TUGAS MATAKULIAH
TEKNOLOGI FERMENTASI (ITP 321)
“Effect of Traditional Cassava Fermentation on Chemical and
Sensory Characteristics Gari and Fufu Flour in
West Africa”
Anggota Kelompok:
1.Sarinah M (f24080029)
2. Ahmadun (f24080054)
3. Arum P.P (f24080017)
4. Dede R (f24070058)
5. Silvia (f24080086)
6. M. Mustain (f24080120)
7. Maulina S.O (f24080084)
8.Romone L.M (f24078001)
9. Rathih W (f24080047)
Food Science and Technology Department
Faculty of Agricultural Technology
Bogor Agricultural University
Bogor, West Java, Indonesia 16680
Phone: +658999894129
Effect of Traditional Cassava Fermentation on Chemical
and Sensory Characteristics Gari and Fufu Flour in
West Africa
Sarinah M, Ahmadun, Arum P.P., Dede R, Silvia, M. Mustain, Maulina S.O.,
Romone L.M., Rathih W
Abstract
Cassava( Manihot esculenta Crantz) is one of most important crops food grown in the
tropics and a significant source of calories for more than 500 million people world wide.
Cassava is one of food which momentously at trop. One of its Nigeria, West africa.
Cassava is one of important food in is region's tropic, include in is Nigeria. Its production
reaches 34 million tons at year 2002. So far cassava have used on many various product.
Widely cassava product is a fermented product. Cassava ferment product all the much in
Nigeria region are fufu and gari. Fufu and gari is ferment product of cassava that gets to
form flour. Ferment process of fufu and gari happen spontaneous or traditional which is
by soaking. Ferment flour of cassava have difference chemical characteristic and sensory
unferment flour. In common ferment flour have better quality as compared to unferment
flour. Seen from chemical composition, ferment flour of cassava have nutrient substance
content better than unferment flour. Carbohydrate, fiber, and ash content overbids to be
appealed by unferment flour. If is seen from sensory's characteristic, ferment flour of
cassava has color, texture, measure, and the better odor appealed by unferment flour. In
common ferment flour have the better quality compared with flour without ferment.
Keyword: cassava, fufu, gari, ferment flour, sensory and chemical composition
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sebagian besar pangan
penduduk Afrika merupakan pangan
hasil fermentasi. Hingga kini
teracatat lebih dari 30 jenis pangan
hasil fermentasi di Afrika (Odunfa
1985a). Bagi penduduk Afrika,
bahan pangan utama berasal dari
umbi-umbian. Sebagian besar
pengolahan umbi-umbian ini melalui
proses fermentasi. Umbi-umbian
yang umum dikonsumsi di Afrika
adalah singkong dan yam. Produk
fermentasi singkong adalah gari dan
fufu sedangkan hasil fermentasi yam
adalah elubo dan gbodo.
Singkong (Manihot esculenta
Crantz) merupakan makanan pokok
untuk lebih dari 500 juta orang di
negara berkembang (Cock
1985). Sebagai contoh, di Nigeria,
singkong tampaknya menjadi
makanan pokok yang cocok dengan
pertumbuhan penduduk. Produksi
ubi kayu di Nigeria merupakan yang
terbesar di dunia, tiga kali lipat lebih
banyak dari produksi di Brazil dan
hampir dua kali lipat
dari produksi di Indonesia dan
Thailand (FAO 2006).
Menurut Food and Agricultural
Organization (FAO) Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Roma,
diperkirakan pada tahun 2002
produksi ubi kayu di Nigeria menjadi
sekitar 34 juta ton dan bila
dibandingkan dengan tanaman
lainnya, singkong menempati urutan
pertama, kemudian diikuti oleh
produksi yam sebesar 27 juta ton,
produksi sorgum 7 juta ton, millet
sebesar 6 juta ton, dan beras sebesar
5 juta ton (FAO 2005).
