perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TINJAUAN YURIDIS LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI
PEMOHON DALAM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN
UMUM (PHPU) DI MAHKAMAH KONSTITUSI.
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
AGUS WALOYO
E0006060
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI
PEMOHON DALAM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILU (PHPU)
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh
Agus Waloyo
NIM. E 0006060
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 8 Desember 2010
Pembimbing I Pembimbing II
Sunarno Danusastro, S.H., M.H. Isharyanto, S.H., M.Hum NIP. 194712311975031001 NIP. 197805012003121002
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI
PEMOHON DALAM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILU (PHPU)
DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh
Agus Waloyo
NIM. E 0006060
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Senin
Tanggal : 27 Desember 2010
DEWAN PENGUJI
1. Sunny Ummul Firdaus S.H., M.H : …………………………………… Ketua
2. Isharyanto, S.H., M.Hum : ………………………………………. Sekretaris
3. Sunarno Danusastro, S.H., M.H: ………………………………………. Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin. S.H., M.Hum 19610930 1986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Agus Waloyo NIM : E 0006060 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (Skripsi) berjudul:
TINJAUAN YURIDIS LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI
PEMOHON DALAM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILU
(PHPU) DI MAHKAMAH KONSTITUSI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (Skripsi) ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 8 Desember 2010
Yang membuat pernyataan
Agus Waloyo
NIM. E 0006060
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAKSI
Agus Waloyo, E 0006060. 2010. TINJAUAN YURIDIS LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI PEMOHON DALAM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM (PHPU) DI MAHKAMAH KONSTITUSI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ketentuan-ketentuan hukum tentang Legal Standing partai politik sebagai Pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif, yang berupaya memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai Legal Standing partai politik sebagai Pemohon dalam sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen atau bahan kepustakaan. Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan bahan terkait dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji, dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel, majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalah dalam penelitian yang terkait dengan Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam sengekta perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu partai politik mempunyai Legal Standing untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi karena pertama, Secara yuridis diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan ndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kedua, Secara Filosofis, partai politik merupakan kumpulan dari masyarakat yang terorganisir yang mempunyai arah dan tujuan yang dalam hal ini adalah untuk menjadi anggota legislatif. Ketiga, Hanya partai poltik yang mempunyai Legal Standing dalam PHPU karena calon legislatif tidak dapat menjadi Pemohon dalam sengketa PHPU. Hal ini disebabkan setiap Permohonan yang diajukan terkait PHPU, harus ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen DPP partai politik atau jabatan sejenis beserta kuasa hukumnya. Keempat, partai politik mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR dan DPRD.Permohonan PHPU haruslah mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, sehingga tidak berpindahnya kursi dari partai politik satu ke partai politik lain. Dengan demikian rekomendasi dari penelitian ini yaitu hendaknya di wacanakan untuk adanya suatu mekanisme dan regulasi khusus di internal masing-masing partai politik untuk mengakomodir sengketa antarcaleg yang merupakan konflik internal.
Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Legal Standing, Partai Politik, PHPU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Agus Waloyo, E 0006060. 2010. A JURIDICAL REVIEW OF POLITICAL PARTY’S LEGAL STANDING AS THE APPLICANT IN THE GENERAL ELECTION RESULT DISPUTE (PHPU) IN THE CONSTITUTION COURT. Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research aims to describe the legal provisions about the political party’s Legal Standing as the applicant in the general election result dispute (PHPU) in the Constitution Court.
This study belongs to a normative law research that is descriptive in nature, attempting to give a comprehensive and clear description about political party’s Legal Standing as the applicant in PHPU dispute in the Constitution Court. The data type used was secondary data. The secondary data source employed included primary, secondary and tertiary law research. Technique of collecting data used was documentary or literature study. Document and literary study was done by the writer by the attempt of collecting the relevant material through visiting the libraries, reading, studying, and learning books, literatures, article, magazine and newspaper, scientific writing, paper and etc relevant to the subject of research related to the political party’s legal standing as the applicant in the general election result dispute (PHPU) in the Constitution Court.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded that namely political parties have the Legal Standing for litigants in the Constitutional Court because of the first Legally stipulated in Law No. 2 / 2008 on Political Parties and the Law Number 24 Year 2003 on the Constitutional Court. Second, The Philosophical, political party is an organized collection of people who have direction and purpose in this case is to be a member of the legislature. Third, the only party that has affiliated Legal Standing in PHPU for legislative candidates can not be an applicant in the dispute PHPU. This is due to every application for the proposed related PHPU, must be signed by the Chairman and Secretary General of the DPP political party or similar positions and their legal representatives. Fourth, political parties have a direct interest in members of the House and DPRD.Permohonan PHPU PHPU haruslahmempengaruhi of seats political parties contesting the election in an electoral district, so no transfer of seats from one party to another political party.
Thus the recommendations from this research that should be in wacanakan for the existence of a mechanism and a special regulation on the internal politics of each party to accommodate antarcaleg dispute that is internal conflict.
.
Keywords: Constitution Court, Legal Standing, Political Party, PHPU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' ”
(Q. S. Al Baqarah : 45)
“ Ujian karakter yg sejati bukanlah berapa banyak yg kita ketahui dalam
melakukan berbagai hal, tapi bagaimana kita bersikap ketika tidak tahu harus
melakukan apa “
(John Holt)
“ Karakter tidak bisa dikembangkan dalam keadaan nyaman, Hanya melalui
percobaan & penderitaan, jiwa bisa diperkuat, ambisi dilahirkan, dan keberhasilan
dicapai “
(Hellen Keller)
“Percayalah pada kemampuan dirimu, berpikir postif dan selalu berorientasi pada
masa depan, niscaya hidupmu akan selalu berada dalam keberhasilan”.
(Agus Waloyo)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Teriring rasa syukur kepada Allah SWT,
karya ini kupersembahkan untuk:
1. Rasul-ku Muhammad SAW,
suri tauladan yang terbaik;
2. Ibu dan Bapak yang selalu
menyayangi dan mencintaiku,
terima kasih tak terhingga ananda
ucapkan;
3. Segenap Keluarga ananda
yang selalu memberikan dukungan
moriil maupun materiil hingga
ananda bisa seperti sekarang ini;
4. Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang selalu berubah
menuju Republik yang demokratis;
5. Sahabat dan teman-
temanku;
6. Para Pembaca sekalian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS
LEGAL STANDING PARTAI POLITIK SEBAGAI PEMOHON DALAM
SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM (PHPU) DI
MAHKAMAH KONSTITUSI”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk
melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau
skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun moril
yang yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. ALLAH SWT yang telah memberikan kehidupan dan melimpahkan
rahmat dan hidayahnya kepada penulis.
2. Nabi Besar Muhammad SAW, pangeran dan junjungan serta suri tauladan
yang terbaik.
3. Kedua orang tua tercinta (Bapak Jumirin H.S dan Ibu Jaimah), yang telah
memberikan segalanya dalam kehidupan penulis, tidak ada kata yang
dapat mewakili rasa terima kasih Ananda. Semoga Ananda dapat
membalas budi jasa kalian dengan memenuhi harapan kalian kepada
Ananda, membahagiakan dan membuat bangga kalian adalah impian
terbesarku.
4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
5. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang
telah membantu dalam penunjukkan dosen pembimbing skripsi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Bapak Sunarno Danusastro, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang di
dalam kesibukan beliau telah bersedia meluangkan waktu serta pikirannya
untuk memberikan bimbingan, nasihat dan arahan bagi tersusunnya skripsi
ini.
7. Bapak Isharyanto, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Skripsi yang telah
membimbing penulis dari awal pembentukan skripsi hingga akhir dan
selalu memberikan semangat, dorongan sehingga skripsi ini menjadi baik.
8. Ibu Sunny Ummul Firdaus S.H.,M.H selaku dosen penguji yang telah
memberikan semangat dan masukan yang sangat luar biasa yang
menjadikan Skripsi ini menjadi sempurna.
9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis
sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga
kedepannya dapat penulis amalkan.
10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus
segala administrasi skripsi dari mulai pengajuan judul, pelaksanaan
seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.
11. Segenap staf dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah
memberikan pelayanan dan menjalin hubungan yang baik dengan penulis.
12. Segenap Staf bagian Risalah dan Pelayanan Putusan Mahkamah Konstitusi
yang telah memberikan kesempatan untuk magang dan memberikan
penulis referensi untuk penelitian ini.
13. BEM FH UNS dan DEMA UNS yang telah memberikan banyak
pengalaman dan memberikan ruang bagi penulis sehingga penulis dapat
mengaktualisasikan dirinya serta dapat memerikan semangat sehingga
penulisan hukum ini dapat menjadi baik.
14. LPT CINDO yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk dapat
bekerja dan menimba ilmu sehingga penulis dapat membiayai penelitian
ini.
15. REMAS Al-Mu’minuun Gemolong Permai tempat dimana penulis
bernaung untuk mengaktualisasikan diri dalam berserah diri kepada yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
Maha Kuasa sehingga, penulis selalu mendapat hidayah dan inayah dalam
menyusun penelitian ini.
16. Semua Pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan penulisan hukum ini..
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga sebuah
karya kecil ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.
Surakarta, 8 Desember 2010
Penulis
Agus Waloyo
NIM. E 0006060
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAH PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
MOTTO ........................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian................................................................................ 5
E. Metode Penelitian ................................................................................. 6
F. Sistematika Penelitian .......................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 13
A. Kerangka Teori .................................................................................... 13
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Demokrasi ....................... 13
2. Tinjauan Tentang Legal Standing ................................................. 18
3. Tinjauan Tentang Partai Politik ................................................... 21
4. Tinjauan Tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) . 28
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 35
A. Ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum ................................................... 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
B. Prosedur Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum ..................... 38
C. Legal Standing Partai Politik sebagai Pemohon dalam Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.................................................... 53
D. Badan Hukum Privat sebagai Pemohon di Mahkamah Konstitusi ...... 58
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 64
A. SIMPULAN ......................................................................................... 64
B. SARAN ................................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel.1 Statistika Perkara Partai Politik Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) Tahun 2009 ....................................................................................... 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 32
Gambar 2. Skema Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Di Mahkamah
Konstitusi .............................................................................................................. 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berlandaskan
atas hukum yang dinamis (Rechtstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan semata.
Menurut Akil Mochtar, ciri sebuah negara hukum antara lain (Akil Mochtar,
2009: 18):
1. adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan.
3. pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
(Wetmatigsheid Van Bestuur) serta peradilan administrasi dalam
perselisihan.
Filosofi yang melandasi konsep negara hukum di Indonesia berbeda
dengan konsep negara lain. Konsep negara hukum di Indonesia adalah negara
hukum pancasila yang pada hakikatnya memiliki tiga asas, yaitu (1) asas
kerukunan, (2) asas kepatuhan dan (3) asas keselarasan mencerminkan nilai-nilai
filosofis pancasila, pembaharuan, penggantian, penerapan maupun dalam
penegakan hukum (Akil Mochtar, 2009: 19).
Konsep negara hukum di Indonesia secara normatif dirumuskan dalam
UUD 1945 Pasal 1ayat (3) : “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku,
tindakan, dan kebijakan pemerintahan negara (dan penduduknya) harus
didasarkan atau sesuai dengan hukum (Djatmiko, 2008: 35)
Menurut John Locke, untuk mendirikan suatu negara hukum yang
menghargai hak-hak warga negaranya harus memiliki tiga unsur penting yaitu
pertama, adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat
menikmati hak asasinya dengan damai, kedua adanya suatu badan yang dapat
menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (vertical dispute) atau
sesama anggota masyarakat ( horizontal dispute) (Akil Mochtar, 2009: 41).
Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh
semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
kehidupan bernegara menggantikan model-model negara tradisional. Prinsip-
prinsip negara hukum (nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
(democratie) dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi mata uang. Paham
negara hukum yang demikian dikenal dalam bentuk konstitusional disebut
constitutional demokracy (Akil Mochtar, 2009:45).
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari
rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya
pemilu yang bebas sebagai perwujudan kedaulatan rakyat atas keberlangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi
agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara
substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah
tersedianya peraturan yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya
penyelenggara yang independen dan imparsial, pelaksanaan aturan yang
konsisten, dan adanya sanksi hukum yang tegas dan fair kepada semua pihak
(Moh. Jamin, 2009: 22-23).
Pelaksanaan demokrasi ketika diterapkan pada masyarakat Indonesia yang plural
(majemuk) meninggalkan pelajaran akan perlunya mempertimbangkan kondisi komunitas
dan masyarakat yang relatif tertinggal dari berbagai aspek kehidupan, baik sosial,
pendidikan, ekonomi maupun politik (Achmad Sodiki, 2009: 1). Di Indonesia, salah
satu perubahan yang signifikan sebagai akibat Perubahan UUD 1945 (1999-2002)
adalah bahwa cara pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik
di tataran nasional, maupun lokal, harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak
boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan (A. Mukthie Fadjar,
2009: 5). Idowu berpendapat bahwa in a modern State make direct participation
of all the people in the government of the state impossible, the concept of
democracy still emphasizes the rule of the people, in that sovereign power is
exercised by the people but now indirectly through a system of representation
(Idowu, 2008: 30).
