49
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi (Studi
Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst), terdapat hal-hal penting yang terlebih dahulu
harus diketahui sebelum membahas permasalahan dalam penelitian. Tindak
pidana yang penulis kaji dalam skripsi ini adalah mengenai tindak pidana korupsi
pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan
tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan
pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin pelaku tindak pidana korupsi
yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah PT Giri Jaladhi Wana dan pada tindak
pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM
pelaku tindak pidana korupsi yang ditempatkan sebagai terdakwa adalah Hendra
Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Untuk menjawab isu hukum yang
diangkat oleh penulis, dalam hal ini penulis memunculkan dua rumusan masalah
meliputi sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap
korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana
korporasi yang diterapkan dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM,
namun tidak diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst.
A. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Sistem Pemidanaan
Terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi
Pertanggungjawaban pidana korporasi tidak dapat dipisahkan dari pidana
dan pemidanaan, karena suatu tindak pidana apabila dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya, maka konsekuensi lebih lanjut adalah
penjatuhan pidana. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli hukum pidana
yang menganut aliran dualistis yang memandang bahwa tindak pidana mempunyai
50
struktur yang berbeda dengan pertanggungjawaban pidana, artinya terjadi
pemisahan antara actus reus atau criminal act dengan mens rea atau criminal
responsibility. Menurut pendapat Chairul Huda, aturan hukum pidana yang
menentukan adanya tindak pidana merupakan primary rules, sedangkan
pertanggungjawaban pidana diejawantahkan dalam secondary rules, artinya
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seyogianya dipisahkan (Chairul
Huda, 2006:20). Muladi dan Dwidja Priyatno mengungkapkan bahwa pandangan
dualistis yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini
memudahkan dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu
tindak pidana yang masuk ke dalam perbuatan dan yang mana masuk ke dalam
pertanggungjawaban pidana, sehingga mempunyai dampak positif dalam
menjatuhkan putusan dalam proses peradilan (Muladi dan Dwidja Priyatno,
2010:68). Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dipidananya
pelaku tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya suatu perbuatan
pidana, terdapat syarat lain yaitu pelaku harus memiliki kesalahan untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana dan kemudian dijatuhi pidana.
Penegakan hukum terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana
merupakan suatu pengaplikasian dari sistem pertanggungjawaban pidana. Dalam
kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat asas yang sangat
fundamental yaitu kesalahan atau dikenal dengan berlakunya asas tiada pidana
pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Ada atau tidaknya kesalahan,
merupakan hal yang penting bagi aparat penegak hukum untuk menentukan
apakah seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan
dan karenanya patut dipidana. “Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada
dalam hukum pidana, yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana” (Muladi dan
Dwidja Priyatno, 2010:101). Sehubungan diterimanya korporasi sebagai subjek
hukum pidana, muncul pertanyaan apabila korporasi dituntut atas suatu tindak
pidana, dapatkah korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab unsur
51
utama dalam pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang hanya dimiliki
oleh manusia. Kemudian terkait cara mengkonstruksikan unsur kesalahan yang
hanya dimiliki oleh manusia tersebut terhadap korporasi sehingga korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Terkait dengan adanya asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa
kesalahan sebagai asas yang fundamental dalam pertanggungjawaban pidana,
menurut penulis hal ini berpengaruh terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi. Sehubungan dengan kesalahan pada pertanggungjawaban pidana
korporasi, Van Bemmelen dan Jan Remmelink sebagaimana dikutip Muladi dan
Dwidja Priyatno menyatakan bahwa pengetahuan bersama anggota direksi dalam
badan hukum dianggap kesengajaan atau kelalaian badan hukum sebagai
kesalahan, adanya kesalahan pada setiap anggota direksi yang bertindak untuk
korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan merupakan perwujudan kesalahan dari
korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:102). Penulis menyimpulkan
pendapat yang disampaikan oleh Van Bemmelen dan Jan Remmelink tersebut
menunjukkan bahwa korporasi memiliki kesalahan yang berasal dari kesalahan
setiap anggota direksi yang bertindak untuk korporasi. Penulis pada prinsipnya
sependapat dengan Van Bemmelen dan Jan Remmelink, kemudian penulis
mengkaitkan pandangan ini dengan realitas proses pengambilan keputusan dalam
korporasi modern yang tidak lagi mendesain struktur organisasinya dengan
kewenangan yang jelas, sebaliknya korporasi memiliki beberapa pusat
kewenangan yang saling bekerja sama dan melengkapi satu sama lain dalam
mengambil suatu kebijakan dan keputusan. Oleh karena itu, kesalahan setiap
anggota direksi diatributkan sebagai kesalahan korporasi yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi.
Korporasi dapat memiliki kesalahan, apabila kesengajaan atau kelalaian
terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya atau orang-orang yang
memiliki hubungan erat dengan korporasi. Kesalahan dianggap tidak bersifat
52
individual karena mengenai badan sebagai suatu kolektivitas, kesalahan itu
disebut sebagai kesalahan kolektif yang dapat dibebankan kepada pengurus
korporasi yang memberi cukup alasan untuk menganggap badan atau korporasi
mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya
karena badan atau korporasi menerima keuntungan yang terlarang, hal ini
diungkapkan Suprapto yang dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno (Muladi
dan Dwidja Priyatno, 2010:101).
Penulis sependapat dengan Suprapto, Van Bemmelen dan Jan Remmelink
yang menyatakan bahwa korporasi memiliki kesalahan seperti halnya dengan
manusia, kesalahan pada korporasi dimaksud dapat berupa pengetahuan atau
kehendak bersama dari kumpulan pengurus korporasi atau pengetahuan dan
kehendak bersama setiap individu yang bertindak untuk dan atas nama korporasi
yang diatributkan sebagai kesalahan korporasi. Pada dasarnya, korporasi tidak
dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara pengurus korporasi atau
karyawan korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi berdasarkan
berlakunya teori pelaku fungsional, hal ini sesuai dengan pendapat Mardjono
Reksodiputro yang dikutip oleh Mahrus Ali yang menyatakan bahwa kesalahan
yang ada pada diri pengurus korporasi dialihkan atau menjadi kesalahan korporasi
itu sendiri (Mahrus Ali, 2013:152). Sedangkan menurut Mahrus Ali, kesalahan
pada korporasi berbeda dengan kesalahan pada subjek hukum manusia, karena
dasar dari penetapan kesalahan pada korporasi adalah tidak dipenuhinya fungsi
kemasyarakatan korporasi termasuk tetapi tidak terbatas untuk menghindari tindak
pidana (Mahrus Ali, 2013:153). Menurut penulis, Mahrus Ali memiliki pandangan
yang berbeda mengenai penentuan kesalahan korporasi yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa penilaian kesalahan pada korporasi ditentukan oleh dipenuhi
atau tidaknya fungsi kemsayarakatan korporasi sehingga dapat dicela ketika suatu
tindak pidana terjadi, adanya kesalahan itu berasal dari kesalahan pelaku
53
fungsional yang dapat dilakukan oleh pengurus korporasi atau karyawan
korporasi. Oleh karena itu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Menurut Elliot dan Quin sebagaimana dikutip Mahrus Ali, pembenaran
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat
didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan
mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya
pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang
sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari korporasi;
2. Apabila perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang
ilegal, maka perusahaan itulah yang seharusnya memikul sanksi atas tindak
pidana yang dilakukan, bukan pegawainya;
3. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat mencegah perusahaan-
perusahaan untuk menekan para pegawainya dalam memperoleh keuntungan
kegiatan usahanya harus dilakukan secara legal;
4. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan
dapat mencegah perusahaan-perusahaan lain untuk melakukan kegiatan usaha
yang ilegal (Mahrus Ali, 2013:104).
Penulis sependapat dengan pandangan Eliot dan Quinn mengenai
pentingnya pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku
tindak pidana, sebab menurut penulis pembebanan pertanggungjawaban pidana
korporasi secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong korporasi
untuk menjalankan kegiatan usaha yang legal dan tidak melanggar undang-
undang, selain itu juga memberikan pesan bahwa pencapaian tujuan negara untuk
kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap masyarakat jauh lebih
penting dibandingkan dengan hanya keuntungan materi yang diperoleh korporasi
secara ilegal, serta merupakan pencegahan bagi korporasi lain untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang yang dapat merugikan negara
maupun masyarakat dengan mengontrol pengurus korporasi maupun terhadap
kegiatan usaha korporasi itu sendiri.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief
sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa untuk
54
adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Subjek tindak pidana yang telah diakui dalam hukum
pidana di Indonesia adalah manusia dan korporasi, terhadap pengertian subjek
tindak pidana memiliki konsekuensi yaitu siapa yang melakukan tindak pidana
dan siapa yang dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana
yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pembuat tindak pidana, tetapi tidak
selalu demikian karena tergantung pada cara perumusan sistem
pertanggungjawaban pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:82). Menurut
penulis hal tersebut juga berlaku terhadap kedudukan korporasi sebagai pembuat
atau pelaku tindak pidana untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,
harus diketahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasinya. Dalam hal ini
terdapat sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang diungkapkan oleh
Mardjono Reksodiputro sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali yaitu:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggung jawab;
2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab;dan
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab (Mahrus Ali,
2013:133).
Terkait dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, Sutan Remy
Sjahdeini menambahkan bentuk yang keempat yaitu sebagai berikut:
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasilah
yang bertanggung jawab secara pidana;
2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana namun pengurus korporasilah yang
bertanggung jawab secara pidana;
3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung
jawab secara pidana;dan
4. Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan keduanya yang
harus bertanggung jawab secara pidana (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:59).
Alasan Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi didasarkan pada tiga pertimbangan.
Pertama, apabila hanya pengurus korporasi saja yang diminta
pertanggungjawaban pidananya akan menimbulkan ketidakadilan bagi
55
masyarakat, karena pengurus dalam melakukan perbuatan tersebut adalah untuk
dan atas nama korporasi yang memberikan keuntungan baik finansial maupun non
finansial kepada korporasi. Kedua, apabila hanya korporasi yang dimintai
pertanggungjawaban pidananya maka pengurus korporasi akan dengan mudahnya
berlindung dibalik korporasi dengan mengatakan bahwa semua perbuatan yang
dilakukannya adalah untuk dan atas nama korporasi dan bukan untuk kepentingan
pribadi. Ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya
mungkin dilakukan secara vicarious dan segala perbuatan hukum dilakukan oleh
manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya
hanya korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara pidana sedangkan
pengurusnya dibebaskan maupaun sebaliknya, hanya pengurus korporasi yang
dipertanggungjawabkan secara pidana sedangkan korporasinya bebas (Sutan
Remy Sjahdeini, 2006:62-64).
Penulis sependapat dengan pertimbangan yang dikemukakan oleh Sutan
Remy Sjahdeini terkait dengan penambahan bentuk keempat sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi, alasan penulis didasarkan pada
perkembangan korporasi pada era globalisasi yang multidimensional ini memiliki
peran dan kekuasan di semua aspek kehidupan masayarakat, sehingga
dietapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana tidaklah cukup karena
hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus tidak sebanding dengan keuntungan
besar yang diterima korporasi dalam melakukan tindak pidana dan kerugian yang
dialami oleh masyarakat maupun negara. Alasan yang diungkpakan oleh penulis
mengenai keuntungan besar yang telah diterima oleh korporasi atas tindak pidana
yang dilakukan korporasi sejalan dengan pandangan Mahrus Ali yang menyatakan
bahwa korporasi merupakan makhluk yang rasional ekonomis dalam menimbang
ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan
yang akan didapat, artinya ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan
56
ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana (Mahrus
Ali, 2013:264).
Dengan hanya dipidananya pengurus saja tidak cukup memberikan
jaminan bahwa korporasi tidak akan lagi melakukan tindak pidana apabila
keuntungan besar diperoleh korporasi dengan melakukan tindak pidana. Menurut
penulis, arah penegakan hukum yang dikehendaki masyarakat disamping
mempertanggungjawabkan pidana pengurus korporasi yang melakukan tindak
pidana juga korporasi yang selama ini jarang dihadapkan di pengadilan dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan
korporasi. Hal ini didasarkan juga pada peraturan perundang-undangan yang telah
mendukung dengan mengatur mengenai syarat-syarat pemidanaan terhadap
korporasi, contohnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehubungan dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi dan diterimanya korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan pidana diluar KUHP, menurut penulis, terdapat
hubungan antara tahap-tahap diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana
dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, penulis
menjelaskan hubungan tersebut dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Hubungan Tahap Diterimanya Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana
dengan Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
No. Tahap Diterimanya Korporasi
Sebagai Subjek Tindak
Pidana
Perkembangan Sistem
Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi
1. I Menurut Hanafi Amrani
dan Mahrus Ali,
berdasarkan pemikiran
dari abad ke-19 korporasi
tidak dapat melakukan
tindak pidana, karena
masih dianut asas
Pengurus korporasi
sebagai pembuat tindak
pidana dan pengurus
korporasi yang harus
bertanggung jawab
secara pidana.
57
universitas delinquere non
potest (Hanafi Amrani dan
Mahrus Ali,
2015:161);dan
Hanya manusia yang
dapat melakukan tindak
pidana dan
dipertanggungjawabkan
secara pidana.
2. II Hanafi Amrani dan
Mahrus Ali menyatakan
bahwa sesudah perang
dunia I, korporasi diakui
dapat melakukan tindak
pidana;dan
Pertanggungjawaban
pidana menjadi beban
pengurus korporasi yang
memberikan perintah atau
bekerja untuk dan atas
nama korporasi (Hanafi
Amrani dan Mahrus Ali,
2015:163).
Korporasi sebagai
pembuat tindak pidana
dan pengurus korporasi
yang bertanggung jawab
secara pidana.
3. III Hanafi Amrani dan
Mahrus Ali menyatakan
bahwa tahap ketiga ini
merupakan permulaan,
diakuinya korporasi dapat
melakukan tindak pidana
dan bertanggung jawab
secara pidana atas tindak
pidana yang dilakukan
korporasi (Hanafi Amrani
dan Mahrus Ali,
2015:164);dan
Korporasi dapat dikenai
sanksi pidana.
Korporasi sebagai
pembuat tindak pidana
dan korporasi
bertanggung jawab
secara pidana;dan
Korporasi dan pengurus
sebagai pembuat tindak
pidana dan keduanya
dapat bertanggung jawab
secara pidana.
58
Hubungan antara diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana
dengan perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menunjukkan
bahwa pada saat korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana yang memiliki arti
sebagai subjek yang melakukan tindak pidana dan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana telah berjalan secara beriringan dengan
perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Hubungan tersebut
ditunjukkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana yang ditunjukkan dalam Pasal 1
butir 3 dan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam Pasal 20.
Terkait dengan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana
korupsi pengaturannya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu dapat dilihat dari diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana
korupsi, tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan korporasi, penentuan kapan
korporasi melakukan tindak pidana korupsi, pengaturan mengenai sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi, sanksi pidana yang tepat bagi korporasi
dan tujuan pemidanaan terhadap korporasi.
Pengakuan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diatur dalam
Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”.
Yang dimaksud dengan korporasi dijelaskan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 1 butir 1 sebagai berikut:
“Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
59
Perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang dihubungkan
dengan subjek tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal-pasalnya,
menurut penulis tidak semua tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh
korporasi, hal ini dikarenakan perumusan subjek tindak pidana korupsi dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut menggunakan
beberapa istilah diantaranya yaitu setiap orang, hakim, pemborong, ahli bangunan,
orang dan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut penulis, tindak
pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi
yang subjek tindak pidananya dirumuskan dengan kata setiap orang yang
memiliki pengertian orang perseorangan termasuk korporasi.
Selanjutnya, kapan dinyatakan bahwa suatu korporasi telah melakukan
tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat dalam perumusan Pasal 20 ayat (2) yang
menyatakan sebagai berikut:
“tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama”.
Maka suatu tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh korporasi dengan
batas atau ukuran apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain bertindak dalam lingkungan
korporasi baik sendiri maupun bersama-sama (garis bawah penulis). Menurut
penulis perumusan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 merupakan penyempurnaan perumusan tindak pidana ekonomi yang
dilakukan korporasi dalam Undang-Undang Nomor Drt. 7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi atau yang sering
disebut dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam Undang-Undang
60
Nomor Drt. 7 Tahun 1955 pengaturan tindak pidana ekonomi dilakukan oleh
korporasi diatur dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut:
“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh suatu, atas nama suatu
badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasan, jika
tindakan dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan
atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri
melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama-sama ada anasir-
anasir pidana tersebut”.
Sehubungan dengan perumusan tersebut diatas Barda Nawawi Arief
sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan bahwa di dalam
perumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi memang
ada perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu
dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana. Perumusan tersebut berbunyi
“suatu tindak pidana.....dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum...
dan seterusnya”. Dengan adanya kata “dilakukan juga”, jelas bahwa rumusan
tersebut hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas bentuk tindak pidana yang
sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum tetapi “dianggap” telah dilakukan
juga oleh badan hukum. Jadi, perumusan diatas tidaklah menjelaskan pengertian
kapan badan hukum itu dikatakan melakukan tindak pidana atau sebagai pelaku
tindak pidana, kemudian penyempurnaan perumusan pada Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonomi tersebut terdapat dalam rumusan Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan dengan
tegas bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain....dan seterusnya (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:93).
Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa setelah
melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
belum memberikan ketegasan mengenai batasan dan ukuran yang dipakai untuk
61
menentukan suatu tindak pidana ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum atau
korporasi, hanya saja dikatakan batasan atau ukurannya disebutkan:
1. Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain;atau
2. Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum (Muladi dan Dwidja
Priyatno, 2010:94).
Menurut penulis, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, memberikan batasan atau ukuran mengenai tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi yang memberikan batasan dan ukuran yang sama.
Mencermati batasan dan ukuran tersebut, baik Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
memiliki kelemahan yang sama yaitu tidak adanya penjelasan yang lebih lanjut
mengenai hubungan kerja maupun hubungan lainnya yang bertindak dalam
lingkungan korporasi pada perumusan maupun penjelasannya untuk menentukan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, hal tersebut menyebabkan
ketidakjelasan mengenai siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi sehingga tindak pidana korupsi tersebut dapat dikatakan dilakukan oleh
korporasi, maka kedepannya harus diperbaiki dalam formulasi perumusan
pasalnya maupun penjelasannya.
Setelah mengetahui mengenai tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan
oleh korporasi dengan mengetahuinya melalui perumusan subjek tindak
pidananya dan menentukan kapan korporasi dapat melakukan tindak pidana
korupsi, maka apabila korporasi yang telah terbukti melakukan tindak pidana
korupsi, selanjutnya yang sangat penting adalah terkait pengaturan mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur
dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
menyatakan sebagai berikut:
62
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau tempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (sepertiga).
Berdasarkan uraian Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tersebut secara gramatikal menurut penulis terdapat tiga bentuk
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi sebagai
berikut:
1. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang bertanggung
jawab secara pidana;
2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang
bertanggung jawab secara pidana;dan
3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, dan yang bertanggung jawab
secara pidana adalah korporasi serta pengurus korporasi.
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut penulis telah sampai tahap ketiga
yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan korporasi dapat bertanggung
63
jawab secara pidana bersama pengurusnya. Sehubungan dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, menurut
penulis walaupun telah mengakui korporasi dapat melakukan tindak pidana
korupsi dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun masih belum ada
penjelasan yang tegas dan spesifik mengenai kapan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi dipertanggungjawabkan oleh korporasi atau pengurus
atau korporasi dan pengurus secara bersamaan dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Hal ini menurut penulis merupakan suatu kelemahan dari
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang harus
diperbaiki dalam formulasinya di masa yang akan datang untuk menghindari
ketidakjelasan penafsiran.
Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi menurut penulis,
merupakan bagian dari proses sistem pemidanaan yang pada hakikatnya berpijak
pada pemikiran tujuan dipidananya korporasi, sanksi apa yang tepat diancamkan
untuk korporasi dan penjatuhan pidana yang tepat untuk korporasi serta mengenai
bentuk pengaturannya. Pemidanaan merupakan salah satu sarana untuk
menanggulangi masalah-masalah sosial dalam mencapai tujuan yaitu
kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu menurut Setiyono, dengan
menggunakan sanksi berupa sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang
penuh motif ekonomi harus dipertimbangkan benar urgensinya (Setiyono,
2003:116-117). Sehubungan dengan urgensi pemidanaan korporasi yang
berangkat dari motivasi bahwa dengan hanya memidana pengurus korporasi saja
dalam delik ekonomi tidaklah cukup apabila melihat keuntungan besar yang
diterima korporasi atas tindak pidana yang dilakukan korporasi dan akibatnya
berupa kerugian yang dialami negara maupun masyarakat sangat besar.
Penulis menerima pendapat yang diungkapkan oleh Yoshio Suzuki yang
dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno yang menyatakan bahwa dalam
64
penjatuhan pidana pada korporasi, misalnya dalam bentuk penutupan seluruh atau
sebagian usaha korporasi harus dilakukan secara hati-hati (Muladi dan Dwidja
Priyatno, 2010:143). Hal ini disebabkan dampak penjatuhan pidana tersebut
terhadap korporasi tidak hanya berdampak pada korporasi sendiri, tetapi juga
berdampak pada buruh atau karyawan korporasi yang tidak bersalah. Sehubungan
dengan hal tersebut maka perlu untuk mempertimbangkan peringatan Sudarto
yang dikutip oleh Setiyono, bahwa “sanksi pidana akan menemui kegagalan dan
mendatangkan kecemasan belaka. Terlalu banyak menggunakan ancaman pidana
dapat mengakibatkan devaluasi dari undang-undang pidana” (Setiyono,
2003:117).
Penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara cermat, hati-hati dan
manusiawi agar bermanfaat dalam keadaan yang tepat. Oleh karena itu Packer
sebagaimana dikutip oleh Setiyono menegaskan bahwa syarat-syarat penggunaan
sanksi pidana secara optimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilarang tersebut menurut pandangan sebagian besar anggota
masyarakat secara menyolok dianggap membahayakan masyarakat dan tidak
dibenarkan oleh apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting;
2. Penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan tersebut konsisten dengan
tujuan-tujuan pemidanaan;
3. Pemberantasan terhadap perbuatan tersebut tidak akan menghalangi atau
merintangi perilaku masyarakat yang diinginkan;
4. Perilaku tersebut dapat dihadapi melalui cara yang tidak berat sebelah dan
tidak bersifat diskriminatif;
5. Pengaturan melalui proses hukum pidana tidak akan memberikan kesan
memperberat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif;dan
6. Tidak ada pilihan-pilihan yang beralasan daripada sanksi pidana tersebut guna
menghadapi perilaku tersebut (Setiyono, 2003:117).
Selanjutnya menurut penulis, perlakuan secara hati-hati untuk memidana
atau menjatuhkan pidana terhadap korporasi harus didasarkan pada kriteria-
kriteria yang tepat dalam menentukan penjatuhan sanksi pidana terhadap
korporasi, dalam hal ini menurut penulis beberapa kriteria yang menentukan
kapan sanksi pidana diarahkan pada korporasi, kriteria tersebut bersifat alternatif
65
sehingga tidak perlu harus terpenuhi semuanya, kriteria tersebut dikemukakan
oleh Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno
serta diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut:
1. The degree of loss to the public (Tingkat kerugian terhadap publik);
2. The lever of complicity by high corporate managers (Tingkat keterlibatan
oleh jajaran manajer);
3. The duration of the violation (lamanya pelanggaran);
4. The frequensi of the violation by the corporation (Frekuensi pelanggaran oleh
korporasi);
5. Evidence of intent to violate (Alat bukti yang dimaksudkan untuk melakukan
pelanggaran);
6. Evidence of extortion, as in bribery cases (Alat bukti pemerasan, semisal
dalam kasus suap);
7. The degree of notoriety engendered by the media (Derajat pengetahuan publik
tentang hal-hal negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan media);
8. Precedent in law (Jurisprudensi);
9. The history of serious, violation by the corporation (Riwayat pelanggaran-
pelanggaran serius oleh korporasi);
10. Deterence potential (Kemungkinan pencegahan);dan
11. The degree of cooperation evinced by the corporation (Derajat kerja sama
yang ditunjukkan oleh korporasi) (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143).
Penulis mendasarkan pertimbangan untuk pemidanaan terhadap korporasi
didasarkan oleh kajian menurut Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan
Pengkajian Hukum Nasional, dalam laporan hasil Pengkajian Bidang Hukum
tahun 1980/1981 yang menyatakan bahwa “jika dipidananya pengurus saja tidak
cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau
dengan suatu korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang
ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti” (Muladi
66
dan Dwidja Priyatno, 2010:146). Hal ini berarti dipidananya pengurus saja tidak
dapat memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi
melakukan tindak pidana. Terkait hal ini, menurut penulis, kedudukan korporasi
ketika terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas tindak pidana
yang dilakukan korporasi, pemidanaan terhadap korporasi harus didasarkan pada
tujuan pemidanaan yang bersifat preventif dan represif.
Kemudian apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan
korporasi menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup:
1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan
pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya,
sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak melakukan
kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi, maka tujuan
dipidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan tindak pidana lagi,
dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan tindak
pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat;
2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan
masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat luas,
karena secara fundamental ia merupakan tujuan semua pemidanaan. Secara
sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk
mencari jalan melalui tindak pidana. Perlindungan masyarakat sering
dikatakan berada di seberang pencegahan dan mencakup apa yang dinamakan
tidak mampu. Bila dikaitkan dengan korporasi, sehingga korporasi tidak
mampu lagi melakukan suatu tindak pidana;
3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemeliharaan
solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan pemidanaan adalah
untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk mencegah balas dendam
perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi. Pengertian solidaritas ini
juga sering dihubungkan dengan masalah kompensasi terhadap korban
kejahatan yang dilakukan oleh negara. Kalau dihubungkan dengan
pemidanaan korporasi kompensasi terhadap korban dilakukan oleh korporasi
itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi, sehingga solidaritas sosial
dapat dipelihara;dan
4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya
kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari
pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan
yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian
kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan di samping itu
beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak
67
dengan alasan-alasan prevensi general apapun (Muladi dan Dwidja Priyatno,
2010:147-149).
Dengan demikian, menurut penulis, pemidanaan terhadap korporasi secara
global haruslah sesuai dengan pendirian integratif tentang tujuan pemidanaan,
yaitu dalam fungsinya sebagai sarana preventif atau pencegahan baik secara
umum dan khsusus, selanjutnya tujuan pemidanaan yang bersifat represif
tercermin dalam tujuan pemidanaan korporasi untuk perlindungan masyarakat,
memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan atau keseimbangan.
Berbeda dengan tujuan pemidanaan secara global yang bersifat integratif,
menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai digunakan bagi korporasi
adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation)
(Mahrus Ali, 2013:263). Digunakannya teori pencegahan didasarkan pada
motivasi atau orientasi bahwa korporasi ketika melakukan tindak pidana
didasarkan kepada motivasi ekonomi atau orientasi untung rugi dalam hal
dilakukan pada tindak pidana apapun. Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali
mengenai teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas
tertentu berpikir secara rasional dengan tujuan utama untuk memaksimalkan
keuntungan yang diharapkan, kondisi tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika
keuntungan yang diperoleh korporasi lebih besar dibandingkan dengan ongkos
yang dikeluarkan korporasi, maka korporasi akan melakukan tindak pidana
(Mahrus Ali, 2013:264).
Selanjutnya mengenai teori rehabilitasi, Mahrus Ali mengemukakan
bahwa alasan digunakannya teori rehabilitasi karena tidak jarang tindak pidana
yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup
(Mahrus Ali, 2013:265). Pendapat yang dikemukakan Mahrus Ali mengenai teori
rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat
yang memerlukan pengobatan, dalam artian hukuman yang dijatuhkan harus
cocok dengan kondisi korporasi dan bukan dengan sifat kejahatannya (Mahrus
Ali, 2013:266).
68
Menurut penulis, teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh Mahrus Ali
hanya tepat untuk digunakan dalam pemidanaan terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Hal ini dikarenakan orientasi
penggunaan teori rehabilitasi yang dikemukakan Mahrus Ali lebih mengarah
kepada rehabilitas lingkungan hidup yang rusak akibat tindak pidana yang
dilakukan korporasi, oleh karena itu pendapat mengenai teori rehabilitas yang
dinyatakan Mahrus Ali menurut penulis mengarah kepada perlakuan yang tepat
terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dengan
memanfaatkan program rehabilitasi diharapkan agar korporasi dapat bersinergi
kembali dengan masyarakat.
Terkait dengan tujuan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana
korupsi, pada penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menjelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka “mencegah” dan “memberantas”
lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang telah sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat
pada umumnya. Frase “mencegah” dan “memberantas” merupakan ide dari teori
tujuan pemidanaan yang menunjukkan bahwa tujuan pemidanaan korporasi dalam
tindak pidana korupsi bersifat preventif dan represif, tujuan tersebut secara
normatif direalisasikan melalui pertanggungjawaban pidana korporasi. Tujuan
pemidanaan korporasi dalam tindak pidana korupsi bersifat preventif artinya
tujuan dipidananya korporasi agar korporasi tercegah untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dan agar korporasi-korporasi yang lain tercegah untuk melakukan
tindak pidana korupsi. Sedangkan tujuan pemidanaan korporasi dalam tindak
pidana korupsi bersifat represif artinya tujuan dipidananya korporasi adalah agar
negara dapat menuntut korporasi untuk mengembalikan kerugian keuangan negara
69
yang telah dipergunakan secara melawan hukum. Selain itu, teori tujuan
pemidanaan korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat dilihat pada substansi pengaturan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk kedudukan korporasi sebagai
subjek tindak pidana korupsi.
Sehubungan pemidanaan terhadap korporasi, hal penting yang selanjutnya
harus diketahui adalah mengenai sanksi pidana pokok bagi korporasi dalam tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya berupa
denda, berikut bunyi pasalnya:
“Pidana pokok yang dapat digunakan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3”.
Menurut penulis, berdasarkan penjelasan pasal tersebut di atas
menunjukkan bahwa sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (7) merupakan sanksi
yang dirumuskan secara tunggal yang tidak memberikan alternatif pidana pokok
lain yang dapat dipilih. Hal ini menjadi permasalahan sekaligus kelemahan
tersendiri dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebab
dalam ketentuan umum Buku I KUHP dalam Pasal 30 ayat (2) yang mengatur
tentang denda yang tidak dibayar dapat dikenakan pidana kurungan pengganti
denda yang hanya dapat dijatuhkan terhadap manusia bukan korporasi.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi di Indonesia, selain
ketentuan pidana pokok berupa denda yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi,
juga terdapat pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang
dapat berupa:
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
70
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; (Pasal 18 ayat
(2) menjelaskan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling
lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti)
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu)
tahun;dan (pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara
waktu sesuai dengan putusan pengadilan)
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
Dalam hal pemidanaan terhadap korporasi dengan dijatuhkannya sanksi
pidana terhadap korporasi, penulis akan memberikan sedikit catatan mengenai
dampak negatif dari pemidanaan korporasi yang akan menimbulkan dampak
negatif terhadap buruh atau karyawan. Penulis pada prinsipnya sependapat dengan
Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengungkapkan bahwa untuk menghindarkan
dampak efek negatif pemidanaan terhadap korporasi, dapat dilakukan dengan
mengasuransikan pekerja atau buruh atau karyawan korporasi (Muladi dan Dwidja
Priyatno, 2010:143). Terkait hal ini, apabila tidak ada asuransi terhadap pekerja,
pemidanaan korporasi harus tetap dilakukan, namun dilakukan dengan sangat
hati-hati. Penulis menambahkan bahwa dampak negatif yang akan berpengaruh
terhadap pihak-pihak disekitar terpidana merupakan konsekuensi yang harus
terjadi dalam pemidanaan, hal ini tidak berbeda dengan pemidanaan terhadap
manusia alamiah yang akan berpengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana.
Dalam artian bahwa pemidanaan baik terhadap manusia alamiah maupun
korporasi akan menimbulkan pengaruh terhadap pihak-pihak disekitar terpidana
yang akan menghukum pihak yang tidak bersalah. Inti yang dimaksud dari
penjelasan penulis adalah dampak negatif dari pemidanaan manusia alamiah yang
berdampak pada pihak-pihak disekitar terpidana sama halnya yang akan terjadi
pada pemidanaan korporasi, akan tetapi pemidanaan terhadap manusia alamiah
71
tentu tidak dihapuskan karena adanya dampak negatif terhadap pihak disekitar
terpidana, demikian halnya dengan pemidanaan terhadap korporasi yang tentu
tidak harus dihapuskan karena adanya hal tersebut.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas yang telah dipaparkan oleh penulis,
dalam hal ini penulis berpendapat bahwa sehubungan dengan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi yang merupakan bagian dalam proses
sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi, yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa
kelemahan dalam substansi pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana
korupsi yang dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Tidak adanya penjelasan mengenai hubungan kerja dan hubungan lain untuk
menentukan siapa orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi
sehingga tindak pidana korupsi dapat dikatakan dilakukan oleh korporasi
menimbulkan ketidakjelasan penafsiran;
2. Tidak adanya kejelasan mengenai kapan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi itu dipertanggungjawabkan terhadap korporasi saja
atau pengurus saja atau terhadap korporasi dan pengurus secara
bersamaan;dan
3. Pidana pokok hanya berupa denda yang tidak ada alternatif lainnya mengenai
pidana pokok terhadap korporasi menimbulkan permasalahan ketika denda
tidak dibayarkan oleh korporasi, sebab dalam ketentuan umum Buku I KUHP
Pasal 30 ayat (2) menjelaskan bahwa jika denda tidak dibayarkan yaitu dapat
dikenakan pidana kurungan pengganti yang hanya dapat diterapkan terhadap
manusia alamiah.
72
B. Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Diterapkan Sebagai
Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN/BJM yang Seharusnya Dapat Diterapkan dalam
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
1. Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Pembangunan dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin
a. Kasus Posisi
Bahwa PT Giri Jaladhi Wana ditunjuk oleh Pemerinah Kota
Banjarmasin berdasarkan Surat Keputusan Nomor 008/Prog/1998 tanggal 13
Juli 1998 sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan kerja sama kontrak bagi
tempat usaha untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari, dengan perjanjian
kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli
1998. Selanjutnya dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari,
PT Giri Jaladhi Wana melakukan penyimpangan dengan membangun 6.045
(enam ribu empat puluh lima) unit toko, kios, los, lapak dan warung tanpa
persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin dimana seharusnya PT Giri Jaladhi
Wana hanya membangun 5.145 (lima ribu seratus empat puluh lima) unit,
sehingga terjadi penambahan sejumlah 900 (sembilan ratus) unit.
Penambahan 900 (sembilan ratus) unit tersebut dijual oleh PT Giri Jaladhi
Wana dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus
sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam
rupiah) dan hasil penjualan tersebut tidak disetorkan ke kas daerah
Pemerintah Kota Banjarmasin. Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana tidak
membayarkan kewajiban untuk membayar retribusi dan penggantian uang
sewa ke kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar
Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah). PT Giri
Jaladhi Wana yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar Sentra Antasari dari
73
tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 tidak pernah membayar uang
pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan memberikan alasan melalui
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu Stevanus Widagdo kepada
Pemerintah Kota Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam
pengelolaan Pasar Sentra Antasari mengalami kerugian, padahal berdasarkan
laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari terkumpul dana sebesar
Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat
puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah). Padahal sebelum
dibangun menjadi pasar modern, Pemerintah Kota Banjarmasin menerima
hasil retribusi sebesar Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dari
pengelolaan Pasar Sentra Antasari. Berdasarkan perhitungan BPKP
Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan perbuatan PT Giri Jaladhi Wana
tersebut telah merugikan keuangan negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin
sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga
ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah).
Dalam pelaksanaan pembangunan Pasar Sentra Antasari, PT Giri
Jaladhi Wana melalui Direktur Utamanya Stevanus Widagdo mengajukan
kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri, Tbk., akan tetapi dalam
menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., PT
Giri Jaladhi Wana melakukan berbagai penyimpangan yang merugikan PT
Bank Mandiri sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh
sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam
ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen).
Berdasarkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan PT Giri
Jaladhi Wana dalam hal pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari
serta dalam penggunaan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri,
Tbk., atas perbuatan-perbuatannya tersebut PT Giri Jaladhi Wana ditetapkan
sebagai Terdakwa. Penetapan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa
74
berawal dari putusan berkekuatan hukum tetap empat terdakwa sebelumnya
yaitu Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, Direktur PT Giri Jaladhi Wana,
mantan Walikota Banjarmasin dan Kepala Dinas Pasar Kota Banjarmasin.
Penanganan tindak pidana korupsi penyalahgunaan pembangunan dan
pengelolaan Pasar Sentra Antasari ditangani oleh Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Selatan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banjarmasin untuk
disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.
b. Dakwaan Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu:
Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang termasuk korporasi;
2) Dengan melawan hukum;
3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan
5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut.
Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang termasuk korporasi;
2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukannya;
75
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan
5) Perbuatan dilakukan secara berlanjut.
c. Tuntutan Penuntut Umum
1) Menyatakan PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti bersalah melakukan
beberapa perbuatan yang berhubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut yang melanggar Pasal 2 Jo.
Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
sebagaimana Dakwaan Primair;
2) Menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda
sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah);
3) Menjatuhkan pidana tambahan penutupan sementara PT Giri Jaladhi
Wana selama 6 (enam) bulan.
d. Pertimbangan Majelis Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim mengenai Dakwaan Primair:
1) Unsur setiap orang termasuk korporasi
a) Bahwa pengertian “setiap orang” sebagaimana ketentuan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah orang perorangan termasuk korporasi, yang dimaksud
korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum;
b) Bahwa sebagaimana Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam hal tindak pidana
76
korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan
dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya;
c) Bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan Stevanus Widagdo
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yang bertindak mewakili PT
Giri Jaladhi Wana, dan setelah pemeriksaan di tingkat penyidikan dan
pra penuntutan selanjutnya PT Giri Jaladhi Wana dihadapkan
dipersidangan sebagai terdakwa, berdasarkan keterangan saksi-saksi
dan bukti-bukti surat.
d) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana merupakan badan hukum,
maka terdakwa dapat dikategorikan sebagai korporasi menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur pertama “setiap
orang” telah terpenuhi.
2) Unsur secara melawan hukum
a) Bahwa sebagaimana pendapat jonkers, dalam perundang-undangan
unsur melawan hukum disebut dengan bermacam-macam istilah,
biasanya disebut dengan “melawan hukum” atau dengan tanpa hak,
dengan tanpa izin, dengan melampaui kekuasaannya, tanpa
memperhatikan cara yang ditentukan dalam undang-undang;
b) Bahwa dalam ilmu hukum dikenal dua macam sifat melawan hukum,
yaitu sifat melawan hukum materiel dan sifat melawan hukum formil.
