FATWA BAHSTUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA
TENTANG PEMAKZULAN PRESIDEN
DALAM TINJAUAN TATANEGARA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MUHAMMAD AZKA FACHRI
NIM: 1111043100025
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
ABSTRAK
Muhammad Azka Fachri, NIM: 1111043100025, Fatwa Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan
Islam, Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Mazhab
Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1439 H / 2018 M. xv + 52 halaman + 10 halaman lampiran.
Tujuan dari penelitian ini adalah memaparkan mengenai pemakzulan
Presiden dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama
(LBM-PBNU). Hal tersebut dimaksudkan untuk melihat dan menganalisis fatwa
Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama dalam sistem ketatanegaraan Islam, apakah di
sana terdapat persamaan atau perbedaan tentang mekanisme pemkazulan kepala
Negara. Pada dasarnya pemakzulan kepala Negara haruslah sesuai dengan
konstitusi yang berlaku pada suatu wilayah (Negara) dan harus memperhatikan
akibat yang akan terjadi bila memakzulkan pemimpin Negara.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis
penelitian normatif yakni metode analisis yang memaparkan hukum yang telah
tertulis dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan oleh para
‘ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan
perbedaan, serta penelitian ini kepustakaan (library research) yaitu dengan
mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil peneltian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa
kepala Negara yang diangkat secara sah tidak ada alasan yang dibenarkan untuk
dimakzulkan kecuali jika nayata-nyata melanggar konstitusi. Fatwa ini diperkuat
oleh beberapa yuridis Islam seperti Imam al-Mawardi, Taqiyuddin al-Nabhani,
Imam al-Nawawi dan Wahbah Zuhaili. Adapun alasan yang menjadikan Presiden
berhenti menurut ketatanegaraan Islam adalah. Menurut pendapat dari Abdul
Qadim Zallum terdapat dua klasifikasi pemberhentian khalifah: 1. Perubahan
keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari jabatannya, seperti
murtad dari Islam, gila total dan ditawan musuh yang kuat. 2. Perubahan keadaan
khalifah yang tidak secara otomatis mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun
dia tidak boleh mempertahankan jabatannya, seperti kehilangan ‘adalah-nya,
mengganti jenis kelamin dan mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak
dapat lagi mengurusi urusan umat sesuai dengan pikirannya sendiri.
Pembimbing : 1. Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A
2. Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.A
Daftar Pustaka : 1983-2015 Tahun
vi
بسم اهلل الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allâh Subhânahu Wata’âla yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, taufik, hidayah dan ‘inayah-Nya, terucap dengan tulus dan
ikhlas Alhamdulillâhi Rabbil ‘âlamîn tiada henti. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Salâwat seiring salâm semoga selalu tercurah limpahkan kepada insân pilihan
Tuhan Nabî akhir zamân Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para
keluarga, sahâbat dan umamatnya. Amin.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang
maksimal dari penulis. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis
didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri
karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tersusun bukan semata-
mata hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi dari semua
pihak. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Selaku Dekan Fakultas
Syarî’ah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarî’ah
dan Hukum Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh
Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., MA selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab;
vii
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Dosen Penasehat
Akademik Penulis;
4. Bapak Dr. H. Abdurrahman Dahlan, M.A dan Dr. Hj. Afidah
Wahyuni, M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, saran dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri
(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan
mengajarkan ‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm
Negeri Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang telah
mencintai saya dengan segenap jiwa dan raga, memberikan segala
yang mereka bisa, baik doa maupun dukungan sehingga dengan ridha
mereka saya bisa sampai seperti ini;
8. Adik-adikku tercinta dan seluruh keluarga besar yang terus menerus
memberikan semangat yang luar biasa;
9. Teman-teman Mahasiswa/i Perbandingan Mazhab Fakultas Syarî’ah
dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2011;
10. Serta semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan
balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan
viii
menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 2 Maret 2018
MUHAMMAD AZKA FACHRI
NIM: 1111043100025
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
KAT PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................ 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................... 6
1. Batasan Masalah ............................................................ 6
2. Rumusan Masalah ......................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
1. Tujuan Penulisan ........................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ......................................................... 6
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................... 7
F. Kerangka Konseptual ......................................................... 9
G. Metode Penelitian ................................................................ 10
1. Jenis Penelitian .............................................................. 11
x
2. Sumber Data .................................................................. 11
3. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 12
4. Pengolaan Data .............................................................. 12
5. Tehnis Penulisan Skripsi ............................................... 12
H. Sistematika Penulisan .......................................................... 12
BAB II MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
KEPALA NEGARA
A. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara .......................... 14
1. Syarat-syarat Pengangkatan Kepala Negara .................. 18
2. Aturan-aturan Pengangkatan Kepala Negara ................ 20
B. Mekanisme Pemakzulan Kepala Negara ............................. 22
C. Syarat-syarat Pemakzulan Kepala Negara ........................... 23
D. Hukum Pemakzulan Kepala Negara .................................... 25
BAB III FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA
TENTANG PEMAKZULAN KEPALA NEGARA
A. Pengertian Bahtsul Masail ................................................... 28
B. Kedudukan Fatwa Bahtsul Masail ....................................... 29
C. Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masail............................ 33
D. Fatwa Bahtsul Masail Tentang Pemakzulan........................ 36
BAB IV PEMAKZULAN KEPALA NEGARA DALAM FATWA
BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA DAN HUKUM
KETATANEGARAAN ISLAM
xi
A. Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama Tentang
Pemakzulan Presiden ........................................................... 38
B. Pemakzulan Presiden Menurut Hukum Tata Negara Islam 39
C. Persamaan dan perbedaan fatwa Bahtsul Masail NU dan
Hukum Tata Negara Islam Tentang Pemakzulan Presiden . 42
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 46
B. Saran-saran .......................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 49
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 53
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
Alif Tidak dilambangkan ا
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Tsa ts Te dan es ث
Jim j Je ج
Cha h Ha dengan dengan bawah ح
Kha kh Ka dan ha خ
Dal d De د
Dzal dz De dan zet ذ
Ra r Er ر
Zay z Zet ز
Sin s Es س
Syin sy Es dan ye ش
Shad s Es dengan garis bawah ص
Dhat d De dengan garis bawah ض
1 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSH-
UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.
xiii
Tha t Te dengan garis bawah ط
Dzha z Zet dengan garis bawah ظ
„ Ain„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Ghain gh Ge dan ha غ
Fa f Ef ف
Qaf q ki ق
Kaf k Ka ك
Lam l El ل
Mim m Em م
Nun n En ن
Wawu w We و
Ha h Ha هـ
Hamzah ‟ Apostrof ء
Ya y Ye ي
2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab
yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi
vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
‒ a fathah
‒ i Kasrah
‒ i dammah
xiv
Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan
dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
ي ‒ ai A dan I
و ‒ au A dan U
3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat
dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf
dan tanda macron (coretan horisontal):
آ â A dengan topi di atas
î I dengan topi di atas ‒ى
û U dengan topi di atas ‒و
4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qomariyyah, Misalnya:
al-ijtihad = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
5. tah mati atau yang dibaca seperti ber-h
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
sedangkan ûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya
.( y h l-hilâl atau y l hilâl = رؤية الهالل )
6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
xv
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
فعةالش = al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-Syuf‟ah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Campur aduk masalah keagamaan dengan kepentingan-kepentingan yang
lain, merupakan suatu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk
dipecahkan. Apalagi terkait masalah agama dengan politik kenegaraan. Karena
memang hal itu mempunyai multi tafsir, dan analisis serta sudut pandang yang
berbeda dari para pemikir.1 Dalam banyak hal, bisa ditemukan kenyataan-
kenyataan sejarah yang menunjuk pada eksitensi Negara, terutama semenjak
berdirinya Bani Umayah hingga hancurnya Khilafah Turki Ustmani.
Dari kenyataan yang panjang sejak abad ke-7 hingga abad ke-21 M, umat Islam
telah mempraktekan kehidupan politik yang begitu kaya dan beragam yang
meliputi bentuk Negara dan sistem pemerintahan, lebih-lebih sejak terbebasnya
dunia Islam dari Kolonialisme Barat, dunia Islam telah mempraktekan sistem
polotik yang berbeda dengan masa lalunya. Jika dilihat dari kenyataan sejarah,
umat Islam telah mempraktekan Negara kesatuan dan federal. Kedua bentuk
Negara tersebut hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi
yang dihadapinya.2
Wacana tentang hubungan antara Islâm dan politik, atau Islam dan negara
senantiasa menarik untuk dikaji. Karena wacana tersebut juga melibatkan
berbagai kalangan, baik itu dari kiai, politisi, akademisi, partai maupun negara,
dan juga melintasi rentang waktu yang panjang dalam sejarah politik di Negara
Indonesia ini. Wacana tersebut telah melahirkan berbagai bentuk konflik dan
kompromi yang mencerminkan kekuatan sekaligus kelemahan kelompok Islam itu
1 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim: Pencarian dan Pergulatan Persis di
Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004) h. 7. 2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 198.
2
sendiri. Dengan kekuatan dan kelemahan itu, Islam diharapkan bisa lebih kongkrit
berperan dalam kehidupan bernegara.3
Masyarakat Islam tampil di pentas dunia ini sekitar tahun 624 M,4 ketika
konsepsi negara bangsa atau nasional belum muncul. Dengan demikian, negara
yang dimaksud dalam Islam atau yang dijalani Nabi Muhammad SAW dan
Khulafaur Rasyidin5 serta kaum muslimin awal bukanlah suatu negara dalam
konsepsi negara nasional, tetapi negara dalam arti luas yaitu suatu masyarakat
manusia yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu yang diatur berdasarkan
syari’at Islam dan dilaksanakan sesuai dengan tata pemerintahan Islam. Meskipun
demikian, negara pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin telah memenuhi unsur-
unsur sebagaimana negara dalam pengertian sempit, yakni;
1. Adanya warga negara, yang terdiri dari warga negara Muslim dan kaum
dzimmi (warga negara non-muslim yang tinggal menetap di wilayah Islam
dan mendapat perlindungan, dengan kewajiban membayar jizyah) serta
musta’min (warga negara asing non-muslim yang tinggal sementara dalam
wilayah Islam dan mendapat perlindungan, tanpa kewajiban membayar
jizyah;
2. Wilayah yang terdiri dari daratan, udara dan lautan, yang semula hanya
wilayah Madinah dan sekitarnya, kemudian pasca fathu Mekkah meliputi
semenanjung Arabia dan sekitarnya;
3. Pemerintah, dalam hal ini yang memiliki kewenangan melaksanakan dan
menegakkan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam, yaitu Nabi Muhammad
SAW dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.
Dalam sebuah negara tentunya harus mempunyai seorang pemimpin,
dijelaskan dalam kitab Raudhatu at-Thalibin wa 'Umdatu al-Muftin, bahwa
mendirikan imâmah hukumnya fardhu kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang
3 Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, Cet. II, (Bandung:
Mizan, 1990), h. 13-14. 4 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH-UII,
2007), h. 219. 5 Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan, h. 138.
3
layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengajukannya, maka
imamah itu wajib diusahakan.6
Seorang kepala negara juga bisa berhentikan atau dimakzulkan.
Diperbolehkan bagi masyarakat atau penduduk untuk mencopot atau memkzulkan
seorang pemimpin atau imam dengan sebab yang mewajibkannya, seperti jika
ditemukan darinya suatu yang menetapkan kekacauan atau kerusakan keadaan
umat muslim, dan menjadi rendah atau hina di mata agama.7
Di samping itu, dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah
harus diberhentikan oleh mahkamah madzalim, seperti ketika ia tidak dapat
melaksanakan tugasnya karena suatu sebab atau kehilangan ‘adalah-nya, yaitu
telah melakukan kefasikan secara terang-terangan. Termasuk pula jika seorang
khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, semisal hendak mengubah undang-
undang negara yang berasal dari syari’ah menjadi undang buatan manusia. Dari
‘Auf bun Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
تكم الذین تحبونھم و یحبونكم و یصلون علیكم و تصلون علیھم و شرار خیار أئم
تكم الذین تبغضونھم و یبغضونكم و تلعنونھم و یلعنونكم قیل یا رسول للا أ أئم
یف قال ال ما أقاموا یكم الص ة ن (.رواه مسلم. )نابذھم بالس8
Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun
mencintai kalian; mereka mendoakan kalian, kalian pun mendoakan mereka.
Seburuk-buruknya pemimpin adalah kalian benci mereka dan mereka pun
membeci kalian, kalian laknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah tidak kami perangi saja mereka dengan
pedang?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat di tengah-tengah kalian.” (HR Muslim).
