Download - ESC Guidelines for HF 2012
PEDOMAN ESC
Pedoman ESC untuk diagnosis dan penatalaksanaan gagal jantung akut dan kronis 2012
The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012 of the
European Society of Cardiology. Developed in collaboration with the Heart Failure Association (HFA)
of the ESC oleh John J.V. McMurray, Stamatis Adamopoulos, Stefan D. Anker, et al.
Preambule
Pedoman ini merangkum dan mengevaluasi semua bukti yang ada pada saat penulisan, tentang
masalah tertentu dengan tujuan untuk membantu dokter dalam memilih strategi penatalaksanaan
yang paling baik untuk pasien secara individual, dengan kondisi tertentu, dengan
mempertimbangkan dampak outcome, serta rasio resiko-manfaat dari metode diagnostik atau
terapi tertentu. Pedoman ini bukan pengganti, tetapi merupakan komplemen dari buku teks dan
mencakup semua topic kurikulum inti the European Society of Cardiology (ESC). Pedoman dan
rekomendasi ini akan membantu dokter untuk mengambil keputusan dalam praktek sehari-hari.
ESC dan berbagai perhimpunan dan organisasi lainnya telah menerbitkan banyak pedoman. Karena
dampaknya terhadap praktek sehari-hari, kriteria kualitas untuk mengembangkan pedoman
disusun agar semua langkah dapat dilihat oleh pengguna. Rekomendasi untuk menyusun dan
menerbitkan pedoman ESC dapat ditemukan di website ESC
(http://www.escardio.org/guidelinessurveys/escguidelines/about/Pages/rules-writing.aspx).
Pedoman ESC melambangkan posisi resmi ESC dalam topic tertentu dan di update secara rutin.
Anggota Task Force ini dipilih oleh ESC untuk mewakili para ahli yang terlibat dalam perawatan
medis pasien dengan patologi ini. Ahli-ahlit terpilih dalam bidangnya menyusun sebuah tinjauan
komprehensif dari berbagai tulisan tentang diagnosis, manajemen, dan/atau pencegahan kondisi
tertentu berdasarkan kebijakan ESC Committee for Practice Guidelines (CPG). Prosedur-prosedur
diagnostik dan terapi dievaluasi dengan kritis, juga termasuk penilaian rasio resiko-manfaat. Selain
itu, dilakukan prakiraan keluaran kesehatan untuk populasi yang lebih besar, jika datanya tersedia.
Tingkat bukti dan kekuatan rekomendasi untuk pilihan terapi tertentu dipertimbangkan dan
diklasifikasikan berdasarkan skala yang telah ditentukan sebelumnya, seperti yang disebutkan
dalam tabel A dan B. Para ahli yang berada dalam panel penulis dan peninjau mengisi formulir
pernyataan dari semua hubugan yang merupakan atau dapat menjadi sumber dari conflicts of
interest. Formulir ini dikumpulkan dalam satu file dan dapat dilihat dalam website ESC
(http://www.escardio.org/guidelines). Perubahan apapun dari pernyataan tersebut yang timbul
selama masa penulisan harus diberitahukan kepada ESC dan di update. Task Force mendapatkan
dukungan finansial dari ESC tanpa adanya keterlibatan dari industri kesehatan apapun.
ESC CPG mengawasi dan mengkoordinir persiapan pedoman baru yang dihasilkan oleh Task Force,
kelompok ahli, atau panel consensus. Komite ini juga bertanggungjawab atas proses persetujuan
pedoman ini. Pedoman ESC juga melewati proses peninjauan yang ekstensif oleh CPG dan para ahli
eksternal. Setelah revisi yang sesuai, pedoman tersebut disetujui oleh semua ahli yang terlibat
dalam Task Force. Dokumen terakhirnya disetujui oleh CPG untuk dipublikasikan dalam the
European Heart Journal.
Table A Kelas-kelas rekomendasi
Proses pengembangan pedoman ESC tidak hanya mencakup integrasi dari penelitian terbaru, tetapi
juga pembuatan alat-alat pendidikan dan program-program implementasi untuk rekomendasinya.
Untuk menerapkan pedomannya, dibuatlah versi buku saku pedoman, slide-slide ringkasan, booklet
dengan pesan-pesan inti, dan versi elektronik untuk aplikasi digital (smartphones, dsb). Ini
merupakan versi singkat, tetapi jika diperlukan, sebaiknya pembaca merujuk kepada versi penuh
yang dapat diunduh secara gratis di website ESC. Semua perhimpunan nasional ESC didukung untuk
merangkat, menerjemahkan, dan menerapkan pedoman ESC. Program-program implementasi
dibutuhkan, karena terbukti bahwa penggunaan rekomendasi yang terdapat dalam pedoman ini
dapat memberikan pengaruhi positif terhadap keluaran penyakit. Dibutuhkan survey dan
pendataan untuk memverifikasi bahwa praktek sehari-hari sesuai dengan rekomendasi pedoman,
yang akan melengkapi rantai antara riset klinis, penulisan pedoman, dan penerapannya dalam
praktek klinis.
Namun, pedoman ini tidak melangkahi tanggungjawab professional untuk mengambil keputusan
yang sesuai berdasarkan kondisi individu pasien, dalam konsultasi dengan pasien tersebut, dan, jika
diperlukan, wali atau perawat pasien. Dokter juga bertanggungjawab untuk memverifikasi
peraturan yang sesuai untuk obat dan peralatan pada saat terapi disusun.
Pendahuluan
Tujuan dari dokumen ini adalah untuk membberikan pedoman praktis dan berdasarkan bukti ilmiah
untuk diagnosis dan penatalaksanaan gagak jantung (HF). Perubahan-perubahan utama dari
pedoman 2008 berhubungan dengan:1
(i) Perluasan indikasi penggunaan antagonis reseptor mineralokortikoid (aldosteron) (MRAs);
(ii) Indikasi baru untuk inhibitor nodus sinus, ivabradine;
(iii) Perluasan indikasi dari penggunaan cardiac resynchronization therapy (CRT);
(iv) Informasi baru tentang peran revaskulerisasi coroner dalam HF;
(v) Pengakuan bahwa alat-alat bantu ventrikuler semakin luas digunakan; dan
(vi) Munculnya berbagai interventi katup transkateter.
Selain itu, juga terdapat perubahan struktur dan format dari pedoman. Rekomendasi terapi
sekarang menyatakan bahwa efek terapi didukung oleh kelas dan tingkat rekomendasi dalam
format tabel; dalam kasus gagal jantung kronik karena disfungsi sistolik ventrikel kiri,
rekomendasinya menitikberatkan pada mortalitas dan morbiditas. Ringkasan terperinci dari bukti-
bukti kunci yang mendukung terapi yang direkomendasikan telah tersedia. Panduan praktis disusun
untuk berbagai obat-obatan penting yang dapat memodifikasi penyakit dan diuretik. Jika
memungkinkan, pedoman relevan lainnya, pernyataan consensus, dan makalah-makalah telah
dikutip untuk menghindari penjelasan yang berkepanjangan. Semua tabel sebaiknya dibaca dengan
teks penyertanya dan tidak hanya tabelnya saja yang dibaca.
3. Definisi dan diagnosis
3.1 Definisi gagal jantung
Gagal jantung didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi jantung yang menyebabkan
kegaglaan jantung untuk mengirimkan oksigen dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
metabolisme jaringan, walaupun dengan tekanan pengisian jantung yang normal (atau dengan
tekanan pengisian yang meningkat).1 Untuk pedoman ini, HF didefinisikan secara klinis sebagai
sindrom dimana pasien memiliki gejala khas (contoh, kesulitan bernafas, pembengkakan
pergelangan kaki, dan lelah) dan tanda (seperti peningkatan tekanan vena jugularis, pulmonary
crackles, dan perubahan posisi denyut apeks) yang disebabkan oleh abnormalitas struktur atau
fungsi jantung. Diagnosis HF mungkin sulit didapat (lihat bagian 3.6). sebagai nbesar gejala HF tidak
spesifik dan, oleh karena itu, memiliki nilai diagnostik yang rendah.2-6
Sebagian besar tanda-tanda gagal jantung diakibatkan oleh retensi natrium dan air, dan akan
menghilang dengan cepat dengan pemberian terapi diuretik, sehingga mungkin tidak ada pada
pasien yang sudah diberikan terapi diuretik. Oleh karena itu, pembuktian dari penyebab dasar
jantung merupakan inti dari diagnosis HF (lihat bagian 3.6). ini biasanya merupakan penyakit
miokardium yang menyebabkan disfungsi ventrikuler sistolik. Namun, abnormalitas fungsi diastolik
ventrikel atau abnormalitas katup, pericardium, endokardium, ritme jantung, dan konduksi jantung
juga dapat menyebabkan gagal jantung (dan bisa terdapat lebih dari satu abnormalitas) (lihat
bagian 3.5). Identifikasi dari masalah jantung yang mendasari juga penting untuk terapi, karena
patologi tertentu menentukan terapi yang digunakan (seperti pembedahan katup jantung untuk
penyakit katup, terapi farmakologis untuk disfungsi sistolik ventrikel kiri, dsb).
3.2 Terminologi yang berhubungan dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
Terminologi utama yang digunakan untuk menggambakan gagal jantung bersifat historis dan
berdasarkan pengukuran fraksi ejeksi (FE) ventrikel kiri. Secara matematis, FE adalah stroke volume
(yang merupakan volume akhir diastol dikurangi volume akhir sistol) yang dibagi dengan volume
akhir diastol. Pada pasien-pasien dengan penurunan kontraksi dan pengosongan ventrikel kiri
(yaitu disfungsi sistolik), stroke volume dipertahankan dengan meningkatkan volume akhir diastole
(karena ventrikel kiri membesar/berdilatasi), yang berarti, jantung mengeluarkan bagian yang lebih
kecil dari volume yang lebih besar. Lebih berat disfungsi sistolik yang terjadi, lebih kecil FE dari
normal, dan secara umum, lebih besar volume akhir diastol dan volume akhir sistol.
FE penting dalam HF, bukan hanya karena kemampuan prognotiknya (lebih rendah nilai FE, lebih
buruk harapan hidup pasien), tetapi karena sebagian besar uji klinis memilih pasien berdasarkan
nilai FE-nya (biasanya diukur dengan menggunakan teknik radionuklida atau echokardiografi). Uji
klinis besar pada pasien HF dan penurunan FE (HF-REF), atau ‘HF sistolik’, biasanya
mengikutsertakan pasien dengan FE ≤35%, dan hanya pasien-pasien tersebut yang memiliki bukti
ilmiah terapi yang efektif. Uji klinis lain yang lebih baru memasukkan pasien dengan HF dan FE ≤40-
45%, serta tanpa abnormalitas jantung lainnya (seperti penyakit katup atau perkardium). Beberapa
pasien ini tidak memiliki FE yang normal (50%), tetapi juga tidak memiliki penurunan fungsi sistolik
yang besar. Oleh karena itu, dibuatlah istilah HF dengan ‘preserved’ EF (HF-PEF). Pasien dengan FE
antara 35-50% termasuk didalam area ‘abu-abu’ dan kemungkinan besar memiliki disfungsi sistolik
ringan.
Membuat diagnosis HF-PEF lebih sulit daripada HF-REF, karena merupakan diagnosis eksklusi,
dimana semua penyebab non-cardiac (seperti anemia atau penyakit paru kronik) harus disingkirkan
terlebih dahulu (tabel 1).7,8 Biasanya pasien-pasien ini belum mengalami pembesaran jantung dan
seringkali memiliki penebalan dinding ventrikel kiri (LV) dan pembesaran ukuran atrium kiri (LA).
Sebagian besar pasien memiliki tnada-tanda terjadinya disfungsi diastolik (lihat bagian 4.1.2), yang
umumnya diterima sebagai penyebab paling mungkin dari gagal jantung pada pasien-pasien ini (dan
karena itu disebut sebagai ‘diastolik HF’).7,8
Perlu dicatat bahwa nilai FE dan cakupan normal tergantung pada teknik pencitraan yang dipakai,
metode analisis, dan operator. Cara-cara lain untuk mengukur fungsi sistolik yang lebih sensitive
mungkin akan memperlihatkan abnormalitas pada pasien dengan FE yang normal atau terjaga (lihat
bagian 4.1.1), oleh karena itu istilah ‘preserved’ atau normal FE lebih sering digunakan daripada
fungsi sistolik yang ‘preserved’ atau menurun.9,10
3.3 Terminologi yang berhubungan dengan perjalanan waktu gagal jantung
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan tipe-tipe gagal jantung yang berbeda mungkin akan
membingungkan. Seperti yang dijelaskan diatas, dalam pedoman ini, istilah HF digunakan untuk
menggambarkan sindrom simptomatik, yang diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi fungsional New
York Heart Association (NYHA) (lihat bagian 3.4 dan tabel 2), walaupun pasien dapat menjadi
asimptomatik setelah diberikan terapi. Dalam pedoman ini, pasien yang belum pernah
menunjukkan tanda-tanda atau gejala khas HF disebut memiliki disfungsi sistolik LV asimptomatik
(atau abnormalitas jantung yang mendasarinya). Pasien yang menderita HF selama beberapa watu
seringkali disebut memiliki gagal jantung kronis (CHF). Pasien yang memiliki gejala dan tanda HF
yang sudah menjalani terapi selama paling tidak satu bulan dan tidak mengalami perubahan
kondisi, dianggap sebagai pasien ‘stabil’. Jika pasien dengan CHF stabil mengalami perburukan,
keadaan tersebut disebut sebagai ‘dekompensata’, dan ini dapat terjadi secara mendadak (‘akut’),
yang biasanya akan menyebabkan rawat inap di rumah sakit, sebuah kejadian yang cukup
bermakna dalam menentukan prognosis. HF yang baru (‘de novo’) dapat terjadi secara akut,
misalkan sebagai akibat dari infark miokard akut, atau secara subakut (perlahan), misalkan pada
pasien dengan disfungsi jantung asimptomatik, seringkali dalam periode yang tidak ditentukan, dan
dapat persisten atau menyembuh (pasien menjadi ‘compensated’). Walaupun tanda dan gejala
dapat menghilang dalam pasien tersebut, disfungsi jantung yang mendasarinya kemungkinan tidak
sembuh, dan pasien tersebut tetap akan beresiko merjadi ‘dekompensata’ kembali. Tetapi kadang
kada, pasien menderita HF karena masalah yang sembuh secara total (seperti mioperikarditis viral
akut). Beberapa pasien, terutama dengan kardiomiomati dilatasi idiopatik, juga dapat mengalami
perbaikan fungsi sistolik LV yang bermakna atau total dengan digunakannya terapi yang
memodifikasi penyakit terkini [termasuk penggunaan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACEI), beta-blocker, dan agonis reseptor mineralokortikoid (MRA)].
Gagal jantung kongestif adalah sebuah istilah yang kadang masih digunakan, terutama di AS, dan
data menggambarkan HF akut atau kronis dengan tanda-tanda terjadinya kongesti (retensi garam
natrium dan air). Kongesti, dan bukan gejala HF lainnya (seperti lelah), dapat menghilang dengan
terapi diuretik. Sebagian besar atau seluruh istilah-istilah ini dapat diterapkan secara akurat pada
pasien yang sama dalam waktu yang berbeda, tergantung derajat penyakitnya.
3.4 Terminologi yang berhubungan dengan derajat beratnya gejala gagal jantung
Klasifikasi fungsional NYHA (Table 2) telah digunakan untuk menyeleksi pasien dalam hampir semua
uji klinis acak untuk terapi HF, oleh karena itu, untuk menggambarkan paisen mana saja yang akan
mendapatkan manfaat dari terapi yang efektif. Pasien-pasien dengan kelas I NYHA tidak mengalami
gejala apapun yang berhubungan dengan penyakit jantung; pasien dengan kelas II, III, dan IV NYHA
masing-masing memiliki gejala yang ringan, sedang, dan berat.
Namun, perlu dicatat bahwa derajat beratnya gejala tidak berhubungan erat dengan fungsi
ventrikel dan walaupun terdapat hubungan yang nyata antara derajat gejala dengan harapan hidup,
pasien dengan gejala yang ringan mungkin masih memiliki resiko yang relatif tinggi mengalami
rawat inap dan kematian.11-13 Gejalanya juga dapat berubah dengan cepat; contohnya, pasien
pasien stabil dengan gejala ringan dapat tiba-tiba menjadi susah nafas saat istirahat pada onset
aritmia dan pasien dengan kondisi tidak bagus akut dengan edema pulmoner dan kelas IV NYHA
dapat membaik dengan cepat saat diberikan diuretik. Perburukan gejala menandakan terjadinya
peningkatan resiko rawat inap dan kematian, dan merupakan tanda untuk mencari pertolongan
medis yang segera. Tentu saja perbaikan gejala (sebaiknya hingga asimptomatik) merupakan salah
satu target utama terapi HF (target lainnya adalah menurunkan morbiditas, termasuk angka rawat
inap, dan mortalitas). Klasifikasi Killip dapat digunakan untuk menjelaskan derajat beratnya kondisi
pasien pada kondisi akut setelah infark miokard.14
Tabel 1 Diagnosis gagal jantung
Diagnosis HF-REF memiliki tiga syarat utama, yaitu:
1. Gejala-gejala tipikal HF
2. Tanda-tanda tipikal HF
3. Penurunan FEVK
Diagnosis HF-PEF memiliki empat syarat utama, yaitu:
1. Gejala-gejala tipikal HF
2. Tanda-tanda tipikal HF
3. FEVK normal atau menurun sedikit dan LV tidak membesar (dilatasi)
4. Penyakit struktur jantung yang relevan (hipertrofi LV/pembesaran LA), dan/atau disfnugsi
diastolik (lihat bagian 4.1.2)
Tanda-tanda yang mungkin tidak terlihat pada stadium awal HF (terutama pada HF-PEF) dan pada
pasien-pasien yang diberikan diuretik (lihat bagian 3.6).
3.5 Epidemiologi, etiologi, patofisiologi, dan perkembangan penyakit gagal jantung
Kurang lebih 1–2% orang dewasa di Negara maju menderita HF, dengan prevalensi yang meningkat
hingga ≥10% pada usia ≥ 70 tahun.15 Gagal jantung disebabkan oleh banyak hal dan penyebab
tersebut berbeda-beda pada bagian bumi yang berbeda (Web Table 3). Setidaknya setengah pasien
dengan HF memiliki FE yang rendah (HF-REF). HF-REF ada tipe HF yang paling banyak diketahui
patofisiologi dan terapinya, dan ini merupakan fokus dari berbagai pedoman yang ada. Penyakit
arteri coroner (CAD) merupakan penyebab dari 2/3 kasus HF sistolik, walaupun hipertensi dan
diabetes juga kemungkinan merupakan factor penyerta dalam banyak kasus. Ada banyak penyebab
lainnya adari HF sistolik (Web Table 3), diantaranya adalah riwayat infeksi virus (disadari ataupun
tidak), penyalahgunaan alkohol, keoterapi (misalkan dengan doxorubicin atau trastuzumab), dan
kardiomiopati dilatasi idiopatik (walaupun penyebabnya masih belum diketahui pasti, dalam
beberapa kasus, kemungkinan kelainan genetic dapat menjadi factor predisposisinya).16
HF-PEF tampaknya memiliki profil epidemiologis dan etiologi yang berbeda dengan HF-REF.17,18
Pasien dengan HF-PEF berusia lebih tua, lebih banyak wanita dan lebih obese dariapda pasien HF-
REF. Penderita HF-PEF juga lebih jarang menderita penyakit jantung coroner dan lebih mungkin
menderita hipertensi dan fibrilasi atrium (AF). Pasien HF-PEF memiliki prognosa yang lebih baik
daripada pasien dengan HF-REF (lihat dibawah).19
Pada pasien dengan disfungsi sistolik LV, perubahan maladaptive yang terjadi pada miosit yang
tersisa dan matriks ekstraseluler setelah cedera miokard (seperti pada infark miokard) akan
menyebabkan remodeling patologis ventrikel dengan dilatasi dan kemampuan berkontraksi yang
terganggu, yang dapat diukur, antara lain dengan menggunakan FE.11,20 Karakteristik dari disfungsi
sistolik yang tidak diobati adalah perburukan progressif dari perubahan-perubahan ini seiring
dengan berjalannya waktu, dengan pembesaran LV yang semakin buruk dan penurunan FE yang
semakin buruk, walaupun pada awalnya pasien asimptomatik. Ada dua mekanisme yang
diperkirakan menyebabkan progresi ini, yang pertama adalah terjadinya peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan kematian miosit lebih banyak (seperti infark mriokard rekuren). Yang kedua adalah
respons sistemik yang disebabkan oleh penurunan fungsi sistolik, terutama aktivasi neurohormonal.
Dua sistem neurohormonal penting yang teraktivasi pada HF adalah sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan sistem saraf simpatis. Selain menyebabkan cedera miokard lebih lanjut, respons
sistemik ini berakibt buruk pada pembuluh darah, ginjal, otot, sumsum tulang, paru-paru, lhepar,
dan menyebabkan ‘siklus berbahaya’ yang patologis. Ini bertanggungjawab atas banyak fitur klinis
dari sindrom HF, diantaranya adalah instabilitas listrik miokard. Interupsi dari dua proses unci ini
adalah dasar dari berbagai terapi efektif gagal jantung.11,20
Secara klinis, perubahan-perubahan tersebut berhubungan dengan perkembangan gejala dan
perburukan gejala tersebut seiring dengan berjalannya waktu, yang menyebabkan penurunan
kualitas hidup, penurunan kemampuan fungsional, episode-episode dekompensasi nyata yang
berakhir pada perawatan inap di rumah sakit (yang seringkali rekuren dan memakan biaya besar),
serta kematian premature, yang biasanya disebabkan oleh kegagalan pompa atau aritmia ventrikel.
Cardiac reserve yang terbatas pada pasien-pasien seperti itu juga tergantung dari kontraksi atrium,
kontraksi ventrikel kiri yang sinkron, dan internaksi normal antara ventrikel kiri dan kanan. Apapun
yang mempengaruhi hal-hal tersebut [misalkan terjadinya AF atau abnormalitas konduksi, seperti
left bundle branch block (LBBB)] atau menambah beban hemodinamik pada jantung yang sedang
mengalami kegagalan (seperti pada anemia) dapat menyebabkan dekompensasi akut.
