DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN
GROBOGAN TAHUN 1870-1875
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
SKRIPSI
Disusun Oleh:Makaria Asfina Ratu
044314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAHJURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA
2009
i
DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870
TERHADAP KEHIDUPAN PETANI
DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
SKRIPSI
Oleh:
Makaria Asfina Ratu
044314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul: “DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870
TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN
TAHUN 1870-1875”, yang ditulis oleh Makaria Asfina Ratu/044314002.
TELAH DISETUJUI OLEH:
Pembimbing
Drs. Silverio R.L.Aji Sampurno, M. Hum Tanggal 19 November 2009
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk;
Mendiang ayahku, Fransiscus Ambo.
Ibuku, Agustina Indrayani Inya.
Adikku, Samuel Kalimanjaya.
Dan...
Peri kecilku, Nathania Quella Izzi.
iv
HALAMAN MOTTO
In order to succeed, we must first believe that we can.
(Michael Korda)
v
LEMBAR PENGESAHAN
DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP
KEHIDUPAN PETAHI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875
OLEH:
MAKARIA ASFINA RATU
044314002
“Dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Program Studi Ilmu
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma pada
tanggal 17 Desember 2009”
Susunan Panitia Penguji
Ketua : Prof. P.J. Suwarno, S.H _____________
Anggota : 1. Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum _____________
2. Drs. Ign. Sandiwan Suharso _____________
3. Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum _____________
Yogyakarta, 17 Desember 2009
Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Dekan,
Dr. I. Praptomo Baryadi
vi
PERYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya
sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di perguruan tinggi. Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau
suatu lembaga atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali
bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.
Yogyakarta,
Makaria Asfina Ratu
044314002
vii
ABSTRAKMakaria Asfina Ratu
Universitas Sanata DharmaYogyakarta
Skripsi berjudul “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadapKehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875” disusunberdasarkan tiga permasalahan pokok. Pertama, bagaimana keadaan KabupatenGrobogan sebelum pelaksanaan Agrarische Wet 1870; kedua, bagaimanapelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan; dan ketiga, apadampak dari pelaksanaan tersebut. Skripsi ini menggunakan teori fungsionalismedari Robert K. Merton yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bersifatfungsionalis. Kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistemyang ada dalam suatu lingkungan tertentu.
Keadaan geografis dari Kabupaten Grobogan merupakan faktor pentingpenyebab pesatnya perkembangan usaha-usaha perkebunan, baik pada masaCultuurstelsel maupun masa liberal. Kemudian pelaksanaan Agrarische Wet 1870semakin mempertegas ‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas diHindia-Belanda. Perkembangan usaha-usaha perkebunan berdampak padakehidupan petani di Kabupaten Grobogan. Dengan kondisi kehidupan yangsubsisten, petani kemudian menjadi buruh di perkebunan-perkebunan swasta.
Pada kenyataannya, idealisme liberal tidak tercapai. Petani yangseharusnya juga diuntungkan tidak merasakan keuntungan dari pelaksanaan‘politik pintu terbuka’ dan era perdagangan bebas pada masa itu. Kegagalan‘politik pintu terbuka’ dan perdagangan bebas pada sistem liberal membuktikanbahwa rakyat di Hindia-Belanda pada masa itu belum siap menghadapi eraperdagangan bebas.
viii
ABSTRACTMakaria Asfina Ratu
Sanata Dharma UniversityYogyakarta
The thesis entitled “Dampak Pelaksanaan Agrarische Wet 1870terhadap Kehidupan Petani d Kabupaten Grobogan Tahun 1870-1875” (TheImpact of the Realization of The Agrarische Wet 1870 to the Peasants’ Life inthe Grobogan Regency in 1870-1875) was formatted with three principalproblems: first, how the condition of the Grobogan regency before the realizationof The Agrarische Wet 1870 is; second, how the realization of The Agrarische Wet1870 in the Grobogan residence is; and third, what its impacts to the peasants lifeare. This thesis uses the functionalism theory by Robert K. Merton who said thatpoverty has a functional characteristic, i.e., poverty is needed to support a systemof a particular society.
The geographical condition of the Grobogan regency was the main factorthat caused the rapid development of the private plantation enterprises, either inthe Cultuurstelsel period or in the liberal period. Then, the realization of TheAgrarische Wet 1870 affirmed the ‘open door policy’ and free trade era in East-Indies. The development of the private plantation enterprises had impacts to thepeasants’ life. In the subsistence life, the peasants became the labors for theprivate plantations.
In fact, the liberal’s idealism was not reached. The peasants who had tobenefit from the ‘open door policy’ and free trade era did not feel the profit. Thefailure of the ‘open door policy’ and free trade in the liberal system proves that, inthe period, people in the East-Indies were not yet ready to face the free trade era.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Makaria Asfina Ratu
Nomor Mahasiswa : 044314002
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870 TERHADAP
KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN TAHUN 1870-1875’
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya
maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 17 Desember 2009
Yang menyatakan
Makaria Asfina Ratu
x
KATA PENGANTAR
Skripsi ini memberikan sebuah rekonstruksi mengenai Sejarah Agraria
pada masa kolonial, khususnya masa liberal. Ketika membahas mengenai
perkembangan perkebunan pada abad ke-19, maka sosok petani atau yang juga
sering disebut sebagai buruh tani mempunyai keterikatan yang sangat erat.
Ditinjau dari sudut pandang filsafat sejarah, konteks tersebut menunjukkan sebuah
gerak spiral. Gerak sejarah spiral merupakan gabungan antara gerak sejarah siklis
dan gerak sejarah linear. Karena di dalamnya terdapat unsur kesinambungan,
maka gerak tersebut tidak hanya melulu siklis tetapi pada masanya muncul juga
gerak linear.
Pada masa kerajaan (feodal) raja merupakan tuan tanah, pemerintah
kolonial sebagai golongan kapitalis dan petani sebagai buruh. Kemudian pada
masa kolonial (Cultuurstelsel) melalui berbagai perjanjian dengan raja-raja
pemerintah kolonial menjadi tuan tanah sekaligus golongan kapitalis dan petani
sebagai buruh. Lalu pada masa liberal pemerintah kolonial sebagai tuan tanah dan
para pemilik modal swasta sebagai golongan kapitalis, sedangkan petani tetap
sebagai buruh. Perubahan kekuasaan dari raja ke pemerintah kolonial sebagai tuan
tanah dan perubahan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke para pemilik modal
swasta sebagai golongan kapitalis mengidentifikasikan sebuah gerak linear dalam
pola siklis yang ada.
Ucapan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan berkah-Nya. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada segenap staf pengajar
xi
di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma. Kepada Drs. Hb. Hery
Santosa, M. Hum; Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M. Hum; Drs. Ign. Sandiwan
Suharso; Drs. H. Purwanta, M. A; Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ; Dra. Lucia
Juningsih, M. Hum; Prof. Dr. P. J. Suwarno, S. H; (alm.) Drs. G. Moedjanto, M.
A. Terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berbagi pengetahuan dan
pengalaman serta menjadi motivator untuk dapat menemukan atau memberikan
yang terbaik untuk masa depan.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada mas Tri yang banyak
membantu di Sekretariat Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma.
Terima kasih juga kepada teman-teman seangkatan yang mengagumkan; Nana,
Anon, Agus/P’De, Darwin, Kaka dan Buy. Kepada sahabat-sahabatku tercinta;
Mami-Andar, Nenek Desy, Tante-Ve dan Wisni. Terima kasih atas dukungan
yang terus-menerus kalian berikan. Terima kasih banyak kepada almarhum bapak,
ibuku, adikku semata wayang dan si kecil; Izzi.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu selama proses penulisan skripsi ini.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………… i
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………………… iv
HALAMAN MOTTO……………………………………………………… v
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAAN KARYA …………………….. vi
ABSTRAK …………………………………………………………………. vii
ABSTRACT ……………………………………………………………….. viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………. ix
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1A. Latar Belakang ...……………………………………………......... 1B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ……………………………… 5C. Perumusan Masalah ……………………………………….............. 6D. Tujuan Penelitian …………………………………………............. 7E. Manfaat Penelitian ………………………………………….............. 7F. Kajian Pustaka ……………………………………………….......... 8G. Landasan Teori …………………………………………….............. 11H. Metode Penelitian ………………………………………….............. 17I. Sistematika Penulisan …………………………………….................. 18
BAB II SEKILAS TENTANG KABUPATENGROBOGAN……………………………………….......................... 21
A. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Grobogan……………… 21B. Penduduk Kabupaten Grobogan ............................……………….... 23
xiii
C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan ..................................... 25
BAB III PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870DI KABUPATEN GROBOGAN ………………………………… 35
A. Cultuurstelsel dan Pelaksanaan Sistem Liberaldi Hindia-Belanda …………………………………………............. 37
B. Pelaksanaan Agrarische Wet 1870di Kabupaten Grobogan ..............………………………………….. 46
BAB IV DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATENGROBOGAN TAHUN 1870-1875 ...……………………………... 52A. Dampak di Bidang Ekonomi …………………………………..... 55B. Dampak di Bidang Sosial ……………………………………….. 59
BAB V PENUTUP ……………………………………………..................... 66
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang berbasis ekonomi
pertanian, dimana petani merupakan tulang punggung kelangsungan hidup dari
masyarakat agraris tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh sejarahnya yang meskipun
mengalami pergantian jaman, pertanian tetap eksis dan menjadi soko guru
kehidupan.1 Kehidupan agraris di Indonesia telah berlangsung sejak jaman
kerajaan hingga sekarang. Seperti di Jawa, kehidupan yang berbasis agraris telah
dimulai dari kerajaan Jawa Kuna hingga sekarang. Tetapi pada masa kolonial ada
beberapa perubahan yang terjadi dalam kehidupan agraris tersebut. Petani yang
merupakan tonggak dari kehidupan agraris tersebutlah yang lebih merasakan
dampak dari perubahan yang terjadi pada masa itu.
Sejak tahun 1830-an, kehidupan petani menjadi sangat memprihatinkan,
terutama dengan diterapkannya Cultuurstelsel. Ciri utama dari Cultuurstelsel yang
diperkenalkan oleh van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk
membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu hasil-hasil pertanian mereka dan
bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem pajak tanah
1 Suhartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal, (Yogyakarta, 2001),hal. 57.
2
masih berlaku.2 Melalui Cultuurstelsel ini, pemerintah Hindia-Belanda berharap
dapat mengatasi permasalahan ekonomi negeri induk yang pada masa itu sedang
mengalami keterpurukan.
Selama masa Cultuurstelsel, seperlima tanah pertanian ditanami tanaman
komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Upaya van den Bosch tidak
sia-sia karena ekspor gula dari Jawa menguasai pasar dunia. Kerajaan Belanda
menikmati keuntungan besar dari hasil Cultuurstelsel tersebut, kas negara kembali
stabil bahkan dapat disebut sebagai sebuah surplus. Namun, di sisi lain kehidupan
para petani semakin menurun karena lahan-lahan produktif (subur) dan beririgasi
yang dulunya digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi lahan
perkebunan oleh pemerintah.
Dalam perkembangannya Cultuurstelsel mendapat berbagai kritikan,
terutama dari kaum liberal dan humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa
pemerintah seharusnya tidak ikut campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah
yang lebih tepat mengurusi bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah
menjadi pelindung warga negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan
pengatur keamanan dan ketertiban. Sedang kritikan kaum humanis lebih pada
masalah kesejahteraan hidup petani yang semakin memprihatinkan. Kritikan
kaum humanis berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa petani di
Jawa pada akhir tahun 1840-an. Kritikan kaum humanis tersebutlah yang
2 Penjelasan lebih lanjut silahkan baca dalam Marwati DjoenedPoesponegoro dan Nugroho Notosusanto (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jil.IV, (Jakarta, 1984), hal. 98.
3
kemudian memperkuat kritikan kaum liberal terhadap pemerintah. Perjuangan
keduanya berbuah penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870.
Dengan dihapusnya Cultuurstelsel, kemudian dimulailah suatu haluan
politik baru oleh pemerintah Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Adanya
perubahan dalam sistem pemerintahan tersebut, menyebabkan perubahan dalam
berbagai aspek kehidupan di Hindia-Belanda. Sistem Liberal berarti bahwa
Hindia-Belanda terbuka terhadap modal-modal swasta yang ingin berinvestasi di
Hindia-Belanda. Kesempatan seperti ini mengakibatkan perkembangan
perkebunan-perkebunan besar pada masa liberal, khususnya di pulau Jawa dan
Sumatera. Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa pada tahun 1870, Belanda
memasuki periode kapitalisme modern3 yang ditandai dengan pelaksanaan
“politik pintu terbuka”.
Berdasarkan latar belakang tersebut, topik Dampak Pelaksanaan
Agrarische Wet 1870 terhadap Kehidupan Petani di Kabupaten Grobogan tahun
1870-1875 menjadi menarik untuk dikaji. Ada dua alasan penting yang mendasari
topik ini menjadi patut untuk dikaji lebih dalam, yaitu; pertama, Agrarische Wet
tahun 1870 merupakan undang-undang agraria yang dikeluarkan pada masa
liberal dengan idealisme akan kebebasan dan kesejahteraan umum, akan tetapi
dalam pelaksanaan hingga pada akhirnya rakyat (khususnya petani) tetap tidak
merasakan apa yang disebutkan sebagai kesejahteraan umum yang menjadi cita-
cita perjuangan kaum liberal. Petani tetap menajdi korban eksploitasi agraria.
3 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SejarahPergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jil. I, (Jakarta,1990), hal. 22.
4
Kedua, dengan alasan pertama tadi terbukti bahwa Agrarische Wet tahun 1870
tidak memberikan sebuah pencerahan bagi petani masa itu. Akan tetapi, undang-
undang agraria kita hingga saat ini masih berdiri dengan membawa jiwa
Agrarische Wet tahun 1870 di dalamnya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji
secara lebih mendalam karena kemudian muncul sebuah hipotesis bahwa apakah
keterbelakangan petani yang terjadi di negara kita hingga saat ini ada kaitannya
dengan jiwa Agrarische Wet 1870 yang tetap lestari dalam undang-undang agraria
negara kita.
Dipilihnya kurun waktu dari tahun 1870 sampai dengan 1875 adalah
karena pada periode ini, khususnya di pulau Jawa dan Sumatera terjadi
perkembangan usaha-usaha perkebunan milik swasta sebagai salah satu dampak
dari pelaksanaan dari Agrarische Wet 1870. Pada masa pemerintahan Hindia-
Belanda, wilayah Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah perkebunan-
perkebunan besar Belanda di pulau Jawa. Kabupaten Grobogan merupakan salah
satu daerah di Jawa Tengah yang juga menjadi pusat perkembangan usaha-usaha
perkebunan swasta. Selain itu, kehidupan petani di Grobogan terlihat bertolak
belakang dengan pesatnya perkembangan perkebunan yang terjadi. Di satu sisi
usaha perkebunan berkembang dengan pesat dari tahun 1870 sampai dengan tahun
1875, akan tetapi di sisi lainnya kehidupan petani tidak mengalami pekembangan
yang serupa (ke arah lebih baik: sejahtera).
5
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dari permasalahan dalam penulisan ini tidak menjadi
kabur, maka ada beberapa hal yang perlu diidentifikasikan. Pertama, kritikan-
kritikan terhadap pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1870) merupakan sebuah
proses perubahan politik di Hindia-Belanda. Kasus kelaparan dan wabah penyakit
yang menimpa petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an menjadi pukulan keras
yang akhirnya membuat kaum humanis menuntut penghapusan Cultuurstelsel
(1860). Bersamaan dengan hal tersebut, kaum liberal memenangkan politiknya di
parlemen Belanda pada tahun 1870 sehingga Cultuurstelsel dihapuskan secara
resmi dan dimulailah politik kolonial baru, yaitu politik liberal.
Kedua, politik liberal pada dasarnya berarti komersialisasi Hindia-
Belanda, dengan pelaksanaan ‘politik pintu terbuka’ maka penanaman modal
swasta membanjiri Hindia-Belanda. Untuk mengontrol atau mengatur hal tersebut,
dewan menteri de Waal mengeluarkan sebuah undang-undang yang dikenal
dengan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini secara garis besar
memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak atas tanah dan ketentuan
penggunaannya. Pelaksanaan poltik liberal di Hindia-Belanda menyebabkan
pesatnya perkembangan usaha-usaha swasta, khususnya di pulau Jawa dan
Sumatera. Ketiga, pada kenyataannya Agrarische Wet tidak juga berhasil
meningkatkan kesejahteraan hidup petani yang semakin lama semakin
menunjukkan kemerosotan di tengah pesatnya perkembangan usaha swasta.
Dalam metode sejarah dikenal dua batasan, yaitu batasan temporal atau
waktu dan batasan spasial atau tempat. Dalam penulisan ini, batasan temporal atau
6
waktu yang digunakan adalah periode tahun 1870 sampai dengan tahun 1875.
