Download - Bisikan Hati
1
2
Daftar IsI
1. Miss Ice Cream 2
2. Kota Tua 15
3. Terima Kasih Cino 25
4. Cinta Butuh Waktu 31
5. Setiap Minggu di Tanam Budaya 40
6. Setelah Kita Putus 50
7. Aku tidak Seperti Mantanmu 61
8. Tersirat 68
9. Lima belas minggu setelah kepergian kamu 82
10. Kita (Mungkin) belum Benar benar Putus 87
11. Belajar Melepaskan 91
3
Miss I cream
Ini sudah es krim kedua yang aku lahap malam ini,
tak peduli aku sudah dua jam duduk di kedai ini. Pelayan tua
kadang sesekali memalingkan tatapannya dari Koran pagi
harinya kearah ku. Mungkin dia pikir aku kurang waras, di
cuaca sedingin ini dan sedang hujan deras Sendok demi
sendok aku nikmati, tatapanku hanya menatap kosong pada
suatu titik sembarang di sudut kedai itu. kenangan demi
kenangan aku putar di pelupuk mataku, seperti komedi putar
yang sedang memutar scene demi scene. Membuat hati ini
campur aduk dan sedikit sesak. Me-rewind semua rutinitas
gila.
Tepat 3 tahun yang lalu.
Di kedai es krim yang sama Wajahnya yang sedikit
pucat dan tirus, rambut nya yang panjang, sedikit berantakan,
dia tersenyum menatap ku penasaran, menunggu pendapatku
tentang rasa es krim yang barusan aku cicipi. “Gimana?”
tatapnya penasaran, air mukanya mulai serius melihat
4
ekspresi yang mengerutkan dahi seperti ada yang salah
dengan es krim yang kumakan.
“Tunggu!” jawabku sambil memutar mata seolah
berfikir serius mendikripsikan Sesuatu yang sedang lumer
dilidahku, lalu ku coba sesendok lagi, sok-sokan lagaku
seperti tester sejati. “Enaak !!” Seru ku. Dia tersenyum kecil
dan menjewer pipiku, protes melihat ekspresi ku yang
menipu.. Ya, Dialah Putri. Putri dan Aku pertama kali
bertemu di Ruang Kelas, Dia yang mengembalikan modul
praktikumku yang tertinggal di Kelas. Disitulah kami
berkenalan, dia sebenarnya seniorku di kampus, usianya
terpaut dua tahun lebih tua dari umurku. Putri mengambil
cuti selama satu tahun di awal perkuliahan. oleh sebab itu ia
sering meminjam buku catatanku untuk mengejar
ketinggalannya. Sebagai imbalan nya Putri sering
mentaktirku es krim. Berawal dari sebuah catatan dan
secorong es krim di kantin kampus-lah pertemanan kami
semakin akrab.
Putri adalah sosok manusia yang sangat cantik yang
mempunyai hobi yang bisa dibilang menarik untuk
semuruaan dia,
5
Putri adalah cewek dengan hobi membuat cake atau
makanan manis. Miss ice cream adalah panggilanku
untuknya. Cewek berbadan kurus, tinggi dan berkacamata ini
bisa di bilang addicted dengan es krim seperti sesuatu yang
tak bisa di pisahkan. Karena hobi dan mimpinya ingin
mempunyai usaha di bidang kuliner itu, Putri mengambil
Cooking Class khusus membuat pastry. Putri termasuk
golongan cewek yang anggun dan tak banyak bicara,
Terkadang Putri tidak bisa ditebak serta penuh kejutan.
Sore itu, Putri dengan sengaja mengajakku
berkunjung ke kedai es krim yang konon katanya sudah ada
sejak jaman kolonial belanda. dan aku percaya itu, karena
bangunan kedai itu sudah tua, interior kedai itu pun terlihat
seperti di museum–museum sejarah, seperti meja kasir dan
pintu yang sedikit tinggi terbuat dari kayu oak yang
berpelitur, mesin kasir nya pun antik dengan type model tua,
disisi sebelah kiri kedai terdapat roti-roti yang masih hangat
terpajang dalam etalase tua, Demikian juga alat penimbangan
kue yang sudah tua, bahkan pelayan nya pun tak ada yang
muda, semua tua.
6
Putri bercerita sambil menerawang kearah langit-
langit, kalo dia sering makan es krim disini ketika masih
kecil bersama ibunya. Ia menceritakan kesukaannya terhadap
tempat ini dan kegemaran nya makan es krim, alasan dirinya
suka sekali makan es krim karena ibunya pernah mengatakan
bahwa makanan yang manis itu bisa mengobati patah hati
dan bad mood. Aku hanya menatap wajahnya yang masih
sedikit pucat dan mendengarkannya dengan setia karena
antusias dengan apa yang ia lakukaan atau ia ceritakan.
“Semua orang hampir menyukai es krim bukan?” dia
menatap ku lagi. Sialnya aku tertangkap mata karena
menatapnya lamat-lamat, aku memalingkan wajah dan
menyibukan diri dengan mengambil roti tanpa isi dan ku
jejali roti itu dengan es krim. “Termasuk kamu yang rakus,
makan es krim sama roti” protes nya sambil tertawa kecil
melihat kelakuanku melahap roti isi es krim. “ini Enaaak,
coba deh ” sambil menyodorkan roti isi eskrim kepadanya
sebagai upaya mengkamufalse salah tingkahku barusan. Putri
lantas mencoba mengunyahnya dengan lahap, lalu tersenyum
lagi tanda setuju kalo itu kombinasi yang enak.
7
Mungkin, para pengunjung di kedai itu, melihat Aku
dan Putri seolah pasangan kekasih romantis, yang sedang
bersenda gurau. Tapi mereka salah besar. Kami tidak
pacaran, tepatnya Putri punya pacar. Putri berpacaran dengan
Eko. Mengenai putri dan eko aku tak tahu banyak karena Eko
jarang sekali bercerita tentang hubungan mereka, setahuku
mereka menjalin pertemanan semenjak mereka duduk di
bangku SMA, lalu mereka saling menyukai dan berpacaran,
Eko adalah Pria yang tampan, Smart Hanya itu yang ku tahun
2 Tahun yang lalu.
Di kedai es krim yang sama. Putri tersenyum simpul
penuh arti dan terlihat lebih menarik dengan dress abu-abu
bermotif bunga kali ini rambutnya terurai. “Ta daaaa, Happy
Birth Day” putri menyodorkan sesuatu. Aku diam terpaku
tak menyangka. Sebuah surprise !! Malam itu di hari ke tiga
di bulan Maret, Putri membuatkanku kue ulang tahun dengan
motif bola dengan dominasi warna biru dan putih, seperti
warna club kesukaanku, Chelsea. Lengkap dengan tulisan
“Happy Birth Day Ragil” diatas kepingan cokelat putih yang
membuat kue itu semakin cantik dan tak lupa lilin dengan
8
angka kembar dua-puluh dua tahun. “Jangan lupa berdoa dan
make wish ya”
Aku meniup lilin angka kembar itu, dan memejamkan
mata dalam dua detik membuat permohonan. Kami
merayakannya hanya berdua saja. Menikmati kue tart buatan
Putri dan es Krim tentunya. “Dinda, belum telepon juga?”
Putri bertanya singkat. Aku hanya menggeleng kepala.
Singkat cerita, Dinda adalah pacarku. tepatnya 6 bulan yang
lalu, . Dinda dan Aku bertahan pacaran hanya Enam bulan
saja. Kami menjalani hubungan LDR alias Long Distance
Realtionship, atau pacaran jarak jauh, Akhir-akhir ini
komunikasi kami mulai terasa tidak lancar. Ditambah Dinda
yang tidak pernah suka dengan aktifitasku. Terkadang itu
menjadi bahan pertengkararan kami. Pada akhirnya kami
memutuskan hubungan secara baik-baik. Dan Tak ada yang
harus di pertahankan. putri selalu peduli dan selalu mencoba
menghiburku.
Seorang teman yang selalu ada untukku, diberikan
surprise seperti ini adalah pertama kali dalam hidupku, ada
orang lain di luar anggota keluargaku yang membuat
perayaan spesial seperti ini khusus untukku hanya seorang
9
teman seperti Putri yang melakukannya. Teman? Lalu
bagaimana dengan Eko? Apakah dia melakukan hal yang
sama kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan ini tiba-tiba
muncul di kepalaku, Mengapa aku ingin tahu detail
bagaimana Putri memperlakukan Eko? Bukankah
sebelumnya aku tak pernah peduli? “Barusan make a wish
apa?” Pertanyaan putri membangunkanku dari lamunan
akibat pertanyaan–pertayaan aneh yang bermunculan dari
kepalaku.
“Rahasia” Aku menjawab spontan. Lalu memasang muka
jahil. “Pelit” Putri pura-pura ngambek.
“Anyway Putri, thank a lot, you’re my best” Aku tersenyum.
aku bahagia malam ini.
“Any time, Gil” balas Putri. Tersenyum simpul.
Malam itu diumur ku yang bertambah, Aku
menyadari seorang duduk dihadapanku seperti sebuah es
krim yang dalam diamnya terlihat anggun, dalam senyumnya
terasa manis, dan dalam katanya terdengar lembut. Dia yang
membuatku menyadari sesuatu itu ada, tetapi sesuatu yang
tak bisa aku jelaskan, tak bisa aku hitung dengan rumus
matematika, dan tak bisa aku urai seperti senyawa kimia, dan
10
sesuatu itu tidak hanya ada, tetapi hidup dan berdetak, dan
kadang membuat dada ini sesak.
Segerombolan awan hitam, tak hentinya
menumpahkan air kebumi, menadakan besarnya kerinduan
langit pada bumi. Debu-debu yang menempel di jalanan dan
gedung tua pun ikut terhanyut olehnya, membuahkan aroma
tanah yang menyaingi aroma roti yang baru keluar dari
pemanggangan sore itu. Kedai itu tak berubah sedikitpun,
semua interiornya tetap tua di makan usia.
Dua jam yang lalu, aku dan Putri duduk bersama di
kedai ini, wajahnya sudah tak sepucat dan serius dulu, rambut
nya pun tak seberantakan satu tahun yang lalu, Putri terlihat
baik-baik saja bukan?, Namun tak ada sedikit pun senyum
didalam air muka Putri, Dia bersikap dingin, sedingin es krim
di mangkuk dan cuaca di luar. “Kenapa gak ada kabar gil?”
Putri menatapku serius. Nada suaranya dingin.Aku tak
sanggup memandang putri, hanya tertunduk dan diam, lidah
ini kelu untuk berucap memberi alasan yang sebenarnya.
“Aku sibuk put” (Aku berbohong). “Maaf put, aku memang
keterlaluan” ucapku sekali lagi. Menahan air mata yang
nyaris keluar.
11
Setelah mendengar kata maaf itu langsung
mehenyakan punggungnya kesandaran kursi, seperti tak
percaya hanya mendengar kata maaf dari seorang sahabat
yang hanya pamitan lewat sms dan setahun kemudian tak ada
kabar sedikitpun seperti menghilang di telan bumi. Aku tahu
Putri pasti marah hebat kepadaku, tapi semenjak perasaan ini
makin menguasai, persahabatanku dengan Putri terasa bias,
tepatnya hanya aku yang merasa bias, aku tak kuasa lagi
mempertahankan kepura-puraanku di depan Putri yang selalu
bersikap baik kepadaku. Karena dengan sikap Putri yang
seperti itu, mahluk yang bernama perasaan ini seperti di beri
pupuk, dan akan terus tumbuh, walau aku susah payah
memangkas nya tapi ini akan terus tumbuh tak terkendali dan
akan terus membuatku merasa bahagia dan sakit dalam waktu
yang bersamaan. Maka ketika kesempatan bekerja di luar
kota itu datang aku tak menyiakan nya. “Tapi kau baik-baik
saja kan?” Ucap nya tenang. Aku mendongak, menatapnya
lekat-lekat.
Mulutku kembali terbuka, namun tak bersuara, lalu
aku mengangguk. Kembali menunduk. aku tahu perasaan
Putri sekarang campur aduk antara marah dan cemas namun
12
Putri selalu baik dan memaafkanku yang bertindak bodoh.