Pemilihan umum atau pemilu merupakan sarana berdemokrasi bagi warga
negara dan merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, yaitu hak
atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi; ”Segala warga Negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” dan
prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Hal ini secara
khusus juga dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Hak Asasi Manusia yang
berbunyi, “Setiap warga Negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.” (Muhammad bahrul ulum dan Dizar Al farizi,
2009: 84).
Pemilihan umum merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga
prinsip pokok demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk republik, yaitu
kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara
teratur (Fadjar, 2006: 89). Pemilihan umum dengan sistem multipartai secara
teoritik akan sulit memunculkan partai politik yang memperoleh suara mayoritas
mutlak (absolute majority). (Abdul latif, 2009: 28).
Pemilihan umum 2009 di Indonesia diakui masyarakat internasional
sebagai pemilihan yang demokratis tetapi juga paling rumit di dunia. Dikatakan
paling rumit karena sistem pemilihan yang digunakan tidak sederhana. Dalam hal
ini, pemilihan umum legislatif 2009 diikuti oleh banyak partai yaitu 34 partai
nasional dan 6 partai lokal di aceh. Banyaknya partai politik yang menjadi peserta
pemilihan umum, menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis
sehingga diperbolehkan terdapat banyak partai sebagai representasi dari
kemajemukan bangsa indonesia (Aminah, 2009: 60-61).
Hasil pemilihan umum yang telah diumumkan oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) masih sering dijadikan perdebatan oleh partai politik yang menilai
bahwa ada perbedaan jumlah suara antara yang diumumkan oleh KPU dengan
hasil penjumlahan dari masing-masing partai politik yang menjadikan partai
politik mengambil langkah hukum dengan mengajukan gugatan sengketa
perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mempunyai wewenang
memutus sengketa perselisihan hasil pemilihan umum telah menangani 42 perkara
PHPU pada pemilu 2009 (Mahkamah Konstitusi, 2009: 4). Partai politik dalam
mengajukan perkara tentang PHPU di Mahkamah Konstitusi harus memenuhi
syarat yang telah diatur dalam konstitusi. Syarat yang mutlak harus dipenuhi yaitu
tentang kedudukan hukum pemohon atau Legal Standing pemohon agar dapat
berperkara di Mahkamah Konstitusi.
Legal Standing pemohon merupakan hal yang penting dalam mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi karena salah satu syarat untuk dapat
beracara di Mahkamah Konstitusi adalah memiliki Legal Standing atau
kedudukan hukum. Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum melihat Legal Standing dari pemohon terlebih dahulu.
Putusan dapat berupa ditolak, tidak dapat diterima,diterima sebagian atau diterima
seluruhnya tergantung dari Legal Standing pemohon. Dalam Perkara No.
50/PHPU.C-VII/2009, Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009 dan Perkara No.
88/PHPU.C-VII/2009. Penulis akan menganalisis mengapa Partai Politik secara
yuridis mempunyai Legal Standing sebagai pemohon dalam sengketa Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan penulis berminat untuk membuat
suatu penelitian hukum dengan judul ”Tinjauan Yuridis Legal Standing Partai
Politik Sebagai Pemohon Dalam Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) di Mahkamah Konstitusi”.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, penulis
menyusun sebuah rumusan masalah untuk dikaji dalam pembahasan. Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
Mengapa Partai Politik secara yuridis mempunyai Legal Standing sebagai
pemohon dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di
Mahkamah Konstitusi?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan agar dapat menyajikan bahan akurat
sehingga dapat berguna dan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan
tujuan subyektif sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui dan menganalisis Legal Standing partai politik sebagai
pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di
Mahkamah Konstitusi.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah ilmu dan pengetahuan penulis dalam bidang hukum,
khususnya ilmu hukum tata Negara mengenai Legal Standing partai
politik sebagai pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU) di Mahkamah.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata
1 (S1) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini terdiri dari manfaat penelitian teoritis dan
manfaat penelitian praktis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi teoritis terhadap
perkembangan ilmu hukum tata negara di Indonesia khususnya
mengenai Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam
sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi.
b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis dalam mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk mendapat jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian akan sangat mempengaruhi perolehan-perolehan bahan-
bahan dalam penelitian yang bersangkutan untuk selanjutnya dapat diolah dan
dikembangkan secara optimal sesuai dengan metode ilmiah demi tercapainya
tujuan penelitian yang dirumuskan. Adapun rincian metode penelitian yang
digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian
hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum
normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan pustaka atau bahan sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan
tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik
kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti (Soerjono
Soekanto, 2006: 15). Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
tinjauan yuridis Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam
sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang berupaya
memberikan gambaran secara lengkap dan jelas mengenai objek
penelitian, dapat berupa manusia atau gejala dan fenomena sosial tertentu.
Menurut Soerjono Soekanto dalam pengantar penelitian hukum, penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan bahan
yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar
dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam
kerangka menyusun teori-teori baru.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekataan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian
normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasi-
hasil temuan ilmu hukum empiris dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan
dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum
sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, dapat
digunakan beberpa pendekatan berikut (Johnny Ibrahim, 2005: 246) :
a) Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
b) Pendekatan Konsep (conceptual approach);
c) Pendekatan analitis (analitycal approach);
d) Pendekatan Perbandingan (comparative approach);
e) Pendekatan Historis (Historical approach);
f) Pendekatan Filsafat (philosophical approach)’
g) Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan tersebut dapat digabung, sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau
lebih yang sesuai, misalnya pendekatan perundang-undangan, pendekatan
historis dan pendekatan perbandingan. Namun, dalam suatu penelitian
normatif, satu hal yang pasti adalah penggunaan pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Dikatakan pasti karena secara logika hukum,
penelitian hukum normatif didasarkan pada penelitian yang dilakukan
terhadap badan hukum yang ada (Johnny Ibrahim. 2005: 247).
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan
analitis (analitycal approach). Pendekatan perundang-undangan secara
otomatis dipilih karena kajian penelitian hukum yang bersifat yuridis-
normatif dimana penelitian hukum yang Penulis lakukan merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
penelitian yang mencari bahan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik untuk mengetahui hakekat dan pendirian partai
politik, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum untuk mengetahui tata cara pemilihan umum yang ada di
Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Konstitusi untuk mengetahui proses beracara di Mahkamah Konstitusi, dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah untuk mengetahui proses beracara perselisihan hasil pemilihan
umum untuk mengetahui bagaimana proses beracara sengketa perselisihan
hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi secara teknis.
Selanjutnya pendekatan analitis dipakai untuk menganalisis
perkara No. 50/PHPU.C-VII/2009, Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009 dan
Perkara No. 88/PHPU.C-VII/2009 tentang Legal Standing masing-masing
pemohon dalam perkara tesebut dan hasilnya akan dipadukan dengan
pendekatan yuridis sehingga akan dapat menjawab rumusan masalah
tentang apa yang menjadikan partai politik secara yuridis mempunyai legal
standing sebagai pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi
4. Sumber Penelitian Hukum
Jenis bahan yang digunakan dalam sebuah penelitian normatif adalah
bahan hukum sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
dalam penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, bahan hukum
sekunder dapat terbagi atas:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari :
1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD 1945.
2) Peraturan Dasar :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
a) Batang Tubuh UUD 1945.
3) Peraturan perundang-undangan:
a) Undang-Undang;
b) Peraturan Pemerintah;
c) Keputusan Presiden;
d) Keputusan Menteri;
e) Peraturan-peraturan Daerah;
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, seperti misalnya hukum
adat;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat;
7) Bahan hukum dari jaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku, seperti misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formal bersifat
tidak resmi dari wetboek van Strafrecht);
Lebih spesifik dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan
hukum primer sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi
3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pemilihan Umum.
4) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
anggota DPR, DPRD, dan DPD.
5) Undang-Undang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki
dalam pengantar penelitian hukum, bahan penelitian hukum sekunder
yang merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan. Bahan penelitian hukum yang digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
penulis adalah buku-buku yang terkait dengan materi atau bahasan
mengenai Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam
sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan Kamus Besar Bahasa
Indonesia untuk mecari istilah-istilah guna menejelaskan hal-hal yang
tercantum dalam bahan hukum primer dan sekunder.
5. Teknik pengumpulan bahan
Teknik pengolahan bahan adalah bagaimana caranya mengolah
bahan yang berhasil dikumpulkan untuk memungkinkan penelitian
bersangkutan melakukan analisa yang sebaik-baiknya (Soerjono Soekanto
Dan Sri Mamudji, 2007: 46). Teknik pengumpulan bahan yang
dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau
bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan
dengan usaha-usaha pengumpulan bahan terkait dengan cara mengunjungi
perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji, dan mempelajari buku-
buku, literatur, artikel, majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan
sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalah dalam penelitian
yang terkait dengan Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam
sengekta perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi.
6. Teknik analisis bahan
Penelitian hukum ini berusaha untuk mengerti atau memahami
gejala yang diteliti untuk kemudian mendeskrpisikan bahan-bahan yang
diperoleh selama penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-baha
hukum yang relevan dan menjadi acuan dalam penelitian hukum
kepustakaan sebagaimana telah disinggung di atas. Mengkualitatifkan
bahan adalah fokus utama dari penelitian hukum ini. Dengan demikian
penulis berharap untuk dapat memberikan gambaran utuh dan menyeluruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar permasalahan Legal Standing
partai politik sebagai pemohon dalam sengketa perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi, dan pada akhirnya
memberikan simpulan yang solutif untuk memecahkan permasalahan yang
diteliti dengan memberikan rekomendasi seperlunya.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode
penalaran (logika) deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum
diterapkan pada keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini penulis
mengkritisi teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum untuk kemudian
menarik kesimpulan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang diteliti yaitu mengenai Legal Standing partai politik sebagai
pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) di
Mahkamah Konstitusi.
F. Sistematika Penelitian
Guna memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh penulis, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian
sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi
atas empat bab yang masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai dengan
pembahasan dan substansi penelitiannya.
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari sub bab latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Terdiri dari sub bab kerangka teori dan sub bab kerangka
pemikiran. Pada sub bab kerangka teori mencakup tinjauan tentang Negara
hukum dan demokrasi, tinjauan tentang Legal Standing atau kedudukan
hukum, tinjauan tentang Partai Politik dan tinjauan tentang perselisihan
hasil pemilihan umum (PHPU). Sub bab kerangka pemikiran merupakan
kerangka berpikir Penulis dalam mengkaji permaslahan yang dibahas yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
tentang Legal Standing partai politik sebagai pemohon dalam sengketa
perselisihan pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Terdiri dari tiga sub bab yaitu sub bab Ketentuan Yuridis yang
Mengatur Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, sub bab Prosedur Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dan sub bab Legal Standing Partai
Politik sebagai Pemohon dalam Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum.
BAB IV PENUTUP
Terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan ini berisi tentang
partai politik mempunyai kedudukan hukum atau Legal Standing sebagai
pemohon dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum. karena
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
dikatakan bahwa partai poltik merupakan suatu Badan Hukum dan hal ini
dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Saran berisi hendaknya di wacanakan untuk adanya
suatu mekanisme dan regulasi khusus di internal masing-masing partai
politik untuk mengakomodir sengketa antarcaleg yang merupakan konflik
internal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Negara Hukum dan Demokrasi
Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles,
konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan
(contrast) dengan konsep rule of man. Dalam modern constitutional state,
salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat) ditandai
dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah
satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental. Hadirnya ide
pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua
cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan
kekuasaan yang absolut.
Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan
pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh John
Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government”. Dalam buku
tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga
cabang kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari
ketiga cabang kekuasaan itu legislatif adalah kekuasaan membentuk undang-
undang, eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan
federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan
negara-negara lain. Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang
dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam
karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws). Dalam uraiannya,
Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan
tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat
perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya. Konsepsi yang
dikembangkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.
Secara umum, “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia
dimaknai (separation of power) dimulai dari pemahaman atas teori Trias
Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu
yang menyatakan, “when the legislative and the executive powers are united
in the same person, or in the same body of magistrate, there can be no
liberty”. Begitu juga dalam hubungan dengan kekuasaan kehakiman dan
kekuasaan lainnya, Montesquieu menyatakan:
“Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and the executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression”.
Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh
yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu
yang dikutipkan dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-
benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman
seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu
betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang mengatakan
bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktikkan secara murni atau
tidak pernah dilahirkan dalam fakta, tidak realistis dan jauh dari kenyataan.
Karenanya itu, Jimly Asshidiqie menyatakan:
“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieau jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi yang sebaiknya kita
kembangkan dalam rangka mewujudkan cita-cita membangun Indonesia baru
di masa depan. Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang
mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat.
Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi itu bahkan disebut
sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya,
kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat. Artinya, kekuasaan
iu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang
sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhhan sistem
penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh
rakyat itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar
diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Ciri itulah yang tercakup dalam pengertian kedaulatan rakyat, yaitu
bahwa kekusaan tertinggi ada di tangan rakyat, diselenggarakan untuk rakyat
dan oleh rakyat sendiri, serta dengan terus membuka diri dengan melibatkan
seluas mungkin peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara. dalam
praktek pelaksanaan gagasan demokrasi itu memang sering timbul persoalan
antara das sollen dan das sein, antara yang diidealkan dengan kenyataan di
lapangan. Gagasan demokrasi itu sebagaimana terlihat dalam kenyataan
beragamanya cara orang mempraktekkannya, sering kali ditafsirkan secara
sepihak oleh pihak yang berkuasa. Bahkan disepanjang sejarah, corak
penerapannya juga terus berkembang dari waktu ke waktu. Karena itu,
konsepsi demokrasi itu terus menerus mendapatkan atribut tambahan dari
waktu ke waktu seperti “welfare democracy”, “people’s democracy”, “social
democracy”, “participatory democracy”, dan sebagainya. Puncak
perkembangan gagasan demokrasi itu yang paling diidealkan di zaman
modern sekarang ini adalah gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum
yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan perkataan “constitutional
democracy”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Dalam bentuk luarnya, ide demokrasi itu terwujud secara formal
dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pngambilan keputusan
kenegaraan. Namun, dalam cakupan isinya, gagasan demokrasi itu
menyangkut nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilau
budaya masyarakat pendukung gagasan demokrasi itu. Karena itu, pada
pokoknya, dalam gagasan demokrasi itu tercakup dua persoalan sekaligus,
yaitu institusi dan tradisi. Perwujudan demokrasi disatu pihak memerlukan
pelembagaan, tetapi di pihak lain memerlukan tradisi yang sesuai untuk
mendukungnya, jika masyarakat yang berusaha mengadopsi gagasan
demokrasi itu tidak memiliki tradisi demokrasi sama sekali, niscaya
pelembagaan demokrasi itu dalam kenyataan tidak akan berhasil melahirkan
perbaikan dalam peri kehidupan bersama dalam masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu, perwujudan gagasan demokrasi memerlukan
penataan-penataan yang bersifat kelembagaan (institusional reform) dan
sekaligus revitalisasi, reorientasi, dan bahkan reformasi kebudayaan politik
secara lebih substantif.
Bersamaan dengan perkembangan pemikiran tentang negara
demokrasi, sejarah pemikiran kenegaraan juga mengembangkan gagasan
mengenai negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum.
Istilah yang terkait dengan ini adalah nomokrasi yang berasal dari perkataan
nomos dan cratos atau cratien. Nomos berarti nilai atau norma yang
diandaikan sebagai konsep yang mengakui bahwa yang berkuasa sebenarnya
bukanlah orang melainkan hukum itu sendiri. Dalam istilah yang kemudian
dikenal menurut tradisi Amerika Serikat, “the Rule of Law, and not of Man”,
pemerintahan oleh hukum, bukan oleh manusia. Artinya pemimpin negara
yang sesungguhnya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang harus dijadikan
pegangan oleh siapa saja yang kebetulan menduduki jabatan kepemimpinan.
Inilah hakikat dari pengertian kedaulatan hukum dan prinsip negara hukum
atau “rechtsstaat” menurut tradisi Eropa Kontinental.
Namun, dalam perkembangan pemikiran praktek mengenai prinsip
negara hukum (rechtsstaat) ini, diakui pula adanya kelemahan dalam sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
negara hukum itu, yaitu bahwa hukum bisa saja hanya dijadikan alat bagi
orang berkuasa. Karena itu, dalam perkembangan mutakhir mengenai hal ini
dikenal pula istilah “democratische rechtsstaat”, yang mempersyaratkan
bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan menurut prosedur
demokrasi yang disepakati bersama. Kedua konsep “constitutional
democracy” dan “democratische rechtsstaat” tersebut pada pokoknya
mengidealkan mekanisme yang serupa, dan karena itu sebenarnya keduanya
hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama. Di satu pihak, negara hukum itu
haruslah demokratis, dan di pihak lain negara demokrasi itu haruslah
didasarkan atas hukum.
Dalam perspektif yang bersifat horizontal, gagasan demokrasi yang
berdasar atas hukum (“constitutional democracy”) mengandung empat
prinsip pokok, yaitu : adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam
kehidupan bersama, pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau
pluralitas, adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan
bersama, dan adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan
mekanisme aturan yang ditaati bersama itu. Dalam konteks kehidupan
bernegara, dimana terkait pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat
vertikal antara institusi negara dengan warga negara, keempat prinsip pokok
tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan prinsip-prinsip negara
hukum (nomokrasi) : pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan
pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa
ketatanegaraan antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal,
adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak (independent
and impartial) dengan kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan
dan kebenaran, dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin
keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintahan (pejabat administrasi negara), adanya mekanisme “judicial
review” oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif,
baik yang ditetapkan oleh lembaga legislatif maupun oleh lembaga eksekutif,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
dan dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur
jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut diatas, disertai
pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law dalam keseluruhan
sistem penyelenggaraan negara.
2. Tinjauan tentang Legal Standing atau Kedudukan Hukum
Kedudukan hukum atau Legal Standing merupakan syarat mutlak
agar Pemohon dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Dimana Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut
undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada
Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan
kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi
pemohon yang sah. Dengan perkataan lain, pemohon diharuskan
membuktikan bahwa pemohon atau mereka benar-benar memiliki legal
standing atau kedudukan hukum, sehingga pemohon yang diajukannya dapat
diperiksa, diadili, dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah
Konstitusi. Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud
mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang,
maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional
dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.
Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi diatur mengenai hukum acara yang dijadikan pedoman bagi
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan berbagai kewenangan yang
dimilikinya. Ketentuan tersebut mengatur mekanisme pengajuan suatu
permohonan pengujian, pemeriksaan pengujian itu sendiri hingga
dikeluarkannya putusan oleh majelis hakim konstitusi. Dalam Pasal 51 ayat
(1) diatur bahwa Pemohon pengujian undang-undang adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnaya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang. Pihak tersebut dapat berupa:
a. perorangan warga negara Indonesia;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa setiap pemohon haruslah
salah satu dari keempat subjek hukum tersebut di atas. Subjek hukum yang
dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan-kewenangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan
memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau
bagian dari undang-undang yang dipersoalkannya itu. Adanya atau timbulnya
kerugian yang dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan sebab akibat
atau hubungan kausal (causal verband) dengan berlakunya undang-undang
yang dimaksud. Jika kelima kriteria ini tidak dapat dipenuhi secara kumulatif,
maka yang bersangkutan dapat dipastikan tidak memiliki Legal Standing
untuk mengajukan permohonan perkara ke Mahkamah Konstitusi(Jimly
Asshiddiqie, 2006: 69).
Prof. Dr. M. Laica Marzuki berpendapat bahwa legal standing tidak
dapat langsung diterjemahkan menjadi kedudukan hukum, karena
menurutnya makna legal standing adalah suatu dasar dari seseorang atau
kelompok orang untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang.
Menurut beliau dalam rumusan Pasal 51 Undang-Undang No. 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa anasir, yang pertama
adalah hak dan kewenangan konstitusional yaitu hak dan kewenangan yang
diberikan oleh konstitusi. Unsur kedua adalah unsur dirugikan dimana karena
dirugikan tersebut maka subyek hukum merasa berkepentingan. Sehingga
apabila seorang pemohon tidak dirugikan oleh adanya undang-undang
tersebut maka ia dapat dipandang tidak memiliki legal standing. Ia juga
menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan asas yang berlaku universal dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
gugatan di pengadilan yaitu point d’etre point d’action, tanpa kepentingan
tidak ada suatu tindakan(Maissy Sabardiah, 2009:8).
Persyaratan legal standing yang jelas faktanya tetap dibutuhkan untuk
menjaga agar mahkamah konstitusi tidak dijadikan alat bagi pihak-pihak tak
bertanggung jawab demi kepentingan pribadi semata tanpa melihat
kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa dan negara. itikad baik
dari para pemohon dalam pengujian undang-undang mnjadi hal yang sangat
penting untuk dicermati. Selain itu persyaratan legal standing juga diperlukan
untuk menghindari menumpuknya perkara serta dalam rangka mewujudkan
tertib administrasi perkara di Mahkamah Konstitusi sendiri.
Pada umumnya penentuan mengenai ada tidaknya legal standing
pemohon, dilakukan sebelum majelis hakim Mahkamah Konstitusi
memutuskan akan meneruskan ke tahap pemeriksaan terhadap pokok perkara
atau tidak. Karena itu, sebelum pokok perkara diperiksa sebagaimana
mestinya, rapat pleno permusyawaratan hakim Mahkamah Konstitusi telah
menentukan sikap bersama mengenai keberwenangan mahkamah untuk
memeriksa perkara a quo, yaitu apakah para hakim konstitusi (Mahkamah
Konstitusi) menganggap dirinya memang berwenang untuk memeriksa
perkara a quo atau tidak dan mengenai legal standing pemohon, yaitu
apakah pemohon memang mempunyai kedudukan hukum yang memenuhi
syarat legal standing untuk beracara di hadapan Mahkamah Konstitusi.
Karena itu, keputusan mengenai kedua hal tersebut, biasanya dianggap cukup
diselesaikan melalui pemeriksaan sidang panel hakim, dengan cara
memeriksa berkas pemohon, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
pemohon, atau bahkan sampai kepada tahap pemeriksaan bukti-bukti yang
diajukan oleh pemohon.
Apabila majelis panel hakim telah mendapatkan keyakinan yang
cukup baik mengenai keberwenangan Mahkamah Konstitusi dan pemenuhan
syarat legal standing pemohon sebagaimana mestinya, pnel hakim yang
bersangkutan akan menyampaikan laporan resmi dan mengajukan
rekomendasi-rekomendasi mengenai tindak lanjut perkara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
bersangkutan dalam rapat pleno permusyawaratan hakim untuuk diputuskan
bersama. Jika rekomendasi panel tersebut diterima berarti, pemeriksaan dapat
dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu sidang pleno untuk mendengarkan
keterangan pihak-pihak, yaitu Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, ahli,
dan saksi, serta pihak-pihak terkait lainnya.
Untuk membuktikan bahwa seseorang atau kelompok orang ataupun
badan tertentu adalah sah satu dari keempat kelompok subjek hukum seperti
yang dimaksud oleh Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, maka yang bersangkutan diharuskan memperlihatkan
bukti-bukti yang mencukupi, misalnya, dengan kartu tnda pengenal, kartu
penduduk, passport, akta kelahiran, akta yayasan atau surat pengesahan
badan hukum, atau dokumen-dokumen lain yang perlu. Mengenai lembaga
negara, juga perlu dibuktikan dengan dokumen-dokumen hukum yang sah,
seperti ketentuan pasal Undang-Undang Dasar, ataupun pasal-pasal Undang-
Undang , pasal peraturan pemerintah, atau keputusn presiden (peraturan
presiden) tertentu, dan sebagainya.
3. Tinjuan tentang Partai Politik
a. Pengertian
Pengertian partai politik sudah banyak dikemukakan oleh para
sarajana diantaranya (Hestu Cipto Handoyo, 2003: 225):
1) Miriam Budiardjo
Suatu kelompok yang teerorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan
tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan
kebijakan-kebijakan mereka.
2) Carl J. Friedrich
Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan
tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan
yang bersifat ideal maupun materiil.
3) R.H. Soltou
Sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan
memanfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
4) Sigmund Neumann
Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan
lain yang tidak sepaham.
Nasiru Aliyu berpendapat bahwa The Political parties are organizations duly registered to field/sponsor a candidate in an election; Political Parties have to present their candidates to the Electoral Commission for compliance with law to ensure that a candidate is eligible to contest an election. The candidates and their parties must satisfy the requirement set out by the commission for contesting election of a particular office as the case may be. If the candidates satisfied the legal requirements then the contest is ripe and election could be conducted into the existing offices or positions (Nasiru, 2009: 19).
Dari pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana diatas
terdapat beberapa unsur kesamaan dimana partai politik itu merupakan
suatu bentuk kelompok yang telah terorganisir dan mempunyai tujuan
untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan serta menjalankan
kebijakan-kebijakan mereka.
b. Tujuan dan Fungsi Partai Politik
Tujuan pembentukan suatu partai politik, disamping yang utama
adalah merebut, mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan
pemerintahan suatu negara, juga dapat diperlihatkan dari aktivitas yang
dilakukan. Aktivitas yang dilakukan oleh Partai Politik pada umumnya
mengandung tujuan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
1. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti menempatkan
anggotanya menjadi pejabat pemerintah sehingga dapat ikut
mengambil keputusan politik.
2. Berusaha melakukan pengawasan, hal ini biasanya menjadikan partai
politik berada dalam kondisi oposisi dengan pemerintah terhadap
kelakuan, tindakan, maupun kebijaksanaan para pemegang otoritas.