Singkong sangat mudah rusak
dan tidak dapat disimpan dalam
kondisi segar selama lebih dari
beberapa hari setelah panen, namun
kualitas relatif tidak mengalami
penurunan yang serius (Leakey dan
Wills 1977). Untuk memperpanjang
masa simpan dari umbi, singkong
diolah menjadi produk kering dengan
berbagai cara di berbagai belahan
dunia untuk memenuhi kebutuhan
lokal (Ingram dan Humphries 1972;
Onwueme 1978). Dari semua ini,
konsumsi singkong di Afrika Barat
berupa produk granular panggang
(Asiedu 1989).
2. Rumusan Masalah
Singkong (Manihot esculenta
Crantz) adalah tanaman kayu
tahunan dengan akar yang dapat
dimakan, tumbuh di daerah tropis
dan sub-tropis di dunia (Burrell
2003). Singkong adalah salah satu
pangan yang sangat penting di
daerah tropis (Burrell 2003).
Singkong merupakan akar tropis
yang berperan dalam keamanan
pangan dan sumber pendapatan
untuk jutaan orang di negara
berkembang (Scott et al 2002).
Singkong tumbuh secara luas di
Nigeria dan pada banyak daerah
tropis. Singkong merupakan sumber
pangan utama bagi 200-300 juta
orang (FAO 1991). Pada tahun 1999,
Nigeria memproduksi 33 juta ton
singkong sehingga menjadi produsen
terbesar di dunia.
Singkong adalah dasar dari
banyak produksi termasuk makanan.
Di Afrika dan Amerika Latin,
singkong terutama digunakan untuk
konsumsi manusia, sementara di
Asia dan bagian dari Amerika Latin,
juga digunakan secara komersial
untuk produksi makanan ternak dan
produk berbasis pati (FAO 1991).
Singkong secara normal diproses
sebelum dikonsumsi sebagai
detoksifikasi, pengawetan, dan
modifikasi (Oyewole 1991).
Penggunaan singkong sebagai
makanan dibatasi oleh sifatnya yang
mudah rusak, kadar protein yang
rendah dan potensi racun yang ada di
dalamnya (Cooke and Coursey
1981). Metode proses telah
ditemukan untuk mengurangi
toksisitasnya dan pada saat yang
sama mengubah umbi yang mudah
rusak menjadi produk yang lebih
stabil. Proses ini meliputi
pengeringan dengan sinar matahari,
perendaman, dan fermentasi yang
diikuti oleh pengeringan dan
penyangraian. Toksisitas pada
singkong disebabkan oleh glukosida
sianogenik, linamarin, dan
lotaustralin yang berada pada seluruh
bagian tumbuhan dengan
pengecualian pada biji (Coursey
1973). Fermentasi adalah salah satu
metode yang dapat mengurangi
glukosida sianogenik pada singkong.
Fermentasi juga menghasilkan
senyawa volatil yang memberikan
flavor unik pada produk.
Masyarakat Afrika sebagian
besar bercocok tanam umbi-umbian
termasuk singkong, sebagai mata
pencaharian sehingga singkong
merupakan nilai tambah bagi
masyarakat. Fermentasi singkong di
Afrika telah lama dilakukan dan
menjadi kegiatan utama masyarakat.
Produk yang dihasilkan antara lain
gari dan fufu. Masing-masing produk
memiliki karakteristik yang unik dan
keunggulan yang berbeda-beda.
Namun masyarakat kurang
mengetahui kandungan gizi dan
mutu sensori pada berbagai produk
fermentasi singkong. Oleh karena
itu, perlu adanya pendalaman
mengenai perbandingan kandungan
gizi yang signifikan di antara fufu
dan gari.
3. Tujuan
Dengan penulisan karya ilmiah
ini diharapkan masyarakat terutama
masyarakat Afrika lebih mengetahui
nilai mutu produk fermentasi
tradisional singkong yang merupakan
makanan pokok bagi mereka.
Dengan begitu, mereka dapat
memilah produk yang sesuai dengan
kebutuhan gizi dan karakteristik
sensori yang baik. Selain itu,
masyarakat dapat termotivasi untuk
meningkatkan nilai gizi produk
fermentasi singkong dengan
melakukan berbagai pengolahan
lanjutan sehingga memberikan nilai
tambah (added value) bagi produk
tersebut dan juga meningkatkan nilai
ekonomis produk.
