Hubungan Umat Beragama:
STUDI KASUS PENUTUPAN /PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :Haidlor Ali Ahmad
Hubung
an Um
at Berag
ama
Studi K
asus Penutupan/Perselisihan Rum
ah Ibadat
ISBN 978-602-8739-09-2
Hubungan Umat Beragama:
STUDI KASUS PENUTUPAN /PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :Haidlor Ali Ahmad
Di satu sisi rumah ibadat adalah merupakan tempat bahkan pusat kegiatan ritual keagamaan, pembinaan mental spiritual, pendidikan agama, kegiatan sosial, budaya, dan penyiaran agama. Oleh karenanya rumah ibadat dipandang sebagai simbol agama. Karena fungsinya yang sedemikian rupa, di sisi lain rumah ibadat suatu agama sering dipandang oleh penganut agama lain sebagai ancaman. Keberadaan rumah ibadat terutama yang akan didirikan di suatu tempat sering dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi agama yang telah ada lebih dulu di tempat itu. Sebagaimana hasil penelitian yang tertuang dalam buku ini, hampir setiap pendirian rumah ibadat mengalami hambatan, karena tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan (PBM). Ada pula yang karena sejak awal rencana pembangunannya sudah ditolak oleh penganut agama lain yang mayoritas, sehingga upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang sudah ditentukan dalam peraturan selalu dihambat, baik oleh masyarakat sekitar, maupun oleh aparat yang seharusnya memfasilitasi pendirian rumah ibadat yang sudah merupakan kebutuhan nyata dan sungguh bagi penganut agama yang ingin mendirikannya.
Tentunya sangatlah memprihatinkan melihat realita betapa sulitnya membangun rumah ibadat. Apalagi jika kesulitan itu merupakan rekayasa yang dilakukan oleh kalangan yang menetang kehadirannya. Sehingga peraturan yang dengan kehadirannya dapat mempermudah, memberikan solusi dan bahkan mewajibkan pihak berwenang untuk memfasilitasi, tetapi justru oleh para penentang dimanfaatkan untuk mempersulit dan bahkan kalau dapat untuk menggagalkannya sama sekali. Disini menunjukkan ketaatan umat beragama kepada peraturan dan sikap toleransi sedang diuji.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
i
HubunganUmat Beragama
STUDI KASUS PENUTUPAN/ PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Editor :Haidlor Ali Ahmad
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Kata Pengantar
ii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
hubungan umat beragama: studi kasus penutupan/perselisihan rumah ibadat/Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIEd. I. Cet. 1. ----Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012xxviii + 364 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN 978-602-8739-11-5
Hak Cipta pada Penerbit
....................................................................................................................................................................Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit ....................................................................................................................................................................Cetakan Pertama, Oktober 2012....................................................................................................................................................................
HUBUNGAN UMAT BERAGAMA: STUDI KASUS PENUTUPAN/PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
....................................................................................................................................................................Editor :Haidlor Ali Ahmad
Tata Letak :Sugeng
Design CoverFirdaus....................................................................................................................................................................
Foto Ilustrasi Cover:Kolase Foto Rumah Ibadat dan Aktivitas Keagamaan di Indonesia
Penerbit:Puslitbang Kehidupan KeagamaanBadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RIJl. MH. Thamrin No. 6 JakartaTelp/Fax. (021) 3920425, [email protected]
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
iii
Kata Pengantar
Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT.,
Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku
Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini,
sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan
pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami
menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam
menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini
yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian
menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca
yang budiman.
Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku
yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut:
1. Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan
Kontemporer di Indonesia.
2. Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia.
Kata Pengantar
iv
3. Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi
Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.
4. Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia
5. Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat
Beragama
6. Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat.
7. Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik,
Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.
8. Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.
9. Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.
Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggi-
tingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang
telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program
penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga
penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak
menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai
bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang
pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang
terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara
simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk
memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang
amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan.
Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa
kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
v
berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami
haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan
dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.
Jakarta, Oktober 2012
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan
NIP. 19691110 199403 1 005
Kata Pengantar
vi
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
vii
Sambutan
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 merupakan kesepakatan
majelis-majelis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI),
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
bersama wakil dari Kementerian Agama RI dan Kementerian Dalam
Negeri RI. PBM tersebut berisikan tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat.
Sejak disahkan PBM tersebut dan diikuti langkah-langkah
sosialisasi kepada para pejabat terkait, pemuka agama dan tokoh
masyarakat tingkat pusat hingga daerah agar dapat
menjadikannya sebagai pedoman dan mengimplementasikannya.
