Download - Hak Milik dalam Islam
“Hak Milik dalam Islam”
Makalah ini disusun sebagai tugas pada mata kuliah “Hukum Bisnis Islam”
Dosen:
Djawahir Hejazziey
Disusun Oleh :
Kurnialif Triono
Moh. Rifki Alpiandi
Rudy Hartono
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
hidayah dan taufiq-Nya kepada kami, sehingga karena rida-Nyalah kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Adapun maksud dan tujuan dari makalah ini
adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Bisnis Islam
Materi makalah ini berupa bahan-bahan yang kami susun secara sederhana,
praktis dan sistematis. Tujuannya ialah agar makalah ini mudah dipahami oleh
mahasiswa sehingga dengan adanya makalah ini dapat membantu mahasiswa
dalam hal menambah pengetahuan dan wawasan yang mendalam tentang hak
milik dalam Islam
Akhirulkalam, diharapkan kritik dan saran dari para pembaca baik itu
mahasiswa maupun dosen pembimbing demi kesempurnaan makalah ini.
Jakarta, Maret 2013
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI .......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
A. Definisi Kepemilikan.......................................................................................2
B. Konsep Kepemilikan Kapitalis, Sosialis, Dan Islam.......................................3
C. Pandangan Islam Terhadap Kepemilikan........................................................15
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kepemilikan sekarang ini masih menjadi perselisihan. Ada yang
menganggap milik nasional dan masyarakat harus mengakui bahwa pemerintah
lah yang memiliki semua sumber. Ada juga yang memperlakukan sebagai milik
perorangan, sehingga setiap orang bisa menikmati kebebasan hak memiliki.
Kepemilikan sebagai persoalan ekonomi mendapat perhatiaan yang cukup besar
dalam islam. Pada dasarnya, kepemilikan merupakan pokok persoalan dalam
aktivitas ekonomi manusia. Secara teologis, kepemilikan yang hakiki berada di
tangan Allah. Manusia hanya di beri kesempatan untuk menjalankan dalam bentuk
amanat. Islam menggariskanbahwa kepemilikan senantiasa dipahami dalam dunia
dimensi, kepemilikan umum, dan khusus. Kepemilikan umum berkaitan dengan
karakter manusia sebagai makhluk sosial, sedangkan kepemilikan khusus
merupakan pengejawantahan sebagai makhluk individu. Manusia harus diberikan
ruang yang sama untuk mengakses sumber kekayaan umum. Tidak ada
pembedaan hirarkhis mengingat manusia mempunyai kedudukan sama dihadapan
Tuhan. Hanya ketakwaan, dan kepatuhan terhadap demarkasi ketetapan Tuhan
yaqng membedakan manusia. Dalam hal ini, kreativitas dan kapasitas personal
memiliki peran penentu dalam mewujudkan kesejahteraan dari usaha pemanfaatan
kekayaan alam yang telah disediakan oleh Tuhan.
Karakter makhluk sosial bukanlah hal dominan yang berkembang dalam diri
manusia. Pada saat tertentu, manusia menunjukkan sisi lainnya yaitu sikap egois
dan tidak memperdulikan orang lain yang merupakan pengejawantahan sisi
sebagai makhluk hidup. Bahkan dalam batas-batas tertentu, manusia dapat saling
menjatuhkan dan menyingkirkan orang lain. Sebagai perimbangan, harus ada
institusi sosial yang mengatur dan memberikan regulasi dalam relasi sosial.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KEPEMILIKAN
Kepemilikan berasal dari kata milik yang berarti pendapatan seseorang yang
diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan
keharusan untuk selalu memperhatikan sumber ( pihak ) yang menguasainya.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki suatu barang berarti mempunyai kekuasaan atas barang tersebut,
sehingga ia dapat mempergunakannya sesuai dengan kehendahnya dan tidak ada
orang lain baik secara individual maupun kelembagaan yang dapat menghalang-
halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya tersebut
Milik secara bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Raghib al Ashfihani adalah :
“Pembelanjaan ( alokasi harta ) dengan dasar legal formal berupa perintah dan
larangan yang berlaku ditengah masyarakat.1
Milik atau hak milik sebagaimana yang dianut dalam KUH. Perdata pasal 570
adalah : “Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan
untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal
tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang telah
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi
kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas
ketentuan undang-undang, dan dengan pembayaran ganti rugi.2
1 Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004. hal 58.2 Muhamad, Alimin. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004. Hal 150
2
Milik menurut pendapat para ahli fiqh sebagaimana yang didefinisikan oleh al
Qurafi adalah : “Hukum syariat yang terkandung dalam suatu benda atau dalam
suatu yang dimanfaatkan yang dituntut adanya pemberdayaan bagi siapapun yang
menguasainya dengan cara memanfaatkan barang yang dimiliki itu”.
