HUBUNGAN KONSENTRASI SULPHUR DIOXIDE (SO2)
UDARA AMBIEN DAN FAKTOR-FAKTOR LAINNYA
DENGAN GEJALA ASMA PADA MURID SEKOLAH DASAR
NEGERI USIA 6-7 TAHUN DI KELURAHAN CIPUTAT
TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM)
Oleh:
Reka Yuligawati
NIM.1110101000036
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
Skripsi, 8 Juli 2014
REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036
Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dan Faktor-Faktor Lainnya dengan
Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun
2014
(ix + 81 halaman, 21 tabel, 3 gambar, 3 bagan, 14 lampiran)
ABSTRAK
Emisi gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber pencemaran udara
terbesar di perkotaan termasuk Kota Tangerang Selatan. Polutan yang dihasilkannya seperti
SO2 berdampak negatif terhadap kesehatan sistem pernapasan manusia, diantaranya
meningkatkan gejala asma. Menurut International Study of Asthma and Allergies in
childhood (ISAAC) anak usia 6-7 tahun merupakan prevalensi asma terbesar. Penelitian ini
dilakukan pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun pada bulan Maret sampai April 2014 di
Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross
sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 murid dan teknik pengambilan
sampel menggunakan simple random sampling. Data penelitian didapat dari data primer
berupa kuesioner dan pengukuran konsentrasi SO2 udara ambien dengan menggunakan
Impinger. Data dianalisis secara univariat untuk melihat gambaran masing-masing
variabel, analisis bivariat dengan menggunakan chi square untuk melihat hubungan
variabel keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan
pemberian ASI eksklusif terhadap gejala asma, dalam analisis bivariat juga digunakan uji
Mann-Whitney untu mengetahui hubungan antar konsentrasi SO2 dengan gejala asma.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 udara ambien tidak
berhubungan dengan gejala asma (p value 0,878). Variabel yang mempunyai hubungan
dengan gejala asma adalah keterpaparan asap rokok (p value = 0,018), riwayat asma (p
value = 0,023), dan pemberian ASI eksklusif (p value = 0,029). Berdasarkan hasil
penelitian ini disarankan kepada anggota keluarga untuk tidak merokok supaya anak-anak
tidak terpajan dengan asap rokok. Disamping itu, ibu-ibu sebaiknya memberikan ASI
eksklusif kepada bayinya untuk mengurangi risiko terjadinya gejala asma pada masa anak-
anak.
Kata Kunci : Konsentrasi SO2 dan Asma
Daftar Bacaan (2002-2014)
iii
JAKARTA STATE ISLAMIC UNIVERSITY
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
Undergraduated Thesis, 8 July 2014
REKA YULIGAWATI, NIM. 1110101000036
Association between Ambient Air SO2 Concentration and Others Factors with
Asthma Symptoms on Elementary School Students Aged 6-7 Years, Ciputat Village
2014
(ix + 81 pages, 21 tables, 3 pictures, 3 charts, 14 attachments
ABSTRACT
Motor vehicle exhaust emissions are the largest source of air pollution in urban
areas including South Tangerang City. It produces the pollutants such as SO2 which has
negative impact on the health of the human respiratory system, including increasing the
symptoms of asthma. According to the International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) children aged 6-7 years are the greatest prevalence of asthma. This
research was conducted at the Elementary School students aged 6-7 years in March - April
2014 in Ciputat village, Ciputat district Tangerang Selatan City.
Quantitative study usely cross-sectional design was conducted. The number of
samples in this study were 120 pupils and sampling techniques using simple random
sampling. Research data obtained from the primary data in the form of questionnaires and
measurements of ambient air concentrations of SO2 by impinger. Data were analyzed using
univariate to see an overview of each variable, bivariate analysis using chi square to see
the association of exposure to cigarette smoke, use insect repellent, pets, household items
potentially a source of allergens, gender, history of asthma, and exclusive breastfeeding
variables to the symptoms of asthma, Mann-Whitney test also used to determine the
association between the concentration of SO2 and asthma symptoms.
The results showed that ambient air SO2 concentrations is not associated with
asthma symptoms (p value = 0,878). The variables that associated with asthma symptoms
were cigarette smoke exposure (p value = 0.018), history of asthma (p value = 0.023), and
exclusive breastfeeding (p value = 0.029). Based on the results of this study are advised to
family members should not to smoke, so that the children are not exposed to cigarette
smoke. Besides, mothers should give exclusive breastfeeding to her baby to reduce the risk
of asthma symptoms in children.
Key Words : SO2 Concentrations and Asthma
Bibliography (2002-2014)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Reka Yuligawati
Jenis kelamin : Perempuan
TTL : Pangwa, 20 November 1992
Alamat asal :Desa Kulam, kemukiman Beuracan, Kec Meureudu, Kab
Pidie Jaya, Provinsi Aceh
Alamat sekarang : Jln Kertamukti No 29 B, Pisangan, Kec Ciputat, Tangerang
Selatan
Agama : Islam
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2010 – 2014 S1 - Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2007 – 2010 Madrasah Aliyah Jeumala Amal Lueng Putu
2004 – 2007 Madrasah Tsanawiyah Jeumala Amal Lueng Putu
1998 – 2004 SD Negeri Beuracan Jaya Meureudu
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehaditat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien Dengan Gejala
Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun
2014”.
Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan, bantuan, serta dukungan dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan
terimakasih terutama ditujukan kepada :
1. Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa
kepada penulis.
2. Bapak Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Ir. Febrianti selaku kepala program studi kesehatan masyarakat UIN
Syarif Hidayatullah.
4. Ibu Dewi Utami Iriani,Ph.D dan Ibu Dr. Ela Laelasari,SKM, M.Kes yang
selalu memberikan masukan dan saran, serta meluangkan waktunya dalam
membimbing penulis.
5. DR.Arif Sumantri, M.KM selaku ketua peminatan Kesehatan Lingkungan.
6. Bapak Kepala sekolah SD Negeri 01 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri
02 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri 05 Ciputa, Kepala Sekolah SD
Negeri 06 Ciputat, Kepala Sekolah SD Negeri 10 Ciputat.
viii
7. Keluarga tercinta Mamak, Dek Ira dan Dek Nurol, dan My beloved aunt “
Bunda Ratna” yang selalu menyemangati dan mendoakan kakak. Special
thank buat Alm Bapak yang menjadi motivasi kakak dalam belajar dan
terus berusaha untuk menjadi anak yang lebih baik.
8. Jamaah kesehatan lingkungan angkatan 2010 yang selalu semangat dan
optimis.
9. Teman-teman kosan white house Ema, Sulcha, Nia , Alung dan Lina yang
sudah menjadi keluargaku di perantauan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna,
untuk itu saran dan masukan sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan
laporan skripsi ini.
Jakarta, 8 Juli 2014
Reka Yuligawati
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
ABSTRACT ......................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ..................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 8
1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................................... 8
1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 9
1.5.1 Bagi Pemerintahan Kota Tangerang Selatan ........................................ 9
1.5.2 Bagi Masyarakat ................................................................................... 9
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat ......................................... 9
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pencemaran Udara............................................................................. 11
2.2 Penggolongan Zat-Zat Pencemaran Udara...................................................... 11
2.2.1 Berdasarkan Sumber ............................................................................. 11
2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar ................................................ 12
2.3 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien ................................................................ 12
2.4 Sulfur dioksida (SO2) ...................................................................................... 14
2.4.1 Sifat Dan Karakteristik SO2 .................................................................. 14
2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan ........................................................ 15
2.5 Asma .............................................................................................................. 16
2.5.1 Definisi Asma .......................................................................................... 16
x
2.5.2 Faktor-Faktor Risiko Asma ..................................................................... 17
2.5.2.1 Faktor Individu............................................................................ 17
1. Riwayat Asma ......................................................................... 17
2. Riwayat Atopi ......................................................................... 18
3. Jenis kelamin ........................................................................... 18
2.5.2.2 Faktor Lingkungan ...................................................................... 19
1. Infeksi .................................................................................. 19
2. Perabotan rumah tangga ...................................................... 19
3. Asap Rokok ......................................................................... 19
4. Pemakaian Obat Nyamuk .................................................... 20
5. SO2 dan NO2......................................................................... 20
6. Binatang Peliharaan ............................................................. 21
7. Cuaca ..................................................................................... 21
2.5.2.3 Faktor Perilaku .......................................................................... 22
1. Pola makan ........................................................................... 22
2. Latihan fisik .......................................................................... 22
3. Perubahan Emosi .................................................................. 23
4. Pemberian ASI Eksklusif ...................................................... 23
2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma .............................................................. 23
2.5.4 Jenis-Jenis Asma ..................................................................................... 25
2.5.5 Patofisiologi Asma .................................................................................. 26
2.6 Kerangka Teori ................................................................................................. 27
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTHESIS
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................. 29
3.2 Definisi Operasional ......................................................................................... 30
3.3 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 31
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ............................................................................................... 32
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ............................................................................ 32
4.2.1 Lokasi ....................................................................................................... 32
4.2.2 Waktu ....................................................................................................... 32
xi
4.3 Populasi dan Sampel .......................................................................................... 32
4.3.1 Populasi .................................................................................................... 32
4.3.2 Sampel ..................................................................................................... 33
4.3.3 Pengambilan Sampel ............................................................................... 35
4.4 Sumber Data ...................................................................................................... 36
4.5 Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 37
4.6 Instrumen Penelitian .......................................................................................... 38
4.6.1 Impinger .................................................................................................. 38
4.6.2 Kuesioner................................................................................................. 41
4.7 Pengolahan Data, Analisis Data, dan Penyajian Data ....................................... 41
4.7.1 Pengolahan Data ...................................................................................... 41
4.7.2 Analisis Data ........................................................................................... 42
4.7.3 Penyajian Data ......................................................................................... 43
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat .............................................................................................. 44
5.1.1 Gambaran Gejala Asma ........................................................................... 44
5.1.2 Persentase Gejala asma Berdasarkan Sekolah ......................................... 45
5.1.3 Konsentrasi SO2 udara ambien Berdasarkan Waktu Pengukuran............ 45
5.1.4 Konsentrasi Rata-Rata SO2 udara ambien pada setiap sekolah ............... 46
5.1.5 Uji Normalitas SO2 .................................................................................. 47
5.1.6 Gambaran Keterpajanan Asap Rokok ..................................................... 47
5.1.7 Gambaran Pemakaian Obat Nyamuk ...................................................... 48
5.1.8 Gambaran Binatang Peliharaan ............................................................... 49
5.1.9 Gambaran Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber
Alergen .................................................................................................... 49
5.1.10 Gambaran Jenis Kelamin ........................................................................ 50
5.1.11 Gambaran Riwayat Asma ....................................................................... 50
5.1.12 Gambaran Pemberian ASI eksklusif ...................................................... 51
5.2 Analisis Bivariat ................................................................................................ 52
5.2.1 Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien Dengan Gejala
Asma ....................................................................................................... 52
5.2.2 Hubungan Keterpajanan Asap Rokok Dengan Gejala Asma .................. 52
xii
5.2.3 Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk Dengan Gejala Asma ................... 53
5.2.4 Hubungan Binatang Peliharaan Dengan Gejala Asma ............................ 54
5.2.5 Hubungan Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber
Alergen Dengan Gejala Asma ................................................................. 55
5.2.6 Hubungan Jenis Kelamin Dengan gejala Asma ...................................... 56
5.2.7 Hubungan Riwayat Asma Dengan gejala Asma ..................................... 56
5.2.8 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma .................... 57
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................... 58
6.2 Gejala Asma ..................................................................................................... 59
6.3 Konsentrasi SO2 Di Udara Ambien ................................................................. 60
6.4 Sulfur dioksida (SO2) Udara Ambien Dengan Gejala Asma .......................... 62
6.5 Keterpajanan Asap Rokok Dengan Gejala Asma ............................................ 63
6.6 Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma .............................................. 65
6.7 Binatang Peliharaan Dengan Gejala Asma ..................................................... 67
6.8 Perabotan Rumah Tangga dengan Gejala Asma .............................................. 69
6.9 Jenis Kelamin Dengan Gejala Asma ............................................................... 71
6.10 Riwayat Asma Dengan Gejala Asma............................................................. 72
6.11 ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma ............................................................... 73
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan........................................................................................................... 74
7.2 Saran ................................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 76
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 28
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 29
Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel ................................................................ 37
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Persentase Gejala Asma .................................................................... 45
Gambar 5.2 Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri Berdasarkan
Waktu Pengukuran ........................................................................... 46
Gambar 5.3 Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien ................................ 46
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien ................................................................... 13
Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia ............... 16
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................ 30
Tabel 5.1 Gambaran Gejala Asma ....................................................................... 44
Tabel 5.2 Uji Normalitas SO2 .............................................................................. 47
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Keterpajanan Asap Rokok .................................. 48
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi pemakaian obat nyamuk ..................................... 48
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi kepemilikan binatang Peliharaan ........................ 49
Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga ............. 49
Tabel 5.9 Distribusi Jenis Kelamin ...................................................................... 50
Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Riwayat Asma .................................................. 51
Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI eksklusif .................................. 51
Tabel 5.12 Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dengan Gejala
Asma .................................................................................................... 52
Tabel 5.13 Hubungan Keterpajanan Asap Rokok dengan Gejala
Asma ................................................................................................... 53
Tabel 5.14 Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk Dengan Gejala Asma ............... 54
Tabel 5.15 Hubungan Kepemilikan Binatang Peliharaan dengan Gejala
Asma ................................................................................................... 54
Tabel 5.16 Hubungan Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga Yang
Berpotensi Sumber Alergen dengan Gejala Asma .............................. 54
Tabel 5.17 Hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Asma .................................. 56
Tabel 5.18 Hubungan Riwayat Asma dengan Gejala Asma ................................. 57
Tabel 5.19 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Gejala Asma ................ 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ditinjau dari berbagai sektor yang potensial dalam mencemari
udara, pada umumnya sektor transportasi memegang peran yang sangat
besar dibandingkan dengan sektor lainnya. Lebih dari 90% polusi udara di
kota-kota yang ada di negara berkembang disebabkan oleh emisi
kendaraan bermotor. Hal ini dikarenakan tingginya jumlah kendaraan yang
tua ditambah dengan pemeliharaan kendaraan yang buruk, infrastruktur
yang tidak memadai dan kualitas bahan bakar yang rendah (UNEP, 2008).
Di kota-kota besar di Indonesia, kontribusi gas buang kendaraan bermotor
sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70%. Sedangkan kontribusi gas
buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10-15%, sisanya berasal
dari sumber pembakaran lain, misalnya dari rumah tangga, pembakaran
sampah, kebakaran hutan dan lain-lain (BPLHD Jawa Barat, 2009).
Pertumbuhan sektor transportasi di Indonesia selama tahun 2000-
2011 memperlihatkan jumlah kendaraan bermotor meningkat tajam hingga
lebih 4 kali lipat. Sebagai contoh, pada tahun 2000 terdapat sekitar 19 juta
kendaraan sepeda motor, bis, truk dan mobil penumpang Jumlah itu
meningkat menjadi sekitar 85,6 juta pada 2011 (KLH, 2013). Sedangkan
di Provinsi Banten juga terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor,
dari tahun 2009 sampai tahun 2011 tercatat jumlah kendaraan bermotor
meningkat sebanyak 55% (BPS provinsi Banten, 2011). Berdasarkan
laporan dari Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman
2
(PPSP) Kota Tangerang Selatan (2011) potensi pencemaran udara di Kota
Tangerang Selatan sebagian besar berasal dari emisi kendaraan. Data dari
Satuan lalu lintas Polres Tangerang menunjukan volume kendaraan yang
beraktifitas sekitar 9000 kendaraan/ jam. Begitu juga dengan hasil
pengujian emisi dari 250 unit kendaraan yang terdiri dari 150 unit
kendaraan berbahan bakar bensin dan 100 unit kendaraan berbahan bakar
solar. Dari hasil pengujian emisi pada kendaraan berbahan bakar bensin
dinyatakan lulus uji sebanyak 82% dan yang tidak lulus uji sebanyak 18% .
Sedangkan kendaraan berbahan bakar solar, yang dinyatakan lulus uji
sebanyak 48% dan yang tidak lulus uji sebanyak 52%. Berdasarkan
BPLHD Propinsi DKI Jakarta, kendaraan bermotor yang berbahan bakar
solar seperti truck berkontribusi sebanyak 85% dalam menghasilkan SO2
dibandingkan dengan kendaraan bermotor yang berbahan bakar bensin
yang hanya sekitar 15% (Agustini dkk, 2014).
