Tugas 3
Filsafat Pemerintahan 01
O
L
E
H
Boris Amzarus
017425816
Universitas Terbuka
Tahun Pelajaran 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam dunia pendidikan, masyarakat umumnya seringkali menyamakan
jurusan Ilmu Pemerintahan dengan jurusan Ilmu Politik, hal ini terkait dengan kata
“Pemerintahan” yang memang sangat dekat dengan dunia “Politik”. Hal tersebut
membuat kerancuan pembahasan masing-masing disiplin ilmu. Apalagi jika
melihat sekilas pada pembahasan masing-masing ilmu yang objek utamanya
adalah negara, hal demikian juga membuat masing-masing disiplin ilmu dikatakan
serumpun, walaupun hakikatnya berbeda secara subpokok bahasan. Dalam tulisan
ini penulis akan menjelaskan secara detail mengenai definisi dari masing-masing
disiplin ilmu kenegaraan, persamaan dan perbedaan serta hubungan antara Ilmu
Pemerintahan dengan 3 disiplin ilmu kenegaraan lainnya yaitu Ilmu Politik, Ilmu
Administrasi Negara,dan Ilmu Hukum Tata Negara.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa perbedaan dan Persamaan Ilmu Pemerintahan dengan Ilmu Politik,
Ilmu Administrasi Negara, dan Ilmu Hukum Tata Negara?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui perbedaan Ilmu Pemerintahan dengan lmu Politik, Ilmu
Administrasi Negara, dan Ilmu Hukum Tata Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
1. Pancasila Sebagai Jatidiri Bangsa Indonesia
Kedudukan dan fungsi Pancasila harus dipahami sesuai dengan
konteksnya, misalnya Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia,
sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan
negara Indonesia. Seluruh kedudukan dan fungsi Pancasila itu bukanlah berdiri
secara sendiri-sendiri namun bilamana dikelompokan maka akan kembali pada
dua kedudukan dan fungsi Pancasila yaitu sebagai dasar filsafat negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia.
Pancasila pada hakikatnya adalah sistem nilai (value system) yang
merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa Indonesia sepanjang
sejarah, yang berakar dari unsur-unsur kebudayaan luar yang sesuai sehingga
secara keseluruhannya terpadu menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Hal itu bisa
dilihat dari proses terjadinya Pancasila yaitu melalui suatu proses yang disebut
kausa materialisme karena nilai-nilai dalam Pancasila sudah ada dan hidup sejak
jaman dulu yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan yang diyakini
kebenarannya itu menimbulkan tekad bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan
dalam sikap dan tingkah laku serta perbuatannya. Di sisi lain, pandangan itu
menjadi motor penggerak bagi tindakan dan perbuatan dalam mencapai tujuannya.
Dari pandangan inilah maka dapat diketahui cita-cita yang ingin dicapai bangsa,
gagasan kejiwaan apa saja yang akan coba diwujudkan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Satu pertanyaan yang sangat fundamental disadari sepenuhnya oleh para
pendiri negara Republik Indonesia adalah :”di atas dasar apakah negara
Indonesia didirikan” ketika mereka bersidang untuk pertama kali di lembaga
BPUPKI. Mereka menyadari bahwa makna hidup bagi bangsa Indonesia harus
ditemukan dalam budaya dan peradaban bangsa Indonesia sendiri yang
merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai yang dimiliki, diyakini
dan dihayati kebenarannya oleh masyarakat sepanjang masa dalam sejarah
perkembangan dan pertumbuhan bangsa sejak lahirnya.
Nilai-nilai itu adalah buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan dasar
bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap baik. Mereka menciptakan
tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian
bangsa yang memberi corak, watak dan ciri masyarakat dan bangsa Indonesia
yang membedakannya dengan masyarakat dan bangsa lainnya. Kenyataan yang
demikian itu merupakan suatu kenyataan objektif yang merupakan jatidiri bangsa
Indonesia.
Jadi nilai-nilai Pancasila itu diungkapkan dan dirumuskan dari sumber
nilai utama yaitu :
a. nilai-nilai yang bersifat fundamental, universal, mutlak, dan abadi dari
Tuhan Yang Maha Esa yang tercermin dalam inti kesamaan ajaran-ajaran
agama dalam kitab suci
b. nilai-nilai yang bersifat kolektif nasional yang merupakan intisari dari
nilai-nilai yang luhur budaya masyarkat (inti kesatuan adat-istiadat yang
baik) yang tersebar di seluruh nusantara.