Menurut ulama’ syar’i kepemilikan dalam syari’ah islam adalah kepemilikan atas
sesuatu sesuai dengan sturan hukum yang mana seseorang mempunyai hak untuk
bertindak dari apa yang dimiliki sesuai jalur yang benar, dan sesuai dengan
hukum
Melihat dari definisi-definisi diatas, memberikan implikasi bahwa kepemilikan
akan sesuatu harus atas dasar syara’, dan bahwa pemilik tersebut mempunyai hak
eksklusifitas atas miliknya, dan bahwa otoritas seseorang atas milik dapat dicabut
apabila terdapat alasan syara’ seperti orang yang dianggap tidak cakap bertindak
hukum, gila, bodah, zalim, dan kanak-kanak.
B. KONSEP KEPEMILIKAN KAPITALIS, SOSIALIS, DAN ISLAM.
1. Konsep kepemilikan Kapitalis
Sistem kapitalis memandang bahwa manusia merupakan pemilik satu-satunya
terbadap harta yang telah diusahakan. Tidak ada hak orang lain di dalamnya. Ia
memiliki hak mutlak untuk membelanjakan sesuai dengan keinginannya. Sosok
pribadi dipandang memiliki hak untuk memonopoli sarana-sarana produksi sesuai
kekuasaannya. Ia akan mengalokasikan hartanya hanya pada bidang yang
memiliki guna materi (Provite Oriented).3
Dalam sistem kapitalis, individu merupakan poros perputaran ekonomi. Individu
merupakan penggerak sekaligus tujuan akhir aktivitas ekonomi tersebut. Negara
tidak berhak mengatur individu, bahkan Negara harus memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada individu. Individu bebas melaksanakan aktivitas ekonomi
3 Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004. hal 40
3
dan berbuat sesuka hati, baik itu mendatangkan laba atau sebaliknya. Mereka
tidak peduli apakah tindakan mereka ini menimbulkan danpak positif maupun
dampak negative bagi masyarakat.
Faktor pendorong adanya kebebasan tanpa batas antara lain :
a. Pandangan terhadap eksistensi individu sebagai pusat dunia dan tujuan
yang akan diraih.
b. Adanya tujuan untuk merealisasikan tujuan kekuasaan terbesar bagi
kepentingan individu, dengan pertimbangan bahwa kepentingan umum
dinyatakan sebagai kumpulan kepentingan-kepentingan individu.
c. Urgensi kebebasan ekonomi tanpa batas dan persaingan sempurna yang
diharapkan akan memberikan jaminan kebutuhan para konsumen.
Kelemahan sistem kapitalis :
a. Munculnya kesenjangan perimbangan dalam distribusi kekayaan antar
individu, dan sarana-sarana produksi hanya akan terkumpul pada satu
kelompok. Pengaruh semangat materialis akan membagi masyarakat ke
dalam dua kelompok, golongan kaya dan golongan miskin.
b. Timbulnya krisis dan merajalelanya kejahatan karena meningkatnya
pengangguran yang diakibatkan banyaknya produsen yang berhenti
berproduksi dan menutup pabrik. Hal ini disebabkan karena produsen
komoditas berbagai kebutuhan mewah tertentu meningkat demi memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pemilik modal besar, dan langkah ini memaksa
pasar untuk menyerapnya
c. Meningkatnya praktek monopoli secara empiris-aplikatif dan yuridis
sebagai bagian dari usaha untuk melemahkan samangat persaingan.
Regulasi-regulasi monopoli dan semi sering di tujukan untuk mengeruk
keuntunghan yang masih deapat diraih dengan jalan aturan hukum dalam
produksi dan diaya (cost) melalui strategi penguatan aturan-aturan
produksi. Banyak pihyak dengan sengaja menghancurkan bahan produksi
4
dan melarang bidang pertanian atau bidang bsolute beberapa komoditi
tertentu untuk menghancurkan harga.
d. Kerbebasan tanpa batas dalam pekerjaan dasn alokasi kekayaan. Harta
hanya dikelola dengan segala cara, baik halal ataupun haram.
2. Konsep Kepemilikan sosialis
Sistem ekonomi sosialis memandang bahwa segala bentuk sumber kekayaan dan
alat-alat produksi adalah milik bersama masyarakat. Para anggota masyarakat
secara individu tidak memiliki hak kecuali pada retribusi yang mereka peroleh
sebagai bentuk pelayanan bsolu. Negara hadir menggantikan masyarakat dengan
dominasi sebagai kekuatan tunggal.4
Posisi individu menurut paham ini ibarat tentara atau prajurit dalam front
peperangan. Mereka tidak menerapkan strategi peperangan dan tidak
diikutsertakan dalam pemikiran apa yang terbaik. Tu8gas mereka hanya
melaksanakan apa yang telah digariskan oleh komandan tertinggi yang harus
dipatuhi.
Mengakui hak milik pribadi bagi kaum sosialis merupakan kezaliman dan
penyimpangan sehingga harus dihapus. Segala usaha yang mengarah kepada
pengakuan hak milik pribadi harus dimusnahkan. Satu prinsip penting yang harus
diwujudkan ialah “ Sama Rata dan Sama Rasa “.
