Download - bioind- bioinsektisida
Laporan Praktikum Hari/tanggal: Kamis/25 April 2013
Teknologi Bioindustri Gol./kel. : P1/5
Dosen : Dr. Prayoga Suryadarma, S.TP, MT
Asisten : 1. Zakki Mubarok (F34090025)
2. Rahmi Mardiati (F34090072)
PRODUKSI BIOINSEKTISIDA DENGAN KULTIVASI PADAT DAN CAIR
Oleh:
Krisna Cahyo Prastyo (F34100008)
Maskur Rozaqi (F34100010)
Taufiq Pratama Purba (F34100013)
Sutresno (F34100022)
Dhita Anggraini Annisa (F34100025)
Ratna Rucitra (F34100031)
Nita Purwanti (F34100036)
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa sekarang, para petani tidak begitu gelisah dengan hama serangga yang menyerang
tanaman pertanian mereka. Hal itu disebabkan telah banyak produk hasil teknologi yang banyak
beredar untuk membasmi hama serangga yang sering disebut pestisida. Pestisida biologi saat ini
banayak dipakai adalah jenis insektisisda biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis
fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur)
Insektisida biologi dapat dibuat dari beberapa macam tumbuhan, hewan, bahkan
mikroorganisme. Insektisida yang dibuat dari mikroorganisme umumnya termasuk dalam insektisida
hayati karena mikroorganisme tersebut tdak diubah dalam tubuh mikroorganisme tersebut terdapat
substansi atau bahan aktif yang dapat membunuh hama atau serangga sejenisnya apabila bahan aktif
tersebut masuk ke dalam tubuh hama atau serangga.
Insektisida mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertanian dan perindustrian,
khususnya untuk melindungi hasil pertanian. Meskipun demikian, penggunaan insektisida yang tidak
terbatas selama beberapa dekade telah mengakibatkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan
spesies non-target. Selain itu, insektisida kimia dengan dosis dan frekuensi yang tinggi menjadikan
serangga vektor penyakit menjadi resisten terhadap insektisida kimia yang menyebabkan serangga
target tetap hidup dan merusak hasil-hasil pertanian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka
bioinsektisida merupakan salah satu alternatifnya.
Mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai bionsektisida yaitu bakteri dan virus. Virus
merupakan mikroorganisme yang memberi harapan sebagai pemberantas hama atau pengendali hama.
Virus hanya bekerja terhadap satu atau beberapa spesies dan tidak merusak organism lain dalam
lingkungannya. Namun kendala dari pengembangan virus adalah harus dikembangkan pada inang
yang hidup, yang berarti harus memelihara spesies tersebut.
Dari kendala pengembangan virus tersebut menimbulkan banyak insktisida kimia yang
diproduksi dan telah beredar di masyarakat. Namun penggunaan insektisida kimia secara terus
menerus untuk membasmi hama serangga dapat menyebabkan hama serangga tersebut menjadi kebal
(resisten), Tetapi dengan insektisida bakteri yang dibuat secara bioteknologi maka problem resisten ini
dapat diatasi. Selain itu, insektisida bakteri ini tidak berbahaya terhadapa lingkungan. Salah satu jenis
bakteri yang digunakan untuk membuat insektisida adalah Bacillus thuringiensis aizawai
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui proses produksi bioinsektisida dengan
menggunakan bakteri Bacillus thuringensis aizawai. Proses produksi bioinsektisida tersebut meliputi
kultivasi padat dan kultivasi cair. Pada praktikum ini juga dilakukan pengujian terhadap beberapa
parameter, diantaranya uji pH, OD (Optical density), biomassa, dan VSC (Viable Spore Count).
II. METODOLOGI
A. Alat dan Bahan
Pada praktikum kali ini alat yang digunakan adalah autoklaf, inkubator goyang, labu
erlenmeyer, pH meter, spektrofotometer, petri dish, oven. Sementara bahan yang digunakan adalah
Nutrien broth, Bacillus thuringiensis aizawai, urea, MgSO4.7H2O, FeSO4.7H2O, ZnsO4.7H2O,
MnSO4.7H2O, CaCO3.
B. Metode
Bacillus thuringiensis disiapkan dalam Nutrien agar
Tahap Propagasi
- Nutrien broth disiapkan sebanyak 50 ml. disterilkan pada otoklaf
1210C selama 15 menit
Setelah dingin, satu lup Bacillus thuringiensis aizawai di inokulasikan
secara aseptis
Tahap Fermentasi
Media fermentasi disiapkan sesuai dengan formula diatas sebanyak 5
erlenmeyer masing – masing 50 ml ( glukosa dengan urea dipisahkan )
Masing – masing diatur pH menjadi 7,00+0,1
Disterilkan pada otoklaf 1210C, selama 15 menit dan didinginkan
Dicampurkan antara glukosa dan urea/mineral secara aseptis
Sebanyak 50 ml diambil dan disimpan di kulkas untuk blanko saat
mengukur OD660 nm sebelum inokulasi
Viable Spore Count ( VSC ) untuk sampel jam ke 24, 48, dan 72
Diambil sampel 1 ml
Direnjat panas 700C selama 15 menit
Dilakukan pengenceran berseri
Diinokulasikan 0,1 ml ke dalam media Nutrien agar steril dalam petri dish
Diinkubasi selama 24 jam hingga 48 jam, diamati dan di hitung jumlah
koloni yang terbentuk ( yang memenuhi syarat tidak TBUD )
Produksi Bioinsektisida dengan Teknik Kultivasi Substrat Padat
Onggok + Limbah cair tahu ( 1:2 ) + kapur bubuk hingga pH 6 - 8
Media diratakan dalam Erlenmeyer dan ditutup rapat dengan alumunium
foil
Diotoklaf 15 menit, 1200C dan didinginkan
Diinokulasikan dengan 10% media propagasi secara merata
Diinkubasi pada suhu ruang ( 28 – 320 C )
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
[Terlampir]
B. Pembahasan
Bioinsektisida adalah jenis pestisida yang bahan aktifnya merupakan mikroorganisme seperti
bakteri Bacillus thuringiensis, cendawan Beaveria sp, Metarrhizium sp, dan virus Spodotera litura
nuclea polyhidrosis. Bioinsektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa toksik yang
berfungsi untuk membunuh atau menghambat perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan
oleh tumbuhan maupun yang menggunakan organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Sifat
insektisida ini aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan. Sampai saat ini telah
banyak penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan, salah satunya
bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karena
memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada
serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak
dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida microbial (Behle et al, 1999).
