BENCANA ALAM DALAM PANDANGAN BHIKKU AGAMA
BUDDHA
(Studi Kasus di Vihara Dhammacakka Jaya Jakarta)
Disusun Oleh:
Kiki Agustini NIM : 105032101042
PROGRAM STUDI JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas izin, serta
karunia-Nya.Sehingga penulis sapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
sebagai tugas penulis yang terakhir.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha untuk menempatkan
skripsi ini sebagai sebuah karya tulis yang bermutu sebagaimana yang diharapkan
bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh sebab itu maka penulis dengan
segala kerendahan hatimengajukan karya tulis ini unutuk ditelaah sebagaimana
mestinya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu baik moril maupun
materil dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1. My mother and My Father, juga seluruh keluargaku atas segala kasih
sayang, dukungan moral dan juga bantuan material yang telah diberikan
selama ini.
2. Bapak Drs. Roswen Ja’far selaku dosen pembimbingyang penulis hormati
yang telah memberikan koreksi dan masukan yang positif bagi penulis.
3. Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin. Ibu Dra.
Ida Rosyidah M.A, Ketua jurusan Perbandingan Agama, dan Bapak
Maulana M.A, Sekertaris Jurusan, yang telah memberikan bantuan berupa
nasihat dan motivasi kepada penulis, juga kepada seluruh dosen yang telah
memberikan ilmu kepada penulis selama masa kuliah.
i
4. Kepada pimpinan da seluruh staff perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jaakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin yang telah
memberikan fasilitas kepada penulis.
5. Kepada Bante Adhirattano, Bante Sudarsano selaku bhikku Vihara
Dhammacakka Jaya, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk
memberikan pengarahan dan nasehat kepada penukis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-temanku Imas, Iis, Lian, Titis, Guntur, Fikri, Samsul, Wahyu,
Ulum, Deliat, Lukman, Wasil, Radir atas hari-hari yang telah dilalui
bersama selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa
persahabatan serta solidaritas.
7. Terimakasih untuk orang-orang yang pernah mengisi hatiku
8. Terimakasih untuk temanku yang baik hati ”Endy Smile” yang bayak
membantu dalam penulisan skripsi ini.
Atas bantuan mereka semua, penulis mengucapkan terimakasih, semoga
Alllah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan yang sudah diberikan
kepada penulis khusnya dan umumnya bagi masyarakat.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 1 Mei 2010
Penulis
Kiki Agustini
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .........................................................................................................i
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ......................................................6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................7
D. Metode Penelitian ............................................................................8
E. Sistematika Penulisan ......................................................................9
BAB II ALAM MENURUT KONSEP AGAMA BUDHA
A. Pengertian Alam Kehidupan ..........................................................11
B. Alam Kehidupan Indrawi (kamaloka) ...........................................14
C. 16 Alam Bentuk (rupaloka) ...........................................................23
D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka) ...................................................26
BAB III GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA
A. Pengertian Vihara ..........................................................................27
B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya ..................................28
C. Etika Masuk Vihara .......................................................................32
D. Peran Dan Fungsi Vihara ...............................................................34
iii
iv
E. Fasilitas-fasilitas Vihara .................................................................35
BAB IV BENCANA ALAM DALAM PERSPEKTIF BHIKSU DI VIHARA
DHAMMACAKKA
A. Aneka Ragam Bencana Alam ........................................................38
B. Faktor-Faktor Timbulnya Bencana Alam ......................................42
C. Pencegahan Bencana Alam ...........................................................56
D. Solusi Untuk Mengatasi Bencana Alam ........................................58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................62
B. Saran-Saran ....................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini, banyak terjadi bencana-bencana yang
menimpa negeri ini. Termasuk bencana alam, banjir, tanah longsor serta bencana-
bencana lainnya yang banyak menimbulkan korban nyawa maupun harta benda.
Maka dari itu perlu diketahui apa faktor-faktor penyebab terjadinya bencana alam
yang sering terjadi. Ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu
karena faktor manusia yang tidak bisa menjaga serta melestarikan alam tersebut,
ada pula yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu karena memang
faktor alam itu sendiri.
Zaman kekacauan terutama timbul karena krisis moral. Zaman itu
mungkin pula berhubungan dengan bencana alam, seperti banjir, kebakaran hutan,
meletusnya gunung merapi, gagalnya panen, kelaparan dan wabah penyakit1
Jika seseorang itu jahat dan keji, hidup dengan menentang hukum alam
semesta, tindakan, kata-kata dan pemikirannya akan mengotori atmosfer.
Pelecehan terhadap alam tidak akan memberikan orang tersebut apa yang
dibutuhkannya, sebaliknya perpecahan, pertengkaran, konflik, epidemi dan
kemalangan akan menimpanya.2
Memang ada hukum alam yang dipandang secara umum seperti hujan
turun karena proses air laut atau air sungai yang menguap karena panas matahari 1 Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Buddha Dharma: 2003), cet ke-1, h. 278-279. 2 Sri Dhammananda, Masalah & Tanggung Jawab (DIAN DHARMA), H.9-10
2
lalu menggumpal menjadi gumpalan awan dan akibatnya turun hujan. Juga
dengan gempa bumi dan tsunami menurut proses ilmu meteorology dan geofisika
ialah terjadinya pergeseran lempengan tanah di dasar lautan fasifik, juga dengan
BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) ketika menyatakan bahwa gunung
berapi sudah aman dan begitu statusnya diturunkan menjadi siaga tiba tiba
paginya gunung merapi itu mengeluarkan semburan debu panas sampai 200
derajat Celsius, yang akhirnya menelan korban, ha ini membuktikan bahwa
keahlian apapun yang dimiliki manusia belum 100% menjamin.3
Hidup di tempat yang sesuai alam dan lingkungannya dapat mendatangkan
kebaikan bahkan jauh dari bencana serta bahaya. Maka dari itu berada di
lingkungan apapun itu dapat mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Apabila
kita berada dilingkungan baik, kita terhindar dari bahaya dan bencana sebaliknya
pula jika kita berada di tempat atau dilingkungan buruk akan mudah terkena
bencana ataupun bahaya.
Tempat yang sesuai yang dimaksudkan adalah daerah dimana orang dapat
hidup dengan aman dan tentram, tempat tinggal yang menyenangkan, konstruksi
perumahan yang baik dan tidak mudah ambruk, kelihatan teratur, bersih dan
terawat dengan baik. Memiliki tetangga yang baik dan didaerah itu banyak orang
yang suka berbuat kebajikan yang dipuji orang bijaksana.
Sebaliknya, berdiam di daerah yang penduduknya suka bertengkar dan berbuat
kerusuhan, pemerintah yang sewenang-wenang dan korupi daerah yang sering
dilanda banjir, kelaparan, gempa, dan wabah penyakit:daerah dimana suasananya 3Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html3sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang- mengatur-gempa-bumi.html
3
penuh dengan kebencian-kebencian dan saling mencurugai;tidak dapat kebebasan
berfikir dan berkarya ditekan. Ringkasnya mencakup daerah yang memiliki
banyak unsur-unsur dan kondisi-kondisi yang merintangi pelaksanaan Dharma,
moral dan spiritualdan tidak konduksif untuk kesejahteraan social, adalah tempat
tinggal yang tidak sesuai.4
Perlu diketahui pula bahwa bumi ini tidak hanya sekedar tempat untuk
berpijak makhluk-makhluk Tuhan saja, namun di samping itu bumi ini memiliki
tahap periode mulai dari periode destruksi hingga periode statis.
Dalam suatu siklus tiap masa dunia ditandai oleh empat periode evolusi,
yaitu : (1) periode destruksi/ penghancuran (sanvatta-kappa), (2) periode
pemadaman/ kegelapan (sanvattatthayi-kappa), (3) periode pembentukan (vivatta-
kappa), (4) periode statis (vivattatthayi-kappa).5 Maka di sinilah tergambar
bahwasanya bumi ini tidak bersifat kekal, di samping itu banyak sekali contoh
lain yang menandakan bahwa bumi itu tidak kekal. Misalnya saja seperti yang saat
ini sedang melanda di Negara kita yaitu gempa bumi, tanah longsor, banjir hingga
banyak memakan korban nyawa serta harta benda. Itulah sifat bumi ini.
Manusia penganut agama memegang doktrin dan prinsip kepercayaan
bahwa (Tuhan)/Allah menciptakan dan mengatur manusia dan hewan serta seisi
dunia dan alam semesta ini. Hidup dan matinya manusia juga ada di tangan
Tuhan/Allah, tak ada seorang manusia pun yang berhak mengambil nyawa orang
lain, kecuali (Tuhan)/Allah. Kalau begitu, logikanya gempa bumi, bencana alam
4 Pandita Dhammavisarada, Drs. Teja S.M.Rashid, Sila Dan Vinaya (Jakarta: Buddhis BODHI: 1997), H. 69-70. 5 Jayasuriya.W.F. The Psychology anad Philosophy of budhism (Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society,1976) h. 29.
4
dan musibah serta perang pembantaian manusia sudah diatur oleh Allah/Tuhan?
Doktrin atau prinsip agama ini tidak boleh dirubah dan tak ada yang berani
melanggar atau mengkritik, jika ada yang berani mengkritik atau merubah doktrin
atau prinsip agama itu, maka risikonya ialah pasti hidupnya terancam.6
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana itu karena faktor
manusia ciptaan-Nya yang tidak menjaga dan memelihara alam ini dengan baik,
dan di sisi lain ada yang berpendapat bahwa terjadinya bencana alam itu, memang
keadaan alam yang menyeabkan bencana itu terjadi.
Alam ini perlu dijaga serta di pelihara agar dapat terhindar dari bencana
ataupun bahaya yang nantinya akan melanda manusia serta makhluk hidup
lainnya. Dan jangan pernah beranggapan bahwa alam itu tidak memiliki hukum,
sehingga manusia dapat semena-mena melakukan hal apapun tanpa memikirkan
bahaya serta bencananya.
Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari
sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut
sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak
timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata adalah sankhara yaitu
saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.7
Hukum alam yang berarti alam sudah tidak mau lagi menghargai manusia
lagi yang sudah terlalu kotor dengan perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak
punya jaksa, pengacara dan hakim namun nyatanya alam masih mampu
6 Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 dari Sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang-mengatur-gempa-bumi.html 7 H.A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), H.121.
5
menghukum manusia yang jahat, karena biasanya kejahatan manusia kadang
masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari hokum pengadilan. Maka selain
hokum manusia, alam akan tetap menunggu waktunya. Jika sudah sampai
waktunya alam akan bekerja menghukum manusia dengan gempa bumi, tsunami,
badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.8 Dan bencana yang terjadi bukan
hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun pernah terjadi bencana di mana-
mana. Maka dari itu di samping sebagai makhluk ciptaan Tuhan bukan saja hanya
diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai tugas untuk menjaga, memelihara
alam ini.
Menghadapi bencana alam yang terjadi di negara kita secara berturut turut
selama beberapa tahun terakhir ini , sebagian kalangan mulai mempertanyakannya
apakah terjadinya gempa (bencana) yang mengakibatkannya banyak korban
tewas, berarti bahwa “memang mereka (para korban bencana tersebut) memiliki
karma.9
Jika manusia sudah tidak lagi dapat menjaga serta memeliharaalam
kehidupan, maka bencana akan terjadi dimana-mana. Alam kehidupan adalah
tempat berdiamnya makhluk-makhluk.10
Itulah gambaran bahwasanya bencana dapat terjadi di mana-mana. Dan
terjadinya bencana itu dapat disebabkan karena manusia yang tidak dapat
memelihara dan menjaga alam ini, sehingga karma buruk pun melanda manusia
8 Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html 9Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://www.beliefnet.com/sdtory/158/story-15871-1.html). 10 Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta: DPP PERVITUBI), H. 73.
6
yang melanggar hukum alam. Penulis ingin mengetahui mengenai bencana alam
menurut Budhisme yang tersebut dalam sebuah skripsi penelitian yang berjudul
”Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha (Studi kasus Di Vihara
Dhammacakka Jakarta).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Bencana alam Menurut ajaran Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan
yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena
itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan
mempunyai corak timbul, lenyap, dan berubah. Sinonim dari dengan sanghata
adalah sankhara yaitu saling bergantungan, sesuatu yang timbul dari sebab yang
mendahuluinya.11
Hukum alam yang berarti alam menghukum manusia, karena alam sudah
tidak mau lagi menghargai manusia lagi yang sudah terlalu kotor dengan
perbuatan jahatnya. Meskipun alam tidak punya jaksa, pengacara dan hakim
namun nyatanya alam masih mampu menghukum manusia yang jahat, karena
biasanya kejahatan manusia kadang masih bisa lolos dari kejaran polisi, lolos dari
hokum pengadilan. Maka selain hokum manusia, alam akan tetap menunggu
waktunya. Jika sudah sampai waktunya alam akan bekerja menghukum manusia
dengan gempa bumi, tsunami, badai, topan, tanah longsor,banjir, kebakaran.12
Dan bencana yang terjadi bukan hanya saat ini saja, akan tetapi masa lalu pun
pernah terjadi bencana dimana-mana. Maka dari itu disamping sebagai makhluk
11 H.A. Mukti Ali, Agama-Agama Di Dunia (Yogyakarta: IAIN SUNAN KALIJAGA PRESS, 1988), H.121. 12 Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-archive.com/...com/msg05607.html
7
ciptaan Tuhan bukan saja hanya diciptakan di bumi ini, akan tetapi mempunyai
tugas untuk menjaga, memelihara alam ini.