Faktor pendorong sistem sosialis :
Sistem ekonomi sosialis tumbuh pesat sejak pertengahan abad 19 M hingga
pertumbuhan kapitalis produksi yang menyebabkan terjadinya transformasi
penting pada dua hal yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis yaitu ekonomi dan
kemasyarakatan.
4 Ibid, hal 42
5
a. Dari sudut ekonomi, sistem kapitalis diharapkan dapat menambah
sumber kekayaan dan kemakmuran yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Padahal kenyataannya dalam praktek, sistem kapitalis
hanya menyebabkan terjadinya krisis produksi yang berlebihan secara
bsolute setiap tujuh atau sepuluh tahun. Akibatnya pasar menjadi
stagnan dan tidak dinamis, harga komoditas merosot yang
mengakibatkan pailit, dan merebaknya kejahatan antar para pekerja.
b. Dari sudut kemasyarakatan, sistem ekonomi kapitalis menciptakan dua
kelompok masyarakat yang paling bertentangan, kelas pemilik modal
dan kelas buruh. Setiap kelompok berusaha untuk saling menjatuhkan
kepentingan lawannya. Mereka bersatu dalam organisasi pertahanan
dan asosiasi pemilik modal di satu sisi dan serikat buruh di sisi
lainnya. Adanya tugas buruh yang berat yang dibebankan oleh pemilik
modal dan tidak adanya kesesuaian upah yang dituntut oleh para
pekerja dijalankan menjadi sebab merajalelanya kejahatan dan
kezaliman.
Akibat-akibat secara ekonomi dan kemasyarakatan inilah yang kemudian
mendorong munculnya pemikiran-pemikiran sosialis.
Kelemahan sistem sosialis :
a. Adanya kontradiksi antara kecenderungan yang ditetapkan oleh
sistem sosialis dengan fitrah yang telah digariskan oleh Allah, yaitu
naluri untuk memiliki.
b. Gradasi kedudukan individu pada derajat budak dalam periode yang
penuh dengan ketidakadilan dan angan-angan untuk menciptakan
kesejajaran dalam masyarakat. Hal itu hanya melemahkan semangat
berproduksi dan lebih merupakaqn langkah penyesuaian dengan
rencana yangt telah dikalkulasi oleh kelompok yang telah menguasai
pemerintahan.
6
c. Semakin menyempitnya sumber pendapatan Negara-negara sosialis.
Mereka hidup di bawah garis kemiskinan dan kekurangan
dikarenakan produksi-produksi Negara yang digali dari tenaga kerja
yang terlarang bagi adanya investasi bagi golongan kecil dalam
masyarakat. Kendali pengelolaan kekayaan hanya tersentral pada
kelompok kecil penguasa. Kekuasaan produksi terbatas dan hanya
dapat diakses oleh para anggata partai yang berkuasa.
3. Konsep Kepemilakan Islam
Kepemilikan kekayaan pribadi dianggap sebagai motivasi untuk merangsang
upaya terbaik manusia untuk memperluas kekayaan masyarakat. Akan tetapi bagi
kaum sosialis ini merupakan penyebab utama dari distribusi kekayaan yang
irasional dan tidak adil. Konsep islam dalam kepemilikan pribadi bersifat unik.
Kepemilikan, dalam esensinya merupakan kepemilikan Tuhan, sementara hanya
sebagiannya saja, dengan syaray-syarat tertentu, menjadi milik manusia sehingga
ia bisa memenuhi tujuan Tuhan. Yaitu, tujuan masyarakat dengan cara bertindak
sebagai wali bagi mereka yang membutuhkan.5
Kepemilikan dalam signifikannya yang komprehensif, menyatakan hubungan
antar seseorang dan semua hak-hak yang mana terletak padanya. Apa yang
dimiliki manusia adalah hak dalam segala hal. Hak seperti itu dalam islam
membawa kemurnian ketika hak itu tidak digunakan untuk kepentingan pemilik
semata akan
Islam menolak paham , bahwa kepemilikan adalah tugas kolektif. Posisi islam
dengan pengikut paham ini jelas berbeda. Islam juga berbeda dengan paham
kapitalis yang menganggap bahwa kepemilikan individu sangat bsolute, selain itu
islam juga menolak bahwa kepemilikan adalah hak bersama. Islam sangat
mengakui dan tidak menentang bahwa kepentingan umum harus dipertimbangkan
5 Djuwaini. Dimyauddin. Pengantar fiqih muamalah. Pustaka pelajar. Yogyakarta. April 2008. Hal 25
7
dan didahulukan daripada kepentingan sekelompok kecil atau segelintir orang.
Sebab mempertimbangkan kemaslahatan umum adalah satu hal yang harus
diterima dalam rumusan kepemilikan.6
Islam tidak menghendaki kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak
masyarakat lain. Keberhakkan pemilik dalam pandangan islam adalah baku.
Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang. Ini
pun sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu yang kaitannya adalah target sosial
kemasyarakatan yang hendak diwujudkan. Posisi islam yang demikian
dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan hak intervensi
yang ditakutkan berlebihan dengan dalih : demi kesejahteraan umum
a. Sifat Hak Milik
Pemilikan pribadi dalam pandangan islam tidaklah bersifat mutlak/absolute
( bebas tanpa kendali dan batas ). Sebab Di dalam islam ketentuan hukum
dijumpai beberapa batasan dan kendali yang tidak boleh dikesampingkan oleh
seorang muslim dalam pengelolaan dan pemanfaatan harta benda miliknya. Untuk
itu dapat disebutkan prinsip dasarnya, yaitu :7
1) Pada hakikatnya individu hanya wakil masyarakat.
Prinsip ini menekankan bahwa sesungguhnya individu hanya wakil masyarakat
yang diserahi amanah. Pemilikan atas harta benda tersebut hanyalah bersifat
sebagai “uang belanja”. Dalam hal ini ia mempunyai sifat hak kepemilikan yang
lebih besar dabanding anggota masyarakat lainnya. Sesungguhnya keseluruhan
harta benda tersebut, secara umum adalah milik masyarakat. Masyarakat diserahi
tugas oleh Allah untuk mengurus harta tersebut. Sedangkan yang memiliki harta
secara mutlak tersebut ialah Allah
Firman Allah :
6 An Nababan Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UII Pres. 2000. Hal 417 K.Lubis Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.2000. hal 5
8
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” ( QS. Al-Hadiid :7 )
a. Harta Benda Tidak Boleh Hanya Berada di Tangan Pribadi ( Sekelompok )
Anggota Masyarakat.
Prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan kestabilan
dalam masyarakat. Ketidakbolehan penumpukan harta ini didasarkan pada
ketentuan :
….”Supaya harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja
diantara kamu….” ( QS. Al-Hasyr:7 )
b. Pembagian Jenis kepemilikan Dalam Islam
Pengaturan kepemilikan dalam islam bertujuan uyntuk memberikan perlindungan
agar tidak terjadi persoalan yang mendasar, yaitu :
1) Penguasaan Harta oleh seseorang secara berlebihan dan menjadikannya tak
terbatas.
Firman Allah :
“ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas.
Karena dia melihat dirinya serba cukup” (Al –‘alaq :6-7)
2) Munculnya kemiskinan dan efek-efek negatifnya, baik dalam dalam ukuran
individu maupun sosial.
Kepemilikan dalam islam dibagi dua macam, yaitu kepemilikan umum dan
kepemilikan khusus.8
1. Kepemilikan Umum8 Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004. hal 57
9
a. Arti kepemilikan Umum
Jika dilogikakan pada parkembangan saat ini, maka harta hanya di khususkan
untuk kegunaan umum, kegunaan bagi kaum muslimin. Dalam kajian
kontemperer pemikiran arab, Al Khailani menyebutkan bahwa jenis kepemilikan
ini dapat disamakan dengan kepemilikan Negara, sehingga ia mendefinisikan
kepemilikan umum atau kepemilikan Negara sebagai lepemilikan yang nilai
gunanya berkaitan dengan semua kewajiban Negara terhadap rakyatnya, termasuk
bagi kelompok non-muslim. Yang tercakup dalam jenis kepemilikan ini ialah
semua kekayaan yang tersebar diatas dan perut bumi diwilayah Negara tersebut..
Pengkaitan kepemilikan Negara dengan kepemilikan umum tidak terlepas dari
nilai guna terhadap benda-benda yang ada bagi kepentingan semua orang tanpa
diskriminatif dan memang ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
b. Tujuan Kepemilikan Umum
Kepemilikan umum bertujuan untuk merealisasikan beberapa tujuan umum,
diantaranya :
1) Untuk memberikan kesempatan seluruh manusia terhadap sumber kekayaan
umum yang mempunyai manfaat sosial, baik yang tergolong pada kebutuhan
primer maupun jenis kebutuhan lain dan diperluas bagi kaum muslim secara
umum. Diantara hal penting yang berkaitan dengan tujuan itu adalah
pelayanan yang mempunyai fungsi sosial harus dimiliki secara kolektif oleh
semua manusia, baik yang tergolong kebutuhan primer maupun jenis
kebutuhan lain.
Rasullulah bersabda :
“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal, yaitu air, rumput, dan api” ( HR.
Ahmad dan Abu Daud ).
2) Jaminan pendapatan Negara. Negara menjaga hak-hak warganya dan
bertanggung jawab atas berbagai kewajiban dengan menjauhkan dari mara
bahaya.
10
3) Pengembangan dan penyediaan semua jenis pekerjaan produktif yang
diperuntukan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
4) Urgensi kerja sama antar Negara dalam usaha menciptakan kemakmuran
bersama. Karakter manusia terbentuk berdasarkan fitrahnya, yaitu keharusan
untuk selalu berhubungan dengan banyak orang. Diperlukan adanya
pertukaran kemaslahatan dan kemajuan antar mereka Mereka saling
menyempurnakan. Karena begitu banyaknya kebutuhan dan tuntutan dalam
kehidupan ini, tampak bahwa Negara atau bangsa manapun tidak akan
mampu memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Negara
akan merealisasikan adanya kemakmuran dalam semua bidang kehidupan.
