1/ 32
`
PENETAPAN
Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas adalah SDM yang memiliki daya saing dalam
menghadapi berbagai ancaman dan tantangan baik nasional maupun global serta memiliki
tingkat kesehatan, kecerdasan dan kepribadian atau karakter yang optimal.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai keadaan yang sempurna
baik fisik, mental maupun sosial tidak hanya terbebas dari penyakit atau
kelemahan/cacat. Sedangkan yang dimaksud dengan cerdas adalah kemampuan untuk
menggunakan daya ingat, pengetahuan, pengalaman, pemahaman, penalaran, imajinasi
dan penilaian untuk memecahkan masalah dan beradaptasi pada situasi baru1.
Upaya membangun SDM pada hakekatnya merupakan upaya terus menerus yang dilakukan
sepanjang siklus hidup. Upaya tersebut dimulai sejak awal kehidupan di dalam kandungan
sebagai janin; kemudian dilahirkan menjadi seorang bayi; tumbuh menjadi balita dan berlanjut
menjadi anak-anak; remaja, dewasa dan manusia usia lanjut. Janin berumur 9 bulan dalam
kandungan ibunya atau 36 - 40 minggu; bayi, usia 0 – 12 bulan; balita, kurang dari 5 tahun; usia
sekolah, antara 5 – 12 tahun; remaja, 12 – 18 tahun; dewasa, 18 tahun – 60 tahun; dan usia
lanjut di atas 60 tahun.
Sebagai tahapan siklus hidup yang paling awal, masa janin sampai usia 2 tahun memegang
peranan penting dan mendasar dalam pembangunan manusia. 1000 hari pertama kehidupan
(HPK) sering disebut sebagai windows of opportunities atau golden periode yang merupakan
masa kritis dan sensitif bagi kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan 1000 HPK adalah
masa selama 270 hari (9 bulan dalam kandungan) dan 730 hari (2 tahun pertama) pasca
kelahiran2. Pada masa tersebut, berbagai organ tubuh dibentuk.
Pada saat bayi baru lahir, pembentukan otak baru mencapai 25% dari otak orang dewasa.
Sel otak terus berkembang pesat dan mencapai 70-80% saat berusia 1 tahun sehingga masa ini
disebut periode lompatan pertumbuhan otak. Pertumbuhan sel otak terus berlanjut sampai
1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. “Pedoman Optimalisasi Potensi Kecerdasan Majemuk (Multiple
Intelligence) Pada Remaja”. Jakarta: Pusat Intelegensia Kesehatan 2 Endang L. Achadi, Periode Kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Dampak Jangka Panjang Terhadap Kesehatan dan
Fungsinya, Departemen Gizi Kesmas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 25 November 2014
POLICY PAPER:
PENGANEKARAGAMAN PANGAN DALAM UPAYA
MEWUJUDKAN SDM BERKUALITAS
[2]
bayi berusia 2 tahun hingga mencapai 90%, dan sisanya berkembang lebih melambat sampai
batas pertumbuhan maturasi atau kedewasaan otak. Selain perkembangan otak, pada 1000
HPK terjadi pula perkembangan indera penglihatan, indera pendengaran fungsi kognitif.
Proses perkembangan indera ini terus berlanjut dan menjadi permanen pasca usia 6 tahun.
Sedangkan proses pertumbuhan fungsi kecerdasan yang lebih kompleks terus berlanjut hingga
usia remaja3. (Gambaran pertumbuhan dan perkembangan otak dapat dilihat pada lampiran
1)
Penelitian yang dilakukan oleh Y. Kelly, Sacker, Gray, J. Kelly, Wolke and Quigley
menemukan gangguan perilaku dan fungsi kognitif pada anak usia 3 tahun yang ibunya
mengkonsumsi sedikit alkohol pada masa kehamilan4. Bahkan penelitian AK Knudsen, JC
Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen menunjukan konsumsi alkohol sebelum
kehamilan pun dapat menimbulkan gangguan perilaku pada anak yang dilahirkan meskipun
ibu telah berhenti mengkonsumsi sebelum kehamilannya5.
Dari uraian di atas dapat digambarkan bahwa proses pembentukan dan pemeliharaan
kesehatan, kecerdasan dan kepribadian/karakter dimulai sejak janin. Proses tersebut
berlanjut hingga remaja. Gangguan tumbuh kembang pada tahapan tersebut dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan fisik dan kecerdasan maupun perilaku yang tentunya
dapat menjadi penghambat dalam pembentukan SDM berkualitas.
Unicef (2019)6 menyatakan dunia saat ini menghadapi triple burden malnutrition yang
mengancam anak, remaja dan ibu hamil yakni: 1) kurang gizi yang mencakup stunting dan
wasting; 2) kelaparan terselubung (hidden hunger) yaitu tidak tercukupinya zat gizi; dan 3)
berat badan berlebih (over weight)
Dampak dari triple burden malnutrition yang dihadapi oleh anak dan remaja adalah: 1)
kurang gizi berdampak pada: a) hambatan pertumbuhan, infeksi dan kematian; b) rendahnya
fungsi kognitif, membaca dan prestasi sekolah; c) berpotensi mendapatkan penghasilan yang
rendah dikemudian hari; 2) tidak tercukupinya zat gizi berdampak pada: a) gangguan tumbuh
kembang; b) gangguan imunitas dan perkembangan jaringan; c) gangguan kesehatan dan
berisiko kematian; dan 3) berat badan berlebih termasuk obesitas berdampak pada: a) jangka
pendek: gangguan jantung dan pembuluh darah (cardiovascular), infeksi dan gangguan
kepercayaan diri; b) jangka panjang: obesitas, diabetes dan kelainan metabolic lainnya.
3 Thompson RA, Nelson CA. “Developmental Science and The Media: Early Brain Development”, The Amercan Psychologist 2001;
56: 5-15 pada Profil Kesehatan Inteligensia, Delapan Arah Mata Angin, 2016 4 Y Kelly, A Sacker, R Gray, J Kelly, D Wolke and M Quigley, 2008. “Alcohol – Light Drinking in Pregnancy, a Risk for Behavioural
Problems andCognitive Deficit at 3 Years of Age?”, International Journal of Epidemiology 2009; 38: 129-140, Oxford University
Press, October 2008 5 AK Knudsen, JC Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen, 2014. “Maternal Pre-Pregnancy Risk Drinking And Toddler
Behavior Problems: The Norwegian Mother and Child Cohort Study”, Eur Child Adolesc Psychiatry (2014) 23:901-911, Published
on line: 23 July 2014 6 Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A Changing
World”, New York, October 2019
[3]
Dampak dari triple burden malnutrition yang dihadapi oleh ibu hamil adalah: 1) kurang gizi
berdampak pada: a) komplikasi kehamilan; b) bayi lahir premature dan berat badan lahir
rendah; c) penyakit kronis bagi anak dikemudian hari; 2) tidak tercukupinya zat gizi
berdampak pada: a) kesakitan dan kematian ibu; b) kecacatan pada pelindung saraf bayi; c)
bayi lahir premature, berat badan lahir rendah dan gangguan perkembangan kognitif bayi; dan
3) berat badan berlebih termasuk obesitas yang berdampak pada: a) meningkatnya kadar gula
darah pada masa kehamilan (gestational diabetes); b) komplikasi kehamilan; c) obesitas dan
gangguan penyakit kronis pada bayi yang dilahirkan dikemudian hari. (Gambaran triple burden
malnutrition beserta dampaknya bagi anak, remaja dan ibu hamil dapat dilihat dalam lampiran
2)
WHO (2014)7 menyatakan bahwa stunting adalah salah satu hambatan paling signifikan
terhadap perkembangan manusia. Secara global, 162 juta anak di bawah umur 5 tahun
menderita stunting. Stunting didefinisikan sebagai terlalu pendeknya seorang anak untuk
usianya. WHO menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan stunting dalam bagan
berikut:
Sumber: World Health Organization, 2014. “Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of Nutrition for Health
and Development, Geneve, Switzerland
7 World Health Organization, 2014. “Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of Nutrition for Health
and Development, Geneve, Switzerland
[4]
Pada jangka pendek, stunting mengakibatkan: 1) meningkatnya angka kematian dan
kesakitan pada anak; 2) gangguan perkembangan fungsi kognitif, motorik dan bahasa/bicara;
3) meningkatnya pembiayaan kesehatan, dan pengeluaran biaya untuk perawatan anak yang
sakit (opportunity cost).
Sedangkan pada jangka panjang, stunting menimbulkan gangguan kesehatan antara lain: a)
tinggi badan yang tidak sesuai dengan umur pada saat dewasa; b) kegemukan; dan c) gangguan
kesehatan reproduksi. Akibat dari gangguan kesehatan ini menimbulkan: 1) gangguan pada
prestasi sekolah, kapasitas belajar, serta potensi optimal tidak tercapai; dan 2) gangguan pada
kapasitas dan produktifitas kerja.
Faktor penyebab terjadinya stunting antara lain: 1) faktor rumah tangga dan keluarga yang
terdiri dari faktor ibu dan lingkungan rumah; 2) faktor pemberian makanan tambahan yang
tidak teratur, tidak mencukupi maupun kualitas serta keamanan makanan dan minuman yang
tidak memadai; 3) faktor praktik menyusui antara lain inisiasi menyusui dini, ASI ekslusif yang
belum maksimal; 4) infeksi yang berulang yang dapat menimbulkan menurunnya napsu
makan anak.
Faktor ibu sebelum, selama kehamilan dan setelah melahirkan turut berkontribusi
terhadap terjadinya stunting pada anak, termasuk ukuran tubuh ibu yang pendek, jarak
kelahiran yang dekat serta kehamilan remaja.
Pada awalnya, obesitas merupakan masalah yang ditemukan di negara berpenghasilan
tinggi (high income countries). Namun saat ini berat badan berlebih dan obesitas berkembang
pesat dibanyak negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah (low and lower-middle
income countries) terutama di perkotaan. Angka berat badan berlebih dan obesitas terus
meningkat dari tahun 2000 – 2016. Proporsi berat badan berlebih pada anak umur 5 – 19 tahun
meningkat yang semula 1 berbanding 10 menjadi 1 berbanding 5. (Gambaran sebaran
persentase stunting dan berat badan berlebih pada anak umur dibawah 5 tahun di dunia dapat
dilihat pada lampiran 3)
Indonesia saat ini menghadapi triple malnutrition. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018
(Riskesdas 2018)8 melaporkan persentase balita yang mengalami stunting (tinggi
badan/umur) sebanyak 30,8%. Walaupun persentase stunting telah menurun (Riskesdas
2013: 37,2%) namun Riskesdas 2018 melaporkan masih ada 2 provinsi dengan persentase
stunting di atas 40% yakni Sulawesi Tengah dan NTT.