“Lalu bagaimana denganmu Putri?” ucapku terbata.Putri tak
menjawab, dia mentapku lekat-lekat, mungkin sikapku
terlihat aneh dan membingungkan bagi Putri sehingga
membuat penasaran, terlihat dari raut wajahnya sepertinya ia
ingin menumpahkan beribu-ribu pertanyaan atas sikapku ini.
Namun putri menyerah, dia menghenyakan kembali
punggungnya kesandaran kursi. Sedikit demi sedikit suasana
diantara kami pun mencair, seperti es krim di mangkuk ini
pun mencair.
Layaknya langit, aku pun sama, duduk berjam-jam
disini sedang menumpahkan kerinduan pada kedai ini,
kerinduan pada Es krim, kerinduan pada Putri. Scene
potongan kejadian di pelupuk mataku sudah habis kuputar,
kini aku mengembalikan fokus pandanganku tertuju ke suatu
benda di atas meja, benda yg sedikit tebal dari kertas,
berwarna merah, pemberian Putri dua jam yang lalu.
Entahlah sudah berapuluh kali aku membolak balik
benda itu, dan entahlah lah sudah berapa kali hati ini merasa
terbolak balik karena melihat isinya. Sebagai teman ini
adalah kabar baik untukku, namun sebagai orang yang
13
sedang tertimpa perasaan aneh ini adalah kabar buruk bagiku.
Lalu dimana aku harus menempatkan diriku sendiri? Butuh
setahun aku men-sinkronisasi-kan antara hati dan logika ini
untuk mendapatkan jawabnya, di mangkuk es krim yang
ketiga ini aku baru dapat pemahamanya, bahwa tak pernah
ada yang berubah dari sikap Putri kepadaku, dia selalu ada
untukku, melindungiku, menyangiku sebagai sahabatnya.
Aku-lah yang terlalu egois, tak mau ambil tindakan
serta resiko untuk menyatakan nya dan malah pergi
menghilang darinya yang hanya membuat Putri terluka.
Hujan sudah reda diluar sana, nampaknya langit sudah puas
menyatakan kerinduanya pada bumi, aku lantas beranjak dari
kursi kedai itu, menuju meja kasir yang tinggi, pelayan tua
itu menatapku lalu tersenyum megucapkan terimakasih, aku
hanya membalas senyum sekedarnya. Perasaanku masih
campur aduk dan terasa sesak.
Aku melangkah gontai keluar kedai, berjalan menuju
Statsiun hendak meninggalkan kota ini, dan aku berjanji,
minggu depan aku kan datang lagi ke kota ini, menjadi saksi
ucapan janji abadi sehidup semati antara Putri dan Eko. aku
akan hadapi semuanya, lari dari kenyataan adalah tidakan
14
bodoh, bahwasanya sejauh apapun kita pergi, tak akan pernah
membantu melupakan orang yang kita sayangi, yang
membantu hanyalah sikap menerima kenyataan. Biarlah aku
menelan semua pahit dan sakit nya perasaan ini Putri, dan
waktu yang akan mencernanya. Karena aku tahu, Rasa sakit
ini hanya bersifat sementara, Karena secorong es krim akan
menjadi obatnya, bukan?
15
Kota Tua
Selalu teringat dibenakku kejadian dua minggu yang
lalu. Teringat akan senyuman tulus gadis itu juga kedua mata
indahnya yang kugambarkan mirip dengan bulan terang di
malam hari. Saat nyaris saja sebuah mobil menabrak gadis
itu, dengan sigapnya aku menolong gadis yang tidak
kuketahui namanya itu bak seorang pahlawan. Kejadian itu
benar-benar membuatku gelisah sekarang. Ditambah
pancaran sinar dari wajah cantik gadis itu yang membuatku
tambah tak karuan. Bahkan hingga saat ini, aku masih saja
terus gelisah memikirkan gadis cantik itu. Hingga saat ini,
saat sesuatu yang tidak terduga datang lagi kepadaku..
Kupotret bangunan-bangunan di Kota Tua sore itu,
semua orang yang lewat, para pedangang yang menanti
pembeli datang. Hingga sesuatu yang tidak terduga itu
terjadi. Diantara banyak orang-orang lewat sambil tertawa
ria, aku melihat sosok wajah yang familiar. Ya, gadis itu.
Gadis yang kutolong dua minggu lalu. Dia juga sedang asik
mengabadikan kejadian-kejadian menarik di Kota Tua sore
itu. Kemudian terukir sebuah senyuman dibibirku, dan aku
pun berlari menghampiri gadis itu. “Hey!” sapaku. Gadis itu
16
menoleh sambil tersenyum indah dengan tampang agak
sedikit bingung dan ragu. “Dua minggu lalu, kita ketemu saat
kamu mau ketabrak mobil. Udah inget sama aku?” tanyaku
menjawab tanda tanya dipikiran gadis itu. Gadis itu
kemudian tertawa sambil menganggukkan kepalanya.
“So, kamu seneng photograph juga, Sar?” tanyaku
setelah kami berkenalan dan aku tau nama gadis itu adalah
Sarah. “Iya. Dari SMA aku udah suka photograph. Seneng
aja gitu bisa ngabadiin hal-hal menarik yang kadang nggak
kita sadarin” jawabnya sambil tersenyum lembut ditambah
sebuah lesung pipi di pipi kanannya. Aku mengangguk.
“Emm, kapan-kapan boleh kali hunting bareng. Hehe”
ucapku basa-basi. “Oh, boleh-boleh! Secepatnya deh
direncanain tempatnya, soalnya baru-baru ini aku juga ada
rencana mau hunting gitu deh” jawabnya bersemangat. “Oke
deh, pasti diusahain cepet cari tempat huntingnya, Sar”
sahutku sambil mengedipkan satu mata kearahnya. Sarah
tertawa kemudian dia memotret seorang ibu yang sedang
menggandeng kedua anak kembarnya. “Mau es krim?”
tanyaku lagi. Sarah mengangguk.
17
Semakin lama, semakin dekat aku dengan Sarah.
Takdir memang tidak kemana, pertemuanku dengan Sarah
benar-benar takdir yang indah. Apalagi setelah kita berdua
hunting bersama di sebuah wisata air terjun di Jawa Tengah,
kita berdua menjadi semakin akrab lagi. Kita berdua sudah
saling berbuka cerita satu sama lain. Berbagi inspirasi, cerita,
pengalaman, trik-trik memotret yang baik dan lainnya.
Sampai kuketahui ternyata kedua orangtua Sarah telah lama
meninggal dan sekarang dia tinggal bersama tantenya dengan
hidup yang sederhana. Kenang-kenangan dari kedua
orangtuanya hanya sebuah kamera yang sekarang selalu
berada disisinya juga keinginan orangtuanya yang selalu ada
dipikiran Sarah. Mereka ingin sekali Sarah menjadi
photografer handal, terkenal dan bisa melanjutkan studi di
Paris. “Mereka mau banget aku bisa ke Paris, menjadi
seorang mahasiswi dan seorang photografer yang handal,
Zan. Jika suatu saat aku bisa memamerkan hasil foto-fotoku
di Paris, mereka pasti akan bangga banget punya anak kayak
aku. Makanya itu, sampe sakarang, aku terus berlatih jadi
photografer yang handal supaya bisa dapet beasiswa ke Paris
dari kampusku. I ever fail, but I always try it again and
18
again”, jelas Sarah saat berbicara tentang keinginan
orangtuanya. Dari situ aku mengerti, bahwa Sarah adalah
seorang perempuan yang pantang menyerah demi keinginan
orang yang disayanginya.
Lima bulan telah berlalu dengan begitu cepat.
Kedekatanku dengan Sarah semakin menjadi. Kehandalan
Sarah dalam memotret suatu objek juga semakin mantap.
Aku optimis, jika dia bisa mendapatkan beasiswa itu. Dengan
berjalannya waktu dan kedekatan ini, timbul perasaan
sayangku padanya yang lebih mendalam dari sebelum-
sebelumnya. Aku semakin ingin menjaga Sarah sepenuh
hatiku. Aku ingin sekali melindunginya dari apapun. Aku
ingin selalu ada disampingnya selalu. Menemani harinya.
Tapi, aku masih belum berani mengungkapkan perasaan
sayang ini padanya. Mungkin aku memang cowok pengecut
yang takut ditolak cintanya dengan Sarah jika aku
mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Tapi, aku
memang benar-benar takut. Sampai saat ini Sarah tidak
pernah memperhatikanku sampai sedetail mungkin. Dia
hanya memerhatikanku sebagai temannya, menurutku.
19
Sampai malam itu, saat aku mengajaknya ke Puncak, malam
yang sangat istimewa bagiku..
“Dezan, kamu nggak mau ngomong sesuatu sama
aku?” tanya Sarah tiba-tiba. seketika aku bingung menatap
Sarah. Tapi Sarah membalas tatapan bingung itu dengan
senyuman dan sebuah lesung pipi khasnya. “Emm, berbulan-
bulan kita dekat, apa kamu nggak ngerasa sesuatu yang
berubah dari hati kamu?” tanya Sarah lagi sambil
memandang licik kearahku. Aku hanya menaikkan satu
alisku keatas, bingung. “Oke, bukannya aku kepedean sih,
but I think.. you like me”, ucapan singkat yang keluar dari
mulut Sarah itu telah membuat sekujur tubuhku gemetaran.
Aku rasa darahku berhenti mengalir. Kemudian aku menarik
nafas dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan
hingga tiga kali, baru kemudian kujawab ucapan Sarah tadi.
“No I’m not. I don’t like you, but I love you, Sarah” jawabku
kemudian. Sarah terlihat kaget sejenak, dan kemudian dia
tersenyum indah sekali padaku. “Dari pertama insiden itu
terjadi, aku udah tertarik sama kamu. Tadinya aku berpikir
mustahil akan bertemu kamu lagi tapi ternyata takdir berkata
lain. Kita berdua dipertemukan kembali di sebuah tempat
20
indah dan saat suasana romantis tercipta. Sampai akhirnya
kita semakin dekat dan semakin lama perasaan sayang itu
terbentuk di hatiku untuk kamu, Sarah” ucapku. Tiba-tiba
Sarah memelukku dengan erat, aku merasa bahuku basah.
Sarah menangis. “I love you too, Dezan” ucapnya disela-sela
isak tangisnya. Senyumku berkembang sambil membalas
pelukan Sarah.
Malam itu dirumah Sarah sangat ramai. Bertahun-
tahun Sarah menginginkan dan akhirnya hari itu juga dia
telah mendapatkannya. Malam itu juga genap hubungan kami
yang setahun. “Thanks for Allah, yang telah memberikan
kasih sayangnya padaku, thanks for my friends, my belove’s
aunt and thanks for my beloved, yang telah hadir disini. Aku
mendapatkan beasiswa ini nggak luput dari peranan dan
support dari kalian semua. Bertahun-tahun aku mengejarnya,
ternyata pengejaran itu berakhir disini. Ditahun ke-6 kedua
orangtuaku meninggal. Setelah nanti aku berada di paris, aku
nggak akan pernah mengecewakan kalian semua terutama
Tante Mira dan keluarga yang telah ngerawat aku setelah
kepergian kedua orangtuaku. Aku benar-benar berterima
kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku” ucap Sarah
21
panjang lebar dihari kebahagiaannya malam itu. Pelukan dan
ciuman hangat serta tangis haru beradu menjadi satu dimalam
bahagia itu. Aku yakin, kedua orangtua Sarah juga pasti
merasakan kebahagiaan di Surga sana.
Setelah lama berbincang, kemudian Sarah pamit
permisi sambil mengajakku keluar rumah. sarah memelukku
kemudian mencium pipiku. Dikeluarkannya tiket pesawat
keberangkatan menuju Paris besok dari dalam saku bajunya.
“See it, Honey” ucapnya sambil tersenyum padaku. “Happy
anniversary one year, Dezan” ucapnya lagi sambil
meneteskan air mata. “Kenapa?” tanyaku sambil menghapus
air matanya. “Walau nanti kita nggak ketemu, kita berbeda
tempat, berbeda pijakan bumi dan hamparan langit, kita akan
tetap saling mencintai kan? Kamu nggak akan ninggalin aku
kan? Hati kita akan terus bersatu kan?” tanya Sarah semakin
terisak. Aku tersenyum, “aku cinta sama kamu selama-
lamanya, Sarah. Aku akan terus dan akan tetap mencintaimu
sampai nanti kita akan kembali pada Tuhan. Only dead is
over our”. “I wish, We can meet again and stay at the
romantic place in this world, French. Paris. And at the heaven
if we die” ucap Sarah sambil terus menangis. “Kita pasti akan
22
bertemu di kota romastis sedunia ini, Paris dan di Surga jika
kita mati nanti” sahutku mengikuti ucapan Sarah. Aku
memeluk Sarah dan menciumi keningnya. Walau berat
melepasnya, tapi aku rela demi kebahagiaannya... mungkin...