Sebelum era 1990an, 60-70% pasien akan meninggal dalam 5 tahun setelah diagnosis, dan angka
rawat inap di rumah sakit karena perburukan gejala sangat tinggi dan rekurensinya tinggi. Ini
menyebabkan epidemic rawat inap karena gagal jantung dibanyak Negara. 21-23 Terapi efektif telah
memperbaiki kedua keluaran ini, menyebabkan penurunan relatif tingkat rawat inap sebesar 30-
50% dalam beberapa tahun terakhir dan penurunan angka mortalitas yang kecil tetapi bermakna.21-
23
3.6 Diagnosis gagal jantung
3.6.1 Gejala dan tanda
Diagnosis HF tidak mudah, terutama pada stadium awal penyakit. Walaupun gejala yang diderita
dapat membawa pasien ke dokter, sebagian besar gejala HF (tabel 4) tidak spesifik, oleh karena itu,
sulit menjadi pembeda antara HF dan masalah lainnya. Gejala-gejala yang lebih spesifik (seperti
ortopneu dan paroxysmal nocturnal dyspnoea) tidak begitu sering ditemui, terutama pada pasien-
pasien dengan gejala yang ringan, dan oleh karena itu, tidak dikenali.2-6
Banyak tanda HF berasal dari retensi natrium dan air, oleh karena itu tidak spesifik. Edema perifer
juga memiliki penyebab lainnya, dan sangat tidak spesifik. Tanda-tanda yang disebabkan oleh
retensi natrium dan air (seperti edema perifer) akan sembuh dengan cepat dengan terapi diuretik
(maksudnya, mungkin tidak terdapat gejala pada pasien yang diberikan terapi tersebut, sehingga
penilaian pasien lebih sulit). Tanda-tanda yang lebih spesifik, seperti peningkatan tekanan vena
jugularis dan pergeseran denyut apeks (apical impulse), lebih sulit untuk dideteksi dan didiagnosa
(dokter yang berbeda mungkin akan mendapatkan temuan yang berbeda).2-6 Gejala dan tanda
mungkin akan sangat sulit untuk diidentifikasi dan diinterpretasi pada pasien-pasien obese, lansia,
dan pada pasien dengan penyakit paru kronis.24-26
Riwayat penyakit dahulu pasien juga penting. HF jarang terjadi pada pasien tanpa riwayat penyakit
lainnya yang relevan dengan HF (seperti kemungkinan penyebab kerusakan jantung), dan fitur-fitur
tertentu, terutama riwayat infark miokard, akan sangat memperbesar kemungkinan terjadi HF pada
pasien dengan gejala dan tanda yang sesuai.2-5 Poin-poin ini menekankan pentingnya butki-bukti
objektif tanda adanya abnormalitas structural atau fungsional yang diperkirakan dapat
menyebabkan gejala-gejala dan tanda-tanda yang dikeluhkan pasien dalam diagnosis HF (lihat
dibawah).
Table 2 Klasifikasi fungsional the New York Heart Association yang berdasarkan derajat keparahan
gejala dan aktivitas fisik.
Kelas I
Tidak terdapat batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan susah nafas, rasa
lelah, atau palpitasi yang tidak wajar.
Kelas II
Keterbatasan ringan aktivitas fisik. Nyaman pada saat istirahat, tetapi aktivitas fisik biasa dapat
menyebabkan kesulitan bernafas, rasa lelah, atau palpitasi yang tidak wajar.
Kelas III
Keterbatasan bermakna aktivitas fisik. Nyaman pada saat istirahat, tetapi aktivitas fisik ringan dapat
menyebabkan kesulitan bernafas, rasa lelah, atau palpitasi yang tidak wajar.
Kelas IV
Tidak mampu melaksanakan aktivitas fisik apapun dengan nyaman. Gejala dapat timbul pada saat
istiraat. Jika melakukan aktivitas fisik apapun, rasa tidak nyaman akan meningkat.
Jika diagnosis HF telah disusun, penting untuk mencari penyebabnya, terutama penyebab yang
dapat dikoreksi (Web Table 3). Gejala dan tanda penting untuk mengawasi respons pasien terhadap
terapi dan stabilitas seiring dengan berjalannya waktu. Gejala yang persisten walau telah diterapi,
biasanya menandakan perlunya terapi tambahan, dan perburukan gejala merupakan
perkembangan yang penting (membuat pasien beresiko untuk dirawat inap segera dan kematian)
dan membutuhkan pertolongan medis segera.
3.6.2 Uji diagnostik umum pada pasien-pasien dengan suspek gagal jantung.
Karena mengklasifikasi bukti-bukti untuk uji diagnostik itu sangat sulit dilakukan, semua
rekomendasi diagnostik dimasukkan ke kategori tingkat bukti C.
3.6.3 Investigasi awal yang penting: echokardiogram, elektrokardiogram, dan uji laboratorium.
Echokardiogram dan elektrokardiogram (ECG) adalah tes yang paling bermanfaat dalam pasien-
pasien suspek HF. Echokardiogram memberikan informasi segera tentang volume ruang jantung,
fungsi sistolik dan diastolik, ketebalan dinding, dan fungsi katup.7-10,27-34 Informasi ini penting untuk
menentukan terapi yang sesuai dengan kebutuhan (misalkan ACEI dan beta-blocker untuk disfungsi
sistolik atau pembedahan untuk stenosis aorta). Echokardiografi dibahas dengan lebih lanjut dalam
bagian 4. ECG menunjukkan ritme jantung dan konduksi listriknya, yaitu apakah terdapat penyakit
sinoatrial, atrioventricular (AV) block, atau konduksi intraventricular yang abnormal (lihat tabel 5).
Temuan-temuan ini juga penting untuk mengambil keputusan tentang terapi (seperti kontrol
denyut dan antikoagulan untuk AF, pacing untuk bradikardia, atau CRT jika pasien menderita LBBB)
(lihat bagian 9.2 tentang terapi). Tanda-tanda hipertrofi LV atau gelombang Q juga dapat terlihat
pada ECG (ini menandakan hilangnya jaringan miokardium yang sehat), sehingga memberikan
indikasi tentang etiologi HF. HF sangat jarang terjadi (kemungkinannya hanya 2%) pada pasien-
pasien dengan gejala akut dan dengan ECG yang seluruhnya normal.2,3,35-38 Pada pasien-pasien
dengan gejala non-akut, EKG yang normal hanya memiliki nilai prediktif positif yang rendah
(kemungkinannya sebesar 10–14%).
Informasi yang disediakan oleh kedua tes ini memungkinkan penyusunan diagnosis kerja dan
rencana penatalaksanaan awal pada sebagian besar pasien. Pemeriksaan biokimiawi dan
hematologis rutin juga penting, untuk menentukan apakah blockade renin-angiotensin-aldosteron
dapat dimulai dengan aman (fungsi ginjal dan natrium) dan untuk menyingkirkan anemia (yang
memiliki gejala yang mirip dengan HF dan dapat memperberat HF) dan karena akan memberikan
informasi penting lainnya (lihat bagian 3.6.6).
Pemeriksaan lainnya secara umum hanya dibutuhkan jika diagnosisnya masih belum jelas (misalkan
jika gambaran echokardiografisnya suboptimal atau jika terjadi kecurigaan penyebab cardiac yang
jarang terjadi atau penyebab non-cardiac) atau jika dibutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk
memeriksa masalah jantung pasien (misalkan perfusion imaging atau angiografi pada suspek CAD
atau biopsy endomiokardium pada penyakit miokardium tertentu). Pemeriksaan khusus dibahas
lebih lanjut pada bagian 4 dan 5.
3.6.4 Peptida natriuretik
Karena tanda dan gejala HF sangat tidak spesifik, banyak pasien dengan suspek HF dirujuk untuk
echokardiografi tidak ditemukan memmiliki abnormalitas jantung yang penting. Jika
echokardiografi tidak memungkinkan, pendekatan alternatif adalah untuk mengukur konsentrasi
peptida natriuretik dalam darah. Peptida natriuretik adalah sekelompok hormon yang disekresikan
dalam jumlah yang lebih besar jika jantungnya bermasalah atau beban ruang jantung manapun
meningkat (misalkan karena AF, emboli pulmoner, dan pada beberapa kondisi non-kardiovaskuler,
diantaranya gagal ginjal).39-42 Kadar peptida natriuretik juga akan meningkat dengan bertambahnya
usia, tetapi dapat menurun pada pasien obese.26 Kadar peptida natriuretik yang normal pada pasien
yang tidak diterapi biasanya menyingkirkan penyakit jantung yang berat, sehingga echokardiogram
tidak dibutuhkan (pemeriksaan untuk penyebab non-cardiac dari penyakit pasien tampaknya lebih
bermanfaat pada pasien-pasien seperti itu).39,42 Penggunaan peptida natriuretik sebagai cara untuk
menyingkirkan diagnosis HF dibahas dibagian lainnya.39-50 Berbagai penelitian telah memeriksa
konsentrasi ambang yang dapat menyingkirkan HF untuk dua jenis peptida natriuretik yang paling
umum, yaitu B-type natriuretik peptida (BNP) dan N-terminal pro B-type natriuretik peptida (NT-
proBNP).43-50 Ambang eksklusinya berbeda untuk pasien-pasien dengan gejala akut atau gejala yang
memberat (misalkan pada kunjungan ke IGD rumah sakit) dan pada pasien dengan onset gejala
yang lebih perlahan.
Untuk pasien-pasien yang datang dengan onset akut atau gejala yang memberat, nilai potong untuk
eksklusi yang optimal adalah sebesar 300 pg/mL untuk NT-proBNP dan 100 pg/ml untuk BNP.
Dalam penelitian lain, mid-regional atrial (atau A-type) natriuretik peptida (MR-proANP), pada nilai
potong sebesar 120 pmol/L, tampaknya setara dengan nilai ambang untuk BNP dan NT-proBNP
pada tahap akut.
Untuk pasien-pasien dengan gejala non-akut, nilai potong eksklusi yang optimum adalah sebesar
125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitivitas dan spesifitas BNP dan NT-
proBNP dalam diagnosis HF lebih rendah pada pasien non-akut.43-50
Table 4 Gejala dan tanda yang tipikal untuk gagal jantung
Rekomendasi untuk pemeriksaan diagnostik pada pasien-pasien gawat darurat dengan suspek
gagal jantung.
Rekomendasi Kelas A Level B
Pemeriksaan yang seharusnya dipertimbangkan untuk semua pasien
Echokardiografi transtorasik direkomendasikan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi jantung,
termasuk fungsi diastolik (bagian 4.1.2), dan untuk mengukur FEVK untuk membuat diagnosis HF,
membantu dalam menyusun dan mengawasi penatalaksanaan, serta untuk mendapatkan informasi
tentang prognosis.
I
ECG 12-lead direkomendasikan untuk menentukan ritme jantung, denyut jantung, morfologi QRS,
dan durasi QRS, serta untuk mendeteksi abnormalitas lainnya yang relevan (tabel 5). Informasi ini
juga membantu dalam merencanakan penatalaksanaan dan menentukan prognosis. ECG yang
seluruhnya normal membuat HF sistolik tidak mungkin.
I C
Pengukuran kimia darah (termasuk natrium, kalsium, urea/blood urea nitrogen,
creatinine/estimated glomerular filtration rate, enzim-enzim hepar dan bilirubin, ferritin/TIBC) dan
fungsi tiroid direkomendasikan untuk:
(i) Mengevaluasi kecocokan pasien untuk terapi diuretik, antagonis renin–angiotensin–aldosterone,
dan antikoagula (dan untuk memonitor terapi).
(ii) Mendeteksi penyebab HF yang reversibel/dapat diobati (seperti hipokalsemia, disfungsi tiroid)
dan komorbiditas (seperti defisiensi besi).
(iii) Mendapatkan informasi prognostik.
I C
Hitung darah lengkap direkomendasikan untuk:
(i) Mendeteksi anemia, yang merupakan penyebab alternatif dari gejala dan tanda pasien, serta
dapat memperberat HF.
(ii) Mendapatkan informasi prognostik.
I C
Pengukuran peptida natriuretik (BNP, NT-proBNP, atau MR-proANP) sebaiknya dipertimbangkan
untuk:
(i) Menyingkirkan penyebab alternatif dispneu (jika nilainya dibawah nilai potong eksklusi, lihat
gambar 1, HF sangat tidak mungkin)
(ii) Mendapatkan informasi prognostik.
IIa C
Foto toraks (X-ray) sebaiknya dipertimbangkan untuk mendeteksi/menyingkirkan beberapa tipe
penyakit paru, seperti kanker (tidak menyingkirkan asma/PPOK). Ini juga dapat mengidentifikasi
kongesti/edema pulmoner dan lebih bermanfaat pada pasien-pasien suspek HF pada kondisi akut.
IIa C
Pemeriksaan yang sebaiknya dipertimbangkan pada pasien-pasien tertentu
CMR imaging direkomendasikan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi jantung, untuk mengukur
FEVK, serta untuk mendapatkan gambaran tentang jaringan jantung, terutama pada pasien-pasien
dengan gambaran echokardiografis yang tidak memuaskan atau temuan echokardiografisnya tidak
konklusif atau tidak lengkap (tetapi juga mempertimbangkan kontraindikasi/penggunaan hati-hati
untuk CMR).
I C
Angiografi coroner direkomendasikan pada pasien-pasien dengan angina pectoris, yang dianggap
cocok untuk revaskulerisasi coroner, untuk mengevaluasi anatomi koroner.
I C
Pencitraan perfusi/iskemia miokard (echokardiografi, CMR, SPECT, atau PET) sebaikyna
dipertimbangkan pada pasien-pasien yang tampaknya menderita CAD, dan yang dianggap cocok
untuk revaskulerisasi coroner, untuk menentukan apakah iskemia miokardnya reversibel dan
menilai miokard yang masih baik.
IIa C
Kateterisasi jantung kiri dan kanan direkomendasikan untuk pasoen-pasien yang sedang dievaluasi
untuk tranplantasi antung atau dukungan sirkulasi mekanik, untuk mengevaluasi fungsi jantung kiri
dan kanan, serta tahanan arteri pulmoner.
I C
Sebaiknya pertimbangkan test kemampuan berolahraga:
(i) Untuk mendeteksi iskemia miokard reversibel.
(ii) Sebagai bagian dari evaluasi untuk pasien tranplantasi jantung dan dukungan sirkulasi mekanis.
(iii) Untuk membantu merencanakan program olahraga.
(iv) Untuk mendapatkan informasi prognostik.
IIa C
BNP: B-type natriuretik peptida;CAD : coronary artery disease;CMR: cardiac magnetic
resonance;COPD: chronic obstructive pulmonary disease;ECG: electrocardiogram; HF: heart failure;
LV: left ventricular; LVEF: left ventricular ejection fraction; MR-proANP: mid-regional pro atrial
natriuretik peptida; NT-proBNP: N-terminal pro B-type natriuretik peptida; PET: positron emission
tomography; SPECT: single photon emission computed tomography; TIBC: total iron-binding
capacity.
3.6.5 X-ray Toraks
Foto toraks memiliki manfaat yang terbatas dalam proses diagnosis pasien yang dicurigai dengan
gagal jantung. Pemeriksaan ini paling berguna dalam mengidentifikasi penyebab
pulmoner/alternatif dari gejala dan tanda yang diderita pasien. Namun dapat menunjukkan adanya
ongesti pulmoner atau edema pulmoner pada pasien dengan HF. Perlu untuk diingat bahwa
disfungsi Ventrikel kiri yang bermakna dapat terjadi tanpa adanya kardiomegali pada foto toraks.
3.6.6 Pemeriksaan laboratorium rutin.
Selain pemeriksaan biokimia standar [natrium, kalium, creatinine/estimated Glomerular Filtration
Rate (eGFR)] dan hematologi standar (hemoglobin, hematokrit, ferritin, leukosit, dan platelet),
pemeriksaan kadar thyroid-stimulating hormon (thyrotropin/TSH) juga penting, karena gangguan
tiroid dapat memiliki gejala dan tanda yang sama dengan HF atau memperberat HF (tabel 6). Kadar
glukosa juga sebaiknya diberiksa. Karena pasien HF seringkali juga menderita diabetes yang belum
diketahui sebelumnya. Enzim liver juga dapat menjadi abnormal pada HF (ini penting, juga akan
menggunakan amiodarone atau warfarin).
Selain pemeriksaan sebelum terapi, monitoring biokimiawi juga penting setelah mulai penggunaan
renin–angiotensin system blockers, sewaktu dosis sedang dinaikkan perlahan (up-titrated) (lihat
bagian 7.2) dan selama periode tindak lanjut yang lebih lama, terutama jika terjadi gangguan
selama pengobatan yang menyebabkan kehilangan natrium dan cairan (seperti diare dan muntah)
atau penggunaan obat lainnya yang dapat mempengaruhi keseimbangan narium dan cairan atau
fungsi ginjal atau jika dosisnya diubah [seperti penggunaan obat-obatan anti-inflamatorik
nonsteroid (OAINS) atau diuretik]. Ada berbagai pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat
memberikan informasi prognostik yang berharga (lihat bagian 6).
Table 5 Abnormalitas EKG yang paling sering terjadi pada gagal jantung.
Table 6 Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering terjadi pada gagla jantung.
3.6.7 Algoritme untuk diagnosis gagal jantung
Algoritme untuk diagnosis HF atau disfungsi LV dapat dilihat dalam gambar 1.
Pada pasien-pasien yang datang ke IGD rumah sakit dengan suspek gagal jantung dan onset gejala
yang akut, direkomendasikan untuk dilakukan echokardiografi secepat mungkin (dan
echokardiografi segera pada pasien-pasien dengan syok atau gangguan hemodinamika yang berat).
Jika dilakukan pengukuran peptida natriuretik, sebaiknya digunakan nilai potong eksklusi yang
tinggi.39-50 Pada pasien-pasien bukan gawat darurat di pelayanan primer, atau klinik rawat jalan
rumah sakit, dengan onset gejala (dan tanda) yang lambat yang sugestif HF, dapat dilakukan
pemeriksaan EKG dan peptida natriuretik sebagai cara untuk mengidentifikasi pasien yang paling
membutuhkan echookardiografi (echokardiogram diindikasikan jika kadar peptida natriuretik
berada diatas ambang eksklusi atau EKGnya abnormal). Pada pasien-pasien seperti ini, sebaiknya
digunakan nilai potong peptida natriuretik yang lebih rendah untuk mencegah terjadinya negatif
palsu dalam diagnosis HF.39-50 Pasien-pasien dengan kemungkinan HF yang tinggi sebelum
pemeriksaan laboratorium/EKG, seperti pada pasien yang memiliki riwayat infark miokard, dapat
dirujuk langsung untuk dilakukan echokardiografi.
Gambar 1 Diagram alur diagnostik untuk pasien dengan suspek gagal jantung – pendekatan
alternatif dimana dilakukan echokardiogradi dulu (biru) atau pemeriksaan peptida natriuretik dulu
(merah).
4. Peran pencitraan jantung dalam evaluasi pasien dengan suspek gagal jantung atau sudah
terdiagnosa gagal jantung.
Pencitraan memiliki peran penting dalam diagnosis HF dan dalam mengarahkan terapi. Dari
berbagai modalitas pencitraan yang dapat dilakukan, echokardiografi adalah metode pilihan untuk
pasien-pasen dengan suspek HF karena akurat, mudah diakses (dan dibawa-bawa), aman, dan
murah.27-34 Cara ini dapat dibantu dengan modalitas lainnya, yang dipilih berdasarkan
kemampuannya untuk memberikan informasi klinis tertentu dan juga mempertimbangkan
kontraindikasi dan resiko dari pemeriksaan tertentu (lihat tabel 7).9,10,52-60 Semua jenis pencitraan,
tipe apapun, hanya boleh dilakukan oleh orang yang berkompeten dan berpengalaman dalam
teknik tersebut.32
4.1 Echokardiografi
Echokardiografi adalah istilah yang digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasonografi
jantung, termasuk echokardiografi dua/tiga dimensi, pulsed dan continuous wave
Doppler, colour flow Doppler, dan pencitraan jaringan Doppler (TDI).8,27-34,61-64 Echokardiografi
memberikan informasi tentang anatomi jantung (seperti volume, geometri, massa) dan fungsi
jantung (seperti fungsi LV dan gerak dinding, fungsi katup, fungsi ventrikel kanan, tekanan arteri
pulmoner, pericardium).
4.1.1 Penilaian disfungsi sistolik ventrikel kiri,
FEVK bukan merupakan indeks kontraktilitas, karena tergantung dari volume, preload, afterload,
denyut jantung, dan fungsi katup, serta tidak sama dengan stroke volume. Stroke volume dapat
dijaga oleh dilatasi ventrikel kiri pada pasien dengan HF-REF, tetapi dapat berkurang pada pasien
dengan HF-PEF dan hipertrofi LV konsentris. FE juga dapat dipertahankan (dan stroke volume
berkurang) pada pasien-pasien dengan regurgitasi mitral yang bermakna. Oleh karena itu, FE harus
diinterpretasi berdasarkan konteks klinisnya.
Metode echokardiografis yang direkomendasikan untuk mengukur FE adalah apical biplane
method of discs (the modified Simpson’s rule).8,27-34,61 Namun, karena metode ini tergantung dari
penukuran batas endocardium yang akurat, penggunakan bahan kontras untuk mendapatkan batas
endokardial yang lebih jelas direkomendasikan ketika kualitas gambarnya tidak baik atua
suboptimal (misalkan batas endokardialnya hanya terlihat 80%).61 Metode-metode Teichholz dan
Quinones untuk menghitung FE dari dimensi linier mungkin tidak akurat, terutama pada pasien-
pasien dengan disfungsi LV regional, hal sama juga berlaku untuk fractional shortening – teknik lain
untuk menilai fungsi sistolik LV. Penilaian FE jenis tersebut dan yang berdasarkan penglihatan saja
(‘eye-balling’) tidak direkomendasikan.61 Echokardiografi tiga dimensi dengan kualitas yang baik
akan meningkatkan kualitas perhitungan volume ventrikel dan FE.61 Indeks nilai gerak dinding LV
dapat menjadi alternatif yang baik untuk FE, tetapi ini tidak umum digunakan. Indeks-indeks lainnya
dari fungsi sistolik LV antara lain adalah AV plane systolic excursion, kecepatan sistolik jaringan
Doppler, dan pengukuran deformitas yang terjadi (strain dan strain rate). Pencitraan deformitas
lebih sensitive daripada FE dalam mendeteksi perubahan-perubahan minor pada fungsi sistolik LV.
Namun, terdapat masalah dalam pengulangan dan standarisasi, sehingga membatasi
penggunaannya dalam praktek sehari-hari. Stroke volume dan surah jantung juga dapat
diperhitungkan dengan menggunakan kecepatan velocity time integral at the LV outflow tract
area. Abnormalitas echokardiografis yang paling umum terjadi pada pasien HF dan makna klinisnya
dapat dilihat pada tabel 8.