Diantara hasilnya, telah terbentuk Forum Kerukunan Umat
Sambutan
viii
Beragama (FKUB) provinsi dan kabupaten/kota. Implementasi
regulasi ini sebagaimana dipaparkan dalam hasil penelitian,
memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi terpeliharanya
kerukunan umat beragama.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI terus
mengawal implementasi PBM tersebut dengan melakukan
penelitian dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas
melalui penerbitan buku-buku hasil penelitian. Pada tahun 2009
telah diterbitkan hasil penelitian dengan judul, “Efektivitas
Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Menyusul tahun 2010
diterbitkan hasil penelitian dengan judul, “Peranan Forum
Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8,9 dan 10
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Tahun 2011 diterbitkan hasil
penelitian, “Pendirian Rumah Ibadat di Berbagai Daerah:
Pelaksanaan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Pada tahun 2012
sekarang ini diterbitkan hasil penelitian, “Hubungan Umat
Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat”
Rumah ibadat bagi tiap agama merupakan tempat bahkan
pusat kegiatan ritual kegamaan, sosial dan budaya. Oleh karena
itu, keberadaan rumah ibadat kebutuhan bagi tiap agama. Untuk
menjaga ketertiban dan ketenangan dalam beribadah perlu dibuat
peraturan yang menjadi landasan pokoknya. Masalah
pemeliharaan kerukunan, keberadaan dan pemberdayaan FKUB,
serta pendirian rumah ibadat merupakan substansi yang dimuat
dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Buku ini mengungkap beberapa kasus pendirian rumah
ibadat. Kasus-kasus pendirian rumah ibadat bukan hanya
menyangkut suatu agama tertentu, melainkan dialami oleh semua
penganut agama. Realita ini merupakan tantangan bagi
kehidupan umat beragama, dalam upaya memelihara
keharmonisan kehidupan bersama.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
ix
Buku ini diharapkan menjadi buku yang informatif,
menyajikan informasi seputar pendirian rumah ibadat yang pada
tiap-tiap agama dengan harapan umat beragama makin
memahami betapa pentingnya sossialisasi dan implementasi PBM
Tahun 2006.
Saya menyambut baik penerbitan hasil penelitian ini
sebagai bagian upaya sosialisasi PBM Tahun 2006, secara khusus
mengenai pendirian rumah ibadat. Ucapan terima kasih khususnya
disampaikan kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
dan umumnya kepada para peneliti yang telah melaksanakan
tugas dengan baik.
Semoga buku ini dapat menjadi referensi dalam rangka
pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Jakarta, Oktober 2012
Pgs. Kepala
Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI
Prof. Dr. H. Machasin, MA
NIP. 19561013 198103 1 003
Sambutan
x
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xi
PROLOG
Hubungan Umat Beragama:
Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
Oleh M. Ridwan Lubis
Guru Besar Perbandingan Agama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pendahuluan
Keberadaan rumah ibadat secara ideal adalah tempat
setiap umat beragama memperoleh nuansa kehidupan yang
rukun dan damai karena rumah ibadat wilayah kehidupan setiap
orang untuk melepaskan diri dari tekanan kehidupan duniawi dan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi pada kenyataannya
tidak demikian. Justru yang terjadi, keberadaan rumah ibadat
menjadi persoalan yang rawan mengganggu kerukunan antar
umat beragama di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
keberadaan rumah ibadat, dalam persepsi berbagai pihak belum
berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
Penyebab utamanya adalah keberadaan rumah ibadat belum bisa
dilepaskan dari keterkaitan dengan kepentingan jangka pendek
termasuk kepentingan politis.
Di antara faktor politis itu adalah kesan adanya sejumlah
upaya untuk merubah peta konfigurasi perimbangan umat
Prolog
xii
beragama. Hal ini disebabkan karena sebagian umat beragama
melihat bahwa peta konfigurasi baik mayoritas atau minoritas
menjadi lambang kualitas keberagamaan atau tegasnya kuantitas
merupakan artikulasi dari kualitas. Padahal, kualitas keberagamaan
sesungguhnya tidak selalu berbanding lurus dengan kondisi
kuantitas umat beragama. Tegasnya, kualitas keberagamaan sama
sekali tidak diukur dari jumlah populasi umat beragama akan
tetapi sangat tergantung dari komitmen umat terhadap wawasan,
penghayatan, pengamalan, jaringan serta keberadaan lembaga-
lembaga keagamaan. Faktor politis berikutnya adalah bahwa
rumah ibadat dipahami masyarakat sebagai wujud dari
keberadaan umat beragama penggunan rumah ibadat
bersangkutan sehingga hegemoni yang semula dimiliki kelompok
umat tertentu belum sepenuhnya siap untuk menerima kenyataan
adanya kelompok umat beragama yang lain. Sementara itu, masih
sering dijumpai dalam berbagai kasus perselisihan antar umat
beragama adanya kelompok yang mendirikan rumah ibadat tanpa
mempertimbangkan adanya peraturan baik pusat maupun daerah
serta tidak menimbang terlebih dahulu aspek psikologis
masyarakat yang berdiam di sekitar lokasi rencana pendirian
namun dengan serta merta mendirikan rumah ibadat. Faktor
ketiga adalah masyarakat masih belum memiliki pemahaman yang
jelas tentang makna kebangsaan yaitu setiap warga negara
memiliki jarak yang sama terhadap negara demikian juga negara
memiliki jarak yang sama terhadap semua warga negara. Hal inilah
yang akan ditelusuri pengkajiannya dalam laporan penelitian
Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang berlangsung pada tahun
2011 yang lalu yang mengambil lokasi di tujuh daerah penelitian.