2. Rumusan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu
sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Lazimnya sistem memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :
a. suatu kesatuan bagian-bagian
b. bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
c. saling berhubungan dan saling ketergantungan
d. kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan
sistem)
e. terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Pada hakikatnya setiap sila Pancasila merupakan suatu asas sendiri-
sendiri, fungsi sendiri-sendiri namun demikian secara keseluruhan adalah suatu
kesatuan yang sistematis dengan tujuan (bersama) suatu masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
3. Susunan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Bersifat Organis
Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan
peradaban, dalam arti, setiap sila merupakan unsur (bagian yang mutlak) dari
kesatuan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila merupakan suatu kesatuan yang
majemuk tunggal, dengan akibat setiap sila tidak dapat berdiri sendiri-sendiri
terlepas dari sila-sila lainnya. Di samping itu, di antara sila satu dan lainnya tidak
saling bertentangan.
Kesatuan sila-sila yang bersifat organis tersebut pada hakikatnya secara
filisofis bersumber pada hakikat dasar ontologis manusia sebagai pendukung dari
inti, isi dari sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia ”monopluralis” yang
memiliki unsur-unsur susunan kodrat jasmani-rohani, sifat kodrat individu-mahluk
sosial, dan kedudukan kodrat sebagai pribadi berdiri sendiri-mahluk Tuhan Yang
Maha Esa. Unsur-unsur itu merupakan suatu kesatuan yang bersifat organis
harmonis.
4. Susunan Kesatuan Yang Bersifat Hirarkhis Dan Berbentuk Piramidal.
Hirarkhis dan piramidal mempunyai pengertian yang sangat matematis
yang digunakan untuk menggambarkan hubungan sila-sila Pancasila dalam hal
urut-urutan luas (kuantiítas) dan juga dalam hal isi sifatnya. Susunan sila-sila
Pancasila menunjukkan suatu rangkaian tingkatan luas dan isi sifatnya dari sila-
sila sebelumnya atau diatasnya.
Dengan demikian, dasar susunan sila-sila Pancasila mempunyai ikatan
yang kuat pada setiap silanya sehingga secara keseluruhan Pancasila merupakan
suatu keseluruhan yang bulat. Oleh karena itu, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa menjadi basis dari sila-sila Pancasila berikutnya.
Secara ontologis hakikat Pancasila mendasarkan setiap silanya pada
landasan, yaitu : Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, dan Adil. Oleh karena itu, hakikat
itu harus selalu berkaitan dengan sifat dan hakikat negara Indonesia. Dengan
demikian maka, sila pertama adalah sifat dan keadaaan negara harus sesuai
dengan hakikat Tuhan; sila kedua sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan
hakikat manusia; sila ketiga sifat dan keadaan negara harus satu; sila keempat
adalah sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat rakyat; dan sila
kelima adalah sifat dan keadaan negara harus sesuai dengan hakikat adil. Contoh
rumusan Pancasila yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal adalah : sila
pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah meliputi dan menjiwai sila-sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Rumusan Hubungan Kesatuan Sila-Sila Pancasila Yang Saling Mengisi
Dan Saling Mengkualifikasi
Kesatuan sila-sila Pancasila yang majemuk tunggal, hirarkhis piramidal
juga memiliki sifat saling mengisi dan salng mengkualifikasi. Hal itu
dimaksudkan bahwa setiap sila terkandung nilai keempat sila lainnya, dengan kata
lain, dalam setiap sila Pancasila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.
Contoh rumusan kesatuan sila-sila Pancasila yang mengisi dan saling
mengkualifikasi adalah sebagai berikut : sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM
FILSAFAT
Apabila kita bicara tentang filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan,
yaitu filsafat sebagai metode dan filsafat sebagai suatu pandangan, keduanya
sangat berguna untuk memahami Pancasila. Di sisi lain, kesatuan sila-sila
Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat
formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar
epistemologi dan dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila.
Filsafat Pancasila adalah refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila
sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa dengan tujuan untuk
mendapatkan pokok-pokok pengertian secara mendasar dan menyeluruh.