Acara di rumah Sarah selesai sekitar pukul 01.00.
semua teman-temannya sudah pulang dan aku pun pamit
pulang pada Sarah dan keluarga Tantenya. Saat setengah
perjalanan, tiba-tiba handphoneku bergetar. Kupinggirkan
mobil di bahu jalan yang lumayan sepi itu. “Iya, Tante, ada
ap..?” ucapanku terputus. Bulu kudukku berdiri, aku merasa
jantungku akan berhenti saat itu juga. Apa ini? apa yang baru
kudengar ini?! handphoneku terjatuh. Aku memandang
kosong kearah jalanan yang sepi. Semua badanku kaku dan
gemetaran. Ini pasti mimpi! Just dream! Just shit dream!!.
Suara Tante Mira masih bisa kudengar saking sepinya
jalanan itu. “Hallooo?! Dezan? Dezann?! Kamu dengar kan?
Sarah kecelakaan! Kamu harus cepat ke rumah sakit!”.
“We can meet again and stay at the romantic place in
this world, French. Paris. And at the heaven if we die”.
Teringat ucapan Sarah yang masih terdengar jelas
ditelingaku. Ternyata pelabuhan terakhir memanglah Surga
23
bukan kota romantis sedunia seperti Paris. Kelu lidah ini
melihat gadis bergaun putih, bersarung tangan putih dengan
tataan rambut yang indah dan wajah yang cantik tertidur
pulas disebuah peti yang berbalut kain putih dengan banyak
bunga di dalamnya. Kota Paris, hanyalah sebuah kota megah
yang hanya dapat dia impikan tanpa bisa diraihnya. “Setelah
kamu pergi, Sarah berlari mengejar mobilmu dan meneriaki
namamu, Dezan. Hingga tanpa aba-aba, terdengar decitan
rem yang sangat nyaring dari sebuah mobil sedan. Dan tanpa
bisa dihentikan lagi, badan logam mobil itu telah beradu
dengan tulang yang berbalut daging milik Sarah hingga dia
terpental jauh. Tante nggak kuat, Zan, kenapa Tante harus
menyaksikan sendiri peristiwa itu? Menyaksikan sendiri
keponakan yang sangat tante banggakan akhirnya harus
merelakan semua impiannya sia-sia”, ucapan Tante Mira tadi
membuat tangisku semakin menjadi. Semua teman
menyemangatiku. “Yang kami temukan, sebuah tiket menuju
Paris dan sebuah foto ini”, ucapan Inspektur polisi malam itu,
membuat aku mengeluarkan foto yang terkena bercak darah
dari dalam kantong plastik. Foto mesra kami berdua. Foto
cantik Sarah dengan senyumannya yang selalu tulus dan
24
kedua matanya yang indah. Sama persis ketika aku pertama
kali melihatnya dulu. Tapi sekarang senyuman itu akan pudar
selamanya dan kedua mata itu akan tertutup tidak akan
pernah terbuka lagi. Maaf jika kali ini aku tidak bisa
menolongmu, Sarah. Ku relakan engkau Sarah, walau berat
bagiku melepasmu kembali ke Sisi Tuhan...
25
Terima Kasih Cino
"Terkadang, suatu hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau
tanpa kata putus."
"Anak kita nanti bernama Bagas, Lintang, Langit, dan
Laut." Ucapnya lugu seraya menarik-narik ingus yang
membuat suaranya terdengar lucu. Aku hanya membalas
perkataannya dengan tawa kecil yang tidak memekikan
telinga.
"Matahari, Bintang, Langit, dan Laut. Sepertinya
nama-nama anak kita nanti menyejukkan sekali ya. Mereka
pasti jadi anak yang baik, tumpuan segala harapan kebaikan."
Aku menanggapi pendapatnya, nampaknya dia sangat suka
dengan ucapan yang kulontarkan tadi. Lalu, kami saling
tertawa bersama. Mengganti topik nama anak menjadi topik
agama dan ras.
Ya, pembicaraanku dengannya selalu saja berat,
selalu saja tidak seperti pembicaraan orang yang sedang
berpacaran. Seringkali kami berdiskusi banyak hal, persoalan
yang awalnya buta dan gelap menjadi hal yang terlihat dan
terang. Itulah masa yang tidak pernah aku temukan lagi saat
26
ini, karena selalu saja masa lalu yang kita inginkan kembali,
tidak akan pernah kembali.
Dia seorang mahasiswi berkacamata dengan tinggi
badan sekitar 160 sentimeter. Bermata sipit, berhidung cukup
pesek, berkulit putih, dan wajahnya memang tercipta sangat
oriental dan sangat cina. Dia kuliah di fakultas Manajemen ,
di salah satu universitas di daerah Yogyakarta. Dia sangat
suka fotografi, tapi tak suka memotret manusia, "Aku lebih
suka motret pemandangan daripada manusia. Motret manusia
malah bikin grogi." Ungkapnya santai dengan tawa
renyahnya. Pikirannya sangat idealis, dia punya konsep
tersendiri tentang Tuhan dan agama. Dia punya konsep
tersendiri tentang Agama,nya. Ya, dia selalu mengikuti jalan
pikirannya, dia selalu tahu bagaimana cara melangkah
mengikuti alur pikirannya.
Semua berjalan begitu absurd, tapi tak dapat
dipungkiri bahwa segala hal yang kita lewati memang
mengalir begitu indah. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah
seyaman itu pada pria, kecuali pada saya. Ya, awalnya dia
memang sangat dingin, seringkali menghilang, seringkali
berbicara seenak jidatnya, tapi semua bisa terlampaui begitu
27
sukses, dia berubah, dia menjadi begitu indah. Itulah yang
kami sebut cinta, mampu mengubah seseorang menjadi
pribadi yang lebih baik.
Saya adalah ciri-ciri pria yang agak sedikit penuntut.
Ya, maksud saya menuntut seorang wanita yang saya cintai
menjadi lebih baik, saya menuntut wanita tersebut melakukan
perubahan dalam hidupnya, selama dia menghabiskan
waktunya dengan saya, maka saya harus mengubahnya, maka
dia harus berubah untuk saya dan untuk hubungan kita.
Maka, kami harus berubah, menjadi dua orang yang saling
jatuh cinta atas dasar kasih bukan atas dasar nafsu dan
ketertarikan fisik. Seringkali cinta menciptakan penuntutan,
penuntutan untuk mengubah pribadi menjadi lebih baik.
Jujur, saya seringkali jatuh cinta pada wanita penurut yang
mudah diatur. Saya sangat menghargai seorang wanita yang
mau berubah untuk hal yang baik.
Dia pernah jadi seseorang yang penting dalam hidup
saya. Dia pernah menjadi penenang amarah saya, dia pernah
menjadi penyebab dari senyum saya, tapi itu dulu, masa
dimana masih ada dia, masa dimana hanya ada tawa dan
senyum malu-malu yang menghiasi perjalanan kita. Dia
28
mengenalkan saya pada budayanya, dia mengenalkan saya
pada dunianya, dia menjelaskan konsep Tuhan yang ia tahu
pada saya. Ya, dia mengajari dan mengayomi saya, dia tahu
persis bagaimana memperlakukan perasaan saya.
Jelas, kami pernah bertengkar hebat. Hingga beberapa
hari kami tak saling berhubungan, tapi cinta tetaplah cinta,
rindu tetaplah rindu, sulit untuk disembunyikan dan
dilupakan. Hingga pada suatu ketika dia menulis di note
facebooknya, bercerita tentang hubungan kami yang berjudul
"Untitled 16". Saya terharu membacanya, saya menyangka
bahwa wanita secuek dia tidak mungkin bisa menulis
sedalam itu. Saya tahu ini yang namanya cinta, selalu punya
alasan untuk memaafkan.
Pertengkaran kecil kami yang detailnya tidak pernah
saya lupakan, seringkali menggelitik rindu setiap
mengingatnya.
"Matamu!" Ucapku kasar mengetuk keras gendang
telinganya.
"Sipit, Cuk!" Timpalnya dilanjut dengan tawa
lepasnya.
29
"Cino nyebahi!" Aku tak mau kalah, masih saja aku
menggoda perasaannya.
"Jowo marai emosi!" Dia juga tak mau kalah,
semonyong-monyongnya bibirnya dia lakukan hanya untuk
menghujani saya dengan pertengkaran kecil yang disertai
canda itu.
Cino dan Jowo, seringkali menjadi perpaduan yang
baik jika berada di tempat yang seharusnya. Tapi, bisa jadi
malapetaka jika tak bersatu pada tempat yang seharusnya.
Ah, tapi yah, sekali lagi saya katakan semua hanya
kenangan, semua hanya pecahan puing-puing retak yang
terpecah dari asalnya. Dia menjalani hidupnya sendiri,
sayapun harus menjalani hidup saya sendiri. Memang tak
pernah terpikirkan kita akan berpisah, karena semua mengalir
dengan begitu indah. Tapi, ya memang semua harus berakhir,
walau tanpa kata pisah dan kata putus, walau tanpa kalimat
perpisahan dan kalimat mengakhiri. Terkadang, suatu
hubungan bisa saja tiba-tiba putus walau tanpa kata putus.
Sekarang, dia mungkin sedang berbahagia dengan
pilihannya. Dan, sekarang saya bahagia dengan pilihan saya.
Saya tak perlu tahu apakah dia bahagia dengan pilihannya,
30
yang saya tahu cerita kita pernah ada, walaupun memang
sudah berakhir.
31
Cinta Butuh waktu
Senyumnya adalah bagian yang paling kuhapal.
Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan
energiku. Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang
sedang menulis sesuatu di kertasnya. Matanya sesekali
mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
Aku yang sedang menggambar sketsa wajahnya,
memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail
wajahnya tak kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu
mancung, pipi dan rahang yang tegas, dan bentuk bibirnya
yang mencuri perhatian siapapun saat menatap lengkungan
senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang
mencintainya tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan
yang nyata.
Secara terang-terangan, aku tak pernah bilang cinta,
namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan,
perhatian, dan caraku membangun percakapan. Aku
mencintainya. Terlalu mencintainya. Sampai-sampai aku tak
sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan,
32
meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-
buru mengetuk pintu hatiku.
Di sebuah taman, tempat kami biasa bertemu, tempat
kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai.
Ia menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah
karya kami sama-sama selesai, kami saling menukar hasil
jemari kami.
Tulisannya yang indah dan gambarku yang sederhana
sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya.
Betapa kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa
cara sederhana bisa membuat aku dan dia merasa tak butuh
apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan rasa
kehilangan.
“Kamu pernah takut dengan rasa kehilangan?”
ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih
menulis sesuatu di kertas.
“Pernah dan aku tak akan mau lagi merasakan
perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih
memperbaiki gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan
lagi bentuk wajahnya, rahang dan jambang rambutnya yang
begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk
33
menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh
batang pensil saatku menggambar.
“Kalau kausudah berusaha begitu kuat, namun
kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan
kaulakukan?”
Kubiarkan pertanyaannya menggantung di udara
sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada
rasa penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan
pensilku di kertas lebih terdengar jelas dalam keheningan
kami berdua.
“Apa yang akan aku lakukan?” aku mengulang
pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya
yang membesar.
Kening itu mengkerut ketika pertanyaannya kuulang,
“Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan tiba-tiba
menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk
menggenggam?”
Helaan napasku terdengar santai, “Aku akan selalu
bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan
kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku
tak akan mengulang kesalahanku lagi. Dan, aku akan
34
semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak boleh
disia-siakan.”
Jawabanku membuat ia semakin tajam menatap
wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi
salah tingkah ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan
jemarinya ke atas kepalaku dan membelai rambutku. Aku tak
tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa seketika
tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas
sentuhannya. Aku belum bisa merasakan adanya cinta dalam
setiap sentuhannya.
Ia kembali menulis, kuintip sedikit ternyata kertas
tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya
yang indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku
merindukan dia.”