Yang dimaksud dengan “menegakkan shalat” dalam hadits ini adalah
menegakkan hukum-hukum Islam.9 Ini sejalan dengan hadits lain yang
diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit. Bahwa kekuasaan harus dicabut dari
6 Imam al-Nawawi, Raudhat al-Talibin wa 'Umdatu al-Muftin, (Beirut: al-Maktab al-
Islami, 1405), h. 369. 7 H. Sarmidi Husna, Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul
Ulama’, (Jombang: Lembaga Ta’lif wa al-Nasyr PBNU, 2015), h. 135. 8 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. 2, (t.tp: Daaru Thayyibah, 2006), h. 182.
9 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmu’ al-Fatawa, Juz. 12, (Riyadh: Daar al-
Wathon, 1992), h. 130.
4
penguasa yang menampakkan kekufuran yang nyata. Dari ‘Ubadah bin al- Shamit
ra, berkata:
علینا وأن أثرة رھنا وعسرنا ویسرنا و مك نا و الطاعة ي منشط مع و ایعنا على الس ب
ا بو ه مر أھل ع األ ال نناز رواه . )ھان بر یه ا عندكم من للا اح إال أن تروا كفر
(.مسلم10
Artinya: “Kami membaiat untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi
atau kami benci, keadaan lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan,
dan tidak mencabut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat
kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki dalil jelas dari Allah.” (HR Muslim).
Namun dalam praktek kepemimpinan Khulafaur Rasyidin ditandai dengan
penurunan tahta khalifah dengan cara yang kejam yaitu melalukan pembunuhan
terhadap khalifah, terutama Usman dan Ali. Pada masa Usman ada upaya untuk
menuntut khalifah Usmam meletakkan jabatan yang dikepalai oleh Amir Ibn
Abdillah al Tamimi.11
Menurut Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,
seorang Khalifah manakala telah menunaikan hak-hak Allah (dengan menerapkan
dan menjaga Syari’at Islam secara totalitas) dan hak-hak umat (Al-Marwadi
menyebutkan ada 10 tugas Khalifah), maka ia mempunyai dua hak atas umat
(rakyat). Yakni ia harus ditaati dan rakyat juga harus menolongnya selama ia tidak
‘berubah’. Sebaliknya, jika terjadi perubahan dalam diri Khalifah maka dia harus
diberhentikan dan tidak wajib untuk ditaati.12
Perubahan di dalam Khalifah yang mengakibatkan dia harus diberhentikan
itu ada dua: Pertama: Perubahan yang dapat secara langsung menurunkan dia dari
jabatannya, kehilangan hak-haknya dan tidak ada kewajiban umat untuk
menaatinya lagi. Kedua: perubahan yang tidak secara langsung mengeluarkan
dirinya dari jabatan Khalifah, namun secara syar’i dia tidak boleh melanjutkan
jabatannya.
10
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 186. 11
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h.
427. 12
A. Djasuli, Fiqh Siyasah, (Bogor, Kencana, 2003), h. 95-96.
5
Adapun pembahasan ini juga menjadi kajian dalam sidang komisi bahtsul
masail dîniyah waqi’iyah Muktamar Ke-33 NU, para kiai memutuskan bahwa
mayoritas ulama’ berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang menjadikan
pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata melanggar konstitusi.
Ulama’ sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia
menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang
dibenarkan.13
Oleh karna itu perlu diketahui apa penyebab dan faktor-faktor yang bisa
memakzulkan Presiden dalam tatanegara Islam dan apa saja yang dibahas dalam
Bahstul Masail Nahdhatul Ulama’. Sehingga kita dapat mengetahui perbedaan dan
persamaannya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat
tema tersebut kedalam bentuk tulisan (skripsi) dengan judul “Fatwa Bahstul
Masail Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden dalam Tinjauan
Ketatanegaraan Islam’’.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka
identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1. Apa itu pemakzulan?
2. Bagaimana proses pengangkatan pemimpin/presiden?
3. Bagaimana proses pemakzulan?
4. Bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang pemakzulan presiden?
5. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan dilakukannya pemakzulan?
6. Bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata negara Islam?
7. Apa saja persamaan dan perbedaan antara fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul
Ulama dan hukum ketatanegaraan Islam tentang Pemakzulan
(pemberhentian) kepala negara?
13
Sarmidi Husna & Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul
Ulama, h.132.
6
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan Identifikasi Masalah yang penulis kemukakan di atas, agar
permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis membatasinya
hanya sekitar mengenai pemakzulan Presiden dalam tinjauan ketatanegaraan
Islam, dan terbatas pada fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ saja.
2. Rumusan Masalah
Berdasaran pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan pokok
permasalahan skripsi ini adalah bagaimana fatwa bahtsul masail Nahdhatul
Ulama’ dalam tinjauan ketatanegaran Islam tentang pemakzulan presiden. Pokok
permasalahan di atas diurai dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang pemakzulan presiden?
2. Bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata negara Islam?
3. Apa saja persamaan dan perbedaan antara fatwa Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama dan ketatanegaraan Islam tentang Pemakzulan
(Pemberhentian) pemimpin?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui bagaimana fatwa Bahstul Masail tentang temakzulan
presiden.
b. Untuk mengetahui bagaimana pemakzulan presiden menurut hukum tata
Negara Islam.
c. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara fatwa bahtsul masail
Nahdhatul Ulama dan hukum Tata Negara Islam tentang pemakzulan
(pemberhentian) presiden.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat dan
kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud terbagi menjadi dua:
7
a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya keislaman mengenai
pemakzulan presiden yang secara langsung dapat merespon kenyataan
yang terjadi pada masa kini.
b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan tentang
pandangan hukum tata negara Islam terkait dengan pemakzulan Presiden.
c. Menambah literatur perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan
Mazhab.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap beberapa
penelitian, peneliti menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, yang memiliki beberapa kesamaan. Meskipun penelitian
sebelumnya yang peneliti temukan memiliki kesamaan dengan yang sedang
peneliti lakukan, namun penelitian tersebut tetap memiliki beberapa perbedaan.
Beberapa penelitian tersebut antara lain, sebagai berikut:
1. Jurnal karya Agustina Nurhayati yang berjudul Sistem Politik dan
Demokrasi Islam. Jurnal ini menyimpulkan bahwa al-Mawardî
menyatakan bahwa rakyat juga berhak memecat kepala
negara/khalifahnya. Hak itu boleh dipakai ketika seorang kepala
negara melakukan dua kesalahan. Yang pertama adalah pelanggaran
dalam kejujuran. Pelanggaran kejujuran ini mencakup dua hal, yaitu
masalah kehormatan dirinya dan kesetiaan terhadap negara dan
masalah keyakinan keagamaan. Kedua, kekurangan panca indra yang
menyebabkan hilangnya kesanggupannya untuk menjalankan tugas
dan kewajibannya. Tentang kekurangan panca indra, Al-Mawardî
membagi dalam tiga macam: (a) hilangnya panca indra, (b) hilangnya
anggota badan dan (c) hilang kebebasan. Selain itu dijelaskan pula
mengenai ketatanegaraan Islâm khususnya pada masa Nabi
Muhammad SAW dan khulafaur Rosidin, kekuasaan kepala negara
8
mencakup bidang agama dan bidang keduniaan (sebagai kepala
pemerintahan dan sebagai kepala negara).14
2. Skripsi yang berjudul Mekanisme Pembuktian dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia, karya Yuli
Andreansyah Arba’i, Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015. Skripsi ini
menyimpulkan bahwa pengaturan mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam PMK 21 tahun 2009 belum sempurna
atau belum lengkap. Khususnya yang berkaitan dengan proses
pembuktian.15
3. Jurnal karya Hotma P. Sibuea yang berjudul “Pemberhentian
Presiden/Wakil Presiden pada Masa Jabatan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.
Jurnal tersebut menjelaskan bahwa Keputusan MK adalah mengikat
MPR sehingga jika MK memutuskan Presiden/Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden/Wakil Presiden, MPR harus melakukan Sidang MPR
untuk memberhentikan Presiden/Wakil Presiden tersebut. Jika MPR
tidak melaksanakan putusan MK atau mengabaikan putusan MK
tersebut, sikap yang demikian merupakan perbuatan yang melanggar
asas-asas hukum yang menopang kehidupan berbangsa dan bernegara
yaitu asas negara hukum, asas konstitusional dan asas pemisahan.
Pelanggaran terhadap asas-asas tersebut di atas akan merusak tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
14
Agustina Nurhayati, Sistem Politik dan Demokrasi Islam, (Jakarta: Mardhika, 2003), h.
36. 15
Yuli Andreansyah Arba’i, Mekanisme Pembuktian Dalam Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia,
(Jakarta: UIN Jakarta, 2015), h. 9.
9
4. Jurnal Rechts Vinding, Badan Pembinaan Hukum Nasional-
Kementerian Hukum dan HAM RI, yang berjudul Pemakzulan
Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
menjelaskan bahwa pengaturan mengenai pemakzulan dalam
konstitusi adalah hal yang tepat dan sangat sesuai dengan prinsip
negara hukum dan demokrasi, dan merupakan konsekuensi logis
ketika ingin mewujudkan suatu pemerintahan yang stabil sesuai
dengan praktik sistem pemerintahan presidensial.16
Dari skripsi dan jurnal yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat
bahwa skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika di jurnal
pertama fokus pembahasannya mengenai pemberhentian presiden menurut al-
Mawardi, kemudian skripsi kedua fokus pembahasannya mengenai mekanisme
pembuktian dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi dan proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan jurnal ketiga fokus pembahasannya
mengenai pengaturan pemakzulan dalam konstitusi di Indonesia sudah sangat
tepat di berlakukan di Indonesia dan sangat sesuai dengan prinsip negara hukum
dan demokrasi, kemudian jurnal yang keempat fokus pembahasannya tentang
tahapan-tahapan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD
1945. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada hasil bahtsul masail
Nadhlatul Ulama’ (NU) mengenai pemakzulan Presiden dalam ketatanegaraan
Islam.
F. Kerangka Konseptual
Dengan mengetahui mengetahui bahwa presiden merupakan salah satu
syarat dan keharusan akan adanya pada suatu negra, karena pada dasarnya Negara
terbentuk dari masyarakat yang memiliki multi-kultural, jelas sosok seorang
pemimpin merupakan hal yang sangat penting. Maka hal ini menjadi perhatian
yang sangat serius untuk meneliti tentang pemakzulan Presiden dalam tinjauan
ketatanegaraan Islam, terkhusus dalam Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’.
Kerangka konseptual akan digambarkan dalam diagram di bawah ini:
16
Eko Nour Kristiyanto, Jurnal Rechts Vinding Volume 3 Nomer 3, Desember 2013.
10
G. Metode Penelitian
Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta
mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis
penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi
tercapainya hasil yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas
metode penelitiannya, mulai dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik
pengolahan datanya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ Tentang
Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan
Islam
Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Negara
Menurut Tata Negara Islam
Fatwa Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama
Mekanisme Penngangkatan
Kepala Negara
Pengertian dan Kedudukan Fatwa
Bahtsul Masail
Analisis
Kesimpulan Hukum
Faktor-faktor yang menyebabkan
dilakukannya Pemakzulan Presiden
Metode Penetapan Fatwa Bahtsul
Masail NU
Mekanisme Pemakzulan
Kepala Negara
Syarat-syarat dan Hukum
Pemakzulan Kepala Negara
11
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research) pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif. Penelitian hukum
normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini,
acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.17
Kaitannya
dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu hukum Islam (fiqh)
yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan
oleh para ‘ulama sehingga muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan
dan perbedaan. Yang menjadi objek penelitian pustaka ini adalah fatwa bahtsul
masail Nahdhatul Ulama’ tentang pemakzulan presiden dalam tinjauan
ketatanegaraan Islam serta melihat pendapat-pendapat para ulama dan melihat
dalil-dalil yang digunakan dalam mengeluarkan argument dan fatwa dalam
menyikapi permasalah ini.
2. Sumber Data
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri menjadi (3) tiga, yaitu
sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.
a. Sumber data primer, yaitu semua sumber yang berhubungan langsung
dengan objek penelitian. Sumber primer dalam penelitian ini adalah
fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’ tentang pemakzulan
(pemberhentian) Kepala Negara.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang dapat menjelaskan
data-data primer dalam hal ini adalah:
1) kitab al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah karya
al-Mawardî.
2) Kitab Nadzam al-Islam karya Taqiyuddin an-Nabhani.
3) Kitab Nidzam Al-Hukmi fi al-Islam karya Abdul Qadim Zallumy.
4) Kitab al-Ahwal al-Syakhsiyah karya Muhammad Abu Zahrah.
17
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama), h. 118.
12
5) Kitab Qowanin al-Wizarah wa Siyasah al-Mulk karya Imam al-
Mawardy.
6) Kitab Raudah al-Talibin wa Umdat al-Muftin karya Imam al-
Nawawi.