Dengan melihat latar belakang di atas, maka penulis dalam skripsi ini
membahas bencana alam dalam keyakinan agama Buddha dengan perumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Bencana Alam bisa terjadi pada manusia ?
2. Bagaimanakah cara menjaga bumi ini agar terjaga dari bencana alam?
3. Bagaimana Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha
(studi kasus Di Vihara Dhammacakka Jakarta)”.
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengangkat topik Bencana Alam Dalam Keyakinan Agama
Buddha di Vihara Dhamaccaka Jakarta, diharapkan sikap individu atau sesorang
dapat mengetahui hakekat bencana yang terjadi di sekitar kita hingga setiap orang
tak perlu lagi berburuk sangka dan berduka lara terhadap bencana yang terjadi. di
samping tujuan umum dalam penulisan dalam skripsi ini diantaranya :
1. Agar penulis dapat menerapkan ilmu yang didapat dan mempraktekkan pada
permasalahan yang ada.
2. Untuk mengungkap hakekat bencana alam yang terjadi disekitar kita.
3. Sebagai sumbangan pemikiran tentang bencana alam dalam keyakinan
agamaBuddha.
4. Sebagai pengkaji agama-agama, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk penelitian secara lebih jauh atau spesifik, dan untuik
8
dijadikan perbandingan manakala meneliti agama Buddha yang memiliki
ajaran yang berbeda-beda dengan ajaran agama lain.
5. Secara formal akademik, penelitian ini bertujuan untuk menjadi laporan
ilmiah, yang merupakan salah satu syarat untuk melengkapi gelar sarjana pada
program Strata Satu (S1).
D. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif
adalah pemaparan suatu (seperti istilah) dengan kata-kata secara jelas dan
terperinci.13 Sedangkan analisis adalah penyelidikan terhadapat suatu peristiwa
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab atau duduk
perkaranya).14 Pengertian analisis juga berarti memecahkan atau menguraikan
suatu keadaan ataui masalah keadaan beberapa bagian atau dibandingkan dengan
yang lain.15 Jadi deskriptif analisis adalah pemaparan yang jelas dari fakta yang
ada. Dari definisi di atas, metode deskriptif analisis berarti sebuah cara atau teknik
penelitian dengan menggambarkan suatu pengetahuan dengan tulisan atau pun
ucapan dan kemudian membaginya ke dalam beberapa bagian untuk lebih
lanjutnya diadakan penyelidikan kritis dan pengujian untuk mendapatkan hasil
yang benar.
Di dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis menggunakan dua metode yaitu :
13 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2006),h.288. 14 Ananda Santoso, dan A.R. Al-Hanif, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Surabaya : Alumni,t.t),h.22. 15 Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2010 http://indonesia.com/definisionline/?tag=pengertia-analisis
9
1. Penelitian Kepustakaan (library Research)
Dengan metode ini penulis menghimpun, membaca, meneliti dan mengkaji
beberapa literaturyang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas,
seperti buku-buku, majalah-majalah, internet dan tulisan-tulisan lain yang
ada hubungan dengan skripsi ini.
2. Penelitian Lapangan
Dengan metode ini penulis lakukan untuk memperkuat data-data yang telah
didapat. Penulis menggunakan teknik interview atau wawancara langsung
dengan bikkhu Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (VJDJ), yaitu dengan
cara mengadakan tanya jawab mengenai masalah penelitian. Teknik lainnya
adalah pengamatan langsung (observasi) terhadap obyek penelitian khusus,
dengan demikian penulis mendapatkan informasi secara langsung, akurat
dan benar.
Dalam tata cara penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan-
ketentuandan petunjuk yang ditetapkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yaitu : Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulisa membagi skripsi ini
menjadi lima bab dan setiap babnya dibagi lagi atas sub bab. Adapun sistemtika
penulisan ini diuraikan sebagai berikut :
10
BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian.
BAB II Menjelaskan tentang alam dalam konsep agama Buddha, yang
dirumuskan ke dalam tiga puluh satu alam kehidupan dan dibagi ke
dalam tiga bagian yaitu : Kamaloka, Rupaloka, Arupaloka
BAB III Menjelaskan pengertian Vihara, latar belakang dari Vihara
Dhammacakka, etika masuk Vihara, serta peran dan fungsi Vihara.
BAB IV Merupakan inti dari skripsi ini tentang keyainan agama Buddha
terhadap bencana alam dalam perspektif bhikku di Vihara
Dhammacakka, aneka ragam bencana alam, factor-faktor timbulnya
bencana alam, pencegahan bencana alam menurut keyakinan agama
Buddha, serta solusi untuk mengatasi bencana alam
BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dalam pokok
pembahasan dalam skripsi ini dan saran-saran.
11
BAB II
ALAM MENURUT KONSEP AJARAN BUDDHA
A. Pengertian Alam Kehidupan
Dalam bahasa Pali, alam semesta disebut loka. Loka bukanlah perkataan
yang sudah tertentu pemakaiaannya, tetapi meliputi materiel (rupa) dan imateriel
(arupa), dan pengertiaannya sangat tergantung pada pemakaiannya. Namun
pengertian yang pokok tidak terlepas dari ajaran Buddha, yaitu sesuatu yang
terbentuk dari sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal. Menurut ajaran
Buddha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang
mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharma
yang berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan
berubah. Sinonim dengan sankhata adalah sankhara yaitu saling bergantung,
sesuatu yang timbul dari sebab yang mendahuluinya.
Menurut pandangan Agama Buddha, bumi kita ini merupakan salah satu
titik kecil saja di alam semesta, dan bumi bukan merupakan satu satunya tempat
kehidupan makhluk. Juga bukan hanya manusia dan binatang yang merupakan
makhluk yang hidup di bumi ini. Jumlah bumi di alam semesta ini banyak sekali,
di setiap bumi ada manusia dan makhluk-makhluk lain yang hidup di situ.1
Menurut pandanga Buddhisme bahwa bumi ini merupakan satu titik yang kecil,
meskipun di dalamnya terdapat manusia, binatang dan makhluk-makhluk lainnya.
1 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, h. 91
12
Gambaran alam semesta seperti yang diungkapkan oleh pengetahuan
modern sekarang ini sudah dikemukakan oleh Buddha, tanpa bantuan teleskop.
Dalam Abhibhu-sutta, Buddha menjelaskan, sejauh bulan dan matahari bergerak
dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnyamencapai segala arah, sejauh
itulah luas system seribu tata surya alam semesta. Di dalamnya terdapat seribu
bulan, seribu matahari, seribu poros Sineru – gunung dari segala gunung, seribu
bumi Jambudipa, seribu Aparagoyana di Barat, seribu Uttara-kuru di utara, seribu
Pubbavideha di timur, empat ribu samedera raya, empat ribu Maharaja, seribu
surga Catummaharajika, seribu seribu surga Tavatimsa, seribu surga Yama,
seribu surga Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga Paranimmita-
vasavatti, dan seribu alam Brahma. Ananda, inilah, yang dinamakan system dari
seribu tata surya alam semesta kecil. Sebuah system kelipatan seribu dari ukuran
tersebut dinamakan sejuta tata surya alam semesta madya. Sebuah system
kelipatan seribu ukuran ini dinamakan semilyar tata surya alam semesta raya”
(A. I, 226)2
Hidup ini penuh dengan tantangan yang datang dari luar maupun dari
dalam. Namun bagaimanapun yang paling penting dalam menghadapi tantangan
ini adalah pengertian Budhisme tentang apa yang kita hadapi. Kita sendiri yang
harus menentukan sikap dan tindakan kitalah yang akan menentuka akhir dari
persoalan itu. Hidup ini bagi orang yang optimis, bagaikan dipenuhi oleh
kesenangan dan keindahan keindahan yang menakjubkan, sedangkan orang yang
pesimis hidup ini diliputi kesedihan dan kemurungan yang tiada hentinya. Tetapi
2 Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha-Dharma (Jakarta: Yayasan Buddha Dharma: 2003), cet ke-1, h. 264
13
bagi seorang realis, hidup ini diliputi kesenangan, dan kesedihan yang muncul
silih berganti.3 Bagi orang selalu dalam hidupnya memiliki pandangan yang baik
dan optimis, maka hidupnya jarang bertemu dengan hal-hal yang menimbulkan
suatu yang negative, maka dari itu dalam menghadapi hidup ini bersikaplah yang
optimis serta manjauhkan hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat. Dengan
seperti itu biasa saja satu solusi terhindarnya dari bencana, karena selalu
melakukan hal yang baik-baik yang mendatangkan manfaat.
Pada setiap system cakrawala terdapat tiga puluh satu jenis alam
kehidupan yang membentuk tiga kelompok alam, namanya Triloka. Kelompok
pertama dinamakan kama-loka atau alam kehidupan indrawi, terdiri dari sebelas
jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan (apaya atau duggati) dan tujuh
alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok kedua, rupa-loka atau alam
kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas jenis alam dengan
kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra. Kelompok ketiga, arupa-
loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri dari empat jenis alam sesuai
dengan arupa-jhana.
Di alam-alam itu, para makhluk mengembara, mengalami siklus lahir dan
mati berulang-ulang sebelum berhasil mencapai nirwana.
“Ada tiga jenis penjelmaan, yaitu: penjelmaan di alam yang penuh nafsu (kamma-
bhava), penjelmaan di alam Rupa-Brahma (rupa-bhava) dan penjelmaan di alam
Arupa-Brahma (arupa-bhava)” (M.I, 50).
3 Carnelis Wowor MA, Pandangan Sosial Agama Buddha (CV. NITRA KENCANA BUANA), H. 114-115.
14
Kelahiran dapat terjadi di alam yang lain. Ada 31 alam kehidupan yang
dapat menjadi tempat kelahiran (kembali) makhluk berdasarkan pada karma baik
atau buruk dari makhluk yang bersangkutan.
(31) Tiga puluh satu alam kehidupan itu adalah sebagai berikut: Kelompok
pertama terdiri dari sebelas jenis alam, yaitu empat alam yang menyedihkan
(apaya atau duggati) dan tujuh alam yang menyenagkan (sugati). Kelompok
kedua, rupa-loka atau alam kehidupan dari Rupa-Brahma, terdiri dari enam belas
jenis alam dengan kebahagiaan rupa-jhana, tanpa nafsu keinginan indra.
Kelompok ketiga, arupa-loka atau alam kehidupan dari Arupa-Brahma, terdiri
dari empat jenis alam sesuai dengan arupa-jhana.
B. Alam kehidupan indrawi (Kama-loka)
Kama-loka atau kama-bhumi terdiri dari 11 alam kehidupan yang masih
senang dengan napsu birahi dan terikat dengan panca indra.4 Yang terbagi
menjadi dua bagian yaitu, 4 alam tak menyenagkan, dan tujuh alam yang
menyenangkan.
a. Empat alam tak menyenangkan (Duggati) yaitu:
1. Niraya
Niraya (ni+aya : tanpa kebahagiaan) alam menyedihkan, tempat makhluk-
makhluk menerima dan mengalami hasil dari perbuatan karma buruk. Niraya
terkenal juga sebagai neraka, tetapi bukan merupakan alam yang kekal bagi
makhluk. Setelah kekuatan karma buruknya melemah maka makhluk itu
4 Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta: DPP PERVITUBI), H. 73.
15
dapat terlahir kembali di alam yang lebih baik atau menyenangkan sebagai
akibat dari karma baik mereka yang lampau.5
Nirayabhumi terbagi dalam tiga macam golongan kelompok alam,
diantaranya yang disebut dengan : 1. Maha Naraka (Neraka Utama), 2.
Neraka kecil (Ussadaniraya), 3. Lokantarika (neraka terpencil).
Maha naraka terbagi menjadi dua diantaranya : Asta Usana-Naraka (8 neraka
panas atau 8 neraka besar) dan Asta Sitanaraka (8 neraka dingin).
Yang termasuk Asta Usana-Naraka diantaranya yaitu : Sajiva-Naraka,
Kallasuta-Naraka, Sanghata-Naraka, Roruva-naraka, Maharoruva-naraka,
Tapana-naraka, Mahatapana-naraka, Avici-naraka (Devadatta diam di alam
Avici-Naraka ini).6
Kemudian yang termasuk neraka dingin (Asta Sitanaraka) yaitu :
a. Aruba : karena dinginnya kulit tubuh sampai timbul gelembung-
gelembung
b. Nirarbuda : karena semakin dingin, gelembung-gelembung pada kulit
tubuh pecah-pecah.
c. Atata : karena terlalu dinginnya, hanya suara atata yang dapat dikeluarkan
dari mulut yang bibirnya sudah membeku
d. Havava (apapa) : karena sangat dingin, hanya suara Havava atau Apapa
yang dapat dikeluarkan dari mulutnya
e. Huhuva (hahadhara) : karena dinginnya bukan main, hanya suara Huvuvu
yang dapat dikeluarkan dari mulutnya.