Mikroba yang digunakan dalam pembuatan bioinsektisida adalah Bacillus thuringiensis (B.t)
yaitu bakteri bersel vegetatif berbentuk batang, gram positif, bersifat aerob tapi umumnya anaerob
fakultatif, mempunyai flagela dan membentuk spora. Koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat
dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 milimeter, berwarna putih, elevasi timbul dan
permukaan koloni kasa. Banyak strain dari bakteri ini yang menghasilkan protein yang beracun bagi
serangga. Spora yang dibentuk oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval, berwarna hijau kebiruan
dan berukuran 1.0-1.3 mikrometer dan Bacillus thuringiensis membentuk kristal protein (δ-
endotoksin) bersamaan dengan terbentuknya spora. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal
berbentuk oval dan selama sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya (Gill et al,
1992).
Berbagai isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis kristal protein yang
dikandungnya telah teridentifikasi setelah diketahui besarnya potensi dari protein kristal Bacillus
thuringiensis sebagai agen pengendali serangga. Sampai saat ini telah diidentifikasi kristal protein
yang beracun terhadap larva dari berbagai ordo serangga yang menjadi hama pada tanaman pangan
dan hortikultura. Kebanyakan dari kristal protein tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai
target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah terurai sehingga
tidak menumpuk dan mencemari lingkungan.
Bacillus thuringiensis aizawai termasuk salah satu bakteri yang telah banyak digunakan
untuk memproduksi bioinsektisida. Bacillus thuringiensis aizawai sangat efektif mengendalikan larva
ordo Lepidoptera dan Diptera, terutama ulat daun kubis dan hama-hama sayuran lainnya (Lereclus et
al, 1993). Salah satu hama ordo Lepidoptera yang banyak menyebabkan kerusakan pada pertanian
adalah Croccidolomia pavonana, yang merupakan hama utama pada tanaman kubis yang juga
menyerang tanaman Brassicaceae lainnya. Serangan C. pavonana dapat menyebabkan kehilangan
hasil kubis sebesar 65%. Hama ini sangat merusak karena larva memakan daun baru di bagian tengah
tanaman kubis. Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke
daun yang lebih tua. Kebanyakan tanaman yang terserang akan hancur seluruhnya jika ulat krop kubis
tidak dikendalikan (Kementrian Pertanian RI, 2010). Bacillus thuringiensis aizawai menghasilkan
protein yang bersifat insektisida yaitu δ-endotoksin atau kristal protein yang akan berikatan dengan
reseptor spesifik dalam sel larva Crocidolomia pavonana, sehingga terjadi lisis sel yang dapat
menyebabkan kematian pada serangga target.
Bioinsektisida digunakan untuk menanggulangi gangguan hama seperti serangga atau
tunggau. Insektisida ini secara spesifik akan menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak
menyerang serangga lainnya. Insektisida ini bekerja dengan cara menginfeksi hama sehingga hama
tidak dapat lagi mampu merusak tanaman. Bioinsektisida dari mikroorganisme ini memilki efektivitas
yang sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia.
Bioinsektisida juga digunakan untuk menggantikan penggunaan insektisida kimia yang telah
banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan. Selain itu, pemakaian insektisida kimia dengan dosis
dan frekuensi yang tinggi dapat menjadikan serangga target menjadi resisten terhadap insektisida
kimia tersebut. Sedangkan keunggulan bioinsektisida menurut Behle et al. (1999), antara lain spesifik
terhadap hama serangga, aman dan ramah lingkungan, serta tidak mengakibatkan residu pada hasil
pertanian dan tanah.
Cara kerja pestisida terhadap hama dapat dibedakan menjadi 4, yaitu:
1. Pestisida kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh sasaran terkena pestisida.
2. Pestisida sistemik, berarti dapat ditranslokasikan ke berbagai bagian tanaman melalui
jaringan. Hama akan mati kalau mengisap cairan tanaman.
3. Pestisida lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan petisida.
4. Pestisida fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas.
Keunggulan bioinsektisida menurut Behle et al (1999) yaitu spesifik terhadap hama serangga,
aman dan ramah lingkungan, dan tidak mengakibatkan residu pada hasil pertanian dan tanah. Proses
infeksi bakteri Bacillus thuringiensis pada hama tanaman dimulai dengan larva ulat memakan
tanaman yang telah mengandung spora dan kristal protein Bacillus thuringiensis. Lalu dalam beberapa
menit kristal protein berikatan dengan reseptor spesifik pada dinding usus dan ulat berhenti makan.
Beberapa menit kemudian dinding usus pecah sehingga spora dan bakteri masuk ke dalam jaringan
tubuh, toksin pun larut dalam darah, maka dalam 1-2 hari ulat akan mati.
Bioinsektisida memiliki kelebihan dan kelemahan dibanding dengan insektisida kimia.