Emisi gas buang yang dihasilkan dari proses pembakaran pada
kendaraan bermotor dapat bersifat racun dan membuat efek negatif.
Idealnya, pembakaran dalam mesin menghasilkan pembuangan yang tidak
mengganggu kesehatan lingkungan. Tapi kenyataannya tidak semua
pembakaran berlangsung sempurna. Bila pembakaran tidak sempurna,
maka gas buang yang dihasilkan selain menghasilkan gas CO2 dan H2O,
juga menghasilkan gas-gas yang beracun yaitu CO, HC, NOx, dan SOx
(Fuhaid, 2011). Gas-gas tersebut bukan hanya berbahaya bagi kesehatan
masyarakat tapi juga mengancam lingkungan baik secara lokal maupun
global (KLH, 2003).
3
Salah satu gas beracun yang berdampak terhadap kesehatan adalah
Sulfur dioksida (SO2). Menurut Environmental Protection Agency (EPA)
bahwa terdapat hubungan antara pajanan jangka pendek terhadap SO2
dengan meningkatnya kunjungan ke bagian gawat darurat dan rawat inap
akibat penyakit pernapasan, terutama pada populasi berisiko termasuk
anak-anak, orang tua, dan penderita asma (EPA, 2013). Dampak
pencemaran udara terhadap tubuh manusia termasuk dari kendaraan
bermotor sangat luas mulai dari hal yang bersifat lokal hingga sistemik.
Paru adalah target organ utama. Beberapa gangguan terhadap paru-paru
adalah asma, bronkhitis dan pneumonia (Achmadi, 2012).
Asma merupakan salah satu penyakit kronis paling umum di dunia
dengan jumlah penderita sekitar 300 juta orang (GINA, 2010).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global initiative for asthma (GINA)
diperkirakan setiap satu orang diantara 250 kematian diperkirakan
meninggal akibat asma (Nasidah, 2010). Laporan Center for Disease
Control (CDC) tahun 2000 mengenai prevalensi asma pada anak usia < 18
tahun sebelum dan sesudah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat
adanya peningkatan prevalensi asma sebesar 5% setiap tahun dari tahun
1980 sampai 1995 (Afdal, 2012).
Di negara berkembang, prevalensi asma sebelumnya dianggap
rendah tetapi studi terbaru menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
kejadian asma pada anak, peningkatan ini terjadi terutama bagi yang
tinggal di daerah perkotaan (Kistnasamy, 2005). Data dari Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) Tahun 2010-2011 terlihat adanya
4
peningkatan Case Fatality Rate (CFR) yang disebabkan penyakit asma di
Indonesia yaitu 1,79% pada tahun 2009 menjadi 2,98% pada tahun 2010
(Depkes RI, 2012). Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Tangerang
Selatan (2013) jumlah kasus asma di Kota Tangerang Selatan pada tahun
2012 sebanyak 4.342 kasus. Disamping itu penyakit asma juga termasuk
dalam sepuluh penyakit terbanyak rawat UGD puskesmas perawatan Kota
Tangerang Selatan (Profil Dinkes Tangerang Selatan, 2012).
Menurut Herdi (2011) asma adalah penyakit yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita
oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan
sampai berat, bahkan dapat mematikan. Pada anak, penyakit asma dapat
mempengaruhi masa pertumbuhan, karena anak yang menderita asma
sering mengalami kambuh sehingga dapat menurunkan prestasi belajar di
sekolah (Oemiati, 2010).
Tingkat prevalensi asma yang cukup besar menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang serius. Pada tahun 1995 di Amerika Serikat,
biaya untuk pengobatan asma mencapai 250 juta dollar AS, sedangkan
penghitungan kehilangan hari sekolah, aktifitas atau biaya lain bisa
mencapai 1,2 milyar dollar AS, belum lagi biaya akibat hilangnya waktu
kerja orang tua untuk mengurus anaknya, dan penderita asma dapat
mengalami keterbatasan dan penurunan kualitas hidup yang serius (Afdal,
2012). Begitu juga di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
dengan United Nations Environment Programme (UNEP) dan EPA
melakukan Study Cost and Benefit Analysis (CBA) on fuel Economy
5
Policy in Indonesia di tahun 2012 memperkirakan bahwa biaya kesehatan
penduduk Jakarta pada tahun 2010 adalah berkisar antara Rp. 697,9 miliar
sampai dengan Rp. 38,5 trilliun. Biaya besar ini merupakan akibat
penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara salah satunya adalah
penyakit asma (KLH, 2013).
Di Indonesia faktor pemicu asma baik di desa maupun di kota
masih sangat tinggi antara lain dari asap kebakaran hutan, asap kendaraan
bermotor dan asap atau debu industri. Disamping itu perilaku merokok,
pemakaian bahan kimia (obat anti nyamuk dan parfum) dan menjamurnya
makanan produk massal industri yang mengandung pewarna, pengawet
dan Monosodium glutamat (MSG) memberi kontribusi yang bermakna
pada penyakit ini (Sihombing, 2010).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunyer, et
al (2003) menyatakan bahwa SO2 berhubungan dengan kejadian asma
pada anak-anak, terbukti bahwa penurunan tingkat polusi akan berdampak
pada penurunan jumlah kejadian asma pada anak-anak di Eropa. Pada
orang normal, konsentrasi SO2 lebih dari 5 ppm dapat menyebabkan
bronkokontriksi, sedangkan pada penderita asma konsentrasi SO2 lebih
dari 1 ppm sudah bisa menyebabkan bronkokontriksi (Kistnasamy, 2005).
Menurut Kowalak (2011) meskipun asma menyerang semua usia,
sekitar 50% pasien asma berusia kurang dari 10 tahun. Namun dalam
penelitian ini, peneliti memilih anak usia 6-7 tahun sebagai populasi
penelitian karena pada usia ini menurut International Study of Asthma and
6
Allergies in childhood (ISAAC) merupakan prevalensi asma terbesar
(Afdal, 2012).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti hubungan konsentrasi SO2 yang merupakan salah satu
komponen zat pencemar yang dihasilkan dari emisi kendaraan dengan
gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada
di Kelurahan Ciputat, Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
Disamping itu, selama ini peneliti belum pernah menemukan
penelitian tentang hubungan SO2 dengan asma di Indonesia. Penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya adalah mengenai hubungan NO
dengan asma dan SO2 dengan ISPA dengan menggunakan data
sekunder.
1.2 Rumusan masalah
Beberapa penelitian sebelumnya telah melihat hubungan antar
konsentrasi SO2 dengan kejadian asma pada anak-anak. Studi terkini
menyatakan pajanan jangka pendek terhadap SO2, mulai 5 menit sampai
24 jam mempunyai efek merugikan terhadap kesehatan antara lain
bronkokontriksi dan meningkatnya gejala asma (EPA, 2013). Berdasarkan
observasi, peneliti melihat terdapat sejumlah SD yang terletak di samping
jalan yang mempunyai kepadatan lalu lintas yang tinggi sehingga
kemungkinan murid untuk terpajan dengan SO2 sangat tinggi. Berdasarkan
uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimana
konsentrasi SO2 yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor menimbulkan
7
dampak terhadap gejala asma pada murid SD usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat yang sering melakukan aktivitas di pekarangan sekolah.
1.3 Pertanyaan penelitian
1. Berapa prevalensi murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat yang mempunyai gejala asma?
2. Bagaimana gambaran konsentrasi SO2 udara ambien di pekarangan
SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat?
3. Bagaimana gambaran keterpajanan asap rokok, pemakaian obat
nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga yang
berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan
pemberian ASI eksklusif pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat?
4. Apakah ada hubungan antara faktor Lingkungan (konsentrasi SO2
udara ambien, keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk,
binatang peliharaan, dan perabotan rumah tangga yang berpotensi
sumber alergen) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-
7 tahun di Kelurahan Ciputat?
5. Apakah ada hubungan antara faktor individu (jenis kelamin dan
riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7
tahun di Kelurahan Ciputat?
6. Apakah ada hubungan antara faktor perilaku (pemberian ASI
eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7
tahun di Kelurahan Ciputat?
8
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan konsentrasi SO2 udara ambien dan
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan gejala asma pada
murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui prevalensi gejala asma pada murid SD Negeri
usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
2. Mengetahui gambaran konsentrasi SO2 ambien di
pekarangan SD Negeri yang ada di Kelurahan Ciputat.
3. Mengetahui gambaran faktor keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, Perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis
kelamin, riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif pada
murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4. Mengetahui hubungan antara faktor lingkungan
(konsentrasi SO2 udara ambien, keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen) dengan
gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat.
5. Mengetahui hubungan antara faktor individu (jenis kelamin
dan riwayat asma) dengan gejala asma pada murid SD
Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
9
6. Mengetahui hubungan antara faktor perilaku (pemberian
ASI eksklusif) dengan gejala asma pada murid SD Negeri
usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Pemerintahan Kota Tangerang Selatan
Untuk mengetahui prevalensi murid usia 6-7 tahun yang
mempunyai gejala asma di SD Negeri yang berada di
wilayah Kelurahan Ciputat.
1.5.2 Masyarakat
Memberikan informasi kepada murid SD serta orang tua
mereka tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
gejala asma supaya mereka mengetahui dan dapat
melakukan pencegahan untuk menimalisasi timbulnya
gejala asma.
1.5.3 Program Studi Kesehatan Masyarakat
Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa/I jurusan kesehatan
masyarakat UIN Syarif Hidayatullah dan pengembangan
ilmu bidang kesehatan masyarakat
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada murid usia 6-7 tahun (usia 6-7
tahun) di SD yang berada di wilayah Kelurahan Ciputat yang
bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi SO2 udara ambien
berhubungan dengan gejala asma pada anak pada usia tersebut dengan
menggunakan desain cross sectional. Namun, disamping itu peneliti
10
juga memasukkan faktor-faktor lain yang diduga juga berhubungan
dengan gejala asma pada anak-anak, seperti keterpajanan asap rokok,
pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan, perabotan rumah tangga
yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin, riwayat asma, dan
pemberian ASI eksklusif.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pencemaran Udara
Berdasarkan keputusan menteri negara dan lingkungan hidup RI. No.
KEP-03/MENKLH/1991 menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya mahkluk hidup, zat, energi dan/atau komponen
lain ke udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara
turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang
atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.
Pencemaran udara dapat terjadi dimana-mana, misalnya didalam rumah,
sekolah, kantor atau yang sering disebut sebagai pencemaran dalam ruang
(indoor pollution). Selain itu gejala ini secara akumulatif juga terjadi di luar
ruang (outdoor pollution) mulai dari tingkat lingkungan rumah, perkotaan,
hingga ke tingkat regional, bahkan saat ini sudah menjadi gejala global
(Wardani, 2012)
2.2 Penggolongan zat-zat pencemar udara
2.2.1 Berdasarkan Sumber
Sumber utama pencemaran udara terbagi kedalam dua kategori
yakni alamiah dan kegiatan manusia (antropogenik). Sumber alam yang
utamanya adalah letusan gunung berapi dan aktivitas magma yang
keluar, terutama gas-gas CO2, CO, NOx, SO2 serta berbagai logam
berat metal seperti merkuri, Cadmium serta unsur-unsur bahan kimia
lainnya. Sedangkan sumber antropogenik adalah berasal kendaraan
12
bermotor, industri, rumah tangga, serta kegiatan lain seperti merokok
(Achmadi, 2012).
2.2.2 Berdasarkan Bahan Atau Zat Pencemar
Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel.
1. Pencemaran udara berbentuk gas dapat dibagi menjadi :
a. Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen
sulfida (H2S) dan sulfat aerosol.
b. Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen
monoksida (NO), amoniak (NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).
c. Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), hidrokarbon.
d. Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, Vinyl
klorida, air raksa uap.
2. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi :
a. Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan
timah
b. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan,
benzen.
c. Mahkluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing.
(Balitbang Dephan, 2012).
2.3 Baku Mutu Kualitas Udara Ambien
Baku mutu udara ambien adalah batas kadar yang diperbolehkan
bagi zat atau bahan pencemar terdapat di udara, namun tidak menimbulkan
13
gangguan terhadap mahkluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan/ atau benda
(Sumantri, 2010).
Tabel 2.1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional
No. Parameter Waktu
Pengukuran
Baku Mutu
Metode
Analisis
Peralatan
1
SO2
(Sulfur Dioksida)
1 Jam 900 µg/Nm3 Pararosanilin
Spektrofotometer
24 Jam 365 µg/Nm3
1 Thn 60 µg/Nm3
2
CO
(Karbon Monoksida)
1 Jam 30.000 µg/Nm3 NDIR
NDIR Analyzer
24 Jam 10.000 µg/Nm3
1 Thn -
3
NO2
(Nitrogen Dioksida)
1 Jam 400 µg/Nm3 Saltzman
Spektrofotometer
24 Jam 150 µg/Nm3
1 Thn 100 µg/Nm3
4
O3
(Oksidan)
1 Jam 235 µg/Nm3 Chemiluminescent
Spektrofotometer
1 Thn 50 µg/Nm3
5 HC
(Hidro Karbon)
3 Jam
160 µg/Nm3
Flame Ionization
Gas
Chromatogarfi
6
PM10
(Partikel < 10 um )
24 Jam
150 µg/Nm3
Gravimetric
Hi - Vol
PM2,5 (*)
(Partikel < 2,5 um )
24 Jam 65 µg/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
1 Thn 15 µg/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
7
TSP
(Debu)
24 Jam 230 µg/Nm3 Gravimetric
Hi - Vol
1 Thn 90 µg/Nm3
14
Sumber : PP No 41 tahun 1999
2.4 Sulfur dioksida (SO2)
2.4.1 Sifat dan Karakteristik SO2
Sulfur dioksida adalah salah satu spesies dari gas-gas oksida
sulfur (SOx). Gas ini sangat mudah terlarut dalam air, memiliki bau
No Parameter Waktu
Pengukuran
Baku Mutu
Metode
Analisis
Peralatan
8
Pb
(Timah Hitam)
24 Jam 2 µg/Nm3 Gravimetric Hi - Vol
1 Thn 1 µg/Nm3 Ekstraktif
Pengabuan AAS
9
Dustfall
(Debu Jatuh )
30 hari
10
Ton/km2/Bulan
(Pemukiman)
Gravimetric
Cannister
20
Ton/km2/Bulan
(Industri)
10
Total Fluorides (as
F)
24 Jam 3 µg/Nm3 Spesific Ion
Electrode
Impinger atau
Countinous
Analyzer
90 hari 0,5 µg/Nm3
11 Fluor Indeks 30 hari 40 µg/100 cm2
dari kertas
limed filter
Colourimetric Limed Filter
Paper
12
Khlorine & Khlorine
Dioksida
24 Jam
150 µg/Nm3
Spesific Ion
Electrode
Impinger atau
Countinous
Analyzer
13
Sulphat Indeks
30 hari
1 mg SO3/100
cm3
Dari Lead
Peroksida
Colourimetric
Lead
Peroxida Candle
15
namun tidak berwarna. Sebagaimana O3, pencemar sekunder yang
terbentuk dari SO2, seperti partikulat sulfat dapat berpindah dan
terdeposisi jauh dari sumbernya. SO2 terbentuk saat terjadi pembakaran
bahan bakar fosil yang mengandung sulfur. Sulfur sendiri terdapat
dalam hampir semua material mentah yang belum diolah seperti minyak
mentah, batu bara, dan bijih-bijih yang mengandung metal seperti
aluminium, tembaga, seng, timbal dan besi. Di daerah perkotaan, salah
yang menjadi sumber sulfur utama adalah gas buang dari kendaraan
yang menggunakan diesel dan industri-industri yang menggunakan
bahan bakar batu bara dan minyak mentah. (KLH, 2011).
2.4.2 Dampak SO2 Terhadap Kesehatan
Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan
iritasi pada sistem pernapasan, seperti pada selaput lendir hidung,
tenggorokan dan saluran udara di paru-paru. Efek kesehatan ini menjadi
lebih buruk pada penderita asma. Disamping itu SO2 dapat terkonversi
di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat. Aerosol
yang dihasilkan sebagai pencemar sekunder umumnya mempunyai
ukuran yang sangat halus sehingga dapat terhisap kedalam sistem
perrnapasan bawah. Aerosol sulfat yang masuk kedalam salurah
pernapasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang lebih berat
daripada partikel-partikel lainnya karena mempunyai sifat korosif dan
karsinogen. Oleh karena itu gas SO2 berpotensi untuk menghasilkan
aerosol sulfat sebagai pencemar sekunder, kasus peningkatan angka
kematian karena kegagalan pernapasan terutama pada orang tua dan
16
anak-anak yang sering terpajan dengan konsentrasi SO2 dan partikulat
secara bersamaan (KLH, 2011).
