TEKS
1
HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA
I Made Bagiada
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Pneumonia adalah infeksi parenkhim paru dapat berupa community
acquired pneumonia (CAP), health care associated pneumonia (HCAP), atau
hospital acquired pneumonia (HAP). Ketiga bentuk pneumonia tersebut
sering diantara pasien yang dirawat di rumah sakit. HAP, pneumonia yang
didapat di rumah sakit adalah kelompok yang terpenting karena dapat
memperpanjang rawat inap pasien, menunjukkan angka kematian tinggi,
dan biaya rumah sakit tinggi (1).
Secara epidemiologi diperkirakan bahwa kejadian HAP sekitar 0,5% sd 5%
dari semua pasien yang dirawat di RS. Kejadian ini malah lebih sering pada
penderita dengan ventilator, kejadiannya sampai 15% sampai 25%.
Sementara risiko kematian di antara pasien HAP lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata pasien yang dirawat inap (1).
Ada sejumlah faktor risiko yang meningkatkan risiko terjadinya HAP.
Intubasi endotracheal adalah penentu terkuat dari factor risiko yang
meningkatkan risiko terjadinya HAP. Adanya slang endotracheal memberi
kesempatan jalan langsung bagi mikroorganisme ke saluran napas bawah
TEKS
2
yang normalnya steril. Hal ini juga memungkinkan untuk pengumpulan
sekresi orofaringeal meningkat, sekresi ini yang akhirnya akan disedot ke
dalam saluran napas sesuai dengan berjalannya waktu. Masih ada banyak
faktor risiko lain untuk terjadinya HAP (1).
Definisi HAP
HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi paling tidak dalam waktu
48 jam setelah dirawat. Pneumonia HAP dapat dalam bentuk ringan atau
yang lebih berat. Secara klinis HAP apabila secara radiologi ditemukannya
infiltrate parenkhim paru baru atau progresif dan dibutuhkan paling tidak 2
tanda-tanda berikut: perubahan suhu < 36°C atau > 38,3°C, WBC < 5.000
sel/mm3 atau > 10.000 sel/mm3, atau sputum menjadi purulent (2,3).
Faktor risiko
Tidak hanya kelompok pasien tertentu berisiko lebih besar untuk HAP,
namun hos tertentu, misal faktor lingkungan atau farmakologis
meningkatkan kecenderungan pasien terkena pneumonia. Identifikasi
faktor-faktor risiko memungkinkan membuat strategi untuk pencegahan
HAP dan keputusan terapi (4).
Faktor hos
Teks
3
Kolonisasi pathogen mikroorganisme saluran pernapasan atas dan
saluran pencernaan merupakan faktor utama predisposisi pasien untuk HAP.
Kolonisasi orofaringeal cepat meningkat setelah rawat inap, dan sangat
cepat meningkatnya pada pasien yang di rawat di ICU. Untuk pasien di ICU,
risiko terjadinya HAP pada 5 hari pertama masih rendah, kemudian
mengalami percepatan sampai mencapai puncaknya 5% perhari, dan
kemudian menurun setelah 14 hari dengan risiko 1% perhari. Faktor untuk
meningkatkan kolonisasi saluran napas termasuk terapi antibiotik
sebelumnya dandiberikan terus menerus, intubasi endotrakeal, merokok,
gizi buruk, bedah umum, plak gigi dan terapi yang meningkatkan pH
lambung (4,5).
Factor risiko hos yang lain adalah: usia, komorbiditas (penyakit
ginjal dan penyakit system saraf pusat) dan peralatan peralatan invasive
(kateter vena sentral, kateter urin, slang naso-enteral) (5).
Berkaitan dengan faktor risiko, sejumlah variable yang mungkin
berpengaruh terhadap risiko terjadinya HAP yang lebih berat, yaitu
terutama munculnya pathogen multi-resisten. Faktor terkuat adalah terapi
antimicrobial 90 hari sebelumnya (4), rawat inap lebih dari 5 hari, tingginya
prevalensi resistensi antibiotic di komunitas atau unit rumah sakit khusus,
imunosupresan, atau faktor risiko lain untuk infeksi yang resisten, seperti
rawat inap akhir-akhir ini, bertempat tinggal di fasilitas kesehatan, terapi
intravena di rumah, perawatan luka di rumah, atau dialysis kronik, sehingga
HAP berhubungan dengan adanya resisten obat multiple.