Realisasinya hanya dengan menjalin kerja sama dengan pihak lain untuk
menutupi semua kekurangan dari Negara tersebut.
c. Bidang Dan sumber Kepemilikan Umum
1) Wakaf
2) Proteksi, adalah proteksi Negara terhadap tanah tak bertuan yang
diperbolehkan untuk kepentingan masyarakat.
3) Barang –barang tambang
4) Zakat
Allah berfirman dalam sura At-taubah :
“ Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, para pengurus zakat, para mua’alaf yang dibujuk hatinya, untuk
memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,
dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai ketetapan yang telah
diwajibkan oleh Allah; dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
( At-Taubah : 60).
Zakat merupakan income bebas yang masuk dalam area kepemilikan
umum. Pada sisi lain, zakat terpisah dengan sumber pemasukan lainnya
dengan limitasi alokasi penyalurannyauntuk membantu kelompok tertentu
11
5) Pajak
Dalam konsepsi islam, pajak merupan harta yang diambil dari kelompok
masyarakat dewasa yang berada dibawah perlindungan pemerintah islam.
Kewajiban ini merupakan bentuk partisipasi warga Negara dengan
menyumbangkan kekayaan untuk kas Negara demi untuk kepentingan
umum.
2. Kepemilikan Khusus
a. Arti Kepemilikan Khusus
Kepemilikan seperti yang diutarakan oleh Qurafi yaitu hukum syariat yang
diberlakukan pada suatu benda atau manfaat yang memungkinkan orang yang
bersangkutan memanfaatkan harta yang dimiliki dang menggantinya jika memang
menghendaki. Dengan kata lain, kepemilikan semacam ini dimaksudkan agar
manusia memiliki hah atas harta, hasil usaha, hak pemanfaatan, dan hak
membelanjakan sesuai dengan fungsinya.
b. Tujuan Kepemilikan khusus
1) Untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui kerjasama antar
individu dan kelompok-kelompok non-pemerintahan.
2) Untuk merealisasikan kebaikan, kemakmuran, dan kemanfaatan umum
melalui persaingan sehat antar produsen.
3) Menimgkatkan kreatifitas individu
4) Untuk memenuhi dan menginvestasikan naluri cinta materi dalam bidang
yang telah ditentukan Allah.
Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah menusia. Islam
menjaga dan menumbuhkan naluri itu dengan sempurna melalui
pemenuhan naluri kecintaan terhadap benda secara seimbang tanpa adanya
dominasi terhadap salah satunya
12
c. Jenis-Jenis Kepemilikan Khusus
1) Kepemilikan pribadi
Merupakan kepemilikan yang manfaatnya hanya berkaitan dengan satu
orang.
2) Kepemilikan perserikatan
Merupakan kepemilikan yang manfaatnya dapat digunakan oleh beberapa
orang yang dibentuk dengan cara tartentu, seperti kerjasama yang
melibatkan beberapa orang tanpa melibatkan sekelompok orang lainnya.
3) Kepemilikan kelompok
Merupakan kepemilikan yang tidak boleh dimiliki secara perorangan, atau
kelompok kecil orang, namun pembagiannya harus didasarkan pada
persebaran terhadap banyak pihak.
d. Sebab-Sebab Kepemilikan Khusus
1) Penguasaan, ada beberapa mediasi yang dapat digunakan manusia
untuk menguasai harta orang lain tanpa melalui usaha keras atau
perniagaan. Contoh : Warisan dan Wasiat.
2) Kepemilikan barang-barang halal, dimana seseorang memiliki sesuatu
yang belum dimiliki orang lain, seperti mencari kayu bakar dihutan
atau mencari ikan dilaut
3) Transaksi, diantaranya adalah transaksi barang seperti jual beli dan
sewa.
4) Keputusan hakim terhadap perubahan status kepemilikan umum
seperti tentang tanah dan perkebunan.
5) Zakat, nafkah, hasil denda, dan harta nadzar.
6) Wakaf
e. Kewjiban Dalam kepemilikan Khusus
13
1) Memberikan nafkah bagi mereka yang berhak seperti istri, anak, dll.
2) Zakat, yaitu sebagian dari fardlu yang diwajibkan Allah dalam harta
orang-orang kaya dan dialokasikan kepada orang-orang miskin.
3) Beberapa hak yang harus ditunaikan selain zakat sebelum zakat
ditunaikan, maka semua hak selain zakat harus ditunaikan terlebih
dahulu. Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya dalam harta terdapat hak yang harus ditunaikan selain
zakat”. (HR. At-Tirmidzi).
f. Sumber Kepemilikan Khusus
1) Perniagaan
Allah berfirman :
“Dan Allah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba”. ( Al-
Baqarah : 275 ).