Judul besar penelitian ini adalah Pola Perselisihan Antar Umat
Beragama Di Indonesia: Kasus Pendirian, Penertiban dan Penutupan
Rumah Ibadat. Penelitian ini memusatkan agenda penelitian pada
tujuh lokasi penelitian, yaitu: Tangerang Selatan, Bogor,
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xiii
Palangkaraya, Kupang, Jayapura, Gresik dan Badung. Dilihat dari
segi tipologi daerah penelitian memiliki ciri khas masing-masing.
Tangerang Selatan adalah kota yang secara administratif berada
sebagai daerah pinggiran (hinterland) Jakarta akan tetapi menjadi
tempat migrasi dari berbagai asal daerah sehingga Tangerang
Selatan juga menjadi sasaran urbanisasi. Urbanisasi merupakan
perkembangan pergerakan populasi yang tidak hanya terkait
dengan persoalan demografis tetapi juga dengan aspek budaya
maupun agama. Sekalipun dalam skala yang lebih kecil, persoalan
perselisihan pendirian rumah ibadat juga terjadi di Palangkaraya,
Kupang, Jayapura, Badung. Hal inilah kemudian yang cukup
memprihatinkan dalam pola relasi antar umat beragama di
Indonesia. Penelitian ini berangkat dari empat permasalahan yaitu
1. Bagaimana kualitas perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
di berbagai daerah di Indonesia ?
2. Bagaimana intensitas peran pemerintah dalam penyelesaian
perselisihan ?
3. Bagaimana peran FKUB, majelis agama, ormas keagamaan
dalam penyelesaian perselisihan ?
4. Bagaimana respon dan saran masyarakat terhadap upaya
penyelesaian perselisihan ?
Pertanyaan pertama, membahas tentang kualitas
perselisihan yaitu untuk meneliti apakah perselisihan di antara
umat beragama menyentuh aspek yang terdalam sehingga
termasuk dalam jenis kontravensi atau hanya sekedar kompetisi di
permukaan sementara di dalam kehidupan sosial sehari-hari
mereka justru dapat melakukan kerjasama terutama yang terkait
dengan kegiatan di berbagai pranata sosial. Kualitas perselisihan
perlu diberikan penjelasan yang lebih kongkrit yaitu apakah
masyarakat sudah sampai pada taraf tidak mengakui hak
Prolog
xiv
keberadaan umat lain yang mendirikan rumah ibadat atau hanya
sekedar sikap tidak setuju terhadap rencana pendirian rumah
ibadat. Apakah sikap tidak setuju masyarakat disebabkan karena
mereka telah memiliki pengalaman traumatis akibat
persinggungan rencana pendirian rumah ibadat atau juga karena
akibat dari mereka yang telah memperoleh informasi melalui opini
publik terhadap berbagai kesulitan yang ditimbulkan akibat
berdirinya rumah ibadat di sekitar pemukiman mereka. Selain dari
itu, juga perlu dikaji apakah masyarakat yang tidak setuju dapat
memberikan alternatif jalan keluar, sehingga umat beragama yang
berbeda tetap memperoleh kesempatan melaksanakan ibadah
sebagai hak asasi setiap manusia.
Pertanyaan kedua, membahas tentang peran pemerintah
di dalam menangani perselisihan itu. Sebagai institusi yang
menjadi representasi seluruh kepentingan masyarakat maka
pemerintah selayaknya melepaskan diri dari kepentingan individu
atau kelompok akan tetapi ia menempatkan diri sebagai mewakili
seluruh kepentingan. Hal itu dapat dilakukan aparat pemerintah
manakala mereka telah memiliki pemahaman yang jelas terhadap
makna keberagamaan dalam negara Pancasila yang telah
memperoleh jaminan konstitusional di dalam UUD 1945.