TEKS
4
Faktor-faktor berikut secara signifikan terkait dengan prognosis
pasien dengan pneumonia nosokomial: umur, skor kondisi gaya hidup
premorbid (LSS), diagnosis non-bedah, penggunaan antasida atau histamin
tipe 2 (H2) blocker, penggunaan antibiotik sebelumnya, terapi antibiotika
yang tidak sesuai, adanya mikro-organisme MDR, indeks simple acute
physiology score (SAPS), adanya gagal napas, infiltrat bilateral pada foto
toraks, adanya syok septik dan gagal organ multipel (MOF) (6).
Faktor lingkungan
Lamanya nasogastric tube terpasang terbukti telah meningkatkan
refluks gastroesofageal sekresi oral dan menjadi faktor risiko independen
HAP. Slang yang ada pada mesin ventilasi mekanik membentuk kondensat
sebagai akibat dari perbedaan temperatur antara gas terinspirasi dan udara
sekeliling. Kondensat ini mudah terkontaminasi oleh sekresi pasien yang
mengandung mikroorganisme. Saluran air rumah sakit, perpindahan pasien
ICU untuk tindakan diagnostik atau menjalani prosedur pembedahan keluar
dari ruang ICU juga merupakan faktor risiko terjadinya HAP (4).
Faktor farmakologi
Factor lingkungan berkaitan dengan penggunaan antibiotik, para
peneliti mendapatkan hasil yang berbeda untuk risiko terjadinya HAP.
Penggunaan antibiotik profilaksis di ICU mendorong risiko superinfeksi oleh
bakteri multiresisten tetapi menunda timbulnya infeksi nosokomial.
Keadaan pH lambung non-asidik menyebabkan kolonisasi bakteri lambung
Teks
5
akibatnya kontaminasi pada slang pasien ventilasi mekanik. Obat yang
berdampak pada pH lambung dapat berdampak pada risiko VAP (HAP). Jika
ada indikasi profilaksis stres ulkus, sebelum diberikan supresi-asam dan
sukralfat harus ditimbang risiko dan manfaatnya. Pemberian agen paralitik
untuk pasien dengan ventilasi mekanik juga telah dicatat sebagai faktor
risiko untuk VAP (HAP) (4).
Pathogenesis HAP
Gambar 1. Patogenesis HAP (4).
Etiologi
TEKS
6
Sejumlah besar mikroorganisme masuk dan mencapai saluran
napas dan menguasai pertahanan hos dan kemudian terjadi HAP, atau HAP
dapat terjadi jika pertahanan hos pasien terganggu atau jika mereka
terinfeksi dengan strain yang sangat virulen. Untuk menentukan terapi
antimikroba empiris optimal sebaiknya diketahui pola lokal patogen
penyebab, dengan cara identifikasi pathogen yang sensitif, spesifik dan
cepat identifikasinya kemudian dilanjutkan dengan uji sensitivitas. Terapi
terbaik berdasarkan sensitivitas obat terhadap pathogen. Sayangnya
penemuan agen penyebab pada HAP sering sulit karena bermasalah apakah
hanya sekadar kolonisasi trakheobronkhial atau sebagai pneumonia
nosokomial yang sebenarnya. Tantangan lainnya yang menghambat terapi
antimikroba yang optimal adalah fakta bahwa tidak adanya pertumbuhan
kuman atau alternatifnya, tumbuh beberapa kuman (4). Berikut ini disajikan
jenis-jenis kuman penyebab HAP dan VAP. Terlihat jelas bahwa kuman
penyebab HAP didominasi basil Gram negative, kemudian disusul kokus
Gram positif (Tabel 1).
TABLE 1. Microbiological causes of hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia (level A-2) (4).
Teks
7
Frequency of isolation
Microbiological diagnosis (% of patients) Gram-negative bacilli 35–80
Escherichia coli Klebsiella species Enterobacter species Proteus species Serratia marcescens Pseudomonas aeruginosa Acinetobacter species Stenotrophomonas maltophilia
Gram-positive cocci 9–46 Streptococcus pneumonia Streptococcus species Staphylococcus aureus (MSSA and MRSA)
Polymicrobial 9–80 Anaerobes 0–54 Blood culture positive 0–40 No growth 2–54
Jones RN menyebutkan kuman-kuman tersering yang diisolasi pada pasien
dengan HAP dari tahun ke tahun (tahun 1985 – 1998). Kuman
Staphylococcus aureus menempati urutan pertama kemudian disusul oleh
Pseudomonas aeruginosa (Tabel 2).