4.1.2 Penilaian disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Disfungsi diastolik LV dianggap merupakan abnormalitas patofisiologis yang mendasari HF-PEF,
sehingga identifikasinya penting dalam diagnosis HF tipe ini (tabel 9).7,8,27-34,63,64 Indeks diastolik
echokardiografi Doppler yang umum diukur pada pasien HF dapat dilihat pada tabel 9. Perlu
dicatat, nilai normal indeks echokardiografi fungsional dari disfungsi diastolik LV juga dipengaruhi
oleh usia, frekwensi denyut jantung, dan ukuran tubuh.63,64 Selain itu, tidak ada satu parameter
echokardiografis yang cukup akurat dan dapat diulangi kembali untuk digunakan sendirian dalam
diagnosis disfungsi diastolik LV. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan
echokardiografis yang komprehensif yang juga termasuk semua data Doppler dan data dua dimensi
yang relevan.8,63,64 Ini termasuk evaluasi structural (hipertrofi LV, dilatasi LA) dan abnormalitas
fungsional (tabel 1). Tissue Doppler imaging-derived early diastolic myocardial velocities (e’), yang
diukur pada annulus mitral, memungkinkan penilaian relaksasi miokard. Nilai e’ yang normal (0,8
cm/s septal, 0,10 cm/s lateral, atau 0,9 cm/s rata-rata, diukur dengan menggunakan real-time
pulsed TDI) sangat jarang ditemui pada pasien dengan HF. Rasio E/e’ berhubungan dengan tekanan
pengisian LV.63,64 (Tabel 9).
Oleh karena itu, bukti echokardiografis dari disfungsi diastolik LV dapat terdiri dari berkurangnya e’
(e’ rata-rata 0,9 cm/s) atau meningkatkan rasio E/e’ (0,15), atau kombinasi dari parameter-
parameter tersebut (Tabel 9). Adanya paling tidak dua hasil pengukuran yang abnormal dan/atau
AF meningkatkan kemungkinan terjadinya diagnosis HF.
4.2 Transoesophageal echokardiografi
Transoesophageal echocardiography (TOE) tidak diperlukan dalam penilaian disagnostik rutin,
kecuali jika transthoracic ultrasound window-nya tidak mencukupi (misalkan karena obesitas,
penyakit paru kronis, ventilated patients) dan tidak ada modalitas alternatif [seperti pencitraan
dengan cardiac magnetic resonance (CMR)] yang dapat dilakukan.
Namun TOE berguna pada pasien-pasien dengan penyakit katup yang kompleks (terutama penyakit
katup mitral dan katup prostetik), suspek endokarditis, dan pada pasien dengan penyakit jantung
kongenitala. TOE juga digunakan untuk memeriksa adanya thrombus pada atrium kiri pasien-pasien
dengan AF.
Table 7 Aplikasi berbagai teknik pencitraan yang mungkin dilakukan dalam diagnosis HF.
Echo CMR Cath SPECT MDCT PET
4.3 Stress echocardiography
Echokardiografi olahraga atau stress farmakologis dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
dan derajat iskemia yang dapat diinduksi dan untuk menentukan apakah miokardium yang tidak
berkontraksi masih baik (lihat bagian 13).34 Teknik ini mungkin akan berguna dalam mengevaluasi
pasien dengan suspek stenosis aorta berat, FE yang berkurang, dan low transvalvular gradient
(lihat bagian 13.3.1). Pemeriksaan stress diastolik adalah prosedur baru untuk mengidentifikasi HF-
PEF pada pasien dengan gejala HF pada aktivitas fisik, FE normal, dan parameter-parameter fungsi
diastolik yang tidak meyakinkan pada saat istirahat.63
4.4 Cardiac magnetic resonance
CMR adalah teknik non-invasif yang memberikan sebagian besar informasi anatomis dan fungsional
dari echokardiografi, termasuk evaluasi iskemia dan viabilitas, dan juga penilaian tambahan lainnya.52,57,65 CMR dianggap sebagai standar emas atas akurasi dan kemampuan pengulangan volume,
massa, dan gerak dinding. Karena CMR memberikan kualitas gambar yang baik, ini merupakan
modalitas pencitraan alternatif yang terbaik pada pasien-pasien dengan pemeriksaan
echokardiografis non-diagnostik.
CMR sangat berguna dalam mengidentifikasi kondisi-kondisi inflamatorik dan infiltratif, serta dalam
prakiraan prognosis untuk pasien-pasien tersebut (tabel 7).65 CMR juga berguna dalam proses
penilaian pasien dengan suspek kardiomiopati, aritmia, tumor januntg (atau tumor yang juga
melibatkan jantung), atau penyakit pericardial, dan merupakan metode pencitraan pilihan untuk
pasien dengan penyakit jantung kongenital yang kompleks.66
Keterbatasannya antara lain adalah availibilitas, ketidakmampuan untuk digunakan pasien dengan
implant logam tertentu (termasuk banyak macam alat pacu jantung), dan biayanya yang besar.
Selain itu, akurasi analisis fungsionalnya terbatas pada pasien dengan aritmia atrium. Beberapa
pasien tidak dapat mentolerir prosedurnya, seringkali karena klaustrofobia.
Linear gadolinium chelates dikontraindikasikan pada pasien dengan GFR sebesar 30 mL/min/m2,
karena dapat menyebabkan nephrogenic systemic fibrosis, walaupun jarang terjadi (ini lebih jarang
terjadi pada macrocyclic gadolinium chelates yang lebih baru).67,68
Table 8 Abnormalitas echokardiografis yang umum terjadi pada pasien gagal jantung.
4.5 Single-photon emission computed tomography dan radionuclide ventriculography
Single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat berguna dalam menilai iskemia dan
viailitas jaringan jika terjadi kecurigaan CAD, selain itu juga memberikan informasi prognostik dan
diagnostik (tabel 7).54 Gated SPECT juga dapat membeirkan informasi tentang volume dan fungsi
ventrikel, tetapi pasien akan terpapar radiasi pengion.
4.6 Pencitraan positron emission tomography (tomografi emisi positron??)
Positron emission tomography (PET) [tunggal atau dengan computed tomography (CT)] dapat
digunakan untuk menilai iskemia dan viabilitas jaringan, tetapi flow tracers-nya (N-13 ammonia or
O-15 air) membutuhkan on-site cyclotron.58,60,69 Rubidium adalah tracer alternatif untuk
pemeriksaan iskemia dengan PET, yang dapat diproduksi secara local dengan biaya yang relatif
rendah (tabel 7). Kekurangan utamanya adalah karena kurangnya availibilitas, paparan radiasi, dan
biayanya.
4.7 Coronary angiography (Angiografi koroner??)
Coronary angiography sebaiknya dipertimbangkan untuk pasien-pasien dengan angina pectoris
atau riwayat jenti jantung, jika pasien cocok untuk dilakukan revaskulerisasi koroner. Sebaiknya
dilakukan angiografi pada pasien-pasien dengan tanda terjadinya iskemia miokard reversibel pada
pemeriksaan non-invasif, terutama jika FE berkurang (karena pembedahan bypass arteri koroner
mungkin akan bermanfaat) (bagian 13). Penilaian non-invasif dari viabilitas miokard juga dapat
dilakukan sebelum angiografi, karena ada beberapa observasi bahwa angiografi coroner hanya
sedikit bermanfaat dan resikonya cukup besar, jika jaringan yang masik baik hanya sedikit. Pada
kasus-kasus dimana informasi tentang iskemia kurang, dapat digunakan fractional flow reserve
untuk mendapatkan informasi tentang relevansi hemodinamika lesi tersebut.70
Coronary angiography mungkin akan diperlukan, dengan segera, pada pasien dengan HF akut
(AHF) (syok atau edema pulmoner akut), terutama pada pasien dengan sindrom coroner akut (lihat
bagian 12.7.1 dan pedoman revaskulerisasi71). Coronary angiography juga dapat diindikasikan pada
pasien-pasien dengan penyakit katup, jika ada rencana untuk koreksi bedah.
4.8 Cardiac computed tomography
Fungsi utama CT pada pasien HF adalah sebagai cara non-invasif untuk menggambarkan anatomi
koroner.59 Perbandingan resiko vs. manfaat prosedur ini sebaiknya dipertimbangkan, seperti yang
telah dibahas sebelumnya dalam coronary angiography (Bagian 4.7).
5. Pemeriksaan lainnya
5.1 Kateterisasi jantung dan biopsy endomiokard
Pada pasien-pasien dengan suspek kardiomiopati kontriktif atau restriktif, kombinasi kateterisasi
jantung dengan teknik pencitraan non-invasif lainnya dapat membantu membangun diagnosis yang
tepat (lihat tabel 7). Pada pasien dengan suspek miokarditis dan penyakit infiltratif (seperti
amiloidosis, lihat tabel 7), mungkin akan dibutuhkan biopsi endomiokard untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Penggunaan prosedur ini dijelaskan dengan lebih detail pada pedoman lainnya.72
Table 9 Nilai-nilai echokardiografis yang umum ditemui pada disfungsi diastolik ventrikel kiri pada
pasien dengan gagal jantung.
5.2 Exercise testing (pemeriksaan olahraga??)
Exercise testing memungkinkan evaluasi objektif dari kemampuan olahraga dan gejala-gejala
karena usaha yang berlebih, seperti dispneu dan kelelahan.73 6-min walk test (uji berjalan 6
menit?) dan berbagai protokol treadmill dan sepeda dapat digunakan. Analisis pertukaran gas juga
membantu membedakan antara penyebab jantung atau respiratorik dari dispneu, menunjukkan
apakah ambang anaerobiknya telah tercapai, dan memberikan informasi prognostik (konsumsi
oksigen puncak/peak oxygen consumption seringkali diukur sebagai bagian dari penilaian pasien
kandidat transplantasi jantung). Kemampuan olahraga yang normal pada pasien yang tidak
mendaptkan terapi akan menyingkirkan diagnosis HF simptomatik, walaupun harus diingat bahwa
kemampuan olahraga pasien berhubungan lemah dengan tolak ukur hemodinamik saat istirahat,
termasuk FE.
5.3 Pemeriksaan genetik
Munculnya pemeriksaan genetic dalam kardiomiopati dilatasi idiopatik dan hipertrofik dijelaskan
pada bagian lainnya.16 Saat ini, pemeriksaan genetic direkomendasikan pada pasien-pasien dengan
kardiomiopati dilatasi dan AV blok atau dengan riwayat kematian mendadak yang premature,
sebagai karena mungkin akan membutuhkan implantable cardioverter defibrillator (ICD) sebagai
profilaksis.
5.4 Monitoring electrokardiografis ambulatorik
Monitoring EKG embulatorik sangat bermanfaat dalam penilaian pasien-pasien dengan gejala-gejala
yang sugestif dengan aritmia atau bradikardia (seperti palpitasi atau sinkop) dan dalam monitoring
kontrol frekwensi denyut ventrikel pada pasien dengan AF. Ini akan berguna dalam identifikasi tipe,
frekwensi, dan durasi aritmia atrium dan ventrikel, episode-episode iskemia dan bradikardia yang
tidak bergejala, serta gangguan konduksi, yang dapat menyebabkan atau memperberat HF.
6. Prognosis
Ada banyak variabel yang memberikan informasi prognosis (Web Table 10), walaupun sebagian
besar dari informasi tersebut dapat diperoleh dari data yang muda didapat, seperti usia, etiologi,
kelas NYHA, FE, komorbiditas penting (disfungsi ginjal, diabetes, anemia, hiperurisemia), dan
konsentrasi peptida natriuretik plasma.74-80 Tentu saja, variabel-variabel ini berubah seiring dengan
berjalannya waktu, sama seperti prognosis. Penilaian prognosis sangat penting ketika memberikan
informasi kepada pasien, keluarganya, dan perawat tentang alat-alat dan pembedahan (termasuk
transplantasi) serta dalam perawatan paliatif (end-of-life care).
7. Terapi farmakologis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang berkurang (gagal jantung sistolik)
7.1 Objektif dalam penatalaksanaan gagal jantung
Tujuan terapi untuk pasien yang telah dinyatakan menderita gagal jantung adalah untuk
meringankan gejala dan tanda (seperti edema), mencegah rawat inap, dan meningkatkan harapan
hidup. Walaupun fokus sebelumnya dari uji klinis adalah mortalitas, sekarang telah diketahui bahwa
mencegah rawat inap karena HF sangat penting untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan.81
Penurunan angka mortalitas dan rawat inap mencerminkan kemampuan terapi efektif untuk
memperlambat atau mencegah perburukan progresif HF. Ini seringkali disertai dengan reverse
remodeling LV dan penurunan kadar peptida natriuretik sirkulatorik.82,83
Berkurangnya gejala, peningkatan kualitas hidup, dan perbaikan kapasitas fungsional juga sangat
penting untuk pasien, tetapi bukan merupakan keluaran utama sebagian besar uji klinis.84 Ini
dikarenakan hal-hal tersebut sulit untuk diukur dan akrena beberapa terapi yang sebelumnya
terbukti memperbaiki keluaran tersebut, ternyata juga menurunkan angka harapan hidup.85,86
Namun terapi farmakologis yang efektif dan CRT dapat memperbaiki keluaran ini, selain itu juga
menurunkan mortalitas dan angka rawat inap.
Gambar 2 memperlihatkan strategi penatalaksanaan untuk obat-obatban (dan alat) pada pasien
dengan HF-REF; rekomendasi untuk tiap jenis terapi dirangkum dibawah. Tiga jenis antagonis
neurohormonal – ACEI [atau angiotensin receptor blocker (ARB)], beta-blocker, dan MRA – berperan
besar dalam memperbaiki perkembangan HF sistolik dan sebaiknya dipertimbangkan untuk semua
pasien. Obat-obatan ini umumnya digunakan bersamaan dengan diuretik untuk mengurangi gejala-
gejala dan tanda-tanda kongesti. Teks dibawah ini merangkum bukti-bukti yang mendukung
rekomendasi dalam bagian ini, dalam Web Tables 11–13 dan gambar 2. Dosis yang
direkomendasikan untuk obat-obatan ini dapat dilihat pada tabel 14. Rekomendasi yang terdapat
dalam bagian 7.4 merangkum obat-obatan yang sebaiknya dihindari pada pasien dengan HF-REF.
7.2 Terapi-terapi yang direkomendasikan pada hampir semua pasien dengan gagal jantung
sistolik.
7.2.1 Angiotensin-converting enzyme inhibitors dan beta-blockers
Berbagai uji klinis penting telah dilakukan dengan beta-blockers pada pasien-pasien dengan gejala
yang persisten dan FE yang persisten rendah, walaupun telah diberikan terapi ACEI, dan dalam
sebagian besar kasus, diuretik. Walaupun begitu, ada sebuah consensus yang menyatakan bahwa
terapi ini merupakan terapi komplementer dan sebaiknya beta-blocker dan ACEI digunakan secepat
mungkin setelah terdiagnosis HF-REF. Ini dikarenakan ACEI hanya sedikit memperbaiki LV
remodeling dan beta-blocker seringkali menyebabkan perbaikan FE yang bermakna. Selain itu, beta-
blocker bersifat anti-iskemia dan kemungkinan lebih efektif dalam mengurangi resiko kematian
mendadak karena penyakit jantung, serta menyebabkan penurunan mortalitas total yang sangat
besar dan cepat.
Bukti-bukti kunci yang mendukung penggunaan ACEI:
Dua uji klinis terkontrol penting [Cooperative North Scandinavian Enalapril Survival Study
(CONSENSUS)87 dan Studies of Left Ventricular Dysfunction (SOLVD)-Treatment]88 yang
melibatkan 2800 pasien dengan HF simptomatis derajat ringan hingga berat yang diberikan
plasebo atau enalapril. Sebagian besar peserta juga diberikan diuretik dan digoksin, tetapi
10% peserta diberikan beta-blocker. 53% peserta penelitian CONSENSUS, yang melibatkan
pasien dengan HF berat, dibeirkan spironolakton.
Kedua RCTs tersebut membuktikan bahwa pemberian ACEI menurunkan mortalitas [relative
risk reduction (RRR) 27% dalam CONSENSUS dan 16% dalam SOLVD-Treatment]. Dalam
SOLVDTreatment juga terjadi penurunan RR sebesar 26% dalam angka rawat inap karena
HF. Manfaat ini merupakan manfaat tambahan dari yang didapat dari terapi konvensional
pada saat itu (yaitu diuretik, digoksin, dan spironolakton).
Absolute risk reduction (ARR) dalam mortalitas pada pasien dengan HF ringan atau sedang
(SOLVD-Treatment) sebesar 4,5%, setara dengan number needed to treat (NNT) sebesar 22
untuk memperlambat satu kematian (selama masa rata-rata 41 bulan). Nilai yang setara
untuk HF berat (CONSENSUS) adalah 14,6% untuk ARR dan 7 untuk NNT (selama rata-rata
masa 6 bulan).
Temuan-temuan ini didukung oleh sebuah meta-analisis dari uji klinis acak terkontrol
plaseco berjangka pendek skala lebih kecil, yang menunjukkan adanya penurunan angka
mortalitas yang terlihat nyata dalam 3 bulan penggunaan.89 RCT ini juga menunjukkan
bahwa ACEI memperbaiki gejalan, toleranasi olahraga, kualitas hidup, dan kemampuan
berolahraga.
Dalam uji klinis Assessment of Treatment with Lisinopril And Survival (ATLAS),90 3164 pasien
dengan (sebagian besar) HF sedang hingga berat diberikan lisonopril dosis rendah atau
tinggi secara acak. Didapatkan RRR sebesar 15% pada resiko kematian atau rawat inap
karena HF pada kelompok yang diberikan lisinopril dosis tinggi dibandingkan dengan
kelompok dosis rendah.
Dukungan tambagan untuk penggunaan ACEI berasal dari sebuah RCT yang melibatkan
pasien dengan FE rendah tetapi tanpa gejala HF (‘disfungsi sistolik LV asimptomatik’) dan
tiga uji klinis acak terkontrol plasebo berskala besar yang melibatkan 5966 pasien dengan
HF, disfungsi sistolik LV, atau keduanya setelah infark miokard akut.91 Dalam uji klinis
SOLVD-Prevention, (yang mengacak 4228 pasien dengan disfungsi sistolik LV asimptomatik),
ditemukan RRR sebesar 20% untuk kematian atau rawat inap karena HF. Pada uji klinis
infark miokard yang menggunakan captopril [Survival and Ventricular Enlargement (SAVE)],
ramipril [Acute Infarction Ramipril Efficacy (AIRE)], dan trandolapril [TRAndolapril Cardiac
Evaluation (TRACE)], ditemukan RRR sebesar 26% untuk kematian dan rawat inap karena
HF.101
ACEI kadang dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hyperkalemia, hipotensi
simptomatik, batuk, dan angioedema (jarang). Sebaiknya ACEI hanya diberikan pada aspein
dengan fungsi ginjal yang baik (creatinine ≤221 mmol/L atau ≤2.5 mg/dL atau eGFR ≥30
mL/min/1.73 m2) dan kadar kalium serum yang normal (lihat Web Table 11). Pedoman
praktis penggunaan ACEI dapat dilihat pada Web Table 11.102
BUkti kunci yang mendukung penggunaan beta-blocker.
Beta-blocker memiliki lebih banyak RCT daripada ACEI dalam penggunaannya untuk pasien
dengan HF.
Tiga uji klinis kunci [Cardiac Insufficiency Bisoprolol Study II (CIBIS II), Carvedilol Prospective
Randomized Cumulative Survival (COPERNICUS), dan Metoprolol CR/XL Randomised
Intervention Trial in Congestive Heart Failure (MERIT-HF)] memberikan plasebo atau beta-
blocker (bisoprolol, carvedilol, atau metoprolol suksinat CR/XL) secara acak kepada hampir
9000 pasien dengan gagal jantung simptomatik,92-96 Lebih dari 90% peserta juga dibeirkan
ACEI atau ARB.
Ketiga uji klinis ini menunjukkan bahwa penggunaan beta-blocker dapat menurunkan angka
mortalitas (RRR: 34% pada tiap uji klinis) dan angka rawat inap karena HF (RRR 28–36%)
dalam 1 tahun setelah tearpi dimulai. Selain itu, juga terjadi perbaikan kondisi umum pasien
dalam penelitian COPERNICUS dan MERIT-HF. Manfaat-manfaat ini merupakan tambahan
dari yang didapat dengan tearpi konvensional, antara lain dengan ACEI.
ARR mortalitas (setelah terapi selama 1 tahun) pada pasien dengan HF ringan hingga sedang
(pada gabungan CIBIS II dan MERIT-HF ) adalah sebesar 4,3%, setara dengan NNT (1 tahun
untuk memperlambat 1 kematian) sebesar 23. Nilai yang setara untuk HF berat
(COPERNICUS) adalah ARR sebesar 7,1% dan NNT 14.
Temuan-temuan ini didukung oleh sebuah uji klinis acal terkontrol plasebo [Study of Effects
of Nebivolol Intervention on Outcomes and Rehospitalization in Seniors With Heart Failure
(SENIORS)] yang melibatkan 2128 pasien lansia (≥70 tahun), 36% darinya memiliki FEVK ≤
35%. Penggunaan nebivolol menghasilkan RRR sebesar 14% pada primary composite
endpoint yang terdiri dari kematian atau rawat inap karena gangguan kardiovaskuler, tetapi
tidak mengurangi mortalitas.97 Terapi farmakologis diindikasikan pada hampir semua pasien
dengan gagal jantung sistolik simptomatis (kelas fungsional NYHA II-IV).
Terapi farmakologis diindikasikan pada hampir semua pasien dengan gagal jantung sistolik
simptomatis (kelas fungsional NYHA II-IV).
Gambar 2 Pilihan terapi untuk pasien-pasien dengan gagal jantung sistolik simptomatik kronis (kelas
fungsional NYHA II-IV).
Hal-hal yang ditemukan dalam penelitian tersebut jika didukung oleh berbagai penelitian
sebelumnya yang menggunakan carvedilol (US carvedilol studies), sebuah meta-analisis dari
berbagai uji klinis beta-blocker berskala kecil dan uji klinis acak terkontrol plasebo pada
1959 pasien dengan FEVK ≤40% setelah infark miokard akut dimana RRR untuk mortalitas
dengan penggunaan carvedilol adalah sebesar 23% selama masa tindak lanjut rata-rata 1,3
tahun.98
Sebuah RCT berskala besar [Beta-Blocker Evaluation of Survival Trial (BEST)] yang
menggunakan bucindolol, sebuah beta-blocker yang bersifat agonis parsial, tidak
menunjukkan terjadinya penurunan mortalitas yang bermakna, walaupun secara umum
temuannya konsisten dengan penelitian-penelitian diatas.103
Sebuah RCT lain [Carvedilol or Metoprolol European Trial (COMET)] menunjukkan bahwa
penggunaan carvedilol meningkatkan angka harapan hidup dibandingkan dengan
menggunakan metoprolol tartrat jangka pendek (berbeda dengan formula suksinat yang
berjangka panjang yang digunakan dalam MERIT-HF).104
Beta-blockers sebaiknya mulai digunakan pada pasien yang stabil dan digunakan secara hati-
hati pada pasien yang baru mengalami dekompensasi (pada pasien-pasien seperti ini, hanya
boleh mulai digunakan saat rawat inap). Namun, pada penelitian COPERNICUS, inisiasi
penggunaan beta-blocker pada pasien-pasien yang baru mengalami dekompensasi tidak
mengalami masalah.105
Dalam satu RCT, penerusan penggunaan beta-blocker selama episode dekompensasi
terbukti aman, walaupun mungkin membutuhkan pengurangan dosis.106 Pada pasien-pasien
dengan syok atau hipoperfusi berat dianjukan untuk menghentikan menggunakan obat
tersebut secara sementara. Terapi sebaiknya dimulai kembali sebelum pasien dipulangkan.