“pria itu lagi?” tanggapku dengan cepat.
Ada sesuatu yang bergerak dalam dadaku ketika ia
mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang,
tapi entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar
tak merasa sakit dengan pernyataan yang seperti itu. Kali ini,
aku merasa dianggap tak ada.
35
“Aku selalu bilang padamu, setiap hari, berkali-kali,
tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak
pernah menghargai perasaanmu!”
Senyumnya terlihat getir ketika aku berbicara dengan
nada tinggi.
“Apakah bagimu, ada kehilangan yang tak
menyakitkan?”
“Semua kehilangan pasti menyakitkan, kita sebagai
manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau
bersama seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita
tentukan sendiri.”
Tanpa menatap wajahku, ia kembali mengajakku
bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama
kehilangan?”
Aku berhenti menggambar. Kuketuk-ketukkan
pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka
pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan
kepasrahanlah yang membuat bekas luka tak lagi perih.”
“Lantas, apa lagi?”
“Membuka hati untuk seseorang yang baru!” seruku
dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.
36
“Ah, tapi bukankah semua butuh waktu? Termasuk
juga soal cinta.”
“Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan?” aku
mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu?
Sampai orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih
pergi, karena tak terlalu kuat diabaikan berkali-kali?”
Aku tertawa dalam hati; menertawai diri sendiri.
“Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut tertawa sambil terus
melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan
waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit
diprediksi.”
“Ah, kamu ini, semua hanya soal kesiapan hati.”
bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai
nyeri, “Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang
ke dalam hatimu, karena ia tak ingin banyak hal, selain
membahagiakanmu.”
“Aku juga berpikir begitu, tapi aku takut jika luka
yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang
yang mencoba masuk ke dalam hatiku.”
37
“Bagi orang yang ingin membahagiakanmu, tak akan
pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu
lambat kaurasakan.”
“Tak akan pernah ada luka?” tanyanya dengan wajah
tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat
serius, kali ini.
“Ketika tulus mencintai seseorang, ia melakukan
banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia
memikirkan apa yang akan ia dapatkan ketika ia
mencintaimu.”
“Begitu manisnya cinta....”
“Lebih manis lagi jika tak hanya satu orang yang
berjuang untuk membahagiakan, harus saling
membahagiakan.”
Kalimatku membuat ia tersenyum lebar. Ia
membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di
kertas. Aku menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar
ketika aku selesai menggoreskan goresan terakhir.
Setelah karya tulisnya selesai dan karya gambarku
selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata
sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya.
38
Ketika karyanya ada di tanganku dan karyaku ada di
tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
Ia menikmati gambarku dengan senyum memesona,
senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku
adalah sosoknya yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak
melewatkan detail wajahnya yang indah. Hidungnya
kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga
jambangnya yang menggemaskan, juga kugambar dengan
goresan yang tegas. Ia mengucap terima kasih. Aku bisa
menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul
Masa Depan.
Giliran aku yang membaca karya tulisnya. Awalnya,
kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia
menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang
hidup dalam masa lalu dan kenangannya. Hatiku teriris
membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak ada aku di
sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang
dulu ia ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu
kubenci karena menyia-nyiakan orang yang kucintai saat ini.
Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.
39
Aku mengulum bibirku. Usahaku masih terlalu
dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum
cukup menyentuh hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu
ketika aku sudah menganggap sosoknya sebagai masa depan.
Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara
perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
Aku belum berhasil seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih harus terus berjalan dan
berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia
juga menganggapku masa depan, seperti aku selalu
menganggap dia sebagai bagian masa depanku. Cinta butuh
waktu. Butuh waktu untuk membuat ia segera melupakan
masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu untuk
membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal
untuk ia percayai. Cinta memang butuh waktu.
40
Setiap Minggu di Taman Budaya
Sempurna!
Foto ke seratus tiga puluh lima. Dias tersenyum
memandangi setiap lekuk sempurna di tubuh wanita itu.
Jemarinya menyentuh layar SLR yang ia genggam, dengan
pelan dan hati-hati. Seandainya, dengan tangannya, ia bisa
benar-benar menyentuh wanita itu. Wanita itu sempurna.
Keningnya, hidungnya, telinganya, bibirnya, seakan-akan
tanpa cela. Pahatan tangan Tuhan yang mahakarya. Dias tak
bicara banyak, ia hanya mampu tersenyum dan menatap,
tanpa berani menyentuh juga mengeluh.
Langkahnya melewati lorong tempat lukisan-lukisan
terpajang di dinding. Mulai menjauh dari wanita itu. Cahaya
terang dalam ruangan membiaskan bayang-bayang orang
yang berjalan dan mengamati benda-benda seni. Dias turut
masuk dalam keramaian yang ada, lalu-lalang penikmat seni
yang melihat dengan teliti kadang juga dengan langkah
terhenti. Mereka berfokus pada beberapa karya seni yang
menarik dan apik. Tapi, Dias tak terlalu tertarik. Ada sesuatu
41
yang lebih penting dari pameran ini. Wanita yang ia koleksi
potretnya. Sudah lama. Sejak enam bulan yang lalu.
Kakinya berjalan menuju area pameran perfilman,
dari sudut yang tak diketahui, Dias masih saja memerhatikan
wanita itu. Ia seperti terhipnotis, jemarinya kembali memotret
sosok manis, walau hanya punggung dan rambut panjangnya
saja yang tertangkap kamera. Dias bersandar di dinding
seakan-akan tak ingin wanita itu mengetahui kehadiran Dias.
Ia sedikit menggerakan kepalanya, wanita itu masih di sana,
mengagumi karya-karya yang tercipta.
Wanita itu telah menganggu hari-harinya, dengan
berbagai macam cara dan rupa. Dengan rindu yang memburu,
dengan kangen yang mengamit resah, dengan bayang-bayang
yang semakin menusuk asa. Semuanya! Dias tak pernah
melewatkan dan melupakan detail siluet tubuh wanita yang
hampir saja membuatnya gila.
Ia menghela napas panjang, dan kembali menatap ke
area perfilman. Wanita itu menghilang secara tiba-tiba. Raib
tak berbekas. Dias menyapu pandangan ke segala arah. Tetap
saja, tak ada. Ia berjalan cepat mengitari ruang pameran.
42
Berjibaku dengan keramaian yang ada, ia menatap setiap
wajah. Namun, wanita itu tak ada.
Selalu muncul dan lalu pergi secara mendadak, secara
tiba-tiba dan sulit diprediksi. Ia harus menunggu satu minggu
lagi, untuk bertemu dengan wanita itu. Padahal, perasaan
kangen yang melubangi hatinya belum juga tertutup rapat.
Dias tetap menunggu, setia untuk menunggu.
Apa salahnya menunggu? Meskipun membosankan,
meskipun menyakitkan, tapi Dias tetap ingin melakukan itu.
Memang tak ada alasan mengapa Dias harus menunggu, ia
hanya ingin menunggu dan terus menunggu. Sungguh, tak
ada alasan, karena menunggu kadang memang tak perlu
penjelasan juga alasan bukan? Menunggu seperti fase yang
harus dilewati seseorang, untuk bertemu dengan
kebahagiaannya. Begitu juga Dias. Entah sampai kapan, dan
berakhir dengan bahagia atau luka. Dias hanya tahu
menunggu, tanpa pernah tahu hal yang harus ia tuju. Hari
berganti, dan ia masih menunggu. Tanpa alasan, tanpa
keluhan, Dias tetap bertahan.
Dias percaya bahwa dirinya bukan pengecut, yang
hanya diam-diam mengagumi lalu sepenuhnya bersembunyi.
43
Ia juga yakin hal yang ia lakukan bukanlah sebuah kesalahan,
apakah salahnya mengagumi seseorang dengan sangat
dalam? Itulah yang Dias rasakan. Awalnya, semua tak
merepotkan, namun ketika perasaan itu hadir dan terlihat
semakin nyata, Dias jadi merasa resah. Ia bahkan tak tahu
nama bidadari yang semakin hari semakin meresahkannya.
Sungguh, Dias percaya kalau dia bukan pengecut. Dia
hanya butuh waktu. Iya, waktu yang tepat. Semua akan indah
pada waktunya bukan? Tapi, Dias seakan-akan tak tahu
waktu yang tepat akan terjadi kapan. Wanita itu benar-benar
menggerogoti nalar dan akal sehatnya. Otak Dias sulit
bekerja secara maksimal saat wanita itu berjarak beberapa
meter dari pandangannya, walaupun masih jauh, bahkan
sangat jauh. Dias tak tahu sosok seperti apa yang dia cintai, ia
hanya tahu perasaan itu ada dan semakin hari semakin
membuatnya tersiksa.
Setiap minggu, di Taman Budaya, selalu ada pameran
yang berbeda. Dias ditugaskan sebagai fotografer yang
mendokumentasikan acara tersebut. Setiap minggu, di Taman
Budaya, Dias selalu menunggu-nunggu waktu itu. Karena
pasti hawa yang telah merenggut habis perhatiannya akan
44
muncul secara tiba-tiba. Seperti Cinderella yang tak jelas
kapan ia datang dan tak pernah diketahui kapan ia pulang. Di
balik kemisteriusannya, Dias tetap jatuh cinta. Ia tak banyak
bertanya, juga tak banyak mengeluh apalagi menuntut.
Dia tak tahu harus berbuat apa, sampai pada akhirnya
ia menatap seorang satpam yang menjadi pagar betis di pintu
masuk pameran.
“Jadi satpam?” lantang, suara Pak Karjo membahana,
nadanya terdengar tak percaya.
Pria bertubuh gempal itu berhenti menghisap
rokoknya. Beliau adalah penanggung jawab pameran yang
mengatur panita pelaksana pameran setiap minggu di Taman
Budaya. Agak keras namun seperti orang Yogya lainnya,
berhati lembut dan nyaman.
Tanpa ungkapan, Dias mengangguk mantap.
“Kenapa?” tatapan Pak Karjo tajam menusuk-nusuk
ke arah Dias.
“Saya butuh pekerjaan ini, Pak. Sangat butuh.”
“Seberapa pentingkah pekerjaan satpam hingga kamu
tak ingin lagi jadi fotografer?”
“Sangat penting. Ini soal takdir.”
45
“Takdir? Mbok yo kamu jangan becanda tho.”
“Saya serius, Pak.”
“Gaji fotografer lebih banyak daripada gaji seorang
satpam, Nak Dias.”
“Saya tidak mengejar gaji.” jelas Dias singkat, suara
renyahnya menenangkan perasaan Pak Karjo yang terkejut.
“Lantas, kamu mengejar apa?”
“Ada sesuatu yang lebih penting daripada gaji.”
“Apa?”
“Cinta.”
Malam itu langit Yogya terlihat cerah. Cahaya lampu
sorot turut membantu bulan menerangi gelapnya malam.
Musik perjuangan rakyat yang lirik lagunya bernilai seni
tinggi sudah terdengar sejak pukul tujuh malam tadi. Ada
penonton yang meramaikan panggung Taman Budaya juga
meramaikan ruang pameran Taman Budaya.
Dias berdiri tegak. Mantap. Ia membenarkan kerah
bajunya dan topi satpam yang ia kenakan. Pentungan yang
kaku berada di dekat saku celananya. Ia sangat bangga
dengan pakaian itu. Penikmat pameran yang ingin memasuki
46
ruang pameran mulai ramai, tugas Dias dan kawanan satpam
lainnya adalah membuat pagar betis agar antrean tak
berdesak-desakan dan ruangan di dalam pameran
berkapasitas pas, tidak terlalu penuh dan sesak.
Suasana di pintu masuk pameran memang cukup
ramai, maklum malam minggu. Penikmat seni yang datang
juga beragam. Ada yang berambut gimbal, bertatto, bertindik
anting, bercelana pendek, juga hadir dengan pakaian biasa
dan sederhana. Bermacam-macam penikmat seni
diperhatikan oleh Dias, satu peratu wajah mereka mampir
dalam tatapan mata Dias. Namun, wanita yang ia tunggu dan
ia cari tak ada.
Ia masih menunggu, hingga pukul sembilan malam,
ketika antrean mulai semakin ramai oleh orang-orang yang
habis menonton panggung musik tadi. Dias mulai bosan dan
lelah, tubuhnya telah lunglai karena berdiri terlalu lama. Ia
sempat didorong juga dikritik oleh beberapa penikmat seni
yang menunggu di pintu masuk pameran.