3. Berperan untuk dapat memadu (streamling) tuntutan-tuntutan yang
masih mentah (raw opinion), sehingga partai politik bertindak
sebagai penafsir kepantingan dengan mencanangkan isu-isu politik
yang dapat dicerna dan diterima masyarkat secara luas.
Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan
adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu
menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana : komunikasi politik,
sosialisasi politik (political socialization), rekruitmen politik (political
recruitment), dan pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah
Yves Meny dan Andrew knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi
mobilisasi dan integrasi, sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku
memilih (voting patterns), sarana rekruitmen politik dan sarana elaborai
pilihan-pilihan kebijakan.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang
lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting
dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau
political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi
dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh
partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan partai politik
yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi
kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi
atau bahkan menjadi materi kebijakan-kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi partai politik itu, partai politik juga
berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political
socialization). Ide, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback
berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik
ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik.
Partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang
harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam
kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan untuk memasyarakatkan
kesadaran negara, partai dapat memainkan peran yang penting. Tentu,
pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh diartikan bahwa
hanya partai politik saja yang mempunyai tanggung jawab eksklusif untuk
memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin
politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan
pemerintahan eksekutif, mempunyai tanggung jawab yang sama untuk itu.
Namun, yang hendak ditekankan di sini adalah bahwa peranan partai
politik dan sosialisasi politik itu sangatlah besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekruitmen politik
(political recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk
menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin
negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada
yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui
cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun
melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Tentu tidak semua jabatan
yang dapat diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen
politik. Jabatan-jabatan profesional si bidang-bidang kepegawainegerian
dan lain-lain yang tidak bersifat politik (political appointment), tidak boleh
melibatkan peran partai politik. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian
jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena itu memerlukan
pengangkatan pejabatnya nelalui prosedur politik pula (political
appointment). Untuk menghindarkan terjadinya pencampuradukan, perlu
dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang bersifat politik itu
dengan jabatan-jabatan yng bersifat teknis administratif dan profesional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Di lingkungan kementrian, hanya ada satu jabatan saja yang bersifat
politik, yaitu Menteri. Sedangkan, para pembantu Menteri di lingkungan
instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi
dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut diatas,
nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung
saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya
banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan
melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi,
program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik
(conflict management), partai berperan sebagai sarana agregasi
kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam
kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik
partai. Oleh karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp,
fungsi pengelola konflik dapat diikatkan dengan fungsi integrasi partai
politik. Partai mengagresikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan
itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk
mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegraan.
George E. Skoulas menjelaskan bahwa Gramsci demonstrates three basic elements that constitute a political party. The first element is the portion that joins the organization mainly from faith and enthusiasm without concrete critical conscience and organizational ability. Second, the portion that is comprised by the principal cohesive element, organizing the party on the national field, and give its mark to international level. Third, the organic segment that maintains the contact of both groups and educates the first. The function of the latter segment is organic; it articulates leaders and led intellectually and morally by playing the role of an intermediate. 45This element is the group of the organic intellectuals, who will educate the members that constitute the base, the mass of followers, raise their consciousness and ability to the similar level as that of the party leadership(George, 2006: 45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
c. Jenis Partai Politik
1. Partai Politik dilihat dari komposisi dan fungsi keanggotaannya.
a) Partai massa
Yaitu suatu partai politik yang lebih mengutamakan
kekuatannya berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh
karena itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari
berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat di
bawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang
biasanya luas dan agak kabur.
b) Partai kader
Yaitu suatu partai politik yang mementingkan
ketataorganisasian dan disiplin kerja dari anggota-
anggotanya. Pemimpin partai biasanya menjaga kemurnian
doktrin partai yang dianut dengan jalan mengadakan saringan
calon-calon anggotanya secara ketat.
2. Partai Politik dilihat dari sifat dan orientasinya.
a) Partai Lindungan (Patronage party), yaitu suatu partai politik
yang pada umumnya memiliki organisasi nasional yang
kendor. Disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu
mementingkan pemungutan iuran secara teratur. Tujuan utama
dari partai politik jenis ini adalah memenangkan pemilihan
umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya. Oleh sebab
itu partai semacam ini hanya giat melaksanakan aktivitasnya
menjelang pemilu. Contohnya adalah partai demokrat dan
republik di Amerika Serikat.
b) Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu suatu partai politik
(biasanya) yang mempunyai pandangan hidup yang digariskan
dalam kebijaksanaan pemimpin dan berpedoman pada disiplin
partai yang kuat dan mengikat. Hampir sebagian besar partai
politik di Indonesia dapat dikategorikan sebagai partai
ideologi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
d. Sistem Kepartaian
Dalam kehidupan politik ketatanegaraan suatu negara, pada
prinsipnya dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu :
1. Sistem Partai Tunggal (the single party system). Istilah ini
dipergunakan untuk partai politik yang benar-benar merupakan satu-
satunya partai politik dalam suatu negara, maupun untuk partai
politik yang mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa
partai politik lainnya. Kecenderungan untuk mengambil sistem partai
tunggal disebabkan, karena pemimpin negara-negara baru sering
dihadapkan masalah bagimana mengintegrasikan sebagai golongan,
daerah, suku bangsa yang berbeda corak sosial dan pandangan
hidupnya.
2. Sistem dua partai (two party system). Menurut Maurice Duverger,
sistem ini adalah khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini partai-partai
politik dengan jelas dibagi kedalam partai politik yang berkuasa
karena menang dalam pemilihan umum dan partai oposisi karena
kalah dalam pemilihan umum.
3. Sistem Banyak Partai (multy party system) pada umumnya sistem
kepartaian semacam ini muncul karena adanya keanekaragaman
sosial budaya dan politik yang terdapat di dalam suatu Negara.
Indonesia telah menerapkan berbagai macam sistem
kepartaian. Pada awal kemerdekaan Indonesia menggunakan sistem
banyak partai (multy party system) yang membuat pemilu tahun 1955
diikuti lebih dari 50 partai, hal ini memperlihatkan bahwa Indonesia
mempunyai keanekaragaman sosial budaya dan politik yang sangat banyak
yang ditunjukkan pada banyaknya partai peserta pemilu. Pada era Orde
Baru pemerintah melakukan penyederhanaan partai, dimana peserta
pemilu hanya diikuti oleh dua partai dan satu golongan. Pada era
Reformasi, pemerintah kembali menggunakan sistem banyak partai hal ini
merupakan tuntutan dari reformasi dan pengalaman dari era Orde Baru
yang buruk terhadap sistem kepartaian di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
4. Tinjauan tentang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Masalah hukum (pelanggaran dan sengketa) dalam pemilu menurut
Topo Santoso secara umum dapat dibagi menjadi 6 (enam) bentuk, yang
terdiri dari (Topo Santoso, 2009: 23):
a. Pelanggaran administrasi pemilu;
b. Pelanggaran pidana pemilu;
c. Pelanggaran kode etik penyelenggara;
d. Sengketa dalam proses pemilu;
e. Perselisihan hasil pemilu;
f. Sengketa hukum lain.
Pelanggaran administrasi pemilu di jelaskan dalam Pasal 248
Undang-Undang Pemilu Legislatif dan Pasal 191 Undang-Undang Pemilu
Presiden, dimana perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi
adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang Pemilu yang tidak
termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam
Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali
yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori
pelanggaran administrasi.
Pelanggaran pidana pemilu diatur dalam Pasal 252 Undang-Undang
Pemilu Legislatif dan Pasal 195 Undang-Undang Pemilu Presiden, dimana
tindak pidana pemilu merupakan pelanggaran yang mengandung unsure
pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakanyang dalam Undang-Undang
Pemilu diancam dengan sanksi Pidana.
Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu diatur dalam Peraturan
No. 31/2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum, maka
pelanggaran kode etik merupakan penyimpangan terhadap prinsip-prinsip
moral dan etika penyelenggara pemilu yang berpedoman kepada sumpah janji
sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu yang diberlakukan,
ditetapkan oleh KPU.
Perselisihan hasil pemilihan umum diatur dalam Pasal 258 Undang-
Undang Pemilu Legislatif, dimana denifisi perselisihan hasil pemilihan umum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
sebagai perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil
suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan perhitungan perolehan
hasil suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi peserta pemilu (Veri
Junaidi, 2009 : 111-112).
Dengan demikian sengketa pemilu terdapat tiga macam yaitu
sengketa dalam proses pemilu, sengketa perselisihan hasil pemilu, dan
sengketa hukum lainnya. Di dalam UUD 1945 tidak memberi pengertian dan
ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan “perselisihan tentang
hasil pemilu”. Maka diaturlah dengan undang-undang ( Rudatyo, 2009: 14):
a. Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
memberikan pengertian bahwa, perselisihan hasil pemilu adalah
perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan
secara nasional oleh KPU, yang mempengaruhi :
1) Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
2) Penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua
pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
3) Perselisihan kursi partai politik peserta pemilu di suatu
daerah pemilihan.
b. Pasal 258 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 merumuskan
pengertian perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD sebagai berikut :
1) Perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU
dan peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara
hasil pemilu secara nasional;
2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara
nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah perselisihan
penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi
perolehan peserta pemilui.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
c. Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008,
disimpulkan bahwa, pengertian perselisihan hasil pemilu Presiden
dan Wakil Presiden adalah pengajuan keberatan yang diajukan oleh
pasangan calon terhadap penetapan hasil pemilu Presiden dan
Wakil Presiden oleh KPU yang perhitungan suaranya
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk
dipilih kembali pada pemilu Presiden dan Wakil Presiden kepada
Mahkamah Konstitusi.
Abdul Latief berpendapat Perselisisihan tentang hasil pemilihan
umum adalah perselisihan menyangkut penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional yang dilakukan oleh KPU yang mengakibatkan seorang yang
harusnya terpilih baik sebagai anggota DPR, DPD maupun DPRD atau
mempengaruhi langkah calon Presiden/Wakil Presiden melangkah keputaran
kedua pemilihan Presiden/Wakil Presiden atau mempengaruhi pasangan
calon terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden. Pada hakikatnya
permohonan perselisihan hasil pemilihan umum dapat mengajukan dua hal
pokok. Pertama, adanya kesalahan perhitungan yang dilakukan oleh KPU.
Kedua, hasil perhitungan yang benar menurut pemohon. Dasar perhitungan
pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang dapat menunjukkan
ketidakbenaran perhitungan KPU. Serta berdasarkan hasil tersebut pemohon
meminta agak Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil perhitungan suara
yang diumumkan KPU dan agar Mahkamah Konstitusi menetapkan hasil
perhitungan suara yang benar menurut pemohon(Abdul Latief, 2009: 158-
159)
Perselisihan hasil pemilihan umum pada hakikatnya harus dibedakan
dari pelanggaran pidana Pemilu. Pelanggaran administratif Pemilu harus
diselesaikan oleh KPU berdassarkan laporan Bawaslu/Panwaslu, sedangkan
pelanggaran pidana Pemilu harus ditangani dan diselesaikan oleh aparat
penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan umum
(pengadilan negeri atau pengadilan tinggi). Menurut Pasal 257 Ayat (1)
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, pelanggaran pidana Pemilu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
memengaruhi perolehan suara Pemilu harus selesai sebelum KPU
menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
Oleh karena itu, seharusnya perkara perselisihan hasil pemilihan
umum yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi bersih dari urusan-urusan
pelanggaran pidana Pemilu. Apabila pelanggaran pidana Pemilu yang
memengaruhi perolehan suara hasil Pemilu belum/tidak diselesaikan sebelum
penetapan KPU, maka Mahkamah Konstitusi akan berpegang pada khittah-
nya sebagai Pengawal Konstitusi, yaitu mengawal asas-asas Pemilu yang
luber dan jurdil yang tercantum dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
Perselisihan hasil pemilihan umum yang ditangani Mahkamah
Konstitusi adalah perselisihan yang timbul karena adanya perbedaan hasil
penghitungan suara dalam pemilihan umum. Perselisihan hasil penghitungan
suara tersebut adalah antara hasil yang ditetapkan penyelenggara pemilihan
umum dengan penghitungan oleh Pemohon.
Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum merupakan speedy trial.
Artinya “Perselisihan Hasil Pemilihan Umum diperiksa dan diputus secara
cepat dan sederhana”. Speedy trial dilakukan karena perkara perselisihan
hasil pemilihan umum menyangkut suksesi lembaga-lembaga politik. Jika
lembaga-lembaga politik (hasil pemilihan umum) tidak segera terbangun
dengan stabil, akan mengakibatkan terganggunya proses-proses kenegaraan.