Perangkat kepribadian berikutnya adalah kemampuan pejabat
pemerintah sebagai bentuk hasil pengalaman di dalam
menangani berbagai konflik antar sosial. Di dalam itu, mereka
mempunyai kemampuan dalam merumuskan pendekatan win-win
solution. Dalam setiap negosiasi tentulah setiap orang harus
menyadari bahwa mereka tidak mungkin memperoleh haknya
secara paripurna akan tetapi terbatas secara minimal pada hak-hak
dasarnya. Idealisme sebagai seorang pejabat publik hendaklah
menjadi perhatian, yaitu seberapa jauh komitmen dalam
melaksanakan tata aturan yang ada atau juga kreasi dalam
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xv
menggagas peraturan daerah sebagai wujud kesepakatan
masyarakat. Sebaliknya manakala instansi pemerintah di daerah di
samping kurang memahami adanya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
akan lebih kritis lagi manakala mereka sebagai pejabat publik
justru melakukan pemihakan terhadap kelompok umat tertentu.
Akibatnya terkesan adanya sikap dan perlakuan diskriminatif
terhadap satu kelompok dan memberi peluang kelompok lain
memonopoli keuntungan semuanya (zero sum game). Gejala lain
adalah karena orientasi terhadap kegiatan demokratisasi adalah
keuntungan yang bersifat materi maka terdapat kesan bahwa
persoalan kerukunan umat beragama dipandang secara simplistis.
Pandangan itu adalah menganggap persoalan urusan kerukunan
sebagai persoalan sederhana, remeh temeh sehingga konflik
terkesan dibiarkan berlarut-larut yang selanjutnya kemudian
merembet ke berbagai persoalan sehingga terjadi pemekaran
konflik. Akibatnya, di samping persoalan pokok belum
terselesaikan muncul lagi persoalan lain. Oleh karena itu,
pemahaman tentang wawasan kebangsaan kepada umat
beragama perlu dilakukan proses sosialisasi sekaligus internalisasi.
Persoalan ketiga, peran masyarakat yang diwakili oleh
FKUB maupun ormas keagamaan dalam mencari titik simpul
dalam penyelesaian perselisihan. Dilihat dari asal usul munculnya
gagasan penguatan peran masyarakat dalam proses penyelesaian
perselisihan, maka peran FKUB sebagai lembaga formal yang
merepresentasikan kepentingan masyarakat sangat diharapkan.
Alasannya adalah karena FKUB sebagai wadah yang secara teoritis
memiliki dua fungsi yaitu representatif dan aspiratif. Funsgi
representatif adalah seluruh anggota FKUB sekalipun mulanya
berasal dari lingkungan keagamaan yang berbeda akan tetapi
begitu mereka ditetapkan sebagai anggota FKUB maka dengan
sendirinya suara mereka adalah suara seluruh masyarakat dan
Prolog
xvi
umat beragama di daerah bersangkutan. Demikian juga, sebagai
anggota FKUB yang mewakili kepentingan seluruh umat
beragama tentulah harus mampu menyerap dan menyalurkan
aspirasi setiap umat beragama sesuai dengan kemestiannya.
Pertimbangan penentuan keanggotaan FKUB adalah terletak pada
kearifan, kematangan kepribadian, kepemimpinan, dan
keteladanan. Oleh karena itu, seorang yang menjadi anggota FKUB
adalah mereka yang secara otomatis memiliki suara yang
berwibawa dalam pandangan masyarakat. Akan tetapi, konsep
ideal yang demikian dalam kenyataannya kurang teraktualisasi
dalam pembentukan FKUB pada hampir semua daerah. Akibatnya,
FKUB sulit diharapkan untuk berperan sebagai pihak yang mampu
melakukan mediasi karena masyarakat sendiri melihat mereka
dalam posisi yang kurang netral. Menimpakan kesalahan terhadap
FKUB juga kurang proporsional karena kemungkinan belum
tersosialisasi dalam bentuk wawasan maupun pelatihan sehingga
mereka masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan berbagai
program. Di samping masih terkesan Pemerintah Daerah kurang
memberikan perhatian yang memadai terhadap keberadaan FKUB.
Penelitian ini hendaknya dapat memberikan gambaran posisi
FKUB yang telah mampu melakukan peran aktifnya atau
sebaliknya juga memberi penjelasan tipologi FKUB yang masih
merupakan bagian dari persoalan.
Pertanyaan keempat, saran dan pendapat masyarakat
dalam upaya penyelesaian perselisihan. Masyarakat seharusnya
berdasar pengalaman masa lalu memiliki perhatian terhadap
perselisihan kasus pendirian rumah ibadat. Apakah masyarakat
dapat menerima pendirian rumah ibadat dalam kasus telah
memenuhi aturan PBM serta peraturan pemerintah daerah.
Peneliti menemukan jawabannya bahwa masyarakat menerima
dengan damai setelah pendirian rumah ibadat tersebut sudah
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xvii
memenuhi seluruh ketentuan yang termuat dalam Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8
Tahun 2006 dan kemudian diperkuat oleh berbagai Peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota atau juga Peraturan Daerah.