Pembahasan filsafat dapat dilakukan secara deduktif (dengan mencari hakikat
Pancasila serta menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi
keutuhan pandangan yang komprehensif dan secara induktif (dengan mengamati
gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya dan menarik arti dan
makna yang hakiki dari gejala-gejala itu). Dengan demikian, filsafat Pancasila
akan mengungkapkan konsep-konsep kebenaran yang bukan saja ditujukan pada
bangsa Indonesia, melainkan bagi manusia pada umumnya.
1. Aspek Ontologis
Ontologi menurut Runes, adalah teori tentang adanya keberadaan atau
eksistensi. Sementara Aristoteles, menyebutnya sebagai ilmu yang
menyelidiki hakikat sesuatu dan disamakan artinya dengan metafisika. Jadi
ontologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki makna yang ada
(eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada, dan hakikat ada,
termasuk ada alam, manusia, metafisika dan kesemestaan atau kosmologi.
Dasar ontologi Pancasila adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
monopluralis, oleh karenanya disebut juga sebagai dasar antropologis.
Subyek pendukungnya adalah manusia, yakni : yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan pada hakikatnya adalah manusia. Hal yang sama juga berlaku
dalam konteks negara Indonesia, Pancasila adalah filsafat negara dan
pendukung pokok negara adalah rakyat (manusia).
2. Aspek Epistemologi
Epistemologi adalah bidang/cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat,
susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia
sebagai hasil pengalaman dan pemikiran, membentuk budaya. Bagaimana
manusia mengetahui bahwa ia tahu atau mengetahui bahwa sesuatu itu
pengetahuan menjadi penyelidikan epistemologi. Dengan kata lain, adalah
bidang/cabang yang menyelidiki makna dan nilai ilmu pengetahuan,
sumbernya, syarat-syarat dan proses terjadinya ilmu, termasuk semantik,
logika, matematika dan teori ilmu.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu
sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila menjadi
pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas
alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara tentang makna
hidup serta sebagai dasar bagi manusia Indonesia untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila dalam
pengertian seperti itu telah menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-
keyakinan (belief system) sehingga telah menjelma menjadi ideologi
(mengandung tiga unsur yaitu : 1. logos (rasionalitas atau penalaran), 2.
pathos (penghayatan), dan 3. ethos (kesusilaan).
3. Aspek Aksiologi
Aksiologi mempunyai arti nilai, manfaat, pikiran dan atau ilmu/teori.
Menurut Brameld, aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki :
a. tingkah laku moral, yang berwujud etika,
b. ekspresi etika, yang berwujud estetika atau seni dan keindahan,
c. sosio politik yang berwujud ideologi.
Kehidupan manusia sebagai mahluk subyek budaya, pencipta dan penegak
nilai, berarti manusia secara sadar mencari memilih dan melaksanakan
(menikmati) nilai. Jadi nilai merupakan fungsi rohani jasmani manusia.
Dengan demikian, aksiologi adalah cabang fisafat yang menyelidiki makna
nilai, sumber nilai, jenis nilai, tingkatan nilai dan hakikat nilai, termasuk
estetika, etika, ketuhanan dan agama.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikemukakan pula bahwa yang
mengandung nilai itu bukan hanya yang bersifat material saja tetapi juga
sesuatu yang bersifat nonmaterial/rokhaniah. Nilai-nilai material relatif
mudah diukur yaitu dengan menggunakan indra maupun alat pengukur
lainnya, sedangkan nilai rokhaniah alat ukurnya adalah hati nurani
manusia yang dibantu indra manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta
keyakinan manusia.
B. HUBUNGAN PANCASILA DENGAN ILMU PEMERINTAHAN
Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan
demokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme. Menurut
Friederich, negara modern yang melakukan proses pembaharuan demokrasi,
prinsip konstitusionalisme adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka
mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui undang-undang. Basis
pokok adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan Negara
(Assiddiqie, 2005). Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat
politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan
melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Dalam
hubungan ini sekali lagi kata kuncinya adalah consensus atau general agreement.
Menurut Kaelan (2013) bangsa Indonesia mengalami consensus setelah
disepakatinya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jika kesepakatan itu runtuh, maka
runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya
akan terjadi suatu perang sipil (civil war), atau dapat juga suatu revolusi. Hal ini
misalnya pernah terjadi pada tiga peristiwa besar dalam sejarah umat manusia,
yaitu revolusi Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia
pada tahun 1917, (Andrews dalam kaelan, 2013). adapun di Indonesia terjadi pada
tahun 1965 dan 1998 yaitu gerakan reformasi (Assiddiqie, 2005).
