata kandungan air keseluruhan
(uap, tetes air, dan kristal es) di udara pada suatu waktu yang diperoleh
dari hasil harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Sedangkan berdasarkan
glossary of meteorology, kelembaban diartikan sebagai jumlah uap air
diudara atau tekanan uap yang teramati terhadap tekanan uap jenuh untuk
suhu yang diamati dan dinyatakan dalam persen (Neiiburger, 1995).
4. Kecepatan angin
Angin adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi.
Udara bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan udara
rendah (Tjasyono, 2004). Menurut Prawirowardoyo (1996)
mendefinisikan angin sebagai gerak nisbi terhadap permukaan bumi.
Kecepatan angin berubah dengan gerak nisbhi terhadap permukaan bumi.
Kecepatan angin berubah dengan jarak diatas permukaan tanah dan
perubahannya cepet pada paras (elevasi) rendah. Angin bukan arus yang
stabil, melainkan arah yang variabel, kadang rebut kadang reda.
Dampak perubahan iklim bagi kesehatan ternak
Iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit. Perubahan iklim termasuk
perubahan rata-rata suhu harian, kelembaban, arah dan kecepatan angin
7
membentuk pola musim seperti musim hujan, kemarau yang berkepanjangan,
musim dingin, curah hujan yang luar biasa. Suhu panas yang berkepanjangan
yang disertai kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan karena
kepanasan terutama pada ternak yang dimanfaatkan untuk bekerja. Iklim
mempengaruhi ekosistem habitat binatang penular penyakit, bahkan tumbuh
kembangnya koloni kuman secara alamiah (Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, 2009).
Secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit. Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agent
penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodentia)
bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan kondisi lingkungan ambient
lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan
cara yang berbeda (ICCSR, 2010).
Pengaruh Suhu terhadap Kejadian Trypanosomiasis
Perubahan suhu mempengaruhi populasi vektor yang dapat menimbulkan
kerugian bagi kesehatan. Perubahan suhu berhubungan dengan perubahan
dinamika siklus terhadap spesies vektor dan organisme pathogen seperti protozoa,
bakteri, dan virus sehingga dapat meningkatkan potensi transmisi penyebab
penyakit (WHO, 2003). Peningkatan temperatur akan memperluas distribusi
vector dan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan parasit menjadi infeksi
(Lapan, 2009).
8
Pengaruh Curah Hujan terhadap Kejadian Trypanosomiasis
Curah hujan yang tinggi puncaknya saat musim penghujan, dan dapat
menyebabkan banjir sehingga dapat mengkontaminasi air bersih. Curah hujan
yang rendah biasanya terjadi pada musim kemarau. Dimana kemarau
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya penyakit yang disebabkan oleh
vektor. Saat kondisi kemarau penjang dapat mengurangi persediaan air bersih
sehingga dapat meningkatkan resiko penyakit yang berhubungan dengan
persediaan air bersih sehingga resiko penyakit semakin meningkat (Kementrian
Lingkungan Hidup, 2004).
Pengaruh Kelembaban terhadap Kejadian Trypanosomiasis
Perubahan kelembaban mempengaruhi populasi vektor yang dapat
menimbulkan kerugian bagi kesehatan. Pada musim hujan, kelembaban tinggi
serta intensitas sinar matahari yang berkurang dapat menyebabakan
mikroorganisme berkembang biak dengan baik dan membuat perkembangan lebih
cepat untuk vektor seperti lalat, kecoa, dan tikus (WHO, 2003).
Pengaruh Kecepatan angin terhadap Kejadian Trypanosomiasis
Infeksi yang disebabkan oleh vektor penyakit, distribusi, dan peningkatan
organisme vektor dan penjamu (host) dipengaruhi oleh faktor fisik seperti angin
serta faktor biotik seperti vegetasi, spesies penjamu, predator, kompetitor, dan
parasit (WHO,2003).
Karakteristik Kabupaten Brebes
Kabupaten Brebes berpotensi untuk mengembangkan ternak kerbau,
karena kontribusi daging kerbau mencapai 40% dari total kebutuhan daging sapi.
9
Disamping untuk memenuhi produksi daging juga sebagai ternak kerja untuk
membajak sawah.
10
Geografi
Brebes memiliki zona agroekosistem wilayah yang heterogen, mulai dari
pantai sampai dataran tinggi. Wilayah Brebes terbentang dari pantai utara hingga
ke perbukitan dibagian barat dan selatan Setiawan (2009) disitasi dari Herawati
(2010). Kabupten Brebes secara astronomis terletak pada posisi 108° 41’ 37, 70° –
11’ 28,92° Bujur Timur dan 6° 44’ 56,50’ – 7° 20’ 51,48” Lintang Selatan dan
terletak pada ketinggian 3000 m diatas permukaan laut. Kabupaten Brebes
memiliki batas-batas sebagai berikut :
Utara : Laut Jawa
Timur : Berbatasan denagan Kabupaten Tegal dan Kota Tegal
Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap
Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat
Topografi
Kabupaten Brebes merupakan wilayah beriklim tropis dengan 2 musim,
yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Adapun data suhu di Kabupaten
Brebes, yakni :
Suhu panas 24,5° C – 26,3° C memiliki ketinggian tempat 0- 300 m.dpl
Suhu agak panas 21,4° C – 24,4° C memiliki ketinggian tempat 301 – 800
m.dpl
Suhu sejuk 17,2° C – 21,3° C memiliki ketinggian tempat 801 – 1500 m.dpl
Kerbau memiliki kemampuan untuk menetralisir temperature lingkungan dengan
berendam (Herawati, 2010).
