DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
Laporan Kasus : Manajemen Pterigium Rekuren dengan Simblefaron
Penyaji : Erlinda Agustina
Pembimbing : Dr. Susi Heryati, SpM(K)
Telah diperiksa dan disetujui oleh
Pembimbing
Dr. Susi Heryati, SpM(K)
Rabu, 06 Februari 2019
Pukul 07.30 WIB
1
Management Recurrent Pterygium with Symblepharon
ABSTRACT
Introduction: Pterygium is an ocular disease characterised by the growth of fibrovascular conjunctiva on the cornea. It occurs more often in individuals exposed to ultraviolet radiation. Surgical treatment is the primary treatment for pterygium. Unfortunately, the rate of recurrenceis high in men and tropical regions. Purpose: To report a case of management recurrent pterygium with symblepharon Case Report: A sixty-six years old man came to Cicendo Eye Hospital with a recurrent of reddish membrane on his both eyes as a chief complaint. He underwent pterygial surgery on his both eyes 1 year ago in 45 Hospital Kuningan. Ophthalmological examination revealed visual acuity right eye (RE) was 0.2 F1 PH 0.32 and left eye (LE) was 0.08 PH 0.25 with esotropia in primary gaze and restriction lateral gaze eye movement. From the anterior segment examination of his both eyes revealed symblepharon, fibrovascular membrane extended from conjunctiva to cornea, shortening of the fornix, scarring of the cornea RE and opacity of the lens. The patient was diagnosed as Pterygium Recurrent Grade III-IV RE et Grade II-III LE + Symblepharon OU + Scarring of the Right Cornea + Senile Imature Cataract OU. The patient was treated with pterygium excision + CAG + 5 FU + symblepharectomy RE. Therapies given are combination form of Polymicin B sulphate, neomycin sulphate and dexamethasone ed 6xOD, artificial tears 6xOD, Mefenamic acid tab 3x500 mg. Conclusion: Pterygium is a conjunctival fibrovascular growth that is degenerative and invasive. Pterigium is mostly occurred in men related to male outdoor activities. Recurrent pterygium is a postoperative complication of primary pterygium. Excision of pterygium, combined with symblepharectomy, administration of fluorouracil were the methods that can be the main choice in the treatment of recurrent pterygium with simblepharon. Keywords: Cag, Fluorouracil, Pterygium, Recurrent Pterygium, Symblepharon. I. Pendahuluan
Pterigium adalah pertumbuhan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular pada
kornea superfisial yang berbentuk sayap akibat suatu proses degenerasi dan
hiperplasia jaringan konjungtiva dan merusak lapisan epitel, membrana Bowman
dan stroma superfisial kornea. 1,2,12 Prevalensi pterigium di dunia 10,2% dan
kejadiannya lebih sering terjadi pada wilayah tropis.3 Prevalensi terbesar terjadi di
Cina (53%) dan terkecil terjadi di Saudi Arabia (0,07%).4 Di Indonesia, prevalensi
2
pterigium 8,3% dengan prevalensi laki-laki 8,5% dan pada perempuan 8%.5
Meskipun etiologi dan patogenesis pterigium masih belum diketahui secara pasti,
beberapa faktor risiko telah dihubungkan dengan pterigium. Faktor risiko utama
pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet. Selain itu, kegiatan di luar
ruangan dalam durasi yang lama, trauma lingkungan berupa angin atau debu dan
inflamasi kronik.3,4
Pilihan utama terapi pterigium adalah pembedahan dimana komplikasi dari
pterigium primer berupa rekurensi sekitar 30-50% dan simblefaron. Simblefaron
adalah perlengketan konjungtiva palpebral ke konjungtiva bulbar.16-20 Tatalaksana
rekurensi pterigium dengan simblefaron yaitu simblefarektomi yang
dikombinasikan dengan eksisi pterigium, penutupan defek dengan teknik tandur
konjungtiva dan dengan terapi tambahan seperti mitomicin C atau fluorouracil.10,11,
Makalah ini memaparkan sebuah kasus laki-laki dengan pterigium rekurensi
dengan simblefaron serta penatalaksanaan simblefarektomi yang dikombinasikan
dengan eksisi pterigium, penutupan defek dengan teknik tandur konjungtiva dan
aplikasi 5FU (fluorouracil).