5 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 91-92. 6 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Graha Metta Sejahtera, 2002), h.84
16
f. Utpala (nilotpala): karena dingin yang amat sangat, kulit tubuh memeku
seperti pucuk-pucuk bunga teratai.
g. Padma : karena dinginnya bukan main, kulit tubuh membeku dan pecah-
pecah seperti bunga terataimerah yang mekar-mekar.
h. Mahapadma : karena dinginnya luar biasa, kulit tubuh membeku dan
pecah-pecah seperti bunga teratai merah besar yang mekar-mekar.7
Selanjutnya yang termasuk neraka kecil (Ussadaniraya) yang terdiri dari delapan
kelompok alam : aogarakasu, loharasa, kukkula, aggisamohaka, lohakhumbi,
gutha, simpalivana, vettaraoi. Dan yang terakhir Lokantarika (neraka terpencil),
neraka-neraka ini berada di gunung-gunung, hutan, di angkasa, atau di atas bumi
dan sebagainya, karena perbuatan masing-masingyang mengakibatkannya
demikian. Neraka-neraka ini tidak seperti 8 neraka panas dan 8 neraka dingin
yang mempunyai tempat tertentu.8
2. Tiracchana-Bhumi
Yang disebut Tiracchana-Bhumi (alam binatang), karena makhluk-makhluk
yang berdiam di alam ini tidak mempunyai tempat yang khusus. Makhluk
binatang ini terbagi dua kelompok, yaitu :
1. kelompok binatang yang dapat dilihat dengan mata biasa.
2. kelompok binatang yang tidak dapat dilihat dengan mata biasa
makhluk binatang yang berkaki terbagi 4 kelompok, yaitu :
7 Drs. Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995-2538 B.E, h. 646. 8 Ibid, h. 647.
17
1. Apadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang tidak mempunyai
kaki, seperti ular, ikan, cacing, dan lain-lain
2. Dvipadatiracchana : kelompok makhluk binatang yang mempunyai dua
kaki, seperti ayam, bebek, burung, dan lain-lain
3. Catupadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai
empat kaki, seperti kerbau, sapi, dan lain-lain.
4. Bahuppadatiracchana: kelompok makhluk binatang yang mempunyai
banyak kaki, seperti ulat bulu, lipan dan lain-lain.9
3. Peta-Bhumi
Peta Bhumi yaitu makhluk yang tak merasakan kesenangan, makhluk-
makhluk di alam peta ini adalah setan atau “hantu”. Peta merupakan makhluk-
makhluk yang berbentuk tak sempurna, masingmasing dalam dalam keadaan
mereka yang tak sempurna dan berbeda-beda bentuk. Dalam Anguttara
Nikaya II. Disebutkan bahwa ada tukang jagal yang terakhir menjadi peta.
Uraian rinci tentang kehidupan di alam ini baca Petavathu.10
Dalam Dhamma Vibhaga apa yang disebut sebagai hantu-hantu tidak
berbahagia atau kelaparan atau pitti biasanya dimaksudkan untuk menunjukan
para pembuat kejahatan yang tidak begitu berat ubtuk menjerumuskan mereka
ke dalam alam neraka. Tetapi mereka di anggap amat jelek dan cacat
bentuknya dan juga amat lapar serta menyedihkan. Macam makhluk yang
tidak terlihat ini kadang-kadang nampaknya juga tergantung pada dunia
9 Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H. 76. 10 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 92.
18
manusia. Ini dapat dilihat dalam khotbah yang disebut : Tirokudda-sutta, di
mana sanak keluarga raja Bimbisara dahulu, dikatakan sedang menantikan
pengorbanan persembahan-persembahan dari dunia iniuntuk menghilangkan
rasa lapar dan haus mereka. Dari komentar khotbah ini, nampaknya hantu-
hantu kelaparan itu mempunyai alam-alam tertentu bagi mereka sendiri.
Adapun macam contoh yang disebutkan dalam khotbah tersebut yakni
Janusasoni merupakan salah satu contoh dari kenyataan ini. Dan juga disana
disebutkan macam-macam hantu lain yang amat dekat berhubungan dengan
dunia manusia.11
Makhluk setan ini terbagi dari beberapa kelompok, diantaranya terdapat
kelompok setan yang disebut PETA-21 (yang tercantum dalam Kitab Suci
Vinaya dan Lakkhasanyutta) yaitu :
1. Atthisankhasika-Peta : setan yang mempunyai tulang bersambung, tetapi
tidak mempunyai daging.
2. Mansapesika-Peta : setan yang mempunyai daging terpecah-pecah, tetapi
tidak mempunyai tulang.
3. Mansapinada-Peta : setan yang mempunyai daging berkeping-keping.
4. Nicachaviparisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kulit.
5. Asiloma-Peta : setan yang berbulu tajam.
6. Sattiloma-Peta : setan yang berbulu seperti tombak.
7. Usuloma-Peta : setan yang berbulu panjang seperti anak panah.
8. Suciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum.
11 Prince Vajirananavarorasa, Dhama Vibhaga (Jakarta: Aryasuryacandra, 1993), h. 12.
19
9. Dutiyasuciloma-Peta : setan yang berbulu seperti jarum jenis yang kedua.
10. Kumabhanda-Peta : setan yang mempunyai buah kemaluan yang sangat
besar.
11. Guthakupanimugga-Peta : setan yang bergelimangan dengan kotoran.
12. Guthakhadaka-Peta : setan yang makan kotoran.
13. Nicachavitaka-Peta : setan perempuan yang tidak mempunyai kulit.
14. Dugagandha-Peta : setan yang berbau sangat busuk.
15. Oligini-Peta : setan yang badannya seperti bara api.
16. Asisa-Peta : setan yang tidak mempunyai kepala.
17. Bikkhu-Peta : setan yang berbadan seperti Bhikkhu.
18. Bikkhuni-Peta : setan yang berbadan seperti bikkhuni.
19. Sikkhaman-Peta : setan yang berbadan seperti pelajar wanita/calon
bikkhuni.
20. Samaner-Peta : setan yang berbadan seperti samanera.
21. Samaneri-Peta : setan yang berbadan seperti samaneri.12
Dan disamping itu pula ada peta 4 dan peta 12, Peta 4 diantaranya :
1. Paradattupajivika-Peta : peta yang hidup berdasarkan dana dari orang
lain.
2. Khupipasika-Peta : peta yang selalu lapardan haus.
3. Nijjhamatanhika-Peta : peta yang selalu haus.
4. Vantasika-Peta : peta yang hidup dari muntah.13
12 Pandit Jinaratana Kaharuddin, Rampaian Dhamma (Jakarta : DPP PERVITUBI), H.77-78. 13 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 92-93
20
Peta 12 diantaranya : vantasa-peta, kunapasa-Peta, guthakhadaka-Peta,
agijalamukha-Peta, sucimuja-Peta, tanhatika-Peta, sunijjhamaka-Peta,
sutanga-Peta, pabatanga-Peta, ajagaranga-Peta, vemanika-Peta, mahidadhika-
Peta.
4. Asurakaya-Bhumi
Asura, alam tempat setan Asura. Asura, secara harfiah, berarti makhluk yang
tak bersinar. Asura merupakan makhluk yang tak bahagia seperti peta.14
Asura dapat disebut juga sebagai alam raksasa asura. Karena yang berdiam di
alam ini jauh dari kemuliaan, kebebasan, dan kesenangan.
1. Deva-Asura : kelompok dewa yang disebut Asura.
2. Peta-Asura : kelompok setan yang disebut Asura.
3. Niraya-Asura : kelompok makhluk yang disebut Asura.
4. Abhibhu-sutta : alam yang menyedihkan
Abhibhu-sutta tidak menyebutkan nama alam-alam yang rendah tersendiri,
lain dengan nama-nama surga. Alam binatang terdapat di bumi yang sama
dengan manusia. Begitu pun hantu tidak memiliki tempat kehidupan sendiri,
mereka tinggal di hutan-hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain. Agaknya
keempat alam yang rendah ini dipandang tidak hanya sebagai tempat, tetapi
juga sebagian keadaan batin.15
b. Ketujuh alam yang menyenangkan adalah:
14 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 93 15 Alm. Ven. Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-nya BAGIAN II, Koord. Visakha Gunadharma. Jakarta: yayasan Dhammadipa Arama, 1992, hlm. 128-129
21
1. Alam manusia (manussa), di tandai adanya penderitaan, juga kebahagiaan.
Para boddhisattwa lebih memilih alam manusia, karena alam ini paling
sesuai untuk mengabdi dan menyempurnakan paramita. Semua Buddha
dilahirkan sebagai manusia. Apa yang kita sebut sebagai bumi, adalah
jambudipa. Di jagat raya ini menurut kosmologi Buddhis terdapat banyak
sekali bumi yang sejenis. Aparagoyana, uttarakuru, dan pubbavideha
diduga juga merupakan planet yang dihuni oleh makhluk sejenis
manusia.16
2. Surga Catummaharajika (alam empat raja dewa), karena di alam tersebut
berdiam empat dewa raja yang bernama :
1. Davadhatarattha.
2. Davavirulaka.
3. Davavirupakkha.
4. Davakuvera.
Catummaharajika Bhumi terbagi 3 kelompok, yaitu :
a. Bhumamattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas tanah. Seperti
berdiam di gunung, sungai, laut, rumah, cetiya, vihara, dal lain-
lainnya.
b. Rukakhattha-Devata : para dewa yang berdiam di atas pohon. Dewa ini
dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok Dewa yang mempunyai
kayangan di atas pohon, dan kelompok dewa yang tidak mempunyai
kayangan di atas pohon.
16 W.F. Jayasuriya, The Psychology And Philosophy Of Budhisme, Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Socciety, 1976, h. 30.
22
c. Akkassattha-Devata : para dewa yang berdiam di angkasa. Seperti
berdiam di bulan, bintang, dan planet lainnya.
3. Surga Tavatimsa, (alam dari tiga puluh tiga dewa), karena dahulu kala ada
sekelompok pria yang berjumlah 33 orang selalu bekerja sama dalam
berbuat kebaikan. Seperti bersama-sama membantu fakir miskin, bersama-
sama membangu vihara, dan lain-lainnya. Sewaktu mereka meninggal
dunia semuanya terlahir dalam satu alam, yang disebut Tavatimsa Bhumi
(alam tiga puluh tiga dewa).
4. Surga Yama, atau Yama-Bhumi (alam dewa Yama), karena para dewa yang
berdiam di alam ini tebebas dari kepanasan hati: yang ada hanya
kesenangan dan kenikmatan.
5. Surga Tusita (alam kenikmatan), Karena para dewa yang berdiam di alam
ini terbebas dari kepanasan hati, yang ada hanya kesenangan..
6. Surga Nimmanarati (alam dewa yang menikmati ciptaannya) karena para
dewa yang berdiam di alam ini menikmati kesenangan panca-indriya hasil
ciptaannya.
7. Surga Paranimmita-vasavatti (alam dewa yang membantu
menyempurnakan ciptan dari dewa-dewa lainnya), karena para dewa yang
berdiam di ala mini, di samping menikmati kesenangan panca-indriya dan
juga mampu membantu menyempurnakan ciptaan dari dewa-dewa
lainnya.17
17 PANDIT JINARATANA KAHARUDDIN, RAMPAIAN DHAMMA (Jakarta : DPP PERVITUBI), H. 79-81
23
Alam-alam, yaitu Catummaharajik, Tavatimsa, Yama, Surga Tusita,
Nimmanarati, Paranimmita-vasavatti, merupakan alam surga dari para dewa
yang tubuh phisik mereka adalah lebih halus dan lebih bersih daripada tubuh
manusia. Tubuh para dewa tak dapat dilihat oleh mata phisik manusia biasa.
Makhluk di alam-alam surga ini pada suatau saat akan meninggal ”atau lenyap
dari alamnya masing-masing”. Walaupun kehidupan para dewa di alam surga
lebih menyenagkan atau melebihi alam kehidupan manusia, namun kesucian
dan kebijaksanaan belum tentu melampaui kesucian dan kebijaksaan
manusia.18
C. 16 Alam Bentuk (Rupa-loka)
Lebih tinggi dari alam kenikmatan indria ini adalah alam Brahma atau
Rupaloka (alam berbentuk) di mana makhluk-makhluk merasa senang karena
kebahagiaan Jhana, yang dicapai dengan melepaskan nafsu keinginan indria.
Rupa-loka terdiri dari 16 alam menurut jhana atau kegembiraan yang luar
biasa yang terlatih. Mereka adalah :
(a) Alam Jhana pertama :
1. Brahma Parisajja – alam dari para pengikut Brahma
2. Brahma Purohita – alam dari para mentri Brahma
3. Maha Brahma – alam dari para Brahma Yang Agung.
Yang tertinggi dari tiga pertama ini adalah Maha Brahma. Disebut
demikian karena penghuni dalam alam ini melebihi yang lain dalam
18 Carnelis Wowor MA., HUKUM KAMMA BUDDHIS, H. 95
24
kebahagiaan, keindahan, dan batas usia karena kebahagiaan hakiki dari
perkembangan batin mereka.
(b) Alam Jhana kedua:
1. parittabhana- alam yang kurang brcahaya
2. appamanabhana – alam yang bercahayanya tak terbatas
3. abhassara – alam para brahma yang bersinar
(c) Alam Jhana ketiga :
1. parittasubha – alam para Brahma dengan sedikit cahaya
2. Appamanasubha – Alam para Brahma dengan cahaya tak terbatas
3. Subhakinha – alam para Brahma dengan cahaya yang tetap
(d) Alam Jhana keempat :
1. Vehaphala – alam para Brahma dengan pahala yang besar
2. asannasatta – alam para makhluk tanpa pikiran
3. suddhavasa – tempat kediaman sejati yang lebih lanjut dibagi menjadi
lima, yaitu :
a. Aviha – alam yang dapat bertahan lama
b. Attapa – alam yang tentram
c. Sudassa – alam yang indah
d. Sudassi – alam dengan penglihatan tajam
e. Akanittha – alam yang tertinggi
Hanya meraka yang telah melatih Jhana atau kegembiran yang luar biasa
dapat dilahirkan di alam-alam yang lebih tinggi ini. Mereka yang telah
25
mengembangkan Jhana pertama dilahirkan di alam pertama, mereka yang yang
telah mengembangkan Jhana kedua dan ketiga dilahirkan di alam kedua: kereka
yang telah mengembangkan Jhana keempat dan kelima dilahirkan berturut-turut di
alam ketiga dan keempat.