7) Kitab al-Mawaqif al-Mukotobat karya Imam al-Nawawi.
8) Kitab Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah Zuhaily.
c. Sumber data tersier, meliputi kamus-kamus dan ensiklopedia Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dengan data-data
kualitatif. Yakni dengan mencari bahan-bahan (referensi) yang terkait serta
mempunyai relevansi dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang
peneliti gunakan adalah dokumentasi, yaitu bahan-bahan yang telah tersusun baik
berupa buku maupun jurnal yang memiliki kaitan dengan pembahasan judul.
4. Pengelolaan Data
Teknik pengelolaan data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan diinformasikan
kepada orang lain.18
Pada tahapan ini, data yang diperoleh dari fatwa dan hukum
tata Negara Islam tentang pemakzulan (pemberhentian) kepala Negara diolah dan
dimanfaatkan sedemikian rupa hingga dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran
yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian.
Adapun data-data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif, yaitu
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
5. Tehnis Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri Syarif Hidâyatullâh
Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun 2017.”
18
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
244.
13
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I pendahuluan, bab ini menjelaskan tentang standar karya tulis ilmiah, yaitu
menerangkan alasan kenapa masalah tersebut layak untuk dijadikan sebuah
penelitian. Selanjutnya mengidentifikasi masalah-masalah umum yang berkaitan
dengan judul penelitian dan membuat suatu pembatasan dan rumusan dari
identifikasi masalah tersebut agar penelitian lebih terarah. Terakhir, menerangkan
tujuan dan manfaat dari penelitian serta menentukan metode yang akan digunakan
dalam penelitian.
BAB II tinjauan teoritis tentang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian
kepala negara, bab ini merupakan suatu pengantar bagi pembaca dalam
memahami teori mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Presiden.
Menjelaskan tentang pengangkatan kepala negara, mekanisme pemakzulan kepala
negara, syarat pemakzulan kepala negara dan huku pemakzulan kepala negara.
BAB III tinjauan umum fatwa bahtsul masâil nahdhatul ulama’, bab ini
menerangkan tinjauan umum mengenai fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’.
Pembahasan pada bab ini terdiri dari pengertian Bahtsul Masail Nahdhatul
Ulama’, kedudukan fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’, metode penetapan
fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama’, fatwa Bahtsul Masâil Nahdhatul ulama’.
BAB IV tinjauan ketatanegaraan Islam dan fatwa bahtsul masail nahdhatul ulama’
tentang pemakzulan (pemberhentian) kepala negara, bab ini menguraikan kajian
mengenai bagaimana pemakzulan Presiden menurut fatwa Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama’ dan ketatanegaraan Islam serta melihat persamaan dan
perbedaan di antara keduanya.
BAB V penutup, bab in berisi kesimpulan yang berupa pernyataan singkat dari
hasil penelitian, dan saran sebagai rekomendasi penelitian yang menurut penulis
dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
14
BAB II
MEKANISME PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
KEPALA NEGARA
A. Mekanisme Pengangkatan Kepala Negara
Pebedaan mengenai pemerintahan Islam telah menjadi perdebatan yang
panjang setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Apakah Islam memerintahkan
adanya kepala Negara, siapa yang berhak menjadi kepala Negara, apa yang
menjadi kekuasaan kepala Negara dan bagaimana cara pengangkatan kepala
Negara.1
Persoalan tersebut muncul karena al-Qur’an maupun hadits sendiri sebagai
sumber hukum Islam tidak menjelaskan secara tegas mengenai sistem
pemerintahan dalam Islam, Konsepsi kekuasaan dalam Islam dan kedaulatan serta
ide-ide tentang konstitusi.2
Apabila membicarakan tentang kepala negara, maka terlepas dari
kedaulatan dan kekuasaan, baik dalam pengertian Islam maupun dalam pengertian
Barat. Menurut konsep kedaulatan rakyat yang diwujutkan dalam demokrasi
sebagai dasar penyelenggaraaan pemerintahan suatu negara, rakyat berhak untuk
menentukan sendiri jalanya pemerintahan negara. Untuk itu prinsip musyawarah
sebagai suatu proses pengambilan keputusan secara bersama dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hanya dapat diwujudkan melalui kedaulatan rakyat.
Makna kedaulatan dalam Islam bersandarkan pada makna kekuasaan yang
tertinggi ada pada Allah SWT. Allah SWT memiliki kekuasaan yang mutlak
terhadap alam beserta isinya. Hal ini tercantum dalam Surat Ali Imran ayat 189
yang artinya: “Kepunyaan Allah-lah Kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
1 Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gama
Media Pratama, 2001), h. 44. 2 Yusril Ihza Mahendra, “Harun Nasution tentang Islam dan Kenegaraan”, dalam
Refleksi Pembaruan Pemikiran Islam, (Jakarta: LSAF, 1989), h. 219.
15
Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhalifahan, keimamahan dan
keamiran dalam sejarah Islam terutama pada masa Al-Khulafa’ al-Rosidin disebut
khalifah, imam atau amir. Arti kata khalifah, yang bentuk jamaknya khulafa’ atau
khalaif yang berasal dari kata khalafa, adalah seorang pengganti yaitu seseorang
yang mengantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan,3 atau orang yang
menggantikan (kedudukan) orang yang sebelumnya atau juga orang yang
mengantikan kedudukan orang lain.
Khalifah juga bisa berarti al-sulthan al-a’dzam (kekuasaan paling besar
atau paling tinggi). Dalam bahasa inggris khalifah disebut wakil (deputy),
pengganti (successor), penguasa (vicegerent), titel bagi pemimpin tertinggi
komunitas muslim (title of the supreme head of the Muslim Community), sebagai
pengganti Nabi (Khalifat Rasul Allah).4 Institusi khalifah itu disebut kekhalifahan.
Sejarah timbulnya istilah khalifah dan institusi khilafah bermula sejak
terpilihnya Abu Bakar (573-634) sebagai pemimpin umat Islam menggantikan
Nabi Muhammad SAW sehari setelah Nabi wafat. Kemudian berturut-turut
terpilih Umar bin Khattab (581-644), Utsman bin Affan (576-656) dan Ali bin
Abi Talib (601-661).5
Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW tidak memberikan tuntunan tentang
bagaimana suksesi yang harus dilakukan oleh umatnya untuk memilih dan
mengangkat kepala negara. Nabi Muhammad SAW menyerahkan urusan ini
sepenuhnya kepada umat, asalkan tidak melanggar pesan-pesan moral yang
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Kalau dilihat dalam pengangkatan khalifah/kepala negara pada masa
Khlufa al-Rosidin, Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama negara Islam
melalui sidang musyawarah di Bani Sa’idah, Umar bin Khatâb sebagai khalifah
kedua diangkat menjadi khalifah dengan pencalonan, Utsman bin Affân dipilih
sebagai khalifah ketiga berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh tim formatur
3 Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-
Qur’an, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), h. 199. 4 Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994), h. 49. 5 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1966, Cetakan Pertama), h. 919.
16
dari majelis Syura, dan Ali bin Abi Talib dipilih sebagai khalifah keempat
berdasarkan pilihan yang dilakukan oleh sisa-sisa majelis syura.6
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ternyata dari pengalaman praktik
pengangkatan khalifah/kepala negara dalam Islam tidak selalu sama dan tidak
selalu seragam dalam sejarah.
Pada tataran praktis ini, bentuk dan pelaksanaan pemerintah tidak selalu
sama dalam sejarah umat Islam, karena dalam al-Qur’an dan dalam kenyataan
sejarah Nabi Muhammad SAW sendiri tidak memberikan tuntunan praktis tentang
bagaimana suksesi yang harus dilakukan dan bagaimana umatnya menjalankan
kehidupan politik dan kenegaraan.
Islam amat menekankan soal kepemimpinan. Menurut Islam,
kepemimpinan manusia yang dalam hal ini adalah seorang kepala negara
merupakan perpanjangan kekuasaan Allah yang dibebankan di pundak para Nabi
dan orang-orang pilihan-Nya. Oleh sebab itu, setiap kepala negara harus benar-
benar mematuhi apa-apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW di samping sebagai Nabi dan Rasul, juga sebagai
imam (pemimpin).7 Dan setelah beliau wafat Umat Islam mengangkat Abu Bakar
sebagai imam mereka. Oleh karena itu adalah logis bahwa dalam masyarakat yang
telah terbentuk dalam suatu komunitas sosial keagamaan yang demikian baik telah
memenuhi unsur kenegaraan, mengangkat pemimpin yang mengurus dan
mengatur berbagai kepentingan administrasi dan kenegaraan.
Namun memang secara tegas tidak ada nash yang menunjukan tentang
pengangkatan dan penggantian imam (kepala negara). Al-Qur’an hanya secara
umum memberikan isyarat mengenai prinsip musyawarah dalam setiap urusan
atau hal, termasuk masalah pemilihan kepala negara ini.8
Mengenai mekanisme pemilhan atau pengangkatan kepala negara ini ada
beberapa pendapat. Munawir Sjadzali ketika menjelaskan pendapat Ibnu Khaldun
6 Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, h. 51.
7 Muntoha, Kriteria Kepala Negara dalam Sistem Politik Islam (Telaah Sosio-Historis
Terhadap Hadits Politik), (Yogyakarta: UII Pres, 1996), h. 1. 8 Abdul Qadim Zalum, Nizam al-Hukmi fi al-Islam, (Beirut: Dar Ibn al-Kutaibah, 2002,
Cet. Pertama), h. 46.
17
mengenai mekanisme pengangkatan kepala negara menyebutkan salah satu syarat
untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang
calon harus dipilih oleh ahlu halli wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai
kompetensi. Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara
akan sangan membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang
birokrasi, termasuk di dalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang
dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) Kekuatan
tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari
setiap ancaman atau gangguan dari luar.9
Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, Khilafah adalah aqad atas dasar
sukarela dan pilihan. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk menerima jabatan
khilafah, dan tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memilih khalifah. Seorang
yang berhak menjadi khalifah adalah sesorang yang diangkat oleh kaum Muslim.
Orang yang dibaiat sebagai Khalifah tidak disyaratkan kecuali memenuhi syarat
baiat in’iqad, dan tidak harus memiliki syarat keutamaan. Yang diperlukan adalah
syarat-syarat in’iqad.10
Pengangkatan khalifah sebagai kepala negara, dianggap sah jika
memenuhi tujuh syarat, yaitu laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil dan
memiliki kemampuan. Apabila jabatan khalifah kosong, atau karena meninggal
atau mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat
seorang pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari dengan dua malamnya
sejak kekosongan jabatan khalifah.11
Menurut Imam al-Mawardi, mekanisme/suksesi kekhalifahan tersebut
dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Pemilihan dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, hal ini didasarkan atas
naiknya Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah atas
9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1990), h. 102. 10
Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, diterjemahkan oleh Umar
Faruq, (Jakarta: HTI Press, 2002), h.342. 11
Taqiyyuddin An-Nabhani, Daulah Islam Edisi Mu’tamadah, 346.
18
terbentuknya dewan formatur ahlul halli wal aqdi oleh khalifah
sebelumnya (Umar bin Khattab).
2. Pencalonan yang dilakukan oleh Imam atau Khalifah sebelumnya, seperti
pencalonan khalifah Umar bin Khattab yang dilakukan oleh Khalifah
pendahulunya (Abu Bakar Siddiq).12
3. Sedangkan proses pengangkatan Abu Bakar Siddiq melalui pembaiatan
oleh Umar bin Khattab diikuti oleh Abu Ubaidah dan para sahabat lainnya
seperti Basyir bin Saad dan para pengikutnya.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf mekanisme pengangkatan kepala Negara
dilakukan dengan cara:
1. Penunjukan langsung oleh Allah. Muhammad SAW sebagai Nabi dan
Rasul memang dipilih langsung oleh Allah, tapi sebagai kepala Negara
beliau dipilih oleh para pemuka masyarakat madinah.
2. Memangku jabatan/penetapan seorang pemimpin melalui metode
pemilihan oleh dewan ahli yang lazim disebut ahlu halli wa al-aqdi.
3. Penunjukan oleh pemimpin sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakar dalam memilih Umar bin al-Khattab sebagai pengganti dirinya.