TEKS
8
Diagnosis HAP
Berbeda dengan diagnosis CAP, diagnosis HAP cukup sulit. Ada
banyak teknik diagnostik untuk memastikan kecurigaan HAP. Meskipun
demikian belum ada konsensus yang memadai sebagai strategi diagnostik.
Kecurigaan klinis adalah langkah pertama untuk evaluasi pasien dengan
kemungkinan HAP. Kecurigaan terhadap HAP berdasarkan adanya infiltrat
paru baru dan bukti klinis infeksi seperti: demam, perubahan jumlah sel
darah putih, dan sekresi dahak purulen. Melakukan penilaian secara hati-
hati terhadap lekosit dan morfologi bakteri pada pengecatan Gram dapat
meningkatkan spesifisitas diagnostik. Tetapi apabila hanya mengandalkan
klinis saja sering over diagnosis (8), sebab tanda-tanda klinis tersebut
adalah nonspesifik dan dapat juga terlihat pada pasien dengan kondisi
seperti edema paru, sepsis, Acute Respiratory Syndrome (ARDS), emboli
paru dan atelectasis (9). Namun kenyataan bahwa untuk menurunkan angka
(7)
Teks
9
mortalitas harus diberikan antinbitik yang sesuai se-segera mungkin. Ada
tool klinik tambahan untuk diagnostik infeksi paru yaitu Clinical Pulmonary
Infection Score (CPIS). CPIS pertama kali didefinisikan oleh Pugin dkk.
(1991)dan menemukan bahwa CPIS mempunyai spesivisitas dan sensitivitas
tinggi (sensitivitas 100% dan spesifisitas 88%) (10). CPIS mengkombinasikan
data klinis, radiologi, fisiologi, dan mikrobiologi kedalam skor numerik yang
berkorelasi dengan adanya pneumonia. Skor CPIS di atas 6 memiliki korelasi
yang bagus untuk diagnosis pneumonia. Tetapi skor CPIS ini kurang
digunakan, karena peneliti lain menemukan bahwa CPIS menpunyai
sensitifitas 77% dan spesifisitas 42%, membuat skor ini kurang dimanfaatkan
(8). Zilberberg dan Shorr (2010) menyimpulkan bahwa CPIS perannya
terbatas baik untuk klinik maupun tool penelitian (11). Da Silva dkk. (2014)
meneliti penderita HAP (VAP) secara dengan menggunakan CPIS-modifikasi
dan mendapatkan bahwa pasien risiko-rendah bila hasil kultur negative pada
hari ketiga harus dipikirkan pemberian antibiotik jangka pendek dan pasien
risiko-tinggi bila tidak ada perbaikan skor dan memiliki potensi gagal terapi
(12). Berikut ini disajikan skor CPIS.
Table 3 Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS) criteria
Component Value
Point
Temperature °C >36.5 and <38.4
0
>38.5 and <38.9
1
TEKS
10
>39.0 and <36.0
2
Blood leukocyte (mm3) >4000 and <11000
0
<4000 or >11000 1 Tracheal secretions Few 0
Moderate 1
Large and purulent 2
(>25 PNL per LPF) Oxygenation >240 or presence of ARDS 0 (Pa02/Fi02, mm Hg) <240 and absence of ARDS 2 Chest radiograph No infiltrate 0
Patchy or diffuse infiltrate 1
Localized infiltrate 2
Progression of pulmonary No radiographic progression 0 Infiltrate Radiographic progression 2
(After CHF and ARDS excluded)
Teks
11
Culture <10000 cfu bacteria per ml BAL or no growth 0
>10000 cfu bacteria per ml BAL 1
ARDS, Acute Respiratory Distress Syndrome; BAL, Bronchoalveolar Lavage; CFU, Colony Forming Unit; CHF, Congestive Heart Failure; CPIS, Clinical Pulmonary Infection Score; Fi02, Fraction of inspired oxygen; LPF, Low Power Field; Pa02, Partial arterial oxygen; PNL, Polymorphonuclear Neutrophils. Sumber: Guler dkk. (2012).