B. PEMBAHASAN
1. Klasifikasi dan Metode Proses
Ubi kayu atau singkong atau
ketela pohon (Manihot esculenta
Crantz) merupakan tanaman dari
family Euphorbiaceae dan
merupakan tanaman di Negara tropis
maupun nontropis seperti Brazil, dan
Negara kawasan Afrika (Prihatman
2000). Ciri-ciri tanaman singkong
yakni batangnya berkayu, beruas,
berbuku-buku dengan tinggi 0.9-4.6
m. Umbi singkong ini terdiri atas
bagian kulit, daging ubi dan empulur.
Daging umbinya berwarna putih
agak kekuning-kuningan dan
mengandung glukosa sehingga
menyebabkan rasa manis, namun ada
juga yang pahit tergantung pada
kandungan glukosida yang dapat
membentuk asam sianida (Anonim
2006).
Singkong merupakan
komoditas hasil pertanian dan
merupakan komoditas yang penting
setelah beras. Masyarakat banyak
memanfaatkan singkong sebagai
bahan pangan langsung maupun
dijadikan tepung. Di Indonesia
bahkan di beberapa daerah singkong
ini dijadikan sebagai bahan makanan
pokok pengganti nasi seperti tiwul di
Jawa, gatot, roti, patila dan berbagai
makanan lainnya (Soetanto 2001).
Namun, saat ini singkong sudah
banyak dikembangkan menjadi
makanan olahan sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi
pangan. Singkong sedang populer
digunakan sebagai bahan baku
industri, baik industri besar maupun
industri rumahan. Banyak industri
kini memanfaatkan singkong
menjadi tepung tapioka sampai
tepung mocaf (modified cassava
flour), bahan baku industri pellet,
makanan ternak, dan bioetanol.
Jenis singkong dapat
dibedakan berdasarkan kandungan
racun asam biru (HCN)-nya yang
dihitung dalam mg HCN/kg
singkong basah kupas. Pada
beberapa jenis singkong terkandung
HCN yang tinggi, namun pada
singkong yang lain kandungan HCN
relatif rendah bahkan tidak ada
(Anonim 2007). Akibat kandungan
HCN ini, singkong dapat
digolongkan menjadi dua golongan
yaitu golongan singkong manis
(kandungan HCN <50 mg/kg bahan)
dan golongan singkong pahit
(kandungan HCN > 50 mg/kg
bahan). Pada umumnya jenis
singkong manis banyak dikonsumsi
masyarakat sedangkan singkong
yang pahit digunakan untuk tujuan
industri (Anonim 2007)
2. Proses Fermentasi
Makanan fermentasi
merupakan bagian penting dalam
pola makan sebagian besar
penduduk Afrika. Lebih dari 30
makanan berbeda telah ditemukan
(Odunfa 1985a). Mereka dapat
diklasifikasikan secara luas menjadi
5 kelompok. Salah satunya adalah
fermentasi pati akar, seperti gari dan
fufu.
Tabel 1. Fermentasi pangan
berkarbohidrat non alkoholik di Afrika
2.1 Fermentasi Singkong menjadi
Fufu
Gambar 1 Proses Fermentasi Fufu
Sebanyak tiga kilogram
singkong dikupas dan dipotong
silindris kemudian hasil potongan ini
direndam dalam empat liter air
selama 96 jam. Perendaman tersebut
menghasilkan potongan singkong
yang sudah lunak dan terfermentasi
yang kemudian digiling dengan
bantuan tangan dan diayak
menggunakan ayakan. Hasil
pengayakan ini direndam selama 12
jam dan diendapkan. Air rendaman
kemudian dibuang. Hasil endapan
tersebut ditempatkan pada karung
goni untuk mengeluarkan air yang
tercampur dalam endapan tersebut.
