Download - Bogor Masterplan Minapolitan
MASTERPLAN MINAPOLITAN KABUPATEN BOGOR
Tim Penyusun : Lala M. Kolopaking
Kadarwan Soewardi Linawati Hardjito
Ernan Rustiadi Taryono Kodiran
Siti Nursyiah Prastowo
Odang Carman Yoyoh Indaryanti
Dyah Ita Mardiyaningsih Nuning Koesumowardani
Muhamad Alif Razi Eka Hermawan Susanto
Dewi Setyawati Johan
KerjasamaBADAN PERENCANAN PEMBANGUNAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR
dengan PUSAT STUDI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAANLEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
ii
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya “Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor” ini dapat diselesaikan.
Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara PSP3 - LPPM IPB dengan BAPPEDA
Kabupaten Bogor berdasarkan Surat Kuasa Melaksanakan Pekerjaan Swakelola Kajian
Akademis oleh Perguruan Tinggi.
Dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ini merupakan bentuk Laporan Akhir
dari pertanggungjawaban PSP3-IPB dalam pelaksanaan kegiatan Penyusunan
Masterplan Minapolitan di Kabupaten Bogor. Laporan ini dibuat berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh melalui beragam pendekatan dari wawancara mendalam,
observasi langsung, survey terhadap stakeholder terkait maupun diskusi kelompok
terarah pada beragam tingkatan. Selain itu, laporan ini dilengkapi dengan masukan-
masukan yang diterima oleh Tim pada saat kegiatan ekspose Laporan Pendahuluan dan
Laporan Antara. Dalam laporan antara ini sudah dipaparkan rencana pengembangan
kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor dengan beberapa indikasi program yang perlu
dilakukan dalam jangka waktu lima tahun ke depan.
Paparan rencana pengembangan kawasan minapolitan ini masih belum sempurna
sehingga diharapkan masukan dan saran untuk mendapatkan satu dokumen Master Plan
Minapolitan Kabupaten Bogor yang baik.
Terima kasih
Bogor, November 2010
Tim Penyusun
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel v
Daftar Gambar v
I. PENDAHULUAN I-1
1.1. Latar Belakang I-1
1.2. Tujuan dan Sasaran I-2
1.2.1. Tujuan I-3
1.2.2. Sasaran I-3
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan I-3
II. KONSEP DAN KERANGKA TEORU PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLTAN II-1
2.1. Pengertian dan Ciri Kawasan Minapolitan II-1
2.1.1. Pengertian umum II-1
2.1.2. Kriteia Kawasan Minapolitan II-2
2.2. Rencana Pengembangan Kawasan Minapolitan II-3
2.2.1. Komoditi Unggulan II-3
2.2.2. Prinsip, Tujuan dan Perencanaan Pengembangan Kawasan Minapolitan II-4
2.2.3. Konsep Rencana Tata Ruang Kawasan Minpolitan II-7
2.2.4. Kedudukan Rencana Tata Ruang Minapolitan dalam Sistem Pengembangan Wilayah Kabupaten/Kota II-8
2.2.5. Konsep Kelembagaabn Minapolitan II-9
2.3 Tujuan Minapolitan II-12
2.4. Sasaran Minapolitan II-12
III. TINJAUAN KEBIJAKAN III-1
3.1. Kebijakan Nasional Minapolitan III-1
3.2. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten III - 3
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
iv
Bogor: Perda No. 19 Tahun 2008
3.3. Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Memengah Daerah
(RPJM-D) Kabupaten Bogor 2008-2013: Perda No. 7 Tahun 2009
III-11
3.4. Peraturan Terkait Minapolitan III-13
IV. WAKTU DAN LOKASI KEGIATAN 4-1
4.1. Lokasi Kegiatan di Empat Kecamatan 4-1
4.2.1. Kerangka Pendekatan Studi IV-2
4.2.1. Pendekatan Penyusunan Master Plan IV-2
4.2.2. Pendekatan Pengembangan Minapolitan IV-4
4.2.3. Pendekatan Agribisnis dalam Pengembangan Minapolitan IV-5
4.3. Pendekatan Keilmuan Terkait IV-7
4.3.1. Pendekatan Peerikanan Budidaya IV-7
4.3.2. Pendekatan Pengolahan Perikanan IV-8
4.3.3. Pendekatan Hidrologi IV-9
4.3.4. Pendekatan Kelembagaan dan Sosial Ekonomi Perikanan IV-9
4.3.5. Pendekatan Pengembangan Wilayah IV-10
4.3.6. Pendekatan Lanskap IV-11
4.4. Pelaporan IV-18
V. KONDISI UMUM KAWASAN MINAPOLITAN V-1
5.1. Batas Administrasi dan Geografis Wilayah V-1
5.2. Kondisi Demografi V-1
5.3. Kondisi Ekonomi Wilayah V- 2
5.4. Biofisik dan Tata Guna Lahan V - 4
5.5. Kondisi Perikanan V - 7
VI. ANALISIS POTENSI DAN PERMASALAHAN VI-1
6.1. Potensi budidaya Perikanan Air Tawar VI-1
6.2. Pemasaran VI-2
6.3. Permasalahan Perikanan Budidaya VI-2
6.3.1. Permaalahan Pembenihan VI-3
6.3.2. Permasalahan di Tingkat Pendeder VI-3
6.3.3. Permasalahan di Tingkat Pembesaran VI-4
6.4. Potensi Pengolahan Produk Perikanan VI-4
6.4.1. Jenis Pengolahan VI-6
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
v
6.4.2. Permasalahan Pengolahan VI-7
6.4.3. Potensi Calon Sentra Pengolahan VI-7
6.5. Pemasaran VI-8
6.5.1. Pemasaran Ikan Segar VI-8
6.5.2. Pemasaran Ikan Olahan VI-9
6.6. Sistim Tata Air VI-11
6.7. Kebijakan Terkait Minapolitan VI-15
6.8. Isu dan Permasalahan Kelembagaan VI-17
6.9. Potensi Minawisata VI-18
6.9.1. Infrastruktur Wilayah VI-18
6.9.2. Identifikasi dan Analisis Potensi Lanskap Kawasan Minapolitan VI-18
6.9.3. Analisis Kelayakan Lanskap untuk Minawisata VI-24
VII. STRATEGI DAN RENCANA PENGEMBANGAN VII-1
7.1. Penetapan Kawasan Pengembangan VII-1
7.2. Penetapan Produk Unggulan VII-1
7.3. Rencana Pengembangan Potensi Perikanan Budidaya VII-3
7.4. Rencana Pengembangan Potensi Pengolahan VII-3
7.4.1. Pengembangan Produk Olahan VII-3
7.4.2. Pengembangan Teknologi Pengolahan VII-4
7.5. Arahan dan Rencana Pengembangan Lanskap Minawisata VII-8
7.6. Arahan dan Rencana Pengembangan Kelembagaan VII-13
VIII. INDIKASI PROGRAM VIII-1
DAFTAR PUSTAKA D&L-1
LAMPIRAN Lampiran-2
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Hal
4.1. Lokasi Kegiatan di 4 Kecamatan IV-1
4.2. Kerangka Pendekatan Penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan
IV-3
4.3. Alat Perencanaan IV-11
4.4. Kriteria Penilaian Kelayakan Kawasan untuk Wisata IV-14
4.5. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat IV-16
5.1. Presentase Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Per Kecamatan di Zona IV
V-2
5.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2000 dan 2008
V-3
5.3. Total PDRB, Julah Penduduk dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2006
V-4
5.4. Jumlah dan Luas Daerah Irrigáis Se-Kabupaten Bogor V-5
5.5 Luasan Masing-masing Penggunaan Lahan di Kabupeten Bogor Tahun 2006
V-7
6.1. Jumlah RTP Pembudidaya, Luas Areal dan Total Produksi Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor
6-1
6.2. Produksi Perikanan Per-kecamatan menurut Jenis Ikan
6.3. Jenis dan Harga Produk Olahan Ikan di CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah di PIH Cibinong
VI-10
6.4. Hasil Analisi Neraca Air untuk Budidaya Perikanan VI-11
6.5. Hasil Analisis Debit Bulanan (Lt/Dtet) di Cogrek (53 Hal) Vi-12
6.6. Status Jalan dan Panjang di Kabupaten Bogor VI-1
6.7. Penilaian Kelayakan Kawasan Bogor sebagai Minawisata VI-25
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
vii
7.1. Skor Penentuan Komoditas Unggulan Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor
VII-2
7.2. Parameter Penilaian Pengolahan VII-2
7.3. Daftar Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Filet dan Pemanfaatan Hasil Samping
7.4. Fasilitas dan Peralatan untuk Pembuatan Lele Asap VII-6
7.5. Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Surimi VII-7
7.6. Fasilitas yang Diperlukan untuk Proses Produksi Surimi VII-7
7.7. Pilihan Bentuk Kelembagaan Pengelola Kawasan Minpolitan Bogor VII-20
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Hal
2.1. Konsepsi Pengembangan Minapolitan II-6
2.2. Keterkaitan Pusat Kawasan Minapolitan II-7
2.3. Deskripsi Kawasan Minapolitan II-9
2.4. Keterkaitan Usaha dan Pelakunya di Wilayah Studi II-10
4.1. Peta Lokasi Kegiatan IV-2
4.2. Sistem Agribisnis Perikanan IV-6
4.3. Tahapan Studi IV-13
5.1. Peta Lokasi Kabupaten Bogor V-1
5.2. Peta Wilayah Zona IV V-9
6.1. Kaki naga (VegiFish) (kiri) dan Nuget (kanan) VI-5
6.2. Industri Rumah Tangga Lele Asap dan Pengasapan Lele VI-6
6.3. Aktifitas Penjualan Benih Ikan di Pasar Benih Ciseeng VI-8
6.4. Lokasi Pasar Benih Ikan di Ciseeng VI-8
6.5. Lokasi BP3K, Ciseeng VI-8
6.7. Kolam di Lokasi BP3K VI-8
6.7. CV. Bening dan CV Bintang Anugerah VI-10
6.8. Grafik Curah Hujan Andalan dan Kebutuhan Air Untuk Budidaya Perikanan VI-12
6.9. Skema Daerah Irigasi Cibeuteung-1 VI-13
6.10 Skema Daerah Irigasi Saak BSK3 VI-14
6.11. Skema Daerah Irigasi Curug Serpong VI-15
6.12 Peta Kecamatan Kemang VI-19
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
ix
6.13. Peta Kecamatan Ciseeng VI-20
6.14. Kondisi Desa Babakan VI-20
6.15. Kondisi Pasar Ciseeng VI-20
6.16 Kondisi Kawasan Budidaya Ikan Hias VI-21
6.17. Kondisi Kawasan BP3K VI-21
6.18 Pembesaran Lele VI-21
6.19 Peta Kecamatan Parung VI-22
6.20 Kawasan Wisata Tirta Sanita VI-22
6.21. Kawasan Budidaya Lobster VI-22
6.22. Pengolahan Lele Asap VI-23
6.23. Peta Kecamatan Gunung Sindur VI-23
6.24 Beberapa Area Pemancingan VI-24
7.1. Pengolahan Ikan VI-24
7.2. Kaki Naga (Vegi Fish) dan Nuget VII-6
7.3. Proses Pembuatan Lele Asap VII-6
7.4. Proses Pembuatan Surimi VII-6
7.5. Produksi Produk Turunana Surami VII-7
7.7. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatife 1 VII-10
7.8 Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 1 Sentra Minapolitan (BP3K) VII-10
7.9. Kondisi Eksisting Sentra Minapolitan Alternatif 1 VII-11
7.10. Perspektif Sentra Minawisata Alternatif 2 VII-11
7.11. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatif 2 VII-12
7.12. Diagram Ruang Sentra Minapolitan Alternatif 2 (Desa Babakan) VII-12
7.13. Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 2 Sentra Minapolitan VII-13
7.14 Hirarki Pengambilan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Minapolitan Bogor VII-18
7.15. Proses Pembentukan Kelembagaan Pengelola Kawasan Minapolitan VII-19
MasterPlan Minapolitan Kabupaten Bogor
x
7.16. Tahapan Substantif Pembentukan Kelembagaan Operasional Pengelolaan Kawasan Minapolitan VII-19
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Produksi Perikanan Dapus & Lamp-3
Lampiran 2. Peta Rumah Tangga Perikanan Dapus & Lamp-4
Lampiran 3. Peta Sarana dan Prasarana Dapus & Lamp-5
Lampiran 4. Peta Lokasi Obyek Wisata Minapolitan Dapus & Lamp-6
Lampiran 5. Tabel Indikasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan
Dapus & Lamp-7
1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bogor merupakan salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI) sebagai lokasi Pengembangan Minapolitan.
Kebijakan tersebut seirama dengan Kebijakan Revitalisi Petanian dan Pedesaan (RP3)
Kabupaten Bogor yang menerapkan pendekatan pengembangan pertanian berdasarkan
zonasi. Prinsip Zonasi Pengembangan RP3 ditujukan agar di Kabupaten Bogor ada
percepatan pembangunan pertanian dalam arti luas melalui pengembangan komoditas
unggulan di masing-masing zona. Selaras dengan RP3 tersebut, prinsip pangembangan
minapolitan oleh KKP juga menekankan pengembangan komoditas perikanan unggulan
di masing-masing wilayah berdasarkan kluster wilayah. Program minapolitan merupakan
upaya untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan
daerah yang kawasannya memiliki potensi perikanan.
Program yang dapat dikembangkan di Zona 4 dan 2 selaras dengan upaya pemerintah
(KKP-RI) untuk menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam
pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemilihan produk atau komoditas menjadi sangat
penting karena nantinya diharapkan dapat merupakan branding bagi Kabupaten Bogor,
yang dapat membedakan dengan produk-produk dari daerah lain dan juga memiliki daya
saing yang tinggi. Dalam perkembangannya program minapolitan ini tidak hanya mampu
menggerakkan sektor perikanan saja, melainkan harus berdampak pada pertumbuhan
ekonomi masyarakat secara umum di wilayah tersebut.
Program minapolitan ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) KKP
dengan slogan “Revolusi Biru” dalam rangka peningkatan produksi perikanan, dan
peningkatan pendapatan nelayan serta pembudidaya ikan untuk menjadi pendorong
pembangunan daerah. Dalam strategi besar ini, kebijakan RP3 Kabupatern Bogor
memiliki arah yang bersinergi dengan gagasan atau kebijakan KKP-RI dengan
menempatkan perikanan budidaya faktor penggerak pembangunan daerah serta
berkotribusi signifikan tehadap pembangunan perikanan nasional. Sebagaimana dicatat
bahwa Program Minapolitan tersebut merupakan strategi besar KKP-RI yang
direncanakan akan diwujudkan mulai tahun 2011.
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor adalah salah satu wilayah dengan ekologi dan geografis yang memiliki
potensi usaha perikanan budidaya air tawar yang sangat memadai dan layak
dikembangkan dalam kerangka program pengembangan minapolitan budidaya.
Kabupaten Bogor yang menjadi hinterland Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan
wilayah pemasok pasar produk perikanan baik nasional maupun internasional.
Hingga saat ini, beberapa komoditas perikanan budidaya sudah berkembang di
Kabupaten Bogor, diantaranya ikan nila dan ikan Lele, Gurame, dan lain-lain. Namun
demikian, dalam kerangka minapolitan budidaya, tidak semua komoditas perikanan
budidaya tersebut harus menjadi komoditas pengembangan budidaya perikanan. Oleh
karena itu, dalam kerangka minapolitan budidaya, di mana satu bentuk/jenis kegiatan
budidaya perikanan satu komoditas unggulan, maka harus ada prioritas komoditas
perikanan budidaya yang akan dikembangkan untuk masing-masing jenis kegiatan
budidaya perikanan.
Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan minapolitan
budidaya tersebut adalah bahwasannya pengembangan minapolitan budidaya harus
terintegrasi dan memperhatikan kebijakan-kebijakan terkait yang sudah ada di Kabupaten
Bogor, diantaranya kebijakan tata ruang dan daya dukung wilayah. Selain itu, proses
pengembangannya harus bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dengan melakukan
inovasi kebijakan di dalam pembiayaan usaha perikanan dengan membangun kerjasama
dengan pihak-pihak yang memiliki sumber pendanaan (baik secara Blending maupun
Hybrid Financing).
Oleh karena itu, dalam rangka mematangkan konsep minapolitan budidaya perikanan
Kabupaten Bogor yang meliputi kesiapan manajemen, finansial, teknologi, komoditas
unggulan, kelembagaan dan pemasaran, perlu disusun upaya-upaya teknis untuk
mematangkan konsep minapolitan budidaya perikanan tersebut. Dalam rangka menyusun
upaya-upaya teknis dan strategis untuk mematangkan konsep minapolitan tersebut
disusun rencana induk atau master plan pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor.
1.2. Tujuan dan Sasaran
1.2.1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari kegiatan ini adalah memperoleh dan
menganalisa data-data untuk merancang penyusunan dokumen rencana induk atau
masterplan pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor. Data-data tersebut diolah
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan I - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan I - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
secara cermat sehingga masterplan yang terbentuk dapat mendukung segala kegiatan
dan kepentingan minapolitan secara efektif dan efisien.
1.2.2. Sasaran
Merujuk tujuan kegiatan yang diuraikan sebelumnya, maka sasaran dari kegiatan ini
adalah tersusunnya dokumen rencana induk atau masterplan pengembangan minapolitan
di Kabupaten Bogor. Masterplan tersebut haruslah mempertimbangan dan mewakili
seluruh pihak terkait agar dapat menjadi cetak biru dalam pembangunan minapolitan.
1.3. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan penyusunan masterplan pengembangan minapolitan di
Kabupaten Bogor sebagai berikut:
1. Identifikasi potensi sumberdaya alam (lahan, lingkungan perairan dan perikanan),
sumberdaya manusia, dan kelembagaan perikanan.
2. Identifikasi isu dan permasalahan dalam pengembangan perikanan budidaya
3. Identifikasi kondisi dan potensi infrastruktur pendukung kegiatan budidaya perikanan,
diantaranya jalan akses dan balai-balai benih.
4. Identifikasi kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun kebijakan RP3
Kabupaten Bogor yang terkait dengan pengembangan minapolitan budidaya perikanan
serta pemanfaatan ruang,
5. Perumusan konsepsi visi, misi, tujuan, dan strategi pengembangan minapolitan
budidaya.
6. Penyusunan rencana induk pengembangan minapolitan budidaya di Kabupaten Bogor,
meliputi:
a. penentuan lokasi atau kawasan unggulan untuk pengembangan minapolitan
budidaya,
b. penentuan komoditas unggulan dan teknologi budidaya untuk masing-masing jenis
kegiatan budidaya perikanan,
c. pengembangan sistem penyediaan benih secara tepat dan terus-menerus,
d. pengembangan sistem pemasaran produk-produk hasil pengembangan
minapolitan, dan
e. pengembangan sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan kawasan minapolitan.
2 KONSEP DAN KERANGKA TEORI PENGEMBANGAN KAWASAN
MINAPOLITAN
2.1. Pengertian dan Ciri Kawasan Minapolitan
2.1.1. Pengertian Umum
Secara bahasa, minapolitan berasal dari kata “Mina” (perikanan) dan “politan” (poli (multi)
dan –tan (kegiatan)) yang dapat diartikan sebagai kluster kegiatan perikanan yang
meliputi kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran dalam sistem agribisnis terpadu
di suatu wilayah atau lintas wilayah perikanan dengan kelengkapan sarana prasarana
serta pelayanan seperti di perkotaaan (kelembagaan, sistem permodalan, transportasi,
dan lain-lain). Lengkapnya adalah kluster perikanan yang tumbuh dan berkembang
seiring berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang mampu melayani, mendorong,
menarik dan menghela kegiatan pembangunan perikanan di wilayah tersebut dan
sekitarnya.
Adapun secara makna, ada beberapa definisi minapolitan, yaitu:
1. kawasan perdesaan yang disiapkan mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana
dan pelayanan perkotaan (infrastruktur termasuk transportasi dan energi), dengan
dukungan sistem permodalan yang tepat guna.
2. kawasan yang dikembangkan melalui pembentukan titik tumbuh suatu kluster kegiatan
perikanan dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang meliputi produksi, pengolahan
dan pemasaran, sampai jasa lingkungan sebagai sistem kemitraan di dalam satu
wilayah.
3. kawasan terintegrasi sebagai kluster kegiatan perikanan dimana masyarakatnya
tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan kelembagaan usaha yang
didukung sumberdaya manusia berkualitas melalui pendidikan yang maju.
Program minapolitan ini pada prinsipnya merupakan suatu program kegiatan yang
berupaya untuk mensinergiskan kegiatan produksi bahan baku, pengolahan dan
pemasaran dalam satu rangkaian kegiatan besar dalam satu kawasan atau wilayah.
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
2.1.2. Kriteria dan Persyaratan Kawasan Minapolitan
a. Kriteria Kawasan Minapolitan
Kriteria dan persyaratan kawasan minapolitan yang akan dikembangkan, disesuaikan
dengan kondisi geografis dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing kawasan yang
akan dikembangkan. Kriteria umum pengembangan kawasan minapolitan harus
memenuhi kriteria di bawah ini, yaitu:
1. Penggunaan lahan untuk kegiatan perikanan harus memanfaatkan potensi yang
sesuai untuk peningkatan kegiatan produksi dan wajib memperhatikan aspek
kelestarian lingkungan hidup serta mencegah kerusakannya;
2. Wilayah yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya dengan indikasi
geografis dilarang untuk dialih fungsikan;
3. Kegiatan perikanan skala besar, baik yang menggunakan lahan luas ataupun
teknologi intensif harus terlebih dahulu memiliki kajian Amdal sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku;
4. Kegiatan perikanan skala besar, harus diupayakan menyerap sebesar mungkin
tenaga kerja setempat; dan
5. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang harus dilakukanberdasarkan
kesesuaian lahan dan RTRW.
Sedangkan Kriteria khusus pengembangan kawasan perikanan budidaya antara lain
adalah:
1. Memiliki kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah;
2. Mempunyai sektor ekonomi unggulan yang mampu mendorong kegiatan ekonomi
sektor lain dalam kawasan itu sendiri maupun di kawasan sekitarnya;
3. Memiliki keterkaitan kedepan (daerah pemasaran produk-produk yang dihasilkan)
maupun ke belakang (suplai kebutuhan sarana produksi) dengan beberapa daerah
pendukung;
4. Memiliki kemampuan untuk memelihara sumber daya alam sehingga dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan dan mampu menciptakan kesejahteraan
ekonomi secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat.
5. Memiliki luasan areal budidaya eksisting minimal 200 Ha.
b. Persyaratan Kawasan Minapolitan
Suatu kawasan dapat dikembangkan menjadi kawasan minapolitan jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
1. Memiliki sumberdaya lahan/perairan yang sesuai untuk pengembangan komoditas
perikanan yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (komoditas
unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha komoditas
unggulanya. Pengembangan kawasan tersebut tidak hanya menyangkut kegiatan
perikanan saja (on farm) tetapi juga kegiatan off farm-nya, yaitu mulai dari
pengadadaan nsarana dan prasarana perikanan, kegiatan pengolahan hasil
perikanan sampai dengan pemasaran hasil perikanan serta kegiatan penunjang.
2. Memiliki berbabgai sarana dan prasarana minabisnis yang memadai untuk
mendukung pengembangan sistsem dan usaha minabisnis tersebut adalah:
a. Pasar, (pasar hasil-hasil perikanan, pasar sarana dan prasarana, maupun
pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, cold storagge dan processing
hasil perikanan sebelum dipasarkan.
b. Lembaga keuangan (perbankan maupun non perbankan).
c. Memiliki kelembagaan perikanan (kelompok, UPP).
d. Balai Beni Ikan.
e. Penyuluhan dan bimbingan teknologi.
3. Memiliki sarana dan Prasaran penunjang yanga memadai seperti jalan, listrik, air
bersih, dan lain-lain.
4. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai
seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpusatakaan dan lain-lain.
5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumberdaya alam, sosial budaya
maupun kota terjamin.
2.2. Rencana Pengembangan Kawasan Minapolitan
2.2.1. Komoditi Unggulan Kawasan Minaploitan
Komoditi unggulan adalah produk pilihan yang dihasilkan oleh sektor perikanan atau
pariwisata berbasis perikanan yang mempunyai nilai jual dan jaminan prospek masa
depan karena memiliki daya saling (competitive advantages) yang tinggi. Kawasan
minapolitan tidak saja berfungsi sebagai pemasok komoditi unggulan yang dihasilkan,
tetapi juga menghasilkan suatu produk olahan dari produksi pertanian yang siap
dipasarkan dan menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan. Keunggulan produk yang
dihasilkan dari industri yang mengolah komoditi unggulan tersebut akan memberikan nilai
tambah yang besar karena produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual yang stabil
dibandingkan dengan produk perkebunan atau pertanian tanpa melalui pengolahan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Untuk mendapatkan model-model pengembangan minapolitan pada kawasan pertanian
yang berbasiskan: tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan
maka diperlukan susunan tipologi sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh masing-
masing kawasan minapolitan.
Di daerah-daerah yang akan dikembangkan sebagai kawasan minapolitan, membangun
industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan menjadi sangat penting untuk
dilakukan agar produk tersebut tidak menjadi komoditi yang dipermainkan pasar. Dengan
demikian selain petani akan mendapatkan jaminan pembelian bagi produk pertanian yang
dihasilkan, harga jual produk pertanian juga akan memberikan kontribusi yang baik
kepada petani. Akan terjadi kerjasama yang baik antara petani dengan industri, di mana
petani akan mengembangkan tanaman atau komoditi yang dibutuhkan oleh industri;
sedangkan industri akan mendapatkan jaminan suplai dari para petani pengembang
komoditi yang dibutuhkan.
2.2.2. Prinsip, Tujuan dan Perencanaan Pengembangan Kawasan Minapolitan
a. Prinsip Pengembangan Kawasan Minapolitan
Pengembangan kawasan dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai
dengan arah kebijakan ekonomi nasional, yaitu:
1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme
pasar yang berkeadilan;
2. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan
kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan
kompetensi produk unggulan di setiap daerah;
3. Memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi, agar mampu
bekerjasama secara efektif, efisien dan berdaya saing;
4. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman
sumber daya perikanan budidaya dan budaya lokal;
5. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para
pelaku sesuai dengan semangat otonomi daerah;
6. Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat daerah (khususnya pembudidaya ikan) dengan kepastian dan
kejelasan hak dan kewajiban semua pihak; dan
7. Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh
kegiatan pembangunan di daerah.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
b. Perencanaan Pengembangan Kawasan Minapolitan
Proses perencanaan kawasan minapolitan memerlukan fasilitasi kegiatan berupa
sosialisasi program untuk seluruh stakeholders dalam rangka menyamakan persepsi,
mendapatkan masukan bagi proses pengembangan, dan mensiasati persaingan pasar
(domestik dan global). Langkah berikutnya adalah penetapan kawasan di daerah
kabupaten/kota sebagai kawasan pengembangan minapolitan melalui studi kelayakan
(ekonomi, teknis, dan lingkungan) yang cermat.
Inventarisasi dan identifikasi permasalahan yang terkait dengan proses perencanaan
perlu dilakukan dengan kerja sama antara instansi terkait, pemerintah daerah, dan
masyarakat setempat. Penyusunan rencana/program pengembangan kawasan
minapolitan jangka panjang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan potensi
sumberdaya lahan dan perkembangan kawasan.
Strategi pengembangan kawasan minapolitan meliputi pembangunan sistem dan
usaha agribisnis berorientasi kekuatan pasar (market driven) yang diarahkan untuk
menembus batas kawasan (bahkan mencapai pasar global); pengembangan sarana-
prasarana publik untuk memperlancar distribusi hasil pertanian dengan efisiensi dan
resiko yang minimal; dan deregulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim yang
kondusif bagi pengembangan usaha dan perekonomian daerah.
Suatu kawasan sentra perikanan budidaya yang sudah berkembang harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (lihat Gambar 2.1.):
1) Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut di dominasi oleh
kegiatan perikanan budidaya dalam suatu sistem yang utuh dan terintegrasi mulai
dari:
a. Subsistem minabisnis hulu (up stream minabusiness) yang mencakup:
penelitian dan pengembangan, sarana perikanan, pemodalan, dan lain-lain;
b. Subsistem usaha perikanan budidaya (on farm minabusiness) yang mencakup
usaha: pembenihan ikan, pembesaran ikan dan penyediaan sarana perikanan
budidaya;
c. Subsistem minabinis hilir (down stream minabusiness) yang meliputi: industri-
industri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan untuk kegiatan
ekspor,
d. Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi
minabisnis) seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, pendidikan, penyuluhan,
infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2) Adanya keterkaitan antara kota dengan desa (urban-rural linkages) yang bersifat
timbal balik dan saling membutuhkan, dimana kawasan perikanan budidaya di
pedesaan mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala
rumahtangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk
berkembangnya usaha budidaya dan minabisnis seperti penyediaan sarana
perikanan antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan perikanan dan lain
sebagainya;
3) Kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh
kegiatan perikanan budidaya, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan)
produk perikanan, perdagangan hasil-hasil perikanan (termasuk perdagangan
untuk kegiatan ekspor), perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan
permodalan), minawisata dan jasa pelayanan; dan
4) Infrastruktur yang ada dikawasan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Gambar 2.1. Konsepsi Pengembangan Minapolitan
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan perikanan budidaya harus
dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memiliki sumberdaya lahan dan perairan yang sesuai untuk mengembangkan
komoditi perikanan budidaya, yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar
(selanjutnya disebut komoditi unggulan);
PASAR/GLOBAL
Desa Minapolitan
Desa Minapolitan
Desa Minapolitan
Kota Kecil / Pusat Regional
Kota Sedang / Besar (outlet)
Jalan Dan Dukungan Sapras
Batas Kaw. Minapolitan
Keterangan :
Pengahsilan Bahan Baku
Pengumpul Bahan Baku
Sentra Produksi
Kota Kecil / Pusat Regional
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
b. Memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan
usaha perikanan, seperti misalnya: jalan, sarana irigasi/pengairan, sumber air
baku, pasar, terminal, jaringan telekomunikasi, fasilitas perbankan, sarana
produksi pengolahan hasil perikanan, dan fasilitasumumserta fasilitas sosial
lainnya; dan
c. Memiliki sumberdaya manusia yang mau dan berpotensi untuk mengembangkan
kawasan perikanan budidaya secara mandiri.
2.2.3. Konsep Rencana Tata Ruang Kawasan Minapolitan
Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Minapolitan adalah dokumen formal rencana induk
pengembangan kawasan yang digunakan sebagai arahan para stakeholder dalam
melaksanakan pembangunan kawasan. Rencana tata ruang Kawasan Minapolitan
merupakan rencana pengembangan kawasan yang bersifat komprehensif dan multisektor
yang memuat terutama rencana struktur kawasan dengan pusat kegiatan dan hinterland-
nya, pengembangan sistem infrastruktur, pengembangan sistem usaha agribisnis, dan
juga memuat ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
merupakan rencana pengembangan kawasan yang bersifat komprehensif dan multisektor
yang memuat terutama rencana struktur kawasan dengan pusat kegiatan dan hinterland-
nya, pengembangan sistem infrastruktur, pengembangan sistem usaha agribisnis, dan
juga memuat ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan.
Keterangan :
Pusat Kegiatan
Pusat Kegiatan
Pusat Kegiatan
Pusat Minapolitan
Jalan Kabupaten Jalan Kabupaten
Kawasan 1 Kawasan 2 Jalan Nasional
Jalan Propinsi Jalan Propinsi
Jalan Lokal Jalan Lokal
Gambar 2.2. Keterkaitan Pusat Kawasan Minapolitan Gambar 2.2. Keterkaitan Pusat Kawasan Minapolitan
Dalam penyusunan rencana tata ruang, perumusan konsep, perencanaan dan
pengembangan kawasan-kawasan yang akan dibangun sepenuhnya berada di tangan
pemerintah daerah dengan melaksanakan konsultasi publik. Beberapa hal yang sifatnya
sektoral masih mendapatkan masukan dari sektor atau dinas terkait. Proses perencanaan
clan pengembangan kawasan minapolitan menuntut hal utama untuk diperhatikan yaitu
Dalam penyusunan rencana tata ruang, perumusan konsep, perencanaan dan
pengembangan kawasan-kawasan yang akan dibangun sepenuhnya berada di tangan
pemerintah daerah dengan melaksanakan konsultasi publik. Beberapa hal yang sifatnya
sektoral masih mendapatkan masukan dari sektor atau dinas terkait. Proses perencanaan
clan pengembangan kawasan minapolitan menuntut hal utama untuk diperhatikan yaitu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
koordinasi lintas sektoral dan lintas kelembagaan. Pengembangan kawasan minapolitan
tidak hanya melibatkan departemen dan dinas teknis terkait saja, tetapi juga berbagai
pihak yang berkepentingan.
2.2.4. Kedudukan Rencana Tata Ruang Kawasan Minapolitan dalam Sistem Pengembangan Wilayah KabupatenIKota
Penataan ruang diklasifikasi berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan. Berdasar kegiatan kawasan
maka diketahui adanya rencana tata ruang kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
Rencana tata ruang kawasan perdesaan merupakan bagian dari rencana tata ruang
wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk
mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk kawasan minapolitan.
Kawasan Minapolitan adalah sebagian dari wilayah kabupaten yang ditetapkan dan
direncanakan sebagai kawasan budidaya pertania dan termuat dalam RTRW Kabupaten
yang bersangkutan. Departemen Pekerjaan Umum adalah salah satu departemen teknis
terkait yang sangat berkepentingan dalam proses pengembangan kawasan minapolitan,
khususnya dari aspek perencanaan tata ruang dan penyediaan sarana dan prasarana
penunjang.
Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Panataan Ruang dijelaskan bahwa RTR Kawasan
Agropolitan/Minapolitan merupakan penjabaran lebih detail dari RTRW Kabupaten.
Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil dari rencana tata ruang
tersebut dapat menjadi alat evaluasil masukan terhadap RTRW Kabupaten/kota.
2.2.5. Konsep Kelembagaan
Kelembagaan merupakan terminologi yang sangat umum, dengan definisi atau
pengertian yang beragam mulai dari persepsi sosiologis, organisasi sampai dengan
ekonomi. Berdasarkan penelusuran terhadap sejumlah konsep tentang kelembagaan,
kelembagaan pengelola sumberdaya menunjukan konsepsi multidimensi yang
diantaranya merepresentasikan konsep peran (roles) dan aturan (rules); sistem norma,
panduan, kaidah formal dan informal (termasuk nilai budaya, dan adat istiadat) bagi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
masyarakat serta aturan yang memfasilitasi komunikasi dan koordinasi antar elemen
organisasi atau masyarakat untuk mencapai pengelolaan efektif.
Penataan kelembagaan (institutional arrangement) pengelolaan sumberdaya adalah
penataan hubungan antar unit-unit elemen masyarakat atau organisasi, sehingga
pengelolaan menjadi efektif untuk mencapai tujuan dan fungsi-fungsinya. Secara ringkas,
berdasarkan pemahaman terdapat konsep-konsep kelembagaan, kelembagaan
pengelolaan sumberdaya setidaknya mencakup dua hal pokok yaitu (a) organisasi atau
institusi pengelola (player of the game) dan (2) aturan-aturan (rules of the game) yang
dapat menjamin organisasi/institusi pengelola dapat bekerja secara efektif melaksanakan
aktivitas pengelolaannya.
Gambar 2.3. Deskripsi Kawasan Minapolitan
Dua elemen pokok tersebut diatas menjadi kebutuhan elementer, sehingga perlu
dirumuskan melalui mekanisme yang dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan
pengelolaan kawasan Minapolitan Kabupaten Bogor. Upaya-upaya kelembagaan secara
fokus perlu diarahkan pada usaha-usaha untuk menghasilkan bentuk-bentuk
kesepahaman tentang organisasi dan aturana mainnya.
Kawasan Minapolitan Dalam Sistem Pemasaran
Ibukota Propinsi Kota
Ibukota Propinsi Kota
Kota Jenjang II
Jalan Arteri Prime
Kawasan Minapolitan
Kawasan Minapolita
Kawasan Minapolita
Jalan Arteri Prime
Jalan Kolektor Primer
Sketsan jaringan jalan agar terjadi efisiensi desa-kota sebagai satu kesatuan dalam meningkatkan SDA,
infrastruktur buatan,& SDM
Sketsa Jaringan Jalan Dalam Kawasan Minapolitan
Pusat Minapolitan
Sentra Produksi
Jalan Primer
Jalan Akses
Jalan Utama Antar Pusat Minapolitan
Jalan Usahatani
Desa Hiterland
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Bila dari sisi pelaku baik organisasi maupun individual, di wilayah studi terdapat beberapa
kelompok atau pelaku usaha perikanan yang meliputi kelompok atau pelaku usaha :
(a) pembenihan baik berupa unit pembenihan rakyat (UPR) atau rumahtangga,
(b) budidaya pembesaran, (c) pemasaran dan (d) pengolahan. Selain itu, di wilayah
tersebut juga telah berkembang usaha-usaha sarana produksi perikanan budidaya seperti
penjualan pakan dan obat-obatan, jasa transportasi. Pada faktanya di lapang, juga
terdapat pedagang benih ikan baik yang membeli dari petani pembenih setempat atau
mendatangkan dari wilayah lain. Dalam konsepsi sistem agribisnis, maka keterkaitan
antar usaha dan pelakunya dapat dilihat dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Keterkaitan Usaha dan Pelakunya di Wilayah Studi
Berdasar Gambar 2.4., hubungan yang harus dibangun semestinya bersifat mutualisme,
dimana antar pihak yang saling berinteraksi harus mendapatkan keuntungan optimum
untuk mendukung kelangsungan usahanya. Kegagalan dalam satu pelaku usaha, akan
mendorong terjadinya efek domino pada kegiatan lainnya yang dapat menghancurkan
sistem yang telah berkembang. Akan tetapi perlu dipahami bahwa dalam sistem ini,
sebagai tulang punggung adalah sistem usaha on-farm yaitu proses budidaya yang
meliputi aktivitas pembenihan, pendederan dan pembesaran.