Tabel 2.2 Pengaruh SO2 Berdasarkan Konsentrasi Terhadap Manusia
Konsentrasi (ppm) Pengaruh
3-5 Jumlah terkecil yang dideteksi dari baunya
8-12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi
tenggorokan
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata
20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk
20 Maksimum yang diperboleh untuk konsentrasi dalam
waktu lama
50-100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontak singkat
(30 menit)
400-500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Sumber : Putri (2012)
2.5 Asma
2.5.1 Definisi Asma
Menurut Purnomo (2008) Istilah asma berasal dari kata Yunani
yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan nafas pendek. Asma
merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai oleh
obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan
terhadap berbagai bentuk ransangan. Penyakit asma merupakan salah
satu bentuk Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM), yaitu penyakit
17
paru jangka panjang yang ditandai oleh peningkatanresistensi jalan
napas. (Kowalak, 2011)
Asma adalah suatu penyakit obstruktif jalan napas yang
disebabkan oleh edema mukosa, sekresi mukus yang berlebihan, serta
spasme otot polos bronkus. Penyakit ini ditandai dengan adanya batuk,
sesak yang disertai adanya suara mengi (wheezing), bila terjadi serangan
pasien akan gelisah, sianosis, ekspresi memanjang, adanya otot
interkosta, serta terdapat suara ronki kering dan basah (Hidayat, 2008).
2.5.2 Faktor-Faktor Risiko Asma
Secara umum faktor risiko asma dapat dibagi kedalam dua kelompok
besar, yaitu faktor yang berhubungan dengan terjadinya atau
berkembangnya asma dan faktor-faktor pemicu (trigger) timbulnya gejala
asma. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asma dan
timbulnya gejala asma adalah sebagai berikut:
2.5.2.1 Faktor individu
1. Riwayat Asma
Selama berabad-abad telah diketahui bahwa asma
merupakan penyakit yang diturunkan dalam keluarga. Telah
dibuktikan dalam berbagai penelitian bahwa orang tua asma
merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian asma pada
anaknya. Hasil penelitian Laisina (2007) menunjukkan bahwa
kejadian asma pada anak yang orang tuanya memiliki riwayat
asma adalah 72,7 % dan terdapat hubungan antara riwayat
18
asma pada orang tua dengan kejadian asma pada anak (p <
0,001).
2. Riwayat Atopi
Atopi adalah suatu keadaan respon seseorang yang tinggi
terhadap protein asing yang sering bermanifestasi berupa rinitis
alergika, urtikaria atau dermatitis (Djojodibroto, 2009).
Sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga atopi, dan
kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi
prediktor untuk terjadinya asma kelak di kemudian hari (Akib,
2002).
3. Jenis kelamin
Pada anak-anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih
berisiko untuk terjadinya asma dibandingkan pada anak- anak
yang berjenis kelamin perempuan. Mendekati usia 14 tahun
prevalensi asma hampir dua kali lebih besar pada laki-laki
dibandingkan pada anak perempuan. Namun, Pada masa
dewasa jumlah asma lebih besar pada perempuan dibandingkan
pada laki-laki. Pada dasarnya alasan keterkaitan antara jenis
kelamin dengan penyakit asma belum jelas. Namun, ukuran
paru-paru laki-laki lebih kecil daripada paru-paru perempuan
ketika dilahirkan, dan berkembang menjadi besar pada saat
dewasa (GINA, 2012).
19
2.5.2.2 Faktor lingkungan
1. Infeksi
Infeksi saluran pernapasan oleh virus berperan penting
terhadap kejadian asma. Menurut Ronmark, et al dalam
Laisina (2007) pada penelitian kohort selama 1 tahun terhadap
3525 anak usia 7 dan 8 tahun mendapatkan adanya hubungan
antara infeksi saluran napas dengan kejadian asma.
2. Perabotan rumah tangga
Tungau Debu Rumah (TDR) merupakan alergen inhalan
penting yang berhubungan dengan timbulnya asma. Populasi
TDR paling banyak ditemukan pada kasur dan bantal.
Konsentrasi TDR dermatophagoides farinae lebih tinggi
secara bermakna pada kasur yang terbuat dari kapuk daripada
yang terbuat dari busa. Seperti kasur dan bantal, karpet juga
sering menampung bahan alergenik seperti TDR, serpihan kulit
atau bulu binatang. konsentrasi TDR lebih tinggi 10 kali pada
ruang tamu yang di dalamnya terdapat karpet (Laisina, 2007).
3. Asap rokok
Aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari
pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi
mukosa jalan nafas. Pajanan asap tembakau pasif berakibat
lebih berbahaya pada gejala penyakit saluran nafas bawah
(batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan
serangan asma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko
20
munculnya asma meningkat pada anak yang terpajan sebagai
perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41-5,74) (Purnomo,
2008).
4. Pemakaian obat nyamuk
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa pajanan jangka
panjang terhadap asap obat nyamuk dikaitkan dengan asma dan
mengi persisten pada anak-anak (Mshelia et al, 2013). Obat
nyamuk semprot maupun asap obat nyamuk bakar merupakan
iritan inhalan yang sering digunakan dan dapat menyebabkan
hiperreaktifitas bronkus, namun sejauh mana pengaruhnya
terhadap asma masih belum jelas (Laisina, 2007).
5. Sulfur dioksida dan Nitrogen dioksida
Menurut Lee (2012) gas Sulfur dioksida (SO2) umumnya
berasal dari pembakaran bahan bakar yang mengandung sulfur
yang sebagian besar berasal dari batubara dan minyak, Selting
logam, dan proses industri lainnya. Bukti ilmiah saat ini
menyatakan bahwa terdapat hubungan pajanan jangka pendek
terhadap SO2, mulai dari 5 menit sampai 24 jam dengan
berbagai efek pernapasan yang merugikan termasuk
bronkokonstriksi dan peningkatan gejala asma (EPA, 2013).
Penelitian Speizer and Frank dalam Lee (2012) menyatakan
bahwa setelah menghirup rata-rata 16 ppm SO2 saat istirahat,
kurang dari 1% gas SO2 dapat dideteksi pada orofaring.
Penelitian tentang hubungan SO2 dengan kejadian asma juga
21
telah dilakukan di Asia tepatnya di Cina. Hasil dari Northeast
Chinese Children Health study menyatakan terbukti bahwa
konsensentrasi SO2 pada udara ambien secara positf
berhubungan dengan asma pada anak-anak (Dong et al, 2011).
Pada penderita asma, pajanan tingkat rendah NO2 dapat
menyebabkan peningkatan reaktivitas bronkial dan membuat
anak-anak lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Eksposur
jangka panjang untuk tingkat tinggi NO2 dapat menyebabkan
bronkitis kronis (EPA, 2012).
6. Binatang peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.
Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan
pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen
tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3-4 mikron)
dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan serangan
asma, terutama dari burung dan hewan menyusui (Purnomo,
2008).
7. Cuaca
Indonesia merupakan negara dengan dua musim yaitu
musim hujan dan kemarau. Keduanya memiliki tiga komponen
yang berperan antara lain suhu udara, kelembaban dan curah
hujan. Kelembapan yang tinggi, suhu udara rendah dan curah
hujan yang tinggi merupakan faktor pencetus serangan asma.
22
Udara dingin dapat mencetuskan serangan asma dengan cara
meningkatkan hiperresponsivitas saluran napas yang
menyebabkan bronkokontriksi dan menimbulkan gejala sesak
dan mengi (Kusbiantoro, 2005).
2.5.2.3 Faktor Perilaku
1. Pola makan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu
sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat,
strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab asma
(Purnomo, 2008). Dalam beberapa penelitian juga menyatakan
bahwa meningkatnya konsumsi makanan olahan dan
kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung
antioksidan seperti buah dan sayur berkontribusi dalam
meningkatkan kejadian asma (GINA, 2012).
Hasil penelitian Sihombing (2010) menyatakan bahwa
pada kebiasaan dalam mengonsumsi makanan yang diawetkan
memperlihatkan bahwa responden yang sering mengonsumsi
makanan yang diawetkan berisiko 0,9 kali mendapat asma
(OR=0,9; 95% CI 0,8-0,9).
2. Latihan Fisik
Latihan fisik (exercise) didefinisikan sebagai sub
kelompok aktivitas fisik berupa gerakan tubuh yang terencana
terstruktur dan berulang untuk memperbaiki atua memelihara
satu atau lebih komponen kebugaran fisik (Gibney, 2005).
23
Aktivitas gerak badan (exercise) sering memprovokasi saluran
pernapasan yang hiperaktif sehingga timbul bronkokontriksi.
Orang myang melakukan kegiatan olahraga ventilasi-menitnya
akan meningkat. Sebelum masuk kedalam paru, udara yang
dingin (temperatur kamar) dan kering harus dipanasi dan
dijenuhkan dengan uap air oleh epitel trakeobronkial. Epitel
trakeobronkial menjadi dingin dan kering sehingga
menyebabkan bronkokontriksi saluran pernapasan (Djojodibroto,
2009). Serangan asma terjadi 5 sampai 15 menit setelah latihan
fisik dimulai dan puncaknya dalam 6 sampai 8 menit. Gejala
asma perlahan-lahan menghilang dalam waktu 30 sampai 60
menit setelah latihan fisik. Interval ini dikenal sebagai periode
refrakter (refractory period) (Herdi, 2011).
3. Perubahan emosi
Peran faktor psikologis dalam perkembangan serangan
asma akut sudah lama diketahui, perasaan cemas dan depresi
seringkali bertepatan dengan terjadinya gejala asma.
Mekanisme yang menyebabkan eksaserbasi asma ini belum
dipahami secara pasti. Diduga bahwa fluktuasi penyempitan
jalan napas dikarenakan emosi yang negatif (Herdi, 2011).
4. Pemberian ASI eksklusif
Menurut PP Nomor 33 tahun 2012, Air Susu Ibu Eksklusif
(ASI) adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan
selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan/atau
24
mengganti dengan makanan atau minuman lain. Dari studi secara
ekstensif, pola makan individu terutama dalam pemberian ASI
sangat berhubungan dengan perkembangan penyakit asma.
Data menyebutkan bahwa bayi yang diberikan susu sapi dan
protein kedelai mempunyai insiden mengi lebih tinggi pada
awal masa kanak-kanak dibandingkan bayi yang diberikan ASI
(GINA, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
pemberian ASI ekslusif berhubungan dengan penurunan risiko
asma, diduga karena adanya efek imunomodulasi dan pencegah
infeksi (Afdal, 2012).
2.5.3 Tanda Klinik Dan Gejala Asma
Secara umum tanda dan gejala asma meliputi :
1. Dispnea mendadak, mengi, dan rasa berat pada dada
2. Batuk-batuk dengan sputum yang kental, jernih, ataupun kuning
3. Takipnea, bersamaan dengan penggunaan otot-otot respirasi
aksesorius
4. Denyut nadi yang cepat
5. Pengeluaran keringat yang banyak
6. Lapangan paru yang hipersonor pada perkusi
7. Bunyi napas yang berkurang (Kowalak, 2011)
Karena asma merupakan suatu penyakit kronis, gejala asma pada
anak-anak biasanya sudah dimulai sejak bayi, dengan gejala sebagai
berikut :
1. Bila menangis tangisan anak makin lama makin pendek
25
2. Sulit makan
3. Napas cepat dan mendesing
4. Gerakan dada seperti tertahan dan kaku
5. Bila anak menderi penyakit saluran pernapasan, bunyi napas
mendesing
6. Batuk-batuk setelah menangis atau lari-lari, terutama di malam hari
7. Dinding dada seperti tertarik ke dalam di antara tulang rusuk dan
dibagian bawah leher
8. Sering menderita infeksi saluran napas seperti bronkhitis dan
pneumoni
9. Napas pendek
10. Ekspirasi memanjang
11. Gerakan napas lebih cepat
12. Batuk-batuk disertai bunyi napas mendesing atau tidak (Yatim,
2005).
2.5.4 Jenis-Jenis Asma
Penyakit asma dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut :
2.5.4.1 Asma alergik
Asma alergik disebabkan oleh alergen atau alergen-alergen yang
dikenal (misalnya serbuk sari, binatang, amarah, makanan dan jamur).
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan
asma alegik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan
26
riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Pemejana
terhadap alergen mencetuskan serangan asma.
2.5.4.2 Asma idiopatik atau nonalergik
Asma idiopatik atau nonalergik adalah asma yang tidak
berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor, seperti common
cold, infeksi tratus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan
dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, seperti
aspirin dan agen anti inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, dan
agen sulfit (pengawet makanan). Serangan asma nonalergik menjadi
lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema. Pada beberapa
pasien akan mengalami asma gabungan.
2.5.4.3 Asma gabungan
Asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun nonalergik
(Brunner & Suddarth, 2002)
2.5.5 Patofisiologi Asma
Asma adalah adalah obtruksi jalan napas reversible. Obstruksi
disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor yang berikut ini : (1) Kontraksi
otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas; (2)
Pembengkakan membran yang melapisi bronki; dan (3) Pengisian bronki
dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa
membesar; sputum yang kental banyak dihasilkan oleh oleh alveoli menjadi
hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan paru. Mekanisme
27
yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi yang paling diketahui
adalah keterlibatan sistem imunologis dan saraf otonom.
Beberapa individu yang menderita asma mengalami respon imun
yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi (IgE) yang dihasilkan
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, yang menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilasis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-
A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan
kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran
mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
nonalergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokontriksi dan juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi (histamin, bradikinin, dan prostaglandin). Individu yang menderita
asma mempunyai toleransi rendah terhadap respon parasimpatis (Brunner &
Suddarth, 2002).
2.6 Kerangka Teori
Asma merupakan gangguan imflamasi pada jalan napas yang ditandai
oleh obstruksi aliran udara napas dan respon jalan napas yang berlebihan
terhadap berbagai bentuk rangsangan. Terjadinya asma atau pemicu
28
timbulnya gejala asma bisa disebabkan oleh berbagai faktor, faktor tersebut
adalah faktor lingkungan, faktor individu, dan faktor perilaku. Faktor-faktor
tersebut adalah seperti yang terdapat dalam kerangka teori dibawah ini:
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber :
Modifikasi dari Laisina (2007), GINA (2012), Purnomo (2008),
Afdal (2012), Sihombing (2010)
Faktor individu
Jenis Kelamin
Riwayat asma
Riwayat Atopi
Faktor lingkungan
Infeksi virus
Asap rokok
Perabotan rumah tangga
Pemakaian obat nyamuk
Binatang peliharaan
Cuaca
Gas SO2 dan NO2
Faktor Perilaku
Pola makan
Latihan fisik
Emosi
Pemberian ASI eksklusif
Gejala Asma
29
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Pada penelitian ini tidak semua faktor-faktor risiko yang berpengaruh
terhadap gejala asma pada anak diteliti, dikarenakan keterbatasan yang ada
baik dari segi waktu, tenaga dan biaya penelitian. Begitu juga dengan faktor-
faktor lain yang mungkin saja berpengaruh terhadap gejala asma tidak kami
teliti untuk membatasi luasnya topik yang akan dibahas.