4. Revolusi atau kudeta yang dilakukan oleh sikap penentangan Muawiyah
terhadap Ali dimulai dari Ali dibai’at menjadi khalifah pengganti Ustman
bin Affan. Bahkan, kelompok Mua’wiyah kemudian disebut sebagai fi’ah
bagiyah (Kelompok Pemberontak) oleh kaum Sunni maupun Syi’i karena
memerangi khalifah Ali bin Abi Thalib yang telah diba’iat secara sah oleh
kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.13
1. Syarat-syarat Pengangkatan Kepala Negara
Imam Abdul Qodim Zalumi dalam kitabnya Nizam al-Hukmi fi al-Islam,
menjelaskan mengenai syarat-syarat pengangkatan kepala Negara, beliau
membaginya dalam 2 kriteria yaitu syarat in’iqad (syarat keabsahan akad
khilafah) dan syarat afdhaliyah (syarat-syarat keutamaan). Syarat In’iqad (syarat
12
Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al- Wilâyat al-Diniyyah, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1966), h. 4. 13
Abdul Wahhab Khallaf, Politik Hukum Islam, Cet. II, diterjemahkan oleh Zainuddin
Adnan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005) h. 78-79.
19
keabsahan akad khilafah) adalah: Muslim, Laki-laki, Baligh, Merdeka, Berakal,
Adil, Sehat jasmani dan rohani, seminimal mungkin ia masih dapat berdiri.
Sedangkan Syarat Afdaliyah (syarat-syarat keutamaan) adalah syarat-syarat yang
mengesahkan terwujudnya akad khilafah. Selain ketujuh syarat ini tidak ada
syarat lain yang layak dijadikan syarat in'iqad, meskipun mungkin saja
menjadi syurut afdaliyat (syarat-syarat keutamaan). Syarat afdaliyah ini bisa
ditetapkan jika didukung oleh nash-nash yang sahih atau termasuk kategori
hukum yang ditetapkan dengan nash yang sahih pula. Hal itu karena syarat-syarat
terwujudnya akad khilafah untuk seorang khalifah itu harus memiliki dalil yang
mengandung tuntutan yang tegas yang mengisyaratkan wajibnya syarat tersebut.
Oleh karena itu, jika suatu dalil tidak mengandung perintah yang tegas, maka
persyaratan itu akan menjadi syarat afdaliyah, bukan syarat in'iqad (syarat sahnya
akad khilafah). Dan tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah
tegas selain tujuh syarat ini. Oleh karena itu, tujuh syarat ini sajalah yang menjadi
syarat sahnya akad khilafah. Selain tujuh syarat itu hanya menjadi
syarat afdaliyah semata.14
Abu Ja’al Hanbali menyebutkan syarat pengangkatan Kepala Negara ada
empat syarat, yaitu:
1) Keturunan Orang Quraisy.
Memang tidak hanya beliau saja yang menyebut akan kriteria yang
satu ini, kebanyakan para ulama pun memasaukan kriteria terebut. Hal
ini menegaskan bahwa Quraisy adalah suku yang memiliki kekuatan
dan pengaruh yang kuat, sehingga akan mudah untuk menjadi
pemimpin
2) Memiliki syarat-syarat seorang Hakim, yaitu merdeka, baligh, berakal,
berilmu, dan adil.
3) Mampu memegang kendali di dalam maslah-masalah peperangan,
siyasah, dan pelaksanaan hukuman.
4) Orang yang paling baik/utama di dalam ilmu dan agama.15
14
Abdul Qadim Zalum, Nizam al-Hukmi fi al-Islam, h. 49-51. 15
Abu Ja’la, al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Kairo: Mustafa al-Halabi, 2000), h. 6.
20
Sedangkan Ibnu Khaldun menyebutkan syarat pengangkatan Kepala
Negara juga ada empat syarat, yaitu:
1) Memiliki Ilmu pengetahuan
2) Adil
3) Mampu melaksanakan tugas, termasuk kearifan
4) Sehat jasmani dalam arti panca inderanya dan anggota badan lainnya.16
2. Aturan-aturan Pengangkatan Kepala Negara
Selain menetapkan umat sebagai pemilik kekuasaan, syara’ juga
menetapkan metode pengangkatan khalifah. Metode tersebut adalah
dengan bai’at. Bai’at menurut Ibnu Khaldun adalah “perjanjian orang berbai’at
untuk taat melakukan sumpah kepada pemimpinnya bahwa ia akan
menyelamatkan pandangan yang diembannya dari pemimpin, baik berupa
perintah yang disenangi atau tidak disenangi.”17
Kesimpulan ini didasarkan pada
baiat kaum Muslimin kepada Rasulullah SAW dan perintah beliau kepada kita
untuk membaiat seorang khalifah. Bai’at kaum Muslimin kepada Rasulullah SAW
bukanlah bai’at atas kenabian, tetapi bai’at atas pemerintahan. Masalah bai’at ini
juga tercantum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Allah SWT berfirman dalam surat al-Mumtahanah ayat 12 yang berbunyi:
نات ي باييعنك على أن ل يشريكن بياللهي شيئا ول يسريق إيذا جاءك المؤمي ن ول ي زنيني ول يا أي ها النبي
ينك في معروف ف باييعهن ي قت لن أولدهن ول يأتيني بيب هتان ي فتيينه ب ني أيدييهين وأرجليهين و ل ي عصي
(.21: سورة املمتحنة. )…واست غفير لن الله
Artinya: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan
16
A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu
Syari’ah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 31. 17
A. Rahman Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van
Heave, 2006), h. 179.
21
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka” (QS. al-Mumtahanah {60}:
12)
Syarat-syarat yang disebutkan dalam ayat ini adalah syarat dalam
pembaiatan wanita, dimana mereka berbaiat untuk menjalankan kewajiban yang
berlaku bagi laki-laki maupun wanita di setiap waktu, adapun laki-laki maka
kewajiban mereka berbeda-beda sesuai keadaan mereka dan tingkatan mereka dan
yang harus mereka kerjakan. Maka Nabi SAW menjalankan perintah Allah
tersebut, oleh karenanya ketika wanita datang, maka Beliau membaiat mereka dan
mewajibkan mereka memenuhi syarat-syarat itu, menutupi kesedihan mereka dan
memintakan ampun kepada Allah untuk mereka terhadap hal yang mungkin
terjadi berupa sikap kurang memenuhi hak, serta memasukkan mereka ke dalam
golongan kaum mukmin.
Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang
mengatakan:
أ ن ع معي و الطاعةي في منشطينا و اي عنا على الس ب : ال ق -رضي اهلل عنه -تي امي الص ني ب ة اد عب دي ي لي الو بي
نامكر نا أث رة و يسرينا و عسرينا و هي ن اهلل اهله إيل أن ت روا كفرا ب و ع األ مر أ لن نازي وأن علي حا عيندكم مي
.18(متفق عليه)" .…هان ب ر هي ي في
Artinya: “Dari Abi al-Walid Ubadah bin al-Shamit R.A., Berkata: Kami membaiat
untuk mendengar dan taat dalam yang kami senangi atau kami benci, keadaan
lapang atau sempit, benar-benar kami prioritaskan, dan tidak mencabut
kekuasaan dari pemegangnya, kecuali “kamu melihat kekufuran yang nyata, yang
kalian memiliki dalil jelas dari Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kepatuhan rakyat ketika telah memilih seseorang untuk menjadi khalifah
adalah wajib dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan senang atau susah serta
dalam keadaan sempit maupun lapang. Namun, ketika melihat kekufuran yang
benar-benar nyata pada diri seorang khalifah, maka rakyat bisa mencabut
kekuasaan tersebut dari pemegangnya yang sesuai dalil yang jelas dari Allah.
18
Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Syarah Riyadh al-Shalihin, Jilid II, (Riyadh: Madar
al-Wathan li al-Nasr, 2010), h. 419.
22
Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut menunjukkan bahwa bai’at
merupakan satu-satunya metode pengangkatan khilafah. Para sahabat telah
memahami perkara tersebut. Bahkan mereka telah mempraktikkannya dalam
pengangkatan al-khulafa’ al-rasyidun.
B. Mekanisme Pemakzulan Kepala Negara
Mengenai mekanisme pemakzulan, dalam Islam tidak ditemukan
penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqih
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian
kepala negara. Karena kepala Negara memiliki peranan yang penting dalam
memimpin suatu wilayah.
Kelompok Mu’tazilah, kalangan Khawarij, dan Zaidiyah berpendapat
bahwa kepala negara yang telah menyimpang dan tidak layak lagi menjabat, maka
ia diberhentikan dengan paksa, diperangi atau dibunuh. Golongan Khawarij
berpendapat, “Kepala negara yang telah berubah perilaku baiknya dan
menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib dipecat atau dibunuh.”19
Sedangkan
kelompok Mu’tazilah percaya bahwa kepala negara dapat digantikan apabila
berbuat fasik, meskipun belum sampai pada tingkat murtad atau zalim.20
Abu
Bakr al-Asam, pemuka Mu’tazilah juga berpendapat menyingkirkan kepala
negara yang durhaka dengan kekuatan senjata adalah wajib, apabila telah
ditemukan kepada negara lainnya yang lebih adil sebagai penggantinya.21
Menurut Al-Baghdadi sebagaimana dikutip oleh J Suyuthi Pulungan
menjelaskan bahwa seorang kepala negara yang tanpa cacat dan tindakannya tidak
bertentangan dengan syari'at umat wajib mendukung dan mentaatinya. Tapi bila ia
menyimpang dari ketetapan syari'at, masyarakat harus memilih di antara dua
tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat salah kepada
kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.
Menurut Al-Juwaini, kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh
19
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII
Press, 2007) h. 276. 20
Mumtaz Ahmad, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Penerjemah Ena Hadi, Cet III,
(Bandung: Mizan 1996), h. 104. 21
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan,h. 276.
23
memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam
dirinya yang membolehkannya untuk itu. Hal ini telah menjadi kesepakatan.
Apabila ia fasiq dan fajir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil), maka
memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada dasar
hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.22
Pemberhentian kepala negara dari jabatannya menurut Imam Al-Mawardi
yaitu ketika kepala negara telah keluar dari kompetensi sebagai kepala negara,
yang dimaksud keluar dari kompetensi disini adalah pemimpin telah melakukan
perbuatan yang merugikan negara/rusaknya kridibilitas kepala negara dan
terjadinya ketidak lengkapan pada anggota tubuh.23
C. Syarat-syarat Pemakzulan Kepala Negara
Jika khalifah telah melaksanakan semua hak-hak umat yang menjadi
kewajibannya, maka ia berhak mendapatkan haknya dari umat yaitu untuk ditaati
dan ditolong selagi ia tetap dalam kebenaran. Khalifah berhak memegang tugas
sebagai kekhalifahan sampai meninggal akan tetapi ada beberapa kondisi yang
dapat menjadikan khalifah kehilangan haknya dan terancam untuk dimakzulkan.
Kondisi tersebut adalah:24
1. Cacat dalam keadilan
Adapun cacat dalam keadilan atau fisik terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a) Pertama, fasik karena syahwat terkait dengan tindakan-tindakan
tubuh , maksudnya mengerjakan larangan dan kemungkaran karena
mengikuti syahwat dan tunduk kepada hawa nafsu. Karena
kefasikan ini ia tidak dapat duduk mejadi khalifah, dan jika ia telah
didaulat menjadi khalifah maka ia harus dengan rela hati
diturunkan. Jika ia telah kembali kepada keadilan, ia tidak dapat
menjadi khalifah kecuali dengan bai’at yang baru. Ada sebagian
ulama’ fiqh yang berpendapat bahwa jika khalifah terjatuh dalam
22
J Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 261-262. 23
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, (Jakarta: Dar al-Falah, 2007), h.26. 24
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, h.26.
24
kefasikan dan sebelum dimakzulkan khalifah telah bertaubat maka
ia berhak melanjutkan kekhalifahan.25
b) Kedua, adalah terkait dengan keyakinan yang ditafsirkan dengan
syubhat. Ia menafsirkan syubhat dengan tidak sesuai kebenaran.
Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Sebagian mengatakan
bahwa syubhat menyebabkan seseorang dilarang diangkat menjadi
khalifah dan membatalkan imamah yang dipimpinnya. Sebagian
besar ulama’ basrah berkata, “Sesungguhnya syubhat tidak
menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi khalifah dan ia
tidak harus mundur dari kekhalifahan, sebagaimana syubhat tidak
membatalkan jabatan hakim dan saksi.” Jumhur fuqaha’
menetapkan kaidah umum bahwa umat Islam berhak meurunkan
khalifah dari jabatannya dengan alasan ia telah melakukan
kefasikan atau syubhat atau hal-hal lain yang bisa dijadikan alasan
legal untuk melepas dari jabatannya.26
2. Cacat tubuh pada khalifah
Adapun cacat tubuh pada khalifah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a) Pertama, hilangnya salah satu dari panca indra (naqshul hawas).
Orang yang tidak mempunyai kemampuan melihat tidak boleh
diangkat menjadi khalifah, begitu juga jika kecacatan itu terjadi
setelah ia menjabat sebagai khalifah maka ia harus turun dari
jabatannya. Adapun cacat tuli dan bisu ulama’ bersepakat bahwa
orang yang tuli dan bisu tidak dapat diangkat mejadi khalifah.