Dias masih bersabar, ia melempar pandangan ke
segala arah. Hingga pada suatu ketika, seorang wanita berdiri
di depannya. Mengantre dengan tenang dan santai.
47
Jantung Dias berdebar cepat. Wanita itu.
Jarak Dias memandangnya kini lebih dekat, hanya
beberapa sentimeter, tak lagi bermeter-meter. Sekitar
beberapa detik, mereka bertemu mata, dan Dias seakan-akan
tak bernapas.
“Pamerannya masih lama ya?” ucap wanita itu
dengan suara lembut, yang membuat Dias semakin tak
percaya pada apa yang ia lihat.
“Ma... ma... masih, Mbak.” jawab Dias terbata-bata.
“Antreannya ramai juga ya?”
“Iya, lumayan, Mbak.”
Dias tak bisa bicara banyak, ia hanya mematung dan
selebihnya tak tahu harus berbuat apa. Dias mengerti bahwa
debaran jantung yang begitu kencang ini disebabkan oleh
wanita yang berada di hadapannya.
“Kayaknya, aku pernah lihat kamu deh, tapi di dalam
gedung bukan di luar gedung.”
“Ah, Mbak salah lihat mungkin.” Dias mengelak.
“Iya, mungkin aku salah lihat ya.”
“Mbaknya dari mana?”
“Habis dari Malioboro.”
48
“Oh, sendirian?”
Pertanyaan Dias adalah pertanyaan pancingan,
kesempatan.
Wanita itu baru ingin membuka suara, namun tiba-
tiba seorang anak kecil mendekatinya. Perempuan kecil yang
menggemaskan itu membawa sebuah kunciran pada
pergelangan tangannya. Ia berusaha menerobos antrean di
belakang hingga ke depan, mendekati wanita itu.
“Mama, rambut Adek berantakan.” kata perempuan
kecil dengan suaranya yang manja.
Dias terbelalak, ia terdiam. Perasaannya mulai tak
enak. Seperti ada ribuan panah yang merasuk dalam
tubuhnya, ia semakin sulit bernapas. Detak jatungnya malah
pelan. Belum sempat ia merapikan jengkal napasnya, seorang
pria berkacamata tiba-tiba turut menerobos antrean, berdiri di
samping wanita itu, menyikut beberapa orang yang lebih dulu
berada di posisi itu.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Ketika antrean dibuka
dan para penikmat seni dipersilakan masuk, wanita itu
tersenyum sambil menatap Dias, lalu kemudian
meninggalkannya. Tapi, Dias tak berhenti menatap, ia masih
49
terlalu asing dengan perasaan yang baru saja ia rasakan.
Mereka memasuki gedung pameran, Dias masih tak berhenti
memerhatikan. Perempuan kecil yang membawa kuncir
rambut digandeng lembut oleh wanita itu, sementara pria
berkacamata yang berdiri tepat di sampingnya merangkul
dengan mesra wanita yang telah Dias cintai selama berbulan-
bulan Helaan napas Dias terdengar berat, ia berjalan
terhuyung-huyung. Tak sempat memunguti hatinya yang
patah.
50
Setelah Kita Putus
“Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya
dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di
bibirku.
Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang
sejak tadi menggodaku.
“Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah
seperti dulu lagi.”
Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan
raut wajahnya yang menyebalkan.
“Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan
sinis. “Belum cukup sama yang kamu lakukan selama ini?”
Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku
menangkap sinyal kesalahan di matanya. Tapi, aku tak
peduli, rasa kasihanku telah habis untuknya. Aku muak
menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak
bersungut-sungut seperti di telepon tadi.
“Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun
penuh rayu. “Aku bersalah.”
“Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!”
“Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
51
“Tiga kali ada kata menyesal.”
“Aku menyesal!”
“Empat kali.”
“Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak
bisa menahan tatapanku agar tak menyorot matanya.
“Apa?”
“Maafin aku.”
“Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta
maaf.”
“Sungguh?”
Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin
percakapan ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin
semuanya berakhir. Dan, semoga wajah busuk ini tak lagi
kutatap.
“Aku menyesal, Kesha.”
“Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal
jika kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
“Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas
memaafkanku?”
“Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak
perlu ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”
52
Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia
menatapku dengan tatapan minta dikasihani.
“Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu,
rasa kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!”
Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang
terus saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan
kesal itu muncul lagi, bayang-bayang pahit itu kembali
berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak
memikirkan peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya
berciuman dengan seorang gadis di sebuah prakiran trade
center daerah Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu
dan hilang seperti angin. Sungguh, aku tak ingin mengingat
cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu
lemah.
Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar
mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama
beberapa tahun terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan
seseorang yang telah mengisi hari-hariku dengan begitu
cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar prediksiku, saat
aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf,
53
mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu
mencairkan hatiku yang sudah sangat beku.
Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri.
Memakinya, mencemoohnya, dan menghujaninya dengan
kata-kata kasar, namun sebenarnya aku tersiksa. Aku tak bisa
menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah terus-menerus
menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan
pikiranku yang sempat goyah, kembali meletakkan akal
sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak mungkin lagi
menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf
padaku. Meskipun dia harus meradang, meronta, atau
berlutut di hadapanku.
Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata
pengunjung restoran bergeser ke arah kami. Ini air mata
pertamanya yang pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak
pernah menangis di hadapanku. Apakah ini juga bagian dari
kebohongan?
“Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa
kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu
menghilanglah dari muka bumi ini!”
“Aku akan menghilang tanpa kauminta, Kesha.”
54
“Baguslah, sadar diri!”
“Dan, tidak akan pernah kembali.”
“Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!”
“Iya, selamanya.”
Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang
bodoh disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuang-
buang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku
sendiri, meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena
perkataanku.
Mampus kamu! Seruku dalam hati. Aku tertawa
senang. Aku berhasil menyakitinya. Aku tak menyesal
berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya bahagia?
Sempurna!
Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak
pernah mau tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi
mendengar namanya.
Aku menjalani hari-hari seperti biasa. Aku bahkan
berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa lalu yang
sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak
mampu menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam
malam-malam sepi ketika aku sedang mendengar lagu
55
favorite kita dulu. Have I Told You Lately That I Love You,
Rod Stewart selalu pandai membawakan lagu ini dengan
suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang
benar, sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke
masa lalunya, dan aku selalu mengalami hal itu, lagi dan lagi.
Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih
sepi. Aku sering iri melihat teman-temanku berjalan dengan
kekasihnya, dan aku hanya berjalan sendirian. Yaaaaah,
belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan
sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun
setelah mengenal wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku
membencinya dan sepertinya perasaanku padanya berangsur-
angsur mulai hilang.
Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum
sempat membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.
Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal.
Sebenarnya, aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut,
tapi entah mengapa, rasanya panggilan tersebut sangat
penting.
“Halo…”
“Halo… Kesha?”
56
Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di
telinga.
“Ini, Tante, Nak.”
“Tante?”
“Ibunya Kevin.”
Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara.
Aku berusaha keras untuk menahan emosiku dan perasaanku
yang mulai tak stabil.
“Iya, kenapa, Tante?”
“Mau nemenin Tante sebentar enggak?”
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras.
Namun satu kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga.
“Oke.”
“Sebenernya Tante udah lama pengin ajak kamu ke
sana.”
Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di
mobil aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti
pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
“Kita mau kemana, Tante?”
57
“Nanti, kamu juga tahu sendiri.”
Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku
puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput
yang menghijau. Tanah yang terlihat cukup gersang namun
untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit
kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan
kerundung berwarna hitam. Ia mengeluarkan kembang tujuh
rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin
menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang
tadi, dan sejauh mata memandang ada beberapa nisan yang
terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah ini ada pemakaman.
Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti
di sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan
di nisan itu, aku hanya menatap wajah wanita yang sejak tadi
genggaman tangannya semakin erat di jemariku.
Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok.
“Sudah dua bulan, Kesha.”
Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin
saja mendengarkan bisa memberiku jawaban.
“Dia pergi, sesuai permintaanmu.”
58
Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak
perkataan wanita ini dengan santun dan tegas.
“Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya
darimu.”
Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang?
Baguslah, itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
“Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.”
Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak
pernah ingin kuingat. Sialan.
“Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia
tak ingin kepergiannya menyakitimu.”
Aku terdiam. Masih tak paham.
“Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan
segalanya yang rumit, membuat semuanya seakan-akan
terjadi secara tidak sengaja.”
Merencanakan?
“Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan
mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai
rencananya.”
59
Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya
tak terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan
tatapannya.
“Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah
menyesal ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya,
bahwa dia tak ingin melihatmu terluka. Dia masih
mencintaimu.”
Omong kosong! Teriakku dalam hati.
“Dia baik sekali, Kesha. Dan kautak menyadari
bahwa pertemuan terakhir kalian adalah saat
kaumemakinya.”
Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak
bisa bernapas.
Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria
yang selama ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin.
“Perjuangannya memang tidak sia-sia, kautidak
terlihat terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air
matamu, Kesha. Lihatlah, kamu tidak menangis.”
Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku
terlalu kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu
besar untukku.
60
Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu
rasanya.
61
Aku tidak seperti Mantanmu
Bianca menatap jam tangannya berkali-kali. Detak dari jam yang melingkar manis dipergelangan tangannya sejak tadi terus menemani kesediriannya. Wajahnya cemas, bibirnya terkunci rapat, jemari tangan kirinya mengisi celah-celah kecil jemari tangan kanannya. Sesekali ia menyilangkan tangan di dadanya, ia merasa kedinginan. Bianca kembali menatap jarum jam, setelah itu ia memerhatikan awan yang semakin gelap dan rintik hujan yang semakin deras, wajahnya cemasnya semakin terlihat jelas. “Kevin belum juga pulang.” ucapnya perlahan dalam hati.
Disentuhnya plastik berisi dua bungkus nasi goreng yang ia beli di sebuah kedai makan mungil di ujung jalan, makanan itu sudah dingin, tak lagi hangat seperti awal ia datang ke tempat kost Kevin. Dua jam sudah ia menunggu, sementara Kevin tak kunjung pulang. Kevin juga tak membalas pesan singkat yang dikirim Bianca untuknya. Hujan semakin deras, Bianca semakin cemas. Bianca tetap saja melihat handphone-nya, meskipun tak ada satu pesan pun dari Kevin, meskipun Kevin tak kunjung memberi kabar.
62
Terdengar derap suara mobil dari luar pagar, seseorang keluar dari mobil itu. Pria itu berlari-lari kecil lalu membuka pagar, kini pria itu berdiri tepat di depan Bianca. Bianca tersenyum lega. “Kamu baru pulang? Sama siapa? Kehujanan ya?” tanya Bianca, masih dibalut wajah cemasnya. “Kamu ngapain di sini sih?!” ujar Kevin setengah membentak. “Aku mau bawain kamu nasi goreng. Kemarin, kamu sms ke aku katanya lagi pengen nasi goreng yang di ujung jalan itu, jadi aku beliin aja. Dimakan ya?” jelas Bianca dengan simpul senyum kecil bibirnya.
Kevin mengalihkan pandangannya, ia tak mau menatap Bianca, “Cewe bego! Pulang lo! Udah malem! Hujan juga kan!” bentaknya dengan nada tinggi. Bianca hanya menatap sosok Kevin dengan wajah bingung, bentakan keras Kevin membuatnya mundur satu langkah dari posisi ia berdiri diawal. “Tadi kamu pulang sama siapa?” tanya Bianca menahan rasa sedihnya. “Sama mantanku, kenapa? Eh, aku heran deh sama kamu, seneng banget nungguin aku, kayak mantanku dong, orangnya enggak suka nunggu, kecuali kalau diminta!” jawab
63
Kevin enteng, dengan wajah seakan-akan ia tak menyakiti hati Bianca. “Oh…” ungkap Bianca menahan amarah. “Syukurlah kalau kamu bisa pulang sama dia, kamu juga enggak terlalu kehujanan. Ini nasi gorengnya, kamu makan ya. Aku mau pulang dulu.” “Bawa aja nasi gorengnya, aku tadi udah makan kok sama dia.” tungkas Kevin dengan nada enteng. “Enggak usah, kamu bawa aja. Aku pulang ya. Nanti langsung mandi dan keramas habis itu minum teh hangat supaya kamu enggak kedinginan.” tegas Bianca sambil menatap wajah Kevin dengan penuh perhatian.