Variabel Independen Variabel Dependen
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
Gejala Asma
Konsentrasi SO2 di
udara ambien
Jenis kelamin
Perabot rumah tangga
ASI eksklusif
Riwayat asma
Binatang peliharaan
Pemakaian obat
nyamuk
Keterpaparan asap
rokok
30
3.2 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
NO Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran Hasil ukur Skala Ukur
A Variabel terikat
Gejala asma Terjadinya salah satu gangguan
saluran pernafasan berupa batuk,
sesak nafas dan mengi/wheezing
(Hidayat, 2008)
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Nominal
B Variabel bebas
1 Konsentrasi SO2 Hasil pengukuran SO2 di udara
ambien
Pengukuran dengan
impinger
µg/Nm3 Rasio
2 Jenis kelamin Kondisi responden berdasarkan
jenis kelamin laki-laki atau
perempuan. Anak laki-laki lebih
berisiko asma dibandingkan anak
perempuan (GINA, 2012)
Pengisian Kuesioner 1. Laki-laki
2. Perempuan
Ordinal
3 Riwayat asma Riwayat penyakit asma pada orang
tua kandung baik ibu maupun ayah
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Ordinal
4 Keterpajanan asap
rokok(Environmental
Tobacco Smoke)
Adanya salah satu anggota keluarga
yang memiliki kebiasaan merokok
di rumah (didalam rumah atau di
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Ordinal
31
pekarangan rumah) sehingga anak
tersebut terpajan asap rokok /
perokok pasif (IARC, 2004)
5 Pemakaian obat
nyamuk
Kebiasaan memakai obat nyamuk
didalam rumah, baik obat nyamuk
bakar atau obat nyamuk semprot
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Ordinal
6 Binatang peliharaan
Terdapat salah satu atau lebih dari
binatang peliharaan yang berbulu di
dalam rumah seperti kucing, anjing
atau burung
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Ordinal
7 Perabotan rumah
tangga yang
berpotensi sumber
alergen (seperti kasur
kapuk dan karpet
berbulu)
Terdapat salah satu atau lebih dari
perabotan yang dapat menjadi
media alergen (seperti kasur kapuk,
bantal kapuk dan karpet berbulu) di
rumah
Pengisian Kuesioner 1. Iya
2. Tidak
Ordinal
8 Pemberian ASI
eksklusif
Anak mendapatkan ASI eksklusif
yaitu ASI yang diberikan kepada bayi
sejak dilahirkan selama 6 (enam)
bulan (PP Nomor 33 tahun 2012)
Pengisian Kuesioner 1. Tidak
2. Iya
Ordinal
31
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara konsentrasi SO2 ambien di pekarangan sekolah
dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat.
2. Ada hubungan antara faktor keterpajanan asap rokok dengan gejala asma
pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
3. Ada hubungan antara faktor pemakaian obat nyamuk dengan gejala asma
pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4. Ada hubungan antara faktor kepemilikan binatang peliharaan dengan
gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
5. Ada hubungan antara faktor perabot rumah tangga yang berpotensi sumber
alergen dengan gejala asma pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat.
6. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan gejala asma pada murid
SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
7. Ada hubungan antara faktor riwayat asma dengan gejala asma pada murid
SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
8. Ada hubungan antara faktor pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma
pada murid SD Negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
32
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan menggunakan
desain cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian cross
sectional adalah penelitian yang melakukan determinasi terhadap paparan
(exposure) dan hasil (disease outcome) secara simultan pada setiap subjek
penelitian (Gordis dalam Swarjana, 2012). Peneliti menggunakan desain
cross sectional karena belum terdapat data sekunder tentang riwayat asma
pada anak SD usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat.
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan di 5 SD Negeri yang berada di wilayah
Kelurahan Ciputat, yaitu SD Negeri Ciputat 01, SD Negeri Ciputat 02, SD
Negeri Ciputat 05, SD Negeri Ciputat 06, dan SD Negeri Ciputat 10.
4.2.2 Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei tahun 2014.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi adalah kumpulan semua individu dalam suatu batas tertentu
(Budiarto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SD Negeri di
Kelurahan Ciputat dan seluruh murid yang berusia 6-7 tahun yang bersekolah
di SD Negeri di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dengan orang tua mereka
sebagai responden.
33
4.3.2 Sampel
Sampel adalah subunit populasi survei yang oleh peneliti
dipandang mewakili populasi target (Danim, 2003). Sampel dalam
penelitian ini adalah Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat dan
murid yang bersekolah di SD Negeri tersebut. Pengambilan sampel
menggunakan rumus uji hipothesis beda dua proporsi:
n = [Z21-α/2 √ ( ) + √ ( ) ( ) 2
(P1-P2)2
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P2 : Proporsi asma pada yang terpajan dengan faktor risiko pada
penelitian sebelumnya
P1 : Proporsi asma pada yang tidak terpajan faktor risiko pada
penelitian sebelumnya
P : Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2 /2)
Z21-α/2 : Derajat kemaknaan α yaitu sebesar 5% = 1,96
Z1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu 80%
34
Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Sampel
Peneliti Variabel P1 P2 P n
Al Lukman
(2012)
Paparan asap
rokok
0,263 0,605 0,434 32
Laisina dkk
(2007)
Pemakaian obat
nyamuk
0,98 0,115 0,584 4
Purnomo (2008) Kepemilikan
binatang
peliharaan
0,596 0,962 0,779 21
Darmin (2012) Bahan Perabotan
rumah tangga
0,256 0,581 0,418 39
Laisina dkk
(2007)
Jenis Kelamin 0,903 0,112 0,507 4
Laisina dkk
(2007)
Riwayat asma 0,934 0,73 0,832 52
Afdal dkk (2012) ASI eksklusif 0,926 0,156 0,541 6
Dari perhitungan jumlah sampel pada tabel 4.1 diketahui bahwa jumlah
sampel tertinggi adalah 52. Jadi, jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah 52 x 2 = 104. Namun, untuk mencegah terjadinya bias maka
ditambah sebanyak 10% dari jumlah sampel minimal. Jadi secara keseluruhan
jumlah sampel yang diambil sebesar 120 sampel. Untuk menentukan jumlah
sampel pada setiap sekolah digunakan rumus sebagai berikut :
35
n = ∑ x 120
N
Keterangan :
n = Sampel yang dibutuhkan
∑ = Jumlah murid kelas 1
N = Jumlah keseluruhan populasi (520)
112 = sampel yang dibutuhkan
122 x 120
SD Ciputat 01 = = 28 520
127 x 120
SD Ciputat 02 = = 29
520
177 x 120
SD Ciputat 06 = = 41
520
43 x 120
SD Ciputat 05 = = 10 520
51 x 120
SD Ciputat 10 = = 12
520
4.3.3 Pengambilan sampel
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan simple random sampling.
Dari 10 SD Negeri yang ada di kelurahan Ciputat diambil 5 SD Negeri
sebagai sampel secara random. Apabila terdapat lebih dari satu ruang kelas 1,
maka dipilih satu ruang kelas secara random. Selanjutnya untuk mengambil
sampel murid SD, peneliti juga menggunakan simple random sampling. Pada
36
simple random sampling setiap unit dasar (individu) mempunyai kesempatan
yang sama untuk diambil sebagai sample (Budiarto, 2002). Peneliti
menggunakan teknik ini dikarenakan terdapat sampling frame berupa nama-
nama murid sehingga memudahkan peneliti dalam mengambil sampel. Skema
pengambilan sampel adalah seperti bagan 4.1 (halaman 37):
Pada penelitian ini peneliti menentukan kriteria-kriteria tertentu untuk
dijadikan sampel penelitian. Adapun kriteria yang dipilih berdasarkan kriteria
inklusi adalah sebagai berikut :
1. Murid SD Negeri di Kelurahan Ciputat yang berusia 6-7 tahun pada saat
penelitian.
2. Orang tua bersedia mengisi kuesioner.
Sedangkan untuk mengambil sampel udara, pada setiap SD peneliti
mengukur konsentrasi SO2 di udara ambien (outdoor) sebanyak 2 titik yaitu
jam 07:00 – 08:00 (sebelum murid masuk kelas) dan jam 10:00 sampai 11:00
(saat murid kelas 1 pulang sekolah) pada titik yang berbeda. Alasan peneliti
mengukur udara outdoor atau di halaman/pekarangan sekolah karena
diasumsikan bahwa disini konsentrasi SO2 lebih tinggi karena dekat dengan
jalan dan murid kelas 1 juga beraktivitas disini.
4.4 Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer yaitu mengambil data dengan
membagikan kuesioner kepada responden dan mengukur konsentrasi SO2 udara
ambien menggunakan impinger dan spektrofotometer.
37
4.5 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada
orang tua murid. Selain itu pengumpulan data juga dilakukan dengan
menggunakan impinger yang bertujuan untuk mengukur konsentrasi SO2 udara
ambien di lingkungan sekolah.
Keterangan :
S1-S5 : Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat yang
terpilih sebagai sampel
K1-K3 : Ruang kelas 1 SDN di Kelurahan Ciputat
Murid kelas K1 : Murid usia 6-7 tahun yang berada di ruang kelas K1
Bagan 4.1 Skema Pengambilan Sampel
Sekolah Dasar Negeri di Kelurahan Ciputat
S1 S2 S5
K1 K2 K1 K2 K3 K1
Simple
random
Simple
random
Murid
kelas K2
Murid
kelas K1
Murid
kelas K1
Simple
random
38
4.1 Instrumen Penelitian
4.1.1 Impinger
Cara Pengukuran menggunakan midget impinger
Alat yang diperlukan untuk sampling udara ambien adalah:
1. Midget Impinger/tabung penyerap
2. Low Volume Air Sampler (LVAS)
3. Pompa penghisap udara (Vaccum Pump)
Bahan yang diperlukan untuk sampling udara ambient adalah:
1. Absorber SO2
2. Aquadest
3. Filter Hidrofobik pori 0,5 µm diameter 110 cm
4. Botol/wadah sample + penutupnya
5. Plastik polietilen/PE
Prosedur:
1. Persiapan
a. Pembuatan larutan penyerap (Absorber) SO2
Larutan penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0,04 M
Larutkan 10,86 gram merkuri (II) klorida (HgCl2) dengan 800
mL air suling ke dalam gelas piala 1000 ml.
Tambahkan berturut-turut 5,96 gram kalium klorida (kCl) dan
0,066 gram EDTA (HOCOCH2)N(CH2COONa)2. 2H2O lalu
39
aduk sampai homogen. Pindahkan ke dalam labu ukur,
encerkan dengan air suling sampai batas tera.
b. Filter yang diperlukan disimpan di dalam desikator selama 24
jam agar mendapatkan kondisi stabil.
c. Filter kosong ditimbang sampai diperoleh berat konstan,
minimal 3 kali penimbangan sehingga diketahui berat filter
sebelum pengambilan sampel, catat berat filter blanko (B1) dan
filter sampel (W1). Masing-masing filter tersebut ditaruh dalam
plastic PE setelah diberi kode sebelum dibawa ke lapangan.
d. Pompa penghisap udara dikalibrasi dengan kecepatan laju aliran
udara 1L/menit dengan menggunakan flow meter. (Flow meter
harus dikalibrasi oleh laboratorium pengkalibrasi)
e. Absorber ditempatkan pada botol sample sebanyak 10 mL dan
diberi kode.
2. Pengambilan sampel
a. Bawa seluruh peralatan dan bahan ke lokasi sampling yang
sudah ditentukan.
b. Hubungkan midget impinger dan LVAS ke pompa hisap udara
dengan menggunakan selang silicon atau Teflon. Pasang
flowmeter pada selang. Pastikan tidak ada kebocoran pada
setiap sambungan selang baik yang berhubungan dengan
LVAS dan midget impinger maupun ke pompa penghisap
udara.
40
c. LVAS diletakkan pada titik pengukuran dengan menggunakan
tripod kira-kira setinggi zona pernafasan manusia.
d. Bilas tabung midget impinger dengan aquades lalu masukkan
larutan absorber SO2 sebanyak 10 ml ke tabung midget
impinger sesuai dengan gas yang akan diuji.
e. Filter sampel dimasukkan ke dalam LVAS holder dengan
menggunakan pinset dan tutup bagian atas holder.
f. Pompa penghisap udara dihidupkan (Power On) dan lakukan
pengambilan sampel dengan kecepatan laju aliran udara (flow
rate 1L/menit)
g. Atur timer selama 1 jam. Lama pengambilan sampel dapat
dilakukan selama beberapa menit hingga satu jam (tergantung
pada kebutuhan, tujuan, dan kondisi di lokasi pengukuran)
h. Setelah 1 jam pompa penghisap udara dimatikan (Power off).
i. Pindahkan masing-masing absorber pada midget impinger ke
botol sampel sesuai dengan kode gas yang diuji. Tutup rapat
botol sampel dan masing-masing diberi label (kode sampel,
titik sampling, lokasi sampling, hari, tanggal). Bilas kembali
dengan aquades masing-masing tabung pada midget impinger.
j. Pindahkan filter sampel yang ada di LVAS ke plastic PE. Beri
label pada wadah tersebut (kode sampel, titik sampling, lokasi
sampling, hari, tanggal, dan tenaga sampler).
k. Setelah selesai pengambilan sampel, debu pada bagian luar
holder dibersihkan untuk menghindari kontaminasi.
41
l. Kemasi peralatan, selanjutnya bawa sampel gas ke
laboratorium untuk dianalisa. Filter dimasukkan ke dalam
desikator selama 24 jam.
Untuk pengukuran SO2 udara ambien outdoor pada setiap sekolah,
impinger diletakkan di halaman sekolah dimana biasanya murid-murid
beraktivitas. Walaupun pengukuran dilakukan pada jam yang berbeda yaitu
jam 07:00 – 08:00 dan jam 10:00 sampai 11:00 tapi penempatan impinger tetap
pada satu titik, supaya bisa terlihat bagaimana konsentrasi SO2 pada waktu
yang berbeda.
4.1.2 Kuesioner
Salah satu instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kuesioner. Jenis kuesioner ini adalah kuesioner tertutup. Kuesioner
tertutup merupakan kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga
responden tinggal memilih pada kolom yang sudah disediakan dengan
memberi tanda silang (Budiarto, 2002).
4.2 Pengolahan data , Analisis Data, dan penyajian data
4.2.1 Pengolahan data
Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan perangkat
lunak SPSS. Tahap pengolaha data yaitu meliputi :
4.2.1.1 Editing
Karena peneliti menggunakan dua instrumen penelitian
maka terdapat perbedaan pada tahapan pengolahan data. Untuk
yang menggunakan kuesioner, pada tahapan editing peneliti
memeriksa kuesioner yang sudah diisi oleh responden, dalam
42
hal ini peneliti memeriksa kelengkapan dan ketepatan dalam
pengisian kuesioner. Sedangkan yang menggunakan impinger
peneliti juga memeriksa apakah pencatatan di lembar hasil
pencatatan sudah tepat atau belum.
4.2.1.2 Coding
Pada kuesioner, data yang sudah dikumpulkan diberi
kode untuk setiap variabel pada kolom yang sudah tersedia,
bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam pemasukan,
pengelompokan dan pengolahan data. Begitu juga dengan
lembar hasil pencatatan, lembar tersebut juga akan diberi
kode.
4.2.1.3 Entry Data
Data dari kuesioner dan lembar hasil pencatatan
kemudian dimasukkan kedalam program komputer untuk
diolah.
4.2.1.4 Cleaning Data
Pada tahap cleaning data peneliti melakukan
pengecekan kembali data yang sudah di entry apakah ada
kesalahan atau tidak. Serta mengetahui data yang hilang,
variasi data, dan konsistensi data.
4.2.2 Analisis Data
4.2.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari
penelitian ini untuk mengetahui deskripsi tiap-tiap variabel
43
dependen dan independen. Dalam analisis ini hanya
menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase tiap variabel.
4.2.2.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan
antara faktor independen dan faktor dependen. Uji yang
digunakan adalah Chi-square yaitu untuk melihat hubungan
antara dua variabel yang dikategorikan. Derajat kemaknaan 5%
dan tingkat keyakinan CI=95%. Jika p ≤ 0,05 artinya ada
hubungan antara variabel independent dan variabel dependent,
sebaliknya jika p > 0,05 artinya tidak ada hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Selain itu,
untuk melihat adanya hubungan konsentrasi SO2 udara ambien
dengan gejala asma peneliti juga menggunakan uji non
parametrik (Mann-Whitney test) karena distribusi data SO2
yang didapatkan tidak normal.
4.7.3 Penyajian Data
Data akan disajikan dalam bentuk narasi, tabulasi dan
diagram.
44
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat
Pada analisis univariat ini ditampilkan distribusi frekuensi dari masing-
masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun variabel
dependen.
5.1.1 Gambaran Gejala Asma
Distribusi frekuensi gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD
Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
5.1 dibawah ini:
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Gejala Asma Pada Murid SD Negeri
Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.1, menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang mempunyai gejala asma sebesar 15,8%, sedangkan yang
tidak mempunyai gejala asma sebesar 84,2%.