Tingkat pertama tiap-tiap alam ditentukan untuk mereka yang telah
mengembangkan Jhana pada tingkat biasa, kedua bagi mereka yang telah
mengembangkan Jhana sampai suatu tingkat yang lebih tinggi, dan ketiga bagi
mereka yang telah mencapai suatu penguasaan yang lengkap terhadap Jhana-
Jhana.
Pada alam kesebelas, disebut Asannasatta, makhluk-makhluk dilahirkan
tanpa suatu kesadaran. Di sini hanya terjadi suatu perubahan jasmaniyah yang
terus menerus. Pikiran untuk sementara waktu dihentikan ketika kekuatan Jhana
berlangsung. Biasanya pikiran jasmani tak dapat dipisahkan. Dengan kekuatan
meditasi kadang-kadang mungkin memisahkan jasmani dari pikiran seperti dalam
masalah khusus ini. Bila seorang Arahat mencapai Nirodha Samapatti untuk
sementara waktu, kesadarannya berhenti untuk hidup. Kesadaran demikian
hamper tak dapat kita bayangkan. Tetapi mungkin hal-hal yang tak dapat
dibayangkan adalah keyataan yang sebenarnya.
Suddhavasa atau tempat tinggal yang sejati adalah alam khusus para Anagami
atau Yang Tak Pernah Kembali. Makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan
ini. Mereka yang mencapai Anagami di alam-alam lain dilahirkan kembali di
26
tempat tinggal yang sejati ini. Kemudian mereka mancapai Arahat dan hidup di
Alam itu sampai masa hidup mereka berakhir.19
D. Alam Tanpa Bentuk (arupaloka)
Di samping alam bentuk (Rupaloka) ada alam tanpa bentuk (Arupaloka).
Alam Arupa adalah alam tanpa jasmani. Dalam arupaloka tidak ada kelamin.
Alam ini dicapai setelah seseorang sukses dengan Rupa Jhana. Arupaloka terdiri
empat alam, yaitu :
1. Akasanancayatana : alam ruang tanpa batas
2. Vinnanancayatana : alam kesadaran tanpa batas
3. Akincanacayatana : alam kekosongan
4. N’eva Sanna Nasannayatana : alam bukan ide maupun bukan tidak ada
ide.
Makhluk-makhluk yang belum melenyapkan semua kekotoran batinnya
akan terlahir kembali di salah satu dari 31 alam berrdsarka pada perbuatannya.
Bagi para Arahat atau Buddha yang telah melenyapkan semua kekotoran bathin,
bila mereka meninggal dunia tidak akan terlahir kembali di salah satu dari 31
alam. Ketika para Arahat dan para Buddha meninggal, mereka parinibbhana atau
mencapai nirvana secara total.20
Seperti itulah pembahasan tentang alam menurut pandangan Buddha.
Bahwa alam itu terdiri dari beberapa bagian, dan dari bagian-bagian tersebut
terbagi lagi hingga beberapa penjelasan. Itulah pengertian alam menurut Buddha.
19 Alm. Ven.Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaran-nya BAGIAN II, Koord. Visakha Gunadharma. Jakarta: yayasan Dhammadipa Arama, 1992, hlm 132-134. 20 Carnelis Wowor MA., Hukum Kamma Buddhis, H. 99
27
BAB III
GAMBARAN UMUM VIHARA DHAMMACAKKA JAYA
A. Pengertian Vihara
Vihara adalah tempat ibadah agama Buddha, kata vihara berasal dari
bahasa pali (bahasa India Kuno) yang berarri tempat tinggal atau tempat puja
bhakti. Vihara dapat juga diartikan sebagai biara Buddha atau tempat para
biarawan Budha. Vihara dapat juga di jabarkan sebagai suatu kompleks yang
terdiri dari :
1. Dhammasala adalah tempat puja bakti, upacara keagamaan dan
pembabaran Dhamma (ajaran Sang Buddha). Di tempat ini umat buddha
melakukan puja bakti, upacara keagamaan dan mendengarkan pembabaran
Dhamma yang disamapaikan dan dipimpin oleh para bhikku, pandita dan
dhammaduta (umat yang menyampaikan dhamma). Tempat ini merupakan
tepat vihara yang bersifat umum.
2. Uposathagara adalah gedung tempat uposatha (persamuan para Bikkhu)
yang berfungsi sebagai tempat pentabisan bikkhu, tempat upacara
keagamaan, pembaca patimokkha, yaitu 227 peraturan kebikkhuan yang
dilakukan setiap bulan gelap (tidak ada bulan) dan bulan terang (bulan
purnama), penyelesaian pelanggaran bikkhu dan penentuan hak dan
sebagai tempat meditasi bersama umat Buddha, tempat ini bersifat tidak
28
untuk umum hanya untuk para bikkhu, samanera dan pandita saja
meskipun tidak ada larangan untuk umat secara langsung.
3. Kuthi adalah tempat tinggal para bikkhu, bhikkuni (bikkhu wanita),
samanera (calon bhikku) atau samneri (calon bhikkuni).
4. Bhavana Sabha (gedung meditasi) gedung ini digunakan para samanera
dan bikkhu serta umat dalam latihan meditasi (Yayasan Dhammadipa
Arama, 1981 : 39-43).
Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa vihara adalah
tempat ibadah agama Buddha yang berupa kompleks, yang terdiri dari : Kuthi,
Dhammasala, Uphosathagala, Bhavana, Sabha. Selain sebagai tempat ibadah
dan tempat para bikkhu, vihara mempunyai fungsi kegiatan dan sebagai pusat
keagamaan.
B. Latar Belakang Vihara Dhammacakka Jaya
Pada saat Raja Bimbisara berniat untuk memberikan tempat penginapan
bagi Buddha Gotama dan para siswa-Nya, Buddha Gotama menyarankan agar
tempat tersebut tidak terlalu jauh dari rumah/perkampungan penduduk, mudah
dikunjungi oleh umat, pada siang hari tidak terlalu berisik dan pada malam hari
agak sepi, tanpa keributan yang ditimbulkan oleh orang yang lalu-lalang, sesuai
untuk mereka yang menjalankan kehidupan sebagai petapa (samaa), serta sesuai
untuk dijadikan tempat tinggal seorang Arahat Sammasambuddha. Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya (VJDJ) didirikan pada saat umat Buddha di Indonesia
khususnya di Jakarta sangat memerlukan sebuah tempat representatif yang selain
29
dapat memenuhi kebutuhan spiritual umat Buddha, juga sebagai pusat pembinaan
dan pendidikan keagamaan bagi pembina umat maupun umat awam.
Pada saat umat Buddha melihat lokasi pembangunan vihar-vihara pada
masa-masa awal, banyak di antara mereka yang heran dan terkejut. Memang
Buddha Gotama sendiri menganjurkan agar lokasi sebuah vihara sebaiknya di
daerah yang tenang dan tidak berisik. Tetapi apakah mungkin daerah yang masih
dipenuhi alang-alang setinggi manusia serta rawa-rawa ini akan dikunjungi oleh
banyak orang? Adakah umat yang bersedia datang setiap harinya untuk
mendanakan makanan kepada para bhikkhu yang tinggal di vihara?
Walaupun beberapa pihak menunjukkan sikap pesimis, tetapi berkat semangat dan
usaha keras untuk dapat menciptakan sebuah vihara yang berkualitas, maka
jadilah sebuah vihara yang kita lihat sekarang ini. Vihara yang terletak di Jalan
Agung Permai XV Blok C-3, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara ini
merupakan vihara pertama yang telah memenuhi persyaratan sebuah vihara.
Kehadiran VJDJ di tanah air telah membuat sejarah penting bagi umat Buddha
Indonesia yang tidak dapat dilupakan. Tercatat Putra Mahkota Kerajaan Thailand,
Prince Vajiralongkorn dan Princess Mahachakri Sirindhorn pernah bernamakara
di VJDJ ini. Begitu pula dengan pemimpin rakyat Kamboja, Prince Norodom
Sihanouk. Sungguh merupakan kebanggaan bagi kita umat Buddha di Indonesia.
Tetapi, mengapa dinamakan ”Jakarta Dhammacakka Jaya?” Jakarta berasal dari
kata ”Jaya Ing Karta”, adalah nama Ibukota tercinta, yang berarti kejayaan
dalam kemakmuran. Sedangkan Dhammacakka sendiri berarti Perputaran Roda
Dhamma.
30
Pada saat umat Buddha dari segala penjuru yang berkunjung ke Buddha
Metta Arama semakin bertambah, vihara yang sudah dikelilingi oleh berbagai
bangunan rumah ini dirasakan tidak mencukupi lagi. Maka timbulah niat untuk
membangun vihara yang baru. Pada saat itu di Bangkok, Bhikkhu Sombat Pavitto
atau yang akrab disebut Bhante Sombat bersama dengan Drs. Teja Suryaprabhava
Mochtar Rashid tanpa sengaja diperkenalkan oleh Phrakru Wimon kepada Laksda
Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno, seorang bendaharawan di sebuah kelenteng,
Bogor. Pada saat membicarakan tentang pembangunan vihara, beliau tertarik
untuk ikut membantu dengan menyumbangkan tanahnya di perkebunan teh
Pamanukan Tugu, Puncak-Bogor untuk dibangun vihara. Untuk mengelola
pembangunan vihara tersebut, maka dibentuk sebuah yayasan bernama Yayasan
Paripurno Samiddhi. Laksda Purn. TNI-AL Oyo Prayogo Kusno bersama Khun
Pot telah berhasil mengumpulkan dana, demikian pula dengan Bhante Sombat
yang telah menyiapkan sketsa vihara serta bekerja membuat pondasi dan tiang.
Akan tetapi, ternyata pembangunan tersebut tidak disetujui warga sekitarnya,
sehingga Pemerintah daerah meminta agar menunda pembangunan tersebut.
Namun demikian semangat mereka tidak berhenti sampai di situ. Pada suatu
ketika Bhante Sombat dibantu dengan Kolonel Somchit dan Khun Suthat -atase
militer dari Thailand yang juga seorang paranormal, mendapat vision dari Acharn
Nirod, ’seorang’ pembimbing spiritual. Dikatakan bahwa di bagian Utara Jakarta,
ada sebuah lokasi yang baik untuk dibuat vihara, lokasi tersebut pada zaman kuno
pernah menjadi pusat kota. Disebutkan juga bahwa di lokasi tersebut tanahnya
agak tinggi, terdapat sebuah pohon besar dengan sebuah kolam berair bening di
31
bawahnya. Maka segeralah Bhikkhu Sombat Pavitto bersama Om Liem (Liem
Tiang Sing, kemudian menjadi Bhikkhu Piyadhammo, almarhum) berkeliling
mencari tempat tersebut, saat itu awal tahun 1981. Om Liem mengendarai
mobilnya sendiri mengantar Bhante Sombat mendatangi berbagai lokasi.
Setelah melalui pencarian yang cukup sulit, di daerah sekitar Ancol yang
sedang diadakan pembangunan perumahan itulah akhirnya mereka menemukan
sebuah tempat dengan ciri-ciri yang sesuai. Setelah mencari informasi, diketahui
bahwa tanah tersebut milik PT. Agung Podomoro. Mengingat harga tanah yang
cukup tinggi, maka tanah yang akan dibeli hanya seluas 1.000 m2 saja. Setelah
mengetahui bahwa tanah tersebut akan dipergunakan untuk membangun vihara,
ternyata Anton Haliman atas nama Direksi PT. Agung Podomoro sebaliknya ingin
menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar kepada Sagha, asalkan ijin
pembangunannya sudah didapatkan. Pernyataan PT. Agung Podomoro untuk
menyumbangkan satu blok tanah seluas satu hektar tersebut dituangkan dalam
surat resmi kepada Sagha Theravāda Indonesia dan diserahkan langsung oleh
Anton Haliman kepada bikkhu Pannavaro selaku Sekretaris Jenderal Sagha
Theravada Indonesia dalam suatu rapat di kantor PT. Agung Podomoro, Sunter.
Pada waktu itu Sagha Theravada Indonesia dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.