Kelebihan tersebut diantaranya aktifitas dengan spektrum luas, tidak memberikan efek negatif pada
vertebrata termasuk manusia serta tanaman, mudah diproduksi, memiliki respon cepat terhadap
serangga target, sifat relatif stabil selama penyimpanan, dan sejauh ini belum dilaporkan adanya
resistensi. Sementara kelemahan bioinsektisida dibanding dengan insektisida kimia yaitu tidak tahan
terhadap sinar ultraviolet dan spora dan kristal harus termakan agar berefek insektisida.
Cara produksi bioinsektisida terdiri dari media pertumbuhan, kondisi kultivasi, dan
pemanenan. Media merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi
Bacillus thuringiensis. Menurut Dulmage et al. (1990) medium basal untuk pertumbuhan Bacillus
thuringiensis terdiri dari garam, glukosa, dan asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan
alanin dalam konsentrasi yang cukup untuk mendukung pertumbuhan dan sporulasi Bacillus
thuringiensis. Karbon adalah bahan utama untuk mensintesis sel baru atau produk sel. Beberapa
sumber karbon yang dapat digunakan untuk memproduksi bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis
dengan fermentasi terendam adalah glukosa, sirup jagung, dekstrosa, sukrosa, laktosa, gula, minyak
kedelai, dan molase dari bit dan tebu (Dulmage dan Rhodes 1971).
Produksi bioinsektisida dapat dilakukan dengan kultivasi padat maupun cair. Fermentasi
yang umum digunakan untuk memproduksi bahan aktif bioinsektisida dengan menggunakan kultur
Bacillus thuringiensis adalah fermentasi semi padat (semi solid fermentation) dan fermentasi terendam
(submerged fermentation). Pada umumnya fermentasi terendam atau fermentasi cair lebih disukai
karena menjaga kesterilan kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi
atau fermentasi yang lebih sederhana. Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung
digunakan dibandingkan hasil fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada
kecenderungan menggumpal.
Teknik kultivasi secara terendam dapat dilakukan dengan sistem tertutup pada fermentor.
Pada umumnya, jenis fermentor yang digunakan adalah fermentor tangki berpengaduk karena
merupakan jenis fermentor yang paling sederhana. Fermentor ini digunakan untuk substrat yang
mempunyai viskositas tinggi dan berbentuk koloid tanpa mengakibatkan penyumbatan, serta enzim
terimobilisasi dengan aktivitas rendah. Proses fermentasi terendam dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu fermentasi sistem tertutup (batch process), fermentasi kontinyu, dan fermentasi sistem tertutup
dengan penambahan substrat pada selang waktu tertentu atau semi kontinyu (fed batch process).
Bernhard dan Utz (1993) menyatakan bahwa produksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis pada
umumnya dilakukan dengan fermentasi sistem tertutup karena hasil akhir yang diharapkan adalah
spora dan kristal protein yang dibentuk selama proses sporulasi. Menurut Dulmage dan Rhodes
(1971), faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi Bacillus thuringiensis adalah komposisi
medium dan kondisi untuk pertumbuhan mikroba seperti pH, oksigen dan temperatur.
Kualitas dan kuantitas δ-endotoksin yang dihasilkan selama proses fermentasi sangat
dipengaruhi oleh metode produksinya. Menurut Bernhard dan Utz (1993), jumlah δ-endotoksin yang
dihasilkan setiap sel yang sedang bersporulasi akan tergantung pada kepadatan populasi sel dalam
kultur fermentasi tersebut. Sedangkan menurut Luthy et al. (1992), konsentrasi yang ditetapkan untuk
produksi skala besar antara 5 x 109 sampai 1 x 1010 spora per ml.
Kondisi fermentasi Bacillus thuringiensis dalam labu kocok dilakukan pada suhu 28-32oC,
pH awal medium kultur sekitar 6.8-7.2, agitasi 142-340 rpm dan dipanen pada waktu inkubasi 24-48
jam (Vandekar & Dulmage 1982). Sedangkan menurut Sikdar dan Majumdar (1993) menyatakan
bahwa fermentasi Bacillus thuringiensis dalam fermentor dilakukan pada suhu 28-32oC, pH awal
medium 6.8-7.2, volume medium sekitar setengah sampai dua per tiga dari kapasitas volume
fermentor, agitasi 400-700 rpm, aerasi 0.5-0.15 vvm, dan dipanen pada waktu inkubasi 40-72 jam.
Pada saat pemanenan, bahan aktif insektisida Bacillus thuringiensis dipanen dengan
sentrifugasi, filtrasi, presipitasi, spray drying, atau kombinasi dari proses-proses tersebut. Bahan aktif
insektisida tersebut kemudian dapat diformulasikan menjadi produk flowable liquid, wettable powder,
dust, atau granular tergantung pada tipe fermentasi, segi ekonomi dari proses, dan kebutuhan
formulasi tertentu (Quinlan dan Lisansky, 1985).
Bacillus thuringiensis (B.t) adalah jenis spesies bakteri yang dapat membunuh serangga
tertentu. Sedikitnya terdapat 34 subspesies dari Bacillus thuringiensis yang disebut serotype atau
varietas dan lebih dari 800 keturunan atau benih Bacillus thuringiensis telah diisolasi. Beberapa
subspesies dari bakteri Bacillus thuringiensis yaitu kurstaki, aizawai, sotto entomocidus, berliner, san
diego, tenebroid, morrisoni dan israelensis. Dalam satu subspesies Bacillus thuringiensis dijumpai
beberapa jenis strain,seperti HD-1, HD-5 dan sebagainya (Bahagiawati, 2002).
Bakeri Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari
penyakit pada jentik ulat sutera. Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus
thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati. Namun pada saat itu, bakteri tersebut belum dikenal
sebagai Bacillus thuringiensis. Baru pada tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama
dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian (Mediterraneanflour moth),
Anagasta kuehniella yang mati (Swadener, 1994). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus
thuringiensis.