No Gejala Asma Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 19 15,8
2 Tidak 101 84,2
3 Total 120 100
45
5.1.2 Persentase Gejala Asma Berdasarkan Sekolah
Persentase gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD Negeri yang
berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 pada setiap sekolah dapat dilihat
pada Gambar 5.1 dibawah ini:
Gambar 5.1. Persentase Gejala Asma Pada SD Negeri
Di Kelurahan Ciputat tahun 2014
Pada Gambar 5.1 terlihat bahwa SD Negeri 10 memiliki persentase gejala
asma tertinggi dibandingkan SD Negeri lainnya yaitu sebesar 33,3%,
sedangkan persentase gejala asma terendah terdapat pada SD Negeri 02
yaitu sebesar 3,4%.
5.1.3 Konsentrasi SO2 Udara Ambien Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat
Berdasarkan Waktu Pengukuran
Konsentrasi SO2 udara ambien di SD Negeri yang berada di kelurahan
Ciputat ditinjau berdasarkan waktu pengukuran dapat dilihat pada gambar 5.2
dibawah ini :
21,4
3,4
20
14,6
33,3
0
5
10
15
20
25
30
35
SD 01 SD 02 SD 05 SD 06 SD 10
%
46
Gambar 5.2. Gambaran Konsentrasi SO2 Pada SD Negeri
Di Kelurahan Ciputat Berdasarkan Waktu Pengukuran Tahun 2014
Dari gambar 5.2 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2
di udara ambien
yang tertinggi terdapat pada SD Negeri 05 Ciputat pada jam 10 yaitu sebanyak
69,2 µg/Nm3. Sedangkan konsentrasi SO2 yang terendah atau tidak terdeteksi
terdapat pada SD Negeri 06 pada jam 10.
5.1.4 Gambaran Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien Pada Setiap
Sekolah
Gambaran konsentrasi rata-rata SO2 di udara ambien pada setiap sekolah
dapat dilihat pada gambar 5.3 dibawah ini:
Gambar 5.3. Konsentrasi Rata- Rata SO2 Di Udara Ambien
Pada SD Negeri Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
57,4
29,2 24,3
57,5
19,4
32 28,3
69,2
0
29,5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
SD 01 SD 02 SD 05 SD 06 SD 10
µg/Nm3
Jam 7 Jam 10
44,7
28,7
46,7
28,7 24,4
0
10
20
30
40
50
SD 01 SD 02 SD 05 SD 06 SD 10
µg/Nm3
SO2
47
Berdasarkan gambar 5.3 menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata SO2 di
udara ambien yang tertinggi terdapat di SD Negeri 05 yaitu sebesar 46,7 µg/Nm3.
Sedangkan konsentrasi rata-rata SO2 udara ambien yang terendah terdapat di SD
Negeri 10 yaitu sebesar 24,4 µg/Nm3.
5.1.5 Uji Normalitas SO2
Berikut adalah hasil uji normalitas data konsentrasi SO2 udara ambien dengan uji
Kolmogor- Smirnov.
Tabel 5.2 Uji Normalitas Data Konsentrasi SO2 Udara Ambien
Mean Min-Max p value
SO2 33,5 24,4 – 46,7 0,000
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa mean konsentrasi SO2 udara
ambien adalah 33,5 µg/Nm3. Nilai konsentrasi SO2 terendah adalah 24,4
µg/Nm3,
Sedangkan yang tertinggi adalah 46,7 µg/Nm3. Hasil Uji Kolmogorov-
Smirnov didapatkan p value 0,000, artinya data konsentrasi SO2 udara ambien
yang ada tidak normal karena < 0,05.
5.1.6 Keterpajanan Asap Rokok
Distribusi frekuensi ketepraparan asap rokok pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada
tabel 5.3 dibawah ini:
48
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Keterpajanan Asap Rokok Pada Murid
SD Negeri Usia 6- 7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang terpajan asap rokok sebesar 16,7%, sedangkan yang tidak
terpajan asap rokok sebesar 83,3%.
5.1.7 Pemakaian Obat Nyamuk
Distribusi frekuensi pemakaian obat nyamuk pada murid usia 6-7
tahun di SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat
dilihat pada tabel 5.4 dibawah ini:
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pemakaian Obat Nyamuk Pada Murid
SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang memakai obat nyamuk sebesar 27,5%. Sedangkan yang
tidak memakai obat nyamuk sebesar 72,5%.
No Terpajan Asap Rokok Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 20 16,7
2 Tidak 100 83,3
3 Total 120 100
No Pemakaian Obat Nyamuk Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 33 27,5
2 Tidak 87 72,5
3 Total 120 100
49
5.1.8 Binatang Peliharaan
Distribusi frekuensi yang mempunyai binatang peliharaan pada murid
usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014
dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Kepemilikan Binatang Peliharaan Pada
Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui jumlah
murid yang mempunyai binatang peliharaan sebesar 17,5%. Sedangkan yang tidak
mempunyai binatang peliharaan sebesar 82,5%.
5.1.9 Perabotan Rumah Tangga Yang Berpotensi Sumber Alergen
Distribusi frekuensi yang mempunyai Perabotan rumah tangga yang
berpotensi sumber alergen pada murid usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada
di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini:
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Kepemilikan Perabotan RumahTanggaYang
Berpotensi Sumber Alergen Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di
Kelurahan Ciputat Tahun 2014
No Binatang Peliharaan Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 21 17,5
2 Tidak 99 82,5
3 Total 120 100
No Perabotan Rumah tangga Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 61 50,8
2 Tidak 59 49,2
3 Total 120 100
50
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui jumlah
murid yang mempunyai Perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber
alergen sebesar 50,8%, sedangkan yang tidak memiliki sebesar 49,2%.
5.1.10 Jenis Kelamin
Distribusi karakteristik murid berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada tabel 5.7 dibawah ini:
Tabel 5.7. Distribusi Jenis Kelamin Pada Murid SD Negeri Usia 6-7
Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 41,7%. Sedangkan yang
berjenis kelamin perempuan sebesar 58,3%.
5.1.11 Riwayat Asma
Distribusi frekuensi riwayat asma pada murid usia 6-7 tahun di SD
Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
5.8 dibawah ini:
No Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
1 Laki-laki 50 41,7
2 Perempuan 70 58,3
3 Total 120 100
51
Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi Riwayat Asma Pada Murid SD Negeri
Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang mempunyai riwayat asma pada keluarga sebesar 10%,
sedangkan yang tidak mempunyai riwayat asma pada keluarga sebesar 90%.
5.1.12 Pemberian ASI Eksklusif
Distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada
tabel 5.9 dibawah ini:
Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Eksklusif Pada Murid SD
NegeriUsia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui jumlah
murid yang mendapatkan ASI eksklusif sebesar 14,2%, sedangkan yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif sebesar 85,8%.
No Riwayat asma Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 12 10
2 Tidak 108 90
3 Total 120 100
No Pemberian ASI Eksklusif Jumlah (n) Persentase (%)
1 Iya 17 14,2
2 Tidak 103 85,8
3 Total 120 100
52
5.2 Analisis Bivariat
Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen adalah uji non parametrik dan uji Chi
square.
5.2.1 Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dengan Gejala Asma
Karena distribusi SO2 tidak normal maka selanjutnya dilakukan uji non
parametrik (2 independent samples) dengan Mann-Whitney test. Hubungan
konsentrasi SO2 udara ambien dengan gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada
tabel 5.10 dibawah ini:
Tabel 5.10. Hubungan Konsentrasi SO2 Udara Ambien dengan
Gejala Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan
Ciputat Tahun 2014
Berdasarkan tabel 5.10 menunjukkan bahwa nilai mean rank pada yang
mempunyai gejala asma adalah 61,50, sedangkan yang tidak mempunyai gejala
asma adalah 60,31. p value adalah 0,878, artinya tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara konsentrasi SO2 udara ambien dengan gejala asma pada SD
Negeri di Kelurahan Ciputat.
Gejala
Asma
Jumlah Mean Rank p value
SO2
Iya 19 61,50 0,878
Tidak 101 60,31
53
5.2.2 Hubungan Keterpajanan Asap Rokok dengan Gejala Asma
Hubungan keterpajanan asap rokok dengan gejala asma pada murid usia 6-7
tahun di SD Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat
pada tabel 5.11 dibawah ini:
Tabel 5.11. Hubungan Keterpajanan Asap Rokok dengan Gejala Asma
Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
Keterpajanan
Asap Rokok
Gejala Asma Total p
value
PR
(95% CI) Iya Tidak
n % n % N %
Iya 7 36,8 13 12,9 20 16,7
0,018 2,917
(1,312-6,485) Tidak 12 63,2 88 87,1 100 83,3
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.11 menunjukkan bahwa pada murid yang terpajan
dengan asap rokok dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 36,8%. Sedangkan
pada murid yang tidak terpajan dengan asap rokok dan mempunyai gejala asma
yaitu sebesar 63,2 %. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p
value adalah 0,018, artinya ada hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan
gejala asma. Nilai prevalence ratio adalah 2,917 (>1), artinya murid yang terpajan
dengan asap rokok berpeluang 2,917 untuk mempunyai gejala asma dibandingkan
dengan murid yang tidak terpajan dengan asap rokok.
5.2.3 Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma
Hubungan pemakaian obat nyamuk dengan gejala asma pada murid usia 6-7
tahun di SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat
pada tabel 5.12 dibawah ini :
54
Tabel 5.12. Hubungan Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma
Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
Pemakaian
obat
nyamuk
Gejala Asma Total p value
Iya Tidak
n % n % N %
Iya 6 31,6 27 26,7 33 27,5
0,664 Tidak 13 68,4 74 73,3 87 72,5
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.12 menunjukkan pada murid yang memakai obat
nyamuk dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 26,3%. Sedangkan pada murid
yang tidak memakai obat nyamuk dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar
68,4%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value adalah
0,664, artinya tidak ada hubungan antara pemakaian obat nyamuk dengan gejala
asma.
5.2.4 Hubungan Binatang Peliharaan dengan Gejala Asma
Hubungan Binatang Peliharaan dengan gejala asma pada murid usia 6-7
tahun di SD Negeri yang berada di kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat
pada tabel 5.13 dibawah ini:
Tabel 5.13. Hubungan Kepemilikan Binatang Peliharaan dengan Gejala
Asma Pada Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
Binatang
Peliharaan
Gejala Asma Total p value
Iya Tidak
n % n % N %
Iya 5 26,3 16 15,8 21 17,5
0,323 Tidak 14 73,7 85 82,2 99 82,5
Total 19 100 101 100 120 100
55
Berdasarkan tabel 5.13 menunjukkan bahwa pada murid yang mempunyai
binatang peliharaan dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 26,3%, sedangkan
pada murid yang tidak mempunyai hewan peliharaan dan mempunyai gejala asma
yaitu sebesar 73,7%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p
value adalah 0,323, artinya tidak ada hubungan antara binatang peliharaan dengan
gejala asma.
5.2.5 Hubungan Perabotan Rumah Tangga yang Berpotensi Sumber Alergen
Dengan Gejala Asma
Hubungan Perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber alergen dengan
gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di SD Negeri yang berada di kelurahan
Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini:
Tabel 5.14. Hubungan Kepemilikan Perabotan Rumah Tangga Yang
Berpotensi Sumber Alergen dengan Gejala Asma Pada Murid SD Negeri
Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Perabotan
Rumah
Tangga
Gejala Asma Total p value
Iya Tidak
n % n % N %
Iya 9 47,7 52 51,5 61 50,8
0,742 Tidak 10 52,6 49 48,5 59 49,2
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.14 menunjukkan bahwa pada murid yang mempunyai
Perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber alergen dan mempunyai gejala
yaitu sebesar 47,7 %. Sedangkan pada murid yang tidak mempunyai Perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen dan mempunyai gejala asma yaitu
sebesar 52,6%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value
56
adalah 0,742, artinya tidak ada hubungan antara Perabotan rumah tangga yang
berpotensi sumber alergen dengan gejala asma.
5.2.6 Hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Asma
Hubungan jenis kelamin dengan gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
5.14 dibawah ini:
Tabel 5.15. Hubungan Jenis Kelamin dengan Gejala Asma Pada Murid
SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Jenis
Kelamin
Gejala Asma Total p value
Iya Tidak
n % n % N %
Laki-laki 10 52,6 40 39,6 50 41,7
0.291 Perempuan 9 47,4 61 60,4 70 58,3
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.15 menunjukkan bahwa pada murid laki-laki sebagian
besar mempunyai gejala asma yaitu sebesar 52,6%, sedangkan pada murid
perempuan hanya sebesar 47,4%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5%
didapatkan p value adalah 0,291, artinya tidak ada hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan gejala asma.
5.2.7 Hubungan Riwayat Asma dengan Gejala Asma
Hubungan riwayat asma dengan gejala asma pada murid usia 6-7 tahun di
SD Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
5.16 dibawah ini:
57
Tabel 5.16. Hubungan Riwayat Asma dengan Gejala Asma Pada Murid
SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat Tahun 2014
Riwayat
Asma
Gejala Asma Total p
value
PR
(95% CI) Iya Tidak
n % n % N %
Iya 5 26,3 7 6,9 12 10
0,023 3,214
(1,403-7,363) Tidak 14 73,7 94 93,1 108 90
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.16 menunjukkan bahwa murid yang mempunyai
riwayat asma dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 26,3%. Sedangkan pada
murid yang tidak mempunyai riwayat asma pada orang tua dan mempunyai
gejala asma yaitu sebesar 73,7%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5%
didapatkan p value adalah 0,023, artinya ada hubungan antara riwayat asma
dengan gejala asma. Nilai prevalence ratio adalah 3,214 (>1), artinya murid
yang mempunyai riwayat asma berpeluang 3,214 kali untuk mempunyai gejala
asma dibandingkan dengan murid yang tidak mempunyai riwayat asma.
5.2.8 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma
Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma pada murid usia
6-7 tahun di SD Negeri yang berada di Kelurahan Ciputat tahun 2014 dapat
dilihat pada tabel 5.17 dibawah ini:
58
Tabel 5.17. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Gejala Asma Pada
Murid SD Negeri Usia 6-7 Tahun Di Kelurahan Ciputat
Tahun 2014
ASI
Eksklusif
Gejala Asma Total p
value
PR
(95% CI) Iya Tidak
n % n % N %
Iya 6 31,6 11 10,9 17 14,2
0,029 2,796
(1,232- 6,349) Tidak 13 68,4 90 89,1 103 85,8
Total 19 100 101 100 120 100
Berdasarkan tabel 5.17 menunjukkan bahwa murid yang mendapat ASI
eksklusif dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 31,6%. Sedangkan pada murid
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar
68,4%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value adalah
0,029, artinya ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma.
Nilai prevalence ratio adalah 2,796 (>1), artinya anak yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif berpeluang 2,796 kali untuk mempunyai gejala asma dibandingkan
dengan anak yang mendapat ASI eksklusif.
58
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan desain cross
sectional, jadi hanya dapat menentukan ada atau tidaknya hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen. Sehingga tidak dapat
digunakan untuk menentukan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara
variabel independen dan variabel dependen.
2. Walaupun dalam penelitian ini didapatkan sejumlah murid yang
mempunyai gejala asma, tetapi gejala asma tersebut belum tentu
disebabkan oleh SO2 udara ambien. Terdapat berbagai faktor lain yang
diduga merupakan faktor risiko terhadap adanya gejala asma seperti
keterpajanan asap rokok, pemakaian obat nyamuk, binatang peliharaan,
perabotan rumah tangga yang berpotensi sumber alergen, jenis kelamin,
riwayat asma, dan pemberian ASI eksklusif.
3. Saat pengukuran konsentrasi SO2, mesin genset yang digunakan beberapa
kali mendadak mati, sehingga dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap
proses penyedotan SO2 di udara ambien oleh vacum.
4. Untuk mengukur konsentrasi SO2 udara ambien outdoor, peneliti
menempatkan impinger dititik tertentu hanya berdasarkan perkiraan
peneliti bahwa ditempat tersebut konsentrasi SO2 tinggi tanpa studi
pendahuluan terlebih dahulu, hal ini dikhawatirkan hasil pengukuran SO2
kurang representatif.
59
6.2 Gejala Asma
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak dan
merupakan penyakit saluran napas kronis yang dapat bersifat ringan, akan tetapi
dapat menetap serta mengganggu aktivitas sehari-hari. Meskipun jarang
menimbulkan kematian, penyakit ini sering menimbulkan masalah dalam
beraktivitas. Asma dapat menimbulkan gangguan emosi seperti cemas dan
depresi serta menurunkan produktivitas seseorang (Putra, 2013).