II. Laporan Kasus
Pasien Tn. A usia 66 tahun datang ke unit Infeksi dan Imunologi PMN RS Mata
Cicendo Bandung pada tanggal 15 Januari 2019 dengan keluhan utama adanya
selaput kemerahan yang timbul pada kedua mata sejak 1 tahun sebelum masuk
rumah sakit. Keluhan disertai dengan rasa mengganjal, buram, penglihatan ganda,
berair, juling dan tidak fokus. Riwayat juling dirasakan sejak 2 tahun yang lalu dan
timbul secara perlahan-lahan sebelum selaput bertambah besar. Pasien bekerja
sebagai petani. Riwayat tidak memakai kacamata pelindung saat bekerja di sawah
(+). Riwayat keluhan serupa dirasakan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat operasi pterigium ODS di RSUD 45 Kuningan sejak 1 tahun yang lalu.
Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, alergi. Pemeriksaan fisik
status generalisata didapatkan kesadaran compos mentis. Tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 80x/menit, respirasi 20x/menit, suhu 36,2˚ C, berat badan 47 Kg dan
skala nyeri 3. Pemeriksaan oftalmologis didapatkan visus dasar mata kanan adalah
3
0.2 F1 PH 0.32 dan mata kiri adalah 0.08 PH tetap. Tekanan intra okular palpasi
kedua mata dalam batas normal. Gerakan bola mata kanan adalah -2
(superotemporal, temporal dan inferotemporal) dan gerakan bola mata kiri adalah -
1 (superotemporal, temporal dan inferotemporal). Pemeriksan segmen anterior
kedua mata, pada palpebral superior dan inferior ditemukan simblefaron,
pemendekan fornix. Pemeriksaan segmen anterior kedua mata, konjungtiva bulbi
ditemukan adanya simblefaron, pterigium grade III-IV pada mata kanan dan
pterigium grade II-III pada mata kiri. Pada kornea kedua mata ditemukan adanya
head pterigium dan sikatrik pada mata kanan. Untuk pemeriksaan lainnya sepeti
bilik mata depan, pupil dan iris tidak ditemukan adanya kelainan. Pada lensa kedua
mata ditemukan agak keruh. Pada pemeriksaan segmen posterior dalam batas
normal. Pasien didiagnosa dengan Pterigium Rekuren Grade III-IV OD et Grade II-
III OS + Simblefaron ODS + Katarak Senilis Imatur ODS. Pasien direncanakan
untuk dilakukan tindakan simblefarektomi yang dikombinasikan dengan eksisi
pterigium + CAG + 5 FU OD pada tanggal 17 Januari 2019.
Gambar 2.1 Mata Kanan Sebelum Operasi (A) dan Mata Kiri (B)
Pada tanggal 17 Januari 2019, pasien dilakukan operasi dimana prosedur operasi
eksisi pterigium dengan simblefarektomi yang dimulai dengan jahitan traksi atau
fiksasi sebanyak 4 buah pada palpebral superotemporal, palpebral superonasal,
palpebral inferotemporal, palpebral inferonasal(A), dilakukan simblefarektomi
dengan memisahkan konjungtiva dari jaringan parut yang mendasarinya serta
pengangkatan jaringan parut subkonjungtiva (B), membersihkan kepala pterygium
dari kornea dan memisahkan serta mengeluarkan tubuh pterigium (C), membelah
A B
4
konjungtiva menjadi flap untuk membuat fornix dan flap penutup sclera (D),
aplikasi 5FU (fluorouracil) selama 3 menit pada subkonjungtiva bagian inferonasal
(E), dilakukan rekonstruksi subkonjungtiva pada inferonasal, fiksasi flap rotasi di
fornix superonasal dan pemasangan sponge pada kulit palpebral inferonasal (F),
dilakukan pengambilan graft pada bagian konjungtiva superotemporal dengan
ukuran 5x6 mm (G), dilakukan pemasangan graft pada bagian eksisi pterigium
(gambar H) dan dilakukan penjahitan pada graft (gambar I).