Berdampingan dengan sifat speedy trial, putusan Mahkamah
Konstitusi bersifat final and binding ‘final dan mengikat’. Putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
B. Kerangka Pemikiran
Gambar1
Kerangka Pemikiran
AMANDEMEN UUD
1945 Mahkamah Konstitusi
Pemilu
Legislatif
Sengketa Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU)
Perkara No. 50/PHPU.C-VII/2009
Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009
Perkara No. 88/PHPU.C-VII/2009
Pemohon : Partai Politik
Legal Standing
Parta Politik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Keterangan:
Berdasarkan bagan di atas dapat menggambarkan lebih
jelas alur berprosesnya penelitian ini. Salah satu hasil dari amandemen
UUD 1945 adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dan perubahan
terhadap sistem pemilu yaitu dengan cara pemilihan secara langsung.
Pemilu langsung digunakan untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden dan digunakan juga pada Pemilu Legislatif untuk memilih
anggota DPD, DPR, dan DPRD yang pesertanya adalah partai politik
dan perorangan.
Mahkamah Konstitusi yang merupakan Lembaga Negara
baru diberi kewenangan oleh Undang-Undang Dasar yang diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) yaitu Menguji undang-undang terhadap UUD RI
1945, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945, Memutus pembubaran
partai politik, Memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan
Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden,
sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945.
Proses pemungutan suara yang dilakukan pada pemilu
Legislatif sering terjadi perbedaan perolehan suara di tempat
pemungutan suara yang mempengaruhi hasil perolehan suara partai
politik. Perbedaan perolehan suara merupakan suatu sengketa pemilu
dimana dengan hal tersebut partai potilik dapat mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi mengenai Sengketa Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sebagai pemohon. Memutus Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) merupakan salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah berhak
menyelesaikan Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Mahkamah Konstitusi dalam memutus Sengketa Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU) selain melihat kepada bukti-bukti juga
melihat Legal Standing pemohon apakah pemohon memenuhi Legal
Standing atau tidak. Penulis akan menganalisis Legal Standing partai
politik sebagai pemohon berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan juga dikaitkan dengan analisis dari
Perkara No.50/PHPU.C-VII/2009, No. 61/PHPU.C-VII/2009 dan No.
88/PHPU.C-VII/2009 sehingga, dapat diketahui apa yang
menyebabkan partai politik secara yuridis mempunyai Legal Standing
sebagai pemohon dalam Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
(PHPU) di Mahkamah Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Memutus
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Di dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Dalam kaitan dengan sengketa
Perkara No.011/PUU-1/2003 dan Perkara No. 017/PUU-1/2003, hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan DPRD,
menurut UUD 1945 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPD, dan DPRD.
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa “Pemilihan
Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Perselisihan ini menyangkut
penetapan hasil pemilihan umum secara nasional yang dilakukan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengakibatkan seorang yang
harusnya terpilih baik sebagai anggota DPD, DPR maupun DPRD atau
mempengaruhi langkah calon Presiden/Wakil Presiden melangkah
keputaran berikut (kedua) pemilihan Presiden/Wakil Presiden atau
mempengaruhi pasangan calon terpilih menjadi Presiden/Wakil Presiden.
Hal itu terjadi karena perhitungan suara hasil pemilu tersebut dilaksanakan
secara keliru atau tidak benar, baik sengaja maupun tidak.
Ini merupakan sejarah di Indonesia bahwa untuk pertama kalinya
hasil pemilu tersebut dapat diuji oleh suatu badan independen secara
juridis. Pada pemilu legislatif bulan April 2004 Mahkamah Konstitusi
telah memeriksa perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh
calon anggota DPD sebanyak 21 permohonan serta 23 partai politik yang
mengajukan perselisihan yang terjadi di 252 daerah. Pemilu presiden dan
wakil presiden putaran pertama hanya menimbulkan satu perkara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
diajukan oleh pasangan calon Presiden-Wakil Presiden Wiranto-
Solahuddin Wahid.
Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilu
adalah :
1. Perorangan Warga Negara Indonesia calon anggota DPD peserta
pemilu.
2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pesrta pemilu.
3. Partai politik peserta pemilu.
Yang menjadi termohon adalah komisi Pemilihan Umum dan
meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan tertentu yang hasil
penghitungan awal dilakukan oleh Panitia Penghitungan Suara (PPS) yang
kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang
dilanjutkan ke Komisi Pemilihan Umum tingkat Kabupaten, Komisi
Pemilihan Umum tingkat Provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum di Jakarta. Oleh
karenanya yang dijadikan obyek perselisihan adalah penetapan hasil
pemilihan umum yang dikeluarkan KPU pusat meskipun perselisihan
menyangkut hasil pemilihan umum anggota DPRD di kabupaten/kota atau
provinsi tertentu yang mempengaruhi terpilihnya anggota DPRD atau
anggota DPD tersebut.
Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilihan umum
mengajukan dua hal pokok yaitu pertama, adanya kesalahan perhitungan
yang dilakukan oleh KPU dan kedua, hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon. Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada
alat-alat bukti yang dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU.
Dan berdasarkan hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah
Konstitusi membatalkan hasil perhitungan suara oleh KPU dan
Menetapkan perhitungan suara yang benar menurut pemohon, hal ini
sesuai dengan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Yang menjadi perhatian adalah meskipun
perhitungan sura yang diajukan oleh pemohon benar dan hasil perhitungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
suara KPU salah tetapi hal itu tidak mempengaruhi terpilihnya anggota
DPD, perolehan kursi DPR/ DPRD dan langkah Presiden keputaran kedua
Pemilu Presiden/Wakil Presiden permohonan demikian akan tetap
dinyatakan tidak dapat diterima. Perhitungan suara yang mempengaruhi
tersebut haruslah mengakibatkan perubahan peringkat perolehan suara.
Tabel diatas memperlihatkan tentang perkara-perkara yang terjadi
pada Pemilu legislatif tahun 2009 yang lalu. Perkara yang masuk ke
Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh partai politik pada Pemilu
legislatif sebanyak 42 perkara yang diregistrasi dan semuanya itu juga
diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dari 42 perkara tersebut dijabarkan
secara rinci menjadi 627 kasus dalam Pemilu Legislatif tahun 2009. dari
627 kasus tersebut telah diputus semua, dimana terdapat 68 kasus yang
dikabulkan (10.85%), 398 kasus ditolak (63.48%), 107 kasus tidak
diterima (17.07%), 27 kasus ditarik kembali (4.31%), terdapat 6 kasus
(0.96%) diadakan perhitungan suara ulang, 2 kasus (0.32%) diadakan
pemungutan suara ulang, 13 kasus (2,07%) diputus berdasarkan Pasal 205
Perkara Jumlah Perkara
Diregistrasi
Jumlah Perkara Diputus
Kasus
Putusan
Jumlah
Dikabulkan Ditolak Tidak Diterima
Ditarik Kembali
Perhitungan Suara Ulang
Pemungutan Suara Ulang
Putusan Pasal
205 UU No. 10 Tahun 2008
Putusan Sela
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
PARPOL 42 42 627 68 398 107 27 6 2 13 6 627
PERSENTASE 10.85% 63.48% 17.07% 4.31% 0.96% 0.32% 2.07% 0.96% 100.00%
Tabel. 1 Statistika Perkara Parpol Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2009
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang penentuan perolehan
jumlah kursi anggota DPR dari Partai Politik, dan 6 kasus (0,96%) diputus
dengan putusan sela.
Pemilu legislatif 2009 telah menunjukkan bagaimana banyaknya
partai politik yang mengajukan perselisihan hasil pemilihan umum kepada
Mahkamah Konstitusi sebagai konsekuensi terhadap kewenangan
Mahkamah Konstitusi yaitu memutus sengketa perselisihan hasil
pemilihan umum.
B. Prosedur Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Mahkamah Konstitusi memiliki pengalaman yang sangat berharga
dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum tahun 2004 yang
lalu, baik dari segi kuantitas perselisihan yang diajukan ke Mahkamah
Konstitusi maupun dilihat dari kualitas dalam arti yang berkaitan dengan
dilanggarnya azas-azas pemilu yang sesungguhnya juga berpengaruh
terhadap hasil perhitungan suara, tetapi tidak menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Sebagai antisipasi terhadap pemilu 2009, maka
disamping mendasarkan pada prosedur penyelesaian perselisihan hasil
pemilu yang diatur dalam Pasal 74 sampai dengan 79 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, juga aturan hukum acaranya telah dilengkapi
dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) masing-masing nomor
004/PMK/2004 dan nomor 005/PMK/2004. Tahun 2009 Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang pedoman beracara Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum diperbaharui kembali dalam PMK Nomor
16/PMK/2009. mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Wewenang Mahkamah Konstitusi :
Meskipun Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10
ayat (1) huruf d Undang-Undang Mahkamah Konstitusi hanya
menyebutkan “perselisihan hasil Pemilihan umum”, tetapi Pasal 74
Undang Undang Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Pemilu yang dimaksud adalah Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (Undang-Undang No. 12 Tahun 2003), serta Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden (UU No. 23 Tahun 2003), jadi tidak termasuk
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada),
meskipun hal ini telah menjadi perdebatan di masyarakat dan
Mahkamah Konstitusi. Selain itu kewenangan ini juga hanya
terhadap penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh
KPU, sehingga tidak mencakup penetapan hasil oleh KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota, dan juga tidak berkaitan dengan
kecurangan-kecurangan dan pelanggaran asas-asas Pemilu yang
menjadi kewenangan Panwaslu dan Pengadilan Umum (Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Tinggi).
2. Pihak dalam Sengketa
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan
hasil pemilihan umum. Pemilu dimaksud adalah pemilu menurut
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilihan umum yang
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan
Dewan Perwakilan Daerah. Dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945
ditentukan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik, sedang dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945
ditentukan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Daerah dan perorangan. Sedangkan peserta
pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
menurut pasal 6A ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum. Di lain pihak
penyelenggaraan pemilu menurut Pasal 22E ayat 5 UUD 1945
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
nasional, tetap, dan mandiri. Komisi ini dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003, dibentuk sebagai Komisi Pemilihan Umum
dengan jajarannya Komisi Pemilihan Umum Propinsi serta
Kabupaten/Kota sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan pemilihan umum. Berdasarkan ketentuan tersebut
diatas, maka dalam Pasal 3 PMK Nomor 16/PMK/2009 ditentukan
bahwa yang dapat menjadi Pemohon untuk mengajukan sengketa
hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi adalah :
a. Permohonan warga negara Indonesia calon anggota DPD
peserta pemilu.
b. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta
pemilu, atau
c. Partai politik peserta pemilu
Partai politik yang mengajukan permohonan dalam
perselisihan hasil pemilu DPR/DPRD haruslah pengurus pusat partai
yang bersangkutan sebagai badan hukum. Namun, pengurus pusat
dapat memberi kuasa, baik kepada pengurus daerah (DPD maupun
DPC) atau kuasa hukum yang ditunjuk menangani permohonan dari
partai yang bersangkutan.
Pemilihan anggota DPD yang pesertanya adalah
perorangan, maka yang boleh jadi pemohon adalah perorangan
peserta pemilu anggota DPD yang merasa dirugikan oleh hasil
perhitungan suara yang ditetapkan. Sedang pada pemilu untuk
memilih Presiden/Wakil Presiden meskipun psangan calon diajukan
oleh partai politik peserta pemilu namun yang boleh jadi pemohon di
MK untuk mempersoalkan hasil perhitungan suara adalah pasangan
calon Presiden/Wakil Presiden tersebut. Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik
sehingga yang boleh menjadi pemohon untuk mempersoalkan hasil
perhitungan suara pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan
DPRD adalah partai politik yang bersangkutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Legal standing Pemohon didasarkan atas jenis pemilunya,
signifikasi perolehan suaranya, dan tenggat (waktu) permohonannya,
sebagai berikut :
a. Pemohon untuk Pemilu anggota DPD adalah perorangan
WNI peserta Pemilu yang perolehan suaranya
mempengaruhi terpilihnya calon anggota DPD jadi, karena
wakil tiap provinsi hanya 4 (empat) orang, maka calon
peringkat nomor 5 (lima) yang paling signifikan untuk
mengajukan permohonan.
b. Pemohon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah
pasangan calon peserta Pemilu yang perolehan suaranya
mempengaruhi lolosnya calon ke pemilu putaran kedua.
Karena yang dapat lolos hanya dua pasangan, maka
pasangan calon peringkat ketiga yang sigifikan untuk
mengajukan permohonan atau terpilihnya pasangan calon;
c. Pemohon untuk Pemilu Anggota DPR dan DPRD adalah
partai politik peserta Pemilu. PMK No. 4/PMK/2004
menegaskan bahwa permohonannya adalah dewan
pimpinan pusat parpol atau sejenisnya, karena yang menjadi
obyek perselisihan adalah penetapan hasil pemilu oleh KPU
secara nasional dan hanya DPP Parpol yang bisa mewakili
Parpol ke pengadilan yang perolehan suaranya
mempengaruhi perolehan kursi parpol yang bersangkutan di
suatu daerah pemilihan.
d. Tenggat untuk mengajukan permohonan oleh Pasal 74 ayat
(3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ditetapkan
hanya 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU
mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional.