Berdasarkan tabel 5.1, menunjukkan bahwa dari 120 murid diketahui
jumlah murid yang mempunyai gejala asma sebesar 15,8%, sedangkan yang
tidak mempunyai gejala asma sebesar 84,2%. Jika dilihat berdasarkan persentase
murid yang mempunyai gejala asma, gejala asma yang paling tinggi terdapat
pada SD Negeri 10 yaitu sebesar 33,3% (4 dari 12 murid yang terpilih sebagai
sampel mempunyai gejala asma). Namun jika dilihat dari segi jumlah
perorangan maka yang paling banyak adalah SD Negeri 06 dan SD Negeri 01
yaitu masing-masing sebanyak 6 orang. Sedangkan gejala asma terendah
terdapat di SD Negeri 02 yaitu sebesar 3,4% (1 orang).
Gejala-gejala asma yang ditanyakan kepada responden yaitu berupa sesak
napas, sesak napas disertai bunyi mengi, dada berbunyi mengi, dan batuk
dimalam hari selain dari batuk terkait dengan pilek atau infeksi dada dalam 12
bulan terakhir. Menurut Akib (2002) gejala klinis utama asma anak pada
umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang
batuk kronik dapat merupakan satu satunya gejala klinis yang ditemukan.
Gejala- gejala asma tersebut bisa diakibatkan oleh bronkhospasme, edema
mukosa dan dinding bronkhus serta hipersekresi mukus yang menyebabkan
60
terjadinya penyempitan pada bronkhus dan percabangannya (Muttaqin, 2008).
Namun demikian, gejala asma yang muncul dapat pulih kembali baik secara
spontan maupun dengan pengobatan (Febri & Mahendra, 2010).
Hal yang penting adalah apabila asma pada anak dapat segera di ketahui dari
gejala-gejala yang timbul maka bisa dilakukan langkah preventif untuk
mengurangi frekuensi serangan asma yaitu dengan menghindari faktor-faktor
yang bisa memicu serangan asma.
6.3 Konsentrasi SO2 Di Udara Ambien
Konsentrasi polutan gas di udara selain dipengaruhi oleh jumlah sumber
polusi, juga dipengaruhi oleh parameter meteorologi. Kecepatan angin, suhu
udara dan kelembaban merupakan bagian dari parameter meteorologi yang dapat
mempengaruhi konsentrasi polutan gas di udara (Istantinova, 2012). Jadi,
disamping mengukur konsentrasi SO2 di udara ambien peneliti juga mengukur
suhu dan kelembapan udara karena kedua faktor tersebut akan dimasukkan
kedalam rumus saat menghitung konsentrasi SO2 udara ambien. Nilai suhu dan
kelembaban nantinya sangat berpengaruh terhadap jumlah konsentrasi SO2 udara
ambien yang didapat.
Berdasarkan gambar 5.2 menunjukkan bahwa konsentrasi SO2
di udara
ambien yang tertinggi terdapat pada SD Negeri 05 Ciputat pada jam 10 yaitu
sebanyak 69,2 µg/Nm3. Sedangkan konsentrasi SO2 yang terendah atau tidak
terdeteksi terdapat pada SD Negeri 06 pada jam 10. Namun jika dibandingkan
dengan PP No 41 tahun 1999 tentang baku mutu udara ambien nasional,
konsentrasi SO2 udara ambien SD Negeri 05 Ciputat pada jam 10 masih dibawah
baku mutu (<900 µg/Nm3).
61
Sebenarnya letak SD 05 Ciputat tidak terlalu dekat dengan jalan raya yang
sering dilalui oleh kendaraan bermotor, Namun konsentrasi SO2 yang tinggi
pada udara ambien di SD 05 Ciputat diperkirakan karena pada jam tersebut
sebagian besar dari wali murid menjemput anaknya dengan menggunakan
sepeda motor dan sepeda motornya diperbolehkan untuk masuk ke halaman
sekolah. Namun sebaliknya, konsentrasi SO2 udara ambien tidak terdeteksi di
SD Negeri 06 pada jam 10. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap
tidak terdeteksi konsentrasi SO2 udara ambien pada jam 10 di SD 06 antara lain
yaitu walaupun SD tersebut terletak disamping jalan raya tetapi pada jam 10
kepadatan arus lalu lintas didepan SD tersebut sudah sangat berkurang
dibandingkan jam 7 pagi. Selain itu Di SD tersebut kendaraan bermotor wali
murid tidak diperbolehkan untuk masuk ke halaman sekolah kecuali kendaraan
bermotor milik guru.
Jika dirata-ratakan, konsentrasi rata-rata SO2 di udara ambien yang
tertinggi terdapat di SD Negeri 05 yaitu sebesar 46,7 µg/Nm3 dan konsentrasi
rata-rata SO2 udara ambien yang terendah terdapat di SD Negeri 10 yaitu sebesar
24,4 µg/Nm3. Konsentrasi rata-rata SO2 udara ambien di SD Negeri 10 paling
rendah dibandingkan SD yang lain kemungkinan disebabkan pada waktu
pengukuran dari pengamatan peneliti lalu lintas di jalan depan SD tersebut ramai
lancar dan tidak adanya kemacetan. Selain itu mayoritas wali murid yang
mengantar jemput anaknya juga tidak membawa masuk kendaraan ke halaman
sekolah. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusminingrum
(2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara
peningkatan konsentrasi CO dan SOx dengan volume kendaraan.
62
6.4 Sulfur dioksida (SO2) Udara Ambien Dengan Gejala Asma
Kelurahan Ciputat merupakan salah satu kelurahan yang berada di
wilayah Kota Tangerang Selatan, yang merupakan salah satu kota yang berada
disekitar Jakarta dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi. Dengan kepadatan
lalu lintas yang tinggi diperkirakan konsentrasi gas pencemar yang berasal dari
kendaraan bermotor temasuk SO2 juga tinggi.
Hasil uji statistik non parametrik didapatkan p value adalah 0,878,
artinya tidak ada hubungan antara konsentrasi SO2 udara ambien di sekolah
dengan gejala asma. Hasil ini tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan
oleh Andersson (2006) yang menyatakan bahwa pajanan yang berulang terhadap
gas iritan seperti SO2 menyebabkan peningkatan kejadian asma tiga kali lipat.
Menurut Bernstein (2004) pada individu yang mempunyai penyakit asma
apabila terpajan dengn SO2 pada konsentrasi yang rendah (0,25 ppm) akan
meningkatkan gejala asma dan penurunan yang lebih besar pada fungsi paru
dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai asma.
Namun demikian hasil ini selaras dengan penelitian Hwang (2005) dengan
judul “Traffic Related Air Pollution As A Determinant of Asthma Among
Taiwanese School Children” yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
kejadian asma pada anak-anak dengan SO2, menurut Hwang, hal tersebut
dikarenakan tingkat pembakaran yang menghasilkan polusi udara seperti SO2 di
Taiwan jauh lebih rendah dibandingkan tingkat pembakaran yang dilaporkan
dalam studi di Republik Ceko, Polandia dan Jerman Timur.
63
Dalam penelitian ini konsentrasi rata-rata SO2 di udara ambien yang
terdeteksi pada SD Negeri di kelurahan Ciputat masih jauh dibawah baku mutu
yang ditetapkan, hal ini juga diperkirakan merupakan faktor yang menyebabkan
tidak ada hubungan antara SO2 dengan gejala asma. Disisi lain walaupun
konsentrasi SO2 pada setiap SD masih dibawah baku mutu yang ditetapakan oleh
pemerintah, namun apabila murid sering beraktivitas di tempat tersebut dan
terpajan dengan SO2 dalam jangka waktu yang lama, dikhawatirkan juga akan
berdampak pada timbulnya gejala asma.
6.5 Keterpajanan Asap Rokok Dengan Gejala Asma
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh asap rokok tidak hanya terjadi
pada perokok aktif tetapi juga bisa terjadi pada perokok pasif. Dalam hal ini
anak-anak adalah perokok pasif yang terpajan oleh asap rokok dari lingkungan
tempat dimana mereka tinggal dan beraktivitas (Environmental Tobacco Smoke).
Hal ini tidak bisa dianggap biasa karena dalam beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa justru perokok pasif yang mengalami risiko lebih besar
daripada perokok aktif. Dalam penelitian ini murid yang dikategorikan terpajan
asap rokok adalah murid yang mempunyai anggota keluarga yang merokok dan
merokok dilakukan didalam rumah.
Hasil analisis hubungan antara keterpajanan asap rokok dengan gejala
asma pada α 5% didapatkan p value adalah 0,018 artinya ada hubungan yang
bermakna antara keterpajanan asap rokok dengan gejala asma pada murid usia 6-
7 tahun SD Negeri di Kelurahan Ciputat. Nilai prevalence ratio keterpajanan
asap rokok adalah 2,917, artinya anak yang terpajan dengan asap rokok
64
berpeluang 2,917 kali untuk mempunyai gejala asma dibandingkan dengan anak
yang tidak terpajan dengan asap rokok.
Hasil ini selaras dengan penelitian Hari dkk (2010) yang menyatakan
bahwa secara statistik keterpajanan asap rokok mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian asma pada anak. Anak yang terpajan asap rokok akan
meningkatkan risiko kejadian asma sebesar 1,87 kali lebih besar dibandingkan
dengan usia yang sama yang tidak terpajan asap rokok.
Menurut U.S. Department of Health and Human Services (2006), ETS
mempunyai efek yang sengat berbahaya bagi kesehatan pernapasan anak-anak
dan berhubungan untuk meningkatkan risiko berbagai penyakit yang
berhubungan dengan sistem pernapasan salah satunya menyebabkan
perkembangan penyakit asma. Kebanyakan dampak kesehatan yang diakibatkan
oleh keterpajanan asap rokok terlihat pada anak-anak karena mereka lebih rentan
terhadap dampak tersebut. Anak-anak yang menderita penyakit asma dan juga
mempunyai orang tua perokok mempunyai gejala yang lebih berat dan ekserbasi
yang lebih sering. Menurut EPA (2011) Pajanan ETS juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk munculnya kasus-kasus asma yang baru pada anak-anak
dimana yang sebelumnya mereka tidak menunjukkan gejala-gejala asma.
Rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia. Lima puluh sembilan
bahan kimia diantaranya memiliki racun (toksik), karsinogenik, dan bersifat
mutagenik. Kandungan racun dalam rokok bisa terdapat dari asap yang dihisap
langsung saat merokok (mainstream smoke) maupun yang keluar dari ujung
rokok (sidestream smoke). Keduanya sama-sama mengandung bahan kimia
65
beracun seperti nikotin, tar, nitrous oxide, formaldehyde, acrolein, formic acid,
phenol, dan carbon monoxida. Bahan-bahan tersebut apabila berinteraksi dan
berakumulasi secara kronis dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
penyakit kanker (paru, bibir, mulut, kerongkongan dan usus), penyakit jantung
dan penyakit paru kronis (Cahyono, 2008).
6.6 Pemakaian Obat Nyamuk dengan Gejala Asma
Semua insektisida adalah toksik, yang berbeda hanya derajat toksisitasnya.
Pajanan terhadap insektisida yang berlebihan, dalam jangka panjang dapat
berakibat buruk pada kesehatan. Pada rumah tangga, insektisida yang digunakan
secara terus menerus, dalam ruangan tertutup memungkinkan terjadinya
akumulasi. Beberapa jenis insektisida dapat menimbulkan efek toksik baik lokal
maupun sistemik jika bersentuhan dengan tubuh (Raini, 2009).
Anti nyamuk merupakan salah satu insektisida rumah tangga yang sering
digunakan dan mengandung senyawa kimia berbahaya bagi kesehatan manusia,
termasuk didalamnya obat nyamuk bakar dan obat nyamuk semprot (cair).
Kandungan bahan kimia berbahaya dalam obat anti nyamuk diantaranya
dichlorvos, propoxur, pyrethroid dan diethyltoluamide serta bahan kombinasi
dari keempat bahan kimia tersebut. Pyrethroid dikelompokkan oleh WHO dalam
racun kelas menengah karena efeknya mampu mengiritasi mata dan kulit yang
sensitif serta menyebabkan penyakit pernafasan seperti penyakit asma (Aryani
dkk, 2011).
Tanda-tanda keracunan bahan aktif pyrethroid yang terjadi bila terhirup
oleh hidung menyebabkan iritasi saluran nafas atas seperti rhinitis dan radang
66
kerongkongan. Bahan ini juga bisa menjadi agen pencetus alergi bagi yang
sensitif bila menghirup secara berulang, menyebabkan bersin, batuk, nafas pendek
dan sakit di bagian dada pada anak-anak yang mengidap asma dan alergi (Wigati
& Susanti, 2012). Terlepas dari kenyataan bahwa asap obat nyamuk mungkin
memiliki banyak potensi efek yang merugikan kesehatan, sebagian besar populasi
di negara berkembang masih menggunakan obat nyamuk bakar dalam kehidupan
sehari-hari seperti di Asia, Afrika, dan Amerika selatan (Liu et al, 2003). Dalam
penelitian ini jenis obat nyamuk yang ditanyakan kepada responden adalah obat
nyamuk bakar dan obat nyamuk semprot. Hasilnya hanya sebagian kecil murid
yang menggunakan obat nyamuk bakar dan atau obat nyamuk semprot
dirumahnya yaitu sebesar 27,5 %.
Hasil penelitian ini menunjukkan pada murid yang memakai obat nyamuk
dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 26,3%. Sedangkan pada murid yang
tidak memakai obat nyamuk dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 68,4%.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value adalah 0,664,
artinya tidak ada hubungan antara pemakaian obat nyamuk dengan gejala asma.
Hasil ini tidak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
Karunasekera et al (2004) yang menyatakan bahwa pada anak-anak usia 5-11
tahun yang menggunakan obat nyamuk bakar mempunyai peluang 1,5 kali lebih
besar untuk terjadinya asma dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
menggunakan obat nyamuk bakar pada usia yang sama, dengan p valuenya
adalah <0,001. Kemungkinan hal ini disebabkan jenis obat nyamuk yang titeliti
oleh Karunasekera hanya obat nyamuk bakar, sedangkan dalam penelitian ini ada
dua jenis obat nyamuk yang diteliti yaitu obat nyamuk bakar dan obat nyamuk
67
semprot. Namun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Laisina (2007), dalam penelitiannya didapatkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara pemakaian obat nyamuk (obat nyamuk semprot,
obat nyamuk bakar, obat nyamuk listrik dan oles) dengan kejadian asma pada
anak SD.
6.7 Binatang Peliharaan dengan Gejala Asma
Kepemilikan binatang peliharaan adalah salah satu faktor yang diduga
berhubungan dengan kejadian asma, dalam penelitian ini yang ditanyakan
kepada responden adalah kepemilikan kucing, anjing dan burung di rumah.
Protein dalam serpihan kulit hewan peliharaan, urin, feses, air liur dan rambut
dapat memicu asma (EPA, 2014). Orang yang alergi terhadap hewan peliharaan
memiliki sistem kekebalan tubuh yang sangat peka dan bereaksi terhadap protein
berbahaya yang terdapat pada bulu hewan peliharaan yang jatuh, air liur atau urin.
Alergen tersebut tidak akan kehilangan kekuatan untuk waktu yang lama ,
kadang-kadang sampai beberapa bulan dan menempel pada dinding, pakaian dan
permukaan lainnya (AAFA, 2005).
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa pada murid yang mempunyai hewan
peliharaan dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar 26,3%, sedangkan pada
murid yang tidak mempunyai hewan peliharaan dan mempunyai gejala asma yaitu
sebesar 73,7%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value
adalah 0,323, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara binatang
peliharaan dengan gejala asma.
68
Selaras dengan penelitian Habibi (2005) yang menyatakan bahwa adanya
binatang peliharaan seperti kucing dan anjing tidak berhubungan dengan
penyakit asma pada anak usia 6-7 tahun (p value 0,293). Namun hasil ini
bertolak belakang dengan penelitian Purnomo (2008) dengan judul Faktor
Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak
yang menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara kepemilikan binatang
piaraan (anjing, kucing dan burung) dengan kejadian asma bronkial pada anak (p
value 0,000). Dalam penelitiannya, Purnomo tidak hanya meneliti ada dan
tidaknya binatang piaraan di rumah, tetapi juga melakukan indepth interview
dengan orang tua anak untuk mengetahui bagaimana perilaku keseharian anak
terhadap binatang piaraan.
