HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS
PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SETU KOTA TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh:
Laila Romlah
NIM: 1111101000022
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
i
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Juli 2015
Laila Romlah, NIM: 1111101000022
Hubungan Merokok Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
xvii + 91 halaman, 7 tabel, 4 bagan, 2 lampiran
ABSTRAK
Pendahuluan: Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per
100.000 penduduk. Proporsi suspek TB paru di Puskesmas Setu menurun dari 1,4%
dengan kasus BTA Positif 9,1% pada tahun 2013 menjadi 0,8% dengan kasus BTA
Positif 8,2% pada tahun 2014. TB paru dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko
seperti merokok, IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat merokok dengan kejadian penyakit TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan. Metode: Studi kasus kontrol
dengan menggunakan telaah dokumen TB.06 dan TB.01 serta wawancara terstruktur
menggunakan kuesioner. Kasus adalah pasien yang menderita TB paru BTA positif di
wilayah kerja di Puskesmas Setu dari tahun 2012 sampai 2015 dan kontrol adalah
keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien. Perbandingan kasus dan kontrol
adalah 1:3, 45 kasus dan 135 kontrol. Hasil: Sebagian besar kasus adalah perokok
(42,2%). Pernah merokok (OR 3,44 95% CI 1,37-8,66), IMT kurang (3,47 95% CI
1,59-7,56) dan tidak sekolah wajib 9 tahun (OR 2,05 95% CI 1,03-4,07) merupakan
faktor risiko TB paru. Sedangkan usia mulai merokok, umur dan pekerjaan bersifat
proteksi terhadap kejadian TB paru. Simpulan: Pernah merokok, IMT kurang dan
tidak sekolah wajib 9 tahun merupakan faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu,
Kota Tangerang Selatan.
Kata Kunci: Tuberkulosis Paru, Merokok
Daftar bacaan: 44 (2002-2015)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY
Epidemiology
Undergraduate Thesis, July 2015
Laila Romlah, NIM: 1111101000022
Smoking Relationship With Disease incidence of Tuberculosis in Puskesmas Setu
South Tangerang City
xvii + 91 pages, 7 tables, 4 charts, 2 attachments
ABSTRACT
Introduction: The prevalence of pulmonary tuberculosis globally is still high
at 289 per 100,000 population. Proportion of pulmonary TB suspects in Puskesmas
Setu decreased from 1.4% to 9.1% of cases of smear positive in 2013 to 0.8% with
8.2% of cases of smear positive pulmonary TB in 2014. Pulmonary TB is caused by
several risk factors such as smoking, BMI, age, gender, education level and the type
of work. This study aims to look at the incidence of smoking with pulmonary TB
disease in the Puskesmas Setu South Tangerang City. Methods: Case-control studies
using TB.06 and TB.01 document review and interviews using a structured
questionnaire. Cases were patients with smear-positive pulmonary TB in the region
Setu working in health centers from 2012 to 2015 and the controls are the families of
patients who live at home with the patient. Comparison of cases and controls was 1:
3, 45 cases and 135 controls. Results: Most of the cases were smokers (42.2%). Never
smoked (OR 3.44 95% CI 1.37 to 8.66), BMI less (3.47 95% CI 1.59 to 7.56) and 9-
year compulsory school (OR 2.05 95% CI 1.03 to 4.07) is a risk factor for pulmonary
tuberculosis. While age start smoking, age and occupation is protection against
pulmonary TB incidence. Conclusion: Never smoked, BMI less and not compulsory
nine-year school is a risk factor for pulmonary tuberculosis in Puskesmas Setu, South
Tangerang City.
Keywords: Tuberculosis, Smoking
Reading list: 44 (2002-2015)
iv
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi
Nama : Laila Romlah
Tempat, Tamggal Lahir : Bogor, 1 Maret 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Pemuda No. 15 RT 03/07 Pengasinan
Gunung Sindur Bogor 16340
Telp/Hp : 08567265854
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Email : [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1998-1999 : TK Al Khoiriyah
1999-2005 : SDN Puspiptek
2005-2008 : SMP Latansa
2008-2011 : MAN Serpong
2011-sekarang : S1-Peminatan Epidemiologi, Program Studi
viii
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Pengalaman Organisasi
2012 : Staf Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Jakarta.
2013 : Staf Departemen Kemahasiswaan Badan Eksekutif
Mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta..
2012-2014 : Anggota Paduan Suara Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan
2013-2014 : Staf Departemen Pengembanagan Sosial Epidemiology
Student Association (ESA)
D. Pengalaman Kepanitiaan
2012 : Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kebangsaan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2012 : Anggota Devisi Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
ix
2013 : Koordinator Acara Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2013 : Anggota Devisi Acara Orientasi Pengenalan Akademik dan
Kebangsaan Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta.
2013 : Koordinator Acara Malam Keakraban Mahasiswa Baru Jurusan
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Jakarta
2014 : Anggota Devisi Acara Seminar Profesi Peminatan Epidemiologi.
E. Pengalaman Penelitian
2013 : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI Eksklusif di
Kebon Kopi RT 03/07 Pengasinan Gunung Sindur Bogor Tahun
2013.
2013 : Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat Terhadap
Masalah Banjir di Kampung Sumur BOR RT 004 RW 012
Kalideres Jakarta Barat.
2013 : Praktik Surveilans Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Suku Dinas
Kesehatan Kota Jakarta Selatan Tahun 2013
2014 : Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Terkait
Kelengkapan dan Ketepatan Pemberian Imunisasi Dasar Pada Anak
Usia 9-60 Bulan di Kelurahan Kedaung, Kecamatan Pamulang
x
Tahun 2013.
2014 : Gambaran Jarak Absolut dan Jangkauan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Puskesmas dan Posyandu) Terhadap Gizi Buruk dan
Gizi Kurang Berdasarkan Faktor Risiko Secara Spasial di
Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan Keranggan, Kecamatan Setu
Kota Tangerang Selatan Tahun 2013.
2014 : Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status Gizi Kurang
dan Gizi Buruk Pada Balita di Kelurahan Bakti Jaya, Muncul dan
Keranggan, Kecamatan Setu Kota Tangerang Selatan Tahun 2014
(Pendekatan One Health).
2014 : Masalah Kesehatan Reproduksi Perempuan dan Pencarian
Pengobatan Pada Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2014.
2014 : Program Pengendalian Penyakit Campak di Dinas Kesehatan Kota
Depok Tahun 2014 (Gambaran Pelaksanaan Surveilans Campak.
F. Pengalaman Kerja
2012 : Paduan Suara di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
2013 : Praktek Belajar Lapangan I di Kelurahan Buaran, Kota Tangerang
Selatan
2013 : Praktek Belajar Lapangan II di Kelurahan Buaran, Kota
Tangerang Selatan
xi
2014 : Praktek Orientasi Kerja Program DBD di Dinas Kesehatan
Tangerang Selatan
2013
–
2015
: Master of Ceremony Sumpah Dokter, Sumpah Ners, Pelepasan
Wisuda dan Yudisium di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan
Demikian Curriculum Vitae ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta, Juli 2015
Laila Romlah
xii
Dengan rasa syukur kepada Allah Yang Maha Esa, ku persembahkan tulisan
sederhana ini:
Untuk Almarhumah Ibuku tercinta Hj. Siti Umayah “Terima kasihku
atas kasih sayang seorang ibu yang hebat sepertimu,,,”
Untuk setiap tetes keringat dan letih Bapak yang tiada pernah terhitung
untukku,,,
Untuk setiap kasih sayang yang tulus kakak-kakak dan adikku
untukku,,,
Untuk setiap dukungan penuh yang “kamu” berikan di setiap hariku,,,
xiii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
berkah dan rahmat-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul Hubungan
Merokok dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Skripsi ini penulis susun dalam rangka
memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua dankeluarga yang telah memberikan dukungan penuh dan
motivasi serta do’a yang tiada henti.
2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakulats dan
Kedokteran Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Prodi Kesehatan Masyarakat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Hoirun Nisa M.Kes., Ph.D selaku dosen pembimbing I yang telah sabar
dalam memberikan arahan serta bimbingannya.
5. Bapak dr. Yuli Prapancha Satar, MARS selaku dosen pembimbing II yang
telah sabar dalam memberikan arahan serta bimbingannya.
xiv
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian di salah satu Puskesmas wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
7. Kepala Puskesmas Setu yang telah memberikan izin penelitian dan
pengambilan data di wilayah kerja Puskesmas Setu.
8. Seluruh teman-teman peminatan Epidemiologi 2011 yang selalu memberikan
semangat dan bantuannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang lebih baik lagi. Semoga dengan disusunnya skripsi
ini akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, khususnya penulis serta pembaca.
Jakarta, Juli 2015
Laila Romlah
xv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN .............................................................................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ......................................................................................................... xi
KATA PENGANTAR .................................................................................................. xii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xvii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5
C. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 7
E. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 8
F. Ruang Lingkup ...................................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10
A. Definisi TB ........................................................................................................... 10
B. Etiologi TB Paru ................................................................................................... 10
C. Cara Penularan TB Paru ....................................................................................... 11
xvi
D. Gejala TB Paru ..................................................................................................... 13
E. Epidemiologi TB Paru .......................................................................................... 13
F. Faktor Risiko TB Paru .......................................................................................... 16
G. Kerangka Teori ..................................................................................................... 40
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS .................................................................................................................. 41
A. Kerangka Konsep ................................................................................................. 41
B. Definisi Operasional ............................................................................................. 45
C. Hipotesis ............................................................................................................... 47
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 48
A. Desain Penelitian .................................................................................................. 48
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................ 48
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................ 48
D. Metode dan Instrumen Penelitian Pengumpulan Data ......................................... 53
F. Pengumpulan Data ................................................................................................ 54
G. Pengolahan Data ................................................................................................... 55
H. Analisis Data ........................................................................................................ 56
BAB V HASIL .............................................................................................................. 59
A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ............................... 59
B. Proporsi Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan ................................................................................................ 61
xvii
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan ................................................................................................ 63
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan ........................................................................................ 64
BAB VI PEMBAHASAN ............................................................................................. 67
A. Keterbatasan Penelitian ........................................................................................ 67
B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan ........................... 68
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang
Selatan ................................................................................................................... 77
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang
Selatan ................................................................................................................... 82
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 84
A. Simpulan ............................................................................................................... 84
B. Saran ..................................................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 88
LAMPIRAN .................................................................................................................. 92
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa .............................. 28
Tabel 2 Definisi Operasional ......................................................................................... 45
Tabel 3 Besar Sampel ..................................................................................................... 51
Tabel 4 Pengkodean Data ............................................................................................... 55
Tabel 5 Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol di Wilayah
Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan ............................................. 61
Tabel 6 Merokok dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan ............................................................................................ 63
Tabel 7 Karakteristik dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan ................................................................................... 65
xix
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 FaktoR Risiko Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ........................... 16
Bagan 2 Kerangka Teori Kejadian Penyakit TB Paru ................................................... 40
Bagan 3 Kerangka Konsep Penelitian ............................................................................. 41
Bagan 4 Alur Pengambilan Sampel ............................................................................... 52
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan
bahwa tuberkulosis paru (TB paru) merupakan kedaruratan global bagi
kemanusiaan (Kemenkes, 2011). Prevalensi TB paru secara global masih
tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi
TB paru pada tahun 2008 di negara-negara anggota Association of Southest
Asian Nation (ASEAN) berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk.
Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210 per
100.000 penduduk (Kemenkes, 2010).
Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh kasus TB
paru tahun 2009 di Indonesia sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah
kasus TB paru baru Basil Tahan Asam positif (BTA positif) (PPTI, 2012).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan bahwa proporsi pasien TB
paru BTA positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi
TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61%
di tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).
Angka kejadian TB paru menyumbang terhadap tingginya angka
kematian di Indonesia. Berdasarkan laporan pusat data dan surveilans
epidemiologi Indonesia diketahui bahwa setiap tahun terdapat 8 juta kasus
2
baru penderita TB paru dan angka kematian TB paru sekitar 3 juta orang
setiap tahunnya. Sekitar 75% penderita TB paru adalah kelompok umur yang
produktif (15-50 tahun). Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika penderita TB paru
meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun (Kemenkes, 2010). Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun
2013 berdasarkan umur cenderung meningkat dimana umur terbanyak pada
kelompok umur lebih dari 64 tahun (prevalensi=0,8%) (Riskesdas, 2013).
Perbedaan hasil berdasarkan kelompok umur ini kemungkinan terjadi karena
metode pengumpulan data dan sumber data. Data laporan pusat data dan
surveilans epidemiologi Indonesia didapatkan dari seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada di Indonesia, sedangkan data Riskesdas 2013 didapatkan
dari komunitas.
Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013 berdasarkan jenis
kelamin sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi=0,4%)
(Riskesdas, 2013). Berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan penderita TB
paru berpendidikan rendah dan sebagian besar tidak bekerja (Riskesdas,
2013). Proporsi kasus baru BTA positif menurut jenis kelamin di Indonesia
pada tahun 2005 sampai 2008 tidak banyak berubah, laki-laki berkisar 57-
59% dan perempuan 40-43% (Depkes, 2008). Penelitian yang dilakukan di
Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi
umur responden TB paru diatas 45 tahun (69,8 %) lebih besar dari usia antara
3
15-45 tahun (37,7 %) baik pada kasus maupun kontrol, proporsi pendidikan
terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%
dan proporsi kelompok TB paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 %.
Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol
melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis
kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.
Penduduk Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 berjumlah
1.411.765 jiwa, memiliki 25 Puskesmas yang seluruhnya telah melaksanakan
Program TB paru Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) yang
melayani dan menangani penderita TB. Pada tahun 2012 penderita TB paru
ditemukan sebanyak 7.151 suspek TB, 1.889 pasien TB paru di obati, 841
kasus TB paru baru BTA positif dan 953 kasus TB paru BTA negatif rontgen
positif. (Dinkes Tangsel, 2013). Puskesmas Setu merupakan salah satu
Puskesmas yang ada di Kota Tangerang Selatan melaporkan bahwa TB paru
BTA Positif pada tahun 2012 adalah 17 kasus (Puskesmas Setu, 2012).