11
Luas Wilayah
Secara administratif Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah
dengan luas wilayah 1.902,37 km2. Kabupaten Brebes terdiri dari 17 Kecamatan
dengan 8 Kelurahan dan 292 Desa. Kabupaten Brebes merupakan Kabupaten
dengan luas ke-2 di Jawa Tengah (Herawati, 2010).
Lalat Tabanus sp
Dalam Lalat Tabanus sp memiliki peran sebagai vektor mekanik penyakit
Surra di Indonesia. Lalat ini merupakan lalat penghisap darah famili Tabanidae
merupakan vektor yang baik dibandingkan dengan lalat atau nyamuk famili
Muscidae seperti Stomoxys sp (Diskerson dan Lavoipierre, 2004).
Morfologi
Lalat Tabanus sp merupakan lalat yang besar dengan ukuran 5 – 25 mm,
tegap dan penerbang yang kuat, benangan sayap mencapai 6,5 mm. Pada Lalat
Tabanus sp memiliki warna yang bervariasi diantaranya coklat, kuning,
kemerahan, hitam, dan hijau dengan garis abdomen yang terang seperti pada
gambar 1.
Gambar 1. Morfologi lalat Tabanus sp
Mulut lalat Tabanus sp penggigit dan penghisap darah berbentuk seperti
gunting. Pada lalat Tabanus sp betina antena ada yang panjang ada yang pendek,
12
dan mata yang berkembang biak. Sedangkan pada lalat Tabanus sp jantan mata
tidak bekembang. (Diskerson dan dan Lavoipierre, 2004).
Siklus Hidup
Telur diletakkan oleh lalat Tabanus sp betina pada tumbuhan, batuan
memanjang yang diselimuti bahan tahan air. Dalam satu kelompok telur terdiri
dari 200 hingga 1000 telur dari 3 – 4 lapisan. Telur dapat berwarna abu-abu,
putih, bahkan coklat kehitaman yang berbentuk seperti cerutu dengan panjang 1 –
2,5 mm yang akan menetas sekitar 5 – 14 hari (Diskerson dan Lavoipierre, 2004).
Gambar 2. Siklus hidup lalat Tabanus sp
Pada gambar 2. terlihat larva berbentuk silindris dengan kedua ujung
meruncing, berwarna coklat, putih, dan kehijauan dengan kepala yang kecil.
Sepasang penonjolan mencolok di tengah dan dua pasang di bawah perut. Larva
akan melalui 7 – 11 bentuk insar yang dapat memakan waktu beberapa bulan
sampai setahun. Ganti kulit yang pertama terjadi setelah larva yang baru keluar
dari telur menyentuh lumpur. Larva dapat berkembang pada suhu 32º - 35º C.
Larva melengkapi siklus hidupnya dalam 10 – 11 minggu. Larva Tabanus sp
bersifat hemihidrobion yaitu memilih tempat yang dekat dengan air. Larva yang
13
telah mencapai bentuk instar terakhir memiliki panjang 1 – 6 cm yang kemudian
akan mencari tempat yang lebih kering untuk menjadi pupa (Service, 2008).
Pupa berukuran 7 – 40 mm, abdomen yang terbagi pada 8 segmen. Segmen
pertama sampai ketujuh dilengkapi dengan sepasang spirakel di lateral sedang
pada segmen kedua hingga keenam dikelilingi duri kecil yang mengarah ke
belakang. Stadium pupa sekitar 5 - 20 hari tergantung spesies dan temperature
sekitar. Suhu ambang 5,7 - 10,1ºC sedangkan stadium pupa berlangsung antara 92
- 192 hari (Pavlova, 2004).
Lalat dewasa yang baru keluar dari pupa akan melakukan kopulasi sebelum
menghisap darah. Peristiwa kopulasi terjadi pertama pengelompokan lalat jantan
menarik perhatian lalat betina yang memasuki kelompok itu untuk melakukan
kopulasi di udara dan berakhir diatas tanah dalam 5 menit. Lalat betina yang
sudah melakukan kopulasi segera menghisap darah untuk perkembangan
ovariumnya. Lalat Tabanus sp bersifat otogenus yakni menghisap darah untuk
menghasilkan kelompok telur kedua dan selanjutnya. Ovogenesis terjadi setelah
lalat Tabanus sp betina makan darah. Lalat jantan dan betina membutuhkan gula
untuk kelangsungan hidupnya dari tumbuhan. Kopulasi lalat dewasa dapat hidup
selama 3 - 4 minggu dan menghasilkan 5 - 6 kelompok telur. Lalat Tabanus sp
aktif pada cuaca terang dan hangat. Hampir semua lalat Tabanus sp beraktifitas
pada siang hari (Hadi, 2010).