Endapan yang masih basah ini adalah
fufu, lalu dikeringkan lebih lanjut
pada suhu 65oC selama 48 jam di
dalam cabinet dryer. Fufu yang
kering ini lalu digiling secara halus
menjadi tepung fufu. Proses
fermentasi ini dapat dilihat pada
Gambar 1.
2.2 Fermentasi Singkong menjadi
Gari
Gambar 2 Proses Fermentasi Gari
Gambar 2 diatas menunjukkan
bagaimana proses fermentasi gari
dari singkong secara tradisional,
yaitu umbi singkong segera dikupas,
dicuci, dan dibiarkan untuk
mengering. Setelah itu umbi-umbian
diparut menggunakan mesin pemarut
sederhana. Hasil parutan dimasukkan
ke dalam karung kain kemudian
karung ditindih dengan batu berat
untuk mencegah masuknya udara
dan hasil parutan tersebut
difermentasi selama lima hari. Hasil
fermentasi ini disebut gari. Mikroba
yang berperan dalam pembuatan gari
ini adalah Streptococcus lactis,
Geotrichum candidum,
Corynebacterium manihot dan
bakteri asam lakat.
3. Komponen Mutu Fufu dan Gari
Dari komposisi kimia ketiga
tepung tersebut, tepung gari memiliki
kandungan protein yang paling tinggi
sedangkan kandungan protein fufu
sangat rendah.
Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia singkong
non fermentasi dengan Gari dan Fufu
Parameter Singkong
non
fermentasi
Gari
flour
Fufu flour
Karbohidrat
(%)
83.6±0.20 84.3±0.10 76.86±0.45
Protein (%) 1.65±0.04 5.6±0.20 1.61±0.04
Serat (%) 1.66±0.02 3.7±0.10 0.77±0.01
pH (%) 7.08±0.01 5.7±0.10 4.30±0.08
Lemak (%) 0.35±0.02 4.2±0.20 0.25±0.05
Abu
(%)
1.31±0.07 2.3±0.10 0.61±0.04
Moisture
content (%)
6.68±0.22 9.54±0.05 1.61±0.04
Gambar 3 Tepung Fufu (sumber:
www.foodsubs.com 2007)
Gambar 4. Tepung Gari (sumber:
www.foodsubs.com 2007)
Proses fermentasi
meningkatkan kadar protein dalam
produksi gari dari singkong 1.5%
menjadi 5.60%. Kadar protein dalam
produk gari lebih tinggi dibanding
protein dalam produk tepung fufu.
Hal tersebut terjadi karena bakteri
alami yang memfermentasi mudah
mereduksi produk singkong yang
mungkin saja mensekretasi enzim
ekstraselular dalam serat singkong.
Enzim tersebut meningkatkan kadar
protein dalam produk gari. Protein
umumnya menurun selama proses
fermentasi singkong menjadi tepung.
Proses fermentasi fufu untuk
menghasilkan produk tepung lebih
panjang dibandingkan dengan proses
fermentasi produksi gari sehingga
kandungan protein pada gari lebih
tinggi daripada fufu. Komposisi
lemak tepung gari dengan tepung
fufu tidak banyak mengalami
perubahan. Lemak tidak mengalami
fermentasi oleh bakteri. Lemak
hanya mengalami sedikit reaksi
hidrolisis saat perendaman. Dengan
reaksi sebagai berikut :
Gambar 5. Mekanisme reaksi hidrolisis
lemak
Tepung fufu dan gari memiliki
kandungan karbohidrat yang lebih
rendah dibandingkan dengan
singkong. Hal ini disebabkan oleh
beberapa proses diantaranya adalah
reaksi hidrolisis dan fermentasi
karbohidrat oleh bakteri. Reaksi
hidrolisis dilakukan oleh enzim
amilase yang dihasilkan oleh kapang.
Enzim amilase akan mengubah
karbohidrat dalam bentuk pati
menjadi komponen-kompoonen yang
lebih sederhana seperti glukosa,
maltosa, dan dekstrin.
Gambar 6. Hidrolisis pati.