Pada POD I pada tanggal 18 Januari 2019, didapatkan visus dasar mata kanan
adalah 0.125 PH 0.32 dan mata kiri adalah 0.08 PH tetap. Tekanan intra okular
palpasi kedua mata dalam batas normal. Gerakan bola mata kanan adalah -1
(superotemporal, temporal dan inferotemporal) dan gerakan bola mata kiri adalah
-1 (superotemporal, temporal dan inferotemporal).
A B
C D
E F
5
Gambar 2.2 Dokumentasi Prosedur. Jahitan traksi atau fiksasi (A), dilakukan simblefarektomi (B), eksisi pterigium (C), membelah konjungtiva menjadi 2 flap (D), aplikasi 5 FU (fluorouracil) selama 3 menit (E), rekonstruksi subkonjungtiva pada inferonasal, fiksasi flap rotasi dan pemasangan sponge pada kulit palpebral inferonasal (F), pengambilan graft (G), dilakukan pemasangan graft (gambar H) dan penjahitan pada graft (gambar I).
Pemeriksaan palpebral kanan ditemukan blefarospasme, sekret dan palpebral mata
kiri ditemukan simblefaron. Pada pemeriksaan segmen anterior kedua mata,
konjungtiva bulbi mata kanan ditemukan adanya injeksi silier, graft intak, hecting
intak dan konjungtiva bulbi mata kiri ditemukan pterigium grade II-III. Pada kornea
kedua mata ditemukan adanya sikatrik pada mata kanan dan head pterigium pada
mata kiri. Untuk pemeriksaan lainnya sepeti bilik mata depan, pupil dan iris tidak
ditemukan adanya kelainan. Pada lensa kedua mata ditemukan agak keruh. Pasien
didiagnosa dengan Post Eksisi Pterigium + CAG + 5FU + Simblefarektomi OD +
Simblefaron OS + KSI ODS + Pterigium grade II-III OS + Esotropia ec Restriksi.
Pasien mendapatkan terapi kombinasi berupa polimiksin B sulfat, neomisin sulfat
H
I
G
6
dan deksametason ed 8xOD, airmata artifisial 1 tetes/jam OD, Ciprofloxacin 2x500
mg dan Asam Mefenamat tab 3x500 mg, saran rawat jalan dan kontrol ke poli
Infeksi dan Imunologi 1 minggu yang akan datang.
Gambar 2.3 Mata Kanan Setelah Operasi Pada POD 8 tanggal 25 Januari 2019, pasien datang ke poli Infeksi dan
Imunologi. Pasien merasakan tidak ada keluhan dari mata kanan. Pada pemeriksaan
status generalisata, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan oftamologis
didapatkan visus dasar mata kanan adalah 0.125 PH 0.32 dan mata kiri adalah 0.08
PH tetap. Gerakan bola mata kanan adalah -1 (superotemporal, temporal dan
inferotemporal) dan gerakan bola mata kiri adalah -1 (superotemporal, temporal
dan inferotemporal). Tekanan intraokular palpasi kedua mata dalam batas normal.