Proporsi kasus suspect TB paru tahun 2013 adalah 1,4% dengan kasus BTA
Positif sebanyak 9,1% (Puskesmas Setu, 2013). Sedangkan proporsi kasus
suspect TB paru pada tahun 2014 mengalami penurunan kasus, yaitu
sebanyak 0,8% dengan kasus BTA Positif sebanyak 8,2% (Puskesmas Setu,
2014).
Target program penanggulangan TB paru di Dinas Kota Tangerang
Selatan dalam penemuan kasus sebesar 1% dari jumlah penduduk dan 10%
4
akan menjadi TB paru BTA positif. Namun pada kenyataannya, penemuan
kasus di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan mengalami penurunan dari
1,4% di tahun 2013 menjadi 0,8% di tahun 2014. Hal ini yang menyebabkan
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan mendapat rapot merah dari Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan di tahun 2014.
TB paru merupakan penyakit dengan beberapa faktor risiko, salah satu
faktor risikonya adalah merokok. Penelitian yang dilakukan di India
(Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang
merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru
dibanding orang yang tidak merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Indonesia (Rusnoto, 2008) dengan desain yang sama melaporkan bahwa orang
yang memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar bersiko
terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok. Hasil penelitian
lain yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan desain Cross
Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki risiko
1,99 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding orang yang tidak
pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung, 2008)
dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali
lebih tinggi berisiko terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah
merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Kuwait (Abal, 2004)
dengan desain kohort melaporkan bahwa merokok tidak berisiko
mempengaruhi konversi BTA TB paru.
5
Faktor lain yang mempengaruhi TB adalah Indeks Masa Tubuh (IMT)
(Ruswanto, 2010). Penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rusnoto, 2008)
dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT
kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB paru
dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5.
Berdasarkan pemaparan di atas, secara umum perokok ternyata lebih
sering mengalami penyakit TB paru dan kebiasaan merokok memegang peran
penting sebagai faktor risiko penyebab penyakit TB paru. Sampai saat ini di
Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan belum ada penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan TB paru. Oleh karena
itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan merokok
dengan TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan.
B. Rumusan Masalah
Target program penanggulangan TB paru di Dinas Kota Tangerang
Selatan dalam penemuan kasus sebesar 1% dari jumlah penduduk dan 10%
akan menjadi TB paru BTA positif. Penemuan kasus di Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan mengalami penurunan dari 1,4% di tahun 2013 menjadi
0,8% di tahun 2014. Hal ini yang menyebabkan Puskesmas Setu, Kota
Tangerang Selatan mendapat rapot merah dari Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan di tahun 2014. Salah satu risiko terjadinya penyakit TB
adalah merokok. Beberapa penelitian menemukan bahwa rokok berisiko
6
menyebabkan TB. Namun, sampai saat ini belum adanya penelitian terkait
hubungan antara merokok dengan penyakit TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan. Sehingga, perlu dilakukan
penelitian secara khusus terkait hubungan antara merokok dengan penyakit
TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana proporsi merokok (status merokok, usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan karakteristik
(IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) pada
kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang
Selatan?
2. Bagaimana hubungan merokok (status merokok, usia mulai merokok,
jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok) dengan
kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan?
3. Bagaimana hubungan karakteristik individu (IMT, umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan) dengan kejadian penyakit TB
paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan?
7
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan merokok dengan kejadian penyakit TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya proporsi merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok)
dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan
jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di wilayah kerja Puskesmas
Setu Kota Tangerang Selatan.
b. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis
rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
c. Diketahuinya hubungan karakteristik individu (umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan IMT) dengan kejadian
penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang
Selatan.
8
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
Sebagai bahan evaluasi pelaksanaan Program Pengendalian TB paru di
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
2. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama
dalam peningkatan edukasi dan promosi kesehatan pada masyarakat
terkait faktor risiko kejadian penyakit TB.
3. Peneliti selanjutnya
Sebagai bahan referensi terkait studi Epidemiologi mengenai faktor risiko
kejadian penyakit TB paru.
4. Masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko apa saja yang
mempengaruhi kejadian penyakit TB paru khususnya pada penderita TB
paru di Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
9
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik dengan
desain kasus kontrol untuk mengetahui hubungan antara merokok dengan
kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang
Selatan. Penelitian ini menggunakan data dari Laporan penderita TB paru di
Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015. Analisis
yang akan digunakan adalah analisis univariat dan bivariat. Penelitian ini juga
mempertimbangkan beberapa variabel yang menjadi faktor risiko TB paru
yaitu IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei tahun 2015.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi TB
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacteria Tuberkulosis) termasuk dalam family
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetales. Mycobacteria
Tuberkulosis masih keluarga besar genus Mycobacterium. Berdasarkan
beberapa kompleks tersebut, Mycobacteria Tuberkulosis merupakan jenis
yang terpenting dan paling sering dijumpai (Kemenkes, 2011).
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai
organ tubuh lainnya, namun yang paling sering terkena adalah organ paru
(90%) (Suarni, 2009). Bila menyerang organ selain paru (kelenjar limfe, kulit,
otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru (Depkes, 2002).
B. Etiologi TB Paru
Penyebab TB paru adalah kuman Mycobacteria Tuberkulosis, yang
berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron dan
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh
karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
11
jam di tempat gelap dan lembab, sehingga dalam jaringan tubuh kuman ini
dapat dorman (tidur), tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes, 2002).
Apabila seseorang telah terinfeksi kuman TB paru, namun belum
menjadi sakit maka tidak dapat menyebarkan infeksi ke orang lain. Masa
inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya
sakit, diperkirakan selama 4 sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman
ditularkan oleh penderita TB paru BTA positif melalui batuk, bersin atau saat
berbicara lewat percikan droplet yang keluar. Risiko penularan setiap
tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of TB Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB paru selama satu tahun
(Suarni, 2009).
C. Cara Penularan TB Paru
Cara penularan TB paru melalui percikan dahak (droplet). Sumber
penularan adalah penderita TB paru BTA positif, pada saat penderita TB paru
batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB paru dapat bertahan
di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi di
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa
jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi, jika
12
droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB paru
masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kuman TB paru tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh
lainnya (Kemenkes, 2011).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila
hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap tidak
menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB paru
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup
udara tersebut (Kemenkes, 2011).
Risiko penularan setiap tahun Annual Risk of Tuberkulosis Infection
(ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah
dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, 10
orang akan terinfeksi, kemudian sebagian besar dari orang yang terinfeksi
tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Berdasarkan keterangan tersebut,
dapat diperkirakan bahwa pada daerah dengan ARTI 1%, maka diantara
100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 penderita setiap tahun, dimana 50
penderita adalah BTA positif (Kemenkes, 2011).
13
D. Gejala TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik dan demam meriang
lebih dari satu bulan (Kemenkes, 2011).
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang datang dengan gejala tersebut di atas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung (Kemenkes, 2011).
E. Epidemiologi TB Paru
TB paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di
Indonesia. Prevalensi TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per
100.000 penduduk (Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun
2008 di negara-negara anggota ASEAN berkisar antara 27 sampai 680 per
100.000 penduduk. Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB
paru 210 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010).
Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh kasus TB
tahun 2009 di Indonesia sebanyak 29.4731 kasus, dimana 16.9213 adalah
kasus TB baru BTA positif (PPTI, 2012). Hasil survey prevalensi TB paru di
14
Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB paru BTA
positif secara Nasional adalah 110 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2009).
Sedangkan, Kemenkes melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA
positif diantara suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru
BTA positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di tahun
2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).
Epidemiologi penyakit TB paru adalah ilmu yang mempelajari
interaksi antara kuman (agent) Mycobacterium Tuberkulosis, manusia (host)
dan lingkungan (environment). Disamping itu, mencakup distribusi dari
penyakit, perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga
mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari
populasi yang tertular (Achmadi, 2005).
Pada penyakit TB paru, sumber infeksi adalah manusia yang
mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang rapat
(misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan penularan
melalui droplet. Kerentanan penderita TB paru meliputi risiko memperoleh
infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga
bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel
bergantung pada kontak dengan sumber-sumber kuman penyebab infeksi
terutama dari penderita tuberkulosis dengan BTA positif. Konsekuensi ini
sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk,
15
keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak
memadai (Machfoedz, 2008).
Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan
adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga
terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan
kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya.
Epidemiologi TB paru mempelajari tiga proses khusus yang terjadi pada
penyakit ini, yaitu (Aditama, 2002):
1. Penyebaran atau penularan dari kuman TB.
2. Perkembangan dari kuman TB yang mampu menularkan pada orang
lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan kuman TB.
3. Perkembangan lanjut dari kuman TB sampai penderita sembuh atau
meninggal karena penyakit ini.
16
F. Faktor Risiko TB Paru
Faktor risiko kejadian TB paru, secara ringkas digambarkan pada bagan
berikut:
Bagan 1
Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru
Transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan: Risiko menjadi TB bila
• Ventilasi dengan HIV:
• Kepadatan • 5-10% setiap tahun
• Dalam ruangan • > 30% lifetime
Faktor Perilaku
10%
Konsentrasi kuman • Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
• Malnutrisi • Tatalaksana tak memadai
• Penyakit DM, • Kondisi kesehatan
Immuno-supresan
Sumber: Kemenkes, 2011
Berdasarkan bagan di atas diketahui bahwa terdapat beberapa faktor risiko
kejadian TB paru, diantaranya:
1. Jumlah Kasus TB BTA +
Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA positif,
pada saat penderita TB paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung
kuman TB paru dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
HIV (+)
PAJANAN INFEKSI TB
MATI
SEMBUH
17
dahak. Umumnya penularan terjadi di dalam ruangan dimana percikan
dahak berada dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2011).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahaknya maka penderita tersebut semakin menularkan. Bila
hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap
tidak menular. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).
2. Faktor Lingkungan
Ada beberapa faktor lingkungan yang berisiko terjadinya TB paru, di
antaranya:
a. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai
rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa
dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum per orang sangat
relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk perumahan sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar
tidur diperlukan minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya
tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah
18
dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita
penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga
lainnya (Lubis dalam Ruswanto, 2010).
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan
penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9 m² per orang dan
kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh
hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 9 m² per
orang (Lubis dalam Ruswanto, 2010).
Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan
desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang tinggal pada
rumah dengan kepadatan hunian < 9m2/org berisiko 5,983 kali lebih
besar untuk menderita TB dibandingkan dengan orang yang tinggal
pada rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Rumah etnis Timor (Naben, 2013)
melaporkan bahwa orang yang tinggal pada rumah dengan
kepadatan hunian <9m2/org berisiko 9,2 kali lebih besar untuk
menderita TB paru dibandingkan dengan orang yang tinggal pada
rumah dengan tingkat kepadatan hunian > 9m2/org.
19
b. Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang
bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalnya
melalui jendela atau genting kaca. Cahaya alamiah yakni matahari.
Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya kuman TB. Jendela luasnya
sekurang-kurangnya 15%-20%. Fungsi jendela disini selain sebagai
ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Selain itu jalan
masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca
(Machfoedz, 2008). Rumah yang tidak masuk sinar matahari
mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali dibandingkan dengan
rumah yang dimasuki sinar matahari.
Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul
(Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa
penduduk yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan tidak
memenuhi syarat kesehatan berisiko TB paru 9 kali lebih tinggi
menderita TB paru dibandingkan dengan penduduk yang tinggal
pada rumah dengan pencahayaan memenuhi syarat kesehatan baik
pada kasus maupun kontrol.
20
c. Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 2002).
Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu ventilasi alam (jendela, pintu dan lubang angina) dan
ventilasi buatan kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner))
(Machfoedz, 2008). Rumah yang cukup sehat sebaiknya harus
mempunyai jalan masuk yang cukup. Jendela luasnya sekurang-
kurangnya 15%-20%. Perlu diperhatikan agar sinar matahari dapat
langsung ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain
(Machfoedz, 2008).
d. Suhu
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan
dengan satuan derajat tertentu. Secara umum, penilaian suhu rumah
dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator
pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat
kesehatan adalah antara 20ºC -30ºC dan suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 30 ºC (Ruswanto,
2010). Mycobacterium Tuberkulosis merupakan bakteri mesofilik
yang tumbuh subur dalam rentang 250C-40
0C, akan tetapi bakteri
21
ini tumbuh secara optimal pada suhu 310C-37
0C (Kurniasari, 2012;
Ruswanto, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008)
melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan suhu
ruang tidur tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 lebih besar
menderita sakit TB paru daripada seseorang yang tinggal di rumah
dengan suhu ruang tidur memenuhi syarat
e. Jenis lantai
Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai
kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran
terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembaban dalam
ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada
musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
debu yang berbahaya bagi penghuninya dan dapat menjadi media
penular kuman TB. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan
yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, atau keramik (Asih,
1995).
Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul
(Adnani, 2006) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa
responden yang lantai rumahnya tidak memenuhi syarat kesehatan
berisiko 3-4 kali lebih besar menderita TB paru dibanding pada
22
penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya memenuhi syarat
kesehatan baik pada kasus maupun kontrol.
f. Kelembaban
Pengukuran tingkat kelembaban udara dalam rumah
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan
perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan
dalam rumah adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Asih,
1995). Kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan mendukung
kehidupan kuman TB. Apabila kelembaban tinggi dalam suatu
rumah, maka kuman TB dapat bertahan hidup dan berkembang
dengan baik sehingga menjadi mata rantai penularan TB paru
(Naben, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan di Kupang (Fatimah, 2008)
dengan melaporkan bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan
tingkat kelembaban udara tidak memenuhi syarat berisiko 4,2 kali
lebih besar menderita TB paru daripada seseorang yang tinggal di
rumah dengan tingkat kelembaban udara memenuhi syarat.