Kevin tetap membuang muka, sesekali Kevin menatap Bianca. Pandangannya mencuri-curi celah untuk menatap Bianca. Tapi, tetap saja dari raut wajahnya terlihat jelas bahwa Kevin tak peduli dengan Bianca. Kevin tak peduli dan tak mau tahu rasa khawatir yang Bianca simpan dalam-dalam. Padahal, rasa khawatir adalah wujud dari rasa cinta dan perhatian. Perhatian yang diabaikan layaknya rasa sakit yang diam-diam menghujam. Itulah yang dirasakan Bianca. Ia pulang dengan rasa hampa. Ia pulang dengan gerimis kecil dimatanya, gerimis itu bernama air mata.
Suara mahasiswa yang berdengung membuat Bianca pusing tujuh keliling. Bianca adalah wanita plegmatis yang
64
kadang membenci keramaian. Ia hanya duduk sendirian, merasakan angin genit yang bermain dengan rambut hitamnya. Kevin berjalan di depannya namun Kevin peduli, tak mau menatap sosok Bianca yang menunggunya sejak tadi. Bianca terbangun dari bangkunya, ia berlari-lari kecil mengejar sosok Kevin, “Kamu kenapa akhir-akhir ini cuek banget?” Kevin mengarahkan pandangannya pada Bianca, “Emang kenapa? Kamu kan cuma pacarku bukan istriku, salahku kalau nyuekin kamu?”
Bianca mengehentikan langkahnya, ia tertunduk seusai mendengar ucapan yang terlontar begitu saja dari bibir Kevin, “Kapan kamu menghargai aku sebagai sosok yang penting dalam hidupmu?” “Kapan? Kenapa bertanya? Bukankah aku selalu menghargai kamu?” tanya Kevin dengan nada keheranan.
“Padahal, apa yang tidak kuketahui tentangmu? Semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku. Aku selalu menghargai kamu, menghormati posisimu, dan masih memperlakukanmu dengan baik meskipun kadang kautak menghargai aku.” jelas Bianca dengan matanya yang mulai berair. “Wanita bodoh! Jangan jadikan air matamu sebagai senjata pamungkasmu! Kamu cengeng, kamu berbeda dengan
65
mantanku. Dia jauh lebih kuat daripada kamu!” tungkas Kevin dengan nada tinggi.
Ya… aku memang tidak seperti mantanmu. Aku memang tidak secantik dan setegar dia. Aku memang tidak secerdas dan semandiri dia. Aku jelas-jelas tak luar biasa seperti dia. Tapi, dia hanya masa lalumu, sedangkan aku adalah masa kini yang mungkin akan kaubawa ke masa depanmu!” Bianca menatap Kevin dengan tatapan serius. Tak pernah Kevin melihat Bianca sekeras dan seberani itu. “Kamu memang tidak seperti mantanku.” ucap Kevin singkat.
“Aku memang tidak seperti mantanmu. Aku adalah aku, yang akan luar biasa dengan jalan dan pilihanku sendiri. Kenyataannya kamu memang tidak bisa melupakan mantanmu dan masa lalumu.” ujar Bianca memicingkan mata, tatapannya tajam menatap Kevin. “Bukan urusanmu!” “Dan, aku sangat kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu lupa pada masa lalumu.” “Masa lalu bukan untuk dilupakan, masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran.”
Mata Bianca memerah, cahayanya yang bening tak lagi bersinar dari bola matanya, “Aku juga kecewa pada
66
diriku sendiri, kenapa aku sulit membuatmu jatuh cinta kepadaku lalu melupakan mantanmu?” Kevin tak tega menatap Bianca, naluri lelakinya keluar, selalu tak tega menatap wanita yang sedang menangis, “Sudahlah…” ucap Kevin perlahan. “Jangan menangis.” “Kita akhiri saja semua kalau memang kamu masih memikirkan masa lalumu. Kita akhiri saja semua kalau memang kaulebih merindukan masa lalumu. Kita cukupkan sampai di sini, kalau masa lalumu lebih mampu untuk membahagiakanmu.” “Maksudku bukan seperti itu, Sayang.” dengan nada sok manja, Kevin menarik lengan Bianca. “Maaf ya?” “Percuma ada kata maaf jika kau tak mau berubah. Percuma ada kata maaf jika kauterus mengulang kesalahan yang sama. Kembalilah pada masa lalumu, aku juga tak membutuhkan orang sepertimu dimasa depanku.” Cetus Bianca, meghempaskan lengan kevin dari lengannya.
Kevin tak menyangka bahwa wanita yang beberapa bulan ini disiksanya juga mampu menyiksanya dengan cara yang menyakitkan. Hukum karma ternyata berlaku, jika seseorang menyakiti hati orang, maka akan ada saatnya hatinya juga akan tersakiti. Kevin hanya mematung menatap Bianca, menatap punggungnya hilang dari pandangannya. Jam waker melakukan tugasnya dengan baik, celotehnya
67
yang berisik membangunkan Kevin yang masih saja terantuk di ujung kantuk. Dimatikannya jam waker itu, ditariknya lagi selimut yang sejak tadi malam menghangatkan tubuhnya. Matanya menatap jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Gerakan reflek, ia menatap handphone, tak ada pesan singkat dari Bianca.
Tak ada suara ketukan pintu dari luar. Tak ada lagi wanita yang menyiapkan bubur ayam sebagai sarapan kesukannya. Tak ada sosok wanita yang meletakkan teh hangat di dekat tempat tidurnya. Tak ada lagi Bianca yang memerhatikan sosoknya. Ia merasa kesepian. Rasa membutuhkan dan perasaan akan kehilangan baru ia rasakan ketika ia telah kehilangan.
Kevin menghela napas. Ia menarik selimut untuk menghangatkan dadanya. Tubuhnya masih menggigil, demamnya tak juga turun. Entah sudah berapa lama hujan menari-nari tadi malam, hingga dinginnya masih saja menusuk tulang. Sosok Bianca yang ia harapkan tergopoh-gopoh membawa obat dan segelas air putih, tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hanya detak jam dinding yang mendesah perlahan kala itu. Tak ada Bianca.
68
Tersirat
“Woy, Baju Merah! Woy!”
Dira berbalik badan dan menghentikan langkah, “Gue?”
“Iya! Elo yang namanya Dira ya?”
“Iya, kenapa?”
“Anu lho, Si Kevin....”
“Kevin?”
“Iya, anak yang sekelas sama elo!”
“Dih, elo bukannya sejurusan sama gue? Elo anak psikologi
juga kan? Mahasiswa baru juga?”
“Gue Rama, kita satu jurusan juga, kok, tapi beda kelas.
Sewaktu pertemuan pertama mahasiswa baru, elo lihat gue
kan?”
Dira memutar ingatannya, mencoba mencari-cari
wajah Rama dan mengingat kembali pertemuan pertama
mahasiswa baru, ketika ia temukan wajah Rama dalam
memorinya, Dira langsung mengangguk cepat, “Iya, gue
inget.”
“Bagus! Gue mau cerita mengenai Kevin nih.”
69
“Ada apa dengan Kevin? Enggak ada hujan dan enggak ada
angin kok elo tiba-tiba cerita tentang dia?”
“Kevin suka cerita tentang lo! Dia juga sering banget
bercerita tentang percakapan antara lo dan dia. Kayaknya, dia
suka banget deh sama elo, Dir.”
Pipi Dira memerah, “Kita cuma sering becanda di sms atau
bbm, kok, enggak lebih dari itu.”
Pria itu menatap wajah Dira sambil menghela napas
pelan dan panjang. Dira meneliti wajah pria itu dengan
cermat, nampaknya ia sangat bersemangat mengejar Dira
hingga napasnya terengah-engah seperti itu.
“Dia juga cerita kalau elo suka sms atau bbm dia
duluan. Katanya, elo lucu, ramah, dan supel. Dia nyaman
ngomong sama elo.”
“Wah, gue baru tahu kalau elo deket sama Kevin.”
“Dia sering main ke kosan gue, soalnya kosan dia
katanya sepi. Dia enggak terlalu suka tempat yang sepi.”
Dira mengangguk mengerti, “Terus, dia cerita
apalagi?”
“Elo penasaran? Mending kita ngobrol dekat danau
itu aja, lumayan anginnya sepoi-sepoi.”
70
Langkah mereka berayun menuju salah satu bangku
di dekat danau. Dalam keadaan seperti ini, sejauh mata
memandang terlihat Perpustakaan kampus berdiri megah.
Aliran danau yang tenang namun menggoda menciptakan
gemerisik yang merdu. Terpaan angin yang sejuk memainkan
rambut Rama dan Dira.
Dira tak terlalu mengenal Rama, mungkin inilah kali
pertama Dira bisa benar-benar bercakap dengan Rama. Hal
itulah yang juga dirasakan Rama, inilah kali pertama ia
bercakap dengan Dira.
“Kevin cerita banyak hal mengenai elo. Dia
memerhatikan setiap detail yang ada dalam diri lo.”
“Wah, tapi, kok elo malah cerita-cerita ke gue sih?
Harusnya, itu kan jadi rahasia antara elo dan Kevin.”
“Bagi gue, ini bukan rahasia. Enggak ada gunanya
disimpan diam-diam kalau dikatakan jauh lebih berarti.”
“Elo serius kalau Kevin sering cerita tentang gue ke
elo?”
“Iya, masa gue bohong sama elo? Elo suka sama
dia?”
Dira terdiam.
71
“Oke, diam lo cukup menjawab, kok.”
Senyum Dira melengkung sempurna, ia
membayangkan bagaimana Kevin, pria yang baru-baru ini
mengisi hatinya yang kosong, sangat berantusias bercerita
tentang dirinya kepada sahabat karib Kevin, Rama. Dira juga
mereka-reka bagaimana wajah Kevin yang sangat manis itu
mengucapkan nama Dira berkali-kali. Senyum Dira semakin
puas, ia merasa bahwa usahanya mendekati Kevin telah
mendapatkan respon. Kevin yang Dira kira adalah cowok
angkuh dan pelit respon ternyata menyimpan rahasia yang
mendalam. Bagi Dira, Kevin juga menyukai Dira sedalam
Dira menyukai sosok Kevin. Senyum Dira terlihat semakin
puas. Sangat puas.
“Tetap bikin dia tersenyum ya, kayaknya cuma elo
yang berhasil mengembalikan senyumnya.”
“Lho, kok segitunya sih, Rama? Emangnya ada apa
dengan Kevin?”
“Tadinya, dia udah lupa rasanya jatuh cinta,
kehadiran elo benar-benar mengubah dia.”
“Rama, thanks ya! Gue jadi tambah semangat nih
buat bikin Kevin terus tersenyum.”
72
“Bagus. Sekarang, udah sore banget, elo enggak
pulang?”
“Keasikan cerita jadi lupa kalau gue mau pulang!”
Rama tertawa geli. Dira segera pamit meninggalkan Rama.
Langkah Rama tak langsung beranjak, ia memerhatikan
punggung Dira yang semakin lama semakin menjauh.
Napasnya berembus dengan sangat berat, “Dira,
seandainya gue bisa jadi Kevin.”
Dira sejak tadi menatap pintu kelas, ia berharap sosok
Kevin datang sebelum mata kuliah dimulai. Tatapan Dira
masih begitu serius, hingga sosok Kevin yang diharapkan
terlihat muncul dari balik pintu.
“Kevin!”
Kevin menatap acuh tak acuh pada Dira, “Yo, Dir.”
Merasa diabaikan, Dira segera mendekati Kevin
menuju mejanya. “Pagi ini suntuk banget, udah sarapan?”
Kevin menggeleng lemah, matanya tak lepas dari
buku tebal yang berada di jemarinya.
“Dira masakin Kevin nasi goreng lho,” tangan Dira
mengulurkan sekotak makanan ke meja Kevin. “Enggak
terlalu enak sih, tapi dimakan ya, Kevin.”
73
Wajah menyebalkan Kevin tak luput dari pandangan
Dira, reaksi Kevin yang menyebalkan ternyata tak membuat
Dira jera. Ia masih terus berusaha mengajak Kevin bicara,
namun respon Kevin tetap sama; tersenyum setengah-
setengah.
