75
BAB IV
ANALISIS SPIRIT ATURAN MEMAKAI EMAS DAN SUTERA
DALAM HADIS
A. Istilah Emas dan Sutera dalam Hadis
1. Istilah Emas dalam Hadis
Secara etimologi, emas adalah logam yang mahal harganya, warnanya kuning,
biasa dibuat perhiasan, uang, dan sebagai harta duniawi (Suharso & Retnoningsih,
2005:133). Dalam bahasa Arab ditunjukkan dengan kata żahab yang artinya indah,
elok atau berharga (al-Qazwini, 1979: 362). Dalam lisanul ‘Arab, żahab artinya biji
emas, ukuran timbangan yang sudah dikenal bagi penduduk Yaman (Manẓur, t.t.:
1523).
Kata żahab berasal dari akar kata żahaba yang asalnya memiliki arti berharga
dan berpindah (al-Qazwini, 1979: 824), berjalan, pergi atau melewati (Manẓur, t.t.:
1523). Hal itu memiliki keterkaitan dengan makna yang ditunjukkan dari kata żahaba.
Pergi merupakan aktifitas yang berkaitan dengan sesuatu berharga yaitu waktu.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dari waktu tertentu ke waktu
berikutnya. Begitu juga dengan emas yang merupakan barang berharga dan
mengalami perpindahan atau perubahan. Istilah tersebut juga disebut dalam hadis
yang menjelaskan tentang emas.
Dalam beberapa hadis tentang pemakaian emas dan sutera, emas digambarkan
sebagai perhiasan dengan beberapa istilah yang digunakan antara lain khatam, âniyah,
muzarrar. Khatam secara bahasa artinya perhiasan yang melingkar, tutup (Manẓur,
t.t.: 989), cincin (Ali & Muhdlor, 1996: 814). Adapun âniyah merupakan wadah atau
bejana (Ali & Muhdlor, 1996: 268), dan muzarrar pada dasarnya berasal dari zirrun
artinya kancing atau mantel (Ali & Muhdlor, 1996: 1011).
76
Hiasan yang berbahan emas tersebut menjadi sesuatu yang berharga, baik
dengan bahan emas murni maupun kadar campuran yang rendah. Emas sebagai
perhiasan juga disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak enam kali. Dua ayat
menunjukkan emas sebagai perhiasan di dunia, sebagaimana ayat-ayat berikut:
انفضخ ت انز طشح ي م بطش ان انم انج انغبء اد ي نهبط حت انش م ص انخ
انحشس عبو انؤ يخ غ آةان ان حغ ذ ع انه ب (45)آل عشا: رنك يزبع انحبح انذ
“Dijadikan terasa indah dalam padangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik” (Kemenag, 2013: 51).
أي ؤكه ن جب انش انؤحجبس كثشا ي آيا إ ب انز ب أ ع صذ ال انبط ثبنجبطم
ى ثعزا فجشش ب ف عجم انه فم نب انفضخ ت انز كض انز )انزثخ: ة أنىعجم انه
45)
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang
alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan
yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di
jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka
akan mendapat) azab yang pedih” (Kemenag, 2013: 192).
Selanjutnya empat ayat lainnya menggambarkan emas sebagai perhiasan
penghuni surga, sebagaiman ayat-ayat berikut:
هجغ ت ر س ي أعب ب ي ف بس حه ى انؤ رحز ردش ي ى خبد عذ بثب أنئك ن
حغذ يشرفمبخ اة ب عه انؤسائك عى انث ف إعزجشق يزكئ ذط ع (44)انكف: ضشا ي
“Mereka itulah yang memperoleh surga „Adn, yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; (dalam surga itu) mereka diberi hiasan gelang emas dan mereka
memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka
duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. (Itulah) sebaik-baik
pahala, dan tempat istirahat yang indah“(Kemenag, 2013: 297).
77
ذخم ان انه س إ أعب ب ي ف بس حه ب انؤ رحز ها انصبنحبد خبد ردش ي ع آيا ز
ب حشش ى ف نجبع نؤنؤا ت ر (34)انحح: ي
“Sungguh, Allah akan memasukkan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Di sana mereka diberi perhiasan gelang-gelang emas dan
mutiara, dan pakaian mereka dari sutera” (Kemenag, 2013: 334).