Proses Interaksi Sosial
Sebagai tanda adanya masyarakat adalah terjadinya
interaksi sosial. Proses interaksi sosial dapat berlangsung dalam
empat bentuk yaitu melalui imitasi, sugesti, identifikasi dan
simpati (Abu Ahmadi: 44). Menurut Sukanto (Burhan Bungin, 2006:
58-61) proses interaksi sosial terjadi dalam dua bentuk: asosiatif
dan disosiatif. Asosiatif adalah proses yang terjadi saling
pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang perorang atau
kelompok satu dengan lainnya sehingga tercapai tujuan-tujuan
bersama. Asosiatif dapat terjadi dalam berbagai bentuk antara lain
kerjasama (cooperation) dan akomodasi (accomodation). Bentuk-
bentuk kerjasama adalah (1) gotong royong, (2) perjanjian
pertukaran kepentingan, (3) penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik (4) koalisi yaitu dua
organisasi atau kelompok melakukan kerjasama untuk meraih
tujuan bersama (5) kerjasama dua kelompok untuk mengerjakan
bisnis atau proyek tertentu. Sementara bentuk kedua dari asosiatif
adalah akomodasi yaitu menunjukkan pada proses menuju
keadaan yang seimbang (equilibrium) atau terjadinya proses yang
sedang berlangsung yang menampakkan adanya suasana
peredaan konflik. Di antara bentuk akomodasi itu adalah (1)
coersion akibat dari adanya paksaan maupun kekerasan secara fisik
atau psikologis (2) compromise yaitu masing-masing pihak
berselisih mengurangi tuntutannya (3) mediation yaitu
penyelesaian melalui pihak ketiga yang diterima para pihak (4)
Prolog
xviii
conciliation yaitu mempertemukan keinginan dari pihak-pihak
yang berselisih (5) toleration yaitu adanya pohak-pihak yang
menghindari terlibat dalam perselisihan (6) stalemate yaitu para
pihak berselisih yang memiliki kekuatan seimbang berhenti pada
satu titik tertentu (6) adjudication yaitu penyelesaian tidak tercapai
melalui jalan kompromi dan akhirnya ditempuh melalui
pengadilan.
Dengan merujuk kepada dua model interaksi sosial yaitu
asosiatif dan disosiatif maka perlu diperoleh informasi dari para
peneliti tentang bentuk interaksi yang lebih dominan pada lokasi
penelitian. Kasus-kasu perselisihan yang terjadi erat kaitannya juga
dengan peran yang dilakukan FKUB, ormas keagamaan dan
tentunya juga yang tidak kalah pentingnya adalah aparat
pemerintah daerah sebagai sasaran utama pengambil peran
pemeliharaan kerukunan hidup umat beragama dalam kaitannya
pendirian rumah ibadat. Melihat dari tiga kemungkinan yang
terjadi izin pendirian atau penertiban bahkan yang lebih kritis lagi
penutupan rumah ibadat. Dalam kaitan ini yang terjadi tentunya
adalah proses interaksi sosial yang sudah berada pada tahap
disosiatif. Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan FKUB dan
ormas keagamaan lainnya. Proses awal yang diharapkan terjadi
adalah terwujudnya upaya membangun kerjasama (cooperation)
guna meeujudkan keseimbangan (equilibrium) dan apabila hal itu
tidak bisa terwujud maka dilakukan langkah kedua yaitu
akomodasi (accomodation) dengan memilih salah satu di antara
enam opsi yang ditawarkan di atas. Demikian juga, Pemerintah
Daerah setelah mengalami kebuntuan dalam membangun
keseimbangan sosial maka harus ada langkah kebijakan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum (adjudication). Akan tetapi
dengan kuatnya pertimbangan masa depan jabatan politik maka
sedikit sekali Pemerintah Daerah yang melakukan langkah
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xix
tersebut. Bahkan yang terkesan adalah membiarkan benih konflik
tersebut berlarut-larut dengan harapan pada waktunya akan
terjadi kejenuhan dan masyarakat yang berkonflik kembali
menemukan kesimbangan baru (stalemate).