Hasil kajian status gizi balita Indonesia yang dilakukan pada Maret 2019 oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Pusat Statistik
8 Kementerian Kesehatan RI. 2019. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018”, Jakarta, Lembaga Penerbitan Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
[5]
menemukan persentase stunting saat ini telah mencapai 27,67%. Persentase ini masih
dikategorikan tinggi oleh Unicef/WHO dan Bank Dunia yang melaporkan rata-rata persentase
stunting secara global tahun 2018 sebesar 21,9%9. Dalam rangka mewujudkan SDM
berkualitas, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional menargetkan prevalensi stunting turun menjadi 19% pada tahun
202410.
Berkaitan dengan status gizi ibu yang berkontribusi pada terjadinya stunting, Riskesdas
2018 melaporkan 48,9% ibu hamil menderita anemia (kurang darah) dan 17,3% menderita
kurang energi kronis. Umumnya (84,6%) ibu hamil yang menderita kurang darah berusia
antara 15 -24 tahun.
Riskesdas 2018 juga melaporkan bahwa pada anak umur 0-59 bulan, gizi buruk (berat
badan/umur) ditemukan sebanyak 3,9%, sangat kurus (berat badan/tinggi badan) sebanyak
3,5%. Dilain sisi ditemukan anak umur 0-59 tahun yang gemuk/obesitas (berat badan/tinggi
badan) sebanyak 8,0%. Dilaporkan pula bahwa pada anak umur 5-12 tahun, gemuk (yaitu
indeks masa tubuh/umur) ditemukan sebanyak 10,8% dan obesitas sebanyak 9,2%. Prevalensi
gemuk meningkat pada anak umur 13-15 tahun sebanyak 11,2% namun menurun pada anak
umur 16-18 tahun sebanyak 9,5%. Tren yang sama terjadi pada kasus obesitas yang meningkat
pada anak umur 13-15 tahun sebanyak 4,8% dan menurun pada anak umur 16-18 tahun
sebanyak 4%. Baik berat badan berlebih maupun gemuk dan obesitas pada semua kelompok
umur ditemukan di perkotaan lebih banyak dari pada dipedasaan. (Gambaran status gizi ibu
hamil, neonatus dan balita dapat dilihat pada lampiran 4)
Dari uraian diatas, asupan gizi menjadi fokus utama terhadap terjadinya triple burden
malnutrition. Asupan gizi tidak hanya sekedar cukup namun juga harus seimbang. Ketidak
seimbangan asupan gizi menyebabkan hidden hunger.
Adapun yang dimaksud dengan kecukupan gizi adalah kecukupan zat gizi rata-rata setiap
hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik,
untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Sedangkan yang dimaksud dengan gizi
seimbang adalah susunan hidangan makanan sehari hendaknya terdiri atas berbagai ragam
bahan makanan yang berkualitas dalam jumlah dan proposi yang sesuai dengan aktivitas fisik,
umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologi tubuh, sehingga dan memenuhi kebutuhan gizi
seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal11.
9 Unicef/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrion Estimates, 2019. “Level and Trend in Child Malnutrition, Geneva:
World Health Organization 10 Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2019. “Rancangan
Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024” 11 Peraturan Menteri Kesehatan No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi
[6]
Dalam rangka memenuhi kecukupan dan keseimbangan gizi, maka diperlukan asupan zat
gizi yang beraneka ragam dan berasal dari berbagai sumber pangan. Adapun yang dimaksud
dengan Pangan menurut UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau
pembuatan makanan atau minuman12.
Sedangkan yang dimaksud dengan penganekaragaman pangan adalah upaya peningkatan
ketersediaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi
sumber daya lokal.
Riskesdas 2018 melaporkan hanya 46,6% dikonsumsi anak umur 6-23 bulan yang
mengkonsumsi makan yang beraneka raagam. Anak dikategorikan mengkonsumsi makanan
yang beraneka ragam bila memenuhi 7 kelompok makanan per hari. Ke 7 kelompok makanan
tersebut adalah: 1) serelia dan umbi-umbian; 2) kacang-kacangan; 3) susu dan olahannya
(yogurt, susu, keju dan lain-lain); 4) makanan daging (termasuk ikan, ayam, dagi, hati dan lain-
lain); 5) telur; 6) sayur dan buah sumber vitamin A; dan 7) sayur dan buah lainnya.
Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan zat gizi masyarakat perlu dilakukan
upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/atau fortisifikasi pangan tertentu. Untuk itu,
Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam menetapkan jenis dan jumlah zat gizi yang akan
ditambahkan serta jenis-jenis pangan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui pengayaan
dan/atau fortifikasi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 28
tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan13.
Berkaitan dengan amanat PP tersebut, diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 41
tentang Pedoman Gizi Seimbang14. Peraturan tersebut memperkenalkan “ISI PIRINGKU” yang
menganjurkan sajian sekali makan terdiri dari 50% buah dan sayur (setengah piring) dan 50%
sisanya terdiri dari karbohidrat (2/3 dari setengah piring), dan protein (1/3 dari setengah
piring). Selain itu, isi piringku juga menekankan pembatasan gula, garam dan lemak dalam
konsumsi sehari-hari, minum air putih dan senantiasa menjaga kebersihan dengan mencuci
tangan sebelum makan. Peraturan tersebut juga telah menuangkan kebutuhan zat gizi
menurut kelompok umur serta untuk ibu hamil maupun menyusui.
12 Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan 13 Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan 14 Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
[7]
RUMUSAN MASALAH
Indonesia membutuh SDM berkualitas yang berkualitas dan berdaya saing guna
menghadapi tantangan dan ancaman baik nasional maupun global. Upaya mewujudkan SDM
berkualitas perlu percepatan mengingat Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dalam
beberapa tahun kedepan. Akan tetapi, upaya mewujud SDM berkualitas ini menghadapi
kendala dengan masih rendahnya status gizi baik bayi dan balita serta ibu hamil maupun ibu
menyusui.
Asupan gizi sejak janin hingga remaja menjadi faktor determinan penting dalam
mewujudkan SDM berkualitas. Berkaitan dengan 1000 hari pertama kehidupan maka asupan
gizi bagi ibu hamil dan menyusui turut menjadi faktor determinan. Untuk itu diperlukan
berbagai intervensi baik intervensi terhadap faktor yang berkaitan dengan kesehatan
(intervensi gizi spesifik) maupun intervensi yang berkaitan dengan non kesehatan (intervensi
gizi sensitif).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah berkaitan untuk meningkatkan status gizi
masyarakat dengan diterbitkannya berbagai regulasi maupun implementasi program. Namun
diperlukan upaya lebih untuk percepatan pembentukan SDM unngul. Memperhatikan hal
tersebut di atas maka rumusan masalah dalam analisis ini adalah upaya terobosan apa yang
dapat dilakukan berkaitan dengan penganekaragaman pangan dalam rangka percepatan
terwujudnya SDM berkualitas.
Dari uraian di atas, kerangka konsep dari analisis ini dituangkan kedalam bagan berikut:
SDM UNGGUL
JANINBAYI ASI
EKSLUSIFBADUTA BALITA ANAK REMAJA DEWASA LANSIA
SIKLUS HIDUP
SIKLUS PEMBENTUK SDM UNGGUL
IBU HAMIL
• IBU
MENYUSUI
• BAYI
• IBU
MENYUSUI
• BAYI
• IBU
• BALITA• ANAK REMAJA DEWASA LANSIA
TARGET PENERIMA (BENEFICIARY)
KERANGKA KONSEP PENGANEKARAGAMAN PANGAN DALAM UPAYA MEMBANGUN SDM UNGGUL
EKONOMI
PENDIDIKAN
PERILAKU
BUDAYA
KELUARGA
KECUKUPAN GIZI SEIMBANG
PERUBAHAN PERILAKU
GIZI SENSITIF
AKSES DAN KEMAMPUAN
PENYEDIAAN PANGAN
GIZI SPESIFIK
ISI PIRINGKU
[8]
Berkenaan dengan policy paper yang berfokus pada penganeka ragaman pangan, maka
infeksi yang menjadi salah satu faktor penyebab stunting dalam bagan pertumbuhan dan
perkembangan stunting di atas, tidak menjadi pembahasan.
Dari bagan tersebut pula, terlihat faktor sosial dan masyarakat mempengaruhi terjadinya
stunting antara lain: 1) politik ekonomi; 2) pelayanan kesehatan; 3) pendidikan; 4) pertanian
dan sistem pangan; 5) air, sanitasi dan lingkungan.
Dari ke 5 faktor tersebut di atas, faktor politik ekomoni; faktor pendidikan; faktor pertanian
dan sistem pangan; faktor air, sanitasi dan lingkungan merupakan faktor-faktor yang
memerlukan intervensi gizi sensitive. Sedangkan faktor pelayanan kesehatan merupakan
faktor yang memerlukan gizi spesifik. Adapun yang dimaksud dengan intervensi gizi spesifik
adalah intervensi terhadap faktor penyebab langsung sedangkan intervensi gizi sensitive
adalah intervensi terhadap faktor penyebab tidak langsung15.
Berkaitan dengan policy paper ini intervensi gizi sensitive yang menjadi pembahasan
antara lain: 1) regulasi pemasaran yang menjadi bagian dari faktor politik ekonomi2)
pengetahuan kesehatan yang menjadi bagian dari faktor pendidikan; 3) norma dan keyakinan
serta pengasuhan anak (baik orang tua maupun bukan) yang menjadi bagian dari faktor
budaya dan masyarakat.
ANALISIS
Dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas, asupan gizi yang sesuai dengan karakteristik
pertumbuhan dan perkembangan setiap tahapan dari janin hingga remaja menentukan
kualitas fisik, mental dan emosional serta perilaku mereka. Untuk itu, perlu dipahami pola
konsumsi pangan anak hingga remaja beserta faktor yang mempengaruhinya. Unicef (2019)
memberikan kerangka kerja sistem pangan yang mempengaruhi konsumsi pangan anak dan
remaja sebagaimana tergambar dalam bagan sebagai berikut:
15 Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018. “Pedoman
Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota”
[9]
Sumber: Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A Changing
World”, New York, October 2019
Kerangka kerja di atas memperlihatkan beberapa faktor lingkungan personal (personal food
environment) yang mempengaruhi seorang anak dalam mendapatkan asupan pangannya
sehari-hari. Adapun Komponen kunci dari faktor lingkungan personal adalah: 1) aksesibilitas
(accessibility), kemampuan (affordability) dan selera (convenience).
Faktor lingkungan personal ini tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi dan mempengaruhi
faktor lingkungan eksternal (external food environment). Komponen kunci dari faktor
lingkungan eksternal adalah: 1) ketersediaan pangan (availability of food); 2) harga pangan
(price of food); 3) kualitas dan keamanan pangan (quality and safety of food); serta 4)
pemasaran maupun regulasi pangan (marketing and regulation of food).