س ي أعب ب ي ف ب حه ذخه ب خبد عذ ى ف نجبع نؤنؤا ت (44)فبطش: حشش ر
“(Mereka akan mendapat) surga „Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
dalamnya mereka diberi gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian
mereka di dalamnya adalah sutera” (Kemenag, 2013: 438).
زى ف أ رهز انؤع فظ انؤ ب يب رشز ف اة أك ت ر ى ثصحبف ي طبف عه ب خبنذ
(14)انضخشف:
“Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di
dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap
(dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya” (Kemenag, 2013: 494).
Bila dilihat dari redaksi ayat tersebut ternyata ada perbedaan kata yang
digunakan. Ketika menerangkan emas sebagai perhiasan dunia, kata yang digunakan
dalam bentuk ma‟rifat dengan diawali al yang mengandung arti khusus. Sedangkan
ayat yang menunjukkan emas sebagai perhiasan surga, digunakan kata dalam bentuk
nakirah atau umum yaitu żahab tanpa al. Hal tersebut menggambarkan emas di dunia
tidak dapat disamakan dengan emas di surga.
2. Istilah Sutera dalam Hadis
Sutera secara etimologi adalah bahan halus yang ditenun dari benang halus
dan lembut dari kepompong ulat sutera (Suharso & Retnoningsih, 2005: 509). Bahan
tersebut kemudian digunakan manusia sebagai pakaian, selendang maupun hiasan.
Dalam bahasa Arab seringnya sutera dirujuk pada kata ḥarir, tetapi dalam hadis ada
beberapa istilah lain yang digunakan untuk menunjukkan makna sutera.
78
Pertama, istilah ḥarir yang artinya jenis pakaian yang halus dan mengandung
sutera (Umar, 2008: 470). Pada dasarnya kata ḥarir berasal dari akar kata ḥarra yang
artinya hangat dan mulia (al-Qazwini, 1979: 468). Dari akar kata tersebut muncul kata
sifat ḥarrun yang artinya hangat atau panas. Hal itu sesuai dengan sifat sutera yang
bisa menghangatkan tubuh pemakainya, serta menjadi simbol pakaian mulia dan
berharga.
Kedua, istilah dibâj yang artinya pakaian yang ditenun dengan ikatan atau
benang dari sutera (Paulus, 2002: 205). Akar kata dari dibâj adalah dabaja, yang
artinya menghias, melukis, dan memperindah. Istilah tersebut pada awalnya
merupakan bahasa Persia yang kemudian terserap menjadi bahasa Arab (Manẓur, t.t.:
1316). Dari makna dasarnya tersebut memiliki keterkaitan akan ciri dari dibâj yang
dapat memperindah dan menghias tubuh maupun hiasan lainnya.
Ketiga, istilah qasiy yaitu sejenis pakaian yang di buat di Mesir dengan
berbahan sutera (Hajar, t.t.: 897). Qasiy berasal dari kata qasa yang artinya keras,
jelek atau palsu. Kata tersebut juga memiliki arti uang dirham palsu (Manẓur, t.t.:
3633). Dari beberapa makna dasar tersebut menunjukkan bahwa qasiy merupakan
pakaian dengan bahan sutera yang kualitasnya rendah atau sejenis imitasi.
Keempat, istilah sundus menurut para mufassir artinya sutera yang halus atau
lembut. Para ahli bahasa sepakat bahwa kata tersebut merupakan bahasa serapan yang
sudah menjadi bahasa Arab (Manẓur, t.t.: 2117). Sehingga dalam beberapa literatur
kamus Arab tidak ditemukan akar kata dari sundus.
Kelima, istilah istabraq sutera yang tebal dan bagus. Istilah tersebut pada
dasarnya merupakan kata serapan dari Persia. Menurut sebagian ahli bahasa, istilah
istabraq berasal dari akar kata baraqa dan huruf hamzah, sin, tâ` merupakan huruf
79
tambahan (Manẓur, t.t.: 77). Secara bahasa baraqa artinya bersinar atau berkilau (Ali &
Muhdlor, 1996: 317).