Protein fel d I yang berukuran 20-25 kD dari kucing dan protein Can f I
dan Can f II yang berukuran 19-27 kD dari anjing adalah alergen yang biasanya
menyebabkan alergi. Pajanan secara langsung atau secara tidak langsung terhadap
fel d I dan alergen kucing lainnya pada individu yang sensitiv akan menyebabkan
asma. Protein Can f I dibentuk oleh jaringan epitel lidah dan Can f II dihasilkan
oleh lidah dan kelenjar parotis. Sedangkan air liur, bulu, dan serpihan kulit adalah
merupakan reservoir penting pada alergen anjing (Butt, 2012)
Ketika suatu alergen pertama kali masuk kedalam tubuh, termasuk yang
berasal dari binatang piaraan, ia akan memicu tubuh untuk membuat antibodi
yang disebut imunoglobin E (IgE). IgE ini kemudian akan terikat pada sel mast
yang banyak tersebar dibagian tubuh kita terutama pada tempat-tempat yang
sering kontak dengan lingkungan seperti selaput lendir hidung, saluran
napas/bronkus, kulit, mata dan mukosa usus. Sel mast adalah salah satu sel
69
tubuh manusia yang memproduksi dan bisa melepaskan suatu senyawa yang
disebut histamin. Pada pajanan alergen berikutnya, alergen akan mengikat IgE
yang yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan alergen dengan IgE yang
menempel di sel mast ini lalu memicu pelepasan histamin, dan histamin inilah
yang kemudian bekerja menyebabkan berbagai reaksi tubuh seperti gatal,
bengkak, batuk dan sesak napas pada penderita asma (Ikawati, 2010).
6.8 Perabotan Rumah Tangga dengan Gejala Asma
Tungau Debu Rumah (TDR) dapat menjadi ancaman serius pada
sebagian orang yang mengidap penyakit asma. Tungau debu rumah terdapat
ditempat-tempat atau benda yang banyak mengandung debu terutama jika
tempat tersebut yang hangat dan lembap, biasanya TDR berada pada berbagai
bahan atau perabotan didalam rumah seperti serat tekstil, kapuk (bahan pengisi
bantal, kasur, sofa, kursi dan boneka), gorden, terutama yang terbuat dari
beludru, selimut bulu-bulu dan karpet (Vitahealth, 2006). Perabotan rumah
tangga seperti yang disebutkan diatas jika tidak dibersihkan secara rutin maka
debu akan mengendap atau menempel di permukaan-permukaannya sehingga
akan berpengaruh terhadap banyak sedikitnya debu di rumah. Disamping itu, letak
rumah diperkotaan seperti di Kelurahan Ciputat yang saling berdekatan satu sama
lain membuat jumlah sinar matahari yang masuk kedalam rumah terbatas, hal ini
akan berpengaruh terhadap kelembapan dan suhu yang ada didalam rumah karena
huhu dan kelembapan merupakan salah faktor yang berperan penting terhadap
eksistensi TDR.
Tabel 5.14 menunjukkan bahwa pada murid yang mempunyai perabotan
rumah tangga yang berpotensi sumber alergen dan mempunyai gejala yaitu
70
sebesar 47,7 %. Sedangkan pada murid yang tidak mempunyai perabotan rumah
tangga yang berpotensi sumber alergen dan mempunyai gejala asma yaitu sebesar
52,6%. Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value adalah
0,742, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara Perabotan rumah tangga
yang berpotensi sumber alergen dengan gejala asma.
Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian Darmin (2013) yang
menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara bahan perabot rumah
tangga yang digunakan dengan kejadian Asma bronkiale dengan nilai p value =
0,000. Sedangkan penelitian Al Lukman (2012) yang menyatakan Berdasarkan
hasil uji statistik Mann-Whitney didapatkan nilai p value 0,145 yang berarti
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakana antara desain perabot
rumah tangga yang digunakan dengan kejadian asma. Hal tersebut dipengaruhi
oleh kebiasaan membersihkan dan menjemur perabotan rumah tangga yang
berpotensi sumber alergen secara berkala.
Antigen yang berasal dari feses TDR masuk ke tubuh manusia melalui
inhalasi. Secara klinis yang berperan pada penderita alergi, seperti asma, rinitis
alergika dan dermatitis atopik adalah alergen kelompok I dan Kelompok II.
Kelompok I yaitu Dermatophagoides pteronyssinus (Der p I) dan
Dermatophagoides farinae (Der f I), sedangkan kelompok II terdiri dari Der p II
dan Der f II (Sungkar, 2004). Menurut Sundaru (2006), Nilai ambang batas Der
p1, Der f1 atau kombinasi dari Der P1 dan Der f1 adalah 2 µg/g debu.
Konsentrasi TDR lebih besar dari 2 µg/g debu diperkirakan akan meningkatkan
risiko sensitifitas. Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya menanyakan
kepemilikan perabotan rumah tangga yang berpotensi menjadi tempat
71
berkembangbiaknya TDR seperti kasur kapuk, bantal kapuk dan karpet berbulu
atau salah satu dari tiga item tersebut, tanpa memeriksa konsentrasi TDR pada
perabotan rumah tangga.
6.9 Jenis Kelamin dengan Gejala Asma
Hubungan jenis kelamin dengan perkembangan dan prevalensi suatu
penyakit telah lama diteliti, baik itu penyakit infeksi maupun penyakit non
infeksi. Asma adalah salah satu dari penyakit infeksi yang sudah banyak
dilakukan penelitian untuk melihat apakah ada hubungan antara faktor jenis
kelamin dengan prevalensi asma.
Menurut Almqvist et al (2007) pada masa kanak-kanak, pada anak laki-
laki secara konsisten ditemukan mengalami peningkatan risiko asma, hal ini
disebabkan oleh perkembangan paru-paru/ ukuran jalan napas dan perbedaan
imunologi. Anak laki-laki dilahirkan dengan kapasitas paru yang lebih kecil,
sehingga menyebabkan kadar aliran udara kedalam paru lebih rendah dan berisiko
lebih besar untuk menderita infeksi pernapasan diawal masa anak-anak
(Rachelefsky, 2006). Tetapi tidak akan ada perbedaan dalam tingkat keparahan
gejala asma pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan di masa kanak-
kanak. Disamping itu hormon seks mungkin berperan penting dalam
perkembangan dan dampak dari respon imun alergi dan asma pada khususnya
(Almqvist et al, 2007).
Jika dilihat dari hiperresponsivitas jalan napas, hiperresponsivitas jalan
napas lebih sering terjadi dan lebih parah pada laki-laki pada masa kanak-kanak.
Namun, hiperresponsivitas jalan napas mengalami peningkatan pada wanita
72
pada masa remaja (Subbarao, 2009). Beberapa faktor tersebutlah yang diduga
mengapa prevalensi asma pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
pada masa kanak-kanak.
Berdasarkan hasil uji statistik dengan α 5% didapatkan p value adalah
0,291, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
gejala asma. Hasil ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Afdal
(2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan asma pada murid SD usia 6-7 tahun di Kota Padang (p value
0,811). Jika dilihat perbandingan jumlah antara murid laki-laki dan murid
perempuan yang mempunyai gejala asma perbedaannya tidak terlalu signifikan,
namun demikian gejala asma lebih banyak terdapat pada murid laki-laki yaitu
sebesar 52,6%, sedangkan pada murid perempuan hanya sebesar 47,4%. Hal ini
mungkin dikarenakan jumlah murid yang terpilih menjadi sampel penelitian
lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Jadi, peluang murid perempuan
yang mempunyai gejala asma untuk terpilih lebih besar dibandingkan murid
laki-laki yang juga mempunyai gejala asma.
6.10 Riwayat Asma Dengan Gejala Asma
Asma adalah penyakit yang bisa disebabkan oleh faktor genetik dan
lingkungan. Seorang anak yang menderita asma mewarisi gen penyakit asma
dari salah satu atau kedua orang tuanya. Jika salah satu orang tua (terutama ibu)
menderita asma, risiko anak untuk menderita asma akan meningkat 40%.
Namun, jika kedua orangtua menderita asma risikonya akan menigkat 60%
(Rachelefsky, 2006). Asma terjadi pada individu tertentu yang merespons secara
73
agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah
satu jenis gangguan hiperresponsif ini adalah riwayat asma dalam keluarga, yang
mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik (Corwin, 2009).
Hasil analisis hubungan antara riwayat asma dengan gejala asma pada α
5% didapatkan p value adalah 0,023, artinya ada hubungan yang bermakna
antara riwayat asma dengan gejala asma. Nilai prevalence ratio riwayat asma
adalah 3,214, artinya anak yang mempunyai riwayat asma pada orang tuanya
berpeluang 3,214 kali untuk mempunyai gejala asma dibandingkan dengan anak
yang tidak mempunyai riwayat asma pada orang tua.
Telah dibuktikan dalam berbagai penelitian bahwa orang tua asma
merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian asma pada anaknya. Antara lain
adalah hasil penelitian penelitian Iskandar (2011) dengah judul Faktor-Faktor
Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Pada Anak Di Kota
Semarang, menyatakan bahwa riwayat asma keluarga terbukti sebagai faktor
resiko kejadian asma pada anak dengan nilai OR= 0,037, artinya anak yang
mempunyai riwayat asma pada keluarga mempunyai peluang 0,037 kali terkena
asma dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat asma keluarga.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kejadian asma pada anak yang orang
tuanya memiliki riwayat asma adalah 72,7 % dan terdapat hubungan yang
bermakna antara riwayat asma pada orang tua dengan kejadian asma pada anak ( P
value < 0,001) (Laisina, 2007).
6.11 ASI Eksklusif Dengan Gejala Asma
ASI adalah makanan terbaik dan paling sempurna bagi bayi karena
didalamnya terkandung hampir semua zat gizi yang dibutuhkan. ASI tidak hanya
74
memberi manfaat untuk bulan-bulan pertama kehidupan bayi tetapi juga akan
memberi dampak positif bagi bayi sampai ke masa dewasanya (Damayanti,
2010). Namun, jumlah murid yang pernah mendapat ASI eksklusif sangat
rendah yaitu hanya 14,2%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kelurahan
Ciputat merupakan daerah urban (perkotaan). Laporan Riskesdas tahun 2010
juga menyebutkan bahwa pemberian ASI eksklusif lebih tinggi di daerah
perdesaan dibanding daerah perkotaan.
Faktor gaya hidup ibu di daerah urban diduga juga akan berpengaruh
terhadap pemberian ASI eksklusif kepada anaknya. Seperti faktor pekerjaan
yang dapat membatasi ibu untuk memberikan ASI eksklusif sehingga ibu lebih
memilih untuk memberikan susu formula.
Hasil analisis hubungan antara ASI eksklusif dengan gejala asma
menunjukkan pada α 5% didapatkan p value 0,029, artinya ada hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan gejala asma. Nilai prevalence ratio ASI
eksklusif adalah 2,796, artinya anak yang tidak mendapat ASI eksklusif
berpeluang 2,796 kali untuk mempunyai gejala asma dibandingkan dengan anak
yang mendapatkan ASI eksklusif.
Hasil ini selaras dengan penelitian yang Van der voort (2012) dengan
judul “Duration and exclusiveness of breastfeeding and childhood asthma-
related symptoms” yang menyatakan bahwa pemberian ASI yang tidak eksklusif
berhubungan dengan peningkatan risiko gejala asma pada anak-anak pra
sekolah. Dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI selama enam
bulan, anak-anak yang tidak mendapatkan ASI mengalami peningkatan risiko
mengi (OR 1,44), sesak napas (OR 1,26), batuk kering (OR 1,25) dan berdahak
75
terus menerus (OR 1,57) dalam empat tahun pertama. Hasil penelitian lain yaitu
di Australia Barat yang melakukan pengamatan pada 2,602 anak untuk
mempelajari timbulnya asma dan kesulitan bernapas pada anak-anak di usia 6
tahun, juga menunjukkan anak yang diwaktu bayi tidak diberikan ASI
meningkatkan risiko asma sebesar 40%, dibandingkan dengan anak yang
diwaktu bayi diberikan ASI secara eksklusif selama 4 bulan (Oddy et al dalam
Widyastuti, 2009).
Salah satu kandungan ASI yang sangat fenomenal adalah kolostrum,
manfaat kolostrum diantaranya adalah mengandung zat kekebalan tubuh. ASI
eksklusif dapat menurunkan angka kejadian alergi, terganggunya pernapasan,
diare dan obesitas pada anak (Yuliarti, 2010). Sebagian dari penderita asma
mengalami ekserbasi asma karena disebabkan sensitifitas terhadap alergen dari
faktor pencetus seperti asma seperti bulu kucing atau anjing, polusi udara, dan
tungau debu rumah. Maka, jika pada waktu bayi anak tersebut pernah
mendapatkan ASI eksklusif kemungkinan untuk terjadinya sensitivitas terhadap
alergi akan menurun.
74
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri di
Kelurahan Ciputat untuk mengetahui hubungan SO2 dengan gejala asma, maka
dapat disimpulkan yaitu:
1. Jumlah murid SD negeri usia 6-7 tahun di kelurahan Ciputat yang
mempunyai gejala asma adalah sebesar 15,8%.
2. Konsentrasi SO2 udara ambien tertinggi terdapat di SD Negeri 05 Ciputat
yaitu 46,7 µg/Nm3, sedangakan konsentrasi terendah terdapat di SD
Negeri 10 Ciputat yaitu 24,4 µg/Nm3.
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsentrasi SO2 udara
ambien dengan gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di
Kelurahan Ciputat (p value 0,878).
4. Terdapat hubungan yang bermakna antara keterpajanan asap rokok dengan
gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat (p
value 0,018).
5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian obat nyamuk
dengan gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat (p value 0,664).
6. Tidak terdapat hubungan yang bermakna kepemilikan binatang peliharaan
dengan gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat (p value 0,323).
75
7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepemilikan perabotan
rumah tangga pencetus gejala asma dengan gejala asma pada murid SD
negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat (p value 0,742).
8. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat (p
value 0,291).
9. Terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat asma dengan gejala
asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan Ciputat (p value
0,023).
10. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif
dengan gejala asma pada murid SD negeri usia 6-7 tahun di Kelurahan
Ciputat (p value 0,029).
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Pemerintah
Bagi instansi terkait diharapkan dapat memberikan penyuluhan mengenai
berbagai macam hal yang dapat berperan sebagai faktor risiko untuk
terjadinya gejala asma.
7.2.2 Bagi Masyarakat
1. Untuk mengurangi konsentrasi SO2 udara ambien di lingkungan sekolah
sebaiknya volume dan frekuensi kendaraan bermotor yang masuk ke
halaman sekolah dibatasi.
76
2. Bagi anggota keluarga yang merokok sebaiknya berhenti untuk merokok
agar anak-anak juga terhindar dari damapak negatif yang disebabkan oleh
asap rokok salah satunya yaitu gejala asma.
3. Sebaiknya ibu-ibu memberikan ASI eksklusif kepada bayinya untuk
mengurang risiko terjadinya gejala asma pada masa anak-anak.
7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
1. Sebaiknya juga dilakukan pengukuran konsentrasi SO2 udara ambien
indoor, karena kemungkinan besar konsentrasi SO2 outdoor dan indoor
berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu dan
kelembapan dan kecepatan angin.
2. Sebaiknya untuk peneliti selanjutnya melakukan penelitian tentang
hubungan konsentrasi SO2 udara ambien dengan kejadian asma, untuk
memperoleh data yang akurat apakah seseorang mengidap asma atau tidak
lebih baik dengan diagnosis dokter.
76
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2012. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:
Rajawali Pers.
Afdal, Y., Finny dkk. 2012. Faktor Risiko Asma Pada Murid Sekolah Dasar Usia
6-7 Tahun di Kota Padang. Jurnal kesehatan andalas, 1 (3)
Agustini, I.T., Sudarno dkk. 2014. Analisa Hubungan Jumlah Kendaraan Dan
Faktor Meteorologi (Suhu, Kelembaban Udara Dan Kecepatan Angin)
Terhadap Peningkatan Konsentrasi So2 Pada Persimpangan Jalan Kota
Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan Vol 3, No 2 (2014) UNDIP
Akib, A. 2002. Asma Pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2, September 2002: 78
- 82
Al Lukman, V. F. 2012. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan
Kejadian Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Bulu Lor Kecamatan
Semarang Utara. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Tahun
2012, 493 – 503
Almqvist, C., Worm, M et al. 2007. Impact Of Gender On Asthma In Childhood
And Adolescence: A GA2LEN Review. published online: 5 SEP 2007.