23
3. Faktor Perilaku
Sebelum membahas faktor perilaku, maka akan dibahas karakteristik
individu yang mempengaruhi kondisi individu:
a. Umur
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada kejadian TB
paru. Risiko untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti
halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun
karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap
TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun
kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang umur tua.
Infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan
umur. Insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai umur dewasa
muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah
kelompok umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011).
Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain
kasus kontrol. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa kelompok
kasus paling banyak terdapat pada kelompok umur 11-55 tahun
(71,1%).
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian TB paru, yaitu:
1) Paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua
penderita.
24
2) Paling luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan
pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen
kehamilan pada perempuan.
3) Puncak sedang pada umur lanjut.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih umum terkena, kecuali pada perempuan dewasa
muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang
menurunkan resistensi. Risiko TB paru terutama menyerang laki-
laki. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu
42,3% pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010).
Distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013).
Penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain
kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk jenis kelamin lebih
banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada kontrol.
25
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru,
sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya (Ruswanto, 2010).
Berdasarkan data hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa
proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang
tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Penelitian yang dilakukan
di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan
bahwa proporsi pendidikan terakhir responden yang paling banyak
adalah tidak tamat SD sebesar 31,1%.
d. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang
berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan
mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan
26
dan umumnya TB paru (Ruswanto, 2010). Berdasarkan data hasil
Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru
paling banyak diderita pada orang yang tidak bekerja yaitu sebesar
11,7%. Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan
desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi kelompok TB
paru yang berpenghasilan tidak tetap 81,1 % lebih besar dari pada
kelompok bukan TB paru.
Setelah mengetahui karakteristik individu yang mempengaruhi kondisi
individu, berikut adalah faktor perilaku yang menjadi faktor risiko TB
paru:
a. Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan
luas sistem daya tahan tubuh seluler dan merupakan faktor risiko
paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB
aktif). Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB
di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes, 2011).
27
b. Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam
timbulnya kejadian TB, tentu saja hal ini masih tergantung variabel
lain yang utama yaitu ada tidaknya kuman TB pada paru. Seperti
diketahui kuman TB merupakan kuman yang suka tidur hingga
bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan
menimbulkan penyakit maka timbulah kejadian penyakit TB
(Ruswanto, 2010).
Salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik,
baik pada perempuan, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Status
gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta kekurangan
zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru. Cara
pengukurannya adalah dengan membandingkan berat badan dan
tinggi badan atau Indek Masa Tubuh (IMT). IMT merupakan alat
yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa
khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat
badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan
seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang
(Supariasa, 2001). IMT mencerminkan tinggi badan, berat badan
dan status gizi seseorang. Kategori IMT pada orang dewasa adalah
sebagai berikut:
28
Tabel 1
Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Orang Dewasa
Kategori Keterangan
Underweight <18,5 kg/m2
Normal 18,5-24,9 kg/m2
Overweight 25-29,9 kg/m2
Obesitas >30kg/m2
Sumber : (IOM dan NRC, 2009)
Untuk mengetahui nilai IMT, dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Berat Badan (Kg)
IMT = -------------------------------------------------------
Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan
yang terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia,
penggunaan waktu yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang
akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka
terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka
reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam
mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru
menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang
menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya
mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).
Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan
desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang dengan IMT
29
kurang dari 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terserang TB
dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian
yang dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain yang
sama melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali
lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang
memiliki status gizi baik.
c. Status Imunisasi BCG
Status imunisasi BCG mempengaruhi kejadian TB. Tujuan
atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu untuk
mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat,
seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini,
2008). Hal ini dikarenakan bayi atau anak masih rentan terinfeksi
Mycobacterium Tuberkulosis penyebab penyakit TB, akibat adanya
kontak dengan penderita TB yang ada di sekitarnya, seperti: orang
tua, keluarga, pengasuh, dan lain sebagainya (Setiarini, 2008).
Berdasarkan yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain
kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi penderita TB paru
tertinggi terdapat pada orang yang tidak diimunisasi yaitu sebesar
69,6%.
30
d. Merokok
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, rokok adalah
gulungan tembakau kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus
daun nipah atau kertas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan yang
Mengadung Zat Adiktif berupa produk tembakau mendefiniskan
rokok salah satu produk tembakau yang dibakar, dihisap, dan
dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu, atau
bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana rustica,
Nicotiana tabacum, dan spesies lainnya (Kemenkes, 2012).
Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah
nikotin, tar, karbon monoksida (CO), timah hitam dan lain-lain
(Kemenkes, 2012). Berikut penjelasannya (Kemenkes, 2012):
1) Nikotin
Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirrolidin yang
terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan
spesies lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif dapat
mengakibatkan ketergantungan. Nikotin bersifat sangat adiktif
dan beracun, tidak berwarna. Nikotin yang dihirup dari asap
rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah
kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10
detik. Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia
31
yang mempengaruhi hormon dan neurotransmitter seperti
adrenalin, dopamine dan insulin sehingga membuat sensasi
yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini hanya
berlangsung seketika.
Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan.
Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram
berat tembakau. Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20
mg nikotin. Tubuh menyerap 1 mg nikotin untuk satu batang
rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang diisap oleh
orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang
ketagihan. Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia
sekitar 60 mg.
Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi
juga risiko untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi
akibat rokok. Hal ini dikarenakan nikotin dapat terakumulasi
di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-paru. Nikotin bersifat
toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan peningkatan
tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah,
kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen
bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah,
vasokonstriksi pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol
LDL, dan meningkatkan agregasi sel pembekuan darah.
32
2) Tar
Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang
bersifat karsinogenik. Sejenis cairan berwarna coklat tua atau
hitam yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru
sehingga dapat membuat warna gigi dan kuku seorang perokok
menjadi coklat, begitu juga di paru-paru. Tar yang ada dalam
asap rokok menyebabkan kejernihan mokosa silia yang
digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam
melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya
bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya adalah
kolonisasi bakteri dan infeksi.
Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan
mokosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan
utama dalam melawan infeksi. Silia juga dapat memperbaiki
menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya
adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas besar,
sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak
(hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang
dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T
sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin
juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi
akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B-
33
limposit membawa kepada menurunnya produksi
imunoglobulin. Secara ringkas tar dapat menyebabkan
perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-
paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner,
2008).
3) Karbon Monoksida (CO)
Karbon Monoksida adalah suatu zat beracun yang sifatnya
tidak berwarna dan tidak berbau. Unsur ini dihasilkan oleh
pembakaran tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon.
Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai
3%-6% dan gas ini dapat dihisap oleh siapa saja. Gas CO
mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat
dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen
sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen
udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah merah
akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah
CO dan bukan oksigen.
Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan
spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini
berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah
rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan).
34
Penyempitan pembuluh darah akan terjadi di mana-mana.
Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada
saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan
akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan
paru, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan
alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012).
4) Timah Hitam
Timah hitam merupakan partikel asap rokok. Setiap satu
batang rokok yang diisap diperhitungkan mengandung 0,5
mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus
rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan
batas bahaya kadar Pb dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari.
Perokok dapat dibagi menjadi beberapa golongan tergantung
pada jumlah rokok yang dikonsumsi. Berikut adalah golongan atau
klasifikasi perokok yaitu (Kemenkes, 2012):
1) Tidak merokok
2) Merokok ringan (tidak setiap hari)
3) Merokok sedang (merokok setiap hari dalam jangka kecil)
4) Merokok berat (merokok lebih dari satu bungkus tiap hari)
35
5) Berhenti merokok/pernah merokok.
Berikut adalah jenis perokok yaitu (Kemenkes, 2012):
1) Perokok ringan (1-10 batang perhari)
2) Perokok sedang (11-20 batang perhari)
3) Perokok berat (lebih dari 20 batang perhari)
Rokok dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (CDC, 2013):
1) Rokok Kretek
Rokok kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40%
cengkeh dan zat adiktif lainnya. Rokok ini memiliki nikotin,
tar, karbon monoksida yang lebih banyak dari rokok lainnya.
2) Rokok Putih
Rokok putih adalah jenis rokok yang diartikan sebagai
rokok tanpa campuran cengkeh seperti pada rokok kretek.
Rokok putih memiliki filter di ujung batang rokok. Rokok putih
atau seringkali disebut dengan rokok mild merupakan salah
satu dari produk olahan tembakau. Rokok ini memiliki
kandungan tar dan nikotin yang lebih rendah dibandingkan
dengan rokok kretek dan rokok pada umumnya.
36
3) Rokok Linting atau Cerutu
Rokok linting atau cerutu dalah gulungan utuh
daun tembakau yang dikeringkan dan difermentasikan, yang
mirip dengan rokok, salah satu ujungnya dibakar dan asapnya
dihisap oleh mulut melalui ujung lainnya. Rokok ini dianggap
kurang berbahaya oleh masyarakat oleh karena bentuknya kecil
dan memiliki rasa yang menarik untuk anak-anak. Tetapi,
cerutu ini memiliki bahaya yang sama seperti rokok. Cerutu ini
dapat menimbulkan gangguan pernafasan bahkan kanker.
Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok
adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik
menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada
sebatang rokok yang dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang
dibakar dan 300C utnuk ujung rokok yang terselip diantara bibir
perokok. Asap panas yang berhembus terus menerus masuk ke
dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang
menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran
ludah. Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat
mengakibatkan perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri
(Kemenkes, 2012).
37
Janson menyebutkan bahwa pajanan asap rokok dapat berisiko
mengakibatkan penurunan aktivitas mukosiliar epitel, penurunan
bersihan partikel asing oleh epital, dan abnormalitas permeabilitas
vaskular, dapat meningkatkan risiko seseorang terinfeksi TB (PPTI,
2004).
Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union
Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan
bahwa pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan
TB paru, terutama pajanan asap sekunder atau secondhand smoke
(asap yang dikeluarkan dari mulut perokok). Korban utama dari
temuan ini adalah anak-anak dan umur muda. Kematian anak-anak
akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama berhubungan dengan
kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya. Kematian dan
kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama merokok
pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu
ditekankan pada penderita TB (PPTI, 2004).
Beberapa penelitian menemukan bahwa rokok berisiko TB
paru. Penelitian yang dilakukan di India (Kolappan, 2002) dengan
desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang merokok
tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru
dibanding orang yang tidak merokok, orang yang merokok > 20
batang per hari 3,68 kali lebih besar berisiko terkena TB paru
38
dibanding orang yang tidak merokok dan perokok dengan > 20
tahun 3,23 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding
orang yang tidak merokok. Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan di India (Gambhir, 2010) dengan desain kasus kontrol
melaporkan bahwa orang yang merokok memiliki risiko 3,53 kali
lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang tidak pernah
merokok dan penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008)
dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena
TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok.
Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005)
dengan desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau
mantan perokok memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB
paru dibanding orang yang tidak pernah merokok dan orang yang
merokok lebih dari 15 bungkus/tahun memiliki risiko tertinggi
sebesar 1,90 kali. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung,
2008) dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki
risiko 2,87 kali lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang
tidak pernah merokok. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
Kuwait (Abal, 2004) dengan desain Kohort melaporkan bahwa
merokok tidak berisiko mempengaruhi konversi BTA TB paru.
39
Penelitian yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004)
dengan desain kasus kontrol diperoleh hasil bahwa perokok yang
memiliki durasi merokok > 10 tahun memiliki risiko 2,96 kali lebih
tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok, orang-orang yang merokok > 10 batang/hari memiliki
risiko 3,98 kali lebih tinggi terserang TB paru dibandingkan dengan
orang yang tidak merokok dan orang-orang yang merokok > 3
hari/minggu memiliki risiko 2,68 kali lebih tinggi terserang TB paru
dibandingkan dengan non perokok.
40
G. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori diatas, dapat digambarkan dalam bentuk
gambar kerangka teori faktor risiko kejadian penyakit TB paru. Kerangka
teori dimodifikasi dari Pedoman Pengendalian TB Paru tahun 2011:
Bagan 2
Kerangka Teori Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru
Transmisi
Jumlah kasus TB BTA+ Faktor Perilaku Karakteristik Individu
Faktor lingkungan: • Penyakit HIV • Umur
• Kepadatan hunian • Status gizi • Jenis kelamin
• Pencahayaan alami • Imunisasi BCG • Tingkat pendidikan
• Ventilasi • Rokok • Jenis pekerjaan
• Suhu
• Jenis lantai • Status merokok
• Kelembaban • Usia mulai merokok
• Jumlah rokok
• Lama rokok
• Jenis rokok
•
10%
Konsentrasi kuman • Keterlambatan diagnosis
Lama kontak • Malnutrisi dan pengobatan
• Tatalaksana tak memadai
• Kondisi kesehatan
Sumber: (Asih, 1995; Notoatmodjo, 2007; Eisner, 2008; Setiarini, 2008; Mahfoedz, 2008;
Rusnoto, 2010; Ruswanto, 2010; Kemenkes, 2011; Kemenkes, 2012)
Imunitas Tubuh
PAJANAN (Kuman TB)
(
INFEKSI TB
MATI
SEMBUH
41
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A. Kerangka Konsep
Berikut ini adalah kerangka konsep dalam penelitian ini:
Bagan 3
Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep atau kerangka pikir merupakan bagian dari kerangka
teori yang akan diteliti untuk mendeskripsikan secara jelas variabel yang
diteliti (variabel dependen) dan variabel faktornya (variabel independen)
(Kemenkes, 2012). Konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung
sehingga harus dijabarkan ke dalam variabel-variabel (Notoatmodjo, 2010).
1. IMT
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Tingkat pendidikan
5. Jenis pekerjaan
1. Merokok
a. Status merokok
b. Usia mulai
merokok
c. Jumlah rokok
yang dihisap
d. Lama merokok
e. Jenis rokok
Kejadian
Penyakit
Tuberkulosis
Paru
42
Variabel dependen yang akan diteliti adalah penyakit TB paru.