3. Termohon
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak menegaskan
tentang ada tidaknya Termohon dalam kasus perselisihan hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Pemilu, tetapi PMK No. 04 dan No. 05/PMK/2004 menegaskan
bahwa KPU adalah pihak Termohon, karena menurut MK
perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara peserta Pemilu
dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilu, dan juga merujuk
ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
4. Syarat Permohonan
Permohonan hanya dapat diterima jika diajukan dalam jangka
waktu paling lambat 3x24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum
mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional, dan hanya
dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang
mempengaruhi :
a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
b. Penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di
suatu daerah pemilihan.
Ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
mensyaratkan, bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas
tentang kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan suara yang benar
menurut pemohon dan permintaan untuk membatalkan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum
dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon. Dari persyaratan itu, maka nyata bahwa sesungguhnya
perselisihan tersebut hanya menyangkut segi kuantitatif atau jumlah
perolehan suara yang membawa pengaruh kepada terpilih tidaknya
calon anggota DPD, DPR/DPRD dan Presiden/Wakil Presiden.
Pengalaman menunjukkan penyelenggaraan pemilihan umum di
beberapa tempat tertentu telah melanggar asas pemilihan umum yang
langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur, dan adil (LUBER
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
JURDIL) yang sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap hasil
penghitungan suara. Penanganan persengketaan yang sudah bercorak
pidana akan ditangani penyidik, penuntut umum serta pengadilan
negeri yang juga seharusnya dalam tenggang waktu yang ditentukan
sehingga apabila ada kecurangan pelaksanaan pemilu yang
mempengaruhi hasil perolehan suara, putusan pengadilan dapat
dijadikan alat bukti di Mahkamah Konstiusi yang akan menyatakan
hasil penghitungan suara yang demikian tidak terjadi dan setelah
perselisihan hasil pemilu selesai diputus Mahkamah Konstitusi, baru
putusan pengadilan yang menyatakan kecurangan itu dibawa ke
Mahkamah Konstitusi untuk menuntut revisi putusan Mahkamah
Konstitusi. Jadwal ketatanegaraan kita tidak membenarkan hal
tersebut dan putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat
tidak dapat diubah lagi.
Dengan demikian, menurut Maruarar Siahaan, proses yang
terjadi di Mahkamah Konstitusi sesungguhnya sangat sederhana,
yaitu pemohon mendalilkan hasil penghitungan suara yang dilakukan
KPU salah dan kemudian pemohon mengemukakan hasil
penghitungan suara yang benar. Apabila pemohon dapat
membuktikan dalil permohonannya dan hakim yakin kebenaran hasil
penghitungan menurut versi pemohon atau hakim menyimpulkan
dari alat bukti yang diajukan memang hasil penghitungan KPU
salah, Mahkamah Konstitusi akan menetapkan hasil penghitungan
suara yang benar. Meskipun dikatakan sederhana, penghitungan
demikian menjadi tidak mudah karena standar minimum legalitas
rekapitulasi penghitungan suara dan berita acara yang dibuat belum
jelas dan tidak sedikit berita acara dan sertifikat hasil penghitungan
suara yang direkayasa oleh para petugas yang tidak jujur.
Oleh karena batasan yang ditentukan sebagai materi
perselisihan hanya menyangkut hasil penghitungan suara yang
mempengaruhi terpilihnya anggota DPR, DPD, DPRD, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, maka meskipun terjadi
kesalahan penghitungan suara tetapi penghitungan suara tersebut
tidak signifikan membawa pengaruh untuk mengubah posisi peserta
pemilu untuk terpilih, maka permohonan demikian akan dengan
mudah dikesampingkan. Misalnya oleh karena anggota DPD yang
akan terpilih untuk tiap propinsi adalah 4 (empat) orang, maka calon
peringkat kelima dan keenam dipandang memiliki posisi yang boleh
jadi mendapat pengaruh dari hasil penghitungan suara yang salah.
Akan tetapi, itupun hanya relevan jika jumlah suara yang didalilkan
hilang dapat melampaui secara signifikan calon anggota DPD
peringkat di atasnya. Demikian pula halnya dengan calon anggota
DPR/DPRD dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Maruarar Siahaan, mengemukakan bahwa oleh karena faktor
waktu yang singkat dalam memutus perkara pemilu, maka segala
sarana yang dapat mempermudah komunikasi, baik untuk
pendaftaran permohonan, penyampaian panggilan, dan
mendengarkan keterangan saksi terutama sarana teknologi informasi
telah dipergunakan. Pendaftaran permohonan diperkenankan dengan
email dan faximile meskipun harus dikonfirmasi kemudian dengan
permohonan asli yang harus sudah diterima Mahkamah Konstitusi 3
(tiga) hari sejak habisnya tenggat waktu penerimaan permohonan.
Dalam rangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak permohonan
didaftar dalam BRPK, sidang pertama perkara perselisihan hasil
pemilu legislatif sudah harus ditetapkan dan salinan permohonan
sudah dikirim kepada KPU. Panggilan sidang dapat dilakukan
melalui dengan telepon.
Suatu hal yang tidak dimuat secara tegas dalam PMK Nomor
04 maupun 05 tahun 2004 dan PMK Nomor 16 tahun 2009 adalah
acara mendengarkan keterangan saksi serta KPU Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang jaraknya sangat jauh dari ibukota yang
dilakukan dengan sarana teleconference. Namun acara tersebut telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dilakukan dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu
legislatif yang lalu. Dasar hukum yang digunakan dalam hal ini
adalah Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
yang menyangkut dibakukannya alat bukti yang didasarkan pada
Teknologi Informasi (TI).
Materi perolehan yang wajib diuraikan dengan jelas oleh
Pemohon adalah:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
KPU dan penghitungan yang benar menurut pemohon.
b. Permintaan (petitum) untuk membatalkan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon.
5. Pemeriksaan Pendahuluan
Berbeda dengan pemeriksaan pendahuluan sebagaimana
umumnya dilakukan dalam perkara pengujian undang-undang, dalam
perkara perselisihan pemilu, pemeriksaan pendahuluan yang
memberi kesempatan memperbaiki permohonan untuk pemohon
calon anggota DPR/DPRD dan DPD, meskipun diberi jangka waktu
3x24 jam dan perselisihan hasil pemilu Presiden/Wakil Presiden
1x24 jam namun dalam praktek yang lalu perbaikan dilakukan
langsung di tempat dan diperbolehkan dengan tulisan tangan. Hal ini
terjadi karena banyaknya permohonan yang diterima sehingga
apabila dilakukan sesuai dengan aturan dalam PMK dan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi dikhawatirkan tenggang waktu yang
disebut menjadi tidak dapat dipenuhi.
Pemeriksaan pendahuluan akan memeriksa legal standing.
Dalam hal perkara perselisihan hasil pemilu untuk memilih anggota
DPR/DPRD, pemeriksaan pendahuluan dilakukan dengan
memeriksa apabila permohonannya adalah pengurus pusat partai
politik yang bersangkutan. Bilamana dalam permohonan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
dijumpai hal demikian, pemeriksaan pendahuluan akan memeriksa
setidaknya mengenai apakah pemohon memiliki surat kuasa yang
sah dari pengurus pusat partai politiknya. Hal ini merupakan langkah
pertama yang dilakukan Mahkamah Konstitusi.
Langkah kedua adalah memeriksa signifikasi perhitungan
suara yang didalilkan pemohon hilang atau salah dalam
penghitungannya, apakah mempengaruhi terpilihnya calon anggota
DPR/DPRD atau DPD tersebut. Dalam hal pasangan Presiden/Wakil
Presiden, juga diperiksa apakah signifikan untuk terpilih atau tidak
untuk masuk dalam putaran kedua. Kalau signifikasi angka yang
tidak berpengaruh demikian telah menjadi nyata, maka kesimpulan
atas permohonan dengan sangat mudah telah dapat diambil tanpa
melanjutkan pemeriksaan lainnya.
Karena Mahkamah Konstitusi harus memutus perselisihan
hasil pemilu dalam waktu yang singkat yaitu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan
paling lambat 14 (empat belas) hari kerja untuk Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden terhitung sejak perkara diregistrasi di BRPK, maka
tenggat untuk perbaikan permohonan, pemberitahuan kepada para
pihak dan penetapan hari sidang pertama juga diperpendek dari yang
ditentukan dalam hukum acara umum, demikian pula persidangan
juga berlangsung secara cepat dan singkat, serta maraton bahkan
sampai malam hari.
6. Pemeriksaan Persidangan
Atas alasan tenggat waktu dan beban permohonan yang
masuk, PMK Nomor 16/PMK/2009 menugaskan panel hakim untuk
melaksanakan pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan.
Hasilnya kemudian dilaporkan kepada pleno Mahkamah Konstitusi
untuk dimusyawarahkan sebelum pengambilan putusan.
Sebagaimana diutarakan diatas, penggunaan sarana teknologi
informasi dalam pemeriksaan persidangan juga membawa kecepatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
penyelesaaian yang diharapkan dan jarak tidak lagi menjadi masalah
yang berarti. Yang menjadi perhatian tentulah memeriksa kebenaran
identitas saksi dan KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang didengar
didaerah yang jauh dari tempat persidangan. Oleh karena sarana
yang dipergunakan adalah milik Mabes Polri, dan pihak yang
didengar berada diruangan Polda setempat, maka prosedur
identivikasi dan verivikasi demikian dilakukan dengan suatu kerja
sama dengan pihak Polri. Petugas Mahkamah Konstitusi dan petugas
Mabes Polri yang berada di Jakarta (lokasi sarana teleconference)
mengadakan persipan verivikasi identitas tersebut dengan petugas
Polda setempat sehingga nilai keterangannya dapat diterima sebagai
alat bukti yang sah.
Meskipun tidak dapat dikatakan bahwa perkara perselisihan
hasil pemilu merupakan perkara yang sederhana, dalam arti tingkat
kompleksitas masalah hukumnya, tetapi time-frame penyelesaian
perkara menyebabkan perkara ini diperlakukan sebagai perkara cepat
seperti halnya yang dilakukan dalam perkara cepat Pengadilan
Negeri. Pemeriksaan di persidangan pertama-tama memberi
kesempatan pada pemohon untuk menguraikan dengan ringkas
permohonannya dengan mengemukakan kesalahan perhitungan yang
dilakukan KPU dan mengemukakan perhitungan suara yang benar.
Dalam petitumnya pemohon mencantumkan untuk meminta
Mahkamah Konstitusi menetapkan hasil penghitungan yang benar
dan membatalkan perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
KPU diberi kesempatan untuk memberi keterangan sebagai
tanggapan atas permohonan tersebut. Bila Panwaslu hadir, maka
Panwaslu juga diberi kesempatan dalil Pemohon. Apabila keterangan
telah dipandang cukup, baru kemudian diberi kesempatan bagi
Pemohon untuk membuktikan dalilnya dengan alat bukti. Alat bukti
yang disebut dalam Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
secara umum dan dalam PMK Nomor 04 dan 05 Tahun 2004 dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
PMK Nomor 16 Tahun 2009 yaitu tentang bukti surat dan saksi
adalah merupakan alat bukti yang umumnya dilakukan. Bukti surat
tersebut adalah salinan atau fotocopy berita acara dan sertifikat hasil
atau rekapitulasi hasil penghitungan suara pada jenjang yang
dipersilahkan. Sertifikat dimaksud haruslah dilegalisasi pejabat KPU
dan diberi materai secukupnya. Untuk dapat diterima sebagai alat
bukti yang digunakan mendukung dalil ketidakbenaran penghitungan
suara yang dilakukan KPU, maka berita acara demikian harus sudah
memuatpernyataan keberatan dari saksi peserta pemilu yang tidak
menerima hasil penghitungan tersebut dan telah memohon
perbaikannya pada jenjang penghitungan suara yang berkenaan tapi
tidak ditindaklanjuti.
Disamping itu keterangan saksi juga dapat diajukan untuk
mendukung dalil permohonan pemohon tetapi masih terdapat
ketidakseragaman dalam praktik yang lalu tentang kualifikasi saksi.
Pasal 8 ayat (3) PMK Nomor 05 Tahun 2004 menyatakan bahwa :
“Keterangan saksi adalah keterangan dari saksi pemegang mandat peserta pemilu di setiap jenjang penghitungan suara sebagaimana ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2003 jo. keputusan KPU Nomor 37 Tahun 2004 dan Keputusan KPU Nomor 38 tahun 2004.”
Ada yang menafsirkan bahwa hanya saksi yang ditunjuk
sebagai saksi pemegang mandat peserta pemilu di setiap jenjang
penghitungan suara, yaitu yang menyaksikan penghitungan di TPS
dan menyatakan keberata bila perlu, yang dapat didengar di sidang
MK untuk mendukung permohonan. Kalau hal itu dijadikan sebagai
aturan yang berlaku umum, maka akan brtentangan dengan Pasal 36
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyebut saksi sebagai
satu alat bukti dan saksi adalah orang yang mengallami, melihat dan
mendengar sendiri peristiwa yang terjadi. Kekhawatiran bahwa kalau
saksi seperti ini diperbolehkan untuk didengar akan menyebabkan
pemeriksaan hasil penghitungan suara di Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
menjadi tidak pasti karena saksi-saksi bisa saja direkayasa. Akan
tetapi, keberatan ini tidak cukup beralasan karena hakim berwenang
menilai keberadaan saksi tersebut serta alasan dan latar belakang
saksi dimaksud memberi keterangan. Saksi sumpah palsu bagi
seorang saksi dan penilaian hakim akan nilai keterangannya tidak
perlu menimbulkan ketidakpastian aturan semacam itu.
Kemungkinan bahwa tugas hakim semakin berat, memang benar.
Setelah pemeriksaan dipandang selesai, maka panel hakim
akan melaporkan hasil pemeriksaan persidangan atas perkara
permohonan yang diajukan dan kemudian majelis pleno hakim
konstitusi bermusyawarah untuk mengambil keputusan.
Pengambilan keputusan dan pengumuman keputusan tersebut
dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Bila
permohonan tidak beralasan dan/atau pemohon tidak memenuhi
syarat, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima. Kalau permohonan tidak dapat dibuktikan secara
cukup dan meyakinkan, permohonan akan dinyatakan ditolak.
Permohonan yang beralasan dan didukung bukti yang cukup serta
meyakinkan, maka Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
Pemohon dengan menyatakan penghitungan suara yang dilaksanakan
KPU salah dan Mahkamah Konstitusi menetapkan penghitungan
suara yang benar.
Sesudah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, maka
putusan tentang perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR,
DPD dan DPRD disampaikan kepada Presiden, pemohon dan KPU.
Putusan MK tentang perselisihan hasil pemilu Presiden/Wakil
Presiden disampaikan masing-masing kepada MPR,
Presiden/Pemerintah, KPU, partai politik atau gabungan partai
politik yang mengajukan calon, serta pasangan calon Presiden/Wakil
Presiden peserta pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
bersifat final dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh KPU.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Keberatan yang disertai dengan putusan Pengadilan Negeri yang
menyatakan terjadi pemalsuan dan tindak pidana lain yang
menyebabkan kesalahan hasil penghitungan suara tidak dapat lagi
digunakan sebagai dasar revisi atau peninjauan kembali putusan
Mahkamah Konstitusi. Secara kronologis, urutan yang seharusnya
adalah bahwa sebelum penetapan hasil penghitungan suara secara
nasional oleh KPU segala penyimpangan yang bersifat tindak pidana
telah selesai disidik, dituntut dan diputus oleh aparat hukum di
daerah. Seluruh proses itu juga harus berlangsung secara cepat
(perkara cepat) karena adanya jadwal ketatanegaraan yang harus
dipenuhi. Akan tetpi, karena sosialisasi yang kurang memadai aparat
hukum belum memahaminya dan penanganan yang dilakukan berada
di luar jadwal ketatanegaraan yang telah disusun.
Sering timbul protes dan pernyataan tentang hal ini, apakah
hukum acara Mahkamah Konstitusi yang perlu diperbaharui atau
Mahkamah Konstitusi yang bersikap acuh terhadap ketidakadilan ini.
Sesungguhnya bukanlah demikian halnya. Sifat final and binding
putusan Mahkamah Konstitusi karena jadwal ketatanegaraan yang
tersusun menyebabkan hal ini tidak bisa dihindari. Masalah keadilan
tidak selalu harus dijawab dengan akibat hukum revisi putusan
Mahkamah Konstitusi tetapi dapat disalurkan pada tanggung jawab
pidana dan perdata pelaku penyimpangan tersebut. Untuk masa yang
akan datang, brangkat dari pengalaman berharga ini dapat ditarik
pelajaran dan sosialisasi tentang penyusunan jadwal ketatanegaraan
yang bersesuaian dengan penyelesaian sengketa perselisihan hasil
pemilu.
7. Alat Bukti
Alat bukti surat berupa dokumen-dokumen resmi pemilu
yang dikeluarkan KPU, sedangkan saksi adalah saksi peserta
pemilu dalam perhitungan suara dan juga dari Panwaslu dan KPU
beserta jajarannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
8. Putusan
Putusan MK yang menurut ketentuan Pasal 79 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi disampaikkan kepada Presiden ada 3
(tiga) kemungkinan (Pasal 77 UU MK) sebagai berikut :
a. Apabila pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 74
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, amar putusan
menyatakan permohonan tidak dapat diterima;
b. Apabila permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan dan membatalkan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c. Apabila permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan ditolak.
9. Pelaksanaan Putusan
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan, maka
putusan tentang perselisihan hasil pemilihan umum anggota DPR,
DPD dan DPRD disampaikan kepada Presiden, Pemohon dan KPU.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat serta
wajib dilaksanakan oleh KPU.
Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan prosedur
beracara perselisihan hasil pemilihan umum hanya diberikan waktu
yang terbatas dimana Mahkamah Konstitusi harus menjatuhkan
perkara perselisihan hasil pemilihan umum paling lambat 30 hari
sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
(BPRK). Dalam perselisihan hasil pemilihan umum Hakim
Mahkamah Konstitusi harus teliti, fokus dan tetap menjunjung
tinggi prinsip independen dan imparsial sehingga, putusan yang
dibuat oleh Mahkamah Konstitusi tetap dapat
dipertanggungjawabkan dan tetap menjunjung tinggi prinsip
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
demokrasi dalam pemilihan umum. Secara lebih jelas, prosedur
perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut:
Dalam perselisihan hasil Pemilu Tahun 2004, banyak pemohon
masih mempersoalkan hal-hal yang bersifat kualitatif, padahal menurut
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Pemilu
kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terkait dengan kasus yang
Sumber: Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Abdul Latif dkk
Gambar.2 Skema Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Di Mahkamah Konstitusi
Adanya Perselisihan
perhitungan hasil pemilihan umum
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum
Persiapan Persidangan
Pemeriksaan Persidangan
Putusan
Pelaksanaan Putusan
Hakim Mahkamah Konstitusi
Perhitungan Ulang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
bersifat kuantitatif. Sehingga, karena Mahkamah Konstitusi adalah the
guardian of the constitution maka mestinya juga menjaga agar asas-asas
pemilu yang luber dan jurdil yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD
1945 tidak dilanggar (aspek kualitatif).
C. Legal Standing Partai Politik sebagai Pemohon dalam Sengketa Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
1. Legal Standing Pemohon dalam PHPU.
Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa
perselisihan hasil pemilihan umum menentukan bahwa pengajuan
permohonan harus melalui Dewan Pengurus Pusat (DPP) parpol
masing-masing. Setiap Permohonan yang diajukan terkait PHPU,
harus ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen DPP partai politik
atau jabatan sejenis beserta kuasa hukumnya. Dengan kata lain, legal
standing yang diterima dalam pengajuan perkara PHPU adalah
permohonan partai politik melalui ketua umum dan sekjen masing-
masing parpol.
Ketentuan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal
74 ayat (1) huruf c UU MK juncto Pasal 3 ayat (1) huruf b PMK
Nomor 16 Tahun 2009 menegaskan bahwa para pihak yang
mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU anggota DPR dan
DPRD adalah partai politik peserta Pemilu, bukan calon anggota
legislatif secara orang-perorangan. Lebih lanjut ditentukan pula bahwa
permohonan PHPU haruslah memengaruhi perolehan kursi partai
politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, sehingga tidak
berpindahnya kursi dari partai politik satu ke partai politik lain dalam
konteks sengketa antarcaleg dianggap bukan menjadi objek sengketa
Pemilu.
Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa antarcaleg
mempunyai 2 (dua) pertimbangan komulatif yaitu Pertama, syarat
subjectum litis yaitu permohonan tersebut harus tetap diajukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik atau nama yang
sejenisnya, bukan oleh masing-masing caleg yang bersangkutan secara
otonom; Kedua, syarat objectum litis yaitu objek yang
dipermasalahkan haruslah tetap Keputusan KPU tentang perolehan
suara hasil Pemilu yang berkaitan dengan perolehan suara setiap caleg
dalam satu parpol. Hal ini sejalan dengan syarat – syarat menjadi
anggota legislatif yang harus mendaftarkan diri melalui partai politik.
Mahkamah Konstitusi tidak akan menerima perselisihan antar caleg
dengan caleg lain secara perorangan maupun dalam satu partai.
Apabila caleg memiliki keberatan terhadap hasil perhitungan KPU
namun DPP partai tersebut menganggap tidak ada masalah, maka
persoalan itu harus diselesaikan dalam internal parpol tersebut.
2. Analisis Putusan Perkara di Mahkamah Konstitusi
Untuk dapat mengetahui bagaimana kedudukan hukum atau
Legal Standing dari partai politik sebagai pemohon dalam sengketa
perselisihan hasil pemilihan umum, penulis mengkaji dengan menganalisis
perkara-perkara perselisihan hasil pemilihan umum dalam pemilihan anggota
legislatif. Perkara yang penulis analisis adalah Perkara No. 50/PHPU.C-
VII/2009 yang diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh Partai
Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme), dan Perkara No.
88/PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh Partai Buruh.
Untuk mengetahui kedudukan hukum atau Legal Standing
dari masing-masing partai politik yang dalam hal ini sebagai Pemohon
dalam perkara PHPU di Mahkamah Konstitusi. Penulis menganalisis
satu per satu perkara sebagai berikut :
a. Perkara No. 50/PHPU.C-VII/2009
Perkara No. 50/PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta sebagai Termohon dan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Turut Termohon KPU Provinsi Kepulauan Riau, KPU Kabupaten
Demak, KPU Kabupaten Ponorogo, KPU Kabupaten Barito Timur,
KPU Kabupaten Semarang, KPU Kabupaten Blora, KPU
Kabupaten Banjar, KPU Kabupaten Kerinci, KPU Kabupaten
Samosir, KPU Kabupaten Musi Rawas, KPU Provinsi Bangka
Belitung, dan KPU Kota Makassar yang merupakan perselisihan
hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU
berdasarkan keputusan KPU No. 255/Kpts/KPU/2009 tanggal 9
Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun
2009.
Kedudukan hukum atau Legal Standing dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dalam hal ini Pemohon,
Mahkamah Konstitusi melihat berdasarkan Pasal 74 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara 122 Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal
258 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 5 huruf a dan b Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman
Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (PMK 16/2009), menentukan hal-hal,
antara lain, sebagai berikut:
1) Pemohon adalah partai politik peserta pemilu.
2) Permohonan hanya dapat diajukan terhadap perselisihan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum yang dilakukan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:
a) Terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% (dua
koma lima perseratus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
202 ayat (1) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD;
b) Perolehan kursi partai politik peserta Pemilu dan kursi
calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota dari partai politik di suatu daerah
pemilihan.
Dengan dasar hal tersebut Majelis mempertimbangkan
Legal Standing dari Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 5 huruf a dan b PMK 16 Nomor 2009
tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
sebagai berikut:
1) Pemohon adalah Partai Politik Peserta Pemilu berdasarkan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor
149/SK/KPU/Tahun 2008 bertanggal 16 Agustus 2008 tentang
Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Tahun 2009;
2) Permohonan yang diajukan Pemohon adalah perselisihan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum yang dilakukan secara
nasional oleh Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Keputusan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 123 255/Kpts/KPU/Tahun
2009 tanggal 9 Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman
Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum
Tahun 2009;
3) Menurut Pemohon hasil rekapitulasi penghitungan suara yang
dilakukan oleh Termohon dengan hasil sebagaimana disebut di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
atas terjadi karena kesalahan dan/atau kekeliruan yang
menguntungkan partai politik tertentu di Daerah Pemilihan
(Dapil) sebagaimana telah diuraikan di atas. Oleh karena itu,
Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan
penghitungan suara yang dilakukan oleh Termohon.
Dengan hal-hal yang disebutkan, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
sebagai Pemohon dalam Perkara No. 50/PHPU.C-VII/2009 telah
memenuhi syarat kedudukan hukum atau Legal Standing dalam
berperkara di Mahkamah Konstitusi.
b. Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009
Perkara No. 61/PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme kepada Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang ada di Jakarta sebagai Termohon dan KPU
Kota Batam sebagai Turut Termohon I, KPU Kabupaten Rokan
Hilir sebagai Turut Termohon II, KPU Kabupaten Way Kanan
sebagai Turut Termohon III, KPU Kota Jayapura sebagai Turut
Termohon IV serta KPU Kabupaten Barito Timur sebagai Turut
Termohon V.
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme yang dalam hal ini
sebagai Pemohon merasa keberatan terhadap Penetapan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 255/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 9
Mei 2009 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilihan
Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara nasional yang
diumumkan pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 2009 pukul 23.54 WIB
dimana Pemohon mendapatkan Suara 316.752 atau 0,30%.
Mahkamah Konstitusi melihat kedudukan hukum atau Legal
Standing dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme didasarkan
pada berdasarkan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Negara 122 Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU MK) juncto Pasal 258 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 5
huruf a dan b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan kedudukan hukum atau Legal
Standing dari Partai Nasional Indonesia Marhaenisme telah
memenuhi syarat kedudukan hukum atau Legal Standing untuk
dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam hal ini sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum untuk anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Privinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah
Kabupaten/Kota.
c. Perkara No. 88/PHPU.C-VII/2009
Perkara No.88/PHPU.C-VII/2009 yang diajukan oleh Partai
Buruh kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta sebagai
Termohon dan sebagai Turut Termohon KPUD Kabupaten
Konawe, KPUD Kabupaten Konawe Utara, KPUD Kota Batam,
KPU Provinsi Sumatera Utara, KPU Provinsi Riau, KPUD
Kabupaten Paniai, KPUD Kota Kendari, KPUD Kabupaten Rejang
Lebong dan KPUD Kota Manado.
Partai Buruh yang dalam hal ini sebagai Pemohon merasa
keberatan terhadap Penetapan Komisi Pemilihan Umum Nomor
255/Kpts/KPU/Tahun 2009 tanggal 9 Mei 2009 tentang Penetapan
dan Pengumuman Hasil Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah secara nasional yang diumumkan pada hari Sabtu tanggal 9
Mei 2009 pukul 23.54 WIB. Menurut Mahkamah kedudukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
hukum atau Legal Standing Partai Buruh yaitu telah memenuhi
kedudukan hukum atau Legal Standing karena telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 5 huruf a dan b PMK 16 Nomor
2009 tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum dimana Pemohon merupakan partai politik peserta
pemilihan umum, dan permohonan yang diajukan oleh Partai
Buruh mempengaruhi perolehan kursi Partai Buruh.
Dari ketiga perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi
mempunyai pertimbangan yang sama untuk memberikan pendapat
tentang kedudukan hukum atau Legal Standing partai politik yaitu
dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara 122 Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya
disebut UU MK) juncto Pasal 258 ayat (1) UU 10/2008 dan Pasal 5
huruf a dan b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun
2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sehingga, partai politik yang ingin mengajukan permohonan ke
Mahkamah Konstitusi terkait sengketa perselisihan hasil pemilihan
umum haruslah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam
ketentuan-ketentuan tersebut agar memenuhi kedudukan hukum
atau Legal Standing sebagai Pemohon.
3. Badan Hukum sebagai Pemohon di Mahkamah Konstitusi.
Badan hukum adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang
oleh hukum diperlukan seperti seorang manusia, yang sebagai
pengemban hak dan kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat
menggugat dan digugat di muka pengadilan (Soebekti, 1973:14).
Bandingkan dengan pendapat Rochmat Soemitro (1964: 7), “Badan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
hukum, dalam bahasa Belanda Rechtspersoon, ialah suatu badan yang
dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang-orang
pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum, melakukan perjanjian dan
sebagainya.” Badan hukum dibedakan antara yang bersifat
privaatrechtelijk, yaitu badan hukum privat, dan yang bersifat
Publiekrechtelijk (openbare rechtspersonnen), yaitu badan hukum
publik. Dalam Black’s Law Dictionary (1979:307), istilah badan
hukum digunakan dengan istilah corporation yang juga dibedakan
dalam private corporation and public corporation.
Sama dengan orang (naturlijke persoon) maka badan hukum
(rechtspersoon) juga adalah penyandang hak dan kewajiban dalam
satu sistem hukum. Badan hukum yang diakui sebagai memiliki
kepribdian sendiri biasanya memiliki kekayaan sendiri. Dikatakan satu
badan hukum bersifat publik apabila didirikan baik dengan undang-
undang maupun perbuatan pemerintahan lainnya yang tidak saja
memiliki hak tetapi juga mempunyai kewenangan tertentu untuk
menjalankan sebagian tugas dan kewenangan pemerintahan. Sebagai
contoh dalam hal ini, misalnya Pemerintah Daerah Provinsi maupun
Kabupaten serta perusahaan yang didirikan dengan UU atau PP yang
sahamnya dimiliki oleh pemerintah. Sedang badan hukum privat
biasanya merupakan perjanjian antara lebih dari dua orang sebagai
tindakan hukum majemuk yang menyendirikan sebagian kekayaan
untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dengan perjanjian.
Sebagai tindakan hukum yang bersifat majemuk atau dilakukan oleh
lebih dari dua orang, misalnya perseroan terbatas dan koperasi. Akan
tetapi, satu bentuk badan hukum privat tidak harus selalu merupakan
tindakan majemuk, contoh adalah yayasan dan partai politik yang
tujuannya tidak mencari untung atau setidaknya sering dikatakan
demikian.
Dari segi subyeknya, badan hukum tersebut dapat disebut
sebagai badan hukum publik apabila kepentingan yang menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
badan hukum itu dibentuk didasarkan atas kepentingan umum atau
kepentingan publik, bukan kepentingan orang per orang. Sebalikya
apabila kepentingan yang menyebabkan ia dibentuk didasarkan atas
kepentingan pribadi orang per orang maka badan hukum tersebut
disebut badan hukum privat atau perdata.
Namun demikian, meskipun dari segi subyeknya badan hukum
itu bersifat publik, ia tetap dapat menjalankan aktivitas dalam lalu
lintas hukum perdata. Sebaliknya, badan hukum perdata juga dapat
menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat publik
dalam lalu lintas hukum publik. Oleh karena itu, unsur-unsur
subyektif dan obyektif ini menentukan apakah suatu badan hukum
publik atau badan hukum perdata atau privat. Dari kedua kategori itu,
dapat dirinci adanya empat macam badan hukum, yaitu:
a. Badan hukum yang mewakili kepentingan umum dan
menjalankan aktivitas di bidang hukum publik. Misalnya
Komisi Pemilihan Umum yang dalam menjalankan
tugasnya menetapkan keputusan tentang partai politik yang
berhak mengikuti pemilihan umum.
b. Badan hukum yang mewakili kepentingan publik dan
menjalankan aktivitas di bidang hukum perdata. Misalnya,
Bank Indonesia sebagai bank sentral menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar 1945 mengadakan dan
menandatangani perjanjian jual beli valuta asing dengan
badan usaha lain.
c. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata
pendirinya tetapi menjalankan aktivitas di bidang hukum
publik. Misalnya, suatu yayasan yang dibentuk oleh
pribadi-pribadi para dermawan untuk membantu pemberian
bantuan obat-obatan dan fasilitas kesehatan bagi orang
miskin atau pegawai negeri golongan I di suatu daerah
tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
d. Badan hukum yang mewakili kepentingan perdata
pendirinya dan menjalankan aktivitas di bidang hukum
perdata. Misalnya koperasi ataupun badan-badan usaha
yang didirikan oleh pendirinya untuk kepentingan perdata
dan menjalankan aktivitas perdagangan yang mendatangkan
keuntungan perdata bagi yang bersangkutan.
Yang dikategorikan sebagai badan hukum privat
(privaatrechtelijke rechtspersonen) menurut Van der Grinten (Rudhi
Prasetya & Oemar, op. cit. H. 37) adalah apabila badan hukum itu
organisasi dan strukturnya dikuasai oleh hukum perdata. Yang
termasuk badan hukum privat ialah:
a. Badan hukum dari perkumpulan-perkumpulan sebagaimana
diatur dalam BW. Buku III Titel 9, Pasal 1653 s/d 1665,
yang dikenal dengan istilah zedelijk lichaam, khususnya
bukan badan hukum yang didirikan oleh pemerintah (Op
openbaar gezag ingesteld), tetapi badan hukum yang diakui
(erkend), yang diperizinkan (als geoorloofd toegelaten), dan
yang didirikan oleh orang-orang yang pertikelir dengan
tujuan tertentu dan tidak bertentangan dengan undang-
undang dan kesusilaan. Termauk disini (badan hukum yang
diakui) ialah badan-badan keagamaan, seperti gereja,
misalnya. Pengakuan sebagai badan hukum perkumpulan
ini diatur dalam S. 1870 No. 64.
b. Perseroan Terbatas (PT=NV), yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD=WvK), Titel III
Pasal 36 s.d. 56 jo. UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas.
c. Firma dan Perseroan Komanditer, yang diatur oleh Pasal 15
s.d. 35 KUHD, meskipun masih ada perbedaan di antara
para sarjana tentang status badan hukum dari keduanya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
tetapi saya cenderung akan pendapat Paul Scholten bahwa
keduanya adalah merupakan badan hukum.
d. Perkumpulan Koperasi.
e. Perkumpulan Indonesia, S. 1939 No. 570 jo. 717.
f. Maskapai Andil Indonesia (MAI=IMA), S. 1939-569.
g. Perusahaan Perseroan (PERSERO), berdasar Pasal 2 ayat 3
UU No. 19/1969 tunduk sepenuhnya kepada ketentuan
KUHD, khususnya yang menyangkut PT.
h. Yayasan, yang dibentuk berdasarkan hukum kebiasaan,
kemudian diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.
i. Wakaf, lembaga yang berasal dari hukum Islam yang telah
teresepsi oleh Hukum Adat.
Terhadap badan-badan hukum privat tersebut diatas, secara
umum dapat berlaku atau dikuasai oleh KUH Perdata, KUHD, dan
juga Hukum Acara Perdatayang tercantum dalam HIR. Selain itu,
badan hukum juga dapat mempunyai hak cipta, hak merk, dan hak
oktroi, sehingga juga dikuasai oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hak-hak tersebut.
Ketentuan-ketentuan hukum publik juga ada yang berlaku
untuk badan-badan hukum privat, seperti hukum pajak, hukum
perburuhan, hukum agraria, hukum administrasi (perijinan), hukum
penanaman modal, dan sebagainya.
Badan hukum privat sebagaimana tersebut di atas dapat
dikelompokkan menjadi dua macam:
a. Badan hukum privat yang menjalankan perusahaan, dalam
arti dalam melakukan kegiatannya bertujuan untuk mencari
laba, seperti misalnya Perseroan Terbatas (PT) dan
koperasi;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
b. Badan hukum privat yang tidak menjalankan perusahaan,
jadi bersifat nirlaba, seperti yayasan, ormas, partai politik,
dan perkumpulan.
Pembentukan badan hukum, Baik publik maupun privat
pada umumnya berdasarkan undang-undang/peraturan perundang-
undangan. Sedangkan pemberian status sebagai badan hukum privat
menurut ketentuan hukum yang berlaku saat ini dilakukan oleh
Menteri Kehakiman dan HAM, seperti misalnya yayasan (berdasarkan
Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001), partai politik
(berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik).
Sehingga, partai politik mempunyai kekuatan yuridis untuk
dapat beracara di Mahkamah Konstitsui yaitu dalam Sengketa
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. karena partai politik sudah
berbentuk badan hukum dan mempunyai kedudukan hukum atau
Legal Standing berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16
Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan dari uraian pembahasan yang telah Penulis paparkan dari bab
sebelumnya, maka Penulis mengambil simpulan terhadap masalah yang diteliti
yaitu Mengapa Partai Politik secara yuridis mempunyai Legal Standing sebagai
pemohon dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di
Mahkamah Konstitusi ada beberapa hal antara lain:
1. Secara yuridis, partai politik mempunyai Legal Standing sebagai
Pemohon di Mahkamah Konstitusi karena dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dikatakan bahwa partai
poltik merupakan suatu Badan Hukum dan hal ini dikuatkan
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
2. Secara Filosofis, partai politik merupakan kumpulan dari
masyarakat yang terorganisir yang mempunyai arah dan tujuan
yang dalam hal ini adalah untuk menjadi anggota legislatif.
Sehingga, partai politik dapat menjadi Pemohon dalam Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
3. Hanya partai poltik yang mempunyai Legal Standing dalam PHPU
karena calon legislatif tidak dapat menjadi Pemohon dalam
sengketa PHPU. Hal ini disebabkan setiap Permohonan yang
diajukan terkait PHPU, harus ditandatangani oleh Ketua Umum
dan Sekjen DPP partai politik atau jabatan sejenis beserta kuasa
hukumnya. Dengan kata lain, Legal Standing yang diterima dalam
pengajuan perkara PHPU adalah permohonan partai politik melalui
ketua umum dan sekjen masing-masing parpol.
4. Partai politik mempunyai Legal Standing dalam PHPU karena
partai politik mempunyai kepentingan langsung dalam PHPU
anggota DPR dan DPRD. Permohonan PHPU haruslah
mempengaruhi perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
suatu daerah pemilihan, sehingga tidak berpindahnya kursi dari
partai politik satu ke partai politik lain dalam konteks sengketa
antarcaleg dianggap bukan menjadi objek sengketa Pemilu.
B. Saran
Dari Pembahasan yang telah diuraikan, maka Penulis memberikan saran
yaitu hendaknya di wacanakan untuk adanya suatu mekanisme dan regulasi
khusus di internal masing-masing partai politik untuk mengakomodir sengketa
antarcaleg yang merupakan konflik internal. Sehingga, dalam pengajuan sengketa
PHPU di Mahkamah Konstitusi partai politik sudah menjalankan mekanisme
sengketa antarcaleg yang ada di masing-masing partai politik.