Sifat melawan hukum materiel artinya tidak hanya melawan hukum
yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis, sedangkan
sifat melawan hukum formil adalah unsur dari hukum positif yang
tertulis saja yang dengan tegas disebutkan dalam rumusan tindak
pidana;
77
c) Bahwa sifat melawan hukum menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
diartikan sebagai sifat melawan hukum dalam arti formil maupun
materiil. Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006, penjelasan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sifat
melawan hukum materiel dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat. Sehingga Majelis Hakim membatasi pembahasan
pengertian melawan hukum hanya mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil;
d) Bahwa menurut ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan
bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan
dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, jadi menurut
ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-
undang;
e) Bahwa sebagaimana keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini,
S.H. tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh personel
korporasi dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi, kecuali
bahwa apabila perbuatan tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh
directing mind dari korporasi atau dengan kata lain bahwa untuk dapat
korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya harus
dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil
korporasi maupun didalam struktur organisasi memiliki posisi
sebagai directing mind dari korporasi;
78
(2) Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan
tujuan korporasi;
(3) Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
(4) Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi korporasi;
(5) Pelaku dan pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
f) Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa: “tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”;
g) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana bergerak di
bidang usaha : perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang,
jasa, transportasi, pembangunan dan desain interior;
h) Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan, telah terbukti benar, seluruh rangkaian perbuatan
terdakwa berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari
Kota Banjarmasin dan surat Walikota Banjarmasin Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang Penunjukan
Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari kepada terdakwa;
i) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja
Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat
79
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004, terdakwa
diwakili oleh Stevanus Widagdo Direktur Utama PT Giri Jaladhi
Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi Wana,
keduanya adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;
j) Bahwa dalam memperoleh dana Kredit Modal Kerja dari PT Bank
Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa, dalam hal ini terdakwa
diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana dan Drs. Tjiptomo selaku Direktur PT Giri Jaladhi
Wana, berdasarkan kedudukannya keduanya adalah directing mind
pada PT Giri Jaladhi Wana;
k) Bahwa benar atas kejadian tersebut Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah dijatuhi pidana
berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap melalui
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 936k/Pid.Sus/2009 tanggal 25
Mei 2009;
l) Bahwa dari rangkaian fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan, telah terbukti benar adanya penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana
sebagai berikut:
(1) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tanpa persetujuan
DPRD Kota Banjarmasin membangun 6.045 (enam ribu empat
puluh lima) unit terdiri dari toko, kios , los, lapak dan warung,
sehingga terjadi penambahan 900 (sembilan ratus) unit yang
kemudian dijual dengan harga Rp16.691.713.166,00 (enam belas
miliar enamratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas
ribu seratus enam puluh enam rupiah) dan hasil penjualan tidak
disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin, hal tersebut
bertentangan dengan:
80
(a) Perda No. 9/1980 tentang Pasar Dalam Daerah Kotamadya
Banjarmasin;dan
(b) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor
003/GJW/VII/1998 dan Pasal 3 Addendum.
(2) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana mempunyai kewajiban
membayar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, berupa:
(a) Retribusi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
(b) Penggantian uang sewa Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah);dan
(c) Pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari
Rp3.750.000.000,00 (tiga miliar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Jumlah keseluruhan yang harus dibayar adalah
Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), yang terdakwa bayarkan hanya Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah), sehingga terdapat kekurangan Rp5.750.000.000,00
(lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) yang seharusnya
disetor ke kas Pemerintah Kota Banjarmasin, namun terdakwa PT
Giri Jaladhi Wana sengaja tidak membayar uang tersebut,
terdakwa PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo
memberikan keterangan yang tidak benar dengan menyatakan
kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah pembangunan
Pasar Sentra Antasari belum selesai, padahal sesuai keterangan Ir.
Wahid Udin, MBA. Projek Manajer Pembangunan Pasar Sentra
Antasari, per September 2004 pembangunan Pasar Sentra
Antasari telah selesai dan per Oktober 2004 mempunyai surplus
Rp64.579.000.000,00 (enam puluh empat miliar lima ratus tujuh
81
puluh sembilan juta rupiah) dari hasil penjualan kios, toko dan los
serta warung, hal tersebut bertentangan dengan:
(a) Pasal 1 huruf f Permendagri Nomor 3 Tahun 1986 tentang
Penyertaan Modal Daerah Pada Pihak Ketiga;
(b) Pasal 1 huruf g Perda Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Penyertaan Modal Daerah Pihak Ketiga;dan
(c) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor
003/GJW/VII/1998 serta Addendumnya.
m) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sejak ditunjuk mengelola
Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan
Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar
Sentra Antasari ke kas daerah Kota Banjarmasin dan Stevanus
Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan
keterangan tidak benar dengan mengatakan kepada Pemerintah Kota
Banjarmasin bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam melakukan
pengelolaan Pasar Sentra Antasari merugi, padahal sesuai laporan
keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai
dengan Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.654,00
(tujuh miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu
enam ratus lima puluh empat rupiah), hal tersebut bertentangan
dengan:
(1) Pasal 13 Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Parkir;
(2) Pasal 10 ayat (2) Perda Nomor 2 Tahun 1993 tentang
Kebersihan;dan
(3) Pasal 15 ayat (2) Perjanjian Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-
Nomor 003/GJW/VII/1998.
82
n) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dalam penggunaan Kredit
Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., telah melakukan
penyimpangan-penyimpangan berupa:
(1) Berdasarkan Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 19 Desember 2001 akta notaris
Nomor 69, untuk penambahan pendanaan pembangunan Pasar
Sentra Antasari sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah), terdapat kekurangan pembayaran oleh terdakwa
PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp23.550.000.000,00 (dua puluh
tiga miliar lima ratus lima puluh juta rupiah) dan utang bunga
Rp3.452.000.000,00 (tiga miliar empat ratus lima puluh dua juta
rupiah). Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Perjanjian
Kredit Modal Kerja Nomor 048/001/KMK-CO/2001;
(2) Berdasarkan Addendum I Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 9 Oktober 2002 akta notaris
Nomor 24 diberikan kredit tambahan sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), terdakwa PT
Giri Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp5.720.000.000,00
(lima miliar tujuh ratus dua puluh juta rupiah);
(3) Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tidak menyetorkan hasil
penjualan ke rekening escrow I, sebagai berikut:
a) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/013/2003 tanggal 9 Januari
2003 penjualan Rp1.168.000.000,00 (satu miliar seratus
enam puluh delapan juta rupiah), yang tidak disetorkan
sebesar Rp704.000.000,00 (tujuh ratus empat juta rupiah);
b) Surat Nomor 9.Hb.BLM.CMB/104/2003 tanggal 11 Januari
2003 penjualan Rp8.770.000.000,00 (delapan miliar tujuh
ratus tujuh puluh juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar
83
Rp8.129.000.000,00 (delapan miliar seratus dua puluh
sembilan juta rupiah);dan
c) Surat Nnomor 9.Hb.BLM.CMB/178/2003 tanggal 11 Maret
2003 penjualan Rp1.173.000.000,00 (satu miliar seratus tujuh
puluh tiga juta rupiah), yang tidak disetorkan sebesar
Rp284.000.000,00 (dua ratus delapan puluh empat juta
rupiah).
Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Addendum Perjanjian
Kredit Modal Kerja Nomor 048/011/KMK-CO/2001 dan Pasal 4
ayat (1) huruf a Akta Nomor 16 tanggal 27 Mei 2002 perihal
Perjanjian Kerja Sama antara PT Bank Mandiri, Tbk., dengan PT
Giri Jaladhi Wana.
(4) Berdasarkan Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004 akta notaris
Nomor 5, dilakukan penjadwalan kembali dengan limit kredit
turun menjadi Rp67.830.000.000,00 (enam puluh tujuh miliar
delapan ratus tiga puluh juta rupiah), namun terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana hanya membayar sebesar Rp1.030.000.000,00 (satu
miliar tiga puluh juta rupiah), hal tersebut bertentangan dengan
Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor
048/001/KMK-CO/2001 tanggal 8 Januari 2004.
(5) Berdasarkan Addendum III Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor
048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dilakukan
penjadwalan kembali dengan limit turun menjadi
Rp66.800.000.000,00 (enam puluh enam miliar delapan ratus juta
rupiah), terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tidak dapat
mengembalikan kredit modal kerja kepada PT Bank Mandiri,
Tbk., sesuai jadwal yang ditentukan, terdakwa PT Giri Jaladhi
84
Wana malah meminta PT Bank Mandiri, Tbk., untuk mencairkan
fasilitas Bank Garansi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh
lima miliar rupiah). Perbuatan PT Giri Jaladhi Wana bertentangan
dengan Pasal 2 Addendum II Perjanjian Kredit Modal Kerja
Nomor 048/011/KMK-CO/2001 tanggal 2 Agustus 2004 dan
Perjanjian Kredit Modal Kerja Nomor 048/032/KMK-CO/2004
Akta Notaris Nomor 81 tanggal 21 Desember 2004, atas
perbuatan tersebut terdakwa PT Giri Jaladhi Wana harus
mengembalikan kredit modal kerja yang telah diterima dari PT
Bank Mandiri, Tbk.
o) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah
terbukti benar bahwa seluruh rangkaian perbuatan terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana adalah berkaitan dengan pelaksanaan Perjanjian Kerja
Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei
2004;
p) Bahwa dalam penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja
Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan surat
Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal 31 Mei
2004, PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku
Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya
tersebut adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;
q) Bahwa dalam pengajuan Kredit Modal Kerja ke PT Bank Mandiri,
Tbk., PT Giri Jaladhi Wana diwakili oleh Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dan Ir. Tjiptomo selaku
Direktur PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan kedudukan keduanya
adalah directing mind pada PT Giri Jaladhi Wana;
85
r) Bahwa sesuai anggaran dasar PT Giri Jaladhi Wana, maka Perjanjian
Kerja Sama Nomor 664/1/548/Prog-Nomor-003/GJW/VII/1998 dan
surat Walikota Banjarmasin Nomor 500/259/Ekobang/2004 tanggal
31 Mei 2004 serta upaya terdakwa mendapatkan fasilitas Kredit
Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., adalah masih dalam ruang
lingkup usaha terdakwa PT Giri Jaladhi Wana;
s) Bahwa dari uraian di atas jelas bahwa Stevanus Widagdo selaku
pengurus PT Giri Jaladhi Wana yang diwakili oleh terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana adalah berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana yang melakukan perbuatan tersebut dalam rangka
maksud dan tujuan korporasi dan dengan maksud memberikan
manfaat atau keuntungan bagi korporasi dan perbuatan terdakwa
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum formil dan
oleh karenanya maka unsur kedua “secara melawan hukum” telah
terpenuhi.
3) Unsur melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi
a) Bahwa memperkaya diri sendiri artinya diri si pembuat sendirilah
yang meperoleh atau bertambah kekayaannya secara tidak sah.
Sedangkan memperkaya orang lain adalah orang yang kekayaannya
bertambah atau memperoleh kekayaannya merupakan orang lain
selain si pembuat. Demikian dengan memperkaya suatu korporasi,
bukan si pembuat yang memperoleh atau bertambah kekayaannya
oleh perbuatan si pembuat tetapi suatu korporasi.
b) Bahwa unsur ketiga ini bersifat alternatif sehingga dalam pembuktian
unsur cukup apabila salah satu unsur telah terbukti maka unsur yang
lain tidak perlu dibuktikan atau bisa secara kumulatif beberapa unsur
terbukti;
86
c) Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan,
menyangkut aliran dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat
Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin menggunakan fasilitas kredit modal kerja dari PT Bank
Mandiri pada periode 1 Januari 2000 sampai dengan 30 Juni 2003
untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari sebesar
Rp39.179.924.284,00 (tiga puluh sembilam miliar seratus tujuh puluh
sembilan juta sembilan ratus dua puluh empat ribu dua ratus delapan
puluh empat rupiah), telah dapat disimpulkan adanya penambahan
kekayaan terdakwa, pihak-pihak yang terlibat didalamnya dan orang
lain;
d) Bahwa penunjukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana untuk mengelola
Pasar Sentra Antasari berdasarkan Surat Walikota Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan
Desember 2007, dengan sengaja tidak membayar uang pengelolaan
Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Kota Banjarmasin dan
memberikan keterangan yang tidak benar dengan mengatakan kepada
Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-oleh pengelolaan merugi,
padahal laporan keuangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan Desember 2007
terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus
lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh
lima rupiah);
e) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur “melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi telah terpenuhi”.
4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
87
a) Bahwa dengan adanya kata “dapat” menunjukan bahwa delik korupsi
merupakan delik formil yaitu adanya delik korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat atau dengan kata lain tidak menimbulkan kerugian
pun asal perbuatannya memenuhi unsur korupsi terdakwa sudah dapat
dihukum;
b) Bahwa yang dimaksud dengan “keuangan Negara” adalah seluruh
kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
(2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud “perekonomian Negara” adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha masyarakat secara mandiri
berdasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun
di tingkat daerah, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Dengan demikian, yang dimaksud merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara berarti mengurangi atau mengganggu keuangan
Negara atau kehidupan perekonomian Negara;
c) Bahwa unsur ini bersifat alternatif, sehingga tidak perlu seluruh
elemen yang diuraikan dalam unsur terpenuhi pada perbuatan
88
terdakwa. Cukup salah satu terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah
terpenuhi;
d) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan telah
terbukti benar, dana dalam pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat Usaha
Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin
tersebut menggunakan dana kucuran Kredit Modal Kerja dari PT
Bank Mandiri, Tbk., yang diajukan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana
yang mana dalam hal ini PT Bank Mandiri, Tbk., merupakan Badan
Usaha Milik Negara sehingga dana yang dikucurkan dalam bentuk
kredit modal kerja tersebut dikategorikan sebagai kekayaan Negara
yang berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara;
e) Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana juga tidak membayar rertibusi,
penggantian uang sewa dan pelunasan retribusi serta pelunasan Kredit
Inpres Pasar Antasari sebagaimana telah diperjanjikan, yang
seluruhnya adalah sebesar Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh
ratus lima puluh juta rupiah);
f) Bahwa terdakwa sejak ditunjuk untuk mengelola Pasar Sentra
Antasari Kota Banjarmasin berdasarkan Surat Walikota Nomor
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004 sampai dengan
Desember 2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar
Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin dan
Stevanus Widagdo memberikan keterangan yang tidak benar dengan
mengatakan kepada Pemerintah Kota Banjarmasin seolah-olah
pengelolaan itu merugi, padahal sesuai laporan keuangan pengelolaan
Pasar Sentra Antasari Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan
Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh
89
miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam
ratus empat puluh lima rupiah);
g) Bahwa akibat perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana tersebut telah
merugikan keuangan Negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin
sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua
juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah)
berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Provinsi Kalimantan
Selatan No. S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank
Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh
sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat
ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen);
h) Bahwa dalam hal ini selain telah nyata-nyata merugikan keuangan
Negara, karena perbuatan terdakwa tersebut berkaitan dengan
pembangunan dan pengelolaan sebuah pasar, dan dengan
terungkapnya tindak pidana korupsi ini kondisi Pasar Sentra Antasari
sekarang menjadi tidak jelas lagi, siapa pengelolanya maka perbuatan
terdakwa juga berpotensi merugikan Perekonomian Negara;
i) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut unsur “dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi.
5) Perbuatan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana memenuhi ketentuan Pasal 64 ayat
(1) KUHP
a) Bahwa Pasal 64 ayat (1) KUHP berbunyi:
“jika antara beberapa perbuatan meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan
berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat ancaman pidana
pokok yang terberat”;
90
b) Bahwa untuk adanya perbuatan berlanjut dipersyaratkan harus timbul
dari satu niat atau kehendak dan perbuatan tersebut harus sejenis dan
rentang waktunya tidak boleh terlalu lama;
c) Bahwa dari fakta hukum yang terungkap di persidangan, telah
terbukti, bahwa penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam
perkara ini berlangsung dari tahun 1998 sampai dengan sekarang,
adalah dalam rangkaian kontrak bagi tempat usaha dalam rangka
pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin;
d) Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut perbuatan terdakwa dapat
dikategorikan sebagai “perbuatan berlanjut”.
Bahwa oleh karena kesemua unsur telah terpenuhi, maka kepada PT
Giri Jaladhi Wana haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18
Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP (Dakwaan Primair). Bahwa oleh
karena dakwaan primair telah terbukti maka Majelis Hakim tidak akan
mempertimbangkan dakwaan selanjutnya.
e. Putusan
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin pada
Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM tanggal
23 Mei 2011 memutuskan sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut
sebagaimana Dakwaan Primair;
91
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana oleh karena
itu dengan pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga
ratus juta rupiah);
3) Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri
Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.
2. Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan Videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (UKM)
a. Kasus Posisi
Tindak pidana korupsi ini berawal dari adanya Rencana Kerja dan
Anggaran Rumah Tangga (RKA-K/L) untuk mengalokasikan anggaran
sebesar Rp23.501.000.000,00 (dua puluh tiga miliar lima ratus satu juta
rupiah) untuk pengadaan 2 (dua) unit videotron pada gedung Kementrian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Riefan Avrian yang merupakan
Direktur Utama PT Rifuel mempersiapkan untuk mendirikan PT Imaji Media
yang akan diikutsertakan dalam lelang pekerjaan pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 2012,
Rievan Afrian yang merupakan Direktur Utama PT Rifuel mengangkat Office
Boy (OB) di kantornya bernama Hendra Saputra yang tidak tamat Sekolah
Dasar (SD) untuk ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Imaji Media guna
kepentingan memperoleh proyek videotron di Kementrian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM). Terdakwa Hendra Saputra kemudian
menyetujui tentang pengangkatannya sebagai Direktur Utama PT Imaji
Media, berdasarkan akta pendirian Perseroan Terbatas Nomor 2 tanggal 1
Februari 2012 terdakwa Hendra Saputra tercatat sebagai Direktur Utama PT
Imaji Media.
Sebelumnya pada tanggal 30 Desember 2011 unit layanan pengadaan
jasa Kementrian Koperasi dan UKM telah mengumumkan adanya pelelangan
92
umum pekerjaan pengadaan videotron, setelah dokumen pendirian PT Imaji
Media lengkap, Riefan Avrian mempersiapkan segala dokumen yang
dibutuhkan untuk mengikutsertakan PT Imaji Media dan PT Rifuel dalam
lelang pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Selanjutnya,
pada tahap pemasukan penawaran terdapat empat perusahaan yang
mengajukan penawaran yaitu PT Divaintan Pitripratama, PT Rifuel, PT Imaji
Media dan PT Batu Karya Mas. Dalam pengajuan surat dokumen penawaran
PT Imaji Media telah dilakukan penandatangan oleh Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan instruksi dari Riefan
Avrian. Pada tanggal 8 Oktober 2012 PT Imaji Media ditetapkan sebagai
pemenang lelang, hal ini sesuai dengan tujuan didirikannya PT Imaji Media.
Selanjutnya, terdakwa Hendra Saputra menandatangani kwitansi pembayaran
uang muka 20% dari kontrak atas pekerjaan, menandatangani surat jaminan
uang muka, menandatangani surat jaminan pelaksanaan dan membuka
rekening atas nama terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji
Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati untuk menampung pembayaran
hasil pekerjaan pengadaan videotron.
Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron, PT Imaji Media
tidak melakukan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak, karena PT
Imaji Media melalui Direktur Utamanya terdakwa Hendra Saputra
menyerahkan semua pekerjaan kepada Riefan Avrian selaku Direktur Utama
PT Rifuel tanpa adanya perjanjian kerjasama operasi atau kemitraan dan
tanpa addendum kontrak. Di dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan
videotron yang tidak dilakukan PT Imaji Media tetapi oleh PT Rifuel terdapat
pekerjaan yang tidak dikerjakan maupun pekerjaan yang tidak sesuai dengan
spesifikasi. Akan tetapi PT Imaji Media tetap mendapatkan seluruh
pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron, walaupun kemudian
terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
93
memberikan surat kuasa mutlak kepada Riefan Aviran selaku Direktur Utama
PT Rifuel untuk mengambil pembayaran atas pekerjaan pengadaan videotron.
Berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan Hendra Saputra dalam hal
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media
yang dilakukan sesuai dengan perintah dan kendali Riefan Avrian, terdakwa
Hendra Saputra mendapatkan bonus dari Riefan Avrian sebesar
Rp19.000.000.000,00 (sembilan belas juta rupiah). Selanjutnya untuk
menyamarkan keberadaan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji
Media, Riefan Avrian memerintahkan agar Hendra Saputra pergi ke
Samarinda Kalimantan Timur. Riefan Avrian yang sebenarnya merupakan
pemilik PT Imaji Media kemudian menjual PT Imaji Media kepada Pendi
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus jutas rupiah).
Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada
bulan Februari 2013 ditemukan adanya kelebihan pembayaran yang tidak
sesuai dengan spesifikasi teknis sebesar Rp2.695.958.491,90 (dua miliar
enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu
empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan puluh sen) dan berdasarkan
audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
jumlah kerugian keuangan negara sebesar Rp4.780.298.934,00 (empat miliar
tujuh ratus delapan puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu sembilan
ratus tiga puluh empat rupiah) yang disebabkan oleh adanya pekerjaan yang
tidak dikerjakan dan pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi.
b. Dakwaan Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidaritas yaitu:
Dakwaan Primair melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1)
huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
94
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Dengan melawan hukum;
3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan
5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut serta melakukan
perbuatan.