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme negara modern
pada proses reformasi untuk mewujudkan demokrasi, pada umumnya bersandar
pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu:
(1) Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama (the general goal of society
or general acceptance of the same philosophy of 44 government .
(2) Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan
atau penyelenggaraan negara (the basis of government). (3) Kesepakatan tentang
bentuk institusi-institusi dan prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and
procedures). (Andrews dalam kaelan, 2013).
Kesepakatan pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat
menentukan tegaknya konstitusi di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah
yang pada puncak abstraksinya memungkinkan untuk mencerminkan kesamaan-
kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup ditengah-tengah pluralisme atau kemajemukan. Oleh
karena itu, dalam kesepakatan untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka
kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita
bersama yang biasa juga disebut sebagai filsafat kenegaraan atau staatsidee (cita
negara), yang berfungsi sebagai philosofische grondslag dan common platforms
atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam konteks
kehidupan bernegara (Assiddiqie, 2005).
Bagi bangsa dan negara Indonesia, dasar filsafat dalam kehidupan bersama itu
adalah Pancasila. Pancasila sebagai core philosophy Negara Indonesia, sehingga
konsekuensinya merupakan esensi staatsfundamentalnorm bagi reformasi
konstitusionalisme. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam filsafat negara
tersebut, sebagai dasar filosofis ideologis untuk mewujudkan cita-cita negara,
baik dalam arti tujuan prinsip konstitusionalisme sebagai suatu negara hukum
formal, maupun empat cita-cita kenegaraan yang terkandung dalam Pembukaan
UUD 1945, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia (2) memajukan (meningkatkan) kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua, adalah suatu kesepakatan bahwa basis pemerintahan
didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan kedua ini juga bersifat
dasariah, karena menyangkut dasar-dasar dalam kehidupan penyelenggaraan
negara. Hal ini akan memberikan landasan bahwa dalam segala hal yang
dilakukan dalam penyelenggaraan negara, haruslah didasarkan pada prinsip rule
of the game, yang ditentukan secara bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk
prinsip ini adalah the rule of law (Dicey dalam kaelan, 2011). Dalam hubungan
ini hukum dipandang sebagai suatu kesatuan yang sistematis, yang di puncaknya
terdapat suatu pengertian mengenai hukum dasar, baik dalam arti naskah tertulis
atau Undang-Undang Dasar, maupun tidak tertulis atau convensi. Dalam
pengertian inilah maka dikenal istilah constitutional state yang merupakan salah
satu ciri negara demokrasi modern (Muhtaj dalam kaelan 2013).
Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (1) bangunan organ
negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, (2) hubungan-
hubungan antar organ negara itu satu sama lain, serta (3) hubungan antara organ-
organ negara itu dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan itulah maka
isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan
keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme
ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan negara
berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan itulah yang
dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan pegangan
bersama untuk kurun waktu yang cukup lama.
Namun demikian kesepakatan untuk mewujudkan suatu bangsa tersebut bagi
bangsa Indonesia terjadi dalam kurung waktu yang cukup lama, melalui suatu
proses sejarah. Setiap bangsa didunia termasuk bangsa Indonesia
senantiasamemiliki suatu cita-cita serta pandangan hidup yang merupakan suatu
basis nilai dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi oleh bangsa tersebut.
Bangsa yang hidup dalam suatu kawasan negara bukan terjadi secara kebetulan
melainkan melalui suatu perkembangan kausalitas, dan hal ini menurut Ernest
Renan dan Hans Khons sebagai suatu proses sejarah terbentuknya suatu bangsa,
sehingga unsur kesatuan atau nasionalisme suatu bangsa ditentukan juga oleh
sejarah terbentuknya bangsa tersebut.
Secara historis Pancasila adalah merupakan suatu pandangan hidup
bangsa yang nilai-nilainya sudah ada sebelum secara yuridis bangsa Indonesia
membentuk negara. Bangsa Indonesia secara historis ditakdirkan oleh Tuhan
YME, berkembang melalui suatu proses dan menemukan bentuknya sebagai suatu
bangsa dengan jati-dirinya sendiri. Menurut M. Yamin bahwa berdirinya negara
kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga tahap yaitu: pertama, zaman
Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (sejak 600) yang bercirikan kedatuan,
kedua negara kebangsaan zaman Majapahit (1293-1525) yang bercirikan
keprabuan.