Dengan penuh semangat mereka pun segera mengurus ijin pembangunan vihara,
dimulai dengan pembuatan gambar. Tetapi terjadi perdebatan mengenai bentuk
vihara, ada pihak yang menginginkan bentuk vihara Thailand yang ’glamor’ tetapi
di lain pihak menginginkan bentuk vihara yang sederhana tetapi anggun. Akhirnya
diputuskan untuk membangun vihara yang seperti vihara sebelumnya yang pernah
32
ada di Indonesia. Selanjutnya dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan
Jakarta Dhammacakka Jaya, di mana para pendirinya adalah delapan bhikkhu
Indonesia selaku Badan Pengawas, Anton Haliman selaku Ketua Kehormatan,
Oyo Prayogo Kusno selaku Ketua Umum, dan Drs. Teja Suryaprabhava Mochtar
Rashid selaku sekretaris. Akhirnya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka ijin
tersebut berhasil didapat. Selanjutnya Bhante Sombat mendirikan sebuah gubuk di
sana dan mulai mendirikan Uposathagara dan Sima. Arsitek pada waktu itu
adalah Ir. Rai Pratadaya dan Ir. Aswin Suganda. Setelah dikurangi untuk sarana
jalan dan sebagian diminta oleh Kota Praja untuk pembuatan jalur hijau, akhirnya
luas tanah tersebut menjadi 8.640 m2. Dana pembangunan vihara pun mulai
mengalir dari berbagai pihak di antaranya dari Presiden ke-2 Republik Indonesia,
H.M. Soeharto sebesar Dua Puluh Juta Rupiah, Departemen Agama sebesar Dua
Juta Dua Ratus Ribu Rupiah, Pemerintah DKI Jakarta sebesar Enam Juta Rupiah,
dan sumbangan umat Buddha Indonesia serta Thailand secara sukarela pada saat
itu mencapai kurang lebih Dua Ratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah.1
C. Etika Masuk Vihara
Etika masuk vihara adalah tata cara yang harus dilakukan umat Buddha
masuk ke vihara. Apabila seorang umat Buddha akan memasuki vihara, maka ada
beberapa etika yang harus dijalani diantaranya adalah:
1. Pakaian harus rapai dan sopan santun
1 Artikel ini diakses pada tanggal 25 Februari 2010 www.dhammacakka.org/index.php?option=com...
33
2. Memasang dupa/namisa puja jika perlu, yang meliputi : bunga, lilin, dan
dupa
3. Sampai di pintu viha namakaragatha yaitu syair penghormatan kepada
Buddha Dharma dan Sangha.2
Bunyi syair tersebut sebagai berikut :
Araham sammasambudho bhagava, budhamvantani abhivademi
“Sang Bhagava, yang maha suci, yang telah mencapai penerangan sempurna, Aku
bersujud dihadapan Sang Buddha”.
Svakkhato Bahagavata dhammo, dhammani namassami
“Telah sempurna dibabarkan oleh sang Bhagava; Aku bersujud di hadapan
Dhamma”.
Supati panno Bhagavatha savaka sangha
“Sangha siswa sang Bhagava telah bertindak sempurna; Aku bersujud di hadapan
Sangha”.
Adapun tatacara ibadah sebagai berikut :
1. Anjali adalah merangkapkan kedua tangan
2. Puja Bakhti yaitu penghormatan dan berbakti yang akan di peraktekkan di
rumah.
2 Wawancara pribadi dengan Bhikku Dhammiko, Jakarta 1 Mei 2010.
34
D. Peran dan Fungsi Vihara
Peran vihara adalah meningkatkan kehidupan beragama umat Buddha
Indonesia dalam arti seluas-luasnya berdasarkan kitab suci Tipitaka pali yang
berkepribadian Indonesia
Adapun fungsi Vihara dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Tempat tinggal para Bhikku dan Samanera
2. Tempat pendidikan putra-putri bangsa agar menjadi masyarakat yang
berguna
3. Tempat memberi rasa aman bagi semua mahluk
4. Tempat untuk membuat kebaikan dan kebajikan
5. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan
6. Tempat menyebarkan Dhamma
7. Tempat yang menunjukan jalan kebebasan
8. Tempat latihan meditasi dan usaha merealisasikan cita-cita kehidupan
tempat kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.3
Arca-arca yang ada pada vihara Dhammacakka Jaya yaitu :
1. Arca Buddha Sakyamuni yaitu sang Buddha yang telah mendapat
pencurahan.
2. Arca Sari Putta yaitu yang ada di sebelah kanan yang mempunyai kelebihan
trampil menguraikan Dhamma (ajaran agama)
3. Arca Mogallana yaitu berada di sebelah kiri yang mempunyai kelebihan
terampil dalam kekuatan supra natural.4
3 Pengukuhan uposthagara viara DJ
35
E. Fasilitas-fasiltas Vihara
Selain peran dan fungsi yang telah di sebut diatas, terdapat fasilitas-
fasilitas yang melengkapi Vihara, yaitu :
1. Lapangan Parkir
Lapangan ini berguna pada setiap saat, baik itu harian mingguan, bulanan
maupun tahunan baik itu acara rutinitas maupun acara-acara khusus.
2. Balai Pengobatan
Balai pengobatan ini dibuka pada setiap minggu dari jam 08.00 sampai
dengan selesai selain itu balai pengobatan ini tidak dipungut biaya.
3. Bursa Buku
Bursa Buku ini menyediakan buku-buku baru berkaitan dengan agama
Buddha seperti Hio, lilin, dupa, Buddha rupang Mini, Poster sang Buddha
dan lain-lain.
4. Sekertariat
Sekertariat ini difungsikan sebagai pusat informasi baik yang berkenan
dengan perayaan-perayaan maupun acara rutinitas vihara.
5. beduk
beduk ini digunakan untuk perayaan-perayaan besar, dipakai untuk
memulai dan pada akhir acara.
6. Mading
4 Wawancara pribadi dengan Bhikku Dhammiko, Jakarta 1 Mei 2010.
36
Berfungsi sebagai papan informasi baik yang berkenaan dengan vihara
maupun dengan umat
7. Bendera Buddhis
Bendera Buddhis ini tidak diajarkan Sang Buddha secara langsung, tetapi
berdasarakan Konferensi Sangha Internasional. Warna bendera tersebut
ada 6 (enam) warna, dimana satu warna merupakan kombinasi dari semua
warna. Warna-warna tersebut adalah sebagai berikut :
a) Biru melambangkan rasa bhakti kepada Sangha
b) Kuning melambangkan keberanian
c) Merah melambangkan cinta kasih
d) Putih melambangkan Kesucian
e) Oren melambangkan kebijaksanaan
8. Pohon Budhis
Pohon ini melambangkan pohon suci di mana Sang Buddha mendapatkan
penerangan sempurna. Pohon ini adalah cangkokan langsung dari
Thailand.
9. Reflika Candi Pawon
Reflika Candi Pawon merupakan tempat penyimpanan abu para Bhikku
dan para donatur vihara.
10. Tukang Kembang
Tukang kembang ini sengaja diberi fasilitas oleh pihak vihara karena
berguna pada perayaan-perayaan yang memerlukan bunga.
11. Ruang Serbaguna
37
Gedung serbaguna ini terdiri dari beberapa fasiltas di antarannya suang
sekolah minggu, ruang sekertariat, ruang organisasi Buddhis, ruang kursus
bahasa Mandarin.5
5 Wawancara pribadi dengan pengurus Vihara Suramin, 1 Mei 2010
BAB IV
BENCANA ALAM DALAM PANDANGAN BHIKKU DI VIHARA
DHAMMACAKKA
A. Aneka Ragam Bencana Alam
Mengapa di tanahku terjadi bencana? Barangkali di sana ada jawabnya,
mengapa di tanahku terjadi bencana itu lirik lagu berita kepada kawan dari Ebit G
AD yang belakangan ini terdengar hampir setiap hari ditelvisi dan radio. Lagu
yang populer sekitar 25 tahun lalu itu menjadi lagu tema yang mengiringi
penayangan selipan atau filler berisi gambar bencana Aceh yang memilukan.1
Ada makna-makna dalam lirik-lirik lagu itu yang dianggap relevan yang
dianggap suasana batin yang sedang melingkupi banyak orang saat ini, yaitu
bencana tragedi dan duka cita. Itulah mengapa lagu-lagu dihadirkan sebagai ”ruh”
yang diharapkan menghidupkan tayangan visual seputar bencana.2
a. Pengertian Bencana
Ada beberapa pengertian atau definisi tetang bencana, beberapa definisi
cenderung merefleksikan karakteristik berikut ini (Carter, 1991)
1. Gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau
kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak di sangka dan wilayah
cakupan cukup luas.
2. Dampak ke manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka, dan kerigian harta
benda.
1Bencana gempa dan Tsunami (Jakarta : KOMPAS, 2005), h.302 2 Ibid, h.303
38
39
3. Dampak ke pendukung utama struktur sosial ekonomi seperti kerusakan
infrastruktur, sistem jalan, sistem air bersih, listrik, komunikasi dan
pelayanan utilitas penting lainnya.3
b. Penyebab Bencana
Penyebab bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu : alam dan
manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi, misalkan
tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit ke
bumi (meteor), tidak ada hujan pada suatu lokasi dalam waktu yang relatif
lama sehingga menimbulkan bencana kekeringan, atau sebaliknya curah
hujan yang sangat tinggi di suatu lokasi yang akan menibulkan bencana
banjir dan longsor.
Bencana oleh aktifitas manusia adalah terutama akibat ekspolitasi
alam yang berlebihan. Ekspolitasi ini disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk yang meningkat, kebutuhan infastruktur meningkat, alih tata guna
meningkat.4
Nicheren daishonin melukiskan penjelasannya dengan suatu
analogi tentang tubuh dan bayang-bayang. Tubuh bergerak dan mengubah
bentuk bayangan karena tubuh tidak akan menjadi tubuh bila tidak
menimbulkan bayangan. Dengan kata lain, tubuh diberi kehidupan dan
indentitas lingkungannya, dengan sebaliknya. Menurut hemat saya, hanya
3 Robert j. kodoatie & roestam sjarief, penegelola terpadu banjir, longsor, kekeringan dan tsunami (Jakarta: yasrif watamone, 2006), h. 67 4 Ibid, h.68
40
dengan mensistensikan dialektika inilah kita dapat sampai pada suatu
pemahaman tentang saling keterkaitan antara hidup kita dan lingkungan.5
Agama Buddha memandang ada hubungan antara kemoralan
seseorang dengan kelestrarian alam, karena peristiwa yang terjadi di alam ini
saling berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
komponen-komponen lainnya (hukum paticcasamuppada). Hal ini berarti
bahwa prilaku yang dilakukan oleh manusia sangat berpengaruh terhadap
lingkungan hidup, maka lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap
manusia. Jika manusia merusak lingkungan, secara cepat dan lambat akan
menimbulkan dampak buruk bagi manusia. Berbagai macam bencana,
seperti tanah longsor dan banjir tidak dapat dihindari. Dengan demikian,
manusia sendiri yang akan mendapatkan kerugian akibat tindakannya
terhadap alam.6
Pendapat bhikku (Adhiratano) bencana yang sejauh lebih
besar dari pada bencana alam yaitu, rendahnya kemoralan yang dimiliki
seseorang. Itulah sesungguhnya bencana yang lebih besar, yang akan
mengakibatkan hancurnya kehidupan. Karena begitu pentingnya nilai
kemoralan, maka Sang Buddha menekankan kepada umat Buddha untuk
menjalankan lima sila yaitu :
1. Tidak Membunuh
2. Tidak Mencuri
3. Tidak Asusila 5 Departemen Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik Pusat. Penanggulamgam Bencana Alam Dalam Perspektif Aagama Di Indonesia (Jakarta : DEPKOMINFO, 2007), H. 86 6 Ibid, H. 87
41
4. Tidak berbohong
5. Tidak makan dan minum hal yang melemahkan kesadaran.
Bencana alam hanya menghancurkan manusia pada saat itu saja, tetapi bencana
moral akan mengakibatkan hancurnya manusia dalam banyak generasi.7
Bencana alam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
bencana yang disebabkan oleh alam (seperti gempa bumi, angin besar, dan banjir).
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang bencana alam yang sering
terjadi, khususnya di Indonesia dari sudut pandang agama Buddha. Ajaran Buddha
menjelaskan bahwa bencana alam disebabkan oleh hukum fisika (dalam hal ini
geologi), dan bisa juga karena kesalahan manusia. Inti ajaran Buddha adalah
bahwa semua fenomena yang terjadi adalah saling terkait. Hukum fisika mengatur
kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena manusia banyak menebang pohon
sembarang, membuang sampah sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh
lainnya adalah musim yang kacau yang disebabkan oleh pemanasan global yang
juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika
alam tidak seimbang lagi (rusak)—disebabkab manusia, maka terjadilah fenomena
alam yang tidak biasa sehingga mungkin menjadi bencana bagi manusia. Lainnya
halnya dengan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bencana alam geologis
lainnya. Hingga saat ini belum terlihat dengan jelas apakah ada kaitan—langsung
atau tidak langsung— antara bencana alam geologis dan tindakan manusia.
Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam geologis lainnya lebih
banyak disebabkan oleh hukum fisika (geologi). Namun, musim kemarau
7 Wawancara pribadi dengan Bhikku Adhiratano, 9 Februari 2010
42
berkepanjangan, cuaca yang tidak menentu, banjir, longsor, kebakaran hutan yang
terjadi sampai saat ini sebagian besar adalah ulah manusia secara langsung
maupun tidak langsung.
Ajaran Buddha mengajarkan kepada manusia terutama untuk berkaca
melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Satu tindakan kecil—
membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu bisa saja
menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.8
B. Faktor-faktor Timbulnya Bencana Alam
Akhir-akhir ini memang cukup banyak bencana alam yang terjadi secara
hamper bersamaan di berbagai tempat di seluruh dunia. Berbagai bencana yang
banyak menimbulkan korban harta serta kehidupan manusia ini sebenarnya salah
satunya disebabkan oleh kamma kelompok yang matang secara bersamaan.
Seperti yang telah disebutkan dalam hukum kamma bahwa ia yang melakukan
suatu perbuatan, ia pula yang akan memetik buah kebaikan ataupun penderitaan.
Ketika setiap orang yang mempunyai kamma berbeda ini berkumpul, timbullah
kamma kelompok. Ada berbagai jenis kamma kelompok yaitu kamma keluarga,
kamma masyarakat, kamma bangsa dan juga kamma dunia.
Dengan demikian, jika setiap orang masing-masing mempunyai usaha untuk
memperbaiki kualitas perilaku, ucapan dan pikirannya, maka tentunya tidak
tertutup kemungkinan akan terbentuk kamma kelompok yang baik pula yaitu
8 Artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2010 Filsafat.kompasiana.com/…/tanggapan-agama-buddha-terhadap-bencana-alam/-
43
kamma keluarga, kamma masyarakat dan bahkan kamma dunia. Seperti telah
diketahui bahwa kumpulan dari setiap pribadi akan membentuk keluarga.