Surra (Trypanosomiasis)
Tryanosomiasis adalah satu penyakit infeksi yang terjangkit secara
endemik pada hewan ternak. Surra (Trypanosomiasis) yang disebabkan oleh
14
Trypanosoma evansi, merupakan salah satu penyakit parasit darah yang penting
dan secara sporadik menyebar diseluruh wilayah Indonesia. Parasit ini telah
ditemukan di Indonesia sejak 1808 (De Does 1990 dalam Partoutomo, 1996b)
tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi dan kerbau belum banyak
terungkap. Penyakit ini ditularkan dari hewan satu ke lainnya oleh gigitan lalat
penghisap darah yang bertindak sebagai vektor, terutama Tabanus sp dan lalat
Haematopota spp. Payne et al. (2011) berpendapat bahwa kejadian wabah Surra
secara luas di Indonesia hanya sapordik terlokalisasi yang mungkin menyiratkan
bahwa parasit itu telat membentuk stabilitas enzootik.
Etiologi
Sub Kingdom : Protozoa
Filum : Sarcomastigophora
Sub Filum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorasida
Ordo : Kinetoplastorida
Famili : Trypanosomadidae
Genus : Trypanosomatidae
Sub Genus : Trypanozoon
Spesies : Trypanosoma evansi
Habitat : Pembuluh darah, pembuluh limfe, cairan otak
Induk semang : Kuda, unta, anjing, hewan ternak (sapi dan kerbau)
Anonim (2012) disitasi dari Daris (2015).
15
Morfologi
Genus Trypanosoma merupakan parasit tripomastigot yang memiliki
panjang (12-30μm) dengan daur hidup yang secara morfologis sangat kompleks.
Pada bentuk khas genus ini reservoir terletak sedikit posterior dari inti. Kinetoplas
disebelah posterior dari dasar reservoir, suatu masa yang padat electron terdiri dari
serabut-serabut yang berjalan dari anterior ke posterior membentuk suatu massa
kompak, berbatas tegas melintasi kinetoplast Flagelum melekat pada tubuh denga
suatu membrane undulans. Daur hidupnya biasanya melibatkan hospes vertebrata
dan invertebrata. Trypanosoma evansi biasanya terdapat didalam cairan darah
tubuh vertebrata terutama didalam plasma, dan didalam alat pencernaan (Fred,
2009).
Trypanosoma evansi mampu mengelabuhi respon imun yaitu terletak pada
kemampuannya untuk terus–menerus mengubah sifat antigenik permukaan
dinding selnya. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi diselubungi oleh lapisan
protein tunggal yaitu glikoprotein, lapisan ini atau secara khusus disebut variant
surface glycoprotein (VSG) yang membentuk dinding sel parasit dapat berubah-
ubah sehingga menyulitkan hewan yang terserang untuk mengatasi infeksi melalui
sistem kekebalannya. VSG ini dapat berubah setiap 4-7 hari sekali dan hasilnya
adalah variable antigenik tipe yang baru (Davison et al., 2006). Perubahan
struktur antigenik ini menimbulkan terjadinya gelombang parasitemia fluktuatif.
Menurut Woo (2013) bahwa Trypanosoma sp setelah infeksi biasanya bertambah
dalam darah perifer secara berkala disertai demam. Parasitemia muncul dalam
darah perifer secara sporadis relatif dalam jumlah kecil.
16
Pada sapi dan kerbau, Surra sering muncul sebagai penyakit bersifat kronis
sehingga jumlah Trypanosoma evansi dalam darah perifer sangat rendah akan
terjadi variasi antigenik dimana tubuh akan selalu berusaha membentuk antibodi
yang berbeda-beda sesuai dengan protein yang ditampilkan oleh Trypanosoma
evansi (Omanwar et al., 2010). Trypanosoma evansi hidup dan bergerak dalam
plasma darah atau cairan jaringan induk semang. Mereka memanjang, ramping,
dan meruncing dikedua ujungnya. Permukaan tubuh Trypanosoma evansi
diselubungi oleh lapisan protein tunggal yaitu glikoprotein. Protozoa ini memiliki
distribusi geografi dan cangkupan inang yang luas dibandingkan Trypanosoma
pathogen lainnya (Noble dan Noble, 2011).
Bangkitnya penyakit Surra di Indonesia dipermudah karena Indonesia
beriklim tropis. Cuaca panas dan lembab iklim tropis merupakan predisposisi
kejadian penyakit ini. Kerbau sakit Trypanosomiasis akan menunjukkan kurang
nafsu makan dan kepala berputar-putar. Kerugian utama akibat infeksi
Trypanosomiasis pada kerbau berupa penurunan bobot badan, daya reproduksi
rendah, keterlambatan pertumbuhan (anak kerbau menjadi kerdil), penurunan
daya kerja, dan kematian (Fred, 2009).