Disamping itu, baik faktor lingkungan personal maupun faktor lingkungan eksternal
dipengaruhi oleh faktor rantai supply makanan (food supply chain) dan faktor perilaku
pengasuhan anak dan remaja (behaviours of caregivers, children and adolescents).
Komponen kunci dari faktor rantai supply makanan adalah: 1) produksi pangan (production
of food); 2) penyimpanan dan distribusi (storage and distribution); 3) prosesing dan
pengemasan (processing and packaging); serta 4) pengeceran dan pemasaran (retail and
markets). Sedangkan komponen kunci dari perilaku pengasuhan adalah: 1) karakteristik sosial
ekonomi (sosioeconomics characteristics); 2) dinamika dalam keluarga (intra household
dynamics); 3) penerimaan dan nafsu terhadap suatu makan (acceptability and desirability of
food); 4) penyiapan makanan dan pola makan (food preparation and eating patterns).
[10]
FAKTOR LINGKUNGAN PERSONAL (aksesibilitas; kemampuan; dan selera)
Sistem pangan dan kondisi demografi mempengaruhi individu mendapatkan supply
makanan. Sedangkan sosial dan budaya serta politik dan ekonomi mempengaruhi pola asuh
bagi individu.
Dilain sisi, inovasi dan teknologi mempengaruhi lingkungan eksternal individu dalam
memperoleh supply makanan. Biophysical dan lingkungan selama pola asuh mempengaruhi
penerimaan individu terhadap faktor lingkungan eksternal terhadap pola makannya.
Kerangka tersebut menggambarkan berbagai faktor determinat yang berkaitan dengan
konsumsi pangan anak dan remaja. Untuk itu, perlu digambarkan situasi konsumsi pangan
anak dan remaja di Indonesia untuk mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan faktor-
faktor determinat tersebut.
Secara kualitas, konsumsi pangan penduduk dinilai dengan menggunakan skor Pola Pangan
Harapan (PPH)16. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi
keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi baik
dari jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan pangan,
ekonomi, budaya dan agama. Skor PPH penduduk Indonesia pada tahun 2017 sebesar 90,4
dengan keseimbangan kelompok pangan sebagai berikut:
Sumber: Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan
Dari Skor PPH di atas, terlihat bahwa keanekaragaman konsumsi pangan penduduk
Indonesia masih belum ideal karena kurangnya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani,
buah/biji berminyak, kacang-kacangan, sayur dan buah serta keompok pangan lainnya. Dilain
sisi, konsumsi kelompok pangan padi-padian, minyak dan lemak sudah melebih anjuran dan
gula sudah dikonsumsi ideal.
Meskipun konsumsi kelompok padi-padian pada tahun 2018 sudah melebihi anjuran,
namun sesungguhnya telah terjadi penurunan konsumsi beras yang cukup signifikan dari 99,1
16 Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan
[11]
(tahun 2016) menjadi 95,4 (tahun 2017). Disisi lain konsumsi terigu meningkat sangat
signifikan dari 10,1 kg/kap/tahun (tahun 2013) menjadi 14,0 kg/kap/tahun (tahun 2017). Hal
ini sesuai dengan laporan Susenas 2018 bahwa pengeluaran per kapita per bulan untuk
konsumsi beras pada periode 2014-2018 mengalami penurunan sebesar 4,69% sedangkan
terigu mengalami peningkatan hingga 98,40%. Peningkatan pengeluaran juga terjadi untuk
konsumsi mie bakso (73,22%) dan mie instan (7,48%)17.
Indikator untuk menilai kebutuhan gizi secara kuantitas ditunjukan melalui volume
konsumsi pangan penduduk (gram/kap/hari atau kilogram/kap/tahun); konsumsi energi
penduduk (kkal/kap/hari); dan konsumsi protein penduduk (gram/kap/hari).
Perkembangan konsumsi pangan hewani menunjukan peningkatan yang cukup signifikan
untuk konsumsi ikan (19,5 kg/kapita/tahun (pada tahun 2013) menjadi 23,4 kg/kapita/tahun
(pada tahun 2017)). Dilain sisi, terjadi penurunan konsumsi susu serta sayur dan buah.
(Gambaran perkembangan konsumsi beras, pangan hewani serta sayur dan buah dapat dilihat
pada lampiran 5)
Hal ini sejalan Riskesdas 2018 yang melaporkan hanya 66,5% penduduk umur ≥ 3 tahun
yang mengkonsumsi sayur dan buah 1-2 porsi per hari dalam 1 minggu. Dilaporkan pula 10,7%
penduduk yang tidak makan sayur dan buah per hari dalam 1 minggu.
Dari uraian di atas, secara kualitas dan kuantitas terlihat bahwa konsumsi pangan
penduduk Indonesia belum tercukupi dan belum seimbang dangan kata lain,
penganekaragaman pangan untuk memenuhi asupan gizi masih belum optimal.
Tingkat ketersediaan pangan nasional untuk konsumsi diukur dalam satuan energi dan
protein. Angka Kecukupan Energi (AKE) pada tahun 2017 mencapai 2.147 kkal/kap/hari (kilo
kalori per kapita per hari) yang sudah melebihi AKE standar sebesar 2000 kkal/kap/hari.
Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) mencapai 61,45 gram/kap/hari yang juga
melebihi anjuran sebesar 52,0 gram/kap/hari. Meskipun secara makro ketersediaan pangan
nasional telah melebihi standar kecukupan energi dan protein, namun tidak menjamin
kecukupan konsumsi di tingkat rumah tangga dan individu.
Permasalahan utama dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional terkait dengan
pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaannya.
Peningkatan permintaan pangan terjadi sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk,
pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli masyarakat dan perubahan selera.
Kecukupan ketersediaan pangan selain memenuhi kebutuhan untuk diolah di dalam rumah
tangga juga untuk diolah di luar rumah tangga seperti hotel, restoran (dan penyedia
17 Badan Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia”, Sub Direktorat Statistik Rumah Tangga
[12]
makanan/minuma lainnya), jasa kesehatan (Rumah Sakit/Puskesmas dan lain sebagainya)
serta jasa lainnya (jasa transportasi, lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya).
Dilain sisi, pertumbuhan kapasitas produksi pangan nasional sangat lambat bahkan stagnan
akibat adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya lahan dan air serta pertumbuhan
produktifitas lahan dan tenaga kerja pertanian. Akibat dari ketidak seimbangan tersebut di
atas, terjadi kecenderungan peningkatan import guna mewujudkan stabilitas penyediaan
pangan nasional. (Gambaran Pemanfaatan Komoditas Pangan Di Rumah Tangga dan Di Luar
Rumah Tangga dapat dilihat dalam lampiran 6)
Ketahanan pangan nasional, dipengaruhi juga oleh proses distribusi pangan. Belum
memadainya sarana dan prasarana transportasi baik darat maupun antar pulau yang
menghubungkan produsen maupun konsumen menyebabkan kurang terjaminnya kelancaran
arus distribusi bahan pangan keseluruh wilayah nusantara. Ketidak lancaran ini menyebabkan
biaya distribusi meningkat.
Selain peningkatan biaya, ketidak lancaran pendistribusian pangan juga dapat menurunkan
kualitas pangan karena rusak atau susut akibat penyimpanan pangan (storage) yang tidak
memadai. Susutnya komoditas pangan dikenal dengan sebutan food loss. Food Sustainability
Index 2018, menempatkan food loss Indonesia pada ranking 45 dari 100 negara yang di survey.
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2013, 5,5% dari total produksi
pangan Indonesia mengalami susut18. Peningkatan biaya distribusi ditambah dengan susutnya
komoditas pangan memicu kenaikan harga yang berakibat pada penurunan daya beli
masyarakat.
Global Nutrition Report (2018)19 melaporkan terdapat sekitar 24% hingga 68% rumah
tangga yang tidak mampu memenuhi pangan bergizi bagi anggota keluarganya (Gambaran dari
proporsi rumah tangga yang tidak mampu memenuhi pangan bergizi dapat dilihat pada
lampiran 7). Ketidak mampuan masyarakat memenuhi pangan bergizi dapat berpengaruh
pada aksesibilitas (accessibility) dan kemampuan (affordability) anak dalam mendapatkan
makanan bergizi.
Terkait dengan hal tersebut, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa baik status gizi sangat
pendek maupun pendek pada anak umur 0-59 bulan tertinggi ditemukan pada keluarga yang
kepala rumah tangganya memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan petani/buruh tani)
Ketidak mampuan pemenuhan pangan bergizi akibat faktor ekonomi didukung dengan
laporan BPS (2018). Dilaporkan bahwa pada kelompok rumah tangga dengan pengeluaran
terkecil, lebih banyak menghabiskan pengeluarannya untuk kebutuhan makanan (61,50%)
18 The Economist Intelegence Unit, 2016. “Fixing Food: Toward A More Sustainability Food System”, Barilla Center For Food &
Nutrition 19 Developmen Initiatives Poverty Research Ltd, 2018. 2018 Global Nutrition Report: Shining a Light to Spur Action On
Nutrition, Bristol, UK
[13]
dibandingkan dengan kebutuhan non makanan (38,50%). Sedangkan pada kelompok rumah
tangga dengan pengeluaran terbesar (kelompok rumah tangga paling sejahtera), lebih banyak
menghabiskan pengeluarannya untuk kebutuhan non makanan (66,16%) dibandingkan untuk
kebutuhan makanan (33,84%). Hal ini sesuai dengan pendapat E. Engel (1857) cit. Badan
Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, yang dikenal dengan
hukum Engel yakni bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan
akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Pada penduduk yang tingkat konsumsi
makanannya sudah mencapai titik jenuh maka peningkatan pendapatan akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan non makanan atau ditabung.
Pangsa pengeluaran pangan tersebut di atas merupakan indikator dini yang mampu
menggambarkan derajat ketahanan pangan di rumah tangga. Semakin tinggi pangsa
pengeluaran pangan, ketahanan pangan rumah tangga semakin berkurang. Pangsa
pengeluaran pangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan memiliki pola yang berbeda.
Pengeluaran sebagian besar penduduk pedesaan dibelanjakan untuk makanan (56,28%)
sedangkan pengeluaran penduduk perkotaan dibelanjakan untuk makanan hanya sebesar
(45,98%).