Relasi antara pembudidaya dan pelaku usaha sarana produksi budidaya bersifat cukup
kental. Pada pabrik pakan, mempunyai beberapa pemasaran dan perwakilan pemasaran
(agen pakan) yang berada pada tingkat komunitas. Adanya kebijakan pemasaran yang
dikembangkan oleh produsen pasar, mendorong adanya relasi yang lebih kuat antara
petani dan agen pakan. Pada beberapa kasus, agen pakan seringkali juga merupakan
petani ikan setempat. Relasi ini sudah terjadi cukup lama, dan melibatkan transaksi jual
beli dengan nilai uang yang cukup besar, sehingga cukup kuat. Sampai pada cakupan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
tertentu dapat bersifat patronase, dimana agen perwakilan pabrik pakan menjadi patron
dan klien adalah petani yang menggunakan. Hal ini terjadi karena sebagian pola
pemasaran (pakan) tidak bersifat cash and carry. Pola ini juga terjadi pada pola hubungan
antara petani dengan pemasok obat-obatan.
Dalam proses on farm pola keeratan relasi juga terjadi antara petani dengan pembenih
atau pemasok benih walaupun dengan intesitas yang berbeda.Demikian selanjutnya
antara pembenih atau pemasok benih dengan pembesar. Relasi yang berkembang
biasanya didasarkan pada kebiasaan setempat mulai dari pola pembayaran, distribusi
barang sampai kesepakatan lain termasuk resiko kematian benih.
Relasi berikutnya terjadi antara sisi on-farm dengan off-farm pemasaran. Dimana
biasanya sudah terjadi relasi yang cukup erat antara produsen pembesaran dengan
pembeii. Dalam transaksi ini disepakati harga, pola pembayaran, distribusi dan resiko-
resiko yang ditanggung kedua belah pihak. Pola relasi antara on-farm dengan off-farm
pengolahan sekarang ini belum terjadi. Mengingat bahwa pengolah hasil perikanan di
Kecamatan Parung sekarang ini justru mengolah ikan laut.
Sementara itu, untuk mendukung kegiatan usaha tersebut juga telah dilakukan fasilitasi
oleh para petugas lapangan dan penyuluh dari dinas teknis baik Kabupaten Bogor.
Petugas ini memberikan fasilitasi transfer pengetahuan pada bidang teknologi budidaya,
pengelolaan usaha sampai kerjasama kelompok. Sehingga penyuluh merupakan
kelembagaan dari sisi pelaku (player of the game) yang merupakan pendukung dari
kegiatan ini. Perlu diperhatikan bahwa pada kenyataannya, di samping penyuluh, juga
terdapat kelembagaan keuangan yang sekarang ini telah berinteraksi dalam penyediaan
jasa permodalan bagi pelaku usaha budidaya. Kelompok jasa keuangan ini meliputi
lembaga keuangan bank maupun bukan bank.
Secara umum bisa disarikan bahwa secara kelembagaan, sekarang ini di lokasi terdapat
pelaku-pelaku usaha (baik individual maupun kelompok) yang perlu diperhitungkan yang
meliputi :
A. On-farm meliputi :
a.Pelaku pembenihan
b.Pelaku Pendederan
c. Pelaku pembesaran
B. Off-farm meliputi :
a. Pembeli/pedagang ikan konsumsi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 11 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
b. Pelaku usaha transportasi
C. Pendukung meliputi
a. Pemasok pakan dan obat-obatan
b. Pemasok benih
c. Pemasok modal
d. Penyuluh
2.3. Tujuan Minapolitan
Tujuan dari penerapan program minapolitan ini adalah:
1. Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta pendapatan
asli daerah.
2. Untuk memfasilitasi pembangunan kawasan melalui pembentukan titik tumbuh
agribisnis perikanan berkelanjutan berbasis masyarakat.
3. Untuk meningkatkan keterkaitan desa dengan kota melalui jaringan usaha.
2.4. Sasaran Minapolitan
Sasaran program minapolitan yaitu:
1. Terwujudnya kawasan perdesaan dengan fasilitas perkotaan didukung kluster kegiatan
perikanan yang dikembangkan bersama masyarakat, sehingga masyarakat tumbuh
dan berkembang seiring dengan kemajuan agribisnis yang menjadi penghela kegiatan
pembangunan perikanan dari kawasan/wilayah tersebut.
2. Terbentuknya sistem dan usaha agribisnis perikanan berkelanjutan (tidak merusak
lingkungan), terdesentralisasi (wewenang berada pada pemerintah daerah dan
masyarakat), dan menjadi titik tumbuh yang menciptakan lapangan kerja, dan
membawa kemakmuran/kesejahteraan bagi masyarakat dari kawasan/wilayah
tersebut.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 12 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan II - 13 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2.5. Pariwisata
Yoeti (2008) mengemukakan, dalam perkembangan industri sebuah kawasan wisata,
sebuah perencanaan yang baik sangat penting dibutuhkan agar pengembangan wisata
tersebut sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang
dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup.
Pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006) adalah kegiatan rekreasi di luar domisili
untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata semakin
berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik.
Sebagai suatu aktifitas manusia, pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia,
barang dan jasa yang sangat kompleks.
Yoeti (2008) menyatakan bahwa pariwisata merupakan sebuah perjalanan untuk
bersenang-senang. Perjalanan tersebut baru dapat dikatakan sebagai perjalan wisata jika
telah memenuhi empat kriteria di bawah ini, yaitu:
1. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan dilakukan di luar
tempat kediaman dimana orang itu biasanya tinggal.
2. Perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih kecuali bagi excursionist (kurang dari
24 jam).
3. Tujuan perjalanan hanya untuk bersenang-senang (to pleasure) tanpa mencari nafkah
di negara, kota atau DTW (Daerah Tujuan Wisata) yang dikunjungi.
4. Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya dimana dia
tinggal atau berdiam dan bukan diperoleh karena hasil usaha selama dalam
perjalanan wisata yang dilakukan.
Pariwisata di daerah pariwisata dan rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang
khusus dibandingkan dengan kegiatan ekonomi lain mengingat bahwa keindahan dan
keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah dibangun untuk tempat
rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang dengan pesat.
Sebagai kegiatan rekreatif, pariwisata merupakan sarana pemenuhan hasrat manusia
untuk bereksplorasi guna mengalami berbagai perbedaan. Perbedaan tersebut mencakup
perbedaan fisik, seperti bangunan, lingkungan alam, benda-benda, hewan, tumbuhan dan
manusia. Perbedaan non-fisik, seperti perbedaan suhu dan kelembaban udara, suara,
rasa makanan dan minuman serta suasana, dan juga perbedaan-perbedaan lain yang
mengarah pada perilaku manusia termasuk adat-istiadat, kesenian, cara berpakaian dan
lain sebagainya (Simatupang 1999).
3 TINJAUAN KEBIJAKAN
3.1. Kebijakan Nasional Minapolitan
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, pengesahan Undang-
undang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian digantikan
oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah menciptakan paradigma baru dalam pembangunan
daerah. Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi terdesentralistik
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah. Salah satu implikasi
perubahan kebijakan tersebut adalah Pemerintah Daerah harus mampu mengelola
sumber dana untuk membiayai pembangunan daerahnya. Peran Pemerintah Pusat yang
semula bersifat sektoral secara bertahap beralih ke Pemerintah Daerah, khususnya
Kabupaten/Kota, sehingga kelembagaan lokal dalam pembangunan ekonomi daerah
akan semakin penting dan diakui keberadaannya.
Desentralisasi menuntut pembangunan dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan dan pengambilan manfaatnya;
2. Masyarakat sebagai pengambil keputusan dan menentukan sistem pengusahaan dan
pengelolaan yang tepat;
3. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatan;
4. Kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak;
5. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat atau rakyat; dan
6. Pendekatan pengusahaan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan
keanekaragaman budaya.
Kewenangan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan
adalah sangat luas, antara lain adalah:
a) Menetapkan target pertumbuhan;
b) Menetapkan tahap dan langkah pembangunan kawasan sesuai dengan potensi yang
dimiliki;
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
c) Menetapkan persetujuan kerjasama regional di bidang perdagangan yang
berlandaskan pada produksi lokal yang dihasilkan oleh sentra-sentra komoditas
tertentu;
d) Melakukan berbagai macam negosiasi yang bertujuan mewujudkan konsepsi
pertumbuhan ekonomi regional;
e) Menetapkan institusi pendukung kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi regional; dan
f) Mengembangkan sistem informasi untuk promosi kegiatan-kegiatan ekonomi regional.
Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait
dengan pengembangan perikanan dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan
melalui produk yaitu perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya
(Minapolitan). Konsepsi mengenai pengembangan kawasan perikanan budidaya dalam
penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata
ruang suatu wilayah perikanan, khususnya kawasan sentra produksi perikanan nasional
dan daerah. Perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya (minapolitan)
merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan lahan/potensi yang ada dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang perikanan di
pedesaan. Pengelolaan ruang perikanan budidaya adalah arahan kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan perikanan dan usaha-usaha
berbasis perikanan lainnya dalam skala nasional, sedangkan pengelolaan ruang kawasan
sentra produksi perikanan nasional dan daerah merupakan arah kebijakan dan strategi
pemanfaatan ruang bagi peruntukan perikanan secara umum.
Berikut ini adalah peraturan-perundangan yang mendasari kebijakan Minapolitan secara
nasional :
1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 2004;
2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulaupulau Kecil;
3) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
4) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU no. 32
tentang Pemerintahan Daerah;
5) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Perbantuan;
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
7) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasioanal;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah,
9) Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
10) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2009 tentang
Penetapan Lokasi Minapolitan;
11) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan
Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah; dan
12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata
Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan
Departemen Kelautan dan Perikanan.
3.2. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor : Perda No.19 tahun 2008
Secara legal, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 pasal 7 menyebutkan bahwa
strategi untuk mewujudkan pola kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Bogor
diantaranya mencakup strategi pengembangan pola ruang wilayah. Pengembangan pola
ruang wilayah (pasal 12) didasarkan pada (a) strategi pengembangan kawasan lindung,
(b) strategi pengembangan kawasan budidaya dan (c) strategi pengembangan kawasan
strategis. Strategi pengembangan kawasan budidaya dilakukan dengan meningkatkan
keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya, pengendalian perkembangan
budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan pengembangan fasilitas perkotaan agar
mendukung perkembangan perdesaan. Perbandingan antara kawasan budidaya dan
kawasan lindung masing-masing sebesar 55,31% dan 44,67%. Di mana kawasan
budidaya di luar hutan termasuk didalamnya ditujukan untuk pertanian dengan kegiatan
perikanan.
Kawasan perikanan dikembangkan pada wilayah/kawasan yang secara teknis, sosial dan
ekonomi memiliki potensi untuk kegiatan perikanan, kolam air tenang, air deras,
pembenihan, kolam ikan hias/aquarium, dan budidaya ikan di perairan umum. Kawasan
perikanan ini, berdasarkan peraturan daerah ini terletak di sebagian wilayah kecamatan
tertentu. Hal yang dipikirkan adalah bahwa sebagian wilayah kecamatan yang telah
ditunjuk tersebut juga digunakan untuk peruntukan pemanfaatan yang lainnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tertuang dalam Peraturan Daerah
Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun
2005-2025 meliputi kebijakan pengembangan struktur ruang; dan kebijakan
pengembangan pola ruang. Kebijakan pengembangan struktur ruang Kabupaten Bogor,
meliputi :
1) Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah
yang merata dan berhierarki; dan;
2) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi,
telekomunikasi, energi, dan sumberdaya air yang terpadu dan merata di seluruh
wilayah daerah.
Sedangkan kebijakan pengembangan pola ruang, meliputi :
a. kebijakan pengembangan kawasan lindung, meliputi :
1) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
2) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup.
b. kebijakan pengembangan kawasan budidaya, meliputi :
1) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan
budidaya; dan
2) pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya
dukung dan daya tampung lingkungan;
c. kebijakan pengembangan kawasan strategis, meliputi :
1) Pengembangan kawasan strategis Puncak sebagai kawasan strategis lingkungan
hidup yang berperan sebagai kawasan andalan pariwisata melalui pembatasan
pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien;
2) Pengembangan kawasan strategis industri sebagai kawasan strategis sosial
ekonomi melalui penataan dan pemanfaatan ruang serta pembangunan jaringan
infrastruktur yang mendorong perkembangan kawasan;
3) Pengembangan kawasan strategis pertambangan sebagai kawasan strategis
lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan sumber daya alam
melalui konservasi bahan galian; dan
4) Pengembangan kawasan strategis lintas administrasi kabupaten sebagai kawasan
strategis sosial ekonomi melalui sinkronisasi sistem jaringan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pengembangan struktur wilayah terdiri dari:
a. Sistem pusat permukiman perdesaan, dilakukan melalui pembangunan Desa
Pusat Pertumbuhan (DPP), meliputi 80 Desa di 40 Kecamatan;
b. Sistem pusat permukiman perkotaan, meliputi : (1) Orde I, yaitu Cibinong yang
memiliki aksesibilitas tinggi terhadap PKN lainnya (PKN JABODETABEKJUR); (2)
Orde II, yaitu Cileungsi dan Leuwiliang yang memiliki aksesibilitas tinggi terhadap
Cibinong; (3) Orde III, yaitu Jasinga, Parung Panjang, Parung, Ciawi, Cigombong,
dan Cariu.
c. Sistem prasarana wilayah, meliputi : (1) sistem prasarana transportasi; (2) sistem
prasarana telekomunikasi; (3) sistem prasarana sumberdaya energi; (4) sistem
prasarana sumberdaya air; (5) sistem prasarana gas; dan (6) sistem prasarana
lingkungan.
d. Klaster di 5 (lima) wilayah sebagai strategi ruang wilayah.
Pengembangan Pola Ruang Wilayah menggambarkan rencana sebaran Kawasan
Lindung dan Kawasan Budidaya. Dalam hal ini terdiri dari :
a. Ruang lingkup dari rencana pola ruang kawasan lindung, terdiri dari:
1) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
2) Kawasan perlindungan setempat;
3) Kawasan suaka alam, meliputi 3 cagar alam di 3 kecamatan;
4) Kawasan pelestarian alam, meliputi 2 Taman Nasional dan 2 Taman Wisata Alam;
5) Kawasan perlindungan plasma nutfah, meliputi : (1) Taman Safari Indonesia; (2)
Taman Buah Mekarsari; dan (3) Gunung Salak Endah;
6) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, meliputi : (1) lingkungan non
bangunan; (2) lingkungan bangunan nongedung; dan (3) lingkungan bangunan
gedung dan halamannya;
7) Kawasan rawan konservasi geologi adalah kawasan karst kelas I yang berfungsi
sebagai perlindungan hidrologi dan ekologi;
8) Kawasan rawan bencana alam, meliputi kawasan rawan letusan gunung api serta
kawasan rawan gempa, gerakan tanah, dan longsor. Untuk kawasan rawan
letusan gunung api, terdiri dari : (1) Gunung Salak; (2) Gunung Gede Pangrango;
dan (3) Gunung Halimun. Sedangkan untuk kawasan gerakan tanah tinggi
terdapat di 13 wilayah Kecamatan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Ruang lingkup dari rencana pola ruang kawasan budidaya, terdiri dari:
1) Kawasan Budidaya di dalam kawasan hutan, meliputi : (1) Kawasan hutan
produksi terbatas (HPT); dan (2) Kawasan hutan produksi tetap (HP);
2) Kawasan pertanian, meliputi : (1) pertanian lahan basah (LB); (2) pertanian lahan
kering (LK); (3) tanaman tahunan (TT); (4) perkebunan (PB); (5) peternakan; dan
(6) perikanan;
3) Pemanfaatan kawasan pertambangan, meliputi : (1) pertambangan bahan galian
golongan strategis; (2) golongan bahan galian vital; (3) golongan bahan galian di
luar bahan; galian strategis dan bahan galian vital (golongan C); (4) Dalam hal
terdapat potensi tambang di luar lokasi tambang, maka pemanfaatan potensi
tambang harus memenuhi kelayakan secara teknis, ekonomis dan lingkungan,
serta dapat menunjang kegiatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
4) Pemanfaatan kawasan industri, meliputi : (1) Kawasan Industri Estate (KIE); (2)
Zona Industri (ZI); dan (3) Sentra Industri Kecil;
5) Kawasan pariwisata meliputi kawasan wisata alam, kawasan wisata budaya dan
kawasan wisata minat khusus;
6) Kawasan permukiman meliputi: (1) permukiman perdesaan terdiri dari
permukiman pedesaan diluar kawasan yang berfungsi lindung (PD 1) dan
permukiman pedesaan yang berada di dalam kawasan lindung di luar kawasan
hutan (PD 2); dan (2) permukiman perkotaan terdiri dari permukiman perkotaan
kepadatan tinggi (Pp 1), permukiman perkotaan kepadatan sedang (Pp 2) dan
permukiman perkotaan kepadatan rendah
Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya terdiri dari :
a. Pengelolaan Kawasan Lindung, meliputi :
- Pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan arahan pengelolaan
kawasan lindung di luar kawasan hutan.
- Pengelolaan kawasan perlindungan setempat.
- Pengelolaan kawasan suaka alam.
- Pengelolaan kawasan rawan bencana alam.
- Pengelolaan kawasan lindung lainnya.
b. Pengelolaan Kawasan Budidaya, mencakup :
1) Pengelolaan kawasan Budidaya di dalam kawasan lindung, di luar kawasan hutan
dilakukan pada kawasan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap,
meliputi :
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
- Pengelolaan kawasan pertanian lahan basah.
- Pengelolaan kawasan pertanian lahan kering.
- Pengelolaan kawasan tanaman tahunan/perkebunan.
- Pengelolaan kawasan peternakan.
- Pengelolaan kawasan perikanan.
- Pengelolaan kawasan pertambangan.
- Pengelolaan kawasan industri.
- Pengelolaan kawasan pariwisata.
- Pengelolaan kawasan permukiman.
2) Pengelolaan Kawasan Budidaya di Luar Kawasan Lindung, meliputi:
- Pengelolaan kawasan perdesaan.
- Pengelolaan kawasan perkotaan.
- Pengelolaan kawasan strategis.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga mewadahi pengembangan sistem
prasarana wilayah yang terdiri dari :
A. Pengembangan sistem transportasi jalan
1) Pengelolaan jalan yang ada dilakukan melalui program peningkatan, rehabilitasi
dan pemeliharaan rutin untuk ruas-ruas jalan Nasional, jalan Provinsi, jalan
Kabupaten, dan jalan Kota, terdiri dari :
• Jaringan jalan Nasional, meliputi :
(1) Jaringan jalan arteri primer (2 ruas jalan).
(2) Jaringan jalan arteri sekunder (1 ruas jalan).
(3) Jaringan jalan kolektor primer I (10 ruas jalan).
(4) Jalan tol Jakarta – Bogor – Ciawi (Tol Jagorawi).
• Jaringan jalan provinsi (kolektor primer II) (10 ruas jalan)
• Pengelolaan jaringan jalan kabupaten (lokal sekunder, lokal I, lokal II dan lokal
III) dan jalan desa (lingkungan), dilakukan terhadap seluruh jalan kabupaten
dan desa di wilayah Kabupaten Bogor, yang jaringan jalannya terlampir pada
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah.
2) Pengembangan jalan baru dilakukan untuk menghubungkan antar wilayah dan
antar pusat-pusat permukiman, industri, pertanian, perdagangan, jasa dan simpul-
simpul transportasi serta pengembangan jalan penghubung antara jalan tol dan
bukan jalan tol, terdiri dari :
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
- Rencana pengembangan jaringan jalan baru Nasional (8 jaringan jalan).
- Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi kolektor primer II, yang
merupakan jalan tembus antar wilayah kabupaten/kota perbatasan (11
jaringan jalan).
- Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi kolektor primer III, yang
merupakan jalan lingkar kabupaten dan jalan tembus antar wilayah
kabupaten/kota perbatasan (12 jaringan jalan).
- Rencana pengembangan jaringan jalan baru berfungsi lokal primer I (26
jaringan jalan).
3) Rencana pengembangan terminal, terdiri dari :
- 4 Terminal angkutan penumpang.
- 3 Terminal untuk tujuan wisata
- 2 Terminal barang/peti kemas.
B. Pengembangan sistem transportasi perkeretaapian
Rencana pengembangan sistem transportasi perkeretaapian meliputi pengelolaan
jalur perkeretaapian, pengembangan prasarana transportasi kereta api untuk
keperluan penyelenggaraan perkeretaapian komuter, dry port, terminal barang, serta
konservasi rel mati, meliputi :
1) Rencana pengembangan jalur kereta api perkotaan meliputi pengembangan jalur
kereta api ganda dan penataan jalur kereta api yang beroperasi saat ini (3 jalur
dan 1 stasiun).
2) Rencana pengembangan jalur kereta api antarkota pada ruas tertentu,
disesuaikan dengan rencana pengembangan jaringan kereta api (rail way master
plan) nasional (3 jalur).
C. Pengembangan sistem transportasi udara
Sistem transportasi udara, terdiri dari lapangan udara dan ruang udara di sekitar
udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan. Lapangan udara yang terdapat
di wilayah Kabupaten Bogor, adalah : (1) lapangan udara untuk pertahanan keamanan
(Hankam), Atang Senjaya di Kecamatan Kemang; (2) lapangan udara untuk
penelitian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Kecamatan
Rumpin; dan (3) lapangan udara untuk pendidikan/pelatihan, Sekolah Polisi Negara
(SPN) Lido di Kecamatan Cigombong.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Penataan dan pengembangan ruang udara di sekitar bandar udara yang
dipergunakan untuk operasi penerbangan sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan
untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan dan keberlanjutan pengoperasian
lapangan udara, dimana penataan ruang di sekitar dan di kawasan lapangan udara
harus memperhatikan kegiatan kebandaraan sesuai dengan rencana induk bandar
udara dan ketentuan kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP).
D. Pengembangan sistem prasarana telekomunikasi
Pengembangan sistem jaringan telekomunikasi dilakukan berdasarkan kriteria teknis
sebagai berikut : (1) meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan dan
keselamatan masyarakat serta keselamatan penerbangan; (2) mendukung
perwujudan struktur ruang kawasan; dan (3) kriteria teknis lainnya sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pengembangan sistem jaringan
telekomunikasi dapat juga dilakukan melalui kerjasama antar daerah serta peran
masyarakat dan dunia usaha.
E. Pengembangan sistem prasarana sumberdaya energi
Pengembangan energi baru dan terbarukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor,
meliputi energi mikrohidro di Kecamatan Leuwiliang dan energi panas bumi di
Kecamatan Pamijahan.
Pengembangan sistem jaringan tenaga listrik harus memperhatikan kapasitas yang
telah terpasang dan kebutuhan jangka panjang, dilakukan berdasarkan kriteria teknis
sebagai berikut: (1) meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan dan
keselamatan masyarakat; (2) mendukung perwujudan struktur ruang kawasan; dan (3)
kriteria teknis lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pengembangan sistem jaringan tenaga listrik dapat dilakukan melalui kerjasama antar
daerah, pera masyarakat dan dunia usaha.
F. Pengembangan sistem prasarana sumberdaya air
1) Pengelolaan sumberdaya air.
2) Pengembangan Prasarana Pengairan.
G. Pengembangan sistem prasarana migas
Rencana pengembangan prasarana migas adalah jaringan/ distribusi minyak dan gas
bumi melalui pipa di darat, kereta api dan angkutan jalan raya. Rencana
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
pengembangan sumber migas, meliputi wilayah Kecamatan Jonggol dan Kecamatan
Cariu, sedangkan rencana pengembangan prasarana migas dilakukan pada seluruh
wilayah kabupaten.
H. Pengembangan sistem prasarana lingkungan
Prasarana lingkungan meliputi, sarana Tempat Pengelolaan Sampah (TPS), sarana
Tempat Pemakaman Umum dan Bukan Umum (TPU/TPBU), sarana Pendidikan dan
Balai Latihan Kerja, Sarana Olahraga, sarana Kesehatan, sarana Kebudayaan dan
Peribadatan; dan sarana Perdagangan, dengan arahan pengembangan sebagai
berikut :
1) Pengembangan sarana tempat pengolahan sampah.
2) Pengembangan tempat pemakaman umum (TPU) dan tempat pemakaman bukan
umum (TPBU).
3) Pengembangan sarana pendidikan dan balai latihan kerja.
4) Pengembangan sarana olahraga.
5) Pengembangan sarana kesehatan.
6) Pengembangan sarana kebudayaan dan peribadatan.
7) Pengembangan tempat ibadah umat muslim dan pembangunan tempat ibadah
umat lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
8) Pengembangan sarana perdagangan.
I. Pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber
daya alam lainnya
Rencana pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna
sumberdaya alam lainnya, terdiri dari: tata guna tanah; tata guna air; dan tata guna
udara, dengan arahan pengembangan sebagai berikut :
1) Pengelolaan tata guna tanah, dilakukan melalui upaya perlindungan tanah dan
perlindungan/pengawetan keseimbangannya terhadap kelestarian lingkungan
hidup.
2) Pengelolaan tata guna air, dilakukan melalui upaya kelestarian sumberdaya air.
3) Pengelolaan tata guna udara ditujukan untuk menjaga kelestarian kualitas udara,
estetika, dan keselamatan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
J. Pemanfaatan jasa lingkungan
Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan acuan dalam pengenaan kompensasi bagi
pengguna jasa lingkungan. Jasa lingkungan dimaksud berupa jasa lingkungan air,
udara bersih dan penyerapan karbon, serta wisata alam, meliputi :
1) Kawasan lindung dan kawasan budidaya yang dikelola secara berkelanjutan dapat
memberikan jasa lingkungan yang penting bagi kelangsungan kehidupan
masyarakat dan lingkungan hidupnya.
2) Kawasan yang menghasilkan jasa lingkungan harus dilindungi dari kegiatan yang
dapat merusak fungsinya sebagai penyedia jasa lingkungan.
3) Upaya perlindungan kawasan penyedia jasa lingkungan harus diapresiasi oleh
pengguna jasa lingkungan yang selama ini menggunakannya.
4) Pengguna jasa lingkungan memberikan sejumlah kompensasi sebagai bentuk
apresiasi dan tanggung jawab bersama untuk melindungi dan melestarikan
kawasan penyedia jasa lingkungan.
5) Pemilik lahan perorangan yang lahannya berfungsi sebagai penyedia jasa
lingkungan dapat menerima dana kompensasi konservasi dari pengguna jasa
lingkungannya berdasarkan kesepakatan diantara keduanya.
6) Dana kompensasi konservasi hanya dapat digunakan untuk membiayai upaya
konservasi kawasan yang menyediakan jasa lingkungan.
7) Pemerintah Kabupaten Bogor dapat mengadakan perjanjian kerja sama
pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di dalam wilayahnya dengan pengguna
jasa lingkungan di wilayah Kabupaten Bogor dan/atau wilayah lain di sekitarnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3.3. Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Kabupaten Bogor 2008-2013 : Perda No.7 Tahun 2009
RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 merupakan pedoman bagi seluruh pemangku
kepentingan, baik Pemerintahan Daerah, masyarakat dan dunia usaha di dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah Kabupaten Bogor. RPJM Daerah
Kabupaten Bogor 2008-2013 selain memuat visi, misi, dan strategi juga memuat
kebijakan pembangunan Kabupaten Bogor lima tahun ke depan.
Kebijakan Pembangunan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran pada Misi serta
strategi pembangunan yang telah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan Pembangunan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 11 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan program dan kegiatan pembangunan,
dengan kata lain Kebijakan Pembangunan adalah untuk mengarahkan pencapaian tujuan
dan sasaran Misi yang ditetapkan dan dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan
program dan kegiatan pembangunan. Rumusan Kebijakan Pembangunan dapat
dikelompokkan ke dalam Urusan Pemerintahan maupun menurut Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW).
a. Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bogor
Kebijakan Pembangunan urusan pemerintahan yang termuat dalam okumen RPJM
Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 adalah :
- Kebijakan pembangunan urusan pendidikan
- Kebijakan pembangunan urusan kesehatan
- Kebijakan pembangunan urusan pekerjaan umum
- Kebijakan pembangunan urusan perumahan dan permukiman
- Kebijakan pembangunan urusan penataan ruang
- Kebijakan pembangunan urusan perencanaan pembangunan
- Kebijakan pembangunan urusan perhubungan
- Kebijakan pembangunan urusan lingkungan hidup
- Kebijakan pembangunan urusan kependudukan
- Kebijakan pembangunan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak
- Kebijakan pembangunan urusan sosial
- Kebijakan pembangunan urusan ketenagakerjaan
- Kebijakan pembangunan urusan koperasi dan UKM
- Kebijakan pembangunan urusan penanaman modal
- Kebijakan pembangunan urusan kebudayaan
- Kebijakan pembangunan urusan kepemudaan dan olahraga
- Kebijakan pembangunan urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
- Kebijakan pembangunan urusan pembangunan otonomi daerah, pemerintahan
umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan
persandian
- Kebijakan pembangunan urusan pemberdayaan masyarakat desa
- Kebijakan pembangunan urusan kearsipan dan perpustakaan,
- Kebijakan pembangunan urusan komunikasi dan informasi
- Kebijakan pembangunan urusan pertanian
- Kebijakan pembangunan urusan energi dan sumber daya mineral
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 12 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
- Kebijakan pembangunan urusan pariwisata
- Kebijakan pembangunan urusan industri dan perdaganga
b. Kebijakan pembangunan urusan pertanian
Berikut ini adalah Kebijakan pembangunan urusan pertanian :
1. Peningkatan ketersediaan pangan secara berkelanjutan melalui peningkatan
produksi pertanian dan peternakan khususnya untuk memenuhi karbohidrat
dan protein;
2. Pemberian pola insentif dalam rangka peningkatan produksi pertanian secara
berkelanjutan dalam rangka ketersediaan pangan maupun agribisnis;
3. Peningkatan produksi hasil perikanan yang berkelanjutan dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan;
4. Peningkatan produksi hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian dan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta rehabilitasi lahan kritis;
5. Pelaksanaan revitalisasi pertanian dalam arti luas melalui penguatan sistem
agribisnis dan penerapan hasil inovasi serta teknologi terkini dalam lingkup
pertanian;
6. Pengembangan industri agro yang tersebar di pedesaan untuk meningkatkan
nilai tambah produk pertanian dan menyerap tenaga kerja.
7. Peningkatan, pencegahan dan penanggulangan penyakit tanaman, ternak dan
ikan.
Dalam RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 terkait dengan pengembangan
perikanan, program yang akan dilaksanakan adalah :
1. Program Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan;
2. Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Produksi Perikanan;
.
3.4. Peraturan Terkait Minapolitan
Peraturan terkait dengan Minapolitan saat ini secara pokok meliputi peraturan tentang tata
ruang wilayah, peraturan yang terkait dengan kebijakan pemilihan lokasi dan komoditas
dan kebijakan/peraturan terkait dengan minapolitan itu sendiri. Peraturan terkait dengan
tata ruang wilayah adalah peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19/2008
tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025. Peraturan ini
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 13 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
secara garis besar berisikan : (1) ketentuan umum, (2) Ruang lingkup, (3) asas, tujuan,
kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah, (4) rencana strukur dan pola ruang
wilayah, (5) rencana pemanfaatan wlayah, (6) arahan pengendalian pemanfaatan ruang
dan (7) hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dan kelembagaan. Hal yang paling
penting dari peraturan ini adalah bahwa lokasi pengembangan minapolitan yang akan
ditetapkan harus sesuai dengan rencana pemanfaatan wilayah sesuai dengan peraturan
daerah ini.
Peraturan yang terkait dengan kebijakan dan komoditas setidaknya terdapat dua
peraturan pokok yaitu Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009 tentang Revitalisasi
Pertanian dan Pembangunan Perdesaan (RP3) dan Keputusan Bupati Bogor nomor
523.31/227/Kpts/Huk/2010 tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan
Minapolitan di Kabupaten Bogor.
Dalam Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009, menyebutkan bahwa ruang lingkup
revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi unggulan yaitu
usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan.
Program direncanakan baik pada sisi on-farm, off-farm maupun yang tidak didasarkan
usaha pertanian (non-farm) serta infrastrukturnya.Terkait dengan minapolitan, Pasal 9
menyebutkan bahwa komoditi unggulan perikanan mencakup jenis-jenis ikan : mas,
gurame, nila, hias, patin dan lele. Maka pengembangan perikanan kolam air tenang
(komoditi mas, nila, mujair, gurame, tawes, patin dan lele) bertumpu pada target produksi
di kawasan Zona IV yang meliputi kawasan kecamatan Tahurhalang, Kemang,
Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Gunung Sindur.
Peraturan lain yang terkait dengan pengembangan Minapolitan di Kabupaten Bogor
seperti yang sudah disebutkan di atas adalah Keputusan Bupati Bogor nomor
523.31/227/Kpts/Huk/2010 tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Bogor. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa lokasi
minapolitan terletak pada 4 kecamatan yaitu (1) Kecamatan Ciseeng, (2) Kecamatan
Parung, (3) Kecamatan Gunung Sindur dan (4) Kecamatan Kemang yang meliputi 28
desa. Keempat lokasi tersebut merupakan bagian dari wilayah kecamatan di Zona IV
RP3.
Hal lain yang lebih mendasar, secara kewilayah adalah adanya peraturan daerah tentang
rencana tata ruang wilayah. Pasal 37 perda ini ini menyebutkan bahwa kawasan industri
mencakup bentuk (a) kawasan industry estate, (b) zona industri dan (c) sentra industri kecil. Sebagian dari wilayah kecamatan yang menjadi zona industri (pasal 37) juga
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 14 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
merupakan lokasi pengembangan minapolitan yaitu kecamatan Gunung Sindur.
Sementara sebagian wilayah kecamatan Gunung Sindur dan Parung juga menjadi sentra
industri kecil.
Berdasarkan pada telaah tersebut, terlihat bahwa peraturan tentang lokasi minapolitan
selaras dengan peraturan tentang RP3, walaupun terdapat potensi tumpang tindih
terutama pada kegiatan-kegiatan perikanan dan peternakan yang berbasis lahan yang
sama. Hal perlu untuk menjadi catatan adalah adanya pemanfaatan wilayah sesuai
RTRW sebagai zona indutri. Hal ini perlu untuk diperhitungkan secara cermat mengingat
bahwa bukan hanya persaingan pemanfaatan lahan tetapi potensi eksternal negatif dari
aktivitas perikanan dan zona industri yang bisa saling meniadakan.
Rencana pengelolaan kawasan (Pasal 51 Perda No.19/2008) kawasan perikanan
dilakukan dengan (a) menjaga kelestarian sumberdaya air terhadap pencemaran limbah
industry maupun limbah lainnya, (b) pengendalian melalui sarana kualitas air dan
memperhatikan habitat alami ikan dan (c) meningkatkan produksi dengan memperbaiki
dan meningkatkan sarana dan prasarana perikanan.
Sedangkan dari sisi kebijakan nasional mengenai minapolitan, telah dikeluarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP : 32/MEN/2010 tentang penetapan
kawasan minapolitan. Dalam keputusan ini, Kabupaten Bogor merupakan 1 dari 197
kabupaten/kota seluruh Indonesia yang telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan
kawasan minapolitan. Kabupaten Bogor merupakan satu dari 11 kabupaten yang terpilih
di Propinsi Jawa Barat.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER : 12/MEN/2010 tentang minapolitan,
memuat tentang konsepsi minapolitan. Minapolitan didefinisikan sebagai suatu bagian
wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi,
pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan
pendukung lainnya. Secara umum, disampingg berisikan tentang ketentuan umum,
peraturan ini juga meliputi : (1) azas, tujuan dan sasaran, (2) konsep pengembangan
kawasan minapolitan, (3) pemantauan, evaluasi dan pelaporan, (4) pembinaan dan (5)
pembiayaan. Secara spesifik, peraturan ini menyebutkan bahwa karakteristik kawasan
minapolitan merupakan kawasan ekonomi yang terdiri atas sentra produksi, pengolahan,
dan/atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya seperti jasa dan perdagangan.
Salah satu persyaratan mendasar adalah bahwa kawasan minapolitan harus sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Pengembangan Investasi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 15 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan III - 16 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan. Sedangkan bila sudah
memenuhi criteria dan persyaratan yang ada, maka Bupati/Walikota mempunyai otoritas
untuk menyusun Rencana Induk (Master plan), yang diimplementasikan melalui Rencana
Pengusahaan dan Rencana Tindak. Penetapan lokasi Minapolitan dilakukan oleh
Bupati/Walikota dan disampaikan pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Pada sisi
pembiayaan, maka pengembangan dan pembinaan kawasan minapolitan didasarkan
pada APBN dan atau APBD serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai peraturan
perundang-undangan.
4 METODOLOGI
4.1. Waktu dan Lokasi Kegiatan
Perencanaan kawasan minapolitan sebagai salah satu tujuan wisata edukasi dan rekreasi
ini direncanakan dilakukan pada empat wilayah pengembangan yaitu di empat (4)
kecamatan yang terdiri dari 27 desa yaitu :
Tabel 4.1. Lokasi Kegiatan di Empat Kecamatan
No. Kecamatan Desa Luas (ha) 1 Ciseeng Babakan 283.00 Parigi Mekar 63.20 Putat Nutug 245.00 Ciseeng 80.30 Cibentang 105.00 Cibeuteung Udik 203.00 Cibeuteung Muara 225.00 Cihoe 105.00 2 Parung Bj. Indah 90.00 Cogreg 280.00 Bj. Sempu 76.00 Waru Jaya 45.00 Waru 36.00 Pamegar Sari 24.00 Iwu 56.00 3 Gunung Sindur Pangasinan 35.00 Cibinong 56.00 Gunung Sindur 32.00 Curug 22.00 Cidokom 22.00 Pabuaran 25.00 4 Kemang Pabuaran 210.00 Kemang 82.00 Tegal 18.00 Pondok Udik 15.00 Bojong 151.00 Jampang 8.00
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Gambar 4.1. Peta Lokasi Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan Penyusunan Masterplan Minapolitan di Kabupaten Bogor
dilakukan selama 45 hari kerja dari bulan Oktober hingga Desember 2010.