Dakwaan Subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Setiap orang;
2) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukannya;
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;dan
5) Yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut serta
melakukan perbuatan.
c. Tuntutan Penuntut Umum
1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam dakwaan subsidair melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18
ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
95
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hendra Saputra dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama
terdakwa menjalani penahanan dengan perintah supaya terdakwa tetap
ditahan;
3) Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan;
4) Membayar uang pengganti sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas juta
rupiah), jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama
dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak mempunyai
harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,
maka terpidana dipidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam)
bulan dan apabila terpidana membayar uang pengganti yang jumlahnya
kurang dari seluruh kewajiban membayar uang pengganti, maka jumlah
uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan diperhitungkan dengan
lamanya pidana tambahan berupa pidana penjara sebagai pengganti dari
kewajiban membayar uang pengganti.
d. Pertimbangan Majelis Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim dalam Dakwaan Primair:
1) Unsur setiap orang
a) Bahwa yang dimaksud sebagai setiap orang sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-
Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi;
96
b) Bahwa menurut teori hukum yang dimaksud dengan setiap orang
adalah siapa saja sebagai subjek hukum yaitu sebagai penyandang hak
dan kewajiban yang sama nilainya dengan barang siapa;
c) Bahwa kemampuan bertanggung jawab itu sendiri menurut para ahli
hukum pidana dapat dideskripsikan bahwa pelaku tindak pidana
sebagai subjek hukum mempunyai kemampuan untuk membedakan
mana perbuatan yang baik mana yang buruk, yang sesuai hukum dan
yang melawan hukum, disamping itu pelaku tindak pidana
mempunyai kemampuan untuk menentukan mengerti akan
perbuatannya dan dapat menentukan kehendaknya secara sadar;
d) Bahwa dari fakta di persidangan Terdakwa adalah benar sebagai
subyek hukum yang mempunyai identitas sebagaimana disebutkan
dalam surat dakwaan, dengan demikian terbukti tidak terjadi
kesalahan orang (error in persona), in casu adalah Hendra Saputra,
disamping itu Terdakwa sehat dan cakap menurut hukum hal
demikian dibuktikan atas kemampuannya untuk menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan kepadanya secara lancar dan terhadap diri
Terdakwa tidak melekat alasan-alasan pemaaf maupun alasan
pembenar yang dapat menghapuskan sifat perbuatan pidana;
e) Bahwa berdasarkan uraian diatas Majelis Hakim berpendapat unsur
“setiap orang” telah terpenuhi.
2) Unsur secara melawan hukum
a) Bahwa yang dimaksud dengan pengertian secara melawan hukum
dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah mencakup
perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak
97
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dengan
demikian, dapat dipahami sebenarnya Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran sifat
melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materiil;
b) Bahwa apabila mencermati rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 dapat disimpulkan bahwa yang menjadi delik inti dari
pasal tersebut adalah “adanya perbuatan melawan hukum untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dengan
demikian konstruksi perbuatan melawan hukum harus dijadikan
sebagai cara untuk mencapai tujuan yaitu memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi tersebut;
c) Bahwa sesuai Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Konstitusi tanggal
25 Juli 2006 No. 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan penjelasan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai perbuatan melawan hukum
materiil adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dengan demikian menurut Mahkamah
Konstitusi pemberantasan tindak pidana korupsi harus didasarkan
pada perbuatan melawan hukum formil semata;
d) Bahwa dengan mencermati teori hukum, doktrin hukum dan
Yurisprudensi, Majelis Hakim berpendapat bahwa disamping hukum
fomil sebagai sumber hukum positif, maka doktrin dan yurisprudensi
juga harus dipandang sebagai sumber hukum, dengan demikian
majelis memaknai perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan
dalam arti materiil;
98
e) Bahwa dalam perkara a quo sesai fakta hukum yang terungkap di
persidangan, terdakwa Hendra Saputra adalah seseorang yang bekerja
sebagai Office Boy (OB) di PT Rifuel milik saksi Rievan Afrian;
f) Bahwa meskipun pekerjaan terdakwa Hendra Saputra sebagai Office
Boy (OB), namun terdakwa mengakui telah menandatangani Akta
Pendirian PT Imaji Media yang disodorkan oleh saksi Sarah Salamah
atau perintah saksi Riefan Avrian. Penandatanganan dilakukan di
kantor PT Rifuel tidak dihadapan Notaris Johny Sianturi, ketika
ditunjukkan Akta Notaris tentang pendirian PT Imaji Media, terdakwa
mengakui tanda tangannya dan pada waktu dirinya ditanya oleh
Hakim apakah terdakwa membaca bahwa di atas namanya tertulis
Direktur, terdakwa membenarkan ia membaca tulisan tersebut dan
tidak menanyakan kepada saksi Riefan Avrian;
g) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa peserta lelang pekerjaan
pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM ada 23 (dua
puluh tiga) perusahaan, dan yang memenuhi kualifikasi ada empat
yaitu PT Divaintan Pratama, PT Rifuel, PT Imaji Media dan PT Batu
Karya Mas;
h) Bahwa terdakwa mengakui tandang-tangan yang ditunjukkan di
persidangan yaitu dokumen tentang persyaratan lelang antara lain
surat dokumen penawaran PT Imaji Media, kuitansi uang muka 20%
Nomor 111/Kwt/MJ-JKT/X/12 tanggal 19 Oktober 2012, Surat
Jaminan Uang Muka Nomor: PL11630208j.0027.043530 dengan
penjamin PT Asuransi Mega Pratama, Surat Jaminan Pelaksanaan No.
PL PL11630208j.0027.043530 tanggal 18 Oktober 2012 dengan nilai
sebesar Rp1.170.500.000,00 (satu miliar tujuh puluh juta lima ratus
ribu rupiah) dan pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra
selaku Direktur Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas
99
Fatmawati dengan nomor rekening 0525-01-000159-30-6 untuk
menampung pembayaran pekerjaan pengadaan videotron;
i) Bahwa terdakwa membenarkan pula tanda-tangan dirinya pada Surat
Perjanjian Nomor: 617/Kont/SM.3/X/2012 tanggal 18 Oktober 2012
antara terdakwa dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku Pejabat Pembuat
Komitmen, dengan lingkup pekerjaan persiapan, pekerjaan konstruksi
rangka videotron, pekerjaan pemasangan videotron, materi awal LED
videotron, jasa lainnya dan support serta utilities;
j) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat kuasa
yang isinya terdakwa memberi kuasa kepada saksi Riefan Avrian,
yang menimbulkan hak hukum yang luas bagi saksi Riefan Avrian
untuk mengambil uang perusahaan, termasuk menerima pembayaran
uang muka dari PPK berdasarkan SPPD Nomor: 196895A/019/110
tanggal 23 November 2012 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar
enam ratus delapan puluh dua juta rupiah);
k) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada akad kredit
senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar delapan puluh sembilan juta
rupiah) dengan saksi Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang
Pembantu BRI Duta Mas;
l) Bahwa terdakwa membenarkan tanda-tangan dirinya pada surat
permintaan pemenuhan pembayaran atas nama PT Imaji Media,
melalui SPPD Nomor: 225554A/019/110 tanggal 17 Desember 2012
sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua
puluh delapan juta rupiah);
m) Bahwa dalam persidangan maupun dalam pembelaannya terdakwa
menyatakan tidak menolak untuk menandatangani dokumen-dokumen
meskipun tidak ada paksaan, karena terdakwa takut kehilangan
pekerjaan, dengan demikian terdakwa menyadari apa yang
100
dilakukannya, paling tidak mengetahui bahwa apa yang dilakukannya
adalah diluar pekerjaan sebagai Office Boy dan terdakwa tidak
berusaha untuk menanyakan kepada pihak lain sebagai bentuk kehati-
hatian atas penandatanganan beberapa dokumen;
n) Bahwa penandatanganan beberapa dokumen tersebut telah
menimbulkan akibat hukum yang tentu harus dipertanggungjawabkan
oleh terdakwa Hendra Saputra;
o) Bahwa perbuatan-perbuatan terdakwa mulai dari menandatangani akta
pendirian PT Imaji Media sampai penyerahan pekerjaan pengadaan
videotron di kantor Kementrian Koperasi dan UKM, dan menerima
pembayaran atas pekerjaan tersebut adalah dilakukan secara melawan
hukum, sehingga unsur “melawan hukum” telah terpenuhi.
3) Unsur memperkaya diri sendiri, orang lain dan suatu korporasi
a) Bahwa yang dimaksud ”memperkaya” adalah perbuatan untuk
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau orang yang
sudah kaya menjadi bertambah kaya, memperhatikan pengertian
tersebut berarti memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu
korporasi akan dihubungkan dengan fakta hukum bahwa terdakwa,
orang lain atau suatu badan telah memperoleh sejumlah uang atau
harta, yang menjadikannya kaya atau bertambah kaya dari suatu
perbuatan melawan hukum;
b) bahwa unsur ke-3 ini bersifat alternatif, sehingga salah satu terbukti
maka unsur ke-3 tersebut telah terpenuhi;
c) bahwa sebagaimana fakta hukum yang terungkap di persidangan,
saksi Riefan Avrian menerangkan bahwa motivasi didirikannya PT
Imaji Media adalah untuk mengikuti lelang pengadaan barang berupa
Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM;
101
d) Bahwa di persidangan terungkap fakta hukum bahwa terdakwa telah
menandatangani surat kuasa yang isinya terdakwa memberi kuasa
kepada saksi Riefan Avrian, yang menimbulkan hak hukum bagi saksi
Riefan Avrian untuk mengambil uang perusahaan termasuk
pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD (SP2D) Nomor :
196895A/019/110 tanggal 23 November 2012 sebesar
Rp4.682.000.000,- (empat miliar enam ratus delapan puluh dua juta
rupiah);
e) Bahwa hak hukum yang diberikan kepada saksi Riefan Avrian dalam
surat kuasa tersebut cukup luas yaitu berhak untuk mengecek saldo,
menarik uang tanpa limit dan menandatangani cek, yang artinya hak
hukum untuk mengambil uang yang dimiliki Riefan Avrian dalam
surat kuasa tersebut sama besarnya dengan pemilik rekening;
f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas perbuatan
melawan hukum yang telah dilakukan oleh Terdakwa Hendra Saputra
tersebut telah memperkaya orang lain dan korporasi, yaitu saksi
Riefan Avrian dan PT Imaji Media, sehingga unsur ke-3 telah
terpenuhi.
4) Unsur dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
a) Bahwa tindak pidana korupsi adalah merupakan delik formil, artinya
dari kata “dapat” dipahami akibat kerugian negara tidak perlu sudah
terjadi, akan tetapi apabila perbuatan itu mungkin merugikan negara
perbuatannya sudah selesai dan sempurna dilakukan;
b) Bahwa yang dimaksud dengan merugikan adalah artinya menjadi rugi
atau berkekurangan, sehingga yang dimaksud merugikan keuangan
negara artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau
berkurangnya keuangan negara, sedangkan pengertian keuangan
negara dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
102
1999 menyatakan bahwa “keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan
termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala
kewajiban yang timbul karena:
(1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
(2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
c) Bahwa merugikan perekonomian negara adalah dengan perekonomian
negara menjadi merugi atau perekonomian negara menjadi kurang
berjalan. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
menyatakan “ perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian
yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat mandiri yang didasarkan pada
kebijaksanaan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan
kepada seluruh kehidupan rakyat”;
d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan
adalah sebagai berikut: berdasarkan hasil audit BPKP, jumlah
kerugian Negara terkait dengan pengadaan videotron pada tahun 2012
adalah sebesar Rp.4.780.298.934,- (empat milyar tujuh ratus delapan
puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu Sembilan ratus tiga
puluh empat rupiah);
103
e) Bahwa jumlah kerugian tersebut belum termasuk perhitungan
kerugian pengadaan 2 (dua) unit videotron yang belum dihitung;
f) Bahwa sesuai dengan audit BPK RI, PT Imaji Media telah
mengembalikan uang ke kas Negara sebesar Rp.2.695.958.491.90,-
(dua milyar enam ratus sembilan puluh lima juta sembilan ratus lima
puluh delapan ribu empat ratus sembilan puluh satu rupiah sembilan
puluh sen);
g) Bahwa berdasarkan uraian diatas unsur “dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara” telah terpenuhi.
5) Unsur yang melakukan, yang menyuruh melakukan perbuatan dan turut
serta melakukan perbuatan
a) Bahwa bentuk perbuatan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP antara lain disebut sebagai pembuat tindak pidana adalah
mereka yang melakukan, mereka yang menyuruh dan mereka yang
turut serta melakukan, tetapi dalam praktek peradilan tidak selalu
mudah untuk menentukan bentuk perbuatan pelaku, apakah orang itu
melakukan, menyuruh lakukan, atau turut melakukan;
b) Bahwa menurut pendapat Adami Chazawi yang menguraikan dalam
bukunya bahwa kerjasama yang diinsyafi adalah suatu bentuk
kesepakatan, suatu kesamaan kehendak antara beberapa orang
(Pembuat peserta dengan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan
suatu tindak pidana secara bersama dan kerjasama yang di insyafi
tidak perlu berupa permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk
sebelum pelaksanaan, tapi sudah cukup adanya saling pengertian yang
sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan oleh
yang satunya terhadap perbuatan oleh yang lainnya ketika
berlangsungnya perbuatan (Drs. Adam Chazawi, SH, Pelajaran
104
Hukum Pidana Bagian III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal.101);
c) Bahwa masalah penyertaan (deelneming) ini telah dibahas oleh
Drs.P.A.F.Lamintang, SH dalam bukunya “Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia” halaman 503-608 menguraikan bahwa Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai ajaran “deelneming” yang terdapat
pada suatu strafbaarfeit atau delict, apabila dalam suatu delict
tersangkut beberapa orang atau lebih dari seorang, dalam hal ini harus
dipahami bagaimanakah “hubungan” tiap peserta itu terhadap delik,
Karena hubungan ini adalah bermacam-macam, hubungan ini
berbentuk:
(1) Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu delik;
(2) Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai kehendak dan
merencanakan delik, akan tetapi delik tersebut tidak dilakukan
sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain untuk melakukan delik
tersebut;
(3) Dapat juga terjadi bahwa seseorang saja yang melakukan delik,
sedang orang lain membantu orang itu dalam melaksanakan delik.
d) Bahwa dalam uraian Dakwaannya Penuntut Umum telah mendakwa
Terdakwa Hendra Saputra melakukakan tindak pidana baik secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan saksi Riefan Avrian selaku
Direktur Utama PT Rifuel;
e) Bahwa diperoleh fakta hukum bahwa apa yang telah dilakukan oleh
Terdakwa yaitu sejak menandatangani Akta Pendirian PT Imaji
Media, sampai dengan mengikuti proses pengadaan barang dan jasa
Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM serta menerima
pembayaran atas proyek tersebut dilakukan atas perintah dari saksi
Riefan Avrian dan pada saat ini saksi Riefan Avrian telah ditetapkan
105
sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron
di Kementrian Koperasi dan UKM tersebut, sehingga Majelis Hakim
berpendapat bahwa yang mempunyai kehendak dan merencanakan
delik adalah saksi Riefan Avrian, akan tetapi delik tersebut tidak
dilakukan sendiri, tetapi ia menggunakan orang lain dalam hal ini
Terdakwa Hendra Saputra untuk melakukan delik berupa tindak
pidana korupsi tersebut;
f) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas maka unsur
bersama-sama telah terpenuhi sehingga Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam perkara ini telah
terbukti.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, oleh
karena seluruh unsur dalam dakwaan primair telah terpenuhi maka terdakwa
Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum
bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama
sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair Surat Dakwaan Penuntut
Umum a quo, maka terdakwa haruslah dijatuhi pidana penjara dan denda
yang akan disebutkan dalam amar putusan dan jika terdakwa tidak membayar
denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan.
Bahwa Hakim Anggota II memiliki pendapat yang berbeda atau
dissenting opinion mengenai unsur melawan hukum yang dikemukakan
sebagai berikut:
a) Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,
keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan
barang bukti serta bukti surat, diperoleh fakta hukum:
(1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra adalah Dirut PT Imaji Media;
(2) Bahwa berdasarkan pengumuman pemenang lelang No. 1753/
PUM/ ULP/ SM/ X/ 2001 tanggal 8 Oktober 2012 telah
106
ditetapkan PT Imaji Media sebagai pemenang lelang pengadaan
Videotron di Kementrian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran
2012;
(3) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 Terdakwa menandatangani
kontrak/SPK No. 617/Kont/SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi
Bahtiar, MM selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen);
(4) Bahwa dalam melaksanakan pekerjaan / pemenuhan kontrak
terdakwa atas perintah Saksi Riefan Avrian (Dirut PT Rifuel)
terdakwa menjaminkan proyek dengan mengajukan kredit ke BRI
KCP Dutamas Fatmawati senilai Rp 7.890.000.000 (tujuh miliar
delapan ratus sembilan puluh juta rupiah);
(5) Bahwa Terdakwa membuka rekening giro dan rekening escrow
No. 0525 01 000159-30-6 atas nama Hendra Saputra;
(6) Bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan Videotron, tidak
melaksanakan pekerjaan sama sekali. Namun di laporkan
seluruhnya oleh Saksi Riefan Avrian (Dirut PT. Rifuel).
b) Bahwa atas pekerjaan tersebut berdasarkan audit reguler oleh BPK RI
diperoleh temuan hasil pekerjaan tidak sesuai kontrak yaitu antara
lain:
(1) Hanya terpasang 1 (satu) unit LED Videotron ukuran 8 x 32 M
dari seharusnya dipasang 2 (dua) Unit dengan ukuran 8 x 16 M
per unit;
(2) Generator set dengan kapasitas 350 KUA seharga 500 KVA;
(3) Pemasangan sambungan listrik yang tidak dikerjakan karena
sudah menyatu dengan sambungan PLN yang ada di gedung
SMESCO;
(4) Tangki Bahan bakar yang seharusnya 600 liter dalam pelaksanaan
menjadi 500 liter;
107
(5) Tidak adanya ruang khusus menyimpan genset
c) Bahwa dalam pekerjaan tidak ada perjanjian kemitraan antara
Terdakwa selaku penandatangan kontrak dengan saksi Riefan Avrian;
d) Bahwa Terdakwa pada tanggal 23 November 2012 telah menerima
pembayaran uang muka dari PPK berdasarkan SPPD atau (SP2D) No.
196895 A/019/100 sebesar Rp4.682.000.000,00 (empat miliar enam
ratus delapan puluh dua juta rupiah) yang masuk ke rekening PT Imaji
Media;
e) Bahwa uang yang masuk ke PT Imaji Media seluruhnya atas kendali
saksi Riefan Avrian;
f) Bahwa walaupun telah diangkat menjadi Dirut PT Imaji Media gaji
yang Terdakwa terima tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua
ratus ribu rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas sehari-
hari sebagai office boy di PT. Rifuel;
g) Bahwa setelah dimulainya penyidikan tindak pidana korupsi videotron
terdakwa diperintahkan melarikan diri ke Samarinda Kalimantan
Timur atas saran rekan terdakwa sesama karyawan PT Rifuel dan atas
biaya saksi Riefan Avrian;
h) Bahwa dari fakta-fakta hukum tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa Terdakwa Hendra Saputra mulai dari pengangkatan menjadi
Direktur Utama PT Imaji Media sampai kepada pemenangan PT Imaji
Media sebagai pelaksana Projek Pengadaan Videotron, telah diatur
sedemikian rupa oleh saksi Riefan Avrian dan keterlibatan Terdakwa
hanya sepanjang penandatanganan dokumen dan kontrak pekerjaan
berlaku, sehingga tidak ada ketentuan undang-undang terkait
penandatanganan dokumen-dokumen adalah terlarang atau
bertentangan dengan peraturan tertulis lainnya;
108
i) Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Hakim
Anggota II, Unsur melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa
tidak terpenuhi dan tidak terbukti;
j) Bahwa oleh karena unsur melawan hukum tidak terbukti, maka unsur
berikutnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, sehingga dengan tidak
terbuktinya unsur ke 2 secara melawan hukum maka terdakwa
haruslah dibebaskan dari dakwaan primair tersebut.
