Download - (Done) Mariatun Tanjung 626-629.docx
Sarkoidosis (Lihat Bab. 153)
Hipopigmentasi merupakan manifestasi yang jarang terdapat pada sarkoidosis. Lesi
makula hipopigmentasi tersebar di badan dan ekstremitas, tetapi lesi berupa papul atau nodul
juga dapat terlihat pada penyakit ini. Adanya granulasi dari jaringan non kaseosa pada
dermal, biasanya paling terlihat jelas pada pemeriksaan biopsi lesi indurasi, hal ini dapat
memperkuat diagnosis. Berkurangnya melanin pada epidermis dengan preservasi melanosit
telah dibuktikan.
Patogenesis berkurangnya pigmen masih belum jelas.
Skleroderma (Lihat Bab. 158).
Hipopigmentasi telah dijelaskan sebelumnya sebagai perubahan pigmentasi pada
morphea (skleroderma lokal) dan skleroderma (sklerosis sistemik progresif). Hipopigmentasi
lokal dan / atau hiperpigmentasi dapat terlihat pada daerah terjadinya sklerosis lokal.
Depigmentasi fokal dengan hiperpigmentasi perifolikuler (pigmentasi salt and pepper)
khususnya pada badan / tubuh bagian atas dan ekstremitas, menyerupai vitiligo, dilaporkan
terdapat pada lebih dari 30 persen pasien skleroderma. Ko eksistensi skleroderma dan vitiligo
juga telah dilaporkan.
Gambar 73-7
Morphea. Perhatikan hiperpigmentasi diskrit di daerah sklerosis yang terlokalisir.
Lupus Eritematosus (Lihat Bab. 156)
Perubahan pigmentasi sering terlihat pada lupus eritematosus tipe diskoid. Bercak
hipopigmentasi dihasilkan dari adanya dermatitis dengan destruksi lapisan basal epidermis
yang berisi melanosit. Bekas luka / Skar yang telah sembuh menjadi atropi dan mengalami
depigmentasi dan dapat dikelilingi hiperpigmentasi. Depigmentasi jaringan kutaneus juga
dilaporkan pada penyakit lupus eritematosus sistemik, biasanya disebabkan lesi inflamasi
pada kulit, tempatnya berada pada tempat yang sama. Spesimen biopsi pada kulit
depigmentasi menunjukkan adanya degenerasi jaringan lapisan basal dengan atrofi epidermal,
jumlah melanosit yang bervariasi dan pigmentasi inkontinesia terjadi pada dermis superfisial.
Mekanisme hipopigmentasi pada lupus tidak diketahui, tetapi dapat terjadi pasca inflamasi
atau sikatrikal.
Vitiligo juga telah dilaporkan mengenai hubungannya dengan lupus eritematosus.
Adanya faktor predisposisi genetik mungkin dapat menjelaskan hubungan antara kedua
kelainan autoimun ini.
Mikosis Fungoides (Lihat Bab. 146)
Mikosis Fungoides merupakan tipe tersering dari limfoma sel T kutaneus, yang
memiliki karakteristik klinis berupa adanya 3 fase yaitu fase bercak, fase plak, dan fase
tumor. Perbedaan perubahan pigmentasi sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan MF.
Pada poikiloderma vaskular atropican (PVA), pigmentasi yang berbintik - bintik,
atrofi dan telangiektasis pada kulit yang terkena telah terobservasi. Campuran antara
hiperpigmentasi dan hipopigmentasi mungkin terjadi setelah adanya regresi pada lesi dikulit
setelah dilakukan pengobatan.
Hipopigmentasi mikosis fungi merupakan variasi yang jarang terjadi pada kasus
limfoma ini. Hal ini berkembang sebelum dekade keempat dalam kehidupan pada orang kulit
hitam dan tidak ada predileksi pada gender. Bercak hipopigmentasi iregular dengan batas
jelas maupun yang tidak jelas, biasanya berlokasi pada badan dan ekstremitas. Eritema,
skuama dan infiltrasi bisa juga didapatkan. Daerah sentral dari pigmentasi normal bisa jadi
dapat terlihat. Lesi ini juga mungkin berhubungan dengan beberapa tipe lesi yang terdapat
pada ketiga fase kutaneus tersebut. Hipopigmentasi berkembang tanpa adanya perubahan
kulit yang mendahului dan kadang-kadang depigmentasi komplit juga ditemukan.