Gula-gula sederhana tersebut
akan difermentasi oleh bakteri asam
laktat menjadi alkohol dan kemudian
akan difermentasi lebih lanjut
menjadi beberapa bentuk asam
seperti asam laktat, asam asetat, dan
asam propionat.
Gambar 7. Fermentasi gula
Gambar 8. Fermentasi asam
asetat.
Gambar 9. Fermentasi asam
laktat
Kadar serat kasar pada gari
berkisar antara 1.61 dan 3.63%.
Standar Codex untuk gari (Codex
Alimentarius Commission, 1989)
memberikan nilai maksimum 2.0%
untuk serat kasar. Studi yang
dilakukan oleh Oduro et al. (2000)
pada kualitas gari dari beberapa
proses gari yang dipilih, berpusat di
Ghana, menunjukkan nilai serat
kasar berkisar antara 1.47 dan
2.50%. Hal ini mungkin karena
kandungan pati yang terdapat di
dalam umbi. Meningkatnya
kandungan pati diikuti dengan
penurunan kadar serat.
Kadar abu adalah zat anorganik
atau unsur mineral dimana dalam
proses pembakaran, bahan-bahan
organik terbakar kecuali zat
anorganik yang tersisa sebagai kadar
abu (Winarno 2002). Sedangkan
menurut Soebito (1988) dalam
Febriyanti (1990), kadar abu
merupakan komponen yang tidak
OH
HH
OHOH
H OH
OH
OHH + , H 2 O
Glu co se
+O
OHH
HOH
H OH
H
OHHO
HH
H
OHOH
H OH
O
OHH
C e llu b io se (b u ilt fr o m - fra g m e n ts o f g lu c o se )
menguap, tetap tinggal dalam
pembakaran dan pemijaran senyawa
organik, kadar abu disebut juga
sebagai mineral. Kadar abu tidak
secara signifikan dipengaruhi oleh
umur pada saat pemanenan dan
varietas. Kadar abu pada singkong
non fermentasi (%) yaitu 1.31±0.07,
pada tepung gari yaitu 2.4±0.10,
sedangkan pada tepung fufu yaitu
0.61±0.04. Tepung gari memiliki
kadar abu paling tinggi karena proses
pembuatan tepung gari hanya
melewati satu kali perendaman
selama 5 hari sehingga kadar
mineralnya lebih banyak
dibandingkan fufu yang direndam
selama berulang kali selama 118
jam atau 4.5 hari. Mineral yang
terkandung dalam singkong semakin
banyak yang larut dengan
meningkatnya waktu fermentasi.
Sedangkan pada singkong non
fermentasi, kadar abunya lebih
rendah dari gari namun lebih tinggi
dari fufu. Hal ini karena singkong
tidak mengalami proses perendaman
sehingga tidak terjadi perubahan
jumlah mineral. Namun, singkong
non fermentasi ini tidak melalui
proses pemanasan atau pengeringan
sehingga zat organik masih berada di
dalam umbi dan mengganggu
penghitungan kadar abu dimana yang
dihitung hanyalah zat anorganik
sehingga kadar zat anorganik yang
terdeteksi lebih rendah dibandingkan
gari yang melalui proses
pengeringan. Kadar abu yang
merupakan pengukuran dari
kandungan elemen mineral pada
tanaman tergantung pada kadar
mineral di dalam tanah. Selama
proses, bubur parutan singkong
diberi air kembali (Ikujenlola and
Opawale, 2007; Graham et al., 1988)
dengan menekan menggunakan
skrup penekan. Hal ini menyebabkan
hilangnya beberapa mineral sehingga
kadar abu menurun. Kadar abu pada
gari dan fufu telah memenuhi
CODEX STAN 176-1989 (Rev. 1-
1995) tentang Syarat Mutu Edible
Cassava Fluor, dengan kadar abu
maksimal 3%.
Kadar air memegang peranan
penting dalam dalam daya tahan
bahan terhadap serangan mikroba
dan serangga serta memperpanjang
umur simpan bahan (Winarno 2002).