Bahwa selanjutnya Hakim Anggota II akan mempertimbangkan
dakwaan subsidair yang melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaiamana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 yang unsur-unsurnya dipertimbangkan sebagai berikut:
1) Unsur setiap orang
a) Bahwa oleh karena unsur setiap orang telah dipertimbangkan dalam
dakwaan primair, maka untuk selanjutnya segala pertimbangan unsur
ini diambil alih menjadi pertimbangan unsur setiap orang dalam
dakwaan subsidair;
b) Bahwa pengertian unsur setiap orang dalam Pasal 3 dipersyaratkan
adanya suatu jabatan atau kedudukan, yang dengan jabatan tersebut
terdakwa diberi kewenangan;
c) Bahwa terdakwa adalah Direktur PT Imaji Media diangkat
berdasarkan akta Notaris No. 2 tanggal 2 Februari 2012, berdasarkan
pertimbangan hukum diatas, maka unsur setiap orang terpenuhi.
2) Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau
Suatu Korporasi
a) Bahwa yang dimaksud dengan menguntungkan sama artinya dengan
mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari
pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan
yang diperolehnya. Dengan demikian yang dimaksud dengan unsur
109
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
adalah sama artinya dengan mendapatkan untung untuk diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, di dalam ketentuan tentang tindak
pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ini, unsur menguntungkan
diri sendiri atau orang lain adalah tujuan dari pelaku tindak pidana
korupsi;
b) Bahwa berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 29 Juni 1989 No. 813/K/Pid/1987 dalam
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa mengungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan cukup dinilai dari kenyataan yang
terjadi atau dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya karena jabatan atau kedudukan;
c) Bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan diperoleh
adanya fakta hukum sebagai berikut :
(1) Bahwa berdasarkan atas Berita Acara Pemeriksaan Fisik No.
440/BA PF/PBJ/SM/X/2012;
(2) Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan dan penerimaan barang
selanjutnya bagian Keuangan mengajukan Surat Pemenuhan
Pembayaran Tagihan Tahap ke2 kepada PPK;
(3) Bahwa setelah diproses oleh pihak keuangan proyek maka tagihan
dibayarkan dengan cara di setorkan langsung ke rekening Nomor :
0525 01000 159 30-6 atas nama Terdakwa Hendra Saputra selaku
Direktur PT Imaji Media dengan SP2D No.
225554A/019/110/Tanggal 12 Desember 2012 sebesar
Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuah ratus dua puluh
delapan juta rupiah);
d) Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dari
pencairan pelunasan proyek pengadaan videotron Tahun Anggaran
110
2012 terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media telah
memperoleh keuntungan Rp19.000.000,- (sembilan belas juta rupiah)
dan telah menguntungkan orang lain yaitu Riefan Avrian selaku
Direktur Utama PT Rifuel dan Sarah Salamah, Andre Risakota, Kaim,
Kristi, Ika Diahningsih, Barli Sadewa, Ahmad Kamaludin;
e) Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas, maka unsur
“menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain” telah
terpenuhi.
3) Unsur Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan
a) Bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah mengandung
pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan
kewenangan, dialternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang
ada pada diri Terdakwa karena jabatan atau kedudukannya;
b) Bahwa yang dimaksud menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
kewenangan berarti kekuasaan/hak, jadi yang disalahgunakan itu
adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku misalnya, untuk
menguntungkan anak, saudara, atau kroni sendiri. (Darwan Prinst,
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung
2002, hal. 34);
c) Bahwa pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus ada
hubungan kausal antara keberadaan kewenangan, kesempatan, dan
sarana dengan jabatan atau kedudukan. Oleh karena memangku
jabatan atau kedudukan akibatnya dia mempunyai kewenangan,
kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan
111
tersebut. Jika jabatan atau kedudukan itu lepas, maka kewenangan,
kesempatan atau sarana akan hilang, dengan demikian tidaklah
mungkin ada menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimilikinya (Adami
Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
Bayumedia Publishing, Malang 2005, hal. 53);
d) Bahwa dari uraian pengertian unsur tersebut di atas dihubungkan
dengan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan keterangan
Terdakwa, maka diperoleh fakta hukum sebagai berikut :
(1) Bahwa Terdakwa Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT
Imaji Media yang dalam proses pelelangan pengadaan videotron
pada Kementerian Koperasi dan UKM Tahun Anggaran 2012
ditetapkan sebagai pemenang/pelaksana proyek;
(2) Bahwa pada tanggal 18 Oktober 2012 telah dilakukan
penandatanganan kontrak/Surat Perjanjian Kerja No.
617/Kont.SM.3/X/2012 antara Ir. Hasnawi Bachtiar, MM selaku
Pejabat Pembuat Komitmen dan Terdakwa Selaku Direktur PT
Imaji Media sebagai Pihak Penyedia.
e) Bahwa didalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron tersebut
terdakwa selaku Direktur Utama PT Imaji Media tidak melakukan
pekerjaan sebagaimana disepakati didalam kontrak, akan tetapi
pekerjaan tersebut diserahkan seluruhnya dan dikerjakan oleh Riefan
Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel;
f) Bahwa dari fakta lain yang terungkap dipersidangan terdakwa telah
menandatangani Surat Kuasa Mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian
yang berisi segala pengurusan tentang keuangan PT Imaji Media
terkait pengadaan videotron diserahkan kepada Riefan Avrian;
112
g) Bahwa dari pencairan terhadap uang muka tanggal 3 November 2012
telah diterima uang sejumlah Rp4.682.000.000,00 (empat milyar
enam ratus delapan puluh dua juta rupiah) dan selanjutnya telah
dilakukan pula pembayaran sepenuhnya terhadap pekerjaan videotron
pada tanggal 17 Desember 2012 sejumlah Rp18.728.000.000,00
(delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah) dari
pembayaran uang muka maupun pelunasan/pembayaran tahap akhir
keseluruhannya dengan Surat Kuasa yang diterima oleh Riefan Avrian
ternyata telah dicairkan seluruhnya oleh yang bersangkutan;
h) Bahwa setelah seluruh pekerjaan pengadaan diserah terimakan pada
tanggal 17 Desember 2012, kemudian pada bulan Februari 2013
sampai dengan Mei 2013 Badan Pemeriksaan Keuangan Repulik
Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan rutin dan
melakukan audit terhadap pengadaan tersebut dengan hasil temuan
adanya kelebihan pembayaran yang tidak sesuai dengan spesifikasi
teknis sebesar Rp2.695.958.491,90,00 (dua miliar enam ratus
sembilan puluh lima juta empat ratus sembilan puluh satur ribu rupiah
koma sembilan puluh sen);
i) Bahwa terhadap temuan tersebut BPK telah menagih pada PT Imaji
Media, bahwa PT Imaji Media telah melakukan penyetoran lebih
bayar tersebut dengan Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) ke kas
negara;
j) Bahwa di persidangan telah terungkap fakta lain dari keterangan saksi
Pendi bahwa saksi telah membeli PT Imaji Media pada saksi Riefan
Avrian dan untuk pengambil alihan PT Imaji Media saksi telah
mengeluarkan uang sebanyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupuah);
113
k) Bahwa dari fakta hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa Direktur
Utama PT Rifuel dalam hal ini Saksi Riefan Avrian telah
memanfaatkan karyawannya yang bernama Hendra Saputra untuk
merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek a quo sudah
dipersiapkan sejak jauh hari;
l) bahwa di depan persidangan perkara a quo saksi Riefan Avrian telah
mengakui perbuatannya dan siap bertanggung jawab sepenuhnya
dalam pengadaan videotron yang menjadi kasus sampai kepersidangan
perkara ini;
m) Bahwa dari keseluruhan uraian fakta hukum sebagaimana telah
dipertimbangkan diatas, maka menurut Hakim Anggota II unsur
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
pada Terdakwa Hendra Saputra tidaklah terpenuhi dan terbukti.
Bahwa Hakim Anggota II berpendapat dengan tidak terpenuhinya
unsur ketiga dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka terdakwa
Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan subsidair. Dengan tidak
terbuktinya dakwaan primair maupun dakwaan subsidair, maka terdakwa
Hendra Saputra haruslah dibebaskan dari dakwaan primair dan dakwaan
subsidair tersebut.
Bahwa oleh karena dua orang Hakim berpendapat terdakwa terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam dakwaan primair,
sedangkan satu orang Hakim berpendapat bebas (vrijs praak), maka
berdasarkan Pasal 14 ayat (3) Undang Undang R.I No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman maka pendapat yang digunakan ialah pendapat 2
orang hakim (suara terbanyak) sehingga, terdakwa harus dipersalahkan
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam dakwaan
primair.
114
e. Putusan
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst tanggal 27
Agustus 2014 memutuskan sebagai berikut:
1) Menyatakan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-
sama sebagaimana dalam Dakwaan Primair;
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Hendra Saputra oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4) Menetapkan terdakwa tetap ditahan.
Bahwa berkenaan dengan uraian 2 (dua) putusan pengadilan dalam
tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, penulis memberikan catatan
terhadap 2 (dua) putusan tersebut yaitu adanya hal yang sama dan hal yang
berbeda dalam tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi pada kedua
putusan tersebut, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 2. Persamaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
Indikator
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
Putusan Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt
.Pst
Peran
korporasi
dalam
terjadinya
tindak
pidana
Perbuatan hukum PT Giri
Jaladhi Wana melalui
Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana dalam
melakukan penandatangan
Kontrak Kerja Sama Bagi
Terungkap fakta hukum
tujuan didirikannya PT Imaji
Media oleh Riefan Avrian
adalah untuk memenangkan
lelang pengadaan videotron
di Kementrian Koperasi dan
UKM. Riefan Avrian
115
korupsi. Tempat Usaha Dalam
Rangka Pembangunan Pasar
Sentra Antasari, persetujuan
terkait penunjukan PT Giri
Jaladhi Wana oleh
Pemerintah Kota
Banjarmasin dalam
Pengelolaan Pasar Sentra
Antasari Kota Banjarmasin
dan Penandatanganan
Perjanjian Kredit Modal
Kerja dari PT Bank
Mandiri, Tbk., untuk
pembangunan Pasar Sentra
Antasari Kota Banjarmasin.
Dimana PT Giri Jaladhi
Wana dalam melaksanakan
pembangunan dan
pengelolaan Pasar Sentra
Antasari melakukan
penyimpangan-
penyimpangan sehingga
merugikan keuangan Negara
c.q. Pemerintah Kota
Banjarmasin serta
melakukan penyimpangan
atas penggunaan kredit
modal kerja dari PT Bank
Mandiri, Tbk., sehingga
merugikan PT Bank
Mandiri, Tbk.
(dilakukan penuntutan secara
terpisah) Direktur Utama PT
Rifuel sekaligus pemilik PT
Imaji Media memanfaatkan
terdakwa Hendra Saputra
selaku Direktur Utama PT
Imaji Media untuk bertindak
atas nama PT Imaji Media
yang sebenarnya merupakan
Office Boy (OB) di PT Rifuel
dengan perintah dan kendali
dari Riefan Avrian untuk
menandatangani dokumen-
dokumen penting dalam
pengadaan videotron yaitu
surat dokumen penawaran PT
Imaji Media, kuitansi uang
muka 20 %, surat jaminan
uang muka dengan penjamin
PT Asuransi Mega Pratama,
surat jaminan pelaksanaan,
pembukaan rekening atas
nama Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji
Media, dan surat perjanjian
mengenai lingkup pekerjaan
pengadaan videotron. Dalam
pelaksanaan pekerjaan
pengadaan videotron, Hendra
Saputra selaku Direktur
Utama PT Imaji Media yang
bertindak atas nama PT Imaji
Media menyerahkan semua
pekerjaan pengadaan
videotron kepada Riefan
Avrian selaku Direktur
Utama PT Rifuel tanpa
adanya addendum kontrak
maupun perjanjian kerjasama
operasi atau kemitraan,
kemudian dalam
pelaksanaannya terdapat
116
pekerjaan yang tidak
dikerjakan dan pekerjaan
yang tidak sesuai spesifikasi
dalam kontrak sehingga
menimbulkan kerugian pada
keuangan negara.
Selanjutnya, Terdakwa
Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji
Media memberikan surat
kuasa kepada Riefan Avrian
untuk mengambil uang
perusahaan (PT Imaji Media)
termasuk pembayaran hasil
pekerjaan pengadaan
videotron. Dalam hal ini
terlihat jelas maksud dan
tujuan PT Imaji Media
didirikan hanya untuk
melakukan tindak pidana
korupsi pada pengadaan
videotron di Kementrian
Koperasi dan UKM.
Peraturan
Perundang
-undangan
yang
digunakan
untuk
dilakukan
nya
penuntuta
n.
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang
Perubahan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Petimbang
an Hakim
mengenai
manfaat
yang
diperoleh
korporasi
dari tindak
Berdasarkan fakta-fakta
hukum yang terungkap di
persidangan pada
pertimbangan Majelis
Hakim mengenai unsur
memperkaya diri atau orang
lain atau suatu korporasi
pada Pasal 2 Undang-
Berdasarkan pertimbangan
Majelis Hakim dalam unsur
memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu
korporasi dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun
117
pidana
korupsi.
Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi,
khususnya menyangkut
aliran dana dalam
pelaksanaan Kontrak Bagi
Tempat Usaha Dalam
Rangka Pembangunan Pasar
Sentra Antasari yang
menggunakan dana kredit
modal kerja dari PT Bank
Mandiri, Tbk., dan
penunjukan terdakwa PT
Giri Jaladhi Wana untuk
mengelola Pasar Sentra
Antasari telah dapat
disimpulkan adanya
penambahan kekayaan
terdakwa PT Giri Jaladhi
Wana, termasuk pihak-
pihak yang terlibat
didalamnya maupun orang
lain. Sehingga perbuatan
terdakwa PT Giri Jaladhi
Wana telah memperkaya
diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi.
2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, atas
perbuatan melawan hukum
yang dilakukan terdakwa
Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji
Media telah memperkaya
orang lain dan korporasi
yaitu saksi Riefan Avrian dan
PT Imaji Media.
Tindak
pidana
korupsi
dilakukan
dalam
lingkup
usaha
korporasi.
Bahwa sesuai anggaran
dasar PT Giri Jaladhi Wana
bergerak di bidang usaha
perdagangan, industri,
agrobisnis, pengadaan
barang, jasa, transportasi,
pembangunan dan desain
interior. Mencermati
rangkaian perbuatan
terdakwa PT Giri Jaladhi
Wana dalam Kontrak Bagi
Tempat Usaha Dalam
Rangka Pembangunan Pasar
Bahwa sesuai maksud dan
tujuan didirikannya PT Imaji
Media yang terungkap
dipersidangan untuk
memenangkan lelang
pengadaan videotron, dalam
anggaran dasar PT Imaji
Media tentunya tercantum
bidang usaha PT Imaji Media
adalah pengadaan barang dan
atau jasa. Oleh karena itu
pekerjaan pengadaan
videotron di Kementrian
118
Sentra Antasari Kota
Banjarmasin, penunjukan
PT Giri Jaladhi Wana untuk
mengelola Pasar Sentra
Antasari Kota Banjarmasin
dan pengajuan kredit modal
kerja untuk pembangunan
Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin kepada PT
Bank Mandiri, Tbk., adalah
masih dalam ruang lingkup
bidang usaha terdakwa PT
Giri Jaladhi Wana.
Koperasi dan UKM
dilakukan dalam lingkup
usaha PT Imaji Media.
Tindak
pidana
korupsi
dilakukan
oleh
directing
mind dari
korporasi.
Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana mewakili
setiap tindakan hukum dari
PT Giri Jaladhi Wana.
Sehingga Stevanus Widagdo
merupakan directing mind
dari PT Giri Jaladhi Wana.
Riefan Avrian merupakan
directing mind dari PT Imaji
Media, hal ini dikarenakan
terungkap fakta hukum
bahwa Riefan Avrian
merupakan pemilik PT Imaji
Media, dan seluruh tindakan
hukum yang dilakukan oleh
Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji
Media yang dilakukan untuk
dan atas nama PT Imaji
Media berada dibawah
kendali dan perintah Riefan
Avrian.
Tabel 3. Perbedaan Pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
Indikator
Pembeda
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
Putusan Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt
.Pst
Dasar
penempata
n terdakwa
dalam
tindak
Penempatan PT Giri Jaladhi
Wana sebagai terdakwa
didasarkan pada Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Penempatan Hendra Saputra
selaku Direktur Utama PT
Imaji Media sebagai
terdakwa menurut penulis
didasarkan pada fakta-fakta
119
pidana
korupsi.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang
menyatakan bahwa dalam
hal tindak pidana korupsi
dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, maka
penuntutan dan penjatuhan
pidana bisa dimintakan
terhadap korporasi dan atau
pengurusnya. Dan dengan
menerapkan teori
identifikasi yang
menyatakan bahwa
Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana merupakan
directing mind dari PT Giri
Jaladhi Wana, maka
Stevanus Widagdo
diidentifikasi sebagai PT
Giri Jaladhi Wana, sehingga
perbuatan serta kesalahan
Stevanus Widagdo dianggap
perbuatan dan kesalahan PT
Giri Jaladhi Wana.
hukum bahwa semua
perbuatan yang bersifat
melawan hukum dilakukan
secara fisik oleh Hendra
Saputra yang tidak dinilai
sebagai perbuatan korporasi
dan perbuatan Hendra
Saputra yang dilakukan
bertindak dengan
mengatasnamakan PT Imaji
Media sebenarnya berada
dibawah kendali dan perintah
Riefan Avrian yang
merupakan pemilik dari PT
Imaji Media.
Pasal yang
digunakan
dalam
Dakwaan
Penuntut
Umum.
Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal
18 Jo. Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal
18 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Uraian
penjelasan
unsur
setiap
orang
dalam
Setiap orang dalam putusan
ini dimaknai sebagai orang
perseorangan termasuk
korporasi sesuai Pasal 1
angka 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Dengan menggunakan pasal
yang sama yaitu Pasal 1
angka 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, setiap orang
120
Dakwaan
Penuntut
Umum.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, kemudian
dikaitkan dengan Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yaitu dalam hal
tindak pidana dilakukan
oleh atau atas nama
korporasi, maka tuntutan
pidana dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan atau
pengurusnya, selanjutnya
berdasarkan saksi-saksi dan
bukti-bukti surat, Penuntut
Umum menempatkan
korporasi (PT Giri Jaladhi
Wana) sebagai pelaku
tindak pidana korupsi.
adalah orang perseorangan
termasuk korporasi, namun
dengan mendalilkan menurut
teori hukum yang dimaksud
setiap orang adalah siapa saja
sebagai subjek hukum yaitu
penyandang hak dan
kewajiban yang sama
nilainya dengan barang siapa
maka dalam hal ini Penuntut
Umum hanya menutut pelaku
individualnya saja tanpa
melihat bahwa perbuatan
terdakwa Hendra Saputra
selaku Direktur Utama PT
Imaji Media yang dilakukan
dengan mengatasnamakan PT
Imaji Media yang berada
dibawah kendali dan perintah
Riefan Avrian yang
merupakan directing mind
dari PT Imaji Media, oleh
karenanya perbuatan dan
kesalahan Riefan Avrian
dengan memanfaatkan
Hendra Saputra dapat
diidentifikasi sebagai
perbuatan dan kesalahan PT
Imaji Media, sehingga
seharusnya PT Imaji Media
dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
Penuntuta
n terhadap
tindak
pidana
korupsi
yang
melibatka
n
korporasi.
Disamping dilakukan
penuntutan terhadap pelaku
individual yaitu Stevanus
Widagdo selaku Direktur
Utama PT Giri Jaladhi
Wana juga dilakukan
penuntutan terhadap PT Giri
Jaladhi Wana dengan
mendasarkan pada Pasal 20
ayat (1) Undang-Undang
Penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi pekerjaan
pengadaan videotron hanya
dilakukan terhadap pelaku
individualnya saja yaitu
Rievan Avrian yang terbukti
merupakan pemilik PT Imaji
Media (dilakukan penuntutan
secara terpisah) dan Hendra
Saputra selaku Direktur
121
Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang
menyatakan dalam hal
tindak pidana dilakukan
oleh atau atas nama
korporasi, maka penuntutan
dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap
korporasi dan atau
pengurusnya.