Pada masyarakat tradisional yang terikat dalam ikatan
kekerabatan maka sekalipun mereka memiliki perbedaan
kepercayaan akan tetapi masih ada alternatif penyelesaian dengan
cara yang lain, yaitu melalui bentuk kearifan lokal. Hal ini
disebabkan karena kearifan adalah bersumber dari hasil
pengalaman dalam menjaga keseimbangan hidup manusia
dengan lingkungan. Sehingga mereka memiliki tokoh panutan
yang memiliki ikatan batin dengan rakyat (patron-client
relationship). Akan tetapi, oleh karena kreasi lahirnya kearifan lokal
bukanlah pekerjaan mudah karena akan membutuhkan waktu
serta kesepakatan seluruh warga masyarakat adat. Oleh karena itu,
terjadinya perubahan sosial dari fase agraris menuju kepada
industri sering terjadi masyarakat akan memasuki babak anomali
sehingga terjadi kekaburan jati diri yang melahirkan kejutan
budaya. Pada taraf ini, kerarifan lokal tidak lagi berfungsi secara
maksimal sementara kearifan lokal baru pada kultur moderen
belum berhasil dirumuskan. Dalam kondisi yang seperti itu, maka
lahirnya perselisihan akan sulit dicari penyelesaiannya. Oleh karena
itu, pemerintah dan FKUB harus sungguh-sungguh
mempersiapkan diri dalam melakukan antisipasi terhadap
perubahan sosial itu.
Melihat adanya bermacam pola perselisihan yang terjadi di
berbagai daerah maka hendaknya baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah tidak memandang sederhana persoalan
konflik di masyarakat. Sebagai bagian akhir dari prolog ini maka
berbagai pihak terkait (stakeholder) hendaknya mengambil peran
masing-masing dalam merumuskan secara mendasar strategi
Prolog
xx
penyelesaian konflik akibat pendirian rumah ibadat. Sehingga
kebijakan pemeliharaan kerukunan menjadi dasar kebijakan
pembangunan pada semua daerah di Indonesia. Rumusan yang
menjadi pedoman yuridis formal terhadap pemeliharaan
kerukunan umat beragama di Indonesia belum berhasil
diwujudkan. Hal ini tentunya menjadi salah satu rekomendasi yang
perlu disampaikan kepada pihak yang berwenang untuk itu.
Selanjutnya, keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) masih belum dapat berbuat secara maksimal akibat dari
keberadaan wadah tersebut belum sepenuhnya memperoleh
tempat dalam membangun berbagai langkah kerjasama maupun
akomodasi antar umat beragama di Indonesia. Oleh karena itu
sudah waktunya dipertimbangkan adanya forum atau badan
pengembangan kerukunan yang bersifat nasional yang secara
permanen melakukan pembinaan atau monitoring dan evaluasi
terhadap seluruh gerakan menuju kerukunan umat beragama di
Indonesia. Terakhir, kerukunan umat beragama menuju kerukunan
yang dinamis dan aktif bukanlah persoalan yang sederhana. Oleh
karena itu, selayaknya dilakukan secara berkesinambungan
program sosialisasi gerakan kerukunan sehingga ia merupakan
gerakan yang mengakar sampai kepada lapisan masyarakat yang
paling bawah.
Bahan Bacaan
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2007
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2006
Elizabeth K Nottingham, Agama Dan Masyarakat, Terjemahan
Abdul Muis Naharong, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
1996.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xxi
Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 2011
Puslitbang Kehidupan Beragama, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta, Prenada Media
Group, 2004
Tim Peneliti, Perselisihan Terkait Pendirian, Penertiban Dan
Penutupan Rumah
Ibadat Di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kemenag,
2011
Prolog
xxii
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xxiii
PRAKATA EDITOR
Dalam masyarakat Indonesia yang plural dan sangat
beragam dalam berbagai aspek – yakni etnis, sosial, agama,
budaya, adat istiadat dan lain-lain – kerukunan hidup umat
beragama merupakan hal yang sangat penting. Bahkan kerukunan
umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional.
Sebagaimana termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 (Perpres No. 5
tahun 2010 Buku II, bab II:48).
Dalam rangka mewujudkan dan memelihara kerukunan umat
beragama telah diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, salah
satu dari tiga isi pokoknya ialah pendirian rumah ibadat.
Pengaturan pendirian rumah ibadat bukanlah intervensi
Negara atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat
pengadministrasian saja. Hal ini tampak dalam PBM Bab IV tentang
Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14, sebagai berikut:
Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Prakata Editor
xxiv
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus meliputi:
Daftar nama dan tanda tangan pengguna rumah ibadat
paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3). Dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa, rekomendasi tertulis
kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dan
rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a tidak terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Kasus pendirian rumah ibadat yang dijadikan sasaran penelitian
adalah pendirian rumah ibadat yang menimbulkan persoalan, baik
yang rencana pembangunannya sudah dimulai sejak sebelum atau
setelah lahirnya PBM. Lokasi studi kasus pendirian rumah ibadat
tersebut meliputi kawasan Indonesia bagian barat, yakni: 1) Kota
Tangerang Selatan Prov. Banten; 2) Kota dan Kabupaten Bogor
Prov. Jawa Barat; 3) Kabupaten Gresik Prov. Jawa Timur; wilayah
bagian tengah meliputi: 1) Kota Palangkaraya Prov Kalimantan
Tengah; 2) Kabupaten Badung Prov. Bali; dan bagian timur
meliputi: 1) Kota Kupang Provinsi Nusa tenggara Timur; 2) Kota
dan Kabupaten Jayapura Prov. Papua.