Kumpulan keluarga akan membentuk masyarakat. Kumpulan masyarakat akan
membentuk bangsa dan kumpulan bangsa akan membentuk dunia. Jadi,
kembalinya kebahagiaan seluruh umat manusia dimulai dari perbaikan diri setiap
orang. Oleh karena itu, marilah semuanya berusaha dan terus berjuang untuk
meningkatkan kebajikan melalui ucapan, perbuatan dan juga pikiran agar
membantu mengkondisikan timbulnya kebahagiaan kepada dunia ini.
Kebahagiaan dunia yang salah satunya berbentuk kebebasan warganya dari segala
bencana.9
Mekanisme alam semesta membuat bumi berputar pada porosnya sambil
berjalan mengelilingi matahari sebagai pusat orbit. Dengan putaran yang ritmis
itulah kehidupan berlangsung dengan baik. Berkat putaran itu pula bumi menjadi
hidup dan kita ikut hidup dalam kehidupan itu, dengan sumber energi yang
memadai, udara dan atmosfer yang seimbang, suhu dan cuaca yang bisa
diadaptasi. Kalau putaran itu dihentikan 1 detik saja, semua benda di permukaan
bumi, termasuk kita, akan terlempar berhamburan. Begitulah bumi, yang melesat
tak kurang dari 107 ribu km/jam di angkasa raya. Sebuah kecepatan yang tiada
bandingannya dengan kendaraan tercepat apapun ciptaan manusia.
Bumi memang harus melesat dengan kecepatan sedahsyat itu untuk
menyelesaikan satu putaran mengitari matahari dalam setahun. Pernahkah
terbayangkan bahwa kita sedang berdiri, duduk, makan, tidur dan segala aktivitas
9 Wawancara pribadi dengan Bhikku Sudassano, 25 Agustus 2010
44
lain sehari-hari, di permukaan sebuah benda yang bergerak 107 ribu km/jam? Dan
menurut perhitungan para ilmuan, semua ini telah berlangsung selama lebih dari 5
miliar tahun!. Lantas mengapa mekanisme istimewa yang maha dahsyat dan maha
terjaga itu masih menyisakan kisah tentang kehancuran-kehancuran alam? Apakah
itu semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi dalam fenomena ini? atau
malah karena ulah manusia, sebagai makhluk paling pandai yang hidup di muka
bumi?
Dapatkah manusia memperkira-kan datangnya bencana alam? Jika dapat,
mampukah kita mengatasinya? Persoalan apa, kapan dan berapa besarnya suatu
bencana alam bakal melanda menjadi teka-teki yang tidak pernah berakhir. Jika
diamati memang ada semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi. Akan
tetapi, itu semua memiliki makna dan tujuan yang telah ditetapkan oleh maha
pencipta, terjadinya reaksi fisika tersebut telah didesain oleh maha pencipta
sedemikian teraturnya sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi menusia.
Sejak berabad lalu, manusia dan alam bagaikan berpacu, siapa lebih cepat
bertindak. Namun, kekalahan sering berpihak pada manusia walaupun sistem
informasi yang dirancang semakin maju, gempa bumi, taufan, angin kencang,
tornado, kemarau panjang, banjir, gunung berapi meletus, dan tsunami, tetap saja
budaya bersifat material yang dimiliki oleh manusia, masih gagal menyelamatkan
manusia dari bencana alam.
Contoh kejadian yang sedang dihadapi masyarakat Sidoarjo yang
mengalami musibah lumpur PT Lapindo, sampai sekarang berbagai upaya telah
dilakukan para ahli, di antaranya melalui budaya material yang dimilikinya.
45
Melalui upaya memasukkan untaian bola-bola beton dengan asumsi untaian bola
tersebut dapat memberi tekanan terhadap sumber semburan, sehingga diharapkan
akan mengurangi semburan.
Namun beberapa tim memberikan pendapat berbeda, ada yang mengatakan
pemberian tekanan pada sumber semburan justru memungkinkan semburan
mencari celah lain, sehingga semburan tetap tidak dapat dihentikan. Selain itu,
ketahanan bola-bola beton itu masih dipertanyakan. Apakah bola-bola itu akan
tetap stabil bila dipanaskan pada suhu di atas 110 derajat celsius.
Solusi ini masih diragukan tingkat keberhasilannya. Disini dapat
diperhatikan bahwa jika bencana alam terjadi, masing-masing pakar
mengeluarkan berbagai teori yang dianggapnya dapat meyelesaikan masalah.
Akan tetapi, kenyataannya jauh dari harapan, lumpur tetap saja keluar. Jika sudah
terjadi seperti ini siapa yang bertanggung jawab? PT Lapindo atau Pemerintah?
Jika diamati dari budaya nonmaterial, pejabat pemerintah terkesan terlampau
mudah mengeluarkan izin operasi pengeboran di daerah yang dekat dengan
permukiman penduduk. Pemberian izin operasi akan mempermudah untuk
produksi dan tujuan akhirnya akan menambah pendapatan negara. Akan tetapi,
apa yang terjadi dengan begitu mudahnya memberikan izin dan kurang ketatnya
pengawasan, ternyata dapat membawa dampak pada kerusakan lingkungan.
Pada 26 Desember 2004, tsunami melanda Aceh mengorbankan kira-kira
200.000 penduduk. Belum sembuh luka di Banda Aceh, tsunami Laut Selatan
melanda Pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sejumlah 92 orang masih belum
46
diketemukan setelah tsunami yang menelan korban jiwa 656 orang dan 45.000
penduduk tinggal di tempat pengungsian.
Hawa nafsu timbul karena manusia memiliki kebutuhan. Menurut
Malinowski bahwa kebudayaan dan organisasi sosial adalah respons-respons
terhadap kebutuhan biologis dan psikologis. kebutuhan tersebut dapat dipenuhi
oleh beberapa respons kebudayaan yang berbeda-beda.
Seperti diketahui kebutuhan individu yang satu dengan yang lainnya kadang
berbeda, begitu juga cara meresponnya. Ada yang ingin serba instan (ingin cepat)
akibatnya anomali, tetapi ada juga individu yang konformitas atau mengikuti
aturan yang telah ditetapkan. Individu yang ingin serba instan ini melakukan kerja
sama dengan relasi-relasinya guna merespon kebutuhan masing-masing.
Keterkaitan antara manusia yang memiliki kekuasaan atau yang lazim
disebut pejabat dengan yang lainnya berada dalam budaya yang saling
menguntungkan. Di sisi lain ada sekelompok manusia dengan relasi-relasinya
tetap ingin mengikuti aturan guna membangun kesejahteraan rakyat. Kelompok
masyarakat ini merupakan lawan dari kelompok masyarakat yang ingin memenuhi
kebutuhannya secara instan atau di luar aturan yang telah ditetapkan, kedua
kelompok ini berada dalam sistem sosial budaya yang sama. Seperti diketahui
unsur-unsur sistem sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat ada sepuluh,
yaitu:
1) keyakinan,
2) perasaan,
3) tujuan, sasaran, atau cita-cita
47
4) norma,
5) kedudukan, peranan,
6) tingkatan atau pangkat
7) kekuasaan atau pengaruh
8) sangsi
9) sarana atau fasilitas,
10) tekanan dan ketegangan.
Dalam sistem sosial budaya yang ada terdapat ketidakseimbangan dalam
penerapannya. Hal ini dapat dirasakan bila salah satu faktor lebih dominan
dibandingkan faktor yang lainnya, faktor teknologi dan ekonomi lebih utama
daripada faktor sosial, sehingga terjadi ketidakseimbangan. Keadaan tidak
seimbang inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana alam.
Fenomena ketidakseimbangan ini dapat ditelusuri dari budaya penguasa yang
ingin serba instan atau ingin memperoleh hasil dengan cara di luar aturan yang
telah ditetapkan. Hal ini dilakukan oleh penguasa guna memenuhi kebutuhan
dirinya dan relasi-relasinya.
Jika dilihat dari kenyataan sehari-hari di lapangan, banyak ditemukan
penguasa yang memberikan izin kepada relasinya di luar peraturan yang ada.
Contohnya, banyak penguasa yang memberikan izin penebangan hutan yang tidak
diikuti dengan penanaman kembali pohon dan kontrol yang ketat (misalnya, mana
yang boleh ditebang dan mana yang tidak boleh, serta batas wilayah yang
diizinkan).
48
Dapat diperkirakan akibat tindakan penguasa tersebut menyebabkan
terjadinya banjir, tanah longsor, atau berkurangnya populasi binatang yang
dilindungi. Kejadian ini terjadi padabeberapa daerah dan banyak menelan korban
jiwa, rumah dan peralatan hancur, serta banyak tanaman dan hewan yang mati.
Di sisi lain masyarakat yang cinta terhadap lingkungan dan disiplin
terhadap peraturan, tidak dapat memberikan banyak kontribusi, agar masalah
tersebut tidak terjadi. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat tersebut tidak
memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat. Ada ketidakseimbangan antara apa
yang dilakukan penguasa terhadap alam, dengan yang dilakukan masyarakat yang
cinta terhadap peraturan. Dampak dari ketidakseimbangan inilah, yang
menyebabkan timbulnya bencana alam.
Hal ini disebabkan kurangnya proses edukasi pada masyarakat.
Memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman yang jelas, dan
mudah tentang pentingnya kelestarian alam bagi keberlangsungan hidup bersama
jauh lebih berguna daripada melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja dalam
proses penghijauan hutan kembali, atau
memperbanyak undang-undang yang ternyata tidak banyak berfungsi.
Pendidikan nilai bisa diwujudkan dengan memberdayakan kembali
kearifan lokal yang ada. Kini banyak tradisi dan adat istiadat lokal yang
sebenarnya kaya nilai-nilai tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam
tidak lagi populer. Padahal, bencana alam bisa dicegah dan kerusakan alam bisa
dihindari apabila manusia hidup berdampingan secara baik dengan alam. Belum
terlupakan kepedihan akibat peristiwa banjir di berbagai daerah. Kota Jakarta
49
adalah daerah yang paling parah dilanda banjir pada awal tahun ini. Hampir 80
persen Ibukota negara ini terendam air sejak hujan deras menimpa Jakarta, 2
Februari 2007 lalu. Beberapa wilayah seperti Kelapa Gading, Tanjung Priok,
Grogol, beberapa perumahan di Ciledug, tergenang air.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, banjir pada tahun 2007 ini
merupakan banjir yang paling parah dalam sejarah Jakarta. Banjir tersebut
mengakibatkan kerugian material yang sangat besar akibat lumpuhnya kegiatan
ekonomi, kegiatan belajar mengajar pun terganggu. Banjir 2007 ini telah menelan
korban lebih dari 31 orang. Ratusan ribu orang mengalami stres karena tidak
mampu menerima kerugian yang mereka derita.
Banjir telah mampu meng-hilangkan sekat-sekat sosial, yakni sekat antara
orang kaya dan miskin, antara penguasa dengan rakyatnya. Banjir itu tidak hanya
melanda masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya mereka yang tinggal di
bantaran kali, melainkan juga orang-orang yang tinggal di perumahan-perumahan
elite seperti Kelapa Gading, Pulo Mas, Green Ville, dan tempat-tempat lainnya.
Tidak ada yang mau dipersalah-kan pada peristiwa banjir di Jakarta itu.
Penguasa mengatakan peristiwa ini adalah fenomena alam, di lain pihak
masyarakat mengatakan penguasa yang kurang peka terhadap bencana alam.
Jika kita lihat, ada masyarakat yang memiliki budaya ’tempat sampah
adalah seluas Pulau Jawa dan sepanjang sungai’. Untuk mengubah budaya
tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, baik pada stratifikasi sosial kelas atas,
menengah, dan bawah. Masalah sampah memang sudah menjadi masalah
nasional, tetapi jika tidak diatasi secara cepat akan menyebabkan sungai menjadi
50
dangkal dan selokan menjadi mampet, yang akhirnya akan menimbulkan banjir.
Untuk mengatasi masalah ini, pihak pemerintah dapat melakukan dua pendekatan
terhadap masyarakat, pertama secara persuasif dengan cara memberikan
penjelasan agar kognitif dan afektifnya dapat berubah. Akan tetapi, pemerintah
sudah sering melakukan pendekatan tersebut, terutama pada masyarakat yang
tinggal di pinggir sungai agar tidak membuang sampah, karena menyebabkan
pendangkalan dan pada akhirnya menyebabkan banjir.
Pendekatan secara persuasif ini tidak berhasil, terbukti sampah masih
berserakan, dan penduduk masih banyak yang tinggal di pinggiran sungai.
Kegagalan pendekatan ini sebenarnya karena tidak tepatnya strategi komunikasi
yang digunakan. Hal ini tampak dari cara pendekatan petugas dalam memberikan
penyuluhan pada masyarakat. Oleh karena rasa tanggung jawab masyarakat masih
dirasa rendah, pemerintah tampaknya tidak sepenuh hati dalam melaksanakan
tugasnya. Di sisi lain, karena ketidakseriusan pemerintah menangani masalah ini,
banyak masyarakat yang mengabaikan anjuran untuk tidak tinggal di pinggir
sungai. Karena pendekatan pertama tidak berhasil, akhirnya pemerintah
melakukan pendekatan kedua yaitu secara otoriter. Namun, pendekatan ini sering
tidak etis dan terkesan arogan, tidak jarang petugas di lapangan mengalami
konflik dengan masyarakat.