Utama PT Imaji Media, hal
ini menunjukan Penuntut
Umum hanya melihat bahwa
semua perbuatan yang
bersifat melawan hukum
dilakukan secara fisik oleh
manusia tanpa melihat peran
korporasi dalam terjadinya
tindak pidana korupsi.
Pertanggu
ngjawaban
pidana
pada
tindak
pidana
korupsi.
Dengan penempatan
korporasi sebagai pelaku
tindak pidana korupsi maka
yang
dipertanggungjawabkan
secara pidana adalah
korporasi, dengan
menerapkan teori
identifikasi tidak dapat
dibantah bahwa Stevanus
Widagdo adalah directing
mind dari PT Giri Jaladhi
Wana, maka Stevanus
Widagdo diidentifikasi
sebagai PT Giri Jaladhi
Wana dan kesalahan
Stevanus Widagdo dianggap
kesalahan PT Giri Jaladhi
Wana, sehingga PT Giri
Jaladhi Wana
dipertanggungjawabkan
secara pidana.
Pertanggungjawaban pidana
hanya dibebankan terhadap
Riefan Avrian (dilakukan
penuntutan terpisah) dan
Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji
Media, walaupun telah
terbukti dipersidangan bahwa
perbuatan yang dilakukan
Riefan Avrian dengan
memanfaatkan Hendra
Saputra dalam kapasitasnya
sebagai Direktur Utama PT
Imaji Media adalah bertindak
untuk dan atas nama PT
Imaji Media. Dalam hal ini
Penuntut Umum tidak
menilai bahwa Hendra
Saputra merupakan pelaku
fungsional atas tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh
PT Imaji Media yang
dimanfaatkan oleh Riefan
Avrian sebagai pemilik PT
Imaji Media untuk
melakukan perbuatan-
perbuatan hukum dengan
mengatasnamakan PT Imaji
Media. Oleh Karena itu
sebenarnya PT Imaji Media
dapat dimintakan
122
pertanggungjawaban pidana.
Bahwa dalam kedua Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
tersebut diatas menggunakan peraturan perundang-undangan yang sama yaitu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah
mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi selain subjek
hukum manusia alamiah, sehingga pelaku tindak pidana korupsi bisa oleh
manusia alamiah atau korporasi. Terkait dengan diterimanya korporasi
sebagai subjek tindak pidana korupsi, pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, dalam ayat pertama mengatur
mengenai tanggung jawab yang bisa dimintakan kepada korporasi dan atau
pengurusnya untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan untuk kepentingan
korporasi. Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur mengenai
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi yaitu apabila tindak
pidana dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi, baik sendiri maupun
bersama-sama. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 memberikan peluang korporasi untuk
diajukan ke muka pengadilan atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya
bersama dengan pengurus korporasinya. Pengaturan dalam Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
menunjukkan adanya pilihan bagi aparat penegak hukum untuk mendakwa
dan menuntut korporasi atau pengurus korporasi atau korporasi secara
bersama-sama dengan pengurus korporasi.
123
Sehubungan dengan rumusan Pasal 20 ayat (2), Sutan Remy Sjahdeini
menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi menganut teori identifikasi dan teori aggregasi. Teori identifikasi
tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”.
Selanjutnya teori aggregasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana
tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama” (Sutan Remy
Sjahdeini, 2006:152). Terkait dengan teori identifikasi, menurut Sutan Remy
Sjahdeini yang dimaksud dengan orang-orang berdasarkan hubungan kerja
adalah mereka yang merupakan pengurus korporasi, sedangkan yang
dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain adalah orang-
orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain hubungan kerja
yaitu orang yang dapat melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama
korporasi yang dapat didasarkan pada surat kuasa, perjanjian pemberian
kuasa maupun pendelegasian wewenang serta orang-orang yang memiliki
hubungan erat dengan korporasi yang dapat menentukan arah dan kebijakan
korporasi (Sutan Remy Sjahdeini, 2006:151-154). Yang dimaksud pengurus
korporasi berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:
“organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang
bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam
kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.
Menurut penulis, pengertian pengurus korporasi dalam penjelasan
Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak hanya terbatas pada pengertian
pengurus korporasi secara yuridis, namun juga bukan pengurus korporasi
yang memiliki peran dan kekuasaan dalam korporasi yang sama seperti
124
pengurus atau bahkan melebihi pengurus korporasi. Menurut penulis, baik
pengurus korporasi maupun orang dalam hubungan lain yang melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama korporasi adalah yang dimaksud
dengan directing mind korporasi dalam teori identifikasi. Yang dimaksud
penulis sebagai directing mind korporasi adalah orang yang merupakan otak
dan pikiran dari setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi, sehingga
orang tersebut dapat diidentifikasikan sebagai korporasi itu sendiri.
Mengenai teori aggregasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini dianut
oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 yang tercermin dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) pada frase
“apabila tindak pidana tersebut dilakukan...baik sendiri maupun bersama-
sama”, menurut penulis pendapat Sutan Remy Sjahdeini tersebut didasarkan
pada realitas untuk mengatasi persoalan proses pengambilan keputusan dalam
korporasi modern yang merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif pengurus
korporasi secara bersama-sama, sehingga terjadi penyebaran tanggung jawab
dalam korporasi modern. Menurut penulis, poin utama dalam teori aggregasi
adalah tanggung jawab pidana tidak hanya ditujukkan terhadap satu orang
individu dalam korporasi, melainkan terhadap beberapa orang dalam
korporasi, sehingga kesalahan beberapa orang dalam korporasi tersebut
diakumulasikan untuk diatributkan sebagai kesalahan korporasi untuk
mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana.
3. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada
Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
Penulis sependapat dengan Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai
terdakwa untuk dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak pidana
korupsi. PT Giri Jaladhi Wana dalam Putusan Nomor
125
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM telah dijatuhi pidana denda sebesar
Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana tambahan
berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6 (enam) bulan.
Penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa, berawal pada perkara
Stevanus Widagdo yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
terbukti melakukan tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolan Pasar
Sentra Antasari yang bertindak dalam jabatannya sebagai Direktur Utama PT
Giri Jaladhi Wana, dan masih bertindak dalam ruang lingkup PT Giri Jaladhi
Wana untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana. Dengan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan
menerapkan Pasal 20 yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi, PT Giri Jaladhi Wana ditempatkan sebagai terdakwa. Menurut
penulis, penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa merupakan hal
yang tepat, sebab dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur apabila terjadi
tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, maka penuntutan dan
penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Sehingga memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menjerat
korporasi dengan menghadapkannya ke muka pengadilan sebagai pelaku
tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab secara pidana.
Selanjutnya, pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap PT
Giri Jaladhi Wana didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim dengan
menerapkan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan penerapan teori
identifikasi yang memiliki prinsip utama yaitu menentukan directing mind
dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan directing mind dari
126
korporasi diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi. Perbuatan
Stevanus Widagdo yang dilakukan dalam rangka fungsi dan tugasnya sebagai
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam pembangunan dan pengelolaan
Pasar Sentra Antasari dengan mengtasanamakan PT Giri Jaladhi Wana, yang
dilakukannya dalam ruang lingkup kewenangan PT Giri Jaladhi Wana pada
pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin serta
dilakukan untuk kepentingan PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal tersebut
telah menentukan bahwa Stevanus Widagdo merupakan directing mind atau
otak dan pikiran dari PT Giri Jaladhi Wana. Stevanus Widagdo dapat
diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, sehingga seluruh
perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus Widagdo selaku
Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana diidentifikasi sebagai perbuatan dan
kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana. Oleh karena itu, PT Giri Jaladhi Wana
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dalam mempertimbangkan unsur melawan hukum
sebagai delik inti atau beestanddeel delict merujuk pada pendapat ahli yang
dihadirkan di persidangan yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang
menyatakan bahwa untuk dapat suatu korporasi bertanggung jawab atas
perbuatan pengurusnya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun
di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing
mind dari korporasi;
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi;
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
127
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi; dan
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
Berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini yang
diambil alih dan dijadikan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin untuk mengadili
perkara dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, penulis pada intinya
sependapat dengan keterangan yang disampaikan oleh ahli. Dan penulis akan
menguraikan syarat-syarat yang telah diungkapkan oleh ahli satu per satu dan
penulis kaitkan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan
sebagai berikut:
a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun
di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing
mind dari korporasi;
Penulis menerima syarat pertama yang diungkapkan oleh ahli
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, bahwa tindak pidana tersebut (baik
dalam bentuk commission maupun omission) dilakukan atau
diperintahkan oleh personel korporasi maupun didalam struktur
organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari
korporasi. Hal ini menunjukan bahwa ahli Prof. Dr. Sutan Remy
Sjahdeini menerapkan teori identifikasi dalam mempertanggungjawabkan
korporasi secara pidana pada tindak pidana korupsi.
Terkait dengan frase “diperintahkan” dalam syarat pertama yang
diutarakan ahli Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, menurut penulis tidak
sama dengan pengertian “disuruh” dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
hal ini perlu diungkapkan karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
128
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengatur secara khusus
mengenai penyertaan, maka menurut Pasal 103 KUHP berlaku bentuk
penyertaan yang diatur dalam Pasal 55 KUHP. Pada Pasal 55 ayat (1) ke-
1 KUHP pelaku fisik yang melakukan suatu tindak pidana berdasarkan
“suruhan” dari orang lain tidak dapat dipidana. Tentu saja yang dimaksud
“diperintahkan” disini tidak sama pengertiannya dengan “disuruh”
menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mengenai hal “diperintahkan”
disini yang dimaksud adalah seolah-olah tindak pidana korupsi dilakukan
oleh pelaku fisik karena diperintahkan oleh personel korporasi yang
diidentifikasi sebagai directing mind dari korporasi. Menurut penulis
syarat pertama ini berhubungan dengan teori pelaku fungsional yang
digunakan untuk mendukung teori identifikasi dalam menentukan
directing mind dari korporasi. Dimana teori pelaku fungsional
menyatakan bahwa korporasi tidak harus melakukan perbuatannya
sendiri secara fisik, tetapi perbuatan itu dilakukan oleh pengurusnya
dalam rangka fungsi dan tugasnya, dan masih dalam ruang lingkup
kewenangan korporasi. Maka secara umum perbuatan pengurus korporasi
dianggap sebagai perbuatan korporasi, sehingga terjadi pelimpahan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.
Sehubungan dengan penerapan teori identifikasi yang dianut
dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, mengenai penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai
pelaku tindak pidana korupsi didasarkan pada directing mind yang ada
pada Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana.
Sehingga perbuatan dan kesalahan yang dilakukan oleh Stevanus
Widagdo diidentifikasi sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi
Wana, yaitu dengan didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap
129
di persidangan bahwa tindakan hukum Stevanus Widagdo sebagai
Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Giri Jaladhi
Wana berupa penandatanganan dan pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama
Nomor 664/I/548/Prog-Nomor 003/GJW/VII/1998 dan Perjanjian Kredit
Modal Kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., atas kedua perjanjian
kerjasama tersebut PT Giri Jaladhi Wana melalui Stevanus Widagdo
melakukan penyimpangan-penyimpangan untuk mendapatkan
keuntungan secara melawan hukum yang mengakibatkan kerugian
keuangan negara.
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi;
Salah satu kriteria tindak pidana korupsi yang dilakukan
korporasi dan dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
apabila dilakukan dalam lingkungan korporasi. Dalam lingkungan
korporasi menurut penulis dapat diketahui dari maksud dan tujuan
korporasi yang tercantum dalam anggaran dasar korporasi. Sehubungan
dengan maksud dan tujuan PT Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam
anggaran dasarnya bahwa PT Giri Jaladhi Wana bergerak di bidang
usaha perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa,
transportasi, pembangunan dan desain interior.
Apabila mencermati perbuatan PT Giri Jaladhi Wana dalam
melaksanakan perjanjian kerjasama dengan Pemerintah Kota Bajarmasin
mengenai Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan
Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin dan Penunjukan Pengelolaan
Sementara Pasar Sentra Antasari oleh Pemerintah Kota Banjarmasin
kepada PT Giri Jaladhi Wana serta Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan
PT Bank Mandiri, Tbk., masih dalam ruang lingkup bidang usaha PT
Giri Jaladhi Wana yang tercantum dalam anggaran dasarnya.
130
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya kepada korporasi apabila
dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain. Menurut penulis, pelaku yang memberikan
perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi merujuk kepada
pengurus korporasi yang dalam penjelasan Pasal 20 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:
“yang dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang
menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan
anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.
Berdasarkan teori identifikasi yang menyatakan bahwa agar suatu
korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang
melakukan perbuatan atau perintah itu harus diidentifikasi sebagai
directing mind dari korporasi, sehingga perbuatan dan kesalahan
directing mind korporasi dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan dari
korporasi, jadi dalam hal menyangkut PT Giri Jaladhi Wana, Stevanus
Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat
diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana, sehingga
perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dalam rangka tugasnya
sebagai Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap PT Giri Jaldhi Wana.
Bahwa perbuatan hukum yang dilakukan Stevanus Widagdo
selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dengan mengatasnamakan
PT Giri Jaladhi Wana dalam hal penandatanganan Kontrak Bagi Tempat
131
Usaha Dalam Rangka Pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin dan Pengelolaan Pasar Sentra Antasari serta Perjanjian
Kredit Modal Kerja dengan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dalam
pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga
mengakibatkan kerugian keuangan bagi Negara c.q Pemerintah Kota
Banjarmasin dan PT Bank Mandiri, Tbk., yang dilakukan maupun
berdasarkan perintah Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana yang menurut teori identifikasi merupakan directing mind
dari PT Giri Jaladhi Wana, maka pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan terhadap PT Giri Jaladhi Wana.
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi;
Perbuatan seseorang yang diidentifikasi sebagai directing mind
dari korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidananya terhadap korporasi. Dalam
konteks ini menurut penulis, perbuatan yang dilakukan oleh directing
mind dari korporasi dapat memberikan keuntungan atau manfaat bagi
directing mind itu sendiri maupun juga keuntungan terhadap korporasi,
dalam konteks ini pertanggungjawaban pidananya tetap ada pada
korporasi.
Dalam tindak pidana korupsi yang menempatkan PT Giri Jaladhi
Wana sebagai terdakwa, atas perbuatan yang dilakukan oleh Stevanus
Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana dalam
pembangunan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin berupa penjualan
atas tambahan 900 (sembilan ratus) unit toko, kios, los, lapak dan warung
sebesar Rp16.691.713.166,00 (enam belas miliar enam ratus sembilan
puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam
132
rupiah) yang tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin
merupakan keuntungan yang diterima PT Giri Jaladhi Wana.
PT Giri Jaladhi Wana juga mendapatkan keuntungan karena
adanya kewajiban dari PT Giri Jaladhi Wana yang tidak dipenuhi yaitu
pembayaran retribusi dan penggantian uang sewa serta membayar
pelunasan Kredit Inpres Pasar Sentra Antasari yang keseluruhannya
sejumlah Rp6.750.000.000,00 (enam miliar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah) yang hanya dibayarkan oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), sehingga masih terdapat
kekurangan yang tidak dibayar oleh PT Giri Jaladhi Wana sebesar
Rp5.750.000.000,00 (lima miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selain itu, PT Giri Jaladhi Wana sejak tahun 2004 sampai dengan tahun
2007 sengaja tidak membayar uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari ke
kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam hal ini Stevanus
Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana memberikan
keterangan yang tidak benar kepada Pemerintah Kota Banjarmasin
bahwa PT Giri Jaladhi Wana dalam pengelolaan Pasar Sentra Antasari
mengalami kerugian, padahal berdasarkan laporan keuangan Pengelolaan
Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin periode Juli 2004 sampai dengan
Desember 2007 terkumpul dana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh
miliar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam
ratus empat puluh lima rupiah).
Selanjutnya, Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri
Jaladhi Wana melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal
kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra
Antasari dengan tidak membayar beberapa angsuran kredit modal kerja
kepada PT Bank Mandiri, Tbk., sehingga mengakibatkan kerugian
terhadap PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,00 (seratus
133
sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta eman
puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah). Dengan demikian,
terbukti bahwa perbuatan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT
Giri Jaladhi Wana adalah memiliki maksud dan tujuan untuk
memberikan keuntungan secara melawan hukum terhadap korporasinya
yaitu PT Giri Jaladhi Wana.
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
Dalam pertanggungjawaban pidana terkait alasan penghapus
pidana yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila dalam
diri pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan pembenar maka perbuatan
pelaku tersebut bersifat melawan hukum, dan apabila dalam diri pelaku
tindak pidana tidak terdapat alasan pemaaf maka unsur kesalahan atau
mens rea ada pada diri pelaku sehingga pelaku dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan
Pasar Sentra Antasari dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, perbuatan
dan kesalahan Stevanus Widagdo yang diidentifikasi sebagai directing
mind dari PT Giri Jaladhi Wana, maka dengan penerapan teori
identifikasi, perbuatan dan kesalahan Stevanus Widagdo dianggap
sebagai perbuatan dan kesalahan PT Giri Jaladhi Wana. Sehingga
menurut penulis, dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf pada
PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan teori identifikasi, berdasarkan
kedudukan Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT Giri Jaladhi
Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana yang telah
dipidana dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009 dalam tindak pidana korupsi
pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin
134
sehingga tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada diri
Stevanus Widagdo. Merujuk pada penerapan teori identifikasi, secara
mutatis mutandis tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada
diri Stevanus Widagdo sebagai directing mind dari PT Giri Jaladhi Wana
yang diidentifikasikan sebagai PT Giri Jaladhi Wana itu sendiri, maka
terhadap PT Giri Jaladhi Wana tidak terdapat juga adanya alasan
pembenar maupun alasan pemaaf.
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak
pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana, yaitu mendasarkan
penuntutan terhadap PT Giri Jaladhi Wana dengan menerapkan Pasal 2 dan
Pasal 3 Jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Penempatan PT Giri Jaladhi
Wana sebagai terdakwa menurut penulis tepat dengan didasarkan pada Pasal
20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan bahwa:
“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
korporasi maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurus korporasi”
Menurut penulis penempatan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa
lebih tepat apabila dibandingkan dengan hanya menuntut pelaku
individualnya saja. Selanjutnya dengan menerapkan teori identifikasi yang
dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang menentukan bahwa Stevanus Widagdo selaku Direktur
Utama PT Giri Jaladhi Wana merupakan directing mind dari PT Giri Jaladhi
Wana, sehingga Stevanus Widagdo diidentifikasi sebagai PT Giri Jaladhi
135
Wana itu sendiri, dan perbuatan serta kesalahan Stevanus Widagdo dianggap
sebagai perbuatan dan kesalahan dari PT Giri Jaladhi Wana, berdasarkan hal
tersebut PT Giri Jaladhi Wana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dasar pertimbangan Majelis Hakim dengan menerapkan teori
identifikasi untuk mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara
pidana dikuatkan dengan keterangan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini sebagai
ahli dalam tindak pidana korupsi dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana,
yang pendapatnya diambil alih untuk digunakan sebagai pertimbangan
Majelis Hakim untuk mengadili dan memutuskan perkara Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dengan menentukan syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar suatu korporasi bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya
dan korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana. Sehubungan dengan
pidana yang dijatuhkan terhadap PT Giri Jaladhi Wana berupa pidana denda
sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dan pidana
tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana selama 6
(enam) bulan, menurut penulis sudah tepat, hal ini dikarenakan pidana pokok
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana
korupsi berdasarkan Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah berupa denda dengan ketentuan maksimum
ditambah 1/3 (sepertiga), ancaman pidana pada Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang digunakan Majelis
Hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap PT Giri Jaladhi Wana adalah
dengan ancaman pidana denda maksimum Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) sehingga pidana denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga
ratus juta rupiah) merupakan pemberatan dengan ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana denda maksimum, kemudian mengingat dalam Putusan
136
Kasasi Stevanus Widagdo selaku Direktrur Utama PT Giri Jaladhi Wana telah
dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan membayar uang pengganti
sebesar Rp6.300.000.000,00 (enam miliar tiga ratus juta rupiah), maka masih
ada kekurangan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar
Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) dari hasil pengelolaan
Pasar Sentra Antasari periode 2004 sampai 2007 yang tidak disetorkan oleh
PT Giri Jaladhi Wana sebesar Rp7.650.143.645,00 (tujuh miliar enam ratus
lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima
rupiah), selisih tersebut menjadi beban PT Giri Jaladhi Wana, sehingga
denda sebesar Rp1.300.000.000,00 (satu miliar tiga ratus juta rupiah) sudah
tepat. Selanjutnya pidana tambahan telah mengacu pada Pasal 18 ayat (1)
huruf c yaitu penutupan seluruh atau sebagian korporasi untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun, dimana dalam Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM pidana tambahan penutupan sementara telah
ditentukan dalam jangka waktu selama 6 (enam) bulan untuk memberikan
kepastian hukum dan keadilan serta meminimalkan ekses negatif bagi
karyawan dari penjatuhan pidana terhadap korporasi.