Kadar air singkong non fermentasi
yaitu 6.68±0.22, tepung gari sebesar
9.54±0.05, dan tepung fufu sebesar
1.61±0.04. Tepung gari memiliki
kadar air paaling tinggi karena proses
pengeringan gari berlangsung pada
suhu yang relatif lebih rendah
dibandingkan fufu. Pada umumnya
fufu dikeringkan selama 48 jam pada
suhu 65 0C sedangkan gari
dikeringkan dengan cara dibiarkan
pada suhu ruang selama 5 hari.
Sampel gari dan fufu memiliki kadar
air yang lebih rendah dibandingkan
nilai maksimum yang ditetapkan
oleh Codex Alimentarius (1989)
yaitu 12%. Berkurangnya kadar air
ini menunjukkan berkurangnya
kemungkinan kontaminasi dari
logam berat dan debu selama proses,
serta berkurangnya kemungkinan
mikroorganisme tumbuh pada bahan.
Tepung fufu dan gari
mengalami penurunan pH jika di
bandingkan dengan singkong. Hal ini
dapat dipahami bahwa pada proses
pembuatan gari dan fufu proses
fermentasi memang sengaja
dilakukan. Subagio et al. (2008)
melaporkan bahwa mikroba yang
tumbuh pada singkong selama proses
fermentasi akan menghasilkan enzim
pektinolitik dan selulolitik yang
dapat menghancurkan dinding sel
sehingga terjadi pembebasan granula
pati yang selanjutnya akan
terhidrolisis dan menghasilkan
monosakarida yang akan digunakan
oleh mikroba untuk membentuk
asam-asam organik. Perubahan pH
disebabkan oleh akumulasi berbagai
asam hasil fermentasi maupun
hidrolisis. Fermentasi karbohidrat
oleh BAL akan menghasilkan asam
laktat dan hidrolisis lemak akan
menghasilkan asam lemak.
Meningkatnya beberapa asam
tersebut akan menyebabkan tepung
menjadi lebih asam. Pada umumnya
tepung gari memiliki pH yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tepung
fufu, yaitu 5.7±0.10 dibanding
4.3±0.08. Tepung fufu memilki
tingkat keasaman yang lebih tinggi
dibanding dengan tepung gari karena
pada umumnya proses fermentasinya
lebih lama. Selain itu proses
fermentasi tepung fufu juga
dilakukan dua kali sedangkan tepung
gari hanya satu kali.
Tabel 3 Perbandingan komposisi kimia singkong
non fermentasi dengan Gari dan Fufu
Parameter Singkong
non
fermentasi
Tepung
gari
Tepung
fufu
Tekstur 3.75 28.6 5.53
Bau - 20.7 4.67
Warna 3.46 13.3 6.27
Flavor - 4.6 4.93
Gari memiliki warna putih
seperti krim, berbentuk butiran
tepung dengan sedikit flavor
fermentasi dan sedikit rasa asam
terbentuk dari fermentasi. Fufu
lembut dan kental. Singkong non
fermentasi berwarna putih dan lebih
cerah warnanya dibandingkan
dengan gari dan fufu karena tidak
mengalami fermentasi maupun
pengeringan sehingga tidak
mengalami pencoklatan. Bau
singkong pada gari lebih kuat
dibandingkan fufu karena fufu lebih
lama terfermentasi sehingga bau
singkong menjadi lebih netral.
Molekul organik pada singkong
terurai menjadi senyawa volatil
sehingga semakin lama fermentasi
bau singkong akan semakin hilang.
Tekstur fufu lebih halus
dibandingkan gari karena fufu
digiling sedangkan gari hanya
diparut. Warna gari lebih gelap
dibandingkan fufu karena proses
fermentasi hanya sebentar
dibandingkan fufu sehingga protein
belum banyak yang terurai. Protein
tersebut dapat bereaksi dengan gula
pereduksi menghasilkan warna
cokelat melalui reaksi browning.
Flavor fufu lebih kuat daripada
flavor gari karena proses fermentasi
fufu lebih lama karena komponen
hasil fermentasi fufu lebih banyak
dibandingkan gari. Komponen hasil
fermentasi tersebut yang
menghasilkan cita rasa yang khas
dari masing-masing tepung.