Melalui kedua pendekatan ini pihak pemerintah ternyata gagal pula
melakukan perubahan terhadap perilaku masyarakat. Hal ini terjadi karena
aktivitasnya tidak terprogram, dan tidak ditegakkannya hukum, sehingga
masyarakat merasa tidak ada masalah terhadap perilakunya.
51
Koordinasi antarinstansi kurang berjalan dengan baik, sedangkan iklim berganti
terus, akan menjadi masalah saat musim penghujan tiba. Hal ini pernah terjadi,
pada salah satu intansi pemerintah yang memberikan saran teknis kepada salah
satu departemen agar menembak awan secara parsial, agar jatuhnya hujan tidak
sekaligus, sehingga tidak menimbulkan banjir. Akan tetapi, hal ini ditolak oleh
departemen tersebut, mungkin karena anggaran yang terbatas atau masalah teknis
yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya saran tersebut. Akibatnya dapat
dirasakan oleh sebagian penduduk Jakarta, yaitu banjir.
Dalam menghadapi berbagai macam bencana alam tampaknya pihak
pemerintah merasa bingung, dan tidak tahu akan berbuat apa. Kesan yang dapat
ditangkap, pemerintah tidak memiliki program kerja yang terencana dengan baik,
sehingga terlihat seperti frustasi dalam menghadapi berbagai bencana alam
tersebut.
Apa yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Apakah kurangnya pengetahuan
untuk mengatasi bencana alam? Apakah kurang pengalaman dalam
mengantisipasi terhadap datangnya bencana alam? Apakah disebabkan pejabat
pemerintah dengan relasinya lebih mengutamakan budaya material, dibandingkan
budaya nonmaterial? Jika hal ini terbukti, maka terjadilah ketidakseimbangan
yang akan berdampak kepada kehidupan masyarakat.
Salah satu upaya mengatasi hal itu, sebaiknya pihak pemerintah, dalam hal
ini penguasa, lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi per-masalahan yang
terjadi sekarang ini, dan siap menerima kritik serta saran dari berbagai lapisan
masyarakat. Dengan keterbukaan pihak pemerintah terhadap kritikan dan saran
52
masyarakat, diharapkan akan terwujud kerja sama yang harmonis, melalui gotong-
royong dalam menghadapi berbagai masalah, seperti apa yang dikatakan Fathoni
(2005) Manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh
komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya.
Di dalam sistem makrosmos tersebut ia merasakan dirinya hanya sebagai
suatu unsur kecil saja, yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang
mahabesar ini. Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya, manusia
pada hakikatnya bergantung pada sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama
rasa. Oleh karena itu, ia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara
hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa.
Dalam pandangan hidup seperti itu, manusia akan memiliki arti penting terhadap
kehadiran manusia lainnya. Gotong-royong antara penguasa dengan masyarakat
akan menghasilkan suatu kinerja yang baik dalam mengatasi bencana alam. Tidak
mungkin pemerintah dapat menyelesai-kan semua permasalahan tanpa didukung
oleh masyarakat, begitu juga sebaliknya.
Pada akhirnya, penulis masih menyimpan pertanyaan yang kemungkinan
sulit untuk dijawab, yaitu apakah masih ada budaya gotong-royong di kalangan
masyarakat kita? Apakah kita mampu untuk melaksanakan gotong-royong dengan
sesungguhnya? Apakah dengan budaya gotong-royong masyarakat dapat terhindar
dari bencana alam?10
Bencana alam dan problem lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari
religiusitas masyarakat, karena lingkungan pada hakikatnya adalah tata ruang dari
10Artikel ini diakses pada tanggal 31 Maret 2010 www.fsrd.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/11/4%20Chairil.pdf
53
kehidupan manusia. Agama memiliki peran sebagai ikatan (chain) dan bentuk
kesadaran bersama (collective memory) yang mempengaruhi tingkah laku manusia
dalam beradaptasi dan menjaga lingkunganny. Ketergantungan manusia terhadap
alam mengakinatkan manusia tidak dapat melepaskan dirinya sebagai dari
ekosistem, dan secara sengaja maupun tidak aktivitas manusia biasa mengubah
lingkungan alam.
Aktivitas manusia dalam mengubah lingkungan itu sendiri terkait dengan
usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat survive.
Studi-studi geografis dan ekologi telah menunjukan secara detil bagaimana
mekanisme dari proses pengubahan lingkungan itu secara langsung maupun tidak
diakibatkan oleh pengaruh dari aktivitas manusia dalam memenuhi
kebutuhannya.11
Banjir, kekeringan, luapan sungai, tanah longsor, hujan di luar musim,
lumpur panas, angin puting beliung, gunung meletus badai, gempa bumi dan
sunami adalah sederetan panjang bencan alam yang secara berturut-turut
menimpa. Bencan demi bencana nyaris tak henti-hentinya. Belum tuntas
penderitaan yang saru, datang peristiwa tragis lainnya. Belum kering air mata
penderitaan rakyat di daerah tertentu meyusul isak tangis berkepanjangan dari
daerah lain.
Namun benarkah semua bencana itu merupakan hukuman dari Tuhan
Khalik Semesta Alam? Benarkah penyebabnya hanya faktor alam semata? Kita
semua tidak bisa menjawabnya secara pasti. Sampai hari ini perkembangan ilmu
11 PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia, hal 1-2
54
pengetahuan dan tekhnologi mamang belum mampu secara tepat memperkirakan
kapan akan terjadi gempa bumi atau sunami; namun kalau kita mau jujur dan tulus
menilik ke dalam diri, bencana-bencana alam lainnya seperti Banjir, kekeringan,
luapan sungai, tanah longsor, hujan di luar musim, lumpur panas, angin puting
beliung, gunung meletus badai, gempa bumi dan sunami, langsung atau tidak
langsung merupakan akibat dari prilaku manusia yang ceroboh, serakah, tidak
bertanggungjawab dan hanya berfikir jangka pendek belaka. Alam yang begitu
banyak menopang kehidupan manusia, telah dieksplitasi habis-habisan seakan
tidak akan disisakan sdikkitpun untuk esok hari. 12
Alam membutuhkan keseimbangan dalam proses perkembangannya.
Dengan bertambahnya pengetahuan manusia dapat mencegah atau mengurangi
bencana yang disebabkan oleh faktor alam, misalkan untuk mencegah gunung
berapi meletus orang dapat melakukan proses ”penyuntikan”, untuk mencegah
longsor orang melakukan reboisasi, dan sebagai berikutnya.13
Ajaran Buddha berakar pada hukum kausalitas (sebab akibat yang saling
bergantungan) yang ditemukan oleh Sang Budha. Budhisme percaya bahwa
proses-proses alam secara langsung dipengaruhi oleh kausalitas moral manusia,
budhisme memandang manusia hanya merupakan bagian dari alam bukan
merupakan central dari alam (antropocentric) sehingga untuh terciptanga
keharmonisan, manusia tidak boleh memandang bahwa alam dan seisinya ada
hanya demi untuk kepentingan manusia.
12 PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia, hal. 13-15 13 Ibid
55
Budhisme percaya penggunaan sumber daya alam membabi-buta, tidak
bijaksana dan hanya demi keuntungan jangka pendek merupakan salah satu faktor
yang dominan yang menyebabkan terjadinya bencana alam dewasa ini. Karena
didorong keserakahan (loba) manusia berlomba untuk memenuhi setiap keinginan,
budaya ”instant” dipandang sebagai suatu kewajaran sehingga tidak perduli lagi
dengan nilai-nilai luhur moral (sila) dalam proses pencapaian keinginan, karena
orientasi sebagian besar manusia saat ini adalah hasil akhir. Sudah banyak contoh
yang dapat kita saksikan bagaimana akibat dari keserakahan manusia yang justru
menghancurkan manusia itu sendiri, dengan dalil ”ekonomi” hutan, tanah dan
sumberdaya lainnya diexploitasi berlebihan, sebagai akibatnya sumber air
mengering, temperatur udara meningkatmusim tidak teratur, ini semua akan
menjadi potensi bencana alam yang lebih besar di masa yang akan datang. Sejarah
membuktikan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk rehabilitasi alam yang rusak
akibat yang ditimbulkan dari keserakahan jauh lebih besar dari keserakahan jauh
lebih besar dari pada keuntungan ekonomis yang dihasilkan.
Budhisme berpandangan bahwa bencana alam bukanlah peringatan atau
hukuman yang diberikan makhluk adikuasa, tetapi bencana alam merupakan bukti
bahwa alam membutuhkan keseimbangan agar tercipta keharmonisan. Hukum
kausalitas selalu berlaku dalam setiap bencana yang timbul.14
14 Wawancara pribadi dengan Bhikku Adhiratano, 2 Mei 2010
56
C. Pencegahan Bencana Alam
Kita harus memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi karena ada sebab-
sebab yang mendahuluinya. Demikian juga lingkungan dan alam yang kita huni
ini akan menjadi sahabat yang menyenangkan, tempat tinggal yang
menggembirakan, menyejukan bahkan membuat hati damai dan tentram karena
kita sebagai penghuninya mampu bersahabat dengan alam. Semakin kitak mau
bersahabat dengan alam, maka alam akan membalasnya dengan cara kerja alam
itu sendiri. Seringkali kejadian alam ini mendatangkan kerugian, kesusahan,
kerusakan, kesengsaraan bagi manusia. Di samping itu, kerusakan alam dan
bencana secara otomatis mengubah struktur lingkungan, termasuk menimbulkan
gas-gas sumber pencemaran dan unsur pembentukan bumi.
Hukum dhamma (kebenaran) merupakan hukuman yang menguasai dan
mengatur alam semesta, tidak diciptakan, dan kekal sepanjang masa. Salah satu
khotbah, Dhammaniyama Sutta, Sang Budha mengatakan bahwa apakah
Tathagata muncul di dunia pun atau tidak, Hukum Dhamma tetap ada dam
merupakan hukum yang kekal. Hukum itu merupakan pengatur semua yang
terbentuk. Keterangan yang terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka menjelaskan
bahwa Hukum Dhamma, meliputi lima hal, seperti yang sudah di jelaskan pada
bab 2. Yaitu Utu niyama, Biji Niyama, Kamma Niyama, Citta Niyama, Dhamma
Niyama.15
Hukum Dhamma ini berfungsi mengatur dan menguasai peristiwa
pembentukan, kelangsungan, dan kehancuran segala sesuatu yang terjadi di alam
15 PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia. Hal 99-101
57
semesta.Hukum ini diajarkan oleh Sang Budha untuk menjelaskan keberadaan
manusia dan lingkungannya. Semakin lama semakin banyak orang yang
menyadari menyusutnya sumber daya alam, maka ada motivasi tambahan pada
pengharapan bahwa pemahaman dan cinta terhadap alam akan menghasilkan
sebuah pendapat umum. Pendapat yang akan menyelamatkan dan melestarikan
sumber daya kita, sehingga generasi mendatang dapat memiliki banyak hal untuk
dipelajari dan nikmati di lingkungan alam ini.16
Ada dua macam bencana, diantaranya bencana yang dapat dicegah, dan
bencana yang tidak dapat dicegah. Tsunami, gunung berapi, merupakan bencana
yamh tidak dapat dicegah karena proses alam yang selalu berjalan. Karena alam
memiliki aturan sendiri. Manusia tidak dapat mencegahnya.
Pada bencana yang terjadi, tidak ada kaitannya kaitannya dengan manusia,
mroal manusia. Dalam pencegahan bencana yang terjadi di awali dengan
pembenahan diri manusia yang kurang baik.17
Manusia dalam memanfaatkan alam ini haruslah menggunakan akal bukan
nafsunya, karena hal ini akanberpengaruh terhadap proses dan cara
mengekploitasi alam. Bila memanfaatkan sumber alam ini sebatas nafsu tanpa
menggunakan akal, maka yang terjadi adalah kehancuran, karena di sini
pemanfaatan tidak akan lebih arif, sehingga manusia akan memikirkan juga
bagaimana melestarikan dan menjaga kelangsungan hidup alam ini.18
16PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia. Hal. 102 17 Wawancara pribadi dengan Bhikku Sudassano, Bhikku, 1 Mei 2010 18 PENAGGULANGAN BENCANA ALAM Dalam Perspektif Agama Di Indonesia, h. 31
58
D. Solusi Untuk Mengatasi Bencana Alam
Selama ini kebanyakan orang melihat musibah yang saat ini melanda
bangsa Indonesia hanya berdasarkan aspek materi saja. Seakan-akan semua
permasalahan bangsa ini seperti bencana alam, sosial, dan moral bisa selesai
dengan kekuatan materi. ketika Gempa & Tsunami menghantam bumi tanah
rencong Aceh, Begitu besar bantuan yang masuk ke indonesia baik itu melalui
pemerintah maupun langsung kepada korban. kemudian setelah itu beruntun
musibah terus berdatangan. dan kita sibuk mencari bantuan materi dari bangsa
lain.
Begitu banyak biaya dikeluarkan hanya untuk mengatasi permasalahan
tersebut dari sudut pandang materialistik. Alangkah baiknya dana yang besar tsb
sebagiannya juga digunakan untuk membiayai kegiatan para penyeru kebenaran
untuk mengajak seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk kembali dekat
kepada Sang Pencipta, Pemilik dan Pemelihara Alam jagat raya ini.19 Sebagai
makhluk hidup yang menghuni bumi ini, kita tidak asing lagi dengan peristiwa
terjadinya gempa bumi.