Keenam, istilah siyara` adalah pakaian yang bercampur atau bercorak garis
paduan sutera, jenis pakaian ini berasal dari Yaman. Selain itu istilah siyara` juga
terkadang berarti emas atau perhiasan (Manẓur, t.t.: 2170). Istilah siyara` berasal dari
akar kata yang terdiri dari huruf sin, yâ`, râ` yang mengandung arti berjalan, keluar
atau melewati (Ali & Muhdlor, 1996: 1104). Makna tersebut berkaitan dengan ciri
siyara` yang dikenal bercorak garis, maksudnya corak garis dapat diibaratkan keluar
atau melewati kain polos dengan proses yang panjang dan membutuhkan waktu.
Dari beberapa istilah tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan istilah untuk
menggambarkan pakaian sutera berhubungan dengan tingkatan kualitas. Dari pakaian
yang berbahan sutera halus, tebal, hingga imitasi. Dari keenam istilah tersebut, ada
tiga istilah yang terdapat dalam al-Qurân yaitu sundus, istabraq, dan ḥarir. Semua
istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan hiasan dan pakaian para penghuni
surga. Tidak ada satu pun ayat yang membahas sutera di dunia. Hal itu menunjukkan
bahwa pakaian sutera yang dijanjikan Allah sebagai balasan ahli surga tidak bisa
disamakan dengan sutera di dunia.
Seiring dengan perkembangan teknologi, istilah dan jenis emas maupun sutera
terus mengalami perubahan. Untuk itu dalam menganalisis perubahan budaya
kontemporer dengan beberapa aturan pemakaian emas dan sutera dalam hadis, perlu
merujuk pada kaidah yang dijelaskan oleh Abdurrahman as-Sa‟di. Menurutnya untuk
menghadapi suatu perubahan dan perbedaan budaya umat Islam perlu melihat dari
tiga aspek. Ketiga aspek tersebut adalah waktu, ‘urf (budaya atau adat), dan rawatib
(As-Sa‟di, t.t.: 345). Dengan perubahan waktu, suatu benda atau nilai barang akan
terus berubah dan mengalami perkembangan. Maka dalam menentukan sikap, perlu
80
kondisional dan kontekstual. Tidak selamanya suatu yang dilarang atau tidak wajar
pada masa lampau terus berlaku pada masa kontemporer. Oleh karena bila dalam
menentukan suatu keputusan dalam menyikapi perubahan dengan melihat tiga aspek
tersebut, hasilnya akan lebih luwes dan bijak. Islam tampak adaptif, bukan agama
yang kaku dan keras.
B. Spirit Aturan Memakai Emas dan Sutera
Berdasarkan beberapa data hadis yang membahas tentang pemakaian emas
dan sutera, spirit atau semangat dari adanya aturan memakai emas dan sutera dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Penegasan Identitas Muslim
Identitas secara bahasa adalah suatu tanda pengenal (Partanto & al-Barry,
2001: 238), ciri-ciri atau keadaan khusus (Suharso & Retnoningsih, 2005: 173).
Secara istilah identitas merupakan sesuatu yang menggambarkan eksistensi sekaligus
hal yang membedakan dengan yang lain. Eksistensi tersebut ada yang bersifat
material dan ada juga yang immaterial (ruhani). Hal yang bersifat immaterial seperti
sikap, cara pandang, dan lainnya. Sedangan hal yang bersifat material antara lain
tergambar dalam apa yang pakai atau digunakan seseorang, seperti perhiasan dan
pakaian.
Pakaian berfungsi menunjukkan identitas serta membedakan seseorang dengan
lainnya. Bahkan tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang. Emas dan sutera
pada masa Nabi merupakan pakaian kebanggaan bagi orang Romawi, dimana mereka
termasuk orang musyrik yang menentang Islam. Sehingga masa itu Nabi melarang
penggunaan tersebut karena usaha Nabi menegaskan identitas orang Islam, agar tidak
terjadi tasyabbuh dengan kaum musyrik.