Bioinsektisida Bacillus thuringiensis merupakan 90-95 % dari bioinsektisida yang
dikomersialkan untuk dipakai oleh petani di berbagai negara. Kristal protein yang dihasilkan Bacillus
thuringiensis bersifat selektif (hanya toksik terhadap serangga sasaran), aman terhadap organisme
bukan sasaran dan manusia, serta tidak menimbulkan residu yang dapat mencemari lingkungan.
Bioinsektisida berbahan aktif kristal protein diproduksi dengan cara kultivasi bakteri dalam media dan
kondisi pertumbuhan yang optimum. Kondisi kultivasi media berpengaruh terhadap toksisitas
bioinsektisida yang dihasilkan. Formulasi media fermentasi yaitu rasio C/N berpengaruh terhadap
produksi bioinsektisida, densitas optik dan pembentukan spora dari Bacillus thuringiensis
(Rahayuningsih, 2003).
Menurut Gumbira (1987), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel
dan pembentukan produk adalah suhu dan pH awal medium. Spora dan kristal protein dihasilkan pada
saat akhir dari fase logaritmik. Kondisi kultur dalam medium fermentasi berpengaruh terhadap
pembentukan spora dan kristal protein. Menurut Morris et al., (1996), derajat keasaman (pH)
berpengaruh terhadap produksi spora dan kristal protein. Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan sel,
tetapi tidak ada hubungan secara langsung antara pertumbuhan sel dengan produksi kristal protein.
Struktur dan susunan asam-asam amino di dalam toksin berpengaruh terhadap toksisitas
bioinsektisida. Pembentukan produk oleh mikroorganisme tergantung pada suhu yang sama dengan
pertumbuhan, tetapi suhu yang optimum untuk pertumbuhan dan pembentukan produk tidak harus
sama. Untuk menentukan suhu yang optimum diperlukan hubungan antara suhu dengan produk yang
dihasilkan.
Hampir semua mikroorganisme memiliki kisaran suhu untuk tumbuh dan berkembang. Suhu
yang optimal untuk produksi sel atau produk sel dapat ditentukan secara empiris. Biasanya suhu yang
optimal berada sedikit dibawah suhu maksimal untuk pertumbuhannya dan suhu yang paling baik
untuk pembentukan produk sering tidak sama untuk pertumbuhan maksimalnya (Dulmage dan
Rhodes, 1971). Bacillus thuringiensis dapat tumbuh dengan medium buatan dengan suhu
pertumbuhan berkisar antara 15 - 40C. Menurut Gumbira (1987), terdapat tiga jenis kurva suhu
pertumbuhan mikoorganisme, yaitu psikrofilik, mesofilik dan termofilik. Mikroorganisme yang
kecepatan pertumbuhannya dibawah 20C disebut psikrofilik, yang diantara 30-35C disebut mesofilik
dan diatas 50C disebut termofilik. Pola pertumbuhan ketiga kurva tersebut hampir sama, jika suhu
dinaikkan ke arah suhu pertumbuhan optimal maka kecepatan tumbuh rata-rata akan meningkat dua
kalinya pada kisaran suhu 10C. Di atas suhu pertumbuhan optimum maka kecepatan tumbuh akan
menurun secara cepat berlawanan dengan naiknya suhu.
Bacillus thuringiensis dapat tumbuh pada medium yang memiliki pH pada kisaran 5.5 - 8.5
dan tumbuh optimum pada pH 6.5 - 7.5 (Benhard dan Utz, 1993). Selama fermentasi pH dapat
berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat (menurunkan pH) dan protein
(menaikkan pH). Nilai pH dapat dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula
dan nitrogen (Quinlan dan Lisansky, 1985). Mikroorganisme membutuhkan sumber air, sumber
karbon, nitrogen, unsur mineral, dan faktor pertumbuhan dalam medium pertumbuhannya
(Vandekardan Dulmage, 1982). Beberapa sumber karbon dapat digunakan untuk fermentasi Bacillus
thuringiensis secara terendam antara lain glukosa, sirup jagung, tepung jagung, dekstrosa, sukrosa,
laktosa, pati, minyak kedelai, dan molase dari bit atau tebu. Sumber nitrogen yang dapat digunakan
adalah tepung kedelai, tepung biji kapas (proflo), corn steep, gluten jagung, ekstrak khamir, pepton,
kedelai, tepung ikan, tripton dan kasein.
Unsur mineral merupakan garam-garam anorganik yang penting untuk pertumbuhan
mikroorganisme, meliputi K, Mg, P dan S, sedangkan yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu Ca,
Zn, Fe, Co, Cu, Mo, dan Mn. Unsur-unsur mineral tersebut dibutuhkan mikroorganisme untuk
pertumbuhan, misalnyaMn dibutuhkan untuk sporulasi dan Ca untuk menjaga kestabilan panas dalam
spora (Dulmage dan Rhodes, 1971).
Bacillus thuringiensis adalah racun perut bagi serangga hama dan merupakan bakteri yang
menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (insektisida) sewaktu mengalami
proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering
disebut dengan δ-endotoksin. Kristal protein yang ada pada Bacillus thuringiensis ini sebenarnya
merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi poli-peptida yang
lebih pendek serta mempunyai sifat insektisidal. Kristal protein yang dimakan oleh serangga akan
dipecah oleh enzim protease di bagian tengah dalam saluran pencernaan menjadi molekul toksik.
Toksin tersebut akan mempengaruhi permeabilitas membran sel, mikrovili pada sel-sel epitalium yang
dapat menyebabkan paralisis saluran makanan dan berubahnya keseimbangan Ph hemophilia, yang
kemudian dapat menyebabkan kematian.