Akan tetapi mereka berbeda pendapat apabila kecacatan tersebut
terjadi setelah menjabat menjadi khalifah. Sebagian berpendapat
bahwa ia tetap sah menjadi khalifah dan sebagian yang lain
membatalkan.
b) Kedua, hilangnya anggota badan (naqshul a’dha’i). Hilangnya
sebagian anggota tubuh ada yang mengakibatkan pengangkatan
25
Said Hawwa, Al-Islam, (Jakarta: al-I’tisham, 2005), h.499. 26
Said Hawwa, Al-Islam, h.499.
25
khalifah tidak sah baik kecacatan tersebut terjadi sebelum atau
sesudah bai’at. Yang termasuk kategori ini adalah hilangnya
anggota badan yang menyebabkan pekerjaan tidak bisa
dilaksanakan. Seperti hilangnya kedua tangan, hilangnya kedua
kaki. Ada perbedaan pendapat ulama’ apabila anggota badan yang
hilang tidak mengganggu pekerjaan.
c) Ketiga, tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan aktivitas
kekhalifahan (naqshut tasharruf). Kondisi ini bisa terjadi karena
adanya pihak lain yang mengendalikan (al-hijr) atau karena adanya
tekanan dan paksaan dari pihak lain (al-Qahr). Maksud al-hijr
adalah adanya pihak lain semisal kawan atau saudara khalifah yang
mengendalikan dan berperan dalam menetukan kebijakan
kekhalifahan. Akan tetapi jika yang mengendalikan termasuk orang
salih dan kebijakan yang diambil bermanfaat dan tepat untuk
kemaslahatan umat maka hal tersebut tidak mengganggu
kedudukan khalifah.27
D. Hukum Pemakzulan Kepala Neagara
Jika seseorang menduduki kepemimpinan negara Islam tidak berarti
bahwa ia tetap akan menjadi kepala negara tanpa ada yang boleh menggangu
gugat. Apapun yang terjadi, dan apapun yang ia lalukan, jika bertentangan dengan
syari’at Islam, maka bisa diberhentikan.28
Khalifah secara otomatis akan
diberhentikan, manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan
perubahan yang langsung mengeluarkan dari jabatan khilafah.
Khalifah juga wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan
dalam dirinya walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkannya dari
jabatan khilafah, namun menurut syara’ dia tidak boleh melanjutkan jabatannya.29
Para Yuris Muslim menyebutkan bahwa integritas pribadi (al-‘adalah) yang rusak
27
Said Hawwa, Al-Islam, h.500-501. 28
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Terjemah dari Musthalah
Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 174. 29
Taqqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam; Doktrin Sejarah dan Realitas
Empirik; Terjemah dari Moh. Mahfud Wachid, Kitab Nidhamul Hukmi fil Islam, (Bangil: Al-
Izzah, 1996, Cet. Pertama), h. 135.
26
dan cacat fisik, merupakan alasan yang sah diberhentikannya kepala negara.
Alasan lain berhentinya seorang khalifah adalah karena meninggal dunia,
pengunduran diri, tertawan musuh, murtad, hilang akal karena pikun atau gila.
Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa keberadaan kepala Negara, meskipun
zalim, lebih bagik bagi rakyat daripada mereka harus hidup tanpa kepala Negara.
Dia meminjam suatu ungkapan bahwa “enam puluh tahun dibawah kepala
Negara yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa kepala Negara”.
Bahkan dia memberi dukungan kepada absolutisme yang tiada henti-hentinya.
Demi ketentraman dan menjauhkan anarki ditengah masyarakat telah menjadi
alasan utama untuk tidak menjatuhkan kepala Negara yang melakukan
penyimpangan.30
Abdul Qadim Zallum membuat dua klasifikasi pemberhentian khalifah:
1. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari
jabatannya, yaitu terdiri dari;
a) Kalau khalifah murtad dari Islam:31
Apabila imam keluar dari
agama Islam riddah (seperti jika ia secara terus terang
mengeluarkan kata-kata kufur atau mengingkari salah satu prinsip
agama Islam, atau mendustakan al-Qur’an atau menafsirkan ayat
al-Qur’an menurut seleranya sendiri dan bertentangan dengan
maksud yang disepakati, atau melakukan perbuatan yang jelas-jelas
menunjukkan kekufuran maka dengan sendirinya keabsahan
imamah-nya telah gugur.32
b) Kalau khalifah gila total (parah) yang tidak bisa disembuhkan/33
hilang akal; apabila imam kehilangan akal atau terganggu
mentalnya sehingga membuatnya gila dalam waktu pendek atau
lama maka imam dalam hal ini keluar dari imamah dan berhak
diberhentikan.34
30
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Seejarah dan Pemikiran, Cetakan
ke-5, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 89. 31
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275. 32
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 176. 33
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 276. 34
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 174.
27
c) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat,35
yaitu jatuh di bawah
kekuasaan dan cengkraman musuh, ia digerakkan olehnya
semaunya sehingga tidak bisa mengatur lagi urusan kaum
muslimin sebagaimana yang dikehendaki.36
2. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis
mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh
mempertahankan jabatannya yaitu terdiri dari:
a) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan
kefasikan terang-terangan.
b) Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau
waria.37
c) Khalifah menjadi gila namun tidak parah, terkadang sembuh
terkadang gila.
35
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275. 36
Taqqiyuddin al-Nabhâni, Sistem Pemerintahan Islâm; Doktrin Sejarah dan Realitas
Empirik; h. 139. 37
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 275.
28
BAB III
FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA
TENTANG PEMAKZULAN KEPALA NEGARA
A. Pengertian Bahtsul Masail
Selama ini NU dianggap sangat hati-hati dalam merespon perkembangan
hukum yang terjadi dalam masyarakat, bahkan sebagian pengamat menganggap
wacana pemikiran hukum NU mengarah pada proses penutupan ijtihad. Ide-ide
baru yang dikembangkan dalam pemikiran hukum NU sekarang ini menjadi lebih
progresif dan transformatif dengan tawaran pemikiran-pemikiran para Kiai NU
khususnya kalangan muda yang sangat terbuka dan kritis dengan wacana-wacana
baru yang berkembang sekarang ini. Mereka mengembangkan pemikiran kritis
yang interpretatif, metodologis dan filosofis.1
Dengan pemikiran yang interpretatif atas teks-teks fikih yang ada, para
kiai akan mengetahui latar pemikiran khazanah-khazanah klasik yang telah
menjadi bahan perbincangan primer kiai. Begitu juga secara metodologis,
pemikiran fiqih tidak lagi terkungkung dengan rujukan teks (qauli) saja, tetapi
harus diimbangi dengan pembongkaran (dekonstruksi) konteks. Atau dengan kata
lain berfikih tidak harus secara teks (madzhab qauli) tetapi juga dengan
metodologi yang kontekstual (manhaj). Sedangkan wacana filosofis merupakan
alternatif baru dalam mengembangkan fikih manhaji yang mulai dipakai oleh para
kiai NU.2
Pembahasan masalah-masalah duniawi yang berhubungan dengan konteks
fikih tentunya untuk menghasilkan suatu hukum, dalam organisasi Nahdhatul
Ulama‟ dikenal dengan nama Bahtsul Masail.
Bahtsul Masail adalah pembahasan permasalahan dalam masyarakat yang
diselesaikan dengan solusi fikih bersandarkan pada kitab-kitab fikih, metode ini
berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama‟ dan pesantren-pesantren salaf. Dengan
kata lain Bahtsul masail merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang
1 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta, LkiS, 1994), h. v.
2 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, h. vi.
29
muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam
agama. Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fikih dan kalangan
profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya.3
Dengan demikian dalam mengkaji dan menetapkan jawaban permasalahan
yang dihadapi, NU membahasnya dengan cara-cara yang dipegang oleh madzhab,
yakni dengan menelusuri dahulu penjelasan-penjelasan ulama‟ dalam kitab-kitab
madzhab yang berkaitan dengan permaslahan tersebut, dengan tetap memegang
pada sumber-sumber hukum Islam Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah; al-Qur‟an, al-
Hadits, Ijma‟ dan Qiyas. Inilah yang dilakukan NU dalam proses istinbath hukum
dalam Bahtsul Masa‟il.4
B. Kedudukan Fatwa Bahtsul Masail
Mengenai sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa‟il di
lingkungan Nahdhatul Ulama sesuai dengan keputusan Munas Alim „Ulama
Nahdlatul „Ulama yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16–20
Rajab 1412 H./21–25 Januari 1992 M. yaitu:
1. Ketentuan Umum
a. Yang dimaksud dengan kitab adalah al-Kutubul mu’tabarah, yaitu
kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai engan akidah Ahl al-
sunnah wa al-Jama’ah (rumusan Muktamar NU ke XXVII).5
b. Yang dimaksud dengan bermadzhab secara qauli adalah mengikuti
pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup madzhab
tertentu.
c. Yang dimaksud bermadzhab secara manhaji adalah bermadzhab
dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang
telah disusun oleh imam madzhab.6
d. Yang dimaksud dengan istinbat adalah mengeluarkan hukum
syari‟at dari dalilnya dengan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id
fiqhiyyah.7
3 Kata Pengantar oleh KH. Sahal Mahfudh dalam Kritik Nalar Fiqih NU, editor M.
Imadun Rahmat, (Jakarta: LAKSPENDAM NU, 2002), h. x-xi. 4 LP. Ma‟arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulamâ’, edisi II, (Semarang: LP. Ma‟arif NU,
2002), h. 54. 5 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, dalam
Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il,
(Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 174. 6 Imam Yahya, Akar Sejarah Bathsul Masa’il: Penjelajahan Singkat, dalam Imdadun
Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, (Jakarta:
Lakpesdam, 2002), h. 7-8. 7 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 182.
30
e. Yang dimaksud dengan qauli adalah pendapat imam madzhab.
f. Yang dimaksud dengan wajh adalah pendapat ulama madzhab.
g. Yang dimaksud dengan taqrir jama’i adalah upaya secara kolektif
untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa
qaul/wajah.8
h. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaqul masail bi nazha’iriha)
adalah menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum
dijawab oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah
dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah
“jadi”).9
i. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk
membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul”
masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pula hasil
pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
j. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu
bahtsul masa‟il oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau
Muktamar NU.
2. Sistem Pengambilan Keputusan Hukum
a. Prosedur Penjawaban Masalah
Keputusan bahtsul masa‟il di likungan NU dibuat dalam kerangkan
bermadzhab kepada salah satu madzhab empat yang disepakati dan
mengutamakan bermadzhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur
penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab dan
di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah
qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.
2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab dan
di sana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan
taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.
3) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali yang
memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur ilhaq al-
masail bi nazha’iriha secara jama’i oleh para ahlinya.
4) Dalam kasus tidak ada satu qaul/wajah sama sekali dan tidak
mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan istinbat jama’i
dengan prosedur bermadzhab secara manhaji olah para
ahlinya.10
b. Hirarki dan sifat keputusan bahtsul masail
1) Seluruh keputusan bahtsul masa‟il di lingkungan NU yang
diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam
8 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 177.
9 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 179.
10 A. Chozin Nasuha, Bahtsul Masa’il Fiqhiyah NU antara Idea dan Fakta, h. 168-169.
31
keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur oraganisasi
maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan
tidak saling membatalkan.
2) Suatu hasil keputusan bahtsul masa‟il dianggap mempunyai
kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah disahkan oleh Pengurus
Besar Syuriah NU tanpa harus menunggu Munas Alim Ulama
maupun Muktamar.
3) Sifat keputusan dalam bahtsul masa‟il tingkat Munas dan
Muktamar adalah:
a) Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan/atau,
b) Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan
mempunyai dampak yang luas dalam segala bidang.
c. Kerangka Analisis Masalah
Terutama dalam memecahkan masalah sosial, bahtsul masa‟il
hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah (yang
sekaligus tercermin dalam hasil keputusan) antara lain sebagai
berikut:
1) Analisa masalah (sebab mengapa terjadi kasus ditinjau dari
berbagai faktor):
a) Faktor ekonomi
b) Faktor budaya
c) Faktor politik
d) Faktor sosial dan lainnya
2) Analisa dampak (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan
oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari
berbagai aspek) antara lain:
a) Secara sosial ekonomi
b) Secara sosial budaya
c) Secara sosial politik
d) Dan lain-lain
3) Analisa hukum (fatwa tentang suatu kasus setelah
mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala
bidang). Di samping putusan fikih/yuridis formal, keputusan ini
juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif
a) Status hukum (al-ahkam al-khamsah/sah-batal)
b) Dasar dari ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
c) Hukum positif
4) Analisa tindakan, peran dan pengawasan (apa yang harus
dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa di atas). Kemudian
siapa saja yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di
mana hal itu hendak dilakukan, serta serta bagaimana
mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan
rencana.