2) Upah pekerjaan
3) Pertanian
4) Mengelola tanah mati
Rasulullah bersabda : “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang
mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. ( HR. Abu Daud )
5) Keahlian profesi, dll.
Sistem ekonomi islam yang didasarkan atas konsep harmonisasi
merupakan sarana yang dapat dibedakan dengan kapitalisme dan
sosialisme. Ia mengkombinasikan hal-hal yang dianggap baik dari kedua
sistem ekonomi tersebut dengan menghindari atau meminimalisir
kesalahan dan kekurangan keduanya.9
9 Rahman Afzahur. Doktrin Ekonomi Islam I. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.1995
14
Oleh karena itu cara memperoleh kekayaan tersebut harus dibatasi
dengan mekanisme tertentu, yang mencerminkan kesederhanaan yang
bisa dijangkau orang dengan perbedaan tingkat kemampuan dan
kebutuhan mereka.
Pada hakikatnya semua sumber daya alam yang diciptakan Allah adalah
untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan untuk seseorang,
suatu Negara, atau suatu kaum saja. Namun secara teknisnya untuk
mencapai distribusi yang adil diatur hak-hak kepemilikan dalam islam,
yaitu kepemilikan individu, Negara, dan masyarakat.10
C. PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEPEMILIKAN
Islam mencakup sekumpulan prinsip dan doktrin yang memedomani dan
mengatur hubungan seorang muslim dengan Tuhan dan masyarakat. Dalam hal
ini, Islam bukan hanya layanan Tuhan seperti halnya agama Yahudi dan Nasrani,
tetapi juga menyatukan aturan perilaku yang mengatur dan mengorganisir umat
manusia baik dalam kehidupan spiritual maupun material.11
Dalam pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya
adalah Allah SWT karena Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada
di alam semesta ini:
"Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya.
Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu".12
Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk
memiliki dan memanfaatkan harta tersebut
10 Abu Saud Mahmud. Garis-Garis Besar Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 198411 Lativa M. Algoud, Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), 49.12 QS. al-Maidah 17.
15
"Berimanlah kamu kepada allah dan RasulNya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya..."13
Seseorang yang telah beruntung memperoleh harta, pada hakekatnya
hanya menerima titipan sebagai amanat untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai
dengan kehendak pemilik sebenarnya (Allah SWT), baik dalam pengembangan
harta maupun penggunaannya. Sejak semula Allah telah menetapkan bahwa harta
hendaknya digunakan untuk kepentingan bersama. Bahkan tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa "pada mulanya" masyarakatlah yang berwenang menggunakan
harta tersebut secara keseluruhan, kemudian Allah menganugerahkan sebagian
darinya kepada pribadi-pribadi (dan institusi) yang mengusahakan perolehannya
sesuai dengan kebutuhan masing-masing.14 Sehingga sebuah kepemilikan atas
harta kekayaan oleh manusia baru dapat dipandang sah apabila telah mendapatkan
izin dari Allah SWT untuk memilikinya. Ini berarti, kepemilikan dan pemanfaatan
atas suatu harta haruslah didasarkan pada ketentuan-ketentuan shara' yang
tertuang dalam al-Qur'an, al-Sunnah, ijma' sahabat dan al-Qiyas.
Sebagai sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala
hal yang berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola
dan mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut
di tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas
dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam,
dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam (al-qawaid al-'ammah al-
iqtisadi al-Islamyyah) yang meliputi tiga kaidah, yakni:
kepemilikan (al-milkiyyah),
mekanisme pengelolaan kekayaan (kayfiyyah al-tasarruf fi al-mal) dan
distribusi kekayaan di antara manusia (al-tawzi' al-tharwah bayna al-nas).15
13 QS. al-Hadid 7.14 Sihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2003), 324.15 Taqiyy al-Din al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 1990), 57.
16
Dari beberapa keterangan nash-nash shara' dapat dijelaskan bahwa kepemilikan
terklasifikasi menjadi tiga jenis, yakni:
a. Kepemilikan pribadi (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Adalah hukum shara' yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu,
yang memungkinkan pemiliknya untuk memanfaatkan barang tersebut,
serta memperoleh kompensasinya--baik karena diambil kegunaannya oleh
orang lain seperti disewa ataupun karena dikonsumsi--dari barang
tersebut.16
Adanya wewenang kepada manusia untuk membelanjakan, menafkahkan
dan melakukan berbagai bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, seperti
jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll adalah meriupakan bukti
pengakuan Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual.
Karena kepemilikan merupakan izin al-shari' untuk memanfaatkan suatu
benda, maka kepemilikan atas suatu benda tidak semata berasal dari benda
itu sendiri ataupun karena karakter dasarnya, semisal bermanfaat atau
tidak. Akan tetapi ia berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari'
serta berasal dari sebab yang diperbolehkan al-shari' untuk memilikinya
(seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras,
babi, ganja dsb), sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya kepemilikan
atas benda tersebut.17
b. Kepemilikan Umum (al-milkiyyat al-'ammah/ public property)
Adalah izin al-shari' kepada suatu komunitas untuk bersama-sama
memanfaatkan benda, Sedangkan benda-benda yang tergolong kategori
kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-
shari' sebagai benda-benda yang dimiliki komunitas secara bersama-sama
16 Yunus al-Misri, Usul al-iqtisadi al-islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999), 41-40.7 Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 72-73.178 Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 213.
17
dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang saja.18 Karena milik umum,
maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang
memilikinya.
Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan
umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
1) Fasilitas dan sarana umum19
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan umum karena menjadi
kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan
perpecahan dan persengketaan.20 Jenis harta ini dijelaskan dalam hadith
nabi yang berkaitan dengan sarana umum:
"Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air,
padang rumput dan api " (HR Ahmad dan Abu Dawud) dan dalam hadith
lain terdapat tambahan: "...dan harganya haram" (HR Ibn Majah dari Ibn
Abbas).21
Air yang dimaksudkan dalam hadith di atas adalah air yang masih belum
diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di
sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rimahnya.
Oleh karena itu pembahasan para fuqaha mengenai air sebagai
kepemilikan umum difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut.22
Adapun al-kala' adalah padang rumput, baik rumput basah atau hijau (al-
khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung
atau aliran sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud
189 Husain Sahatah, al-Khaskhasah fi Mizan al-Islam (tt: Maktabah al-Taqwa, 2001), 37.1910 Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 213.2011 al-Shawkani, Nayl al-Awtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 6, 48.2112 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (Beirut: Dar alFikr, 1960), 180-184.2213 Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001),
18
al-nar adalah bahan bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
termasuk didalamnya adalah kayu bakar.23
Bentuk kepemilikan umum, tidak hanya terbatas pada tiga macam benda
tersebut saja melainkan juga mencakup segala sesuatu yang diperlukan
oleh masyarakat dan jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan perpecahan
dan persengketaan. Hal ini disebabkan karena adanya indikasi al-shari'
yang terkait dengan masalah ini memandang bahwa benda-benda tersebut
dikategorikan sebagai kepemilikan umum karena sifat tertentu yang
terdapat didalamnya sehingga dikategorikan sebagai kepemilikan umum.
2) Sumber alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh
individu secara perorangan
Meski sama-sama sebagai sarana umum sebagaimana kepemilikan umum
jenis pertama, akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Jika
kepemilikan jenis pertama, tabiat dan asal pembentukannya tidak
menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara
tabiat dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk
memilikinya secara pribadi. Sebagaimana hadits nabi:
"Kota Mina menjadi tempat mukim siapa saja yang lebih dahulu (sampai
kepadanya)" (HR al-Tirmidhi, ibn Majah, dan al-Hakim dari 'Aishah).24
Mina adalah sebuah nama tempat yang terletak di luar kota Makkah al-
Mukarramah sebagai tempat singgah jama'ah haji setelah menyelesaikan
wukuf di padang Arafah dengan tujuan meleksanakan syiar ibadah haji
yang waktunya sudah ditentukan, seperti melempar jumrah, menyembelih
hewan hadd, memotong qurban, dan bermalam di sana. Makna "munakh
man sabaq" (tempat mukim orang yang lebih dahulu sampai) dalam lafad
hadith tersebut adalah bahwa Mina merupakan tempat seluruh kaum
23
24 al-SuyutI, al-Jami' al-Saghir, jil 2, 183.
19
muslimin. Barang siapa yang lebih dahilu sampai di bagian tempat di Mina
dan ia menempatinya, maka bagian itu adalah bagiannya dan bukan
merupakan milik perorangan sehingga orang lain tidak boleh memilikinya
(menempatinya).
Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di atasnya. Oleh
karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan orang lain yang
membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa.25 Hal tersebut juga
berlaku untuk Masjid.26 Termasuk dalam kategori ini adalah kereta api,
instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga listrik, saluran air dan pipa-
pipanya, semuanya adalah milik umum sesuai dengan status jalan umum
itu sendiri sebagai milik umum, sehingga ia tidak boleh dimiliki secara
pribadi.
3) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas
Dalil yang digunakan dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak
terbatas ini adalah hadith nabi riwayat Abu Dawud tentang Abyad ibn
Hamal yang meminta kepada Rasulullah agar dia diizinkan mengelola
tambang garam di daerah Ma'rab:
"Bahwa ia datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam,
maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki
yang bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, tahukah apa yang
engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan
sesuatu yang bagaikan air mengalir". Lalu ia berkata: Kemudian
Rasulullah pun menarik kembali tambang itu darinya" (HR Abu
Dawud).27
25 Abu Ya'la al-Farra', al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr), 253.26 Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 182.27 al-Shawkani, Nayl al-Awtar, jil. 6 53.