Bacillus thuringiensis ini dapat menyebabkan terbentuknya pori-pori (lubang yang sangat
kecil) di sel membran saluran pencernaan dan dapat mengganggu keseimbangan osmotic dari sel-sel
tersebut. Karena keseimbangan osmotic terganggu, maka serangga atau hama akan mati. Kematian
serangga biasanya terjadi dalam waktu 3-5 hari, akan tetapi ada larva yang dapat bertahan hidup lebih
lama. Tanda-tanda awal serangan bakteri Bacillus thuringiensis pada serangga yaitu aktivitas makan
serangga menurun bahkan berhenti. Serangga menjadi lemah dan kurang tanggap terhadap sentuhan.
Setelah mati, serangga kelihatan berwarna cokelat tua atau hitam.
Proses toksisitas kristal protein sebagai bahan aktif bioinsektisida dimulai dengan
termakannya kristal protein oleh serangga. Kristal protein ini akan dipecah oleh enzim protease pada
kondisi basa dalam usus tengah serangga sehingga melepaskan δ-endotoksin yang bersifat toksin.
Toksin ini akan berinteraksi dengan reseptor-reseptor pada sel-sel epithelium usus tengah larva
serangga yang rentan. Setelah toksin ini bereaksi, maka akan menyebabkan terbentuknya lubang-
lubang pada membran sel sehingga dapat mengganggu keseimbangan osmotik sel dan mengakibatkan
terjadinya pembengkakan yang menyebabkan larva berhenti makan dan mati. Apabila serangga target
tersebut tidak rentan terhadap aksi δ-endotoksin secara langsung, maka dampak dari pertumbuhan
spora di dalam tubuh serangga tersebut yang akan menyebabkan kematiannya. Spora tersebut akan
berkecambah dan menyebabkan membran usus serangga rusak. Replikasi dari spora akan membuat
jumlah spora dalam tubuh serangga semakin banyak dan menyebabkan perluasan infeksi di dalam
tubuh serangga yang pada akhirnya menyebabkan serangga tersebut mati (Swadener, 1994).
Salah satu parameter yang diujikan dalam pembuatan bioinsektisida dari bakteri Bacillus
thuringiensis aizawai adalah nilai pH. Pengujian terhadap pH ini merupakan cara untuk memantau
kondisi dari bakteri tersebut. Dengan mengetahui nilai pH selama proses fermentasi, maka dapat
diketahui berapa rentang nilai pH untuk bakteri yang digunakan dan berapa nilai pH optimumnya.
Setelah diketahui, kita dapat mengontrol pH tersebut supaya selalu pada kondisi optimum atau
minimal pada rentang hidup dari bakteri (Quinlan dan Lisansky, 1985).
Berdasarkan data hasil praktikum diperoleh nilai pH yang berbeda-beda pada produksi
bioinsektisida dengan fermentasi cair. Pada jam ke 0 dan 96 diperoleh nilai pH sebesar 9, sedangkan
pada jam ke 48 dan 72 diperoleh nilai pH sebesar 8 serta pH 7 untuk jam ke 24. Bila dibandingkan
dengan literatur terdapat beberapa perbedaan hasil nilai pH. Menurut literatur, Bacillus thuringiensis
aizawai merupakan organisme (bakteri) mesofilik, dimana kisaran suhu pertumbuhannya 15-45oC
dengan suhu optimum 26-30oC dan kisaran pH pertumbuhannya ialah 5.5-8.5 dengan pH optimum
6.5-7.5 (Benhard dan Utz, 1993). Literatur lainnya menyatakan bahwa pertumbuhan optimum
sebagian bakteri terjadi pada pH sekitar 7. Nilai pH awal media fermentasi sering kali diatur dengan
menggunakan larutan penyangga atau dengan penambahan alkali atau asam steril. Nilai pH awal
untuk media fermentasi Bacillus thuringiensis aizawai ditentukan pada kisaran 6.8-7.2. Selama
fermentasi pH dapat berubah dengan cepat tergantung pada penggunaan karbohidrat dan protein.
Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat menurunkan pH, sedangkan
penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat menaikkan pH. Nilai pH dapat
dikendalikan dengan memelihara keseimbangan antara senyawa gula dan nitrogen (Quinlan dan
Lisansky, 1985).
Perbedaan nilai pH antara hasil praktikum dengan literatur yang ada tidak terlalu signifikan
karena masih berkisar pada pH yang sesuai dengan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai.
Adapun perubahan pH terjadi karena adanya enzim urease pada Bacillus thuringiensis aizawai. Enzim
urease akan mengubah urea menjadi amonium bikarbonat dengan reaksi kimia:
(NH2)2CO + 3H2O urease (NH4)2HCO3 + OH –
Reaksi kimia tersebut menyebabkan urea terlarut dalam air sehingga terjadi peningkatan pH hingga
8,5 (James, 1983). Literatur tersebut menjelaskan adanya perubahan pH menjadi basa, adapun nilai
yang berbeda dapat disebabkan pembacaan alat yang digunakan yaitu kertas pH tidak tepat.
Adapun nilai pH pada jam ke 24 mengalami penurunan, penurunan tersebut disebabkan
karena di dalam medium terjadi proses katabolisme glukosa yang menyebabkan terakumulasinya
asam di dalam medium. Hal tersebut sesuai dengan literatur yang diperoleh dimana pada fermentasi
dengan Bacillus thuringiensis aizawai dalam media glukosa-tripton-mineral, bahwa asam-asam yang
terakumulasi tersebut adalah asam laktat, asam piruvat, asam asetat, dan asetoin. Peningkatan kembali
nilai pH selama fermentasi disebabkan oleh pemanfaatan kembali asam asetat yang terakumulasi
dalam medium untuk memproduksi polihidroksilat (PHB). PHB selanjutnya akan digunakan sebagai
energi selama proses spirulasi. Selain itu kenaikan pH juga disebabkan karena terakumulasinya bahan-
bahan alkali hasil metabolisme urea (Benoit, 1990).