Pemeriksaan palpebra superior dan inferior mata kanan tenang dan mata kiri
ditemukan simblefaron. Pada pemeriksaan segmen anterior kedua mata,
konjungtiva bulbi mata kanan ditemukan adanya graft intak, hecting intak dan mata
kiri ditemukan pterigium grade II-III. Pada kornea kedua mata ditemukan adanya
sikatrik pada mata kanan dan head pterigium pada mata kiri. Untuk pemeriksaan
lainnya sepeti bilik mata depan, pupil dan iris tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada lensa kedua mata ditemukan agak keruh. Pasien didiagnosa dengan Post Eksisi
Pterigium + CAG + 5FU + Simblefarektomi OD + Simblefaron OS + KSI ODS +
Pterigium grade II-III OS + Esotropia ec Restriksi + Sikatrik Kornea OD. Pasien
mendapatkan terapi kombinasi berupa Polimiksin B sulfat, neomisin sulfat dan
dexametason ed 6xOD, airmata artifisial 6xOD, Asam Mefenamat tab 3x500 mg,
aff hecting frost suture dan kontrol ke poli Infeksi dan Imunologi 1 minggu yang
7
akan datang. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam
dubia, dan quo ad sanationam dubia.
III. Diskusi
Pterigium adalah pertumbuhan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular pada
kornea yang dapat merusak lapisan epitel, membrana bowman dan stroma
superfisial kornea. Pertumbuhan ini umumnya terletak pada celah kelopak bagian
nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium
berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pasien
dengan pterigium dapat tidak bergejala, tanpa keluhan atau justru memberikan
keluhan mata iritatif, merah dan mungkin akan memberikan keluhan seperti buram,
berair, rasa mengganjal dan penglihatan ganda. Pterigium dapat disertai dengan
garis besi yang terletak di epitel kornea anterior dari pterigium yang dinamakan
stocker’s line.1–4
Prevalensi pterigium pada laki-laki lebih besar daripada perempuan
8%. Peningkatan kejadian pterigium dicatat di daerah tropis atau di zona
khatulistiwa antara 30 derajat lintang utara dan selatan. Hal ini telah dikaitkan
dengan radiasi matahari yang berlebihan dan meskipun patogenesis pterigium tidak
dipahami dengan jelas, sinar ultraviolet (UV) diterima secara luas. menjadi faktor
risiko tunggal yang paling penting dalam penyebabnya. Radiasi UV memicu
serangkaian peristiwa yang dapat menghasilkan kerusakan pada DNA seluler, RNA
dan matriks ekstraseluler.5,6,7
Perubahan yang diperantarai radiasi UV pada sel stem limbus merupakan inisiasi
patogenesis pterigium. Sel pterigium mengekspresikan sejumlah sitokin inflamasi,
faktor pertumbuhan (growth factor, GH), dan matrix-metallo-proteinase (MMP)
berkontribusi pada inflamasi, fibrogenesis, dan vaskulasrisasi, dan invasi pterigium.
Fibroblast limbus distimulasi oleh radiasi UV, sehingga akan mensekresi GH dan
MMP yang akan menyebabkan remodeling matriks ekstraselular dan disolusi
membran Bowman dan invasi pterigium. (Gambar 3.1). Faktor resiko lain pterigium
adalah debu, udara yang panas, bekerja di luar ruangan, dan riwayat operasi
pterigium sebelumnya pada pterigium rekuren.4-7
8
Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik pasien, yaitu seorang laki-laki
berdomisili di daerah tropis. Faktor resiko pada pasien adalah pekerjaan sebagai
petani dimana pasien sering terpapar sinar matahari, debu dan angin. Pasien ini
memiliki keluhan yang merupakan keluhan umum pada pterigium seperti
penglihatan buram, berair, rasa mengganjal dan penglihatan ganda.
Gambar 3.1 Patogenesis Pterigium. Dikutip dari : Zhou et al.7
Berdasarkan atas ukuran lesi pterigum, pterigium terdiri atas empat grade.
Grade I menutupi sampai limbus, grade II menutupi kornea 2 mm, grade III
mencapai tepi pupil dan grade IV menutupi pupil, seperti tercantum pada Gambar
3.2.8
Gambar 3.2 Gambaran grade pterigium berdasarkan atas ukuran lesinya.