Pedoman praktis penggunaan beta-blocker dapat dilihat pada Web Table 12.102
7.2.2 Mineralocorticoid/aldosterone receptor antagonists (MRAs)
Spironolakton dan eplerenon menghambat reseptor yang mengikat aldosteron dan kortikosteroid
lainnya, dan paling baik disebut sebagai MRAs. Walaupun pasien-pasien dalam penelitian
Eplerenone in Mild Patients Hospitalization and Survival Study in Heart Failure (EMPHASIS-HF)100
diwajibkan untuk memiliki fitur-fitur lainnya yang dapat menaikkan resiko (baru dirawat inap
karena gangguan kardiovaskuler atau kadar peptida natriuretik yang tinggi), manfaat MRAs
mungkin dapat dialami oleh semua pasien dengan gagal ajntung sistolik, terutama jika dua RCT
dalam CHF didukung oleh sebuah RCT dengan pasien yang mengalami infark miokard akut.99-100,107
Bukti kunci yang mendukung penggunaan MRAs.
Uji klinis Randomized Aldactone Evaluation Study (RALES)99 melibatkan pasien dengan gagal
jantung berat yang diberikan spironolakton.
Dalam penelitian RALES, 1663 pasien dengan FE ≤35% dan kelas fungsional III NYHA (pernah
masuk ke dalam kelas IV dalam 6 bulan terakhir) berikan plasebo atau spironolakton 25-
50mg sekali sehari sebagai tambahan dari terapi konvensional secara acak. Pada saat uji
klinis tersebut dilakukan, beta-blocker belom digunakan secara luas sebagai terapi HF, dan
hanya 11% pasien yang sebelumnya diberikan beta-blocker.
Terapi dengan spironolakton menyebabkan RRR mortalitas sebesar 30% dan RRR untuk
rawat inap karena HF sebesar 35% dalam waktu rata-rata 2 tahun setelah terapi dimulai.
Manfaat-manfaat ini merupakan tambahan dari yang didapat dengan terapi konvensional,
termasuk ACEI.
ARR mortalitas (setelah waktu rata-rata 2 tahun terapi) pada pasien dengan HF berat adalah
11,4%, setara dengan NNT (selama 2 tahun untuk memperlambar satu kematian) sebesar 9.
Penelitian EMPHASIS-HF100 yang lebih baru melibatkan pasien HF sistolik dengan gejala
ringan.
Penelitan EMPHASIS-HF melibatkan 2737 pasien berusia ≥55 dengan kelas fungsional II
NYHA dan FE ≤30% (≤35% jika surasi QRS = 0,130 ms). Pasien pernah dirawat inap karena
gangguan kardiovaskuler dalam 6 bula nterakhir atau memiliki kadar peptida natriuretik
plasma yang meningkat dan telah diberikan terapi ACEI, ARB, atau keduanya, dan satu beta-
blocker.
Terapi dengan eplerenon (hingga 50 mg sekali sehari) menyebabkan RRR sebesar 37% dalam
kematian karena gangguan kardiovaskuler atau angka rawat inap karena HF. Selain itu juga
terjadi penurunan angka mortalitas total (24%), kematian kardiovaskuler (24%), angka rawat
inap total (23%), dan angka rawat inap karena HF (42%). Manfaat-manfaat ini didapatkan
dalam waktu rata-rata 21 bulan setelah terapi dimulai dan merupakan tambahan dari yang
didapat dari terapi konvensional, termasuk ACEI dan.
Tabel 14 Dosis-dosis berdasarkan bukti ilmiah dari obat-obatan yang dapat mempengaruhi penyakit
yang digunakan dalam uji klinis acak penting untuk gagal jantung (atau setelah infark miokard)
Nilai ARR dalam primary composite mortality–morbidity endpoint pada pasien-pasien
dengan gejal ringan adalah sebesar 7,7% yang setara dengan NNT (untuk waktu rata-rata 21
bulan untuk memperlambat satu kejadian) sebesar 13. Nilai ARR untuk mortalitas sebesar
3%, setara dengan NNT sebesar 33.
Temuan-temuan ini didukung oleh satu RCT lain [Eplerenone Post-Acute Myocardial
Infarction Heart Failure Efficacy and Survival Study (EPHESUS)], yang melibatkan 6632 pasien
selama 3–14 hari setelah infark miokard akut, dengan FE ≤40% dan HF atau diabetes.107
Pasien diberikan plasebo atau eplerenon 25-50 mg sekali sehari sebagai tambahan terapi
konvensional [ACEI/ARB (87%) dan beta-blocker (75%)] secara acak. Pemberian eplerenon
menyebabkan RRR untuk mortalitas sebesar 15%.
Spironolakton dan eplerenon dapat menyebabkan hiperkalaemia dan penurunan fungsi
ginjal, yang jarang terjadi dalam RCTs, tetapi mungkin lebih sering terjadi pada praktek klinis
sehari-hari, terutama pada lansia. Kedua obat ini sebaiknya hanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal yang baik dan kadar kalium serum normal; jika salah satunya
digunakan, harus dilakukan pemeriksaan elektrolit serum dan fungsi ginjal secara berkala.
Spironolakton juga dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada payudara dan pembesaran
payudara pada pria (10% dibandingkan 1% pada plasebo, menurut RALES99); efek samping
ini jarang terjadi pada penggunaan eplerenon.
Pedoman praktis penggunaan MRAs dapat dilihat pada Web Table 13.102
7.2.3 Terapi lain yang direkomendasikan untuk pasien-pasien tertentu dengan gagal jantung
sistolik.
Bagian ini menjelaskan terapi-terapi lainnya yang bermanfaat pada gagal jantung sistolik. Tetapi,
terapi tersebut belum terbukti nyata dapat menurunkan mortalitas total [atau dalam kasus
hidralazin dan isosorbid dinitrat (H-ISDN), hanya terbukti pada etnis kulit hitam America]. Sebagian
besar obat-obatan ini memiliki manfaat yang meyakinkan untuk mengurangi gejala, angka rawat
inap karena HF, atau keduanya, serta merupakan terapi alternatif atau tambahan untuk gagal
jantung.
(Tabel hal 1808) Terapi lainnya dengan manfaat yang kurang meyakinkan untuk pasien dengan
gagal jantung sistolik simptomatis (kelas II-IV NYHA).
7.2.4 Angiotensin receptor blockers (ARBs)
ARBs tetap merupakan terapi alternatif rekomendasi untuk pasien-pasien yang tidak tahan dengan
ACEI.109 Namun ARBs sudah bukan merupakan rekomendasi lini pertama pada pasien HF dengan FE
≤40% yang tetap simptomatis walaupun dengan terapi ACEI dan beta-blocker yang optimal.
Didalam penelitian EMPHASIS-HF, ditemukan bahwa eplerenon menyebabkan penurunan angka
mortalitas yang lebih besar daripada uji klinis ARB sebagai ‘add-on’ therapy yang dibahas dibawah
ini. Juga karena dalam penelitian Randomized Aldactone Evaluation Study (RALES) dan EMPHASIS-
HF, penggunaan MRA terbukti menurunkan mortalitas total, sementara terapi ‘add-on’ ARB tidak.
Bukti kunci:
Dua uji klinis acak terkontrol plasebo yang penting [Valsartan Heart Failure Trial (Val-HeFT)
dan CHARM-Added] memberikan plasebo atau ARB (valsartan dan candesartan) kepada
7600 pasien dengan HF simptomatis ringan hingga berat sebagai tambahan dari terapi
dengan ACEI (pada 93% peserta Val-HeFT dan semua peserta CHARM-Added).110,111 35%
peserta Val-HeFT dan 55% peserta CHARM-Added juga diberikan sebuah beta-blocker.
Kedua uji klinis diatas menunjukkan bahwa penggunaan ARB dapat menurunkan resiko
rawat inap karena HF (RRR 24% pada Val-HeFT dan 17% pada CHARM-Added), tetapi tidak
menurunkan angka rawat inap total. Selain itu, terjadi RRR sebesar 16% pada resiko
kematian karena gangguan kardiovaskuler dengan penggunaan candesartan pada penelitian
CHARM-Added. Manfaat ini merupakan manfaat tambahan dari terapi konvensional, yang
termasuk diuretik, digoksin, ACEI, dan sebuah beta-blocker (beberapa pasien diberikan
sebuah MRA).
Nilai ARR pada primary composite mortality–morbidity endpoint pada pasien-pasien
dengan HF ringan hingga sedang sebesar HF 4,4%, setara dengan NNT (untuk waktu rata-
rata 41 bulan untuk memperlambat satu kejadian) sebesar 23 pada penelitian CHARM-
Added. Dalam penelitian Val-HeFT nilai ARR yang didapatkan adalah 3,3% dan NNT 30
(selama rata-rata 23 bulan).
Uji klinis CHARM dan Val-HeFT juga membuktikan bahwa ARBs memperbaiki gejala dan
kualitas hidup pasien. Pada uji klinis lain, terbukti bahwa agen-agen tersebut juga
memperbaiki kemampuan berolahraga.
CHARM-Alternatif adalah sebuah uji klinis acak terkontrol plasebo yang menggunakan
candesartan pada 2028 pasien dengan FEVK ≤40%, yang tidak tahan ACEI. Pemberian
candesartan menyebabkan RRR kardiovaskuler atau rawat inap karena HF sebesar 23% (ARR
7%, NNT 14, selama 34 bulan tinjak lanjut).108 Valsarta juga terbukti bermanfaat pada
kelompok pasien dalam Val-HeFT yang tidak diberikan ACEI.109
Sebuah penelitian lain [Evaluation of Losartan In The Elderly (ELITE) II 118] gagal untuk
membuktikan bahwa pemberian losartan 50 mg sehari memiliki efektivitas yang salam
dengan captopril 50 mg tiga kali sehari. Namun RCT lain [Heart failure Endpoint evaluation
of Angiotensin II Antagonist Losartan (HEAAL)119] menunjukkan bahwa pemberian losartan
150 mg sehari lebih baik daripada 50 mg sehari, yang mendukung temuan yang serupa
dalam the Assessment of Treatment with Lisinopril And Survival (ATLAS) trial yang
mengugnakan ACEI, lisinopril—lihat diatas. Dalam HEAAL, terjadi RRR sebesar 10% dalam
angka mortalitas atau rawat inap karena HF pada kelompok losartan dosis tinggi (P = 0,027)
selama masa tindak lanjut median 4,7 tahun. Hasil dari kedua uji klinis tersebut, ATLAS90 dan
HEAAL119, mengindikasikan bahwa dosis renin–angiotensin system blockers dengan dosis
yang lebih tinggi memberikan manfaat yang lebih besarm dan menggarisbawahi pentingnya
untuk mencapai dosis target yang terbukti bermanfaat dalam RCT penting.
Dukungan tambahan dari penggunaan ARBs didapat dari penelitian the Valsartan In Acute
myocardial infarction trial (VALIANT),120 sebuah uji klinis acak yang melibatkan 14.703
pasien gagal jantung, disfungsi sistolik LV, atau keduanya setelah infark miokard akut untuk
diberikan captopril, valsartan, atau kombinasi keduanya. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa valsartan tidak kalah dengan captopril. Dalam penelitian lain yang mirip
[Optimal Therapy in Myocardial infarction with the Angiotensin II Antagonist Losartan
(OPTIMAAL)121], pemberian losartan 50 mg sekali sehari tidak menunjukkan non-inferioritas
ketika dibandingkan dengan captopril.
Pedoman praktis penggunaan ARB dapat dilihat pada Web Table 11.102
7.2.5 Ivabradine
Ivabradine adalah obat yang menekan saluran If pada nodus sinus. Satu-satunya efek
farmakologisnya yang diketahui adalah obat ini memperlambat denyut jantung pada pasien dengan
ritme sinus (tidak denyut ventrikuler pada AF).
Bukti kunci:
The Systolic Heart failure treatment with the If inhibitor ivabradine Trial (SHIFT) melibatkan
6588 pasien dengan kelas fungsional II-IV NYHA, dengan ritme sinus ≥70 b.p.m. dan FE
≤35%.112 Pasien juga harus memiliki riwayat rawat inap karena HF selama 12 bulan terakhir.
Peserta diberikan ivabradine (up-titrated hingga dosis maksimal 7,5 mg dua kali sehari) atau
plasebo secara acak, sebagai tambahan dari terapi diuretik (pada 84% peserta), digoksin
(22%), ACEI (79%), ARB (14%), beta-blocker (90%), dan MRA (60%). Tetapi, hanya 26%
pasien yang diberikan beta-blocker dosis maksimal. Waktu tindak lanjut median adalah 23
bulan. Nilai RRR pada primary composite outcome yang berupa kematian karena gangguan
kardiovaskuler atau rawat inap karena gagal jantung adalah sebesar 18% (P = 0,0001);
penurunan mortalitas kardiovaskuler (atau kematian total) tidak bermakna, tetapi RRR
untuk rawat inap karena HF adalah sebesar 26%. Nilai ARR pada primary composite
mortality–morbidity endpoint adalah sebesar 4,2%, setara dengan NNT (untuk rata-rarta 23
bulan untuk memperlambat satu kejadian) sebesar 24. Ivabradine juga memperbaiki fungsi
LV dan kualitas hidup.
5% pasien yang diberikan ivabradine mengalami bradikardia simptomatik dibandingkan
kelompok plasebo ynag hanya 1% (P = 0,0001). Efek samping visual (phosphenes) dilaporkan
terjadi apda 3% pasien yang diberikan ivabradine dan 1% pada plasebo (P = 0,0001).
Bukti keamanan ivabradine lainnya berasal dari uji klinis the MorBidity-mortality
EvAlUaTion of the If inhibitor ivabradine in patients with coronary disease and left
ventricULar dysfunction (BEAUTIFUL), sebuah RCT yang melibatkan 10.917 pasien penyakit
jantung coroner dengan FE ≤40% yang diberikan ivabradine 7,5 mg dua kali sehari atau
plasebo, dan diikuti selama waktu median 19 bulan. Walaupun penggunaan ivabradine tidak
mengurangi primary outcome yang terdiri dari kematian karena gangguan kardiovaskuler,
infark miokard, atau rawat inap karena HF, obat ini ditoleransi dengan baik.122
7.2.6 Digoksin dan glikosida digitalis lainnya
Pada pasien-pasien dengan HF simptomatik dan AF, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat frekwensi denyut ventrikel, walaupun terapi lainnya lebih dianjurkan (lihat bagian
10.1). Digoksin juga dapat digunakan pada pasien-pasien dengan ritme sinus dengan HF
simptomatik dan FEVK ≤40%, seperti yang direkomendasikan dibawah ini, berdasarkan bukti-bukti
yang dirangkum dibawah.113
Bukti kunci:
Sebuah RCT berskala besar yang menilai angka morbiditas dan mortalitas [Digitalis
Investigation Group (DIG)] untuk pasien-pasien gagal jantung simptomatis dengan FE yang
rendah yang diberikan digoksin telah dilakukan.113
Dalam uji klinis DIG, 6800 pasien dengan FE ≤45% dan kelas fungsional II-IV NYHA diberikan
plasebo atau digoksin (0.25 mg sekali sehari) secara acak sebagai tambahan dari diuretik
atau ACEI. Uji klinis ini dilakukan sebelum beta-blocker umum digunakan untuk HF.113
Terapi dengan digoksin tidak mengubah angka mortalitas total, tetapi menyebabkan RRR
untuk rawat inap karena perburukan HF sebesar 28% dalam waktu rata-rata 3 tahum
setelah terapi dimulai. Nilai ARR absolut yang didapat adalah 7,9%, setara dengan NNT
(untuk 3 tahun untuk memperlambat rawat inap satu pasien) sebesar 13.
Temuan-temuan ini didukung oleh sebuah meta-analysis berbagai uji klinis berskala kecil
yang mengindikasikan bahwa digoksin dapat memperbaiki gejala dan mencegah perburukan
kondisi penyakit.123
Digoksin dapat menyebabkan aritmia atrium dan ventrikel, terutama jika terjadi
hypokalemia, sehingga pemeriksaan elektrolit serum dan fungsi ginjal wajib dilakukan
secara berkala.
Efikasi dan keamanan glikosida digitalis lainnya seperti digitoksin dalam gagal jantung belum
pernah diteliti dengan sungguh-sungguh sebelumnya.
7.2.7 Kombinasi hidralazin dan isosorbid dinitrat (H-ISDN)
Idalam satu RCT yang relatif kecil yang dilakukan pada pasien pria saja (dan sebelum ACEI atau
beta-blocker digunakan untuk mengobati HF), kombinasi vasodilator ini menyebabkan sedikit
penurunan mortalitas dibandingkan dengan plasebo.114-116 dalam sebuah RCT lain, penambahan H-
ISDN terhadap terapi konvensional (ACEI, beta-blocker, dan MRA) mengurangi morbiditas dan
mortalitas (dan mengurangi gejala) ada pasien kulit hitam Amerika dengan HF.116 Dalam populasi
pasien tertentu yang diteliti, ukuran RCT yang relatif kecil, dan terminasi awal (karena mortalitas)
memunculkan keraguan tentang nilai dari terapi kombinasi ini, terutama dalam populasi bukan kulit
hitam.
Bukti kunci:
Terdapat dua uji klinis acak terkontrol plasebo (V-HeFT-I dan A-HeFT) dan satu RCT
terkontrol aktif (V-HeFT-II) yang menggunakan H-ISDN.114-116
Dalam V-HeFT-I, 642 pria diberikan plasebo, prazosin, atau H-ISDN secara acak sebagai
tambahan diuretik atau digoksin.114 Tidak ada pasien yang diberikan beta-blocker atau ACEI
(penggunaan MRAs tidak didokumentasikan). Tingkat mortalitas tidak berbeda pada
kelompok plasebo dan prazosin. Dalam kelompok H-ISDN, terjadi kecenderungan
penurunan mortalitas total selama periode tindak lanjut keseluruhan (mean 2,3 tahun): RRR
22%; ARR 5,3%; NNT 19. H-ISDN meningkatkan kemampuan berolahraga dan FEVK
dibandingkan dengan plasebo.
Dalam penelitian A-HeFT, 1050 pria dan wanita kulit hitam Amerika dengan keas III-IV NYHA
diberikan plasebo atau H-ISDN secara acak, sebagai tambahan diuretik (90%), digoksin
(60%), ACEI (70%), ARB (17%), beta-blocker (74%), dan spironolakton (39%).116 Dosis awal
terapi adalah 20 mg ISDN/37.5 mg hidralazin tiga kali sehari, dan ditingkatkan hingga dosis
target sebesar 40 mg/75 mg tiga kali sehari. Uji klinis ini dihentikan secara premature,
setelah waktu tindak lanjut median 10 bulan, karena terjadi penurunan mortalitas yang
bermakna (RRR 43%; ARR 4,0%; NNT 25). H-ISDN juga mengurangi resiko rawat inap karena
HF (RRR 33%) dan memperbaiki kualitas hidup.
Dalam V-HeFT-II, 804 pria yang sebagian besar merupakan kelas II/III NYHA, diberikan
enalapril atau H-ISDN secara acak sebagai tambahan dari diuretik atau digoksin.115 Tidak ada
pasien yang diberikan beta-blocker. Terjadi kecenderungan peningkatan mortalitas total
pada kelompok H-ISDN selama masa tindak lanjut total (mean 2,5 tahun): peningkatan
relatif resiko adalah sebesar 28%.
Efek samping yang paling umum terjadi pada pemberian H-ISDN dalam uji klinis tersebut
adalah sefalgia, rasa pusing/hipotensi, dan rasa mual. Arthralgia dapat menyebabkan
penghentian atau penurunan dosis H-ISDN terjadi pada 5–10% pasien dalam V-HeFT I dan II,
serta menyebabkan peningkatan antinuclear antibody pada 2–3% pasien (tetapi lupus-like
syndrome jarang terjadi).
7.2.8 Omega-3 polyunsaturated fatty acids
Penggunaan ɷ-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs) memberikan sedikit manfaat, yang terlihat
dalam penelitian Gruppo Italiano per lo Studio della Sopravvivenza nell’Infarto miocardico-heart
failure (GISSI-HF) dan hanya terdeteksi setelah penyesuaian kovariat dalam analisis statistic, serta
tidak mempengaruhi angka rawat inap karena HF.117 Efek PUFAs setelah infark miokard tidak pasti.
Bukti kunci:
Dalam uji klinis GISSI-HF PUFA trial, 6975 pasien dengan gejala kelas II-IV NYHA dan FE ≤40%
(atau <40%, dirawat inap karena HF dalam setahun sebelumnya) diberikan plasebo atau
PUFA ɷ-3 sebanyak 1 gram secara acak sebagai tambahan dari terapi standar (ACEI/ARB
pada 94% pasien, beta-blocker pada 65% pasien, dan spironolakton pada 39% pasien).117
Waktu tindak lanjut median adalah 3,9 tahun. Pemberian ɷ-3 PUFA menyeabbkan RRR
sebesar 8% pada co-primary composite outcome dari kematian atau rawat inap karena
gangguan kardiovaskuler dalam sebuah analisis yang disesuaikan (adjusted P = 0,009). Tidak
ditemukan penurunan angka rawat inap karena HF, tetapi terjadi RRR sebesar 10% pada
mortalitas kardiovaskuler (adjusted P = 0,045) dan 7% pada angka rawat inap kardiovaskuler
(adjusted P = 0,026).
Temuan-temuan ini didukung oleh satu RCT post-infark miokard (GISSI-Prevenzione124),
tetapi tidak oleh RCT lainnya (OMEGA125). Dalam penelitian GISSI-Prevenzione, 11.324
pasien diberikan plasebo atau ɷ-3 PUFA sebanyak 1 gram/hari secara acak, dalam waktu ≤3
bulan setelah infark miokard. Kelompok yang diberikan ɷ-3 PUFA mengalami RRR sebesar
10% dalam primary composite outcome yang berupa kematian, infark miokard, atau stroke
(yang dipengaruhi kkuat oleh penurunan dalam kematian kardiovaskuler).