Variabel independen yang akan diteliti adalah umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, umur mulai merokok, jumlah
rokok yang dihisap, lama merokok, IMT dan kepadatan hunian rumah. Ada
beberapa variabel independen yang tidak diteliti. Adapun alasannya adalah
sebagai berikut:
1. Status imunisasi BCG
Tujuan atau manfaat imunisasi BCG (Basil Calmette Guerin) yaitu
untuk mencegah bayi atau anak terserang dari penyakit TB yang berat,
seperti: meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier (Setiarini, 2008),
namun subjek pada penelitian ini adalah responden yang berumur diatas
17 tahun dan variabel ini sulit untuk diteliti karena tidak adanya buku
KMS.
2. Kelembaban
Kelembaban adalah kelembaban udara dalam kamar responden yang
dihitung dalam persentase kandungan jumlah air dalam ruangan dengan
menggunakan alat hygrometer. Pengukuran biasanya dilakukan jam
09.00-12.00. Variabel ini tidak diteliti karena kelembaban ruangan harus
diukur langsung, sedangkan penelitian ini bersifat retrosfektif pada saat
responden terdiagnosis TB paru.
43
3. Ventilasi
Ventilasi adalah ventilasi alami pada ruang tidur responden baik
ventilasi tetap maupun variabel, yang dapat menciptakan suasana
pertukaran udara sehingga ruangan menjadi menyenangkan dan
menyehatkan dan diukur dengan mengukur perbandingan luas ventilasi
dan luas lantai dengan menggunakan roll meter. Variabel ini tidak diteliti
karena ventilasi rumah harus diukur langsung dan sulit dilakukan.
4. Pencahayaan alami
Pencahayaan adalah pencahayaan alami rumah yang bersumber dari
matahari pagi yang memungkinkan matahari masuk melalui lubang angin,
jendela, genteng kaca, dan pintu kedalam rumah, yang diukur dengan
menggunakan alat luxmeter pada pukul 09.00–12.00. Variabel ini tidak
diteliti karena pencahayaan ruangan harus diukur langsung dan sulit
dilakukan.
5. Suhu
Suhu diukur menggunakan termometer ruangan dengan megukur
secara langsung, sedangkan penelitian ini bersifat retrosfektif pada saat
responden terdiagnosis TB paru.
44
6. Jenis lantai
Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru,
namun pada penelitian ini tidak diteliti, karena masyarakat di di wilayah
kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan tidak ada lagi yang
menggunakan lantai tanah.
7. Kepadatan penghuni rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m²
per orang. Dalam penelitian ini variabel kepadatan penghunian rumah
tidak diteliti, karena keadaan rumah saat responden terdiagnosis TB paru
dengan saat berbeda.
45
B. Definisi Operasional
Tabel 2
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur dan
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
1. Kasus
Penyakit TB
Paru
Penderita yang
dinyatakan TB paru
BTA Positif oleh
Puskesmas dan tercatat
di formulir daftar
tersangka penderita
(suspek yang diperiksa
dahak SPS (TB.06))
Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan
tahun 2012, 2013, 2014
dan 2015
Telaah dokumen
Formulir daftar
tersangka penderita
(suspek yang
diperiksa dahak SPS
(TB.06)) dan kartu
pengobatan pasien
TB (TB.01)
1. Bukan
penderita TB
2. Penderita TB
paru BTA
Positif
Ordinal
2. Status
merokok
Pernah atau tidaknya
responden menghisap
rokok sebelum dan
sampai terdiagnosis TB
paru BTA positif.
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. Tidak merokok
2. Pernah
merokok
3. Merokok
Ordinal
3. Usia mulai
merokok
Usia responden mulai
merokok
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. > 20 tahun
2. 10-19 tahun
Ordinal
4. Jumlah rokok
yang dihisap
Banyaknya batang
rokok yang dihasap
dalam sehari
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. 1-12 batang
2. > 13 batang
Ordinal
5. Lama
merokok
Lamanya responden
merokok
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. 1-15 tahun
2. > 16 tahun
Ordinal
6. Jenis rokok Jenis rokok yang
dihasap responden
setiap kali merokok
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. Rokok putih
2. Rokok kretek
Ordinal
46
7. Indeks Massa
Tubuh (IMT)
Kondisi berat badan
responden dibagi
dengan tinggi badan,
pada saat terdiagnosis
TB paru BTA Positif.
Telaah dokumen
Kartu pengobatan
pasien TB (TB.01)
1. Normal (18,5-
24,9 kg/m2)
2. Kurang (< 18,5
kg/m2)
3. Lebih (> 25
kg/m2)
Ordinal
8. Umur Umur responden pada
saat terdiagnosis TB
paru BTA Positif.
Telaah dokumen
Formulir daftar
tersangka penderita
(suspek yang
diperiksa dahak SPS
(TB.06)) dan kartu
pengobatan pasien
TB (TB.01)
1. > 56 tahun
2. 17-55 tahun
Ordinal
9. Jenis Kelamin Pembagian jenis seksual
yang ditentukan secara
biologis dan anatomis
yang dinyatakan dalam
jenis kelamin laki-laki
atau jenis kelamin
perempuan.
Telaah dokumen
Formulir daftar
tersangka penderita
(suspek yang
diperiksa dahak SPS
(TB.06)) dan kartu
pengobatan pasien
TB (TB.01)
1. Perempuan
2. Laki-laki
Nominal
10. Tingkat
pendidikan
Tingkat pendidikan
formal terakhir yang
diselesaikan oleh
responden saat
terdiagnosis TB paru
BTA Positif.
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. Sekolah wajib
9 tahun
2. Tidak sekolah
wajib 9 tahun
Ordinal
11. Pekerjaan Kegiatan responden
yang bertujuan untuk
memperoleh
penghasilan dalam
rangka pemenuhan
kebutuhan keluarga saat
terdiagnosis TB paru
BTA Positif.
Wawancara
terstruktur
menggunakan
kuesioner
1. Bekerja
2. Tidak bekerja
Ordinal
47
C. Hipotesis
Hasil penelitian yang akan diharapkan oleh peneliti adalah:
1. Karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis
pekerjaan) berisiko terhadap kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan.
2. Merokok (status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang
dihisap, lama merokok dan jenis rokok) berisiko terhadap kejadian
penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selat
48
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan
desain kasus kontrol. Penelitian dengan disain studi kasus kontrol bertujuan
untuk melihat proprorsi variabel merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis rokok) dan
karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis
pekerjaan) pada kelompok kasus maupun kontrol serta melihat hubungan
antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru di Puskesmas Setu, Kota
Tangerang Selatan.
B. Lokasi Dan Waktu Dan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan pada bulan April-Mei tahun 2015.
C. Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru BTA
positif yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang
Selatan dan tercatat di formulir daftar tersangka penderita (suspek yang
diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun
49
2012 sampai 2015. Adapun sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua
kelompok kasus dan kontrol dimana kelompok kasus merupakan pasien yang
menderita TB paru BTA positif dan berdomisili di wilayah kerja di
Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015, sedangkan
kelompok kontrol adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien
dan tidak menderita TB paru pada tahun dimana pasien telah terdiagnosa TB
paru BTA positif.
Selain itu, penentuan populasi penelitian yang dapat diteliti (eligible
population) adalah responden telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol. Adapun
kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus diantaranya adalah:
1. Kriteria inklusi untuk kasus
a. Pasien yang menderita dan tercatat TB paru BTA positif di formulir
daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS
(TB.06)) Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan selama tahun
2012 sampai 2015.
b. Pasien berusia > 17 tahun.
c. Pasien berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan.
50
2. Kriteria eksklusi untuk kasus
a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB Paru BTA negatif
b. Pasien meninggal.
3. Kriteria inklusi untuk kontrol
a. Keluarga pasien yang tinggal serumah dengan pasien dan tidak
menderita TB paru jenis apapun pada tahun dimana pasien telah
terdiagnosa TB paru BTA positif.
b. Pasien berusia > 17 tahun.
c. Pasien berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan.
4. Kriteria eksklusi untuk kontrol
a. Pernah menderita suspect TB paru dan TB paru BTA negatif.
Untuk menghitung besar sampel dalam penelitian ini, rumus besar
sampel yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan :
n = Jumlah sampel minimal
Z1-α/2 = Derajat kepercayaan (1,64)
51
Z1-β = Kekuatan uji (0,84)
P = Proporsi di populasi
P1 = Proporsi terpapar pada kelompok kasus
P2 = Proporsi terpapar pada kelompok kontrol
Dari persamaan di atas dan didasarkan pada peritungan P2 dari hasil
penelitian sebelumnya, nilai P1-P2 yang ditentukan sendiri oleh penulis,
dimana jumlah sampel setiap variabel dengan α = 0,05, maka dapat dihitung
besar sampel minimal sebagai berikut :
Tabel 3
Besar Sampel
No Variabel Peneliti P2 P1-P2 n
1. Status merokok Kollapan (2002) 0,63 10% 175,2
2. IMT Rusnoto (2010) 0,642 10% 130,9
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, maka diperoleh besar
sampel minimal untuk penelitian ini adalah 176 responden. Jumlah kelompok
kasus TB paru BTA positif berdasarkan laporan Puskesmas Setu, Kota
Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015 sebesar 45 kasus, maka jumlah
kelompok kontrol untuk penelitian ini sebesar 3 x 45 = 135 kontrol. Jumlah
kontrol didapat berdasarkan perbandingan kasus dan kontrol 1 : 3. Kontrol
diambil dari 3 anggota keluarga kasus. Apabila jumlah anggota keluarga
kasus kurang dari 3 orang, maka tetangga terdekat yang diambil menjadi
sampel dan apabila anggota keluarga kasus lebih dari 3 orang, maka yang
52
dijadikan kontrol adalah anggota keluarga kasus yang berada di rumah saat
penelitian dan sesuai dengan kriteria inkusi kontrol.
Bagan 4
Alur Pengambilan Sampel
Kriteria eksklusi Kriteriaeksklusi
Bersedia Bersedia
Puskesmas Setu
Kasus
Kontrol
Kriteria inklusi
(n= 45)
Kriteria inklusi
(n= 135)
Eligible population
(n= 45)
Eligible population
(n=135)
Ya
(Respon Rate)
100%
Tidak
(Non Respon)
0%
Ya
(Respon Rate)
100%
Tidak
(Non Respon)
0%
53
D. Metode dan Instrumen Pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi
menjadi dua yakni telaah dokumen dan wawancara terstruktur dengan
menggunakan kuesioner. Telaah dokumen didapatkan dari formulir daftar
tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak SPS (TB.06)) Puskesmas
Setu Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015 yang digunakan untuk
memperoleh informasi untuk kasus terkait variabel kasus TB paru BTA positif
yang terdiri dari nama, umur pertama kali terdiagnosis TB paru dan jenis
kelamin. Telaah dokumen dari kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
digunakan untuk memperoleh informasi mengenai variabel IMT. Sedangkan
informasi variabel IMT untuk kontrol di dapatkan dengan cara mengukur
berat badan menggunakan timbangan dan tinggi badan menggunakan meteran.
Metode wawancara terstruktur digunakan untuk memperoleh informasi
mengenai tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok dan jenis rokok.
54
E. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder.
1. Data Primer
Semua variabel independen tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama
merokok, jenis rokok diketahui dengan melakukan wawancara terstruktur
menggunakan kuesioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam peneitian ini adalah data
pendukung seperti data jumlah penderita TB paru BTA positif, hasil
pemeriksaan laboratorium pasien nama dan alamat tempat tinggal, umur
pertama kali terdiagnosis TB, jenis kelamin dan IMT yang didapatkan
dari formulir daftar tersangka penderita (suspek yang diperiksa dahak
SPS (TB.06)) dan kartu pengobatan pasien TB (TB.01) Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai 2015.
55
F. Pengolahan Data
Kuesioner atau lembar hasil wawancara yang telah diisi dikumpulkan
kemudian diperiksa kelengkapannya, dimasukkan dan diolah dengan sistem
komputerisasi menggunakan SPSS versi 16 dan Microsoft Excel 2010 dengan
tahap-tahap sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Data (Editing)
Memeriksa kelengkapan data baik yang telah dikumpulkan melalui
daftar pertanyaan pada kuisioner maupun data yang telah memenuhi
kriteria inklusi dan eklusi pada kelompok kasus dan kontrol saat
penelitian berlangsung.
2. Pemberian Kode (Coding)
Pengkodean data yaitu memeriksa kuesioner dengan
mengklasifikasi data dan memberi kode untuk masing-masing pertanyaan
sesuai dengan tujuan pengumpulan data.
Tabel 4
Pengkodean Data
No Variabel Kode
1. Identitas responden IR
2. Riwayat TB A
3. IMT B
4. Merokok C
Pengkodean data dilakukan untuk memudahkan kegiatan pengolahan data
selanjutnya.
56
3. Pemasukan Data (Data Entry)
Pemasukan data yaitu memasukan data dengan bantuan komputer
dengan aplikasi tertentu untuk kemudian dianalisis.
4. Pembersihan Data (Data Cleaning)
Pembersihan data yaitu membersihkan data dari kesalahan
memasukkan data. Data-data yang tidak lengkap karena salah
memasukkan data akan dilengkapi. Data-data yang aneh, janggal atau
ekstrim akan dikeluarkan karena dikhawatirkan akan memberikan
hasil yang tidak valid. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah
dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai
kelogisannya. Setelah dicek kembali untuk memastikan data tersebut
telah bersih dari kesalahan, maka data tersebut siap untuk ditelaah lebih
lanjut.
G. Analisis Data
Setelah dilakukan editing, coding, entry dan cleaning, data yang
diperoleh masing-masing dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 16 dan
Microsoft Excel 2010. Adapun analisa data yang dilakukan antara lain:
57
1. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat proporsi semua variabel
yaitu status merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap,
lama merokok, jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan
terakhir dan jenis pekerjaan pada masing-masing kelompok kasus
maupun kontrol. Hasil analisis univariat berupa distribusi frekuensi dari
setiap variabel. Selanjutnya, hasil analisis univariat ditampilkan dalam
bentuk Tabel.