32
a) Jalur politik (berusaha pada jalur kewenangan negara
dengan sasaran mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah).
b) Jalur budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan
kesadaran masyarakat melalui berbagai media massa dan
forum seperti pengajian dan lain-lain).
c) Jalur ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
d) Jalur sosial lainnya (upaya meningkatkan kesehatan
masyarakat lingkungan dan seterusnya).11
3. Petunjuk Pelaksanaan
a. Prosedur Pemilihan Qaul/Wajah
1) Ketika dijumpai beberapa qaul/wajah dalam satu masalah yang
sama maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
2) Pemilihan salah satu pendapat dilakukan:
a) Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/atau
yang lebih kuat.
b) Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan
Muktamar NU ke I, bahwa perbedaan pendapat
diselesaikan dengan memilih:
(1) Pendapat yang disepakati oleh asy-Syaikhani
(alNawawi dan Rofi‟i).
(2) Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi saja.
(3) Pendapat yang dipegang oleh al-Rifa‟i saja.
(4) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama
(5) Pendapat ulama yang terpandai.
(6) Pendapat ulama yang paling wara‟.
b. Prosedur Ilhaq
Dalam hal ketika suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam
kitab, maka masalah/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur
ilhaq al-Masa’il bi nazha’iriha secara jama’i. Ilhaq dilakukan
dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ilaih dan wajhul ilhaq
oleh para mulhiq yang ahli.
c. Prosedur Istinbat
Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan ilhaq karena tidak
adanya mulhaq bih dan wajhul ilhaq sama sekali di dalam kitab,
maka dilakukan istinbat secara jama’i, yaitu dengan
mempraktekkan qawa’id ushuliyyah dan qawa’id fiqhiyyah oleh
para ahlinya.12
11
Marzuki Wahid, Cara Membaca Tradisi Bahtsul Masa’il NU, Tatapan reflektif, dalam
Imdadun Rahmat (eds.), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il,
(Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. 82. 12
Khotib Sholeh, Menyoal Efektifitas Bahtsul Masa’il, dalam Imdadun Rahmat (eds.),
Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Bathsul Masa’il, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), h.
238.
33
C. Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masail
Dalam kalangan NU, metode penetapan hukum diartikan bukan
mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yakni al-Qur‟an
dan al-Sunnah, tetapi dilakukan dengan memaparkan secara dinamis nash-nash
yang telah dielaborasi fuqoha’ kepada persoalan (waqi’iyah) yang dicari
hukumnya.13
Dalam menghadapi masalah serius kekinian yang di masa lalu
peristiwa itu belum pernah terjadi, Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar
Nahdhatul Ulama (LBM-PBNU) selalu meminta penjelasan terlebih dahulu
kepada para ahlinya.14
Sistem pengambilan keputusan bahtsul masail NU dibuat dalam kerangka
bermadzab pada salah satu madzab empat (Syafi‟i, Maliki, Hambali dan Hanafi).
Adapun metode yang digunakan dalam kerja bahtsul masail ada tiga macam,
ketiga metode tersebut diterapkan secara berjenjang, yaitu:
1. Metode qouli
Metode ini suatu cara penetapan hukum yang digunakan oleh ulama‟
NU dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari
jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari madzab empat.15
Prosedur
penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
a) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan
hanya terdapat satu qoul/wajh maka dipakailah qoul/wajh itu.
b) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan
disana ada lebih dari satu qoul/wajh maka dilakukan taqrîr jama’i
(upaya kolektif untuk menetapkan pilihan) untuk memilih satu
qoul/wajh.16
13
Imâm Yahya, Metode Ijtihâd NU, (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 47. 14
Soleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, (Surabaya: Khalistha, 2007), h.
36. 15
Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika
Pemikiran Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 84. 16
Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika
Pemikiran Kaum Tradisionalis, h. 86.
34
Contoh:
Penerapan metode Qauliy adalah keputusan Muktamar I
(Surabaya, 21-23 September 1926).17
(Soal): Bolehkah menggunakan hasil dari zakat untuk
pendirian masjid, madrasah, atau pondok (asrama) karena itu
semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal?
(Jawab): Tidak boleh. Karena yang dimaksud dengan
“sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun
kutipan Imam al-Qaffal itu adalah da’if (lemah).
Adapun prosedur pemilihan qaul/wajh ketika dalam satu masalah
dijumpai beberapa qaul/wajh dilakukan dengan memilih salah satu
pendapat dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Mengambil pendapat yang lebih maslahah dan lebih kuat
2) Menyelesaikan dengan cara memilih:
a) Pendapat yang disepakati asy-Syaikhani (Imam al-
Nawawi dan Imam al-Rafi‟i)
b) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama‟
c) Pendapat ulama‟ yang terpandai
d) Pendapat ulama‟ yang paling wara’.18
2. Metode ilhaqi
Metode ilhaq yaitu menyamakan hukum suatu masalah yang belum
dijawab oleh kitab dengan masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab. Metode ini dipakai apabila metode qouli tidak dapat
dilaksanakan karena tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab
mu’tabar. Prosedur ilhâq adalah dengan memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
a) Mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya)
b) Mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya)
17
Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, Juz I, (Semarang: Toha
Putra, t.th), h. 9. 18
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa'il, 1926-1999,
(Yogyakarta, LKiS, 2004, Cet. Pertama), h. 119.
35
c) Wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan
mulhaq ‘alaih).
Contoh:
Penerapan metode ilhaqiy adalah yang diputuskan pada
Muktamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927) mengenai hukum
jual-beli petasan.19
(Soal): Sahkah jual beli petasan untuk merayakan hari Raya
atau Penganten dan lain sebagaina?
(Jawab): Jual-beli tersebut hukumnya sah! Karena ada
maksud baik, ialah: adanya perasaan gembira menggembirakan
hati dengan suara petasan itu.
Metode penjawaban permasalahan secara ilhaqi ini dalam
prakteknya mirip qiyas, oleh karena itu dinamakan metode qiyas
versi NU. Ada perbedaan mengenai qiyas dan ilhaq. Qiyas adalah
menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan
sesuatu yang sudah ada ketetapannya berdasarkan nash al-Qur‟an
dan al-Sunnah, sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum
sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah
ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar).20
3. Metode manhaji
Metode manhaji adalah metode dengan mengikuti jalan pikiran dan
kaidah penetapan hukum yang disusun oleh imam madzhab dengan
menggunakan kaidah-kaidah pokok (al-Qowaid al-Ushuliyah). Metode
manhaji ini dilakukan dengan melalui ijtihad jama’i (upaya pemilihan
secara kolektif berdasarkan kaidah ushuliyyah). Metode ini dipakai
apabila kasus fiqih tersebut tidak bisa dipecahkan dengan ilhaq maka
NU memutuskan: “dalam hal ketika tak mungkin dilakukan ilhâq
karena tidak adanya mulhâq bih sama sekali dalam kitâb maka
dilakukan penetapan hukum secara jama’i”. Secara sederhana dalam
19
Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, h. 24-25. 20
Ahmad Muhtadi Anshâr, Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika
Pemikiran Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012), h. 84-89.
36
metode ini, NU menggunakan beberapa metode yaitu metode bayani,
ta’lili (qiyasi) dan istislahi.21
Contoh:
Penerapan metode manhajiy/istimbat adalah keputusan
kongres/Muktamar I (1926):22
(Soal): Dapat pahalakah sodaqoh kepada mayat?
(Jawab): Dapat!
D. Fatwa Bahtsul Masail Tentang Pemakzulan
Ulama‟ sepakat, bahwa wajib hukumnya taat kepada pemimpin selama ia
menjalankan amanatnya dan tidak boleh memberhentikannya tanpa alasan yang
dibenarkan. Permasalahan muncul ketika seorang pemimpin seperti presiden,
gubenrnur atau bupati dipilih dengan basis dukungan suara terbanyak. Apalagi
dukungan suara terbanyak dianggap segala-galanya. Anggapan seperti ini
berpotensi menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Sebagaimana
yang sering terjadi di masyarakat, kesalahan sedikit seorang pemimpin digunakan
alasan untuk upaya memberhentikan kepemimpinannya. Atau sebaliknya
pemimpin yang melakukan kesalahan besar, oleh karena mempunyai dukungan
politik dan suara yang besar tetap dipertahankan. Hal seperti ini terjadi baik pada
kepemimpinan di tingkat pusat, propinsi dan daerah. Satu sisi bisa membuat
pemimpin hati-hati, tapi di sisi lain pemimpin yang lain merasa tenang karena
mendapat dukungan kuat sekalipun mengabaikan kebenaran.23
- Masalah:
1. Apa sebab-sebab pemimpin boleh diberhentikan?
2. Jika seorang pemimpin telah melakukan hal-hal yang
menyebabkan ia bisa diberhentikan, bagaimana proses tahapan
pemberhentiannya?
- Jawaban:
1. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang
menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata
melanggar konstitusi
21
Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, (Jakarta:
Lembaga Ta‟lif Wan Nasyr PBNU, 2016), h. 153. 22
Abu Hamdan Abdul Djali Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha, h. 16-17. 23
Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, h. 132-133.
37
2. Apabila telah terbukti dan ditetapkan secara hukum pemimpin
maka boleh dimakzulkan dengan cara:
a) Direkomendasikan untuk mengundurkan diri
b) Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau
bertaubat maka bisa dimakzulkan dengan aturan yang
konstitusional selama tidak menimbulkan madharrat yang
lebih besar.
c) Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum
melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat diberhentikan,
maka proses tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan
konstitusi yang ada.24
- Dasar pengambilan keputusan:
1. Raudhah al-Talibin, Juz VIII, hlm. 369-370
2. Al-Mawaqif
3. Syarh al-Nawawi ‘ala Sahih Muslim
4. Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, Juz 5, hlm. 331
24
Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, h. 133-134.
38
BAB IV
PEMAKZULAN KEPALA NEGARA
DALAM FATWA BAHTSUL MASAIL NAHDHATUL ULAMA
DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM
A. Fatwa Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden
Dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama
(LBM-PBNU) tentang pemakzulan (pemberhentian) Kepala Negara,
menyimpulkan dua point khusus. yaitu:
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang
menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata
melanggar konstitusi,
2. Apabila telah terbukti dan ditetapkan secara hukum pemimpin maka boleh
dimakzulkan dengan cara:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;
b. Apabila tidak mau mengundurkan diri dan juga tidak mau bertaubat
maka bisa dimakzulkan dengan aturan yang konstitusional selama
tidak menimbulkan madharrat yang lebih besar;
c. Apabila pemimpin telah terbukti dan ditetapkan secara hukum
melakukan hal-hal yang menyebabkan dapat diberhentikan, maka
proses tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan konstitusi
yang ada.1
Dari fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama
(LBM-PBNU) di atas, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada penyebab yang
menjadikan pemimpin dapat diberhentikan kecuali jika nyata-nyata
melanggar konstitusi;
2. Pemimpin yang telah nyata-nyata melanggar konstitusi dapat
dimakzulkan dengan cara direkomendasikan untuk mengundurkan diri
dari jabatannya;
3. Pemimpin yang telah nyata-nyata melanggar konstitusi, jika tidak enggan
untuk mengundurkan diri, maka dapat dimakzulkan sesuai dengan
1 Sarmidi Husna dan Muhammad Yunus, Hasil-hasil Mukatamar ke 33 NU, (Jakarta:
Lembaga Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 2016), h. 133-134.
39
konstitusional yang berlaku di wilayah tersebut dengan syarat tidak
menimbulkan mudharat yang lebih besar; dan
4. Proses pemberhentian pemimpin yang telah terbukti dan ditetapkan secara
hukum telah melakukan hal-hal yang menyebabkan ia dapat diberhentikan
sesuai dengan tahapan konstitusi yang ada.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya Raudhatu al-Thalibin wa Umdatu al-
Muftin berpendapat bahwa tidak ada alasan yang membenarkan untuk
menurunkan seorang pemimpin dari jabatannya dengan tanpa sebab. Apabila hal
tersebut terjadi, maka ia masih berstatus sebaga pemimpin yang sah meskipun ia
mengundurkan diri. Namun, jika ia mengundurkan diri dengan alasan bahwa ia
sudah tidak mampu untuk menegakan segara urusan untuk umat, maka hal
tersebut dapat dibenarkan. Kemudian, jika seorang pemimpin menunjuk orang
lain untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin sebelum ia mengundurkan
diri, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Pertama, Imam al-Mutawallî
berkata: pengunduran dirinya sah, karena keadaan tersebut dapat membahayakan
kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Kedua, Imam al-Mawardi berpendapat tidak
sah, karena seseorang yang menggantikannya tersebut tidak mewakili pemimpin
secara pribadi akan tetapi mewakili umat.2
Menurut Al-Juwaini, kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak
boleh memberhentikannya kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu
dalam dirinya yang membolehkannya untuk itu. Hal ini telah menjadi
kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fajir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil),
maka memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada
dasar hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya.3
B. Pemakzulan Presiden Menurut Hukum Tata Negara Islam
Konsep ketatanegaraan Islam mengharuskan dan mewajibkan untuk
menjadikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dasar hukumnya dalam
menjalankan roda pemerintahan. Hubungan yang erat antara Islam dan politik
2 Imam al-Nawawi, Raudhatu al-Thalibin wa Umdatu al-Muftin, Juz. IX, Cet. III,
(Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1991), h. 48. 3 J Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 261-262.