Sedangkan faktor yang berpengaruh atas penyebaran dan patogenesis
parasit antara lain adanya jenis hewan karier, umur hewan (anak umumnya
memiliki maternal antibodi), serangga yang bertindak sebagai vektor dan ada
tidaknya pengaruh stress. Stres merupakan fenomena yang sejak lama diduga
sebagai faktor penyebab timbulnya wabah Trypanosomiasis (Partoutomo et al.,
1996b). Faktor dimaksud antara lain pakan, bahan kimia, dan penggunaan ternak
17
untuk mengerjakan sawah. Disamping itu faktor pemicu lain sebagai penyebab
terjadinya Surra klinis atau wabah adalah perbedaan respon imunologik yang
terdapat antara ternak yang pernah dan belum pernah terinfeksi (Losos, 2008).
Siklus Hidup
Genus Trypanosoma memiliki panjang (12-30μm) dengan daur hidup yang
secara morfologis sangat kompleks. Pada bentuk khas genus ini reservoir terletak
sedikit posterior dari inti. Jumlah parasit ini didalam satu hospes dapat sangat
banyak. Sebanyak 20 juta sampai 4 miliyar Trypanosoma sp dapat ditemukan
didalam darah hewan, 100 jam setelah terinfeksi. Hubungan antara jumlah dan
infektifitas Trypanosoma selama perkemabangan normal flagelata ini didalam
vektor dan hospes mamalia ternyata sangat bervariasi. Demikian pula spesifitas
hospes juga bervariasi (Maya, 2014).
Menurut Sukanto (2014) lalat memindahkan Trypanosoma evansi pada
saat menghisap makanan atau darah pada tubuh hewan, karena terganggu lalat
tersebut kemudian pindah ke hewan lain dengan cepat untuk melanjutkan kegiatan
makannya. Parasit darah ini dapat hidup dalam mulut lalat selama 30 menit
sampai enam jam. Didalam tubuh vektor, dimulai sejak lalat penghisap darah
penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon (mikro dan makro) – gamet,
didalam tubuh lalat makrogamet akan secara aktif mencari mikrogamet untuk
kawin, hasil perkawinan terbentuklah zygot berbentuk bulat kemudian
berkembang lebih lanjut bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak
disebut ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah untuk membentuk
ookista, ookista mengalami proses pembentukan sporozoit dengan membelah
18
berlipat ganda (skizogoni) menghasilkan sporozoit, sporozoit akan bermigrasi
menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif.
Pada tubuh hewan yang peka maka dimulai juga saat lalat infektif
menghisap darah, sporozoit yang berada didalam kelanjar ludah akan ikut tersebar
kedalam peredaran darah, kemudian akan memasuki sel endotel (ginjal, hati, dan
paru-paru) serta dalam ruangan darah berisi darah atau didalam jaringan (jantung,
limpa, pankreas, thymus, otot-otot, usus, trachea, ovarium, kelenjar adrenal, dan
otak). Sporozoit mengalami proses merogoni (pembentuksn merozoit) dengan
cara pembelahan berlipat ganda (skizigoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit.
Merogoni berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses gametogoni
(pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah (mikro dan makro) - gamet. Sehingga
gamet inilah yang akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah (Sukanto, 2014)
Diagnosis
Dalam mendeteksi penyakit Surra biasanya digunakan tes diagnostic
secara parasitologi seperti Microhematokrit Centrifugal Techique (MHCT),
inokulasi pada hewan percobaan mencit, dan ulas darah. Selain diagnose juga
dapat dilakukan secara serologi yakni dengan metoda Card Aggultiantion
Trypanosoma evansi Test (CATT), Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA.
Damayanti (2003) disitasi dari Husein (2011).
Pada kondisi laboratorium tes diagnostic secara ELISA dan CATT dapat
mendeteksi antibody atau antigen Trypanosoma evansi segera setelah infeksi. Uji
MHCT sudah standar dan bagus untuk digunakan mendiagnosa kerbau. Uji ini
cukup sensitif mendeteksi infeksi dini. Uji Ab-ELISA mendeteksi adanya antibodi
19
mulai minggu ke-2 pasca infeksi, sedang Ag-ELISA memberi harapan paling
sensitif mendeteksi sel mati dari parasit. Davison et al (2006) telah mengevaluasi
Ag-ELISA menunjukkan bahwa Trypanosoma evansi memiliki sensitivitas yang
tinggi dibanding dengan Uji MHCT.
Sementara CATT ialah uji aglutinasi langsung untuk mendeteksi adanya
antibodi Trypanosoma evansi dalam serum atau plasma hewan penderita (Solihat
et al., 1996) disitasi dari Husein (2011). CATT bagus untuk digunakan dilapangan
karena memiliki angka sensitivitas dan spesifitas yang cukup baik. Ab-ELISA
baik dipakai untuk skrening awal sejumlah sampel sehingga hasil evalusi agar
lebih akurat dan ternak yang beresiko dapat diidentifikasi dan CATT untuk
mengonfirmasi (Davison et al., 2006) disitasi dari Daris (2015)
Epidemiologi
Dalam menyelidiki adanya penyakit penyebab Trypanosoma evansi ini
ialah peranan faktor-faktor lingkungan, hospes, serta agen pembawa sebagai
penyebab penyakit yang ada dalam Postula Evans (Martin et al., 2012).
Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai hewan inang (widehost
spectrum) yang secara ekonomis bernilai penting, faktor penyebab
Trypanosomiasis sangat berguna untuk menentukan penyebab penyakit
selanjutnya dengan metode yang efektif untuk pengendalian penyakit tersebut
sehingga dapat menekan dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan (Oka,
2010).
20
Patogenesis
Widyastuti et al. (2002) menyatakan bahwa vektor utama adalah Tabanus
sp namun lalat lain juga dapat menularkan flagelata ini secara mekanis. Cara
penularan Trypanosomiasis dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama adalah
penularan langsung (golongan anterior station) yang terjadi secara mekanis oleh
stadium infeksinya melalui proboscis lalat yang menggigit dan mengandung
parasit misalnya Trypanosoma evansi. Kedua, penularan secara tidak langsung
(golongan posterior station) yaitu Trypanosoma evansi harus mengalami
pertumbuhan siklik didalam seekor serangga penghisap darah sebelum terjadi
infektif (Hadi, 2010).
Setelah memasuki peredaran darah, Trypanosoma evansi akan segera
memperbanyak diri secara biner. Dalam waktu pendek penderita mengalami
parasitemia dan suhu tubuh biasanya mengalami kenaikan. Sel darah penderita
yang tersensitisasi oleh parasit segera dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh
sel darah putih tersebut. Bila sel darah merah yang di makan makrofag cukup
banyak, penderita segera mengalami anemia normositik dan normokromik. Gejala
klinis infeksi yang sering terjadi akibat Trypanosomosis ini adalah anemia (Noble
dan Noble, 2011).
Menurut Partoutomo et al. (1996a) gejala kronis Trypanosomiasis pada
kerbau berupa bulu dan kulit menjadi kasar, hewan menjadi kurus, serta nampak
lemah, dan menunjukkan tanda-tanda paresis. Infeksi kronis juga ditandai dengan
kenaikan suhu badan antara hari ke 1 - 5 pasca infeksi yang selanjutnya suhu
21
badan berfluktuasi pada nilai normal. Payne et al. (2011) berpendapat bahwa
faktor pemicu terjadinya Surra antara lain cara pemeliharaan, hewan dalam
transportasi, serta ada atau tidaknya infeksi campuran. Infeksi campuran parasit
darah Trypanosoma evansi dengan kudis atau neoaskaris merupakan salah satu
penyebab kerbau kerdil. Selain itu, infeksi akibat parasit darah Trypanosoma
evansi dilaporkan dapat menimbulkan imunosupresi atau menurunnya tangga
kebal inang atau disebut juga keadaan alergi klinis (Mackenzie, 2007).
Cara Penularan
Penularan penyakit Surra antar hewan terjadi melalui darah yang
mengandung parasit Trypanosoma evansi. Di Indonesia, vektor penular yang
berperan adalah lalat Tabanus, Haematopota, dan Chrysops. Meskipun penularan
terjadi melalui gigitan lalat, tetapi agen Trypanosoma evansi tidak melakukan
perkembangan siklus hidup didalam tubuh lalat (Anonim, 2009). Kebutuhan
hidup protozoa ini dengan mengambil gula dalam darah korbannya sebagai bahan
energi. Jika inang tidak dapat mengimbanginya maka lama kelamaan akan terjadi
penurunan gula darah dan mengakibatkan gangguan kesehatan pada inangnya.
Gangguan-gangguan ini terjadi disamping sebagai akibat dari berkurangnya kadar
glukosa dalam darah, juga sebagai akibat naiknya asam laktat serta tripanotoksin
(dihasilkan oleh parasit) sehingga eritrositnya lisis. Peluang meningkatnya infeksi
parasit dapat disebabkan oleh densitas populasi ternak yang peka terhadap parasit,
kemampuan penyebaran, dan peluang penyebaran vektor yang tinggi (Koesdarto,
2002).
22
Pencegahan dan Kontrol
Pencegahan dan kontrol terhadap penyakit Trypanosomiasis telah
dilakukan oleh peternak dan dinas terkait. Pengendalian Surra (Trypanosomiasis)
masih tergantung pada pengobatan dan hanya diberikan kepada hewan yang
menderita infeksi aktif. Para pemeliharaan kerbau menggunakan insektisida untuk
mengusir lalat (vektor). Hewan karier masih sulit untuk diberi obat karena tidak
menunjukkan gejala klinis yang tidak spesifik, menyebabkan pengobatan tidak
dapat diaplikasikan secara efektif. Obat trypanocidal yang sudah digunakan untuk
mengobati penyakit Surra diberbagai negara adalah surramin, diminazene
acceturate, dan isomedium (Muharsini et al., 2006) disitasi dari Husein (2011).