4.2. Kerangka Pendekatan Studi
4.2.1. Pendekatan Penyusunan Master Plan
Penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan Budidaya pada dasarnya
merupakan penyusunan model-model dan program-program pembangunan yang akan
dilakukan serta indikator kinerja untuk masing-masing model tersebut yang bersifat
operasional, implementatif, spesifik lokasi dan berbasis masyarakat, sehingga
penyusunan masterplan dilakukan dengan berbagai pendekatan, perkiraan, analisis
mendalam dan komprehensif terhadap berbagai aspek, antara lain aspek sumberdaya
alam dan lingkungan, sumberdaya manusia, sosial ekonomi, pengembangan infrastruktur
wilayah, dan aspek kelembagaan.
Pendekatan studi penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan Budidaya
dilakukan dengan beberapa tahapan, yang mencakup pengumpulan data dan informasi
(primer dan sekunder), serta pengkajian terhadap data dan informasi (termasuk review
hasil-hasil studi sejenisnya atau sebelumnya, jika ada). Disamping itu terdapat proses
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
partisipatif melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) atau Rembug Warga di lokasi
pengembangan minapolitan budidaya.
Suatu calon Kawasan Minapolitan masing-masing memiliki potensi sumberdaya
(sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya infrastruktur dan sumberdaya
sosial dan kelembagaan) dimana dalam perkembangan pengelolaan dan
pemanfaatannya juga menimbulkan berbagai isu dan permasalahan. Untuk mewujudkan
suatu lokasi sebagai sebuah kawasan minapolitan, maka perlu disusun kebijakan-
kebijakan yang mampu memberikan arahan dan ketetapan pengembangan kawasan
serta mendapat legitimasi dari seluruh stakeholder melalui proses pembuatan kebijakan
yang partisipatif. Kebijakan-kebijakan itu dituangkan dalam bentuk konsepsi, visi, misi
dan strategi pengembangan kawasan yang kemudian menjadi arahan bagi rencana induk
masing-masing sub kawasan pengembangan. Hasil akhir yang diharapkan adalah
terciptanya kawasan minapolitan sebagai kawasan pertumbuhan baru berbasis
sumberdaya perikanan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Secara skematis, kerangka
pendekatan penyusunan masterplan ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Calon Kawasan Minapolitan Budidaya
Tinjauan Kebijakan Pemerintah
FGD atauRembug Warga
Identifikasi:a.Potensi SDA, SDM, dan Kelembagaanb.Infrastruktur pendukung perikanan budidayac. Isu & permasalahan perikanan budidaya
Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya(Konsepsi Visi, Misi, dan Strategi)
Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Berbasis Budidaya Perikanan Secara Berkelanjutan
Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya
Rencana Pengembangan Sistem Pengolahan
Rencana Pengembangan Sistem Pemasaran
Survei Lapangan
Rencana Pengembangan Sistem Perbenihan
Rencana Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan
Calon Kawasan Minapolitan Budidaya
Tinjauan Kebijakan Pemerintah
FGD atauRembug Warga
Identifikasi:a.Potensi SDA, SDM, dan Kelembagaanb.Infrastruktur pendukung perikanan budidayac. Isu & permasalahan perikanan budidaya
Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya(Konsepsi Visi, Misi, dan Strategi)
Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Berbasis Budidaya Perikanan Secara Berkelanjutan
Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya
Rencana Pengembangan Sistem Pengolahan
Rencana Pengembangan Sistem Pemasaran
Survei Lapangan
Rencana Pengembangan Sistem Perbenihan
Rencana Pengembangan Teknologi Budidaya Perikanan
Gambar 4.2. Kerangka Pendekatan Penyusunan Masterplan Pengembangan
Minapolitan Budidaya
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
4.2.2. Pendekatan Pengembangan Minapolitan
Prinsip utama dalam pengembangan Minapolitan adalah untuk mensinergiskan kegiatan
produksi bahan baku, pengolahan dan pemasaran dalam satu rangkaian kegiatan besar
dalam satu kawasan atau wilayah dengan penekanan pada peningkatan nilai tambah
produk perikanan. Keuntungan yang diperoleh melalui peningkatan nilai tambah harus
dapat dinikmat oleh seluruh masyarakat yang terlibat dalam proses agribisnis perikanan
tersebut sehingga akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan minapolitan mengacu kepada prinsip-prinsip :
1) Prinsip Kerakyatan: pembangunan diutamakan sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat banyak (bukan kesejahteraan individu atau kelompok)
berdasarkan keadilan.
2) Prinsip swadaya: bimbingan dan dukungan kemudahan (fasilitas) yang diberikan
harus mampu menumbuhkan sikap keswadayaan dan kemandirian (bukan
menciptakan ketergantungan).
3) Prinsip Kemitraan: peran pelaku agribisnis perikanan diperlakukan sebagai mitra
kerja pembangunan yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan,
sehingga dapat menjadikan mereka sebagai pelaku dan mitra kerja yang aktif
dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
4) Prinsip bertahap dan berkelanjutan: pembangunan dilaksanakan secara
bertahap dan sesuai potensi dan kemampuan masyarakat setempat serta
memperhatikan kelestarian lingkungan.
5) Prinsip Keadilan Pemerataan: manfaat yang diperoleh dari kegiatan minapolitan
dapat terdistribusi secara merata dan berkeadilan bagi semua pelaku yang
terlibat.
Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam pengembangan Minapolitan juga harus
dilandasi dengan konsep yang jelas. Landasan konsep dalam pengembangan
minapolitan adalah:
1. Bahwa dalam pengembangan minapolitan secara nasional untuk komoditas yang
sama tidak boleh terjadi kompetisi antar daerah. Jika ada lebih dari satu daerah
mengembangkan minapolitan dengan komoditas unggulan yang sama dengan target
pasar yang sama harus ada pengaturan tentang kuota yang adil.
2. Dalam pengembangan Minapolitan harus dapat menjamin terciptanya pertumbuhan
ekonomi di kawasan tersebut. Namun pertumbuhan ekonomi yang tercipta harus
dinikmati masyarakat setempat khususnya masyarakat pelaku agribisnis perikanan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
baik pembenih, pembudidaya maupun pengolah yang pada gilirannya akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lain secara keseluruhan.
3. Untuk menjamin terciptanya kondisi seperti yang diuraikan dalam butir 2, maka
pengaturan maupun perijinan investasi harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi distorsi ekonomi, dimana keuntungan yang
terjadi dari investasi tersebut dinikmati oleh masyarakat diluar kawasan tersebut.
Oleh karena dalam pengembangan Minapolitan diperlukan kelembagaan yang
berfungsi pengawasan atau pendampingan terhadap semua proses pengembangan
bisnis di kawasan minapolitan.
4.2.3. Pendekatan Agribisnis dalam Pengembangan Minapolitan
Kawasan minapolitan merupakan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis perikanan serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan lainnya di wilayah sekitarnya.
Kawasan minapolitan terdiri dari pusat kawasan perikanan dan desa-desa sentra
produksi perikanan yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh
batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala
ekonomi kawasan yang ada.
Di samping itu, setiap pengembangan usaha dari suatu sub sektor ekonomi di suatu
kawasan harus dikaitkan dengan program pengembangan wilayah dan pengembangan
masyarakat. Kalau tidak maka hal tersebut akan menimbulkan kerusakan pada
lingkungan (sumberdaya alam dan ekosistem) dan masalah sosial (pemerataan
kesempatan kerja dan berusaha, kecemburuan sosial serta friksi sosial).
Dengan demikian, upaya untuk mengembangkan minapolitan hendaknya ditempuh
melalui penciptaan atau pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat
berkelanjutan (sustainable economic basis). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
sustainable economic basis adalah bahwa kegiatan ekonomi termaksud hendaknya
secara sosial-ekonomi menguntungkan masyarakat lokal dan secara ekologis aman,
sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan
serta aspirasinya (Dahuri 1999)
Dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, maka
pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor hendaknya dilaksanakan melalui
pendekatan sistem sumberdaya (resources system). Pendekatan ini mengartikan bahwa
suatu kegiatan pembangunan (ekonomi) merupakan kombinasi yang terpadu dan holistik
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
antara sumberdaya alam beserta ekosistemnya dengan sumberdaya manusia, mulai dari
tahap produksi sampai pemasaran hasil kepada masyarakat konsumen.
Oleh karena itu, tahapan pengembangan minapolitan harus dimulai dari identifikasi
potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk kemudian dicari solusi optimalnya
berdasarkan pendekatan sistem agribisnis perikanan yang terpadu dan holistik seperti
diperlihatkan pada Gambar 4.3. Suatu sistem agribisnis perikanan (baik usaha
penangkapan maupun budidaya) meliputi empat subsistem utama, yaitu: (1) sumberdaya
ikan dan habitat/lingkungannya, (2) produksi, (3) pengolahan (teknologi pasca panen), dan
(4) pemasaran termasuk konsumennya; dan empat sub-sistem pendukung, yaitu: (1)
prasarana dan sarana, (2) keuangan, (3) hukum dan kelembagaan, dan (4) sumberdaya
manusia beserta iptek.
HABITAT DANSUMBERDAYA
IKAN PRODUKSI * * BUDIDAYA
SEKTOR PRIMER
PENGOLAHAN
KONSUM NELOKAL *
* NASIONAL* DUNIA
PRASARANADAN
SARANAKEUANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA DANIPTEK
HUKUM DAN
KELEMBAGAAN
PEMASARAN
SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER
Gambar 4.3. Sistem Agribisnis Perikanan (Dahuri 1999)
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa ada 3 (tiga) kegiatan besar dalam kegiatan
industri perikanan, yaitu sektor primer sektor sekunder dan sektor tersier, dimana ketiga
sektor tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Selama ini kebijakan
pengembangan perikanan hanya terfokus pada satu sektor saja, yaitu sektor primer yaitu
produksi tanpa melihat sektor lainnya seperti pemasaran dan pengolahan, sehingga
sering kali terjadi permasalahan pada saat produksi melimpah, yaitu harga produk turun
dan penghasilan masyarakat akan turun.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Sementara itu, model pemasaran hasil perikanan yang dikembangkan selama ini
langsung dipasarkan ke pihak konsumen dalam bentuk segar dan biasanya dipasarkan
sendiri-sendiri. Model pemasaran seperti ini secara umum hanya memberikan nilai
tambah yang rendah, dan itupun biasanya hanya pada sedikit produk perikanan yang
memang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dicari oleh para konsumen dalam keadaan
masih hidup. Oleh karena itu, melalui program minapolitan, pemerintah ingin
meningkatkan nilai tambah produk-produk perikanan sehingga dampaknya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan
perikanan, pembudidaya, dan pengolah produk perikanan.
Pengembangan program minapolitan juga harus didukung dengan sistem kelembagaan
yang kuat, salah satunya adalah kelembgaan pemasaran. Pemasaran produk-produk
perikanan, baik ikan-ikan segar atau hidup maupun produk perikanan hasil olahan, akan
diorganisasi oleh lembaga pengelola suatu kawasan minapolitan. Hal tersebut
dimaksudkan agar pemasaran produk-produk perikanan lebih mudah dilakukan, lebih
terkendali, lebih mempunyai posisi tawar, dan selalu mendapatkan harga yang stabil dan
baik, minimal sesuai dengan harga pasar.
Selain kelembagaan, program pengembangan minapolitan juga harus didukung oleh
sistem keuangan yang kuat, sumberdaya manusia yang berkualitas dan IPTEK serta
dukungan kelengkapan infrastruktur, baik insfrastruktur yang mendukung kegiatan
pengolahan hasil perikanan maupun pemasaran hasil perikanan.
4.3. Pendekatan Keilmuan Terkait
4.3.1. Pendekatan Perikanan Budidaya
Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah data primer yang diperoleh dari
wawancara stakeholder yang terlibat dan data sekunder dari Dinas peternakan dan
Perikanan (Disnakan) Kabupaten Bogor. Data yang akan diambil meliputi:
1. Sumber daya manusia (Pendidikan, jumlah, anggota keluarga, umur, pekerjaan
lain, latar belakang usaha, lama usaha, dan kepemilikan usaha);
2. Input produksi (sumber input, jenis input, kuantitas input produksi, permodalan,
dan fasilitas produksi);
3. Produksi Lele di wilayah Minapolitan (4 kecamatan) per bulan;
4. Proses produksi perbenihan ;
5. Proses produksi pembesaran (lama produksi, dan teknologi yang digunakan);
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
6. Jumlam pembudidaya dan pembenih ikan lele dan rata-rata produksinya;
7. Proporsi hasil produksi menurut ukuran;
8. Output produksi (jumlah panen, ukuran panen, kualitas hasil panen dan
keuntungan usaha);
9. Potensi dan kondisi existing Pemasaran di Jabodetabek (harga jual, rantai
pemasaran, dan lain-lain);
10. Permasalahan dan kendala baik dalam proses pembenihan, pembesaran mapun
pemasannya; dan
11. Analisis finansial usaha budidaya dan pembenihan.
4.3.2. Pendekatan Pengolahan Perikanan
Pendekatan yang dilakukan untuk mendapatkan model pengembangan pengolahan
perikanan adalah:
a) Lokasi pengolahan; lokasi pegolahan ditentukan berdasarkan survey lapang
potensial area dengan mempertimbangkan ketersediaan lahan, kemudahan akses
bahan baku, akses pasar, sarana(listrik, air) dan prasarana (jalan).
b) Kapasitas Produksi dan Jenis Olahan; Kapasitas produksi ditentukan dari
persentasi ketersediaan bahan baku berupa lele BS. Jenis olahan dapat merupa filet,
surimi, bakso, sosis, nugget, kaki naga dan makanan kering krupuk, crakers. Secara
umum produksi dan jenis olahan yang akan dikaji sebagai berikut:
- Jenis hasil olahan kan lele yang ada di 4 kecamatan
- Kapasitas produksi masing-masing jenis olahan
- Jenis ikan olahan ikan lele secara umum
- Konversi produk ikan lele menjadi olahan untuk setiap jenis olahan
- Harga produk ikan olahan
- Analisis finansial usaha ikan olahan
c) Teknologi Pengolahan; teknologi yang diterapkan untuk pengolahan lele adalah
teknologi zero waste (bebas limbah). Hasil samping akan digunakan untuk
memproduksi pupuk organik untuk budidaya hortikultura.
d) Jaringan Pemasaran; produk akan dipasarkan ke berbagai konsumen seperti PSH
(Pusat Jajanan Sehat) disekolah-sekolah, catering, dan lain-lain bekerjasama dengan
asosiasi jasa boga, sekolah, mini market serta potensi pasar yang lain seperti PIH
(Pusat ikan Higienisa) dan hotel.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
e) Kelayakan Ekonomi; kelayakan ekonomi dianalisa dengan perhitungan standar
seperti investasi, IRR, BEP, waktu kembali modal dan Cash-Flow.
4.3.3. Pendekatan Hidrologi
Data hidrobiologi yang diperlukan untuk menunjang kegiatan Minapolitan adalah
menghitung ketersediaan air di kawasan minapolitan baik untuk kebutuhan pembenihan,
pembesaran, pengolahan maupun kegiatan wisata. Serta kebutuhan air lainnya. Untuk
dapat menghitung ketersediaan air akan dulakukan survai untuk mengidentifikasi sumber-
sumber air yang merupakan suplai air bagi kawasan minapolitan yang meliputi air
sungai, saluran irigasi dan air tanah khususnya untuk pemebenihan dan pengolahan.
Untuk sungai dan saluran irigasi akan dihitung debit air baik pada musim kemarau
maupun hujan dengan demikian dapat diketahui fluktuasi antara kedua musim tersebut.
Sedangkan untuk air tanah akan dilakukan pengukuran dengan metode tersendiri.
Data ketersediaan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan data kebutuhan air
untuk setiap unit dari setiap kegiatan pembenihan, pembesaran maupun pengolahan.
Oleh karena itu akan dilakukan juga perhitungan kebutuhan air untuk setiap unit kegiatan
per musim dan per tahun. Secara rinci data hidrologi yang diamati meliputi parameter
sebagai berikut:
o Jaringan dan tata air diwilayah calon minapolitan
o Kapasitas suply aiar,musimhujan dan kemarau untuk kebutuhan budidaya
o Cadangan air tanah
o Kebutuhan air untuk budidaya , perbenihan dan pengolahann
o Water budget di wilayah calon minapolitan
o Konsep jaringan irigasi perikanan budidaya lele
4.3.4. Pendekatan Kelembagaan dan Sosial Ekonomi Perikanan
Pengertian kelembagaan mencakup banyak pengertian yang diajukan oleh para ahli.
Secara umum kelembagaan mencakup segala suatu tatanan dan pola hubungan antara
anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan
bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu
organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa
norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta
insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama” (Djogo et.all, 2003).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Secara ringkas, kelembagaan menyangkut aspek pemain (baik individu atau organisasi)
(player of the game) dan aturan yang menjamin fungsi-fungsi peran individu/organisasi
berjalan dengan baik (rules of the game) (Ostorm, 1985; Ostorm 1986; Doward, 1997;
Doward et.all, 1998 dalam Kartodiharjo dan Jamhani, 2006) Dengan demikian analisis
tentang kelembagaan dalam kegiatan ini akan mencakup analisis individu atau organisasi
sebagai stakeholder dan peraturan-peraturan yang mendasari (rules of the game).
Aturan yang mendasari meliputi aturan pemerintah (pusat dan daerah), aturan antar
pelaku (stakeholder langsung) terkait dengan hal-hal yang menyangkut implementasi
minapolitan.
Metode pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan
studi pustaka pada dokumen yang mendukung. Dari aspek sosio-ekonomi perikanan
data yang akan amati meliputi jaringan pemasaran ikan baik yang segar maupun olahan,
potensi pasar khususnya ikan olahan. Disampingpemasaran ikan segar olahan, system
jaringan pemasaran input produksi khususnya benih merupakan hal penting untuk dikaji.
Baik usaha ikan pembenihan, pembesaran maupun olahan semuanya akan dilakukan
analisis finansialnya. Sedang peluang pengembangan pasar baik segar maupun olahan
akan di kaji untuk melihat prospek bisnisnya di masa mendatang.
4.3.5. Pendekatan Pengembangan Wilayah
Pada prinsipnya dalam pendekatan pengembangan wilayah akan diidentifikasi kondisi
existing calon kawasan minapolitan di empat kecamatan yakni Kemang, Ciseeng, Parung
dan Gunung Sindur dari segi akses dan keterkaitan satu daerah dengan yang lain serta
antara daeran produksi dan pemasaran. Di samping itu potensi lahan budidaya dan
penyebarannya serta sebaran pemukiman di kawasan minapolitan dapat dipetakan
dalam peta GIS. Jadi secara rinci akan dapat dihasilkan beberapa jenis peta yang
meliputi:
‐
‐
Peta administrtatif keempat kecamatan secara detail
‐
Kondisi eksisting jaringan jalan dengan ukuran lebar dan panjang
‐
Jaringan akses jalan produksi,pemasaran
‐
Kondisi existing kolam budidaya dan pembenihan
Potensi lahan budidaya dan distribusinya dalam peta
‐ Konsep pengembangan wilayah untuk Minapolitan agar tercapai efisiensi dalam
pendistribusan input maupun output produksi
‐ Peta jaringan irigasi maupun sungai di kawasan minapolitan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
‐ Tata ruang serta perda yang ada untuk wilayah minapolitan
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
4.3.6. Pendekatan Lanskap
a) Alat dan Data
Kegiatan ini menggunakan peralatan baik perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software) dengan spesifikasi pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Alat Perencanaan
Hardware dan Software Fungsi Hardware Kamera Notebook
Survei
Pengolahan data Software Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint) AutoCad 2008 Adobe Photoshop CS3
Analisis data tabular, pelaporan, presentasi
Pengolahan peta tematik Pengolahan peta tematik
b) Data Penelitian
Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah telihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Spesifikasi Data Lanskap
No Data/Informasi Sumber Jenis Data 1. Peta :
• Peta Administrasi
BAPPEDA Sekunder
• Peta RTRW • Peta Rupa Bumi, skala 1 : 50.000 • Peta Tata Guna Tanah BPN dan Peta Vegetasi Kawasan • Peta Jaringan jalan dan telekomunikasi, skala 1 : 100.000 • Peta jalur eksisting transportasi, skala 1 : 500.000 • Peta sebaran sungai, skala 1 : 1.000.000
2. Kondisi Fisik: Ekologi, Iklim : Curah Hujan, dll
BAPPEDA
Sekunder
3. Potensi Kawasan : a. Produksi perikanan b. Wisata Mina
Survei lapangan dan pengamatan
Primer
4. Sosial : a. Jumlah Penduduk b. Mata Pencaharian c. Pendapatan
BPS
Sekunder
5. Stakeholder: Pemerintah, Masyarakat, Pihak Swasta, LSM
Wawancara
dan Kuisioner Primer
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 11 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
c) Pendekan studi
Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu melakukan analisis tabulasi
dan spasial. Pendekatan ini dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian wilayah
kecamatan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata minapolitan yang
berkelanjutan. Pendekatan wisata dilakukan melalui penentuan kawasan yang berpotensi
memiliki obyek dan atraksi wisata. Sedangkan, pendekatan masyarakat (stakeholder)
dilakukan melalui analisis stakeholder yang bersumber dari data kuisioner, wawancara
dan studi pustaka.
d) Prosedur Pelaksanaan
Proses yang dilakukan dalam melaksanakan studi lanskap, terdiri dari empat tahapan
yaitu tahap pengumpulan dan klasifikasi data (persiapan), analisis dan sintesis, konsep
disain perencanaan serta tahap perancangan. Keempat tahap tersebut diuraikan sebagai
berikut:
Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data
Tahap pengumpulan dan klasifikasi data ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer
maupun data sekunder di lapangan yang berkaitan dengan studi ini baik melalui survey
langsung ke lokasi studi ataupun melalui dinas yang terkait.
Tahap 2. Analisis dan Sintesis
a. Identifikasi dan Analisis Tapak dan Wilayah
a.1 Data
Data yang diperlukan dalam menganalisis potensi wilayah yang akan direncanakan
untuk pengembangan minapolitan yaitu data tentang sumberdaya dan potensi
perikanan yang terdapat di kecamatan yang dipilih berdasarkan potensi wisata dan
objek yang ada.
a.2 Metode Analisis
Kawasan wisata minapolitan dapat dinilai dari beberapa parameter untuk
mengetahui kesesuaian kawasan tersebut dengan analisis pembobotan dan skoring
beberapa faktor kriteria penilaian kelayakan kawasan untuk wisata (Tabel 4.4).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 12 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 13 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Gambar 4.4. Tahapan Studi
Tahapan pengumpulan dan klasifikasi data
Tahapan analisis dan Sintesis
Tahapan Konsep dan Perencanaan Kawasan
Kawasan Perencanaan Wisata Minapolitan
Potensi Kawasan Potensi Pengembangan Pariwisata
Stakeholder
Analisis kesesuaian kawasan minapolitan
Zona Kesesuaian kawasan Minapolitan
• Analisis Obyek dan Atraksi Wisata
Pembobotan dan
Skoring
Zona Potensi Pengembangan Wisata
Minapolitan
Analisis Stakeholder
Zona Akseptibilitas Stakeholder
Identifikasi
Peta Digital Survey Lapangan Studi Pustaka
Perencanaan Kawasan Wisata Minapolitan
• Produksi Perikanan • Ketersediaan Obyek dan Atraksi untuk Wisata
• Masyarakat • Pemda • Swasta
Pengembangan Aktifitas dan Fasilitas Wisata Minapolitan
Pembobotan dan
Skoring
Aturan Pemerintah (RTRW)
Zona Potensial untuk Pengembangan Wisata Minapolitan
Pembobotan dan
Skoring
Pengembangan Jalur Wisata Minapolitan
Perancangan Kawasan Wisata Minapolitan
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Tabel 4.4. Kriteria Penilaian Kelayakan Kawasan untuk Wisata
No Faktor Bobot
Nilai 4
(sangat baik)
3 (Baik)
2 (Buruk)
1 (Sangat Buruk)
1. Letak dari Jalan Raya 10 < 1 km 1-2 km 2-3 km > 3 km
2. Estetika dan keaslian
25 Asli Asimilasi, dominan bentuk asli
Asimilasi, dominan bentuk baru
Sudah berubah sama sekali
3. Atraksi 25 Hanya terdapat di tapak
Terdapat < 3 di tempat lain
Terdapat 3-5 di tempat lain
Terdapat > 5 di tempat lain
4. Fasilitas Pendukung
15 Tersedia dalam kondisi sangat baik
Tersedia dalam kondisi baik
Tersedia dalam kondisi kurang baik
Tidak tersedia
5. Ketersediaan Air bersih 15 < 0.5 km 0.5-1 km 1-2 km >2km
6. Transportasi dan Aksesibilitas
10 Jalan aspal, ada
kendaraan umum
Jalan aspal berbatu, ada kendaraan
umum
Jalan aspal berbatu,
tanpa kendaraan
umum
Jalan berbatu /tanah, tanpa kendaraan
umum
Sumber : Mc. Kinnon (1986). Modifikasi
Perhitungan penilaian kelayakan kawasan untuk wisata:
Keterangan :
Fljr = faktor letak dari jalan raya Ffp = faktor fasilitas pendukung
Fek = faktor estetika dan keaslian Fka = faktor ketersediaan air bersih
Fatr = faktor atraksi
Fta = faktor transportasi dan aksesibilitas = titik ke 1 hingga ke 5
Penentuan klasifikasi tingkat kelayakan kawasan untuk wisata adalah sebagai
berikut :
Klasifikasi Tingkat Potensi = N Skor maksimal – N Skor minimal...................... (1)
N Tingkat Klasifikasi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 14 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Dari penghitungan skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan
dan dikategorikan dalam kelas kesesuaian, sehingga hasil Penilaian kawasan
wisata di klasifikasikan menjadi :
• SP (Sangat potensial) dengan nilai 325 – 400. Artinya, bahwa obyek dan
atraksi wisata sangat potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan
kawasan wisata. Perlakukan yang dilakukan hanya untuk menjaga kualitas
obyek dan atraksi agar tetap terjaga
• CP (Cukup Potensial) dengan nilai 249 – 324. Artinya, bahwa obyek dan
atraksi wisata cukup potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan
kawasan wisata. Perlu perlakuan untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat
potensial
• KP (Kurang Potensial) dengan nilai 173 – 248. Artinya, bahwa bahwa obyek
dan atraksi wisata kurang potensial untuk dilakukan pengembangan dan
penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan lebih banyak untuk meningkatkan
kualitas menjadi sangat potensial
• TP (Tidak Potensial) dengan nilai 97 – 172. Artinya, bahwa obyek dan
atraksi wisata yang tersedia tidak potensial untuk dilakukan pengembangan dan
penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan yang khusus dan mahal untuk
meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial
b. Identifikasi dan Analisis Potensi Tapak
Data yang digunakan dalam analisis potensi tapak ini adalah dilihat dari data
produksi perikanan, data akses dan transportasi untuk menuju kawasan wisata
minapolitan, data infrastruktur serta adanya peluang untuk rekreasi pada masing-
masing kecamatan yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata minapolitan.
c. Identifikasi dan Analisis Keikutsertakan Stakeholder
c1. Data
Data yang digunakan dalam analisis stakeholder ini adalah data kesediaan
masyarakat tentang pengembangan wisata pesisir melalui penyebaran kuisioner
dengan metode pengambilan contohnya menggunakan metode purposive
sampling.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 15 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
c.2 Metode Analisis
Tahap penentuan zona akseptibilitas masyarakat lokal ditunjukkan dengan tingkat
kesediaan masyarakat dalam menerima pengembangan lokasi penelitian menjadi
kawasan wisata (Tabel 4.5). Penilaian dilakukan oleh responden, masing-masing
kecamatan diambil n=10, sehingga jumlah dari responden seluruh kecamatan yang
diteliti adalah 40 responden.
Tabel 4.5. Penilaian Akseptibilitas Masyarakat
No Faktor
Peringkat
4 (Bersedia)
3 (Kurang
Bersedia)
2 (Tidak
Bersedia)
1 (Tidak tahu)
1. Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Setuju Kurang setuju Tidak Setuju Tidak Tahu
2. Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Setuju Kurang setuju Tidak Setuju Tidak Tahu
3. Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Ya Kurang Tidak Tidak Tahu
4. Keuntungan kegiatan wisata Ya Kurang Tidak Tidak Tahu
5. Keberadaan wisatawan Bersedia Kurang Bersedia
Tidak Bersedia Tidak Tahu
Sumber : Yusiana (2007)
Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap desa didasarkan
pada penghitungan :
Fx desa ke-p = (4 x n)+(3 x n)+(2 x n)+(1 x n)
Dimana,
Fx = total nilai faktor tertentu
p = desa tertentu
n = jumlah orang yang memilih
Aksesibilitas Masyarakat =
Keterangan :
Pdtw = Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata
Ppkw = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat
Ppmp = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 16 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Pkkw = Keuntungan kegiatan wisata
Pkw = Keberadaan wisatawan
Setelah dihitung skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan dan
dikategorikan dalam kelas kesesuaian :
S1 (Sangat Sesuai) = Nilai 163 – 200
S2 (Cukup Sesuai) = Nilai 125 – 162
S3 (Sesuai Marginal) = Nilai 87 – 124
N (Tidak Sesuai) = Nilai 49 – 86
d. Penentuan Zona Potensial untuk Pengembangan Wisata Minapolitan
Pembuatan zonasi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan AutoCad dan
Adobe Photoshop untuk tehnik overlay sehingga hasil analisis tapak/wilayah dan
potensi wilayah serta hasil peta akseptibilitas masyarakat dapat dispasialkan.
e. Peraturan
Analisis mengenai regulasi dilakukan berdasarkan RTRW yang ada sehingga
diterapkan pada masing-masing kecamatan yang akan dikembangkan. Menurut
RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005 – 2025, kawasan perikanan akan
dikembangkan pada wilayah/kawasan yang secara teknis, sosial dan ekonomi
memiliki potensi untuk kegiatan perikanan, kolam air tenang, air deras, pembenihan,
kolam ikan hias/aquarium, dan budidaya ikan di perairan umum.
Tahap 3. Konsep dan Perencanaan Kawasan Minapolitan
Tahap konsep dan perencanaan ini merupakan hasil dari perencanaan wisata yang
dikembangkan dari zona potensial. Dari zona tersebut kemudian ditentukan akfititas,
fasilitas dan sirkulasi wisata yang disesuaikan dengan peraturan daerah (RTRW) ada
pada. Dari hasil perencanaan wisata tersebut maka dilakukan pembuatan konsep yang
sesuai dengan analisis dan sintesis yang telah dilakukan. Dengan demikian diperoleh
rencana lanskap kawasan minapolitan.
Rencana lanskap kawasan wisata minapolitan berdasarkan zona kesesuaian wisata
yang merupakan hasil analisis di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu
dalam bentuk:
a. Konsep pengembangan dan penataan ruang yang akan dilaksanakan adalah
kawasan wisata minapolitan yang berkelanjutan. Konsep ini diilustrasikan dalam
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 17 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penyusunan Master Plan Minapolitan di Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IV - 18 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
bentuk model pengembangan dan penataan ruang wisata yang
mempertimbangkan karakter lanskap dan potensi obyek atraksi wisata yang ada.
b. Program pengembangan dan penataan kawasan sesuai dengan konsep
pengembangan kawasan. Perencanaan program ini dilakukan berdasarkan nilai-
nilai potensi wisata kawasan, hasilnya berupa arahan pengembangan kawasan
yang diilustrasikan secara grafis sebagai panduan penataan kawasan wisata
minapolitan.
c. Rencana pengembangan dan penataan infrastruktur pendukung wisata.
4.4. Pelaporan
Laporan yang dibuat sebagai pertanggung jawaban kegiatan ini terdiri dari:
1. Laporan Pendahuluan, antara lain berisi pemahaman dan tanggapan dalam
Penyusunan Masterplan Minapolitan beserta metodologi pengerjaan Penyusunan
Masterplan Minapolitan. Laporan ini dilengkapi daftar mobilisasi tenaga ahli dan
jadwal penugasan tenaga ahli dan pelaksana/asisten tenaga ahli. Laporan
Pendahuluan akan diserahkan 1 minggu setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja.
2. Laporan Antara, berisi data-data hasil survei primer maupun sekunder dan hasil
pengolahan data, serta berisikan hasil analisis awal Masterplan Minapolitan, yang
memuat antara lain: kondisi dan potensi perikanan air tawar, isu dan permasalahan
dalam pengembangan budidaya perikanan air tawar, rumusan konsepsi
pengembangan kawasan minapolitan, penentuan lokasi dan komoditas unggulan,
pengembangan lahan budidaya dan infrastruktur pendudkung, pengembangan
penyediaan benih/bibit dan pakan, pengembangan sistem pemasaran dan
pengolahan, pengembangan sistem kelembagaan dan rumusan program/kegiatan
pengembangan kawasan minapolitan dalam jangka waktu lima tahun. Laporan Antara
akan diserahkan 5 minggu setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja.
3. Laporan Akhir, merupakan penyempurnaan terhadap Laporan Antara yang telah
dibahas dengan instansi terkait. Laporan Akhir ini akan dilengkapi dengan Executive
Summary dan peta kawasan minapolitan, dibuat luxury dan berwarna. Laporan Akhir
dan Executive Summary akan diserahkan pada akhir pekerjaan atau 45 hari kerja
setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja.
KONDISI UMUM KAWASAN MINAPOLITAN 5
5.1. Batas Administrasi dan Geografis Wilayah
Kabupaten Bogor yang merupkan bagian dari Provinsi Jawa Barat beribukota Cibinong.
Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6.19o-6.47o Lintang Selatan dan 106o1’-
107o103’ Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Lebak (Banten), sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi.
Gambar 5.1. Peta Lokasi Kabupaten Bogor
5.2. Kondisi Demografi
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah sebesar 2.237,09 km2 merupakan salah satu
wilayah administratif terluas (keenam) di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, Bandung dan Ciamis. Kabupaten Bogor terdiri dari 40
kecamatan dengan jumlah total desa paling banyak se-Provinsi Jawa Barat, yaitu 428
desa (dimana 200 desa termasuk dalam klasifikasi perkotaan, sedangkan 228 desa
lainnya berstatus perdesaan) (BPS, 2008).
Kabupaten Bogor mengalami peningkatan populasi penduduk yang cukup pesat dari
waktu ke waktu. Pada tahun 2000, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak
3.711.996 jiwa. Dan berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, penduduk Kabupaten
Bogor menjadi 4.763.209 Jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 2.446.251 jiwa dan
perempuan sebanyak 2.316.958 jiwa (http://bogorkab.go.id).
Ditinjau dari segi mata pencaharian masyarakatnya , pada umumnya yang didominasi
oleh buruh (25.54 %), buruh perusahaan industri dan pegawai/karyawan (25.17 %), dan
pedagang (20.33 %). Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani/peternak
sangat sedikit (6,51%). Sedangkan secara rinci distribusi mata pencaharian masyarakat di
wilayah calon Kawasan Minapolitan disajkan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Persentase Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Per Kecamatan di Zona IV
Kecamatan Mata Pencaharian
Total PNS/TNI/ POLRI Pedagang Petani/
Peternak Jasa Buruh Pegawai/ Karyawan
Lain-lain
1. Tajurhalang 1.68 3.65 0.62 2.82 3.24 4.59 0.16 16.76
2. Kemang 1.57 3.49 1.24 2.81 4.62 5.04 0.20 18.97
3. Rancabungur 0.43 1.59 0.64 1.65 3.76 1.91 0.06 10.05
4. Parung 1.12 5.50 0.91 2.98 3.97 5.76 0.28 20.51
5. Ciseeng 0.53 2.96 1.83 2.22 5.21 2.41 0.26 15.43
6. Gunung Sindur 0.86 3.13 1.27 2.65 4.74 5.46 0.17 18.28
Jumlah 6.19 20.33 6.51 15.13 25.54 25.17 1.14 100.00 Keterangan:
*) Lain-lain = pengrajin dan pekerja tambang. Sumber : Data Susda Kab. Bogor 2007 dalam BAPPEDA Kabupaten Bogor & PSP3-IPB (2009)
5.3. Kondisi Ekonomi Wilayah
Sebagai wilayah hinterland dari Kota Bogor maupun sebagai bagian dari kawasan
megapolitan Jabodetabek, Kabupaten Bogor berfungsi sebagai pemasok (produsen)
bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, pemasok tenaga kerja melalui proses
urbanisasi dan commuting (menglaju), serta daerah pemasaran barang dan jasa industri
manufaktur. Dilihat dari penerimaan total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
Kabupaten Bogor mengalami kenaikan sebesar 145% dari tahun 2000 hingga 2006, yaitu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
sebesar 18.226.545 juta rupiah (tahun 2000), menjadi 44.792.698 juta rupiah (tahun
2006) (BPS, 2007). Dan sektor industri pengolahan merupakan pemberi kontribusi paling
besar terhadap total PDRB dengan persentase sebesar 59.85% (tahun 2000) dan 64.30%
(tahun 2006). Sedangkan urutan kedua dan ketiga ditempati oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran (dengan persentase sekitar 15%), dan sektor pertanian (dengan
persentase 7.74% pada tahun 2000, dan menurun menjadi 4.69% pada tahun 2006).
Apabila dibandingkan dengan wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi) dan sekitarnya (Sukabumi, Cianjur dan Lebak), Kabupaten Bogor menempati
urutan kelima setelah Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi
dalam hal PDRB per kapita tahun 2000 maupun 2006 (Tabel 5.2.).
Tabel 5.2. PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2000 dan 2006
KABUPATEN/KOTA PDRB PER KAPITA (Rp/Jiwa) 2000 2006
KOTA JAKARTA 27,011,027 55,361,136 KAB. BEKASI 17,297,753 33,265,824 KOTA TANGERANG 12,310,363 24,031,381 KOTA BEKASI 5,030,082 11,202,090 KAB. BOGOR 4,910,174 10,623,985 KOTA SUKABUMI 4,152,983 9,718,210 KAB. TANGERANG 4,434,197 8,190,222 KOTA BOGOR 3,507,687 7,428,605 KOTA DEPOK 2,815,218 6,435,121 KAB. CIANJUR 2,992,669 5,882,538 KAB. SUKABUMI 2,973,353 5,874,341 KAB. LEBAK 2,644,342 4,595,988
Sumber: PDRB Tahun 2000 dan 2006 (diolah).