A= grade I; B=grade II; C=grade III; dan D=grade IV. Dikutip dari : Ribeiro et al.8
Sel induk basal limbal
Fibroblast limbal
Perubahan sel induk
basal limbal
Fibroblas pterigium
Inflamasi
b-FGF/TGF-β↑ UV
Proliferasi epitel
Proliferasi fibrovaskuler
Disolusi lapisan bowman
Invasi pterigium
Degenerasi elastoid
9
Berdasarkan atas kemerahan badan pterigium, pterigium terdiri atas beberapa
derajat (grade), seperti pada Gambar 3.3. Grade I tidak disertai perubahan warna
menjadi kemerahan, grade II terdiri atas sebagian warna kemerahan, dan grade III
memiliki perubahan warna merah yang nyata.919,20 Diagnosis pada pasien ini adalah
pterigium grade III-IV OD et grade II-III OS + simblefaron ODS + KSI ODS +
esotropia ec restriksi.
Gambar 3.3. Gambaran grade pterigium berdasarkan atas kemerahan
badan pterigium. A= grade I; B=grade II; dan C=grade III. Dikutip dari: Safi et al.9
Pilihan utama terapi pterigium adalah pembedahan. Komplikasi dari pterigium
primer berupa rekurensi sekitar 30-50% dan simblefaron. Pterigium rekurensi
adalah suatu rekurensi kornea berupa pertumbuhan kembali dari jaringan
fibrovaskuler melebihi 1-2 mm melewati limbus dan menuju kornea. Tingkat
kekambuhan adalah 10,9% (pada pterigium primer), 37,5% (berulang pterigium),
dan 14,8% (semua pterigium) setelah eksisi pterigium.16,17,18
Pada pasien ditemukan simblefaron. Simblefaron merupakan perlengkatan
konjungtiva palpebral dan konjungtiva bulbar. Penyebab umum simblefaron adalah
luka bakar termal atau kimia dan cedera. Gambaran klinis simblefaron adalah
gerakan mata menjadi terbatas, diplopia dan lagophthalmos. Jenis-jenis
simblefaron, tergantung pada luasnya adhesi adalah sebagai berikut simblefaron
10
anterior, simblefaron posterior yang adhesi terjadi di bagian fornik dan simblefaron
total.
Gambar 3.4. Jenis-Jenis Simblefaron. A dan D= Simblefaron Anterior; B dan E
Simblefaron Posterior; C= Simblefaron Total Dikutip dari: Khurana AK.19
Untuk setiap simblefaron, lokasi ditetapkan dengan menggunakan U: Upper Lid
atau L: Lower Lid, dan N: Nasal, M: Midlde atau T: Temporal. Tingkat keparahan
dinilai berdasarkan tiga parameter diatas antara lain (1) panjang simblefaron
vertikal terpendek yang diukur dari limbus ke lid margin dari pemendekan forniks,
dikatakan sebagai mild jika panjangnya lebih besar dari konjungtiva palpebral (A);
sebagai moderate jika panjangnya lebih besar dari konjungtiva tarsal tetapi lebih
pendek dari konjungtiva palpebra (B) atau sebagai severe jika panjangnya lebih
pendek dari konjungtiva tarsal normal (C).24
Gambar 3.5 Tingkat Keparahan Simblefaron (Panjang Simblefaron Vertikal
Terpendek). Mild (A); moderate (B); atau severe (C). Dikutip dari: Tseng Scheffer C.G.24
11
(2) Lebar horizontal terpanjang simblefaron dibandingkan dengan panjang kelopak
mata. Dikatakan sebagai mild jika lebarnya kurang dari 1/3 (A); moderate jika
lebarnya lebih besar dari 1/3 tetapi kurang dari 2/3 (B); atau sebagai severe jika
lebarnya lebih besar dari 2/3 tutupnya (C).24
Gambar 3.5 Tingkat Keparahan Simblefaron (Lebar Horizontal Terpanjang
Simblefaron). Mild (A); Moderate (B); atau Severe (C). Dikutip dari: Tseng Scheffer C.G.24 (3) Keparahan dan lokasi aktivitas inflamasi simblefaron. Aktivitas inflamasi
dinilai sebagai “0” jika absent (A); “1+” jika mild (B); “2+” jika moderate (C);
atau “3+” jika severe ditandai dengan adanya vaskularisasi dan ada atau tidak
adanya jaringan parut berwarna putih (D).24
Gambar 3.5 Tingkat Keparahan Simblefaron (Keparahan dan Lokasi Aktivitas Inflamasi
Simblefaron). 0” jika absent (A); “1+” jika mild (B); “2+” jika moderate (C); atau “3+” jika severe (D). Dikutip dari: Tseng Scheffer C.G.24 Tatalaksana untuk rekurensi pterigium dengan simblefaron adalah
simblefarektomi yang dikombinasikan dengan eksisi pterigium dan terapi tambahan
berupa fluorouracil atau mitomicin C yang memiliki efek antimetabolit yang kuat.