Manajemen Pemeliharaan
Sistem pemeliharaan dapat dibagi menjadi tiga yaitu pemeliharaan
ekstensif, pemeliharaan intensif, dan pemeliharaan semi intensif. Sistem
pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan yang melakukan aktivitas perkawinan,
pembesaran, dan penggemukan di lahan penggembalaan. Pemeliharaan intensif
yaitu pemeliharaan ternak dengan cara dikandangkan secara terus menerus dengan
sistem pemberian pakan secara cut and carry (Parakassi, 1999). Pemeliharaan
intensif ini bertujuan untuk mendapatkan performa dari ternak yang optimal,
namun biaya yang dikeluarkan tinggi. Pemeliharaan semi intensif yaitu
pemeliharaan ternak yang pada siang hari digembalakan di lahan penggembalaan,
kemudian pada malam hari dikandangkan.
23
Pemeliharaan semi intensif inilah yang banyak diterapkan pada
masyarakat di Indonesia. Ternak kerbau di Indonesia pada umumnya mempunyai
beberapa kegunaan, yaitu sebagai ternak penggarap sawah, sebagai ternak penarik
beban, sebagai ternak penghasil daging, sebagai ternak penghasil susu, sebagai
ternak penghasil pupuk kandang (Departemen Pertanian, 1986).
Pakan
Hijauan Rumput Gajah
Hijauan sebagai bahan pakan ternak, merupakan salah satu bahan yang
sangat diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan ternak terutama ternak
ruminansia. Salah satu jenis rumput unggul yang sangat dikenal oleh masyarakat
adalah rumput gajah. Rumput gajah adalah salah satu rumput yang produksinya
sangat tinggi, sebagai rumput potongan, dan cocok untuk diawetkan dalam bentuk
silase. Pada musim hujan rumput gajah tumbuh subur dan bahkan berlebih untuk
digunakan sebagai pakan, tetapi pada musim kemarau pertumbuhan dan
produksinya menurun. Kandungan lemak kasar rumput gajah yaitu 1,04% (Lubis,
1992).
Rumput gajah berasal dari Afrika Tropis. Rumput gajah merupakan
keluarga rumput-rumputan (graminae) yang telah dikenal manfaatnya sebagai
pakan ternak pemamah biak (ruminansia) yang alamiah di Asia Tenggara. Di
Indonesia, rumput gajah merupakan tanaman hijauan utama pakan ternak.
Klasifikasi rumput gajah menurut Anonim (2017) adalah sebagai berikut:
Phylum : Spermatophyta
Sub phylum : Angiospermae
24
Class : Monocotyl
Ordo : Glumiflora
Family : Graminae
Sub Family : Panicoldea
Genus : Pennisetum
Spesies : Pennisetum purpureum
Rumput gajah secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak,
berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek. Tinggi batang tanaman
ini dapat mencapai 2-4 meter (bahkan mencapai 6-7 meter), dengan diameter
batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai 20 ruas/buku. Rumput
gajah tumbuh berbentuk rumpun dengan lebar rumpun hingga 1 meter.
Kemampuan produksi mencapai 150-200 ton/ha/tahun. Dengan kandungan
zat-zat makanan kasar 10,9% protein, 15 % serat kasar, 42,9% bahan ekstrak
tanpa nitrogen dan 1,64 % lemak (Rismunandar, 1989). Rumput gajah dapat
dipanen pada umur 40 hari atau sebelum rumput berbunga (Anonim, 2016).
Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 ton/ha/tahun, dengan
kandungannya yaitu protein kasar 13,5%, lemak 3,4%, NDF 64,28%, abu 15,8 %,
Ca 0,13%, dan fosfor 0,37%. Rumput gajah pada umur 43 hari sampai dengan 56
hari mengandung air 82,5 (%), protein 9,3 (%), lemak 2,1 (%), serat kasar 32,9
(%), BETN 42,8 (%), Abu 15,2 (%), Ca 0,52 (%), dan fosfor 0,31 (%) (Anonim,
2016).
25
Jerami Padi
Di Indonesia, limbah tanaman padi (jerami padi) tersedia dalam jumlah
yang cukup banyak dan mudah untuk diperoleh sebagai pakan ternak.
Tabel 1. Komposisi Nutrisi Jerami Padi
Uraian Jerami Padi
Bahan kering (BK) (%) 91,9
Protein kasar (% BK) 5,36
Lemak kasar (% BK) 0,91
Abu (% BK) 21,51
Acid detergent fiber (ADF) 68,50
Neutral Detergent Fiber (NDF) 74,86
Kalsium 0,26
Fosfor 0,02
Sumber: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak
(2005)
Pada tabel.1 dapat dilihat bahwa kandungan serat kasar jerami padi
memiliki sangat tinggi. Rendahnya kualitas jerami padi terutama disebabkan
tingkat lignifikasinya yang tinggi menyebabkan daya cernanya menjadi rendah,
sehingga memberikan pertumbuhan yang rendah pada ternak yang
mengkonsumsinya.