Pemilihan lokasi meliputi tiga wilayah, barat, tengah dan
timur, dengan posisi mayoritas dan minoritas umat beragama
yang berbeda-beda – wilayah barat mayoritas Muslim, tengah
mayoritas Hindu, dan timur mayoritas Katolik dan Kristen -
dimasudkan untuk mengetahui bagaimana nasib umat beragama
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xxv
minoritas (dalam mendirikan rumah ibadat) di lingkungan
mayoritas umat beragama yang berbeda-beda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nasib umat
beragama minoritas nyaris sama, mengalami kesulitan dalam
mendirikan rumah ibadat. Bukan hanya umat Kristiani yang
mengalami kesulitan mendirikan gereja di wilayah barat yang
mayoritas Muslim. Tetapi umat Islam minoritas di wilayah tengah
(Bali) yang mayoritas Hindu dan di wilayah timur yang mayoritas
Katolik dan Kristen juga mengalami kesulitan dalam mendirikan
masjid dan mushala yang tidak diatur oleh PBM.
Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan agar para
pembaca dapat mengetahui realita permasalahan seputar rumah
ibadat. Selanjutanya bagi umat beragama khususnya bagi
kelompok mayoritas – tidak terkecuali di wilayah barat, tengah dan
timur – agar bisa bersikap lebih dewasa dan lebih toleran terutama
dalam menyikapi pembangunan rumah ibadat di kalangan
minoritas. Hal ini dimaksudakan agar kerukunan hidup umat
beragama semakin terpelihara.
Jakarta, Oktober 2012
Editor
Haidlor Ali Ahmad
Prakata Editor
xxvi
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
xxvii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ... iii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI........................................................................................................ vii
Prolog; Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat
M. Ridwan Lubis ......................................................................................... xi
Prakata Editor .............................................................................................. xxiii
Daftar Isi ........................................................................................................ xxvii
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di
Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten
M. Yusuf Asry ................................................................................................ 1
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban, dan
Penutupan Rumah Ibadat di Kota dan Kabupaten Bogor,
Jawa Barat
Akmal Salim Ruhana ................................................................................. 57
Daftar Isi
xxviii
Studi Kasus Pembangunan Gereja Kristen Bethany
Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumnas
Kota Baru Driyorejo Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik
Titik Suwariyati ............................................................................................ 123
Studi Kasus Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan
Penutupan Rumah Ibadat di Kab. Badung, Bali
Bashori A. Hakim ......................................................................................... 173
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah
Drs. Mursyid Ali ............................................................................................ 213
Studi Kasus Perselisihan Terkait Pendirian, Penertiban, dan
Penutupan Rumah Ibadat di Kota Kupang Nusa Tenggara
Timur
Haidlor Ali Ahmad ...................................................................................... 247
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban, dan
Penutupan Rumah Ibadat di Kota/Kab. Jayapura Provinsi
Papua
Ibnu Hasan Muchtar................................................................................... 305
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
1
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
Oleh :M.Yusuf Asry
M. Yusuf Asry
2
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
3
PENDAHULUAN
Keberadaan rumah ibadat bagi pemeluk agama merupakan
tempat suci (sacral) dan sekaligus tempat mencari dan memperoleh
ketenangan hidup dan harmoni kehidupan, baik dalam relasi
dengan Tuhan (hablumminalllah) maupun dengan sesama manusia
(hablum minnas). Namun dalam proses pendiriannya dan
pelaksanaan atau implementasi dan revitalisasi fungsinya
adakalanya mengalamai rintangan dan kesulitan. Kasus terjadi
karena penolakan oleh masyarakat, penertiban dan penutupan oleh
pemerintah.
Permasalahan akibat pendirian rumah ibadat dan
pelaksanaan fungsinya telah menjadi gejala atau fenomena global
yang mengusik kerukunan antarumat beragama, mengganggu
ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Sebagai contoh adalah
rencana pembangunan masjid di kawasan Islamic Center di Ground
Zero New York yang berdekatan dengan Gedung Wall Trade Center
(WTC) dan Gedung Pertahanan Amerika Serikat yang runtuh oleh
benturan pesawat yang dibajak ekstrimis pada tangal 1 September
2001. Sikap kelompok masyarakat Amerika Serikat ada yang setuju
dan ada pula yang tidak setuju. Bahkan timbul gerakan anti masjid
yang biasanya dalam bentuk vandalisme dan tuntutan hukum
(Republika, 31 Maret 2011:12). Masjid Babri di Kota Ayodhya, India
M. Yusuf Asry
4
dihancurkan oleh sebagian pengikut Hindu telah memicu lahirnya
kekerasan dan konflik sosial yang berdampak luas hingga ke wilayah
Pakistan dan Bangladesh. Pembakaran Masjid Beit Fajjar oleh
pemukim Yahudi di dekat Betlehem juga telah mengganggu proses
perdamaian antara Palestina dan Israel.