2. Analisis bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat nilai Odds Rasio (OR)
pada masing-masing variabel dengan kejadian TB paru. Uji OR
merupakan salah satu uji yang digunakan untuk melihat besar risiko
variabel independen. Variabel tersebut diantaranya adalah status
merokok, usia mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok,
jenis rokok, IMT, umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan jenis
pekerjaan. Selain itu analisis bivarat bertujuan untuk melihat hubungan
antara merokok dengan kejadian penyakit TB paru. Hasil analisis data
disajikan dalam bentuk tabel.
Nilai OR merupakan perbandingan antara risiko yang dialami oleh
mereka yang terpapar dengan mereka yang tidak terpapar. Nilai OR
dimulai dari nol (0) sampai tak terhingga. Nilai OR sama dengan satu
58
(OR=1) berarti tidak ada hubungan. Nilai OR lebih kecil dari 1 berarti
faktor tersebut bersifat protektif (OR< 1). Sedangkan jika OR lebih dari 1
(> 1) berarti bahwa faktor tersebut merupakan faktor risiko (Meehan,
2003).
Rumus dari OR adalah:
Keterangan :
OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian TB Paru BTA positif
a/b : Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus yang
tidak terpapar.
c/d : Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan kontrol
yang tidak terpapar.
Jika dalam penelitian ini dihasilkan nilai OR dengan rentang CI
(confident interval) yang tidak mencakup nilai 1,00 maka bisa dinyatakan
signifikan pada α 10%. Namun jika nilai lower limit dan upper limit (nilai
CI) mencakup 1,00 maka hasil penelitian dinyatakan tidak signifikan
secara statistik pada nilai alpha 0,01 (Meehan, 2003).
59
BAB V
HASIL
A. Gambaran Umum Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
UPT Puskesmas Setu merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan
tingkat pertama dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan. Wilayah kerja UPT Puskesmas Setu meliputi dua kelurahan yaitu
Kelurahan Setu dan Kelurahan Muncul dan terletak di wilayah Kelurahan
Setu yang mempunyai luas wilayah kurang lebih 3.189,35 Ha, dengan batas
wilayah sebagai berikut (Puskesmas Setu, 2013):
Utara : Kecamatan Serpong dan Puskesmas Serpong
Barat : Kecamatan Cisauk dan Puskesmas Keranggan
Selatan : Gunung Sindur Kabupaten Bogor
Timur : Kelurahan Babakan dan Puskesmas Bhakti Jaya
Puskesmas Setu memiliki 1 buah Ambulans dan 1 Puskesmas
pembantu yang terletak di Kelurahan Muncul. Adapun tujuannya untuk
mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pengobatan. Puskesmas
Setu, Kota Tangerang Selatan memiliki 14 Posyandu dan 6 Posbindu. Masing-
masing Posyandu dan Posbindu dipegang oleh + 5 kader, sehingga jumlah
60
kader yang dimiliki Puskesmas Setu sebanyak + 102 kader (Puskesmas Setu,
2013).
Sumber daya kesehatan yang dimiliki Puskesmas Setu, Kota
Tangerang Selatan yaitu 2 tenaga struktural, 2 dokter umum, 1 dokter gigi, 10
bidan, 4 perawat, 1 perawat gigi, 1 pelaksana gizi, 1 analis kesehatan, 1
asisten apoteker, 3 administrasi, 1 supir, 4 petugas keamanan dan 2 petugas
kebersihan (Puskesmas Setu, 2013).
Program pengendalian TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang
Selatan merupakan bagian dari penyakit menular. Jumlah sumber daya
manusia di Program Pengendalian TB paru ada sebanyak 3 orang penanggung
jawab program yaitu 1 orang dokter, 1 orang perawat dan 1 orang laboran
(Puskesmas Setu, 2013). Adapun dalam penyelenggaraan Program
Pengendalian TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan
berpedoman pada Permenkes, dimana Permenkes terbaru tentang pedoman
nasional pengendalian tuberkulosis adalah Permenkes Nomor 364 Tahun
2009.
61
B. Proporsi Faktor Risiko TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan
Distribusi faktor risiko kejadian TB paru pada kasus dan kontrol dapat dilihat
pada Tabel 5:
Tabel 5
Distribusi Faktor Risiko Kejadian TB Paru Kasus dan Kontrol
di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan
No Variabel Kasus Kontrol
n % n %
1. Status Merokok
Tidak merokok
Pernah merokok
Merokok
Jumlah
12
14
19
45
26,7
31,1
42,2
100,0
59
20
56
135
43,7
14,8
41,5
100,0
2. Usia Mulai Merokok
> 20 tahun
10-19 tahun
Jumlah
9
24
33
27,3
72,7
100,0
16
60
76
21,1
78,9
100,0
3. Jumlah Rokok yang dihisap
1-12 batang
> 13 batang
Jumlah
28
5
33
84,8
15,2
100,0
63
13
76
82,9
17,1
100,0
4. Lama Merokok
1-15 tahun
> 16 tahun
Jumlah
20
13
33
60, 6
39,4
100,0
37
39
76
48,7
51,3
100,0
5. Jenis Rokok
Putih
Kretek
Jumlah
16
17
33
48,5
51,5
100,0
46
30
76
60,5
39,5
100,0
6. IMT
Normal
Kurang
Kegemukan
Jumlah
23
19
3
45
51,1
42,2
6,7
100,0
84
20
31
135
62,2
14,8
23,0
100,0
62
7. Umur
> 56 tahun
17-55 tahun
Jumlah
6
39
45
13,3
86,7
100,0
14
121
135
10,4
89,6
100,0
8. Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
Jumlah
26
19
45
57,8
42,2
100,0
78
57
135
57,8
42,2
100,0
9. Pendidikan Terakhir
Sekolah wajib 9 tahun
Tidak sekolah wajib 9 tahun
Jumlah
23
22
45
51,1
48,9
100,0
92
43
135
68,2
31,8
100,0
10. Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
Jumlah
21
24
45
46,7
53,3
100,0
53
82
135
40,0
60,0
100,0
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa sebagian besar dari kasus
adalah perokok (42,2%) dengan usia mulai merokok 10-19 tahun
(72,7%), rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari
(84,8%), lama merokok 1-15 tahun (60,6%) dan jenis rokok yang hisap
kretek (51,5%). Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan
perokok.
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa karakteristik sebagian besar
kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%), umur
pertama kali didiagnosis TB paru 17-55 tahun (86,7%), berjenis kelamin
perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (51,1%) dan tidak
bekerja (53,3%). Sedangkan karakteristik sebagian besar kontrol adalah
IMT normal saat terdiagnosis TB paru (62,2%), umur saat penelitian 17-
63
55 tahun (89,6%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh
pendidikan 9 tahun (68,2%) dan tidak bekerja (60%).
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan
Setelah mengetahui distribusi variabel merokok, selanjutnya dilakukan
analisis bivariat. Hasil analisis bivariat yang menggambarkan risiko masing-
masing variabel terhadap kejadian TB akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 6
Merokok dengan Kejadian TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
No Variabel n+ Odd Ratio (OR) (95% CI)
1. Status Merokok
Tidak merokok
Pernah merokok
Merokok
12/59
14/20
19/56
1,00
3,44
1,69
Reference
1,37-8,66
0,742-3,35
2. Usia Mulai Merokok
> 20 tahun
10-19 tahun
9/16
24/60
1,00
0,71
Reference
0,28-1,83
3. Jumlah Rokok yang dihisap
1-12 batang/hari
> 13 batang/hari
28/63
5/13
1,00
1,16
Reference
0,38-3,55
4. Lama Merokok
1-15 tahun
> 16 tahun
20/37
13/39
1,00
0,69
Reference
0,30-1,57
5. Jenis Rokok
Putih
Kretek
16/46
17/30
1,00
1,63
Reference
0,72-3,71
+ : Jumlah kasus dan kontrol
64
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pernah merokok dengan kejadian TB paru dengan besar risiko 3,44 kali
lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Merokok berisiko untuk
terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol,
namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa responden yang menghisap
rokok rata-rata > 13 batang/hari bersiko untuk terjadinya TB paru 1,16 kali
lebih besar dibanding responden yang menghisap rokok rata-rata 1-12
batang/hari, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Begitu pula
dengan jenis rokok, responden yang menghisap rokok kretek bersiko untuk
terjadinya TB paru 1,63 kali lebih besar dibanding responden yang menghisap
rokok putih, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sedangkan
usia mulai merokok dan lama merokok bersifat proteksi terhadap kejadian TB
paru.
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Setu Kota Tangerang Selatan
Setelah mengetahui distribusi karakteristik selanjutnya dilakukan
analisis bivariat. Hasil analisis bivariat yang menggambarkan risiko masing-
masing variabel terhadap kejadian TB akan dijelaskan sebagai berikut:
65
Tabel 7
Karakteristik dengan Kejadian TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan
No Variabel n+ Odd Ratio OR (95% CI)
1. IMT
Normal
Kurang
Kegemukan
23/84
19/20
3/31
1,00
3,47
2,83
Reference
1,59-7,56
0,79-10,09
2. Umur
> 56 tahun
17-55 tahun
6/14
39/121
1,00
0,75
Reference
0,27-2,09
3. Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
26/78
19/57
1,00
1,00
Reference
0,51-1,98
4. Pendidikan Terakhir
Sekolah wajib 9 tahun
Tidak sekolah wajib 9 tahun
23/92
22/43
1,00
2,05
Reference
1,03-4,07
5. Pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
21/53
24/82
1,00
0,75
Reference
0,38-1,48
+ : Jumlah kasus dan kontrol
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan
antara IMT kurang dengan kejadian TB paru, dengan besar risiko 3,47 kali
lebih besar dibanding responden dengan IMT normal. Responden dengan IMT
kegemukan bersiko untuk terjadinya TB paru 2,83 kali lebih besar dibanding
responden dengan IMT normal, namun tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan
antara tidak sekolah wajib 9 tahun dengan kejadian TB paru, dengan besar
risiko 2,05 kali lebih besar dibanding responden sekolah wajib 9 tahun. Pada
66
jenis kelamin menunjukkan tidak ada hubungan dengan kejadian TB paru.
Sedangkan umur dan pekerjaan bersifat proteksi terhadap kejadian TB paru.
67
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol yang memiliki
potensi terjadinya recall bias. Variabel yang memiliki potensi terjadinya
recall bias adalah IMT. IMT diukur dengan membandingkan berat badan dan
tinggi badan. Pada pengukuran berat badan dan tinggi badan, beberapa
responden tidak melakukan pengukuran karena kondisi kesehatan yang
kurang baik, sehingga angka berat badan dan tinggi badan didapatkan
berdasarkan pengakuan dari responden tanpa didukung oleh ketersediaan data
sekunder hasil pemeriksaan di masa lalu. Namun diupayakan ada tambahan
informasi dari orang terdekat responden seperti anak kandung, suami/istri,
atau saudara kandung untuk memastikan berat badan dan tinggi badan
responden.
Variabel lain yang memiliki potensi terjadinya recall bias adalah
status merokok. Status merokok didapatkan berdasarkan pengakuan dari
responden saat diwawancarai. Beberapa responden lupa apakah pernah
merokok atau tidak. Sehingga, ada tambahan informasi dari orang terdekat
responden seperti anak kandung, suami/istri, atau saudara kandung mengenai
status merokok.
68
Kelemahan lain pada penelitian ini berada pada kelompok kontrol.
Kelompok kontrol dalam penelitian ini ialah keluarga pasien dengan
persyaratan tinggal serumah dengan pasien, dimana pada saat penelitian
dilakukan dinyatakan bahwa kelompok kontrol bukanlah sebagai penderita
TB paru berdasarkan pengakuan dan tidak dilakukan pemeriksaan melalui
laboratorium.
B. Kejadian TB Paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacteria Tuberkulosis). Masa inkubasinya yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai terjadinya sakit, diperkirakan selama 4
sampai 6 minggu (Depkes, 2008). Kuman ditularkan oleh penderita TB paru
BTA positif melalui batuk, bersin atau saat berbicara lewat percikan droplet
yang keluar. Seseorang dinyatakan menderita TB paru apabila sudah
melakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis sebanyak 3 kali
pemeriksaan (SPS) di laboratorium (Kemenkes, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar kasus adalah
perokok (42,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati
(Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa
proporsi merokok pada kelompok TB paru sebesar 54,7%. Penelitian ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain
69
kasus kontrol yang menemukan bahwa sebagian besar dari penderita TB paru
memiliki kebiasaan merokok (63%).
Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit TB paru.
Rokok mengandung 4800 jenis zat kimia diantaranya adalah nikotin, tar, CO,
timah hitam dan lain-lain, yang semuanya merupakan zat kimia berbahaya
bagi kesehatan (Kemenkes, 2012). Nikotin bersifat sangat adiktif dan beracun.
Nikotin yang dihirup dari asap rokok masuk ke paru-paru dan masuk ke dalam
aliran darah kemudian masuk ke dalam otak perokok dalam tempo 7-10 detik.
Nikotin merangsang terjadinya sejumlah reaksi kimia yang mempengaruhi
hormon dan neurotransmitter seperti adrenalin, dopamine dan insulin
sehingga membuat sensasi yang nikmat pada rokok seketika tetapi sensasi ini
hanya berlangsung seketika, sehingga membuat orang yang menghisapnya
menjadi kecanduan. (Kemenkes, 2012).
Secara farmakologi, nikotin adalah racun yang mematikan.
Konsentrasi nikotin biasanya sekitar 5% dari per 100 gram berat tembakau.
Sebatang rokok biasanya mengandung 8-20 mg nikotin. Tubuh menyerap 1
mg nikotin untuk satu batang rokok yang dihisap. Kadar nikotin 4-6 mg yang
diisap oleh orang dewasa setiap hari sudah bisa membuat seseorang ketagihan.
Dosis lethal (mematikan) nikotin pada manusia sekitar 60 mg.
Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, semakin tinggi juga risiko
untuk terkena penyakit-penyakit berisiko tinggi akibat rokok. Hal ini
dikarenakan nikotin dapat terakumulasi di dalam hati, ginjal, lemak dan paru-
70
paru. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan syaraf, menyebabkan
peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung bertambah,
kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen bertambah, aliran
darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi pembuluh darah
perifer meningkatkan kolesterol LDL, dan meningkatkan agregasi sel
pembekuan darah (Kemenkes, 2012).
Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan sudah memiliki program penyuluhan yang dilaksakan rutin
setiap bulannya di Posbindu. Posbindu adalah adalah pos pembinaan terpadu
untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati,
yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan
pelayanan kesehatan dan menjadi sarana pelayanan kesehatan dasar yang
penting untuk meningkatkan kesehatan para lansia (Kemenkes, 2013).
Pelayanan kesehatan yang ada di Posbindu salah satunya adalah penyuluhan.
Penyuluhan disini bisa diberikan dengan beberapa cara, bisa dengan
penyuluhan langsung melalui oral maupun penyuluhan dengan menggunakan
media seperti poster ataupun leaflet. Dengan demikian, diharapkan bagi
masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari
penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.
Pada penelitian ini diketahui bahwa usia mulai merokok sebagian
besar kasus adalah 10-19 tahun (72,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol
71
yang melaporkan bahwa usia mulai merokok kasus TB paling banyak
ditemukan pada usia 15-20 tahun.
Usia 10-19 tahun merupakan masa remaja, masa awal seseorang dalam
menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial
baru, dikatakan sebagai masa sulit bagi individu karena pada masa ini
seseorang dituntut untuk melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua
dan berusaha untuk bisa mandiri. Pada masa remaja, ada sesuatu yang lain
yang sama pentingnya dengan kedewasaan, yakni solidaritas kelompok dan
melakukan apa yang dilakukan oleh kelompok. Apabila dalam suatu
kelompok remaja telah melakukan kegiatan merokok maka individu remaja
merasa harus melakukannya juga. Individu remaja tersebut mulai merokok
karena individu dalam kelompok remaja tersebut tidak ingin dianggap sebagai
orang asing, bukan karena individu tersebut menyukai rokok (Elizabeth,
1999).
Pemberian edukasi mengenai rokok sedini mungkin sangat diperlukan
bagi remaja. Pengetahuan tersebut bisa didapatkan melalui keluarga, karena
keluarga merupakan pendidikan pertama bagi seseorang dalam mendapatkan
pendidikan dan pengetahuan. Selanjutnya seorang anak mulai bersekolah
dimana ia akan memperoleh pendidikan secara formal dari
guru/pengajar/pendidik. Oleh karena itu, sekolah merupakan lembaga yang
sangat penting didalam pembentukan kepribadian anak dan menentukan mutu
72
anak tersebut dikemudian hari. Pengetahuan yang cukup akan mendorong
seseorang untuk memiliki perilaku hidup bersih dan sehat (Ruswanto, 2010).
Berdasarkan observasi yang dilakukan, Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan sudah memiliki program usaha kesehatan sekolah (UKS)
pada setiap sekolah yang ada di wilayah kerja Puskesmas. UKS ini merupakan
salah satu upaya preventif yang diberikan Puskesmas melalui sekolah. Salah
satu kegiatan di UKS adalah konseling remaja. Pada kegiatan konseling
remaja, setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan konseling dari petugas
kesehatan, sehingga mendapatkan informasi mengenai kesehatan, salah
satunya adalah rokok. Dengan demikian, diharapkan selalu ada kerja sama
yang baik antara sekolah dengan Puskesmas, agar setiap anak mendapatkan
edukasi sedini mungkin.
Pada penelitian ini diketahui bahwa rata-rata batang rokok yang
dihisap kasus 1-12 batang perharinya (84,8%). Gambaran penderita TB paru
dalam penelitian ini juga sesuai dengan hasil Riskesdas (2013), rata-rata
jumlah batang rokok yang dihisap per hari per orang di Indonesia adalah 12
batang (setara satu bungkus). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang
melaporkan bahwa batang rokok yang dihisap paling banyak sekitar 1-10
batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol. Penelitian ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan di Purwokerto (Sarwani, 2012)
73
dengan desain kasus kontrol yang melaporkan bahwa rata-rata batang rokok
yang dihisap 10-20 batang perharinya baik pada kasus maupun kontrol.
Salah satu zat kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok adalah
timah hitam. Setiap satu batang rokok yang dihisap diperhitungkan
mengandung 0,5 mikrogram timah hitam. Bila seorang menghisap 1 bungkus
rokok per hari berarti menghasilkan 10 mikrogram, sedangkan batas bahaya
kadar timah hitam dalam tubuh adalah 20 mikrogram/hari. Hal ini dapat
merusak tubuh apabila dikonsumsi terus menerus. Terpaparnya timah hitam
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai
meninggal (Kemenkes, 2012). Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat
agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan,
media masa maupun pada bungkus rokok.
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian kasus memiliki durasi
merokok 1-15 tahun (60,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
di Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan
bahwa lamanya merokok paling banyak > 10 tahun baik pada kasus maupun
kontrol. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di
Purwokerto (Sarwani, 2012) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan
bahwa lamanya merokok paling banyak > 20 tahun baik pada kasus maupun
kontrol.
Setelah merokok bertahun-tahun, perokok mungkin mengalami
dampak buruk yang ditimbulkan dari asap rokok, misalnya keluhan perih di
74
mata, sesak napas dan batuk. Semakin lama durasi merokok seseorang,
semakin semakin besar kemungkinan terserang penyakit. Kebiasaan merokok
dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobin E yang spesifik. Kadar
antibodi terhadap bahan ini ternyata empat sampai lima kali lebih tinggi pada
perokok dibandingkan bukan perokok (Aditama, 1997). Dengan demikian,
diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang
didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus menghisap
merokok kretek (51,5%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan di
Thailand (Ariyothai, 2004) dengan desain kasus kontrol yang melaporkan
bahwa jenis rokok yang dihisap paling banyak adalah rokok putih/filter baik
pada kasus maupun kontrol.
Rokok kretek merupakan jenis rokok yang paling berbahaya. Rokok
kretek mengandung 60-70% tembakau, 30-40% cengkeh dan zat adiktif
lainnya. Rokok ini memiliki nikotin, tar, karbon monoksida yang lebih banyak
dari rokok lainnya, sehingga memberikan efek kecanduan yang lebih besar
dibanding jenis rokok lainnya (CDC, 2013). Dengan demikian, diharapkan
bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik
dari penyuluhan, media masa maupun pada bungkus rokok.
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus memiliki
IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%). Gambaran penderita TB paru
dalam penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan di NTB
75
(Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa 63% dari kasus
memiliki IMT kurang. Penelitian ini juga berbeda dengan penelitian yang
dilakukan di Pati (Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol yang
melaporkan bahwa proporsi status gizi (IMT) kurang pada kelompok TB paru
64,2 % lebih besar dari kelompok bukan TB paru.
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar kasus pertama kali
didiagnosa TB paru pada umur 17-55 tahun (86,7%). Umur pertama kali
didiagnosa menjadi penting untuk mengetahui kapan biasanya penyakit mulai
timbul. Gambaran penderita TB paru dalam penelitian ini juga sesuai dengan
Kemenkes (2011), dimana diperkirakan 75% penderita TB adalah kelompok
umur produktif yaitu 15-50 tahun (Kemenkes, 2011).
Konsistensi hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan di NTB (Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol. Pada penelitian
tersebut ditemukan bahwa umur pertama kali didiagnosis TB paru paling
banyak responden terdapat pada kelompok umur produktif antara umur 11-55
tahun (71,1%). Kelompok umur tersebut merupakan umur dimana seseorang
produktif dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apabila seseorang
sakit akibat TB paru, hal tersebut akan berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20%-30%. Jika Penderita TB paru
meninggal akibat TB paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun (Kemenkes, 2010).
76
Tidak merokok merupakan bagian dari perilaku hidup dan sehat
(PHBS). Apabila PHBS diterapkan, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun
lingkungan, maka kuman TB tidak berkembang dan hidup di lingkungan
rumah. Kuman TB akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab, sehingga
dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tidur), tertidur lama selama
beberapa tahun (Depkes, 2002). Dengan demikian, diharapkan bagi
masyarakat untuk menerepkan PHBS.
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden berjenis
kelamin perempuan, baik dari kasus maupun kontrol. Hal ini berbeda dengan
hasil Riskesdas (2013), distribusi kejadian TB paru di Indonesia sebagian
besar berjenis kelamin laki-laki (prevalensi = 0,4%) (Riskesdas, 2013).
Penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di NTB
(Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi untuk
jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus maupun pada
kontrol.
Perbedaan ini terjadi kemungkinan karena perempuan lebih banyak
memiliki kesempatan untuk berobat ke Puskesmas. Karena berdasarkan hasil
observasi, kebanyakan kasus merupakan ibu rumah. Sehingga kasus yang
terlaporkan di Puskesmas paling banyak adalah perempuan.
Laki-laki lebih umum terkena TB paru, kecuali pada perempuan
dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang
77
menurunkan resistensi. Jumlah penderita TB paru laki-laki hampir dua kali
lipat dibandingkan jumlah penderita TB paru pada perempuan, yaitu 42,3%
pada laki-laki dan 28,9% pada perempuan. TB paru lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok, berada di luar rumah dan faktor pekerjaan
sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru (Ruswanto, 2010).
Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden baik
pada kelompok kasus maupun kontrol telah menempuh pendidikan 9 tahun
dan status tidak bekerja. Hal ini berbeda dengan hasil Riskesdas (2013),
proporsi penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidak
pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%. Pada hasil penelitian ini juga terlihat
adanya perbedaan antara variabel pendidikan terakhir dan pekerjaan
responden. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya (Ruswanto, 2010). Hal ini kemungkinan karena sebagian besar
kasus adalah berjenis kelamin perempuan dan menjadi ibu rumah tangga.
C. Hubungan Merokok Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan
Merokok merupakan salah satu faktor risiko TB paru. Merokok adalah
membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik menggunakan
rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang
dibakar adalah 9000C untuk ujung rokok yang dibakar dan 30
0C utnuk ujung
78
rokok yang terselip diantara bibir perokok. Asap panas yang berhembus terus
menerus masuk ke dalam rongga mulut merupakan rangsangan panas yang
menyebabkan perubahan aliran darah dan mengurangi pengeluaran ludah.
Akibatnya rongga mulut menjadi kering sehingga dapat mengakibatkan
perokok berisiko lebih besar terinfeksi bakteri.
Bahan kimia berbahaya yang terkandung dalam rokok diantaranya
adalah nikotin, tar dan gas CO. Nikotin bersifat toksis terhadap jaringan
syaraf, menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut
jantung bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian oksigen
bertambah, aliran darah pada pembuluh koroner bertambah, vasokonstriksi
pembuluh darah perifer meningkatkan kolesterol LDL dan meningkatkan
agregasi sel pembekuan darah (Kemenkes, 2012).
Tar dihirup dari asap rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa
silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan
infeksi. Silia juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri pada sel epitel
pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran
napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak
(hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan
oleh penurunan perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari
respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam
melawan infeksi akut. Tar juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B-
limposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara
79
ringkas tar dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas
dan jaringan paru-paru.serta respon imunologis pejamu terhadap infeksi
(Eisner, 2008).
Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat
dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen sehingga setiap ada
asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang,
ditambah lagi sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang
diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen
akan melakukan spasme yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila proses ini
berlangsung terus menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan
terjadinya proses aterosklerosis (penyempitan). Penyempitan pembuluh darah
akan terjadi di mana-mana. Terpaparnya dengan CO dalam jumlah yang besar
dapat menyebabkan hilangnya kesadaran sampai meninggal. Pada saluran
napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya
sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan jumlah sel
radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru) (Kemenkes, 2012).
Selain itu, temuan yang dikumpulkan oleh International Union
Against Tuberkulosis and Lung Disease (IUATLD) menunjukkan bahwa
pajanan asap rokok berhubungan dengan risiko penularan TB paru, terutama
pajanan asap sekunder atau secondhand smoke (asap yang dikeluarkan dari
mulut perokok). Korban utama dari temuan ini adalah anak-anak dan umur
muda. Kematian anak-anak akibat TB paru pada 1 dari 5 orang terutama
80
berhubungan dengan kebiasaan merokok orang tua di dekat anaknya.
Kematian dan kekambuhan TB berhubungan dengan jumlah serta lama
merokok pada penderita TB sehingga program berhenti merokok perlu
ditekankan pada penderita TB (PPTI, 2004).
Pada penelitian ini diketahui bahwa pernah merokok merupakan salah
faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu Kota Tangerang Selatan dengan
besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan
demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara
variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan
hasil uji statistik.
Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada
kasus dibandingkan pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan. Hal ini bisa terjadi karena status merokok seseorang diperngaruhi
juga oleh lamanya dia merokok. Pada penelitian ini diketahui bahwa pada
kategori pernah merokok paling banyak responden memiliki lama merokok
lebih dari 15 tahun (52%), sedangkan pada kategori merokok paling banyak
responden memiliki lama merokok antara 1-15 tahun (86,4%). Pada penelitian
ini juga diketahui bahwa kebanyakan responden yang merokok adalah laki-
laki (85,5%), sehingga kasus merupakan perokok pasif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di India
(Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang
merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar terkena TB paru
81
dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan di Pati
(Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa orang yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko 2,56 kali lebih besar terkena TB paru
dibanding orang yang tidak pernah merokok.
Penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan
desain Cross Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok
memiliki risiko 1,99 kali lebih besar terkena TB paru dibanding orang yang
tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong (Leung, 2008)
dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok memiliki risiko 2,87 kali
lebih tinggi terserang TB paru dibanding orang yang tidak pernah merokok.
Merokok sangat membahayakan bagi kesehatan, khususnya sebagai
faktor risiko penyakit TB paru. Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat
agar memperhatikan bahaya merokok yang didapatkan baik dari penyuluhan,
media masa maupun pada bungkus rokok.