BPS juga melaporkan perbedaan persentase pengeluaran per kapita per bulan bagi
penduduk pedesaan dan perkotaan menurut kelompok komoditas makanan. Persentase
pengeluaran per kapita per bulan penduduk perkotaan paling banyak dihabiskan untuk
komoditas makanan dan minuman jadi (38,22%). Sedangkan pengeluaran per kapita per bulan
penduduk pedesaan paling banyak dihabiskan untuk komoditas makanan selain makanan jadi,
rokok dan tembakau, padi-padian, ikan/udang/cumi/kerang, serta daging (31,66%). Dilain
sisi, pengeluaran per kapita per bulan baik penduduk perkotaan maupun pedesaan lebih
banyak dihabiskan untuk komoditas rokok dan tembakau dari pada untuk komoditas daging
maupun ikan. (Gambaran pengeluaran penduduk untuk komoditas pangan dan non pangan
dapat dilihat pada lampiran 8)
Faktor lingkungan personal dalam konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh perilaku selama
masa pengasuhan, anak hingga remaja. Pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan setelah
umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya
dapat mencegah stunting. Selain mencegah stunting, Unicef melaporkan bahwa pemberian ASI
hingga usia 2 tahun berdampak besar dalam mencegah kematian lebih dari 800,000 anak di
bawah 5 tahun di negara berkembang atau setara dengan 13% dari seluruh kematian (Lancet
2013)20. Pemberian ASI eksklusi menurunkan tingkat kematian bayi hingga 14 kali
dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif. Hal ini disebabkan karena ASI terbukti
20 United Nations Children’s Fund, 2015. “Breastfeeding”, World Breastfeeding Week 2015
[14]
menurunkan prevalensi infeksi saluran nafas dan diare – dua penyebab utama kematian pada
anak.
Bersama dengan WHO, Unicef merekomendasikan inisiasi menyusui dini pada satu jam
pertama kelahiran disamping pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Pemberian asupan
selain ASI pada bayi dibawah 6 bulan meningkatkan potensi terjadinya diare dan penyakit
infeksi lainnya. Pemberian air atau cairan lainnya menyebabkan menurunnya keinginan bayi
untuk menyusu. Setelah 6 bulan pemberian ASI dilanjutkan sampai 2 tahun atau lebih bersama
dengan pemberian makanan tambahan yang memenuhi kecukupan gizi.
Pemberian ASI secara eksklusif sejak dilahirkan selama enam bulan tanpa menambahkan
dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral)
telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang
Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif21.
Akan tetapi, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa proporsi Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
hanya sebesar 58,2%. 84,1% diantaranya dilakukan dalam 1 jam pertama kelahiran. Namun
demikian, dilaporkan 33,1 % bayi umur 0 – 11 bulan diberikan makanan prelakteal. Susu
formula merupakan makanan prelakteal terbanyak yang diberikan kepada bayi baru lahir
(81,4 %). Proporsi terbanyak dari bayi yang mendapatkan susu formula berasal dari keluarga
yang kepala rumah tangganya berpendidikan tamat D1/D2/D3 dan PT (85,7%) dengan
pekerjaan PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (85,7%).
Patrick dan Nicklas (2005)22 menyatakan hubungan antara pendidikan orang tua serta
pengetahuan terkait gizi pada orang tua mempengaruhi status gizi anak. Ketika anak mencapai
usia 3 atau 4 tahun, makan tidak lagi ‘didorong’ akan tetapi ‘dipengaruhi’ oleh lingkungan
sekitar yang bertanggung jawab pada asupan makanannya. Dengan demikian berbagai faktor
keluarga dan sosial mempengaruhi perilaku makan anak. Tingkat pendidikan orang tua
berhubungan erat dengan kesadaran pemilihan makanan sehat. Anak dengan orang tua
berpendidikan, lebih memilih makanan karbohidrat, protein, serat, folate, vitamin A, calcium,
tinggi konsumsi sayuran dan produk susu sesuai yang direkomendasikan. Ibu yang
berpendidikan berkaitan dengan peningkatan asupan gula pada anak pra sekolah dan lemak
pada remaja.
Berkaitan dengan keaneka ragaman pangan, Riskesdas 2018 melaporkan bahwa proporsi
anak umur 6-23 bulan yang mengkonsumsi makanan beragam (mengkonsumsi 4 atau lebih
dari 7 kelompok makanan) meningkat pada keluarga yang kepala rumah tangganya
21 Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif 22 Heather Patrick, PhD, Theresa A. Nicklas, DrPhD, 2005. “A Review of Family and Social Determinants of Children’s Eating
Patterns And Diet Quality, Journal of American College of Nutrition – May 2005, up loaded by Heather Patrick on
https://www.researchgate.net/publication/7938097 on 28 May 2014
[15]
berpendidikan S1/D2/D3 dan Perguruan Tinggi (57,9%). Proporsi tersebut menurun pada
anak yang berasal dari keluarga yang kepala rumah tangganya tidak pernah bersekolah
(41,9%). (Gambaran proporsi keaneka ragaman pangan yang dikonsumsi anak umur 6-23
bulan berdasarkan karakteristik pendidikan kepala rumah tangga dapat dilihat pada lampiran
9)
FAKTOR LINGKUNGAN EKSTERNAL (ketersediaan; harga; kualitas dan keamanan;
pemasaran dan regulasi)
Makan di luar rumah merupakan perilaku yang berkembang pesat di masyarakat
belakangan ini. Dengan perkembangan teknologi, perilaku makan di luar rumah bergeser
menjadi pemesanan makanan.
Rose Lavina, Corporate Affairs Food Ecosystem Gojek menyampaikan bahwa jumlah
pemesanan makanan/minuman melalui aplikasi Gofood hingga Agustus 2019 meningkat
sebesar 133% atau naik hingga lebih dari 2 kali lipat dibanding periode yang sama pada tahun
2018. Jenis makanan yang paling banyak dipesan hingga Agustus 2019 adalah yang berbahan
dasar ayam dan burger dengan cita rasa local. Sedangkan untuk minuman manis yang menjadi
favorit seperti brown sugar, oat drinks, regal drinks dan boba23.
Terkait dengan pergeseran perilaku makan tersebut Riskesdas 2018 melaporkan perilaku
konsumsi makanan penduduk umur ≥ 3 tahun. 61,7% mengkonsumsi minuman manis ≥ 1 kali
per hari dan 77,6% mengkonsumsi makanan dengan penyedap ≥ 1 kali per hari. (Gambaran
dari perilaku konsumsi makanan tersebut dapat di lihat pada lampiran 10).
Faktor lingkungan eksternal sangat berpengaruh ketika anak masuk lingkungan sekolah.
Hasil Global School Health Survey yang dilaksanakan pada tahun 2015, menemukan perilaku
konsumsi makanan yang berisiko terhadap kesehatan pada siswa SMP dan SMA. Beberapa
perilaku berisiko tersebut adalah: 1) kurang konsumsi sayur dan buah (pada siswa laki-laki:
77,8%; dan siswa perempuan: 78,9%); 2) konsumsi minuman bersoda 1x per hari (pada siswa
laki-laki: 66,5%; dan siswa perempuan: 58,2%); dan 3) konsumsi makanan siap saji 1x per hari
(pada siswa laki-laki: 51,6%; dan siswa perempuan: 54,2%)24.
Unicef (2019) menyampaikan bahwa keluarga dengan ekonomi kurang cenderung memilih
makanan dengan kualitas rendah karena harganya lebih murah. Anak dari kalangan keluarga
ini berisiko besar menderita berbagai kondisi malnutrisi. Namun demikian, pada keluarga
23 Antara, Yayuk Widiyarti, 2019. “Jenis Makanan Yang Paling Banyak Dipesan Via Ojol, Dominasi Ayam”, Tempo.co
https://gaya.tempo.co/read/1255969/jenis:makanan-yang-paling-banyak-dipesan-via-ojol-dominasi-ayam/full?view-ok,
dipublikasikan pada 4 Oktober 2019 24 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. “Perilaku Berisiko Kesehatan Pada Pelajar SMP dan SMA”. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes RI, Jakarta
[16]
dengan ekonomi cukup baik diperkotaan maupun pedesaan tidak hanya membelanjakan
uangnya untuk makanan sehat tapi juga makanan yang tidak sehat.
Industri makanan dan minuman berpengaruh besar bagi status gizi masyarakat. Dengan
meningkatnya ekonomi, terjadi peningkatan permintaan makanan dan minuman kemasan.
Global Access to Nutrition Index 2018 melaporkan bahwa hanya 14% dari produk kemasan
yang sesuai dengan pedoman WHO wilayah Eropa untuk dipasarkan kepada anak. Tidak ada
satupun produk industri makanan dan minuman yang memenuhi lebih dari 50% standard
kesehatan bagi anak. Global Access to Nutrition Index 2018 merekomendasikan agar industri
makanan yang tidak memenuhi standar WHO untuk dihentikan memasarkan produknya
kepada anak baik off maupun on-line. Rekomendasi disampaikan juga kepada pemerintah
untuk menetapkan labeling pada produk kemasan terutama makanan untuk anak atau yang
dianggap dapat dikonsumsi anak.
Budaya mempengaruhi konsumsi pangan. Nasi merupakan salah satu makanan pokok yang
dikenal di dunia selain jagung, gandum, umbian-umbian25. 19,5% penduduk dunia
mengkonsumsi jagung sedang akan nasi 16,5% dan gandum 15%. Nasi sebagai makanan pokok
bangsa-bangsa di Asia Tenggara sejak ribuan tahun yang lalu. Sehingga sudah menjadi budaya
bagi masyarakat Indonesia “Belum Makan Nasi - Belum Makan”.
Berbagai budaya di tanah air lainnya mempengaruhi pemilihan serta selera makan seperti
suku Minangkabau yang cenderung mengkonsumsi santan, suku Sunda yang cenderung
mengkonsumsi sayur-sayuran sebagai lalap dan lain sebagainya.
Budaya lain yang berkembang dalam masyarakat adalah budaya patriaki dimana porsi
makanan terbesar diperuntukan bagi “Bapak” yang menomor duakan porsi makan anak, ibu
hamil maupun menyusui.
Dari uraian di atas, terlihat banyaknya faktor determinan yang mempengruhi
penganekaragaman pangan dalam upaya mewujudkan SDM berkualitas. Konsekuesi dan risiko
dari permasalahan yang muncul dapat berakibat jangka panjang. Pemerintah telah melakukan
berbagai upaya melalui penerbitan berbagai regulasi maupun program untuk menangani
masalah gizi.
Salah satu regulasi yang telah diterbitkan adalah Peraturan Presiden RI no. 42 tahun 2013
tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan sasaran prioritas pada 1000 hari
pertama kehidupan26. Adapun sasaran dari gerakan nasional ini janin, baduta, ibu hamil dan
ibu menyusui.
25 Pariona, Ameber, 2019. “What Are The World’s Most Important Staple Foods” World Atlas, 7 June 2019,
worldatlas.com/articles/most-important-staple-foods-in-the-world.html 26 Peraturan Presiden RI No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
[17]
Bappenas juga telah menyusun Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting
Terintegrasi di Kabupaten/Kota dan menetapkan Kerangka Konseptual Intervensi Penurunan
Stunting Terintegrasi. (Gambaran kerangka konseptual intervensi penurunan stunting
terintegrasi dapat dilihat pada lampiran 11).
Intervensi gizi spesifik di arahkan pada kelompok sasaran 1000 HPK (ibu hamil, ibu
menyusui dan anak umur 0-23 bulan) dan kelompok remaja putri dan wanita usia subur serta
anak umur 24-59 bulan. Adapun keluaran (out put) yang ditargetkan dari intervensi gizi
spesifik ini adalah: 1) konsumsi gizi; 2) pola asuh; 3) pelayanan kesehatan; dan 4) kesehatan
lingkungan. Hasil antara (intermediate out come): 1) perbaikan asupan gizi (dengan indikator
penurunan prevalensi anemia, berat badan lahir rendah (BBRL), diare, kecacingan, gizi buruk
dan peningkatan pemberian ASI eksklusif).
Sedangkan jenis intervensi gizi sensitive diarahkan pada: 1) peningkatan penyediaan air
minum dan sanitasi; 2) peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; 3)
peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan dan gizi ibu dan anak; dan 4)
peningkatan akses pangan bergizi. (Gambaran matriks intervensi gizi spesifik dan intervensi
gizi sensitive percepatan penurunan stunting dapat dilihat pada lampiran 12 dan lampiran 13).
Dinyatakan bahwa intervesi gizi sensitive yang melibatkan berbagai pemangku
kepentingan memberikan kontribusi 70% terhadap keberhasilan program perbaikan gizi
sedangkan intervensi gizi spesifik hanya memberikan kontribusi sebesar 30%. Dengan
demikian, berbagai upaya penggerakan berbagai pihak sangat diperlukan dalam penganeka
ragaman pangan dalam rangka mewujudkan SDM berkualitas.
Namun implementasi dari berbagai regulasi tersebut maupun evaluasi dan monitoring
sampai ketingkat masyarakat perlu mendapat perhatian. Gambaran implementasi dari
berbagai regulasi maupun program yang telah diluncurkan kepada masyarakat dapat dilihat
dari hasil assessment lapangan berikut:
[18]
Hasil Assessment Lapangan Kabupaten Sukoharjo
Sukoharjo merupakan kabupaten terkecil di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki 12 kecamatan.
Berdasarkan data dukcapil tahun 2018, persentase kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 21,9%.
AKI sebesar 31,87/100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 5,65/1000 kelahiran hidup. Sebagian
besar dari kematian bayi disebabkan oleh BBLR. Kondisi ibu dengan bayi BBLR karena ibu
melahirkan pre term dengan komplikasi pre eklamsi. Prevalensi stunting 31,3% menurut Riskesdas
2018.
Aspek regulasi.
1) Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi telah
diturunkan menjadi Peraturan Gubernur No. 34 Tahun 2019 tentang Percepatan Pencegahan
Stunting di Provinsi Jawa Tengah namun belum diturunkan kedalam Peraturan Bupati
Kabupaten;
2) Telah diterbitkan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi tahun 2017-2021 yang dituangkan
kedalam Peraturan Bupati No. 30 tahun 2018. Rencana aksi ini bersifat umum dan tidak terfokus
menyasar pada kelompok 1000 HPK.
3) Telah diterbitkan Peraturan Bupati Sukoharjo No. 26 tahun 2018 tentang Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat Kabupaten Sukoharjo.
4) Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014, baru sebatas sosialisasi di Posyandu serta kelas
ibu hamil.
Aspek pembiayaan.
1) Melalui APBD telah dianggarkan: a) pemberian makanan tambahan Rp. 200.000,- per bulan
untuk 278 posyandu; b) Kelompok Wanita Tani (KWT) yang turut melakukan pembinaan
penganekaragaman pangan sebesar Rp. 30.000.000,- per desa per tahun; c) Dana operasional
untuk kader sebesar Rp. 50.000,- per orang per bulan. Ditemukan jumlah anggaran tidak
memenuhi jumlah kader.
2) Perilaku jajan meningkatkan pengeluaran rumah tangga untuk makan di luar rumah; rokok
menyita anggaran rumah tangga adalah untuk membeli rokok.
Aspek teknis.
1) Tenaga kesehatan dan kader sulit menyampaikan pesan pedoman gizi seimbang kepada
masyarakat karena penggunaan jumlah maupun ukuran porsi makanan berupa milligram
ataupun potong ataupun mangkuk.
Aspek SDM.
1) Peran kader sangat besar dalam mendorong peningkatan status gizi anak dan balita karena
jumlah tenaga gizi Puskesmas yang terbatas;
2) Peran serta aktif Organisasi Perangkat Daerah mulai dari perencanaan yang mengintegrasikan
berbagai program sangat menentukan keberhasilan implementasi program-program kesehatan
Inovasi lokal
Aspek Pembiayaan.
1) Ditemukan kecamatan yang mendanai kekurangan anggaran kader melalui dana desa;
2) Pemberdayaan masyarakat sebagai filantropi dalam mendukung penganeka ragaman pangan
antara lain menyumbang susu kedelai dalam kegiatan olah raga di kecamatan setiap hari Jumat
Aspek teknis. Melakukan penyuluhan “isi piringku” dengan menggambarkan kebutuhan konsumsi
pangan menurut kelompok umur dengan ukuran persentase volume piring yakni:
1) Untuk anak umur 6-23 bulan: karbohidrat sebanyak 35% dari isi piring; sayur dan buah
sebanyak 25%; protein 30%; dan sisanya kacang-kacangan 10%;
2) Untuk anak umur 2-5 tahun: karbohidrat sebanyak 35% dari isi piring; sayur dan buah
sebanyak 30%; protein 35%;
Aspek SDM. Di Kabupaten Sukoharjo dikenal program “GoYandu’ dimana kader mendatangi rumah
ke rumah guna menjaring balita yang tidak hadir di posyandu. Dengan program ini D/S Kabupaten
Sukoharjo tahun 2018 dapat mencapai 88,1%.
[19]
Berbagai regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat telah ditindak lanjuti di tingkat
Provinsi dan Kabupaten. Meskipun ditemukan adanya Peraturan Gubernur yang belum
diturunkan ke dalam Peraturan Bupati, namun telah diterbitkan berbagai regulasi dan telah
dilaksanakannya program-program yang mendukung upaya-upaya perbaikan gizi antara lain
Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi tahun 2017-2021 maupun Gerakan Masyarakat Hidup
Sehat. Akan tetapi berbagai peraturan dan program tersebut tidak secara spesifik menyasar
kepada 1000 HPK.
Kebijakan Bupati dalam mendukung upaya perbaikan gizi terlihat dari berbagai
pengalokasian anggaran APBD yang digunakan untuk pemberian makanan tambahan,
pebinaan penganekaragaman pangan termasuk untuk dana operasional kader. Anggaran
operasional kader sebesar Rp. 50.000,- per orang per bulan tidak mencakup seluruh kader.
Untuk mencukupinya, diserahkan kepada kebijakan Camat setempat.
Ditemukan Kecamatan yang membagi anggaran dari APBD Kabupaten sebanyak kader yang
ada. Dengan demikian, setiap kader menerima dana operasional meskipun tidak Rp. 50.000,-
per orang per bulan. Sedangkan di Kecamatan lain, dana operasional diberikan tetap Rp.
50.000,- per orang dan kekurangan anggaran untuk kader yang lain ditutupi dari Dana Desa.
Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan tersebut telah merencanakan kebutuhan dana
operasional bagi kader sejak Musyawarah Perencanaan Pembangunan di tingkat Desa.
Kebijakan penggunaan Dana Desa disepakati oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di
kecamatan maupun kelurahan karena dirasa pemberian dana operasional bagi kader sangat
penting mengingat peran kader yang besar yang dapat menjangkau langsung kepada
masyarakat.
Jumlah kader di Kabupaten Sukoharjo cukup banyak. Tingginya partisipasi masyarakat
untuk menjadi kader dilandasi oleh keyakinan spiritual. Sebagai contoh Puskesmas Bendosari
dengan 14 Desa memiliki 542 kader. Hal ini pula yang menumbuhkan inovasi “Go Yandu”
dimana kader mendatangi rumah-rumah baduta dan balita bila tidak hadir di Posyandu.
Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tentang Pedoman Gizi Seimbang baru
sebatas sosialisasi di Posyandu dan kelas ibu hamil. Tenaga kesehatan menemukan kesulitan
berkaitan sosialisasi Peraturan Menteri Kesehatan tersebut.
Pedoman Gizi Seimbang merupakan dokumen yang tidak memberikan self explanation
(menjelaskan dengan sendirinya) pada pembacanya. Ukuran – ukuran pangan yang harus
dikonsumsi sulit untuk diterapkan oleh masyarakat awam dalam kesehariannya. Hal ini
mendasari berbagai inovasi di lapangan antar lain memberikan gambaran persentase
makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah yang dianjurkan dalam “isi piringku” sesuai
golongan umur untuk memudahkan menjelaskan kepada masyarakat (Gambaran persentase
[20]
makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah sesuai dengan golongan umur sebagai inovasi di lapangan
dapat dilihat dalam lampiran 14).
Kesulitan lain yang ditemukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan sosialisasi
Pedoman Gizi Seimbang adalah ‘kelaziman’ dalam pola makan masyarakat sehari-hari yang
mengkonsumsi nasi dengan kentang sebagai ‘sayur’ atau dengan mie goreng sebagai lauk
pauknya. Kelaziman lain yang ditemukan adalah mengkonsumsi minuman manis pada saat
makan.
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi makanan yang
beraneka ragam memerlukan tenaga yang kompeten. Tenaga ahli gizi sangat terbatas
jumlahnya. Kader adalah tenaga yang berpotensi untuk dapat mencapai sasaran ibu hamil,
menyusui, bayi, baduta hingga balita sampai kepedesaan. Namun minat untuk menjadi kader
diberbagai wilayah menurun. Untuk itu diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan minat
masyarakat untuk menjadi kader.
Assessment lapangan memberikan gambaran pentingnya pelibatan seluruh pemangku
kepentingan. Inovasi yang dilakukan di salah satu kecamatan yang menggunakan dana desa
untuk operasional kader merupakan inovasi yang bersifat sementara. Inovasi tersebut dapat
dilaksanakan karena adanya faktor leadership dari organisasi perangkat daerah (OPD)
setempat. Agar penggunaan dana desa untuk operasional kader dapat lebih disebar luaskan
(wide spread) ke wilayah lain dan berkelanjutan (sustained) dibutuhkan penetapan kebijakan
tersebut ke dalam bentuk regulasi.
Disis lain, ditemukan bahwa partisipasi masyarakat untuk menjadi kader yang didasari oleh
keyakinan spiritual bkan semata karena adanya bantuan dana operasional. Hal ini merupakan
sosial kapital yang harus terus dijaga dan ditumbuhkan kepada generasi selanjutnya. Untuk
itu, diperlukan berbagai kebijakan untuk menggali dan membangun sosial kapital di wilayah
lain guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai pembangunan termasuk
pembangunan kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang,
memperkenalkan masyarakat dengan tumpeng gizi seimbang dan isi piringku sebagai sajian
sekali makan. Tidak hanya terfokus pada konsumsi makanan namun tumpeng gizi seimbang
juga memberikan pedoman untuk hidup sehat lainnya antara lain mencuci tangan, melakukan
aktifitas fisik dan menimbang berat badan secara teratur. Tumpeng gizi seimbang ini sangat
baik karena mengedepankan ciri khas Indonesia yang mengangkat budaya lokal yakni
‘tumpeng’.
[21]
Peraturan Menteri Kesehatan tersebut, menjelaskan bahwa prinsip dari gizi seimbang
terdiri dari 4 (empat) pilar yang pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk
menyeimbangkan antara zat gizi yang dikonsumsi dan zat gizi yang dikeluarkan dengan
memantau berat badan secara teratur. Ke 4 pilar tersebut adalah: 1) mengkonsumsi aneka
ragam pangan; 2) membiasakan perilaku hidup bersih; 3) melakukan aktifitas fisik; dan 4)
memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal. Ke 4 pilar
ini divisualisasikan sebagai berikut:
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
Tumpeng gizi seimbang ini tediri dari 4 lapis berurutan dari bawah ke atas. Semakin ke atas
ukuran tumpeng semakin kecil berarti pangan yang berada pada lapis teratas perlu dibatasi
konsumsinya yakni gula, garam dan minyak.
Isi piringku merupakan visualisasi sajian sekali makan yang memberikan porsi konsumsi
sayur dan buah lebih banyak dari konsumsi karbohidrat dan protein sebagai berikut:
[22]
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
Selain memvisualiasikan tumpeng gizi seimbang maupun isi piringku, Pedoman Gizi
Seimbang memberikan anjuran jumlah porsi yang harus dikonsumsi menurut kecukupan
energi berdasarkan kelompok umur serta jumlah porsi untuk ibu hamil dan menyusui.
Akan tetapi, jika dibandingkan antara proporsi tumpeng gizi seimbang dengan proporsi isi
piringku, terlihat ketidak konsistenan satu sama lain. Dalam tumpeng gizi seimbang proporsi
makanan pokok terletak didasar tumpeng dengan pengertian sebagai ragam pangan yang
harus dikonsumsi terbanyak. Sedangkan dalam isi piringku, sebagai sajian sekali makan
terlihat proporsi karbohidrat dengan sayuran dianjurkan sama banyak. Dengan demikian bila
tumpeng gizi seimbang dijadikan acuan maka menjadi pertanyaan dan menimbulkan persepsi
bahwa masyarakat perlu memenuhi kebutuhan karbohidratnya diluar mengkonsumsi sajian
sekali makan sesuai anjuran isi piringku.
Healthy Eating Pyramid yang disusun oleh Australia Nutrition27 memberikan gambaran
yang berbeda. Healthy eating pyramid menempatkan sayur dan buah serta kacang-kacangan
pada dasar piramid, sedangkan gandum, beras, termasuk pasta sebagai kelompok makanan
pokok pada tingkatan kedua. Meski berada dalam 1 tingkat, sayur digambarkan terpisah dari
buah dengan proporsi sayur lebih banyak dari buah.
Disamping itu, digambarkan pula susu dan produknya ditempatkan pada tingkat yang sama
dengan kelompok pangan daging, ikan, dan produk unggas sebagai kelompok protein di atas
kelompok makanan pokok. Meskipun demikian, susu dan produknya ditempatkan dalam
kelompok tersendiri dengan proporsi sama banyak dengan kelompok protein lainnya.
Gambaran lain dari healthy eating pyramid adalah memberikan anjuran penggunaan herbal
27 Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org
[23]
dan rempah-rempah. Gambaran lengkap Healthy Eating Pyramid dapat dilihat dalam bagan
berikut:
Sumber: Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org
Selama ini masyarakat mengenal slogan “4 Sehat 5 Sempurna” sebagai pedoman memenuhi
gizi seimbang. 4 sehat 5 sempurna terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah
dan disempurnakan dengan susu. Keberadaan susu tidak terlihat dalam “Isi Piringku” karena
merupakan sajian sekali makan. Namun keberadaan susu tetap dimunculkan pada tingkat
ketiga (3) dari “tumpeng gizi seimbang” bersama dengan protein lainnya. Akan tetapi, dengan
penempatan susu berbaur pada satu tingkat yang sama dengan protein yang lain memberi
makna bahwa susu tidak perlu dikonsumsi setiap hari bila protein yang lain telah cukup
dikonsumsi.
Susu dan produknya berperan penting bagi asupan gizi yang sehat bagi manusia utamanya
untuk pertumbuhan masa tulang. Meskipun demikian, belakangan ini secara ilmiah peran susu
banyak diperdebatkan manfaatnya. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memastikan
manfaat ataupun efek samping dari susu. FAO (2013) menyatakan susu dan produknya
merupakan bagian penting gizi yang sehat selama tidak dikonsumsi secara berlebihan. 42
[24]
negara merekomedasikan susu dalam pedoman gizinya. Sebagian besar merekomendasikan
untuk mengkonsumsi susu 1 kali per hari. 26 negara merekomendasikan untuk mengkonsumsi
susu rendah lemak atau tanpa lemak (low-fat or non-fat milk)28.
Mencermati “Healthy Eating Pyramid” dan rekomendasi dari FAO di atas maka perlu
kiranya dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan terkait tumpeng gizi seimbang dan
isi piringku.
Berkaitan dengan permasalahan yang ditemui oleh tenaga kesehatan dalam melakukan
penyuluhan gizi seimbang maka diperlukan pedoman yang mudah dipahami dalam
pengukuran pangan yang harus dikonsumsi. Peraturan Menteri Kesehatan No 41 tahun 2014
menetapan ukuran pangan dalam gram atau potong atau sendok makan atau mangkuk.
Panduan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Irlandia29 dalam memberikan ukuran
yang sederhana bagi pangan yang akan dikonsumsi dapat dijadikan pertimbangan. Adapun
gambaran dari panduan penyajian tersebut sebagai berikut:
Sumber: Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie
Panduan menjelaskan penggunaan: 1) gelas 200 ml untuk penyajian sereal, nasi dan pasta,
sayur, salad dan buah; 2) 2 ibu jari untuk mengukur panjang dan lebar keju; 3) telapak tangan
(tanpa jari-jari) untuk mengukur panjang dan lebar daging, ayam ataupun ikan; 4) 1 pak
mentega yang biasa disajikan di cafe dapat untuk olesan 2 lembar roti; serta 5) 1 sendok the
untuk memasak atau digunakan dalam membuat salad.
Hal lain yang menarik dari panduan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Irlandia
adalah dimasukannya makanan dan minuman yang tidak direkomendasikan sebagai makanan
sehat. Makanan dan minuman tersebut antara lain: coklat, bisuit, cake, makanan ringan gurih,
es krim dan minuman manis (sugary drinks) diletakan di puncak piramida makanan namun
terpisah dari 5 tingkatan piramida makanan lainnya. Dituliskan dalam panduan tersebut
28 C. Weaver, R.W. Bettoni, D. McMahon and L. Spence, 2013. “Milk and Dairy Products In Human Nutrition”, Food and
Agriculture Organization, Rome 29 Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie
[25]
bahwa kelompok makanan dan minuman ini tidak direkomendasikan sebagai makanan sehat
dan disertai anjuran untuk tidak mengkonsumsinya setiap hari (not every day) dengan batasan
maksimal konsumsi sebanyak 1 atau 2 kali dalam seminggu saja. Kebijakan ini ditetapkan
sebagai hasil survey kesehatan Irlandia tahun 2016 dimana sebagian besar penduduk
mengkonsumsi makanan ringan tinggi lemak, gula dan garam serta minuman berpemanis
(sugary sweetened drink /SSD) hingga 6 kali per hari. Kebijakan Irlandia yang memperhatikan
dan mencarikan solusi bagi perilaku tidak sehat dari masyarakatnya dalam pemilihan
makanan/minuman ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun kebijakan-kebijakan
terkait penganeka ragaman gizi di Indonesia.
Agar penyuluhan dapat memberikan edukasi yang lebih dipahami oleh masyarakat maka
perlu dirancang media promosi kesehatan yang menggambarkan baik porsi, proporsi, maupun
ukuran makanan dalam 1 kali penyajian yakni food modeling. Media promosi food modeling ini
hendaknya dapat menggambarkan pola konsumsi makan masyarakat. Misalnya: dalam
berbagai acara seremonial seperti pesta pernikahan yang sering menyediakan berbagai
macam lauk pauk. Maka food modeling dapat menggambarkan nasi, mie goreng dan sambal
goreng kentang dalam 1 kelompok karbohidrat. Dengan demikian, masyarakat dapat
memahami bahwa bila telah mengkonsumsi sambal goreng kentang dan mie goreng maka
porsi nasi harus dikurangi. Bila masyarakat telah memahami hal ini diharapkan pada masa
datang, pola pikir (mind set) “Belum makan nasi – Belum makan” akan terkikis.
Promosi kesehatan juga harus mempertimbangkan pola makan yang berkembang
dimasyarakat. Budaya makan diluar rumah atau memesan makanan melalui on-line perlu
mendapat perhatian. Diperlukan media promosi yang menggambarkan bahwa bila dalam 1 kali
penyajian makanan, tidak meminum air putih namun minuman yang mengandung gula maka
pada media promosi harus ada komoditas pangan yang harus dikurangi yakni karbohidrat.
Berkaitan dengan pola makan diluar rumah maupun memesan makanan melalui on-line
berkorelasi dengan meningkatnya konsumsi makanan tidak sehat (junk food) serta minuman
yang berkarbonasi dan mengandung gula (sugar sweetened beverage/SSB atau SSD),
berkorelasi langsung dengan peningkatan berat badan dan obesitas serta berdampak pada
peningkatan penyakit tidak menular pada masa depan anak (Unicef 2019).
WHO (2017)30 menggunakan nomenklatur sugary drinks yang mendefinisikannya sebagai
semua tipe minuman yang mengandung monosakarida (glukosa dan fruktrosa), disakarida
(sukrosa atau gula meja (sugar table) yang ditambahkan ke dalam makanan atau minuman
oleh pabrik maupun consumer, termasuk yang berkarbonasi maupun yang tidak berkarbonasi
(soft drink), minuman dan jus sayur/buah, konsentrat cair dan bubuk, air minum berperasa
30 World Health Organization, 2017. “Taxes On Sugary Drink – Why Do It?”, Departmen of Prevention of Non Communicable
Diseases, WHO, at [email protected]
[26]
(water flavor), minuman energi (energy and sport drink), teh dan kopi siap saji (ready to drink
tea and coffee) serta susu berperasa (flavoured milk drink). WHO merekomendasikan bahwa
untuk mencegah terjadinya obesitas, anak harus menurunkan konsumsi bebas gula.
MT Haning, AI Arundhana, AD Muqni (2016) menemukan kebijakan atas pendirian
minimarket berpotensi meningkatkan pembelian makanan dan minuman yang mengandung
SSB. Kandungan SSB dalam makanan dan minuman yang dijual di minimarket cukup tinggi
yakni 75,68% 31.
SSB bukan satu-satunya zat yang harus diwaspadai dalam rangka mencegah peningkatan
berat badan dan obesitas pada anak. Dalam resolusi WHA.60.23 yang dihasilkan dari World
Health Assembly (musyawarah kesehatan dunia) ke 60 tahun 2007 tentang pencegahan dan
pengendalian penyakit tidak menular merekomedasikan promosi pemasaran yang
bertanggung jawab termasuk pengembangan regulasi tentang pemasaran makanan dan
minuman non-alkohol kepada anak-anak untuk mengurangi dampak makanan tinggi lemak
jenuh, trans asam lemak serta bebas gula dan garam32.
Unicef (2019) merekomendasikan kepada pemerintah untuk mempromosikan makanan
sehat disekolah-sekolah dan membatasi penjualan maupun pengiklanan junk food
dilingkungan sekitar sekolah. Rekomendasi lainnya adalah pencantuman label pada bagian
muka dari kemasan yang terlihat jelas (visible), akurat dan mudah dipahami – yang dapat
membantu anak, remaja dan keluarga untuk memilih makanan yang lebih sehat dan
memberikan insentif bagi pemasok (suppliers) makanan sehat.
Meskipun dunia telah menyepakati promosi pemasaran yang bertanggung jawab termasuk
pengembangan regulasi tentang pemasaran makanan dan minuman non-alkohol kepada anak-
anak untuk mengurangi dampak makanan tinggi lemak jenuh, trans asam lemak serta bebas
gula dan garam sejak tahun 2007, namun implementasinya belum berjalan sebagaimana
mestinya. Rekomendasi Unicef (2019) ini perlu diimplentasikan secara cepat dan tegas agar
percepatan mewujudkan SDM berkualitas dapat berhasil.
Ditataran masyarakat perlu sosialisasi dan edukasi terus menerus tentang pemilihan
makanan sehat. Label yang telah tercantum dalam berbagai kemasan, tidak dipahami oleh
masyarakat luas sehingga tujuan labeling agar masyarakat dapat memilih makanan yang lebih
sehat tidak tercapai.
Sosialisasi maupun edukasi kepada masyarakat dapat dimulai di kelas-kelas ibu hamil
mencakup penganekaragaman pangan yang mencukupi gizi seimbang serta pemilihan
makanan sehat. Selain hal tersebut, penting disampaikan kepada ibu hamil bahwa sebelum
31 Mohamad Thahir Haning, Andi Imam Arundhana, Asry Dwi Muqni, 2016. “The Government Policy Related to Sugar Sweetened
Beverages in Indonesia”, Indian Journal Community of Health/vol 28/Issue No 03/July-September 2016 32 World Health Organization Regional Office for Europe, 2013. “Marketing of Food High in Fat, Salt and Sugar to Children –
Update 2012-2013”, UN City Marmorvej 51, DK-2100 Copenhagen, Denmark
[27]
umur 2 tahun, anak perlu didorong untuk makan makanan sehat. Hal ini bertujuan agar ketika
anak mencapai usia 3-5 tahun, mereka akan lebih memilih makanan sehat. Dengan demikian
pada usia sekolah, pengaruh lingkungan terhadap pemilihan makanan yang tidak sehat dapat
diminimalisir. Berkaitan dengan pola asuh ini, maka sosialisasi dan edukasi juga perlu
dilakukan bagi tenaga pendidik di PAUD.
Tidak hanya terbatas pada penganekaragaman pangan, pengetahuan ibu juga harus
ditambah dengan cara mempersiapkan diri agar dapat memberikan IMD dan ASI eksklusif.
Merujuk kepada hasil Riskesdas 2018 terkait pemberian susu formula sebagai
makanan/minuman prelakteal yang ternyata justru paling tinggi diberikan kepada bayi yang
berasal dari keluarga PNS/TNI/Polri/BUMN/ BUMD dengan tingkat pendidikan D1/D2/D3
dan PT maka diperlukan kebijakan yang mendorong instansi baik pemerintah maupun swasta
untuk mensosialisasikan pemberian ASI ekslusif bagi karyawannya serta menyediakan ruang
laktasi diseluruh instansi.
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat menghambat anak dan ibu hamil
dan menyusui dalam makanan yang beraneka ragam dan bergizi seimbang. Kebijakan untuk
mendorong pemanfaatan pangan lokal menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi kurangnya
akses masyarakat terhadap pangan akibat proses distribusi. Namun demikian, kebijakan lain
terkait pembangunan infrastruktur untuk mendukung proses distribusi perlu segera disusun
sehingga masyarakat sepenuhnya dapat menjangkau harga komoditas beranekaragam
pangan.
Mencermati bagan Persentase Pengeluaran Per Kapita Sebulan Menurut Kelompok
Komoditas Makanan dan Daerah Tempat Tinggal 2018, terlihat bahwa proporsi terbesar
pengeluaran baik diperkotaan maupun pedesaan diperuntukan bagi belanja makanan dan
minuman jadi (33,98%). Adapun proporsi pengeluaran untuk rokok dan tembakau (11,75%)
melebihi proporsi pengeluaran untuk padi-padian (12,02%), ikan (7,78%) dan daging
(4,13%). Hal ini menunjukan perilaku maupun pengetahuan masyarakat terhadap penganeka
ragaman pangan dalam mencukupi kebutuhan gizi seimbang masih rendah.
Proporsi pengeluaran per kapita yang tinggi untuk belanja makanan dan minuman jadi
sesuai dengan hasil penelitian Patrick dan Nicklas (2005) yang menyatakan bahwa pada tahun
1970, hanya 34% dari total pengeluaran rumah tangga diperuntukan untuk makan di luar
rumah. Pengeluaran rumah tangga meningkat untuk makan di luar rumah hingga mencapai
47% pada akhir 1990. Bila tidak dilakukan intervensi maka trend untuk pengeluaran rumah
tangga untuk makanan dan minuman jadi, juga untuk rokok dan tembakau akan terus
meningkat.
Meskipun dalam laporan Global Nutrition 2018 memperlihatkan ketidak mampuan rumah
tangga di berbagai wilayah Indonesia dalam mencukupi kebutuhan pangannya, namun
[28]
ironisnya Indonesia menempati peringkat kedua (2) sebagai negara pembuang makanan. The
Economist Intelegence Unit (EIU) tahun 2016 melaporkan tiap penduduk Indonesia rata-rata
membuang 300 kg makanan per tahunnya. Semakin ironis karena EIU melaporkan bahwa
umumnya negara maju yang banyak membuang makanan (food waste). Food waste di negara
maju terjadi ditingkat retail dan konsumer. Sedang di negara berkembang, umumnya pangan
rusak (food loss) akibat kekeringan, bencana alam, infrastruktur jalan yang buruk serta
kurangnya fasilitas penyimpanan dan pendingin.
Sebagaimana yang digambarkan dalam bagan “Pemanfaatan Komoditas Pangan Di Rumah
Tangga Dan Di Luar Rumah Tangga” (terlampir), selain rumah tangga, pangan juga dibutuhkan
di sektor industri makanan (restoran, toko roti dan lain-lain), sektor kesehatan (RS dan
Puskesmas), dan sektor jasa lainnya (hotel, transportasi dan lain-lain). Dengan tingginya
permintaan pangan, tingginya biaya distribusi pangan, semakin meningkatkan harga pangan
dan menurunkan kemampuan masyarakat dalam menjangkau harga pangan.
Dengan demikian, selain kebijakan yang mendukung efisiensi biaya distribusi pangan yang
mengakibatkan food loss, diperlukan pula kebijakan untuk mengatasi food waste. Food waste
dapat terjadi akibat adanya sisa makanan dari restoran, hotel, toko roti daan lain sebagainya.
Di beberapa negara, telah dibangun sistem pendistribusian makanan yang diperkirakan tidak
akan termakan dari restoran, hotel, toko roti dan lain sebagainya ke tempat-tempat yang
membutuhkan misalnya ke rumah singgah (shelter) bagi mereka yang tidak memiliki rumah
(homeless). Sistem ini dapat menjadi rujukan bagi Indonesia dengan mendistribusikan
makanan ke panti asuhan atau ke lembaga pemasyarakatan dan lain sebagainya. Dengan
terbangunnya sistem ini, tingkat permintaan pangan diharapkan dapat diturunkan.
Faktor pendidikan juga merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap
penganekaregaman pangan. Penelitian yang dilakukan oleh Kunwar dan Pillai (2002) di India
menunjukan bahwa pendidikan orang tua sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.
Status gizi anak meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan orang tuanya. Tingkat
pendidikan ibu (64,7%) berpengaruh erat terhadap status gizi anak dibanding dengan tingkat
pendidikan ayah (41,8%). Pada ibu yang buta huruf atau hanya memiliki pendidikan dasar,
ditemukan 64,7% anak kurang gizi. Sedangkan pada ayah yang buta huruf atau hanya memiliki
pendidikan dasar hanya ditemukan 41,8% anak kurang gizi. Temuan lain adalah kurang gizi
pada anak perempuan lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan tinggi (1,17 kali lebih tinggi)
bila dibanding dengan ayah yang berpendidikan rendah (1,13 kali belih tinggi) dan meningkat
lebih tinggi pada ayah yang berpendidikan lebih tinggi (1,20 kali lebih tinggi)33.
33 Rajesh Kunmar and PB Pillai, 2002. “Impact of Education of Parents on Nutritional Status of Primary School Children”, Medical
Journal Armed Forces India, Published online 2011 July 21. DOI:10.1016/S0377-1237(02)80011-9
[29]
Penelitian yang dilakukan oleh E.W.H Maïga (2011)34 di Burkina Faso, Africa menunjukan
tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap status gizi anak. Pendidikan ibu selama 12 tahun
secara signifikan berpengaruh terhadap TB/U anak dimana wajib belajar di negara tersebut
hanya 6 tahun.
BPS (2019) melaporkan persentase melek huruf perempuan berumur 15 tahun ke atas pada
tahun 2009 sebesar 89,68% dan meningkat menjadi 93,99% pada tahun 2018. Namun angka
melek huruf ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka melek huruf laki-laki pada
kelompok umur yang sama yakni 95,65% tahun 2009 menjadi 97,33% pada tahun 201835.
BPS (2017)36 cit. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
melaporkan bahwa 1,40% anak perempuan umur 10-17 tahun telah menikah. Dengan
demikian, dapat diasumsikan bahwa sebagian dari anak perempuan umur 10-17 tahun tidak
mendapatkan pendidikan selama 12 tahun.