DOI: 10.1111/j.1398-9995.2007.01524.x
Andersson, E., Knutsson, A et al. 2006. Incidence Of Asthma Among Workers
Exposed To Sulphur Dioxide And Other Irritant Gases. Eur Respir J 2006;
27: 720–725
Aryani, R., Kurniati, R dkk. 2011. Pengaruh Pemakaian Obat Anti Nyamuk
Elektrik Berbahan Aktif D-Allethrin Terhadap Sel Darah Mencit (Mus
musculus L). Boprospek, volume 8. No II, september 2011. ISSN 1829-
7226
Asthma And Allergy Foundation Of America (AAFA). 2005. Pet Allergies.
Diakses dari https://www.aafa.org/display.cfm?id=9&sub=24&cont=347
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pertahanan RI. 2012. Dampak
dan Upaya Penamggulangan Pencemaran Udara. Diakes dari
http://www.balitbang.kemhan.go.id/?q=content/dampak-dan-upaya-
penanggulangan-pencemaran-udara
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. 2009. Diakses dari
http://www.bplhdjabar.go.id/index.php/bidang-pengendalian/subid-
pemantauan-pencemaran/94-pencemaran-udara-dari-sektor-transportasi
Badan Pusat Satistik Provinsi Banten. 2011. Diakses dari
http://banten.bps.go.id/trans2.php
77
Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. 2013. Diakses dari
http://tangselkota.bps.go.id/images/kcda_ciputat_2013/index.html
Bernstein JA., Alexis N et al.2004. Effects of Air Pollution. J Allergy Clin
Immunol. 2004;114:1116-
Brashers,V.L. 2003. Aplikasi klinis patofisiologi “pemeriksaan & manajemen”.
Alih bahasa H.Y. Kuncara. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8, Vol
1. Alih bahasa oleh Agung Waluyo dkk. Jakarta: EGC
Budiarto, E. 2002. Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: EGC
Butt, A., Rashid, D et al. 2012. Do Hypoallergenic Cats And Dogs Exist ?. Ann
Allergy Asthma Immunol 108 (2012) 74–76.
Cahyono, S.B. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta : Kanisius
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Alih bahasa, Nike Bhudi
Subekti, edisi 3, Jakarta: EGC
Damayanti, D. 2010. Asyiknya minum ASI. Jakarta: Gramedia
Danim, S. 2003. Riset Keperawatan: Sejarah Dan Metodologi. Jakarta: EGC
Darmin, Y. 2013. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dan Allergen
Dengan Kejadian Asthma Bronchiale Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tamalate Kota Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.
Depkes RI. 2012. Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan”Penyakit Tidak
Menular”. ISSN 2088-270X. Semester II 2012.
Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis Lingkungan Dan Peningkatan Kapasitas
Kementrian Lingkungan Hidup. 2011. Laporan Kegiatan Pengkajian Baku
Mutu Kualitas Udara Ambien Lampiran PP No.41 tahun 1999.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan tahun 2012
Djojodibroto, D. 2009. Respirology (respiratory medicine). Jakarta: EGC
Dong, G., Chen, T et al. 2011. Differences and Effect of Air Pollution on Asthma
in Children with and without Allergic Predisposition: Northeast Chinese
Children Health Study. DOI: 10.1371/journal.pone.0022470
Environmental Protection Agency (EPA). 2011. Health Effects of Exposure to
Secondhand Smoke.
78
Environtmental Protection Agency (EPA). 2013. diakses dari
http://www.epa.gov/air/sulfurdioxide/health.html
EPA. 2013. Questions About Your Community: Indoor Air
Febri,A.B & Mahendra, Z. 2010. Smart Parents”pandai mengatur menu &
tanggap saat anak sakit”. Jakarta : Gagas Media
Fuhaid, N., Sahbana, M.A dkk. 2011. Pengaruh Medan Elektromagnet Terhadap
Konsumsi Bahan Bakar Dan Emisi Gas Buang Pada Motor Bensin.
PROTON, Vol. 3 No. 1/Hal. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)
Gibney, M.J., Margetts, B.M et al. 2005. Gizi Kesehatan Masyarakat. Alih bahasa
oleh Andry Hartono. Jakarta: EGC.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2010. Global Strategy For Asthma
Management And Prevention
Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. Global Strategy For Asthma
Management And Prevention.
Habibi, D. 2005. Penentuan Faktor Risiko Yang Mempengaruhi Asma Pada Anak
Usia 6-7 Tahun Di Semarang Dengan Analisis Regresi Logistik. Skripsi:
Institut Pertanian Bogor.
Hari, A.E., Roni, N dkk. 2010. Paparan Asap Dalam Rumah, Hewan Peliharaan,
Lingkungan Tempat Tinggal Dan Sosial Ekonomi Dengan Kejadian Asma
Bronkial Pada Anak. Vol. 26, No. 3, September 2010.
Herdi. 2011. Gambaran Faktor Pencetus Serangan Asma Pada Pasien Asma Di
Poliklinik Paru Dan Bangsal Paru Rsu dr. Soedarso Pontianak. Skripsi :
Universitas Tanjung Pura.
Hidayat, A.A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Kebidanan. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika
Husaini, A. 2006. Tobat Merokok : rahasia & cara empatik berhenti merokok.
Alih bahasa: Sari Nulita. Jakarta: Pustaka Iman
Hwang, B-F., Lee, Y-L et al. 2005. Traffic Related Air Pollution As A
Determinant Of Asthma Among Taiwanese School Children. Thorax
2005;60:467–473.
Ikawati, Z. 2010. Resep Hidup Sehat. Yogyakarta : Kanisius
International Agency for Research on Cancer (IARC). 2004. Second-Hand
Tobacco Smoke. Diakses dari
http://monographs.iarc.fr/ENG/Monographs/vol100E/mono100E-7.pdf
79
Iskandar, S .2011. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Asma Pada Anak Di Kota Semarang. Skripsi: Universitas Diponogoro.
Istantinova, D.B. 2012. Pengaruh Kecepatan Angin, Kelembaban dan Suhu
Udara Terhadap Konsentrasi Gas Pencemar Sulfur Dioksida (SO2) Dalam
Udara Ambien Di Sekitar PT. Inti General Yaja Steel Semarang. Skripsi:
Universitas Diponogoro.
Karunasekera., Perera et al. 2004. Genetic And Environmental Risk For Asthma In
Children Aged 5-11 Years. Sri Lanka Journal of Child Health, 2004;
34:79-83. ISSN 1391-5452
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2013. Diakses dari
http://www.menlh.go.id/
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2012
“Pilar Lingkungan Hidup Indonesia”.
Kistnasamy, E.J. 2005. The Relationship Between Asthma And Outdoor Air
Pollutant Concentrations Of Sulphur Dioxide (SO2), Oxides Of Nitrogen
(NOx), Ozone, (O3), Total Reduced Sulphates (TRS), Carbon Monoxide
(C0) And Respirable Particulate Matter Less Than 10 Microns (Pm10) In
Learners And Teachers At Settlers Primary School In Merebank, South
Durban. Disertasi : Durban Institute of Technology
Kowalak, J.P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alih bahasa oleh Andry Hartono.
Jakarta: EGC
Kusbiantoro,H. 2005. Hubungan Polusi Udara Dan Perubahan Cuaca Dengan
Kejadian Serangan Asma Di DKI Jakarta Tahun 2002-2003. Tesis: UI
Kusminingrum, N & Gunawan, G. 2008. Polusi Udara Akibat Aktivitas
Kendaraan Bermotor Di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali. Pusat
Litbang Jalan Dan Jembatan.
Laisina., Abraham H.S dkk. 2007. Faktor Risiko Kejadian Asma Pada Anak
Sekolah Dasar Di Kecamatan Wenang Kota Manado. Sari Pediatri, Vol. 8,
No. 4, Maret 2007: 299 – 304
Lee, Y.L., Dong, G.H et al. 2012. Air Pollution And Health Effects In Children.
Department of Environmental and Occupational, School of Public Health,
China Medical University, Shenyang.
Liu, W., Zhang, J et al. Mosquito Coil Emissions and Health Implications.
Volume 111 | Number 12 | September 2003
Maryanto, D., Mulasari,S.A dkk. 2009. Penurunan Kadar Emisi Gas Buang
Karbon Monoksida (CO) Dengan Penambahan Arang Aktif Pada
Kendaraan Bermotor Di Yogyakarta. ISSN: 1978-0575 Vol. 3 No. 3.
September 2009 : 162-232
80
Mshelia., Magaji et al. 2013. Cognitive Effect of the Sub-Chronic Exposure to
Mosquito Coil Smoke in Mice. IOSR Journal of Pharmacy and Biological
Sciences (IOSR-JPBS) e-ISSN: 2278-3008, p-ISSN:2319-7676. Volume
8, Issue 2 (Nov. – Dec. 2013), PP 26-30.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Nasidah. 2010 . Hubungan Antara Konsentrasi NO2 Dan PM 10 Dengan Jumlah
Kasus Asma Di Kota Administrasi Jakarta Barat Dan Jakarta Utara tahun
2008-2009. Skripsi : UI.
Oemiati, R. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Asma Di
Indonesia. Media Litbang Kesehatan Vol XX No 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)” Pokja Air Minum Dan
Penyehatan Lingkungan (AMPL) kota Tangerang Selatan. 2011
Purnomo. 2008. Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Asma Bronkial Pada Anak. Thesis: UNDIP.
Putra, S.P., Khairsyaf, O dkk. 2013. Hubungan Derajat Merokok dengan Derajat
Ekserbasi asma Pada Pasien asma Perokok Aktif di Bangsal Paru RSUP
DR.M. Djamil Padang Tahun 2007-2010.
Putri, M.N. 2012. Hubungan Konsentrasi So2 Dan Suspended particullate Matter
(SPM) Dengan Jumlah Kejadian Ispa Penduduk Kecamatan Pademangan
Tahun 2006-2010. Skripsi: UI.
Rachelefsky, G & Garrison, P. 2006. Penanganan Asma Pada Anak. Alih
bahasa: Kristy. Jakarta : Bhuana ilmu populer.
Raini, M. 2009. Toksikologi Insektisida Rumah Tangga Dan Pencegahan
Keracunan. Media Penelit. Dan Pengembang. Kesehat. Volume Xix
Tahun 2009, Suplemen II
Sihombing, M., Alwi, Q dkk. 2010. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan
Penyakit Asma Pada Usia ≥ 10 Tahun Di Indonesia (Analisis Data
Riskesdas 2007). Vol. 30 No. 2.
Subbarao, P., Mandhane, Piush J et al. 2009. Asthma: epidemiology, etiology and
risk factors. CMAJ October 27, 2009 vol. 181 no. 9
Sumantri,A. 2010. Kesehatan Lingkungan & Perspektif Islam. Jakarta: Kencana
81
Sundaru, H. 2006. House Dust Mite Allergen Level And Allergen Sensitization As
Risk Factors For Asthma Among Student In Central Jakarta. Vol 15, No 1,
January – March 2006
Sungkar, S. 2004. Aspek Biomedis Tungau Debu Rumah. Jakarta: pdpersi
Sunyer, J., Atkinson, R et al. 2003. Respiratory Effects Of Sulphur Dioxide: A
Hierarchical Multicity Analysis In The APHEA 2 Study. Occupational and
Environmental Medicine. Vol 60 (8) PMC1740605
Swarjana, I.K. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit
Andi
United Nations Environment Programme (UNEP). 2008. Diakses dari
http://www.unep.org/urban_environment/issues/urban_air.asp
U.S. Department of Health and Human Services. 2006. The Health Consequences
of Involuntary Exposure to Tobacco Smoke: A Report of the Surgeon
General. U.S.
Van der Voort, S., Jaddoe et al. 2012. Duration And Exclusiveness Of
Breastfeeding And Childhood Asthma-Related Symptoms. Eur Respir J
2012; 39: 81–89.
Vitahealth. 2006. ASMA: Informasi Lengkap Untuk Penderita dan Keluarganya.
Jakarta: Gramedia.
Wardani, T.K. 2012. Perbedaan tingkat risiko kesehatan oleh pajanan PM 10,
SO2, dan NO2 Pada Hari Kerja, Hari Libur Dan Hari Bebas Kendaraan
Bermotor Di Bundaran HI Jakarta. Skripsi : UI
Widyastuti, E. 2009. Hubungan Riwayat Pemberian Asi Eksklusif Dengan Status
Gizi Bayi 6-12 Bulan Di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2007.
Thesis: FKM UI
Wigati, R.A & Susanti, L. 2012. Hubungan Karakteristik, Pengetahuan, Dan
Sikap, Dengan Perilaku Masyarakat Dalam Penggunaan Anti Nyamuk
Di Kelurahan Kutowinangun.
Yatim, F. 2005. 30 Gangguan Kesehatan Pada Anak Usia Sekolah. Jakarta :
Pustaka Populer Obor.
Yuliarti, N. 2010. Keajaiban ASI: Makanan Terbaik Untuk Kesehatan,
Kecerdasan dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta : ANDI.
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KONSENTRASI SULPHUR DIOXIDE
(SO2) UDARA AMBIEN DAN FAKTOR-FAKTOR LAINNYA DENGAN GEJALA
ASMA PADA MURID SD NEGERI USIA 6-7 TAHUN DI KELURAHAN CIPUTAT
LEMBAR KESEDIAAN RESPONDEN
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Saya Reka Yuligawati mahasiswi Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sedang melakukan penelitian tentang “HUBUNGAN KONSENTRASI SO2 UDARA
AMBIEN DAN FAKTOR-FAKTOR LAINNYA DENGAN GEJALA ASMA PADA
MURID SD NEGERI USIA 6-7 TAHUN DI KELURAHAN CIPUTAT TAHUN 2014”.
Kami berharap Bapak/Ibu bersedia menjadi responden penelitian saya dengan
menjawab pertanyaan yang ada di kuisioner ini. Informasi yang anda berikan akan kami jaga
kerahasiaannya. Jika anda bersedia dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan yang
telah disediakan.
Responden
(...............................................)
Karakteristik Responden KODING
P.1 No responden(diisi
oleh peneliti)
P.2 Nama responden (ibu
/ bapak)
P.3 No HP/ telepon
Karakteristik Anak KODING
Q.2 Nama anak
Q.3 Tanggal lahir anak
Q.4 Umur anak
Q.5 Jenis kelamin anak
Identifikasi Gejala Asma
Pilihlah jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling benar (a, b atau c) dengan
checklist/tanda silang/membulati!
KODING
R.1 Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah mengalami sesak
napas?
a. Ya
b. Tidak
R.2 Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah mengalami sesak
napas disertai bunyi (mengi)?
a. Ya
b. Tidak
R.4 Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda pernah mengalami serangan
sesak napas/terengah-engah tanpa sebab yang jelas ketika tidak sedang
berolah raga atau melakukan aktivitas fisik lainnya?
a. Ya
b. Tidak
R.5 Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda ketika bernapas
mengeluarkan bunyi mengi selama atau setelah berolahraga?
a. Ya
b. Tidak
R.6 Dalam 12 bulan terakhir, apakah anak anda mengalami batuk kering pada
malam hari, selain dari batuk terkait dengan pilek atau infeksi dada?
a. Ya
b. Tidak
Identifikasi Faktor-Faktor Risiko Asma
Pilihlah jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling benar (a, b atau c) dengan
checklist/tanda silang/membulati!
KODING
S.1 Apakah ibu/bapak (salah satu dari kedua orang tua anak) mempunyai
riwayat penyakit asma?
a. Ya
b. Tidak
S.2 Apakah anda memiliki hewan peliharaan di rumah (seperti kucing, anjing,
atau burung)?
a. Ya
b. Tidak
S.3 Apakah ada keluarga anda yang merokok ? (jika Tidak, langsung ke no
S.5)
a. Ya
b. Tidak
S.4 Jika iya, dimana biasanya dia merokok?
a. Didalam rumah
b. Diluar rumah
S.5 Apakah anda memakai obat nyamuk bakar atau obat nyamuk semprot di
rumah?
a. Ya
b. Tidak
S.6 Apakah anda memiliki perabotan rumah tangga (seperti kasur kapuk,
bantal kapuk dan karpet berbulu) di rumah anda?
a. Ya
b. Tidak
S.7 Apakah anak anda mendapatkan ASI eksklusif?
a. Ya
b. Tidak