OMEGA memberikan plasebo atau 1 g ɷ-3 PUFA per hari secara acak kepada 3851 pasien
dalam 3–14 hari setelah infark miokard akut selama setahun. Kelauran tidak berbeda antara
kedua kelompok perlakuan.
Sediaan ɷ-3 PUFA berbeda dalam komposisi dan dosisnya mungkin juga berpengaruh.
Efek samping utama dari pemberian ɷ-3 PUFA yang terjadi dalam uji klinis tersebut adalah
rasa mual dan gangguan saluran pencernaan minor lainnya.
7.3 Terapi yang tidak direkomendasikan (tidak terbukti bermanfaat)
7.3.1 3-Hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A reductase inhibitors (‘statins’)
Walaupun terdapat banyak bukti yang mendukung peran statin dalam penyakit arterosklerosis
(arterial), sebagian besar uji klinis tidak mengikutsertakan asien dengan HF (karena manfaatnya
masih belum pasti).126 Dua uji klinis terbaru meneliti terapi statin untuk masih dengan CHF, tetapi
dari hasil penelitian tersebut, tidak didapatkan bukti kuat atas manfaat statin untuk CHF (walaupun
hanya sedikit bukti bahwa pemakaian statin membahayakan).127,128 Walaupun terdapat banyak
bukti dari manfaat statin dalam masalah kardiovakuler lainnya, bukti yang ada tidak cukup untuk
mendukung penggunaan statin dalam CHF.
Bukti kunci:
The Controlled Rosuvastatin Multinational Trial in Heart Failure (CORONA) dan GISSI-HF
membandingkan penggunaan rosuvastatin dengan plasebo pada pasien dengan HF
simptomatis.127,128
CORONA melibatkan 5011 pasien lansia (≥60 tahun) dengan HF simptomatik (kelas II-IV
NYHA) dengan etiologi iskemia dengan FE ≤40%, yang oleh peneliti dianggap tidak
membutuhkan terapi penurun kolesterol. Rosuvastatin tidak menurunkan primary endpoint
(kematian kardiovaskuler, infark miokard, atau or stroke) atau mortalitas total.127
Uji klinis statin GISSI-HF melibatkan 4574 pasien dengan HF simptomatik (kelas II-IV NYHA)
dengan etiologi iskemia atau non-iskemik. Nilai FE pasien ≤40% (atau jika >40%, pernah
dirawat inap karena HF dalam setahun sebelumnya) dan diberikan plasebo atau rosuvastatin
10 mg sehari secara accak, sebagai tambahan dari terapi standar yang termasuk ACEI/ARB
pada 94% pasien, beta-blocker pada 63% pasien, dan spironolakton pada 40% pasien. Wakti
tindak lanjut median adalah 3,9 tahun. The co-primary endpoints yang berupa mortalitas
total dan komposit dari mortalitas total atau rawat inap kardiovaskuler tidak berkurang
dengan penggunaan rosuvastatin.
7.3.2 Renin inhibitors
Saat ini sedang dilakukan evaluasi untuk satu jenis direct renin inhibitor (aliskiren) dalam dua buah
morbidity–mortality RCTs. Obat ini masih belum direkomendasikan sebagai alternatif ACEI atau
ARB.129,130
7.3.3 Agen antikoagulan oral
Selain pasien dengan AF (baik HF-REF dan HF-PEF), tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
penggunaan antikoagulan oral akan menurunkan angka mortality–morbidity dibandingkan dengan
plasebo atau aspirin (lihat bagian 10.1).130a
7.4 Terapi yang tidak dianjurkan (yang dianggap membahayakan)
Terapi (atau kombinasi terapi) yang dapat membahayakan pasien dengan pasien dengan gagal
jantung sistolik simptomatik (kelas II-IV NYHA).
7.5 Diuretik
Efek diuretik terhadap mortalitas dan morbiditas belum pernah diteliti pada pasien dengan HF,
tidak seperti ACEI, betablockers, dan MRAs (dan terapi lainnya). Namun, diuretik dapat
meringankan dispneu dan edema, serta direkomendasikan untuk pasien dengan gejala dan tanda
kongesti, tanpa memperdulikan FE.
Loop diuretiks meyebabkan diuresis yang lebih intensif dan lebih singkat dibandingkan dengan
tiazid yang menyebabkan diuresis yang lebih perlahan dan lama. Tiazid mungkin tidak memiliki
tingkat efektivitas yang sama pada pasien dengan fungsi ginjal yang menurun. Loop diuretiks
biasanya lebih dipilih dibandingkan dengan tiazid pada pasien dengan HF-REF, walaupun berfungsi
sinergistik dan kombinasinya dapat digunakan (biasanya sementara) untuk mengobati edema yang
resisten.
Tujuan menggunakan diuretik adalah untuk mencapat dan menjaga keadaan euvolemia (‘berat
kering’ pasien) dengan penggunaan dosis yang serendah mungkin. Ini berarti harus dilakuan
penyesuaian dosis, terutama setelah ‘berat kering’ tubuh pasien kembali, untuk mencegah
terjadinya dehidrasi yang menyebabkan hipotensi dan disfungsi ginjal. Ini dapat menyebabkan
penurunan curah jantung pada pasien dengan HF-PEF dan seringkali mencegah penggunan (atau
pencapaian dosis target) terapi lain yang memodifikasi penyakit, seperti ACEI (atau ARBs) dan MRAs
pada pasien dengan HF-REF. Banyak pasien dapat dilatih untuk menyesuaikan dosis diuretik mereka
sendiri, berdasarkan tanda dan gejala kongesti yang dirasakan dan pengukuran berat badan harian.
Pedoman praktis penggunaan diuretik dapat dilihat pada Web Table 15 dan dosis umum diuretik
dapat dilihat pada tabel 16.
Penggunaan diuretik hemat kalium dan suplemen kalium:
Jika diuretik boros kalim digunakan bersamaan dengan ACEI atau MRA (atau ARB), biasanya
tidak dibutuhkan suplemen kalium.
Hiperkalemia berat dapat terjadi pada penggunaan diuretik hemat kalium atau suplemen
kalium yang diminum bersanaan dengan ACEI (atau ARB) dan MRA.
Penggunaan ACEI, MRA dan ARB (ketiganya) secara bersamaan tidak direkomendasikan.
8. Terapi farmakologis HF-PEF (gagal jantung diastolik)
Belum ada tearpi yang terbukti secara pasti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
pasien-pasien dengan HF-PEF. Diuretik digunakan untuk mengontrol retensi natrium dan air, serta
untuk meringankan dispneu dan edema seperti pada HF-PEF. Terapi hipertensi dan iskemia miokard
yang adekuat juga dianggap pentung, sama seperti kontrol denyut ventrikel pada pasien dengan AF
(lihat bagian 11). Dua uji klinis dengan skala sangat kecil (masing-masing dengan 30 pasien)
membuktikan bahwa calcium-channel blocker (CCB) verapamil dapat menekan denyut jantung,
sehingga memperbaiki kemampuan berolahraga dan gejala pasien.137,138 Rate-limiting CCBs
mungkin juga bermanfaat dalam mengontrol denyut ventrikel pada pasien AF dan pada terapi
hipertensi dan iskemia miokard (tetapi bukan ini permasalahannya padda pasien HF-REF, dimana
fungsi inotropik negatifnya dapat membahayakan). Beta-blockers juga dapat digunakan untuk
mengontrol denyut ventrikel pada pasien dengan HF-PEF dan AF.
Obat-obatan yang sebaiknya dihindari pasien HF-REF (lihat bagian 7.4) sebaiknya juga dihindari oleh
pasien HF-PEF, kecuali CCB.
Uji klinis mortalitas-morbiditas penting hingga saat ini antara lain adalah:
The 3023-patient Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in Mortality and
Morbidity (CHARM)-Preserved trial, yang terbukti tidak menurunkan primary composite
endpoint (kematian kardiovaskuler atau rawat inap karena HF).139
The 850-patient Perindopril for Elderly People with Chronic Heart failure trial (PEP-CHF), yang
membuktikan bahwa tidak terjadi penurunan primary composite endpoint yang berupa
kematian atau rawat inap karena HF.140
The Irbesartan in heart failure with preserved systolic function trial (I-Preserve) yang
melibatkan 4128 pasien menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan primary composite
outcome dari kematian atau rawat inap kardiovaskuler (terutama HF, infark miokard,
unstable angina, aritmia, atau stroke).141
Tabel 16 Dosis diuretik yang umum digunakan untuk mengobati gagal jantung (dengan/tanpa fraksi
ejeksi normal, kronis dan akut).
9. Terapi alat non-bedah untuk HF-REF (gagal jantung sistolik)
Bagian ini membahas penggunaan ICD dan CRT. Walaupun belum ada RCT tentang ICD yang baru
sejak pedoman 2008 diterbitkan,1 terdapat beberapa RCT penting yang meneliti penggunaan CRT
yang mengubah rekomendasinya (lihat dibawah). Teknologi lain, seperti rompi defibrillator yang
dapat dipakai142 dan monitor yang dapat ditanam (sendiri atau digabungkan dengan alat lainnta),
perlu diteliti lebih lanjut, tetapi masih belum terdapat bukti yang cukup untuk direkomendasikan
dalam pedoman.
9.1 Implantable cardioverter-defibrillator (ICDs)
Kurang lebih setengah kematian pasien HF, terutama pada pasien dengan gejala ringan, terjadi
secara tiba-tiba, dan banyak diantaranya atau sebagian besar, berhubungan dengan aritmia
ventrikel (yang lain dapat berhubungan dengan bradikarsia dan asistol). Oleh karena itu,
pencegahan kematian mendadak menjadi salah satu target terapi yang penting dalam penanganan
HF. Walaupun penggunaan antagonis neurohumoral yang memodifikasi penyakit penting dalam
mengurangi resiko kematian mendapat, obat-obatan tersebut tidak mencegahnya. Obat-obatan
antiaritmia tertentu tidak mengurangi resiko ini (dan bahkan dapat meningkatkannya).143 Inilah
alasan mengapa ICD berperan penting dalam mengurangi resiko kematian karena aritmia ventrikel.
9.1.1 Pencegahan sekunder dari kematian mendadak karena jantung.
Bukti kunci
ICDs dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien-pasien dengan riwayat ghenti jantung dan
pada pasien dengan aritmia ventrikel simptomatis yang persisten. Oleh karena itu, ICD
direkomendasikan pada pasien-pasien tersebut, tidak memperdulikan FE, dengan status fungsional
yang baik, dengan harapan hidup >1 tahun, dan dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan
angka harapan hidup.144,147
9.1.2 Pencegahan primer dari kematian mendadak karena jantung.
Bukti kunci
The Sudden Cardiac Death in Heart Failure Trial (SCD-HeFT) melibatkan 2521 pasien dengan
kardiomiopati dilatasi non-iskemia atau HF iskemik, tanpa riwayat aritmia venrtikel
simptomatik, dan FE ≤35% dengan kulas fungsional II atau III NYHA. Pasien-pasien tersebut
dibeirkan plasebo, amiodaron, atau sebuah ICD secara acak, sebagai tambahan dari terapi
konvensional, yang termasuk diantaranya ACEI atau ARB (96%) dan satu beta-blocker (69%);
penggunaan MRA tidak dilaporkan.149
Penggunaan ICD menyebabkan RRR kematian sebesar 23% (P = 0,007) dengan waktu tindak
lanjut median selama 45,5 bulan. Manfaat ini merupakan tambahan dari yang didapat
dengan terapi konvensional, termasuk ACEI dan beta-blocker. Amiodaron tidak mengurangi
mortalitas.
Nilai ARR mortalitas dengan ICD adalah sebesar 6,9%, setara dengan NNT (untuk 45.5 bulan
untuk memperlambat satu kematian) sebesar 14.
Dukungan tambahan untuk penggunaan ICD berasal dari the Multicenter Automatic
Defibrillator Implantation Trial II (MADIT-II),148 sebuah RCT yang melibatkan pasien dengan
rawayat infark miokard dan FE ≤30% (59% dari peserta adalah kelas II atau III NYHA)
diberikan terapi konvensional atau terapi konvensional ditambah ICD secara acak.
Penggunaan ICD menyebabkan RRR mortalitas sebesar 31%. Dua uji klinis acak lainnya tidak
memperlihatkan manfaat pada pasien yang diberikan ICD lebih awal (≤40 hari) setelah infark
miokard.150,151 Inilah alasan mengapa penggunaan ICd pada pasien dengan penyakit jantung
koroner mendapatkan level of evidence A, tapi hanya pada pasien >40 hari setelah infark
miokard akut.
Terdapat lebih sedikit bukti pada pasien dengan HF non-iskemik, hanya satu uji klinis
berskala sedang [Defibrillators in Non-ischemic Cardiomyopathy Treatment Evaluation
(DEFINITE), n = 458] yang menunjukkan adanya kecenderungan penurunan mortalitas yang
tidak bermakna; oleh karena itu mendapatkan level of evidence B.152
Implantasi ICD sebaiknya dipertimbangkan setelah periode optimalisasi terapi medis
tertentu (minimal 3 bulan) dan hanya jika FE tetap persisten rendah.
Terapi ICD tidak diindikasikan pada pasien dengan kelas IV NYHA dengan gejala-gejala yang
berat dan drug-refractory (tahan obat-obatan??), yang tidak merupakan kondidat CRT,
sebuah alat pembantu ventrikuler, atau transplantasi jantung (karena pasien-pasien
tersebut memiliki lama harapan hidup yang sangat terbatas dan lebih cenderung meninggal
karena kegagalan pompa jantung).
Pasien yang sebaiknya diberi pengetahuan tentang ICD dan komplikasinya [predominantly
inappropriate shocks (sebagian besar merupakan kejutan listrik yang tidaks eharusnya
terjadi??)].153
Jika HF memburuk, dapat dipertimbangkan untuk deaktivasi ICD setelah didiskusikan
dengan pasien dan perawat pasien.
Rekomendasi untuk penggunaan ICDs pada pasien dengan gagal jantung.
9.2 Cardiac resynchronization therapy(CRT) atau terapi resinkronisasi jantung
Telah dilakukan dua RCT berskala besar yang membuktikan bahwa CRT bermanfaat pada pasien
dengan gejala ringan (kelas II NYHA)154,155 dan pada pasien dengan gejala yang lebih berat.156.157
Sedikit keraguan bahwa pasien dapat hidup >1 tahun dengan status fungsional yang baik jika
menerima CRT dengan ritme sinus, FEVK rendah (≤30%), durasi QRS sangat memanjang (≥150 ms),
dan EKG yang menunjukkan morfologi left bundle branch, tanpa memperdulikan beratnya gejala.
Terdapat lebih sedikit consensus tentang pasien-pasien dengan right bundle branch block atau
interventricular conduction delay (berdasarkan analisis subgrup) dan dengan AF (karena pasien-
pasien seperti ini biasanya tidak dimasukkan dalam uji klinis dan karena frekwensi denyut ventrikel
yangtinggi dapat mencegah resinkronisasi). Hal lain yang masih diperdebatkan adalah apa yang
harus dilakukan pada pasien dengan HF-REF tanpa indikasi CRT yang membutuhkan pacemaker
konvensional.158 ada kemungkinan pasien dengan durasi QRS >120 ms memiliki disinkronisasi
mekanik (yang dapat terdeteksi oleh pencitraan) dan mendapatkan manfaat dari CRT adalah satu
area riset yang belum terbukti.159,160
Rekomendasi untuk penggunaan CRT dimana buktinya kuat – pasien dengan ritme sinus dengan
gagal jantung kelas fungsional III dan IV ambulatorik NYHA dan fraksi ejeksi menurun secara
persisten, walaupun dengan terapi farmakologis optimal.
9.2.1 Rekomendasi untuk CRT dengan bukti yang pasti
Bukti kunci yang mendukung penggunaan CRT
Gagal jantung simptomatik derajat sedang hingga berat:
Dua RCTs terkontrol plasebo yang penting [Comparison of Medical Therapy, Pacing, and
Defibrillation in Heart Failure (COMPANION) dan Cardiac Resynchronization in Heart Failure
Study (CARE-HF)] memberikan terapi medis optimal atau terapi medis optimal ditambah
dengan CRT pada 2333 pasien dengan HF simptomatik derajat sedang hingga berat (kelas III
atau IV NYHA) secara acak.156,157 Peserta COMPANION diwajibkan untuk memiliki ritme
sinus, FE ≤35% dan durasi QRS minimal 120 ms, serta riwayat rawat inap karena HF atau
setara dalam setahun sebelumnya. Pasien dalam CARE-HF diwahibkan untuk memiliki ritme
sinus, FE ≤35%, durasi QRS ≥120 ms (jika durasi QRS antara 120–149 ms kriteria
disinkronisasi echokardiografis lainnya harus ada), dan dimensi akhir diastole ventrikel kiri
minimal 30 mm (berdasarkan indeks tinggi).
Kedua uji klinis ini membuktikan CRT mengurangi resiko kematian karena penyebab apapun
dan resiko rawat inap karena perburukan HF [RRR kematian sebesar 24% dengan
penggunaan CRT-pacemaker (CRT-P) dan sebesar 36% dengan penggunaan CRT-defibrillator
(CRT-D) dalam penelitian COMPANION, serta sebesar 36% dengan CRT-P dalam CARE-HF].
Dalam CARE-HF, nilai RRR rawat inap karena HF dengan CRT-P adalah 52%. Manfaat ini
merupakan tambahan dari yang didapat dengan terapi konvensional, termasuk diuretik,
digoksin, ACEI, beta-blocker, dan MRA.
Nilai ARR dengan CRT-D dalam composite outcome kematian kardiovaskuler atau rawat inap
kardiovaskuler dalam COMPANION adalah 8.6%, setara dengan NNT (selama waktu tindak
lanjut median 16 bulan) untuk memperlambat satu kejadian adalah 12. Nilai yang didapat
untuk penggunaan CRT-P dalam CARE-HF (selama masa tindak lanjut mean 29 bulan) adalah
ARR sebesar 16,6% dan NNT sebesar 6.
Uji klinis tersebut juga membuktikan bahwa CR memperbaiki gejala, kualitas hidup, dan
fungsi ventrikel. Uji klinis lainnya membuktikan bahwa agen-agen ini memperbaiki
kemampuan berolahraga.
Karena pasien-pasien dengan gejala yang berat ini mendapatkan banyak manfaat, dank
arena tidak terdapat subgroup pasien yang tidak mendapatkan manfaat secara jelas dari
CRT, pasien-pasien dengan kelas fungsional III dan IV NYHA diberikan indikasi CRT paling
luas.
HF simpatomatik ringan hingga sedang
Ada dua RCT terkontrol plasebo penting yang memberikan terapi medis optimal ditambah
dengan ICD atau terapi medis optimal ditambah dengan CRT-D secara acak pada 3618
pasien dengan gagal jantung simptomatik derajat ringan (MADIT-CRT, 15 % dalam kelas I
NYHA dan 85% dalam kelas III NYHA) hingga sedang [Resynchronization/Defibrillation for
Ambulatory Heart Failure Trial (RAFT), 80% dalam kelas II NYHA dan 20% dalam kelas III
NYHA].154-155 Peserta MADIT-CRT memiliki FE ≤30%, durasi QRS ≥130 ms, dan ritme sinus.
Peserta RAFT memiliki FE ≤30% dan durasi QRS ≥120 ms (13% peserta menderita AF dengan
denyut ventrikel yang terkontrol baik).
Kedua uji klinis ini menunjukkan bahwa CRT menurunkan resiko primary composite
endpoint dari kematian atau rawat inap karena HF (kejadian HF dalam MADIT-CRT) (RRR
sebesar 34% dalam MADIT-CRT dan 25% dalam RAFT). Terjadi penurunan sebesar 25%
dalam mortalitas total RAFT (P = 0,003), tetapi tidak terjadi penurunan mortalitas dalam
MADIT-CRT. Manfaat ini merupakan tambahan dari yang didapat dengan terapi
konvensional, termasuk diuretik, digoksin, ACEI, beta-blocker, MRA, dan ICD.
Nilai ARR dari primary composite mortality–morbidity endpoint dalam MADIT-CRT adalah
sebesar 8,1%, setara dengan NNT (untuk rata-rata 2,4 tahun untuk memperlambat satu
kejadian) adalah sebesar 12. Untuk RAFT didapatkan ARR sebesar 7,1% dan NNT sebesar 14
(selama rata-rata 40 bulan).
Kedua uji klinis tersebut membuktikan bahwa CRT memperbaiki gejala, kualitas hidup, dan
fungsi ventrikel. Uji klinis lainnya membuktikan bahwa agen-agen tersebut meningkatkan
kemampuan berolahraga.
Baik MADIT-CRT maupun RAFT menunjukkan terjadinya interaksi terapi per sub-grup yang
bermakna dimana durasi QRS disesuaikan dengan efek terapi (CRT tampaknya lebih efektif
pada pasien dengan QRS ≥150 ms) dan pasien-pasien dengan LBBB tampaknya juga
mendapatkan manfaat yang lebih banyak daripada yang dengan right bundle branch block
atau dengan gangguan konduksi interventrikuler (kedua kelompok ini saling bersilangan
secara bermakna, karena pasien dengan LBBB memiliki kecenderungan lebih besar memiliki
durasi QRS ≥150 ms). Temuan-temuan ini didukung oleh analisis echokardiografis.161 Inilah
alasan mengapa pada pasien dengan gejala yang lebih ringan, CRT direkomendasikan hanya
pada yang memiliki durasi QRS ≥150 ms atau ≥130 ms plus pola LBBB.
9.2.2 Rekomendasi untuk CRT dimana buktinya tidak pasti
Dua jenis situasi klinis yang umum ditemukan dimana bukti untuk mendapatkan atau tidak
mendapatkan CRT hanya sedikit adalah AF dan pasien dengan FE berkurang dengan indikasi
pemberian pacemaker konvensional dan tidak ada indikasi lain CRT.