20
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja,
melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya
banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup
kepemilikan semua jenis tambang, baik yang tampak di permukaan bumi
seperti garam, batu mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi
seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan
sejenisnya.28
Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga tidak boleh
dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian juga tidak boleh
hukumnya, memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga
tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi pewnguasa wajib
membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh rakyat. Negaralah yang
wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, menjualnya
dan menyimpan hasilnya di bayt al-Mal.
Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil atau sangat
terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau perserikatan. Hal ini
didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan kepada Bilal ibn Harith
al-Muzani memiliki barang tambang yang sudah ada dibagian Najd dan
Tihamah.29 Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari
yang diproduksinya kepada bayt al-Mal.30
c. Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/ state private)
Adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan
pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana
khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada
sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna
28 Al-Maliki, Politik Islam, 80.29 Riwayat lengkap beserta penjelasannya lihat: Abu Ya'la al-Farra', al-Ahkam al-Sultaniyyah, 264.30 'Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah (Beirut: Dar al-'Ilm li al- Malayin, 1983), 89.
21
pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
khalifah untuk mengelolanya.31
Kepemilikan negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat
digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat
al-'ammah/public property) namun terkadang bisa tergolong dalam jenis
harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan
negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan
pandangan ijtihadnya adalah:
1. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang
dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
peperangan) dan khumus
2. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang
diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum
muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil
pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan
pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)
6. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris
(amwal al-fadla)
7. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara,
harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
9. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan
tanah mati yang tidak ada pemiliknya.32
31 Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi, 218.32 Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah, 39
22
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Definisi Kepemilikan
23
Kepemilikan berasal dari kata milik yang berarti pendapatan seseorang yang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber ( pihak ) yang menguasainya.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki suatu barang berarti mempunyai kekuasaan atas barang tersebut, sehingga ia dapat mempergunakannya sesuai dengan kehendahnya dan tidak ada orang lain baik secara individual maupun kelembagaan yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya tersebut.
2. Konsep kepemilikan Kapitalis
Sistem kapitalis memandang bahwa manusia merupakan pemilik satu-satunya terbadap harta yang telah diusahakan. Tidak ada hak orang lain di dalamnya. Ia memiliki hak mutlak untuk membelanjakan sesuai dengan keinginannya. Sosok pribadi dipandang memiliki hak untuk memonopoli sarana-sarana produksi sesuai kekuasaannya. Ia akan mengalokasikan hartanya hanya pada bidang yang memiliki guna materi (Provite Oriented).
3. Konsep Kepemilikan sosialis
Sistem ekonomi sosialis memandang bahwa segala bentuk sumber kekayaan dan alat-alat produksi adalah milik bersama masyarakat. Para anggota masyarakat secara individu tidak memiliki hak kecuali pada retribusi yang mereka peroleh sebagai bentuk pelayanan bsolu. Negara hadir menggantikan masyarakat dengan dominasi sebagai kekuatan tunggal.
4. Konsep Kepemilakan Islam.
Islam tidak menghendaki kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak masyarakat lain. Keberhakkan pemilik dalam pandangan islam adalah baku. Hanya saja pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang. Ini pun sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu yang kaitannya adalah target ocial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan. Posisi islam yang demikian dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan hak intervensi yang ditakutkan berlebihan dengan dalih : demi kesejahteraan umum.
DAFTAR PUSTAKA
'Abd al-Qadim Zallum, al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah (Beirut: Dar al-'Ilm li al- Malayin, 1983)
Abd al-Rahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, terj. Ibn Sholah (Bangil: al-Izzah, 2001)
24
Abdullah Abdul Husein at-Tariqi. Ekonomi Islam, prinsip, dasar, dan tujuan. Yogyakarta: Magistra Insani Press.2004.
Abdurrahim Ahim. Dalil-Dalil Naqli Seri Ekonomi Islam. Yogyakarta: CV. Mitra Karya Santoso.2001.
Abu Saud Mahmud. Garis-Garis Besar Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1984.
Abu Ya'la al-Farra', al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr)
Al-Maliki, Politik Islam
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah (Beirut: Dar alFikr, 1960)
Al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi
al-Shawkani, Nayl al-Awtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jil. 6
al-Suyuti, al-Jami' al-Saghir, jil 2
Djuwaini. Dimyauddin. Pengantar fiqih muamalah. Pustaka pelajar. Yogyakarta. April 2008
Husain Sahatah, al-Khaskhasah fi Mizan al-Islam (tt: Maktabah al-Taqwa, 2001)
K.Lubis Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.2000.
Lativa M. Algoud, Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah, Terj. Burhan W. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003)
Muhamad, Alimin. Etika Dan Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004.
Nabhani Tayudin. Membangun sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.2002.
Qardawi yusuf. Norma Dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.1997.
Rahman Afzahur. Doktrin Ekonomi Islam I. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf.1995
Sihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an (Bandung : Mizan, 2003)
25
Taqiyy al-Din al-Nabhani, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam (Beirut: Dar al-Ummah, 1990)
Yunus al-Misri, Usul al-iqtisadi al-islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 1999)
26