Kedua fase kebangsaan Indonesia itu diistilahkan Yamin dengan kebangsaan
Indonesia lama. Kemudian ketiga, negara kebangsaan modern, yaitu negara
Indonesia yang merdeka (sekarang negara Proklamasi 17 Agustus 1945) (kaelan,
2013).
Secara kultural dasar-dasar pemikiran tentang Pancasila dan nilai-nilai Pancasila
berakar pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religius yang dimiliki oleh
bangsa Indonesia sendiri sebelum mendirikan negara (Notonagoro, 1975).
Adapun dalam proses pendirian negara, dengan diilhami pandangan-pandangan
dunia tentang kenegaraan disintesiskan secara eklektis, sehingga merupakan suatu
local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bangsa Indonesia. Nilai-
nilai Pancasila sebelum terbentuknya negara dan bangsa Indonesia pada dasarnya
terdapat secara sporadis dan fragmentaris dalam kebudayaan bangsa yang tersebar
di seluruh kepulauan nusantara baik pada abad kedua puluh maupun sebelumnya,
di mana masyarakat Indonesia telah mendapatkan kesempatan untuk
berkomunikasi dan berakulturasi dengan kebudayaan lain. Nilai-nilai tersebut
melalui para pendiri bangsa dan negara ini kemudian dikembangkan dan secara
yuridis disahkan sebagai suatu dasar negara, dan secara verbal tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Poespowardoyo, 1989).
Nilai-nilai kebudayaan dan nilai religius yang telah ada pada bangsa
Indonesia, kemudian dibahas dan dirumuskan oleh the founding fathers bangsa
Indonesia, yang kemudian disepakati dalam suatu konsensus sebagai dasar hidup
bersama dalam suatu negara Indonesia. Menurut Notonagoro nilai-nilai yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan suatu sebab bahan (kausa materialis),
adapun BPUPKI kemudian juga PPKI adalah sebagai lembaga yang membentuk
negara, yang juga dengan sendirinya yang menentukan Pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia, disebut sebab bentuk (kausa formalis) (Notonagoro,
1975). Dalam hubungan inilah menurut Andrews dalam Kaelan (2011),
bahwa tegaknya suatu negara modern harus dilandasi oleh suatu konsensus yang
tertuang dalam suatu cita-cita serta tujuan bersama dalam suatu landasan filosofis,
the general goal of siciety or general acceptance of the same philosophy of
government.
Dalam proses perumusan tentang cita-cita bersama yaitu dasar filosofi
negara Indonesia, diawali dengan dibentuknya BPUPKI dan pada awalnya
tercapai suatu konsesnsus yang disebut dengan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945,
yang dikenal dalam sejarah rumusan sila pertamanya berbunyi, “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Kemudian pada sidang PPKI 18 Agustus dilakukan suatu kesepakatan lagi,
sehingga menjadi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, maka Pancasila ditetapkan sebagai dasar
negara merupakan suatu hasil philosophical consesnsus
(konsesnsus filsafat), karena membahas dan menyepakati suatu dasar filsafat
negara, dan polotical consensus (konsensus politik).
C. IMPLEMENTASI ILMU PEMERINTAHAN DALAM SISTEM
NEGARA YANG BERIDEOLOGI PACASILA
Ada dua fungsi utama pancasila sebaga ideologi dalam masyarakat (Ramlan
Surbakti,1999). Pertama, sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara
bersama oleh masyarakat. Kedua, sebagai prosedur penyelesaian konflik yang
terjadi dimasyarakat. Dalam kaitannya dengan yang pertama,nilai dalam ideologi
itu menjadi cita-cita atau tujuan dari masyarakat. Tujuannya hidup bermasyarakat
adalah untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam ideologi tersebut. Adapun
dalam kaitannya yang kedua, nilai dalam ideologi itu nilai yang disepakati
bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu, serta nilai bersama
tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul
alam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Ideologi nasional mengandung makna ideologi yang memuat cita-cita
tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pancasila merupakan ideologi
yang terbuka, bukan ideologi tertutup. Pancasila memenuhi syarat sebagai
ideology terbuka karena:
(1) Nilai-nilai Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia sendiri.