Tahun 1870 merupakan awal mula masuknya modal swasta, selain pengusaha
Belanda, ke Hindia-Belanda yang kemudian menyebabkan berkembangnya
perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda swasta. Sedang tahun 1875
menunjukkan peningkatan dari perkembangan perkebunan-perkebunan besar di
Jawa dan Sumatera yang juga disertai dengan berdirinya industri-indudtri
perkebunan dalam skala besar. Sedangkan batasan spasial atau tempat yang
digunakan dalam penulisan ini adalah Kabupaten Grobogan yang terletak di Jawa
Tengah.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan pada
bagian sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan
dikaji adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana keadaan Kabupaten Grobogan sebelum pelaksanaan
Agrarische Wet 1870?
b. Bagaimana pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan?
c. Apa dampak Agrarische Wet terhadap kehidupan petani di Kabupaten
Grobogan tahun 1870-1875?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini secara garis besar terbagi dua, antara lain sebagai
berikut:
7
a. Akademis
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan khususnya menyangkut
masalah agraria di Indonesia, khususnya sejarah perkebunan dan petani
di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah periode 1870-1875.
b. Praktis
Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi seperti apa sistem
perkebunan Belanda yang diterapkan di Jawa. Dengan rekonstruksi
tersebut, maka tulisan ini juga akan merekonstruksi seperti apa
dampaknya terhadap perkembangan perkebunan dan kehidupan petani.
E. Manfaat Penulisan
a. Teoretis
Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sebuah wacana
pembelajaran tentang pengalaman di masa lalu, sehingga masyarakat
luas dapat merencanakan masa depan yang jauh lebih baik lagi.
b. Praktis
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi pihak-
pihak yang ingin melakukan penelitian serupa.
F. Kajian Pustaka
Sebagai suatu ilmu yang mempelajari masa lalu umat manusia maka studi
sejarah menggunakan rekaman peristiwa masa lalu sebagai sumber sejarah yang
akan ditelitinya. Rekaman peristiwa masa lalu tersebut berupa buku dan media
8
cetak lainnya yang akan digunakan dalam penulisan ini. Dikarenakan keterbatasan
dalam menemukan dan menggunakan sumber-sumber primer, maka sumber-
sumber yang akan digunakan dalam penulisan ini merupakan sumber sekunder,
yaitu sumber yang berasal dari tangan kedua. Artinya, sumber-sumber tertulis
yang digunakan bukan merupakan tulisan orang yang terlibat secara langsung
dalam peristiwa tersebut.
Beberapa buku yang digunakan dalam penulisan ini antara lain adalah
buku yang ditulis oleh Furnivall yang berjudul Netherlands India. Dalam buku
ini, Furnivall memberikan deskripsi mengenai Hindia-Belanda, ia memberikan
uraian yang cukup lengkap mulai dari latar belakang atau masa transisi menuju
liberalisasi, dinamika sistem tersebut, dan dampak atau hasil dari penerapan
sistem tersebut di Hindia-Belanda. Tetapi, uraian-uraian tersebut terasa kurang
mendalam. Dijelaskan dalam bukunya mengenai bagaimana penerapan sistem
liberal di Hindia-Belanda dalam bidang perkebunan secara umum. Dalam
penulisan ini juga digunakan buku yang ditulis oleh Suhartono W. Pranoto dengan
judul Serpihan Budaya Feodal (Yogyakarta, 2001). Buku ini merupakan
kumpulan dari makalah atau artikel-artikel milik penulis. Beberapa tulisan yang
terangkum dalam buku ini memaparkan potret kehidupan petani, baik pada masa
kerajaan, kolonial, maupun masa kini. Memang Surakarta merupakan salah satu
daerah istimewa pada periode 1830-1875 dan kehidupan petani di daerah ini sama
memprihatinkan dengan yang terjadi di daerah perkebunan dan industri swasta
yang sedang berkembang di Hindia-Belanda. Berangkat dari tulisan tersebut
melihat Grobogan yang pada masa itu termasuk suatu wilayah dalam Karesidenan
9
Semarang sebagai salah satu pusat perkebunan tebu dan industri gula terbesar di
Jawa, maka harusnya ini juga menjadi suatu perihal yang patut dikaji. Selain
tulisan Furnivall dan Suhartono W. Pranoto tersebut, juga digunakan buku
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta, 1984) yang disusun oleh Marwati
Djoened Poesponegoro dan kawan-kawan. Dalam buku ini, editor menguraikan
bagaimana sejarah Indonesia khususnya abad ke-18 dan ke-19. Buku ini sedikit
banyak memberikan uraian mengenai perkembangan ekonomi Indonesia pada
abad ke-19, pada bagian tersebut terdapat uraian mengenai sistem sewa tanah,
sistem tanam paksa, dan sistem liberal. Tetapi karena buku ini hanya memaparkan
pembahasan-pembahasan tersebut secara garis besar saja, maka pemaparannya
cenderung kurang mendalam.
Selain ketiga buku yang isinya telah dijelaskan secara singkat di atas,
penulisan ini juga menggunakan buku-buku lainnya dengan isi yang berkaitan
dengan topik penulisan ini. Adapun buku-buku tersebut antara lain adalah buku
yang ditulis oleh Clifford Geertz dengan judul Agricultural Involution: The
Process of Ecological Change in Indonesia (Barkeley, 1963); Soediono M. P.
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, sebagai penyunting buku berjudul Dua
Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa
ke Masa (Jakarta, 1984); The History of Java (London, 1817) tulisan Thomas
Stamford Raffles; dan beberapa buku lainnya.
Potret kehidupan petani Indonesia merupakan sebuah kajian yang menarik
dari masa ke masa. Banyak penulis maupun peneliti mengkaji topik-topik yang
berkaitan dengan dinamika kehidupan petani. Edi Cahyono dalam skripsinya yang
10
berjudul Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel: Masyarakat Pribumi
Menyongsong Pabrik Gula4, memberikan suatu analisis mengenai berbagai
macam dampak dari berdirinya pabrik-pabrik gula di Jawa, khususnya di
Pekalongan. Salah satu dampak yang disebutkan Edi Cahyono dalam tulisannya
adalah bahwa berdirinya pabrik gula telah menyebabkan masyarakat Jawa yang
awalnya bermata pencaharian sebagai petani beralih menjadi buruh pabrik. Dalam
penulisan ini ditemukan adanya kesamaan dengan tulisan Edi Cahyono, seperti
peralihan mata pencaharian tersebut. Setelah dikeluarkannya Agrarische Wet pada
tahun 1870, perkebunan-perkebunan swasta berkembang dengan sangat pesat di
pulau Jawa dan Sumatera. Di Jawa, dalam kasus ini, petani juga kemudian beralih
menjadi buruh perkebunan.
Berbeda dengan kasus dalam tulisan Edi Cahyono, tulisan ini mencoba
memberikan suatu penjelasan yang bersifat klarifikasi. Selama ini masih saja ada
orang yang beranggapan bahwa ketika petani dihadapkan dengan suatu
pertumbuhan industri, maka dengan serta merta petani kemudian beralih profesi
menjadi buruh. Pendapat demikian tidaklah salah, hanya saja orang terkadang
melupakan bahwa terkadang beberapa petani tidak begitu saja meninggalkan
profesinya sebagai petani dan menjadi buruh sepenuhnya. Dengan latar
belakangan ekonomi petani pada tahun 1800-an dan terutama setelah
Cultuurstelsel, bahkan setelah dikeluarkannya Agrarische Wet 1870, petani tetap
4 Dimuat dalam http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/.
11
mempunyai kehidupan yang subsisten.5 Dengan kehidupan ekonomi yang
subsisten petani harus bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya, sehingga membutuhkan penghasilan tambahan. Petani tidak
meninggalkan lahan pertanian untuk bekerja di lahan perkebunan , tetapi bukan
berarti mereka tidak bekerja di lahan perkebunan. Dengan latar belakang ekonomi
tersebut bekerja di lahan pekebunan memang menjanjikan, tetapi untuk memenuhi
kebutuhan pangan petani tetap mengolah lahan pertanian. Tulisan ini akan
memberikan klarifikasi bahwa ada tiga unsusr penting yang jelas berbeda, yaitu
petani, buruh tani, dan petani yang juga buruh tani.
Dengan adanya seleksi dan kritik sumber yang dilakukan secara
bersamaan dalam langkah tersebut, maka tulisan ini mencoba menyajikan suatu
karya dengan tujuan melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat pada
tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya.
G. Landasan Teori
Dalam penulisan ini ada beberapa konsep yang digunakan sebagai dasar
landasan teori. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah petani, pertanian,
perkebunan, Cultuurstelsel, Kerja Wajib, dan Sistem Liberal. Petani adalah orang
yang mata pencahariannya bercocok tanam (mengolah tanah).6 Dalam penulisan
ini juga harus dibedakan secara jelas konsep antara pertanian dan perkebunan.
5 Dalam konteks penulisan ini, kehidupan subsisten yang dialami petanidimengerti sebagai ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi kebutuhanhidupnya sehari-hari.
6 W. J. S. Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (BalaiPustaka, 1976), hal. 1016.
12
Lahan pertanian ditanami dengan tanaman-tanaman pangan, seperti padi, jagung,
dan lain-lain (bukan tanaman komersial). Sedangkan lahan perkebunan ditanami
dengan tanaman-tanaman komoditi pasar, seperti kopi, tebu, tembakau, dan lain-
lain yang termasuk kategori tanaman komersial.
Pada dasarnya Cultuurstelsel atau sistem tanam berarti pemulihan sistem
eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktekkan VOC
dahulu. Sistem tanam mewajibkan petani untuk menanam tanaman-tanaman
komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah untuk diekspor ke pasaran
dunia. Van den Bosch, gubernur Hindia-Belanda yang menerapkan sistem
tersebut, yakin bahwa cara ini sangat efektif untuk memperoleh tanaman ekspor
yang dibutuhkan sebagai komoditi perdagangan di pasar dunia.
Istilah Kerja Wajib dalam penulisan ini berarti himpunan berbagai jenis
kerja yang wajib dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pemerintah, pejabat,
atau kepentingan umum.
Pada dasarnya kerja wajib pada abad ke-19 terdiri atas empat kategori,
yaitu:
a. Kerja umum (heerendiensten), terdiri dari berbagai jenis kerja di sektor
pekerjaan umum, pelayanan umum, dan penjagaan keamanan;
b. Kerja wajib pancen (pancendiensten), khusus untuk melayani rumah
tangga pejabat. Kerja ini sebenarnya termasuk kategori kerja wajib
umum;
13
c. Kerja wajib tanam (cultuurdiensten), meliputi sektor pertanian, terdiri
dari berbagai jenis kerja di bidang penanaman, pengolahan dan
pengangkutan tanaman wajib dari pemerintah;
d. Kerja wajib desa (desadiensten, gemeendiensten), meliputi jenis kerja
untuk kepentingan kepala desa dan bermacam-macam pekerjaan yang
berkaitan dengan kepentingan warga desa dan lingkungan desa pada
umumnya.7
Sebagai suatu sistem pajak, kerja wajib merupakan ekstraksi tenaga kerja
petani, baik untuk kepentingan raja, pemerintah kolonial maupun untuk
kepentingan masyarakat pada umumnya. Kerja wajib dan penyerahan wajib
merupakan ujung tombak dari pelaksanaan Cultuurstelsel yang mau tidak mau
berpengaruh buruk terhadap kehidupan petani dan ekonomi desa.
Dalam penulisan ini yang dimaksud dengan Sistem Liberal adalah suatu
kebijakan pemerintah kolonial dimana modal swasta diberi peluang sepenuhnya
untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. 8 Sistem ekonomi yang baru ini
menyebabkan pertumbuhan perkebunan semakin meluas. Sistem Liberal juga
berarti lembaran baru bagi petani untuk mendapatkan uang dengan cara yang baru
pula, yaitu dengan menjual tenaga atau menyewakan tanah pada pihak-pihak
swasta yang menanamkan modalnya di sektor perkebunan. Perkebunan menjadi
7 A. M. Djuliati Suryo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib diKaresidenan Kedu 1800-1890, (Yogyakarta, 2000), hal. 24-25.
8 Marwati Djorned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, SejarahNasional Indonesia, Jil. IV, (Jakarta, 1984), hal. 118.
14
pusat kekuasaan dan petani sangat tergantung pada kekuasaan tersebut. Dominasi
kekuasaan sepenuhnya ada pada perkebunan dan petani menjadi klien yang loyal.9
Raffles pada masa kekuasaannya di Hindia-Belanda menerapkan suatu
kebijakan agraria, yaitu dalam masalah tanah dengan melakukan registrasi
kadestral yang dapat dikatakan mengacu pada teori David Ricardo tentang pajak
tanah (the rent of land).10 Pola penguasaan tanah pada masa Raffles mencoba
menghilangkan peranan golongan feodal lama (penguasa lokal; raja) dan
menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang tetap berciri feodal.
Tanah adalah milik pemerintah. Maka, di desa semua tanah tersebut adalah milik
desa. Sehingga pemerintah desa membayar pajak yang besarnya telah ditetapkan
oleh pemerintah. Pada wilayah-wilayah dimana kekuasaan lokal tidak efektif
Raffles langsung mengundang pemodal asing untuk mengikuti lelang sehingga
sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil panen.
Kemudian pada masa van den Bosch, gubernur jenderal yang kemudian
memerintah di Hindia-Belanda menggantikan Raffles, memanfaatkan kebijakan
yang telah diterapkan tersebut. Jika tidak ada pencatatan luas tanah, maka akan
sulit bagi van den Bosch untuk menerapkan Cultuurstelsel di Jawa. Dengan
adanya kebijakan Raffles tersebut, maka ia dapat dengan mudah memaksa petani
untuk meluangkan 1/5 dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman tertentu, seperti
kopi, tebu, tembakau, dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa kebijakan
9 A. M. Djuliati Suroyo. Op. cit., hal,114.
10 Sumitro Djojohadikusumo. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I:Dasar Teori dalam Ekonomi Umum (Jakarta, 1991), hal. 40-49.
15
tersebut mengacu pada teori dari Thomas Robert Malthus tentang sewa tanah dan
masalah penduduk. Dalam pandangan Malthus, penduduk dalam jumlah dan
tingkatan hidupnya langsung berkaitan dengan tersedianya sumber kehidupan
manusia (sumber daya produksi)11. Pulau Jawa merupakan wilayah di Hindia-
Belanda dengan jumlah penduduk terbesar pada masa itu, yang berarti tersedianya
tenaga kerja dalam julah besar yang dapat mensukseskan Cultuurstelsel yang
dicetuskan oleh van den Bosch.
Menurut Robert K. Merton kemiskinan itu bersifat fungsional, untuk itu
kemiskinan perlu dipertahankan untuk melestarikan sebuah sistem yang ada
dalam suatu lingkungan tertentu. Kemiskinan dapat disebut sebagai subsidi bagi
berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya atau golongan
atas. Kemiskinan menjamin tersedianya tenaga kerja yang dapat dibayar murah
untuk pekerjaan-pekerjaan berat (kasar). Kemiskinan yang dialami oleh petani di
Grobogan selama masa-masa perkembangan perkebunan dalam jumlah besar di
daerah tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu sifat fungsional dari keadaan
tersebut untuk melestarikan sistem eksploitasi oleh kolonial maupun pemilik
modal. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sifat fungsional dari kemiskinan
tersebut hanya menguntungkan golongan atas, yang dalam konteks ini ialah
pemerintah kolonial maupun pihak swasta. Sedangkan golongan bawah, yaitu
petani tidak diuntungkan dengan kemiskinan yang terus dipertahankan oleh
golongan atas.
11 Ibid., hal. 49-52.
16
Agrarische Wet 1870 pada Sistem Liberal dapat dikatakan berdasar pada
pemikiran yang serupa dengan pemikiran Raffles dan van den Bosch tersebut.
Baik Agrarische Wet maupun Sistem Liberal itu sendiri pada dasarnya merupakan
ajang komersialisasi Hindia-Belanda dengan membuka peluang bagi para pemilik
modal swasta. Agrarische Wet 1870 semakin mempertegas hal tersebut. Dengan
Agrarische Wet 1870 pemilik modal dapat menguasai tanah, penduduk (tenaga
kerja), dan hasil panen. Kemiskinan yang terjadi juga merupakan suatu keadaan
yang perlu dilestarikan agar pemerintah kolonial maupun pemilik modal dapat
terus melakukan eksploitasi terhadap tanah maupun penduduknya.
Berbagai kebijakan dan sistem yang diterapkan pemerintah kolonial dalam
bidang agraria sepanjang tahun 1870 tentu saja mempunyai banyak dampak. Ada
banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut terutama di daerah-
daerah perkebunan seperti di Grobogan. Beberapa perubahan yang sangat
menonjol adalah perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Dampak di bidang
ekonomi dapat dilihat dengan jelas yaitu timbulnya kemiskinan di kalangan
petani, sedang untuk dampak sosial, salah satunya adalah muncul golongan baru
dalam masyarakat, yaitu golongan buruh. Untuk itu, dalam penulisan ini akan
digunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan
sosial.