81
Tasyabbuh secara bahasa artinya kesamaan, keserupaan, atau keidentikan diri
(Ali, 2003: 483). Kesamaan berarti tidak ada yang beda, memiliki sifat, karakter serta
ciri khas yang sama. Untuk itu keidentikan atau ciri khas seseorang maupun suatu
kelompok dapat dilihat dari identitas masing-masing. Bila emas dan sutera menjadi
simbol atau identitas pakaian kafir di dunia, sebaliknya hal itu menjadi identitas
muslim di akhirat, Sebagaimana hadis:
ذا، مل: عذ يدب ، لبل: ع ب أث عه ف ث ب ع ى، حذ ب أث ع حذ ث حذ عجذ انشح
س ضع انمذذ ف ذ ب ، فه يدع فخ، فبعزغم فغمب ذ حز ى كبا ع ه: أ لبل: أث ن ، ث يب
م ، كؤ ال يشر ش يشح غ ز ال أ ن صه اهلل عه عذ انج نك ع زا، ل: نى أفعم
ال رؤكها ف "عهى مل: انفضخ، ت خ انز ال رششثا ف آ ال انذجبج، ال رهجغا انحشش
ى ف انذ ب ن ب، فئ ب ف اخشحصحبف ن ,Bukhari) :1417 (570"ب
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu‟aim, telah menceritakan kepada
kami Saif bin Abi Sulaiman, ia berkata: aku mendengar Mujahid, ia berkata:
telah menceritakan kepadaku „Abdur Rahman bin Abi Laila: sesungguhnya
mereka berada disamping Hudzaifah, maka mereka meminta minum lalu
seorang Majusi memberikan minum, tatakala Majusi meletakkan gelas
ditangannya lalu dia menjatuhkannya, dan ia berkata: andai aku tidak
mencegahnya tidak hanya satu kali dan dua kali, seakan dia berkata : saya
tidak melakukan ini, namun sesungguhnya aku mendengar nabi bersabda:
“janganlah kalian semua memakai sutera dan juga sutera yang halus, dan
janganlah kalian semua minum dalam tempat yang terbuat dari emas dan
perak, dan janganlah kalian semua makan dalam piring yang terbuat dari emas
dan perak, karena itu bagi mereka di dunia dan bagi kita di akhirat. Beberapa hadis yang membahas hal itu menggunakan redaksi akhirah yang
diartikan surga. Dalam bahasa Arab, akhirah artinya akhirat, terahir. Surga
merupakan simbol, tujuan dan tempat akhir dari umat Islam. Dimana di sana
digambarkan sebagai suatu tempat paling indah dengan segala fasilitas mewah. Hal
itu banyak digambarkan dalam al-Qur‟an sebagaimana ayat:
ب خبد ع ى ف نجبع نؤنؤا ت ر س ي أعب ب ي ف ب حه ذخه (44)فبطش: حششذ
82
“(Mereka akan mendapat) surga „Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
dalamnya mereka diberi gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian
mereka di dalamnya adalah sutera” (Kemenag, 2013: 438).
Karena pentingnya identitas, Nabi juga membentuk identitas umat yang
berhubungan dengan persoalan immaterial. Seperti adzan sebagai cara untuk
mengundang kaum muslimin melaksanakan sholat. Hal itu dijelaskan dalam riwayat:
اث ح، أخجش بفع، أ خش ع، لبنب: أخجشب اث ثكش ان اث ب عجذ انشصاق، حذ ش، كب ع
ب بد ث ظ ن انصهبح، زح ، ف ع ذخ دز لذيا ان ح غه ان أحذ، مل: كب
ى: ارخزا بلعب يثم بلط انصبس، يب ف رنك، فمبل ثعض ا ى: ثم لشب فزكه لبل ثعض
صه بد ثبنصهبح؟ فمبل سعل انه سخهب نب رجعث ش: " أ د، فمبل ع ان يثم لش اهلل عه
بد ثبنصهبح (Bukhari, 1422: 426) " عهى: ب ثهبل، لى ف
“Abdurrazaq dan Ibn Bakr menceritakan kepada kami sebuah makna, mereka
mengatakan: Ibnu Juraij menceritakan kepada kami bahwa Nafi‟ menceritakan
kepada saya bahwa sesungguhnya Ibnu Umar berkata: pada awalnya ketika
kaum muslimin tiba di Madinah, maka mereka berkumpul dan tibalah waktu
salat akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyeru mereka. Pada suatu hari
mereka bermusyawarah tentang hal itu. Sebagian mereka berkata: gunakan
lonceng seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Kata sebagian yang
lain: sebaiknya gunakan terompet seperti terompet yang digunakan orang
Yahudi. Umar berkata: sebaiknya ada seorang dari kalian yang menyeru salat.