D. Hubungan Karakteristik Dengan TB Paru di Puskesmas Setu Kota
Tangerang Selatan
Pada penelitian ini diketahui bahwa IMT kurang merupakan salah satu
faktor risiko TB paru di Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan dengan
besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol. Dengan
demikian, hasil penelitian ini bisa membuktikan hubungan kausalitas antara
82
variabel independen dan variabel dependen berdasarkan kriteria kekuatan
hasil uji statistik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pati
(Rusnoto, 2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa seseorang
dengan IMT > 18,5 memiliki risiko 3,79 kali lebih tinggi terkena TB paru
dibandingkan dengan mereka yang memiliki IMT ≥ 18,5. Penelitian yang
dilakukan di Cilacap (Fatimah, 2008) dengan desain kasus kontrol
melaporkan bahwa status gizi kurang memiliki risiko 2,74 kali lebih tinggi
terserang TB paru dibandingkan dengan mereka yang memiliki status gizi
baik.
Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang
terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu
yang berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan
tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada
keadaan gizi yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun
sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi
seperti TB paru menjadi menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang
menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya
mengalami penurunan (Notoatmodjo, 2007).
Dengan demikian, diharapkan bagi masyarakat untuk menjaga status
gizi. Karena, status gizi yang buruk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian TB paru, kekurangan kalori dan protein serta
83
kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko terkena TB paru (Supariasa,
2001).
Pendidikan terakhir juga menjadi faktor risiko TB paru di Puskesmas
Setu, Kota Tangerang Selatan. Pendidikan terakhir yang berisiko adalah yang
tidak sekolah wajib 9 tahun dengan besar risiko 2,05 kali lebih besar pada
kasus dibanding pada kontrol. Dengan demikian, hasil penelitian ini bisa
membuktikan hubungan kausalitas antara variabel independen dan variabel
dependen berdasarkan kriteria kekuatan hasil uji statistik.
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan dan pengetahuan penyakit TB, sehingga dengan pengetahuan yang
cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin
dan sehat. Selain itu tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
terhadap jenis pekerjaannya (Ruswanto, 2010).
84
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan hubungan
merokok dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Setu
Kota Tangerang Selatan, diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan status merokok sebagian besar
dari kasus adalah perokok (42,2%) dengan usia mulai merokok 10-19
tahun (72,7%), rata-rata batang rokok yang dihisap 1-12 batang per hari
(84,8%), lama merokok 1-15 tahun (60,6%) dan jenis rokok yang hisap
kretek (51,5%). Sedangkan sebagian besar dari kontrol adalah bukan
perokok.
2. Distribusi kejadian TB paru berdasarkan karakteristik sebagian besar
kasus memiliki IMT normal saat terdiagnosis TB paru (51,1%), umur
pertama kali didiagnosis TB paru 17-55 tahun (86,7%), berjenis kelamin
perempuan (57,8%), menempuh pendidikan 9 tahun (51,1%) dan tidak
bekerja (53,3%). Sedangkan karakteristik sebagian besar kontrol adalah
IMT normal saat terdiagnosis TB paru (62,2%), umur saat penelitian 17-
85
55 tahun (89,6%), berjenis kelamin perempuan (57,8%), menempuh
pendidikan 9 tahun (68,2%) dan tidak bekerja (60%).
3. Ada hubungan yang signifikan antara pernah merokok dengan kejadian
TB paru dengan besar risiko 3,44 kali lebih besar pada kasus dibanding
pada kontrol.
4. Merokok berisiko untuk terjadinya TB paru 1,69 kali lebih besar pada
kasus dibanding pada kontrol, namun tidak menunjukkan hubungan yang
signifikan.
5. Usia mulai merokok, lama merokok, umur dan pekerjaan bersifat proteksi
terhadap kejadian TB paru.
6. Ada hubungan yang signifikan antara IMT kurang dengan kejadian TB
paru, dengan besar risiko 3,47 kali lebih besar pada kasus dibanding pada
kontrol.
7. Ada hubungan yang signifikan antara dengan kejadian TB paru, dengan
besar risiko 2,05 kali lebih besar pada kasus dibanding pada kontrol.
B. Saran
1. Bagi Puskesmas Setu, Kota Tangerang Selatan
a. Melakukan persamaan definisi kasus yang dipakai, baik dari
pemegang program maupun dokter yang mendiagnosis, agar kasus
yang terlaporkan mencapai target yang telah ditetapkan Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan, serta bersama-sama
86
mendiskusikan permasalahan yang ditemukan agar dapat mencari
pemecahan masalahnya.
b. Meningkatkan promosi aktif ke masyarakat dengan melaksanakan
sosialisasi dan pembinaan ke masyarakat tentang penyakit TB Paru
khususnya kepada kader kesehatan.
c. Pengadaan metode KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) seperti
poster dan leaflet tentang penyakit TB Paru dalam memberikan
pengetahuan pada masyarakat minimal di Posbindu di tiap RW.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Memberikan informasi terkait faktor risiko yang mempengaruhi TB paru,
melalui pemberian leaflet atau poster di setiap fasilitas pelayanan
kesehatan wilayah kerja Puskesmas Setu.
3. Bagi Peneliti selanjutnya
a. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian
lanjutan terhadap variabel merokok sebagai risiko kejadian TB paru
khususnya pada perempuan.
b. Penelitian faktor risiko kejadian TB paru dengan desain studi
cohort, khususnya pada variabel status merokok, durasi merokok
dan jenis kelamin.
87
4. Bagi Masyarakat
a. Bagi masyarakat apabila mengalami gejala TB dan kontak serumah
dengan pasien TB harus melakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis di Laboraurium.
b. Diharapkan bagi masyarakat agar memperhatikan bahaya merokok
yang didapatkan baik dari penyuluhan, media masa maupun pada
bungkus rokok.
c. Diharapkan bagi masyarakat agar melaksanakan PHBS dengan
tidak merokok.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abal, A.T, et al. 2004. Effect of cigarette smoking on sputum smear
conversion in adults with active pulmonary Tuberkulosis. NCBI,
PubMed, US National Library of Medicine National Institutes of Health.
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Aditama , T.Y., 2002. Tuberkulosis Diagnosis , Terapi, dan Masalahnya.
Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia: 131.
Adnani, Hariza. 2006. Hubungan Kondisi Rumah dengan Penyakit TBC Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II Kabupaten Gunung Kidul
Tahun 2003 – 2006. Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika
Yogyakarta.
Ariyothai, Niorn, et al. 2004. Cigarette Smoking and Its Relation to
Pulmonary Tuberkulosis in Adults. Vol 35 No. 1 March 2004,
Srinakarinwirot University, Bangkok, Thailand.
Asih, Yasmin. 1995. Kader Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Boon, S den, et al. 2005. Association Between Smoking and Tuberkulosis
Infection: A Population Survey In A High Tuberkulosis Incidence Area.
Centre for TB Research and Education, Department of Paediatrics and
Child Health, Stellenbosch University, Tygerberg, Cape Town, South
Africa .
CDC. 2013. Diakses tanggal 15 Februari 2015 di
http://www.cdc.gov/tobacco/data_statistics/fact_sheets/tobacco_industry
/hookahs/index.htm.
Depkes. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke
8. Jakarta: Depkes RI.
Depkes. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan
kedua, 2008. Jakarta: Depkes RI.
Dinkes Tangsel. 2013. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2012
Eisner M. 2008. Biology and Mechanisms for Tobacco-attributable
Respiratory Diseases, including TB, Bacterial Pnemonia and other
Respiratory Diseases. The International Journal of Tuberculosis and
Lung Disease. Volume 12.
89
Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan
Dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan Sidareja,
Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun
2008. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Gambhir, Harvir S, et al. 2010. Tobacco Smoking-Associated Risk For
Tuberkulosis: A Case-Control Study. Oxford Journals, Medicine and
Health, International Health Volume 2, Issue 3.
IOM dan National Research Council (NRC). 2009. Implementing Guidelines
on Weight Gain Pregnancy.
Kemenkes. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009.
Kemenkes. 2010. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Profil Kesehatan
Indonesia 2009. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2012. Laporan Situasi Terkini Perkembangan Tuberkulosis di
lndonesia Tahun 2011. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Kemenkes. 2012. Peraturan pemerintah No 109 tahun 2012 tentang
Pengamaan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau
bagi Kesehatan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2013. Pos Pembinaan Terpadu. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Ketut, Ni Lisa. S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru
di Puskesmas Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB Tahun
2013. Tesis Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Kolappan, C dan P G Gopi. 2002. Tobacco Smoking and Pulmonary
Tuberkulosis. Epidemiology Unit, Tuberkulosis Research Centre, Mayor
V R Ramanathan Road, Chetput, Chennai 600 031, Tamil Nadu, India.
Kurniasari, Ryana Ayu Setia, Suhartono, Kusyogo Cahyo. 2012. Faktor
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten
Wonogiri.Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 11, No. 2,
Oktober 2012.
Leung, Chi C, et al. 2008. Smoking and Tuberkulosis among the Elderly in
Hong Kong. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine, Vol. 170, No. 9.
90
Lubis, P. 2002. Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi
Pusat, Medan: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen
Kesehatan.
Machfoedz Ircham. 2008. Menjaga Kesehatan Rumah Dari Berbagai
Penyakit, Bagian Dari Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Masyarakat,
Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta.
Meehan, Kathleen. 2003. Investigasi Dan Pengendalian Wabah Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Naben, Alice Ximenis, Suhartono dan Nurjazuli. Kebiasaan Tinggal di Rumah
etnis Timor Sebagai Faktor Risiko Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol. 12, No.1, April 2013.
Notoatmodjo, Soedidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni.
Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soedidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). 2004. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia Vol. 8 - Maret 2012.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). 2012. TB di
Indonesia Peringkat ke-4. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 dari
http://www.ppti.info/2012/09/tbc-di-indonesia-peringkat-ke-5.html.
Puskesmas Setu. 2012. Profil Tahunan Puskesmas Setu Tahun 2012.
Puskesmas Setu. 2013. Profil Tahunan Puskesmas Setu Tahun 2013.
Puskesmas Setu. 2014. Laporan TB Tahun 2014.
Puskesmas Setu. 2015. Laporan Bulanan Tahun 2015.
Riskesdas. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Kementerian
Kesehatan.
Rusnoto. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru
Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan
Penyakit Paru Pati). Jurnal Epidemiologi, Universitas Diponogoro,
Semarang.
Ruswanto, Bambang. 2010. Analisis Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis
Paru Ditinjau dari Faktor Lingkungan dalam dan Luar Rumah di
Kabupaten Pekalongan. Tesis Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro.
91
Sarwani, Dwi dan Sri Nurlela. 2012. Merokok dan Tuberkulosis Paru.
Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto
Setiarini. 2008. Penggunaan Vaksin BCG Untuk Pencegahan Tuberkulosis.
Suarni, Helda. 2009. Faktor Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit TB BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok
Bulan Oktober Tahun 2008- April Tahun 2009. Universitas Indonesia.
Supariasa, Bakri Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi, Jakarta: EGC.
92
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
HUBUNGAN MEROKOK DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS
PARU DI PUSKESMAS SETU TAHUN 2012 SAMPAI 2015
INFORMED CONSENT
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kami, mahasiswa semester 8 Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta sedang melakukan penelitian terkait hubungan merokok dengan kejadian
penyakit tuberkulosis paru di puskesmas setu tahun 2013 dan 2014. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui hubungan antara merokok
dengan kejadian penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas Setu tahun 2013 dan 2014.
Dalam penelitian ini, Bapak/Ibu terpilih sebagai responden/partisipan
berdasarkan laporan Puskesmas. Bapak/Ibu diharapkan dapat memberikan informasi
terkait status merokok, umur mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama
merokok, jenis rokok, IMT, umur terdiagnosis TB, jenis kelamin dan jenis pekerjaan,.
Adapun beberapa pertanyaan dalam kuesioner ini bersifat sangat pribadi dan sensitif
sehingga mungkin dapat mengganggu kenyamanan dan privasi Bapak/Ibu. Namun,
Bapak/Ibu tidak perlu khawatir untuk berpartisipasi dalam penelitian ini karena kami
menjamin kerahasiaan semua informasi yang Bapak/Ibu berikan.
Penelitian ini kemudian diharapkan dapat bermanfaat untuk bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan terutama dalam peningkatan edukasi dan promosi
kesehatan kepada masyarakat terkait faktor risiko kejadian penyakit Tuberkulosis
Paru. Oleh karena itu, partisipasi Bapak/Ibu sangat diharapkan. Namun, Bapak/Ibu
93
tetap memiliki kebebasan untuk menyetujui ataupun menolak berpartisipasi dalam
penelitian ini.
Partisipasi dan kejujuran Bapak/Ibu dalam menjawab kuesioner penelitian sangat
kami hargai dan harapkan. Apabila terdapat keluhan maka Bapak/Ibu dapat
menghubungi nomor telepon kami.
Contact Person: Laila Romlah (08567265854)
Dengan ini saya bersedia menjadi partisipan penelitian dan bersedia mengisi lembar kuesioner yang
telah disediakan dibawah ini dengan sadar tanpa paksaan.
Tangerang Selatan, April 2015
Enumerator, Partisipan,
( .......................................) ( .......................................)
94
BACALAH PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER
IR. IDENTITAS RESPONDEN
Identitas responden diperlukan untuk menghindari pemberian kuesioner pada orang yang sama dan untuk
mengkonfirmasi ketika ada pertanyaan yang belum dijawab atau ada jawaban responden yang kurang jelas.
IR1 Tanggal pengisian kuesioner
IR2 Nama
IR3 No. Telepon
IR4 Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan
( )
IR5 Tanggal Lahir Tanggal_______Bulan_______Tahun_______
IR6 Umur _______Tahun ( )
IR7 Alamat No.
RT.
RW.
Kelurahan.