Pendekatan ekonomi digunakan untuk mendeskripsikan kesejahteraan
hidup petani. Selain itu, pendekatan ini juga akan sangat membantu dalam
menelaah latar belakang dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 pada masa liberal
oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pendekatan sosial digunakan untuk memaparkan
17
tentang kehidupan petani, baik peran dan kedudukannya dalam masyarakat di
Jawa pada umumnya dan di Kabupaten Grobogan pada khususnya. Pendekatan
sosial juga digunakan untuk melihat dan menganilisis perubahan-perubahan sosial
dalam kehidupan petani di Kabupaten Grobogan pada khususnya sebagai akibat
dari perkembangan perkebunan pada tahun 1870.
H. Metode Penelitian
Sebagai sebuah studi sejarah, penelitian ini tentu menggunakan metode
sejarah. Metode sejarah dalam konteks penulisan ini adalah proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu.12 Tulisan ini
merupakan sebuah kajian pustaka, sehingga metode yang akan dilakukan dalam
penulisan ini adalah mengumpulkan sumber-sumber tertulis baik primer maupun
sekunder. Akan tetapi, karena keterbatasan dalam menemukan dan menggunakan
sumber primer, maka penulisan ini akan lebih banyak menggunakan sumber
tertulis yang bersifat sekunder dan juga tersier. Sumber-sumber tertulis ini tidak
hanya terbatas pada jenis buku dan media cetak lainnya, tetapi juga termasuk
beberapa sumber yang diambil dari situs-situs internet.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari
tiga tahapan, yaitu pertama, pengumpulan data; kedua, analisis data; dan ketiga
penulisan. Tahap pertama, pengumpulan data. Proses ini dilakukan di
perpustakaan-perpustakaan maupun dengan cara browsing melalui internet.
12 Penjelasan selebihnya lihat, Louis Gottschalk, terj. NugrohoNotosusanto. Mengerti Sejarah (Jakarta, 1985), hal. 32.
18
Dalam proses ini terdapat sistem seleksi untuk mendapatkan data-data yang sesuai
dengan topik yang akan dikaji.
Kedua, analisis data. Pada bagian ini data-data yang telah terkumpul pada
tahapan sebelumnya diolah melalui proses interpretasi. Data-data yang telah
diseleksi pada saat pengumpulan data dihadapkan dengan teori dan pendekatan
yang digunakan dalam penulisan ini, sehingga tercipta suatu analisis data.
Ketiga, penulisan atau historiografi. Tahap ketiga ini merupakan langkah
terakhir dari metode yang digunakan dalam penulisan ini. Setelah melalui ketiga
tahapan sebelumnya, maka terakhir adalah menyajikan data-data yang telah
diinterpretasikan tersebut dalam bentuk tulisan, yaitu skripsi.
I. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan garis besar permasalahan yang telah dipaparkan pada
bagian perumusan masalah di awal, maka studi sejarah sekitar dampak dari
pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap kehidupan petani di Kabupaten
Grobogan dari tahun 1870 sampai dengan tahun 1875 disusun menurut
sistematika penulisan yang terpadu dalam urutan waktu tertentu.
Studi ini di awali dengan uraian deskriptif-naratif mengenai kehidupan
agraris di Hindia-Belanda pada abad ke-19, khususnya di Jawa. Bagian ini akan
memaparkan bagaimana kondisi Hindia-Belanda di bawah pemerintahan Raffles–
sebagai pengantar–juga di bawah van den Bosch (1830-1870). Kebijakan-
kebijakan agraria apa saja yang telah diterapkan selama masa itu. Sedikit
menyinggung latar belakang van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel dan
19
pelaksanaannya yang kemudian menimbulkan berbagai kritikan hingga kemudian
dihapuskannya Sistem Tanam tersebut.
Pada bab II dipaparkan tentang kondisi Kabupaten Grobogan sebelum
pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian tersebut akan disusun secara kronologis
dimulai dari periode Cultuurstelsel sampai dengan periode Sistem Liberal.
Bab III pelaksanaan Agrarische Wet 1870. Uraian analisis ini akan diawali
dengan uraian mengenai pelaksanaan Sistem Liberal sebagai suatu haluan politik
baru di Hindia-Belanda yang kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan baru,
seperti Agrarische Wet 1870. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian mengenai
pelaksanaannya.
Bab IV sebagai inti dari ketiga bab analisis dalam penulisan ini
memaparkan mengenai dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 terhadap
kehidupan petani di Kabupaten Grobogan tahun 1870-1875. Dapat dikatakan
bahwa Agrarische Wet 1870 memberi dampak langsung terhadap liberalisasi
perkebunan dan dampak tidak langsung terhadap kehidupan petani. Agrarische
Wet yang dikeluarkan tahun 1870 merupakan undang-undang yang dikeluarkan
untuk mengatur penanaman modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda.
Sebagian besar dari modal-modal swasta tersebut menanamkan modalnya di
bidang perkebunan, sehingga perkembangan pesat perkebunan di Hindia-Belanda
tidak terelakkan lagi. Keadaan ini yang kemudian memberikan dampak terhadap
kehidupan petani.
20
Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari analisis
terhadap rumusan permasalahan yang telah dipaparkan penjelasannya pada bab-
bab sebelumnya.
21
BAB II
SEKILAS TENTANG KABUPATEN GROBOGAN
A. Gambaran Umum dan Sejarah Kabupaten Grobogan
Kabupaten Grobogan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
Jawa Tengah dengan ibu kotanya Purwodadi. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Blora di sebelah timur; Kabupaten Ngawi (Jawa Timur), Kabupaten
Sragen, dan Kabupaten Boyolali di sebelah selatan; Kabupaten Semarang di
sebelah barat; serta Kabupaten Demak, Kabupaten Kudus, dan Kabupaten Pati di
sebelah utara. Secara goegrafis, Kabupaten Grobogan merupakan lembah yang
diapit oleh dua pegunungan, yaitu Pengunungan Kendeng di bagian selatan dan
Pegunungan Kapur Utara di bagian utara. Bagian tengah wilayahnya berupa
dataran rendah.
Kabupaten Grobogan merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah
setelah Kabupaten Cilacap. Kabupaten Grobogan terbagi ke dalam 19 buah
kecamatan yang terdiri dari 273 desa dan 7 kelurahan. Pusat pemerintahan
kabupaten Grobogan berada di kecamatan Purwodadi.
Pada jaman kerajaan, kabupaten Grobogan merupakan daerah
mancanagari1 dari Kerajaan Mataram. Pada waktu itu, Susuhunan Amangkurat IV
mengangkat seorang abdinya, yaitu Ng. Wongsodipo, untuk menjadi Bupati di
1 Mancanagari merupakan wilayah kerajaan yang diperoleh dengan carapenaklukan. Artinya, raja dari Kerajaan Mataram telah menaklukan penguasawilayah ini sebelumnya sehingga penguasa tersebut tunduk kepada kedaulatanraja Mataram. Dalam konsep birokrasi kerajaan Mataram, mancanagarimerupakan bagian terluar dari struktur wilayah kekuasaan raja.
22
Grobogan dengan nama RT Martopuro. Wilayah RT. Martopuro pada saat itu
meliputi wilayah Sela, Teras Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan beberapa
weilayah di Sukowati bagian utara Begawan Sala.2
RT Martapuro sendiri menetap di Kartasura. Lalu, ketika terjadi
kekacauan di Kartasura maka pengawasan terhadap wilayah Grobogan ia
serahkan kepada RT Suryonagoro yang tidak lain adalah menantunya sendiri. Di
bawah pemerintahan RT Suryonagoro Grobogan menjadi ibu kota kabupaten. RT
Suryonagoro juga menciptakan struktur pemerintahan pangreh praja, ia
menciptakan jabatan-jabatan pemerintahan dari jabatan bupati sampai dengan
jabatan bekel di desa-desa. Tetapi, pada tahun 1864 ibu kota kabupaten berpindah
ke Purwodadi.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Grobogan merupakan bagian
dari Karesidenan Semarang. Baru pada tahun 1905 dengan dikeluarkannya
Decentralisatie Besluit oleh pemerintah Hindia-Belanda, Grobogan diberi hak
otonomi dan dapat membentuk Dewan Daerah sehingga pada tahun 1908,
Grobogan akhirnya mendapatkan otonomi penuh dari pemerintah Hindia-Belanda.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, daerah-daerah di Indonesia
dibagi ke dalam daerah propinsi dan daerah propinsi ini dibagi lagi menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil. Kemudian ketetapan tersebut diperjelas dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang pemerintahan daerah.
Pasal 1 dari undang-undang ini menyatakan bahwa daerah Negara Republik
2 Serat Babad Kartasura / Babad Pacina : 172 – 174, sebagaimana dikutipdalam http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/.
23
Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat propinsi, tingkat kabupaten
dan tingkat desa.
Pembentukan daerah-daerah tingkat dua di propinsi Jawa Tengah baru
dilakukan 2 tahun setelah undang-undang tentang pembagian daerah Negara
Republik Indonesia tadi dikeluarkan. Tepatnya, pada tahun 1950 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 1950 dibentuklah daerah-daerah
tingkat dua di propinsi Jawa Tengah. Jadi, secara hukum pembentukan Kabupaten
Grobogan sebagai daerah tingkat dua dalam proponsi Jawa Tengah didasari oleh
undang-undang tersebut.
B. Penduduk Kabupaten Grobogan
Pada tahun 2007, penduduk di kabupaten Grobogan tercatat berjumlah
1.385.817 jiwa. Dari jumlah ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani. Oleh karena faktor inilah pada masa Cultuurstelsel maupun masa
Liberal, kabupaten Grobogan menjadi daerah pilihan pemerintah kolonial dan
pihak swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunannya.
Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk terbesar di Hindia-
Belanda pada masa Cultuurstelsel. Hal ini berarti bahwa daerah-daerah di pulau
Jawa memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk keberhasilan usaha-usaha
perkebunan pemerintah, yaitu ketersediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan
untuk dijadikan tenaga kerja perkebunan. Hal ini juga menjadi lebih efektif lagi
karena penduduk di pulau Jawa memang merupakan masyarakat agraris, dimana
sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian.
24
Dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel membawa penderitaan bagi
penduduk di Hindia-Belanda. Di kabupaten Grobogan, yang merupakan salah satu
pusat perkebunan pemerintah pada saat itu, para petani sangat menderita oleh
eksploitasi pemerintah kolonial melalui perkerjaan-pekerjaan wajib untuk
perkebunan pemerintah. Penderitaan petani di Grobogan pada periode
Cultuurstelsel mencapai puncaknya pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya
bencana kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa para petani. Sebagai akibat
dari bencana kelaparan dan wabah penyakit tersebut ialah penurunan jumlah
penduduk yang sangat drastis. Semula penduduk di kabupaten Grobogan
berjumlah 89.500 jiwa, lalu setelah dilaksanakannya Cultuurstelsel dan dengan
adanya bencana kelaparan dan wabah penyakit pada akhir tahun 1840-an jumlah
tersebut berkurang menjadi 9.000 jiwa.
Dinilai memiliki andil dalam penderitaan petani, oleh kaum humanis
Belanda, Cultuurstelsel dituntut penghapusannya. Penghapusan Cultuurstelsel
secara resmi akhirnya terlaksana pada tahun 1870 yang ditandai dengan
kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda yang juga menandakan
dimulainya haluan politik baru di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal.
Pada masa Liberal, kabupaten Grobogan masih menjadi salah satu daerah
di Jawa yang menjadi pilihan para pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-
usaha perkebunan mereka. Perubahan fase industri perkebunan yang terjadi pada
periode ini tidak membawa banyak perubahan positif dalam kehidupan petani di
kabupaten Grobogan. Pada periode Liberal, petani tetap menjadi korban
eksploitasi dalam usaha-usaha perkebunan milik swasta. Bekerja di perkebunan
25
swasta sama terikatnya dengan saat petani bekerja di perkebunan pemerintah pada
periode Cultuurstelsel. Meskipun dengan bekerja di perkebunan-perkebunan
swasta berarti petani bebas dari kerja rodi, tetapi sistem kontrak di perkebunan
swasta bagai ikatan kerja rodi yang diterapkan pemerintah kolonial. Pihak swasta
memberikan sanksi tertentu, dari sanksi-sanksi ringan hingga berat, bagi buruh
tani yang mencoba melarikan diri dari perkebunan selama masa kontraknya masih
berlaku.
Pihak swasta pun tidak memberikan tunjangan-tunjangan kesejahteraan
bagi para buruhnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak-pajak yang harus
dibayarkan oleh pihak swasta kepada pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga
petani tetap tidak bisa memperbaiki taraf hidupnya ke tingkat yang lebih baik.
Tetapi, petani di kabupaten Grobogan dapat bertahan bahkan hingga
sekarang. Dapat dibuktikan dengan masih adanya sektor pertanian dan
perkebunan di daerah ini. Hingga sekarang pun sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian. Perkembangan pertanian dan perkebunan di kabupaten
Grobogan juga disebabkan karena ketersediaan sumber daya manusianya.
C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan
Sekitar seperempat bagian dari wilayah kabupaten Grobogan merupakan
lahan perkebunan. Beberapa faktor, seperti faktor geografis dan juga sumber daya
manusianya merupakan faktor utama yang mendukung keberlangsungan sektor
pertanian dan perkebunan di wilayah ini. Kualitas tanah yang cukup produktif
26
memungkinkan penduduk setempat untuk membudidayakan tanaman-tanaman
pertanian maupun perkebunan.
Bagian tengah wilayah kabupaten Grobogan merupakan pusat pemukiman
penduduk dan lahan pertanian juga perkebunan. Dua pegunungan yang mengapit
wilayah kabupaten Grobogan merupakan kawasan huutan jati, mahoni dan hutan
campuran yang berfungsi sebagai hutan resapan air hujan. Lembah yang
membujur dari timur ke barat merupakan lahan pertanian yang produktif. Daerah
lembah ini sebagian bahkan telah didukung dengan adanya saluran irigasi, jalan
raya dan jalur kereta api.
Adapun ketersediaan lahan perkebunan di kabupaten Grobogan adalah
sebagaiman tercantum dalam tabel berikut;
Tabel 1 Ketersediaan Lahan Perkebunan di kabupaten GroboganNo. Sektor/Komoditi Luas Lahan/Potensi1. Perkebunan: Kelapa Lahan yang sudah digunakan (Ha): 3, 9752. Perkebunan: Tembakau Lahan yang sudah digunakan (Ha): 1,0703. Perkebunan: Tebu Lahan yang sudah digunakan (Ha): 577
4. Perkebunan: Jambu Mete Lahan yang sudah digunakan (Ha): 3085. Perkebunan: Kapas Lahan yang sudah digunakan (Ha): 2486. Perkebunan: Kopi Lahan yang sudah digunakan (Ha): 19
Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen PertanianDirektorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.
Seperti tercantum dalam tabel di atas, perkebunan-perkebunan seperti
perkebunan tembakau, perkebunan tebu dan perkebunan kopi masih tetap
berlangsung di daerah Grobogan seperti halnya pada periode Cultuurstelsel
(1830-1870) sampai dengan periode Liberal (1870-1875). Meskipun lahan
perkebunannya tidak begitu luas, tetapi hasilnya masih merupakan komoditi
primer. Bahkan untuk tebu dan tembakau termasuk dalam komoditi unggulan.
27
Perkebunan kelapa menempati posisi pertama dengan lahan yang sangat luas,
hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Grobogan membudidayakan kelapa.
Sebagian besar hasilnya diolah menjadi santan atau bahkan ada yang diolah
menjadi minyak kelapa. Sedangkan untuk perkebunan lainnya hanya terdapat di
beberapa kecamatan saja dengan lahan yang tidak begitu luas bahkan sempit,
seperti lahan untuk perkebunan kopi yang hanya seluas 19 Ha.
Untuk lebih rinci, hasil-hasil perkebunan tersebut dapat dilihat dalam tabel
berikut;
Tabel 2 Profil KomoditiNo. Sektor/
KomoditiUnggulan/
TidakDeskripsi
1. Primer-Perkebunan:Kelapa
Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 1,579.00 ton.
2. Primer-Perkebunan:Tebu
Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 1, 258.00 ton.
3. Primer-Perkebunan:Tembakau
Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 833.00 ton.
4. Primer-Perkebunan:Kapas
Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 248.00 ton.
5. Primer-Perkebunan:Jambu Mete
Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 99.00 ton.
6. Primer-Perkebunan:Kopi
Non Unggulan Produksi tahun terakhir(2006): 3.00 ton.
7. Sekunder- Industri:Industri PengalenganIkan
Unggulan Melalui satu pelabuhanperikanan pantai dan duatempat pendaratan ikankabupaten Demakmendapatkan jumlahproduksi ikan tangkap yangdapat diolah lebih lanjutuntuk industri pengalenganikan.Bahan baku & Ketersediaandi daerah (Kom. SekunderTersier) Perikanan Tangkap(1,632.00 ton).
Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen PertanianDirektorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.
28
Pada periode ini, penduduk di Kabupaten Grobogan lebih mempunyai
variasi dalam membudidayakan jenis-jenis tanaman di lahan-lahan perkebunan
yang tersedia. Hal ini karena sudah tidak adanya ketentuan-ketentuan yang
mengatur jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam oleh petani, seperti yang
terjadi pada masa Cultuurstelsel maupun masa liberal. Pada masa Cultuurstelsel,
petani terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah Hindia-Belanda dalam
pengolahan lahan pertanian mereka dan jenis-jenis tanaman perkebunan yang
harus dibudidayakan. Sedangkan pada masa liberal, pihak swasta menggantikan
posisi pemerintah Hindia-Belanda. Tuntutan pasar yang menentukan jenis-jenis
tanaman perkebunan pada masa itu. Kemudian pada periode ini (2006-2008) juga
jenis-jenis tanaman perkebunannya mengikuti tuntutan pasar, tetapi berbeda
dengan pada masa liberal. Petani bekerja dengan lebih bebas dalam mencapai
hasil yang telah ditargetkan dan perhitungan untung-rugi pun tidak begitu
dominan dalam prinsip usaha perkebunan pada masa ini.
Pada periode ini (2006-2008) terdapat penambahan jenis perkebunan,
seperti perkebunan kelapa, perkebunan jambu mete dan perkebunan kapas yang
juga merupakan perkebunan primer. Bahkan perkebunan kelapa menjadi
perkebunan dengan hasil paling banyak diantara perkebunan-perkebunan lainnya.
Selain perkebunan-perkebunan primer tersebut masih terdapat beberapa jenis
perkebunan lainnya seperti perkebunan jarak pagar.
Perkembangan perkebunan pada masa ini tentu tak bisa terlepas begitu
saja dengan perkebunan-perkebunan sebelumnya. Terbukti dengan masih
berlangsungnya perkebunan-perkebunan seperti perkebunan tebu, perkebunan
29
tembakau dan perkebunan kopi yang juga merupakan perkebunan-perkebunan
penting pada masa Cultuurstelsel maupun masa liberal.
Pada masa Cultuurstelsel, kabupaten Grobogan juga merupakan salah satu
pusat perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada masa ini, rakyat diharuskan
menyerahkan 1/5 bagian dari lahan pertaniannya untuk ditanami dengan tanaman
komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah mewajibkan
rakyat untuk menanam tanaman-tanaman seperti tebu, tembakau dan kopi yang
selanjutnya hasilnya diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda. Belanda
memperoleh pendapatan yang sangat besar dari pelaksanaan Cultuurstelsel.
Akan tetapi, beban rakyat semakin besar dengan adanya berbagai jenis
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Selain
harus menanam tanaman ekspor, mereka masih harus menjalani kerja rodi
membangun sarana-prasarana umum, juga masih harus membayar pajak terhadap
pemerintah. Penderitaan petani akibat eksploitasi selama periode Cultuurstelsel
akhirnya memuncak pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya bencana
kelaparan dan wabah penyakit. Bencana tersebut menyebabkan berkurangnya
jumlah penduduk di beberapa wilayah di Jawa. Sebagai contoh adalah wilayah
Demak dan Grobogan yang mengalami penurunan jumlah penduduk yang sangat
drastis. Di Grobogan, penduduknya semula berjumlah sekitar 89.500 jiwa, pada
akhir tahun 1840-an berkurang menjadi sekitar 9.000 jiwa.
Banyaknya angka pengurangan tersebut (sekitar 80.500 jiwa) disebabkan
karena ketidakmampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka
sehingga tidak mempunyai kesiapan dalam menghadapi bencana kelaparan. Petani
30
lebih banyak menghabiskan waktu untuk menanam tanaman-tanaman wajib dari
pemerintah daripada menanam tanaman-tanaman pangan, seperti padi ataupun
jagung. Sedangkan bekerja wajib pada pemerintah tidaklah mendapatkan upah
bahkan petani masih mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.
Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
Cultuurstelsel, banyak kritikan yang muncul dari negeri Belanda yang menuntut
penghapusan Cultuurstelsel terutama kritikan dari kaum liberal dan kaum
humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak ikut
campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah yang lebih tepat mengurusi
bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah menjadi pelindung warga
negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan pengatur keamanan dan
ketertiban. Sedang kaum humanis mengkritik masalah kemiskinan petani.
Kritikan kaum humanis ini berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa
petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an.
Kasus kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa petani di Jawa,
termasuk di Grobogan disebabkan oleh ketidaksiapan petani dalam menghadapi
bencana kelaparan. Adapun beberapa alasan mengapa petani di kabupaten
Grobogan pada saat itu tidak siap menghadapi bencana kelaparan dan wabah
penyakit yang menyerang pada akhir tahun 1840-an ialah karena; pertama,
ketentuan Cultuurstelsel yang mewajibkan rakyat untuk menyediakan 1/5 bagian
dari lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman komersial membuat
berkurangnya lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman pangan,
terutama bagi petani yang memiliki lahan pertanian yang tidak begitu luas.
31
Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tidak adanya lagi lahan untuk tanaman
pangan, karena petani akhirnya memilih untuk menanami seluruh lahan
pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Pemikiran ini didasari oleh tingginya
harga hasil-hasil perkebunan dan juga tingkat keberhasilan lahan bertanaman
campuran. Tanaman pangan seperti padi pada akhirnya hanya ditanam sekedar
untuk pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk kebutuhan sehari-hari saja karena
tanaman pangan seperti padi tidak termasuk dalam tanaman ekspor, sedangkan
tanaman perkebunan memang ditujukan sebagai komditi ekspor yang tentu saja
dapat dijamin memiliki harga yang jauh lebih tinggai, terutama untuk tanaman
tebu. Permintaan terhadap ekspor gula tebu sangat tinggi pada masa ini,
konsumen di Eropa sangat menyukai ekspor gula tebu dari Hindia-Belanda.
Artinya, ketika tanaman pangan ditanam bercampuran dengan tanaman
perkebunan maka ada kemungkinan bahwa hanya tanaman perkebunan saja yang
tumbuh dengan subur.
Kedua, perawatan tanaman perkebunan menyita banyak waktu sehingga
petani tidak lagi mempunyai waktu untuk mengurusi lahan pertaniannya. Berbeda
dengan tanaman pertanian, contohnya padi, yang tidak memerlukan perawatan
khusus hingga tiba saatnya dipanen. Sedangkan untuk tanaman perkebunan,
contohnya tembakau, memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang kompleks.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak petani yang memilih untuk
menanami seluruh lahan pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Ketiga,
sebagai akibat dari terabainya tanaman pangan, terutama padi, membuat harga
beras pada masa Cultuurstelsel menjadi sangat tinggi. Sedangkan tanaman pangan
32
seperti padi masih merupakan konsumsi pokok masyarakat di Hindia-Belanda.
Sementara itu, daya beli petani sangat rendah. Kelangkaan padi dan rendahnya
daya beli petani mengakibatkan ketidaksiapan ketika bencana kelaparan melanda.
Kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan pokok ini tentu saja kemudian juga
mengakibatkan petani lebih mudah terserang berbagai penyakit. Oleh karena itu,
ketika terjadi bencana kelaparan dan wabah penyakit malaria yang melanda Jawa
pada masa Cultuurstelsel, petani tidak dapat mengatasinya. Hal inilah yang
kemudian mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah penduduk di kabupaten
Grobogan secara drastis, yaitu dari penduduk yang semula berjumlah 89.500 jiwa
setelah terjadinya bencana kelaparan dan wabah penyakit berkurang menjadi
hanya 9.000 jiwa saja. Angka pengurangan yang sangat besar ini menunjukkan
bagaimana buruknya kesejahteraan hidup petani di kabupaten Grobogan pada
masa Cultuurstelsel.
Masalah kesejahteraan hidup petani di Hindia-Belanda yang tetap
memprihatinkan akhirnya mengundang berbagai kritikan di Belanda. Kritikan
yang paling menonjol ialah dari kaum humanis yang beranjak dari kasus
kelaparan dan wabah penyakit yang melanda petani di Jawa, khususnya di
Grobogan dan Demak pada akhir tahun 1840-an. Kritikan-kritikan dari kaum
humanis harus disampaikan dalam rapat parlemen agar tujuan untuk
menghapuskan Cultuurstelsel dapat tercapai. Dengan demikian, kaum liberal
merupakan tokoh yang dapat menyuarakan kritikan tersebut di parlemen. Kaum
liberal yang juga sudah lama menentang kaum konservatif akhirnya
memenangkan suara di parlemen sehingga dimulailah sebuah haluan politik baru
33
di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Dimulainya Sistem Liberal berarti juga
penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870. Sistem Liberal dapat
diartikan sebagai pengambilalihan kuasa ekonomi dari tangan pemerintah oleh
kaum liberal. Perekonomian bukan lagi dikuasai oleh pemerintah melainkan oleh
pihak swasta atau pemilik modal. Liberalisme berarti terbukanya peluang bagi
modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. Hal ini juga dapat
disebut sebagai komersialisasi Hindia-Belanda, terlebih lagi dengan
dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Jadi, pada tahun 1870 ini dapat
dikatakan bahwa pemerintah Hinda-Belanda menerapkan “politik pintu terbuka”.
Menurut Ramadhan, gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah
pandangan bahwa setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk
melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada campur tangan dari negara.
Atas dasar tersebut, maka campur tangan negara tidak diperlukan lagi.3 Meskipun
di Hindia-Belanda sudah mulai berjalan politik “pintu terbuka”, tetapi para
pemilik modal masih enggan menanamkan modalnya terutama pada sektor
perkebunan. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu belum ada perangkat
hukum yang menjamin keberhasilan usaha perkebunan dalam skala besar.
Tidak berbeda jauh dengan masa Cultuurstelsel, pada masa Liberal
kabupaten Grobogan pun menjadi salah satu wilayah yang menjadi pilihan para
pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunan mereka. Faktor
geografis dan ketersediaan tenaga kerja tetap memegang peranan penting sebagai
3 Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006), dalamhttp://www.syariahpublications.com.
34
faktor yang menyebabkan kabupaten Grobogan menjadi daerah perkembangan
usaha-usaha perkebunan pihak swasta.
Dengan latar belakang demikian, maka tidak mengherankan ketika melihat
keberadaan sektor perkebunan di kabupaten Grobogan yang masih berlangsung
hingga sekarang.
35
BAB III
PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870
DI KABUPATEN GROBOGAN
Jauh sebelum perkebunan milik swasta berkembang pesat pada abad ke-
19, usaha ekspor sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdagangan antar dunia
sudah dimulai sejak abad ke-16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlayar ke
Asia Tenggara. Komoditi-komoditi perdagangan pasar dunia tersedia dalam
jumlah yang banyak di Asia Tenggara, sehingga semakin lama bangsa-bangsa
Eropa semakin banyak berdatangan ke Asia. Mulai dari Spanyol, Portugis,
Inggris, sampai Belanda berlomba-lomba menguasai nusantara (sebutan Indonesia
jaman dulu). Pada akhirnya Belanda berhasil menguasai nusantara pada tahun
1602 melalui VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC dikenal dengan
monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di nusantara. Pada akhir abad
ke-18, VOC mengalami kebangkrutan. Kekuasaan terhadap nusantara beralih ke
tangan pemerintah negeri induk.
Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang
sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan oleh
penduduk di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Gejala ini menunjukkan bahwa
usaha perkebunan sudah dimulai. Negara sejak awal telah menjadi penguasa
utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai
pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh
negara, keluarga kerajaan, dan para birokratnya melalui jaringan birokrasi dan
36
institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga
kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar
kecilnya nilai dan hasil produksi.
Perkebunan di Hindia-Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera, telah
tumbuh dan berkembang sejak masa Cultuurstelsel (1830). Pada masa itu, van den
Bosch memutuskan untuk menerapkan Cultuurstelsel dan mengembangkan sektor
perkebunan semaksimal mungkin. Langkah van den Bosch tersebut adalah untuk
menyelamatkan perekonomian Hindia-Belanda dan juga negeri induk yang sedang
mengalami krisis dan ancaman kebangkrutan. Pada masa itu terjadi eksploitasi
dalam sektor perkebunan secara besar-besaran dan hal tersebut dikuasai
sepenuhnya oleh pemerintah.
Setelah kebijakan Culturstelsel yang diterapkan oleh van den Bosch
(1830), usaha perkebunan menjadi sumber keuangan yang penting untuk
pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Oleh karena itu, pemerintah sangat
memperhatikan bidang tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda mempunyai kuasa
penuh untuk melakukan eksploitasi dalam bidang tersebut, baik eksploitasi
terhadap tanah, tenaga kerja, maupun hasilnya.
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha
perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang
bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC
berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang
belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis
komoditi ekspor, terutama kopi, tembakau, nila, dan gula.
37
Dengan masuknya modal swasta ke Hindia-Belanda, maka Hindia-
Belanda menjadi sebuah koloni yang sangat komersial bagi negeri Belanda. Untuk
mengatur modal-modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda, dewan menteri de
Waal mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria). Banyaknya
modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda telah menyebabkan tumbuh dan
berkembangannya bidang perkebunan. Sejak dikeluarkannya Agrarische Wet,
perkebunan-perkebunan besar mulai berdiri di Hindia-Belanda, khususnya di
Jawa dan Sumatera. Berbeda dengan era Cultuurstelsel, eksploitasi dalam sektor
perkebunan dikuasai oleh pemilik modal atau pihak swasta.
A. Cultuurstelsel dan Pelaksanaan Sistem Liberal di Hindia-Belanda
Keadaan ekonomi di Hindia-Belanda sejak awal abad ke-19 dapat
dikatakan sedang berada dalam masa kritis. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab memburuknya keadaan ekonomi tersebut. Faktor pertama adalah
adanya Perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut menyebabkan pemerintah
Hindia-Belanda harus mengeluarkan banyak uang untuk membiayai peperangan.
Pemerintah Hindia-Belanda berjuang sangat keras untuk menghentikan
peperangan, karena peperangan tersebut dianggap mengancam keberadaan
kolonial di Hindia-Belanda, khususnya di Jawa. Seharusnya masalah keuangan
tersebut dapat diatasi dengan pemasukan dari pajak yang telah diterapkan di Jawa,
akan tetapi pemasukan sektor ini belum optimal. Penarikan pajak belum berjalan
lancar karena hal tersebut merupakan kebijakan baru di Hindia-Belanda. Awalnya
38
rakyat menyerahkan pajak dalam bentuk hasil bumi, tetapi pada masa kolonial
pajak dibebankan dalam bentuk uang.
Faktor kedua adalah hilangnya sumber kas negara. Kekuasaan Napoleon
Bonaparte atas wilayah Belanda sejak 1795–yang kemudian dibentuk menjadi
Kerajaan Belanda pada tahun 1806, sebelum akhirnya diinkorporasi ke dalam
Kekaisaran Perancis pada tahun 1810–telah menguntungkan Inggris untuk
menguasai beberapa koloni Belanda. Setelah Kongres Wina tahun 1815 Belanda
memperoleh kembali kemerdekaannya, tetapi Belgia yang masuk ke dalam
kedaulatannya memberontak pada tahun 1830. Pada akhirnya Belgia memisahkan
diri dari Belanda pada tahun 1839. Dengan pemisahan Belgia, Belanda kehilangan
industrinya. Belanda kehilangan tanah domein negara di Belgia yang disewakan
sebagai sumber keuangan. Tidak hanya kehilangan Belgia, Belanda juga
kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon1. Keadaan tersebut tentu saja memperburuk
kondisi perekonomian Belanda.
Faktor ketiga adalah dominasi Inggris dalam bidang perdagangan. Belanda
kalah dalam persaingan perdagangan di pasar Eropa, terutama dalam bidang
ekspor. Inggris mempunyai modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
Belanda, sehingga dapat dengan mudah menguasai pasar Eropa. Modal Belanda
banyak terserap untuk membiayai Perang Jawa dan untuk mengatasi masalah
ekonomi di negeri Belanda sendiri.