Merujuk pada penelitian Kunwar dan Pillai serta Maïga di atas, maka dibutuhkan penguatan
(low inforcement) dalam implementasi wajib belajar 12 tahun bagi anak perempuan agar
upaya mewujudkan SDM berkualitas dapat tercapai.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN:
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan:
1. Upaya mewujudkan SDM berkualitas merupakan proses sepanjang siklus hidup
manusia;
2. Gizi merupakan salah satu faktor penting yang memberi kontribusi besar dalam upaya
mewujudkan SDM berkualitas;
3. 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode terpenting dalam pembentukan SDM
berkualitas hingga masa remaja. Oleh karenanya ibu hamil dan ibu menyusui termasuk
dalam kelompok sasaran prioritas penganekaragaman pangan;
4. Berbagai regulasi dan pedoman telah diterbitkan namun implementasi dilapangan
belum optimal. Pedoman yang ada tidak self explanation karena menggunakan
34 Eugenie.W.H. Maïga, 2011. “The Impact Of Mothers education On Child Health And Nutrition In Developing Countries”, African
Center for Economic Transformation (ACET), https://www.uneca.org/sites/default/files/uploaded-
documents/AEC/2011/maiga_the_impact_of_mothers_education_on_child_health_and_nutrition_in_develping_countries_0.p
df 35 Badan Pusat Statistik, 2019. “Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Yang Melek Umur Menurut Provinsi, Daerah
Tempat Tinggal Dan Jenis Kelamin, 2009 – 2018”,
https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/20/1609/persentase-penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-yang-melek-
huruf-menurut-provinsi-daerah-tempat-tinggal-dan-jenis-kelamin-2009-2018.html 36 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018. “Profil Anak Indonesia 2018”
[30]
“bahasa/istilah teknis” yang mungkin dimengerti oleh para ahli namun tidak oleh tenaga
kesehatan dilapangan maupun oleh masyarakat secara umum;
REKOMENDASI:
Berdasarkan analisis di atas, beberapa opsi rekomendasi yang perlu menjadi pertimbangan
adalah:
1. Dukungan peraturan
a. Integrasi perencanaan terpadu dari berbagai OPD guna mendukung program
penganeka ragaman pangan dalam upaya mewujudkan SDM berkualitas;
b. Merevisi peraturan yang ada ataupun menyusun peraturan baru yang dibutuhkan
terkait konten yang menjadi tugas dan fungsi Kementerian Kesehatan;
c. Penguatan regulasi penjaminan ketersediaan pangan yang terjangkau bagi
masyarakat;
2. Pelibatan pemangku kepentingan
a. Melakukan advokasi kepada Kementerian Dalam Negeri guna mendorong OPD
untuk berkontribusi dalam program-program penganeka ragaman dalam upaya
mewujudkan SDM berkualitas;
b. Melakukan advokasi kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terkait
pengawasan kualitas dan keamanan makanan. Salah satu diantaranya adalah
kebijakan food labelling yang dapat meningkatkan awareness masyarakat untuk
memilih makanan sehat;
c. Melakukan advokasi kepada Kementerian Desa untuk dapat berkolaborasi
memobilisasi dana desa untuk penguatan program-program yang mendukung
penganekaragaman pangan diantaranya untuk dana operasional kader;
d. Melakukan advokasi kepada tokoh masyarakat dan agama guna membangun sosial
kapital ditataran masyarakat yang dapat meningkatkan komitmen dan kontribusi
dalam pembangunan kesehatan diantaranya dengan menjadi kader posyandu;
3. Peningkatan/pengembangan terkait teknis
a. Melakukan pengembangan pemanfaatan pangan lokal untuk menjamin
ketersediaan dan keterjangkauan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan dan
keseimbangan gizinya;
b. Mengembangkan media promosi food modelling yang memudahkan tenaga
kesehatan maupun kader untuk melakukan sosialisasi pedoman gizi seimbang
kepada masyarakat;
c. Melakukan upaya peningkatan pengetahunan tentang penganekaragaman pangan
kepada pihak terkait terutama kepada ibu hamil, menyusui, kader;
[31]
d. Melakukan kajian terhadap ukuran/takaran yang dibutuhkan untuk pemenuhan
gizi seimbang sesuai dengan kelompok umur dan tentunya mudah dipahami
masyarakat
Dari ketiga opsi di atas, rekomendasi yang perlu dipertimbangkan untuk dipilih adalah
Pelibatan Pemangku Kepentingan. Pemilihan opsi ini didasarkan kepada hasil assessment
lapangan dimana terlihat berbagai program dapat dioptimalkan pelaksanaannya berkat
keterlibatan OPD dan masyarakat. Meskipun ditemukan kendala dalam mengimplementasikan
berbagai peraturan yang ada, namun berkat komitmen dan kontribusi semua pihak dapat
dilakukan berbagai inovasi agar berbagai upaya kesehatan dapat terlaksana.
KEPUSTAKAAN
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. “Pedoman Optimalisasi Potensi Kecerdasan Majemuk
(Multiple Intelligence) Pada Remaja”. Jakarta: Pusat Intelegensia Kesehatan
2. Endang L. Achadi, Periode Kritis 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Dampak Jangka Panjang Terhadap
Kesehatan dan Fungsinya, Departemen Gizi Kesmas, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 25
November 2014
3. Thompson RA, Nelson CA. Developmental Science and The Media: Early Brain Development. The Amercan
Psychologist 2001; 56: 5-15 pada Profil Kesehatan Inteligensia, Delapan Arah Mata Angin, 2016
4. Y Kelly, A Sacker, R Gray, J Kelly, D Wolke and M Quigley, 2008. “Alcohol – Light Drinking in Pregnancy, a Risk
for Behavioural Problems andCognitive Deficit at 3 Years of Age?”, International Journal of Epidemiology 2009;
38: 129-140 Published by Oxford University Press on behalf of the International epidemiology Association
October 2008
5. AK Knudsen, JC Skogen, E Ystrom, B Siveretsen, GS Tell, L Torgensen, 2014. “Maternal Pre-Pregnancy Risk
Drinking And Toddler Behavior Problems: The Norwegian Mother and Child Cohort Study”, Eur Child Adolesc
Psychiatry (2014) 23:901-911, Published on line: 23 July 2014 with open access at Springerlink.com
6. Unicef, 2019. “The State of The World Children Report 2019: Children, Food and Nutrition – Growing Well in A
Changing World”, New York, October 2019
7. World Health Organization, 2014. ‘Global Nutrition Target 2025 – Stunting Policy Brief”, Department of
Nutrition for Health and Development, Geneve, Switzerland
8. Kementerian Kesehatan RI. 2019. “Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar 2018”, Jakarta, Lembaga Penerbitan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
9. Unicef/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrion Estimates, 2019. “Level and Trend in Child Malnutrition,
Geneva: World Health Organization
10. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2019.
“Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024”
11. Peraturan Menteri Kesehatan No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi
12. Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan
13. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
14. Peraturan Menteri Kesehatan No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang
15. Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018.
“Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota”
16. Kementerian Pertanian, 2018. “Direktori Perkembangan Pangan 2018”, Badan Ketahanan Pangan
17. Badan Pusat Statistik, 2018. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia”, Sub Direktorat Statistik
Rumah Tangga
18. The Economist Intelegence Unit, 2016. “Fixing Food: Toward A More Sustainability Food System”, Barilla Center
For Food & Nutrition
19. Developmen Initiatives Poverty Research Ltd, 2018. 2018 Global Nutrition Report: Shining a Light to Spur Action
On Nutrition, Bristol, UK
[32]
20. United Nations Children’s Fund, 2015. “Breastfeeding”, World Breastfeeding Week 2015
21. Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
22. Heather Patrick, PhD, Theresa A. Nicklas, DrPhD, 2005. “A Review of Family and Social Determinants of
Children’s Eating Patterns And Diet Quality, Journal of American College of Nutrition – May 2005, up loaded by
Heather Patrick on https://www.researchgate.net/publication/7938097 on 28 May 2014
23. Antara, Yayuk Widiyarti, 2019. “Jenis Makanan Yang Paling Banyak Dipesan Via Ojol, Dominasi Ayam”, Tempo.co
https://gaya.tempo.co/read/1255969/jenis:makanan-yang-paling-banyak-dipesan-via-ojol-dominasi-
ayam/full?view-ok, dipublikasikan pada 4 Oktober 2019
24. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. “Perilaku Berisiko Kesehatan Pada Pelajar SMP dan SMA”.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kemenkes RI, Jakarta
25. Pariona, Ameber, 2019. “What Are The World’s Most Important Staple Foods” World Atlas, 7 June 2019,
worldatlas.com/articles/most-important-staple-foods-in-the-world.html
26. Peraturan Presiden RI No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
27. Austalia Nutrition, 2015. “Healthy Eating Pyramid”, Vic Division, www.nutritionaustralia.org
28. C. Weaver, R.W. Bettoni, D. McMahon and L. Spence, 2013. “Milk and Dairy Products In Human Nutrition”, Food
and Agriculture Organization, Rome
29. Department of Health Ireland, 2016. “Healthy Food for Life”, www.healthyireland.ie
30. World Health Organization, 2017. “Taxes on sugary Drink – Why Do It?”, Departmen of Prevention of Non
Communicable Diseases, WHO, at [email protected] (
31. Mohamad Thahir Haning, Andi Imam Arundhana, Asry Dwi Muqni, 2016. “The Government Policy Related to
Sugar Sweetened Beverages in Indonesia”, Indian Journal Community of Health/vol 28/Issue No 03/July-
September 2016
32. World Health Organization Regional Office for Europe, 2013. “Marketing of Food High in Fat, Salt and Sugar to
Children – Update 2012-2013”, UN City Marmorvej 51, DK-2100 Copenhagen, Denmark
33. Rajesh Kunmar and PB Pillai, 2002. “Impact of Education of Parents on Nutritional Status of Primary School
Children”, Medical Journal Armed Forces India, Published online 2011 July 21. DOI:10.1016/S0377-
1237(02)80011-9
34. Eugenie.W.H. Maïga, 2011. “The Impact Of Mothers Education On Child Health And Nutrition In Developing
Countries”, African Center for Economic Transformation (ACET),
https://www.uneca.org/sites/default/files/uploaded-
documents/AEC/2011/maiga_the_impact_of_mothers_education_on_child_health_and_nutrition_in_develping_
countries_0.pdf
35. Badan Pusat Statistik, 2019. “Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke atas Yang Melek Umur Menurut
Provinsi, Daerah Tempat Tinggal Dan Jenis Kelamin, 2009 – 2018”,
https://www.bps.go.id/statictable/2012/04/20/1609/persentase-penduduk-berumur-15-tahun-ke-atas-
yang-melek-huruf-menurut-provinsi-daerah-tempat-tinggal-dan-jenis-kelamin-2009-2018.html
36. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018. “Profil Anak Indonesia 2018”