Terapi HAP
Terapi pneumonia nosokomial terutama ditentukan oleh terapi
antibiotik dini dan tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat (misalnya,
pilihan antibiotik awal yang tidak mencakup patogen utama) mungkin
merupakan penentu terkuat hasil akhir terapi. Meskipun demikian, factor
yang berkaitan dengan hos (misal, status imun, kondisi komorbid dan
beratnya presentasi klinis), pathogen (missal, jumlah , factor virulensi), dan
juga jenis antimicrobial juga menentukan hasil akhir terapi. Ada juga hal lain
yang perlu diperhatikan yaitu pola kuman lokal dan resistensinya.
Antibiotik dengan spectrum luas merupakan pilihan terapi awal terbaik.
Terapi kombinasi aminoglikosida dan beta-laktam merupakan agen yang
sinergi dan memiliki mekanisme ganda, sehingga mencegah resistensi.
Monoterapi dengan antibiotik spektrum luas tertentu mungkin tepat,
terutama setelah patogen dan kepekaan terhadap kuman diketahui. Durasi
terapi tetap merupakan area ketidakpastian, dengan rejimen pengobatan
TEKS
12
tradisional membutuhkan waktu hingga 21 hari terapi antibiotik (4).
Meskipun demikian rata-rata terapi antibiotik adalah 14 hari. Perlu
dipertimbangkan kemungkinan patogen MDR, kemungkinan ini dapat
dipertimbangkan secara klinis berdasarkan durasi rawat inap sebelum
terjadinya pneumonia, pasien yang telah dirawat di rumah sakit setidaknya
5 hari memiliki risiko lebih besar disebabkan oleh patogen MDR, terapai
kombinasi antibiotic lebih disukai, missal sefalosporin anti-pseudomonas
atau carbapenem atau penisilin anti-pseudomonas dalam kombinasi dengan
fluorokuinolon anti-pseudomonas atau aminoglikosida. Untuk pasien
dengan onset pneumonia <5 hari, monoterapi antibiotik mungkin cukup
dengan menggunakan sefalosporin, kuinolon, atau penisilin spectrum luas.
Untuk pasien dengan pneumonia late-onset, kemungkinan patogen MDR
lebih besar dan karena itu terapi kombinasi antibiotik lebih dianjurkan (13).
Ternyata HAP disebabkan oleh berbagai kuman kokus Gram-positif
dan basil Gram-negatif, sangat penting untuk mengetahui aktivitas agen
antimicrobial yang sering digunakan melawan pathogen ini. Cephalosporin
generasi ke 3 (misal cefotaxime, ceftriaxone dan ceftazidime), penicillin
spectrum-luas (misal piperacillin/tazobactam), fluoroquinolone (misal
ciprofloxacin dan levofloxacin) aminoglycosides (misal gentamicin) dan
carbapenem (misal imipenem dan meropenem) spectrum aktivitasnya
sangat luas untuk melawan pathogen aerobic tersering sebagai penyebab
HAP. Agen lain yaitu macrolide (misal erythromycin dan azithromycin) dan
lincosamide (clindamycin), linezolid dan vancomycin memiliki aktivitas yang
Teks
13
baik sekali melawan kokus Gram-positif, dan aktivitasnya kecil terhadap
basil Gram-negatif. Antinkrobial yang paling aktif untuk melawan kuman
anaerob adalah metronidazole, clindamycin, carbapenem dan penicillin
spectrum-luas dikombinasi dengan inhibitor beta-lactamase. Gatifloxacin
dan moxifloxacin aktivitasnya sangat bagus membunuh Bacteroides fragilis
tetapi efek samping dari gatifloxacin yang menyebabkan agen ini tidak bisa
digunakan (4).
Untuk pasien dengan infeksi MRSA, baik linezolid atau vankomisin
dianggap tepat. Sementara linezolid memiliki penetrasi jaringan pernafasan
yang lebih baik dan telah dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada
pneumonia MRSA, keunggulannya untuk meningkatkan hasil klinis masih
harus dibuktikan bila dibandingkan dengan vankomisin untuk pneumonia
MRSA. Dengan terapi yang efektif, perbaikan terlihat jelas dalam waktu 42
sampai 72 jam. Untuk pasien yang tidak respon dalam waktu tersebut, harus
dievaluasi kemungkinan organisme lain, atau ada diagnosis lain, atau apakah
ada faktor penyulit lain (abses paru atau empiema, obat demam, dll), yang
telah mempengaruhi respon terhadap terapi (4).