Secara histopatologis, hipopigmentasi Mikosis Fungi ditandai dengan keterlibatan
minimal pada dermis kulit, kurangnya atropi epidermal, dan ditandai dengan eksositosis yang
moderat. Inkontinensia pigmen dan penurunan atau tidak adanya melanin pada epidermal
dapat dijumpai pada penyakit ini. Adanya limfosit yang meng infiltrasi sering memiliki sel T-
supressor CD 8+ fenotip tapi CD4+ fenotip juga telah dilaporkan.
Mikroskop elektron dapat mendeteksi adanya perubahan degeneratif pada melanosit.
Melanosit juga mungkin dapat tidak sempurna dalam proses pembentukanya atau kadang
berkurang jumlahnya. Jumlah melanosom pada keratinosit adalah normal atau menurun dan
makrofag berisi melanin dapat juga ditemukan pada bagian papila dermis. Analisa
penyusunan kembali gen sel T reseptor dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis,
tapi dapat juga negatif, sebagaimana pada bentuk yang lain pada stage awal Mikosis Fungi.
Patogenesis hipopigmentasi pada Mikosis Fungi tidaklah jelas. Setidaknya pada kasus
yang menunjukkan fenotip CD8+, hipopigmentasi dapat disebabkan oleh efek melanotoksik
pada limfosit CD8+ non neoplasma dalam jalur yang mirip seperti yang dicurigai pada
vitiligo.
Hipopigmentasi MF memiliki respon yang baik terhadap pengobatan, khususnya pada
terapi psoralen dan sinar UVA (PUVA) dan yang baru-baru ini terhadap terapi sinar UVB
narrowband dan memiliki jalur yang secara relatif jinak meskipun sering terulang.
Hipopigmentasi pada Mikosis Fungi seharusnya dapat dibedakan dengan penyebab
hipopigmentasi difus lainnya, khususnya vitiligo, tinea versikolor, PA atau hipopigmentasi
pasca inflamasi.
INFEKSI
Treponematosis (Lihat Bab. 201)
Treponematosis non-veneral saat ini endemik di sebagian Amerika Tengah dan
Selatan, Afrika, Asia dan Samudra pasifik dan dapat sangat buruk. Depigmentasi terlihat
dalam beberapa stadium; yaws, bejel, and pinta. Ketika lesi primer pada yaws hilang,
depigmentasi tipikal dan bekas luka yang berbintik bintik masih tertinggal. Pada stage ketiga/
tertier, bejel, nodul-nodul gumatosa berkembang pada kulit dan organ yang lainnya.
Kebanyakan lesi mengalami regresi, meninggalkan bekas depigmentasi, bekas luka yang
tidak elastis. Pinta adalah satu-satunya treponematosis yang hanya mempengaruhi kulit dan
menyebabkan abnormalitas pigmentasi pada stadium pertama, kedua dan ketiga pada
penyakit tersebut. Lesi pinta sentinel dapat disembuhkan pada akhir stadium primer,
meninggalkan makula hipo atau hiperpigmentasi berwarna biru keabuan. Stadium kedua
ditandai dengan kemunculan yang biasa disebut pintids, dimana terlihat merah tapi sering
berubah menjadi coklat, biru keabuan, abu-abu atau hitam, stadium ini dapat berlangsung
selama beberapa tahun menuju terjadinya depigmentasi campuran dan lesi hiperpigmentasi.
Abnormalitas pigmentasi general berkembang selama stadium tertier. Pola simetris seperti
lesi vitiligo dan lesi berwarna coklat, abu-abu atau biru dan hitam sering terlihat pada tulang
yang menonjol. (Gbr. 73-8).
Gambar 73-8
Pinta. hipomelanosis pada pinta mirip dengan hipomelanosis pada vitiligo yang terjadi pada
penyakit lanjut dan berhubungan dengan daerah hiperpigmentasi berwarna biru sampai abu-
abu.
Onchocerciasis (Lihat Bab. 207)
Beberapa manifestasi kulit yang berbeda dapat menjadi jelas selama perjalanan
onchocerciasis. Depigmentasi Onchocercal atau "kulit leopard" jarang berhubungan dengan
pruritus dan merupakan salah satu manifestasi kulit yang paling umum dari onchocerciasis.