Atrial fibrillation (AF)
Satu uji klinis buta berskala kecil [Multisite Stimulation in Cardiomyopathies (MUSTIC)] meilibatkan
59 pasien HF-REF dengan AF persisten/permanen, denyut ventrikuler yang lambat yang
membutuhkan permanent ventricular pacing, dan durasi paced QRS ≥200 ms.162 Penelitian
tersebut menggunakan crossover design (3 bulan pacing konvensional vs. 3 bulan CRT). Terjadi
angka drop-out yang tinggi (42%) dan tidak ditemukan perbedaan dalam primary endpoint dalam
jarak berjalan 6-menit. Semua RCT berskala besar CRT mengeksklusikan pasien dengan AF, kecuali
RAFT.158 RAFT mengikutsertakan 229 pasien dengan AF atau flutter permanen dengan denyut
ventrikel yang terkontrol (≤60 b.p.m. saat istirahat dan ≤90 b.p.m. selama uji berjalan 6 menit) atau
yang direncanakan ablasi AV junction. Analisis lebih lanjut tidak menujukkan adanya interaksi yang
bermakna antara ritme dasar dan efek terapi, tetapi subgroup ini hanya mewakili sebagian kecil
populasi. Data lain yang mengindikasikan bahwa pasien dengan AF (tanpa ablasi nodus AV)
mungkin mendapatkan manfaat dari CRT dibatasi karena bersifat observasi saja.163
Pasien dnegan indikasi pacing konvensional:
Semua RCT penting dari CRT, kecuali RAFT, mengeksklusikan pasien dengan indikasi konvensional
pacing. RAFT mengikutsertakan 135 pasien dengan durasi paced QRS ≥200 ms, subgroup yang
terlalu kecil untuk dianalisis secara bermakna.155 namun, conventional right ventricular pacing,
mengubah urutan normal aktivasi jantung dalam cara yang mirip dengan LBBB, selain itu data
eksperimental dan observasional mengindikasikan bahwa ini dapat menyebabkan penurunan fungsi
sistolik LV.164,165 Inilah alasan mengapa CRT direkomendasikan sebagai alternatif dari conventional
right ventricular pacing pada pasien-pasien dengan HF-REF yang memiliki indikasi standar untuk
pacing atau yang membutuhkan penggantian generator atau revisi pacemaker konvensional.
10. Aritmia, bardikardia, dan atrioventricular block pada pasien HF-REF dan pasien PF-PEF
Penatalaksaan aritmia dibahas dalam pedoman ESC lainnya,143,166 dan bagian ini hanya membahas
aspek-aspek yang berhubungan dengan pasien HF.
10.1 Atrial fibrillation (AF)
AF adalah aritmia yang paling sering terjadi pada HF; AF meningkatkan resiko terjadinya komplikasi
trombo-emboli (terutama stroke) dan dapat menyebabkan perburukan gejala. Apakah AF
merupakan predictor mortalitas yang mandiri atau dapat menyebabkan HF sistolik
(takikardiomiopati) masih belum begitu pasti.
AF sebaiknya diklasifikasikan dan ditangani dengan menggunakan pedoman penatalaksanaan AF
yang terkini (yaitu berdasarkan episode pertama, paroksismal, persisten, longstanding persisten,
atau permanen), juga mempertimbangkan ketidakpastian durasi episode yang sebenarnya dan
episode-episode yang tidak terdeteksi.166
Masalah-masalah berikut harus dipertimbangkan pada pasien HF dengan AF, terutama jika baru
mengalami episode pertama AF atau AF paroksismal:
Identifikasi penyebab yang dapat diperbaiki (seperti hipertiroidisme, gangguan elektrolit,
hipertensi tidak terkontrol, penyakit katup mitral).
Identifikasi factor-faktor presipitasi potensial (seperti baru mengalami pembedahan, infeksi
dada atau eksaserbasi PPOK/asma, iskemia miokard akut, alcohol bingekadang meminum
alkohol berlebihan??) karena ini dapat menentukan apakah strategi pengontrol ritme lebih
baik daripada strategi pengontrol denyut.
Penilaian untuk menggunakan profilaksis tromboembolisme.
10.1.1 Kontrol denyut
Pendekatan yang mengontrol denyut ventrikuler pada pasien HF dengan AF dapat dilihat dalam
Gambar 3. Rekomendasi untuk terapi individual per langkah untuk pasien HF-REF dapat dilihat
dibawah ini.
Untuk mengontrol denyut pada pasien dengan HF-REF, lebih baik menggunakan beta-blokcer
daripada digoksin, karena digoksin tidak dapat mengontrol denyut pada saat berolahraga.167 Selain
itu, beta-blocker memang bermanfaat menurunkan mortalitas dan morbiditas pada HF sistolik (lihat
sebelumnya). Kombinasi digoksin dan beta-blocker lebih efetif dari beta-blocker saja dalam
mengontrol denyut ventrikel pada saat istirahat.168
Pada pasien dengan HF-PEF, rate-limiting CCBs (verapamil dan diltiazem) merupakan alternatif
beta-blocker yang efektif (tetapi tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan HF-
REF karena fungsi inotropik negatifnya dapat memperberat disfungsi sistolik LV yang terjadi).134,167
Kombinasi digoxin dan penyekat kanal kalsium lebih efektif daripada penggunaan penyekat kanal
kalisum sendiri dalam mengontrol laju ventrikel saat istirahat.169
Penilaian dalam mengontrol laju
ventrikel saat latihan membutuhkan pemantauan EKG. Laju ventrikel optimal pada pasien gagal
jantung dan fibrilasi atrium tidak dapat dipastikan oleh karena pada suatu Randomized Controlled
Trial membandingkan kontrol laju hanya mengikutsertakan sangat sedikit pasien gagal jantung.170
Pada penelitiann the Atrial Fibrillation and Congestive Heart Failure (AF-CHF) (menunjukkan hasil
yang sama pada perbandingan antara strategi kontrol laju dengan kontrol irama). Targetnya adalah
80 b.p.m saat istirahat dan 110 b.p.m saat tes berjalan selama 6 menit.171
Pada kasus-kasus yang
ekstrim, ablasi nodus AV dan pacing mungkin dibutuhkan; pada situasi seperti ini, pasien dengan
gagal jantung sistolik, CRT lebih dipertimbangkan daripada pacing konvensional (lihat bagian
9.2).164
10.1.2 Kontrol Irama
Pada pasien gagal jantung kronik, strategi kontrol irama (termasuk, farmakologi dan kardioversi
elektrik) tidak menunjukkan hasil yang lebih unggul daripada strategi kontrol laju dalam
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.171
Strategi ini mungkin lebih tepat untuk pasien dengan penyebab AF sekunder yang reversibel
(contohnya hipertiroidisme) atau faktor pencetus yang jelas (contohnya pneumonia) dan pada
pasien yang tidak toleran dengan AF setelah optimalisasi kontrol laju dan terapi gagal jantung.
Amiodaron merupakan satu-satunya antiaritmia yang digunakan pada pasien dengan gagal jantung
sistolik.172,173
Peran ablasi kateter dalam mengontrol irama pada gagal jantung masih belum jelas
sampai sekarang.174,175
Pada pasien gagal jantung akut, kardioversi darurat mungkin dibutuhkan
untuk memperbaiki instabilitas hemodinamik. (lihat Bagian 12.2).
10.1.3 Profilaksis Tromboemboli
Profilaksis trombo-emboli pada pasien dengan gagal jantung dan AF harus berdasarkan skor
CHA2DS2-VASc yang terdiri dari derajat gagal jantung, hipertensi, usia ≥75, diabetes, stroke-
penyakit vaskular, usia 65–74 dan jenis kelamin (lihat Tabel 17), sesuai dengan pedoman AF dari
ESC 2010.166,179 Sebagian besar pasien dengan gagal jantung sistolik memiliki indikasi untuk
pemberian antikoagulan oral, meskipun risiko perdarahn tetap harus dipertimbangkan. Skor HAS-
BLED (Tabel 18) yang terdiri dari hipertensi, fungsi ginjal/hati abnormal, stroke, riwayat perdarahan,
nilai INR, lansia (>65 tahun), kontaminasi obat/alkohol merupakan skor yang direkomendasikan
untuk menilai risiko perdarahan yang sesuai dengan pedoman AF dari ESC 2010.166,180
Pasien
gagal jantung dengan skor ≥3 harus dipertimbangkan secara hati-hati sebelum memberikan
antikoagulan oral dan pengawasan yang ketat dibutuhkan jika antikoagulan oral tersebut
diberikan.
Beberapa obat antikoagulan baru seperti inhibitor thrombin dan inhibitor faktor Xa merupakan
kontraindikasi dari gangguan ginjal berat (creatinine clearance < 30 mL/min).181–183
Hal ini harus
menjadi perhatian pada beberapa pasien gagal jantung dan jika obat tersebut diberikan,
pengawasan fungsi ginjal dibutuhkan. Tidak ada cara untuk mengembalikan efek obat antikoagulan
baru tersebut.
10.2 Aritmia Ventrikel
Aritmia ventrikel sering terjadi pada pasien gagal jantung, khususnya pada pasien dengan dilatasi
ventrikel kiri dan penurunan fraksi ejeksi. Rekaman EKG sering mendeteksi premature
ventricular complexes, dan non-sustained ventricular tachycardia.143
Penelitian menunjukkan
bahwa ‘complex ventricular arrhythmias’ (frequent premature ventricular complexes dan non-
sustained ventricular tachycardia.
Berhubungan dengan prognosis yang buruk pada gagal jantung. Rekomendasi pedoman dari the
American College of Cardiology/ American Heart Association/ESC mengenai tata laksana aritmia
ventrikel dan kematian mendadak yang berhubungan dengan gagal jantung dirangkum pada
bagian dibawah. Peran ablasi kateter pada pasien gagal jantung dalam mengatasi aritmia
ventrikel refrakter masih belum jelas.186
10.3 Bradikardia Simptomatik dan Atrioventrikular Blok
Meskipun indikasi pemasangan pacing untuk pasien gagal jantung sama dengan pasien yang
lain,165
ada beberapa hal spesifik yang harus diperhatikan pada pasien gagal jantung :
Sebelum pemasangan alat pacu jantung konvensional pada pasin dengan HF-REF, perlu
dipertimbangkan apakah ada indikasi untuk ICD,CRT-P atau CRT-D (lihat bagian 9.1 dan 9.2)
Oleh karena pacing ventrikel kanan dapat menyebabkan dyssynchrony dan perburukan
gejala, CRT harus dipertimbangkan daripada pacing konvensional pada pasien dengan HF-REF
(lihat bagian 9.2).
Pacing fisiologis untuk menjaga respon chronotropic yang adekuat dan menjaga koordinasi
atrium-ventrikel dengan sistem DDD lebih baik dari pacing VVI pada pasien dengan HF-REF
dan HF-PEF.165
Pemasangan pacing hanya untuk menginisiasi dan mentitrasi terapi penyekat beta tanpa
adanya indikasi yang jelas tidak direkomendasikan.
11. Arti dan tata laksana komorbiditas lain pada gagal jantung dengan penurunan
fraksi ejeksi dan pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal
11.1 Gagal jantung dan komorbiditas
Komorbiditas penting pada pasien gagal jantung untuk empat alasan utama. Pertama,
komorbiditas dapat mempengaruhi terapi gagal jantung (contohnya, terapi dengan inhibitor
sistem renin-angiotensin tidak mungkin diberikan pada pasien dengan disfungsi ginjal) (lihat
bagian 7.2) Kedua, obat-obatan yang dgunakan untuk mengobati komorbid dapat menyebabkan
perburukan gagal jantung (contohnya OAINS untuk arthritis) (lihat bagian 7.4). Ketiga, obat-
obatan yang digunakan untuk mengobati gagal jantung dan komorbiditas berinteraksi satu sama
lain [contohnya penyekat beta dan agonis beta untuk PPOK dan asma]. Terakhir, sebagian besar
komorbiditas berhubungan dengan perburukan status klinis dan menunjukan prognosis yang
buruk pada gagal jantung (contohnya diabetes).187
Tata laksana komorbiditas merupakan kunci
utama perawatan pasien gagal jantung (lihat bagian 14).
11.2 Anemia
Anemia (didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin <13 g/dL pada laki-laki dan <12 g/dL pada
perempuan) sering terjadi pada gagal jantung, khususnya pasien rawat inap. Anemia lebih sering
terjadi pada wanita, lansia dan pasien dengan gangguan ginjal. Anemia berhubungan dengan
perburukan status fungsional, risiko rawat inap pada gagal jantung yang lebih tinggi, dan penurunan
harapan hidup. Pemeriksaan diagnostik kerja standar harus dilakukan pada pasien anemia.
Penyebab anemia harus diatasi, meskipun tidak ada etiologi yang diidentifikasi pada beberapa
pasien. Koreksi defisiensi besi dengan menggunakan suplemen besi intravena telah diteliti pada
pasien gagal jantung (lihat bagian 11.14). Manfaat agen stimulasi eritropoietin untuk terapi
anemia dengan etiologi yang tidak jelas sampai saat ini belum jelas, namun saat ini penelitian
besar mengenai morbiditas dan mortalitas sedang dilakukan.187
11.3 Angina
Penyekat beta merupakan terapi yang efektif untuk angina dan gagal jantung sistolik. Obat
antiangina efektif lainnya telah diteliti pada sejumlah besar pasien dengan gagal jantung sistolik
dan terbukti aman (contohnya amlodipine,188,189
ivabradine,112,122dan nitrat
114 – 116). Obat
antiangina lain yang aman seperti nicorandil dan ranolazine belum jelas terbukti, sementara obat
lainnya seperti diltiazem dan verapamil telah terbukti tidak aman pada pasien dengan HF-REF
(meskipun dapat digunakan pada pasien HF-PEF).134
Revaskularisasi perkutaneus dan bedah
merupakan pendekatan alternatif untuk terapi angina (lihat bagian 13). Operasi Coronary artery
bypass graft dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan HF-REF.
11.4 Asthma : lihat penyakit paru obstruksi kronis
Lihat Bag.11.7.
11.5 Cachexia
Suatu proses penurunan seluruh kompartemen tubuh [contohnya, jaringan yang rusak (otot
rangka), jaringan lemak (cadangan energi), dan jaringan tulang (osteoporosis)], dapat terjadi pada
10 – 15% pasien gagal jantung, terutama pada pasien HF-REF. Komplikasi serius ini berhubungan
dengan perburukan gejala dan kapasitas fungsional, rawat inap, dan penurunan harapan hidup.
Cachexia is secara spesifik didefinisikan sebagai penurunan berat badan non-edematosa ≥ 6% berat
tubuh total dalam waktu 6-12 bulan.192
Penyebab pasti belum diketahui, mungkin berhubungan dengan gizi buruk, malabsorpsi, gangguan
keseimbangan kalori dan protein, gangguan hormon, gangguan hormon, aktivasi imunitas pro
inflamasi, gangguan neurohormonal, dan penurunan proses anabolik. Terapi potensi berupa
stimulasi nafsu makan, latihan, obat anabolik (insulin, steroid anabolik) dikombinasi dengan
suplemen nutrisi, meskipun belum ada satu pun yang terbukti bermanfaat dan keamanannya mash
belum jelas.
11.6 Kanker
Obat kemoterapi tertentu dapat menyebabkan (atau memperburuk) disfungsi sistolik ventrikel kiri
dangagal jantung. Obat yang paling terkenal adalah anthracyclines (contohnya doxorubicin) dan
trastuzumab.193,194
Dexrazoxane dapat berfungsi sebagai kardioproteksi pada pasien yang
mendapatkan anthracyclines. Evaluasi fraksi ejeksi penting dilakukan pada pasien yang
mendapatkan kemoterapi yang bersifat kardiotoksik.193,194
Pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel
kiri seharusnya tidak mendapatkan kemoterapi lebih lanjut dan harus mendapatkan terapi standar
untuk HF-REF. Iradiasi mediastinum juga dapat menyebabkan beberapa komplikasi jantung, meskipun
berkurangnya frekuensi penggunaan dosis tinggi dan luas daerah radioterapi menurunkan komplikasi
ini.
11.7 Penyakit Paru Obstruksi Kronis
PPOK dan asma dapat menyebabkan kesulitan dalam penegakkan diagnosa gagal jantung, terutama
HF-REF.24,25
Kondisi ini berhubungan dengan perburukan status fungsional dan perburukan
prognosis. Penyekat beta merupakan kontraindikasi pada asma namun tidak pada PPOK, meskipun
antagonis adrenoseptor beta-1 selektif (contohnya bisoprolol, metoprolol succinate, atau
nebivolol) lebih dipilih.195
Kortikosteoid oral menyebabkan retensi natrium dan air, yang akan
menyebabkan perburukan gagal jantung, namun kortikosteroid inhalasi dipercayai tidak
menyebabkan masalah. PPOK merupakan prediktor perburukan dari gagal jantung.
11.8 Depresi.
Depresi sering terjadi dan berhubungan dengan perburukan status klinis dan prognosis yang
buruk pada gagal jantung. Hal ini juga menyebabkan isolasi sosial. Kecurigaan yang tinggi diperlukan
untuk menegakkan diagnosa, khususnya lansia. Skrining rutin dengan menggunakan questioner yang
telah divalidasi perlu dilakukan. Intervensi psikososial dan terapi pengobatan dapat membantu.
Selective serotonin reuptake inhibitors dianggap aman sedangkan antidepresan trisiklik tidak
karena dapat menyebabkan hipotensi, perburukan gagal jantung dan aritmia. 196
11.9 Diabetes
Disglikemia dan diabetes sering terjadi pada gagal jantung, dan diabetes berhubungan dengan
perburukan status fungsional dan prognosis. Diabetes dapat dicegah dengan terapi ARB dan
inhibitor ACE.197
Penyekat beta buka merupakan suatu kontraindikasi pada diabetes dan memiliki
efektifitas yang sama baik pada pasien diabetes dan non-diabetes, meskipun setiap penyekat beta
memiliki efek yang berbeda-beda.198
Thiazolidinediones (glitazones) menyebabkan retensi natrium dan
air dan meningkatkan risiko perburukan gagal jantung dan rawat inap, sehingga harus dihindari. (lihat
rekomendasi bagian 7.4).131–133
Metformin tidak direkomendasikan pada pasien dengan gangguan
ginjal dan hati berat karena risiko asidosis laktat namun tampaknya aman bila digunakan pada
pasien lain dengan gagal jantung199
Keamanan obat antidiabetes terbaru tidak diketahui.
11.10 Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi harus ditangani dengan cara yang biasa; inhibitor phosphodiesterase V bukan
merupakan suatu kontraindikasi selain pada pasien dengan nitrat. Penelitian jangka pendek
menunjukkan bahwa obat ini memiliki efek hemodinamik yang menguntungkan dan efek lainnya
pada pasien dengan HF-REF.200 Namun, telah dilaporkan bahwa inhibitor phosphodiesterase v
menyebabkan perburukan obstruksi ventrikel kiri pada pasien dengan kardiomiopati hipertropi,
yang menjadi perhatian pada beberapa pasien dengan HF-REF.
11.12 Gout
Hiperuricemia/gout sering terjadi pada gagal jantung dan mungkin disebabkan oleh terapi diuretik,
Hiperuricemia berhubungan dengan prognosis yang buruk pada HF-REF. Inhibitor xantin oksidase
(allopurinol, oxypurinol) dapat digunakan untuk mencegah gout, meskipun keamanannya pada HF-
REF belum jelas.201
Serangan gout lebih baik diobati dengan kolkisin daripada OAINS (meskipun
kolkisin sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal berat dan dapat
menyebabkan diare). Kortikosteroid intra-articular merupakan alternatif untuk gout monoarticular
namun kortikosteroid sistemik menyebabkan retensi natrium dan air.
11.13 Hiperlipidemia
Peningkatan kolesterol low-density lipoprotein jarang terjadi pada HF-REF; pasien dengan HF-REF
tahap lanjut sering mengalami konsentrasi low-density lipoprotein yang rendah, yang
berhubungan dengan prognosis yang buruk. Rosuvastatin tidak mengurangi mortalitas dan
morbiditas pada dua penelitian besar gagal jantung.127,128
11.14 Hypertension
Hipertensi berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung; terapi antihipertensi
menurunkan insidensi gagal jantung (kecuali alpha-adrenoceptor blockers).202
Inotropik negatif CCBs (contohnya diltiazem dan verapamil) sebaiknya tidak digunakan untuk
mengobati hipertensi pada pasien HF-REF (namun aman pada HF-PEF) dan moxonidine juga harus
dihindari pada pasien dengan HF-REF karena meningkatkan mortalitas pada sebuah penelitian
RCT.203
Jika tekanan darah tidak dikontrol dengan inhibitor ACE (atau ARB), dapat ditambahkan
penyekat beta, MRA, diuretik, hidralazine dan amlodipine atau felodipine 204 yang terbukti aman
pada gagal jantung sistolik. Target tekanan darah direkomendasikan pada pedoman hipertensi
terhadap gagal jantung.205
Pada pasien dengan gagal jantung akut, pemberian nitrat intravena (atau
natrium nitroprusside) direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah (lihat bagian 12).
11.14 Defisiensi Besi
Defisiensi besi menyebabkan disfungsi otot pada gagal jantung dan menyebabkan anemia. Pada
suatu randomized controlled trial, 459 pasien dengan kelas NYHA II atau III atau gagal jantung sistolik
dengan konsentrasi hemoglobin antara 9.5 dan 13.5 g/dL, dan defisiensi besi diberikan ferric
carboxymaltose atau saline intravena. Pada penelitian ini, defisiensi besi didiagnosa saat feritin
serum <100 m/L atau saat konsentrasi feritin antara 100 and 299 mg/L dan saturasi transferin
<20%.208
Setelah 6 bulan, terapi besi meningkatkan perbaikan pada penilaian umum dan kelas
NYHA dan dapat dipertimbangkan sebagai terapi pada pasien ini. Efek pengobatan defisiensi besi
pada HF-PEF dan keamanan jangka panjang dari terapi besi ini belum diketahui.
11.15 Disfungsi Ginjal dan Sindrom Kardiorenal
Penurunan laju filtrasi glomelurus terjadi pada sebagian besar pasien gagal jantung, khususnya
pada stadium lanjut, dan fungsi ginjal merupakan prediktor kuat untuk prognosis gagal jantung.
Penyekat renin-angiotensin-aldosterone (inhibitor ACE, inhibitor renin, ARB, dan MRA) biasanya
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomelurus, meskipun penurunannya biasanya kecil dan tidak
menyebabkan penghentian terapi. Penurunan laju filtrasi glomelurus yang cepat dan besar harus
dicurigai stenosis arteri ginjal. Deplesi natrium dan air (akibat diuresis yang berlebihan atau
kehilangan cairan akibat muntah/diare) dan hipotensi paling sering menyebabkan disfungsi ginjal
selain itu kelebihan cairan, gagal jantung kanan, dan kongesti vena ginjal juga dapat menyebabkan
disfungsi ginjal namun jarang. Penyebab lain disfungsi ginjal adalah obstruksi prostat dan obat
nefrotoksik seperti OAINS dan antibiotik tertentu (contohnya trimethoprim dan gentamicin),
semua ini harus dipertimbangkan (atau dihindari) pada pasien gagal jantung dengan perburukan
fungsi ginjal. Diuretik thiazid kurang efektif pada pasien dengan laju filtrasi glomelurus yang sangat
rendah dan obat-obatan yang disekresi di ginjal (contohnya digoxin, insulin, dan low molecular
weight heparin) dapat terakumulasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Kadang-kadang
istilah “sindrom kardiorenal” digunakan untuk mendeskripsikan gagal jantung dan ginjal. (dan
kardiorenal-anemia bila disertai dengan anemia).209
11.16 Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko untuk gagal jantung dan menyulitkan penegakkan diagnosa
karena menyebabkan dispnea, intoleransi latihan, pembengkakan sendi serta kualitas gambaran
echocardiography yang buruk. Obesitas juga dapat menurunkan natriuretic peptide levels.
Obesitas lebih sering terjadi pada HF-PEF daripada HF-REF. Obesitas harus ditangani sesuai
rekomendasi.210
11.17 Obstruksi Prostat
Penyekat adrenoceptor alpha menyebabkan hipotensi, dan retensi natrium dan air, dan tidak aman
pada gagal jantung sistolik (lihat bagian 11.13).202,206,207
Oleh karena alasan ini, 5-alpha reductase
inhibitor lebih dipilih. Obstruksi prostat harus dipikirkan pada laki-laki dengan gangguan fungsi
ginjal.
11.18 Disfungsi Ginjal
Lihat Bag. 11.15.
11.19 Gangguan Tidur dan sleep-disordered breathing
Pasien gagal jantung biasanya mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh
kongesti paru (menyebabkan orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnoea) dan terapi diuretik
menyebabkan diuresis nokturnal. Ansietas dan masalah psikologis lain juga dapat menyebabkan
insomnia, sehingga riwayat pola tidur pasien merupakan bagian dari perawatan keseluruhan pada
pasien gagal jantung. (lihat bagian 14). Sekitar sepertiga pasien gagal jantung mengalami sleep-
disordered breathing.211,212
Sleep apnea harus diperhatikan pada pasien gagal jantung karena
dapat menyebabkan hipoksemia intermiten, hiperkapnia, dan eksitasi simpatik. Obstructive sleep
apnoea juga dapat menyebabkan tekanan intratoraksik negatif berulang dan meningkatkan
afterload ventrikel kiri. Hal ini lebih sering terjadi pada pasien obesitas dan dilaporkan bahwa
pasien mendengkur (pasien mungkin tidak menyadari hal ini). Meskipun begitu tidak semua
pasien dengan obstructive sleep apnoea tidak obesitas. Prevalensi central sleep apnoea (termasuk
pernafasan Cheyne-Stokes) pada gagal jantung masih belum jelas dan sudah mengalami
penurunan semenjak penggunaan secara luas penyekat beta dan CRT. Diagnosa kelainan ini
memerlukan polysomnography. Suplementasi oksigen nokturnal, continuous positive airway
pressure, bi-level positive airway pressure, dan adaptive servo-ventilation dapat digunakan untuk
mengatasi hipoksemia nokturnal.
12. Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan gejala dan tanda
klinis gagal jantung dengan onset dan perubahan yang cepat. Kondisi ini mengancam nyawa dan
membutuhkan perhatian dan perawatan medis segera. Pada beberapa kasus, AHF berkembang
pada pasien dengan diagnosa gagal jantung sebelumnya (baik HF-REF atau HF-PEF). AHF
disebabkan oleh abnormalitas fungsi jantung. Pada pasien dengan riwayat gagal jantung terdapat
faktor pencetus (contohnya aritmia atau penghentian terapi diuretik pada pasien dengan HF-REF
dan voleme overload atau hipertensi berat pada pasien dengan HF-PEF) (Tabel 19).
Pada beberapa pasien, gagal jantung akut digambarkan sebagai penurunan fungsi jantung dalam
beberapa hari atau minggu (gejala sesak nafas dan oedema meningkat) namun beberapa pasien
yang laing dapat mengalami penurunan dalam beberapa jam sampai menit (contohnya
berhubungan dengan infark miokard akut). Pasien dapat menunjukan spektrum gejala dari
oedema pulmonal atau shock kardiogenik yang mengancam nyawa sampai perburukan oedema
pulmonal.
Diagnosis dan tata laksana bersifat paralel, khususnya pada pasien yang membutuhkan terapi
secepatnya. Pengawasan ketat fungsi vital pasien perlu dilakukan pada saat evaluasi awal dan
selama terapi (lihat bagian 12.3 dan 12.4) dan beberapa pasien membutuhkan perawatan yang
intensive. Meskipun tujuan terapi adalah untuk memperbaiki gejala dan menstabilisasi kondisi
hemodinamik pasien, tata laksana jangka panjang, termasuk perawatan berkelanjutan perting
untuk dilakukan untuk mencegah rekurensi dan meningkatkan prognosis pada HF-REF.
12.1 Penilaian dan Pengawasan Awal Pasien
Tiga penilaian ini paralel harus dilakukan saat evaluasi awal pasien
i. Apakah pasien memiliki riwayat gagal jantung atau ada penyebab alternatif lain dari gejala
dan tanda klinis (contohnya penyakit paru kronis, anemia, gagal ginjal, atau emboli paru)
ii. Jika pasien memiliki riwayat gagal jantung, adakah faktor presipitasi dan apakah
memburuhkan terapi atau koreksi secepatnya (contohnya aritmia atau sindrom koroner
akut)?
iii. Apakah kondisi pasien mengancam nyawa akibat hipoksemia atau hipotensi menyebabkan
gangguan perfusi organ-organ vital (jantung, ginjal, dan otak)?
12.2 Terapi Gagal Jantung Akut
Terapi harus dilakukan sesuai dengan diagnosa kerja (lihat algoritma terapi, Gambar 5). Kunci
utama terapi gagal jantung adalah oksigen, diuretik dan vasodilator. Opiat dan inotropik digunakan
secara selektif, dan dukungan mekanik sirkulasi jarang dibutuhkan. Ventilasi non invasif sering
digunakan pada beberapa pusat, namun ventilasi invasif hanya digunakan pada beberapa pasien.
Tekanan darah sistolik, irama dan laju jantung, saturasi oksigen perifer dengan pulse oksimeter,
urine output harus dimonitor secara ketat sampai pasien stabil. (lihat bagian 12.3 dan 12.4).
12.2.1 Terapi Farmakologis
12.2.1.1 Terapi Pasien Akut
Oksigen
Oksigen dapat mengatasi hipoksemia yang terjadi (SpO2<90%), yang berhubungan dengan
peningkatan risiko mortalitas. Oksigen sebaiknya tidak digunakan pada pasien non-hipoksemia
karena dapat menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan curah jantung.224
Diuretik
Pada sebagian besar pasien dengan dispnoea yang disebabkan oleh oedema pulmonal mengalami
perbaikan gejala setelah diberikan diuretik intravena, yang memberikan efek venodilator dan
mengeluarkan cairan. Dosis dan rute optimum pemberian diuretik ini masih belum jelas diketahui.
Baru-baru ini, sebuah penelitian RCT prospektif membandingkan pemberian secara injeksi bolus per
12 jam dengan continuous infusion dan dosis rendah (sama dengan dosis oral) dibandingkan dengan
dosis tinggi (×2.5 dosis oral) menggunakan desain 2x2 faktorial.213
Hasilnya didapatkan bahwa
tidak ada perbedaan pada kedua terapi tersebut. Dibandingkan dengan dosis rendah, dosis tinggi
berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal.
Pada pasien dengan oedema perifer (dan ascites), kombinasi antara loop diuretik dan thiazid
(contohnya bendroflumethiazide) atau thiazide-like diuretic (metolazone) mungkin dibutuhkan
untuk mencapai diuresis yang adekuat.225,226
Kombinasi ini biasanya hanya dibutuhkan selama
beberapa hari dan membutuhkan pengawasan ketat untuk mencegah hipokalemia, disfungsi ginjal
dan hipovolemia.
Opiat
Opiat, contohnya morfin, dapat bermanfaat pada beberapa pasien dengan oedema paru akut
karena dapat mengurangi ansietas dan meringankan distres akibat dispnea. Opiate juga bersifat
sebagai venodilator, menurunkan preload, dan juga dapat menurunkan efek simpatik. Namun, opiat
menginduksi nausea (penting untuk memberikan antiemetik, salah satunya, cyclizine,227
memiliki efek vasokonstriktor) dan menyebabkan depresi pusat pernafasan, yang akan
meningkatkan kebutuhan akan ventilasi invasif.
Vasodilator
Meskipun vasodilator seperti nitrogliseride (Tabel 20) menurunkan preload dan afterload dan
meningkatkan stroke volume, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa obat ini dapat meringankan
dispnea atau meningkatkan hasil klinis.218,220Vasodilator mungkin akan lebih bermanfaat pada
pasien dengan hipertensi dan harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 110
mmHg. Penurunan tekanan darah yang berlebihan harus dihindari karena hipotensi meningkatkan
mortalitas pada pasien gagal jantung akut. Vasodilator juga harus digunakan dengan pengawasan
ketat pada pasien dengan stenosis aorta atau mitral.
Nesiritide
Nesiritide— BNP manusia dengan efek utamanya sebagai vasodilator— yang berfungsi untuk
mengurangi dispnea saat ditambahkan dengan terapi konvensional (signifikan secara statistik).228
Inotropik
Penggunaan inotropik seperti dobutamine (Tabel 21) biasanya digunakan pada pasien dengan
penurunan curah jantung berat dengan perfusi organ vital yang masih baik. Inotropik dapat
menyebabkan sinus takikardi, iskemia miokard dan aritmia. Penggunaan levosimendan harus
dilakukan secara rasional (atau phosphodiesterase III inhibitor contohnya milrinone) jika dirasa perlu
untuk menghambat efek penyekat beta.
Vasopressors
Obat-obatan dengan efek sebagai vasokonstriktor arteri perifer contohnya norepinephrine (Tabel
21) yang diberikan kepada pasien dengan hipotensi berat. Obat ini diberikan untuk meningkatkan
tekanan darah dan meredistribusi curah jantung dari ekstremitas ke organ vital. Namun, obat ini
dapat meningkatkan LV afterload dan memiliki efek samping yang sama dengan inotropik.
Penggunaan obat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan hipoperfusi meskipun tekanan
pengisian jantung adekuat.
Dopamin
Dopamin dosis tinggi (>5 mg/kg/min) memiliki efek inotropik dan vasokonstriktor. Pada dosis yang
lebih rendah (<3 mg/kg/min) dopamine memiliki efek selective renal arterial vasodilator dan
menyebabkan natriuresis, meskipun hal ini masih belum jelas. Dopamine dapat menyebabkan
hipoksemia.229
Saturasi oksigen arteri harus dimonitor, dan oksigen harus segera diberikan jika
dibutuhkan.
Terapi farmakologis lain
Profilaksis thrombo-emboli dengan heparin atau antikoagulan lain harus diberikan, kecuali ada
kontraindikasi atau tidak diperlukan (karena sudah mendapat terapi dengan antikoagulan oral).214 –
216Tolvaptan (vasopressin V2-receptor antagonist) dapat digunakan untuk mengobati pasien
dengan hiponatremia (efek samping berupa rasa haus dan dehidrasi).230
12.2.1.2 Setelah Stabilisasi
Angiotensin-converting enzyme inhibitor/angiotensin receptor blocker
Pada pasien dengan penurunan EF yang belum mendapatkan inhibitor ACE (atau ARB), terapi ini
harus segera diberikan secepatnya, bila tekanan darah dan fungsi ginjal memungkinkan Dosis harus
dititrasi sebelum dihentikan.
Beta-blocker
Pada pasien dengan penurunan EF yang belum mendapatkan penyekat beta, terapi ini harus segera
diberikan secepatnya setelah stabilisasi, dan bila tekanan darah dan denyut jantung memungkinkan
Dosis harus dititrasi sebelum dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa penyekat beta dapat diberikan
terus-menerus pada beberapa pasien selama episode dekompensasi dan setelah episode
dekompensasi
Mineralocorticoid (aldosterone) receptor antagonist
Pasien dengan penurunan EF belum mendapatkan penyekat beta, terapi ini harus segera diberikan
secepatnya, bila fungsi ginjal dan kadar kalium memungkinkan. Oleh karena dosis MRA yang
digunakan untuk mengobati gagal jantung memiliki efek yang minimal pada gagal jantung,
meskipun pasien dengan hipotensi relatif, dapat mulai diberikan terapi ini saat mulai perawatan.
Dosis harus dititrasi sebelum dihentikan
Digoxin
Pada pasien dengan penurunan EF, digoxin dapat digunakan untuk mengontrol laju ventrikel pada
AF, khususnya jika tidak memungkinkan untuk menaikkan dosis titrasi penyekat beta. Digoxin juga
dapat memberikan manfaat pada gejala dan mengurangi risiko rawat inap pada pasien dengan gagal
jantung sistolik berat. (lihat rekomendasi pada bagian 7.2.6)
12.2.2 Terapi non-farmakologis/non-device
Pembatasan asupan natrium <2g/hari dan cairan 1,5-2 L/hari sering dilakukan, khususnya (pada
pasien hiponatremi) selama tata laksana awal episode akut gagal jantung yang berhubungan
dengan volume overload, meskipun belum ada bukti yang mendukung hal ini.
12.2.2.1 Ventilasi
Ventilation Non-invasif
Continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive positive pressure ventilation
(NIPPV) meringankan dispnea dan meningkatkan pengukuran fisiologis tertentu (contohnya saturasi
oksigen) pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT besar baru-baru ini
menunjukkan bahwa tidak ada tipe ventilasi non-invasif atau intubasi endotrakeal yang
menurunkan mortalitas bila dibandingkan dengan terapi standar termasuk nitrat (pada 90%
pasien) dan opiat (pada 51% pasien).217
Hasil ini kontras dengan penemuan meta-analisis
sebelumnya, penelitian yang lebih kecil. Ventilasi non-invasif dapat digunakan untuk meringankan
gejala pada pasien edema paru dan distres pernafasan berat yang gagal dengan terapi farmakologis.
Kontraindikasi berupa hipotensi, muntah, pneumothorax dan gangguan kesadaran.
Intubasi Endotrakea dan Ventilasi Invasif
Indikasi utama untuk dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi invasif adalah gagal nafas yang
akan menyebabkan hipoksemia, hipercapnia, dan asidosis. Kelelahan fisik, penurunan kesadaran,
dan ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan nafas merupakan alasan lain untuk
mempertimbangkan intubasi dan ventilasi.
12.2.2.2 Mechanical circulatory support
Intra-aortic balloon pump
Indikasi konvensional untuk intra-aortic balloon pump (IABP) adalah untuk memperbaiki sirkulasi
sebelum tindakan pembedahan specific acute mechanical problems (contohnya ruptur septal
interventricular dan mitral regurgitation mitral akut), dan selama during miokarditis akut berat dan
beberapa pasien dengan iskemia atau infark miokard akut sebelum, selama dan setelah revaskularisasi
perkutaneus atau pembedahan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa IABP lebih bermanfaat
dari penyebab shock kardiogenik lain.231
Baru-baru ini, ballon pump (tipe lain dari alat sirkulasi
temporer) telah digunakan pada pasien sampai dilakukan implantasi ventricular assist device atau
transplantasi jantung (lihat bagian 13.5). Ventricular assist devices dan mechanical circulatory
support (MCS) lainnya dapat digunakan pada pasien tertentu (lihat bagian 13.5).
12.2.2.3 Ultrafiltrasi
Venovenous isolated ultrafiltration kadang-kadang digunakan untuk memindahkan cairan pada
pasien gagal jantung,232
biasanya dilakukan pada pasien yang tidak respon atau resisten terhadap
terapi diuretik.
12.3 Pengawasan Invasif
12.3.1 Jalur intra-arterial
Jalur intra-arterial harus dipertimbangkan pada pasien dengan gagal jantung persisten dan tekanan
darah sistolik rendah meskipun sudah diterapi.
12.3.2 Kateterisasi arteri pulmonal
Kateterisasi jantung kanan tidak umum dilakukan pada tata laksana gagal jantung, namun dapat
membantu pada beberapa pasien tertentu dengan gagal jantung akut atau kronik.233
Kateterisasi
arteri pulmonal hanya dapat dipertimbangkan pada pasien: (i) refrakter terhadap terapi
farmakologis; (ii) hipotensi persisten; (iii) tekanan pengisian ventrikel kiri tidak jelas; atau (iv) pasien
yang akan dilakukan operasi jantung. Perhatian utamanya adalah bahwa hipotensi yang terjadi (dan
perburukan fungsi ginjal) tidak disebabkan oleh tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat,
pada kasus ini terapi diuretik dan vasodilator harus dikurangi (penggantian cairan dibutuhkan).
Sebaliknya, tekanan pengisian ventrikel kiri yang tinggi strategi farmakologi alternatif (cth. terapi
inotropik atau vasodilator), tergantung pada tekana darah. Pengukuran resistensi vaskular paru
merupakan bagian rutin dari pemeriksaan sebelum dilakukan transplantasi jantung.
12.4 Pengawasan setelah stabilisasi
Denyut jantung, irama, tekanan darah, dan saturasi oksigen harus dimonitor paling tidak pada 24
jam pertama, dan kemudian setelahnaya. Gejala yang relevan dengan gagal jantung (cth. dispnea)
dan efek samping akibat terapi yang digunakan (cth. lemas) harus dinilai setiap hari.
Keseimbangan cairan, berat bada, dan tekanan vena jugular dan udemam paru dan perifer luas (dan
asites jika ada) harus dinilai setiap hari untuk mengevaluasi volume overload. Blood urea nitrogen,
kreatinin, kalium, dan natrim harus dimonitor setiap hari selama terapi dan dan saat antagonis
sistem renin-angiotensin-aldosteron diberikan atau jika terdapat perubahan dosis terapi.
12.5 Penilaian lain pada pasien
Setelah terapi awal pada episode akut, pasien harus dinilai terhadap kemungkinan penyebab gagal
jantung tersebut (jika gagal jantung baru terjadi) dan perburukan faktor presipitan (jika gagal jantung
sudah pernah didiagnosa). Fokusnya adalah untuk mendeteksi penyebab reversibel atau penyebab
yang dapat diobati. (Tabel 19).
12.6 Penghentian terapi
Sebelum penghentian dilakukan, episode akut gagal jantung harus ditangani dan khususnya
kongesti yang terjadi sudah tidak ada dan regimen diuretik oral sudah diberikan selama paling tidak
48 jam.234 – 236
Terapi modifikasi jangka panjang (termasuk penyekat beta) harus dioptimalisasi dan
edukasi harus diberikan kepada pasien dan keluarga. Tata laksana sebelum dan sesudah
penghentian harus mengikuti standar Heart Failure Association.236
Tujuan terapi dari tata laksana
pasien gagal jantung dirangkum pada tabel 22.
12.7 Populasi pasien khusus
12.7.1 Pasien dengan concomitant acute coronary syndrome
Pasien dengan concomitant acute coronary syndrome harus dinilai dan diterapi berdasarkan
pedoman acute coronary syndrome terbaru.237,238
Mereka harus menjalani angiografi koroner dan
revaskularisasi yang tepat. Prosedur ini harus dilakukan pada pasien dengan instabilitas
hemodinamik dan prosedur yang harus segera dilakukan pada pasien dengan shock kardiogenik.
Jika instabilitas hemodinamik tetapi terjadi meskipun sudah dilakukan terapi medis yang optimal,
IABP harus dilakukan sebelum angiografi koroner dan revaskularisasi. Instabilitas hemodinamik
persisten juga dapat disebabkan oleh komplikasi infark mekanik (cth. ruptur otot papillary katup
mitral), yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan echocardiography dan membutuhkan
koreksi pembedahan.
12.7.2 Gagal ventrikel kanan terisolasi
Onset dari gagal ventrikel kanan terisolasi dapat terjadi akibat dari sindrom koroner akut dan
emboli paru masif (lihat pedoman emboli paru239
). Pada kedua situasi tersebut, diuretik dan
vasodilator harus digunakan secara hati-hati atau dihindari agar tidak mengurangi pengisian
ventrikel kanan. Gagal ventrikel kanan terisolasi progresif dapat terjadi pada pasien dengan
hipertensi pulmonal. Phosphodiesterase inhibitor tipe V, antagonis endotelin, dan analog
prostasiklin dapat membantu untuk menurunkan resistensi arteri pulmonal (lihat pedoman).240
12.7.3 Gagal jantung akut dengan ‘sindrom cardiorenal’
Perburukan gagal jantung akut, atau terapinya, atau keduanya dapat menyebabkan perburukan
fungsi ginjal akut (sindrom cardiorenal tipe 1) mencapai sepetiga pasien, dan berhubungan
dengan penurunan harapan hidup dan perpanjangan masa rawat.209
Sindrom renocardiac akut
(sindrom cardiorenal tipe 3), ditandai dengan perburukan fungsi jantung karena volume overload
akibat acute kidney injury, namun jarang terjadi. Tata laksana utama pada pasien ini adalah bahwa
disfungsi ginjal dapat membatasi penggunaan penghambat sistem dan uremia dan volume overload
progresif yang terjadi membutuhkan terapi penggantian ginjal.
12.7.4 Gagal jantung akut perioperatif
Gagal jantung akut dapat terjadi pada pasien sebelum (cth. akibat infark pre-operatif), selama
(failure to wean) , dan setelah (komplikasi mekanik dan tamponade pericardial harus disingkirkan)
operasi jantung. Tata laksana kelompok pasien ini dijelaskan di bagian yang lain dan membutuhkan
dukungan mekanik termasuk extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
12.7.5 Kardiomiopati peripartum
Kecurigaan yang tinggi dibutuhkan untuk menghindari keterlambatan diagnosa pada kondisi serius
ini, tata laksana dijelaskan dibagian lain.242,243
12.7.6 Penyakit Jantung Kongenital Dewasa
Pasien dengan penyakit jantung kongenital dewasa (adult congenital heart disease (ACHD) sangat
beragam pada populasi pasien. Diagnosa dan tata laksana gagal jantung pada pasien ini sangat
kompleks, dan membutuhkan kolaborasi dengan bidang lain.
Pasien dengan ACHD mengalami gagal jantung akibat dari penurunan EF ventrikel kiri sistemik,
penurunan EF ventrikel kanan sistemik, atau gagal ventrikel kanan sub-pulmonal terisolasi (lihat
bagian 12.7.2). Pasien dengan jantung univentrikular, baik yang tidak dapat dioperasi atau dengan
prosedur Fontan, sulit untuk dievaluasi dan diobati. CMR dan pemeriksaan kardiopulmonal bernilai
namun interpretasi data membutuhkan keahlian khusus.66,244
Kurangnya penelitian RCT untuk memandu terapi gagal jantung pada pasien dengan ACHD. Namun,
ada prinsip empiris umum dalam tata laksana : (i) lesi hemodinamik residual atau baru harus selalu
dicari pertama kali (ii) inhibitor ACE, ARB dan penyekat beta bersifat kontroversial dan dapat
membahayakan pada pasien tertentu, contohnya. Pasien dengan sirkulasi Fontan; (iii) vasodilator
arteri pulmonal dapat bermanfaat pada pasien tertentu dengan hipertensi pulmonal (lihat pedoman
ESC)240
; (iv) peran CRT tidak diketahui; dan (v) transplantasi jantung merupakan pilihan namun
dapat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti anatomi kardiovaskular kompleks, dan disfungsi hati
dan ginjal.