Dari ketiga faktor di atas, dua faktor terakhir terlihat seakan-akan tidak
berhubungan dengan Hindia-Belanda. Tidak demikian jika dilihat secara
1 Ceylon adalah sebutan untuk Sri Lanka sekitar abad XIX.
39
keseluruhan. Artinya, krisis-krisis seperti disebutkan di atas merupakan ancaman
kebangkrutan bagi negeri induk, yaitu Belanda. Hindia-Belanda, sebagaimana
halnya Belgia, Afrika Selatan dan Ceylon, merupakan salah satu daerah koloni
Belanda. Bagi Belanda, sebagai negeri induk, koloni-koloni ini merupakan
sumber devisa yang menyumbangkan pendapatan untuk menunjang
perekonomian negeri induk. Maka, ketika salah satu daerah koloninya tidak lagi
menyediakan devisa bagi negeri induk, yang terjadi ialah ketidakseimbangan
ekonomi di negeri induk. Sehingga untuk menyeimbangkannya kembali maka
daerah koloni yang lainnya harus memberikan devisa yang lebih besar daripada
sebelumnya. Dalam hal ini, Hindia-Belanda merupakan salah satu daerah koloni
yang diharapkan dapat menyelamatkan negeri induk dari ancaman kebangkrutan.
Lalu, ketika hal tersebut berhasil, Belanda akan mempunyai modal yang cukup
untuk dapat menyaingi Inggris dalam perdagangan di pasar Eropa.
Oleh karena itu, Van den Bosch, gubernur jenderal Hindia-Belanda
berikutnya, harus memikirkan cara untuk menjadikan Hindia-Belanda sebagai
daerah koloni yang dapat menyelamatkan Belanda dari ancaman kebangkrutan.
Bertolak dari prinsip Baud, van den Bosch akhirnya mencetuskan Cultuurstelsel
(1830-1870). Dalam pandangan Bosch, perkebunan tidak akan berhasil jika petani
tidak dipaksa dengan ketentuan-ketentuan pemerintah. Oleh karena itu,
Cultuurstelsel yang diprakarsai oleh Bosch memuat tujuh ketentuan sebagai
berikut;
40
1. Persetujuan-persetujuan akan dilakukan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman
dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa;
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini
tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki
penduduk desa;
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak
boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi;
4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah;
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan,
wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda; jika nilai hasil-
hasil tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang
harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada
rakyat;
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada
pemerintah, sedikit-dikitnya jika tidak disebabkan oleh kurang rajin
atau ketekunan dari pihak rakyat;
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah
pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa
hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah,
41
panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan
tepat pada waktunya.2
Jalan raya Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels turut memberikan
kegunaan besar pada masa Cultuurstelsel. Perkebunan-perkebunan di Jawa yang
mulai berkembang sejak Cultuurstelsel sebagian besar berada di sepanjang pesisir
utara Jawa. Selain karena kualitas tanah yang digunakan untuk perkebunan harus
merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi atau dapat dikatakan sebagai
tanah dengan kualitas terbaik, sebagian besar terdapat di sepanjang daerah
tersebut juga demi kemudahan dalam pengangkutan hasil-hasil perkebunan
tersebut menuju pelabuhan sepanjang pantai utara Jawa untuk kemudian diangkut
oleh kapal-kapal menuju Eropa.
Dengan demikian Jawa menjadi salah satu pusat perkembangan
perkebunan, selain Sumatera. Karesidenan Semarang, Jawa Tengah, merupakan
salah satu pusat perkebunan-perkebunan besar di Jawa, salah satu daerahnya
adalah Kabupaten Grobogan. Di daerah tersebut berkembang beberapa
perkebunan, seperti perkebunan kopi dan tebu. Keberhasilan Bosch dalam
menangani keterpurukan ekonomi negeri induk tidak dapat dipungkiri.
Cultuurstelsel yang diprakarsainya berhasil meningkatkan ekspor tanaman-
tanaman perkebunan dari Hindia-Belanda, sehingga sedikit demi sedikit
perekonomian negeri induk mulai membaik.
Culturstelsel dengan berbagai penyimpangan dalam pelaksanaannya
kemudian mengundang kritikan dari kaum humanis dan kaum liberal Belanda.
2 Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan BambangSumadio, op.cit.. hal 99-100.
42
Akhirnya tahun 1870, Cultuurstelsel dihapuskan secara resmi yang ditandai
dengan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda. Meskipun untuk beberapa
jenis tanaman sudah mulai dihapuskan sejak tahun 1860 dan beberapa jenis
tanaman juga ada yang baru dihapuskan setelah tahun 1870. Penghapusan
Cultuurstelsel dan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda menandakan
sebuah haluan politik baru yang akan diterapkan di Hindia-Belanda, yaitu politik
liberal.
Pergelutan antara kaum konservatif dengan kaum liberal sebenarnya telah
berlangsung lama. Bahkan, beberapa gubernur-jenderal di Hindia-Belanda pernah
mencoba untuk menerapkan politik liberal pada masa-masa pemerintahan mereka.
Adapun para gubernur-jenderal tersebut antara lain ialah; Daendels (1808-1816)
dan Raffles (1811-1816). Kedua penguasa ini dikenal memperjuangkan hak
perseorangan, baik dalam hal kepemilikan tanah, penggunaan hasil tanam,
maupun dalam hal hukum dan keadilan. Berbagai upaya dilakukan Daendels
dalam mewujudkan idealismenya, tetapi tidak semua idenya dapat terwujud. Hal
ini karena desakan keadaan dimana pada waktu itu Belanda harus berusaha keras
mempertahankan Jawa dari ancaman Inggris. Namun, pada akhinya Jawa tetap
jatuh ke tangan Inggris.
Di bawah kekuasaan Raffles (1811-1816), berbagai upaya pembaharuan
yang juga berdasarkan pada idealisme liberal banyak dilakukan. Salah satunya
yang terkenal adalah sistem pemungutan sewa tanah. Sistem pemungutan sewa
tanah milik Raffles ini bertujuan memperbaiki sistem paksa peninggalan VOC
yang menurut Raffles sangat memberatkan serta merugikan rakyat. Pajak
43
dibayarkan dalam bentuk uang atau hasil tanam, seperti padi. Tetapi, dalam
pelaksanaannya sistem ini pun tidak lepas dari penyelewengan-penyelewengan
yang akhirnya mengarah pada kegagalan.
Setelah Belanda menerima kembali tanah jajahannya dari tangan Inggris,
ada keraguan mengenai sistem apa yang sebaiknya diterapkan di Hindia-Belanda.
Beberapa alasan sangat mendukung untuk tetap melanjutkan idealisme liberal
seperti yang telah diterapkan oleh Raffles, tetapi karena kondisi ekonomi negara
induk yang memprihatinkan pada akhirnya pemerintah kolonial meninggalkan
idealisme liberal dan kembali lagi menerapkan politik konservatif. Beberapa
Komisaris Jenderal, seperti Van Der Capellen (1816-1826) dan Du Bus de
Gisignies (1826-1830) berniat menerapkan politik liberal di Hindia-Belanda,
tetapi desakan kondisi ekonomi negeri induk yang semakin merosot mendesak
mereka untuk kembali menerapkan sistem eksploitasi terhadap tanah jajahan.
Pemerintahan Van Der Capellen memperkenalkan kontrak penjualan hasil
tanam langsung ke petani. Selama periode-periode sebelumnya, penjualan hasil
tanam, baik dari sektor pertanian maupun perkebunan harus melalui kepala desa
terlebih dahulu. Tujuan dari kebijakan Capellen ini antara lain adalah untuk
mengurangi peran elit lokal dan memperluas kemampuan petani dalam
perdagangan pasar bebas. Pada perkembangannya, kebijakan ini menyebabkan
timbulnya ketegangan-ketegangan antara pemerintah kolonial dengan golongan
elit lokal. Akhirnya ketegangan pun memuncak dengan meletusnya Perang Jawa
pada tahun 1825.
44
Pada tahun 1826, Van Der Capellen digantikan oleh Du Bus de Gisignies
sebagai Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda berikutnya. Jika pada masa
pemerintahan Van Der Capellen melakukan pembatasan terhadap orang asing,
maka pada masa Du Bus para pengusaha swasta diberikan akses untuk
menanamkan modalnya dalam kegiatan perekonomian di Hindia-Belanda. Di satu
sisi Du Bus ingin memompa kinerja petani dan di sisi lain tetap menjalankan
sistem sewa tanah dengan memperkuat pengaruh asing dalam perekonomian di
tingkat pedesaan. Namun, sayang berbagai usaha Du Bus menghadapi berbagai
hambatan dalam perwujudannya terlebih lagi dengan berlangsungnya Perang Jawa
yang sangat menyita perhatian pemerintah kolonial. Pada akhirnya sistem sewa
tanah yang coba dipertahankan mengalami kegagalan. Penyebabnya antara lain
adalah masih eratnya ikatan feodal pada masyarakat pedesaan serta belum
meluasnya pemahaman tentang sistem uang.
Sistem sewa tanah dihapuskan pada tahun 1830 pada saat Du Bus
digantikan oleh Van Den Bosch (1830-1870). Van den Bosch kembali
menerapkan politik konservatif dengan menghidupkan kembali sistem penanaman
paksa melalui pelaksanaan Cultuurstelsel seperti yang dilakukan VOC. Tetapi
penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan Cultuurstelsel mengundang
berbagai kritikan yang akhirnya menghapuskan Cultuurstelsel secara resmi pada
tahun 1870, dimana kaum liberal memenangkan suara di parlemen Belanda.
Dengan demikian berlaku politik liberal di Hindia-Belanda.
Pada masa liberal, Hindia-Belanda di buka sebesar-besarnya bagi
penanaman modal asing. Para pemilik modal diberikan akses seluas-luasnya untuk
45
mengusahakan kegiatannya di Hindia-Belanda, terutama di bidang perkebunan.
Hal ini disebut sebagai ”politik pintu terbuka”. Tentu saja yang terjadi adalah
modal-modal swasta membanjiri Hindia-Belanda yang kemudian menyebabkan
munculnya perkebunan-perkebunan besar, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan politik liberal di Hindia-Belanda
tidak berjalan sesuai dengan idealisme yang ingin diwujudkan. Kaum liberal yang
pada idealisme awalnya menjunjung tinggi tercapainya kemakmuran bagi rakyat
jajahan disamping mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara, pada
akhirnya hanya terpusat pada pencapaian keuntungan yang besar. Sistem
eksploitasi seperti halnya pada masa Cultuurstelsel tetap mewarnai perkebunan-
perkebunan di Jawa maupun luar Jawa. Hanya saja perbedaannya dengan era
Cultuurstelsel adalah pada era liberal eksploitasi pada sektor perkebunan dikuasai
oleh pemilik modal atau pihak swasta, sedangkan pada masa Cultuurstelsel dulu
eksploitasi perkebunan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial.
Salah satu perubahan yang penting dalam perkembangan perkebunan
sebelum dikeluarkannya Agrarische Wet dan sesudahnya adalah perubahan dari
sistem ladang ke sistem kebun permanen yang menanam tanaman perdagangan.
Kebun bertanaman campuran merupakan salah satu tipenya. Selain meningkatnya
pertumbuhan kebun komoditi komersial, proses komersialisasi juga meningkat di
daerah pantai, terutama sepanjang pantai utara Jawa. Kedudukan pemodal swasta
dalam perkembangan usaha perkebunan di Indonesia pada masa kolonial menjadi
semakin besar sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika beberapa
komoditi baru seperti karet dan teh mulai dikembangkan.
46
B. Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Kabupaten Grobogan
Dengan kemenangan kaum liberal di parlemen, maka politik kolonial di
Hindia-Belanda juga turut berubah dari politik konservatif menjadi politik liberal
atau yang juga dikenal dengan ‘politik pintu terbuka.’ Hindia-Belanda menjadi
negara jajahan yang bersifat komersial bagi pemerintah kolonial, sehingga banyak
penanaman modal milik swasta yang kemudian membanjiri Hindia-Belanda
khususnya untuk usaha-usaha di sektor perkebunan yang terpusat di pulau Jawa
dan Sumatera.
Ketiadaan perangkat-perangkat hukum pada saat itu mengenai bidang
agraria, membuat laju penanam modal swasta di Hindia-Belanda sedikit
terhambat. Para pemilik modal mengkhawatirkan keberhasilan usahanya jika tidak
ada perangkat hukum yang menjamin dan melindungi kebebasan mereka dalam
mengusahakan kegiatan-kegiatannya di Hindia-Belanda. Kekhawatiran ini
terutama berasal dari permasalahan tanah sebagai faktor penting dalam usaha
perkebunan. Sebagian besar tanah di Jawa pada masa itu masih merupakan tanah
adat, sehingga akan sulit bagi pihak swasta untuk dapat menguasainya. . Oleh
karena itu, yuridikasi hukum adat atas tanah harus dihilangkan dan kemudian
didasarkan pada hukum Eropa. Untuk itu pemerintah Hindia-Belanda kemudian
menetapkan asas Domein Verklaring.
Dengan adanya Domein Verklaring, maka perlahan-lahan tanah-tanah
milik rakyat pribumi yang diperoleh karena kebiasaan-kebiasaan setempat (tanah
adat) menjadi hilang. Kerana hukum adat pribumi Hindia-Belanda tidak dapat
disamakan dengan hukum Eropa. Meskipun ada bagian dalam Agrarische Wet
47
1870 yang menyebutkan bahwa pemerintah tidak boleh melanggar hak-hak
pribumi dalam haknya atas tanah, kententuan tersebut menjadi tidak berarti
dengan adanya Domein Verklaring. Disebutkan bahwa penduduk pribumi tidak
boleh menjual atau menyewakan tanahnya kepada pengusaha, tetapi setelah
adanya Agrarische Besluit maka pengusaha-pengusaha swasta bisa mendapatkan
tanah tersebut dari penduduk pribumi. Karena ada larangan untuk melakukan jual-
beli terhadap tanah milik penduduk pribumi, istilah tersebut diganti dengan
‘melepas hak’-nya atas tanah. Meskipun istilahnya berganti menjadi ‘melepas
hak’, akan tetapi tetap saja ada unsur jual-beli di dalamnya. Padahal seharusnya
istilah ‘melepas hak’ berarti secara sukarela memberikan hak miliknya atas tanah
tersebut kepada negara. Setelah menjadi milik negara, maka negara dapat dengan
bebas memperjual-belikan atau menyewakan tanah tersebut kepada para
pengusaha swasta.
Dengan dikeluarkannya Domein Verklaring, maka modal swasta kembali
membanjiri usaha-usaha perkebunan di Jawa. Pemilik modal menjadi lebih bebas
menyewa tanah untuk usaha perkebunan mereka dengan jangka waktu yang lama
(99 tahun) dengan tingkatan harga yang murah. Kebijakan ini tentu saja
mengundang kontorversial di parlemen Belanda. Kaum yang paling menentang
kebijakan kaum liberal ini adalah kaum konservatif. Kaum konservatif menentang
usul ini, dengan menyatakan bahwa hak penduduk asli atas tanah didasarkan pada
syarat-syarat yang bersifat asli, penguasaan bersama dan kebiasaan yang tidak
48
dapat disatukan dengan konsep “hak milik”dari Barat modern.3 Sedangkan bagi
kaum liberal, penguasaan bersama merupakan sebuah hambatan dalam kelancaran
bisnis mereka karena kepemilikan perseorangan lebih memudahkan pihak swasta
dalam penyewaan tanah. tetapi, pada akhirnya kebijakan Domein Verklaring tetap
dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Setelah kebijakan Domein Verklaring yang diterapkan dengan segala
kontroversinya, pemerintah merasa perlu untuk melindungi hak rakyat
sebagaimana idealisme liberal pada awalnya. Untuk itu, menteri de Waal
kemudian mengeluarkan Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun
1870. Adapun ketentuan dalam Agrarische Wet tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Pemerintah berhak menyewakan tanah yang tidak dipergunakan
penduduk asli selama 75 tahun kepada bangsa asing. Peraturan ini
disebut erfpacht, artinya tanah yang dapat diwariskan.
2. Penduduk asli tidak boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi
boleh menyewakannya.
3. Tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun juga, menjadi hak milik
pemerintah.
Dengan adanya ketentuan bahwa penduduk asli hanya diperbolehkan
menyewakan tanahnya saja, pemerintah kolonial mencoba melindungi rakyat agar
tidak kehilangan tanahnya. Ketentuan ini juga sekaligus berarti bahwa pemerintah
3 Hiroyoshi Kano, Land Tenure System and the Desa Community inNineteenth Century Java, dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan GunawanWiradi. Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian diJawa dari Masa ke Masa, (Jakarta, 1984), hal.26-85.
49
kolonial memberikan peluang bagi para pemilik modal untuk dapat menyewa
tanah milik penduduk selain tanah milik negara.
Ketentuan Agrarische Wet tahun 1870 yang kedua memang
memperlihatkan bahwa pemerintah kolonial memberikan perlindungan terhadap
hak atas tanah milik penduduk pribumi. Tetapi, pada pelaksanaannya dengan
perlahan-lahan penduduk pribumi dapat kehilangan haknya tersebut. Dalam
ketentuan Agrarische Wet tahun 1870 disebutkan bahwa penduduk asli tidak
boleh menjual tanahnya kepada orang asing, tetapi boleh menyewakannya. Dalam
pelaksanaannya orang asing, dalam hal ini pengusaha swasta, dapat membeli
tanah milik penduduk asli tersebut. Caranya adalah melalui pemerintah kolonial.