Maka Rasulullah bersabda: hai Bilal, bangkitlah dan serulah salat”.
Selain persoalan pembedaan identitas dengan umat lain, identitas intern umat
Islam juga diatur oleh Nabi. Diantaranya dalam Nabi Saw yang menegaskan pakaian
atau perhiasan laki-laki dan perempuan perlu disesuaikan, seperti dalam hadis:
ث ذ ث ب يح حذ عجبط سض اث عكشيخ، ع لزبدح، ع ب شعجخ، ع ذس، حذ ب غ شبس، حذ
انشخبل ثبنغبء ي زشج عهى ان صه اهلل عه سعل انه ب لبل: نع ع بدانه زشج ان ،
انغبء ثبنشخبل (Bukhari, 1422: 159) ي
“Muhammad bin Basyar menceitakan kepada kami, Ghundar menceritakan
kepada kami dari Qatadah dari „Ikrimah dari Ibn Abbas semoga Allah
83
meridloinya, dia berkata: Rasulullah melaknat lelaki yang memakai
pakaian (menyerupai) perempuan dan perempuan yang memakai pakaian
(menyerupai laki-laki.
2. Menghindari Kesombongan
Sombong secara bahasa artinya menghargai diri secara berlebihan atau
congkak (Suharso & Retroningsih, 2005: 497). Dalam bahasa Arab disebut takabbur
atau „ujub. Takabbur adalah sifat merasa lebih unggul atau lebih mulia dibandingkan
dengan yang lain. Sedangkan „ujub adalah bangga terhadap diri sendiri. Sehingga
orang yang ujub tidak akan menyakiti pihak lain, dia hanya sebatas membanggakan
diri secara belebihan namun tidak disertai sikap merendahkan atau menghina orang
lain. Dari makna tersebut menunjukkan sombong atau takabbur berdampak pada
pihak lain. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi berikut:
انشخم بل، انكجش إ م حت اند خ انه : إ ل انه حغب لبل سع عه ث ك حت أ
ط انبط غ (Muslim, t.t.: 164) ثطش انحك
“Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (apakah
termasuk keangkuhan?)” Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah indah,
senang kepada keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
menghina orang lain”.
Dalam hadis tersebut menggambarkan pesan Nabi secara umum, bahwa
memperhatikan keindahan merupakan fitrah manusia. Berhias, berpakaian indah dan
tampil bersih dalam kehidupan sehari-hari perlu diperhatikan. Tetapi dalam
memenuhinya perlu kontrol dalam batas kewajaran, tidak pada kesombongan dan
berlebihan. Untuk itu Nabi memberikan aturan dalam penggunan perhiasan bagi umat
Islam. Sebagaimana riwayat Imam al-Nawawi yang menceritakan Nabi melarang para
sahabat menggunakan perhiasan emas dan sutera karena melihat sikap kesombongan
yang tampak dari pemakainya (Hajar, t.t.: 214).
84
Ancaman serta dampak dari kesombongan atau takabbur juga dijelaskan
dalam al-Qur‟an sebagaimana berikut:
زكجش ان ب فهجئظ يث ف ى خبنذ اة خ (32)انحم: فبدخها أث
“Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya.
Pasti itu seburuk-buruk tempat orang yang menyombongkan diri” (an-
Nahl: 29).
3. Anjuran Peduli Sosial dan Hidup Sederhana
Persoalan emas dan sutera tidak hanya terkait dengan urusan individu. Tetapi
hal itu juga memiliki korelasi dengan masalah sosial. Nabi sebagai pemimpin umat
yang menguasai beberapa wilayah, tidaklah sulit dalam mendapatkan harta atau
kemewahan. Sebagaimana dalam riwayat bahwa beliau pernah mendapatkan harta
ribuan dinar, semua itu tidak begitu saja dinikmati sendiri. Nabi justru membagikan
harta tersebut kepada orang miskin, sahabat dan orang yang berhak menerimanya
hingga tersisa hanya beberapa dirham dan diberikan kepada isteri-isteri beliau (al-
Ghazali, 1994: 111).