Beberapa indikasi dari eksisi pterigium antara lain adanya pterigium yang menutupi
aksis visual, adanya keluhan tidak nyaman pada mata yang signifikan, iritasi yang
berat ataupun alasan kosmetik. Pada pasien ini dilakukan simblefarektomi yang
dikombinasikan dengan eksisi pterigium, penutupan defek dengan teknik tandur
konjungtiva (conjunctival autograft), 5FU (fluorouracil). Eksisi pterigium atau
dikenal sebagai bare sclera yang melibatkan memotong kepala dan tubuh pterigium
sambil membiarkan scleral bed untuk reepitelisasi sehingga memiliki tingkat
12
kekambuhan tinggi, antara 24 persen hingga 89 persen. Penutupan defek dengan
teknik tandur konjungtiva dengan cara pengambilan autograft yang biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal dan penjahitan graft di atas skleral bed yang
terbuka setelah eksisi pterigium dan dalam beberapa studi, dimana rekurensi pada
pterigium primer 29% dan pada pterigium rekuren 33% dengan menggunakan
teknik ini. Terapi tambahan seperti fluorouracil (5-FU) yang merupakan analog
pirimidin dapat mengganggu sintesis DNA dan RNA dengan menghambat enzim
timidilatate sintetase dan menginduksi apoptosis dalam proliferasi fibroblast
dimana angka rekurensi penggunaan 5-FU pada kasus pterigium sebesar 27%.
Mitomycin C (MMC) telah digunakan sebagai inhibitor proliferasi fibroblast
dengan menghambat sintesis DNA yang menyebabkan kematian sel dan beberapa
penelitian menentukan bahwa semua konsentrasi MMC, dari 0,002% hingga
0,04%, diberikan selama 3 hingga 5 menit, mengurangi secara signifikan
kekambuhan pterigium bila dibandingkan dengan eksisi dengan bare sclera serta
tingkat kekambuhan untuk penggunaan MMC intraoperatif dalam operasi
pterigium primer bervariasi dari 6,7% hingga 22,5%.10,11,13-15,21-23 Prognosis pada
pasien ini quo ad vitam ad bonam karena tidak mengancam jiwa, sedangkan quo ad
functionam dan sanationam dubia ad bonam karena bisa menyebabkan rekuren
yang akan mengganggu penglihatan.
IV. Simpulan
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya
aktifitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan. Pterigium rekuren merupakan
komplikasi post operasi dari pterigium primer. Pembedahan berupa
simblefarektomi yang dikombinasikan dengan eksisi pterigium, bedah tandur
konjungtiva serta pemberian aplikasi 5FU (fluorouracil) merupakan metode yang
dapat menjadi pilihan utama dalam terapi pterigium rekuren dengan simblefaron.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community Eye Health. 2017;30(99):S5-S6.)
2. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D. Geographical prevalence and risk factors for pterygium: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 2013;3(11).
3. Rezvan F, Khabazkhoob M, Hooshmand E, Yekta A, Saatchi M, Hashemi H. Prevalence and risk factors of pterygium: a systematic review and meta-analysis. Surv Ophthalmol. 2018 Sep. Hlm. 719–35.