Penulis pada prinsipnya setuju dengan Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, berkenaan dengan pemidanaan terhadap
korporasi untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi karena telah
sesuai dengan arah penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai extra
ordinary crime maka upaya pemberantasannya dituntut dengan cara-cara
yang luar biasa seperti halnya menjerat korporasi yang melakukan tindak
pidana korupsi untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana,
mengingat dalam era globalisasi ini tindak pidana korupsi banyak melibatkan
peran korporasi, namun korporasi sering lolos dari jerat hukum, sehingga
penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi merupakan hal
137
yang sangat penting, maka putusan ini bisa menjadi dasar untuk memutus
perkara yang sama terhadap pemidanaan kepada korporasi.
4. Kajian Penulis Terhadap Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Menerapkan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
Dalam putusan kedua yang dikaji oleh penulis, dalam hal ini penulis
tidak sependapat dengan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi
dan UKM dengan hanya menempatkan pelaku tindak pidana korupsi terhadap
Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dan Riefan Avrian
selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media
(dilakukan penuntutan secara terpisah). Penempatan terdakwa dalam Putusan
Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menunjukkan bahwa penuntutan
secara pidana dengan berpedoman pada Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi hanya dilakukan terhadap pelaku individualnya saja
atau perseorangannya selaku subjek hukum (naturlijke persoon) dan tidak
melakukan penuntutan terhadap korporasi selaku subjek hukum
(rechtspersoon) untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana dalam tindak
pidana korupsi.
Apabila berpedoman pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, telah diatur dengan jelas dalam Pasal 20 mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, tidak sulit bagi aparat penegak hukum dalam menguraikan
dan menjabarkan garis-garis batas pertanggungjawaban pidana pelaku
individu dengan pertanggungjawaban pidana pelaku korporasi. Dalam hal ini
suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam tindak
pidana korupsi, sepanjang pengurus korporasi bertindak atas nama dan untuk
138
kepentingan korporasi yang menimbulkan kerugian keuangan dan
perekonomian negara maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurus korporasi.
Sehubungan dengan tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan
videotron di Kementrian Koperasi dan UKM yang melibatkan peran
korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi, namun tidak dilakukan
penuntutan secara pidana terhadap korporasi dalam hal ini PT Imaji Media.
Menurut penulis, penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji Media penting
untuk dilakukan karena telah terbukti dipersidangan bahwa maksud dan
tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh Riefan Avrian adalah untuk
melakukan kejahatan. Dengan tidak dilakukannya penuntutan secara pidana
terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini
membawa konsekuensi bahwa PT Imaji Media tetap dapat beroperasi
menjalankan kegiatan usahanya.
Akibat dibatasinya penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
pekerjaan pengadaan videotron untuk dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana, yaitu hanya pelaku individu saja atau perseorangan membawa
konsekuensi pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi tidak berjalan
optimal. Hal ini disebabkan negara tidak dapat menuntut PT Imaji Media
untuk bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara yang telah
disalahgunakan secara melawan hukum. Padahal tindak pidana korupsi
merupakan extra ordinary crime karena adanya hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat yang dilanggar dari tindak pidana korupsi, maka sebagai
extra ordinary crime upaya pemberantasannya dituntut cara-cara yang luar
biasa, salah satunya dengan menjerat korporasi yang melakukan tindak
pidana korupsi untuk dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya,
lolosnya PT Imaji Media dari jerat hukum karena tidak dilakukannya
penuntutan terhadap korporasi yaitu PT Imaji Media sebagai pelaku tindak
139
pidana korupsi, sehingga tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap PT
Imaji Media, baik berupa pidana pokok berupa denda sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 ayat (7) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, maupun berupa pidana tambahan terhadap tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dapat
berupa:
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana
tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyakanya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun;dan
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Akibat tidak adanya penjatuhan sanksi pidana terhadap PT Imaji
Media karena tidak dilakukannya penuntutan secara pidana terhadap PT Imaji
Media, membawa konsekuensi hukum bagi PT Imaji Media tetap beroperasi
dan menjalankan aktivitas usaha tanpa menanggung beban apapun, selain itu
terungkap fakta hukum dipersidangan bahwa PT Imaji Media telah dijual oleh
Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media kepada saksi Pendi sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dengan tetap beroperasinya PT Imaji
Media untuk menjalankan kegiatan usahanya, tidak ada jaminan bahwa PT
Imaji Media tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan
undang-undang, hal ini dikarenakan terungkap fakta hukum di persidangan
bahwa sejak awal maksud dan tujuan didirikannya PT Imaji Media oleh
140
Riefan Avrian adalah untuk melakukan kejahatan. Padahal kerugian yang
dialami negara dinikmati ataupun mengalir pada PT Imaji Media.
Kedudukan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi pekerjaan
pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM apabila dikaitkan
dengan bentuk kejahatan korporasi yang diungkapkan oleh Mahrus Ali
diantaranya crimes for corporation, crimes against corporation, dan criminal
corporation (Mahrus Ali, 2013:18-19), peran dan kedudukan PT Imaji Media
dalam tindak pidana korupsi ini adalah masuk ke dalam bentuk criminal
corporation yaitu korporasi sengaja dibentuk atau didirikan dan dikendalikan
untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu, seharusnya dilakukan
penegakan hukum terhadap PT Imaji Media untuk dipertanggungjawabkan
secara pidana.
Adanya keterbatasan dalam membebankan pertanggungjawaban
pidana atas tindak pidana korupsi dalam perkara Nomor
36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst menurut penulis dapat berakibat korporasi
justru semakin tidak tersentuh oleh hukum sehingga tidak mendapat sanksi
pidana. Padahal korporasi dalam hal ini PT Imaji Media telah terbukti
berperan dalam terjadinya tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan
videotron di Kementrian Koperasi dan UKM. Pelaku yang dipidana dalam
korupsi pekerjaan pengadaan videotron hanya pelaku individu yaitu Riefan
Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media
dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media yang
dipertanggungjawabkan secara pidana, sehingga korporasi terlindungi oleh
tindakan Direktur Utama korporasi yang dianggap bertindak sebagai pribadi.
Padahal secara konkret di persidangan telah terungkap bahwa Riefan Avrian
yang memanfaatkan terdakwa Hendra Saputra untuk bertindak selaku
Direktur Utama dengan mengatasnamakan PT Imaji Media.
141
Menurut penulis, dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM, baik terhadap Riefan Avrian sebagai pemilik
PT Imaji Media dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
maupun PT Imaji Media sebagai korporasi dapat dilakukan penuntutan pidana
secara bersama-sama untuk dipertanggungjawabkan secara pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa PT
Imaji Media sebagai korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang yang
memiliki hubungan erat dengan korporasi yang dapat dipandang sebagai
korporasi itu sendiri dan tindakannya dilakukan berkaitan dengan korporasi.
Dalam korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan
UKM, penulis berpendapat bahwa secara fisik tindakan hukum PT Imaji
Media dalam pekerjaan pengadaan videotron memang dilakukan oleh
terdakwa Hendra Saputra, namun apabila mencermati fakta hukum
dipersidangan, terungkap bahwa seluruh tindakan Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji Media berada dibawah perintah dan dalam kendali
Riefan Avrian, hal ini diungkapkan oleh penulis berdasarkan fakta-fakta
hukum yang terungkap dipersidangan bahwa Hendra Saputra bukan
merupakan pelaku utama sebagai berikut:
a. Bahwa Hendra Saputra ditunjuk oleh Riefan Avrian untuk menempati
posisi sebagai Direktur Utama PT Imaji Media dan menandatangani akta
pendirian PT Imaji Media atas perintah Riefan Avrian;
b. Hendra Saputra merupakan seorang Office Boy (OB) yang identitasnya
digunakan untuk mendirikan PT Imaji Media yang nantinya perusahaan
tersebut diikutkan dalam tender pengadaan videotron;
c. Walaupun sebagai Direktur Utama PT Imaji Media gaji yang diterima
Hendra Saputra tetap sebesar Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu
142
rupiah) setiap bulan dan tetap melaksanakan tugas sehari-hari sebagai
Office Boy (OB) di PT Rifuel;
d. Bahwa seluruh tindakan hukum yang dilakukan Hendra Saputra dalam
fungsi dan tugasnya sebagai Direktur Utama PT Imaji Media merupakan
perintah dan kendali Riefan Avrian, yaitu meliputi tindakan:
1) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;
2) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-
JKT/X/12;
3) Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega
Pratama;
4) Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00
(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
5) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur
Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan
nomor rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung
pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron;
6) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian
Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar
selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan
pengadaan videotron;
7) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh
miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama
PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan
Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati;
8) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas
nama Direktur PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron
143
dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00
(delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah).
e. Pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron seluruhnya dilaksanakan
oleh Riefan Avrian (Direktur Utama PT Rifuel dimana Hendra Saputra
bekerja sebagai Office Boy) tanpa perjanjian kemitraan dan addendum
kontrak;
f. Seluruh pembayaran pengadaan videotron yang disetorkan ke rekening
atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media,
seluruh pengambilan pembayarannya dikuasakan kepada Riefan Avrian
berdasarkan surat kuasa mutlak yang dibuat oleh Riefan Avrian sendiri;
g. Bahwa setelah dimaulainya penyidikan Hendra Saputra diperintahkan
untuk melarikan diri ke Samarinda Kalimantan Timur atas perintah dan
biaya dari Riefan Avrian;
h. Penjualan PT Imaji Media dilakukan oleh Riefan Avrian tanpa
sepengetahuan Hendra Saputra;
i. Bahwa dalam hal ini dapat disimpulkan Direktur Utama PT Rifuel Riefan
Avrian telah memanfaatkan karyawannya yaitu Hendra Saputra untuk
merealisasikan keinginannya untuk mendapatkan proyek pengadaan
videotron yang dalam pelaksanaannya dilakukan berbagai penyimpangan
yang merugikan keuangan negara.
Menurut penulis, kedudukan Riefan Avrian yang memanfaatkan
Hendra Saputra dalam tindak pidana korupsi pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM yang dikaitkan dengan peran pelaku tindak
pidana dalam penyertaan, dapat dikategorikan ke dalam bentuk uitlokker,
yaitu orang yang menggerakan atau membujuk orang lain untuk melakukan
suatu tindak pidana. Istilah menggerakan dan membujuk dalam Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP dibatasi dalam hal memberikan atau menjanjikan sesuatu,
dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana
144
dan keterangan. Dalam hal ini, Riefan Avrian selaku atasan Hendra Saputra
di PT Rifuel telah memberikan tekanan kepada Hendra Saputra, terungkap
fakta hukum bahwa Hendra Saputra menerima untuk diangkat sebagai
Direktur Utama PT Imaji Media dan melakukan penandatangan dokumen-
dokumen penting terkait pengadaan videotron karena Hendra Saputra takut
kehilangan pekerjaannya sebagai Office Boy di PT Rifuel. Sehingga Hendra
Saputra sebagai orang yang dikendalikan dan dibujuk oleh Riefan Avrian
tetap dapat dihukum, karena Hendra Saputra sebenarnya mempunyai
kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan dan dikendalikan
oleh Riefan Avrian.
Oleh karena itu, penulis dalam hal ini menilai bahwa perbuatan Riefan
Avrian yang memerintahkan dan mengendalikan tindakan Hendra Saputra
adalah bertujuan memanfaatkan Hendra Saputra sebagai alat yang digunakan
untuk merealisasikan kehendak Riefan Avrian dalam pekerjaan pengadaan
videotron. Pada dasarnya Riefan Avrian merupakan pemilik PT Imaji Media
sehingga walaupun secara struktural nama Riefan Avrian tidak termasuk
dalam jajaran pengurus maupun komisaris PT Imaji Media, akan tetapi
berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan Riefan Avrian
merupakan pemilik PT Imaji Media, sehingga dapat dikatakan bahwa Riefan
Avrian merupakan bagian dari korporasi (PT Imaji Media) dan memiliki
hubungan erat dengan PT Imaji Media serta berkedudukan penting sebagai
penentu arah kebijakan PT Imaji Media.
Dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM, terhadap Riefan Avrian telah dilakukan
penuntutan secara pidana dan telah dijatuhi pidana 6 (enam) tahun penjara
dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) subsider 3 (tiga)
bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selanjutnya terhadap terdakwa Hendra
145
Saputra dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst telah dijatuhi
pidana penjara selama 2 (dua) tahun penjara dan denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider 1(satu) bulan kurungan.
Pendapat penulis yang menyatakan bahwa dalam tindak pidana
korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM
seharusnya tidak hanya dilakukan penuntutan dan pembebanan
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku individunya saja, namun
terhadap PT Imaji Media sebenarnya dapat dilakukan penuntutan untuk
dipertanggungjawabkan secara pidana, hal ini sejalan dengan pendapat yang
disampaikan oleh Djoko Sarwoko sebagaiamana dikutip Edi Yunara yang
mengemukakan bahwa tindak pidana korporasi (corporate crime) pada
dasarnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan pegawai korporasi pada
setiap tingkatan yang dapat mengakibatkan tanggung jawab pidana, baik
terhadap pegawai korporasi maupun korporasi atau keduanya secara bersama-
sama dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (Edi Yunara,
2012:203). Mencermati pendapat yang disampaikan Djoko Sarwoko tersebut,
dalam tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian
Koperasi dan UKM dapat dilakukan penuntutan secara pidana terhadap
korporasi yaitu PT Imaji Media atas tindakan hukum Hendra Saputra selaku
Direktur Utama PT Imaji Media yang berada dibawah kendali Riefan Avrian
yang terungkap dipersidangan merupakan pemilik PT Imaji Media dan atasan
terdakwa Hendra Saputra di PT Rifuel, dan tindakan hukum tersebut
mengakibatkan tanggung jawab pidana maka baik terhadap Riefan Avrian
dan Hendra Saputra selaku pribadi serta PT Imaji Media dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana.
Dalam melakukan penuntutan tindak pidana korupsi pekerjaan
pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, seharusnya Jaksa
Penuntut Umum dapat melakukan terobosan hukum dengan menuntut PT
146
Imaji Media, dan tidak seperti menutup mata dengan hanya menuntut secara
pidana terhadap Riefan Avrian dan terdakwa Hendra Saputra selaku pribadi
atau individu yang dalam tindak pidana korupsi ini telah melakukan tindak
pidana korupsi melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini terbutki karena Jaksa Penuntut Umum
pada perkara Nomor 36/Pid.Sus/2014/TPK/PN.Jkt.Pst dalam menguraikan
unsur “setiap orang” sebagai pelaku tindak pidana korupsi hanya menekankan
pelaku individu, yaitu terdakwa Hendra Saputra yang mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Jaksa Penuntut
Umum tidak meminta pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yaitu PT
Imaji Media yang telah terbukti dipersidangan bahwa pendiriannya oleh
Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan kejahatan dalam
hal ini tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, penempatan PT Imaji Media sebagai pelaku tindak
pidana korupsi dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sebenarnya memberikan
peluang bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menghadapkan PT Imaji Media
sebagai terdakwa di muka pengadilan, Pasal 20 ayat (1) tersebut menyatakan
bahwa:
“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”.
Mencermati rumusan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut dan
dihubungkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi meliputi:
147
a. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan korporasi yang
bertanggung jawab secara pidana;
b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang
bertanggungjawab secara pidana;dan
c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana, yang bertanggung jawab
secara pidana adalah korporasi dan pengurus korporasi.
Dalam sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dapat
diterapkan dalam korupsi pengadaan videotron adalah bentuk ketiga yaitu
terhadap korporasi (PT Imaji Media) dan Hendra Saputra selaku Direktur
Utama PT Imaji Media serta Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media
dapat dilakukan penuntutan secara bersama-sama. Alasan penulis
menentukan bentuk ketiga sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang
diterapkan didasarkan pada pertimbangan bahwa pembebanan
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya dapat dilakukan
dengan mengalihkan pertanggungjawaban perbuatan manusia menjadi
perbuatan korporasi dan atas segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh
manusia dalam menajalankan pengurusan korporasi, maka tidak seharusnya
hanya pengurus korporasi saja yang dimintai pertanggungjawaban secara
pidana melainkan juga terhadap korporasi dan orang yang memiliki hubungan
erat dengan korporasi secara bersama-sama dipertanggungjawabkan secara
pidana.
Selanjutnya mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana
terhadap PT Imaji Media dapat dilakukan dengan menerapkan teori
identifikasi dan teori aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, teori identifikasi tercermin
dalam frase “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain” dan teori
148
aggregasi tercermin dalam frase “apabila tindak pidana tersebut
dilakukan...baik sendiri maupun bersama-sama”. Pertimbangan Majelis
Hakim dapat didasarkan pada penerapan teori identifikasi untuk
mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara pidana yang menentukan
bahwa korporasi bisa melakukan tindak pidana secara langsung melalui
orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi (garis bawah
oleh penulis), atau yang disebut sebagai controlling officer yang dapat
dipandang sebagai korporasi itu sendiri, sepanjang tindakan dilakukan
berkaitan dengan korporasi (Hasbullah F. Sjawie, 2015:39). Prinsip utama
teori identifikasi adalah mengidentifikasi seseorang untuk ditentukan sebagai
otak dan pikiran atau directing mind and will dari korporasi (Hasbullah F.
Sjawie, 2015:40-41). Menurut penulis, untuk menentukan directing mind dari
PT Imaji Media dapat ditentukan dengan mencermati fakta-fakta hukum yang
terungkap di persidangan sebagai berikut:
a. PT Imaji Media didirikan oleh Riefan Avrian yang merupakan Direktur
Utama PT Rifuel dengan menunjuk Office Boy (OB) di kantornya
bernama Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media,
dengan maksud dan tujuan untuk mengikuti dan memenangkan lelang
pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, yang
dalam pelaksanaannya dilakukan penyimpangan-penyimpangan oleh PT
Imaji Media sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara;
b. Seluruh tindakan hukum terdakwa Hendra Saputra dalam kapasitasnya
sebagai Direktur Utama PT Imaji Media mulai dari persiapan sampai
dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron dengan
mengatasnamakan PT Imaji Media sebenarnya berada dibawah perintah
dan kendali oleh Riefan Avrian;
c. Seluruh pekerjaan pengadaan videotron dilimpahkan Hendra Saputra
tanpa adanya perjanjian kerjasama kemitraan atau addendum kontrak
149
untuk dikerjakan oleh Riefan Avrian yang kemudian memerintahkan
anak buahnya di PT Rifuel untuk mengerjakan pengadaan videotron;
d. Seluruh uang pembayaran pekerjaan pengadaan videotron di rekening
atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
diambil dan dikuasai oleh Riefan Avrian melalui surat kuasa mutlak yang
diberikan Hendra Saputra atas perintah dan dibuat oleh Riefan Avrian.
Oleh karena itu untuk mencari dan mengidentifikasi siapa yang
menjadi drecting mind dari PT Imaji Media dengan mencermati fakta-fakta
hukum yang terungkap dipersidangan, penulis menyimpulkan bahwa
seseorang yang memiliki hubungan sangat erat dengan PT Imaji Media dan
tindakannya dilakukan berkaitan dengan PT Imaji Media yang dapat
diidentifikasi sebagai directing mind dari PT Imaji Media adalah Riefan
Avrian berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh penulis.