PDRB per kapita di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 adalah Rp.10.623.985/jiwa
(meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2000), yang diperoleh dengan cara
membagi total PDRB dengan jumlah penduduknya. Tabel 5.3. menyajikan data
mengenai total PDRB, jumlah penduduk dan PDRB per kapita masing-masing
kabupaten/kota di Kawasan Jabodetabek dan sekitarnya tahun 2006. Ditinjau dari
peranan masing-masing sektor terhadap perekonomian di Kabupaten Bogor, dapat
diketahui bahwa sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling besar terhadap
total PDRB dengan persentase sebesar 59.85% (tahun 2000) dan 64.30% (tahun 2006).
Sedangkan urutan kedua dan ketiga ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan
restoran (dengan persentase sekitar 15%), dan sektor pertanian (dengan persentase
7.74% pada tahun 2000, dan menurun menjadi 4.69% pada tahun 2006).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 5.3. Total PDRB, Jumlah Penduduk dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2006
KABUPATEN/KOTA TOTAL PDRB (JUTA RP)
JUMLAH PENDUDUK
(JIWA)
PDRB PER KAPITA
(RP/JIWA) KOTA JAKARTA 495,056,882 8,942,318 55,361,136KAB. BEKASI 66,239,907 1,991,230 33,265,824KOTA TANGERANG 35,604,678 1,481,591 24,031,381KOTA BEKASI 22,855,154 2,040,258 11,202,090KAB. BOGOR 44,792,698 4,216,186 10,623,985KOTA SUKABUMI 2,863,432 294,646 9,718,210KAB. TANGERANG 27,571,753 3,366,423 8,190,222KOTA BOGOR 6,357,742 855,846 7,428,605KOTA DEPOK 8,967,779 1,393,568 6,435,121KAB. CIANJUR 12,500,528 2,125,023 5,882,538KAB. SUKABUMI 13,163,816 2,240,901 5,874,341KAB. LEBAK 5,437,900 1,183,184 4,595,988
Sumber: Data PDRB dan Jumlah Penduduk Tahun 2006 (diolah)
5.4. Biofisik dan Tata guna lahan
Secara biofisik khususnya dalam hal ketersediaan air, Kabupaten Bogor relatif memiliki
ketersediaan air yang cukup memadai yang didukung oleh irigasi yang cukup baik.
sebagai gambaran ,luas daerah irigasi di Kabupaten Bogor adalah 47.121 ha terdiri atas
daerah irigasi Pemerintah (PU), daerah irigasi desa dan daerah irigasi PIK. Meskipun
irigasi pada awalya ditujukan untuk pengembangan pertanian sawah, namun dalam
perkembangannya kegiatan budidaya perikanan memerlukan dukungan irigasi yang
memadai. Jumlah dan daerah irigasi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Di samping irigasi yang luas, di Kabupaten Bogor didukung oleh sumber air yang mengalir
diwilayah kabupaten ini. Di Kabupaten Bogor mengalir enam sungai besar yang memiliki
cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang, yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai :
1. DAS Cisadane, dengan Sub-DAS : Cisadane Hulu, Ciapus, Ciampea, Cihideung,
Cianten, Citempuan. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS Cisadane ini
adalah kecamatan Caringin, Ciawi, Cijeruk, Ciomas, Dramaga, Ciampea,
Cibungbulang, Pamijahan, Leuwiliang, Nanggung, Kemang, Parung, Rumpin, dan
sebagian besar Cigudeg bagian timur.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 5.4. Jumlah dan Luas Daerah Irigasi Se-Kabupaten Bogor
NO UPTD/KEC. DAERAH IRIGASI
LUAS KONDISI KECAMATAN HA Baik Sedang Rusak
1 2 4 5 6 7 8 1 Jasinga Jasinga 1.699 7 8 39 Parung Panjang 461 3 2 11 Tenjo 733 - 1 10 Nanggung 2.365 11 30 19 Sukajaya 948 4 24 17 Cigudeg 1.373 7 22 20 Jumlah UPTD wilayah Jasinga 7.579 32 87 116
2 Leuwiliang Leuwiliang 1.645 10 18 22 Ciampea 1.294 10 4 3 Cibungbulang 1.696 14 8 15 Pamijahan 2.881 26 9 22 Leuwisadeng 1.388 10 18 11 Tenjolaya 1.567 11 12 5 Taman Sari 1.386 5 11 11 Jumlah UPTD teknis Leuwiliang 11.857 86 80 89
3 Ciawi Ciomas 523 2 7 3 Dramaga 1.459 3 3 5 Cijeruk 743 8 1 5 Ciawi 873 5 8 9 Cisarua 488 3 13 5 Megamendung 891 7 8 7 Caringin 1.838 16 17 5 Cigombong 653 3 4 2 Jumlah UPTD wilayah Ciawi 7.468 47 61 41
4 Parung Parung 462 2 1 2 Ciseeng 1.823 1 3 1 Kemang 626 1 2 1 Gunung Sindur 389 2 1 3 Bojonggede 204 3 0 0 Ranca Bungur 706 0 1 0 Tajur Halang 73 0 0 2 Rupin 1.964 9 7 23 Jumlah UPTD wilayah Parung 6.256 18 15 32
5 Cibinong Cibinong 131 3 2 0 Citeureup 263 3 0 4 Babakan Madang 285 3 2 3 Sukaraja 909 1 2 2 Gunung Putri 48 1 0 1 Jumlah UPTD wilayah Cibinong 1.636 11 6 10
6 Jonggol Cileungsi 752 2 1 3 Klapa Nunggal 897 4 1 2 Jonggol 2.995 4 7 18 Sukamakmur 2.579 11 19 22 Cariu 2.571 6 5 5 Tanjungsari 2.531 16 7 15 Jumlah UPTD wilayah Jonggol 12.325 43 40 65 Jumlah seluruh UPTD teknis pengairan 47.121 237 289 353
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
2. DAS Ciliwung, dengan Sub-DAS : Ciesek, Ciliwung Hulu, Cibogo, Cisarua,
Ciseuseupan, Cisukaribas. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS Ciliwung ini
adalah Kecamatan Cisarua, Megamendung, Sukaraja, Cibinong, Cimanggis, Bojong
Gede, Sawangan, dan Limo.
3. DAS Cidurian, dengan wilayah-wilayah yang tercakup meliputi Kecamatan Parung
Panjang, Tenjo bagian timur, Tenjo bagian barat, Rumpin bagian utara, Cigudeg
bagian selatan.
4. DAS Cimanceuri, dengan wilayah-wilayah yang tercakup meliputi kecamatan
Parung Panjang, Tenjo bagian timur, Rumpin bagian utara, Cigudeg bagian utara.
5. DAS Angke, dengan Sub-DAS : Cikeas, Citeureup, Cileungsi, Cikarang
(Cibarengkok, Cibodas, Cipajutah). Wilayah-wilayah yang terdapat dalam DAS ini
adalah Kecamatan Citeureup, Cileungsi, Gunung Putri, dan sebagian kecamatan
Jonggol bagian barat.
6. DAS Citarum, dengan Sub-DAS : Cipamingkis, Cibeet. Wilayah-wilayah yang
tercakup dalam DAS ini adalah Kecamatan Jonggol dan Cariu.
Ketersediaan air dari mata air di Kabupaten Bogor cukup banyak dan hampir semuanya
mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Secara garis besar wilayah
Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok daerah resapan air sebagai berikut : daerah
resapan air tanah utama antara lain daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri,
Citeureup, Cibinong, dan Gunung Sindur.
Sedangkan dari segi ata guna lahan, meskipun sektor pertanian menempati urutan ketiga
dalam kontribusinya terhadap total PDRB kabupaten Bogor, berdasarkan luasan
penggunaan lahan pada tahun 2006 sebagian besar lahan di Kabupaten Bogor digunakan
sebagai areal persawahan (sawah irigasi + sawah tadah hujan), kebun campuran dan
hutan. Sampai tahun 2006 Kabupaten Bogor masih memiliki areal persawahan kurang
lebih seluas 65.000 ha. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Bogor masih
mengandalkan sektor pertanian untuk menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup
berkembangnya sektor pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena
karakteristik lahan dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan
pertanian.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 5.5. Luasan Masing-masing Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun 2006
Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Pemukiman 26,025.70 8.73 Jasa 524.20 0.18 Tegal 27,045.60 9.07 Industri 1,590.00 0.53 Sawah Irigasi 53,499.30 17.94 Sawah Tadah Hujan 11,805.90 3.96 Kebun Campuran 85,001.70 28.50 Perkebunan 19,001.80 6.37 Hutan 62,306.40 20.89 Perairan 43.10 0.01 Tambak/Kolam 17.00 0.01 Tanah Rusak/Kosong/ Pasir Galian
1,217.90 0.41
Semak/alang2 4,936.10 1.65 Lain-lain 5,263.20 1.76 Total 298,277.90 100.00
Sumber: Badan Pertanahan Nasional (BPN), 2007
Dalam pengembangan penggunaan lahan tidak terbatas hanya untuk pertanian budidaya,
kehutanan dan kebun campuran, namun dengan perkembangan kegiatan perikanan
budidaya yang cukup pesat penggunaan lahan untuk kolam meningkat, bahkan sebagian
lahan pertanian juga ada yang digunakan untuk berbudidaya ikan. Budidaya Ikan cukup
berkembanga terutama di Zona IV dan II karena potensi sumberdaya air yang ada di
Kabupaten Bogor cukup banyak.
5.5. Kondisi Perikanan
Dalam perikanan budidaya (khususnya budidaya ikan air tawar), secara historis
Kabuapten Bogor dan sekitarnya merupakan daerah sentra produksi di samping
Sukabumi, Tasikmalaya, Cianjur, Subang dan Purwakarta. Selain dikenal sebagai
produsen benih (kegiatan pembenihan), pembudidaya ikan di Kabupaten Bogor banyak
berkontribusi dalam memproduksi ikan-ikan ukuran konsumsi (kegiatan pembesaran).
Selama tiga dekade terakhir, beberapa catatan penting dalam kegiatan perikanan
budidaya di Bogor antara lain:
(1) Di tahun 80-an sistem budidaya ikan mas di kolam air deras berkembang pesat di
daerah Cibening, Pamijahan, Cibuntu, Cihideung dan sekitarnya. Diduga jumlahnya
paling banyak dibanding daerah sentra produksi lainnya di Jawa Barat. Pada saat
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
harga pakan semakin tinggi dan berkembangnya budidaya ikan mas di keramba
jaring apung (KJA) di waduk Saguling, Jatiluhur, dan Cirata, sistem budidaya ini
secara berangsur berhenti.
(2) Di tahun 80-an sampai tahun 90-an, daerah Bogor (khususnya Parung) dikenal
sebagai pusat produsen benih dan ikan gurame ukuran konsumsi. Diduga karena
persaingan harga, kegiatan budidaya gurame baik pembenihan maupun
pembesaraanya akhirnya tersisihkan oleh daerah lain seperti Purwokerto, Blitar dan
Tasikmalaya.
(3) Pada kurun waktu dua dekade terakhir Bogor dikenal sebagai sentra produksi
berbagai spesien ikan hias. Tidak kurang dari 30 spesies ikan hias baik lokal
maupun yang berasal negara lain, banyak dihasilkan oleh pembudidaya ikan di
daerah Cibuntu dan sekitarnya, Ciseeng dan Parung.
(4) Di tahun 90-an hingga sekarang, kegiatan perikanan budidaya yang secara lokal
maupun nasional masih dianggap memegang peran penting adalah bahwa Bogor
sebagai produsen benih ikan patin, bawal, dan gurame serta produsen ikan lele
ukuran konsumsi dengan produksi sekitar 40 ton per hari.
Beberapa kondisi yang menunjang dan diduga telah mendorong berkembangnya kegiatan
perikanan budidaya di Kabupaten Bogor adalah bahwa:
(1) Kabupaten Bogor dengan iklim yang dimilikinya (kelayakan lahan dan air, kisaran
suhu, curah hujan, dan sebagainyan) telah menunjukkan kesesuaian yang cukup
tinggi untuk digunakan sebagai lahan usaha budidaya berbagai spesies ikan, baik
ikan konsumsi maupun ikan hias. Dengan kata lain, hampir semua spesies ikan
budidaya air tawar yang dipelihara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
(2) Para pembudidaya ikan di Kabupaten Bogor secara relatif memiliki kemampuan
teknis budidaya yang cukup baik dibanding daerah sentra produksi lainnya,
mengingat historis yang cukup panjang dan akses terhadap inovasi maupun
teknologi baru yang lebih mudah.
(3) Kabupaten Bogor dengan lokasinya yang tidak jauh dari Jakarta memiliki
keunggulan komparatif dalam hal penyediaan sarana produksi seperti peralatan,
pakan buatan dan obat-obatan, di samping akses pasar, baik ditinjau dari potensi
kuota permintaan, maupun akses sarana dan prasarana pendistribusian. Misalnya,
peran bandara Soekarno-Hatta dalam hal distridusi antar pulau atau untuk ekspor.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pendukung pengembangan perikanan yang lain adalah ketersediaan sarana prasarana
transportasi yang cukup baik yang memperlancar distribusi hasil budidaya dan
pengolahan meskipun masih diperlukan peningkatan kualitas.
Salah satu kawasan yang cocok untuk dikembangkan menjadi kawasan pengembangan
budidaya ikan air tawar di Kabupaten Bogor adalah Zona 4. Zona 4 dalam revitalisasi
pertanian dan pembangunan perdesaan terletak di bagian tengah utara kawasan
Kabupaten Bogor. Wilayah ini berbatasan dengan Kota Bogor dan Kota Depok. Secara
administratif wilayah ini terdiri dari enam kecamatan, yaitu: Kecamatan Tajurhalang,
Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Gunung Sindur.
Gambar 5.2. Peta Wilayah Zona 4
Selain memiliki potensi perikanan, zona 4 juga memiliki potensi pariwisata, terutama di
Kecamatan Ciseeng yang memiliki kawasan wisata pemandian air panas. Masyarakat
yang berkunjung di area wisata ini cukup beragam dan tidak hanya dari daerah Bogor
namun ada yang dari Jakarta, Tangerang, Depok dan beberapa kota lain Jabodetabek.
Memperhatikan perjalanan perikanan budidaya di Bogor selama ini, pengembangan
kegiatan perikanan budidaya di masa-masa mendatang dapat memberi kontribusi nyata
dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha
dan meningkatkan kegiatan perekonomian. Kegiatan produksi perikanan menunjukkan
skecenderungan semakin meningkatl. Jumlah produksi perikanan kolam air tenang di
Kabupaten Bogor pada tahun 2009 adalah 24.072,98 ton yang tersebar merata di 40
kecataman yang terdapat Kabupaten Bogor. Produksi Perikanan terbesar terdapat di
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan V - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kecamatan Parung dan Gunung Sindur dengan produksi sebesar 7.650,80 ton dan
6.071,64 ton. Sedangkan kecamatan dengan jumlah produksi paling kecil adalah
kecataman Tenjo dengan produksi mencapau 15,43 ton.
Sementara itu jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bogor berjumlah
6.605 orang yang tersebar ke 40 kecamatan. Jumlah RTP terbanyak terdapat di Gunung
Sindur yaitu sebanyak orang 493, jumlah RTP yang kedua adalah Kecamatan Ciseeng
dengan jumlah 463 orang RTP dan Kecamatan Parung dengan jumlah RTP 449 orang.
Luas areal total Kolam air tenang yang terdapat di di Kabupaten Bogor seluas 1.075,94.
Kecamatan paling luas adalah Kecamatan kemaang dengan luas areal budidaya seluas
145 ha sedangkan luas paling kecil adalah Kecamatan Tenjo dengan luas areal kolam
seluas 0,71 ha.
6
ANALISIS POTENSI DAN PERMASALAHAN
6.1. Potensi Perikanan Budidaya Air Tawar
Potensi produksi ikan air tawar di Kabupaten Bogor cukup tinggi, untuk seluruh jenis ikan
yang dibudiyakan mencapai 24.072.98 ton per tahun pada tahun 2009 (Tabel 6.1.) atau
sekitar 66.85 ton per hari. Jumlah jenis ikan air tawar yang dibudidayakan ada 10 jenis
ikan antara lain mas, gurame, nila, lele, tawes, tambakan, mujair, nilem, patin dan bawal
(Lampiran 1). Jenis lain yang jumlahnya cukup banyak adalah ikan hias dan lobster air
tawar. Kedua jenis ikan yang terakhir tersebut tidak diikutkan dalam pembahasan karena
dalam pengembangan produk tersebut tetap harus mendapat perhatian khusus karena
memiliki prospek yang baik. Sedangkan ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, produk
perikanan menyerap tenaga kerja cukup besar mencapai sekitar 6.605.00 RTP
(rumahtangga perikanan) (Tabel 6.1.).
Tabel 6.1. Jumlah RTP Pembudidaya, Luas Areal dan Total Produksi Ikan Air
Tawar di Kabupaten Bogor Zona
Pengembangan KOLAM AIR TENANG
Jumlah RTP Luas Areal Produksi (orang) (Ha) (Ton)/hari
Zona I 699.0 167.8 309.9 Zona II 947.0 121.5 1577.6 Zona III 933.0 124.0 1566.6 Zona IV 2203.0 503.8 19179.5 Zona V 582.0 44.9 278.7 Zona VI 358.0 40.6 278.0 Zona VII 680.0 58.3 460.1 Zona VII 203.0 15.0 422.6 TOTAL 6.605.00 1.075.94 24.072.98
Sumber : Diolah dari data Disnakan (2009)
Dalam program Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan (RP3), wilayah di
Kabupaten Bogor telah diklasifikasikan menjadi 8 zona pembangunan. Dari kelapan zona
tersebut Zona 4 memiliki produktivitas perikanan tertinggi dikuti dengan Zona 2 dan 3.
Kecamatan yang termasuk ke dalam Zona 2, 3 dan 4 adalah :
Zona 2 : Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cibungbulang, Pamijahan
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Zona 3 : Ciampea, Tenjolaya, Dramaga, Ciomason
Zona 4 : Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Rancabungur, Parung , Ciseeng, Gunung
Sindur (Peta RTP Kemang, Parung, Ciseeng, dan Gunung Sindur dapat dilihat
di Lampiran 2).
Sedangkan untuk jenis komoditi, satu dari sepuluh jenis komoditi perikanan yang
dibudidayakan produksi terbanyak adalah ikan lele. Ikan lele merupakan jenis yang
produksinya paling tinggi (18312.86 ton/tahun), diikuti dengan ikan Mas (1966.17
ton/tahon), ikan Nila (1946.43 ton/tahun) dan Gurame (1092.59 ton/tahun) (lihat Tabel 6.2.). Sedangkan jenis yang lain produkdsinya masih jauh lebih rendah.
Tabel 6.2. Produksi Perikanan Per-kecamatan menurut Jenis Ikan
Zona
Komoditas
Mas Nila Gurame Lele Tawes Tambakan Mujair Nilem Patin Bawal
zona I 112.7 78.8 27.3 71.6 3.7 1.2 4.4 0.1 10.2 0.0
zona II 764.7 248.3 133.9 214.1 31.4 12.6 6.8 0.0 122.4 43.4
zona III 479.8 286.9 585.7 71.1 9.2 0.0 0.0 0.0 0.0 133.9
zona IV 328.0 167.4 1086.3 17383.5 16.8 3.3 4.7 1.6 86.6 101.4
zona V 88.7 50.7 39.6 64.9 5.0 0.0 0.0 0.0 7.8 21.9
zona VI 73.7 36.1 24.2 81.4 0.0 0.0 0.0 0.0 15.4 47.2
zona VII 80.7 57.9 38.4 219.3 4.3 2.2 10.2 0.2 31.2 10.7
zona VII 38.0 166.5 11.0 207.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
TOTAL 1966.17 1092.59 1946.43 18312.86 70.44 19.31 26.22 1.80 273.58 358.36
Prod/bln 163.85 91.05 162.20 1 526.07 5.87 1.61 2.19 0.15 22.80 29.86
Prod/Hari 5.46 3.03 5.41 50.87 0.20 0.05 0.07 0.00 0.76 1.00
=
Skor 3 2 3 5 1 1 1 1 1 1
Sumber : Diolah dari data Disnakan (2009)
Keterangan : Untuk Tahun 2010 produksi lele mencapai 70 ton/hari
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa di antara komoditas perikanan yang ada di
Kabupaten Bogor, lele merupakan komoditas dengan produksi tertinggi yakni sekitar
18312,86/tahun atau sekitar 50,87 ton/hari pada tahun 2009. Produksi ini semakin hari
semakin meningkat, dan pada akhir tahun 2010 produksi ini mencapai 70 ton/hari (Lihat
Tabel 6.3.)
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 6.3. Kapasitas Produksi Lele Menurut Petani/Penampung di Kawasan Minapolitan Tahun 2010
No Nama Kapasitas (ton/bulan )
Keterangan Daging Bs (besar) Total
1 Siu eng 90 10 100 Petani/penampung
2 Bun yan 90 10 100 Petani/penampung
3 Yana 90 10 100 Petani/penampung
4 Em bin 70 10 80 Petani
5 Ahan 90 10 100 Petani/penampung
6 Ong tan 40 5 45 Petani
7 Asnawi 100 20 120 Penampung/bandar
8 Bun yok 100 10 110 Petani/penampung
9 M.nooh 100 10 110 Petani
10 Khoerudin 100 10 110 Petani
11 Rudy 90 10 100 Petani/penampung
12 Abdul ghani 70 5 75 Petani/penampung
13 Neran 40 5 45 Petani
14 Peng un 70 5 75 Petani
15 Ogh wan 70 5 75 Petani
16 Sugeng 30 5 35 Petani
17 Samsudin 30 5 35 Petani
18 Nacu 30 5 35 Petani
19 Kode 70 5 75 Petani/penampung
20 Gedeon 70 5 75 Petani/penampung
21 Akent 180 60 240 Petani/penampung
22 Sutaji 50 10 60 Petani/penampung
TOTAL 1670 230 1900
Pada keadaan tertentu jumlah ikan BS bisa mencapai 30%
dari jumlah ikan Daging
Tergabung UPP
1. Kel. ASTENA 180 30 210 Anggota : 60 orang
2. Balai Makmur 3 Anggota : 10 orang
TOTAL(Ton/Bulan)/ 1850 260 2113
TOTAL(Ton/Hari) 62 8 70
Sumber: Data Survai Lapang (2010)
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
6.2. Pemasaran
Potensi pasar ikan air tawar cukup besar, di samping dipasarkan di Bogor, pemasaran
terbesar adalah di Jakarta dan Tangerang. Khususnya untuk komoditas ikan lele. Potensi
pasar Lele di Jakarta dan Tangerang mencapai sekitar 80-100 ton per hari (diprediksi
dai jumlah pakan yang terjual). Dari potensi pasar tersebut Kabupaten Bogor memasok
sekitar 40-50 ton per hari, sisanya dipasok utama dari Indramayu. Pasar ikan Lele
tersebut adalah warung tenda (pecel lele), sedangkan Gurame, Mas dan Nila umumnya
dipasarkan ke restoran.
Dengan berkembangnya produksi ikan lele dari tahun ke tahun maka perlu diantisipasi
akan terjadinya kejenuhan pasar. Untuk mengantisipasi kejenuhan pasar, program
minapolitan diharapkan dapat memberikan solusi dengan adanya pengolahan produk
ikan Lele. Dengan adanya program pengolahan yang dikembangkan di Minapolitan,
paling tidak dapat menyerap produk ikan Lele BS (ukuran besar > 6 ekor/kg) dengan
harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan keuntungan pembudidaya dapat
lebih ditingkatkan.
6.3. Permasalahan Perikanan Budidaya
6.3.1. Permasalahan Perbenihan
a) Permasalahan utama dalam perbenihan adalah rendahnya produktivitas yang
dicerminkan dengan rendahnya tingkat kelangsungan hidup (SR= Survival Rate)
atau tingginya tinggkat kematian benih .Penyebab utama permasalahan tersebut
dididuga disebabkan rendahnya kualitas induk. Kualitas induk yang tidak stabil
(akibat faktor genetik induk dan teknik pemeliharaan induk). Secara genetik, masih
banyak petani yang menggunakan indukan lele “asal” yang diperoleh dari lele
konsumsi yang telah matang gonad, bukan dari lele unggul yang dikususkan
menjadi parent stock, secara teknis pemeliharaan induk, pemberian pakan induk
sering tidak mencukupi sehingga kualitas telur dan anakan menjadi rendah.
b) Ketersediaan pakan alami sangat terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas.
Pakan alami antara lain yang berupa cacing sutera dan insekta air tidak
mencukupi. sebagian besar masih tergantung produksi alami yang berasal dari
sungai-sungai besar di Jakarta dan Tangerang yang kaya akan bahan organik,
sedangkan budidaya cacing sendiri sebenarnya sudah dapat dilakukan tetapi
masih sangat terbatas karena teknologinya belum dapat dikuasai, dan belum
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
mencapai skala ekonomis. Jumlah cacing sutera dari sungai-sungai ini dipengaruhi
oleh curah hujan dan banjir. Disamping itu pencemaran lingkungan sungai oleh
logam berat menimbulkan resiko, karena benih ikan dapat terserang penyakit
akibat sumber pakan alami terkontaminasi logam berat sehigga penggunaan
cacing sungai menjadi ancaman serius bagi petani lele, sedangkan sumber cacing
lain dari sawah dan selokan tidak mencukupi kebutuhan cacing untuk budidaya lele.
Strategi yang digunakan petani pembenih saat ini ialah mempersingkat
pemeliharaan benih di bak yang menggunakan pakan cacing menjadi hanya
selama 3-10 hari yang sebelumnya 15 hari, kemudian dipindahkan ke kolam yang
telah dipupuk, hal ini cukup efektif dalam mengatasi kekurangan cacing, namun hal
ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup (SR) benih lele yang ditebar.
c) Kurangnya pengetahuan khususnya terkait penanganan terhadap penyakit juga
merupakan permasalahan bagi pembenih ikan. Penyakit yang paling umum
menyerang pembenih lele ialah “lele gantung” dan “ moncong putih”
d) Permasalahan yang lain yang dihadapi pembenih adalah lemahnya pengetahuan
tentang pengelolaan keuangan sehingga masih terjadi pemborosan atau kurang
efisien dalam mengelolaan usahanya.
6.3.2. Permasalahan di Tingkat Pendeder
Pendeder adalah adalah orang yang melakukan pemeliharaan dari ukuran larva atau
ukuran 3-4 cm menjadi ukuran yang siap ditebar untuk pembesaran (7-12 cm).
Perbedaan dengan pembenih adalah tidak dilakukannya pemijahan sendiri, tetapi hanya
membeli larva atau benih ukuran kecil dari pembenih. Permasalahan yang dihadapi
pendeder antara lain:
a) Kualitas dan kuantitas benih yang tidak stabil akibat tidak stabilnya kualitas benih dari
segmen pembenihan.
b) Kurangnya pengetahuan sumberdaya manusia khususnya terkait penanganan
terhadap penyakit dan manajemen keuangan usaha.
6.3.3. Permasalahan di Tingkat Pembesaran
Permasalahan dalam budidaya ikan lele tidak hanya terjadi di pembenihan tetapi juga
terjadi pada tingkat pembesaran. Permasalahan tersebut diantaranya adalah:
a) Harga jual dan pasar yang fluktuatif, terutama jika masuk lele dari jawa, jika lele
ditahan dijual, akan mengakibatkan persentase BS meningkat yang berujung pada
kerugian usaha.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
b) Harga lele BS (over & undersize) yang rendah (Rp 2000,- dibawah harga normal).
c) Persaingan pasar dengan lele dari daerah lain (Indramayu) bahkan dari Boyolali.
d) Tingginya harga pakan.
e) Kualitas dan kuantitas benih yang tidak stabil yang disebabkan oleh teknologi
pembenihan yang kurang tepat atau disebabkan karena tidak tersedianya induk yang
berkualitas.
f) Kurangnya pengetahuan sumberdaya manusia khususnya terkait penanganan
terhadap penyakit dan manajemen keuangan usaha. Penyakit yang sering
menyerang antara lain aeromonas, badan kuning, perut kembung, dan lain-lain.
g) Kualitas produk hasil budidaya kualitasnya masih beragam belum dapat mencapai
kualitas yang memenuhi standar higienis karena masih digunakannya pakan
tambahan seperti limbah pabrik maupun budidaya ayam. Sehinga sebagian
masyarakat masih memandang bahwa ikan lele merupakan produk yang kurang
bersih.
h) Permodalan usaha dan kesulitan memperoleh input produksi.
i) Kurangnya informasi khususnya mengenai teknologi budidaya, penangan penyakit
bahkan harga ikan.
j) Terbatasnya ketersediaan pakan alami dari benih pada stadia. Selama ini benih lele
pada stadia awal diberikan cacing suter atau dahnia yang diperoleh secara alami.
Dengan meningkatnya produksi benih, sering terjadi kekurangan pakan alami.
6.4. Potensi Pengolahan Produk Perikanan
Lele merupakan komoditas unggulan Kabupaten Bogor karena beberapa alasan yaitu
memiliki potensi terbesar dibanding jenis ikan lainnya, budidaya dilakukan oleh kelompok
UMKM, harga lele sebagai bahan baku produk olahan terjangkau sehingga meningkatkan
daya saing olahan. Lele sebagai bahan baku lebih mudah dijaga kesegarannya sehingga
dapat menghasilkan produk olahan berkualitas. Kandungan gizi lele yang bagus dapat
meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data yang disediakan oleh PEMDA BOGOR, daerah produksi lele meliputi
empat kecamatan yaitu Kecamatan Ciseeng, Parung, Gunung Sindur dan Kemang. Pada
tahun 2008 total produksi lele per tahun 41.93 ton atau sekitar 11 ton/hari. Lele dapat
diolah menjadi berbagai produk antara yaitu filet, surimi dan produk siap saji yaitu bakso,
sosis, nugget, kaki naga, serta produk kering seperti krupuk, crakers dan lainnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Untuk pengembangan sentra produksi olahan dan pemasaran perlu dicari lokasi yang
tepat dengan sarana dan prasarana yang memadai, jenis produk olahan yang digemari
masyarakat, kapasitas produksi sesuai dengan ketersediaan bahan baku dan daya serap
pasar, serta penerapan teknologi pengolahan yang ramah lingkungan. Selain itu kegiatan
pengolahan dan pemasaran harus layak secara ekonomi supaya hasilnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bahan baku yang digunakan untuk produk olahan adalah filet dari lele segar. Untuk
produk siap saji seperti bakso, sosis, nugget, kaki naga (VegiFish) dibuat surimi terlebih
dahulu. Kapasitas bahan baku ditentukan dari kapasitas produk lele segar BS yaitu 6 ton
lele segar/hari. Dari jumlah tersebut sekitar 15 % ( 1 ton) diolah menjadi lele asap. 15% (1
ton/hari) diolah menjadi berbagai produk turunan. Dibandingkan dengan produk sejenis
yang ada di pasaran saat ini (CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah), produk olahan
bakso, nugget, kaki naga diyakini tidak dapat berkompetisi bila memasuki pasar yang
sama. Produk yang mungkin dikembangkan adalah perluasan lele asap dengan mencari
pasar baru, sosis, filet lele asap, filet segar, burger, makanan ringan chiki/crackers.
Produk olahan bakso, nugget, kaki naga masih bisa diproduksi dengan menciptakan
segmen pasar yang berbeda, dijual dalam bentuk makanan kesehatan. Contoh produk
olahan lele yang diformulasikan bersama rumput laut, chitosan dan lainnya (Gambar 6.1.)
Gambar 6.1. Kaki naga (VegiFish) (kiri) dan Nuget (kanan)
6.4.1. Jenis Pengolahan
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oeh team budidaya diperoleh data
produksi lele mencapai 40 ton per hari untuk empat kecamatan dengan jumlah lele BS
sekitar 15 % atau 6 ton /hari. Hasil survey lanjutan pada tanggal 9 Nopember 2010,
diperoleh informasi industri rumahtangga produk olahan ada 4. Produk lele asap yang
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
terletak di Gunung Sindur, Kelompok Usaha Lele Asap “Citra Dumbo” yang di miliki oleh
Bapak Suaep dengan kapasitas produksi per hari antara 150-200 kg lele segar ukuran
10-12 ekor/kg. Dengan pengasapan menggunakan kayu bakar selama 2 hari dihasilkan
produk lele asap 37.5-50 kg. Selanjutnya produk dipasarkan di Pasar Senen Jakarta
dengan harga Rp. 65.000/kg.
Selain itu terdapat industri olahan lele asap di Citayam. Terdapat 2 industri rumah tangga
di kecamatan Parung CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah. Keduanya memproduksi
olahan ikan seperti bakso, nugget, lumpia, ekado, kaki naga. CV. Bening menggunakan
bahan baku tetelan kakap, tuna marlin dengan kapasitas produksi 150-200 kg/hari bahan
baku. CV. Bintang Anugerah menggunakan bahan baku tetelan tuna dengan kapasitas
produksi 700 kg bahan baku/hari. Harga bahan baku berkisar antara Rp. 12.000-
15.000/kg. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya saing produk Lele , maka diperlukan
inovasi dalam pengolahan produk agar dapat menjangkau konsumen yang memiliki daya
beli lebih tinggi. Konsumen yang memiliki daya beli yang lebih tinggi biasanya menuntut
kualitas produk yang lenih tinggi.
Gambar 6.2. Industri Rumah Tangga Lele Asap dan Pengasapan Lele
6.4.2. Permasalahan Pengolahan
Hasil observasi menunjukkan masih ditemukan isu dan permasalahan terkait dengan
pengembangan olahan lele, antara lain :
1. Lele belum menjadi bahan baku olahan produk bakso, nuget, kakinaga, kecuali lele
asap. Hal ini disebabkan karana harga lele (filet) jauh lebih mahal dibandingkan
dengan bahan baku ikan yang selama ini digunakan yaitu tetelan kakap, marlin, tuna.
2. Persepsi sebagian masyarakat yang negatif tentang lele. Lele masih dianggap
sebagai ikan yang kurang bersih cara hidupnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
3. Belum diterapkannya Good Manufacturing Practices di industri pengolah.
4. Belum dimilikinya ijin BPOM, kehalalan MUI sehingga membatasi penetrasi pasar
khususnya ke supermarket.
Untuk mengolah lele perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut :
a) Inovasi produk olahan yang belum ada di pasaran antara lain steak, burger, sosis, filet
segar, filet asap dan produk kering seperti crackers, abon stick, dan chiki.
b) Inovasi produk yang sudah ada dengan penambahan bahan yang meningkatkan nilai
kesehatan seperti rumput laut, chitosan, protein ikan hidrolisat, dengan target pasar
golongan menegah keatas.
c) Penerapan teknologi zero waste dengan memanfaatkan limbah (produk samping)
untuk meningkatkan margin.
d) Sosialisasi dan kampanye intensif tentang manfaat dan keunggulan lele sebagai
sumber protein dan nutrisi lainnya.
e) Sertifikasi industri olahan dari BPOM, MUI
f) Penciptaan pasar baru seperti sekolah, pesantren, café & resto, dan supermarket.
6.5. Pemasaran
6.5.1. Pemasaran Ikan Segar
Pemasanan ikan segar khusunya Lele di Kabupaten Bogor sudah berjalan rutin dan
hampir tidak ada permasalahan dalam proses penjualannya. Sistem pembesaran ikan
segar dilakukan melalui rantai pemasaran mulai dari pembudidaya, pedang pengumpul
an kemudian konsumen. Konsumen utama produk ikan segar khususnya ikan Lele
adalah warung tenda yang menjual pecel lele dan sebagian lain ke restoran dan
cetering. Penjualan ke konsumen hampir seluruhnya dilakukan oleh pedagang
pengumpul. Hampir tidak ada penjualan dari pembudidaya langsung ke konsumen. Hal
ini disebabkan karena konsumen menginginkan kontinuitas produk baik dalam periode
harian, mingguan maupun bulanan. Sedangkan pembudidayaan lele memerlukan waktu
sekitar 2 bulan, jadi hampir tidak mungkin pembudidaya skala kecil dapat memenuhi
pemintaan konsumen. Pembudidaya yang dapat memenuhi konsumen dalam hal
kontinuitas produk hanya pembudidaya skala besar. Pembudidaya skala besar dengan
jumlah anggota banyak dapat mengatur pola tanam sesuai dengan kebutuhan pasar.
Harga lele di tingkat produsen atau pembudidaya untuk ukuran sedang berkisar antara
Rp 10.000,- sampai dengan Rp11.000,- tergantung banyak atau sedikitnya jumlah lele di
pasaran. Namun rata-rata harga lele saat ini adalah Rp. 10.500,-. Dengan harga
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
tersebut, pembudidaya dapat memperoleh keuntungan sekitar Rp 1.000 - 2 000 per
kilogramnya tergantung tingkat efisiensi teknologi yang diterapkan dan proporsi ukuran
lele lele yang dipanen. Jika proporsi ukuran konsumsinya lebih banyak kentungan bisa
lebih besar. Ukuran konsumsi berkisar dari ukuran 12 ekor per kg sampai dengan 6 ekor
per kg. Jika ukurannya lebih besar dari 6 ekorper kg yakni mulai 5 ekor per kg sampai
dengan 2 ekor atau 1 ekor per kg harganya lebih rendah Rp 2.990,- dari ikan ukuran
konsumsi. Sedangkan yang ukurannya lebih kecil dari 12 ekor per kg biasanya tidak
dibeli dan harus dipelihara lagi sampai mencapai ukuran konsumsi sehingga memerlukan
waktu pemeliharaan lebih lama dan tentunya akan menambah biaya produksi. Oleh
karena itu keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan ditentukan berapa besar
proporsi ukuran konsumsi yang dipanen pertama kali dan berapa lama total
pemeliharaan sisanya sapai mencapai ukuran konsumsi. Hal tersebut sangat ditentukan
oleh pemehaman pembudidaya dalam hal teknolgi, strategi pemeliharaan, sumber induk
atau benih dan strategi pemberian pakan.