(2) Nilai-nilai dari Pancasila tidak bersifat operasional dan langsung dapat
diterapkan dalam kehidupan.
Menurut Dr. Alfian, seorang ahli politik Indonesia, Pancasila memenuhi syarat
sebagai ideologi terbuka yang sifatnya luwes dan tahan terhadap perubahan zaman
karena di dalamnya memnuhi tiga dimensi ideologi, yaitu:
1) Dimensi Realitas
Nilai – nilai ideologi itu bersumber dari nilai-nilai yang riil hidup di dalam
masyarakat Indonesia. Kelima nilai dasar Pancasila itu kita temukan dalam
suasana atau pengalaman kehidupan masyarakat bangsa kita yang bersifat
kekluargaan, kegotong-royongan atau kebersamaan.
2) Dimensi Idealitas
Suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai
bidang kehidupan. Nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila
merupakan nilai-nilai yang di cita-citakan dan ingin diwujudkan.
3) Dimensi Fleksibilitas
Nilai dasar Pancasila adalah fleksibel karena dapat dikembangkan dan
disesuaikan dengan tuntutan perubahan.
2.5.3 Nilai– nilai Dasar yang Terkandung dalam Ideologi Pancasila
Adapun makna dari masing – masing nilai Pancasila adalah sebagai
berikut:
1. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung arti adanya pengkuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya
Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Nilai ini menyatakan bangsa Indonesia
adalah bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis.
2. Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
arti kesadaran sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral dalam
hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal
sebagaimana mastinya.
3. Nilai Persatuan Indonesia
mengandung makna usaha keras bersatu dalam kebulatan rakyat untuk
membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap
keanekaragaman yang dimiliki Indonesia.
4. Nilai Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan.
Berdasarkan nilai ini maka diakui paham demokrasi yang lebih mengutamakan
pengambilan keputusan melalui musyawarah mufakat.
5. Nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah maupun batiniah.
Berdasarkan pada nilai ini maka keadilan adalah nilai yang amat mendasar yang
diharapkan oleh seluruh bangsa.
Landasan dan makna pancasila sebagai ideologi bangsa
Ketetapan bangsa indonesia bahwa pancasila adalah ideologi bagi negara
dan bangsa Indonesia adalah sebagaimana yang tertuang dalam ketatapan MPR
No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978
tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila sebagao dasar negara.
Pada pasal 1 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa pancasila sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI yang
harys dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.
Banyak pihak telah sepakat bahwa pancasila sebagai ideologi nasional
merupakan titik temu, rujukan bersama,common platform,kesepakatan bersama
dan nilai integratif bagi bangsa indonesia. Kesepakatan bersama bahwa pancasila
adalah ideologi nasional inilah yang harus terus kita pertahankan dan tumnuh
kembangkan dalam kehidupan bangsa yang plural ini.
pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia memilki makna sebagai berikut :
1. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi cita-cita normatif
penyelenggaraan bernegara
2. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan nilai yang disepakati
bersama dan oleh krena itu menjadi salah satu sarana pemersatu (integrasi)
masyarakat Indonesia.
Implementasi pancasila sebagai ideologi nasional
Pancasila sebagai ideologi nasional yang berarti sebagai cita-cita
bernegara dan sarana yang mempersatukan masyarakat perlu perwujudan yang
konkret, dan operasional aplikatif sehingga tidak menjadi slogan belaka. Dalam
ketetapan MPR No. XVIII/MPR/1998 dinyatakan bahwa Pancasila perlu
diamalkan dalam bentuk pelaksanaan yang konsisten dalam kehidupan bernegara.
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa
Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma,
nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi
bangsa Indonesia.
2. Fungsi utama filsafat Pancasila bagi bangsa dan negara Indonesia yaitu:
a) Filasafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
b) Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
c) Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
3. Falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, hal tersebut dapat dibuktikan
dengan ditemukannya dalam beberapa dokumen historis dan di dalam perundang-undangan
negara Indonesia seperti di bawah ini :
a. Dalam Pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945.
b. Dalam Naskah Politik yang bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian
dijadikan naskah rancangan Pembukaan UUD 1945 (terkenal dengan sebutan Piagam
Jakarta).
c. Dalam naskah Pembukaan UUD Proklamasi 1945, alinea IV.
d. Dalam Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27
Desember 1945, alinea IV.
e. Dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus
1950.
f. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Syafiie, I. K. (2013). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama.