Download - Disertasi Wakit Abd, Bab I-Viii, Revisi Ujian Tertutup, 15 Maret 2013, 08.00-11.00 _repaired
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab satu berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
dan manfaat penelitian meliputi manfaat teoretis dan manfaat praktis. Masing-masing
bagian tersebut deskripsi lengkapnya seperti berikut.
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian yang dilakukan untuk penulisan disertasi ini tentang kearifan lokal
dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen.
Menurut pandangan para ahli, bahasa dan budaya1 Jawa Kebumen (termasuk
masyarakat nelayan) merupakan bagian integral dari ranah bahasa dan budaya Jawa
Banyumas yang bersifat konservatif yang mengandung unsur relik2 (Nothofer, 1981).
Adapun bahasa dan budaya Jawa menurut karakteristiknya dibedakan menjadi empat
kelompok besar, yaitu bahasa dan budaya Jawa Surakarta, Banyumas, Jawa Timur
dan Pesisir (Uhlenbeck, 1972: 75), dalam hal ini bahasa dan budaya Jawa Kebumen
termasuk sub-Banyumas. Bahasa dan budaya Jawa dalam konteks penelitian ini
dipahami menurut tradisi yang berlaku pada masyarakat nelayan di pesisir selatan
Kebumen, dan secara etnolinguistis dimungkinkan mengandung kearifan lokal.
Pengertian kearifan lokal didefinisikan sebagai perangkat3 pengetahuan dan
praktik-praktik yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi
dengan cara yang baik dan benar (Ahimsa, 2007). Demikian pula perangkat
pengetahuan dan praktik-praktik yang dimiliki masyarakat nelayan tersebut secara
1 Budaya yaitu pikiran, akal-budi (Poerwadarminta, 1982: 157). Dalam hal ini adat-istiadat yang menyangkut pola-pikir,
pandangan dunia, pandangan hidup nelayan di pesisir selatan Kebumen dipahami termasuk budaya Jawa. 2 Relic barang peninggalan, peninggalan, barang milik orang keramat(Echols dan Shadily, 1996: 476). 3 Kata perangkat dalam definisi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan tersebut terdiri dari berbagai unsur dan membentuk
suatu kesatuan yang mengandung pengertian. Kearifan itu berasal dari generasi-generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya milik suatu komunitas di suatu tempat yang digunakan secara baik dan benar terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Wujud kearifan lokal dalam kenyataan hidup sehari-hari adalah berupa pengetahuan dan pola-pola interaksi dan pola-pola tindakan dalam praktiknya (Ahimsa-Putra, 2007).
-
2
potensial dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan kehidupan mereka sehari-
hari.
Selanjutnya diasumsikan bahwa hubungan bahasa dan budaya Jawa
masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen secara praktis banyak menyimpan
permasalahan yang terkait dengan kearifan lokal yang perlu dibahas secara ilmiah,
terutama dari perspektif kajian etnolinguistik. Secara konseptual etnolinguistik
(anthropological linguistics)4 memiliki pengertian jenis linguistik yang menaruh
perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas untuk
memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial (Foley,
1997: 3). Adapun maksud kajian etnolinguistik tentang kearifan lokal dalam bahasa
dan budaya Jawa masyarakat nelayan tersebut untuk mencermati fenomena ekologis,
astronomis dan faktor demografis yang berakibat pada perubahan kategori dan
ekspresi bahasa dan budaya Jawa yang mencerminkan kearifan lokal mereka beserta
tuntutan kehidupannya. Di samping itu, pendekatan etnolinguistik dalam penelitian
ini dimaksudkan untuk menemukan sistem5 pengetahuan (cognition system) lokal
yang menyangkut pola-pikir, pandangan hidup (way of life) dan pandangan terhadap
dunianya (world view) yang tercermin dalam kategori dan ekspresi bahasa dan
budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen. Adapun penelitian
tentang kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir
selatan Kebumen itu secara etnolinguistik memiliki argumen penting sebagai berikut.
Pertama, masyarakat Kebumen sebagai subetnik Jawa Banyumas masih
mempertahankan sifat konservatif seperti yang ditemukan dalam bahasa dan
budayanya. Secara geografis bagian timur wilayah ini berbatasan dengan daerah
4 Cabang linguistik lain yang sama ranahnya dengan etnolinguistik adalah sosiolinguistik yang memandang bahasa sebagai
lembaga sosial, salah satu lembaga yang di dalamnya individu atau kelompok mengadakan interaksi sosial. Sasarannya untuk menemukan bagaimana pola-pola perilaku linguistik yang berkaitan dengan kelompok sosial dan berkorelasi dengan perilaku linguistik dengan variabel-variabel kelompok sosial seperti usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial/ mata pencaharian dan ras (Foley, 1997).
5 Sistem: 1. Sekelompok bagian-bagian (alat, dsb.) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud; misalnya sistem urat syaraf, sistem pemerintahan; 2. Sekelompok dari pendapat, peristiwa, kepercayaan, dsb. yang disusun dan diatur baik-baik; misalnya falsafah; 3. Cara (metode) yang teratur untuk melakukan sesuatu; misalnya pengajaran bahasa (Poerwadarminta, 1982: 955).
-
3
Purworejo yang mendapat pengaruh bahasa dan budaya Jawa yang bersifat inovasi
dari pusat budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta. Secara diakronis wilayah Banyumas
yang berada di bagian barat Kebumen sebagai daerah konservatif ikut mempengaruhi
bahasa dan budaya Jawa Kenbumen sebagai daerah transisi, sehingga diasumsikan
masih menyimpan unsur relik, di samping unsur inovasi yang berasal dari pusat
budaya Surakarta-Yogyakarta tersebut. Bukti-bukti daerah konservatif ditemukan di
daerah pedesaan dataran tinggi seperti di Desa Watuagung Kecamatan Tambak
Kabupaten Banyumas, karena setelah dilakukan pencermatan yang lebih mendalam
masih menyimpan evidensi bahasa dan budaya Jawa berciri konservatif. Secara
empiris antara lain ditandai warga masyarakat kurang mengenal tingkat tutur bahasa
Jawa secara memadai dan masih menunjukkan budaya petani tradisional Jawa yang
masih memanfaatkan lingkungan alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari (Fernandez, dkk., 2010). Secara empiris hal sejenis ditemukan di pesisir
selatan Kebumen seperti di Kecamatan Petanahan, Kecamatan Ayah, dan Kecamatan
Puring, karena di sana juga menunjukkan ciri-ciri petani asli Jawa seperti ditemukan
di Banyumas (Wakit dan Hartini, 2009). Perbedaan kedua tempat tersebut, yaitu Desa
Watuagung Kecamatan Tambak Kabupaten Banyumas berada di pedalaman dataran
Tinggi Pegunungan Mahmeru, sementara Kecamatan Petanahan, Kecamatan Ayah,
dan Kecamatan Puring berada di dataran rendah pesisir selatan Kebumen. Namun
demikian, secara empiris masih ditemukan ciri-ciri bahasa dan budaya Jawa berciri
konservatif di kedua wilayah tersebut, dan masyarakat di masing-masing wilayah
tersebut memiliki berbagai pilihan mata pencaharian sesuai dengan potensi alam
sekitar. Misalnya di pesisir selatan Kebumen yang berdekatan dengan laut
memanfaatkan ekologi laut sebagai sumber nafkah selain bertani, sedangkan di
dataran tinggi Mahmeru mereka tetap menderes pohon karet dan pinus sebagai
alternatif selain bertani.
Dalam perkembangannya mereka mengalami proses tranformasi mata
pencaharian dari petani ke nelayan, di samping alternatif lainnya tetap menekuni
aktivitas beternak (open-open) dan menderes (bedhel-wala). Maksudnya dalam posisi
-
4
seperti itu mereka sebagai petani bercocok-tanam (cakar-bumi), sebagai nelayan
karena mereka melaut (mlebu), sebagai penderes (bedhel-wala) karena memiliki dan
mengambil sajeng/badheg nira dari manggar bunga kelapa untuk bahan gula
kelapa6, dan sebagai peternak (open-open) karena memelihara sapi, kambing, endhel
mentok, ayam dan kuda. Maka dari itu, diasumsikan masyarakat nelayan yang
hidup di pesisir selatan Kebumen tersebut berasal dari leluhur yang bermigrasi dari
daerah pedesaan dataran tinggi kemudian menyebar ke berbagai tempat pemukiman
di pesisir selatan Kebumen dengan tetap melanjutkan mata pencaharian awal sebagai
petani, penderes, peternak dan selanjutnya sebagai nelayan. Ketika mereka melihat
peluang di lingkungan ekologis pesisir selatan Kebumen, selanjutnya mereka mencari
nafkah sebagai nelayan kemudian jumlahnya sebakin bertambah. Bukti-bukti empiris
mereka beraktivitas sebagai nelayan7 yaitu ditemukan kelompok nelayan di sepanjang
pesisir selatan Kebumen, terminal perahu (seperti di pantai Ayah, Puring, Petanahan),
tradisi nelayan (sedekah laut/ larung sesaji/ larung samudra/ mbethek sesaji-laut),
sosok pelabuh juru-kunci di setiap kelompok, TPI (Tempat Pelelangan Ikan) untuk
mempermudah kelompok nelayan dan masyarakat melakukan transaksi. Hal tersebut
semakin memperjelas aktualitas mereka dengan kelengkapan tradisi yang dimiliki
komunitas nelayan yang anggotanya mencapai ratusan orang8.
Masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen hidup di wilayah pengaruh
bahasa dan budaya Jawa konservatif Banyumas (Nothofer, 1981), di samping
menunjukkan ciri-ciri ada pengaruh dari pusat bahasa dan budaya Jawa Surakarta-
Yogyakarta yang telah mengalami inovasi internal maupun eksternal (Subroto, dkk.,
2007, 2008, 2009). Oleh karena itu, secara empiris menunjukkan karakteristik bahasa
dan budaya Jawa di daerah transisi9, seperti tercemin dalam kategori dan ekspresinya.
6 Rata-rata memiliki 30 pohon kelapa setiap KK yang dideres diwaktu pagi dan sore bahkan sampai malam (Informan: Pak
Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen). 7 Namun, sesewaktu mereka kembali menggarap sawah-ladang (cakar-bumi) apabila peluang di laut terkendala oleh cuaca yang
tidak bersahabat. Adapun bagi yang tidak memiliki lahan memberikan sumbangan tenaga di sawah-ladang menjual tenaga (adol-riwe).
8 Di Kecamatan Ayah 400 orang aktif dan 300 orang pasif dan di Kecamatan Petanahan 120 orang aktif dan 30 orang pasif, tempat lainnya masih rintisan (Informan: Ahmad Bahrun,52 tahun, Ayah; Suprapti, 52 tahun, Petanahan, Kebumen).
9 Ditandai adanya bahasa Jawa bandek dan bahasa Jawa ngapak (Sudiro, 1986; Pujiyatno, 2007).
-
5
Kategori dan ekspresi tersebut tercermin dalam mata pencaharian mereka, yaitu
bertani (cakar-bumi), menderes (bedhel-wala), beternak (open-open) dan mulai
mengalihkan perhatian pada potensi ekologis yang berdekatan dengan laut selatan
Kebumen untuk melaut (mlebu) sebagai nelayan. Akibatnya secara sosial-ekonomi
terjadilah transformasi mata pencaharian dari petani ke nelayan dengan tetap
menekuni peluang lain sebagai peternak (open-open) dan menderes (bedhel-wala)
dengan segala kelengkapan kategori dan ekspresi, variasi kategori dan ekspresi, serta
kearifan lokal yang dimiliki dalam bahasa dan budaya Jawa mereka, termasuk
aktualitas folklor di lingkungannya.
Pujo Semedi (2003) menjelaskan bahwa nelayan di pesisir laut utara Jawa
mata pencaharian awalnya juga sebagai petani, kemudian mengalami transformasi
dari petani menjadi nelayan. Akan tetapi tantangan yang dihadapi masyarakat nelayan
di pesisir selatan Kebumen jauh berbeda, karena laut di pesisir selatan Kebumen yang
dikenal luas sebagai Samudera Indonesia itu kurang bersahabat. Sementara itu, secara
historis, spiritual dan kultural masyarakat Kebumen tidak terlepas dari pengaruh
sosok yang pernah hidup di sana, seperti Syeh Abdurrahman (Asmoroqondi, di
Kecamatan Kebumen)10, Ngabdullah Taqwim (di Gunung Sumbing), Pangeran
Buminata11 (di Kota Kebumen), Syeh Sidakarsa (di Desa Grogol Beningsari
Klirong), Petilasan Pandankuning (di Desa Karanggadung Petanahan), Syeh
Ngabdullawal (di Desa Kebunsari, Klirong), personifikasi gaib Santajaya (di Desa
Tegalretna Petanahan), dan Ratu Kidul (di sepanjang pesisir selatan Kebumen)12.
Pengaruh sosok tersebut hampir merata sampai kepada seluruh masyarakat, baik
masyarakat Kebumen di daratan sebagai petani, penderes, peternak, dan di pesisir
sebagai nelayan.
10 Saudara Raden Patah Sultan Demak dari Palembang (Rahmawati, 2009) 11 Seorang Pangeran dari Mataram Islam yang bertentangan dengan Pangeran Mangkurat mengasingkan diri ke barat (Tim
Peneliti Kabupaten Kebumen, 1982) 12 Dalam tradisinya di pesisir selatan Kebumen terdapat nama lain Ratu Kidul, yaitu meliputi personifikasi wanita dan laki-laki.
Personifikasi wanita seperti ekspresi Ibu Ratu, mBok Ratu, Ratu Kuning, Dewi Sulastri, Santajaya, Nyi Ronggeng, Ratu Suidha, Retna Pembayun; dan personifikasi laki-laki seperti Ki Agung Nagarangsang, Ki Bagussetu, Ki Singayuda, Ki Bandayuda, Ki Bajulputih. (Informan: Pak Sarpin Muhtadi (58 tahun), Pak Barja (46 tahun), Pak Darmaji (76 tahun), Kyai Sajadi (64 tahun), Nasimun (45 tahun)).
-
6
Kedua, ditemukan kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa Banyumas
di Kebumen seperti tercermin pada istilah-istilah di ranah petani, penderes, peternak
dan ada yang terbawa di ranah nelayan. Maka dari itu, untuk memahami makna
kultural kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa nelayan tidak terlepas dari
aktivitas mereka sebagai petani, penderes, dan peternak, terutama dalam proses
transformasi mata pencaharian dari petani ke nelayan. Hal itu dipandang sebagai
salah satu strategi untuk menghadapi perubahan musim yang ekstrim dan
pertumbuhan demografi yang tak terkendali. Misalnya musim katiga atau tiga
kemarau dipahami sebagai musim panen di laut13, maka mereka menyesuaikan diri
menjadi nelayan dan secara spontan terbawa pula kategori dan ekspesi bahasa dan
budaya Jawa mereka. Sementara ketika musim paceklik di laut tiba14, maka mereka
kembali menyesuaikan diri menjadi petani dengan kategori dan ekspresi bahasa dan
budaya Jawa mereka. Berkaitan dengan mangsa tersebut, pelaksanaan upacara ritual
larung sesaji/ sedekah laut/ larung samudra dalam tradisi nelayan di laut, meskipun
berada dalam satu deret pesisir selatan Kebumen terdapat perbedaan waktu
pelaksanaan. Misalnya larung sesaji sesaji laut di pesisir selatan Kecamatan
Petanahan Kabupaten Kebumen setiap tahun dilaksanakan pada bulan Sura15 dipilih
pada hari Selasa Kliwon, dan tanggal tidak terikat. Sementara larung sesaji sesaji
laut di pesisir selatan Kecamatan Ayah dilaksanakan pada mangsa kapat16 (mangsa
musim keempat, sekitar bulan September) pilihan hari sama, yaitu Selasa Kliwon.
Secara praktis pada awalnya mengikuti mangsa yang berlaku dalam tradisi agraris,
namun dalam perkembangannya diadopsi menjadi bagian dari tradisi nelayan.
Selanjutnya, dalam pandangan sebagian mereka sebagai nelayan merupakan
mata pencaharian utama. Hal itu secara tidak langsung menginformasikan telah
terjadi transformasi yang berkaitan dengan peralihan mata pencaharian dari petani
13 Lazimnya bulan 4, 5, 6, 7, 8 dalam penanggalan Masehi, atau mangsa 10, 11, 12, 1, 2, 3 dalam penanggalan Jawa
(Informan: Pak Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen) 14 Lazimnya bulan 9, 10, 11, 12, 1, 2, 3 dalam penanggalan Masehi atau mangsa 4, 5, 6, 7, 8, 9 dalam penanggalan Jawa
(Informan: Pak Barjo, 46 tahun, Karanggadung, Petanahan; Pak Ahmad fajrin, 45 tahun, Tegalretno, Petanahan, Kebumen) 15 Akulturasi astronomi Hijriyah berdasarkan penanggalan Qomariyah (bulan) sejak zaman Sultan agung (Berbagai Sumber) 16 Akulturasi astronomi Saka berdasarkan penanggalan Samsiyah (matahari) sejak zaman Raja Ajisaka (Berbagai Sumber)
-
7
menjadi nelayan. Suasana komunitas menjadi beridentitas tani-nelayan dan atau
nelayan-tani dalam menjalani mata pencaharian yang berkonteks ganda di lingkungan
yang berbeda, yaitu di lautan sebagai nelayan dan di daratan sebagai petani dengan
berbagai alternatifnya diasumsikan banyak menyimpan kearifan lokal dalam kategori
dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa mereka.
Ketiga, kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa terkait (a) Pandangan
kolektif nelayan tentang mata pencaharian diungkapkan seperti berikut:
Saben nelayan mesthi tani, ning saben wong tani durung mesthi nelayan, saben panderes mesthi wong tani, ning saben wong tani durung mesthi panderes, saben peternak mesthi tani, ning saben tani durung mesthi peternak (setiap nelayan tentu petani, tetapi belum tentu setiap petani sebagai nelayan, setiap penderes tentu petani, tetapi setiap petani belum tentu penderes, setiap peternak mesti petani, tetapi setiap petani belum tentu peternak)17.
Ekspresi verbal tersebut memiliki makna kultural yang dapat diinterpretasikan bahwa
mata pencaharian awal mereka sebagai petani, sementara mata pencaharian lainnya
berkembang kemudian. Oleh karena kearifan lokal mereka muncullah kecerdasan
kolektif untuk mengatasi masalah mata pencaharian dengan menyesuaikan ruang
ekologisnya. Permasalahan yang dimaksud ketika sawah-ladang tidak bisa memenuhi
hasil sesuai harapan serta adanya peluang dan potensi laut di sekitarnya. Sensitivitas
persoalan mereka terkait sawah ladang seperti adanya perubahan musim yang
ekstrim, faktor demografis yang bermuara pada lahan semakin sempit, serta adanya
diversifikasi dan transformasi matapencaharian dari petani menjadi nelayan.
Ekspresi (b) Mantra ketika mau berangkat melaut yang memiliki kekuatan
kata (word power), agar ikan yang ditangkap dapat tunduk seperti yang diungkapkan
berikut:
Dewaning bumi dewaning samudra, nunut mangan sapalilahe, nyong mung aweh bebana gula-klapa emoh jiwa-raga, slameta mangkat lan mulihe nyong rina lan wengine, slamet-slamet kersaning Allah (Dewanya bumi dan
17 Informan: Pak Ahmad Fajrin; Bu Suprapti; Pak Faizin: Tegalretno, Petanahan; Pak Misdam, Pak Barjo, Pak Dirun, Pak
Nasikun, Pak Nasimin Karanggadung, Petanahan, 12 januari 2011; Pak Sarpin Muhtadi, Ayah Kebumen, 15 Januari 2011.
-
8
Dewanya laut, numpang mencari nafkah seikhlasnya, saya hanya mau memberi ganti gula-klapa, tetapi tidak mau kehilangan jiwa-raga, semoga selamat seberangkat dan sepulang saya, baik malam dan siangnya, semoga selamat karena Allah)18.
Makna kultural mantra tersebut menunjukkan pola-pikir dan pandangan
terhadap dunianya bahwa daratan dan lautan itu ada yang menunggu, yaitu
Dewaning Bumi dan Dewaning Samudra, tetapi semua itu berada dalam kekuasaan
Allah, maka mereka berharap slamet-slamet kersaning Allah. Secara filosofis
mereka berusaha menjaga keseimbangan alam dan kekuatan spiritual untuk tetap
ngrumangsani tahu diri tercermin dalam aweh bebana gula-klapa artinya
memberi ganti gula-kelapa, tetapi tidak mau aweh jiwa-raga memberikan jiwa-
raga. Maksudnya ketika melaut mereka merasa mengambil ikan milik Dewa
Samudra, maka nelayan meminta dukungan spiritual Dewa Bumi, terekspresikan
secara nonverbal dalam perangkat sesaji gula-klapa, dengan harapan jiwa-raganya
selamat.
Di samping itu, mantra yang diucapkan nelayan ketika akan melaut seperti
berikut ini:
Semilah irohman irohim, niat nyong ambyur samudra amet urip saanane sing bisa ditrima saka samudra ya digawa, rina wengi nyong miwiti, pasrah mring Hyang Widhi, slamet samangkat lan samulihe nyong (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, niatku melaut mencari kehidupan seadanya yang bisa diterima dari samudra ya dibawa, siang dan malam saya mulai, berserah diri kepada Tuhan, selamat seberangkat dan sepulang saya)19.
Makna kultural mantra tersebut yaitu mereka mencari ikan di laut dengan
pasrah kepada yang kuasa, berapapun yang diberikan diterima. Substansinya bahwa
mereka melaut itu seolah-olah meminta kepada yang kuasa melalui perantara
penunggu ikan di laut, berapapun yang diberikan akan diterima dengan senang hati,
18 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,
Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011. 19 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,
Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011
-
9
tidak meminta yang lebih dari apa yang diberikan ketika melaut, baik pada waktu
siang maupun malam, pada saat panen maupun pada saat paceklik.
(c) Mantra yang memiliki kekuatan kata (word power) ketika mau menjala
ikan, seperti diucapkan nelayan seperti berikut ini:
Nyong jala sira ora lunga, nyong (a)doh sangka darat, mara sapalilah sira, nyong butuhaken sapira kancanira kabeh gak ana sing kari, dadi-dadi kabeh wis ngerti arep dadi siji kersaning Hyang Widhi20 (akan saya jaring kamu (ikan) jangan pergi, saya jauh dari darat, mendekatlah dengan suka rela, saya butuhkan berapa temanmu semua jangan ada yang tertinggal, jadi-jadi semua sudah tahu akan berkumpul jadi satu atas ijin Tuhan)21.
Makna kulturalnya memberikan ilustrasi bahwa permintaan nelayan kepada para
ikan agar mau ditangkap semua dan menurut atas kesadarannya sendiri. Di samping
itu, hal tersebut menggambarkan bahwa ikan diperlakukan dengan hormat,
sebagai individu yaitu terekspresikan dalam kata sira kamu. Pemakaian unsur
leksikal sira untuk ikan secara kultural bersifat ideosinkresi (ideosyncresy)22, karena
kenyataan menyimpang dari sesubgguhnya bahwa ikan diperlakukan layaknya
manusia. Oleh karena nelayan menyadari sebagian nafkahnya tergantung dari hasil
tangkapan ikan di laut, maka mereka mengharapkan perlindungan Dewa Samudra
dari kekhawatiran ancaman Santajaya di pesisir selatan Kebumen di waktu siang
maupun malam.
Makna kultural dalam ekspresi bahasa dan budaya Jawa mantra nelayan
tersebut menunjukkan cara yang dipilih nelayan sebagai wujud kearifan lokal yang
dimiliki untuk mencapai keselamatan di laut. Cara yang dimaksud seperti
terekspresikan dalam perilaku verbal dan nonverbal, baik menyangkut pola-pikir,
pandangan hidup (way of life) dan pandangan terhadap dunia (world view) sebagai
bagian dari ekspresi sistem pengetahuan (cognition system) masyarakat nelayan di 20 Widhi dari bahasa Sansekerta widhi (per)aturan, perintah, hukum, adat, tata cara, upacara, petunjuk (P3), perbuatan,
pekerjaan, tugas, terjadi, takdir, Sang Takdir, Pencipta, Tuhan, Ketuhanan (Mardiwarsito, 1981: 680). 21 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,
Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.
22 Ideosinkresi (ideosyncresy) yaitu makna yang diberikan secara istimewa dan mengandung keanehan (Echols dan Shadily, 1996: 310).
-
10
pesisir selatan Kebumen. Ekspresi verbal maupun nonverbal tersebut dimaksudkan
untuk berlaku sopan-santun, bahkan bekti menghargai terhadap yang dianggap
tinggi di lautan, karena menyadari ketergantungan nafkahnya dari hasil laut.
Sementara itu, laut dengan segala ikannya menurut persepsi mereka ada yang
menguasai, maka munculah kecerdasan kolektif untuk meminta izin. Mereka
menempuh cara diekspresikan dalam patrap (perilaku) turun dari perahu sebagai
bentuk sopan-santun ketika melarung sesaji di tengah laut dalam setiap upacara
ritualnya. Di samping itu, mantra mereka itu mengandung nilai-nilai hidup yang
masih menyimpan pengaruh Hindu, meskipun identitasnya sebagai muslim. Misalnya
mantra yang diucapkan untuk keselamatan di laut masih menyebut nama dewa-dewi,
sekaligus mencerminkan adanya akulturasi budaya di sana.
Keempat, potensi pesisir laut selatan Kebumen dari barat ke timur, secara
geografis meliputi pantai Argopeni, pantai Logending, pantai Pedalen, pantai
Menganti, pantai Pecaron (berada di Kecamatan Ayah), pantai Karangbolong (berada
di Kecamatan Buayan), pantai Suwuk, pantai Bopong (berada di Kecamatan Puring),
pantai Tegalretna dan Pandankuning (berada di Kecamatan Petanahan), pantai
Klirong (berada di Kecamatan Klirong), pantai Bocor (berada di Kecamatan Ambal),
pantai Bulupesantren (berada di Kecamatan Bulupesantren), dan Pantai Mirit (berada
di Kecamatan Mirit). Aktualitas kehidupan mereka di pesisir selatan Kebumen seperti
itu dapat berpengaruh pada munculnya berbagai kategori dan ekspresi bahasa dan
budaya Jawa nelayan yang mengandung unsur-unsur kearifan lokal.
Kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa nelayan yang mengandung
kearifan lokal tercermin dalam ekspresi verbal seperti berikut:
(a) Personifikasi Santajaya penguasa di laut, Legok Santajaya ekspresi gaib
air laut yang terbelah memanjang ke selatan dan curam sampai dasar laut sebagai
tempat Santajaya, Nyi Ronggeng ekspresi wanita cantik berpakaian penari penguasa
pantai, Ki Bagussetu ekspresi laki-laki yang sangat tampan sebagai penguasa
daratan. Ekspresi gaib personifikasi sosok penguasa laut bervariasi di sepanjang
pesisir selatan Kebumen, demikian pula jika dibandingkan dengan wilayah pengaruh
-
11
Surakarta-Yogyakarta. Variasi ekspresi gaib nama sosok penguasa laut di pesisir
selatan Kebumen tersebut meliputi ekspresi personifikasi wanita dan laki-laki.
Ekspresi personifikasi wanita Ratu Selatan seperti Nyi Rara Kidul, mBok Ratu Kidul,
Ibu Ratu, Dewi Sulastri, Ratu Suidha, Ratu Kuning, Nyi Ronggeng, Santajaya, Ratu
Pembayun; sedangkan ekspresi personifikasi laki-laki Ratu Selatan seperti Ki
Bagussetu, Ki Agung Naga Rangsang, Ki Bandayuda, Ki Singayuda, Ki Bajulputih23.
(b) Nama tempat seperti Kandhang Ronggeng merupakan tempat Nyi
Ronggeng, punthuk/ gumuk bukit di pesisir tempat munculnya Nyi Ronggeng, alas
Tegalretna tempat bersemayamnya Ki Bagussetu, boleran daerah lain24.
(c) Istilah terkait sesaji seperti mbagei kana sing kidul memberi sedekah laut
di tengah laut selatan tepatnya pada bulan Sura (di Kecamatan Petanahan) atau
mangsa kapat (di Kecamatan Ayah), nglarong (dari kata larong udang kecil)
mengambil bahan trasi, larungan menaruh sesaji di tengah laut, sedekah-
laut/larung-samudra/larung-sesaji sesaji-laut, gnduren selamatan, tahlilan
membaca tahlil, tampah tempat sesaji, kaum pelantun doa, nunut mangan
menumpang mencari nafkah, mlebu melaut, mencari ikan, menuju laut, masuk
kerajaan Ratu Kidul.
(d) Larangan melaut pada hari Jemah Kliwon, hari Selasa Kliwon dan ketika
ombak laut besar, tidak boleh melewati umbal/ pangumar pembatas berupa kain
seperti bendera, tidak boleh memakai baju hijau karena menjadi pitukon sesaji yang
diberikan atau lebon korban untuk Ki Bajulputih buaya putih.
(e) Ekspresi suara gaib di tengah laut seperti nggarong gema suara harimau,
ngukuk suara ayam berkokok, dhekr suara kereta, njagong seperti suara orang di
pasar tengah laut.
(f) Nama binatang di pantai seperti yutuk/ wrutuk binatang yang berjalan
seperti undur-undur besar bentuknya seperti kepiting. 23 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,
Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.
24 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010.
-
12
(g) Nama nelayan dipilah berdasar alatnya, yaitu nelayan tradisional (alatnya
jaring, mengambil ikan dari tepi pantai) dan nelayan modern (alatnya perahu dan
jaring macan (jaring macan meliputi: sirang jaring ikan bawal, ikan monthok, cikr
jaring ikan layur dan sejenisnya, pecek/ kanyut/ kanthong jaring untuk udang,
kdhur jaring untuk ikan tuna/ besar).
(h) Aktivitas melaut seperti smoran berangkat sore pulang malam,
malman berangkat sore pulang pagi, ndina/dinan berangkat pagi pulang sore.
(i) Proses transformasi mata pencaharian dari petani menjadi nelayan
memunculkan istilah pertanian untuk istilah nelayan seperti pranatamangsa
astronomi, dina hari dan pasaran pasaran, tanda-tanda astronomis (lintang-luku,
lintang-panjerrina), doa, mantra, musim, sesaji di laut, nama ikan, nama alat
tangkapan ikan, nama bagian perahu, tanda burung dan sebagainya.
(j) Alternatif mata pencaharian selain nelayan mereka sebagai petani (cakar-
bumi), peternak (open-open) dan penderes (bedhel-wala) ketika laut sedang paceklik,
maka muncul ekspresi sebagai nelayan-tani di samping sebagai tani-nelayan.
(k) Kecerdasan kolektif untuk menjaga harmoni alam sekitar dengan
masyarakat nelayan, seperti upaya melestarikan tradisi leluhur, menanam tumbuh-
tumbuhan di lingkungan pesisir, pemahaman konsep laut dan penguasa laut selatan,
dan otoritas ekspresi bahasa dan budaya nelayan di masing-masing komunitas di
pesisir selatan Kebumen.
(l) Ekspresi verbal terkait nama populer nelayan karena spesialisasi/
kecakapan di bidangnya, kebiasaan tugasnya, ekspresi pribadi secara spontan yang
mereka miliki. Misalnya (Su)parmin Solar, (Su)kidi Bandeng, (Par)mi besek,
(Par)man bajul, Nur(rahman) tambang, Bejo Gendhing, Kadar(yadi) Berkat, Pakdhe
(Rohmat) Mandhor, Buritan (Kapal), (Ar)jo Kalong, (Ba)mbang Rese, (Su)parto
Ubleg, (Mari)din Hulug, (Su)tris Layur, Pon(imin) Urang, (Par)di Jaring, (Su)par
-
13
Gregel, (Ka)mal Mantra, dan sebagainya25. Secara etnolinguistik dalam perspektif
budaya setempat, nama-nama tersebut dapat menguak kekayaan kategori dan ekspresi
bahasa dan budaya Jawa yang mencerminkan pola-pikir sederhana mereka. Oleh
karena bahasa merupakan rekaman kekayaan pengalaman empiris, seperti tercermin
dalam tradisi pilihan nama-nama tersebut. Hal itu berhubungan dengan masalah
ikonik (iconic)26 bahasa Jawa dalam masyarakat tradisional serta pola-pikir yang
dimiliki bersifat sederhana, dan secara umum menunjukkan karakteristik masyarakat
agraris. Misalnya nelayan yang bernama Bambang, karena cara berpikirnya lambat
dan ruwet maka diberikan sebutan rese/ resek (selalu) bertanya-tanya27. Analogi
lainnya pada waktu dahulu ketika sepeda motor masih jarang yang memiliki, apapun
mereknya (Honda, Yamaha, Suzuki) oleh masyarakat agraris semuanya disebut
udhuk, nama itu diambil dari suaranya dhuk-dhuk-dhuk.
Demikian pula, dalam proses transformasi masyarakat petani menjadi nelayan,
kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa masyarakat petani terbawa ke ranah
masyarakat nelayan. Dengan demikian, akibatnya kategori dan ekspresi bahasa dan
budaya Jawa dalam ekspresi verbal nama panggilan itu menyatu dengan mata
pencaharian mereka sebagai nelayan. Secara emotif panggilan itu mengokohkan sifat
familier sebagai bagian kearifan sosial (social wisdom) mereka, meskipun jarak umur
dan tingkat ekonominya tidak sama. Bahkan familieritas itu dapat membangun
semangat dalam satu tekad seperti terekspresikan dalam guyub-rukun kompak dan
kerigan gotong-rotong. Mereka semua menyadari mengadu nasib di laut selatan
Kebumen harus saling memperkuat semangat bekerja sama. Kondisi seperti itu selalu
dibangun oleh pelabuh juru kunci dan tekong ketua nelayan untuk anggotanya,
bahwa mengadu nasib di laut selatan Kebumen tantangannya sangatlah berat.
25 (Huruf c sampai l) disampaikan oleh informan: Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22
Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun, Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.
26 Ikonik (iconic) yaitu berkaitan dengan gambaran; langsung menimbulkan pertalian dengan sesuatu yang digambarkan (Kridalaksana, 1993: 80).
27 Rese dipadankan dengan resek (selalu) mencari keterangan/ bertanya (Poerwadarminta, 1982: 821)
-
14
Ibaratnya hidup atau mati di lautan mereka tanggung bersama di waktu siang maupun
malam demi kesejahteraan hidup mereka.
Kelima, secara etnolinguistik kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa
nelayan di pesisir selatan Kebumen itu perlu dikaji secara ilmiah untuk mengetahui
aktualitas kebahasaan dalam peristiwa budaya sebagai konteksnya. Kajian yang
dilakukan itu diharapkan dapat mengungkap pola pikir, pandangan hidup (way of life)
dan pandangan terhadap dunianya (world view) yang bersifat macro-cosmos dan
micro-cosmos, taxit dan explisit dalam proses transformasi mata pencaharian sebagai
sistem pengetahuan (cognition system) ketika sebagai petani (nelayan-tani) menjadi
nelayan (tani-nelayan) dan sebaliknya. Hal itu selaras dengan tradisi dan pandangan
hidup, pribadi dan lingkungan ekologis mereka di pesisir selatan Kebumen, sebagai
bagian dari orang Jawa yang pandangan hidupnya bersifat kosmo-mitis dan kosmo-
magis, yaitu menganggap bahwa alam sekitar mempunyai kekuatan dan berpengaruh
terhadap kehidupan material maupun spiritual masyarakatnya serta tergantung pula
pada watak pribadi individual dan kolektifnya28. Maka dari itu ekspresi verbal dan
nonverbal masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen tersebut diidentifikasi
mengandung unsur-unsur kearifan lokal yang perlu dikaji secara komprehensif dan
mendalam.
Keenam, dalam proses transformasi mata pencaharian, nelayan di pesisir
selatan Kebumen memandang laut sebagai lahan untuk mencari nafkah yang
menjanjikan, meskipun secara psikologis selalu dibayang-bayangi oleh personifikasi
sosok gaib Santajaya29, personifikasi sosok gaib Nyi Ronggeng30, dan personifikasi
28 Mulder, l975. 29 Nama Santajaya dari kata anta (bahasa Sansekerta) yang berarti diam, tenang, lemah-lembut, sabar, tenteram, sentosa,
damai, suci, keramat (Mardiwarsito, 1981: 561); sedangkan jaya berarti menang, kemenangan, pemenang, sangat unggul, pandai (Mardiwarsito, 1981: 251), menjadi bukti nama dalam bahasa Jawa Kebumen warisan/ tinggalan/ bentuk relik dari bahasa Jawa kuna/ bahasa Sansekerta. Secara metafisik dia dipersonifikasikan sebagai sosok gaib penguasa laut yang diyakini berbahaya untuk aktivitas mereka di laut selatan Kebumen.
30 Menurut sesepuh nelayan setempat Nyi Ronggeng merupakan nama dari penampakan sosok wanita cantik yang berpakaian sebagai penari Jawa. Dia diyakini menguasai pesisir selatan Kebumen (Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen).
-
15
sosok gaib Ki Bagussetu31. Spiritualitas pandangan nelayan terhadap laut dan
penguasa laut di selatan Kebumen tersebut dapat menunjukkan ciri-ciri variatif
persepsi mereka terhadap sosok gaib Ratu Selatan, jika dibandingkan dengan
pengaruh dari pusat bahasa dan budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta. Hal itu
disebabkan oleh persepsi otoritas spiritual pusat bahasa dan budaya Jawa tersebut
memandang laut selatan Jawa sebagai benteng keraton Jawa trah Mataram Islam32
di bagian selatan, penguasa laut selatan Jawa diekspresikan Ratu Kencanasari33 dan
prajuritnya bernama Nyai Rarakidul34. Di samping itu, masyarakat nelayan di sana
tidak terlepas dari pengaruh mata pencaharian sebagai petani, dari mana mereka
berasal, sehingga kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa petani seperti istilah
pranatamangsa35, perangkat sesaji, personifikasi energi alam (mitos Dewi Sri, mitos
penguasa laut selatan), folklor, doa, dan mantra yang dimiliki nelayan, di samping
istilah-istilah yang digunakan nelayan terkesan secara modifikatif mengambil apa
yang telah berlaku dalam tradisi agraris.
Ketujuh, seiring terjadinya berbagai macam bencana alam36 yang melanda
wilayah Indonesia, khusunya di Bantul DIY, Pangandaran Jawa Barat dan letusan
Gunung Merapi di Jawa Tengah, menurut pengalaman empiris mereka berpengaruh
pada jumlah komunitas ikan di laut selatan Kebumen, sehingga hasil tangkapan
mereka menurun. Komunitas nelayan berbekal arahan tradisi dan nilai-nilai leluhur
tlaten rajin, narima menerima nasib, takut kasedhak halangan, karma, hukuman
dapat menguatkan semangat untuk tetap mlebu melaut dengan memilih waktu yang
31 Nama Bagusetu merupakan penampakan sosok laki-laki tampan. Nama Bagusetu tersebut dari kata Bagus tampan dan estu
benar, sungguh kemudian dimaknai benar-benar tampan, kata estu mengalami metatesis menjadi setu. Dia menguasai daratan (alas hutan) di bagian selatan Kebumen (Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen).
32 Karena adanya sebutan Mataram Kuna pada Abad 8-10 M., yang dilatarbelkakangi Agama Hindu-Buddha (Munandar, 2004 dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 161).
33 Ratu Kencanasari merupakan ratu laut selatan menurut versi Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta. Mitosnya sebagai istri raja-raja keraton Surakarta Hadiningrat dan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (KRMH. Riyo Yosodipura, 1982).
34 Nyai Rarakidul merupakan prajurit wanita dari kerajaan laut selatan Jawa versi Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta(K.R.M.H. Riyo Yosodipura, 1982).
35 Kalender Jawa yang disebut pranatamangsa merupakan kalender surya yang mulai dikaitkan dengan kalender Gregorian dan dipergunakan sejak ditetapkan oleh Paku Buwana VII dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dan penetapan tersebut dimulai pada tanggal 1 Mangsa Kasa, yaitu tanggal 22 juni 1855 dan berlaku hingga saat ini (Sukardi, 1999: 16).
36 Seperti gelombang tsunami di Pangandaran Jawa Barat, Bantul DIY, Aceh, Nias dan Mentawai, tanah longsor di Wasior Papua, letusan Gunung Merapi, Gunung Bromo, Gunung Krakatau (Catatan Penulis).
-
16
memungkinkan untuk mencari nafkah keluarga. Maka dari itu, sangat pantaslah jika
kearifan lokal sebagai bagian dari sistem pengetahuan (cognition system) nelayan
dipandang penting untuk diidentifikasi dan diaktualisasikan. Di samping itu, mereka
berpartisipasi dalam memanfaatkan dan melestarikan lingkungan hidup, karena
nelayan mencari nafkah di laut selatan dengan berpedoman pada tradisi leluhur dan
kepercayaan adanya mitos kekuatan laut selatan yang dapat mengendalikan mereka
dari tindakan merusak alam, seperti rasa takut kepada Ratu Selatan. Demikian
pula, generasi penerus mereka dapat mengenal nilai kearifan lokal yang dimiliki dan
tetap memegang norma-norma kehidupan manusia Jawa. Ekspresi kecerdasan
kolektif nelayan di pesisir selatan Kebumen seperti diungkapkan dalam ekspresi
nyong bisa urip lumrah dadi wong, ora kaya wong apa maning dudu wong (agar
saya bisa hidup layaknya orang, bukan seperti orang apalagi bukan orang), dan
ekspresi nyong kudu setiar, arek tani, arek nglaut, arek nderes, ndi sing ana, nyong
urip iku mamah, yen mamah kudu ubah, apa baek bisane dilakoni, aja nganti
kasedhak (saya harus ihtiar, mau bertani, bernelayan, menders, mana yang ada,
saya hidup itu makan, jika mau makan harus berusaha, apa saja yang mampu
dijalani, jangan sampai mendapatkan karma/hukuman)37. Maksudnya mereka
menghadapi tantangan hidup semakin berat akibat bencana alam, musim yang
ekstrim, pertumbuhan demografis, terbatasnya kualitas ketrampilan mereka, lahan
semakin menyempit, dan diversifikasi mata pencaharian untuk memanfaatkan
potensi laut, agar tidak terjebak berbuat buruk. Pada awalnya mereka merasa
terpaksa memilih mata pencaharian sebagai nelayan tersebut, karena memahami
pilihan itu sangat berat, aktivitasnya berhadapan dengan laut selatan yang ganas.
Oleh karena dorongan untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, maka mereka
memberanikan diri menghadapi tantangan itu, agar terbebas dari kemiskinan dan
kebodohan. Akibat dari pilihan itu, maka muncul ekspresi sebagai tani-nelayan atau
37 Informan Pak Darmuji, 76 tahun, Tegalretna, Petanahan, Kebumen, 22 Desember 2010; Pak Sarpin Muhtadi, 58 tahun,
Argapeni, Ayah, Kebumen, 11 Januari 2011; Kyai Sajadi, 64 tahun, Puring, Kebumen, 23 Januari 2011; Pak Misdam, 43 tahun, Karanggadung, Petanahan, Kebumen.
-
17
nelayan-tani, si samping ada yang menjalani keempatnya sekaligus sebagai mata
pencaharian, meskipun tetap ada dominasi pilihan di antara mata pencaharian itu.
Seperti ekspresi verbal mereka kabeh nyong lakoni dhimen cukup (semua saya
jalani supaya cukup) merupakan bagian dari kearifan nelayan, meskipun sangat
tergantung pada faktor musim, kekuatan fisik dan modal kerja. Bagi mereka yang
terpenting secara lahir batin bersikap hati-hati, agar nasibnya aja nganti
kasedhak38 (jangan sampai mendapatkan balasan buruk, karma) ketika
beraktivitas di darat maupun di laut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data
penelitian yang memadai, maka sasaran penelitian yang dituju difokuskan pada desa-
desa komunitas nelayan-tani dan atau tani-nelayan yang memungkinkan terjadinya
kategori dan ekspresi bahasa dan budaya Jawa yang mengandung kearifan lokal, dan
sedang mengalami proses transformasi mata pencaharian di pesisir selatan Kebumen.
Sesuai dengan paparan di atas, maka judul penelitian untuk disertasi ini
dirumuskan Kearifan Lokal dalam Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di
Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah Kajian Etnolinguistik).
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini secara spesifik dapat
dirumuskan sebagai berikut, yaitu:
1. Bagaimanakah sistem pengetahuan (cognition system) dalam bahasa dan
budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang
mengandung kearifan lokal dari perspektif etnolinguistik?
38 Unsur leksikal kasedhak secara kultural bermakna mendapat halangan karena hukum karma akibat mengambil atau merebut
hak orang lain karena ingin mendapat banyak dengan cara yang tidak benar (Informan; Pak Darmuji, 76 tahun, Petanahan, Kebumen).
-
18
2. Mengapakah kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat
nelayan di pesisir selatan Kebumen merupakan bagian integral dari bahasa
dan budaya Jawa Banyumas?
3. Mengapakah faktor sosial-budaya berdampak pada resistensi bahasa dan
budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen?
4. Bagaimanakah kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa yang tercermin
dalam ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana) dan ekspresi
nonverbal masyarakat nelayan dari sisi folklor di pesisir selatan Kebumen?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini
secara deskriptif dapat dirinci sebagai berikut, yaitu untuk:
1. Menginventarisasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menginterpretasikan
sistem pengetahuan (cognition system) dalam bahasa dan budaya Jawa
masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang mengandung kearifan
lokal.
2. Menginventarisasi, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan
menginterpretasikan kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa
masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen sebagai bagian integral dari
bahasa dan budaya Jawa Banyumas.
3. Menemukan faktor sosial-budaya yang berdampak pada resistensi bahasa dan
budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen.
4. Menjelaskan kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa yang tercermin
dalam ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana) dan ekspresi
-
19
nonverbal masyarakat nelayan dari sisi folklor di pesisir selatan Kebumen,
karena folklor dapat merepresentasikan dan mencerminkan pikiran kognitif
individual yang dapat mempresentasikan pemikiran kolektif mereka.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian tentang kearifan lokal dalam bahasa dan budaya Jawa
masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen ini meliputi manfaat teoretis dan
manfaat praktis.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis, antara lain
seperti berikut.
a. Dilakukan inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi kategori dan
ekspresi bahasa dan budaya Jawa dalam sistem pengetahuan lokal (cognition
system) melalui ranah bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir
selatan Kebumen yang mengandung kearifan lokal dan bercirikan tipikal daerah
terpencil Jawa yang jauh dari pusat bahasa dan budaya Jawa (Surakarta-
Yogyakarta). Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkap hal-hal
yang tersembunyi dalam bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan, seperti
sistem pengetahuan (cognition system), pola pikir, pandangan hidup (way of life),
pandangan dunia (world view) masyarakat Jawa asli di daerah relik (tinggalan
kuna) bahasa dan budaya Jawa.
b. Terwujudnya inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi konseptual dan
dokumentasi bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan
Kebumen, untuk mendapatkan rumusan tentang kearifan lokal, baik dalam
ekspresi verbal maupun nonverbal yang menunjukkan ciri-ciri kearifan lokal
-
20
nelayan di pesisir selatan Kebumen. Di samping itu hasil penelitian ini secara
ilmiah dapat menjawab berbagai persoalan kearifan lokal dalam bahasa dan
budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen dalam upaya mereka
beradaptasi dengan lingkungan ekologis, akibat dari transformasi mata
pencaharian dari petani menjadi nelayan di pesisir selatan Kebumen.
c. Ketika inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi tentang persepsi
masyarakat nelayan dari sisi folklor yang mengandung kearifan lokal telah
dilakukan, maka secara teoretis dapat dirumuskan wujud kearifan lokal dalam
bahasa dan budaya Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen secara
komprehensif. Mengingat folklor sebagai produk budaya setempat dapat
merepresentasikan pengetahuan tentang bahasa dan budaya Jawa masyarakat
nelayan di pesisir selatan Kebumen, karena folklor sebagai milik kolektif dapat
mencerminkan dunia pikiran kognitif individual yang dapat mempresentasikan
pemikiran kolektif masyarakat nelayan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, antara lain
seperti berikut.
a. Dapat diperoleh inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi faktor sosial-
budaya yang berdampak pada resistensi bahasa dan budaya Jawa masyarakat
nelayan di pesisir selatan Kebumen, dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk
mengambil keputusan yang bijaksana guna mencapai sasaran yang tepat dalam
pengembangan aktivitas nelayan di pesisir selatan Kebumen.
b. Demikian pula hasil inventarisasi, identifikasi, deskripsi, dan interpretasi data
penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik bahasa dan budaya Jawa
masyarakat nelayan, baik ekspresi verbal (kosa-kata, frasa, klausa, wacana)
-
21
maupun nonverbal (baik berupa folklor, mitos, mantra39, doa, perlambang,
upacara ritual) dan berbagai unit lingual lainnya (seperti bebasan, paribasan,
sanepa, istilah tradisi, motto, pamali, nama penguasa laut selatan, ekspresi energi
alam) yang bermanfaat untuk mengidentifikasi jati-diri individual dan kolektif
mereka, sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengambil langkah-langkah
penting dalam pengembangan wilayah tersebut. Misalnya bermanfaat untuk
menyusun rencana membudidayakan komoditas strategis dan pengembangan
wilayah Kebumen, meliputi potensi seni, objek wisata, kelautan, spesifikasi
budaya nelayan guna mendukung peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan
bermanfaat untuk pertimbangsn pengembangan komunitas sejenis.
c. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah khasanah hasil penelitian dari
perspektif etnolinguistik tentang hubungan bahasa dan budaya, khususnya upaya
memformulasikan (merekonstruksi) kategori dan ekspresi bahasa dan budaya
Jawa masyarakat nelayan di pesisir selatan Kebumen yang mengandung kearifan
lokal. Selanjutnya bermanfaat untuk menyampaikan pesan sosio-kultural, agar
menjadi sarana strategis dalam rangka memahami faktor ekologis dan demografis
guna pengembangan potensi kelautan di pesisir selatan Kebumen.
d. Dari perspektif kajian ilmiah hasil penelitian ini dapat mewujudkan karya ilmiah
berupa disertasi, artikel ilmiah untuk jurnal nasional terakreditasi/internasional,
dan dimungkinkan buku teks muatan lokal, poster publikasi ilmiah tentang
nelayan di pesisir selatan Kebumen.
e. Dari perspektif sosial-budaya hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa laut
dan penguasa laut selatan Jawa yang berada di wilayah pengaruh otoritas pusat
bahasa dan budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta ternyata bervariasi, bahkan ada
yang berbeda persepsinya ketika berada di wilayah pengaruh bahasa dan budaya
Jawa Banyumas, khususnya pemahaman masyarakat nelayan tentang sosok yang
dianggap tinggi di sepanjang pesisir selatan Kebumen. 39 Mantra adalah doa yang merupakan rumus-rumus, yang terdiri atas suatu rangkaian kata-kata gaib yang dianggap
mengandung kekuatan dan kesaktian untuk mencapai secara otomatis apa yang dikehendaki oleh manusia (Koentjaraningrat, 1989: 252-253).
-
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PIKIR
Bab dua berisi deskripsi kajian pustaka, landasan teori, dan kerangka pikir.
Secara lengkap kajian pustaka meliputi pustaka yang menyangkut deskripsi bahasa
dan budaya Jawa Kebumen, kajian yang menyangkut nelayan secara umum, kajian
pustaka menyangkut kearifan lokal, dan kajian yang berkaitan dengan etnolinguistik.
Landasan teori meliputi tentang kearifan lokal (local genius), etnolinguistik dan
etnosains, dimensi makrolinguistik dan mikrolinguistik dalam kajian etnolinguistik,
bahasa-budaya-folklor dalam kajian etnolinguistik, konsep pola-pikir, semantik
leksikal - semantik gramatikal - semantik kultural, semiotika dan semiotik. Kerangka
pikir penelitian ini mengenai hubungan variabel penelitian beserta konsep teoretis dan
metode penelitian yang melandasinya.
A. Kajian Pustaka
Penelusuran terhadap pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penelitian
ini belum menemukan pustaka yang membahas tentang Kearifan Lokal dalam
Bahasa dan Budaya Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen (Sebuah
Kajian Etnolinguistik). Hal itu dapat dibuktikan bahwa (1) hasil penelitian atau karya
ilmiah yang telah dikaji itu berkaitan dengan bahasa dan budaya Jawa masyarakat
Kebumen dengan berbagai perspektifnya (misalnya kajian linguistik struktural, kajian
interdisipliner seperti jenis linguistik dialektologi, interdisipliner antara jenis linguistik
dialektologi dengan sosiolinguistik (sosiodialektologi), interdisipliner antara bahasa
dan budaya Jawa (etnolinguistik), dan kajian budaya Jawa di Kebumen); (2) hasil
penelitian dan karya ilmiah yang telah dilakukan itu berkaitan dengan kajian tentang
nelayan di tempat lain (secara umum); (3) kajian yang telah dilakukan berkaitan
dengan kearifan lokal; dan (4) kajian yang telah dilakukan dengan perspektif
-
23
etnolinguistik terhadap masalah yang berhubungan dengan bahasa dan budaya Jawa,
selain di Kebumen. Pustaka-pustaka yang berupa hasil penelitian, jurnal dan kajian
lainnya yang dimaksud dalam kelompok (1), (2), (3) dan (4) itu, secara rinci dapat
disimak pada uraian berikut ini.
1. Karya Ilmiah Terkait Bahasa dan Budaya Jawa Kebumen
dengan Berbagai Perspektifnya
Kajian ilmiah terkait bahasa dan budaya Jawa Kebumen yang dapat dilacak
meliputi kajian linguistik struktural, dialektologi, sosiodialektologi, etnolinguistik,
dan kajian budaya Jawa Kebumen, meliputi:
(a) Kajian tentang Dialektologi Van Zentral Java (Nothofer, 1981)
menjelaskan aktualisasi bahasa Jawa di Jawa Tengah dari perpektif kajian
dialektologi. Substansi kajiannya memaparkan identifikasi dialek bahasa Jawa di
Jawa Tengah bahwa kosa-kata ngoko dan krama pada bahasa Jawa yang terletak di
sebelah barat dialek bahasa Jawa Yogyakarta ternyata memiliki jumlah kosa-kata
krama agak terbatas. Adapun dialek bahasa Jawa di sebelah barat Yogyakarta
termasuk dialek bahasa Jawa pengaruh Banyumas diidentifikasi mempunyai leksikon
pasangan ngoko-krama, sedangkan dalam dialek bahasa Jawa Yogyakarta hanya
menggunakan kosa-kata netral. Karya ilmiah tersebut seperti karya ilmiah yang lain
dalam paparannya belum mengarah pada kajian yang bersifat etnolinguistik bahasa
Jawa Kebumen.
(b) Artikel tentang Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Sudiro, 1986),
menjelaskan adanya dua kelompok karakteristik bahasa Jawa Kebumen, yaitu bahasa
Jawa Kebumen kelompok I yang merupakan bahasa Jawa yang memiliki karakteristik
ngapak, dan bahasa Jawa Kebumen kelompok II yang merupakan bahasa Jawa yang
memiliki karakteristik bandek. Karya ilmiah itu secara khusus belum menyinggung
tentang hubungan bahasa dengan budaya Jawa di Kebumen dalam perspektif kajian
etnolinguistik.
-
24
(c) Makalah yang berjudul Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Dialek-dialek
Bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah Bagian Barat (Nothofer, 1990),
mengulas data bahasa di Jawa Barat dan bahasa di Jawa Tengah bagian barat,
terutama bahasa Jawa di wilayah pengaruh bahasa dan budaya Jawa Banyumas
(termasuk Kebumen). Secara deskriptif data yang diuraikan berdasarkan karakteristik
masing-masing untuk mengidentifikasi bahasa Jawa di Jawa Barat maupun Jawa
Tengah bagian barat dari perspektif kajian dialektologi yang bersifat sinkronis
maupun diakronis. Deskripsi makalah tersebut juga belum memasalahkan bahasa dan
budaya Jawa Kebumen dari kaca mata etnolinguistik.
(d) Praktek Studi Lapangan (PSL) tentang Dialektologi Bahasa Jawa di
Kabupaten Purworejo dan Kebumen Karesidenan Kedu, Propinsi Jawa Tengah
(Fernandez (Koordinator), 1990), telah mendeskripsikan data-data bahasa Jawa di
perbatasan Kabupaten Purworejo dengan Kabupaten Kebumen dari perspektif studi
komparatif. Studi komparatif yang dilakukan mahasiswa S2 Lingusitik Deskripstif
PPS UNS Surakarta tentang dialek bahasa Jawa di perbatasan Kabupaten Purworejo
dan Kabupaten Kebumen tersebut memilih Sungai Gebang sebagai pembatas lokasi
geografisnya. Namun, karya ilmiah tersebut belum menyinggung kajian
etnolinguistik bahasa Jawa Kebumen.
(e) Laporan praktek studi lapangan dialektologi Geografi Dialek Bahasa
Jawa Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (Fernandez (Koordinator), 2001), berisi
deskripsi data dari lokasi dan informan terpilih, serta analisisnya berdasarkan kajian
geografi dialek untuk mengidentifikasi karakteristik fonologi, morfologi dan unsur
leksikal bahasa Jawa Kebumen dari perspektif kajian dialektologi. Penelitian tersebut
dilakukan untuk melaksanakan praktek studi lapangan (PSL) mata kuliah dilektologi
di S2 Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hasil penelitian
tersebut juga belum membahas bahasa Jawa Kebumen dari sudut pandang
etnolinguistik.
(f) Hasil penelitian Variasi Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Kajian
Sosiodialektologi) (Pujiyatno, 2007), telah mengidentifikasi (i) bahasa Jawa
-
25
Kebumen yang mendapat pengaruh dari bahasa Jawa Banyumas yang diidentifikasi
sebagai bahasa Jawa ngapak, (ii) bahasa Jawa Kebumen yang mendapat pengaruh
dari bahasa Jawa Yogyakarta yang diidentifikasi sebagai bahasa Jawa bandek, di
samping (iii) ada bahasa Jawa Kebumen yang diidentifikasi sebagai bahasa Jawa
ceblek. Pengaruh dari bahasa Jawa Banyumas maupun dari bahasa Jawa Yogyakarta
pada bahasa Jawa Kebumen itu, pada awalnya berupa pengaruh leksikon baru
kemudian tingkat tutur krama melalui otoritas jabatan guru dan pamong-desa di sana.
Hasil penelitian tersebut belum mengarah pada deskripsi data dari perspektif
etnolinguistik.
(g) Hasil penelitian tentang Tradisi Bersih Desa di Kecamatan Mirit
Kabupaten Kebumen (Windhiyasmoro, 2009), telah mendeskripsikan pelaksanaan
tradisi bersih desa masyarakat yang ada di Kecamatan Mirit Kabupaten Kebumen.
Fokus kajiannya adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan ekspresi rasa syukur
kepada Tuhan, terima kasih kepada leluhur yang telah merintis desanya, gotong-
royong sebagai ekspresi kerukunan dan kebersamaan serta pentingnya menjaga nilai
sosial religius. Hasil penelitian tersebut belum melibatkan analisis data yang
mengarah pada kajian etnolinguistik bahasa Jawa Kebumen.
(h) Hasil penelitian Tradisi Jalenan di Kecamatan Kebumen Kabupaten
Kebumen (Khotimah, 2010), telah membahas pelaksanaan tradisi jalenan setiap
selesai panen dan bersamaan dengan upacara ritual bersih desa. Hasilnya
menyebutkan bahwa upacara ritual tradisi jalenan itu intinya untuk menyampaikan
pesan leluhur kepada seluruh warga, agar tidak lengah mengikuti perkembangan
jaman yang cenderung mengabaikan nilai tradisi leluhur dan pesan agama. Inti dari
pelaksanaan tradisi jalenan itu seperti terekspresikan dalam pesan singkatnya aja-
lena jangan lengah, terus terekspresikan secara verbal jalena-an atau jalenan
tradisi yang membawa pesan kepada anak-cucu jangan gampang lengah untuk
menyikapi keadaan, harus selalu hati-hati. Adapun kajiannya belum memfokuskan
pada analisis data yang mengarah pada kajian etnolinguistik terhadap bahasa dan
budaya Jawa Kebumen.
-
26
(i) Penelitian tentang Ritual Haul Syeh Abdurrahman di Kecamatan
Kebumen Kabupaten Kebumen (Rahmawati, 2010), telah menjelaskan bahwa sosok
Syeh Abdurrahman merupakan cikal-bakal leluhur mereka, sejaman dan ada
hubungan dengan kerajaan Demak. Dia mewariskan nilai-nilai Islam sebagai hasil
dakwahnya di Kebumen, akibatnya mentradisi sampai sekarang dan dihormati oleh
pengikut dan keturunannya dengan upacara ritual Haul Syeh Abdurrahman itu, dan
merupakan kesempatan yang digunakan untuk menyampaikan dakwah Islam.
Penelitian tersebut belum mengarah pada fokus kajian tentang etnolinguistik bahasa
dan budaya Jawa Kebumen.
(j) Hasil survey tentang Bahasa dan Budaya Jawa Nelayan di Pesisir Selatan
Kabupaten Kebumen Ditinjau dari Perpektif Etnolinguistik (Wakit dan Hartini,
2009), telah mendeskripsikan bahasa dan budaya Jawa nelayan, kearifan lokal di
balik bahasa dan budaya Jawa mereka terkait mata pencaharian, mantra pengobatan,
perangkat sesaji, musim yang berlaku, nama ikan, nama perahu, nama organisasi
nelayan, lokasi penting tempat ritual, nama-nama gaib penguasa lautan, pembagian
wilayah pesisir selatan Kebumen dan gaib penunggunanya. Sekalipun belum
mendalam arahan data dan ulasannya, namun hasil survey tersebut sudah mengarah
pada kajian etnolinguistik, meskipun belum mendalam.
(k) Hasil survey tentang Bahasa dan Budaya Jawa Banyumas di Pedesaan
Dataran Tinggi Pegunungan Mahmeru Banyumas dan Hubungannya dengan Bahasa
Jawa Berciri Banyumas di Pesisir Selatan Kebumen (Fernandez, Wakit, Hartini,
2010). Mengutarakan bahwa data-data bahasa dan budaya Jawa di Watuagung
Tambak Banyumas ada yang terkait dengan bahasa dan budaya Jawa dalam mata
pencaharian petani dan penderes di pesisir selatan Kebumen, kecuali nelayan di
daerah Banyumas tidak dikenal, karena mata pencaharian nelayan termasuk mata
pencaharian yang baru dan adanya di pesisir seperti di selatan Kebumen. Telah
ditemukan berbagai ekspresi tradisi seperti pilihan hari untuk upacara ritual,
menanam, menikah, potong bambu, pranatamangsa, istilah ritual, dan perangkat
sesaji. Data yang ditemukan telah mengarah pada kajian etnolinguistik bahasa dan
-
27
budaya Jawa Banyumas dalam rangka untuk fokus kajian bahasa dan budaya Jawa di
pesisir selatan Kebumen, meskipun analisis data yang telah dilakukan belum secara
mendalam.
(l) Artikel tentang Kearifan Lokal Komunitas Petani di Pesisir Selatan
Kebumen di Balik Bahasa Jawa dan Adat-istiadatnya (Kajian Etnolinguistik) (Wakit
Abdullah, 2010), memfokuskan kajiannya pada kategori dan ekspresi verbal maupun
nonverbal dalam bahasa dan budaya Jawa nelayan, serta kearifan lokal di balik
bahasa dan budaya Jawa nelayan di pesisir selatan Kebumen. Data penelitian dan
analisisnya telah mengarah pada kajian etnolinguistik, tetapi belum memadai karena
terbatasnya volume tulisan.
(m) Artikel tentang Kearifan Lokal tentang Pusaka yang Tercermin dalam
Kategori dan Ekspresi Bahasa Jawa Masyarakat Nelayan di Pesisir Selatan Kebumen
(Kajian Etnolinguistik) (Wakit Abdullah, 2011), mengemukakan data dalam rangka
fokus kajian pada nama-nama pusaka, daya magis dan pemiliknya serta manfaatnya
sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan hidup mereka. Ekspresi verbal
dan nonverbal terkait pusaka itu mencerminkan kecerdasan kolektif nelayan dalam
upaya mencari solusi terkait persoalan hidup dengan gaib dan persoalan lain yang
kasat mata. Kajian tersebut telah menuju pada pembahasan kearifan lokal dari
perspekstif etnolinguistik.
(n) Artikel tentang Kategori dan Ekspresi Bahasa Jawa Komunitas Nelayan
di Pesisir Selatan Kebumen (Kajian Etnolinguistik) (Wakit Abdullah, 2011), telah
mengidentifikasi, mendeskripsikan, menginterpretasikan kategori dan ekspresi dalam
bahasa dan budaya Jawa nelayan dalam masa transformasi mata pencaharian dari
petani ke nelayan dari perspektif kajian etnolinguistik beserta aspek sosial, kultural
dan spiritualnya. Data penelitian yang telah ditemukan kemudian dianalisis dan lebih
mengarah pada perspektif kajian etnolinguistik, meskipun masih sangat terbatas
pembahasannya.
-
28
2. Karya Ilmiah yang Terkait Nelayan
dan Objek Kajiannya di Luar Kebumen dengan Segala Perspektifnya
Karya ilmiah yang telah membahas nelayan dan objek kajiannya di luar
Kebumen yang dapat dilacak meliputi berikut ini.
(a) Hasil penelitian tentang Sistem Pengetahuan Teknologi Kenelayanan
Masyarakat Nelayan Puger yang tercermin dalam Satuan Lingual Bahasa Jawa Alat
Transportasi Melaut dan Alat Tangkap: Sebuah kajian Etnolinguistik (Madjid,
2010). Hasil penelitian tersebut telah mendeskripsikan (i) bahasa yang digunakan
untuk mengkomunikasikan realitas, untuk menyusun realitas, untuk mengungkapkan
pola pikir masyarakat (meliputi prinsip-prinsip, klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan
yang kesemuanya melalui bahasa), untuk menguak kebudayaan pemiliknya, (ii)
satuan lingual bahasa Jawa alat transportasi melaut dan alat tangkap ada yang berupa
bentuk dasar dan frase, (iii) referensi satuan lingual bahasa Jawa alat transportasi
melaut dan alat tangkap menyangkut perahu, aktivitas, bentuk, lokasi, binatang, alat,
dan bagian tubuh, prinsip-prinsip hirarkhi klasifikasi mengacu pada bentuk, (iv)
sistem pengetahuan teknologi kenelayanan yang dimiliki masyarakat nelayan Puger
dipengaruhi dunia makrokosmosnya, tercermin dalam penghormatan, penghidupan
roh, penyatuan alat melaut dan alat tangkap, baik nama-nama yang diberikan pada
setiap bagian alat, hirarkhi klasifikasi, maupun acara ritualnya, di samping (v) alat
melaut dan alat tangkap ikan masih menjaga hubungan serasi dengan alam sekitar.
Data-data penelitian tersebut dianalisis berdasarkan perspektif kajian etnolinguistik.
(b) Hasil penelitian tentang Persepsi Nelayan Cilacap terhadap Mitos
Kanjeng Ratu Kidul (Tim, 1995), mendeskripsikan masyarakat yang tinggal di
Kampung Bakung Sidakaya Cilacap umumnya memiliki pola pikir sederhana, yaitu
masyarakat nelayan kehidupannya dengan menangkap ikan sebagai mata pencaharian
utamanya. Mereka menjaga harmoni hubungan dengan alam laut, bahkan tunduk dan
pasrah kepada alam laut yang dahsyat itu. Mereka memahami lautan yang dahsyat itu
secara adikodrati ada yang menguasai yaitu Kanjeng Ratu Kidul dengan para
-
29
prajuritnya. Mereka memberikan berbagai perangkat sesaji guna mendapatkan
keselamatan secara mistis terkait aktivitas hidup mereka di tepi laut dan mencari
nafkah di lautan.
(c) Artikel tentang Mitologi Rakyat Sepanjang Pantai Selatan (Wibowo,
2005), menjelaskan mitos di pantai selatan Yogyakarta, seperti aktivitas upacara
ritual grebeg maulud, labuhan bekti pertiwi, dan pisungsung jaladri. Upacara ritual
itu menurut mereka bermanfaat untuk menambah kekayaan rohani, dan diakui
masyarakat pendukungnya serta para turis domestik maupun mancanegara. Di
samping itu secara sosial-religius kegiatan itu bermanfaat untuk pengembangan
wisata ritual, karena upacara itu bukan sekedar rutinitas tahunan, namun lebih dari itu
memiliki hubungan langsung dengan karakteristik kehidupan spiritual maupun sosial-
ekonomi masyarakat sebagai pendukungnya. Khusus untuk masyarakat Desa
Pamancingan, melakukan upacara ritual itu disebabkan oleh ketergantungan jiwa
mereka. Jika tidak melakukan upacara ritual seperti itu hidup mereka tidak tenang,
akibat dari rasa mengagumi alam sekitar, namun suasananya menakutkan jiwa
mereka. Mereka mempercayai adanya hubungan alam, spiritualitas, sakralitas dan
moralitas.
(d) Laporan penelitian tentang Masyarakat Nelayan Desa Wonokerto,
Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah (Tim Mahasiswa
Fakultas Sastra UGM, 1982). Berisi tentang deskripsi mata pencaharian mereka,
nama-nama ikan, nama-nama perahu, nama-nama musim, nama organesasi,
kesepakatan mengatasi persoalan di antara mereka, sistem kerja mereka, struktur
organisasi nelayan dan tradisi setempat terkait pelaksanaan pekerjaan di lautan dan di
daratan. Kajiannya memang belum mengarah pada kajian etnolinguistik, tetapi
ulasannya bermanfaat untuk penelitian ini.
(e) Laporan penelitian tentang Nelayan Rawa Pening: Studi Kasus Pencari
Ikan (Herawati, 1997). Berisi deskripsi tentang tradisi sebagian besar penduduk di
sekitar Rawa Pening sebagai pencari ikan secara turun-temurun. Alatnya
menggunakan jala ketika pada musin angok (air surut) mencari ikan, di samping
-
30
alternatifnya nyambi menanam padi di lahan yang tidak tergenang. Apabila air
meluap pada musim agung air hujan menggenang di Rawa Pening, mereka
menggunakan wuwu atau icir. Pada saat itulah mereka menghabiskan waktu untuk
mencari ikan dan tidak menanam padi pada musim agung air hujan menggenang di
Rawa Pening.
(f) Artikel tentang Nelayan Desa Karimunjawa Pulau Karimunjawa
Kabupaten Jepara Propinsi Jawa Tengah (Mudjijono, 2008). Berisi deskripsi tentang
di Desa Karimunjawa Pulau Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah
masyarakatnya mayoritas aktivitasnya mencari ikan, maka nelayan merupakan
sebutan dari mayoritas penduduk di Desa Karimunjawa. Sistem kerjanya dengan
kelompok (i) Perahu branjang (operatornya dua/tiga orang) bagi kalangan bawah,
hasilnya dibagi dengan sistem kemisan. (ii) Kapal jonson sistem kerjanya dengan cara
bagi hasil secara adil, yaitu pemilik kapal mendapatkan bagian sesuai dengan
kelengkapan yang digunakan, meliputi jaring satu bagian, kompresor satu bagian,
pemilik kapal satu bagian, dan nelayan mendapat satu bagian. Pembagian seperti itu
menurut mereka mencirikan kalangan atas (pemilik kapal) hasil yang diterima lebih
banyak. Pertimbangan lainnya seperti menggunakan jaring nuroami dan pembagian
kerja yang lebih tegas mulai dari nahkoda, pelari darat, dan kepala penyelam.
Pandega dan nahkoda sangat tergantung pada juragan perahu. Selain itu ikan hasil
melaut berupa ikan blunder dan teri harganya ditentukan pemilik perahu dan berlaku
sama ketika pindah juragan perahu karena modelnya sama. Jika menjual ikan ke
pemilik perahu tidak ada kesempatan menawar, meskipun dapat dijual ke mana saja
sesuai kesepakatan ABK dan pemilik kapal. Akibatnya ada yang mencoba menjadi
pengepul/tengkulak yang menjual ikan hingga luar Karimunjawa. Seperti ikan jenis
kerapu merupakan ikan yang banyak dijual dalam keadaan hidup, karena jenis ikan
teri, kerapu itu yang bernilai tinggi. Bahkan penjualan ikan sampai diekspor ke luar
negeri. Menurut mereka wilayah laut tersebut untuk nelayan tiada duanya untuk
melaut.
-
31
(g) Artikel tentang Wanita Nelayan di Kecamatan Kedung Jepara
(Munawaroh, 2006). Berisi deskripsi tentang keterangan aktualitas wanita nelayan di
Kecamatan Kedung Jepara. Sebagai wanita nelayan menyadari pekerjaan suaminya
yang penuh resiko, sementara hasilnya kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Untuk mengatasi masalah itu para wanita nelayan menyempatkan diri membantu
suami mencari nafkah di samping mengurusi rumah tangga, dengan menjadi buruh
membuat ikan asin (menggesek ikan), menjual ikan tangkapan suami, berdagang apa
yang bisa dijual, buruh di pabrik krupuk ikan, menyulam alat penangkap ikan, dan
untuk mengatasi kekurangan ekonomi jika terpaksa mereka ngebon ambil barang
dulu dibayar akhir bulan.
(h) Artikel tentang Aktivitas Kerja Nelayan Bonang-Demak: Pendekatan
Etnosains (Sumintarsih, 2003). Berisi deskripsi tentang pengungkapan sistem
pengetahaun nelayan, dunia dan lingkungannya. Dalam peta kognitif nelayan
mengenal laut, ikan, perahu, alat-alat tangkap ikan. Aktivitas mereka tercermin dalam
sistem klasifikasi yang mereka kuasai dari keempat hal tersebut. Di samping
mencerminkan pola aktivitas ekonomi rumah tangga nelayan di laut dan di darat.
Menurut mereka aktivitas di laut milik para laki-laki dan di darat milik para
perempuan. Penelitian ini difokuskan di desa Purworejo, Kecamatan Bonang,
Kabupaten Demak. Hasilnya menunjukkan aktivitas mereka terkait dengan fungsi
peralatan, kedalaman laut, jenis ikan, gejala alam sebagai keterkaitan fungsional.
(i) Artikel tentang Pendayagunaan Sumber Daya Alam di Kampung Nelayan
di Desa Purworejo, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Propinsi Jawa Tengah
(Emiliana Sadilah, 2003). Berisi deskripsi tentang desa tersebut sebagai desa yang
paling banyak komunitas nelayan, nampak pada aktivitas melaut atau miang dan
tradisi melaut dilakukan sejak nenek moyang mereka, maka bagi mereka sejak kecil
telah mengenal budaya neayan secara turun temurun. Letak desa yang dekat dengan
laut dan muara sungai sebagai fasilitas alami mereka, sehingga hampir seluruhnya
menggantungkan hidup dari melaut, baik yang menggunakan perahu sendiri maupun
yang menjadi buruh perahu juragan. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka melaut
-
32
dengan perahu sendiri yang beranggotakan 3 sampai 4 orang. Sementara mereka yang
menjadi buruh juragan menggunakan perahu besar (porse seine) yang beranggotakan
sekitar 20 orang. Fasilitas yang berbeda tersebut berpengaruh pada hasil tangkapan
mereka, sehingga diversitas perolehan tangkapan juga membedakan hasil yang
diperoleh, seperti ada yang mendapatkan ikan teri, tongkol, kembung, banjar, cumi,
manyung dan pethek dengan harga rata-rata 10.000,-/kg dipandang berpenghasilan
kecil dibandingkan dengan fasilitas mereka.
(j) Laporan penelitian tentang Strategi Masyarakat Nelayan dalam
Kehidupan Ekonomi Desa Pantai Wonokerto Kabupaten Pekalongan (Sumintarsih,
1996). Berisi deskripsi modal kerja masyarakat nelayan berupa alam laut dan
kekuatan tenaga. Di tempat itu mereka bekeja bersifat monokultur karena tidak ada
alternatif lain dan ketrampilan mereka hanya terkait di alam laut sejak kecil secara
turun-temurun. Populasi mereka bertambah tetapi hanya sebagai buruh nelayan di
kapal purse-seine milik juragan cina. Akibatnya perahu sopek milik nelayan kecil
terdesak, karena sulit mencari tenaga akibatnya perahu menjadi mangkrak, kreditnya
macet, tujuan awal untuk memberikan lahan nafkah pada nelayan menjadi gagal.
Kebijakan pemerintah terkait hal itu perlu dilakukan untuk membuka pekerjaan lain
seperti subsector nelayan berupa bertani tambak, penggehan, bertani bunga melati di
samping buruh batik pekalongan.
(k) Artikel tentang Gubug Penceng Penanda Arah Selatan (Kompas, 15
Agustus 2011, halaman 13). Berisi deskripsi tentang salah satu rasi bintang yang
memiliki arti penting bagi bangsa-bangsa di belahan bumi selatan adalah Crux yang
dikenal di Indonesia dengan rasi layang-layang (nama layang-layang dikenal
sejumlah etnis nusantara dengan Lintang Gubug Penceng dan Iwak Pe Ikan Pari40)
40 Yaitu lima bintang yang dimiliki dengan bentuknya yang sederhana mudah diamati dan diidentifikasi. Selama bulan Agustus
ketika matahari telah tenggelam rasi bintang ini nampak rendah di selatan, yakni antara 10-30 derajat di atas horizon. Waktu terbaik untuk melihatnya mulai bulan Mei dan Juni. Nama Gubug Penceng berasal dari kisah sejumlah pemuda yang membangun rumah. Di depan rumahnya setiap hari lewat wanita cantik yang akan mengantar makanan ke sawah. Kecantikan wanita itu mengganggu konsentrasi para pemuda, alhasil rumah yang dibangun bentuknya menjadi miring alias penceng (Jawa). Gambaran itu diabadikan dalam rasi bintang yang bernama Gubug Penceng. Wanita cantiknya diabadikan dalam Lintang Wulanjar Ngirim yang dalam astronomi modern dinamai bintang Alpha Centauri dan Beta Centauri. Kedua bintang ini merupakan rasi bintang Centaurus yang dalam mitologi yunani dilambangkan dengan Kuda Berkepala Manuisa. Sang perempuan diabadikan sebagai Alpha Centauri yang merupakan bintang terdekat di Bumi setelah Matahari. Adapun
-
33
mulai terlihat pada bulan Mei dan Juni. Rasi ini bermakna sebagai penanda arah
selatan, di samping sebagai penanda datangnya musim kemarau, namun yang utama
adalah sebagai penunjuk arah selatan. Saat rasi bintang ini menghilang dari langit
malam bulan September, kemudian muncul rasi Orion atau Lintang Waluku. Rasi
Orion bagi orang Jawa menjadi penanda dimulainya musim bercocok tanam.
(l) Laporan penelitian tentang Sistem Kemasyarakatan Masyarakat Nelayan
Desa Wonokerto Kecamatan Wirodesa Kabupaten Pekalongan (Relasi Sosial
Ekonomi Jurumudi) (Mudjijono, 1993/1994). Berisi deskripsi mata pencaharian
masyarakat di Desa Wonokerto Kulon dan Wonokerto Wetan yang berhubungan
dengan pernelayanan dan yang tidak. Mata pencaharian yang berhubungan dengan
pernelayanan meliputi buruh membersihkan perahu, memperbaiki dan membuat
perahu, memperbaiki dan membuat jala, pedagang ikan, tukang masak di perahu,
jurumudi, jurumesin/motoris, jeraus, juru arus, juru gidhang dan pengolah hasil
tangkapan. Terkait nelayan terbagi dalam kelompok juragan atau daoke (pemilik
perahu) dan pandega (buruh kapal, termasuk jurumudi atau nahkoda). Jurumudi
jabatan kunci dalam kapal yang harus memiliki SKK (Surat Kecakapan Kemudi) dari
Syahbandar, dia bertugas membagi hasil dan mengganti kerugian pembekalan,
menentukan berlayar atau tidak manakala kapal mengalami kerugian, memimpin
pelayaran, setelah miang atau mbelah melaut menentukan pelayaran akan dilakukan
atau tidak, menentukan saat yang tepat menabur jaring dan kapan harus
mengangkatnya. Jika ada anak buah kapal tidak melaut karena suatu hal, maka
selendangnya yang tertiup angin diabadikan sebagai Beta Centauri. Sejak kapan orang Jawa mengenal Lintang Gubug Penceng tidak dapat dipastikan, namun sejak jaman Panembahan Senopati Raja Mataram Islam (1575-1601) rasi bintang ini sudah disebut-sebut dalam beberapa tembang puisi tradisional Jawa, artinya sebelum itu sudah ada. Masyarakat pesisir menyebut Lintang Gubug Penceng dan Lintang Wulanjar Ngirim sebagai satu kesatuan dan menyebutnya sebagai bintang Iwak Pe Ikan Pari, sedangkan masyarakat Melayu dan semenanjung Malaka mengenalnya dengan nama Buruj Pari. Nama layang-layang dalam Crux baru muncul dalam Nusantara Modern, tidak ada literatur kuna yang menyebut Crux sebagai layang-layang. Masyarakat Eropa menamai dengan Southern Cross (Salib Selatan). Bangsa barat mengenal Crux pada abad XVI ketika mencari rempah-rempah. Bentuk bumi yang bulat menyebabkan bangsa barat tidak bisa melihat Crux posisinya di belahan langit selatan. Sistem penamaan rasi bintang berkaitan dengan budaya masing-masing. Negara bekas jajahan barat (Australia, New Zeland, Papua New Guiniu) memasukan Crux pada bendera mereka. Adapun pada bendera Brazil bekas jajahan Portugis Crux menunjukkan jumlah negara bagian. Crux merupakan rasi terkecil di antara 88 rasi bintang di langit yang ditentukan batas-batasnya oleh Persatuan Astronom Internasional (IAU) pada tahun 1930. Dalam astronomi rasi Crux tidak memiliki makna khusus, karena di samping menunjuk arah selatan, untuk menentukan medan langit dan nama benda langit. Di sekitar rasi Layang-layang yang banyak menarik astronomi adalah Kantung Arang nebula gelap bahan dasar pembentuk bintang serta Kotak Berlian gugus bintang terbuka berusia muda. (Kompas, 15 Agustus 2011, halaman 13).
-
34
jurumudi akan berelasi dengan Juragan, antar jurumudi, tokoh masyarakat, dan tokoh
pemerintah desa. Adapun mata pencaharian yang tidak terkait dengan pernelayanan
yaitu buruh bangunan, pegawai negeri, buruh dan transportasi, pembuat batik,
menanam bunga melati.
(m) Makalah tentang Bentuk Ungkapan Nelayan Makassar (Patorani) dalam
Aktivitas Pencarian Telur Ikan Terbang: Salah Satu Bentuk Pemertahanan Bahasa
dan Budaya Daerah (Iswary, t.t.). Berisi tentang upaya untuk mendokumentasikan
ekspresi linguistik tertentu dalam bahasa Makassar. Ekspresi ini merupakan hal
sangat unik yang digunakan oleh komunitas nelayan yang disebut Patorani. Di
samping memaparkan simbol-simbol yang dihubungkan dengan ekspresi linguistik
dan bagaimana hal itu dapat berhubungan erat dengan budaya masyarakat setempat
dan kehidupan sehari-hari komunitas Patorani. Pada akhirnya menunjukkan bahwa
ekspresi linguistik yang digunakan para nelayan dalam bentuk lagu serta
menggunakan simbol-simbol untuk memikat ikan terbang supaya masuk ke dalam
pukat mereka.
(n) Buku tentang Nelayan dan Kemiskinan: Studi Antropologi Ekonomi
Mubyarto (1984). Buku tersebut mendeskripsikan nelayan sebagai masyarakat yang
hidup di pesisir laut, mereka belum bisa menikmati hasil laut yang melimpah, di
samping karena realitas hidup dengan SDM yang serba terbatas, faktor sosial politik
(perhatian pemerintah), sosial ekonomi (permodalan, tertekan tengkulak sebagai
penentu harga ikan) dan sosial budaya (konsep hidup yang dipengaruhi tradisi lama
yang kurang produktif) sangat mempengaruhi keberadaan mereka secara turun-
temurun.
(o) Hasil penelitian tentang Mantra Nelayan Bajo: Cermin Pikiran Kolektif
Orang Bajo di Sumbawa (Syarifuddin, 2008). Berisi tentang kajian mantra nelayan
Bajo di Sumbawa, klasifikasi mantra nelayan Bajo dengan ciri-ciri linguistiknya,
menunjukkan pola-pikir berupa relasi-relasi orang Bajo dengan wujud tertinggi yang
mereka ekspresikan dengan papu, relasi orang Bajo dengan sesamanya, orang Bajo
dengan makhluk halus, orang Bajo dengan alam sekitar (folra-fauna), orang Bajo
-
35
dengan benda-benda, dan orang Bajo dengan gejala alam.
(p) Hasil penelitian tentang Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat
Nelayan Madura (Sumintarsih, dkk., 2005), mendeskripsikan kearifan lokal nelayan
Madura dengan pendekatan etnosains, gejala-gejala sosial dari sudut pandang
masyarakat nelayan dan pelibatnya, struktur komunitas nelayan, pola konsumsi,
hubungan sosial, sistem teknologi dan alat tangkap ikan, kegiatan ritual dan sistem
kepercayaan, hal-hal terkait nelayan. Kearifan nelayan Madura tercermin dalam
persepsi nelayan terhadap teknologi tangkap ikan yang berdasarkan pada upaya
pelestarian lingkungan alam laut, melarang menangkap ikan dengan bahan peledak
dan jaring pukat, sangsi sosial merupakan hukuman berat yang dijatuhkan kepada
setiap pelanggarnya.
(q) Hasil penelitian tentang Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat
Nelayan Jepara Jawa Tengah (Suyami, dkk., 2005), mendeskripsikan tentang
struktur komunitas nelayan, hubungan sosial nelayan, persepsi dan sistem
pengetahuan yang meliputi pengetahuan tanda-tanda alam, area perburuan ikan,
teknologi alat tangkap ikan, sistem kepercayaan dan kegiatan ritual nelayan. Di
samping itu juga mengidentifikasi berdasarkan keteraturan waktu melaut dan alat
yang digunakan masyarakat nelayan Jepara termasuk nelayan tradisional. Keteraturan
waktu melaut dan alat yang digunakan itu diidentifikasi sebagai kearifan lokal
mereka, karena termasuk upaya agar tidak merusak lingkungan alam dan merupakan
pertimbangan mereka untuk membangun harmoni alam. Hal itu dipahami bahwa alam
sebagai milik bersama secara turun-temurun harus dilestarikan keberadaannya.
(r) Buku tentang Close to The Stone, Far from The Throne (Semedi, 2003).
Berisi komunitas nelayan di pulau Jawa tahun 1820-an hingga tahun 1990-an,
khususnya di desa Wonokerto Pekalongan. Secara rinci membahas gambaran umum
komunitas nelayan di desa Wonokerto Pekalongan, kondisi nelayan di Pekalongan
pada abad le-19, perkembangan nelayan di desa Wonokerto Pekalongan dari
pengaruh kolonial, situasi di desa Wonokerto Pekalongan sampai pertengahan tahun
1960-an, perkembangan industri nelayan di pelabuhan Pekalongan dari tahun 1970-an
-
36
sampai tahun 1990-an, kondisi nelayan kecil dalam hubungannya dengan
perkembangan nelayan dalam skala besar, perubahan sosial-ekonomi nelayan,
kehidupan sosial penduduk desa Wonokerto Pekalongan dari tahun 1970-an sampai
tahun 1990-an sebagai babak baru nelayan modern.
(s) Hasil penelitian tentang Kemiskinan Nelayan dan Pembangunan Desa
Pantai (Kusnadi, 1997); Kemiskinan dan Diversifikasi Pekerjaan di Kalangan
Nelayan (Kusnadi, 1997); dan Nelayan Buruh: Lapisan Sosial yang Paling Miskin
di Desa Pantai (Kusnadi, 1998) yang telah dipublikasikan dalam bentuk Seri Kertas
Kerja hasil kerja sama dengan Pusat Studi Komunitas Pantai Jember Jawa Timur.
Berisi tentang penjelasan bahwa penelitian yang dilakukan ini sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan taraf hidup nelayan, kehidupan komunitas nelayan
tradisional dan nelayan buruh yang berada di kelas sosial rendah, oleh karena itu
berbagai upaya pemerintah segera dilakukan.
(t) Artikel tentang Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa
sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat
Petani dan Nelayan (Fernandez, 2008). Berisi tentang kearifan lokal masyarakat di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta tercermin dalam
kategori dan ekspresi bahasa dengan berbagai keragaman bentuknya. Melalui ranah
mata pencaharian petani dan nelayan itu, sampel penelitian diketahui banyak
menyimpan sistem pengetahuan masyarakat yang mencerminkan relasi yang serasi
antara manusia dengan ekologi alam sekitar, ekologi sosial, dan ekologi pikiran
masyarakat. Dalam kekayaan mitosnya, tercermin relasi petani dan nelayan dengan
ekologi alam mikro dan makrokosmosnya. Relasi yang terjalin secara vertikal dengan
dunia supranatural dan secara horisontal sesama warga masyarakat. Dalam kategori
dan ekspresi seperti tampak dalam kosa-kata dan paduan kata misalnya, tampak pola
pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang terekam dalam makna yang
terjalin secara tersirat maupun tersurat mengklarifikasi kemampuan pemilik budaya
dan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam dalam bahasa sebagai bagian integral
dari kebudayaan.
-
37
(u) Artikel tentang Fungsi dan Makna Upacara Tradisional Labuhan Gunung
Kombang di Pantai Ngliyep Malang (Sanjata, 2007). Berisi deskripsi upacara ritual
Labuhan Gunung Kombang yang masih dilaksanakan, karena memiliki fungsi bagi
masyarakat pendukungnya. Tradisi itu mengandung lambang-lambang, simbol-
simbol warisan dari nenek moyang mereka. Perkembangan hanya terbatas pada teknis
pelaksanaan mengenai substansi masih sama, yaitu untuk melakukan persembahan
kepada mBok Nyai Ratu Mas penguasa laut selatan Malang. Masyarakat di pesisir
selatan Malang melaksanakan tradisi labuhan Gunung Kombang itu berfungsi untuk
pengendalian sosial, pengelompokan sosial, norma sosial, media sosial, menambah
ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa dan etos kerja.
(v) Karya ilmiah Upacara Sedekah Laut Dikaitkan Dengan Perkembangan
Pariwisata di Kabupaten Cilacap (Moertjipto, 2001). Berisi deskripsi tradisi nelayan
di Teluk Penyu sebagai warisan leluhur mereka terkait dengan kepercayaan terhadap
leluhur, roh halus, dewa dan Tuhan. Kehidupan mereka menyatu dengan alam sekitar,
baik secara mental spiritual maupun irama kehidupan mereka. Upacara sedekah laut
tersebut telah dimanfaatkan untuk sarana pengembangan wisata pantai dan spiritual.
Dalam perkembangannya terjadi perubahan perangkat sesaji, seperti jika dahulu ada