Konsentrat
Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan
pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan makanan dan
dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai suplemen (pelengkap) atau
pakan pelengkap (Hartadi, 1991). Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau
dari tanaman seperti serealia (misalnya jagung, padi, atau gandum), kacang-
kacangan (misalnya kacang hijau atau kedelai), umbi-umbian (misalnya ubi kayu
atau ubi jalar), dan buah-buahan (misalnya kelapa atau kelapa sawit). Konsentrat
26
juga dapat berasal dari hewan seperti tepung daging dan tepung ikan. Disamping
itu juga dapat berasal dari industri kimia seperti protein sel tunggal, limbah, atau
hasil produksi bahan pangan seperti dedak padi dan pollard, hasil ikutan proses
ekstraksi seperti bungkil kelapa dan bungkil kedelai, limbah pemotongan hewan
seperti tepung darah dan tepung bulu (Anonim, 2017).
Vitamin
Vitamin adalah zat–zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah
sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu,
harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur
pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas
spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat
rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2009).
Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi,
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau
sebagai bagian dari enzim. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk
apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein. Hingga sekarang fungsi
biokimia beberapa jenis vitamin belum diketahui dengan pasti (Almatsier, 2009).
Banyak sekali macam-macam vitamin, yaitu :
1. Lysine
Lysine adalah salah satu asam amino esensial yang diperlukan tubuh
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta untuk
metabolisme protein. Lysine tidak dapat disintesis tubuh, jadi harus ada
27
dalam makanan sehari–hari agar kebutuhan tubuh akan lysine dapat
terpenuhi (Almatsier, 2009).
2. Vitamin A
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang ditemukan pertama
kali. Beberapa fungsi vitamin A sebagai berikut :
a. Penglihatan
Kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang
berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia di dalam
darah untuk membentuk rodopsin. Suplementasi vitamin A dapat
memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan oleh
kekurangan vitamin A (Almatsier, 2009).
b. Diferensiasi sel
Diferensiasi sel terjadi bila sel–sel tubuh mengalami perubahan
dalam sifat atau fungsi semulanya. Perubahan sifat dan fungsi sel ini
adalah salah satu karakteristik dari kekurangan vitamin A yang dapat
terjadi pada tiap tahap perkembangan tubuh. Pada diferensiasi sel
terjadi perubahan dalam bentuk dan fungsi sel yang dapat dikaitkan
dengan perubahan perwujudan gen–gen tertentu. Sel–sel yang paling
nyata mengalami diferensiasi adalah sel–sel epitel khusus, terutama
sel–sel goblet, yaitu sel kelenjar yang mensintesis dan mengeluarkan
mukus atau lendir. Semua permukaan tubuh, di luar dan di dalam
dilapisis oleh sel–sel epitel. Jaringan epitel yang menutupi tubuh di
luar dinamakan epidermis, sedangkan yang menutupi bagian dalam
28
dinamakan membran mukosa, yaitu yang menutupi permukaan dalam
saluran cerna, saluran sinus, dan sebagainya. Mukus melindungi sel–
sel epitel dari serbuan mikroorganisme dan partikel lain yang
berbahaya (Almatsier, 2009).
c. Fungsi kekebalan
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada
hewan. Retinol berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi
limfosit B (leukosit yang berperan dalam proses kekebalan humoral)
(Almatsier, 2009).
d. Pertumbuhan dan perkembangan
Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein, dengan demikian
terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk
perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang
terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada hewan yang sedang
mengalami masa pertumbuhan apabila kekurangan vitamin A akan
terjadi kegagalan dalam pertumbuhan. Vitamin A dalam hal ini
berperan sebagai asam retinoat (Almatsier, 2009).
3. Vitamin B1 (Tiamin)
Almatsier (2009) mengemukakan tiamin dalam bentuk Koenzim
Tiamin Pirofosfat atau Trifosfat memegang peranan esensial dalam
transformasi energi, konduksi membran dan saraf serta dalam sintesis
pentosa dan bentuk koenzim tereduksi dari niasin. Tidak ada keuntungan
29
mengkonsumsi tiamin melebihi kecukupan yang dianjurkan, karena
kelebihan akan diekskresi. Sebaliknya, kelebihan konsumsi tiamin tidak
akan menimbulkan bahaya keracunan. Kekurangan tiamin dapat terjadi
karena kurangnya konsumsi (biasanya disertai kurang konsumsi energi),
gangguan absorpsi, ketidak mampuan tubuh menggunakan tiamin, ataupun
karena kebutuhan energi meningkat. Kekurangan tiamin terlihat kurang
nafsu makan, kecanduan alkohol kronis, dan gangguan absorpsi. Gejala
klinis kekurangan tiamin menyangkut sistem saraf dan jantung.
4. Vitamin B2 ( Riboflavin)
Kekurangan riboflavin bisa terjadi secara bersamaan dengan
kekurangan vitamin larut air lain. Tanda–tanda kekurangan bisa terjadi
sebagai akibat kekurangan zat giai lain, anda–tanda awal kekurangan
riboflavin antara lain mata panas dan gatal, tidak tahan cahaya, kehilangan
ketajaman mata (Almatsier, 2009).