Bercak hipopigmentasi dengan bintik-bintik perifollicular pada kulit yang berpigmen normal,
biasanya terjadi secara simetris pada daerah pretibial orang tua di daerah endemik (Gbr. 73-
9).
Gambar 73-9
Onchocerciasis.
Leishmaniasis Kulit Post-Kala-Azar (Lihat Bab. 206)
Leishmaniasis kulit Post-kala-azar berkembang pada kala-azar atau leishmaniasis
viseral (penyakit yang disebabkan oleh Leishmania donovani) yang tidak diobati dengan
baik. Manifestasi kulit leishmaniasis kulit pasca-kala-azar adalah nodul dan plak eritema pada
wajah. dan makula hipopigmentasi. Nodul dan plak biasanya berkembang di sekitar mulut
dan menyebar ke wajah, lengan, dan dada tapi makula dapat terjadi di seluruh tubuh.
Penyakit ringan dapat sembuh spontan namun bentuk parah memerlukan pengobatan
sistemik.
Penyakit Kusta / Lepra (Lihat Bab. 186)
Adanya lesi hipopigmentasi dengan penurunan sensasi adalah ciri khas kusta dan
merupakan salah satu dari kriteria diagnostik (Gbr. 73-10). Kusta Indeterminate, sering
menjadi manifestasi pertama kusta, ditandai dengan adanya beberapa lesi seperti disebutkan
sebelumnya. Kusta tuberkuloid biasanya bermanifestasi sebagai lesi yang berjumlah terbatas
dan terdefinisi dengan baik, terdepresi, tak berbulu, dan muncul hipopigmentasi pada pasien
kulit hitam dan eritematosa pada pasien putih.
Gambar 73-10
Penyakit kusta. Sebuah makula khas yang hipomelanotik berwarna putih dan anestesi.
AGEN KIMIA DAN FARMAKOLOGIS
Potensi bahan kimia untuk menginduksi hipopigmentasi ditemukan pada pertengahan
abad kedua puluh. Leukoderma sudah ditemukan pada pekerja karet yang terpapar eter
monobenzyl hydroquinone (MBEH), antioksidan yang sering digunakan dalam industri karet.
Sejak itu, agen depigmentasi telah disisipkan dengan banyak bahan kimia dan agen terapi
depigmentasi baru mulai dikembangkan.
Terpajan bahan kimia yang memiliki efek destruktif pada melanosit saat bekerja dapat
mengakibatkan leukoderma kimia. Agen seperti para-tertiary butylphenol, para-tertiary butyl
catechol, MBEH, dan hidrokuinon dapat menyebabkan depigmentasi permanen.
Depigmentasi yang disebabkan oleh bahan kimia sulit untuk dibedakan dengan vitiligo
idiopatik. Awalnya biasanya dimulai di tangan dan lengan, lokasi yang sering mengalami
kontak, tetapi depigmentasi di tempat yang jauh juga mungkin (Gbr. 73-11). Leukoderma
bahan kimia menyebar sebagai makula kecil yang koalesen / berkumpul, sedangkan
kemunculan bercak besar secara tiba-tiba dengan celah perifollikular lebih sugestif ke
penyakit vitiligo. Leukoderma kimia sangat mungkin terjadi jika pekerja yang terpapar
mengalami depigmentasi. Namun, tidak semua orang yang terpapar mengalami leukoderma
dan akhirnya di ambil hipotesis bahwa kerentanan masing-masing individu berbeda-beda.
Gambar 73-11
Leukoderma kimiawi. A. Leukoderma kimia yang diinduksi O-Syl (desinfektan fenolik) yang
secara klinis mirip Vitiligo. Paparan berulang diperlukan untuk terjadinya depigmentasi,
tetapi peradangan klinis tidak teramati. B. Hipomelanosis reversibel di wajah pada wanita
Afrika Selatan setelah beberapa minggu menggunakan hidrokuinon topikal. Tampak
perbedaan warna wajah dengan
tangan(tidak diobati). C. Pekerja pabrik Afrika Amerika yang mengalami depigmentasi
akibat paparan berulang zat monobenzyl eter hydroquinone.