Sikap Nabi tersebut menunjukkan memperhatikan kepedulian sosial lebih
penting daripada mengejar kesenangan, prestige dan kehormatan. Dalam keseharian
dan bersikap di tengah masyarakat, beliau selalu memberi contoh keteladanan. Dalam
cara berpakaian, beliau selalu mengenakan pakaian yang ada. Kebanyakan yang ia
pakai adalah syamalah atau sejenis mantel, kemeja kasar dan burdah atau semacam
gamis. Beliau membagikan pakaian dari sutera yang bersulam emas kepada para
sahabat yang hadir dan menagguhkannya bagi yang tidak ada (al-Ghazali, 1994: 111).
Semua itu menunjukkan semangat Nabi untuk mengajarkan kesederhanaan hidup di
dunia.
Sederhana secara bahasa adalah sedang, bersahaja, tidak berlebih-lebihan
(Partanto & al-Barry, 2001: 696). Dalam bahasa Arab sederhana ditunjukkan dengan
85
kata basiṭ atau tawassuṭ, secara bahasa artinya tengah-tengah atau tidak berlebihan
(Manẓur, t.t.: 2189). Kesederhanaan hidup tampak dalam hidup Nabi. Memberi makan
hewan-hewan peliharaan, mengikat unta, membersihkan rumah, memperbaiki sandal,
bahkan menjahit baju beliau lakukan. Dalam kesederhaaan tersebut tampak sikap
tawaḍu’ yang diajarkan Nabi. Tawaḍu’ adalah sikap rendah hati tetapi tidak sampai
merendahkan kehormatan diri serta tidak pula memberi peluang orang lain untuk
melecehkan harga diri.
4. Mengangkat Derajat Perempuan
Emas dan sutera dibolehkan bagi perempuan dengan teks yang jelas
menggunakan kata uḥilla, yang artinya dihalalkan. Sedangkan bagi laki-laki
ditegaskan pelarangannya dengan kata ḥurrima atau diharamkan. Kebolehan bagi
perempuan di tengah pelarangan bagi laki-laki tersebut bukan sesuatu yang muncul
tanpa alasan. Hal itu sesuai dengan fitrah perempuan yang juga digambarkan sebagai
bagian dari perhiasan dunia. Sebagaimana ayat berikut:
انفضخ ت انز طشح ي م بطش ان انم انج انغبء اد ي نهبط حت انش م انخ ص
آة ان حغ ذ ع انه ب انحشس رنك يزبع انحبح انذ عبو انؤ يخ غ (45)آل عشا: ان
“Dijadikan terasa indah dalam padangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik” (Kemenag, 2013: 51).
Selanjutnya bila diruntut pada sejarah, pada masa Jahiliyyah budaya patriarki
begitu kuat di tengah masyarakat Arab. Laki-laki merupakan simbol kehormatan dan
kekuasaan. Kebanggaan pada anak laki-laki, garis ayah, dan fanatisme pada syarat
kepala suku harus laki-laki. Sedangkan perempuan memiliki ruang gerak yang sempit.
Bahkan suatu kelahiran perempuan dianggap membawa keburukan. Hal itu
menunjukkan begitu rendahnya derajat perempuan dibanding laki-laki. Maka melalui
86
dibolehkannya emas dan sutera tersebut dapat dipahami sebagai langkah awal Nabi
mengangkat derajat perempuan.
C. Relevansi pada Masa Kontemporer
1. Fenomena Pemakaian Emas dan Sutera pada Masa Kontemporer
Seiring dengan perkembangan teknologi dan industri, produksi emas maupun
sutera mengalami perkembangan. Emas yang awalnya digunakan masyarakat sebagai
perhiasan dan identik dengan warna kekuningan. Kini banyak produksi emas
dimodifikasi berwarna putih. Perhiasan tersebut berupa kalung, gelang, anting-anting,
cincin maupun hiasan rambut. Selain itu emas juga digunakan sebagai hiasan kawat
gigi (behel), produk kosmetik, seperti bedak, masker, dan produk perawatan tubuh
lainnya (http//wolipop.detik.com). Hal itu menjadi trend karena butiran serbuk emas
dipercaya mengandung zat anti aging, menghaluskan dan menjadikan kulit bercahaya.