5. Vitamin B6
Piridoksin berada dalam otak dalam konsentrasi tinggi walaupun
pada taraf plasma rendah. Kelainan otak seperti demensia mungkin
disebabkan oleh kurangnya pengambilan vitamin-vitamin tertentu
terutama vitamin B6 oleh otak. Kekurangan vitamin B6 berat dapat
menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Konsumsi vitamin B6
dalam jumlah berlebihan selama berbulan–bulan akan menyebabkan
kerusakan syaraf yang tidak dapt diperbaiki, dimulai dengan semutan pada
30
kaki, kemudian mati rasa pada tangan dan akhirnya tubuh tidak mampu
bekerja (Almatsier, 2009).
6. Vitamin B12 (Kobalamin)
Kekurangan vitamin B12 jarang terjadi karena kekurangan dalam
makanan, akan tetapi sebagian besar akibat penyakit saluran cerna atau
pada gangguan absorpsi dan transportasi. Karena vitamin B12 dibutuhkan
untuk mengubah folat menjadi bentuk aktifnya, salah satu gejala
kekurangan vitamin B12 adalah anemia karena kekurangan folat
(Almatsier, 2009).
7. Vitamin C
Vitamin C telah dikenal sebagai antioksidan potensial yang mampu
menangkap radikal bebas dalam tubuh serta mencegah hiperpigmentasi.
Radikal bebas dalam tubuh sendiri dapat meningkat pada kondisi tubuh
yang telah tua maupun karena paparan sinar matahari yang berlebihan.
Peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stres
psikologik atau fisik, seperti pada luka, panas tinggi, atau suhu lingkungan
tinggi (Juzenene dan Moah, 2012).
8. Vitamin D
Vitamin D mencegah dan menyembuhkan riketsia, yaitu penyakit di
mana tulang tidak mampu melakukan kalsifikasi. Vitamin D dapat
dibentuk tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup
sinar matahari konsumsi vitamin D melalui makanan tidak dibutuhkan.
Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan pemeliharaan
31
tulang bersama vitamin A dan vitamin C. Fungsi khusus vitamin D dalam
hal ini adalah membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar
kalsium dan fosfor tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses
pengerasan tulang. Kekurangan vitamin D menyebabkan kelainan pada
tulang Kaki membengkok, ujung–ujung tulang panjang membesar (lutut
dan pergelangan), tulang rusuk membengkok (Almatsier, 2009).
9. Vitamin E
Vitamin E adalah nutrisi esensial yang berfungsi sebagai
antioksidan dalam tubuh. Defisiensi vitamin E dapat menimbulkan gejala
neurologi (Sesso et al., 2008).
10. Vitamin B-kompleks
Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang
berperan dalam memperbaiki stamina tubuh. Vitamin B kompleks
memiliki manfaat yang sangat banyak untuk tubuh yang berkaitan dengan
energi. Menurut Sandjaja dan Atmarita (2009), pemberian larutan vitamin
B kompleks yang mengandung vitamin B9 (asam folat) dapat
mempercepat petumbuhan janin, mempercepat regenerasi sel,
pembentukan sel darah merah, dan menjaga kekebalan tubuh. Menurut
Sulaksono (2013), kelebihan mengonsumsi vitamin B-kompleks juga
dapat menyebabkan efek samping negatif pada tubuh. Konsumsi asam
folat pada dosis yang tidak terkontrol dapat menimbulkan gangguan
sistem saraf dan berakibat pada kematian.
32
Kencernaan Rumput pada Kerbau
Ternak kerbau mempunyai kemampuan yang luar biasa dan spesifik dalam
hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas
Tabel 2. Komparatif Feeding Behavior dan Fisiologi Pencernaan Kerbau dan Sapi
Karakteristik Kerbau Sapi
Jenis Pakan Sembarang/apa saja Terbatas/selektif
Konsumsi bahan kering pakan Relatif sedikit Relatif banyak
Pola makan Merumput Merumput
Level selektifitas terhadap pakan Kurang selektif Lebih selektif
Kapasitas rumen/perut Lebih besar Relatif kecil
Pergerakan rumen Relatif lambat Relatif cepat
Kecernaan Lebih efisien Kurang efisien
Laju Pakan Lama Cepat
Habitat Semi-aquatik Daratan kering
Sumber : Mudgal (1999); Devendra dan Imaizumi (1989); Wanapat (1989)
Tabel.2 memberi petunjuk bahwa ternak kerbau memiliki potensi yang
relatif mudah dari segi kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behaviour, sehingga
akan cocok hidup pada kondisi lingkungan yang bervariasi. Hal ini dimungkinkan
karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau yang
relatif besar (Devendra dan Imaizumi, 1989).
Mudgal (1999) menjelaskan bahwa ternak kerbau sangat tahan mengatasi
tekanan dan perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan
temperatur (heat load) atau perubahan fenologi vegetasi padang rumput.
Sanitasi
Sanitasi adalah suatu kegiatan meliputi kebersihan kandang dan
lingkungannya, karena dengan keadaan kandang serta lingkungan yang bersih,
kesehatan ternak maupun pemilikannya akan terjamin. Sanitasi merupakan salah
satu komponen utama biosekuriti. Beberapa tindakan dalam sanitasi antara lain
33
kebersihan kandang, kebersihan halaman kandang, kebersihan tempat pakan,
kebersihan tempat minum, serta kebersihan sumber air ataupun pakan (Liptan,
2010).