Penduduk asli memang tidak menjual haknya, tetapi melepaskan haknya atas
tanah miliknya. Pada dasarnya hal ini sama saja dengan menjual, karena
penduduk akan mendapat sejumlah uang sebagai ganti rugi karena telah
melepaskan haknya atas tanah miliknya. Tanah yang sudah tidak dimiliki lagi oleh
penduduk tersebut secara langsung akan menjadi milik pemerintah kolonial.
Peraturan Domein Verklaring menyatakan bahwa tanah yang tidak
digunakan oleh penduduk asli dan tidak dapat dibuktikan kepemilikannya akan
menjadi milik negara. Ketika penduduk melepas haknya atas tanah, maka secara
bersamaan mereka tidak lagi bisa membuktikan kepemilikannya atas tanah
tersebut, sehingga pemerintah kolonial menjadikannya tanah negara dan dapat
dengan bebas menggunakannya. Tanah-tanah tersebut kemudian dapat dengan
mudah disewakan pada pihak swasta yang membutuhkan tanah untuk kegiatan-
kegiatannya yang sebagian besar adalah usaha-usaha perkebunan.
50
Hak milik pemerintah atas tanah yang dinyatakan dalam Domein
Verklaring atau Pernyataan Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang tidak
dimiliki oleh siapapun. Tanah-tanah yang menjadi milik pemerintah tersebut
adalah tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh penduduk
pribumi, seperti tanah adat yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat
setempat yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum agraria yang diterapkan
oleh pemerintah liberal didasarkan pada hukum Eropa, sehingga tanah adat milik
penduduk pribumi tidak bisa dibuktikan kepemilikannya. Hal ini karena hukum
adat tidak bisa disamakan dengan hukum Eropa. Hukum adat diwariskan secara
turun-temurun tanpa dokumen-dokumen kepemilikan, sedangkan hukum Eropa
melihat yuridikasi hak atas tanah berdasarkan hukum tertulis yang menuntut
kelengkapan dokumen-dokumen kepemilikan. Sebagai pelaksanaannya,
pemerintah liberal mengeluarkan Agrarische Besluit pada tahun yang sama, tahun
1870.
Penerapan Domein Verklaring di kabupaten Grobogan membuat pihak
swasta menjadi jauh lebih bebas dalam mendirikan usaha-usaha perkebunan
mereka di daerah ini. Tanah adat yang semula merupakan tanah desa akhirnya
menjadi milik perseorangan. Karena hukum Eropa tidak mengakui adanya
yuridikasi adat atas tanah dan lebih mementingkan kelengkapan dokumen
kepemilikan, maka tanah adat yang semula merupakan milik bersama atau desa
dibagi-bagi menjadi milik perseorangan di desa tersebut. Hal ini tentu saja
memudahkan pihak swasta untuk menyewa tanah tersebut.
51
Dengan adanya Agrarische Wet 1870, terutama ketentuannya yang kedua,
penduduk kabupaten Grobogan diberi kesempatan untuk mengenal perdagangan
bebas dengan dimungkinkannya proses transaksi penyewaan tanah secara
langsung antara pihak swasta dengan penduduk setempat.
Politik kolonial liberal yang awalnya menghendaki liberalisasi tanah
jajahan berkembang menjadi bagaimana mengatur tanah jajahan untuk
memperoleh uang.4 Agrarische Wet 1870 yang merupakan produk hukum agraria
pemerintah liberal pun akhirnya hanya menguntungkan para pengusaha swasta,
sementara petani masih bergelut dalam kehidupan subsisten mereka.
4 Wiharyanto, A. K., Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX,(Yogyakarta: 2006), dikutip oleh Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006),dalam http://www.syariahpublications.com.
52
BAB IV
DAMPAK PELAKSANAAN AGRARISCHE WET 1870
TERHADAP KEHIDUPAN PETANI DI KABUPATEN GROBOGAN
TAHUN 1870-1875
Perubahan politik kolonial di Hindia-Belanda, dari politik konservatif
menjadi politik liberal sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kehidupan
di Hindia-Belanda. Perubahan orientasi politik kolonial ini berlangsung secara
bersamaan dengan perubahan penguasaan industri perkebunan di Hindia-Belanda.
Ketika di Hindia-Belanda masih dijalankan politik konservatif, industri
perkebunan didominasi oleh negara, dalam konteks ini ialah pemerintah kolonial.
lalu, ketika politik konservatif digantikan oleh politik liberal, industri perkebunan
didominasi oleh pihak swasta. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
orientasi politik kolonial berjalan sinergis dengan fase perkembangan industri
perkebunannya. Sejak penerapan sistem liberal pada tahun 1870, terutama dengan
dijalankannya ‘politik pintu terbuka’, Hindia-Belanda terbuka bagi modal swasta
yang ingin mengusahakan kegiatannya. Oleh karena itu, yang terjadi kemudian
adalah berkembanganya usaha-usaha perkebunan milik swasta di Hindia-Belanda,
terutama di pulau Jawa dan Sumatera. Agrarische Wet 1870 yang dipertegas
kembali dengan dikeluarkannya Agrarisch Besluit sebagai produk hukum agraria
yang dikeluarkan oleh pemerintah liberal membuat liberalisasi perkebunan di
Hindia-Belanda berkembang dengan sangat pesat.
53
Agrarische Wet tahun 1870 secara langsung telah mempengaruhi
perkembangan perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-Belanda, khususnya di
Jawa dan Sumatera. Perkembangan perkebunan-perkebunan besar milik swasta
tersebut terebar di sepanjang daerah pesisir pantai utara Jawa. Daerah-daerah
tersebut merupakan daerah dengan kualitas tanah yang baik dan masih produktif
serta mempunyai letak yang strategis yang memudahkan pengusaha mengangkut
hasil-hasil perkebunannya menuju industri-industri pengolahan ataupun menuju
pelabuhan-pelabuhan untuk di angkut ke Eropa. Pada periode ini, industri-industri
perkebunan hanya terdapat di kota-kota besar saja. Oleh karena itu, perkembangan
perkebunan swasta sebagian besar tersebar di daerah-daerah yang letaknya dekat
dengan kota-kota besar atau kota-kota pelabuhan.
Grobogan merupakan salah satu wilayah dari Karesidenan Semarang yang
terletak di daerah pesisir utara Jawa ini pada masa liberalisasi perkebunan
merupakan salah satu daerah perkebunan swasta yang cukup besar. Adapun
perkebunan milik swasta yang berkembang di daerah Grobogan antara lain adalah
perkebunan tebu, kopi dan tembakau. Bahkan pada periode liberal, perkebunan
tebu di Grobogan merupakan salah satu perkebunan terbesar di Jawa Tengah
selain Surakarta. Gula tebu merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati di
pasar Eropa. Oleh karena itu, banyak pengusaha swasta yang datang ke Hindia-
Belanda memilih menanamkan modalnya pada perkebunan-perkebunan tebu yang
tersebar di sepanjang daerah pesisir utara Jawa.
Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 telah memberikan dampak
secara langsung terhadap perkembangan perkebunan-perkebunan di Hindia-
54
Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera. Secara tidak langsung Agrarische Wet
1870 juga berdampak pada kehidupan petani, sebagai tenaga kerjanya. Di
Grobogan, perkebunan-perkebunan milik swasta berkembang dengan pesat.
Perkembangan tersebut memberikan dampak terhadap kehidupan petani di
Grobogan. Perkembangan perkebunan ini kemudian disertai dengan industrialisasi
perkebunan, berupa penyediaan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti industri-
industri pengolahan hasil perkebunan dan sarana dan prasarana pendukung
lainnya, misalnya bidang transportasi. Akan tetapi, di samping pesatnya
perkembangan perkebunan tersebut, kehidupan petani tidak banyak berubah dari
kondisi perekonomiannya yang memprihatinkan.
Perkembangan perkebunan milik swasta yang begitu pesatnya sejak tahun
1870 tidak membawa banyak hal-hal yang menguntungkan bagi para petani di
Grobogan. Idealisme kaum liberal tentang peningkatan kesejahteraan hidup di
Hindia-Belanda, baik bagi pemerintah kolonial Belanda maupun penduduk asli
pada akhirnya tidak sepenuhnya tercapai. Peningkatan kesejahteraan hidup yang
dicita-citakan hanya dirasakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pihak swasta
saja, sementara penduduk asli tetap merasakan kehidupan ekonomi yang
memprihatinkan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Agrarische Wet 1870 secara
langsung memberikan dampak terhadap perkembangan perkebunan di Hindia-
Belanda dan melalui perkembangan perkebunan-perkebunan tersebut, Agrarische
Wet 1870 juga memberikan dampak terhadap kehidupan petani.
55
A. Dampak di Bidang Ekonomi
Bidang ekonomi tentu saja merupakan salah satu bidang yang mendapat
dampak dari pelaksanaan Agrarische Wet 1870 di Hindia-Belanda. Kemajuan
ekonomi yang semakin pesat merupakan salah satu dampak terbesar di bidang
ekonomi. Kemajuan tersebut tidak hanya dirasakan di Hindia-Belanda saja tetapi
juga di negeri induk, Belanda. Dengan banyaknya pengusaha swasta yang
menanamkan modalnya untuk usaha perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda,
maka Belanda sebagai negeri induk memperoleh pendapat berupa devisa dari
kegiatan-kegiatan di Hindia-Belanda tersebut.
Dampak dari Agrarische Wet 1870 tidak hanya terbatas pada
perkembangan perkebunan-perkebunan di Hindia-Belanda, tetapi juga terhadap
kehidupan petani yang merupakan salah satu unsur penting dalam perkebunan itu
sendiri. Sejak ketentuan Agrarische Wet 1870 diperkuat dengan ketentuan yang
tertuang dalam Agrarisch Besluit yang juga dikeluarkan pada tahun yang sama,
modal swasta yang oleh pemiliknya diinvestasikan di bidang perkebunan menjadi
semakin banyak. Oleh karena itu, perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-
Belanda khususnya di Jawa dan Sumatera berkembang dengan sangat pesat.
Selain itu, terbukanya Hindia-Belanda bagi modal swasta sebagai salah
satu kebijakan dalam sistem liberal juga menyebabkan semakin meluasnya
monetisasi1 di Hindia-Belanda. Sebelum masa liberal monetisasi memang sudah
1 Dalam konteks penulisan ini, yang dimaksud dengan monetisasi ialahsystem ekonomi uang. Proses meluasnya monetisasi ini dapat dikatakan sebagaimodernisasi dalam sistem ekonomi uang dalam masyarakat di Hindia-Belandapada periode Liberal (1870-1875) khususnya. Jika sebelumnya masyarakat diJawa pada umumnya menggunakan metode tradisional dalam transaksi ekonomi,
56
dikenal dalam masyarakat Hindia-Belanda, tetapi hanya terbatas pada masyarakat
di daerah perkotaan saja. Sejak diberlakukannya sistem liberal, monetisasi
semakin dikenal sampai ke daerah pedesaan. Ketentuan dengan penyewaan tanah
langsung dari penduduk yang tertuang dalam Agrarische Wet 1870 membuat
perluasan monetisasi semakin mantap. Banyak tanah-tanah penduduk yang
terletak di desa-desa menjadi sasaran pemilik modal untuk mendirikan
perkebunan-perkebunan mereka. Dengan adanya kemungkinan bagi pemilik
modal untuk menyewa tanah penduduk setempat secara langsung telah
memberikan akses yang lebih mudah bagi para pengusaha tersebut.
Monetisasi dalam perkebunan berdampak terhadap berubahnya sistem
upah. Pada awalnya upah atas tenaga pekerja di lahan perkebunan berupa
sebagian dari hasil perkebunan atau bahkan tidak ada upah, karena bekerja di
lahan perkebunan berarti bebas dari kerja rodi. Akan tetapi, sejak masa liberal
dengan perkembangan perkebunan yang pesat dan monetisasi yang semakin
meluas, sistem upah tersebut diganti dengan upah dalam bentuk uang.
Liberalisasi di Hindia-Belanda pada tahun 1870 telah mendorong
industrialisasi, terutama industrialisasi di bidang perkebunan. Untuk menunjang
usaha-usaha perkebunan yang sedang berkembang pesat, maka baik pemerintah
Hindia-Belanda maupun pengusaha swasta mendirikan industri-industri
perkebunan. Sebelum masa liberal tahun 1870, di Hindia-Belanda sudah terdapat
beberapa industri perkebunan yang berdiri di kota-kota besar di Jawa. Dengan
yaitu dengan sistem barter atau tukar-menukar barang. Maka, ketika monetisasisemakin meluas cara tersebut perlahan-lahan mengalami proses modernisasi. Nilaiuang mulai diterapkan terhadap barang-barang konsumsi masyarakat.
57
berkembangnya perkebunan-perkebunan di daerah pedesaan, maka di beberapa
daerah tempat perkebunan-perkebunan tersebut juga mulai didirikan industri-
industri untuk mengolah hasil-hasil perkebunan tersebut. Keberadaan industri-
industri yang didirikan dekat dengan perkebunan membuat waktu pengolahan
hasil perkebunan menjadi lebih singkat karena jarak yang ditempuh untuk
mengangkut hasil perkebunan ke industri pengolahan menjadi jauh lebih singkat
daripada sebelumnya.
Perkembangan perkebunan pada tahun 1870 membuat pemerintah Hindia-
Belanda mulai menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan perkebunan.
fasilitas-fasilitas tersebut antara lain adalah dibangunnya jalur transportasi dan
penyediaan alat transportasi, terutama untuk pengangkutan hasil perkebunan
seperti kereta api. Selain itu, pemerintah juga membangun saluran irigasi dan
waduk-waduk. Jalan Anyer-Panurukan yang dibangun oleh Daendels juga banyak
bermanfaat disaat pesatnya perkembangan perkebunan swasta pada tahun 1870
yang sebagian besar terletak di sepanjang daerah-daerah pesisir utara pantai Jawa.
Di Grobogan, dibangun jalur kereta api dan disediakan kereta api dengan
beberapa gerbong untuk mengangkut hasil-hasil perkebunan menuju industri-
industri pengolahan, baik yang terletak di Semarang maupun di Solo.
Agrarische Wet 1870 beserta pelaksanaannya yang telah mengakibatkan
perkembangan perkebunan-perkebunan besar milik swasta di Hindia-Belanda
dapat dikatakan berhasil meng-komersialisasi-kan Hindia-Belanda bagi modal
swasta. Tetapi, idealisme liberal yang diusungnya tidak berhasil diterapkan bagi
penduduk, terutama petani. Petani tidak merasakan adanya perubahan dalam
58
kesejahteraan hidup secara ekonomi. Apa yang dialami petani pada masa liberal
tidak lebih baik daripada masa sebelumnya (Cultuursetelsel). Jika pada masa
Cultuurstelsel petani hanya diperas oleh pemerintah kolonial, maka pada masa
liberal petani diperas oleh dua pihak sekaligus, yaitu pihak swasta dan pemerintah
Hindia-Belanda.
Pada masa liberal, pemerintah Hindia-Belanda tidak secara langung
memeras rakyat. Pemerasan dari pihak pemerintah adalah melalui pajak-pajak
perkebunan dan pabrik yang harus dibayar oleh pihak swasta. Padahal, pihak
swasta juga menginginkan keuntungan yang besar dari usahanya di Hindia-
Belanda sehingga yang terjadi kemudian adalah para petani yang bekerja menjadi
buruh di perkebunan-perkebunan milik swasta dibayar dengan gaji yang sangat
rendah. Tidak hanya itu yang terjadi juga adalah tidak adanya jaminan kesehatan
yang memadai bagi para buruh perkebunan dan pengurangan jatah makan. Pada
akhirnya yang terjadi lama kelamaan adalah para petani yang menjadi buruh
perkebunan milik swasta tidak lagi memiliki tanah karena disewakan untuk
membayar hutang, bahkan tidak menutup kemungkinan juga menjual tanahnya
yang disebut dengan istilah melepaskan haknya atas tanah miliknya tersebut.
Kemungkinan untuk mencari tambahan penghasilan dari pekerjaan lain
menjadi tertutup bagi petani yang telah menjadi buruh di perkebunan milik swasta
karena mereka diikat dengan sistem kontrak sehingga mereka tidak bisa
melepaskan diri. Bahkan ada sanksi yang akan diberikan jika mereka mencoba
untuk melarikan diri sebelum masa kontraknya selesai.