Ketika percakapan berlangsung semakin hambar, Rama
mengagetkan mereka berdua dengan suara khasnya, “Woi!
Berdua aje!”
Senyum Dira melengkung malu-malu, “Eh, Rama, pagi-pagi
udah godain orang aja!”
“Woi, Bro, untungnya elo dateng, kelas elo belum
masuk emang?”
“Kelas B belum masuk kok, Vin.”
“Oh iya, gue mau cerita banyak nih!” ucap Kevin
dengan nada bersemangat ketika melihat sosok Rama berdiri
di samping mejanya.
Pasti mereka mau ngomongin gue. Dira tersenyum
tipis, ia sangat yakin dengan kata hatinya. “Kevin, nanti
balajar bareng di Perpustakaan Pusat UI mau enggak?”
Tatapan itu masih sama, tatapan tak peduli, “Jam
berapa? Sama siapa aja?”
74
“Habis kelas pagi ini, berdua aja, kalau kebanyakan
orang takut terlalu rame.”
“Oke, gue ngikut ajadeh!”
Senyum Dira terhapus, ia merasakan debaran aneh di
jantungnya. Ketika Kevin menatapnya, meskipun hanya
sekali lirik, tatapan itu benar-benar meruntuhkan logika dan
pikirannya. Dira masih beranggapan bahkan Kevin
sebenarnya juga menyukai Dira, namun Kevin masih
menunggu waktu yang tepat untuk memberi respon kemudian
mengungkapkan. Dira menutup hatinya rapat-rapat untuk
orang lain, karena kunci hatinya telah dimiliki oleh Kevin. Ia
sangat yakin bahwa pengabaian Kevin bukanlah hal yang
sebenarnya ingin ditunjukkan Kevin, ia punya pendapat
sendiri terhadap perasaan Kevin. Baginya, Kevin punya
perasaan yang sama, namun Kevin masih malu-malu untuk
menunjukkan perasannya.
Ketika kuliah pagi usai, Dira langsung melengos
pergi menuju Perpustakaan. Ia berlari menuju halte bis
kuning yang akan mengantarkan dia sampai di depan halte
bisa kuning Pondok Cina. Napasnya yang terengah-engah tak
meluruhkan semangatnya untuk segera sampai di
75
Perpustakaan . Sesampainya di sana, ia segera menaiki lift
menuju lantai tiga, dengan sigap mencari meja yang pas
untuk belajar bersama Kevin.
Rasa lelahya disandarkan pada bangku yang ia
duduki, dengan hati berdebar-debar ia menunggu kedatangan
Kevin. Kerjaannya sejak tadi hanya menatap jam tangan biru
yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu semakin
berlalu.
Satu jam.
Dua jam.
Tiga jam.
Kevin tak datang. Hanya untuk menunggu Kevin,
Dira bahkan meninggalkan jadwal mata kuliah siang. Wajah
Dira terlihat semakin kecut, hatinya bertanya-tanya. Apakah
Kevin memang punya perasaan yang mendalam seperti yang
diceritakan Rama? Apakah Kevin menyukai Dira seperti Dira
lebih dulu menyukai Kevin? Apakah semua perkataan Rama
tentang perasaan Kevin pada Dira harus benar-benar
dipercaya?
Dira melipat tangan, ia menundukkan kepala....
menangis dalam diam. Rama yang sejak tadi menatap Dira
76
dari kejauhan, tak bisa berbuat banyak. Rama ingin berada di
samping Dira, memeluknya dengan rapat, tapi rasanya tak
mungkin.
Ini bukan yang pertama kali bagi Dira. Ia menunggu
sendirian, berjam-jam, demi sosok Kevin. Satu kali masih
bisa dimaklumi, dua kali masih bisa ditolerir, tiga kali masih
bisa dimaafkan, tapi tujuh kali? Dira menghela napas berat,
apakah kehadiran Dira tak pernah Kevin anggap sama sekali?
Pengorbanan dari menunggu memang menyakitkan,
apalagi jika orang yang ditunggu tak pernah menampakan
diri. Itulah rasa sakit yang Dira pendam, tak pernah ia
ceritakan kepada siapapun. Ia masih menganggap Kevin
adalah dunianya. Dia masih menganggap Kevin adalah sebab
dari kebahagiaannya. Bisakah disebut kebahagiaan jika
Kevin selalu melanggar janjinya? Benarkan perkataan Rama
selama ini. Rama selalu bercerita kepada Dira bahwa Kevin
sangat menyukai Dira, bahkan tergila-gila, namun hal itu tak
benar-benar dirasakan Dira; justru pengabaianlah yang Dira
rasakan sehari-hari. Cintanya seakan-akan bertepuk sebelah
tangan. Pengakuan Rama mengenai perasaan Kevin, yang
77
katanya begitu mencintai Dira, ternyata berbeda dengan yang
Dira rasakan selama ini.
Inikah kesalahan Dira? Terlalu bodoh menanti
seseorang yang mungkin saja tak mencintainya? Nampaknya,
Dira sudah berikan segalanya. Perhatian, sikap manis, dan
tentu saja cinta. Balasan apa yang Dira terima dari Kevin?
Rasa sakit hati.
Pantaskah Dira menuntut balas dari Kevin? Bukankah
cinta tak pamrih? Bukankah cinta tak mengenal kata
menuntut untuk dicintai balik? Bukankah cinta lebih
mengenal ketulusan daripada imbalan? Iya, Dira paham,
sangat paham. Namun... Kevin... apakah dia tak punya mata
untuk melihat pengorbanan Dira? Apakah dia tak punya
telinga untuk mendengar kata-kata manis dari bibir dira?
Apakah Kevin tak lagi punya perasaan untuk merasakan
perhatian yang Dira berikan?
Dira hanya terdiam, tak bisa apa-apa, bahkan ketika
Kevin tak datang untuk kesekian kalinya. Janji diingkari lagi.
Ia menunggu Kevin di dekat danau hingga hujan deras.
Terpaksa, Dira berteduh di bawah lorong. Ia merapatkan
tangannya di depan dada, berusaha menemukan kehangatan
78
dengan memeluk tubuhnya sendiri. Hujan selalu berhasil
membuat seseorang mereka-reka kembali ingatan masa
lalunya, hal itu juga yang Dira lakukan ketika hujan semakin
deras dan udara semakin dingin.
Ia berpikir keras. Untuk apa ia berkorban demi
Kevin? Kevin yang terlihat tak merespon, memberi perhatian,
dan balik mencintainya. Dira tak ingin memikirkan Kevin
untuk saat-saat ini, karena saat memikirkan Kevin; ia tak lagi
temukan celah kebahagiaan.
Di bawah hujan yang semakin deras, Rama berlari-
lari kecil menghampiri Dira. Ia sudah tahu sebenarnya Kevin
tak akan datang dan Dira akan menunggu sendirian. Rama
tak tahan melihat Dira yang justru kehilangan senyumnya
ketika berusaha membuat Kevin tersenyum.
“Ngelamun terus lo!”
“Bukan ngelamun, ini lagi berteduh!”
“Nunggu siapa?”
Dira terdiam. Ia menatap Rama dengan tatapan sendu.
“Enggak usah dijawab, gue selalu bilang sama elo
kan, diam lo sudah cukup menjawab.” Rama menerangkan
dengan wajah kusut. “Kevin enggak datang lagi?”
79
Anggukan Dira berayun pelan. “Entah sudah yang
keberapa kali.”
“Masih mau menunggu?”
Dira tersenyum kecut.
“Buat apa menunggu yang jauh agar segera kembali
jika yang di dekat lo tak pernah memutuskan pergi?”
Tatapan Dira heran, “Maksud lo?”
“Buka mata lo.”
“Udah.”
“Bukan mata yang itu!” Rama menunjuk kelopak
mata Dira.
“Mata yang mana?”
“Yang ini.” ucap Rama sambil mengarahkan jari
telunjuk ke dadanya. “Gue enggak mau kalau senyum lo
malah pudar ketika lo ingin membuat orang lain tersenyum.”
“Gue enggak kehilangan senyum gue sendiri kok.”
“Elo enggak merasa, tapi orang di sekitar lo
merasakan. Ketika hati lo enggak peka, orang lainlah yang
bisa saja merasakan yang sebenarnya terjadi sama lo.”
“Rama.... tapi, kata elo, Kevin sayang sama gue.”
mata Dira berair.
80
“Bercerita tentang Kevin adalah satu-satunya cara
agar gue punya kesempatan ngobrol sama lo.” jelas Rama
dengan wajah menunduk. “Perasaan Kevin yang gue
ceritakan ke elo sebenarnya adalah perasaan gue, yang entah
harus bagaimana gue ungkapkan ke elo.”
“Jadi....”
“Jadi, kita pulang, sebelum elo menggigil
kedinginan.”
Dira berusaha mengundang senyum kembali ke
bibirnya, Rama merangkul Dira dengan debaran jantung
berirama cepat.
Jika bisa terus berjalan, haruskah kamu
menghentikan langkah untuk menunggu?
Jawabannya ada di dalam hatimu.
81
Kolaborasi
Kata
82
Lima Belas Minggu setelah Kepergian Kamu
Di tengah beberapa tugas yang meminta untuk segera
diselesaikan, di antara beberapa tulisan yang minta
dituntaskan. Seperti aku butuh sedikit udara bebas sambil
menghirup kenangan kita dulu. Dengan keisengan yang
sangat niat, aku kembali membaca pesan singkat kita dulu.
Tulisan-tulisan yang sengaja kusimpan agar bisa kubaca
ulang ketika aku merindukanmu. Ah, hal ini memang hanya
dilakukan oleh pengecut, aku tak pernah berani
menghubungimu lebih dulu, bahkan saat aku sedang sakit-
sakitnya merindukanmu.
Setelah lima belas minggu, sudah banyak yang
berubah. Dulu, saat mengenalmu, aku masih semester dua,
sekarang sudah menjelang semester tiga. Kamu pun juga
begitu. Semoga, kamu sudah lebih dewasa, tidak bersikap
kekanak-kanakan seperti dulu masih bersamaku. Ngomong-
ngomong soal kekanak-kanakan, akhir-akhir ini aku sering
merasa kesepian, entah karena aku terlalu berfokus pada
tugas-tugasku atau memang karena saat ini aku masih
83
sendirian. Dan, disaat sepi seperti ini, aku merindukan suara
manismu juga pesan singkatmu.
Percakapan di telepon, pembicaraan di pesan singkat,
ataupun genggaman tanganmu rasanya memang sederhana.
Tapi, semua terasa tak lagi sederhana ketika aku kehilangan
kamu. Semua jadi begitu rumit setelah kamu pergi. Aku
harus mengatasi malam-malam sepi, malam saat kamu tidak
lagi di sini. Aku sendiri membawa luka yang kupatri dengan
jemariku sendiri. Sudah tahu kamu begitu, tak pernah mau
tahu apalagi memahamiku, mengapa dulu aku masih juga
ingin memperjuangkanmu?
Lucu, ya, kalau diingat-ingat aku pernah begitu
bodoh. Pernah begitu tolol memercayai bahwa yang
kautunjukan dulu adalah cinta. Ah, dasar wanita, selalu
menilai yang manis, yang hangat, yang kuat berarti cinta.
Siapa yang tahu wujud cinta? Bahkan, cintapun, bisa
ditunjukan dalam diam, dalam bisu. Selama bersamamu, aku
ini sebenarnya bisu. Ingin saja kaubawa kemanapun tanpa
aku pernah mengeluh apalagi meminta. Kamu bawa aku ke
dalam perasaan yang sebenarnya sangat ingin kutolak. Aku
selalu takut jatuh cinta dengan yang berbeda, yang digembar-
84
gemborkan banyak orang akan berakhir dengan luka. Tapi,
waktu pertama kali mengenalimu, rasanya kamu tidak akan
melukaiku. Iya, wanita yang perasaannya kuat pun bisa juga
berpikiran salah bukan?
Aku terlalu asik mengitari planetmu, seperti bulan
yang mengelilingi tapi tak benar-benar merasuki. Aku ada di
sampingmu, mendoakanmu, memelukmu, merangkulmu; tapi
semua kosong. Aku mencintaimu, merindukanmu,
menjagamu; tapi, semua maya. Bisakah kaurasakan
kekosongan yang juga kurasakan dulu? Ketika kamu begitu
asik memanggilku dengan panggilan sayang, aku tak
melawan karena sudah merasa terlalu nyaman.