6.5.2. Pemasaran Ikan Olahan
Hasil survey, diperoleh informasi industri rumahtangga produk olahan ada empat. Produk
lele asap yang terletak di Gunung Sindur, Kelompok Usaha Lele Asap “Citra Dumbo”
(Gambar 6.2.) yang dimiliki oleh Bapak Suaep dengan kapasitas produksi per hari antara
150-200 kg lele segar ukuran 10-12 ekor/kg. Dengan pengasapan menggunakan kayu
bakar selama 2 hari dihasilkan produk lele asap 37.5-50 kg. Selanjutnya produk
dipasarkan di Pasar Senen Jakarta dengan harga Rp. 65.000/kg.
Selain itu terdapat industri olahan lele asap di Citayam (akan di survey lanjut). Terdapat 2
industri rumah tangga di kecamatan Parung CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah
(Gambar 6.7). Keduanya memproduksi olahan ikan seperti bakso, nugget, lumpia,
ekado, kaki naga. CV. Bening menggunakan bahan baku tetelan kakap, tuna marlin
dengan kapasitas produksi 150-200 kg/hari bahan baku. CV. Bintang Anugerah
menggunakan bahan baku tetelan tuna denga kapasitas produksi 700 kg bahan
baku/hari. Harga bahan baku berkisar antara Rp. 12.000-15.000/kg.
Sistem pemasaran yang diterapkan kedua perusahaan tersebut adalah gerobak dorong
dengan jumlah gerobak 30 untuk CV. Bening dan 60 untuk CV. Bintang Anugerah
dengan pemasaran di kawasan Jabotabek. CV. Bening selain melaui gerobak jalan juga
memasarkan produknya di Pasar Ikan Higienis Cibinong Daftar harga produk disajikan
pada Tabel 6.3.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Gambar 6.7. CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah
Tabel 6.3. Jenis dan harga produk olahan ikan di CV Bening dan CV Bintang Anugerah di PIH Cibinong
No. Jenis produk Harga Lokasi 1. Filet kakap 35.000/kg PIH Cibinong 2. Filet tuna 45.000/kg PIH Cibinong 3. Filet dori 38.000/kg PIH Cibinong 4. Filet tenggiri 35.000/kg PIH Cibinong 5. Cucut 18.000/kg PIH Cibinong
Gambar 6.8. Produk ikan CV. Bening : Bakso Ikan (kiri)dan Lumananpia Ikan (kanan)
6.6. Sistem Tata Air
6.6.1. Neraca Air
Analisis neraca air dilakukan untuk mengetahui kondisi surplus/deficit neraca air secara
alamiah, yaitu dengan cara membandingkan antara ketersediaan air hujan dengan
kebutuhan air untuk budidaya perikanan. Ketersediaan air hujan diperhitungkan sebagai
curah hujan andalan dengan peluang kejadian 80%, sedangkan kebutuhan air
merupakan kehilangan air berupa evaporasi dan kebutuhan untuk penggantian air kolam.
Hasil analisis neraca air disajikan pada Tabel 6.4. dan Gambar 6.5. Dari tabel dan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 11 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
gambar tersebut dapat dilihat bahwa kondisi surplus neraca air terjadi pada periode Bulan
November hingga Mei, sedangkan kondisi defisit terjadi pada Bulan Juni hingga Bulan
Oktober.
Defisit neraca air berkisar antara 15-67 mm/bulan atau 0,5-3,3 mm/hari atau setara
dengan 5-33 m3/hari/hektar. Dalam kondisi pengaliran air secara kontinyu, nilai ini setara
dengan 0,06-0,38 lt/det/ha. Dalam kondisi defisit neraca air, diperlukan suplai air irigasi
dan atau pengaturan pola tanam, untuk menghindari terjadinya kekeringan pada lahan
sawah dengan sistem budidaya pertanian tanaman pangan maupun perikanan.
Table 6.4. Hasil Analisis Neraca Air untuk Budidaya Perikanan
Bulan CH rata-rata CH andalan1) Kebutuhan
air2) Surplus/defisit
neraca air Januari 334,1 183,0 80,6 102,4 Februari 428,7 305,5 72,5 233,0 Maret 270,5 154,7 95,8 58,9 April 240,7 125,8 98,7 27,1 Mei 293,3 161,7 108,5 53,2 Juni 203,9 80,0 102,0 -22,0 Juli 130,1 41,8 108,2 -66,4 Agustus 193,5 59,0 115,3 -56,3 September 228,1 56,0 112,8 -56,8 Oktober 329,4 89,0 104,2 -15,2 Nopember 356,8 192,0 86,4 105,6 Desember 569,0 214,0 81,5 132,5
Catatan : 1) CH andalan dihitung dengan peluang 80% dari data curah hujan harian di daerah Kahuripan, Cimulang dan
Curug Serpong 2) Kebutuhan air dihitung dari hasil analisis evaporasi ditambah kebutuhan air untuk penggantian air
Pada kondisi defisit neraca air, kebutuhan air untuk budidaya perikanan dipenuhi dari
sistem irigasi yang telah ada, yaitu Daerah Irigasi (DI) Sasak untuk wilayah Parung dan
Ciseeng, DI Cibeuteung untuk wilayah Kemang, dan DI Curug Serpong untuk wilayah
Gunung Sindur. Meskipun pada awalnya jaringan irigasi tersebut tidak dirancang secara
khusus untuk budidaya perikanan, namun secara umum dapat dimanfaatkan untuk
suplai air irigasi perikanan dengan sistem budidaya ikan tawar kolam biasa, dengan aliran
air berkecepatan rendah. Sistem ini dilengkapi dengan tanggul tanah dan pintu air, untuk
mengatur masuk dan keluarnya air segar sekitar 5 – 10 % dari volume kolam per hari.
Debit air keluar dialirkan kembali ke jaringan irigasi.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 12 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Gambar 6.5. Grafik Curah Hujan Andalan dan Kebutuhan Air untuk Budidaya Perikanan
6.6.2. Layanan Daerah Irigasi
Pada kondisi defisit neraca air di wilayah studi, kebutuhan air untuk budidaya perikanan
dipenuhi dari sistem irigasi yang telah ada, yaitu Daerah Irigasi (DI) Sasak untuk wilayah
Parung dan Ciseeng, DI Cibeuteung-1 untuk wilayah Kemang, dan DI Curug Serpong
untuk wilayah Gunung Sindur. Meskipun pada awalnya jaringan irigasi tersebut tidak
dirancang secara khusus untuk budidaya perikanan, namun secara umum dapat
dimanfaatkan untuk suplai air irigasi perikanan dengan sistem budidaya ikan tawar kolam
biasa, dengan aliran air berkecepatan rendah. Sistem ini dilengkapi dengan tanggul tanah
dan pintu air, untuk mengatur masuk dan keluarnya air segar sekitar 5 – 10 % dari
volume kolam per hari. Debit air keluar dialirkan kembali ke jaringan irigasi
Hasil analisis debit intake irigasi disajikan pada Tabel 6.5. dan Lampiran 3. Kondisi debit
di daerah irigasi tersebut berfluktuasi sepanjang tahun, serta relatif mencukupi untuk
mengairi kolam-kolam yang ada. Namun demikian pada bagian hilir daerah irigasi, baik di
tingkat sekunder maupun tersier, diperlukan pengaturan yang lebih baik karena debit
intake pada musim kemarau cenderung berkurang. Dari skema jaringan irigasi yang
disajikan pada Lampiran 1, dapat diprakirakan nilai satuan ketersediaan air irigasi, yaitu
masing-masing sebesar 1-5 lt/det/ha di DI Sasak, 3-10 lt/det/ha di DI Curug Serpong, dan
> 10 lt/det/ha di DI Cibeuteung-1. Nilai ini relatif lebih besar dari nilai rata-rata satuan
kebutuhan air untuk perikanan darat, yaitu sekitar 1 lt/det/ha.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 13 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 6.5. Hasil Analisis Debit Saluran Bulanan (Lt/Det)
Bulan DI Cibeuteung-1 DI Sasak (BSK3) DI Cogrek DI Curug Serpong
Januari 4447,2 3923,2 3144,1 13069,0
Pebruari 5666,1 4973,7 3154,4 11550,4
Maret 3086,1 2849,1 3267,2 4260,2
April 4226,6 3213,2 3148,3 9988,6
Mei 3971,7 5512,6 3142,4 13405,8
Juni 2922,2 2917,5 3136,6 14616,5
Juli 4292,3 1755,2 2925,0 5579,9
Agustus 1641,8 1611,0 3061,2 3785,6
September 1680,3 1123,0 3018,9 3836,9
Oktober 2287,7 1699,4 3101,6 4915,7
Nopember 6078,1 2956,4 3325,3 13425,9
Desember 4675,0 2794,6 3047,2 6970,1
Catatan : Dihitung dari data debit harian
Kolam ikan dengan aliran air kecepatan rendah dan pengembangbiakan di sawah tidak
membutuhkan prasarana bangunan air secara khusus. Pembiakan ikan dalam keramba
di saluran tidak dianjurkan, karena dapat mengganggu aliran dan merusak tanggul
saluran. Kolam dengan air tenang dapat diberi air dari saluran tersier, dengan pemberian
air secara terus-menerus.
6.6.3. Kinerja Jaringan Irigasi
Untuk memperoleh data dan informasi lapangan mengenai kondisi fisik jaringan,
pengaturan air irigasi, dan kecukupan air di tingkat usahatani, telah dilakukan observasi
lapang di 4 (empat) lokasi berikut:
1) Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I; Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang
2) Petak Tersier TP5 ki , DI Sasak, Desa Nutug, Kecamatan Ciseeng
3) Petak Tersier SK 8 ki , DI Sasak, Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
4) Petak Tersier TP1 ka, DI Sasak, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng
Rangkuman hasil observasi lapang secara rinci disajikan pada Lampiran 4. Pola aliran
air dari pintu sadap menuju petakan kolam dan sawah seperti pada Lampiran 4
menunjukkan bahwa lokasi kolam menyebar di sebelah hulu hamparan sawah. Air
drainase dari kolam bagian hulu pada umumnya digunakan kembali sebagai air irigasi
untuk areal di bagian hilir. Aliran air pada kolam pembibitan umumnya dari kolam ke
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 14 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kolam (2 – 3 kolam), sedangkan pada kolam pembesaran aliran air kolam ke kolam (4 – 5
kolam).
Kerusakan infrastruktur irigasi telah terjadi pada beberapa bangunan air seperti
kerusakan tanggul yang mengakibatkan terjadi rembesan dan kebocoran, pintu bangunan
pengambilan rusak/hilang, pendangkalan saluran, tanggul kurang tinggi, kerusakan
bangunan talang, serta tidak terdapat bangunan box bagi tersier. Selain itu juga terjadi
pengendapan lumpur di saluran tersier, serta tertutupnya saluran di bagian hilir oleh
sampah dan rumput. Sebagian bangunan sadap atau pengambilan umumnya masih
berfungsi untuk pengaturan air, namun saluran di bagian hilir tidak berfungsi dengan baik
karena tertutup oleh rumput dan terjadi pendangkalan. Pada lokasi tertentu, bangunan
pengambilan kurang berfungsi terutama pada musim kemarau, sedangkan pada musim
hujan saluran tersier masih befungsi untuk penyaluran air namun pada musim kemarau
terdapat hambatan dalam pengaturan air.
Ditinjau dari kecukupan airnya, pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah
kolam ikan sepanjang tahun; pada lahan dekat sumber air (saluran atau bangunan
sadap), atau yang mendapat suplesi dari areal di bagian atas seperti dari
perbukitan/kebun sawit, atau memiliki sumur bor. Sistem perkolaman terdiri dari kolam
penyuntikan, kolam pembibitan dan kolam pembesaran. Pada beberapa lokasi, kolam
penyuntikan terdapat di halaman rumah.
Pola tanam yang lain adalah kolam-kolam-padi diterapkan pada lahan yang relatif agak
jauh dari sumber air, umumnya berupa kolam pembibitan, serta padi-padi-palawija; pada
lahan yang relatif jauh dari sumber air. Pada areal tertentu seperti di areal petak tersier
TB 5 ki, air irigasi selalu cukup meskipun di musim kemarau karena muka airtanah yang
tinggi (istilah setempat: lahan balong). Dalam kondisi air cukup, petani pada umumnya
beralih dari budidaya padi ke budidaya ikan, namun apabila air irigasi terbatas/kurang,
terutama pada musim kemarau, petani cenderung mengurangi luas kolam yang
diusahakan (kolam dikosongkan).
Luas garapan kolam rata-rata berkisar antara 200 m2 hingga 1 ha per petani, namun
demikian pada lokasi tertentu terdapat juga kompleks perkolaman seluas sekitar 12 ha
yang dimiliki oleh seorang petani. Petani yang memiliki kolam dengan garapan luas
umumnya petani yang memiliki lapak di pasar. Perbandingan antara luas kolam ikan dan
sawah di petak tersier sekitar 30-50% (kolam) dan 50-70% (lahan sawah). Di areal Petak
Tersier TP1 ka, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, perbandingan antara luas kolam
ikan dan sawah sekitar 95% : 5% atau sebagian besar adalah petani ikan. Kelembagaan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 15 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
pengelolaan air di tingkat usahatani yang telah ada di lokasi observasi tertera pada Tabel
6.6.
Tabel 6.6. Kelembagaan Pengelolaan Air di Tingkat Usahatani
Daerah irigasi Kelompok tani P3A o Petak Tersier CBTS 7 ki; DI
Cibeuteung-I; Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang
o Kelompok tani tanaman pertanian : Solidaritas I (Ketua : Aja )
o Kelompok tani ikan : Solidaritas II (Ketua : Arifin)
o Petak Tersier TP5 ki , Desa Putat Nutug, Kecamatan Ciseeng
o Kelompok petani ikan : Perwatin (jumlah anggota 35 orang, Ketua: Bambang Purwanto
o P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
o Petak Tersier SK 8 ki , Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
o Kelompok petani ikan : Tirta Makmur
o P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
o Petak Tersier TP1 ka, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng:
o Kelompok petani ikan : Perikanan Jaya (jumlah anggota 100 orang, Ketua: Hudori , merangkap sebagai bendahara P3A Gabungan)
o P3A Gabungan (Ketua: Sumaryono)
Dari uraian hasil observasi lapang di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa infrastrukur
irigasi yang telah ada tidak sepenuhnya dapat memberikan pelayanan air irigasi yang
memadai. Beberapa bangunan air memerlukan rehabilitasi dan peningkatan fungsi
jaringan. Pada tahap awal pengembangan minapolitan ini, diusulkan beberapa segmen
saluran yang memerlukan perbaikan, seperti tertera pada Tabel 6.7.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 16 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 17 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tabel 6.7. Usulan Rehabilitasi dan Peningkatan Jaringan Irigasi
No. Daerah Irigasi Usulan rehabilitasi/peningkatan
1. D.I. Cibeuteung I :
o Sal Tersier BCTS 7ki
o Galian Lumpur, 1800 m o Pasangan lining, 500 m o Box tersier, 3 bh
2. ah, 1 bh
TP1; BTP 5; BTP 8 dan D.I. Sasak :
a. Sal Sek Tembok Panjang
o Bangunan Pelimpo Perbaikan Bang Air, 4 bh (B
BTP 10)
. Sal Tersier BTP1 ka r, 1 bh
ut , 800 m
. Saluran Tersier BTP5 ki
0 m
. Sal Sekunder Cogrek
2 bh ilan, 1 bh
e. Sal Tersier BSK 4
pengambilan a, 100 m
h .I. Curug Serpong :
b
o Box tersieo Talang, 1 bh o Pembabatan rump
c
o Box tersier, 1 bh o Galian lumpur,150o Pasangan lining, 200 mo Pintu pengambilan
an,
d
o Perb bang pengambilo Pemb bang pengambo Galian lumpur, 2000 m o Pasangan lining, 500 m o Galian lumpur, 500 m o Pasangan lining, 500 m o Box tersier, 3 bh
Perbaikan lantai bangu
f. Sal Tersier BSK 8
o nan i dan ko Pasangan lining k
o Box tersier, 1 bua
3 a.D
Sal Induk
o Galian lumpur, 5600 m o Pasangan lining, 500 m o Perb pintu air, 3 bh
4 D.I. Angke 2 o Galian lumpur, 4000 m o Pasangan lining, 400 m
5 D.I. Cibeuteung 2 m o Galian lumpur, 1500o Pasangan lining, 600 m
S ber: airan Wilayah Parung
.7. Kebijakan Terkait Minapolitan
Peraturan terkait dengan Minapolitan saat ini secara pokok meliputi peraturan tentang
it dengan kebijakan pemilihan lokasi dan
komoditas dan kebijakan/peraturan terkait dengan minapolitan itu sendiri. Peraturan
um Kantor UPT Peng
6
tata ruang wilayah, peraturan yang terka
terkait dengan tata ruang wilayah adalah peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor
No. 19/2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025.
Peraturan ini secara garis besar berisikan : (1) ketentuan umum, (2) Ruang lingkup, (3)
asas, tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah, (4) rencana strukur dan pola
ruang wilayah, (5) rencana pemanfaatan wlayah, (6) arahan pengendalian pemanfaatan
ruang dan (7) hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dan kelembagaan. Hal yang
paling penting dari peraturan ini adalah bahwa lokasi pengembangan minapolitan yang
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 18 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
akan ditetapkan harus sesuai dengan rencana pemanfaatan wilayah sesuai dengan
peraturan daerah ini.
Peraturan yang terkait dengan kebijakan dan komoditas setidaknya terdapat dua
peraturan pokok yaitu Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009 tentang revitalisasi
asi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi
unggulan yaitu usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan
s/Huk/2010 tentang penetapan lokasi
pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor, menyatakan bahwa lokasi
itan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. KEP : 32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Dalam
inapolitan,
memuat tentang konsepsi minapolitan. Minapolitan didefinisikan sebagai suatu bagian
pertanian dan pembangunan perdesaan (RP3) dan Keputusan Bupati Bogor nomor
523.31/227/Kpts/Huk/2010 tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Bogor. Pada Peraturan Bupaten No.84/2009 secara umum
berisikan program revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Isi pokok dari
peraturan bupati ini adalah usaha untuk memberdayakan kembali sektor-sektor pertanian
serta fungsi kawasan perdesaan. Secara garis besar, maka wilayah Kabupaten Bogor
dibagi dalam 8 zona.
Ruang lingkup revitalis
dan perikanan. Program direncanakan baik pada sisi on-farm, off-farm maupun yang
tidak didasarkan usaha pertanian (non-farm) serta infrastrukturnya.Terkait dengan
minapolitan, bahwa peraturan bupati ini menyebutkan bahwa perikanan termasuk
komoditas unggulan yang akan diprogramkan, dengan 6 komoditas komoditas utama
yaitu mas, gurame, nila, patin, lele dan ikan hias.
Keputusan Bupati Bogor nomor 523.31/227/Kpt
minapolitan terletak pada 4 kecamatan yaitu (1) Kecamatan Ciseeng, (2) Kecamatan
Parung, (3) Kecamatan Gunung Sindur dan (4) Kecamatan Kemang yang meliputi 28
desa. Lokasi tersebut merupakan sebagian wilayah dalam zona 4 revitalisasi pertanian
dan pembangunan perdesaan (RP3). Bila diteaah lebih jauh sudah terjadi harmonisasi,
dimana dalam kebijakan revitalisasi pada zona 4 juga diprioritaskan untuk
pengembangan budidaya perikanan.
Sedangkan dari sisi kebijakan minapol
keputusan ini, Kabupaten Bogor merupakan 1 dari 197 kabupaten/kota seluruh Indonesia
yang telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan kawasan minapolitan. Kabupaten
Bogor merupakan satu dari 11 kabupaten yang terpilih d Propinsi Jawa Barat.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER : 12/MEN/2010 tentang m
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 19 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi,
pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa dan/atau kegiatan
pendukung lainnya. Secara umum, disampingg berisikan tentang ketentuan umum,
peraturan ini juga meliputi : (1) azas, tujuan dan sasaran, (2) konsep pengembangan
kawasan minapolitan, (3) pemantauan, evaluasi dan pelaporan, (4) pembinaan dan (5)
pembiayaan. Secara spesifik, peraturan ini menyebutkan bahwa karakteristik kawasan
minapolitan merupakan kawasan ekonomi yang terdiri atas sentra produksi, pengolahan,
dan/atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya seperti jasa dan perdagangan.
Salah satu persyaratan mendasar adalah bahwa kawasan minapolitan harus sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan Rencana Pengembangan Investasi
.8. Isu dan Permasalahan Kelembagaan
n antar pelaku usaha (baik individu
maupun kelompok), maupun antara pendukung kegiatan ini dijumpai beberapa
a. Kepastian relasi yang menguntungkan antar kelompok,
ok,
a. Peraturan yang menjamin kepastian pola hubungan dan transaksi yang
n
Jangka Menengah Daerah (RPIJMD) yang telah ditetapkan. Sedangkan bila sudah
memenuhi criteria dan persyaratan yang ada, maka Bupati/Walikota mempunyai otoritas
untuk menyusun Rencana Induk (Master plan), yang diimplementasikan melalui Rencana
Pengusahaan dan Rencana Tindak. Penetapan lokasi Minapolitan dilakukan oleh
Bupati/Walikota dan disampaikan pada Menteri Kelautan dan Perikanan. Pada sisi
pembiayaan, maka pengembangan dan pembinaan kawasan minapolitan didasarkan
pada APBN dan atau APBD serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai peraturan
perundang-undangan.
6
Berdasarkan kondisi kelembagaan serta hubunga
permasalahan sebagai berikut.
A. Relasi antar pelaku usaha atau organisasi
b. Bangunan kepercayaan (trust) antar kelomp
c. Komunikasi yang produktif, dan
d. Bentuk kelembagaan pengelolaan.
B. Aturan Main (Rules of The Game)
menguntungkan,
b. Peraturan yang menjamin kepastian lokasi dari interaksi potensi pemanfaatan
wilayah lainnya, da
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 20 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
c. Kepastian peraturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana.
Kepastian peraturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana.
6.9. Potensi Minawisata
uti perencanaan
aktifitas yang direncana
data infrastruksur tersebut dapat dilihat pada Ta
6.9. Potensi Minawisata
uti perencanaan
aktifitas yang direncana
data infrastruksur tersebut dapat dilihat pada Ta
Pengembangan minawista melipPengembangan minawista melip yang mengakomodasikan seluruh
kan dalam suatu kawasan minapolitan. Perencanaan tersebut
p baik. Beberapa
bel 6.8. dan Lampiran 5.
Status Jalan Panjang (m)
yang mengakomodasikan seluruh
kan dalam suatu kawasan minapolitan. Perencanaan tersebut
p baik. Beberapa
bel 6.8. dan Lampiran 5.
Status Jalan Panjang (m)
didasari oleh konsep utama, yaitu untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang
berkelanjutan dengan mengembangkan wisata edukasi yang didasarkan pada potensi
lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam dan
kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal.
6.9.1. Infrastruktur Wilayah
didasari oleh konsep utama, yaitu untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang
berkelanjutan dengan mengembangkan wisata edukasi yang didasarkan pada potensi
lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam dan
kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal.
6.9.1. Infrastruktur Wilayah
Kondisi infrastruktur yang ada di sekitar kawasan perencanaan cukuKondisi infrastruktur yang ada di sekitar kawasan perencanaan cuku
Tabel 6.8. Status Jalan dan Panjang Jalan di Kabupaten Bogor
Tabel 6.8. Status Jalan dan Panjang Jalan di Kabupaten Bogor
a) Jalan Nasional 121.487
b) Jalan Pro .989vinsi 129
c) Jalan Kabupaten 1.506.565
d) Jumlah 1.758.041
6.9.2. Identifikasi dan Analisis Potensi Wisata Kawasan Minapolitan
Kondisi kawasan yang terletak di perkampungan dan suasana perdesaan yang k
merupakan daya tarik tersendiri meskipun potensi masing-masing kecamatan relatif sama
ental
. Kecamatan Kemang
namun karakter yang ada cukup berbeda. Beberapa lokasi telah menjadi obyek wisata
dan dapat dilihat pada peta obyek wisata, Lampiran 6.
A
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 21 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Meskipun produksi ikannya paling sedikit diantara keempat kawasan minapolitan, akan
tetapi Kecamatan ini memiliki akses yang cukup baik sebagai jalur penghubung antara
kawasan minapolitan dengan Kota Bogor maupun Jakarta. Dari luas wilayah sebesar
6369. 99 Ha, potensi perikanan yang dimiliki oleh Kecamatan ini sekitar 484 Ha. Cukup
kecil dibandingkan dengan kecamatan yang lain sehingga, namun di Kecamatan ini
memiliki situ yang cukup strategis, dengan akses yang mudah dan tidak terlalu jauh (10
m) dari Jalan raya Bogor-Parung. Situ ini memiliki pemandangan yang indah dan sudah
ada trotoar di tepi danau serta tumbuhan yang rindang. Namun demikian kondisi wisata
belum digarap secara baik, khususnya kondisi trotoar dan jalan , serta tepi situ beum
terpelihara. Sedangkan dari segi Wisata Edukasi, kecamatan Kemanga memiliki
kekhususan dalam pembenihan ikan gurame dan sebagin juga ada perbenihan Lele serta
pembesaran Akses ke area perbenihan maupun budidaya sangat mudah dengan kondisi
jalan cukup baik.
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 22 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Gambar 6.7 . Kondisi potensi wisata Situ Kemang Kecamatan Kemang
Disamping situ Kemang, di kecamatan ini juga terdapat potensi wisata Situ Cilaya yang
terletak didesa Jampang. Lokasi situ Cilaya terletak diperbatasan Kecamatan Kemang
dan Kecamatan Ciseeng. Lokasi wisiata ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi kerena
akses yang mudah dan dekat dengan jalan raya Ciseeng (150 m) dan tidak jauh dengan
jalan raya Bogor Parung. Situ ini sekarang telah ada akvtivitas wisata pemancingan.
Namun jika diberdayakan dengan sarana dan prasarana yang cukup maka kondisi Situ
Cillala ini sangat potensial untuk menjadi obyek wisata unggulan. Kondis Situ Cilalal
disajikan dalam gambar berikut ini:
B. Kecamatan Ciseeng
Kecamatan ini merupakan kecamatan yang cukup luas areanya dan memiliki barbagai
kegitan budidaya yang beragam dari mulai perbenihan, pembesaran pengolahan serta
wisata. Secara uumum Keunggulan Kecamatan ini adalah :
1. Terletak relatif di tengah dari empat kota kecamatan wilayah minapolitan
2. Akses jalan menuju ke sentra produksi cukup memadai
3. Akses jalan menuju Jakarta sebagai pusat pemasaran cukup memadai
4. Jaringan listrik dan telekomunikasi cukup tersedia
5. Terdapat pasar benih ikan dan pasar yang menyediakan kebutuhan sehari-hari
Gambar 6.8. Kondisi Situ Cilala Desa Jampang
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
6. Terdapat kios penyedia sarana produksi perikanan
Gambar 6.9. Peta Kecamatan Ciseeng
Pada kecamatan ini terdapat Desa Babakan yaitu desa yang menjadi pusat pembenihan
ikan lele yang cukup besar baik di skala rumah tangga maupun industri.
Pada kecamatan ini terdapat Desa Babakan yaitu desa yang menjadi pusat pembenihan
ikan lele yang cukup besar baik di skala rumah tangga maupun industri.
Gambar 6.10. Kondisi Desa Babakan
Selain desa Babakan yang dikenal sebagai sentra pembenihan, di Kecamataan Ciseeng
ini juga terdapat Pasar Benih Ikan Ciseeng yang ramai pada hari-hari tertentu dimana
pedagang benih menjual benih ikannya dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Selain desa Babakan yang dikenal sebagai sentra pembenihan, di Kecamataan Ciseeng
ini juga terdapat Pasar Benih Ikan Ciseeng yang ramai pada hari-hari tertentu dimana
pedagang benih menjual benih ikannya dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 23 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Gambar 6.11. Kondisi Pasar Ciseeng
Ikan hias juga merupakan salah satu komoditas unggulan selain ikan lele, pada
Kecamatan Ciseeng ini terdapat suatu kawasan budidaya yang cukup luas yaitu adanya
danau buatan yang digunakan sebagai keramba ikan hias berbagai jenis sehingga
menarik untuk dijadikan potensi minawisata.
Gambar 6.12. Kondisi Kawasan Budidaya Ikan Hias
Kawasan BP3K merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang digunakan sebagai
unit pengembangan untuk tanaman pangan maupun perikanan yang berpotensi dapat
dikembangkan sebagai tempat pelatihan berbagai kegiatan karena area yang cukup luas
dan sudah tersedia kolam-kolam yang dapat dimanfaatkan sebagai percontohan
perbenohan maupun budidaya serta didukuang dengan akses yang relative mudah.
Gambar 6.13. Kondisi Kawasan BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, perikanan,
Peternakan dan Kehutanan)
Disamping kegiatan perbenihan dan budidaya, kecamatan ini juga memiliki potensi
wisata yang lain yakni Situ Iwul yang terletak didesa Iwul. Situ ini lokasinya tidak jauh dari
pasar Ciseeng dan juga relative dekat dengan Parung. Situ ini memiliki nilai keindahan
yang memadai untuk suatu obyek wisata, disamping akses yang mudah dan kondisis
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 24 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
jalan yang baik. Namun kondisi Situ ini saat ini belum diberdayakan sebagai obyek
wisata. Gambaran umum kondisi Situ Iwul disajikan dalam gambar dibawah ini.
Gambar 6.14. Kondisi Situ Iwul- Desa Iwul
C. Kecamatan Parung
Gambar 6.15. Peta Kecamatan Parung
Parung merupakan kecamatan dengan potensi perikanan yang cukup besar, dengan luas
kecamatan sebesar 7.376,59 ha, lahan yang berpotensi untuk perikanan adalah sebesar
607 ha. Pada kecamatan ini terdapat adanya area-area pembesaran ikan lele yang sudah
cukup besar.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 25 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 26 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Obyek wisata yang terdapat di kecamatan ini dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat
adalah wisata Tirta Sanita. Pada hari-hari libur wisata yang merupakan pemandian air
panas ini banyak dikunjungi oleh pengunjung.
Potensi komoditas lain disini adalah adanya pusat budidaya lobster. Luasan kawasan
bangunan sekaligus kolam budidaya adalah sekitar 3,5 ha. Berbagai jenis lobster telah
dibudidayakan dengan baik disini sehingga menarik untuk dikunjungi.
Industri pengolahan ikan juga sudah maju di Kecamatan Parung adalah Bening Food
dan CV Bintang Anugerah yaitu pabrik pengolahan ikan berasal dari skala rumahtangga.
Gambar 6.169. Pembesaran Lele
Gambar 6.17. Kawasan Wisata Tirta Sanita
Gambar 6.18. Kawasan Budidaya Lobster
Gambar 6.19. Pengolahan ikan
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
D. Kecamatan GunungSindur
Meskipun dalam RTRW Kecamatan Gunung Sindur dialokasikan sebagai kawasan
industri, namun masih ada sebagian desa yang memiliki kolam-kolam pembesaran baik
penampungan ikan lele.
Gambar 6. 20. Peta Kecamatan Gunung Sindur
Adanya tambang pasir dan kendaraan besar terdapat di sepanjang jalan di Kecamatan
Gunung Sindur ini menyebabkan jalan atau akses menjadi tidak nyaman karena panas
dan berdebu. Namun ada masih terdapat juga kolam pemancingan yang banyak diminati
oleh masyarakat sekitar.
Gambar 6.21. Beberapa Area Pemancingan
Pengolahan ikan yang cukup terkenal di wilayah kecamatan Gunung Sindur ini adalah
adanya pengolahan lele asap. Proses pengasapan yang menggunakan cara yang masih
tradisional ini menghasilkan lele asap dengan rasa yang khas sehingga dapat menjadi
salah satu objek menarik (lihat gambar 6.2).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 27 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VI - 28 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
6.9.3. Analisis Kelayakan Lanskap untuk Minawisata
Berdasarkan analisis kelayakan kawasan yang potensial untuk dikembangkan sebagai
kawasan minapolitan dilihat dari Tabel 6.9. dibawah menunjukkan bahwa seluruh
kecamatan yang ada cukup potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan minawisata.
Kecamatan Ciseeng memiliki nilai paling besar untuk menjadi potensial dikarenakan
kondisinya yang masih alami dengan kolam-kolam pembenihan yang menjadi objek
menarik untuk dikunjungi. Selain itu, keragaman objek yang dapat dijadikan sebagai
atraksi wisata juga merupakan faktor pendukung untuk menjadikan Ciseeng sebagai
kawasan sentra dari minapolitan.
Obyek dan atraksi yang terdapat pada tapak memperkuat komponen untuk melakukan
wisata, seperti yang dinyatakan oleh Gunn (1994), alasan sebuah kawasan yang
dikembangkan untuk wisata karena terdapat atraksi sebagai komponen dan suplay.
Atraksi dapat berbentuk ekosistem, landmark atau satwa.
Tabel 6.9. Penilaian Kelayakan Kawasan Bogor sebagai Minawisata
Desa Kemang Ciseeng Parung Gunung Sindur a) Letak dr jln raya 20 40 40 20 b) Estetika dan keaslian 50 75 50 75 c) Atraksi 75 75 75 75 d) Fasilitas pendukung 15 15 15 15 e) Ketersediaan air bersih 60 60 60 60 f) Transportasi dan aksesilitas 40 40 40 40 g) Nilai 260 305 280 285
Keterangan Cukup Potensial
Cukup Potensial
Cukup Potensial Cukup Potensial
Sumber : Hasil Olahan Data, 2010
RENCANA PENGUSAHAAN KAWASAN MINAPOLITAN
7
7.1. Penetapan Kawasan Pengembangan Minapolitan
Berdasarkan Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (RP3P) di
Kabupaten Bogor yang sudah disinkronkan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi
delapan zona pengembangan pertanian dan perdesaan. Kedelapan zona
pengembangan pertanian dan perdesaan tersebut dapat dilihat pada pada Gambar 7.1 dan Tabel 7.1 Kecamatan-kecamatan yang masuk ke dalam zona yang sama lokasinya
saling berdekatan antara satu dengan lainnya, sehingga diharapkan dapat mencerminkan
kondisi agroekosistem yang sama. Pengelompokkan berdasarkan agroekosistem
tersebut penting karena suatu kondisi agroekosistem tertentu cocok bagi pengembangan
komoditas pertanian tertentu pula. Dengan demikian, di zona tersebut dapat
dikembangkan suatu klaster industri (industrial cluster) bagi komoditas-komoditas tertentu
pula.
Gambar 7.1 Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.1. Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor
Zona Kecamatan Jumlah Desa Pewilayahan RTRW
1
Rumpin 13 Barat Cigudeg 15 Barat Parung Panjang 11 Barat Jasinga 16 Barat Tenjo 9 Barat
2
Sukajaya 9 Barat Nanggung 10 Barat Leuwiliang 11 Barat Leuwisadeng 8 Barat Cibungbulang 15 Barat Pamijahan 15 Barat
3
Ciampea 13 Barat Tenjojaya 6 Barat Dramaga 10 Barat Ciomas 11 Barat
4
Tajurhalang 7 Tengah Kemang 9 Tengah Rancabungur 7 Tengah Parung 9 Tengah Ciseeng 10 Tengah Gunung Sindur 10 Tengah
5
Tamansari 8 Tengah Cijeruk 9 Tengah Cigombong 9 Tengah Caringin 12 Tengah
6
Ciawi 13 Tengah Cisarua 10 Tengah Megamendung 11 Tengah Sukaraja 13 Tengah Babakan Madang 9 Tengah
7
Cileungsi 12 Timur Klapanunggal 9 Timur Gunung Putri 10 Timur Citeureup 14 Timur Cibinong 12 Timur Bojonggede 9 Timur
8
Sukamakmur 10 Timur Cariu 10 Timur Tanjungsari 10 Timur Jonggol 14 Timur
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Dari Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor,
berdasarkan kriteria pengembangan kegiatan minapolitan, maka Zona (IV) empat yaitu
Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang ,Tajurhalang, Rancabungur
merupakan kawasan yang layak menjadi kawasan kegiatan Minapolitan di Kabupaten
Bogor. Setelah dianalisis lebih mendalam berdasarkan (i) aspek potensi lahan/area
untuk kegiatan perikanan budidaya, (ii) produktvitas dan (iii) jumlah Rumah Tangga
Perikanan (RTP), hanya empat kecamatan dan 27 desa yang layak menjadi kawasan
Minapolitan di Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Gunung Sindur dengan 6 desa,
Kecamatan Parung dengan 7 desa, Kecamatan Ciseeng dengan 8 desa, dan
Kecamatan Kemang dengan 6 desa.
Potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan minapolitan Kabupaten
Bogor adalah seluas 2.592,5 Ha yang tersebar di empat kecamatan kawasan
pengembangan yaitu Kecamatan Ciseeng seluas 1.309,5 Ha, Kecamatan Parung seluas
607 Ha, Kecamatan Gunung Sindur seluas 192 Ha dan Kecamatan Kemang 484 Ha.
Selengkapnya luas potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan
minapolitan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.2. dan Lampiran 7.
Kecamatan Ciseeng, Parung, Gunung Sindur dan Kemang saat ini merupakan sentra
kawasan kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten Bogor. Komoditas perikanan
budidaya yang dikembangkan di keempat kecamatan tersebut adalah Lele, Gurame Ikan
Hias dan beberapa jenis lainya. Dari keempat kelompok komoditas yang dikembangkan
di kawasan tersebut, komoditas lele menjadi komoditas yang banyak dibudidayakan
kemudian Gurame, Ikan Hias dan kemudian jenis ikan lainnya. Luas lahan yang
digunakan untuk kegaitan budidaya Lele di kawasan tersebut adalah 649, Gurame 114
Ha, Ikan Hias 10 Ha dan untuk ikan jenis 23 Ha lainnya.