40
merupakan suatu hal yang tidak bisa dibantahkan lagi. Keterkaitan ini mulai
terwujud dalam hijrahnya Nabi Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah yang
membawa misi Ilahiah, oleh karena Rasulullah SAW. pada saat itu belum
mendapat kekuatan dan kekuasaan untuk menyebarkan agama Islam, baik dari
sisi kekuatan politik, sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan untuk
menguasai Mekkah.4
Prinsip egaliter yang dimiliki oleh Islam harus dapat dipraktekkan
kedalam kehidupan bernegara. Islam sebagai agama, tidak memberikan contoh
bernegara yang spesifik untuk dijalankan, yang ada hanya cara menjalankan
proses bernegara yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.5 Oleh karena itu
prinsip musyawarah dan tanggung jawab menjadi asas utama dalam konsep
ketatanegaraan Islam yang menjadi jalan untuk dapat menegakkan keadilan, serta
menjaga kedaulatan bersama.6 Selain kedua hal tersebut, prinsip persamaan dan
prinsip kebebasan juga menjadi hal yang tidak boleh ditinggalkan untuk dapat
menghindarkan perbedaan kelas serta perbuatan sewenang-wenang yang
ditunjukkan oleh pemerintah, dan untuk menjaga roda pemerintahan yang
mengedepankan transparansi dengan dapat mengkritik kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh kepala negara atau khalifah jika kebijakannya tidak sesuai
dengan al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Khalifah sebagai pemimpin, wakil Allah swt. dalam hal memimpin umat
Islam untuk menjalankan sistem pemerintahan dan proses bernegara yang dipilih
oleh perwakilan rakyat atau ahlul halli wal aqdi melalui cara sistem vote atau
dengan cara pem-bai’at-an. Khalifah atau kepala negara sebagai pemimpin harus
dapat menjadi panutan dan mencontohkan sikap yang tercantum dalam al-Qur’an
dan al-Sunnah. Hal demikian wajar karena sebagai pemimpin telah lolos dari
syarat dan ketentuan untuk menjadi khalifah atau kepala negara telah disepakati
4 Moch. Qasim Mathar, Politik dalam Sorotan: Ketegangan antara Pemikiran dan Aksi,
(Makassar: Melania Press, 2004), h. 37. 5 Qamaruddin Khan, Political Concept in the Qur’an terj. Taufik Adnan Amal, Teori
Poliik Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka: 1987), h. 9 dan 12; dikutip dalam J. Suyuthi Pulungan,
Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 54 6 Abdul Wahhab Khallaf, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik
Hukum Islam, Cet. II, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 30.
41
bahwa untuk menjadi pemimpin negara mempunyai syarat yaitu adil, memiliki
kemampuan untuk berijtihad untuk dapat menyelesaikan kasus, semua panca
inderanya sehat dan baik, semua organ tubuhnya sehat dan baik, memiliki ide dan
gagasan yang mumpuni untuk dapat membangun negara, serta yang terakhir yaitu
memiliki sikap keberanian untuk menjaga kedaulatan negara dan hukum syara‟.7
Keenam syarat tersebut merupakan perjanjian atau kontrak sosial dari
masyarakat yang dipimpin oleh Al-Mawardi pada saat itu. Syarat-syarat tersebut
dapat saja berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan negara yang menjadikan
bangsanya sebagai negara yang mendasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai
landasan bernegaranya. Namun, keenam syarat itu dapat saja memberhentikan
khalifah atau kepala negara jika salah satu dari syarat yang disebutkan tadi
dilanggar, atau melanggar kontrak sosial yang telah disepakati bersama oleh
rakyat yang dipimpinya. Dari beberapa pendapat ulama, setidaknya terdapat dua
belas faktor yang menyebabkan khalifah atau kepala negara untuk dapat
dimakzulkan:
1. Melanggar Syari’at Islam.
2. Melanggar konstitusi.
3. Melanggar hukum.
4. Menyimpang dari keadilan
5. Kehilangan panca indera dan/atau organ-organ tubuh lainnya.
6. Kehilangan wibawa dan kebebasan bertindak karena telah dikuasai oleh
orangorang dekatnya.
7. Tertawan musuh.
8. Menjadi fasik atau jatuh ke dalam kecenderungan syahwat.
9. Mengganti kelamin.
10. Sakit jiwa yang tidak bisa disembuhkan atau cacat mental
11. Menderita sakit keras yang tidak ada harapan untuk dapat sembuh total.
12. Murtad dari Islam.8
Faktor-faktor tersebut merupakan alasan yang tidak dapat disangkal lagi
jika keduabelas hal tersebut, atau satu bahkan beberapa diantara faktor tersebut
terbukti dilakukan oleh seorang khalifah, maka pemakzulan tersebut harus
7 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam ash-Shulthaniyyah, terj. Khalifurrahman Fath dan
Fathurrahman, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press,
2015, Cet. Pertama), h. 11. 8 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008), h. 183.
42
dilaksanakan pemberhentian kepala negara, dan menggantikannya dengan
pemimpin atau kepala negara yang baru untuk dapat menjalankan kembali roda
pemerintahan negara.
Prosedur pemberhentian khalifah atau kepala negara dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu mendapatkan usul dari rakyat atau dari ahlul halli wal
aqdi kemudian lembaga tersebut memberikan wewenang kepada mahkamah
mazhalim untuk mengkroscek apakah benar atau tidak benar bahwa khalifah telah
melanggar dari ketentuan hukum Islam dan/atau telah melakukan perbuatan yang
tidak bermoral. Jika mahkamah mazhalim memutuskan bahwa benar khalifah
atau kepala negara tersebut melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan tersebut,
maka sidang istimewa dilaksanakan oleh lembaga ahlul halli wal aqdi untuk
memberikan keputusan pemakzulan yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota
lembaga tersebut. Setelah dimakzulkan, penggantian jabatan kepala negara
tersebut harus diisi, tidak boleh kosong. Oleh sebab itu, pengisian jabatan
tersebut dapat diisi oleh wakilnya jika ada, namun bila tidak ada, jabatan tersebut
diisi oleh ketua majelis syura atau ahlul halli wal aqdi.9
Jadi, prosedur pemakzulan kepala negara atau khalifah yang terdapat
dalam sistem ketatanegaraan Islam dapat berbeda-beda, tergantung dari situasi
dan kondisi negara tersebut, juga tergantung dari mazhab/aliran yang dianutnya
karena hal itu punya pengaruh yang kuat dalam proses bernegaranya, namun al-
Qur’an dan al-Sunnah tetap menjadi dasar hukum dan dasar pijakan untuk
melakukan hal tersebut. Selain itu, pemikiran politik dan konstitusi yang dimiliki
oleh negara tersebut juga tidak kalah pentingnya untuk mempengaruhi jalannya
roda pemerintahan.
C. Persamaan dan Perbedaan Fatwa Bahtsul Masail NU dan Hukum
Hukum Tata Negara Islam Tentang Pemakzulan Presiden
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di Indonesia
memiliki hak untuk dapat dipilih kembali oleh rakyat hanya untuk satu kali saja.
Khalifah sebagai kepala negara dalam Islam memiliki dua peran sekaligus, yaitu
sebagai pemimpin negara untuk menjalankan kehidupan pemerintahan serta
9 Abdul Rasyid Moten, Ilmu Politik Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001), h. 189.
43
melayani masyarakat yang dibantu oleh para pembantunya dalam pemerintahan,
serta menjadi pemimpin agama yaitu untuk menjaga marwah dan menegakkan
hukum Allah di muka bumi. Sedangkan presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, hanya memiliki peran untuk dapat menjalankan roda
pemerintahan, baik yang sifatnya internasional, maupun nasional. Hal ini
merupakan resiko dari pluralitas agama yang dimiliki oleh Indonesia, meskipun
mayoritas penduduknya adalah Islam. Untuk itu presiden haruslah menjaga
keberagamaan tersebut. Yang paling penting dari peran presiden adalah
menjalankan tugas dan wewenang, serta melaksanakan amanat yang diberikan
oleh konstitusi dan undang-undang.
Terkait masalah pemakzulan, khalifah sebagai kepala negara dapat saja
dimakzulkan, namun proses peradilan politik tersebut tergantung dari negara
Islam yang menganutnya. Penyusun mengambil contoh dari dinasti Abbasiyah
dan negara Iran yang pernah melakukan proses pemakzulan. Pada era dinasti
Abbasiyyah, pernah terjadi pemakzulan terhadap khalifah Rasyid Billah yang
dimakzulkan oleh ahlul halli wal aqdi karena telah melakukan ketidakadilan,
pembunuhan brutal, serta meminum khamr.10
Kemudian pada tahun 1981 Imam
Khomeini sebagai ketua Dewan Faqih memakzulkan presiden pertama Iran
karena dianggap oleh Parlemen Iran tersebut telah melakukan gerakan
perlawanan terhadap ulama.11
Dapat kita lihat persamaan konsep pemakzulan kepala Negara dalam
fatwa Bahtsul Masail Nahdahtul Ulama dan Ketatanegaraan Islam yaitu melalui
ahlul halli wal aqdi atau dewan faqih (parlemen Iran), sedangkan dalam fatwa
Bahtsul masail NU adalah sesuai dengan konstitusi yang ada yang di Indonesia
dikenal dengan DPR/MPR. Akan tetapi perbedaannya adalah, pada kedua contoh
praktek peradilan politik dari sistem ketatanegaraan Islam tersebut tidak
menggunakan lembaga yudikatif untuk mengkaji dan menguji pemakzulan yang
diusulkan oleh rakyat atau melalui lembaga perwakilan, seperti yang tercantum
10
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 186. 11
https://id.wikipedia.org/wiki/Abolhassan_Banisadr. Diakses tanggal 18 Juni 2017
pukul 14.56 WIB.
44
dalam konstitusi Indonesia. Disamping itu, kriteria cacat fisik bagi seorang
presiden yang membolehkan untuk dimakzulkan dalam fatwa lembaga bahtsul
masail NU tidak disebutkan, sedangkan dalam ketatanegaraan islam disebutkan
secara rinci mengenai hal tersebut.
DPR sebagai lembaga legislatif Indonesia merupakan lembaga yang
memiliki tugas untuk dapat membuat produk hukum di Indonesia, kemudian
melakukan pengganggaran untuk memberikan dana kepada pemerintah untuk
dapat menjalankan programnya yang mensejahterahkan rakyat, membangun
negara baik dari sumber daya manusia, maupun sumber daya alam. Selain kedua
tugas tersebut, DPR memiliki tugas untuk mengawasi kebijakan pemerintah
(checks and balances). Jika melakukan kesalahan dalam melakukan kebijakan,
atau melakukan pelanggaran hukum dan/atau konstitusi, maka DPR memiliki hak
untuk meminta keterangan terhadap hal tersebut, jika tidak ditanggapi, maka hal
ini memungkinkan DPR untuk melakukan pemakzulan terhadap presiden. Hal
serupa dapat dilakukan oleh lembaga ahlul halli wal aqdi atau biasa juga disebut
sebagai majelis syura dalam konsep ketatanegaraan Islam untuk dapat
memakzulkan kepala negara atau khalifah. Praktik peradilan politik yang oleh
lembaga perwakilan rakyat pada sistem ketatanegaraan Islam ini dilakukan dalam
rangka pengawasan terhadap perilaku khalifah, serta membuat perundang-
undangan atau produk hukum yang belum tercantum dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah untuk menjawab problematika umat.