C. SIMPULAN
Umumnya warga Afrika
melakukan fermentasi umbi-umbian
singkong dan yam sebab kedua jenis
umbi tersebut merupakan jenis umbi
yang dihasilkan paling banyak di
Afrika. Teknologi fermentasi yang
dilakukan pada kedua jenis umbi ini
adalah fermentasi secara spontan
atau natural karena tidak ada
penambahan starter culture secara
sengaja (hanya melalui perendaman).
Baik proses fermentasi pada
singkong maupun yam, memberikan
efek peningkatan kualitas nutrisi,
yaitu peningkatan kadar protein,
lemak, serat dan mineral. Maka,
bahan pangan yang dibuat melalui
proses fermentasi baik fermentasi
traditional ataupun fermentasi
modern memberikan manfaat lebih
dibandingkan dengan pangan tanpa
proses fermentasi. Nilai pH gari dan
fufu tidak dipersyaratkan dalam
CODEX STAN 176-1989 (Rev. 1-
1995) mengenai Syarat Mutu Edible
Cassava Flour.
DAFTAR PUSTAKA
Asiedu JJ. 1989. Processing of
tropical crops. Macmillan
Publishers Ltd., London.
Burrell MM. 2003. Starch the need
for improved quality or quantity
and overview. J. Exp. Bot 218:
4574–4762.
Cock JH. 1982. Cassavsa a basic
energy source in the tropics. Sci
218: 755-762.
Cooke RD and DG Coursey. 1981.
Cassava: a major cyanide-
containing food crop. Cyanide
Biol., pp:93-114.
Coursey DG. 1973. Cassava as food:
toxicity and technology.
Chronic cassava toxicity.
Proceedings of an
interdisciplinary workshop,
London, England. 29-30
January. International
Development Research Centre
Monogr. IDRC-010e, pp: 27-36.
FAO (1991). Production Yearbook
Vol. 44 for 1990. Rome: FAO.
Juliano BO (1972).
Physicochemical properties of
starch and protein and their
relation to grain and nutritional
value of rice. In Rice Breeding.
Int. Rice Res. Inst., Los banos,
Philippines.
FAO. 2005. A review of cassava in
Africa with country case studies
on Nigeria, Ghana, the United
Republic of Tanzania, Uganda
and Benin. Proceedings of the
validation forum on the global
cassava development strategy
Vol. 2. International Fund for
Agricultural Development Food
and Agriculture Organization of
the United Nations Rome.
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/
a0154e/
FAO. 2006. Bankable Investment
Project Profile. Vol. IV:
Cassava Production, Processing
and Marketing Project. Food
and Agriculture Organization of
the United Nations Rome.
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/008/
ag065e/ag065e00.pdf
Ingram JS and JRV Humphries.
1972. Food crops of the low
land tropics. Oxford University
Press, Walton Street, Oxford
London. pp: 80-81.
Leakey CLA and JB Wills. 1977.
Food Crops of the lowland
tropics. Oxford University
Press, Walton Street, Oxford
London. pp: 80-81.
Odunfa SA. African fermented
foods. In Microbiology of
Fermented
Foods;Wood,B.J.B.,Ed.;
NIFST:Lagos,Nigeria,1987,88-
110.
OK Achi and NS Akomas. 2006.
Comparative Assessment of
Fermentation Techniques in the
Processing of Fufu, a
Traditional Fermented Cassava
Product. Pakistan Journal of
Nutrition 5, (3): 224-229
Onwueme IC. 1978. The Tropical
Tuber Crops, Yam, Cassava,
Sweet Potato and Cocoyam. 1st
Edn. John Wiley and Sons
Publishers.
Oyewole OB. 1991. Fermentation of
cassava for Lafun production.
Food Lab. News 17(2): 29-31.
Scott GJ, Rosegrant MW,
Ringler MW (2002). Roots and
Tubers. For the 21st Century:
Trends, Projections and policy
Options. Food, Agriculture and
the Environment. Discussion
Paper 31, International Food
Policy Research institute.