Ada tiga mekanisme kerja utama agen pemutih. Beberapa bekerja sebelum melanin
disintesis dengan menghambat transkripsi dan glikosilasi tirosinase. Agen lain bekerja selama
sintesis melanin dengan menghambat enzim seperti tirosinase atau peroksidase atau bekerja
sebagai reduktor atau pengumpul spesies oksigen radikal (ROS). Terakhir, beberapa agen
bekerja setelah sintesis melanin karena mereka bertanggung jawab untuk degradasi tirosinase,
penghambatan transfer melanosom, atau percepatan pergantian kulit, yang menyebabkan
depigmentasi.
MBEH digunakan sebagai agen pencerah sampai kemampuannya untuk menyebabkan
depigmentasi total, dan tetap menjadi jelas. Ini hanya digunakan jika diinginkan depigmentasi
total pada pasien dengan vitiligo luas. Formulasi dengan 20 persen MBEH paling banyak
diresepkan untuk tujuan itu. Hidrokuinon adalah salah satu zat depigmentasi yang paling
populer dan sering digunakan untuk pengobatan melasma dalam konsentrasi antara 2 persen
dan 5 persen. Konsentrasi yang lebih tinggi dari 5 persen dapat menyebabkan risiko
depigmentasi permanen. Efek sampingnya adalah iritasi, pigmentasi pasca inflamasi, dan
ochronosis eksogenus.
AGEN FISIK
Panas, dingin, x-ray, radiasi ionisasi, radiasi UV, dan sinar laser dapat menyebabkan
hipopigmentasi atau depigmentasi permanen dengan merusak melanosit, yang menyebabkan
kehancuran melanosit atau gangguan fungsi melanosit.
LIKEN SKLEROSUS(Lihat Bab. 63)
Liken sklerosus biasanya muncul sebagai bercak eritematosa pruritus pada tahap
awal, berkembang menjadi sebuah plak atrofi depigmentasi dengan gambaran putih porselen.
Beberapa mekanisme mungkin memainkan peran dalam perkembangan leukoderma ini:
penurunan produksi melanin, pemblokiran transfer melanosom ke keratinosit, dan
berkurangnya melanosit.
MELANOMA YANG TERKAIT DENGAN LEUKODERMA (Lihat Bab. 124)
Tanda klinis regresi yang paling khas dalam lesi melanoma primer adalah daerah
dalam lesi yang berwarna putih, terdepigmentasi, dan seperti bekas luka.
Melanoma yang terkait hipo atau depigmentasi, juga dikenal sebagai leukoderma
acquisitum centrifugum dapat terjadi di sekitar melanoma primer atau bermetastasis atau di
tempat yang jauh. Yang terakhir ini sering disebut vitiligo, meskipun kemiripannya terbatas.
Sedangkan vitiligo depigmentasinya biasanya simetris dan menyebar secara sentripetal ke
batang tubuh, melanoma yang terkait hipodepigmentasi cenderung luas, merata, dan
asimetris. Lesi dapat berbintik-bintik (hipomelanotik) atau berwarna putih susu (amelanotik).
Dalam kebanyakan kasus, leukoderma dimulai secara bersamaan dengan temuan metastase.
Pemeriksaan histologis menunjukkan penurunan atau hilangnya seluruh melanosit.
Makromelanosit dengan dendrit gemuk dapat terlihat. Melanoma dengan leukoderma terkait
mungkin berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik daripada lesi
lanjut yang setara tanpa kehilangan pigmen epidermis. Bukti kuat menunjukkan bahwa
leukoderma terkait melanoma merupakan hasil dari reaksi imun yang melibatkan mekanisme
humoral dan seluler. Strategi immunoterapeutik pasif dan aktif yang digunakan dalam
pengobatan melanoma telah dikaitkan dengan leukoderma (Gbr. 73-12).
Gambar 73-12
Melanoma terkait leukoderma. A. Hipomelanosis ini secara klinis bisa menyerupai vitiligo
dan ditandai dengan tidak adanya melanosit. Ini mungkin berhubungan dengan prognosis
yang menguntungkan. B. Makula tersebut pada pasien yang berbeda berkembang setelah
pasien mengalami metastasis pada kulit. Mereka mengelilingi metastasis individu.