Sehubungan dengan penentuan drecting mind dari PT Imaji Media
yang berdasarkan pada fakta hukum yang terungkap dipersidangan atas
tindakan-tindakan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra yang
berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian dengan
mengatasnamakan PT Imaji Media yang mengakibatkan timbulnya tanggung
jawab pidana, dengan mencermati fakta hukum yang terungkap dipersidangan
akan memudahkan teori identifikasi untuk menentukan siapa directing mind
dari korporasi yang tidak dapat dibantah lagi bahwa Riefan Avrian
merupakan directing mind dari PT Imaji Media. Maka perbautan dan
kesalahan Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai perbuatan dan
kesalahan PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Apabila merujuk pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa untuk
dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana korupsi yang
150
dilakukan PT Giri Jaladhi Wana berawal dari putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap Stevanus Widagdo selaku Direktur Utama PT
Giri Jaladhi Wana yang dipidana berdasarkan Putusan Mahamah Agung
Republik Indonesia Nomor 936K/Pid.Sus/2009 tanggal 25 Mei 2009, hal ini
akan mempermudah untuk membuktikan adanya kesalahan pada korporasi
yaitu PT Giri Jaladhi Wana dengan pengajuan di pengadilan terhadap pelaku
individu atau pribadi dan korporasinya dilakukan secara terpisah, yaitu
korporasinya diajukan ke hadapan pengadilan setelah pelaku individualnya
dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Merujuk kepada penerapan teori
identifikasi untuk mempertanggungjawabkan secara pidana terhadap
korporasi, teori identifikasi tidak mensyaratkan untuk diajukannya pelaku
individu terpisah dengan pengajuan korporasinya ke pengadilan (Hasbullah F.
Sjawie, 2015:202). Maka menurut penulis, pengajuan pelaku individu dan
korporasinya dapat dilakukan bersama-sama dengan menerapkan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan teori identifikasi serta teori
aggregasi yang dianut dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya dapat diterapkan pada perkara
Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst mengenai tindak pidana korupsi
pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM untuk
melakukan penuntutan pidana secara bersama-sama antara pelaku individu
yaitu Riefan Avrian selaku pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra
selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan korporasinya yaitu PT Imaji
Media ke hadapan pengadilan. Apabila perkara itu diperiksa oleh Majelis
Hakim yang sama dan bisa memudahkan persidangan, sehingga diharapkan
151
putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim tidak bertentangan satu sama
lainnya merupakan kelebihan yang didapat apabila perkaranya diajukan
dalam tiga berkas secara bersamaan (Hasbullah F. Sjawie, 2015:202).
Terkait dengan pertimbangan Majelis Hakim yang dapat didasarkan
pada penerapan teori aggregasi untuk mempertanggungjawabkan secara
pidana PT Imaji Media terlebih dahulu harus diketahui bahwa prinsip utama
teori ini berada pada pengumpulan atau penjumlahan perbuatan atau
kesalahan dari orang-orang yang secara relevan berada di lingkungan
korporasi atau merupakan bagian dari korporasi itu dianggap sebagai
perbuatan dan kesalahan satu orang saja, kumpulan perbuatan dan kesalahan
manusia tersebut kemudian diatributkan kepada korporasi, maka korporasi
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno,
2010:236). Menyangkut tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan
videotron yaitu tindak pidana korupsi tersebut dilakukan secara bersama-
sama Riefan Avrian dan Hendra Saputra maka perbuatan dan kesalahan
keduanya diatributkan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, hal
ini dikarenakan Riefan Avrian dan Hendra Saputra keduanya adalah orang-
orang yang secara relevan berada dilingkungan PT Imaji Media dan
merupakan bagian dari PT Imaji Media yaitu Riefan Avrian terbukti sebagai
pemilik PT Imaji Media dan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan
Avrian berkedudukan sebagai Direktur Utama PT Imaji Media.
Menurut penulis, unsur actus reus atau perbuatan dan unsur mens rea
atau kesalahan dalam teori aggregasi dapat dikonstruksikan dari tingkah laku
dan pengetahuan dari Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Dengan mencermati
fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa pendirian PT Imaji
Media dan penunjukan Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji
Media oleh Riefan Avrian memiliki maksud dan tujuan untuk mengikuti dan
memenangkan lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi
152
dan UKM. Setelah PT Imaji Media ditetapkan sebagai pemenang lelang,
pekerjaan seluruhnya dikerjakan oleh Riefan Avrian tanpa perjanjian
kerjasama kemitraan dan addendum kontrak, yang dalam pengerjaannya
dilakukan penyimpangan yaitu terdapat pekerjaan yang tidak dikerjakan dan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak mengakibatkan negara
mengalami kerugian, dalam hal ini perbuatan tersebut diketahui dan
dikehendaki oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra. Selanjutnya seluruh
tindakan hukum Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
mulai dari persiapan sampai dengan pelaksanaan pekerjaan pengadaan
videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian, tindakan
tersebut meliputi:
a. Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media;
b. Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;
c. Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-
JKT/X/12;
d. Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega
Pratama;
e. Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00
(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
f. Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama
PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan nomor
rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung pembayaran hasil
pekerjaan pengadaan videotron;
g. Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja
Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar selaku
153
Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan pengadaan
videotron;
h. Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh miliar
delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama PT Imaji
Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan Cabang Pembantu
BRI Duta Mas Fatmawati;
i. Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian tanpa
perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak;
j. Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas nama
Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan videotron
dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar Rp18.728.000.000,00 (delapan
belas miliar tujuh ratus dua puluh delapan juta rupiah);
k. Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk mengambil
semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari rekening atas
nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media.
Bahwa semua tindakan Hendra Saputra yang berdasarkan perintah dan
kendali Riefan Avrian dilakukan oleh Hendra Saputra secara sadar dan
Hendra Saputra membenarkan telah melakukan tindakan-tindakan hukum
yang berkaitan dengan pekerjaan pengadaan videotron tersebut. Oleh karena
itu, penulis berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan hukum menyimpang
yang dilakukan oleh Riefan Avrian dan Hendra Saputra memang diketahui
dan dikehendaki oleh keduanya, maka perbuatan dan kesalahan keduanya
diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT Imaji Media dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Sehubungan untuk dapat dipertanggungjawabkannya secara pidana
terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan
pemidanaan terhadap korporasi dengan mendasarkan pada Putusan Nomor
812/Pid.Sus/2010/PN.BJM, disamping menerapkan teori identifikasi untuk
154
mempertanggungjawabkan PT Giri Jaladhi Wana secara pidana dalam
putusan tersebut juga dikuatkan oleh pendapat ahli Prof. Dr. Sutan Remy
Sjahdeini yang disampaikan dipersidangan yang menyatakan bahwa untuk
dapat suatu korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan
pengurus korporasi harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Apabila syarat-
syarat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini dijadikan
pertimbangan Majelis Hakim untuk dapat mempertanggungjawabkan secara
pidana PT Imaji Media atas perbuatan Riefan Avrian sebagai pemilik PT
Imaji Media maupun Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media
diterapkan dalam perkara Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst dan
dihubungkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan, maka
dapat penulis uraikan sebagai berikut:
a. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commission maupun
omission) dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi maupun
di dalam struktur organinasi korporasi memiliki posisi sebagai directing
mind dari korporasi;
Menurut penulis dalam hal tindak pidana dilakukan atau
diperintahkan oleh personel korporasi, menunjuk bahwa tindak pidana itu
dilakukan oleh directing mind dari korporasi. Dalam hal korupsi
pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM,
sehubungan dengan penentuan directing mind dari PT Imaji Media yang
didasarkan pada penerapan teori identifikasi yang dihubungkan dengan
fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa tindakan hukum
Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan
pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan Avrian,
tindakan-tindakan tersebut meliputi sebagai berikut:
1) Penandatanganan Akta Pendirian PT Imaji Media;
2) Penandatanganan surat dokumen penawaran PT Imaji Media;
155
3) Penandatanganan kuitansi uang muka 20 % Nomor 111/Kwt/MJ-
JKT/X/12;
4) Penandatanganan Surat Jaminan Uang Muka Nomor
PL11630208j.0027.043530 dengan penjamin PT Asuransi Mega
Pratama;
5) Penandatanganan Surat Jaminan Pelaksanaan Nomor PL
PL11630208j.0027.043530 dengan nilai sebesar Rp1.170.500.000,00
(satu miliar seratus tujuh puluh juta lima ratus ribu rupiah);
6) Pembukaan rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur
Utama PT Imaji Media di BRI KCP Duta Mas Fatmawati dengan
nomor rekening: 0525-01-000159-30-6 untuk menampung
pembayaran hasil pekerjaan pengadaan videotron;
7) Penandatanganan dan pelaksanaan Kontrak atau Surat Perjanjian
Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 dengan Ir. Hasnawi Bachtiar
selaku Pejabat Pembuat Komitmen mengenai lingkup pekerjaan
pengadaan videotron;
8) Penandatanganan akad kredit senilai Rp7.089.000.000,00 (tujuh
miliar delapan puluh sembilan juta rupiah) selaku Direktur Utama
PT Imaji Media dengan Roro Moninggar, S.E., selaku Pimpinan
Cabang Pembantu BRI Duta Mas Fatmawati;
9) Pelimpahan pengerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian
tanpa perjanjian kerjasama kemitraan dan addendum kontrak;
10) Penandatanganan surat permintaan pemenuhan pembayaran atas
nama Direktur Utama PT Imaji Media untuk pekerjaan pengadaan
videotron dengan Nomor 225554A/019/110 sebesar
Rp18.728.000.000,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh
delapan juta rupiah);
156
11) Pemberian surat kuasa mutlak kepada Riefan Avrian untuk
mengambil semua pembayaran pekerjaan pengadaan videotron dari
rekening atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji
Media.
Maka berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan oleh
penulis diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa PT Imaji Media dapat
melakukan tindak pidana dan dipertanggungjawabkan secara pidana
melalui Riefan Avrian yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji
Media yaitu sebagai pemilik PT Imaji Media dan yang mengendalikan
serta memerintahkan seluruh tindakan Hendra Saputra selaku Direktur
Utama PT Imaji Media, dan perbuatan Riefan Avrian dilakukan berkaitan
dengan maksud serta tujuan didirikannya PT Imaji Media untuk
mendapatkan lelang pengadaan videotron, dalam hal ini Riefan Avrian
dapat dipandang sebagai PT Imaji Media atau directing mind dari PT
Imaji Media, maka perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dapat
diidentifikasikan sebagai perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media, oleh
karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
b. Tindak Pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi;
Penulis dalam hal ini mendasarkan pendapatnya dari penentuan
directing mind suatu korporasi dalam teori identifikasi, dimana perbuatan
pidana yang dilakukan oleh directing mind suatu korporasi
mengakibatkan dimintakannya pertanggungjawaban pidana terhadap
korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi dan sepanjang
masih dalam ruang lingkup usaha korporasi.
Tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM, terkait dengan PT Imaji Media sebagai
korporasi pemenang lelang, terungkap fakta hukum di persidangan
157
berdasarkan keterangan Riefan Avrian yang merupakan Direktur Utama
PT Rifuel sekaligus pemilik PT Imaji Media, dengan menunjuk Hendra
Saputra yang sebenarnya berprofesi sebagai Office Boy (OB) di PT
Rifuel untuk menjadi Direktur Utama PT Imaji Media memiliki maksud
dan tujuan mendirikan PT Imaji Media untuk mengikuti lelang pekerjaan
pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM dan
memenangkan lelang tersebut.
Kemudian untuk mengetahui maksud dan tujuan suatu korporasi
sebenarnya dapat diketahui dengan melihat anggaran dasar korporasi,
penulis dalam perkara ini tidak menemukan anggaran dasar dari PT Imaji
Media untuk mengetahui maksud dan tujuan PT Imaji Media berdasarkan
bidang usahanya yang tercantum dalam anggaran dasar. Menurut penulis
maksud dan tujuan PT Imaji Media dapat diketahui dari maksud dan
tujuan didirikannya PT Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang
terungkap di persidangan yaitu untuk mengikuti dan memenangkan
lelang pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan
UKM, sehingga secara tidak langsung dapat diketahui bahwa PT Imaji
Media bergerak di bidang usaha pengadaan barang dan atau jasa. Maka
Surat Perjanjian Kerja Nomor 617/Kont.SM.3/X/2012 tentang lingkup
pekerjaan pengadaan videotron adalah dalam ruang lingkup bidang usaha
PT Imaji Media.
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada
korporasi apabila pelaku yang melakukan perbuatan dalam rangka
tugasnya dalam korporasi. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
158
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan
bahwa:
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.
Berdasarkan rumusan Pasal 20 ayat (2) tersebut diatas diketahui
bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, memperhatikan frase berdasarkan hubungan kerja
mencerminkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh pengurus
korporasi, sedangkan berdasarkan hubungan lain adalah mencerminkan
orang-orang yang memiliki hubungan lain dengan korporasi selain
hubungan kerja, yaitu seperti halnya Riefan Avrian yang berdasarkan
fakta hukum yang terungkap di persidangan terbukti sebagai pemilik PT
Imaji Media, walaupun namanya tidak tercantum dalam anggaran dasar
PT Imaji Media sebagai pengurus maupun komisaris PT Imaji Media,
akan tetapi kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT Imaji Media
sangat menentukan arah kebijakan PT Imaji Media dengan
memanfaatkan Hendra Saputra yang ditunjuk oleh Riefan Avrian sebagai
Direktur Utama PT Imaji Media, sehingga seluruh tindakan hukum
Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan
proyek pengadaan videotron berada dibawah perintah dan kendali Riefan
Avrian.
Oleh karena itu, kedudukan Riefan Avrian sebagai pemilik PT
Imaji Media berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan,
Riefan Avrian dapat memerintahkan dan mengendalikan seluruh tindakan
hukum Hendra Saputra dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai
Direktur Utama PT Imaji Media berkaitan dengan proyek pengadaan
videotron di Kementrian Koperasi dan UKM.
159
d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi korporasi;
Sehubungan dengan kriteria adanya pertanggungjawaban pidana
korporasi adalah perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari
korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kepentingan korporasi
dalam hal ini dapat berupa manfaat atau keuntungan yang diperoleh
korporasi dari tindak pidana yang dilakukan oleh directing mind dari
korporasi. Dalam hal ini, pelaku fisik yang melakukan tindak pidana juga
dapat memperoleh keuntungan disamping adanya manfaat yang diperoleh
korporasi, dalam konteks ini tetap saja korporasi yang bersangkutan
harus bertanggung jawab secara pidana. Dapat dikatakan bahwa tindak
pidana yang dilakukan directing mind dari korporasi untuk kepentingan
korporasi, walaupun directing mind dari korporasi juga memperoleh
keuntungan pribadi, dalam hal ini korporasi tetap
dipertanggungjawabkan secara pidana.
Tindak Pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di
Kementrian Koperasi dan UKM, pada unsur “memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi” pada Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbuatan
melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra Saputra telah terbukti
memperkaya orang lain dan korporasi yaitu Riefan Avrian dan PT Imaji
Media. Disamping itu, atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan
Hendra Saputra atas perintah dan kendali Riefan Avrian berkaitan dengan
proyek pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM, Hendra
Saputra telah menerima bonus sebesar Rp19.000.000,00 (sembilan belas
juta rupiah) dari Riefan Avrian. Keuntungan yang diperoleh PT Imaji
Media dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Hendra
160
Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media atas perintah dan kendali
Riefan Avrian, yaitu terbukti dari adanya kerugian yang dialami negara
atas pembayaran pekerjaan pengadaan videotron terhadap adanya
pekerjaan yang tidak dikerjakan dan pekerjaan yang tidak sesuai dengan
spesifikasi dalam kontrak, pembayaran tersebut mengalir pada PT Imaji
Media. Oleh karena itu, dengan keuntungan yang diterima oleh PT Imaji
Media, Riefan Avrian dan Hendra Saputra terkait dengan tindak pidana
korupsi pengadaan videotron, maka terhadap PT Imaji Media dalam hal
ini tetap dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
Dalam doktrin hukum pidana adanya alasan pembenar berujung
pada pembenaran atas tindak pidana yang bersifat melawan hukum,
selanjutnya adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan pelaku
tindak pidana sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan
hukum (Mahrus Ali, 2013:160). Dengan demikian tidak adanya alasan
pembenar dan alasan pemaaf pada directing mind dari korporasi dalam
tindak pidana korupsi maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.
Mengenai tindak pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron
di Kementrian Koperasi dan UKM, menurut penulis dengan penerapan
teori identifikasi yang menentukan Riefan Avrian sebagai directing mind
dari PT Imaji Media, maka tidak adanya alasan pembenar dan alasan
pemaaf pada diri Riefan Avrian dapat diidentifikasikan sebagai tidak
adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf pada PT Imaji Media, oleh
karenanya PT Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Disamping itu pada diri Riefan Avrian telah dijatuhi pidana penjara
selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus
161
juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan, maka dijatuhkannya pidana
terhadap Riefan Avrian membuktikan bahwa pada diri Riefan Avrian
yang merupakan directing mind dari PT Imaji Media tidak terdapat
alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan oleh penulis,
untuk dapat mempertanggungjawabkan secara pidana korporasi dalam hal ini
PT Imaji Media yang terbukti bahwa pendiriannya memiliki maksud dan
tujuan serta dikendalikan untuk digunakan melakukan kejahatan, maka
penerapan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tepat
digunakan untuk menjerat hukum atas tindakan PT Imaji Media. Penempatan
PT Imaji Media sebagai terdakwa dapat didasarkan pada Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan
bahwa:
“dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”.
Penempatan korporasi (PT Imaji Media) sebagai terdakwa lebih tepat
dibandingkan hanya menuntut pelaku individualnya saja yaitu Riefan Avrian
dan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media. Selanjutnya,
adanya suatu pertanggungjawaban pidana korporasi harus didasarkan pada
penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi. Bahwa Pasal 20
ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menganut teori identifikasi dan teori aggregasi, terkait dengan teori
identifikasi untuk menentukan bahwa perbuatan dan kesalahan seseorang
dianggap sebagai perbuatan dan kesalahan korporasi haruslah berasal dari
162
perbuatan dan kesalahan directing mind dari korporasi untuk dapat
mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana. Bahwa berdasarkan
penentuan yang menjadi otak dan pikiran atau directing mind dari PT Imaji
Media, penulis dengan mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap
di persidangan menentukan bahwa Riefan Avrian merupakan directing mind
dari PT Imaji Media, sehingga perbuatan dan kesahalan Riefan Avrian
merupakan perbuatan dan kesalahan PT Imaji Media yang dapat
dipertanggungjawabkan terhadap PT Imaji Media.
Berdasarkan penerapan teori aggregasi yang menentukan bahwa
perbuatan dan kesalahan orang-orang yang relevan berada dilingkungan
korporasi dikumpulkan atau dijumlahkan sebagai perbuatan dan kesalahan
satu orang saja dan diatributkan kepada korporasi. Dalam korupsi pekerjaan
pengadaan videotron, perbuatan dan kesalahan Riefan Avrian dan Hendra
Saputra sebagai orang yang memiliki hubungan erat dengan PT Imaji Media
maka perbuatan dan kesalahan keduanya dapat dikumpulkan atau
dikombinasikan untuk diatributkan kepada PT Imaji Media, sehingga PT
Imaji Media dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dengan demikian menurut penulis, prinsip pertanggungjawaban
pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim
dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM untuk
mempertanggungjawabkan secara pidana PT Giri Jaladhi Wana dalam tindak
pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota
Banjarmasin yaitu penerapan teori identifikasi yang dianut dalam Pasal 20
ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Majelis
Hakim yang mengadili Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
seharusnya dapat mendasarkan pertimbangan hukumnya untuk
mempertanggungjawabkan PT Imaji Media dalam tindak pidana korupsi
163
pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan UKM juga
dengan menerapkan teori identifikasi.
Menurut penulis, sebenarnya aparat penegak hukum dalam hal ini
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan dan Majelis Hakim
dalam memberikan pertimbangan hukumnya pada saat menangani tindak
pidana korupsi pekerjaan pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan
UKM dapat menerapkan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam teori identifikasi dan teori aggregasi yang dianut Pasal 20
ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
dihubungkan dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang mengatur mengenai sistem pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana korupsi serta mendasarkan pada Putusan
Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM terkait pemidanaan terhadap korporasi
untuk menjerat hukum dan mempertanggungjawabkan PT Imaji Media secara
pidana.