59
B. Dampak di Bidang Sosial
Selain memberi dampak di bidang ekonomi, Agrarische Wet 1870 juga
memberi dampak bagi kehidupan sosial masyarakat di Jawa. Dampak sosial yang
menonjol adalah munculnya golongan buruh. Kondisi perekonomian petani yang
tetap pada tingkat yang memprihatinkan mendesak para petani untuk mencari
tambahan penghasilan supaya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pesatnya perkembangan perkebunan-perkebunan besar tidak memberikan
pengaruh yang besar bagi kondisi perekonomian petani pada saat itu. Komoditi
perkebunan mengalahkan komiditi pertanian sehingga lahan pertanian pun banyak
yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan. Bahkan bukan hanya lahan
pertanian saja yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan, tetapi juga petani
yang kemudian beralih mata pencaharian dari petani yang menggarap lahan
pertanian menjadi buruh yang menggarap lahan perkebunan.
Pada tahun 1870 dapat dikatakan telah terjadi perubahan dalam mata
pencaharian petani di daerah-daerah perkebunan. Meskipun pada tahun 1870
perkebunan berkembang dengan sangat pesat di Jawa, akan tetapi kehidupan
petani tetap saja subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, petani
juga menjadi buruh di perkebunan-perkebunan. Profesi sebagai buruh ini tidak
berarti bahwa petani tersebut hanya bekerja di lahan perkebunan saja atau dengan
kata lain menjadi buruh tani untuk perkebunan. Selain menjadi buruh untuk
perkebunan, para petani juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Dengan
demikian, diharapkan kebutuhan hidup sehari-hari dapat dipenuhi dengan baik.
60
Perubahan tersebut sebagai salah satu dampak dari perkembangan
perkebunan tersebut pada akhirnya menyebabkan perubahan dalam stratifikasi
masyarakat agraris di Jawa khususnya di Grobogan. Dalam kenyataannya
memang ada petani yang sepenuhnya menjadi buruh untuk perkebunan, yang
disebut dengan buruh tani. Selain itu, ada juga petani yang tidak sepenuhnya
menjadi buruh untuk perkebunan. Para petani tersebut selain bekerja untuk
perkebunan juga tetap mengurusi lahan pertanian mereka. Akan tetapi, kondisi
tersebut pada akhirnya memunculkan golongan baru dalam stratifikasi dalam
masyarakat agraris, yaitu golongan buruh. Tetapi bukan berarti golongan petani
terhapuskan dengan adanya perubahan mata pencaharian petani menjadi buruh.
Kelompok petani yang sebagian besar menjadi buruh tani untuk
perkebunan swasta adalah para petani yang tidak mempunyai tanah miliknya
sendiri atau disebut juga dengan petani penyakap. Kelompok ini tidak mempunyai
sebidang tanah dan mereka bekerja di tanah-tanah pertanian milik tuan tanah di
desa. Bahkan ada juga petani penyakap yang tidak mempunyai rumah sehingga
mereka tinggal dengan menumpang di rumah majikannya, kelompok ini oleh
Justus M. van der Kroef disebut dengan bujang.2
Sedangkan kelompok petani yang selain menjadi buruh perkebunan juga
tetap menggarap tanah pertaniannya adalah petani yang mempunyai tanah
miliknya sendiri. Dalam konteks ini, menggarap tanah pertaniannya tidak lagi
dalam pengertian bahwa petani menyediakan komoditi-komiditi pertanian untuk
2 Justus M. van der Kroef, Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial diPedesaan Jawa dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, DuaAbad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masake Masa, (Jakarta, 1984), hal. 159-160.
61
dijual. Dengan keterbatasan waktu dan juga daya saing tanaman pertanian yang
lemah dibanding dengan tanaman perkebunan membuat hasil-hasil pertanian
petanin sebagian besar hanya untuk konsumsi pribadi. Keadaan ini semakin
membuat harga beras, khususnya, menjadi semakin tinggi. Produksi beras menjadi
menurun karena sebagian besar petani tidak lagi menanam padi dalam jumlah
yang besar, sedangkan beras tetap merupakan kebutuhan pokok petani di Hindia-
Belanda. Perhatian pemerintah Hindia-Belanda pun lebih terpusat pada
perkembangan perkebunan-perkebunan swasta di Hindia-Belanda. Akibatnya,
petani tetap harus bekerja keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari disamping juga bekerja keras menunjang perkembangan perkebunan-
perkebunan milik swasta.
Tetapi dengan adanya sistem kontrak di perkebunan-perkebunan swasta,
kemungkinan untuk mencari tambahan penghasilan dari tempat lain menjadi
tertutup terutama bagi para bujang. Dengan menjadi buruh di perkebunan, maka
mereka tidak lagi bisa bekerja menjadi petani penyakap di lahan-lahan pertanian
yang merupakan tempat mereka bekerja sebelumnya. Sistem kontrak di
perkebunan swasta bersifat sangat mengikat, sehingga akhirnya para bujang
tersebut menjadi buruh tani yang sepenuhnya bekerja untuk perkebunan swasta.
Keadaan tersebut tidak hanya berdampak terhadap para bujang saja. Para
petani yang awalnya mempunyai tanah pun akhirnya kehilangan tanah milik
mereka. Penghasilan yang diperoleh dengan bekerja di perkebunan swasta lama-
kelamaan tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan hidup serta pajak-pajak yang
masih harus dibayar oleh rakyat. Dengan adanya kemungkinan untuk
62
menyewakan tanah kepada swasta sebagaimana termuat dalam ketentuan
Agrarische Wet 1870, kelompok ini kemudian mulai menyewakan tanah mereka
kepada swasta. Pengeluaran untuk kebutuhan hidup yang semakin besar serta
untuk membayar pajak kemudian membuat hutang-hutang petani pun menjadi
banyak. Hal terakhir yang kemudian bisa dilakukan adalah dengan melepas
haknya atas tanah miliknya dan menyerahkannya kepada pemerintah Hindia-
Belanda. Dengan melepas haknya atas tanah miliknya tersebut, pemerintah
Hindia-Belanda akan memberikan sejumlah uang sebagai tanda ganti rugi. Jadi,
pada dasarnya melepas hak atas tanah miliknya hanya merupakan kata-kata
kosong karena yang terjadi sebenarnya adalah kegiatan jual-beli tanah antara
rakyat dan pemerintah Hindia-Belanda.
Secara garis besar stratifikasi masyarakat di Jawa dapat di gambarkan
sebagai berikut;
Keterangan:
1 = golongan tuan tanah
2 = golongan kaptalis
3 = golongan buruh
Diagram I
1
2
3
63
Sebelum sistem liberal diterapkan di Hindia-Belanda pada tahun 1870,
golongan tuan tanah adalah para raja dan juga priyayi, golongan kapitalis adalah
pemerintah Hindia-Belanda, dan golongan buruh adalah rakyat biasa (petani).
Dalam masyarakat Jawa yang agraris, raja mempunyai hak yang bersifat mutlak
terhadap tanah. Para priyayi atau pun pejabat kerajaan yang lainnya mendapatkan
hak atas sebagian tanah karena raja memberikan upah dalam bentuk tanah atau
yang disebut dengan “tanah lungguh”.3 Tanah lungguh ini akan kembali menjadi
milik raja jika pemiliknya meninggal atau dipecat dari jabatannya.4
Pemerintah Hindia-Belanda hadir sebagai golongan kapitalis. Mereka
adalah pemilik modal dan menyewa tanah untuk kepentingan-kepentingan mereka
dari para priyayi atau pejabat kerajaan lainnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan bagi golongan kapitalis untuk mendapatkan tanah dari raja melalui
perjanjian-perjanjian tertentu. Rakyat biasa yang merupakan petani
diklasifikasikan ke dalam golongan buruh. Kelompok ini mempunyai kedudukan
terendah dalam stratifikasi. Kelompok petani masih terbagi lagi ke dalam
beberapa lapisan. Lapisan teratas diduduki oleh kelompok petani yang memiliki
tanah, kelompok ini disebut dengan petani sikep. Petani sikep memperoleh tanah
3 Tanah lungguh ialah tanah yang dimiliki oleh kerajaan. Tanah lungguhini biasanya digunakan oleh para raja sebagai upah atau gaji bagi pejabat-pejabatkerajaan atau golongan priyayi. Di Mancanegara, tanah lungguh disebut denganistilah tanah bengkok. Lihat dalam Soediono M. P. Tjondronegoro dan GunawanWiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawadari Masa ke Masa, (Jakarta; 1984), hal. 57.
4 Soediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua AbadPenguasaan Tanah. Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,(Jakarta; 1984), hal. 5.
64
dari raja atau dari priyayi atau pejabat kerajaan lainnya, sama seperti halnya para
priyayi dan pejabat kerjaan lainnya memperoleh tanah dari raja sebagai upah.
Pada lapisan terendah di desa terdapat bujang atau numpang. Kelompok ini tidak
mempunyai tanah maupun tempat tinggal, mereka biasanya tinggal di tanah milik
tuannya yaitu para petani sikep tadi. Kemudian, muncul golongan menengah
diantara petani sikep dan bujang. Kelompok ini berasal dari bujang yang sudah
lama melayani sikep-nya, sehingga oleh sikep mereka diberikan bagian dari
pembagian tanah desa.5
Setelah penerapan sistem liberal di Hindia-Belanda padatahun 1870 terjadi
beberapa pergeseran dalam kelompok-kelompok tersebut. Pertama, golongan tuan
tanah yang awalnya diduduki oleh raja dan para priyayi dan pejabat kerajaan
lainnya menjadi tempat pemerintah Hindia-Belanda. Perjanjian-perjanjian tertentu
yang dibuat oleh pemerintah kolonial dengan raja-raja membuat hal tersebut
menjadi sangat mungkin, secara perlahan-lahan pemerintah kolonial menguasai
tanah-tanah di Hindia-Belanda. Adanya Domein Verklaring pada tahun 1870 juga
memperkuat hal tersebut. Bahkan dengan adanya peraturan tentang pelepasan hak
milik seseoarang atas tanah semakin memperkuat kedudukan pemerintah kolonial
sebagai golongan tuan tanah dalam stratifikasi sosial masyarakat agraris di
Hindia-Belanda.
Sistem liberal yang juga berarti bahwa di Hindia-Belanda dijalankan
politik ‘pintu terbuka’ telah menyebabkan munculnya pemilik-pemilik modal
swasta yang kemudian menduduki posisi golongan kapitalis yang awalnya
5 Ibid., hal. 7-8.
65
diduduki oleh pemerintah kolonial. Para pengusaha swasta tersebut memilih
sektor perkebunan sebagai tempat untuk menanamkan modalnya. Untuk itu,
mereka memerlukan tanah yang kemudian didapatkan dari pemerintah Hindia-
Belanda, selain didapatkan dengan menyewa secara langsung dari penduduk asli
setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang dikenal dengan istilah
Agrarische Wet 1870.
Di lapisan terendah, yaitu golongan buruh tetap diduduki oleh petani. Pada
masa liberal ini para petani banyak yang kemudian menjadi buruh tani di
perkebunan-perkebunan milik swasta yang tersebar di Hindia-Belanda, khususnya
di Jawa dan Sumatera. Petani tetap dengan kehidupannya yang subsisten
meskipun sedang berlangsung perkembangan perkebunan-perkebunan swasta
secara besar-besaran sejak tahun 1870. Kelompok petani yang benar-benar
bekerja sebagai buruh tani adalah kelompok bujang atau numpang. Kelompok ini
pulalah yang kesejahteraan hidupnya sangat memprihatinkan, meskipun dalam
perkembangannya secara menyeluruh dalam golongan buruh merasakan hal yang
sama.
66
BAB V
KESIMPULAN
Pada abad ke-19, keadaan ekonomi di Hindia-Belanda berada dalam masa
krisis. Berbagai macam faktor telah turut mendukung terciptanya keadaan
tersebut. Sebagai contohnya adalah Perang Diponegoro yang berlansung di Jawa
pada tahun 1825 sampai dengan tahun 1830 telah membuat pemerintah kolonial
mengeluarkan banyak biaya untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu perang yang
terjadi di Eropa sendiri juga turut memperburuk keadaan. Belanda jatuh ke tangan
Perancis dan dikuasai oleh Napoleon Bonaparte. Baru pada tahun 1815 dengan
adanya Konggres Wina, Belanda kembali memperoleh kedaulatannya. Tetapi,
Belgia yang menjadi bagian Belanda membeontak dan memisahkan diri dari
kedaulatan Belanda pada tahun 1839. Hal tersebut berarti bahwa Belanda
kehilangan sumber devisanya, karena banyak industri dan tanah domein negara
yang disewakan sebagai sumber keuangan berada di Belgia. Keadaan menjadi
semakin buruk tidak hanya dengan kehilangan Belgia, tetapi Belanda juga
kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon (sekarang; Sri Lanka). Faktor lain yang
juga mendukung keadaan tersebut adalah di dominasinya perdagangan ekspor
oleh Inggris.
Melihat kondisi perekonomian yang semakin memburuk tersebut, van den
Bosch–gubernur Hindia-Belanda saat itu–memutuskan untuk menjalankan suatu
sistem yang dikenal dengan istilah Cultuurstetsel. Dengan sistem tersebut, Bosch
percaya bahwa ancaman kebangkrutan yang ditakutkan oleh negeri induk dapat
teratasi. Cultuurstetsel yang diterapkan Bosch pada kenyataannya memang
67
berhasil menjauhkan Belanda dari ancaman kebangkrutan, tetapi di sisi lain sistem
tersebut sangat menyengsarakan penduduk pribumi, khususnya petani. Dalam
pelaksanaannya banyak terjadi penyelewengan dari ketentuan-ketentuan yang
seharusnya berlaku. Hal tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan dan
tuntutan untuk penghapusan Cultuurstetsel. Kritikan yang paling tajam adalah
kritikan dari kaum humanis mengenai kehidupan petani yang menderita akibat
pelaksanaan Cultuurstetsel. Selain itu ada juga kritikan dari kaum liberal yang
lebih ditujukan pada sistem perekonomiannya. Kaum liberal menuntut agar
perekonomian dikuasai atau dipegang oleh pihak swasta bukan pihak pemerintah.
Kritikan-kritikan tersebut pada akhirnya berhasil menghapuskan
Cultuurstetsel secara resmi pada tahun 1870 yang juga menjadi sebuah awal
sistem yang baru yaitu sistem liberal. Kebijakan yang cukup berpengaruh terhadap
perkembangan perekonomian di Hindia-Belanda pada masa liberal adalah
dikeluarkannya Agrarische Wet pada tahun 1870. Sistem liberal merupakan suatu
politik “pintu terbuka”, yaitu Hindia-Belanda terbuka terhadap modal-modal
swasta yang ingin mengusahakan kegiatan-kegiatannya di Hindia-Belanda. Segala
ketentuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan tersebut tercantum
dalam Agrarische Wet 1870. Sebagai dampak dari dikeluarkannya kebijakan
tersebut adalah perkembangan sektor perkebunan secara besar-besaran di Hindia-
Belanda, khususnya di Jawa dan Sumatera.
Perkembangan perkebunan yang terjadi secara besar-besaran di Jawa juga
terjadi di daerah Grobogan yang termasuk dalam wilayah karesidenan Semarang,
Jawa Tengah. Agrarische Wet 1870 dapat dikatakan sebagai pemicu tidak
68
langsung dari perkembangan perkebunan di Hindia-Belanda pada masa liberal.
Modal swasta masuk dengan bebas ke Hindia-Belanda dan sebagian besar pemilik
modal tersebut menginvestasikan modal mereka untuk kegiatan perkebunan,
karena pada abad tersebut hasil perkebunan memberikan hasil yang sangat
menguntungkan.
Perkebunan yang berkembang dengan pesat tersebut tentu saja membawa
dampak terhadap berbagai aspek, terutama dalam kehidupan petani, tokoh yang
erat kaitannya dengan perkebunan. Dalam lingkup penulisan ini, dampak yang
dimaksud adalah dampak ekonomi dan dampak sosial. Perkembangan perkebunan
yang pesat pada masa tersebut menjadi sumber penghasilan yang besar bagi
pemerintah kolonial, dalam bentuk uang sewa atas tanah yang digunakan oleh
para pemilik modal sebagai lahan perkebunan. Ini juga berarti bahwa monetisasi
semakin meluas di Hindia-Belanda, sistem uang semakin dikenal baik di kalangan
masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Oleh karena itu, terjadi juga perubahan
dalam sistem upah. Upah yang awalnya diberikan dalam bentuk tanah ataupun
hasil bumi berubah menjadi upah dalam bentuk uang. Perubahan semacam ini
sebagian besar terjadi di kalangan pekerja kelas atas atau menengah, meskipun
petani–sebagai pekerja kelas bawah–juga mengalami perubahan sistem upah
tersebut.
Di kalangan pejabat-pejabat pemerintahan, sistem upah dalam bentuk uang
sudah bukan merupakan hal yang sangat baru karena pada masa Raffles, dimana
sistem uang dikenal melalui sistem sewa tanah, pejabat-pejabat pemerintah sudah
mulai menarik pajak dalam bentuk uang. Bagi petani, pemahaman akan sistem
69
uang semakin meluas setelah berkembanganya perkebunan-perkebunan swasta
pada tahun 1870-an, terutama setelah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan
Agrarische Wet 1870 yang salah satu ketentuannya memungkinkan pihak swasta
untuk melakukan transaksi penyewaan tanah langsung dengan penduduk asli.