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai pengaruh lama fermentasi dengan nilai optical
density (OD). OD merupakan salah satu metode langsung untuk mengetahui pertumbuhan sel.
Panjang gelombang yang digunakan pada prtaktikum kali ini yaitu 660 nm. Semakin tinggi nilai OD
menunjukkan semakin keruh larutan tersebut, hal tersebut disebabkan adanya pertumbuhan sel yang
membuat kandungan sel di dalam larutan menjadi meningkat. Pertumbuhan sel Bacillus thuringiensis
aizawai akan memasuki fase stasioner dimana pertumbuhan sel mulai melambat atau terkesan statis
pada jam ke 36 dan umumnya pertumbuhan optimum pada sekitar jam ke 30 fermentasi (Benhard,
1993). Hasil yang diperoleh untuk nilai OD pada praktikum berbeda dengan literatur yang adadimana
semua bernilai negatif untuk setiap kelompok. Nilai OD tersebut secara berurutan mulai dari jam ke 0
hingga ja ke 96 adalah -1,99 ;-1,93; -1,78; -1,76; -1,75. Nilai negatif menandakan larutan yang diuji
lebih bening bila dibandingkan dengan blangko, hal tersebut dirasa janggal karena di dalam larutan
yang diuji terdapat sel bioinsektisida yang membuat larutan lebih keruh jika dibandingkan dengan
blangko. Adapun kemungkinan diperolehnya nilai negatif karena adanya kesalahan praktikan saat
menentukan nilai OD.
Grafik 1. Hubungan antara Nilai OD terhadap Waktu Fermentasi
Gambar diatas menunjukkan hubungan antara OD dengan waktu fermentasi berdasarkan
hasil penelitian bioinsektisida dengan menggunakan mikroba Bacillus thuringiensis israelensis
(Salamah, 2002). Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai OD tertinggi pada jam ke 30. Hasil
tersebut berbeda dengan data hasil praktikum. Perbedaan hasil praktikum dengan literatur tersebut
dapat terjadi karena adanya ketidaktelitian praktikan dalam mengukur nilai OD saat menggunakan
spektrofotometer, perbedaan medium, serta perbedaan bahan baku yang menyebabkan nutrisi yang
diperoleh mikroba dalam pertumbuhannya berbeda.
Pengujian selanjutnya yaitu uji biomassa kering. Pengujian biomassa kering yaitu
pengukuran selisih massa biomassa setelah dan sebelum proses fermentasi. Selama proses fermentasi,
biomassa akan tumbuh dan secara tidak langsung massa nya akan meningkat. Peningkatan massa ini
akan terjadi seiring waktu fermentasi sampai terjadi fase stasioner (Gumbira, 1987). Berdasarkan hasil
praktikum, diperoleh data yang menunjukkan adanya peningkatan seiring bertambahnya waktu
fermentasi. Adapun nilainya dari jam ke 0 hingga jam ke 96 yaitu 3; 4,25; 5,25; 9,25; 11,25. Data
yang diperoleh telah sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa semakin lama produk fermentasi
dilakukan akan terbentuk hasl biomassa yang semakin banyak pula hingga mulai memasuki ke tahap
stasioner, dimana pertumbuhan sel mulai statis atau tidak ada pertumbuhan lagi (Gumbira, 1987).
Selisih nilai biomasa tertinggi terdapat dari jam ke 48 hingga 72 hal tersbut menandakan pertumbuhan
sel paling maksimum. Nilai bobot kering biomassa tertinggi tidak selalu memberikan jumlah sel
tertnggi. Hal tersebut disebabkan pengukuran terhadap bobot kering biomassa tidak hanya mengukur
jumlah sel hidup saja, sel mati, spora dan bahan lain yang tidak terlarut juga akan mempengaruhi
hasil. Pada literatur diperoleh biomassa kering terbanyak pada jam ke 30, akan tetapi bakteri yang
digunakan untuk bioinsektida adalah Bacillus thuringiensis israelensis, perbedaan jenis mikroba ini
menyebabkan waktu atau laju maksimum saat pertumbuhan biomassa berbeda.. Perbedaan hasil
praktikum dengan literatur dapat terjadi karena jenis mikroba yang digunnakan berbeda, selain itu
juga dapat disebabkan karena jenis medium dan bahan baku pembuatan medium berbeda sehingga
mempengaruhi nutrisi yang diperoleh untuk pertumbuhan mikroba. Selain itu juga dapat disebabkan
karena adanya kesalahan praktikan dalam menghitung biomassa. Berikut adalah grafik hasil penelitian
yang menunjukkan hubungan antara bobot Biomassa kering dengan waktu (Salamah, 2002):
Grafik 2. Hubungan antara Massa Biomassa terhadap Waktu Fermentasi
Berat biomassa kering yang diperoleh berasal dari hasil fermentasi cair. Adapun nilai
biomassa kering dari fermentasi padat tidak diperoleh karena tidak dilakukan praktikum. Hal tersebut
karena pada fermentasi padat akan sulit mengambil sel pada medium disebabkan partikel dari
medium akan ikut terbawa dan mempengaruhi hasil perhitungan sehingga sulit menentukan nilai
biomassa kering.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai nilai VSC. VSC (Viable Spore Count) merupakan
uji yang digunakan untuk menganalisa jumlah spora hidup yang terkandung dalam campuran spora
kristal. Pada uji ini, sampel yang akan diukur terlebih dahulu diencerkan secara serial kemudian diberi
renjatan panas dengan tujuan untuk membunuh sel-sel vegetatif yang ada pada cairan kultivasi. Pada
praktikum kali ini, pengujian dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan spora pada media cair dan
media padat. Penentuan nilai VSC dilakukan hanya pada jam ke 24-72, hal tersebut karena pada jam
ke 0 spora belum bertumbuh dan pada jam ke 96 pertumbuhan spora dianggap telah menurun. Hasil
VSC pada medium cair dan padat memiliki tren yang sama, dimana terjadi peningkatan seiring
dengan pertambahan waktu fermentasi. Adapun nilai pada VSC dengan media cair dari menit ke 24-
72 yaitu 26, 29, dan 49 koloni, sedangkan pada media padat yaitu 8, 45, dan 110 koloni. Terdapat
perbedaan pertambahan nilai spora dimana pada medium cair pertambahan terbesar terjadi pada jam
ke 48- 72 sedangkan pada medium padat terjadi pada jam ke 24-48. Adanya perbedaan tersebut
karena medium yang digunakan berbeda, dimana terdapat keunggulan dan kekurangan masing-masing
pada medium serta kandungan dan penyerapan nutrisi yang berbeda oleh mikroba. Hasil tersebut bila
dibandingkan dengan literatur sedikit terdapat perbedaan terutama pada medium cair. Pada literatur
nilai tertinggi spora terjadi pada jam ke 30 dengan pertambahan nilai spora terbanyak pada jam ke 24-
30, dimana data mulai stasioner setelah jam ke 30. Berikut adalah grafik hubungan antara jumlah
spora hidup terhadap waktu fermentasi (Salamah, 2002).