4. Hovanesian John A. Pterygium Pathogenesis, Actinic Damage and Recurrence. Dalam: Pterygium Techniques and Technologies for Surgical Success. California: SLACK Incorporated; 2012. Hlm. 5-10
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013.
6. Todani A, Melki SA, Pterygium: current concepts in pathogenesis and treatment. Intl Opthal Clinc. 2009. Hlm. 21–30.
7. Zhou W-P, Zhu Y-F, Zhang B, Qiu W-Y, Yao Y-F. The role of ultraviolet radiation in the pathogenesis of pterygia (Review). Mol Med Rep. 2016 Jul;14(1):3–15.
8. Ribeiro LAM, Ribeiro LFGM, Castro PR de A, Silva FDL da, Ribeiro VMWAM, Portes AJF, et al. Characteristics and prevalence of pterygium in small communities along the Solimões and Japurá rivers of the Brazilian Amazon Rainforest . Vol. 70, Rev Bras de Oftalmol . 2011;70(6): 358–62.
9. Safi H, Kheirkhah A, Mahbod M, Molaei S, Hashemi H, Jabbarvand M. Correlations Between Histopathologic Changes and Clinical Features in Pterygia. J Ophthalmic Vis Res. 2016;11(2):153–8 .
10. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Cornea. 2010:37 - 38.
11. Alpay A, Uğurbaş SH, Erdoğan B. Comparing techniques for pterygium surgery. Clin Ophthalmol. 2009;3:69-74.
12. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjunctiva, Cornea and Sclera. Dalam: External Disease and Cornea. New York: AAO; 2016.
13. Kim DJ, Lee JK, Chuck RS, Park CY. Low recurrence rate of anchored conjunctival rotation flap technique in pterygium surgery. BMC Ophthalmol. 2017;17(1):187. Published 2017 Oct 10. doi:10.1186/s12886-017-0587-z
14. Kim SH, Oh J-H, Do JR, Chuck RS, Park CY. A comparison of anchored conjunctival rotation flap and conjunctival autograft techniques in pterygium surgery. Cornea. 2013 Dec;32(12):1578–81.
15. Akhter W, Tayyab A, Kausar A, Masrur A. Reducing postoperative pterygium recurrence: comparison of free conjunctival auto-graft and conjunctival rotation flap techniques. J Coll Physicians Surg Pak. 2014 Oct;24(10):740–4.
14
16. Tan, Donald T.H., Ang Leonard P.K., Chua Jocelyn L.L. Current Concepts and Techniques in Pterygium Treatment. Singapore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Hlm. 308
17. Khurana AK, Khurana Aruj K, Khurana Bhawna. Disease of Conjunctiva. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 6th Edition. India: Jaypee Highlights Medical Publishers; 2015. Hlm. 34-3.
18. Anduze Alfred L. Complications. Dalam: Pterygium Practical Guide to Management. 1st Edition. India: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2009. Hlm. 96
19. Khurana AK, Khurana Aruj K, Khurana Bhawna. Disease of The Eye. Dalam: Comprehensive Ophthalmology. 6th Edition. India: Jaypee Highlights Medical Publishers; 2015. Hlm. 376
20. Ahmed E. Disease of The Eyelids. Dalam: Comprehensive Manual of Ophthalmology. 1st Edition. India: Jaypee Highlights Medical Publishers; 2011. Hlm. 142.
21. Mahar PS, Manzar N. Pterygium recurrence related to its size and corneal involvement. J Col Physicians Surg Pak. 2013;23(2):120–123.
22. Thakur SK, Khaini KR, Panda A. Role of low dose mitomycin C in pterygium surgery. Nepal J Ophthalmol. 2012;4(1):203–205.
23. Erickson Benjamin P. Conjunctival Flaps. USA: Encyclopedia of Ophthalmology; 2014. Hlm. 1-2
24. Tseng Scheffer C.G., Blanco Gabriela. Cryopreserved Amnion Graft for Fornix Reconstruction. The Ocular Surface Research and Education Foundation. 2006