Total produksi perikanan budidaya yang dapat dikembangkan di kawasan Minapolitan
adalah 2.538,464 Ton. Komoditas Lele mempunyai priduktifitas paling besar yaitu
sebesar rupakan komoditas paling 16.772,14 ton. Produksi perikanan budidaya di
Kawasan Minapolitan dapat dlihat apda Tabel 7.4.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.2. Potensi Luas lahan untuk kegiatan perikanan di Kawasan Minapolitan Kabupaten Bogor
No. Kecamatan Desa Luas (ha) 1 Ciseeng Babakan 283.00 Parigi Mekar 63.20 Putat Nutug 245.00 Ciseeng 80.30 Cibentang 105.00 Cibeuteung Udik 203.00 Cibeuteung Muara 225.00 Cihoe 105.00
2 Parung Bj. Indah 90.00 Cogreg 280.00 Bj. Sempu 76.00 Waru Jaya 45.00 Waru 36.00 Pamegar Sari 24.00 Iwu 56.00
3 Gunung Sindur Pangasinan 35.00 Cibinong 56.00 Gunung Sindur 32.00 Curug 22.00 Cidokom 22.00 Pabuaran 25.00
4 Kemang Pabuaran 210.00 Kemang 82.00 Tegal 18.00 Pondok Udik 15.00 Bojong 151.00 Jampang 8.00
Tabel 7.3. Luas Lahan Eksisting untuk Kegiatan Budidaya Perikanan di Kawasan
Minapolitan
Komoditas Luas per Kecamatan (Ha)
Ciseeng Parung Gunung Sindur Kemang
Lele 368 157 88 36
Gurame 75 25 10 4
Ikan Hias 1 5 1 3
Jenis Lain 11 8 2 2
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.4. Produksi perikanan budidaya di Wilayah Studi, Tahun 2008 (Dalam Satuan Ton/Tahun)
Kecamatan Lele Gurame Ikan hias(RE) Jenis Ikan Lain
Ciseeng 2.895,67 424.85 594,45 2.464
Parung 7.357,60 222.47 647,95 899
Gunung Sindur 5.820,44 192.08 0 1426
Kemang 698.43 108.30 258,59 211
Jumlah (Ton) 16.772,14 947,7 1.500,99 2538.464
Rata-rata (Ton) 4.193,04 236.93 375,25 1015.386
7.2. Penetapan Komoditi Unggulan
Seperti telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa pengembangan kawasan
minapolitan pada prinsipnya adalah membangun industri produk jadi yang berbasis pada
komoditi unggulan. Komoditi unggulan adalah produk pilihan yang dihasilkan oleh sektor
perikanan dan atau pariwisata berbasis perikanan yang mempunyai nilai jual dan jaminan
prospek masa depan karena memiliki daya saling (competitive advantages) yang tinggi.
Kawasan minapolitan tidak saja berfungsi sebagai pemasok komoditi unggulan yang
dihasilkan, tetapi juga menghasilkan suatu produk olahan dari produksi perikanan yang
siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan. Keunggulan produk
yang dihasilkan dari industri yang mengolah komoditi unggulan tersebut akan
memberikan nilai tambah yang besar karena produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual
yang stabil dibandingkan dengan produk tanpa melalui pengolahan.
Sementara itu salah kriteria sebagai Kawasan Minapoliti adalah terdapatnya kegiatan
yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang meliputi kegiatan pembenihan,
pembesaran, pengolahan serta pemasaran. Dengan demikian, penetapan komoditi
unggulan pada kawasan minapolitan harus mempertimbangkan aspek-pasek tersebut,
yaitu aspek pembenihan, pembesaran, pengolahan serta pemasaran.
Penentuan komoditi unggulan dianalis dengan menggunakan beberapa parameter yang
berkaitan dengan aspek pembenihan, pembesaran, pengolahan dan pemasaran.
Analisis dilakukan pada beberapa komoditi yang selama ini sudah berkembang di lokasi
kawasan Minapolitan yaitu antara lain Ikan Mas, Gurame, Lele, Nila, Patin, Bawal Tawes
dan Tambakan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Analisis penentuan komoditi unggulan dengan menggunakan skoring. Untuk paramater
yang berkaitan dengan aspek budidaya (aspek pembenihan, pembesaran dan
pemasaran) masing-masing parameter yang telah ditetapkan diberikan skor 1-5, dimana
untuk parameter skor 1 (sangat rendah), skor 2 (rendah), skor 3 (sedang ), skor 4
(Tinggi) dan skor 5 (sangat tinggi). Sedangkan skoring untuk parameter yang berkaitan
dengan aspek Pengolahan penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 7.5. Selengkapnya
hasil analisis skoring penentuan komoditi Unggulan untuk kegiatan Minapolitan di
Kabupaten Bogor dapat di lihat pada Tabel.7.6
Tabel 7.5. Parameter Penilaian Pengolahan
NILAI RATING KETERANGAN
Rendemen Keragaman
1=sangat rendah 5 = >40% jika bisa diolah (4) = 5
2=rendah 4 = 30-35% (3) = 4
3=sedang 3 = 25-30% (2) = 3
4=tinggi 2 = 20-25% (1) = 2
5=sangat tinggi 1 = <20% jika tidak bisa diolah = 1
Tabel 7.6. Skor Penentuan Komoditas Unggulan Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor
No. INDIKATOR BUDIDAYA
(Pembenihan, pembesaran dan pemasaran)
KOMODITAS IKAN KONSUMSI
Mas Gurame Nila Lele Patin Bawal Tawes Tambakan
1 Produksi 3 3 2 5 1 1 1 1
2 Produktivitas 3 2 3 5 4 3 2 2
3 Potensi pasar 4 3 5 5 2 2 2 1
4 Jumlah pelaku 3 4 3 5 2 3 1 1
5 Harga 4 5 3 3 2 2 5 3
6 Lama pemeliharaan 4 2 4 5 3 3 2 2
7 Margin/ m2/ tahun 3 2 2 5 4 2 3 3
8 Persyaratan kualitas air 3 4 3 5 5 3 3 4
INDIKATOR PENGOLAHAN
9 Rendemen fillet (2 ekor/kg) 1 3 4 4 5 2 1 1
10 Harga bahan baku 3 1 4 4 5 5 2 3
11 Keragaman produk olahan 2 2 5 5 5 2 2 2
(surimi dan turunannya, asap
produk konvensional dan
produk kering)
TOTAL 33 31 38 51 38 28 24 23
Pada Tabel 7.6. memperlihatkan bahwa, setelah dilakukan analisis penentuan komoditi
unggulan dengan menggunakan analisis skoring, maka dapat dlihat bahwa komoditi Ikan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Lele mempunyai jumlah skor yang tertinggi yaitu 51, diikuti dengan Nila dan Bawal yang
memiliki skor sama (38) dan kemudian ikan Mas (33) dan Gurame (31). Dengan demikian
maka berdasarkaan analisis tersebut maka komoditi unggulan untuk kegiatan Minapolitan
di Kabupaten Bogor adalah Ikan Lele.
Ikan Lele merupakan komoditi perikanan yang mempunyai keunggulan lebih
dibandingkan dengan jenis komiditi perikanan lainnya. Produktivitas Lele cukup tinggi
dibandingkan dengan komoditi lainya sehingga masyakarat hampir tidak ada kesulitan
yang berarti dalam mengembangkan kegiatan budidaya Lele. Persayaratan kualitas air
yang menjadi prasyarat utama bagi kegiatan budidaya ikan secara umum tidak terlalu
ketat, karena Ikan Lele bisa hidup pada perairan yang masih dibawah standar rata-rata.
Sementara itu pasar lele saat ini juga masih cukup menjajikan, permintaan lele dari tahun
ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya daya konsumsi ikan serta
masih banyak keunggulan lainnya dari Ikan Lele. Salah satu kelemahan Ikan Lele adalah
masih ada image di sebagian masyarakat yang mengangaga Ikan Lele jorok, tetapi
kelemahan itu dapat bisa diatasi dengan melakukan deversifikasi produk olahan dari
bahan baku Ikan Lele.
7.3. Penetapan dan Arahan pengembangan Sentra Kawasan (Minapolis)
Pengembangan kawasan minapolitan adalah pembangunan sistem dan usaha agribisnis
berorientasi kekuatan pasar (market driven) yang diarahkan untuk menembus batas
kawasan (bahkan mencapai pasar global); pengembangan sarana-prasarana publik
untuk memperlancar distribusi hasil perikanan dengan efisiensi dan resiko yang minimal;
dan deregulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim yang kondusif bagi
pengembangan usaha dan perekonomian daerah. Dalam hal minapolitan di kabupaten
bogor, khususnya dengan komoditas unggulan Lele, maka kawasn minapolitan harus
dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan
khususnya pelaku usaha yang terdiri pembenih, pembudidaya dan Pengolah ikan.
Kegiatan pembenihan dan budidaya sudah berjalan cukup baik, sehingga yang perlu
ditingkatkan adalah produktivitas dan efiiensinya. Kegiatan pemebnihen dan budidaya
tidak dapat disentralisasi karena telah tercipta keterkaitan produsen dan pasar sesuai
dengan mekanisme pasar. Kegiatan yang masih belum berkembang adalah kegiatan
.pengolahan prduk perikanan. Oleh karena itu agar terbuka pasar yang baru maka
kegiatan pengolahan sebaiknya di sentralisasi. Atas dasar pemikiran tersebut tersebut,
maka kawasan minapolitan Bogor harus mempunyai sentra kawasan terutama untuk
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
keitan pengolahan, dan disamping itu juga berfungsi sebagai pusat informasi dan
kegiatan minapolitan secara keseluruhan.
Mengingat bahwa dalam Sentra Minapolitan terdapat berbagai fungsi dan kegiatan, maka
sentra kawasan minapolitan Kabupaten Bogor harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Terletak relatif di tengah dari empat kota kecamatan wilayah minapolitan,
2. Akses jalan menuju ke sentra produksi cukup memadai, akses jalan menuju
Jakarta sebagai pusat pemasaran cukup memadai,
3. Jaringan listrik dan telekomunikasi cukup tersedia,
4. Terdapat pasar ikan dan pasar yang menyediakan kebutuhan sehari-hari,
5. Terdapat kios penyedia sarana produksi
6. Luas area minimal 1 hektar
7. Ketersediaan air bersih untuk pengolahan dan air untuk budidaya
8. Ada saluran pengairan untuk budidaya.
Arahan pengembangan sentra kawasan minapolitan adalah selain sebagai pusat industri
pengolahan produk perikanan juga dapat menjadi pusat pemasaran produk olahan, pusat
informasi kegiatan minapolitan secara keseluruhan dan juga pusat pelatihan bagi
masyarakat dalam hal teknologi pengolahan, budidaya perikanan serta menajemen
minapolitan. Oleh karena itu, di dalam Sentra Minapolitan di samping bangunan pabrik,
kantor, pusat informasi, showroom produk olahan juag terdapat kolam perbenihan dan
budidaya sebagai percontohan. Dengan demikian Sentra Minapolitan harus memiliki area
yang cukup luas minimum satu hektar.
Di samping luas area, sentra minapolitan harus berada pada suatu lokasi yang strategis,
mudah dijangkau dan kawasan sekelilingnya masih terbuka untuk pengembangan. Untuk
saat ini ada 3 calon lokasi Minapolitan yakni : Pasar Ciseeng, BP3K dan lokasi dekat
Danau Kahuripan. Ketiga lokasi tersebut akan dipilih salah satu berdasarkan berbagai
pertimbangan. Lokasi Sentra minapolitan juga harus memenuhi syarat keindahan
sehingga perlu dirancang Design Lanscape yang baik dan benar.
Berdasarkan hasil survei dan analisis terhadap potensi calon lokasi sentra kawasan
minapolitan, maka didapatkan hasil skoring pada masing-masing wilayah seperti terlihat
pada Tabel 7.7.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.7 Hasil Analisis Skoring 4 Lokasi Calon Sentra Minapolitan
Parameter
LOKASI Total Skor Situ
Cilala Pasar
Ciseeng BP3K Situ Iwul
Bobot (%)
(A) (B) (C) (D) (A) (B) (C) (D)
1. Teknis 60
Kecukupan lahan (HA) 9 1 7 3 20 1,8 0,2 1,4 0,6
Ketersediaan air 7 3 5 3 20 1,4 0,6 1 0,6
Akses ke lokasi dari jalan raya 7 7 7 7 5 0,35 0,35 0,35 0,35
Ketersediaan Listrik 9 9 9 7 15 1,35 1,35 1,35 1,05
Sub total 1 4,9 2,5 4,1 2,6
2. Estetika 15
Aksesibilitas oleh calon pengunjung 9 9 7 7 8 0,72 0,72 0,56 0,56
Nilai jual wisata 9 5 5 7 7 0,63 0,35 0,35 0,49
Sub Total 2 1,35 1,07 0,91 1,05
3. Aspek Legal dan Otoritas
25
Otoritas Pengelolaan 5 9 9 5 5 0,25 0,45 0,45 0,25
Kemudahan pembebasan lahan 7 9 9 3 20 1,4 1,8 1,8 0,6
Sub Total 3 1,65 2,25 2,25 0,85
Total 7,9 5,82 7,26 4,5
Berdasarkan Tabel 7.7 diatas prioritas calon lokasi sentra minapolitan dari yang tertinggi
sampai terendah adalah Situ Cilala (7,9), BP3K (7,3), Pasar Ciseeng (5,8) dan Situ Iwul
(4,5).
7.4. Struktur Keterkaitan Kawasan
Secara umum stuktur keterkaitan kawasan pengembangan minapolitan digambarkan
oleh hubungan keterkaitan sentra kawasan dengan kawasan-kawasan pengembangan
lainya, keterkaitan antar kawasan itu sendiri, dan keterkaitan kawasan pengembangan
dengan kawasan di luar kawasan minapolitan. Stuktur keterkaitan kawasan
pengembangan minapolitan didasari oleh keterkaitan kegiatan antara kawasan yang satu
dengan kawasan lainnya yaitu berdasarkan hubungan agribisnis perikanan, mulai proses
pembenihan, pembesaran, pengolahan sampai pada pemasaran.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
A. Struktur Keterkaitan Antara Sentra Kawasan dengan Kawasan Pengembangan Lainnya
Salah satu arahan pengembangan kawasan minapolitan Kabupaten Bogor adalah
mengembangkan kawasan sentra Ciseeng menjadi pusat pengolahan hasil
perikanan, pusat informasi dan pusat pendidikan & pelatihan serta pusat pemasaran
hasil pengolahan komoditi Ikan Lele. Sehingga pola keterkaitan antara sentra
kawasan Ciseeng dengan kecamatan- kecamatan lainya didasari oleh pola hubungan
sistem pengolahan komoditi hasil perikanan, sistem informasi dan pendidikan dan
pelatihan serta sistem pemasaran.
Dalam sistem pengolahan hasil perikanan, Kecamatan Ciseeng menjadi pusat atau
sentra pengolahan bagi kawasan-kawasan lainnya. Dengan demikian bahan baku
yang digunakan dalam pengolahan produk perikanan yang dilakukan di Sentra
Ciseeng diperoleh dari kawasan-kawasan minapolitan lainnya, yaitu dari Kecamatan
Parung, Kecamatan Kemang dan Kecamatan Gunung Sindur.
Ikan lele,yang berukuran besar (>5 ekor per kg) tidak dipasarkan sebagai ikan
konsumsi dan harganya lebih rendah dari harga ikan konsumsi yang berukuran 6 ekor
s/d 12 ekor per kg. Oleh karena itu ikan Lele yang berukuran besar tersebut
merupakan bahan baku bagi produk olahan. Sehingga Sentra pengolahan ikan
tersebut dapat menerima bahan baku dari pembudidaya dari berbagai lokasi di
kawasan minapolitan maupun di luar kawasan minapolitan
Dalam hubunganya dengan pengolahan hasil perikanan, sentra Ciseeng juga
diarahkan sebagai pusat pemasaran hasil-hasil pengolahan hasil perikanan. Produk-
produk yang sudah dihasilkan dari kegiatan pengolahan dipasarkan di sentra
Ciseeng, sehingga masyarakat dapat langsung melakukan transaksi hasil olahan dari
komoditi kegiatan monapilitan di Sentra Ciseeng.
Selain pusat sistem pengolahan dan pemasaran, sentra Ciseeng juga diarahkan
menjadi kawasan pusat informasi dan pendidikan kegiatan minapolitan. Segala
kegiatan yang berhubungan dengan informasi baik itu informasi investasi,
pemasaran, komoditi, dan informasi lainya yang berkaitan dengan kegiatan
minapolitan dipusatkan di sentra Ciseeng.
Sentra Ciseeng juga diarahkan menjadi pusat pendidikan dan pelatihan bagi
pengembangan kegiatan minapolitan di Kabupaten Bogor. Pendidikan dan pelatihan
yang berkaitan dengan pembenihan, pembesaran serta pengolahan dilakukan di
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 10 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kecamatan Ciseeeng. Kegiatan tersebut bermanfaat bagi pengembangan usaha
perikanan, baik dari dalam kawasan minapolitan maupun dari luar wilayah
pengembangan di Kabupaten Bogor bahkan bisa dari masyarakat luar daerah.
Struktur hubungan keterkaitan antara sentra kawasan dengan kawasan
pengembangan lainnya dapat dilihat pada Lampiran 8.
B. Struktur Keterkaitan antar Kawasan Pengembangan
Struktur hubungan keterkaitan antar kawasan pengembangan minapolitan yang satu
dengan yang lainya didasarkan pada kegiatan pembenihan. Suatu desa di kawasan
minapolitan yang diarahkan sebagai kawasan pembenihan berfungsi sebagai suplier
benih ke beberapa pendederan dan pembesaran ikan Lele pada beberapa desa baik
dalam satu kecamatan maupun di luar kecamatan. Keterkaitan antar kawasan
pengembangan ini bersifat dinamik, artinya bahwa pola keterkaitan/hubungan antara
desa satu dengan yang lainya tidak bersifat tetap, tetapi bisa berubah-rubah sesuai
dengan mekanisme pasar perbenihan. Pola hubungan keterkaitan antar kawasan
pengembangan dapat dilihat pada Lampiran 8.
C. Stuktur Keterkaitan Antara Kawasan Pengembangan dengan Kawasan Diluar Kawasan Minapolitan
Stuktur keterkaitan antara kawasan pengembangan dengan kawasan di luar kawasan
Minapolitan ini biasanya terjadi karena adanya pola hubungan perdagangan hasil
produksi ikan Lele. Setiap kawasan atau desa pada kawasan minapolitan yang
berfungsi sebagai pengembangan kegiatan budidaya menjual hasil panennya selain
ke sentra kawasan di Ciseeng sebagai bahan baku untuk produk olahan, hasil panen
juga dijual ke luar kawasan minapolitan untuk ikan konsumsi. Penjualan hasil panen
selain dijual di dalam wilayah Bogor juga banyak dijual ke luar wilayah Bogor seperti
Jakarta. Struktur keterkaitan antara kawasan pengembangan dengan kawasan diluar
kawasan Minapolitan dapat dilihat pada Lampiran 8.
7.5. Arahan Pengembangan Kegiatan Budidaya (Pembesaran)
Arahan pengelolaan dan pengembangan kegiatan budidaya harus diorientasian pada
peningkatan produktivis dan efisiensi produksi agar diperoleh peningkatan keuntungan
uang lebih besar. Peningkatan produksi juga perlu dilakukan namun harus tetap
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 11 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
mempertimbangkan kondisi pasar. Kondisi pasar sangat dipengaruhi oleh persaingan
dengan daerah lain dengan komoditas yang sama dan memiliki tujuan pasar yang sama.
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka arahan
pengelolaan dan pengembangan budidaya perikanan akan lebih di fokuskan pada
peningkatan penyediaan benih baik dalam jumlah maupun kualitasnya, perbaikan
teknologi budidaya antara lain penggunaan probiotik dan multi vitamin dalam pakan untuk
perbaikan kualitas air dan peningkatan efisiensi pakan serta peningkatan kualitas produk
dengan teknologi budidaya yang lebih hiegenis dan ramah lingkungan.
7.6. Arahan pengembangan Kegiatan Perbenihan
Kegiatan perbenihan di wilayah minapolitan di arahkan pada peningkatan kualitas dan
kuantitas input produksi dan perbaikan teknologi produksi benih, yang diharapkan
berujung pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan para pembenih lele.
Peningkatan kualitas input dan kuantitas input produksi dapat dilakukan dengan
peningkatan kualitas dan kuantitas induk unggul seperti lele sangkuriang, peningkatan
kualitas dan kuantitas cacing sutera dan pencarian pakan alternative pengganti cacing
sutera. Perbaikan teknologi produksi benih dapat dilakukan dengan perbaikan
manajemen induk (prosedur pemberian pakan induk, seleksi dan pembatasan umur
induk, dan program penyuntikan perbulan dengan pembagian kolam induk), perbaikan
manajemen kualitas air (penggunaan probiotik, penggunaan tempat penampungan air)
dan program pencegahan penyakit (pengaturan padat tebar, penggunaan vitamin c dan
multivitamin pada pakan, dan treatment pakan alami sebelum digunakan) untuk
mengurangi penggunaan antibiotik pada pembenihan lele.
7.7. Arahan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan
Arahan pengembangan pengolahan produk dilakukan berorientasi pada diversifikasi
produk olahan dan pengembangan teknologi pengolahan dalam rangka memperluas
pasar produk perikanan, menIngkatkan nilai tambah dan untuk meningkatkan daya saing.
Sepert halnya produk budidaya , produk olahan yang dihasilkan oleh minapolitan Bogor
harus memiliki kehususan sendiri yakni : a) bebas bahan pengawet b) bebas bahan
additive atau bahan tambahan yang berbahaya , c) memiliki nilai gizi yang tinggi d)
proses pengolahan yang hiegenis. Produk olahan minapolitan Bogor hendaknya tidak
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 12 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
hanya dapat menjangkau pasar untuk kalangan masyarakat biasa,namun juga dapat
menjangkau kalangan masyarakat mengah keatas, Pada akhirnya strategi pengelolaan
dan pengembangan produk olahan minapolitan Bogor diharapkan dapat memenuhi
syarat untuk dapat diekspor keluar negeri. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut
pengembangan pengolahan produk perikanan diperlukan proses pruduksi pengolahan
secara terpusat dalam suatu sentra industri pengolahan produk perikanan dan dikelola
dengan sistem manajemen industri. Hal ini diperlukan agar proses produksi dapat
terkontrol kualitasnya dan dapat mengatur output produksi tepat waktu dan jumlah serta
mutu yang terjamin.
Disamping sentra produksi pengolahan produk perikanan, produksi pengolahan rumah
tangga juga perlu dikembangkan bersinergi dengan industri pengolahan. Industri rumah
tangga perlu dikembangkan dan dibina agar dapat manghasilkan produl olahan sesuai
dengan stAndar indusri. Untuk itu sentra indusri pengolahan juga harus melakukan
program pelatihan dan penyuluhan terhadapa masyarakat.
7.7.1 Pengembangan Produk Olahan
Bahan baku yang digunakan untuk produk olahan adalah filet dari lele segar. Untuk
produk siap saji seperti bakso, sosis, nugget, kaki naga (VegiFish) dibuat surimi terlebih
dahulu. Kapasitas bahan baku ditentukan dari kapasitas produk lele segar BS BS (lele
berukuran besar 5-1 ekor/kg) yaitu sekitar 6 ton lele segar/hari. Dari jumlah tersebut 1
ton/hari akan digunakan untuk produksis lele asap utuh seperti yang telah ada.
Sedangkan yang 5 ton untuk diversikasi produk olahan. Rencana kapasitas produksi
disajikan pada Tabel 7.8.
Dibandingkan dengan produk sejenis yang ada di pasaran saat ini (CV. Bening dan CV.
Bintang Anugerah), produk olahan bakso, nugget, kaki naga diyakini tidak dapat
berkompetisi bila memasuki pasar yang sama. Produk yang mungkin dikembangkan
adalah perluasan lele asap dengan mencari pasar baru, sosis, filet lele asap, filet segar,
burger, makanan ringan chiki/crackers. Produk olahan bakso, nugget, kaki naga masih
bisa diproduksi dengan menciptakan segmen pasar yang berbeda, dijual dalam bentuk
makanan kesehatan. Contoh produk olahan lele yang diformulasikan bersama rumput
laut, chitosan dan lainnya ( Gambar 7.2).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 13 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.8. Jenis olahan produk lele atau ikan lainnya ( kapasitas 5 ton ikan segar/hari)
No Jenis olahan Ukuran (ekor/kg)
Kapasitas bahan baku
( kg/hari)
Kapasitas olahan
(kg/hari) Potensi pasar
1 Lele tanpa kepala 8-12 500 lele segar 300 Pesantren, lembaga pemasyarakatn
2 Filet lele ( skinless) atau filet patin, nila, bawal
2 ekor/kg
4500 (total dari semua jenis ikan),
1260 ( 260 kg untuk filet segar)
Supermarket, jasaboga, hotel, restoran dan bahan baku produk olahan
3 Filet asap 100 filet 50 Supermarket, restoran
3 Surimi 900 filet 720 Bahan baku produk turunan bakso, dll
3 Bakso 100 surimi 150 Restoran, jasaboga, supermaket
4 Sosis 100 150 Restoran, supermarket
5 Nuget 100 150 Restoran, supermarket
6 Vegifish (kaki naga 200 300 Restoran, supermaket
7 Krupuk 60 120 supermaket
8 Makanan ringan 60 120 Supermaket
9 Lainnya 100 supermarket
Gambar 7.2. Kaki naga (VegiFish) dan Nuget
Teknologi yang akan diterapkan untuk mengolah lele adalah teknologi bebas limbah
(produk samping). Tahapan pengolahan dimulai dari pembuatan filet lele, pembuatan
surimi untuk produk gel, dan pengolahan surimi atau filet sesuai dengan produk akhir
yang ditetapkan. Untuk menghindari masalah lingkungan semua limbah (produk
samping) akan diolah menjadi produk turunan yang bernilai ekonomis. Teknologi
pengolahan yang akan diterapkan meliputi :
1. Pembuatan filet dan pemanfaatan hasil samping
2. Pembuatan filet asap
3. Pembuatan surimi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 14 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 15 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
4. Produk olahan bakso, sosis, nugget, burger, crackers, chiki, abon, dll
7.7.2 PengembanganTeknologi Pengolahan .7.2 PengembanganTeknologi Pengolahan
Bahan baku lele akan difilet kemudian dibuat surimi untuk selanjutnya dipakai sebagai
bahan baku produk bakso, nugget, dll. Kulit dikeringkan untuk bahan baku kolagen yang
dapat diapliaksikan di produk kosmetik. Tulang dan sisa daging dikeringkan, dibubuk
kemudian difermentasi untuk menghasilkan pupuk organik berkulitas tinggi dengan
kandungan asam amino (growth factor), mineral, dll. Pupuk organik akan dipakai untuk
budidaya hortikultura seperti caisin, kaIlan, parkcoi, selada, timun, tomat, cabe, bayam,
kangkung, dan lain-lain. Skema proses masing-masing kegiatan pengolahan dapat dilihat
pada Gambar 7.3. Sementara itu, fasilitas dan peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 7.9.
Bahan baku lele akan difilet kemudian dibuat surimi untuk selanjutnya dipakai sebagai
bahan baku produk bakso, nugget, dll. Kulit dikeringkan untuk bahan baku kolagen yang
dapat diapliaksikan di produk kosmetik. Tulang dan sisa daging dikeringkan, dibubuk
kemudian difermentasi untuk menghasilkan pupuk organik berkulitas tinggi dengan
kandungan asam amino (growth factor), mineral, dll. Pupuk organik akan dipakai untuk
budidaya hortikultura seperti caisin, kaIlan, parkcoi, selada, timun, tomat, cabe, bayam,
kangkung, dan lain-lain. Skema proses masing-masing kegiatan pengolahan dapat dilihat
pada Gambar 7.3. Sementara itu, fasilitas dan peralatan yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 7.9.
Gambar 7.3. Skema Produksi Filet dan Pemanfaatn Hasil Samping Gambar 7.3. Skema Produksi Filet dan Pemanfaatn Hasil Samping
Lele hidup 100 %
Pemotongan kepala, pemberishan isi perut,
pelepasan kulit kulit
Pengeringan (70%)
kulit
Tulang
Kepala-isi perut
kolagen
Pupuk/pakan
Pupuk/fermentasi
Filet lele (30%)
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 16 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tabel 7.9. Daftar Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Filet dan Pemanfaatan Hasil Samping
No. Fasilitas dan Nama Alat
1. Bak Penampungan lele
2. Meja pemotongan lele (SS)
3. Pisau potong dan pisua filet (SS)
4. Bak pencucian (SS)
5. Kerannjang penampungan (Plastik)
6. Wadah penyiapan filet (SS)
7. Freezer penampung filet (-20 C)
8. Bak pencician hasil samping
10. Pengering produk samping
11. Grinder
12. Vakum sealer
13. Sealer karung
14. Bak fermentasi
Gambar 7.4. Proses Pembuatan Lele Asap
Pencampuran dengan bumbu
Pengasapan
Filet asap
Filet lele
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.10. Fasilitas dan Peralatan yang untuk Pembuatan Lele Asap
No Fasilitas dan Nama Alat
1 Wadah pencampuran bumbu (SS)
2 Alat pengasap
3 ALat pendingin
4 Vakum sealer
Filet lele
Grinding
Pencucian
Surimi
Penambahan cryoprotectant (extract rumput laut) dan bumbu2
Air bekas cucian untuk pupuk
Gambar 7.5. Proses Pembuatan Surimi Tabel 7.11. Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Surimi
No. Fasilitas dan Nama Alat
1. Grinder (SS)
2. Wadah penampung daging ikan (SS)
3. Wadah pencampur bumbu dan cryoprotectan
4. Vakum sealer
5. Freezer
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 17 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
pencampuran
Pencetakan
pemasakan
Bumbu2 + ektrak rumput
Bakso, sosis, nugget, vegifish, crackers, abon,chiki, dll
Surimi
Gambar 7.6. Produksi Produk Turunan Surimi
Tabel 7.12. Fasilitas yang Diperlunan untuk Proses Produkan Surimi
No Fasilitas dan nama alat
1 Mixer (SS)
2 Pencetak bakso (SS)
3 Pencetak sosis (SS)
4 Pencetak burger (SS)
5 Penggorengan (SS)
6 Steamer (SS)
7 Pemasak (SS)
8 Oven
10 Extruder
11 Vakum sealer
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 18 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
7.7.3. Rencana Pegembangan Pemasaran Produk Olahan Lele
Pengembangan pemasaran produksi lele diarahkan pada peningkatan daya saing
produk, peningkatan nilai jual/nilai tambah produk, dan peningkatan pangsa pasar baru.
Peningkatan daya saing produk minapolitan bogor dilakukan dengan penurunan biaya
produksi lele (dengan perbaikan teknologi budidaya, efisiensi komponen biaya produksi,
dan peningkatan produktivitas pelaku usaha) dan pembentukan image lele bogor yang
berbeda dengan lele wilayah lain (bebas antibiotik, tanpa menggunakan pakan limbah,
higienis, kontinyu, dll). Peningkatan nilai jual produk dilakukan dengan diferensiansi
produk dengan pengolahan hasil produksi lele sehingga memiliki nilai tambah.
Peningkatan pangsa pasar baru dilakukan dengan pencarian pasar lele segar ataupun
olahan keluar daerah/luar negeri dan peningkatan konsumsi pasar yang sudah ada
(dengan gerakan makan ikan dan perbaikan pencitraan ikan khususnya lele).
Pemasaran produk olahan lele perlu diciptakan pasar tersendiri dengan trade mark
makanan kesehatan. Produk olahan difortifikasi dengan serat alami dari rumput laut dan
bahan alam alut lainnya (seperti citosan). Untuk memasarkan produk harus dilakukan
kerjasama dengan pihak terkait seperti : rumah sakit, catering, sekolah-sekolah, PIH
Cibinong, Bandung, Jakarta, restoran, supermarket, dan gerai yang dibangun khusus
ditempat wisata mina.
Untuk menghilangkan kesan negative tentang lele dan menungkatkan pemasaran perlu
dilakukan promosi media kegiatan yang terkait dengan Forum Peningkatan Konsumsi
Ikan (FORIKAN) Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Dari hasil diskusi yang dilaksanakan tgl 14 Desember 2010, dihadiri oleh perwakilan
Rumah Sakit Cibinong, Rumah Sakit Karya Bakti, Hotel Santika, catering Tiska Sejahtera
diketahui bahwa Rumah sakit Cibinong telah menggunakan ekstrak lele ( air rebusan
lele) untuk penyediaan albumin bagi pasien cirosis hati, nefrotil syndrome (ginjal), luka
bakar, stroke dan hipoalbumin. Pada saat ini RS Cibinong membutuhkan filet kakap 1300
kg/tahun dan ikan mujaer 1176 kg/tahun. Pihak rumah sakit telah bersedia menjadi
partner untuk pemasaran produk olahan minapolitan. Selain itu, rumah sakit Karyabakti
menyajikan pilihan menu ikan bagi pasien VIP. Hotel Santika menyajikan menu Sunda
seminggu sekali (hari Kamis) dengan sajian berbagai ikan termasuk lele ( ukuran 10-
12/kg). Selain lele, hotel Santika menyajikan ikan nila, bawal, patin, emas, gurame dan
ikan balita. Ketiga instansi tersebut siap menjadi partner untuk pemasaran produk
minapolitan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 19 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
7.7.4. Analisa Ekonomi Pengolahan Lele
Biaya investasi untuk pengolahan lele tanpa kepala dan filet lele adalah Rp. 75.500.000
(Lampiran 9 ). Harga pokok produksi (belum termasuk keuntungan) untuk bahan baku
lele segar 5 ton/hari ( harga Rp. 8000/kg) dengan produk lele tanpa kepala 300 kg/hari
dan filet lele 1260 kg/hari adalah Rp. 21,576.68 /kg ( lele tanpa kepala) dan Rp.
31,750.22/kg ( filet lele). Bila harga bahan baku naik menajdi Rp. 10,000/kg, maka harga
pokok filet lele akan menjadi Rp. 39,289 /kg.
Tabel 7.13. Perhitungan HPP Lele Tanpa Kepala dan Filet Lele
Komponen Biaya Keterangan Harga lele harga lele
Rp. 8000/kg 10000/kg
Investasi alat dan fasiltas (diluar gedung) 275,500,000
Biaya penyusutan/hari 115,463 115,463
Bahan baku 5000 kg 40,000,000 50,000,000
Tenaga kerja 1000/kg headless 300,000 300,000
1500/kg filet 1,890,000 1,890,000
sub-total 42,305,463 52,305,463
Utilities ( listrik, air) 5% 2,115,273 2,615,273
pemeliharaan 5% 2,115,273 2,615,273
TOTAL BIAYA PRODUKSI
46,536,009 57,536,009
HPP headless lele (Rp) 300 kg lele tanpa kepala 21,576.68 26,576.68
HPP filet lele (Rp) 1260 filet lele 31,750.22 39,289.90
Untuk produk olahan bakso, sosis, nuget dan lainnya kebutuhan biaya investasi adalah
sebesar Rp. 400,000,000 (lampiran 3). Harga pokok produksi (belum termasuk
keuntungan) adalah sekitar Rp. 42.000/kg. Detail perhitungan disajikan pada Tabel 7.13.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 20 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.14. Perhitungan Harga Pokok Produksi (HPP) Produk Olahan Bakso, Sosis, Nugget dan Lainnya
Komponen Jumlah Jumlah Total
Investasi alat dan fasiltas (Rp) 400,000,000
Biaya penyusutan/hari (Rp) 6,666,667
Biaya Bahan baku (Rp) 1260 kg 39,060,000
Biaya bahan pembantu (10%) 3,906,000
Biaya Tenaga kerja (20%) 7,812,000
Sub-total 57,444,667
Utilities ( listrik, air) 10% 5,744,467
Pemeliharaan 10% 5,744,467
TOTAL 68,933,600
Produk olahan (kg) 130% 1638
Harga pokok produksi (Rp/kg) 42,084.00
7.8. Arahan Pengembangan Lanskap Minawisata
Arahan pengembangan Lanskap Minawisata meliputi perencanaan yang
mengakomodasikan seluruh aktifitas yang direncanakan dalam suatu kawasan
minapolitan.
A. Konsep Perencanaan Minawisata
Konsep utama adalah untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang
berkelanjutan, yaitu dengan mengembangkan wisata edukasi yang didasarkan pada
potensi lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam
dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal.
Berdasarkan analisis pengembangan kawasan minawisata di kawasan Bogor,
Kecamatan Ciseeng sangat potensial untuk dijadikan kawasan sentra dari minawisata.
Selain memenuhi persyaratan ekologis, memiliki potensi perikanan yang potensial serta
alam yang alami dengan suasana perdesaan, masyarakat disekitar kecamatan ini juga
bersedia untuk menerima pengembangan minapolitan didaerahnya.
B. Pengembangan Tapak
Isu pengembangan tapak dikaitkan dengan perencanaan lanskap yang dilakukan di
kawasan minapolitan dilihat dari kondisi lingkungan cukup baik. Hal ini dikarenakan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 21 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kondisi keempat kecamatan yang memiliki lingkungan yang masih cukup alami, ditengah
kehidupan masyarakatnya yang ramah dan suasana perdesaan yang masih kental.
C. Wisatawan/Pengunjung
Masalah yang cukup penting untuk diperhatikan adalah sasaran wisatawan atau
pengunjung yang ditargetkan untuk datang ke kawasan minapolitan. Hal ini dilihat dari
jenis minawisata yang ditawarkan yaitu wisata edukasi, rekreasi dan wisata produksi.
Pelajar atau mahasiswa adalah target untuk wisata edukasi, kalangan masyarakat umum
terutama keluarga akan menjadi target wisatawan yang diharapkan datang untuk rekreasi
di kawasan ini. Selain itu pengunjung untuk wisata produksi juga umum khususnya
investor lokal maupun mancanegara.
D. Aspek Masyarakat
Masyarakat setuju dan mendukung adanya program minapolitan ini, karena dengan
adanya pembangunan tersebut masyarakat dapat berperan aktif serta lapangan
pekerjaan untuk mereka juga akan bertabah.
E. Akses Jalan
Jalan yang terdapat di kawasan minapolitan ini dinililai kurang memadai untuk
mendukung program ini. Hal ini dikarenakan jalan yang kurang lebar serta kerusakan
yang ditimbulkan oleh kendaraan dengan kapasitas yang besar. Maka, diperlukan
perluasan jalan di kawasan yang akan digunakan untuk minapolitan, menambah jalan
atau sirkulasi sekunder dan tersier untuk mendukung aktifitas minawisata seperti jalur
sepeda maupun pedestrian untuk pejalan kaki.
Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata
Konsep ruang minawisata disesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungan. Ruang
wisata dibagi menjadi tiga yaitu ruang penerimaan (Welcome area), ruang transisi dan
ruang wisata utama. Pada tiap ruang wisata terdapat aktifitas dan fasilitas yang
mendukung tema dan tujuan dari ruang wisata tersebut.
Welcome Area merupakan area penerimaan yang ada sebagai pintu masuk ke objek di
tiap kecamatan pada kawasan minapolitan. Area ini berisi fasilitas parkir serta ruang
informasi agar wisatawan lebih mengerti dan mudah untuk melakukan aktifitas wisata.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 22 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 23 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ruang Transisi merupakan area perantara dari ruang penerimaan dan ruang wisata
utama. Area ini berupa fasilitas pelayanan rest area (peristirahatan), homestay dan
display area.
Ruang Wisata Utama merupakan area minawisata yang ditawarkan untuk dikunjungi
oleh wisatawan.
1. Wisata Edukasi, wisata ini dibagi berdasarkan komoditas unggulan yang terdapat
pada kawasan minapolitan, yaitu lele, ikan hias, dan lobster.
2. Rekreasi
3. Wisata Produksi, wisata ini berdasarkan objek pengolahan ikan yang terdapat pada
kawasan minapolitan.
A. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatif 1
Konsep ruang dan sirkulasi minawisata pada alternatif 1 ini pusat atau sentra
minapolitannya terletak di BP3K (Badan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan
Kehutanan). Lokasi ini cukup strategis dilihat dari letaknya yang mudah dijangkau
dan akses yang cukup baik serta lingkungan disekitar yang mendukung.
Pada lokasi sentra minapolitan alternatif 1 ini, desain yang ditawarkan berupa
siteplan dengan tapak kawasan BP3K. Bangunan yang terdapat pada rencana ini
berupa area parkir, diikuti dengan pusat informasi, restoran kemudian display area
dari alur budidaya lele ini sendiri yang terdidir dari pembenihan, pembesaran,
Gambar 7.7. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatif 1
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 24 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
penampungan, pengolahan hingga pasca panennya yang dilengkapi dengan
pengolahan limbahnya sehingga ramah lingkungan.
Gambar 7.8. Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 1 Sentra Minapolitan (BP3K)
Gambar 7.9. Kondisi Eksisting Sentra Minapolitan Alternatif 1
Gambar 7.10. Perspektif Sentra Minapolitan Alternatif 1
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 25 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
B. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatif 2
Konsep ruang dan sirkulasi minawisata pada alternatif 2 ini pusat atau sentra
minapolitannya terletak di Desa Babakan. Lokasi ini dilihat cukup strategis dilihat
karena akses yang berada di jalur utama masuk kawasan Minapolitan. Selain itu jalur
yang mudah dijangkau dengan kondisi lingkungan perdesaannya yang masih terasa
menjadikan sesuai untuk minawisata.
Pada diagram ruang dibawah ini terdapat sirkulasi dimana dari sentra minapolitan,
dapat langsung berwisata edukasi menuju ke perkampungan warga sekitar untuk
menyaksikan secara langsung budidaya lele baik skala kecil (rumahtangga) hingga
skala industri. Kuldesak yang terdapat di akhir bertujuan agar wisatawan dapat
menikmati perjalanan dengan nyaman dan berputar balik untuk menuju ke paket
wisata selanjutnya. Diupayakan pada paket ini wisatawan menggunakan jalur sepeda
atau berjalan kaki.
Gambar 7.11. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Alternatif 2
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Gambar 7.12. Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 2 Sentra Minapolitan (Desa
Babakan)
Gambar 7.13. Lokasi Eksisting Sentra Gambar 7.14. Desain Alternatif 2 Minapolitan Alternatif 2 Sentra Minapolitan (Situ Cilala)
(Situ Cilala)
7.9. Pengembangan Lanskap Minawisata
Dalam pengembangan minawisata, salah satu upaya untuk meningkatkan daya tarik
obyek wisata adalah dengan memperbaiki lanskap kawasan wisata dan infrastruktur
(jalan, padestrian, fasilitas wisata) agar memiliki nilai jual wisata. Beberapa contoh
pengembangan infrastruktur wisata disajikan pada gambar berikut.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 26 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Gambar 7.15. Gambar Existing dan Pengembangan Jalan Obyek Wisata Lele (Desa Babakan)
Gambar 7.16 Gambar Existing dan Pengembangan Gerbang Masuk Kawasan Wisata
Gambar 7.17. Gambar Existing dan Pengembangan Kawasan Wisata Ikan Hias Telaga Biru,
Ciseeng
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 27 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
7.10. Arahan Pengembangan Kelembagaan
Arahan pengembangan kelembagaan mencakup dua kegiatan pokok yaitu :
(a) Pembentukan/penguatan kelembagaan masyarakat dan (b) Penyusunan
kelembagaan pengelola kawasan minapolitan, Arahan pengembangan kelembagaan
diuraikan sebagai berikut.
A. Pembentukan/Penguatan Kelembagaan Masyarakat
Sesuai dengan konsep tentang minapolitan, maka pembentukan dan atau
penguatan kelembagaan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan jaminan
distribusi manfaat adanya kawasan minapolitan secara adil bagi seluruh
stakeholder. Hal ini secara eksplisit dituangkan dalam Permen No.12/MEN/2010
tentang minapolitan, mempunyai tujuan salah satunya sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi di daerah. Seementara itu, salah satu sasarannya adalah meningkatkan
sector kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi regioanal dan nasional
diantaranya berupa pengembangan sistem ekonomi berbasis wilayah,
pengembangan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi lokal dan pemberdayaan kelompok usaha kelautan dan
perikanan di sentra produksi, pengolahan dan/atau pemasaran. Dalam rumusan
peraturan ini juga dicantumkan bahwa pengembangan kawasan minaploitan dimulai
dari pembinaan unit produksi, pengolahan dan/atau pemasaran yang terkonsentrasi
di sentra produksi , pengolahan dan/atau pemasaran di suatu kawasan yang
diproyeksikan menjadi kawasan minaploitan yang akan dikelola secara terpadu.
Oleh karena itu, pembentukan dan/atau penguatan kelembagaan masyarakat
diarahkan pada kelompok-kelompok unit produksi yang ada atau yang diperlukan
untuk meningkatkan efisiensi dan pemenuhan tujuan minapolitan.
Sesuai dengan kondisi yang ada sekarang, usaha perikanan yang dilakukan
dilokasi calon kawasan minapolitan mencakup usaha budidaya, pengolahan dan
pemasaran. Pada usaha budidaya ikan, tersegmentasi menjadi usaha pembenihan,
pendederan, pembesaran. Dalam rangkaian budidaya ini, terdapat usaha
pengumpulan dan pendistribusian benih dari satu tahapan budidaya ke tahapan
lainnya. Misalnya usaha pengumpulan benih untuk proses tahap selanjutnya pada
budidaya. Berdasarkan informasi terdapat 68 kelompok dibawah UPP untuk seluruh
jenis ikan. Input cacing juga mempunyai kelompok berupa pencari cacing dan ketua
adalah pengumpul, tetapi belum ada organisasi. Berdasarkan kejelasan pasar dan
sedikit bantuan input/modal.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 28 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Kelembagaan yang ada di masyarakat sekarang, sebenarnya sudah terjadi
pengelompokan (grouping) dari masing-masing segmen budidaya tersebut. Pada
segmen usaha perbenihan, terdapat kelompok pembenih, demikian pula pada
segmen pembesaran juga terdapat kelompok. Namun demikian, faktanya motif
pembentukan kelompok ini cukup beragam. Sebagian besar berdasarkan asesmen
lapang, didapatkan bahwa kelompok ini masih dalam bentuk relasi “patron-klien”.
Sebagian besar bahwa sistem patronase ini terjadi berdasar pada jaminan
kepastian pasar, jaminan input maupun kapital. Misalnya, kelompok pembenih,
terjadi karena adanya ketua kelompok merupakan penjamin pasar (pedagang
pengumpul). Sehingga anggota kelompok mempunyai jaminan pasar, terutama
ketika terjadi oversupply. Demikian juga pada kelompok pembesaran, pola ini juga
terjadi. Pola lain, adalah bahwa ketua kelompok juga menjadi pemasok input utama
seperti pakan atau benih. Ketua kelompok ini menjadi pembeli produk lele yang
dihasilkan.
Mengingat pola organisasi kelompok seperti tersebut diatas, maka pembentukan
dan atau penguatan kelompok diarahkan pada kelompok masing-masing segmen
dan kelompok antar segmen budidaya. Tujuan penguatan kelompok meliputi dua
hal pokok yaitu (a) peningkatan efisiensi organisasi kelompok dan (b) peningkatan
kualitas anggota kelompok.
Peningkatan efisiensi organisasi kelompok diantaranya meliputi :
i. Peningkatan kohesivitas kelompok
ii. Peningkatan kemampuan managerial organisasi kelompok
iii. Peningkatan kemampuan komunikasi antar kelompok
iv. Pembentukan asosiasi kelompok dalam satu segmen (perbenihan,
pembesaran, pengolahan atau pemasaran) dan atau pembentukan asosiasi
antar segmen.
Sedangkan usaha peningkatan kualitas anggota kelompok diantaranya meliputi :
I. Peningkatan jiwa kewirausahaan anggota kelompok
II. Peningkatan kemampuan perencanaan usaha
III. Peningkatan kemampuan komunikasi anggota kelompok.
B. Penyusunan Kelembagaan Kawasan Minapolitan
Pengelolaan sumberdaya termasuk kawasan minapolitan Kaupaten Bogor, adalah
mengelola harapan (ekspektasi) manusia terhadap fungsi-fungsi minapolitan untuk
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 29 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
“kesejahteraannya”. Unsur kesejahteraan perlu untuk digarisbawahi mengingat
bahwa persepsi antar satu individu dengan individu yang yang terhadap konsepsi
kesejahteraan berbeda-beda, sehingga ekspektasinya juga berbeda.
Hubungan antar manusia tidak selamanya cukup direfleksikan dalam konteks
hubungan antar manusia (person to person), tetapi seringkali melalui lembaga-
lembaga yang merefleksikan atribut kumpulan individu (kelompok) dan kepentingan
bagi individu-individu yang mempunyai nilai-nilai atau kepentingan yang sama
dalam satu kelompok. Secara umum lembaga ini dapat disebut sebagai bentuk
kelompok social (social groups). Lembaga-lembaga tersebut dapat meliputi
lembaga-lembaga formal maupun informal. Masing-masing lembaga tersebut
berinteraksi, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang
dapat diterima oleh masing-masing pihak.
Kelompok-kelompok yang melakukan kesepakatan tersebut sebenarnya membawa
misi untuk mengimplementasikan ekspektasi-ekspektasi antar anggotanya.
Sehingga ketika kesepakatan-kesepakatan tersebut diambil, hal ini juga
menunjukan pemenuhan terhadap harapan setiap anggotan dalam memanfaatkan
sumberdaya. Hanya saja, implementasi terhadap misi atas harapan masyarakat
tersebut tidak selamanya bisa disandarkan pada mekanisme kesepakatan yang
bersifat kognitif, tetapi perlu direpresentasikan dalam format yang tangible dalam
struktur yang jelas. Fenomena ini tidak hanya diperlukan pada level kesepakatan
antar anggota dalam satu lembaga, tetapi diperlukan juga dalam membangun
mekanisme antar lembaga. Hal ini terutama ditujukan untuk menjamin konsistensi
dalam menjaga kesepakatan-kesepakatan antar elemen dalam masing-masing
lembaga maupun antar lembaga. Misalnya, untuk menjamin kelestasrian kawasan
minapolitan, maka kemudian dibangun kesepakatan untuk mengeksploitas
sebagian kawasan maksimum pada tingkat daya dukungnya. Kesepakatan ini perlu
dikembangkan tidak hanya pada tataran pemahaman antar anggota masyarakat
saja sehingga bersifat kognitif, tetapi perlu dibangun struktur untuk menjamin
konsistensi implementasi kesepakatan ini. Sehingga kelompok mengembangkan
tindakan untuk memberi hukuman atas pelanggaran yang dilakukan oleh
anggotanya misalnya pengenaan denda atau pengucilan secara social.
Mekanisme pemberian sangsi, besarnya denda, lamanya sanksi social dan ha-hal
lain yang terkait dengan usaha untuk menjamin kesepakatan dituangkan dalam satu
kesepakatan (baik tertulis maupun tidak tertulis) sehingga secara nyata dapat dilihat
wujud kesepakatan tersebut. Inilah yang kemudian mengarah pada terbentuknya
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 30 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
aturan-aturan kelompok. Mekanisme ini juga dikembangkan pada relasi antar
kelompok, sehingga masing-masing kelompok yang terlibat dalam kesepakatan
dapat menjaga pelaksanaan kesepakatan.
Penjagaan kesepakatan kelompok baik melalui aspek kognitif maupun struktural
adalah usaha-usaha esensial yang diperlukan dalam pengelolaan kawasan
minapolitan, sebagai turunan konsepsi bahwa pengelolaan kawasan minaploitan
adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya oleh manusia. Usaha-usaha ini
dilakukan baik pada tataran kelompok informal maupun formal. Kelompok-kelompok
informal sering dipahami dan diaktualisasikan sebagai kelompok pada level
masyarakat. Sedangkan pada kelompok formal mencakup pemerintahan (baik
pusat maupun daerah) maupun kelompok-kelompok yang berbasis legal yang
nyata.
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa pengelolaan kawasan minapolitan
mensyaratkan adanya pembangunan lembaga (institution) baik formal maupun informal
yang kuat serta pengembangan aturan main (baik kognitif maupun structural) yang
secara efektif dapat diimplementasikan.
Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kelembagaan yang kuat dan efektif perlu
dibangun untuk pengelolaan sumberdaya seperti :
a. Secara alamiah sifat dasar manusia sebagai makhluk social. Interaksi antar
individu adalah kebutuhan mutlak, sehingga berkelompok menjadi kebutuhan.
b. Kelompok tidak hanya menggambarkan identitas indvidu anggotanya, tetapi
juga diperlukan untuk menjaga perilaku anggota yang menggambarkan identitas
kelompok tersebut. Bila satu nilai tertentu telah diadopsi sebagai nilai kelompok
(yang sebaiknya melalui mekanisme kesepakatan), maka biasanya individu
yang telah menyamakan identitasnya dengan kelompok tersebut akan
mengimplementasikannya dalam aktivitas individualnya.
Kelembagaan yang kuat dan efektif menggambarkan mekanisme menghasilkan
kesepakatan yang baik dan bentuk kesepakatan yang diterima (baik kognitif maupun
structural), yang secara efektif akan dijalankan oleh anggotanya serta lembaga juga
mempunyai mekanisme menjaga konsistensi implementasinya. Bila kesepakatan terkait
dengan pengelolaan sumberdaya sudah disetujui, maka baik secara individual maupun
kolektif kelembagaan, setiap individu terikat untuk melaksanakan kesepakatannya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 31 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Kelembagaan, merupakan satu konsepsi yang kompleks yang mengkaitkan antara
elemen-elemen secara komprehensif. Sebagai sebuah konsepsi, kelembagaan
menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta
usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka tetap
terakokmodasi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa kepentingan serta
representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya.
Konsepsi kelembagaan secara teoritis sangat bervariasi tergantung pada tinjauannya.
Tinjauan konsepsi kelembagaan bekembang mulai dari pendekatan sosiologis,
organisasi ekonomis sampai dengan politik/kebijakan. North (1990) menyatakan aturan
main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi,
sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik
informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi
dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah
pemainnya.
Uphoff (1986) menyatakan kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma–
norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani
tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma
prilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Williamson (1985) melihat dalam perspektif
ekonomi dan mempelopori analisis ekonomi kelembagaan menyatakan bahwa
kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan
organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-
unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau
berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor
atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan
utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi.
Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players
of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan
organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama
(Ostorm, 1985; Ostorm 1986; Doward, 1997; Doward et.all, 1998 dalam Kartodiharjo dan
Jamhani, 2006). Wadah atau organisasi dan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk
menjalankan organisasi menjadi hal yang tidak terpisahkan, perlu mendapat perhatian
yang sangat besar dalam pengembangan kelembagaan yang efektif. Artinya
pengembangan kelembagaan tidak hanya mendasarkan pada pembentukan
institusi/organisasi seperti halnya yang sering dipahami sekarang ini, tetapi juga
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 32 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
menyangkut seperangkat aturan (rules of the game) yang harus dan atau dapat dipatuhi
oleh anggotanya, sehingga institusi tersebut dapat berperan secara efektif.
Secara akademis, kelembagaan tidak bersifat uni-elemen, tetapi terkonstruksi atas
sejumlah elemen yang mendukung performa kelembegaan. Elemen-elemen tersebut
diantaranya adalah : (a) Institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah
laku social masyaraka, (b) Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan
diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan
menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur, (c) Peraturan dan penegakan
aturan/hukum, (d) Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan
kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota, (e) Kode etik,
(f) Kontrak, (g) Pasar, (h) Hak milik (property rights atau tenureship) , (i) Organisasi dan
(j) Insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan
Tinjauan teoritis seperti disebutkan diatas memberikan arahan tujuan pembentukan
kelembagaan pengelolaan kawasan minapolitan Bogor. Tujuan-tujuan itu adalah :
a. Menjamin adanya organisasi/lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan fungsi pengelolaan
kawasan minapolitan Bogor.
b. Menjadi wadah yang menampung dan mengolah/menganalisis
aspirasi/pemikiran pemangku kepentingan terkait dengan fungsi-fungsi
pengelolaan kawasan minapolitan
c. Menjadi wadah untuk merumuskan aturan-aturan operasional yang terkait
dengan pengelolaan kawasan Minapolitan sesuai dengan rujukan hirarki
peraturan yang lebih tinggi.
d. Menjadi wadah untuk merumuskan dan memfasilitasi koordinasi dan partisipasi
pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan minapolitan.
Kebutuhan akan kelembagaan bersifat berjenjang. Merujuk pada Ostrom (1999) tentang
pengambilan keputusan (choice) pada pengelolaan sumberdaya temasuk kawasan
minapolitan Bogor, maka pengambilan keputusan bersifat berjenjang dalam bentuk
hirarki. Secara hirarkial dari atas ke bawah secra vertical adalah pengambilan keputusan
pada aras konstitutional, kolektif dan operasional.
Keputusan constitutional memerlukan kelembagaan pembuat keputusan terkait aturan
dasar. Pada level ini keputusan pemerintah daerah yang melibatkan pihak eksekutif dan
legislative merupakan tingkat kelembagaan yang paling tinggi. Sebab dengan adanya
kesepakatan yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah merupakan peraturan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 33 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
tertinggi di daerah sepanjang tidak menyalahi undang-undang pada tingkat yang lebih
tinggi. Pada keputusan constitutional ini dipengaruhi oleh kultur baik formal maupun
informal dari pihak-pihak yang berinteraksi.
Gambar 7.18. Hirarki Pengambilan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Minapolitan Bogor (Sumber : Modifikasi Ostrom, 1999)
Pada tingkat dibawahnya adalah keputusan yang bersifat kolektif. Representasi
kolektifitas ini ditunjukan keputusan yang bisa mengikat seluruh elemen stakeholder
pengelolaan kawasan minapolitan. Bentuk kelembagaan juga mengikuti pola ini, dimana
kelembagaan yang menghasilkan keputusan ini juga merupakan lembaga yang bisa
mengikat stakeholder pengelolaan minapolitan. Bentuk keputusan ini misalnya adalah
keputusan atau peraturan bupati yang dikeluarkan oleh bupati setempat. Dalam hirarki
ini, keputusan atau peraturan bupati tunduk pada peraturan pemerintah daerah.
Sedangkan keputusan operasional meliputi keputusan operatif yang
mengimplementasikan keputusan kolektif. Keputusan operasional ini dihasilkan oleh
kelembagaan operasional, yang bersifat pelaksana terhadap pengelolaan kawasan
minapolitan. Pola ini harus dibangun secara bersama. Dalam hirarki vertical, maka
keputusan ini tidak boleh bertentangan dengan keputusan kolektif.
Sehingga secara ringkas, setidaknya dibutuhkan 3 tingkatan kelembagaan yaitu pada
tingkat konstitutional, kolektif dan operasional. Tidak semua kelembagaan tersebut harus
berangkat pada titik nol (zero point), khususnya pada tingkat kelembagaan konstitutional
dan kolektif. Karena kelembagaan-kelembagaan yang ada sekarang bisa menghasilkan
keputusan-keputusan konstitional dan kolektif terkait dengan operasionalisasi kawasan
minapolitan.
Pola aliran keputusan ini pada faktanya bisa bersifat dua arah (reversible) baik dari atas
(top down) maupun dari bawah (bottom up). Pengertiannya adalah apabila pada tingkat
constitutional sudah dirumuskan menjadi keputusan politik yang dsetujui oleh pihak
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 34 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
eksektif dan legislative tingkat pemerintah daerah, maka tahap berikutnya adalah
memformulasikan keputusan-keputusan dibawahnya sampai pada keputusan
operasional. Sebaliknya proses-proses yang terjadi pada tingkat konstitutional juga harus
melihat dinamika pada tataran masyarakat yang nantinya akan member masukan pada
keputusan politik yang akan diputuskan. Hubungan antara keputusan dan proses
pembentukan kelembagaan pengelola kawasan minapolitan dapat dilhat dalam Gambar 7.19.
Gambar 7.19. Proses Pembentukan Kelembagaan Pengelola Kawasan Minapolitan
Pada sisi substantive, pembentukan kelembagaan melewati proses-proses pemahasan
tentang hal-hal elementer tentang kelembagaan seperti kewenangan dan kewajiban
(Gambar 7.20) Kewenangan dan kewajiban kelembagaan ini ditentukan setelah
diputuskan rencana induk kawasan, sehingga lebih jelas apa yang akan dilakukan dalam
kawasan tersebut. Dalam konteks kawasan Minapolitan Bogor, arahan rencana induk
merujuk pada kegiatan perikanan baik dari sisi on-farm (budidaya) sampai dengan
pengolahan dan pemasaran secara integral. Pembentukan kelembagaan ini didasarkan
pada produk-produk legal (baik pusat atau daerah) sesuai hirarkinya mulai undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan/keputusan presiden, peraturan/keputusan
menteri dan peraturan operasionalnya. Sedangkan pada produk legal daerah meliputi
peraturan daerah, peraturan/keputusan bupati dan aturan operasionalnya.
Gambar 7.20. Tahapan Substantif Pembentukan Kelembagaan Operasional Pengelolaan Kawasan Minapolitan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 35 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pada proses pembentukan kelembagaan akan berakhir ketika proses-proses tesebut
diatas telah berhasil mengidentifikasi bentuk kelembagaan yang bisa diterima oleh
seluruh stakeholder. Pilihan bentuk kelembagaan dapat dilakukan dengan merujuk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga lembaga yang terbentuk akan
berfungsi optimal.
Kelembagaan minapolitan meliputi beberapa jenis kelembagaan yaitu (a) kelembagaan
menyeluruh kawasan minapolitan, (b) kelembagaan pusat (sentra minaploitan) dan (c)
kelembagaan periferi atau masyarakat. Kelembagaan menyeluruh merupakan
kelembagaan pada tingkat pengarah (steering) yang merupakan kelembagaan koordinasi
antar stakeholder terutama antara satuan kerja pemerintah daerah (SKPD).
Kelembagaan sentra minaploitan, merupakan kelembagaan yang mengelola aset-aset
yang terdapat pada sentra minapolitan. Sedangkan kelembagaan periferi atau
masyarakat merupakan kelembagaan tingkat masyarakat baik pada tingkat
pembudidaya, pengolah maupun pemasaran.
Hal yang krusial untuk dibahas adalah kelembagaan pada tingkat sentra minapolitan,
karena terkait dengan pengelolaan aset-aset yang dibangun, baik aset bergerak (alat
transportasi) maupun aset tidak bergerak (gedung, kolam, mesin dan peralatan
pengolahan). Pilhan bentuk kelembagaan dalam bentuk daftar panjang (long list)
kelembagaan pengelolaan kawasan sentra minapolitan dapat dilihat dalam Tabel 7.15.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 36 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 7.15. Pilihan Daftar Panjang (long list) Bentuk Kelembagaan Pengelola Kawasan Minapolitan Bogor
Basis Pilihan Bentuk Organisasi
Keterangan/catatan
1. Pemerintah a. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) pada Dinas Teknis
Didasarkan pada keputusan pemimpin daerah tentang pendelagasian tugas dan kewenangan. Budget berbasis pada pagu dan arahan APBD
2. Pemerintah b. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Didasarkan pada rujukan undang-undang dan keputusan pemimpin daerah. Budget dan bentuk program lebih fleksibel.
3. Pemerintah c. Perusahaan Daerah (PD)
Pemerintah daerah sebagai pengelola seperti swasta dan mempunyai saham berupa aset-aset milik PEMDA
4. Pemerintah d. Perseroan Terbatas (PT)
Pemerintah daerah menyerahkan aset untuk membantuk unit usaha komersial yang dikelola secara terpisah dari pengelolaan pemerintah daerah, dengan kepemilikan bisa menjadi milik public dimana pemerintah menjadi salah satu bagiannya.
5. Masyarakat e. Pengelola Berbasis Masyarakat (CBM)
Otoritas pengelolaan berada di masyarakat. Efektivitas pengelolaan sangat ditentukan oleh kapasitas masyarakat.. Salah satu bentuknya adalah koperasi.
6. Interaksi Pemerintah dan Masyarakat
f. Ko-manajemen Otoritas pengelolaan berbasis pada “kesepakatan” masyarakat dengan pemerintah. Bentuk riil sangat tergantung pada kualitas interaksi yang dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat dan pemerintah.
7. Swasta g. Public-Private Partnership Operation
Otoritas pengelolaan diserahkan kepada pihak swasta. Bentuk-bentuk otoritas dan kewajiban bervariasi tergantung kesepakatan.
Uraian dan penjelasan baik menyangkut filosofi dan/atau dasar hukum alternatif
kelembagaan tersebut dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut.
A. Kelembagaan Berbasis Pemerintah
1. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Daerah
Sesuai dengan UU No.41/2007 tentang organisasi perangkat daerah, UPTD-daerah
merupakan satu lembaga teknis yang terdapat dalam organisasi pemerintah daerah
yaitu dinas teknis daerah. Besaran organisasi perangkat daerah ini disesuai dengan
variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan besarnya APBD. Berdasarkan pada
undang-undang ini, besaran organisai perangkat daerah kabupaten/kota berbeda-
beda jumlahnya menurut nilai skor daerah. Semakin tinggi jumlah skor daerah,
semakin besar jumlah organisasi perangkat daerah yang diijinkan dibentuk di suatu
daerah. Sementara UPTD Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu)
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 37 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Berdasar struktur
kepegawaian, maka kepala unit pelaksana teknis dinas di Kabupaten/Kota
merupakan jabatan struktural eselon IVa. Secara hirarkis, UPTD akan bertanggung
jawab kepada kepala dinas yang membidanginya.
Bila dilihat dari sisi struktur organisasi UPTD dan eselonisasi, menggambarkan
kewengan/otoritas kelembagaan yang jauh lebih sempit dibanding dengan dinas
teknisnya. Sehingga bila pengelolaan kawasan sentra diserahkan kepada UPTD
diduga akan sulit untuk dilaksanakan secara optimal.Pada sisi lain, pada kawasan
minapolitan ini juga memerlukan dukungan stakeholder lintas sektoral atau
kedinasan. Sehingga bila pengelolaan diserahkan pada tingkat UPTD akan
berpotensi menimbulkan overlaping dan konflik kepentingan antar beberapa dinas
terkait. Sehingga pilihan ini menjadi pilihan yang sulit untuk dilakukan.
2. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Konsep Badan Layanan Umum (BLU) disebutkan dalam UU No.1/2004 tentang
perbendaharaan negara. Salah satu bentuk perbendaharaan adalah badan layanan
umum yang dapat dibentuk di tingkat pusat dan daerah. Secara lebih spesifik, konsep
ini dituangkan dalam PP No.23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum. Konsep Badan Layanan Umum yang terdapat dalam UU No.1/2004 kemudian
diadopsi dalam PP No.23/2005 dan Badan Layanan Umum, didefinisikan sebagai
instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Peraturan yang lebih operatif adalah
Preaturan Menterdi Dalam Negeri (Permendagri) No.61/2007 tentang pedoman teknis
pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah.
BLUD merupakan bagian dari perangkat pemerintah daerah, dengan status hukum
tidak terpisah dari pemerintah daerah. BLUD bisa merupakan unit teknis dalam SKPD
maupun satu SKPD sendiri. Berbeda dengan SKPD pada umumnya, pola
pengelolaan keuangan BLUD memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, seperti pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan
daerah pada umumnya. Sebuah satuan kerja atau unit kerja dapat ditingkatkan
statusnya sebagai BLUD.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 38 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Contoh dari SKPD dengan status BLUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
Unit kerja seperti puskesmas atau tempat rekreasi tidak tertutup kemungkinan
ditingkatkan statusnya sebagai BLUD. Unit organisasi BLUD dibawah kendali seorang
pimpinan, yang merupakan tugas perbantuan dari pimpinan daerah. Merujuk pada
peraturan yang ada, maka sumber pendanaan BLUD meliputi :a. APBD, b. Pungutan
Jasa dan c. Hibah yang tidak mengikat. Sementara berdasar Permendagri
No.61/2007, sumber pendanaan BLUD juga mencakup (d) hasil kerjasama dengan
pihak lain, (e) APBN dan (f) lain-lain pendapatan yang syah.
Menurut Permendagri No.61/2007, pendapatan selain dari pendapatan hibah yang
tidak mengikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai pengeluaran BLUD sesuai
dengan RBA. Pertanggungjawaban dari pemanfaatan sumber pendanaan berbeda-
beda menurut sumbernya.Pemanfaatan sumber pendanaan dari APBD dan APBN,
maka pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pemanfaatan dana APBD.
Sedangkan pungutan jasa dan hasil kerjasama dengan pihak lain akan masuk
menjadi penerimaan daerah yang mengikuti pola yang ada. Sementara
pertanggungjawaban yang bersifat hibah sesuai dengan peruntukannya.
Berdasarkan peraturan yang ada, struktur pengelola unit BLUD dapat berasal baik
dari pegawai negeri sipil (PNS) maupun non-PNS. Remunerasi pada intinya dapat
fleksible sesuai dengan profesionalisme, tanggung jawab dan resikonya. Bila
personalia pengelola BLUD merupakan PNS, disamping menerima gaji pokok dan
tunjangan sesuai ketentuan tentang PNS, juga mendapatkan tambahan remunerasi
sesuai dengan profesionalisme, tanggung jawab dan resikonya.
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa struktur organisasi BLUD meskipun ada
keluluasaan administrasi keuangan dan program, pada faktanya sebagian besar
personalia dari pengelola BLUD sekarang ini merupakan aparatur pemerintah (PNS).
Sehingga terjadi peluang bahwa dari sisi kebutuhan organisasi membutuhkan
dukungan operasional yang tinggi tetapi dari sisi personalia tidak memungkinkan
karena statusnya sebagai PNS. Persoalan ini menjadi catatan penting dari sisi kinerja
kelembagaan.
Hal lain yang perlu dicatat adalah bila BLUD menjadi bentuk SKPD tersendiri, maka
berpotensi untuk mengarah pada benturan dengan jumlah SKPD yang diijinkan
menurut peraturan yang ada. Bila pada kondisi jumlah SKPD sudah memenuhi
ketentuan maksimal jumlah SKPD, maka pembentukan SKPD ini juga berpotensi
untuk meniadakan salah satu SKPD yang sudah ada sekarang ini.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 39 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
3. Perusahaan Daerah
Perusahaan Daerah (PD) merupakan salah satu bentuk badan hukum Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) (Permendagri No.3/1998). Permendagri tersebut menyatakan
bahwa BUMD yang berbadan hukum PD tunfuk pada undang-undang yang berlaku,
sedangkan yang berbentuk perseroan terbatas (PT) tunduk pada undang-undangnya.
Rujukan undang-undang tentang PD adalah UU No.5/1962 tentang Perusahaan
Daerah. Sebenarnya UU No. 5/1962 telah dicabut dengan dikeluarkannya UU
No.6/1969 tentang pencabutan UU No.5/1962. Tetapi dalam salah satu klausul UU
No.6/1969 dinyatakan bahwa undang-undang yang lama tetap berlaku bila belum
terdapat undang-undang pengganti. Sehingga UU No.5/1962 tetap berlaku.
Berdasarkan UU No.5/1962 ini yang dimaksud Perusahaan Daerah ialah semua
perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk
seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan,
kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang. Tujuan
Perusahaan Daerah ialah untuk turut serta melaksanakan pembangunan Daerah
khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka ekonomi
terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi
dan ketenteraman
serta kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat yang adil dan
makmur. Modal Perusahaan Daerah terdiri untuk seluruhnya atau untuk sebagian dari
kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Secara umum, berdasar UU No.5/1962 pemanfaatan hasil keuntungan perusahaan
daerah ditujukan untuk (a) dana pembangunan daerah, (b) anggaran belanja daerah
dan (c) untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, sumbangan
dana pensiun dan sokongan. Besarnya alokasi masing-masing komponen tesebut
tergantung modal PD milik satu daerah atau milik dari beberapa daerah (Bab XIII
pasal 25). Permendagri No.31998 tentang BUMD meyebutkan secara eksplisit
bahwa keuntungan dari PD merupakan salah satu sumber PAD (pasal 7).
Bila merujuk pada aturan yang ada, maka pemanfaatan keuntungan dari PD harus
masuk melalui mekanisme PAD yang menjadi bagian APBD. Artinya tidak semuanya
dapat digunakan untuk rekapitulasi usaha bila tidak disertai peraturan khusus dari
kepala daerah tentang pemanfaatan ini. Pasal 25 ayat 4 menyatakan bahwa
penggunaan laba untuk cadangan umum bilamana telah tercapai tujuannya dapat
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 40 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
dialihkan kepada penggunaan lain dengan keputusan Pemerintah Daerah yang
mendirikan. Demikian pula cara mengurus dan penggunaan dana penyusutan dan
cadangan tujuan
ditentukan oleh kepala Daerah/pemegang saham/saham prioritet. Secara spesifik
bahkan dinyatakan bahwa pada perusahaan daerah yang tidak menghasilkan laba
seperti tersebut diatas disebabkan karena pertimbangan dan kebijaksanaan
Pemerintah Daerah dapat juga diberi jasa produksi yang ditentukan oleh Pemerintah
Daerah. Artinya bila memang kelembagaan kawasan sentra minapolitan diharapkan
untuk dapat melakukan rekapitulasi diperlukan peraturan khusus tentang kepala
daerah tentang pemanfaatan keuntungan ini.
Pada awalnya sesuai dengan Permendagri No.4/1990 mengijinkan adanya
kerjasama perusahaan daerah dengan pihak ketiga. Kerjasama ini diantaranya dalam
bentuk kerjasama manajemen, kontrak, pembelian saham, obligasi dari PT,
keagenan, pemakaian dan penyaluran, penjualan saham dan obligasi (go public)
maupun bentuk-bentuk kombinasinya. Tetapi dengan diterbitkannya Permendagri
No.4/2000 yang mencabut Permendagri No.4/1990, termasuk Permendagri
No.4/1995 tentang petunjuk pelaksanaanyya. Sehingga PD tidak diperbolehkan lagi
untuk bekerjasama dengan pihak ketiga dalam bentuk seperti yang disebutkan diatas.
4. Perseroan Terbatas (PT)
Seperti halnya PD, Perseroan Terbatas (PT) juga merupakan salah bentuk BUMD
(Permendagri No.3/1998), yang tunduk pada undang-undang tentang PT. Permendari
No.3/1998 bahkan menyebutkan bahwa kepala daerah (termasuk Bupati) dapat
merubah bentuk hukum Perusahaan Daerah (PD) menjadi PT. Dimana saham dalam
PT yang terbentuk dapat dimiliki oleh Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah,
swasta dan masyarakat (pasal 8). Namun peraturan ini menyebutkan bahwa bagian
terbesar dari saham Perseroan Terbatas dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan
Perusahaan Daerah. Artinya harus selalu diusahakan bahwa porsi kepemilikan
saham pemerintah merupakan saham mayoritas (pengendali) dengan jaminan pada
pengendalian arah kebijakan perusahaan.
Sesuai dengan UU No.40/2007 tentang perseroan terbatas, dimana PT berhak untuk
menerbitkan saham untuk mendapatkan tambahan modal, maka sebagai
konsekuensinya adalah komposisi ini bisa berubah ketika saham diluar kepemilikan
pemerintah menjadi lebih besar. Bila kepemilikan saham diluar pemerintah lebih
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 41 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
besar dari saham yang dimiliki oleh pemerintah maka kendali kebijakan perusahaan
tidak lagi berada pada pemerintah. Kondisi ini menunjukan perlunya tambahan saham
dari pemerintah. Namun demikian persoalan ini menjadi lebih rumit, sebab peraturan
ini tidak memuat pasal yang memberikan penjelasan secara jelas apakah
penambahan penyertaan modal dapat dilakukan melalui pengadaan dana dari APBD
setempat.
Merunut kembali pada tujuan pengembangan minapolitan yang diarahkan pada
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya, bila pengendali
saham adalah swasta, maka dalam jangka panjang bisa menabrak rambu-rambu ini.
Sebab orientasi pengelolaan kawasan sentra minapolitan tidak menjadi bagian
service yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan minapolitan tetapi
meningkatkan keuntungan yang sebesar-sebesarnya bagi PT pengelola kawasan
sentra minapolitan.
B. Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM)
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) adalah suatu kelembagaan yang dibentuk dan
dikembangkan berdasarkan inisiatif dari masyarakat. Pada PBM ini, pengambilan
keputusan dilakukan pada tingkat komunitas/masyarakat yang mempunyai hak pada
bidang pengelolaan sumberdaya termasuk kawasan sentra minaploitan. Pola
kelembagaan ini memunculkan dua kemungkinan yaitu berjalan efektif bahkan sebaliknya
berjalan sangat tidak efektif dan berpotensi terjadi salah pengelolaan (mismanagement).