Berikut dijelaskan dengan lebih ringkas yang harus dilakukan dalam
menentukan pemberian antibitika pada pneumonia HAP: (13)
1. Jangan menunda pemberian antibiotik hanya untuk tujuan melakukan tes diagnostik.
2. Pilihan antibiotika empirik harus berdasarkan risiko pasien untuk mendapat patogen MDR.
TEKS
14
3. Kombinasi terapi lebih dianjurkan sebagai rejimen awal pada pasien berisiko terinfeksi dengan patogen MDR untuk menghindari antibiotik yang tidak pantas.
4. Antibiograms lokal harus diketahui ketika akan memilih terapi empirik. 5. Jika pasien mendapat antibiotik sebelumnya, pilihlah antibiotik baru
dari kelas yang berbeda dari yang sebelumnya untuk menghindari memilih antibiotik yang telah menjadi resisten.
6. Bila rejimen antibiotik awal tepat dan memadai, lakukan usaha untuk memperpendek durasi terapi antibiotik. Jika pasien mendapat terapi antibiotik empiris yang tepat dan memadai, durasi pengobatan antibiotik dapat dipersingkat dari biasanya 14-21 hari menjadi 7 hari (jika organisme etiologi bukan Pseudomonas aeruginosa).
7. Hasil kultur negatif palsu terjadi pada pasien yang telah mendapat antibiotik 24-72 jam sebelum pengambilan spesimen respirasi. Pada pasien ini, menggunakan ambang batas BAL 10 kali lipat lebih rendah dari biasanya dapat membantu untuk menghindari hasil negatif palsu.
8. Jika probabilitas pretest klinis VAP tinggi, antibiotik harus dimulai segera terlepas dari apakah hasil kultur positif.
9. Organisme tertentu, seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, dan spesies Enterobacter menghasilkan extended-spectrum beta-laktamase (ESBL), dan tes skrining untuk produksi ESBL harus dilakukan. Carbapenems umumnya efektif terhadap organisme memproduksi-ESBL ini.
10. HAP (VAP) pada trauma multi organ yang terjadi < 4 hari berisiko rendah mendapat
pathogen MRSA, MRSA dipikirkan pada trauma multi organ >4 hari
(13).
Pencegahan
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan pada pasien dengan HAP
adalah: pasien dengan intubasi dan ventilasi mekanik, risiko HAP pada
pasien ini 3 – 18 kali lipat dan sebisa mungkin harus dihindari
Teks
15
pemakaiannya, untuk itu pakailah ventilasi non-invasif (NIV) terutama pada
pasien PPOK eksaserbasi, gagal napas hipoksia akut, penderita dengan
imunosupresi dan gagal napas. Posisi pasien juga dikaitkan dengan
peningkatan insiden HAP, posisi terlentang meningkatkat insiden HAP
sebaiknya pasien posisi setengah duduk. Penggunaan antibiotika
sebelumnya meningkatkan kemungkinan mendapat HAP oleh pathogen
resisten (MDR) (13).
Karena pengobatan HAP sulit dan menyebabkan kematian tinggi,
upaya penting harus diarahkan kepada pencegahan pneumonia nosokomial.
Ada sejumlah faktor yang telah terbukti membantu dalam pencegahan
pneumonia nosokomial. Mencuci tangan mungkin salah satu metode yang
paling efektif, namun itu sangat kurang dimanfaatkan oleh banyak pihak.
Faktor-faktor lain yang dapat dimodifikasi termasuk penggunaan slang
nasogastrik (dibandingkan dengan slang orogastric) dan slang endotrakeal
(dibandingkan dengan penggunaan non-invasif ventilasi tekanan positif),
dekontaminasi selektif pada saluran pencernaan atau dekontaminasi saluran
orofaringeal, rotasi antibiotik empiris strategi, aspirasi dan penghapusan
sekresi subglottic sekitar slang endotrakeal, dan posisi semi-berbaring.
strategi akhir - hanya mengangkat kepala tempat tidur dengan lebih dari 30
derajat - telah terbukti mengurangi risiko HAP sampai dengan 3 kali.
Aspirasi subklinis adalah peristiwa yang umum pada individu tidak dirawat
dan sehat. Aspirasi isi lambung ke dalam cabang tracheobronchial jauh lebih
sering dengan posisi terlentang dibandingkan dengan posisi semi-berbaring.
TEKS
16
Jadi, posisi semi-berbaring dan mencuci tangan adalah strategi sederhana
untuk pencegahan HAP dan juga mungkin salah satu yang paling efektif (4).