IR8 Pendidikan terakhir 1. Belum pernah sekolah 5. Tamat SMP
2. Tidak lulus SD 6. Tamat D-1/D-2/D3
3. Tamat SD 7.Tamat S1/S2/S3
4. Tamat SMA
( )
IR9 Jenis pekerjaan 1. Tidak bekerja 6. Wiraswasta
2. Tuna susila 7. Pegawai swasta
3. Buruh 8. Pegawai negeri
4. Petani 9. Pelajar
5. Pedagang 10. Tidak berlaku
( )
A. TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)
A1 Apakah Bapak/Ibu pernah didiagnosis TB
Paru oleh dokter?
1. Ya
2. Tidak
( )
A2 Diumur berapa Bapak/Ibu didiagnosis TB
Paru oleh dokter?
_______Tahun
A2 Apakah Bapak/Ibu pernah batuk berdahak
selama dua minggu atau lebih?
1. Ya
2. Tidak (Lanjut ke pertanyaan A4)
( )
95
A3 Apakah batuk berdahak tersebut disertai
gejala:
1. Darah/ Dahak bercampur darah
2. Batuk darah
3. Nyeri dada
4. Sesak napas
5. Badan lemah
6. Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
7. Nafsu makan menurun
8. Berat badan menurun/ sulit bertambah
9. Rasa kurang enak badan
10. Demam meriang yg berulang lebih dari sebulan
( )
A4 Berapa lama Bapak/Ibu mengalami gejala
tesebut?
1. Kurang dari 2 minggu
2. 2 minggu lebih
A5 Sebelum Bapak/Ibu terdiagnosis TB Paru
oleh dokter, hasil pemeriksaan apa saja yang
pernah Bapak/Ibu lakukan?
1. Pemeriksaan dahak
2. Pemeriksaan foto dada (Rontgen)
A6 Apa hasil yang didapatkan dari pemeriksaan
tersebut?
1. Pemeriksaan dahak menunjukkan TB
2. Pemeriksaan dahak menunjukkan bukan TB
3. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) menunjukkan TB
4. Pemeriksaan foto dada (Rontgen) menunjukkan
bukan TB
( )
A5 Apakah Bapak/Ibu pernah mendapat obat
anti TB (OAT)
1. Tidak
2. Ya
( )
A Apakah ada penderita lain (suspect atau BTA
(+) di rumah Bapak/Ibu?
1. Ada
2. Tidak Ada
( )
B. INDEKS MASSA TUBUH
B1 Berat Badan saat Bapak/Ibu terdiagnosis TB
oleh dokter
_______
( )
B2 Tinggi Badan saat Bapak/Ibu terdiagnosis TB
oleh dokter
_______
( )
C. STATUS MEROKOK
C1 Sebelum Bapak/Ibu terdiagnosis TB oleh 1. Ya ( )
96
dokter , apakah Bapak/Ibu merokok ? 2. Tidak
C2 Berapa umur Bapak/Ibu mulai merokok
setiap hari?
_______Tahun
( )
C3 Berapa umur Bapak/Ibu ketika pertama kali
merokok?
_______Tahun
( )
C4 Berapa rata-rata berapa batang rokok/ cerutu/
cangklong (buah) yg Bapak/Ibu hisap setiap
harinya?
_______Batang
( )
C5 Apa jenis rokok yang biasa Bapak/Ibu hisap? 1. Rokok kretek
2. Rokok putih
3. Rokok linting
4. Cerutu/ cangklong
( )
C6 Dimanakah Bapak/Ibu biasanya merokok? 1. Di dalam ruangan
2. Di luar ruangan
3. Di dalam ruangan dan di luar ruangan
( )
C7 Apakah Bapak/Ibu biasa merokok di dalam
rumah ketika bersama ART lain?
1. Ya, setiap hari
2. Ya, kadang-kadang
3. Tidak pernah sama sekali
( )
C8 Berapa umur Bapak/Ibu ketika berhenti/
tidak merokok sama sekali?
_______Tahun
( )
C9 Adakah ART lain yang merokok? 1. Ada
a. Suami/Istri
b. Anak
c. Orangtua
d. Saudara
2. Tidak ada
C9 Apakah Bapak/Ibu terpapar asap rokok?
1. Ya, setiap hari
2. Ya, kadang-kadang
3. Tidak pernah sama sekali
( )
Terima kasih atas partisipasinya Wassalammualaikum wr. wb.
97
OUTPUT SPSS
1. Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Jenis Kelamin Responden Laki-Laki Count 19 57 76
% within Jenis Kelamin
Responden 25.0% 75.0% 100.0%
Perempuan Count 26 78 104
% within Jenis Kelamin
Responden 25.0% 75.0% 100.0%
Total Count 45 135 180
% within Jenis Kelamin
Responden 25.0% 75.0% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .000a 1 1.000 1.000 .571
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 1.000 1.000 .571
Fisher's Exact Test 1.000 .571
Linear-by-Linear Association .000c 1 1.000 1.000 .571 .138
N of Valid Cases 180
98
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin
Responden (Laki-Laki /
Perempuan)
1.000 .505 1.980
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 1.000 .599 1.669
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol 1.000 .843 1.186
N of Valid Cases 180
2. Umur
umur kasus
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 18-55 39 21.7 86.7 86.7
>= 56 6 3.3 13.3 100.0
Total 45 25.0 100.0
Missing System 135 75.0
Total 180 100.0
umur control
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 18-55 121 67.2 89.6 89.6
>= 56 14 7.8 10.4 100.0
Total 135 75.0 100.0
Missing System 45 25.0
Total 180 100.0
99
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .300a 1 .584 .785 .380
Continuity Correctionb .075 1 .784
Likelihood Ratio .290 1 .590 .785 .380
Fisher's Exact Test .589 .380
Linear-by-Linear Association .298c 1 .585 .785 .380 .177
N of Valid Cases 180
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for umur kontrol
(18-55 / >= 56) .752 .271 2.090
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus .812 .394 1.674
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol 1.080 .800 1.458
N of Valid Cases 180
100
3. Pendidikan
pendidikan responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
pendidikan responden tidak sekolah wajib 9 tahun Count 22 43 65
% within pendidikan responden 33.8% 66.2% 100.0%
sekolah wajib 9 tahun Count 23 92 115
% within pendidikan responden 20.0% 80.0% 100.0%
Total Count 45 135 180
% within pendidikan responden 25.0% 75.0% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 4.246a 1 .039 .049 .031
Continuity Correctionb 3.540 1 .060
Likelihood Ratio 4.147 1 .042 .049 .031
Fisher's Exact Test .049 .031
Linear-by-Linear Association 4.223c 1 .040 .049 .031 .018
N of Valid Cases 180
101
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pendidikan
responden (tidak sekolah wajib
9 tahun / sekolah wajib 9 tahun)
2.047 1.029 4.070
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 1.692 1.027 2.788
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .827 .679 1.006
N of Valid Cases 180
4. Pekerjaan
Pekerjaan Responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Pekerjaan Responden Tidak Bekerja Count 24 81 105
% within Pekerjaan Responden 22.9% 77.1% 100.0%
Bekerja Count 21 53 74
% within Pekerjaan Responden 28.4% 71.6% 100.0%
Total Count 45 134 179
% within Pekerjaan Responden 25.1% 74.9% 100.0%
102
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Pekerjaan
Responden (Tidak Bekerja /
Bekerja)
.748 .379 1.477
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus .805 .486 1.334
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol 1.077 .902 1.286
N of Valid Cases 179
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .703a 1 .402 .484 .253
Continuity Correctionb .440 1 .507
Likelihood Ratio .698 1 .403 .484 .253
Fisher's Exact Test .484 .253
Linear-by-Linear Association .699c 1 .403 .484 .253 .097
N of Valid Cases 179
103
5. IMT
IMT saat terdiagnosis TB * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
IMT saat terdiagnosis TB Kurang Count 19 20 39
% within IMT saat terdiagnosis
TB 48.7% 51.3% 100.0%
Normal Count 23 84 107
% within IMT saat terdiagnosis
TB 21.5% 78.5% 100.0%
Kegemukan Count 3 31 34
% within IMT saat terdiagnosis
TB 8.8% 91.2% 100.0%
Total Count 45 135 180
% within IMT saat terdiagnosis
TB 25.0% 75.0% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 10.337a 1 .001 .002 .002
Continuity Correctionb 9.051 1 .003
Likelihood Ratio 9.800 1 .002 .003 .002
Fisher's Exact Test .002 .002
Linear-by-Linear Association 10.266c 1 .001 .002 .002 .001
N of Valid Cases 146
104
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for IMT saat
terdiagnosis TB (Kurang /
Normal)
3.470 1.592 7.562
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 2.266 1.396 3.679
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .653 .474 .901
N of Valid Cases 146
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 2.755a 1 .097 .129 .075
Continuity Correctionb 1.977 1 .160
Likelihood Ratio 3.126 1 .077 .129 .075
Fisher's Exact Test .129 .075
Linear-by-Linear Association 2.735c 1 .098 .129 .075 .053
N of Valid Cases 141
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for IMT saat
terdiagnosis TB (Normal / 3) 2.829 .793 10.092
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 2.436 .779 7.614
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .861 .745 .994
N of Valid Cases 141
105
6. Status Merokok
Status merokok responden * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Status merokok responden Merokok Count 19 56 75
% within Status merokok
responden 25.3% 74.7% 100.0%
Pernah Merokok Count 14 20 34
% within Status merokok
responden 41.2% 58.8% 100.0%
Tidak pernah merokok Count 12 59 71
% within Status merokok
responden 16.9% 83.1% 100.0%
Total Count 45 135 180
% within Status merokok
responden 25.0% 75.0% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 1.550a 1 .213 .231 .149
Continuity Correctionb 1.087 1 .297
Likelihood Ratio 1.563 1 .211 .231 .149
Fisher's Exact Test .231 .149
Linear-by-Linear Association 1.540c 1 .215 .231 .149 .075
N of Valid Cases 146
106
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status merokok
responden (Merokok / Tidak
pernah merokok)
1.668 .742 3.750
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 1.499 .786 2.859
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .899 .759 1.063
N of Valid Cases 146
Chi-Square Testsd
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 7.272a 1 .007 .009 .008
Continuity Correctionb 6.027 1 .014
Likelihood Ratio 6.955 1 .008 .014 .008
Fisher's Exact Test .014 .008
Linear-by-Linear Association 7.203c 1 .007 .009 .008 .006
N of Valid Cases 105
107
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status merokok
responden (Pernah Merokok /
Tidak pernah merokok)
3.442 1.368 8.661
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 2.436 1.267 4.684
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .708 .524 .956
N of Valid Cases 105
7. Umur Mulai Merokok
Kategori umur mulai merokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Kategori umur mulai merokok 10-19 Count 24 60 84
% within Kategori umur mulai
merokok 28.6% 71.4% 100.0%
>= 20 Count 9 16 25
% within Kategori umur mulai
merokok 36.0% 64.0% 100.0%
Total Count 33 76 109
% within Kategori umur mulai
merokok 30.3% 69.7% 100.0%
108
Chi-Square Testsd
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .504a 1 .478 .620 .317
Continuity Correctionb .213 1 .644
Likelihood Ratio .493 1 .483 .620 .317
Fisher's Exact Test .470 .317
Linear-by-Linear Association .499c 1 .480 .620 .317 .149
N of Valid Cases 109
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kategori umur
mulai merokok (10-19 / >= 20) .711 .277 1.828
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus .794 .426 1.479
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol 1.116 .808 1.543
N of Valid Cases 109
109
8. Jumlah Rokok yang dihisap
kategori batang rokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
kategori batang rokok 1-12 Count 28 63 91
% within kategori batang rokok 30.8% 69.2% 100.0%
>=13 Count 5 13 18
% within kategori batang rokok 27.8% 72.2% 100.0%
Total Count 33 76 109
% within kategori batang rokok 30.3% 69.7% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .064a 1 .801 1.000 .521
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .065 1 .799 1.000 .521
Fisher's Exact Test 1.000 .521
Linear-by-Linear Association .063c 1 .802 1.000 .521 .217
N of Valid Cases 109
110
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kategori batang
rokok (1-12 / >=13) 1.156 .376 3.554
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 1.108 .495 2.480
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .959 .698 1.317
N of Valid Cases 109
9. Lama Merokok
Kategori lama merokok * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Kategori lama merokok >= 16 Count 13 37 50
% within Kategori lama
merokok 26.0% 74.0% 100.0%
1-15 Count 20 39 59
% within Kategori lama
merokok 33.9% 66.1% 100.0%
Total Count 33 76 109
% within Kategori lama
merokok 30.3% 69.7% 100.0%
111
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square .800a 1 .371 .409 .247
Continuity Correctionb .469 1 .493
Likelihood Ratio .805 1 .370 .409 .247
Fisher's Exact Test .409 .247
Linear-by-Linear Association .792c 1 .373 .409 .247 .112
N of Valid Cases 109
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kategori lama
merokok (>= 16 / 1-15) .685 .299 1.572
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus .767 .426 1.381
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol 1.119 .876 1.431
N of Valid Cases 109
112
10. Jenis Rokok
Jenis rokok yg dihisap * Kasus atau Kontrol Crosstabulation
Kasus atau Kontrol
Total Kasus Kontrol
Jenis rokok yg dihisap Kretek Count 17 30 47
% within Jenis rokok yg dihisap 36.2% 63.8% 100.0%
Putih Count 16 46 62
% within Jenis rokok yg dihisap 25.8% 74.2% 100.0%
Total Count 33 76 109
% within Jenis rokok yg dihisap 30.3% 69.7% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided) Point Probability
Pearson Chi-Square 1.360a 1 .243 .294 .170
Continuity Correctionb .914 1 .339
Likelihood Ratio 1.353 1 .245 .294 .170
Fisher's Exact Test .294 .170
Linear-by-Linear Association 1.348c 1 .246 .294 .170 .085
N of Valid Cases 109
Risk Estimate
Value
90% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis rokok yg
dihisap (Kretek / Putih) 1.629 .715 3.711
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kasus 1.402 .794 2.473
For cohort Kasus atau Kontrol =
Kontrol .860 .663 1.116
N of Valid Cases 109