Grafik 3. Hubungan antara Jumlah Spora Hidup terhadap Waktu Fermentasi
Adapun perbedaan yang terjadi pada hasil praktikum dengan literatur dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Diantaranya karena bahan baku yang digunakan berbeda sehingga kandungan nutrisi
didalamnnya berbeda serta mikroba yang digunakan berbeda pada literatur yaitu Bacillus
thuringiensis israelensis. Selain itu juga dapat disebabkan karena kesalahan praktikan terutama saat
inokulasi dan perhitungan jumlah spora yang terbentuk, sehingga menghasilkan data yang berbeda.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Bioinsektisida merupakan bahan yang berfungsi untuk membunuh atau menghambat
perkembangan spesies insekta yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan maupun yang menggunakan
organisme hidup seperti virus, bakteri, dan jamur. Insektisida ini mengandung senyawa toksik yang
secara spesifik akan menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak menyerang serangga
lainnya. Oleh karena itu bioinsektisida aman terhadap organisme non-target, manusia dan lingkungan.
Bioinsektisida memilki efektivitas yang sama dengan pestisida yang berbasis bahan kimia. Maka dari
itu, dengan penggunaan bioinsektisida diharapkan dapat mengurangi pemakaian insektisida kimia
yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi lingkungan.
Penelitian untuk memperoleh bioinsektisida yang ampuh dan ramah lingkungan sampai saat
ini telah banyak dilakukan. Salah satu hasilnya adalah bioinsektisida mikrobial yang diperoleh dari
Bacillus thuringiensis (B.t) yang bersifat aman karena memiliki derajat spesifisitas yang tinggi dan
relatif kecil terjadinya resistensi (kekebalan) pada serangga hama. Bacillus thuringiensis aizawai
merupakan salah satu jenis bakteri yang banyak dimanfaatkan dalam produksi bioinsektisida
microbial.
Produksi bioinsektisida dengan kultur Bacillus thuringiensis dapat dilakukan dengan
kultivasi/fermentasi padat atau semi padat (semi solid fermentation) dan cair atau terendam
(submerged fermentation). Fermentasi terendam atau cair lebih disukai karena menjaga kesterilan
kultur serta proses pemanenan dan pengaturan parameter proses produksi atau fermentasi yang lebih
sederhana. Selain itu, produk hasil fermentasi cair dapat langsung digunakan dibandingkan hasil
fermentasi semi padat yang sulit disuspensikan karena ada kecenderungan menggumpal.
Pada praktikum bioinsektisida ini dilakukan beberapa uji parameter, diantaranya uji pH, OD
(optical density), biomassa, dan VSC (Viable Spore Count). Menurut literatur Bacillus thuringiensis
aizawai memiliki pH pertumbuhan 5.5-8.5 dengan pH optimum 6.5-7.5. Uji parameter pH
menunjukkan hasil praktikum yang diperoleh tidak terlalu signifikan dengan literatur karena masih
berkisar pada pH yang sesuai dengan pertumbuhan Bacillus thuringiensis aizawai. Selama fermentasi,
terjadi kenaikan dan penurunan pH. Nilai pH berubah-ubah dengan cepat tergantung pada penggunaan
karbohidrat dan protein. Penggunaan karbohidrat yang terlalu banyak daripada protein dapat
menurunkan pH, sedangkan penggunaan protein yang terlalu banyak daripada karbohidrat dapat
menaikkan pH.
Uji OD (Optical Density) merupakan salah satu metode langsung untuk mengetahui
pertumbuhan sel. Semakin tinggi nilai OD menunjukkan semakin keruh larutan tersebut, hal tersebut
disebabkan adanya pertumbuhan sel yang membuat kandungan sel di dalam larutan menjadi
meningkat. Hasil uji yang diperoleh untuk nilai OD pada praktikum bernilai negatif untuk setiap
kelompok, hasil ini sangat berbeda dengan literatur. Nilai negatif menandakan larutan yang diuji lebih
bening bila dibandingkan dengan blangko, hal tersebut dirasa janggal karena di dalam larutan yang
diuji terdapat sel bioinsektisida yang membuat larutan lebih keruh jika dibandingkan dengan blangko.