Selain sebagai hiasan, pakaian, dan kosmetik, emas juga digunakan sebagai
susuk. Kini banyak masyarakat dari kalangan artis, pejabat, maupun rakyat yang
menggunakan susuk emas. Dengan alasan emas mengadung energi tinggi dan
memiliki banyak khasiat, antara lain membangkitkan aura dan pesona dari dalam diri
seseorang (http//mbahmijan.com). Praktek pasang susuk menjadi trend, bahkan
banyak diminati masyarakat karena terobsesi dengan kegunaannya, antara lain sebagai
daya pikat, penglaris, dan lain sebagainya.
Bagi para pemilik modal, emas menjadi produk investasi menguntungkan.
Emas batangan atau koin dinar merupakan produk berbahan emas yang diproduksi
oleh perusahaan tambang. Produk emas tersebut juga memiliki sertifikat yang diakui
secara Internasional. Investasi ini banyak diminati investor karena karakater emas
yang cenderung selalu mengalami peningkatan nilai dalam jangka waktu yang
87
panjang (www.antam.com). Meskipun terkadang harga emas mengalami fluktuasi,
namun tetap memiliki nilai harga yang tinggi.
Adapun sutera, kini banyak industri sutera dengan berbagai pilihan. Produk
tekstil atau kain bahan pakaian, pakaian siap pakai, atau selendang. Dari produk
berlabel sutera murni, sutera doby, maupun semi sutera. Perbedaan produk tersebut
ditentukan dari kualitas benang serta kadar suteranya. Semakin tinggi kualitas
bahannya, harga akan semakin mahal. Begitu pula sebaliknya, harga produk paling
murah akan dapat kualitas yang rendah. Selain digunakan sebagai bahan pakaian,
sutera juga dijadikan bahan hiasan dinding. Seperti hiasan kaligrafi, lukisan, maupun
sulam dengan beragam bentuk gambar.
Banyaknya produksi seiring dengan banyaknya konsumen, selain mengikuti
trend, mode dan mempengaruhi prestise di tengah masyarakat. Emas dan sutera
menjadi bagian yang seakan wajib ada dalam dalam rangkaian adat pernikahan, dari
budaya tukar cincin emas, lamaran atau seserahan yang berisi kain sarimbit sutera,
perhiasan emas, maupun lainnya. Budaya tukar cincin merupakan adat dimana kedua
mempelai saling bertukar cincin, sehingga baik pihak perempuan maupun laki-laki
akan memakai cincin emas tersebut. Begitu juga sarimbit sutera dengan varian motif
dan tingkatan bahannya, produk ini didesain untuk pasangan laki-laki dan perempuan
dengan trend agar tampil serasi dan elegan.
Fenomena perkembangan industri mempengaruhi minat konsumsi masyarakat.
Budaya tukar cincin emas dan seserahan berbahan sutera menjadi suatu adat yang
harus dipenuhi. Perubahan trend dan mode menjadi daya tarik yang terus diikuti
masyarakat. Emas dan sutera menjadi simbol kebahagiaan, kesejahteraan dan
keanggunan. Pengeluaran biaya mahal untuk mendapatkan hal tersebut menjadi suatu
kewajaran. Fenomena masyarakat tersebut tampak menjadi masyarakat konsumsi.
88
2. Relevansi Spirit Hadis pada Masa Kontemporer
Dari beberapa spirit adanya aturan Nabi dalam pemakaian emas dan sutera
dapat dikelompokkan menjadi empat. Pertama, penegasan identitas Muslim. Kedua,
menghindari kesombongan. Ketiga, anjuran peduli sosial dan hidup sederhana.
Keempat, mengangkat derajat perempuan.
Dari semua hal tersebut secara umum semangat Nabi memberikan aturan
dalam pemakaian emas dan sutera mengandung tujuan sosial dan pendidikan moral
bagi manusia. Agar umat Islam terhindar dari gaya hedonisme. Hedonisme
merupakan gaya hidup dimana yang dijunjung adalah nilai kesenangan, keagungan,
kebanggan dan hidup berlebihan (Bond, 1983: 102-103). Kondisi tersebut
dikhawatirkan akan timbul kebiasaan hidup secara berlebihan dan muncul
kesombongan. Seorang muslim diharapkan menggunakan pakaian ruhani dan jasmani
yang menggambarkan identitasnya. Meskipun demikian Nabi tidak sepenuhnya
mengatur dan menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat bisa
saja menemukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun aturan yang ditekankan
selama gaya hidup tersebut tidak berlebihan dan merugikan siapa pun.