Salah satu bentuk badan hukum pengelolaan kawasan sentra minapolitan dengan
semangat ini adalah koperasi
Secara praktis, pengelolaan akan berjalan efektif dan lebih baik bila didrive dari kebijakan
yang benar yang diturunkan dalam kebijakan operatif yang memadai. Hal ini akan bisa
dilakukan bila didasarkan pada input pengambilan kebijakan yang valid, kuat dan
visioner. Pada PBM, persoalan ini menjadi sangat krusial mengingat bahwa kapasitas
masyarakat seringkali tidak memadai baik secara individual maupun kolektif. Bahkan
tidak jarang yang terjadi, walaupun terdapat tokoh individual yang memenuhi kriteria
tersebut tetapi tidak mendapatkan dukungan dari komunita lainnya juga tidak bisa
berjalan dengan baik. Bodin and Crona (2007) menyatakan bahwa adanya modal sosial
dan kepemimpinan merupakan prasyarat penting dalam pengelolaan sumberdaya.
Keengganan masyarakat untuk melaporkan terjadinya pelanggaran pada pengelolaan
sumberdaya walaupun tingkat modal sosial yang menggambarka jejaring sosial menjadi
salah satu faktor kegagalan ini. Pada sisi lain, homogenitas pandangan individu-individu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 42 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kunci harus dimaknai secara hati-hati karena berpotensi untuk melihat permasalah
secara seragam sehingga kurang bisa mengenali perubahan ekologis, karakteristik
masyarakat. Hal ini bisa berdampak pada dominannya salah satu individu atau
sekelompok kecil individu dalam membentuk opini, pengambilan keputusan dan aksi
yang diperlukan.
Pada tataran praktis, adanya penyertaan aset dari pemerintah dalam kawasan
minapolitan, juga memerlukan administrasi pertanggungjawaban yang akuntabel
sehingga tidak menimbulkan permasalahan legal di kemudian hari. Apabila akan dikelola
secara PBM, bentuk penyertaan ini harus tertuang secara jelas kemudian pengelolaanya
juga harus dipertanggungjawabkan secara jelas. Pada sisi lain, dari sisi pendanaan
operasional, PBM akan berjalan efisien ketika mendapat dukungan kualitas pengelolaan
yang kuat, mengakar dan efisien. Sehingga lembaga dalam pengertian organisasi
pengelola akan mampu mengoperasikan fungsi-fungsi pengelolaan dengan baik. Baik
dalam aspek pemeliharaan aset, pemanfaatan maupun distribusi benefit baik untuk biaya
pengelolaan maupun keuntungan pengelolaan.
Pada praktisnya, walaupun secara filosofis dan ideologis pengelolaan PBM adalah
merupakan kondisi ideal pengelolaan sumberdaya termasuk kawasan lindung, tetapi
karena besarnya kendala operasional pengelolaan maka konsep ini jarang sekali
digunakan di Indonesia. Beberapa kasus merujuk regim pengelolaan di luar negeri
seperti pengelolaan perairan di Jepang yang berbasis komunitas (misalnya koperasi
nelayan), hal ini membutuhkan prasyarat kelembagaan yang sangat kuat. Secara legal
pengelolaan dengan pola ini di Jepang mempunyai dua dukungan peraturan setingkat
undang-undang yaitu Undang-Undang Perikanan dan Undang-Undang Koperasi
Nelayan, diikuti peraturan operasional dibawahnya. Secara sosiologis, pola
pembentukan ini mulai diintroduksi ketika sistem sosial komunitas (pesisir termasuk
nelayan) masih mengerucut dengan tingkat ketokohan lokal yang kuat. Sehingga,
pengambilan keputusan mempunyai legitimasi yang kuat secara sosio-kultural.
Namun demikian, bentuk Walaupun pada tataran operasional hal ini diduga masih sulit
dilakukan pada kasus pengelolaan kawasan lindung Pamurbaya, tetapi semangat dan
filosofi ini perlu dikembangkan dalam pengelolaan. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi
konsep keterlibatan masyarakat, tetapi tidak dalam kondisi penuh atau maksimal.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 43 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
C. Pengelolaan Ko-Manajemen (Co-Management)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutub pengelolaan sumberdaya dapat
bergerak pada dua titik ekstrim, yaitu masyarakat secara penuh pada satu sisi dan
pemerintah secara penuh pada sisi yang lain. Implementasi pola pengelolaan seperti
telah disebutkan diatas membutuhkan dukungan dan kapasitas kelembagaan (perangkat
peraturan dan organisasi) yang sangat kuat. Bila prasyarat ini tidak dipenuhi, biasanya
sulit mendapatkan hasil maksimal.
Interaksi antar dua kutub tersebut menghasilkan pola kelembagaan interaktif masyarakat
dan pemerintah yang disebut ko-manajemen. Bentuk interaksi ini menghasilkan tingkat
sharing (kekuatan dan dukungan) yang bervariasi seperti diuraikan oleh beberapa ahli
seperti Pomeroy (1995), Berkes et.al. (1991), Carlson and Berkes (2005).
Pada faktanya, konsepsi tentang co-management pun bervariasi tergantung pada posisi
tawar serta kapabilitas masing-masing stakeholder yang beinteraksi yaitu pemerintah dan
masyarakat. Bentuk-bentuk ini bervariasi dari mulai sekedar informatif, konsultatif yang
condong pada kutub government base, kemudian komunikasi, kerjasama, sampai bentuk
joint action pada tingkat posisi tawar dan kapabilitas yang sama ataupun bergerak ke
communication control dan inter area coordination yang condong ke masyarakat (lihat
gambar berikut).
Noble (2000) menyatakan bahwa terdapat 6 prinsip secara kelembagaan yang
mendukung efektivitas co-management pengelolaan sumberdaya yaitu (1) adanya
organisasi yang interaktif, (2) Kuatnya kontrol lokal, (3) Dukungan komunitas, (4) Proses
yang terencana, (5) keberagaman substansi dan benefit bagi stakeholder, dan (6)
Penataan kelembagaan yang menyeluruh (holism). Pilihan bentuk kelembagaan
pengelolaan kawasan minapolitan perlu diarahkan untuk mendorong persyaratan-
persyaratan tersebut dipenuhi.
Prinsip-prinsip tersebut perlu menjadi catatan, ketika bentuk co-management menjadi
pilihan, agar proses interaksi antara pemerintah dapat berjalan dengan baik dan
mendukung efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Walaupun dalam beberapa kasus aka
sulit dilakukan, tetapi semangat melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan
dan pengambilan keputusan, akan bermuara pada dukungan komunitas lokal yang baik.
Hal ini bisa diperoleh bila gain adanya kawasan tersebut dapat terdistribusi dengan baik
kepada stakeholder, bukan hanya sekelompok stakeholder. Oleh karena itu, penataan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 44 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kelembagaan secara keseluruhan menjaadi penting yang menguatkan kapasitas baik
pada tingkat komunitas maupun pemerintah.
Gambar 7.21. Hirarki Co-Management (Setelah Berkes) Sumber : Pomeroy (1995).
Permasalahan muncul terkait dengan akuntabilitas bila pengelolaan berbasis anggaran
pemerintah setempat. Pelibatan masyarakat dalam struktur kelembagaan perlu dilakukan
dengan hati-hati, mengingat bahwa sistem pelaporan terhadap pemanfaatan APBD
mempunyai struktur baku. Dimana perwakilan masyarakat akan ditempatkan sesuai
dengan level hirarki co-management yang aka diaplikasikan. Hal ini tentunya
memnbutuhkan asesmen kesiapan baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat.
D. Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership Operation )
Kerjasama Operasi Swasta-Pemerintah (PPP = Public-private partnership operation),
ditujukan untuk memberikan ruang bagi swasta untuk berpartisipasi terhadap proses-
proses pembangunan. PBB (2008) menyatakan bahwa adanya PPP menggeser resiko
yang biasanya ditanggung oleh pemerintah kepada sector swasta, sehingga mendorong
swasta untuk berhati-hati dan bekerja dengan efisien.
Pengertian Public-Private Partnerships (Kerjasama Pemerintah dengan
Swasta/KPS)Suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi
pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta, dimana : a) pihak swasta melaksanakan
sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu, b) pihak swasta menerima
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 45 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
kompensasi ataspelaksanaan fungsi tersebut, baik secara langsungmaupun tidak
langsung, c) pihak swasta bertanggungjawab atas resiko yang timbul akibat pelaksanaan
fungsi tersebut, dan d) fasilitas pemerintah, lahan atau aset lainnya dapat diserahkan
atau digunakan oleh pihak swastas selama masa kontrak. Waktu kontrak bisa mencapai
30 tahun berdasarkan kebutuhan.
Berdasarkan cara ini, maka kegiatan atau proses pembangunan dapat tercapai, dengan
keterlibatan pihak swasta untuk jangka waktu tertentu. Tujuan dari penerapan kerjasama
pemerintah-swasta sangat beragam mulai dari mendapatkan dana investasi, efisiensi,
transparansi, sampai dengan pembukaan lapangan kerja. Secara teoritis, kontrak
kerjasama ini sangat beragam, mulai jasa, operasi aset sampai pengadaan infrastruktur.
Namun pada faktanya di Indonesia, bentuk-bentuk kerjasama ini masih didominasi pada
pengadaan dan operasionalisasi aset infrastruktur misalnya jalan tol. Sehingga
pengoperasian pengelolaan KLM Pamurbaya dengan pola seperti ini memerlukan
banyak penelaahan terutama dari sisi legal. Misalnya bentuk-bentuk penyertaan aset
pada pengelolaan, pertanggung jawaban, monitoring dan evaluasi sampai pada bentuk
kelembagaan operasionalnya.
Berdasarkan polanya, terdapat beberapa bentuk operasi PPP (UNECE, 2008) seperti
Buy-Build-Operate (BBO), Build-Own-Operate (BOO), Build-Own-Operate-Transfer
(BOOT), Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Lease-Operate-Transfer (BLOT), Design-
Build-Finance-Operate (DBFO), Finance Only, Operation & Maintenance Contract (O &
M), Design-Build (DB), Operation License. Spektrum model PPP termasuk sebagian dari
bentuk-bentuk PPP dapat dilihat dalam gambar berikut.
Seperti halnya kebijakan public lainnya, PPP harus juga memenuhi standar-standar good
governance yang dipersyaratakan seperti partisipasi, santun (decency), transparansi,
akuntabilitas, keadilan, efisiensi dan pembangunan berkelanjutan. Sehingga prinsip-
prinsip dalam PPP harus memenuhi standar-standar tersebut, dan UNECE telah
menyusun prinsip-prinsip tata kelola (good governance) PPP sebagai berikut (UNECE,
2008) :
1. Bersandar pada kebijakan (policy)
2. Pengembangan Kapasitas (capacity building) baik skill, kelembagaan maupun
pelatihan.
3. Meningkatkan Legal Framework (Improving legal framework) dalam pengertian fewer,
simpler dan better.
4. Risk Sharing yang mencakup nilai cooperative sharing dan mutual support
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 46 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
5. Procurement yang transparan, netral dan tidak diskriminatif.
6. Meletakan (kepentingan) Masyarakat sebagai hal pertama (Putting people first) dalam
bentuk pemberian informasi, akuntabilitas dan digalangnya dukungan.
7. Berorientasi lingkungan yang bersifat ramah (green case), adanya peran pemerintah
(government role) dan distribusi manfaat (belivery of benefit) yang baik dan adil.
Walaupun secara teoritis cukup menguntungkan, tapi implementasi di Indonesia masih
terkendala dengan kebijakan pemerintah. Sampai sekarang, pola PPP di Indonesia baru
diaplikasikan untuk infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan. Diluar infrastruktur
tersebut masih belum diaplikasikan konsep ini.
Berdasarkan uraian diatas dapat disusun tabel yang menggambarkan kelebihan dan
kekurangan bentuk organisasi pengelola, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 7.16. Potensi Kelebihan dan Kekurangan Pilihan Bentuk Organisasi Pengelola KLM Pamurbaya.
No. Bentuk Badan Hukum Organisasi Kelebihan Kekurangan
1. UPTD 1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas
2. Kejelasan sumber anggaran belanja
3. Ketersediaan personalia pendukung dari aparatur pemerintah
1. Adanya potensi overlap dan konflik kepentingan antar SKPD yang terkait.
2. Kurang fleksible terhadap kebutuan pengelolaan
3. Perencanaan sentralistik dan government base
4. Pertanggungjawaban anggaran harus mengikuti tertib administrasi yang baku
5. Kinerja dan ritme kerja mengikuti pola reward and punishment PNS
2. BLUD 1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas (rujukan legal
2. Kejelasan sumber anggaran belanja pokok
3. Ketersediaan personalia pendukung dari aparatur pemerintah
4. Fleksibilitas perencanaan dan pemanfaatan anggaran lebih baik dari UPTD
1. Kinerja dan ritme kerja personalia mengikuti pola reward and punishment PNS yang belum tentu cukup untuk kebutuhan pengelolaan.
2. Kegagalan untuk menggali sumber-sumber pendanaan selain APBD, (seperti jasa dan hibah) akan menurunkan kinerja pembiayaan program.
3. Akuntabilitas pengelolaan aset dan struktur kelembagaanya.
4. Perlunya kapasitas pengelola setigkat SKPD yang dapat melampui jumlah maksimal SKPD yang diijinkan oleh peraturan yang ada.
3. Perusahaan Daerah 1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas (rujukan legal
2. Kejelasan sumber anggaran belanja pokok
3. Ketersediaan personalia pendukung dari aparatur pemerintah
4. Fleksibilitas perencanaan dan pemanfaatan anggaran lebih baik dari SKPD/UPTD
1. Jaminan pemanfaatan keuntungan usaha untuk rekapitalisasi usaha
2. Kontrol dan pelaporan hanya kepada otoritas kepala daerah
3. Tidak diijinkan kerjasama membentuk perserikatan dengan pihak ketiga
4. Tidak adanya jamina dukungan dari masyarakat terutama terkait dengan suplai bahan baku karena kepemilikan masyarakat tidak ada.
4. Perseroan Terbatas 1. Fleksibilitas perencanaan dan 1. Tidak adanya jaminan kebijakan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 47 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 48 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
No. Bentuk Badan Hukum Organisasi Kelebihan Kekurangan
(PT) pemanfaatan anggaran lebih baik dari SKPD/UPTD
2. Sumber pembiayaan tidak hanya tergantung dari pemerintah
3. Memungkinkan untuk mendapatkan dana penyertaan dari masyarakat dan swasta
operasional perseroan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ketika pemerintah tidak menjadi pemegang saham pengendali.
2. Agar tetap menjadi pemegang saham pengendali terdapat potensi haru meningkatkan saham penyertaa setiap waktu tertentu.
3. Sumber pembiayaan untuk mempertahankan saham pengendali apakah memungkinkan dari APBD
5. PBM (Koperasi) 1. Dukungan masyarakat dan stakeholder tinggi.
2. Keterjangkauan program berdasar kebutuhan pengelolaan dan masyarakat sekitar
3. Pengambilan keputusan bisa lebih cepat bila kapasitas masyarakat (koperasi) cukup.
1. Akuntabilitas penyertaan aset daerah pada pengelola
2. Kurangnya kapasitas masyarakat dalam proses pengelolaan secara umum
3. Sulitnya mendapatkan dukungan dan akuntabilitas anggaran
4. Pengambilan keputusan berlarut-larut bila kapasitas masyarakat tidak cukup.
5. Kontrol dan arah pengelolaan bisa salah bila kapasitas masyarakat tidak cukup.
6. Co-management 1. Dukungan stakeholder tinggi (baik pemerintah maupun masyarakat)
2. Arahan pengelolaan bisa menjadi lebih baik bila ada sumber atau pihak yang mempunyai kapasitas lebih baik.
3. Kontrol dan monitoring lebih baik, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
4. Adanya dukungan anggaran pemerintah pada program-program dasar sesuai perencanaan daerah
1. Disyaratkan kesiapan dan kecukupan kapasitas masyarakat dan pemerintah
2. Range hirarki tingkat Co-management pengelolaan luas, sehingga memerlukan asesmen yang tepat.
3. Akuntabilitas penyertaan aset daerah kepada pengelola.
4. Pengambilan keputusan bisa memerlukan proses yang cukup lama bila kapasitas pemerintah dan masyarakat tidak sama.
7. Public-Private Partnership (PPP)
1. Keterlibatan masyaarakat/swasta tinggi.
2. Operasional pengelolaan bisa lebih akuntable, dan efisien bila partner mempunyai kapasitas yang cukup.
3. Beban pembiayaan bisa sharing pemerintah dengan swasta.
4. Pengambilan keputusan bisa cepat dan rasional
1. Akuntabilitas pemilihan partner harus baik, dan dilakukan secara akuntabel dan transparan untuk mengindari klaim dari pihak lain.
2. Perlu ketetapan jangka waktu tertentu dan review atas kerjasama
3. Kontrol terhadap pengelolaan aset perlu kuat dan mengikuti rambu-rambu peraturan dan tujuan pengembangan kawasan minapolitan.
4. Kebiasaan yang terjadi di Indonesia masih didasarkan pada kerjasama bidang infrastruktur.
Sumber : Hasil analisis, 2010.
Sesuai dengan analisis pada tabel diatas serta dikaitkan dengan azas, tujuan dan
semangat pengembangan kawasan minaploitan, maka pilihan alternatif kelembagan
pengelola sentra minapolitan meliputi bentuk-bentuk : Perusahaan daerah (PD),
perseroan terbatas (PT), BLUD dan Koperasi. Pilihan-pilihan tersebut memerlukan
catatan tersendiri dalam bentuk tindakan kebijakan pimpinan daerah untuk
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VII - 49 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
mengamankan tujuan pembentukan kawasan minapolitan seperti tertuang dalam tabel
berikut. Tabel 7.17. Alternatif Daftar Pendek Pilihan Kelembagaan Pengelola Kawasan Sentra
Minapolitan
No. Bentuk Badan Hukum Organisasi Catatan
1. Perusahaan Daerah (PD)
Perlu adanya komitmen yang tertuang dalam kebijakan pimpinan daerah bahwa keuntungan digunakan untuk rekapitulasi pengembangan fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum
2. Koperasi
Perlu asistensi manajerial dan sistem pengawasan yang kuat serta pembentukan AD/ART yang menjamin arah kebijakan organisasi untuk pengembangan fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum
3. BLUD Bila tidak menimbulkan permasalahan yang terkait dengan profesionalisme manajerial, etos kerja dan sistem merit pengelola serta potensi overlaping SKPD sesuai peraturan yang ada.
4. Perseroan Terbatas (PT)
Bisa diterapkan bila pemerintah (langsung maupun melalui PD) dan masyarakat budidaya di daerah bisa menjadi pengendali kebijakan perusahaan yang berorientasi pada fungsi kawasan sentra minapolitan dalam rangka mencapai tujuan pengembangan minapolitan secara umum.
Catatan untuk untuk bentuk kelemmbagaan adalah pilihan tersebut harus tetap mengikuti
rambu-rambu peraturan yang ada sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum di
kemudian hari, serta tetap menjamin tujuan dan fungsi kawasan minapolitan secara
umum.
STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 8 PENGEMBANGAN KAWASAN
MINAPOLITAN
8.1. Visi dan Misi
Visi merupakan ungkapan keinginan atau harapan atau pandangan masa depan yang
ingin dicapai semua pihak yang terkait (stakeholders) terhadap pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Bogor. Dengan visi ini diharapkan kawasan minapolitan dapat
bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan yang ditujukan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Bogor.
Berdasarkan hasil penggalian aspirasi dan hasil agregasi potensi, isu dan permasalahan
dari data sekunder dan penelitian lapang, maka pengembangan kawasan minapolitan di
Kabupaten Bogor adalah :
“TERWUJUDNYA KAWASAN MINAPOLITAN SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN KEGIATAN PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK KESEJAHETRAAN MASYARAKAT”
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa :
Pusat Kegiatan Perikanan Budidaya berarti bahwa diharapkan kawasan minapolitan di
Kabupaten Bogor menjadi pusat kegiatan perikanan budidaya dari mulai pembenihan,
pendederan, pembesaran, pengolahan sampai pada pemasaran. Minapolitan diharapkan
juga menjadi pusat sarana informasi, pendidikan dan pelatihan kegiatan perikanan
budidaya.
Kesejahteraan Sejahtera berati bahwa pengembangan kawasan minapolitan selain
harus meningkatkan pendapatan dari pembudidaya dan pengolah ikan , hendaknya juga
dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat lainnya yang
berada dalam kawasan tersebut melalui kegiatan-kegitan lain baik yang terkait secara
langsung maupun yang tidak langsung dengan minapolitan. Disamping itu
pengembangan kawasan minapolitan juga harus dapat menjadi rujukan maupun
pendorong bagi pengembangan sector-sektor lain didaerah tersebut.
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut maka misi yang akan dijalankan adalah:
1) Mengembangkan Sentra Produksi Komoditi Unggulan
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
2) Mengembangkan Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi
3) Mengembangkan Kawasan Minapolitan Sebagai Kawasan Minaeduwisata
4) Mengembangkan Pengolahan Produk Ikan Lele
5) Mengembangkan Pusat Pelayanan Kawasan (Sentra Minapolitan)
6) Mengembangkan Infrastruktur Dasar, Infrastruktur Perikanan, dan Wisata
7) Mengembangkan Sistem Kelembagaan minapolitan
8) Mengembangkan Pembiayaan minapolitan
8.2. Strategi dan Arah Kebijakan Pengembangan Minapolitan
Dengan memperhatikan isu dan permasalahan dan harapan, serta untuk mencapai visi
dan misi pengembangan kawasan Minapolitan di Kabupaten Bogor, maka berikut ini
adalah beberapa strategi dan arah kebijakan yang akan ditempuh dalam pengembangan
kawasan minapolitan.
8.2.1. Strategi Pengembangan Sentra Produksi Komoditi Unggulan
Strategi Pengembangan Sentra Produksi Komoditi Unggulan merupakan strategi yang
dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas komoditi unggulan, dalam hal ini
komoditi Ikan Lele sehingga produksinya dapat bersaing di pasaran, baik lokal maupun
luar daerah. Berikut ini adalah beberapa program yang dapat dilakukan dalam rangka
untuk mencapai strategi tersebut di atas, yaitu:
a. Program peningkatan kuantitas dan kualitas induk dan benih; Program ini didasari
atas dasar permasalahan dalam hal kualitas induk dan benih yang masih rendah,
sehingga program yang perlu dilakukan adalah pembentukan bank induk ikan air
tawar : pembenih dapat menyewa induk siap suntik dari bank induk dengan sistem
sewa, sehingga kualitas dan kuantitas induk dapat terkontrol. Bank induk memperoleh
keuntungan dari pembayaran sewa indukan.
b. Mengidentifikasi upaya upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan daya saing
lele minapolitan dengan peningkatan kualitas produksi dan pembentukan
merk/branding lele bogor dengan kualitas sebagai berikut: (i) bebas antibiotik;
(ii) bebas bau lumpur; (iii) dipelihara tanpa menggunakan kotoran, dan lain-lain.
Dengan demikian daya saing lele Bogor dapat meningkat dan mempermudah
pemasaran lele Bogor.
c. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia, latar belakang keluarnya
program ini adalah karena selama ini kualitas sumberdaya manusia yang bergerak
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
dalam kegiatan budidaya masih sangat rendah, sehingga perlu peningkatan
kapasitasnya dengan melakukan pendidikan dan pelatihan dalam kegiatan budidaya
perikanan.
d. Pembentukan pusat informasi budidaya yang didalamnya terdapat laboratorium
kualitas air, penyakit ikan, dan analisis proksimat pakan. Pusat pelatihan budidaya
dan pengolahan ikan, dan pusat data hasil perikanan minapolitan, pusat riset/test
farm budidaya untuk demplot teknologi dan komoditas terbaru budidaya.
8.2.2. Strategi Pengembangan Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi
Hasil identifikasi isu dan permasalahan aspek pemasaran adalah antara lain pasar
persaingan antar daerah, harga tidak bisa bersaing serta kurangnya diversifikasi pasar.
Persaingan harga dengan daerah lain merupakan permasalahan utama bagi para pelaku
usaha kegiatan budidaya lele, mereka harus bersaing dengan daerah-daerah lain untuk
menjual produk mereka ke Jakarta. Akar permasalahan dari persaingan harga ini adalah
tidak adanya pusat informasi yang akurat yang memberikan informasi harga di pasaran
kepada para petani ikan, sehingga petani ikan bisa melakukan strategi kapan mereka
memanen, dan kemana mereka akan menjual produksinya. Dengan melihat latar
belakang tersebut, maka program utama dalam menjawab strategi Pengembangan
Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi adalah :
a. Program Pengembangan Pusat Informasi Pasar
b. Program Pengembangan Sumberdaya manusia
8.2.3. Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan sebagai Kawasan Wisatamina
Pengembangan kawasan minapolitan tidak hanya terfokus pada kegiatan pengembangan
perikanan budidaya, tetapi juga ditunjang oleh kegiatan lain yang sinergis dengan
kegiatan perikanan budidaya, yaitu kegiatan wisatamina. Aktivitas program
pengembangan ini meliputi perencanaan paket wisata kawasan minapolitan yang
diarahkan pada edutourism (wisata pendidikan) dan wisata kuliner. Pakat wisata
pendidikan meliputi kegiatan budidaya (pembenihan dan pembesaran lele) sampai pada
kegiatan pengolahan lele baik ditingkat sentra pengolahan maupun industri rumah
tangga. Paket wisata kuliner ditujukan kepada pengunjung yang ingin menikmati hasil
olahan lele. Kegiatan pengembangan minawisata ini juga didukung dengan
pengembangan wisata perikanan lain yang berada di kawasan minapolitan. Berikut ini
adalah beberapa program yang dapat dijalankan yang berikaitan dengan Strategi
Pengembangan Kawasan Minapolitan Sebagai Kawasan Wisatamina:
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
a. Pembangunan dan peningkatan fasilitas umum pendukung kegiatan minawisata
b. Perencanaan dan pengembangan atraksi paket minawisata
c. Pembangunan dan pemeliharaan jalan wisata dan jalan produksi
d. Promosi paket minawisata
e. Pengembangan home industry pendukung kegiatan minawisata
8.2.4. Strategi Pengembangan Pengolahan Produk Ikan Lele
Strategi pengembangan pengolahan produk Ikan Lele diarahkan untuk meningkatkan
mutu dan kualitas serta deversifikasi produk komoditi unggulan yaitu Ikan Lele. Strategi
lainya adalah peningkatan daya saing produk lele minapolitan dengan peningkatan
kualitas produksi dan pembentukan merk/branding lele bogor dengan kualitas sebagai
berikut: (i) bebas antibiotik; (ii) bebas bau lumpur; (iii) dipelihara tanpa menggunakan
pakan limbah, dan lain-lain. Dengan demikian daya saing lele Bogor dapat meningkat
dan mempermudah pemasaran Lele Bogor.
Program-program yang dapat dilakukan dalam rangka untuk menjawab strategi
pengembangan pengolahan hasil budidaya lele adalah sebagai berikut
a. Program Pengembangan Industri Rumah Tangga
b. Program Pengembangan Industri Berbasis Sumber Daya Lokal
c. Program pengembangan produk olahan ikan dengan mengunakan lele sebagai
bahan substitusi.
8.2.5. Strategi Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (Sentra Minapolitan)
Dalam rangka untuk menjalan fungsi sebagai pusat pelayanan kawasan (minapolis) di
Kecamatan Ciseeng diperlukan beberapa program untuk mendukung strategi tersebut,
yaitu:
a. Program pengembangan sentra kawasan minapolitan lele, program ini meliputi
sentra perkantoran, training center, guest house, VIC, showroom, café dan
restoran serta fasilitas pendukung lainnya.
b. Program pengembangan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan, program
pengembangan kegiatan pendidikan dan pelatihan menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan informal mengenai bagaimana proses pembenihan yang baik,
proses kegiatan budidaya yang baik serta menyusun modul dan kurikulumnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
8.2.6. Strategi Pengembangan Infrastruktur Dasar Dan Infrastruktur Perikanan
Strategi pengembangan infrastuktur dasar dan infrastuktur perikanan adalah salah
strategi yang penting dalam pengembangan kegiatan minapolitan. Strategi ini adalah
strategi yang dapat mendukung strategi strategi lainnya, sehingga pengembangan
strategi ini tidak terlepas dengan strategi lainnya dalam pengembangan kawasan
minapolitan.
Beberapa program yang dapat dilakukan dalam rangka Pengembangan Infrastruktur
Dasar Dan Infrastruktur Perikanan adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan kualitas dan pelayanan sarana dan prasarana transportasi,
b. Peningkatan kualitas pelayanan jaringan irigasi, dan
c. Peningkatan Sarana Pelayanan Pendukung Kegiatan bisnis Perikanan.
8.2.7. Strategi Pengembangan Sistem Kelembagaan
Program pengembangan kelembagaan ditujukan sebagai pendukung pengembangan
kawasan minapolitan yang ditujukan baik pada penyusunan kelembagaan pengelola
sentra/kawasan minapolitan dan penguatan penguatan kelompok budidaya (pembenihan,
pembesaran), pengolah dan pemasaran. Program-program yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Penyusunan kelembagaan pengelola sentra/kawasan minapolitan
b. Penyusunan/penguatan kelompok pembudidaya ikan yang meliputi dua kelompok
besar yaitu (1) peningkatan efisiensi organisasi kelompok dan (2) peningkatan
kualitas anggota kelompok
8.2.8. Strategi Pengembangan Pembiayaan
Salah satu permasalahan dalam pengembangan kegiatan Minapoloitan bedasarkan hasil
FGD adalah permasalahan keterbasatan modal. Sehingga strategi ini sangat penting
untuk memecahkan permasalahan tersebut. Beberapa strategi yang dapat dilakukan
adalah pembentukan bank budidaya/koperasi budidaya : petani yang kesulitan input
produksi dapat meminjam input produksi dari bank budidaya yang berkoordinasi dengan
penjual input produksi dengan jaminan pembayaran sesudah panen (bank memiliki tim
survey untuk memastikan apakah petani benar-benar membutuhkan input produksi atau
tidak). Bank membantu pembiayaan namun untuk pengadaan barang tetap berasal dari
penjual input produksi. Bank memperoleh keuntungan berupa bunga (sistem bank
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
konvensional) atau bagi hasil (bank syariah). Untuk pembentukan bank ini dapat
bekerjasama dengan bank yang sudah ada.
8.3. Indikasi Program
Berdasarkan arahan dan strategi pengembangan program minapolitan, maka dapat
disusun table indikasi program yang perlu dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima)
tahunan. Indikasi program tersebut dapat terlihat pada Tabel 8.1.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 6 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Tabel 8.1. Indikasi Program Dalam Waktu 5 (lima) Tahunan
No. Jenis Kegiatan Tahun Kerja
I II III IV V
1 Program Pengembangan Budidaya Ikan Lele
a. Pengembangan bank induk (broodstock Center)
b. Pembangunan fisik laboratorium terpadu untuk analisis air, penyakit dan pakan
c. Penyediaan peralatan dan perlengkapan laboratorium terpadu
d. Pembangunan Test farm
2 Program Pengembangan Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi
a. Program Pengembangan Pusat Informasi Pasar
b. Program Pengembangan Sumberdaya manusia
3 Program Pengembangan Minawisata Lele a. Pembangunan dan peningkatan fasilitas umum pendukung kegiatan
minawisata
b. Perencanaan dan pengembangan atraksi paket minawisata
c. Pembangunan dan pemeliharaan jalan wisata dan jalan produksi
d. Promosi paket minawisata
e. Pengembangan home industry pendukung kegiatan minawisata
4 Program Pengembangan Pengolahan Hasil Budidaya Lele
a. Pembangunan fisik gedung pabrik
b. Pembangunan kolam penampungan bahan baku
c. Pembangunan unit pemanfaatan hasil sampingan kegiatan pengolahan (kebun hortikultura organik, pakan, kolagen)
d. Pembangunan fasilitas umum
e. Pengadaan peralatan pengolahan (mesin pengolah ikan)
f. Uji coba peralatan dan mesin produksi
g. Uji coba produksi dan pemasaran (skala terbatas)
h. Pengembangan pemasaran hasil produksi olahan ikan
5 Program Pengembangan Sentra Kawasan Minapolitan Lele
a. Pembangunan kantor
b. Pembangunan showroom, café dan restoran
c. Pembangunan training center
d. Pembangunan VIC
e. Pembangunan guest house
f. Pembangunan fasilitas umum (parkir area)
6 Program Pengembangan Infrastruktur Dasar Dan Infrastruktur Perikanan
a. Peningkatan kualitas dan pelayanan sarana dan prasarana transportasi
b. Peningkatan kualitas pelayanan jaringan irigasi, meliputi :
c. Peningkatan Sarana Pelayanan Pendukung Kegiatan bisnis Perikanan
7 Program Pengembangan Kelembagaan
a. Penyusunan kelembagaan pengelola sentra/kawasan minapolitan
b. Penyusunan/penguatan kelompok pembudidaya ikan, pengolah dan pemasaran
8 Strategi Pengembangan Pembiayaan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 7 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 8 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan VIII - 9 INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Potensi Budidaya
Lamp- 1
Lampiran 2. Peta Produksi
Lamp- 2
Lamp- 3
Lampiran 3. Sketsa Aliran Irigasi di Lokasi Irigasi
BCBTS
Aliran ke D I
BTP
5ki
BS
K8
ki
BTP
1
2) Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I
3) Petak Tersier TP1 ka; DI Sasak
Sawah
Kolam
Kolam
4) Petak Tersier SK 8 ki; DI Sasak
1) Petak Tersier TP5 ki; DI Sasak
Lampiran 4. Skema Daerah Irigasi
CB
TS1
KA
7H
a
CB
TS2
KA
13H
a
CB
TS3
KA
21H
a
CB
TS4
KA
15H
a
CB
TS5
KA
6H
a
CB
TS6
KA
6H
a
CB
TS7
KA
70H
a
CB
TS7
KI
90H
a
Panjang saluran: 1700 m Luas areal : 228 Haluran Keterangan :
SALURAN
KA
LI
Skema Daerah Irigasi Cibeuteung-1
Lamp-4
Keterangan : Luas areal : 1088 Ha Panjang saluran : 16991 m
BTP 5 Ki
BTP 10 Ki BTP 8 Ki
10 Ha 7 Ha
BTP 12 TG
6 Ha
BTP
1K
a
38H
a
BTP 4 Ka
6 Ha
BTP
2K
a
2H
a
BTP
3K
a
3H
a
BTP 6 Ka
10 Ha
BTP
7K
a
4H
a
BTP
9K
a
11H
a
BTP
11K
a
10H
a
BTP
12K
a
3H
a
SALURAN SEKUNDER BSK 3
24 Ha
Skema Daerah Irigasi Sasak, BSK3
Lamp-5
BSK 4 BSK 5 BSK 6 BSK 7 BKP 1 BKP 2 BKP 3 BKP 4 BKP 5
BSK 4 Ki
23 Ha
BSK 5 Ki
32 Ha
BSK 6 Ki
11 Ha
BKP 1 Ki
45 Ha
BKP 2 Ki
57 Ha
BKP 3 Ki
4 Ha
BKP 6 Ki BKP 8
7 Ha 7 Ha
BSK 8
158 Ha
BSKP 9
162 Ha
BSK 10
8 Ha
BSK 11
6 Ha
BSK 12
16 Ha
BSK 14
40 Ha
BKP 4 Ka
3 Ha
BKP 5 Ka
4 Ha
BKP 7 Ka
5 Ha
BKP 9 Ka
5 Ha
BCG 1 Ki
6 Ha
BCG 3 Ki
9 Ha
BCG 3 Ka
13 Ha
BCG 2 Ka
2 Ha
A
SALURAN INDUK SASAK
SALURAN SEKUNDER KURIPAN
KEC. CISEENG
Panjang saluran: 16991 m Luas areal: 1088 Ha Keterangan :
KEC. PARUNG
SALURAN SEKUNDER COGREG
Lamp-6
Skema Daerah Irigasi Sasak BSK4
BK
P 1
9 K
i
BK
P 1
0 K
i
BK
P 1
2 K
i
BK
P 1
3 K
i
BK
P 1
4 K
i
BK
P 1
6 K
i
50 H
a
14 H
a
15 H
a
29 H
a
5 H
a
4 H
a
BKP 19 TG
A
BK
P 1
0 K
a
37 H
a
BK
P 1
1 K
a
10 H
a
BK
P 1
5 K
a
25 H
a
BK
P 1
7 K
a
20 H
a
BK
P 1
8 K
a
25 H
a
77 Ha
Lamp-7
Skema Daerah Irigasi Sasak BSK4 (lanjutan)
Lamp-8
KALI ANGKE
BC
S 1
K
a
2 H
a L
/ dt
BC
S 8
K
17 H
a L
/ dt
BC
S 1
0 K
a
L
/ dt
BC
S2
Ki
25H
aL
/dt
BC
S4
Ki
25H
aL
/dt
BC
S3
Ki
3H
aL
/dt
BC
S 5
Ki
15 H
a L
/ dt
BC
S6
Ki
26H
aL
/dt
BC
S 7
Ki
32 H
a L
/ dt
BC
S 9
Ki
10 H
a L
/ dt
L / d
t
Ds. PENGASINAN KALONG PROPINSI BANTEN
Ds. Rw.
BC
S 1
0 t
e
Panjang saluran : 5800 m Luas areal : 1550 Ha Keterangan :
Ds. RAWA KALONG
SAL INDUK CURUG SERPONG
Skema Daerah Irigasi Curug Serpong
KECAMATAN GUNUNG SINDUR
Ds. CURUG
Ds. CURUG
SITU
Lampiran 5. Peta Sarana Prasarana
Lamp-9
Lampiran 6. Peta Obyek Wisata
Alternatif 1
Lamp-10
Alternatif 2
Lamp-11
Lampiran 7. Peta Potensi Budidaya
Lamp-12
Lamp-13
Lampiran 8. Peta Pola Keterkaitan Kawasan