Ringkasan
HAP adalah infeksi parenkhim paru sering terjadinya dan khususnya
sering dan mematikan pada pasien ICU dengan ventilasi mekanik. Angka
kematian kasar sering melebihi 50%. Patogen penyebab HAP terbanyak
adalah basil Gram negative dan kokus Gram positif. Penegakan diagnosis
HAP masih belum ada consensus yang pasti, tetapi diagnosis berdasarkan
klinis dan penunjang. Terapi utama HAP adalah pemberian antibitika sedini
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Ada sejumlah faktor yang dapat
dimodifikasi yang dapat mencegah perkembangan HAP, seperti posisi
semirecumbent (terutama untuk pasien yang enteral makan), cuci tangan,
dan minimalisasi perangkat oropharyngeal invasif seperti tabung
endotrakeal dan tabung nasogastrik. Untuk pasien dengan dugaan HAP,
spesimen budaya harus diperoleh segera (apakah melalui tabung
endotrakeal, mini-BAL, atau dengan kuantitatif BAL) dan sesuai antibiotik
spektrum luas harus dimulai tanpa penundaan.
Kepustakaan
1. ATS/IDSA. 2005. Guidelines for the Management of Adults with
Hospital-acquired,
Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia; Am J
Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388–416).
Teks
17
2. Niederman MS, Craven DE, Bonten MJ, et al. 2005. Guidelines for the
management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated,
and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care
Med;171:388–416.
3. Niederman MS. 2010. Hospital-Acquired Pneumonia, Health Care–
Associated Pneumonia, Ventilator-Associated Pneumonia, and
Ventilator-Associated Tracheobronchitis: Definitions and Challenges in
Trial Design. Clinical Infectious Diseases; 51(S1):S12–S17.
4. Rotstein C., Evans G., Abraham Born A., Grossman R., Light R. B.,
Magder S., McTaggart B., Karl Weiss K. and Zhanel G. G. 2008. Clinical
practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and ventilator-
associated pneumonia in adults. Can J Infect Dis Med
Microbiol;19(1):19-53.
5. Fortaleza CMCB., Abati PAM., Batista MR and Dias A. 2009. Risk Factors
for Hospital-Acquired Pneumonia in Nonventilated Adults. The
Brazillian journal of Infectious Diseases; 13(4):284-288.
6. TAKANO Y., SAKAMOTO O., SUGA M., MURANAKA H. M. AND ANDO
M. 2002. Prognostic factors of nosocomial pneumonia in generalwards:
a prospectivemultivariate analysis in Japan. Respiratory Medicine
(96):18-23.
7. Jones RN. 2010. Microbial Etiologies of Hospital-Acquired Bacterial
Pneumonia and Ventilator-Associated Bacterial Pneumonia. Clinical
Infectious Diseases 2010; 51(S1):S81–S87.
8. Guler E., Kahveci F., Akalin H., Sinirtas M., Bayram S., and Ozcan B.
2012. Evaluation of a clinical pulmonary infection score in the diagnosis
of ventilator-associated pneumonia. Signa Vitae; 7(1): 32-37.
9. Harde Y., Manimala Rao S., Sahoo J., Bharuka A., Swetha B and Saritha
P. 2013. Detection of ventilator associated pneumonia, using clinical
pulmonary infection score (CPIS) in critically ill neurological patients;
TEKS
18
Journal of anesthesiology & clinical science: 1-4.
http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2049-9752-2-20.pdf
10. Pugin J, Auckenthaler R, Milli N, Janssens JP, Lew PD, Suter PM.
Diagnosis of ventilator-associated pneumonia by bacteriologic analysis
of bronchoscopic and nonbronchoscopic “blind” bronchoalveolar
lavage fluid. Am Rev Respir Dis 1991;143:1121-9.(abstrak)
11. Zilberberg MD and Shorr AF. 2010. Ventilator-associated pneum onia:
the clinical pulmonary infection score as a surrogate for diagnostics
and outcome.CID; 51(S1):S131-S135.
12. da Silva PS., de Aguair VE and Fosenca MC. 2014. How the modified
clinical pulmonary infection score can identify treatment failure and
avoid overusing antibiotics in ventilator-associated pneumonia. Acta
paeddiatr; 103(9):e388-92.
13. Amanullah S and Mosenifar Z. 2015. Ventilator-Associated
Pneumonia Overview of Nosocomial Pneumonias. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/304836-overview#a14