Gempa bumi sebagai peristiwa alam merupakan kejadian yang sering
terjadi dan wajar. Kadang-kadang kita merasakan getaran gempa bumi yang
lemah, kadang-kadang kuat. Bila gempa bumi menimbulkan getaran yang kuat
sudah barang tentu akan memporak porandakan segalanya yang ada di bumi ini.
Seperti yang terjadi tahun ini.
19 WWW.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1685
59
Dalam mengatasi bencana yang sering terjadi, manusia haruslah
membenahi sifat kebencianya, keserakahan, harus mengikuti aturan-aturan
bagaimana menjaga lingkungan, harus belajar mengenal tentang alam.20
Hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak dapat diatu oleh
keempat niyama tersebut. Hukum tertib terjadinya persamaan dari suatu gejala
yang khas, misalnya: terjadinya keajaiban alam pada waktu seorang bodhisatta
hendak mengakhiri hidupnya sebagai sebagai seorang calon Buddha, pada sat ia
akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum berat gaya gravitasi dan hukum alam
sejenis laiinya, sebab-sebab daripada keselarasan dan sebagainnya, termasuk
hukum ini.
Menurut ajaran Buddha, yang mengatur semua fenomena di seluruh alam
semesta ini ada lima hukum, yaitu:
1. Utu Niyāma : Hukum fisika, mencakup semua fenomena anorganik.
2. Bija Niyāma : Hukum biologis, mencakup semua fenomena organik.
3. Kamma Niyāma : Hukum sebab-akibat, ciri semua fenomena tindakan
yang dilakukan yaitu perbuatan yang baik akan berakibat baik dan
perbuatan yang buruk akan mendatangkan akibat yang buruk
4. Citta Niyāma : Hukum psikologis, mencakup semua proses kerja pikiran.
5. Dhamma Niyāma : Hukum kebenaran, ciri semua fenomena yang terjadi
yaitu bahwa semua fenomena saling keterkaitan dan termasuk semua
proses yang bukan merupakan cakupan empat hukum di atas, seperti
kebenaran konsep matematika dalam menggambarkan realitas.
20 Wawancara pribadi dengan Bhikku Sudassano, 1 Mei 2010
60
Lima hukum di atas yang mengatur semua fenomena yang terjadi di alam semesta
ini, termasuk bencana alam. Ajaran Buddha menjelaskan bahwa bencana alam
disebabkan oleh hukum fisika (dalam hal ini geologi), dan bisa juga karena
kesalahan manusia. Inti ajaran Buddha adalah bahwa semua fenomena yang
terjadi adalah saling terkait.
Hukum fisika mengatur kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena
manusia banyak menebang pohon sembarang, membuang sampah sembarang
sehingga berakibat banjir. Contoh lainnya adalah musim yang kacau yang
disebabkan oleh pemanasan global yang juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam
adalah selalu seimbang, sehingga ketika alam tidak seimbang lagi (rusak)—
disebabkab manusia, maka terjadilah fenomena alam yang tidak biasa sehingga
mungkin menjadi bencana bagi manusia.
Lainnya halnya dengan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bencana
alam geologis lainnya. Hingga saat ini belum terlihat dengan jelas apakah ada
kaitan—langsung atau tidak langsung— antara bencana alam geologis dan
tindakan manusia. Gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam
geologis lainnya lebih banyak disebabkan oleh hukum fisika (geologi). Namun,
musim kemarau berkepanjangan, cuaca yang tidak menentu, banjir, longsor,
kebakaran hutan yang terjadi sampai saat ini sebagian besar adalah ulah manusia
secara langsung maupun tidak langsung.
Ajaran Buddha mengajarkan kepada manusia terutama untuk berkaca
melihat diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain. Satu tindakan kecil—
61
membuang sampah sembarangan—yang dilakukan oleh seorang individu bisa saja
menyebabkan bencana besar bagi manusia lainnya.21
21 http://filsafat.kompasiana.com/2010/01/24/tanggapan-ajaran-budha-terhadap-bencana-alam/
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bencana menurut Buddhist adalah akibat dari
proses alam yang tidak kekal ( Gempa ) dan dari Gempa tersebut menimbulkan
gelombang Tsunami yang besar dan menelan korban Ratusan ribu jiwa mahkluk.
Sedangkan menurut hukum fisika mengatur kerja alam yaitu siklus hujan, namun
karena manusia banyak menebang pohon sembarang, membuang sampah
sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh lainnya adalah musim yang kacau
yang disebabkan oleh pemanasan global yang juga diakibatkan oleh manusia. Ciri
alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika alam tidak seimbang lagi (rusak)—
disebabkab manusia, maka terjadilah fenomena alam yang tidak biasa sehingga
mungkin menjadi bencana bagi manusia.
Subyek bencana itu antara lain tindakan manusia membabat hutan secara
serampangan bahkan menggundulinya tanpa mau menanami kembali. Akibatnya,
lingkungan hidup rusak, sehingga ketika hujan datang, banjir dan tanah longsor
juga menghampiri manusia. Semua inibersumber dari ketidaktahuan manusia
dalam mengelola diri, sehingga ketamakan dengan mengambil kekayaan alam
tanpa mau memelihara alam berlangsung terus. Jika manusia dikuasai ketamakan,
mereka bukan hanya jadi obyek bencana, tapi justru menjadi subyek bencana. Ini
berbahaya buat bumi, karena manusia yang tinggal di bumi ini semestinya
62
63
menjaga bumi. Semoga manusia sadar bahaya bencana yang datang dari manusia
itu sendiri,”
64
B. Saran-saran
Dari pembahasan dan penjelasan diatas, maka penulis ingin memberikan
beberapa saran sebagai alternatif pemikiran yang dapat dijadikan masukan yang
nantinya akan sangat berguna, dengan harapan agar lebih dapat meningkatkan
kualitas dari kinerja instansi yang terkait secara optimal dalam hal menjaga alam
semesta dari bencana alam dalam pandangan Bhikku agama Buddha.
Adapun saran penulis yang sekiranya dapat berguna terutama bagi instansi
yang terkait maupun pengguna aplikasi tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Interaksi Bhikku dengan jemaah harus berinterkasi sosial di sertai dengan
sifat komunal agar tercipta keharmonisan di dalam vihara
2. Bagi pihak vihara ada baiknya jika ada perwakilan diserahkan pada
samaneraatau para Bhikku yang baru tinggal di vihara Dhammacakka
Jakarta, sehingga mereka dapat mengenal tempat tinggal mereka serta
masyarakat sekitar meraka juga dapat mengenal mereka.
3. Bagi para Bhikku dan jamaah di lingkungan vihara Dhammacakka Jakarta
agar selalu menjaga kebersihan lingkungan vihara, sehingga dapat
mejadikan contoh bagi masyarakat sekitar agar terhindar dari bencana banjir.
Demikianlah saran-saran yang penulis berikan, semoga dengan
memperhatikan saran-saran tersebut, maka skripsi yang disusun ini akan menjadi
lebih sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan sesuai dengan yang di
harapkan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti., Agama-Agama Di Dunia, Yogyakarta: Iain Sunan Kalijaga Press, 1988.
Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, Jakarta: Yayasan
Dhammapida Arama, 1994. Kaharuddin, Pandit Jinaratana, Rampaian Dhamma, Jakarta : DPP Pervitubi, tt. W.F. Jayasuriya, the psychology and philosophy of budhisme, Kuala Lumpur:
Buddhist Missionary Socciety, tt. Suwarto, Drs. T, Buddha Dharma Mahayana, tt: Majlis Agama Buddha
Mahayana Indonesia, 1995. Wowor, Carnelis MA, Pandanga Sosial Agama Buddha, tt: CV. NITRA
KENCANA BUANA, tt. Kaharuddin, Pandit J, Hidup dan kehidupan, Jakarta: Graha Metta Sejahtera,
2002. Mukti, Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma, Jakarta: Yayasan Buddha
Dharma, 2003. Vajirananavarorasa, Prince., Dhama Vibhaga, Jakarta: Aryasuryacandra, 1993. YAYASAN RADHA SOAMI SATSANG BEAS INDONESIA, Ceramah Rohani,
cet-1. tt. Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-
archive.com/...com/msg05607.html3sudhammacaro.blogspot.com/.../tuhan-allah-yang- mengatur-gempa-bumi.html
Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009 http://mail-
archive.com/...com/msg05607.html Artikel diakses pada tanggal 1 Desember 2009
http://www.beliefnet.com/sdtory/158/story-15871-1.html). Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2010
http://indonesia.com/definisionline/?tag=pengertia-analisis Dhammavisarada, Pandita., Sila Dan Vinaya, Jakarta: Buddhis BODHI, 1997.
66
Jayasuriya., W.F., The Psychology and Philosophy of budhism, Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society, 1976.
Sudassano, Bhikku Dhammacakka Jaya, Wawancara Pribadi, 1 Mei 2010. Departemen Komunikasi dan Informatika Badan Informasi Publik Pusat.
Informasi Kesejahteraan Rakyat., Penanggulangan Bencana Alam Dalam Perspektif Agama Di Indonesia Jakarta; Depkominfo, 2007.
Adhiratano, Bhikku Dhammacakka Jaya, Wawancara Pribadi, 10 Desember 2010. Kodoatie, J Robert, Pengelola Bencana Terpadu Banjir, Longsor, Kekeringan
Dan Tsunami, Jakarta: yasrif watamone, 2006 Bencana gempa dan tsunami, Jakarta: kompas, 2005. www.dhammacakka.org/index?.php?option=com_conten..id Suramin, Pegawai Vihara, wawancara pribadi, 1 Mei 2010. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet Ke-3,
1988.
67
Lampiran
Wawancara (interview) di Vihara Dhammacakka
T : Apa tatacara memasuki Vihara ?
J : Etika masuk vihara adalah 1) pakaian harus rapih dan sopan santun, 2)
memasang dupa, 3) sampai di pintu vihara penghormatan kepada Buddha
dharma dan Sangha.
T : Fasilitas apa saja yang terdapat di Vihara Dhammacakka ?
J : Lapangan parkir, balai pengobatan, bursa buku, sekretariat, beduk, mading,
bendera budhis, pohon budhis, reflika candi rawon, ruang serbaguna.
T : Apa pendapat Banthe dalam mengatasi pencegahan bencana alam ?
J : Ada dua macam bencana, diantaranya bencana yang dapat dicegah dan bencana
yang tidak dapat dicegah. Tsunami, gunung merapi merupakan bencana yang
tidak dapat dicegah karena proses alam yang selalu berjalan.
Karena alam memiliki aturan sendiri. Manusia tidak dapat mencegahnya, pada
bencana yang terjadi tidak ada kaitannya dengan manusia dalam pencegahan
bencana yang terjadi diawali dengan pembenahan diri manusia yang kurang
baik.
T : Apa solusi untuk mengatasi bencana alam menurut banthe ?
J : dalam mengatasi bencana alam yang terjadi manusia haruslah membaenahi
sifat kebencian, keserakahan, harus mengikuti atuaran-aturan bagaimana
menjaga lingkungan, harus belajar menganl tentang alam.
68
Selama ini banyak terjadi bencana alam, khususnya di Indoanesia. Bencana banjir,
tanah longsor, tsunami, kekeringan, gempa bumi, gunung merapi, dan angin
topan.
T : Menurut Banthe adakah bencana-bencana lain, selain bencana yang disebutkan
diatas ?
J : Ada bencana yang jauh lebih besar daripada bencana alam. Yaitu rendahnya
kemoralan yang dimiliki seseorang itula sesungguhnya. Bencana yang lebih
besar yang akan mengakibatkan hancurnya kehidupan. Karena begitu
pentingnya nilai kemoralan, maka sang Buddha menekankan kepada umat
budha untuk menjalankan lima sila: yaitu tidak membunuh, tidak mencuri,
tidak asusila, tidak berbohong dan tidak makan serta minum hal yang
melemahkan kesadaran.
T : Apa pendapat Banthe terhadap faktor terjadinya bencana alam ?
J : Ajaran pada hukum kausalitas (sebab-akibat yang saling bergantungan) yang
ditemukan oleh sang Buddha. Buddhisme percaya bahwa proses-proses alam
secara langsung dipengaruhi oleh kualitas moral manusia, budhisme
memandang manusia hanya merupakan bagian dari alam bukan merupakan
sentral dari alam sehingga untuk terciptanya keharmonisan manusia tidak
boleh memandang bahwa alam dan seisinya ada hanya demi untuk
kepentingan manusia.
Budhisme percaya penggunaan sumberdaya alam secara membabi buta tidak
bijaksana dan hanya demi keuntungan jangk apendek merupakan salah satu
faktor yang dominan yang menyebabkan terjadinya bencana alam dewasa ini.
69
Karna didorong keserakahan (loba) manusia berlomba untuk memenuhi setiap
keinginan, budaya ”instans” dipandang sebagai suatu kewajaran sehingga
tidak peduli lagi dengan nilai-nilai luhur moral (sila) dalam proses pencapaian
keinginan, karna orientasi bagian besar manusia saat ini adalah hasil akhir.
Sudah banyak contoh yang dapat kita saksikan bagaimana akibat dari
keserakahan manusia yang justru menghancurkan manusia itu sendiri, dengan
dalil ”ekonomi” hutan, tanah dengan sumber daya lainnya di eksploitasi
berlebihan.
Budhisme berpandangan bahwa bencana alam bukankah peringatan atau
hukuman ynag diberikan mahluk adikuasa, tetapi bencana alam merupakan
bukti bahwa alam membutuhkan keseimbangan agar tercipta keharmonisan.
Hukum kausalitas selalu berlaku dala setiap bencana yang timbul.