Pengujian biomassa kering yaitu pengukuran selisih massa biomassa setelah dan sebelum
proses fermentasi. Berdasarkan hasil praktikum, diperoleh data yang menunjukkan adanya
peningkatan seiring bertambahnya waktu fermentasi. Data yang diperoleh telah sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa semakin lama fermentasi dilakukan maka akan terbentuk hasil biomassa
yang semakin banyak pula. Peningkatan massa ini akan terjadi seiring waktu fermentasi sampai terjadi
fase stasioner, dimana pertumbuhan sel mulai statis atau tidak ada pertumbuhan lagi.
VSC (Viable Spore Count) merupakan uji yang digunakan untuk menganalisa jumlah spora
hidup yang terkandung dalam campuran spora kristal. Pada praktikum ini, pengujian dilakukan untuk
mengetahui pertumbuhan spora pada media cair dan media padat. Penentuan nilai VSC dilakukan
hanya pada jam ke 24-72, hal tersebut karena pada jam ke 0 spora belum bertumbuh dan pada jam ke
96 pertumbuhan spora dianggap telah menurun. Hasil VSC pada medium cair dan padat memiliki tren
yang sama, dimana terjadi peningkatan seiring dengan pertambahan waktu fermentasi. Pertambahan
nilai spora pada medium cair terjadi pada jam ke 48- 72. Hasil pada medium cair tersebut bila
dibandingkan dengan literatur sedikit berbeda. Pada literatur nilai tertinggi spora terjadi pada jam ke
30 dengan pertambahan nilai spora terbanyak pada jam ke 24-30, dimana data mulai stasioner setelah
jam ke 30. Literatur tersebut menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis israelensis, hal ini mungkin
merupakan salah satu faktor perbedaan hasil tersebut.
B. Saran
Praktikum bioinsektisida ini sangat berguna sehingga dibutuhkan perhatian untuk memahami
tahapan proses yang sesuai prosedur. Pemahaman tentang prosesnya sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan setiap uji serta pemahaman penggunaan alat sehingga praktikan dapat dengan cepat dan
cermat dalam melaksanakan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Buletin Agrobio 5(1) :
21-28
Behle, et all. 1999. Makalah Formulations Forum ’99. Formulating Bionsecticides To Improve
Residual Activity. University Peoria. Illinois
Benhard K and Utz R. 1993. Production of Bacillus thuringiensis Insecticides for Experimental and
Commercial Uses. UK : John Wiley & Sons Chichester.
Benoit et al. 1990. Fermentation During Growth and Sporulation of Bacillus thuringiensis. New
York: Lett, Appl. Microbiol.
Departemen Pertanian. 2010. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Dulmage, H. T. dan R.A. Rhodes. 1971. Production of Pathogens in Artificial Media, pp.507-540 Di
dalam : Burges, H.D. (editor). Microbial Control ofPest and Plant Diseases 1970-1980. Acad
Press, New York.
Dulmage, H. T., J. A. Correa and G. G. Morales. 1990. Potential of Improved Formulation of Bt
through Standardization and Cultivation Development. Di dalam Bacterial Control of
Mosquitoes and Blackfleis : Biochemistry, Genetics and Application of Bt and Bacillus
sphaericus. Eds : H. D. Barjac and D. J. Sutherland. Rutgers University Press. New
Brunswick, New Jersey, USA. 110 – 133.
Gill, S. S., E. A. Cowles, dan P. V, Pietrantonio. 1992. The Mode of Action of Bacillus thuringiensis.
Endotoxin. Annu, Rev. Entomol. 37 : 615 - 636
Gumbira Said, E. 1987. Bioindustri. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insecticidal Crystal Protein of Bacillus thuringiensis. Microbial Rev
53 : 242-255.
James, D.w. 1993. Urea: A Low Cost Nitrogen Fertilizer with Special Magement Requirement. USA:
Utah State University.
Lereclus D, A Delecluse, MM Lecaded. 1993. Diversity of Bacillus thuringiensis toxins and genes.
Bacillus thuringiensis, an environmental biopesticides: theory and practices. John Willey and
Sons.
Luthy, R., Bowie, J. U., & Eisenberg, D. (1992). Assessment of protein models with three-
dimensional profiles. Nature, 356, 83-85.
Morris O.N., Converse V., Kanagaratnam P., and Davies J.S. 1996. Effect of Cultural Condition on
Spore-Crystal Yield and Toxycity of Bacillus thuringiensis subs. Aizawai (HD133). Journal
of Invertebrate Patology 67, 129-136.
Rahayuningsih, M. 2003. Toksisitas dan Perbedaaan Aktivitas DipterosidalBioinsektisida Bacillus
thuringiensis var. israelensis Tipe Liar dan Mutanpada berbagai Formulasi Media dan
Kondisi Kultivasi. Disertasi. ProgramPascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sikdar DP, MK Majumdar, SK Majumdar. 1993. Optimijation of Process for Production of Delta-
Endotoxin by Bacillus thuringiensis subsp. israelensis in a 5 litre Fermentor. Biochemical
Archieves. 9 : 119 – 123.
Swadener, C. 1994. Bt. Journal of Pesticides Reform vol. 14. No.3 : 13 – 20. Northwest Coalition for
Alternative to Pesticides. Canada.
Quinlan, R.J. dan S.G Lisansky. 1985. Mikrobial Insecticides. Weinheim: Verlag Chemist.
Salamah, U. 2002. Kajian Produksi Bioinsektisida dari Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis Pada
Media Tapioka. Terhubung berkala http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/
16303/F02usa.pdf?sequence=2 (01 Mei 2013)
Vandekar, M. dan H. T. Dulmage. 1982. Guideliness for Production of Bacillusthuringiensis H-14.
Special Programme for Research and Training inTropical Disease. Geneva.