Download - Gabriel Sudarman

Transcript

Gabriel Sudarman

Pengusaha tambang dan pemilik resto Lumbung Padi, teman pemilik Solaria. Solaria adalah bisnisnya satu-satunya. Hebatnya, dia (sang pendiri dan pemilik Solaria) menjalankan bisnisnya sendiri bersama tiga karyawannya di sebuah ruko di Jakarta Barat. Hanya ada bagian akunting, purchasing dan delivery. Itu saja. Sisanya, karyawan resto. Meskipun cabang Solaria sudah mencapai puluhan, bahkan lebih dari seratus, dia tetap tidak mau mewaralabakannya. Alasannya, demi menjaga standar mutu. Saya kemarin bertemu dengannya di Plaza Senayan. Saya sempat tertarik meminta franchise (waralaba)-nya, tetapi dia menolak. Katanya, dia akan kerepotan membagi pasokan bahan baku untuk restonya dengan franchiseenya. Intinya, dia menolak. Namun, dia sempat membagi ilmunya, sehingga saya bisa membuka resto Lumbung Padi di Menteng. Solaria bisa berhasil lantaran menawarkan konsep murah dan banyak serta hadir di lokasi-lokasi strategis seperti mal dan gedung perkantoran. Diperkirakan, total biayanya sekitar 45%. Itu strategi bisnis yang pas. Ketimbang bermain di segmen atas yang sedikit pembelinya sehingga bisa menyebabkan kematian bisnis dengan cepat, lebih baik bermain di sisi volume. Main volume itu kan yang penting bisnis berputar cepat dan akhirnya justru itu yang membuat namanya dikenal orang. Intinya, dapatkan dulu momentumnya. Ketika mulai dibuka pada 13 tahun lalu, Solaria hanyalah sebuah kedai sederhana untuk memenuhi kebutuhan makan para karyawan. Kini, resto Solaria hadir hampir di seluruh pusat belanja. Tak hanya di Jabodetabek seperti di Mal Semanggi, Slipi Jaya, Mal Ciputra, Mal Artha Gading, dan Mal Metropolitan di Bekasi tetapi juga di kota-kota besar baik di ibukota provinsi maupun kabupaten di seluruh Indonesia. Total mencapai 130 gerai di 25 kota di Tanah Air. Sekilas tak ada yang luar biasa dari resto ini. Tak seperti resto lain yang kerap menyajikan menu eksklusif, inovatif dan baru, Solaria menyediakan hidangan sehari-hari, seperti nasi goreng, mi goreng, bihun goreng, mi ayam, cap cay dan bakso. Dan, jika dicermati lebih mendalam, Solaria tak pernah memasarkan secara khusus masakan tertentu seperti yang kerap dilakukan resto lain. Yang terjadi, Solaria lebih menekankan komunikasi pemasaran mengenai restonya sendiri.

Tampaknya kekuatan Solaria justru karena menawarkan sejumlah masakan yang disukai lidah orang banyak: masakan khas Indonesia dipadukan dengan masakan Cina yang sangat dikenal dan pas di lidah orang Indonesia. Plus harga yang terjangkau. Dengan pilihan ini, spekulasi dalam hal masakan bisa dikurangi, di sisi lain pengunjung mampu bayar. Alhasil, Solaria bisa lebih efisien, karena tak perlu bekerja keras mengiklankan masakan unggulannya. Sebaliknya, ia bisa fokus pada menu yang ada serta memperbaiki rasa dan penyajiannya. Tak aneh bila jaringan resto murah-meriah ini bisa melejit bak meteor dalam waktu singkat. Salah satu gerai awal Solaria ada di Slipi Jaya. Potensi Solaria untuk terus berkembang sangat besar, bahkan layak diwaralabakan, ujar Jahja menilai. Lalu, pemilihan lokasi yang tepat dan strategis membuat daya saing Solaria semakin komplet. Ketika didirikan pertama kali pada 1995, Solaria hanya punya satu gerai di sebuah ruko di Lippo Cikarang, Tangerang. Tiga tahun kemudian, Solaria memiliki 10 gerai. Sayang, kerusuhan terjadi pada tahun tersebut. Mal-mal dibakar dan dijarah termasuk mal tempat Solaria berada. Enam gerai Solaria ikut terbakar dan harus ditutup. Tinggal empat gerai yang masih beroperasi saat itu. Namun pendiri Solaria yang tak pernah mau diungkap jati dirinya tidak pernah putus asa. Terhitung 10 tahun setelah kebakaran, Solaria berkembang menjadi 130 gerai. Dengan kata lain, tiap tahun Solaria rata-rata meluncurkan lebih dari 10 gerai di lokasi-lokasi strategis. Yang luar biasa, total 130 gerai Solaria masih dimiliki sepenuhnya oleh pendirinya, alias tidak diwaralabakan. Hal ini memang ada plus dan minusnya. Plusnya, ada keseragaman dalam pengembangan resto karena strateginya dipikirkan sang pemilik. Selain itu, juga ada independensi dalam pengembangan resto. Kekurangannya, butuh waktu lebih lama dalam pengembangan jaringan, terkait modal dan SDM yang terbatas. Dalam perjalanannya, Solaria terus memperbaiki kinerja restonya. Belakangan, ada kecenderungan resto Solaria tampil lebih modern dan gerainya didesain minimalis. Dengan kata lain, walaupun dari sisi harga dan menu tidak luar biasa, Solaria ingin kelihatan berkelas. Ibaratnya, gaya hotel bintang lima, sasaran konsumen di kelas melati.

Demy R.P X-A


Top Related