13. Revaskularisasi dan pembedahan koroner, termasuk operasi katup, ventricular
assist devices, dan transplantasi
13.1 Revaskularisasi koroner
Pembedahan revaskularisasi koroner (dan perkutaneus) merupakan indikasi untuk mengatasi
angina pektoris pada pasien dengan HF-REF atau HF-PEF dan pembedahan revaskularisasi koroner
ini merupakan indikasi untuk alasan prognostik pada pasien lain dengan CAD berat, khususnya
three-vessel disease atau left-main stenosis.
Bagian ini fokus kepada perkembangan terbaru dari gagal jantung. Penelitian The Surgical
Treatment for Ischemic Heart Failure (STICH) membahas peran yang lebih besar dari
revaskularisasi pembedahan pada pasien dengan HF-REF dan CAD.191
Pasien dengan EF ≤35%
dan CAD yang cocok untuk dilakukan pembedahan diacak dan dilakukan coronary artery bypass
(CABG) ditambah dengan terapi medis dibandingkan dengan terapi medis saja. Pasien yang
terlibat berusia muda (rata-rata 60 tahun), sebagian besar pria (88%) dan kelas NYHA I (11%), II
(52%), atau III (34%) Kelas Canadian Cardiovascular Society Angina pasien tersebut 0 (36%), I (16%),
II (43%), III (4%) dan IV (1%). Sebagian besar pasien mengalami two-vessel (31%) atau three
vessel (60%) CAD dan 68% mengalami stenosis proximal left anterior descensing berat; dan
sekitar 2% mengalami left-main stenosis. Primary outcome (semua penyebab kematian) tidak
berkurang dengan CABG. Namun, mengurangi secondary outcomes dari kematian kardiovaskular
(RRR 19%) dan kematian dari penyebab atau rawat inap kardiovaskular (RRR 26%) .Penelitian ini
memperluas indikasi CABG untuk ‘STICH-like patient’ dengan two-vessel CAD, termasuk left anterior
descending stenosis, yang sesuai untuk dilakukan pembedahan dan dengan harapan hidup > 1 tahun dengan
status fungsional baik.
Risiko dan manfaat CABG pada pasien tanpa angina/iskemia atau tanpa miokardium yang viabel
masih belum jelas. Pasien dengan disfungsi > 10% namun memiliki miokardium ventrikel kiri yang
viabel mendapat manfaat dari revaskularisasi miokard (sedangkan bila ≤10% kurang mendapat
manfaat) meskipun pendekatan seleksi pasien untuk revaskularisasi tidak terbukti. Beberapa teknik
invasif dapat digunakan untuk menilai viabilitas miokardium (Tabel 7). Nuclear imaging memiliki
sensitifitas yang tinggi, sedangkan teknik evaluasi kontraktil memiliki sensitifitas yang rendah
namun spesifisitasnya tinggi. CMR baik sekali untuk menilai perluasan jaringan parut trasmural,
namun kurang untuk mendeteksi viabilitas atau memprediksi penyembuhan dinding. Pemilihan
antara intervensi koroner perkutaneus dan CABG harus diputuskan oleh tim, serta berdasarkan
perluasan CAD, penyakit valvular, dan adanya komorbiditas.
13.2 Rekonstruksi ventrikel
Manfaat pembedahan rekonstruksi ventrikel dengan menghilangan jaringan parut pada dinding
ventrikel kiri dan bertujuan untuk mengembalikan volume dan bentuk fisiologis ventrikel kiri tidak
jelas dan tidak menunjukkan manfaat pada STICH.246
Teknik ini tidak direkomendasikan untuk
penggunaan rutin dan didiskusikan lebih lanjut pada pedoman.71
13.3 Pembedahan katup
Penyakit katup jantung dapat memperburuk gagal jantung. Bagian ini membahas masalah yang
berhubungan dengan gagal jantung dan penjelasan selanjutnya terdapat pada pedoman
ESC/European Association for Cardio-Thoracic Surgery.247
Perhatian utama pada pasien dengan disfungsi LV sistolik adalah “low-flow, low gradient” stenosis
aorta (valve area < 1 cm2, EF < 40%, mean gradient < 40 mmHg) karena beberapa pasien
mengalami stenosis aorta berat dan yang lain mengalami ‘pseudo-aortic stenosis’ (cth. saat aliran
rendah yang melewati katup aorta bukan disebabkan oleh obstruksi berat namun disebabkan oleh
stroke volume yang rendah). Pada individu tersebut, pemberian dobutamin dosis rendah dan stress
echocardiography dapat membantu membedakan kedua tipe tersebut dan memberikan informasi
mengenai kontraktilitas untuk kepentingan prognostik. Pasien dengan stenosis aorta berat dan EF
yang rendah, individu dengan cadangan kontraktilitas memiliki mortalitas operatif yang rendah dan
prognosis jangka panjang yang lebih baik.
Jika mean gradient > 40 mmHg, EF tidak mengalami penurunan untuk dilakukan penggantian katup
aorta pada pasien dengan stenosis aorta berat. Namun, pemulihan fungsi LV hanya terjadi saat
penurunan EF disebabkan oleh afterload yang berlebihan dan bukan disebabkan oleh jaringan
parut. Terapi medis harus dioptimalisasi, meskipun vasodilator (inhibitor ACE, ARB, inhibitor renin,
CCB, hidralazine dan nitrat) dapat menyebabkan hipotensi pada pasien dengan stenosis aorta berat
dan dapat digunakan dengan pengawasan ketat. Terapi ini tidak boleh menunda keputusan akan
pembedahan. Pasien yang tidak mungkin dilakukan pembedahan (cth. karena penyakit paru berat),
transcatheter aortic valve replacement dapat dipertimbangkan.248,249
13.3.2 Regurgitasi aorta
Penggantian atau perbaiki katup aorta direkomendasikan pada semua pasien simptomatik dan
asimptomatik dengan regurgitasi berat dan EF < 50% yang memungkinkan untuk dilakukan tindakan
pembedahan. Pembedahan juga harus dipertimbangkan pada pasien dengan regurgitasi aorta berat
dan diameter end-sistolik LV > 70 mm atau diameter end-systolic >50 mm (atau > 25 mm/m2 area
permukaan tubuh jika postur kecil).31
Pembedahan diindikasikan untuk menurunkan risiko
kematian, dan HF dan fungsi LV mengalami perbaikan setelah perbaikan katup aorta. Penting untuk
tidak keliru antara inkompetensi aorta ringan sampai sedang akibat dilatasi ventrikel kiri serta
dilatasi ventrikel kiri dan disfungsi sistolik akibat regurgitasi aorta berat.
13.3.3 Regurgitasi mitral
Penilaian regurgitasi mitral sangat kompleks, khususnya pada pasien dengan disfungsi sistolik.
Membedakan antara regurgitasi mitral primer dan sekunder penting diketahui. Keputusan untuk
pembedahan harus berdasarkan gejala, usia, AF, penurunan fungsi sistolik LV, hipertensi pulmonal,
kesesuaian katup untuk diperbaiki, yang merupakan prediktor penting pada hasil pasca operasi.
Regurgitasi mitral primer (organik)
Regurgitasi mitral primer akibat “flail leaflets”, diameter end- systolic LV ≥40 mm berhubungan
dengan peningkatan mortalitas baik pasien yang diterapi dengan obat-obatan atau pembedahan
Saat EF<30%, pembedahan dapat memperbaiki gejala, meskipun effectnya pada harapan hidup
masih belum diketahui. Pada situasi ini keputusan operasi harus mempertimbangkan respon terapi
medis, comorbiditas, dan kemungkinan katup dapat diperbaiki.
Mitral Regurgitasi Sekunder
Hal ini terjadi akibat perbesaran dan remodelling LV menyebabkan gangguan penutupan katup.
Terapi medis efektif untuk mengembalikan remodelling LV dapat mengurangi regurgitasi mitral
fungsional, dan setiap usaha harus dilakukan untuk mengoptimalisasi terapi medis pada pasien ini.
Regurgitasi mitral iskemik merupakan tipe khusus dari mitral regurgitasi sekunder yang mungkin
lebih tepat untuk dilakukan pembedahan. Oleh karena kondisi dinamik ini sering terjadi, stress
testing penting pada saat evaluasi. Latihan menginduksi peningkatan regurgitant orifice (≥13 mm2)
yang berhubungan dengan perburukan prognosis. Kombinasi pembedahan katup dan koroner
harus dipertimbangkan pada pasien simptomatik dengan disfungsi sistolik LV, arteri koroner
yang sesuai untuk revaskularisasi dan bukti viabilitas. Prediktor kegagalan perbaikan katup
termasuk jarak otot interpapillary yang besar, severe posterior mitral leaflet tethering, dan dilatasi
LV (diameter end-diastolic >65 mm). Pada pasien ini, penggantian katup mitral lebih disarankan.
Adanya AF, ablasi atrial, dan left atrial appendage closure dapat dipertimbangkan saat operasi
katup mitral.
Peran operasi katup mitral pada pasien dengan regurgitasi mitral fungsional berat dan disfungsi
sistolik LV berat yang tidak dapat direvaskularisasi masih dipertanyakan, dan pada sebagian besar
pasien, terapi konvensional lebih dipilih. Pada pasien dengan indikasi perbaikan katup namun
memiliki risiko tinggi operasi, percutaneous edge-to-edge repair dapat dipertimbangkan untuk
memperbaiki gejala.250
13.4 Transplantasi Jantung
Transplantasi jantung merupakan terapi untuk gagal jantung tahap akhir.251,252
Meskipun
controlled trials belum pernah dilakukan, terdapat konsensus bahwa transplantasi dapat
meningkatkan harapan hidup, kapasitas latihan, kualitas hidup, dan kembali bekerja bila
dibandingkan dengan terapi konvensional. Selain mengenai masalah donor jantung, tantangan
utama pada transplantasi konsekuensi dari efektivitas yang terbatas dan terapi imunosupresif
jangka panjang (cth. Penolakan antibodi, infeksi, hipertensi, ggal ginjal, malignansi, dan vaskulopati
arteri koroner.
13.5 Mechanical circulatory support
MCS merupakan istilahuntuk menggambarkan beberapa teknik berbeda yang digunakan untuk pasien
gagal jantung akut maupun gagal jantung kronik.211,253
13.5.1 HF tahap akhir
Untuk pasien tertentu dengan gagal jantung tahap akhir, transplantasi tetap merupakan gold-
standard treatment, dengan harapan hidup jangka panjang yang baik. Namun, Namun, karena
peningkatan jumlah pasien dengan gagal jantung tahap akhir, keterbatasan donor organ, dan
teknologi yang berkembang, MCS dengan LV assist device (LVAD) atau biventricular assist device
(BiVAD meningkat sebagai alternatif terapi pada beberapa individu. Awalnya, MCS digunakan
sebagai terapi BTT jangka pendek (Tabel 24), namun sekarang digunakan untuk jangka panjang,
disebut dengan ‘destination therapy (DT) pada pasien yang tidak memenuhi syarat transplantasi.
Ventricular assist devices dapat menjadi alternatif umum dari tranplantasi, dengan rata-rata
harapan hidup 2-3 tahun pada pasien tertentu yang mendapatkan latest continuous flow devices
daripada hanya terapi medis saja.254,255
Namun, perdarahan, trombo-emboli, infeksi, dan kegagalan
alat tetap menjadi masalah yang signifikan; masalah ini dan tingginya harga membatasi penggunaan
secara luas. Pada beberapa pasien, perbaikan fungsional selama MCS memperbolehkan
penghentian ventricular assist devices (‘bridge-to-recovery, BTR). Hal ini sering terjadi pada pasien
dengan kardiomiopati non-iskemik.256
Konsep lain MCS untuk penyembuhan disfungsi organ, yang
disebut dengan ‘bridge to candidacy (BTC)’, agar pasien dapat memenuhi syarat untuk transplantasi.
Biasanya, pasien dengan gagal jantung tahap akhir yang dipertimbangkan untuk MCS mendapatkan
terapi inotropik terus- menerus (Tabel 25).211,253,257
Evaluasi fungsi ventrikel kanan penting dilakukan pasca operasi karena kegagalan ventrikel kanan
meningkatkan mortalitas dan menurunkan harapan hidupsebelum dan setelah transplantasi.
Implantasi ventricular assist device lebih awal pada pasien dengan sakit yang kurang berat (cth.
EF<25%, peak oxygen consumption <12 mL/kg/min, dan hanya membutuhkan inotropik intermiten)
dan sebelum kegagalan ventrikel kanan atau multiorgan terjadi, mendapatkan hasil yang lebih baik.
Pasien dengan infeksi aktif, disfungsi ginjal, paru, hati berat atau status neurologis tidak jelas
setelah henti jantung atau akibat shock kardiogenik biasanya bukan merupakan kandidat untuk BTT
atau DT, namun dapat menjadi kandidat untuk BTC.
13.5.2 Acute heart failure
Sebagai tambahan ventricular assist device, bentuk lain dari MCS temporer dapat digunakan pada
pasien tertentu dengan gagal jantung akut, termasuk intra-aortic balloon counterpulsation,
percutaneous cardiac support, dan ECMO. Sebagai tambahan yang sudah dijelaskan diatas
MCS, khususnya ECMO, dapat digunakan sebagai “bridge to desicion” (BTD) pada pasien dengan
gagal jantung akut dang mengalami perburukan yang cepat dimana evaluasi keseluruhan tidak
mungkin dilakukan dan kematian akan terjadi tanpa MCS. Namun, keputusan pengambilan
keputusan perlu dibuat jika pasien tidak memenuhi syarat untuk pembedahan koreksi konvensional
atau MCS jangka panjang.
14. Tata laksana holistik, termasuk latihan olahraga dan program tata laksana
multidisiplin, pengawasan pasien dan perawatan paliatif
Intervensi non-farmakologis atau non device/pembedahan pada tata laksana gagal jantung (HF-
REF dan HF-PEF) dirangkum pada Tabel 26 dan 27 dan rekomendasinya sudah dipublikasikan oleh
Heart Failure Association.259
Tidak ada bukti yang mengatakan bahwa hal ini dapat mempengaruhi
mortilitas dan morbiditas, dan beberapa pendekatan tidak bermanfaat, contohnya saran untuk
membatasi asupan natrium dan konseling.260,261
Oleh karena alasan ini, intervensi ini tidak
memberikan rekomendasi pada tingkat pembuktian.
14.1 Latihan Olahraga
Beberapa ulasan sistematik dan meta-analisis penelitian kecil menunjukan bahwa kondisi fisik dengan
olahraga meningkatkan toleransi latihan, kualitas hidup, dan rata-rata rawat inap pada pasien gagal
jantung. Baru-baru ini, sebuah single large RCT [Heart Failure : A Controlled Trial Investigating
Outcomes of Exercise Training (HF-ACTION)] menginvestigasi efek olahraga pada 2331 pasien
golongan relatif muda (usia rata-rata 59 tahun) yang secara medis stabil dengan gejala ringan
sampai sedang berat (kelas NYHA II 63% dan kelas III 35%) dan EF ≤35%.262
Intervensi terdiri dari
36 sesi yang diawasi pada 3 bulan pertama kemudian dilanjutkan dengan latihan dirumah. Median
follow-up selama 30 bulan. Pada analisis yang telah disesuaikan, olahraga menyebabkan penurunan
sebesar 11% pada hasil primer dari semua penyebab kematian dan semua penyebab rawat inap
(unadjusted P = 0.13; adjusted P= 0,03). Terdapat juga relative risk reduction sebesar 15% pada hasil
sekunder dari kematian kardiovaskuler atay rawat inap gagal jantung (unadjusted P= 0.06; adjusted
P=0.03). Tidak ada penurunan mortalitas, dan tidak ada masalah keamanan. Kepatuhan latihan
mulai menurun secara substansial setelah periode pengawasan latihan.
Bukti menunjukkan bahwa latihan fisik bermanfaat pada gagal jantung, meskipun pasien
lanjut usia tidak terlibat pada beberapa penelitian dan ‘prescription’ latihan optimal masih
belum jelas.
14.2 Perawatan dan program tata laksana multidisiplin
Tujuan tata laksana gagal jantung adalah untuk menyediakan sistem perawatan sehingga dapat
memastikan bahwa tata laksana setiap pasien sudah optimal, dari awal hingga akhir perjalanan
penyakit. Standar perawatan pasien gagal jantung telah dipublikasi oleh Heart Failure Association.236 Untuk mencapai tujuan ini, pelayanan lain seperti rehabilitasi jantung dan perawatan paliatif
harus terintegrasi kedalam keseluruhan perawatan pasien gagal jantung. Program perawatan ini
bersifat multidisiplin untuk meningkatkan hasil yang didapatkan sesuai dengan edukasi kepada pasien,
optimalisasi terapi medis, dukungan psikososial, dan peningkatan akses ke pelayanan kesehatan.264
Kunci kesuksesan program ini adalah koordinasi perawatan dari setiap bagian pada sistem
kesehatan. Hal ini membutuhkan kolaborasi dari kardiologis, perawat dan profesi kesehatan lainnya,
termasuk pharmacists, dieticians, physiotherapists, psychologists, dan pekerja sosial. Meskipun
program tata laksana gagal jantung berbeda-beda pada setiap negara dan pelayanan kesehatan,
pedoman pada tabel 26 dan 27 direkomendasikan.
14.3 Pengukuran natriuretic peptide serial
Konsentrasi natriuretic peptide yang tinggi berhubungan dengan prognosis yang buruk. Namun,
beberapa RCT yang mengevaluasi terapi natriuretic peptide memberikan hasil yang
bertentangan.265
Masih belum jelas apakah hasil yang didapatkan lebih baik dengan menggunakan
pendekatan ini daripada optimalisasi terapi (kombinasi dan dosis obat, devices) berdasarkan
pedoman.
14.4 Remote monitoring (menggunakan implanted device)
Tata laksana untuk mengawasi thorasic impedance (pengukuran cairan intrathoraks tidak langsung)
tidak menunjukkan perbaikan hasil. 266 Terapi yang dilakukan sebagai respon terhadap tekanan
arteri pulmonal yang diukur dengan menggunakan implanted monitor menurunkan angka rawat
inap akibat gagal jantung pada satu penelitian RCT.267
Namun aplikasi umum dari pendekatan ini
masih belum jelas.
14.5 Remote monitoring (no implanted device)
Pendekatan mengenai remote monitoring non-invasive masih belum jelas, dan penelitian RCT
memberikan hasil yang tidak konsistendan juga belum didukung oleh rekomendasi pedoman.268
14.6 Structured telephone support
Meskipun meta-analisis RCT menunjukkan bahwa structured tele phone support sebagai
tambahan perawatan konvensional dapat menurunkan risiko rawat inap pada pasien gagal
jantung, hanya sedikit individu yang menunjukkan manfaat ini, dan bukti tidak cukup kuat untuk
mendukung rekomendasi pedoman.268,269
14.7 Perawatan paliatif/suportif
Gagal jantung merupakan penyakit yang tidak dapat diprediksi perjalanan penyakitnya dan sulit
untuk mengidentifikasi waktu yang spesifik untuk mempertimbangkan terapi paliatif. Pertimbangan
perawatan paliatif terdapat Tabel 28 dan 29. Pada poin ini, terapi difokuskan untuk meningkatkan
kualitas hidup, mengontrol gejala, deteksi dini, dan terapi saat episode deteriorasi dan
mengupayakan pendekatan holistik untuk perawatan pasien, baik fisik, psikologi, sosial, dan
spiritual. Perawatan paliatif telah didiskusikan secara rinci dari Heart Failure Association.270
15. Gaps in evidence
Para klinisi bertanggung jawab dalam mengatur pasien gagal jantung untuk penentuan terapi tanpa
bukti yang adekuat atau konsensus dari pendapat ahli. Berikut ini merupakan daftar yang layak
untuk dibahas pada penelitian klinis di masa yang akan datang.
15.1 Diagnosis
Diagnosis HF-PEF tetap menjadi tantangan tertentu, dan pendekatan dari gejala klinis, tanda klinis,
imaging, biomarker dan pemeriksaan lain masih belum pasti.
Strain/speckle imaging — memiliki nilai untuk diagnostik dan prognostik HF-REF dan HF-PEF
Diastolic stress test—memiliki nilai untuk diagnosis HF-PEF?
15.2 Komorbiditas
Keamanan dan keberhasilan jangka panjang pada beberapa terapi komorbiditas tidak diketahui,
namun sangat menarik dan penting.
Anemia—erythropoiesis-stimulating agents, besi?
Depresi—selective serotonin reuptake inhibitors, terapi kognitif?
Diabetes—metformin, GLP-1 antagonis/analoque, DPP IV inhibitor, SGLT-2 inhibitor?
Gangguan nafas saat tidur—terapi tekanan positif?
15.3 Terapi non-farmakologis, non-intervensional
Restriksi garam—apakah ini efektif dan aman?
Cardiac cachexia—apakah ada terapi yang efektif dan aman?
15.4 Terapi farmakologi
Digoxin — keberhasilan dan keamanan pada era modern dari terapi farmakologi dan device?
Hydralazine dan ISDN — keberhasilan dan keamanan pada pasien non-black?
Inhibitor renin — apakah terapi alternatif yang aman dan aman untuk ditambahkan dengan
inhibitor ACE?
Antikoagulan oral baru — keberhasilan dan keamanan jika dibandingkan dengan aspirin pada
pasien dengan irama sinus?
Clopidogrel dan antiplatelet lain — keberhasilan dan keamanan bila dibandingkan dengan
aspirin pada pasien dengan irama sinus?
Dual neprilysin/angiotensin receptor inhibitors — keberhasilan dan keamanan bila
dibandingkan dengan inhibitor ACE?
15.5 Devices
CRT— keberhasilan dan keamanan CRT mash belum diketahui pada kelompok pasien tertentu.
pasien dengan durasi QRS normal namun pada echocardiography dyssynchrony?
pasien dengan RBBB dan IVCD?
pasien dengan AF?
LVAD—keberhasilan dan keamanan jangka panjang LVADs sebagai alternatif transplantasi jantung
atau terapi medis masih belum jelas.
Remote monitoring—keberhasilan dan keamanan strategi remote monitoring masih belum
jelas.
15.6 Gagal jantung akut
Terapi gagal jantung akut masih berdasarkan pendapat dengan bukti yang masih sangat sedikit
untuk memandu terapi.
Nitrat intravena—keberhasilan dan keamanan masih belum jelas
Levosimendan—keberhasilan dan keamanan masih belum jelas
Omecamtiv mecarbil—apakah ini aman dan efektif?
Ultrafiltration—keberhasilan dan keamanan belum diketahui?
15.7 Perawatan akhir hidup
Apakah perawatan paliatif sudah optimal?
Kapan sebaiknya perawatan paliatif dimulai?