Faktor yang mengakibatkan kepala negara atau khalifah secara umum
yang telah dibahas pada subbab sebelummnya, memiliki dua belas faktor yaitu,
1.) melanggar syari’at, 2.) melanggar konstitusi, 3.) melanggar hukum, 4.)
menyimpang dari keadilan, 5.) kehilangan panca indera, atau organ tubuh
lainnya, 6.) kehilangan wibawa dan kebebasan bertindak karena telah dikuasai
oleh orang-orang dekatnya, 7.) tertawan musuh, 8.) menjadi fasik atau jatuh ke
dalam kecenderungan syahwat, 9.) mengganti kelamin, 10.) menderita sakit gila
atau cacat mental, 11.) menderita sakit keras yang tidak ada lagi harapan untuk
sembuh, dan 12.) murtad dari Islam. Dari kedua belas faktor tersebut, penyusun
akan membagi dan mengkorelasikan klasifikasi tersebut terhadap enam faktor
45
pemakzulan atau pemberhentian presiden di Indonesia, seperti pengkhianatan
terhadap negara berkaitan dengan melanggar konstitusi dan hukum, kemudian
korupsi, penyuapan, serta tindak pidana berat sama halnya dengan melanggar
hukum. Pada faktor tindak pidana berat dapat juga dikorelasikan dengan
perbuatan melanggar hukum dan fasik atau jatuh pada kecenderungan syahwat.
Perbuatan tercela sebagai perbuatan yang tidak bermoral dapat kita korelasikan
juga pada perbuatan fasik, kemudian kehilangan wibawa atau telah dikuasai oleh
orang-orang terdekatnya, dan yang paling krusial adalah penggantian kelamin.
Faktor terakhir yaitu tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden, dapat kita hubungan mengenai faktor kesehatannya, seperti kehilangan
panca indera, menderita sakit gila atau cacat mental, dan sakit keras yang tidak
dapat disembuhkan lagi.
46
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Fatwa Bahtsul Masail
Nahdhatul Ulama Tentang Pemakzulan Presiden Dalam Tinjauan Ketatanegaraan
Islam, penulis menyimpulkan beberapa point penting yang menjadi inti dari
pembahasan skripsi ini.
1. Dalam fatwa Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdhatul Ulama
(LBM-PBNU) tentang pemakzulan (penurunan) kepala Negara
disimpulkan bahwa, pemakzulan kepala Negara dapat dilakukan apabila
telah terbukti melanggar konstitusi yang telah ada. Jika telah terbukti
melanggar konstitusi, maka dapat dimakzulkan dengan beberapa cara,
yaitu:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;
b. Apabila enggan, dimakzulkan sesuai dengan aturan konstitusional
yang ada selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar
c. Tahapan pemberhentiannya sesuai dengan tahapan konstitusi yang
ada.
2. Pemakzulan Presiden dalam ketatanegaraan Islam dapat dilakukan apabila
kepala Negara tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang membuat dia
dapat dimakzulkan, yaitu:
a. Perubahan keadaan yang secara otomatis mengeluarkan khalifah dari
jabatannya, yaitu terdiri dari:
1) Kalau Khalifah murtad dari Islam
2) Kalau Khalifah gila total dan tidak dapat disembuhkan
3) Kalau khalifah ditawan musuh yang kuat.
b. Perubahan keadaan khalifah yang tidak secara otomatis
mengeluarkannya dari jabatan khalifah namun dia tidak boleh
mempertahankan jabatannya, yaitu terdiri dari:
1) Khalifah telah kehilangan ‘adalah-nya
47
2) Khalifah berubah bentuk kelaminnya
3) Khalifah menjadi gila namun tidak parah
4) Cacat anggota tubuhnya atau sakit keras yang tidak dapat
diharapkan kesembuhannya
5) Adanya tekanan yang menyebabkan khalifah tidak mampu lagi
menangani urusan kaum muslimin menurut pikirannya sendiri,
yang sesuai dengan hukum syara’.
3. Persamaan dan perbedaan dalam fatwa bahtsul masail NU dan hukum
ketatanegaraan Islam tentang pemakzulan presiden adalah sebagai
berikut:
a. Persamaan
Dalam ketatanegaraan Islam Proses pemakzulan presiden melalui
ahlul halli wal aqdi dalam fatwa Bahtsul Masail NU disebutkan
“sesuai dengan konstitusi yang ada” dalam artian yang di Indonesia
dikenal dengan DPR/MPR.
b. Perbedaan
Dalam sistem ketatanegaraan Islam tidak menggunakan lembaga
yudikatif untuk mengkaji dan menguji pemakzulan yang diusulkan
oleh rakyat atau melalui lembaga perwakilan, sedangkan dalam fatwa
tersebut secara tidak langsung menyebutkan “sesuai dengan konstitusi
yang ada” menggunakan lembaga yudikatif dalam proses pemakzulan
presiden.
B. Saran-saran
Saran-saran yang perlu disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini,
yaitu:
1. Kepada kepala Negara atau pejabat negara lainnya diharapkan agar bisa
melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik tidak melanggar
konstitusi yang telah berlaku, agar tidak terjadi pemakzulan karena
menyalahgunakan wewenangnya dengan tidak baik dan bijak, karena hal
ini bisa memberikan kerugian terhadap negara dan mencoreng martabat
pejabat negara.
48
2. Seorang presiden seharusnya mampu mewakili aspirasi masyarakat dalam
mengemban amanatnya sebagai kepala Negara dalam mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat, bukan mewakili kepentingan politik atau
partai tertentu. Karena, pada dasarnya pemimpin akan mem-
pertanggungjawabkan amanatnya di dunia maupun di akhirat kelak.
49
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Pustaka
Al-Qur’ân al-Karîm dan Terjemahannya.
Ahmad, Mumtaz. Masalah-masalah Teori Politik Islâm. Penerjemah Ena Hadi,
Cet III. .Bandung: Mizân 1996.
Ahmad, Zainal Abidîn. Ilmu Politik Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Al-Haitâmî, Ibnu Hajar. Tuhfatul Minhâj fî Syarh al-Minhâj. Kairo:
Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ, 1938.
Al-Mawardî, Imâm. Al-Ahkâm al-Sulthaniyah wa al-Wilayatu al-Diniyah, Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin, “Hukum Tata Negara
dan Kepemimpinan dalam Takaran Islâm”. Jakarta: Gema Insani, 2000.
__________, al-Ahkâm al-Sultâniyah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1966.
Al-Nabhânî, Taqiyuddin. Nizâm al-Hukmi fi al-Islâm. Beirut: Dâr Ibn al-
Kutaibah, 1996.
Al-Nawawî, Imâm. Raudhat al-Tâlibîn wa 'Umdatu al-Muftîn. Beirut: al-Maktab
al-Islâmî, 1405 H.
__________, Syarah Matan al-Arba’în an-Nawawî Fî al-Ahâdîtsi al-Sahîhah al-
Nubuwah, Cet. IV. Damaskus: Maktabah Dâr al-Fatih, 1984.
Al-Tabarî, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarîr. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi
Al-Qur’ân, Juz I. Beirut: Dâr al-Fikr, 1984.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Sâlih. Syarah Riyadh al-Shalihîn, Jilid II. Riyâdh:
Madar al-Wathân li al-Nasr, 2010.
Al-Qâsimî, Zâfir. Nidzâm al-Hukmi Fi al-Syarî’ah wa al-Tarîkh al-Islamî.
Lebanon: Dâr al-Nufâs, t.th.
Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. I.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Anshâr, Ahmad Muhtadi. Bath al-Masâil Nahdlatul Ulamâ’: Melacak Dinamika
Pemikiran Kaum Tradisionalis. Yogyakarta: Teras, 2012.
Arba’i, Yuli Andreansyah. Mekanisme Pembuktian dalam Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dan Pengaturan Proses Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta, 2015.
50
Aripudin, Acep. Pengembangan Metode Dakwah: Respons Da’i Terhadap
Dinamika Kehidupan Beragama di Kaki Ciremai, Cet. I. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2011.
Asshiddiqie, Jimly. Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi (Laporan Penelitian). Jakarta: Kerjasama MKRI dengan
Konrad Adenauer Stiftung , 2005.
Azzâm, Salîm. Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islâm, Cet. II.
Bandung: Mizân, 1990.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern St.
Paul, Minn.: West Group, 1991.
Dahlân, Abdul Azîz. Ensiklopedi Hukum Islâm 2. Jakarta: PT. Ikhtiâr Baru Van
Hoeve, 1966.
Fadeli, Soleiman dan Mohammad Subhan. Antologi NU. Surabaya: Khalistha,
2007.
Faris, Muhammad Abdul Qadîr Abu. Sistem Politik Islâm, Terjemah dari
Musthalah Maufur, Kitab an-Nizham as-Siyasi fil-Islam. Jakarta: Robbani
Press, 1999.
Fattah, Munawir Abdul. Tradisi Orang-orang NU, Cet. I. Yogyakarta: LKIS
Pelangi Aksara, 2006.
Harits, Ahmad Busyairi. Islâm NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia. Surabaya:
Khalista, 2010.
Hawwa, Said. Al-Islam. Jakarta: al-I’tishâm, 2005.
Husna, Sarmidi dan Muhammad Yunus. Hasil-hasil Mukhtamar Ke-33 Nahdhatul
Ulamâ’. Jombang: Lembaga Ta’lîf wa al-Nasyr PBNU, 2015.
Indrayana, Denny. Negara Antara ada dan Tiada: Reformasi Hukum
Ketatanegaraan. Jakarta: Kompas, 2008.
Iqbâl, Muhamad. Fiqih Siyâsah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islâm. Jakarta:
Gama Media Pratama, 2001.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi, Cet. III. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Khalifah, Ibrahim bin Yahya. al-Siyasah al-Syar’iyah. Iskandariyah: Maassisah
Syabab al-Jami’ah, 1983.
51
Kristiyanto, Eko Nour. Jurnal Rechts Vinding, Volume 3, Desember 2013.
LP. Ma’arif NU, Materi Dasar Nahdlatul Ulamâ’, Edisi II. Semarang: LP.
Ma’arif NU, 2002.
Mahendra, Yusril Ihza. “Harun Nasution tentang Islâm dan Kenegaraan”, dalam
Refleksi Pembaruan Pemikiran Islâm. Jakarta: LSAF, 1989.
Mahfudz, Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta, LkiS, 1994.
__________, Kritik Nalar Fiqih NU. Jakarta: LAKSPENDAM NU, 2002.
Moten, Abdul Rashid. Ilmu Politik Islam. Bandung: Pustaka, 2001.
Mufid, Nur dan Nur Fuad. Beda Al-Ahkâm al-Sultaniyah Mencermati Konsep
Kelembagaan Politik Era Abasiyah. Surabaya: Pustaka Progresif, 2000.
Muntoha, Kriteria Kepala Negara dalam Sistem Politik Islâm (Telaah Sosio-
Historis Terhadap Hadîts Politik). Yogyakarta: UII Pres, 1996.
Nurhayati, Agustina. Sistem Politik dan Demokrasi Islâm. Jakarta: Mardhika,
2003.
Pulungan, Suyûti. Fiqih Siyâsah Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. KAMUS BAHASA INDONESIA.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Rais, Dhiauddin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Ridwan HR, Fiqh Politik: Gagasan, Harapan dan Kenyataan. Yogyakarta, FH-
UII Press, 2007.
Roestandi, Ahmad. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqih Siyâsah, Pengantar Ilmu Politik Islâm. Surakarta:
Pustaka Setia, 2016.
Selian, Muhammad Ali Hanifah. ”Pemakzulan Kepala Negara Menurut Hukum
Islâm (Studi Kasus Presiden Abdurrahman Wahid)”. Disertasi S2 Sekolah
PascaSarjana Universitas Islam Negri Jakarta Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Shoffân, Moh. Jalan Ketiga Pemikiran Islâm: Mencari Solusi Perdebatan
Tradisionalisme dan Liberalisme. Jogjakarta: Ircisod, 2006.
52
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.
Soehartoto, Irawan. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian
Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya , Cet. IX.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015.
Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, Cet.
I. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012.
Tim Bina Karya Guru dan Syaein N.S, Bina sejarah Kebudayaan Islâm. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2009.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata I 2012/2013. Ciputat: Biro
Administrasi Akademik dann Kemahasiswaan UIN Jakarta , 2012.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Ciputat: PPJM-FSH UIN Jakarta,
2012.
Tsânî, Burhân. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.
Yahya, Imâm. Metode Ijtihâd NU. Semarang: Walisongo Press, 2009.
Yusuf Qardâwi, Teori Politik Islam, Terj. Masrohi N. Surabaya: Risalah Gusti,
1995.
Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz. I, Cet. II. Damaskus: Dar
al-Fikr, 1985.
Zalûm, Abdul Qadîm. Nizâm al-Hukmi fi al-Islâm. Beirut: Dâr Ibn al-Kutaibah,
2002.
B. Dari Internet
Nurrohman, Metode Penetapan Fatwa Bahtsul Masâil NU, diakses pada tanggal
24April 2017 dari: http://nujabar.or.id/1152/metode-penetapan-fatwa-
bahtsul-masail-nu/
Zuhrâni, Fatwa Ulamâ’ Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran Kontemporer,
artikel diakses pada 24 April 2017, dari
http://wacanaislam.blogspot.co.id/2008/09/fatwa-ulama-indonesia-
terhadap-isu-isu.html.