Saat kamu merangkulku seakan aku kekasihmu, aku
tak menghindar karena kurasakan sentuhan yang berbeda dari
jemarimu, yang kupikir akan seterusnya atau selamanya
menghangatkanku. Nyatanya, tidak begitu, semua hanya
sesaat, yang kupikir bertahan lama justru begitu cepat
kendas. Kamu ingat masa-masa manis itu terjadi berapa
lama? Hanya satu minggu namun kenangan yang melekat
masih terasa sampai sekarang, berminggu-minggu; lima belas
minggu.
85
Kudengar, kamu sudah punya yang baru. Ini begitu
lucu, kamu sudah bersama yang lain sementara aku masih
sibuk memikirkanmu, mendoakanmu, juga membaca pesan
singkatmu dahulu. Setiap orang memang berbeda dan aku tak
bisa memaksakan otak dan hatiku untuk melupakanmu. Ya,
izinkan aku berproses untuk bahagia dengan cara menikmati
luka. Namun, miris juga rasanya, mengingat kita pernah baik-
baik saja tapi sekarang tak lagi saling bersapa. Entah mau
Tuhan apa, sejak mengenalmu aku juga tak ingin hadirnya
cinta. Tapi, hati ini maunya berbeda, kita menjalani bersama.
Dengan janji-janjimu yang kupercayai akan menjadi nyata,
dengan kata-katamu yang manis namun penuh dusta.
Seandainya dulu kaubilang hanya ingin jadi teman,
mungkin aku tak akan ingin kaubawa melangkah sejauh ini.
Kalau dari awal kaumenyadarkanku dengan perbedaan kita,
pasti kita sudah saling berjauhan dari dulu, sudah saling
melupakan, eh, bukan, deh, kamu yang duluan melupakan,
aku tidak, tidak akan pernah mudah melupakan seseorang
yang sudah menjadi bagian dalam hari-hariku, meskipun
hanya satu minggu.
86
Aku merindukanmu
87
Kita (mungkin) Belum Benar-Benar Putus
Mungkin, dulu aku tak benar-benar mencintaimu,
ketika jantungmu berdetak lebih cepat saat bertemu
denganku, aku tak merasakan jantungku berdetak dengan
hebat ketika bersamamu. Perkenalan kita begitu singkat,
pertemuan kita cukup beberapa saat, lalu kaukatakan cinta,
lalu ka tunjukkan rasa, lalu kaubahagia dengan cinta "instan"
yang kita lalui berdua. Ya, aku bahagia, tapi tidak benar-
benar bahagia, karena (mungkin) aku tak merasakan perasaan
yang sama denganmu, karena (mungkin) aku asal menjawab
saja ketika ka memintaku menjadi saru-satunya dalam
hidupmu. Aku tak pernah mempedulikanmu! Aku tak pernah
mau tahu kabarmu! Aku hanya bertingkah seolah-olah
kaukekasihku, karena masih ada labirin-labirin kosong
dihatiku, yang tak mampu terisi olehmu. Ya, kita bertingkah
layaknya pasangan kekasih yang sangat bahagia, tapi apa
yang kurasakan? Genggaman tanganmu, kosong! Pelukanmu,
semu! Tutur katamu, tak penting bagiku! Senyummu, tak
mampu membuat jantungku menderu menggebu! Aku lebih
suka menghabiskan waktu dengan,mu Bermesraan denganmu
88
tanpa kautahu apa yang kulakukan dibelakangmu.
Sebenarnya, apa yang salah denganku? Sebenarnya, ini
salahku atau salahmu? Awalnya, semua berjalan biasa saja,
tapi aku mulai risih dengan tingkah bodoh dan keanehanmu!
Aku tak tahan dengan semua hal bodoh yang kauperlihatkan
padaku. Aku tak suka caramu mengatakan cinta dengan hal
setolol itu! Kenapa kaselalu membuatku marah? Kenapa
kautak pernah berusaha menumbuhkan cinta dalam hatiku?
Kenapa aku tak bisa mencintaimu walaupun kutahu kautelah
berkorban banyak untukku?
Tapi, Tuhan memang adil, Tuhan berikanku rasa sakit
untuk menyadarkanku dari kesalahanku. Kata putus yang
kulontarkan dengan begitu mudahnya, tanpa tangis tapi
penuh tawa ternyata tak selamanya menjadi tawa bagiku.
Selang beberapa hari memang semua berjalan normal, tapi
aku merasa ada mozaik yang hilang dalam hidupku; kamu
yang kutinggalkan dengan sengaja dan dengan kejamnya.
Pesan singkatmu, tawa renyahmu, senyummu, kata-kata
cintamu, tak ada ada lagi hal-hal manis yang dulu kuanggap
seperti sampah itu. Tak ada lagi kamu yang mengisi hari-
hariku dengan lelucon bodoh dan tampang tolol itu. Tak ada
89
lagi kamu yang diam-diam mencium pipiku ketika aku sibuk
dengan handphone dan laptopku. Aku merasa sendirian. Aku
benar-benar merasa kehilangan. Kini, aku semakin percaya
bahwa kita baru benar-benar mencintai seseorang ketika kita
kehilangan sosoknya, dan hal itu kini terjadi padaku.
Memang, setelah berpisah denganmu, aku dengan
begitu mudahnya mendapat seseorang lagi yang berusaha
mengisi hari-hariku, tapi dia tak sebodoh kamu, dia tak
setolol kamu, dia tak mampu menggantikan kamu. Dia hanya
berhasil mengganti statusku yang single menjadi in
relationship, dia tak benar-benar mampu menggantikan kamu
yang (tanpa kusadari) telah mengisi hatiku. Aku semakin
mengerti bahwa tak ada seorangpun yang mampu
menggantikan sosokmu.
Meskipun kini aku telah bersamanya, dan kaujuga
telah menemukan seseorang yang baru, tapi perasaanku tak
berubah sedikitpun. Aku justru sangat mencintaimu ketika
kini kautelah bersamanya. Saat melihat kaudengan dia, ada
rasa sakit yang menikamku dalam-dalam, ada kenangan yang
diam-diam mendesakku kembali ke masa lalu, sambil berkata
90
dalam hati: "Dulu aku pernah menggenggam tanganmu, tapi
sekarang dia yang mampu melakukan itu, kekasih barumu."
Hanya itu yang bisa kulakukan, MENYESAL!
Membiarkanmu mencintaiku tanpa mempedulikan
perasaanmu, membiarkanmu memberi kejutan tanpa pernah
memerhatikan usaha kerasmu, aku sadar bahwa ternyata dulu
kamu benar-benar mencintaiku. Cuma itu yang bisa
kulakukan, menangis diam-diam ketika kulihat barang-
barang pemberianmu masih kusimpan dengan rapi. Kita
memang telah berpisah, tapi perasaanku belum bisa lepas
darimu. Kita memang telah putus, tapi kenanganku
tentangmu belum benar-benar putus.
Aku takut kehilangan seseorang yang tak lagi kumiliki...
kamu.
91
Belajar Melepaskan
Kamu mengenalkan namamu begitu saja, uluran
tanganmu dan suara lembutmu berlalu tanpa pernah kuingat-
ingat. Awalnya, semua berjalan sederhana. Kita bercanda,
kita tertawa, dan kita membicarakan hal-hal manis; walaupun
segala percakapan itu hanya tercipta melalui pesan singkat—
BBM. Perhatian yang mengalir darimu dan pembicara manis
kala itu hanya kuanggap sebagai hal yang tak perlu dimaknai
dengan luar biasa.
Kehadiranmu membawa perasaan lain. Hal berbeda
yang kamu tawarkan padaku turut membuka mata dan hatiku
dengan lebar. Aku tak sadar, bahwa kamu datang memberi
perasaan aneh. Ada yang hilang jika sehari saja kamu tak
menyapaku melalui dentingan chat BBM. Setiap hari ada saja
topik menarik yang kita bicarakan, sampai pada akhirnya kita
berbicara hal paling menyentuh cinta.
Kamu bercerita tentang mantan kekasihmu dan aku
bisa merasakan perasaan yang kaurasakan. Aku berusaha
memahami kerinduanmu akan perhatian seseorang.
92
Sebenarnya, aku sudah memberi perhatian itu tanpa
kauketahui. Mungkinkah perhatianku yang sering kuberikan
tak benar-benar terasa olehmu? Aku mendengar ceritamu
lagi. Hatiku bertanya-tanya, seorang wanita hanya
menceritakan perasaannya pada pria yang dianggap dekat.
Aku bergejolak dan menaruh harap. Apakah kausudah
menganggap aku sebagai pria spesial meskipun kita tak
memiliki status dan kejelasan? Senyumku mengembang
dalam diam, segalanya tetap berjalan begitu saja, tanpa
kusadari bahwa cinta mulai menyeretku ke arah yang
mungkin saja tak kuinginkan.
Saat bertemu, kita tak pernah bicara banyak. Hanya
sesekali menatap dan tersenyum penuh arti. Ketika berbicara
di BBM, kita begitu bersemangat, aku bisa merasakan
semangat itu melalui tulisanmu. Sungguh, aku masih tak
percaya segalanya bisa berjalan secepat dan sekuat ini. Aku
terus meyakinkan diriku sendiri, bahwa ini bukan cinta. Ini
hanya ketertarikan sesaat karena aku merasakan sesuatu yang
baru dalam hadirmu. Aku berusaha memercayai bahwa
perhatianmu, candaanmu, dan caramu mengungkapkan
93
pikiranmu adalah dasar nyata pertemanan kita. Ya, sebatas
teman, aku tak berhak mengharapkan sesuatu yang lebih.
Aku tak pernah ingin mengingat kenangan sendirian.
Aku juga tak ingin merasakan sakit sendirian. Tapi,
nyatanya....
Perasaanku tumbuh semakin pesat, bahkan tak lagi
terkendalikan. Siapakah yang bisa mengendalikan perasaan?
Siapakah yang bisa menebak perasaan cinta bisa jatuh pada
orang yang tepat ataupun salah? Aku tidak sepandai dan
secerdas itu. Aku hanya manusia biasa yang merasakan
kenyamanan dalam hadirmu. Aku hanya manusia yang takut
kehilangan seseorang yang tak pernah aku miliki.
Salahku memang jika mengartikan tindakanmu
sebagai cinta. Tapi, aku juga tak salah bukan jika berharap
bahwa kamu juga punya perasaan yang sama? Kamu sudah
jadi sebab tawa dan senyumku, aku percaya kautak mungkin
membuatku sedih dan kamu tak akan jadi sebab air mataku.
Aku percaya kamulah kebahagiaan baru yang akan
memberiku sinar paling terang. Aku sangat memercayaimu,
sangat! Dan, itulah kebodohan yang harus kusesali.
94
Ternyata, ketakutanku terjawab sudah, kamu
menjauhiku tanpa alasan yang jelas. Kamu pergi tanpa
ucapan pisah dan pamit. Aku terpukul dengan keputusan
yang tak kausampaikan padaku, tapi pantaskah aku marah?
Aku tak pernah jadi siapa-siapa bagimu, mungkin aku hanya
persinggahan; bukan tujuan. Kalau kauingin tahu, aku sudah
merancang berbagai mimpi indah yang ingin kuwujudkan
bersamamu. Mungkin, suatu saat nanti, jika Tuhan izinkan,
aku percaya kita pasti bisa saling membahagiakan.
Aku tak punya hak untuk memintamu kembali, juga
tak punya wewenang untuk memintamu segera pulang.
Masih adakah yang perlu kupaksakan jika bagimu aku tak
pernah jadi tujuan? Tidak munafik, aku merasa kehilangan.
Dulu, aku terbiasa dengan candaan dan perhatian kecilmu,
namun segalanya tiba-tiba hilang menguap, bagai asap rokok
yang hilang ditelan gelapnya malam.
Sesungguhnya, ini juga salahku, yang bertahan dalam
diam meskipun aku punya perasaan yang lebih dalam dan
kuat. Ini bukan salahmu, juga bukan kesalahannya. Tapi, tak
mungkin matamu terlalu buta dan hatimu terlalu cacat untuk
tahu bahwa aku mencintaimu.
95
Aku harus belajar tak peduli. Aku harus belajar memaafkan,
juga merelakan.
96