Kenyataan bahwa perkebunan di Grobogan juga berkembang dengan pesat
seperti halnya daerah lainnya di Jawa memang benar adanya, tetapi perkembangan
pesat tersebut tidak merubah kondisi perekonomian petani yang subsisten. Karena
pada masa tersebut menjadi tenaga kerja di perkebunan jauh lebih menguntungkan
jika dibandingkan dengan tetap bekerja di lahan pertanian, maka petani pun
beralih ke perkebunan-perkebunan yang ada. Lahan pertanian menjadi tidak
begitu menjanjikan karena lahan-lahan subur disewakan untuk lahan perkebunan.
Sebab lainnya juga adalah tanaman pertanian kalah dalam persaingan dengan
tanaman perkebunan yang menjadi komoditi ekspor. Oleh karena itu, untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya petani harus bekerja ekstra keras. Sehingga petani
kemudian banyak yang beralih menjadi buruh di lahan-lahan perkebunan yang ada
pada masa itu.
Idealisme liberal yang diusung dan diterapkan oleh kaum liberal di Hindia-
Belanda pada kenyataannya tidak berhasil diwujudkan. Kaum lliberal mencita-
citakan kesejahteraan bersama di Hindia-Belanda, baik bagi Belanda sebagai
pemeritah kolonial di Hindia-Belanda maupun bagi rakyat pribumi. Ketentuan
dari Agrarische Wet 1870 yang menyatakan bahwa penduduk asli dapat
menyewakan tanah miliknya, akan tetapi tidak boleh menjualnya kepada pihak
70
swasta, mencoba memberikan peluang sekaligus perlindungan terhadap penduduk
asli ternyata gagal.
Dengan ketentuan boleh menyewakan tanah miliknya kepada pihak
swasta, pemerintah liberal bermaksud memberikan kesempatan pada penduduk
asli untuk memahami cara-cara transaksi bahkan lebih memahami tentang sistem
uang dan bagaimana berwiraswasta. Hal tersebut gagal karena pada dasarnya
petani pada masa itu belum belum siap berhadapan secara langsung dengan pasar
bebas, terutama karena uang sebagai alat pembayaran belum dikenal secara luas
oleh penduduk asli. Kemudian melalui ketentuan yang menyatakan bahwa
penduduk asli hanya boleh menyewakan tanahnya dan bukan menjualnya kepada
pihak swasta dimaksudkan untuk melindungi hak milik penduduk asli atas
tanahnya. Hal tersebut pun dalam perkembangannya mengalami kegagalan.
Dengan adanya peraturan pemerintah yang memperbolehkan penduduk asli
melepas haknya atas tanah miliknya dan Domein Verklaring yang membenarkan
pemenrintah mengambil alih tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan
kepemilikannya, menjadikan perlindungan terhadap hak perseorangan atas tanah
lama-kelamaan tidak berfungsi sebagaimana adanya.
Pada akhirnya Agrarische Wet 1870 hanya memenangkan kepentingan
pihak swasta saja. Pemerintah Hindia-Belanda tentu saja lebih mengutamakan
kepentingan pihak swasta dalam menjalankan usahanya di Hindia-Belanda
dibandingkan dengan kepentingan pihak rakyat, karena politik liberal memang
bertujuan untuk mengkomersialisasikan Hindia-Belanda bagi para pemilik modal
swasta. Eksploitasi terhadap tenaga petani tidak berakhir dengan berakhirnya
71
Cultuurstelsel, bahkan pada masa liberal tenaga petani dieksploitasi oleh dua
pihak dalam waktu yang bersamaan, yaitu pihak swasta yang secara langsung
melakukan eksploitasi melalui perkerjaan-perkerjaan di perkebunan-perkebunan
mereka dan pihak pemerintah melalui pajak-pajak yang dikenakan pada pihak
swasta. Jadi, Cultuurstelsel maupun Agrarische Wet 1870 tetap menempatkan
petani pada posisi sebagai korban eksploitasi agraris.
Sektor perkebunan di Grobogan tetap menjadi sektor unggulan
penduduknya hingga saat ini, seperti perkebunan tebu, tembakau dan kopi yang
sudah ada sejak masa Cultuurstelsel, bahkan saat ini sudah ada beberapa
perkebunan lainnya yang juga menjadi sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan.
Ketersediaan lahan dan tenaga kerja membuat sektor perkebunan menjadi salah
satu sektor unggulan dari Kabupaten Grobogan. Meskipun jauh lebih bebas
dibandingkan dengan masa-masa Cultuurstelsel maupun liberal, tetapi kehidupan
petani belum bisa dikatakan sejahtera. Di era globalisasi, swastanisasi agraria
kembali merebak dan petani masih tetap sebagai golongan buruh yang setia
menopang keberlangsungan kehidupan agraris di Indonesia.
Dengan demikian ada beberapa hal pokok yang dapat ditarik sebagai
kesimpulan dari penulisan skripsi ini. Pertama, ialah bahwa proses perkembangan
sistem perkebunan di Hindia-Belanda berlangsung sinergis dengan perkembangan
politik kolonial. Dapat dilihat bahwa pertumbuhan sistem perkebunan di Hindia-
Belanda berlangsung dalam dua fase perkembangan, yaitu fase perkembangan
industri perkebunan negara ke fase industri perkebunan swasta, serta beriringan
dengan perkembangan orientasi politik kolonial dari orientasi politik konservatif
72
ke politik liberal. Pada awal abad ke-19, golongan konservatif menguasai
pemerintahan. Mereka melakukan politik eksploitasi dengan penyerahan paksa
(Cultuurstelsel; 1830-1870). Eksploitasi produksi pertanian diwujudkan dalam
bentuk usaha perkebunan negara berdasarkan atas sistem tanam wajib atau tanam
paksa. Kemudian sejak tahun 1870-an terjadi pergeseran kebijaksanaan politik
dari politik konservatif ke politik liberal. Hal ini diikuti dengan perubahan
kebijaksanaan politik drainage, yaitu politik eksploitasi tanah jajahan yang semula
dikelola negara, kemudian diganti oleh perusahaan swasta.
Kedua, penerapan sistem liberal di Hindia-Belanda telah mengakibatkan
terjadinya perkembangan usaha perkebunan milik swasta yang dipertegas dengan
dikeluarkan dan dilaksanakan Agrarische Wet 1870. Kabupaten Grobogan yang
merupakan salah satu wilayah dari Karesidenan Semarang menjadi salah satu
pusat perkembangan perkebunan milik swasta pada masa Liberal. Ketersediaan
sumber daya manusia dan kondisi geografis di kabupaten Grobogan merupakan
faktor utama yang menyebabkan perkembangan usaha-usaha perkebunan swasta
di kabupaten Grobogan. Dengan pelaksanaan Agrarische Wet 1870, pihak swasta
menjadi lebih mudah dalam hal penyewaan tanah dan pendapat penduduk di
kabupaten Grobogan mendapatkan kesempatan untuk mengenal dan melakukan
transaksi sewa tanah dengan pihak swasta secara langsung.
Ketiga, pelaksanaan Agrarische Wet 1870 tentu saja membawa dampak
terhadap kehidupan petani. Secara ringkas, hubungan antara pelaksanaan
Agrarische Wet 1870 dengan kehidupan petani di kabupaten Grobogan dapat
digambarkan sebagai berikut;
73
Pelaksanaan Agrarische Wet 1870 telah mengakibatkan terjadinya
liberalisasi perkebunan. Usaha-usaha perkebunan milik swasta berkembang
dengan sangat pesat di kabupaten Grobogan. Proses liberalisasi ini tidak hanya
menyebabkan berdirinya usaha-usaha perkebunan swasta, tetapi juga
menyebabkan terjadinya industrialisasi perkebunan sebagai penyokong proses
liberalisasi perkebunan tersebut. Proses liberalisasi perkebunan inilah yang
kemudian membawa berbagai dampak terhadap kehidupan petani di kabupaten
Grobogan. Ada dua bidang penting yang terkena dampak yang paling menonjol,
yaitu bidang ekonomi dan bidang sosial.
Di bidang ekonomi dapat dicatat beberapa dampak, seperti kemajuan
ekonomi Hindia-Belanda, meluasnya monetisasi atau sistem uang, dan
industrialisasi perkebunan. Dengan pelaksanaan sistem liberal dan berlakunya
Agrarische Wet 1870, maka Hindia-Belanda dibanjiri oleh modal-modal swasta
yang ingin mengusahakan kegiatannya dengan mendirikan usaha-usaha
perkebunan di Hindia-Belanda, dan salah satu daerah yang menjadi pilihan para
pemilik modal ialah kabupaten Grobogan. Dengan banyaknya pihak swasta yang
menanamkan modalnya di Hindia-Belanda, maka hal ini berarti pendapatan dalam
bentuk devisa bagi negeri induk, yaitu Belanda.
Salah satu ketentuan dari Agrarische Wet 1870 yang memungkinkan bagi
pihak swasta dan penduduk untuk melakukan transaksi penyewaan tanah secara
AgrarischeWet 1870
LiberalisasiPerkebunan
Petani
74
langsung memantapkan meluasnya monetisasi atau sistem uang hingga ke
masyarakat lapisan bawah. Perkembangan usaha perkebunan kemudian tentu saja
disertai dengan penyediaan fasilitas-fasilitas pendukungnya, seperti industri-
industri perkebunan dan pembangunan sarana dan prasarana transportasi. Hal
inilah yang dimaksud dengan industrialisasi perkebunan.
Di bidang sosial, dampak yang paling menonjol ialah munculnya golongan
buruh. Kesubsistenan kehidupan petani di kabupaten Grobogan mendesak para
petani untuk menemukan tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Hadirnya usaha-usaha perkebunan swasta di kabupaten
Grobogan seakan memberikan sebuah harapan bagi para petani tersebut. Mereka
berharap dengan bekerja sebagai buruh tani di perkebunan-perkebunan milik
swasta dapat membuat kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih baik. Harapan
tinggal harapan, petani tetap saja dengan kehidupan mereka yang subsisten. Pihak
swasta tidak jauh lebih baik daripada pemerintah kolonial. Petani tetap
tereksploitasi oleh pemerintah kolonial, hanya saja dengan hadirnya pihak swasta
maka eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial menjadi bersifat tidak
langsung. Eksploitasi pemerintah kolonial terhadap petani adalah melalui pajak-
pajak yang dibebankan pada pihak swasta. Padahal, di satu sisi, pihak swasta juga
menginginkan keuntungan yang besar dari usaha-usahanya di Hindia-Belanda.
Untuk itu, akhirnya upah terhadap buruh tani ditekan seminimal mungkin.
Dengan rendahnya upah yang diberikan oleh pihak swasta dan tidak
adanya jaminan-jaminan kesejahteraan dari perkebunan-perkebunan swasta, serta
pajak yang masih harus dibayar petani kepada pemerintah kolonial membuat
75
petani tidak bisa lepas dari kehidupan subsisten mereka. Kontrak kerja yang
sangat mengikat di perkebunan-perkebunan milik swasta semakin menutup
kemungkinan bagi para buruh tani untuk menambah penghasilan dari tempat lain.
Jadi, dengan beberapa kesimpulan pokok di atas dapatlah kiranya ditarik
sebuah kesimpulan besar bahwa proses swastanisasi yang diusung kaum liberal
tidak membawa dampak positif bagi kehidupan petani di kabupaten Grobogan.
Kenyataan yang terjadi menunjukkan adanya kontradiksi antara cita-cita
liberalisme dengan pelaksanaannya, dimana cita-cita liberalisme ialah tercapainya
kebebasan dan kesejahteraan umum di Hindia-Belanda, baik bagi pemerintah
kolonial maupun bagi penduduk asli. Kenyataan yang terjadi akhirnya ialah petani
tetap tereksploitasi oleh pihak swasta secara langsung dan juga pemerintah
kolonial secara tidak langsung dan kesejahteraan yang dicita-citakan kaum liberal
hanya dinikmati oleh pemerintah kolonial dan pihak swasta saja.
76
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Benjamin, Jules. R. 1998. A Student’s Guide to History. Boston: Bedford Books.
Djuliati Suroyo,A. M.. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX. Kerja Wajib diKaresidenan Kedu 1800-1890. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Furnivall, J. S. 1961. Netherlands India. A Study of Plural Economy. Cambridge:Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 1971. Agricultural Involution: The Process of EcologicalChange in Indonesia. Barkeley: University of California Press.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah (terj.). Jakarta: Penerbit UniversitasIndonesia Press (UI-Press).
K. Wiharyanto, A.. 2006. Sejarah Indonesia Madya Abad XVI-XIX. Yogyakarta:Universitas Sanata Dharma.
Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Mackie, J. A. C. 1987. “The Impact of Plantation on Local Societies in ColonialIndonesia”, dalam T. Ibrahim Alfiian, et. al. (eds.), Dari Babad danHikayat sampai Sejarah Kritis, KUmpulan karangan dipersembahkankepada Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, Yogyakarta: Gama Press.
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto dan Bambang Sumadio,eds. 1984. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II. Jaman Kuna (awal M-1500). Jakarta: Balai Pustaka.
______________. 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: BalaiPustaka.
Niel, Robert van. 1992. Java under the Cultivation System. Leiden: KITLV Press.
Raffles, Thomas Stamford. Penyunting: Hamonangan Simanjuntak dan ReviantoB. Santosa. 2008. The History of Java. Cet. 1. Yogyakarta: PenerbitNarasi.
Reiner, G. J. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (terj.). Yogyakarta: PustakaPelajar.
77
Sarjana Sigit Wahyudi, M. S., Drs. 2000. Dampak Agro Industri di DaerahPersawahan di Jawa. Semarang: Penerbit Mimbar dan Yayasan AdikaryaIkapi serta The Ford Foundation.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam MetodologiSejarah. Jakarta: Gramedia.
________________. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. DariEmporium sampai Imperium, Jilid. I. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama.
________________. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SejarahPergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid II.Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Scott, James C. transl. Hasan Basri. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakandan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Suhartono W. Pranoto. 2001. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: AgastyaMedia.
Sumitro Djojohadikusumo. 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Buku I:Dasar Teori dalam Ekonomi Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumber Online
Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Jakarta. StatistikPerkebunan Indonesia 2006-2008.<http://regionalinvestment.com/sipid/id/komoditiketersediaanlahan.php?ia=3315&is=136>. Tanggal Pengaksesan Data: 10 Agustus 2009.
____________. Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008.<http://regionalinvestment.com/sipid/id/komoditiprofilkomoditi.php?ia=3315&is=135>. Tanggal Pengaksesan Data: 10 Agustus 2009.
Edi Cahyono. Kaum Tani dan Sistem Tanam Paksa pada Pertengahan Abad ke-19. <http://www.geocities.com/edicahy/sej-ind/GRKnight.html>.TanggalPengaksesan Data: 26 Januari 2008.
__________. Karesidenan Pekalongan Kurun Cultuurstelsel: Masyarakat PribumiMenyongsong Pabrik Gula.<http://members.fortunecity.com/edicahy/thesis/>. Tanggal PengaksesanData: 26 Januari 2008.
78
<http://ppijkt.wordpress.com/2007/12/16/pola-penguasaan-tanah-era-tanam-paksa/.> Tanggal Pengaksesan Data: 16 Desember 2007.
<http://id.wikipedia.org/wiki/Tanam_paksa>. Tanggal Pengaksesan Data: 19Februari 2008.
<http://www.ekonomirakyat.org/galeri_war/wartasem_7.htm>.TanggalPengaksesan Data: 25 Februari 2008.
Pemerintah Kabupaten Grobogan. Perkebunan.<http://grobogan.go.id/index.php?option=com_content&task=vew&id=55&itemid=71>. Tanggal Pengaksesan Data: 31 Juli 2009.
Profil Kabupaten Grobogan. <http://daerah1.ampl.or.id/index.php?option-com_content&task=view&id=32>. Tanggal Pengaksesan Data: 10Agustus 2009.
Ramadhan, Syamsudin. 2006. Liberalisme. Dalamhttp://www.syariahpublications.com. Tanggal Pengaksesan Data: 23 Juli2009.
Sarwono. Perekonomian Indonesia di bawah Jajahan Belanda (1830-1870).<http://www.sarwono.net/artikel.php?id=50>. Tanggal Pengaksesan Data:29 Februari 2008.
<http://www.grobogan.com/?Sejarah>. Tanggal Pengaksesan Data: 21 Desember2009.
<http://korantarget.wordpress.com/2008/03/03/sejarah-kabupaten-grobogan/>.Tanggal Pengaksesan Data: 21 Desember 2009.
<http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Grobogan>. Tanggal Pengaksesan Data:21 Desember 2009.