Indonesia sebuah negara yang memiliki penduduk yang
mejemuk dengan multiagama (multireligious) seperti adanya
pemeluk Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu dan
multibudaya (multiculturalisme) seperti dalam etnis, bahasa dan
budaya. Para pemeluk agama tersebut mendirikan rumah ibadat
masing-masing yang tercatat cukup banyak dan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada tahun 2004
saja telah mencapai 700.000-an rumah ibadat (Balitbang dan Diklat,
2011:3)
Di kalangan umat beragama di Indonesia sebagaimana di
belahan bumi lainnya juga terjadi kasus perselisihan seputar
pendirian rumah ibadat. Adalah sungguh tepat dimuat dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengan Nasional (RPJMN) 2010 –
2014, bahwa permasalahan seputar rumah ibadat perlu mendapat
perhatian untuk memelihara kerukunan umat beragama dan
pembangunan. Sebagai contoh permasalahan kecil yang
fenomenal ialah penolakan warga Ciketing kota Bekasi terhadap
rumah tinggal yang dialih-fungsikan sebagai rumah ibadat
komunitas Gereja Huria Batak Kristen Protestan (HKBP), dan
sekaligus menolak pendiriannya. Penolakan secara tidak langsung
terhadap pemberian lokasi rencana pendirian masjid raya oleh
warga umat mayoritas dan pemerintah di Meumere, Nusa Tenggara
Timur. Demikian pula kasus kesulitan gereja Kristen di daerah
tersebut (M. Yusuf Asry dan Akmal Salim Ruhana, 2009).
Sekedar menggambarkan kasus perselisihan rumah ibadat di sini dikemukakan hasil pemantauan lembaga swadaya
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
5
masyarakat (LSM) pada tahun 2010. Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) mencatat 39 kasus (2011:34), The Wahid Institute 62 kasus (22011:117), Setara Institut 59 kasus (2011), dan Moderate Muslim Soceity 81 kasus (2011:12). Hasil pemantauan Kepolisian Republik Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini mengungkapkan kasus yang menonjol terkait masalah agama dan rumah ibadat adalah berbentuk pengrusakan, penyerangan dan protes dari umat beragama lainnya berjumlah 196 kasus. Perinciannya: tempat ibadat Kristiani 142 kasus (gereja 59 kasus, rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, Hindu 6 kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus (Saleh Saaf, 2010: 4).
Kasus perselisihan akibat pendirian rumah ibadat tersebut dialami oleh semua pemeluk agama, sebagian pada proses pendirian, dan ada pula dalam rangka penertiban, dan atau penutupan oleh berbagai faktor penyebabnya. Sehubungan fenomena dan fakta tersebut adalah menarik diungkapkan melalui sebuah penelitian tentang perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan upaya penyelesainnya. Dalam hal ini mereferensi pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tanggal 21 Maret 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Masalah penelitian ini secara umum adalah mengapa terjadi perselisihan dalam pendirian, penertiban dan/atau penutupan rumah ibadat pada berbagai daerah di Indonesia. Secara khusus pertanyaan penelitian ini dirumuskan, yaitu: 1) Bagaimana kualitas perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan mengapa terjadi perselisihan tersebut? 2) Bagaimana intensitas peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan tersebut? 3) Bagaimana peranan FKUB, majelis agama dan ormas keagamaan dalam penyelesaian
M. Yusuf Asry
6
perselisihan tersebut? 4) Bagaimana respon dan saran masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan tersebut? Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui jawaban dari keempat pertanyaan penelitian dimaksud.
Hasil kegiatan berguna: 1) Secara akademis melengkapi temuan penelitian sejenis sebelumnya. Kajian yang menggunakan pendekatan yuridis/regulasi, sosial-budaya dan ekonomi serta agama. 2) Secara praktis menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan tentang pendirian rumah ibadat, dan penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumat ibadat, baik bagi Kementerian Agama maupun Badan Kesbanglinmas, dan FKUB. Majelis-majelis agama dan ormas keagamaan, terutama panitia dan pengurus rumah ibadat.
Dalam tulisan ini digunakan beberapa definisi operasional yang meliputi: rumah ibadat, kerukunan umat beragama, perselisahan, kompleksitas, intensitas, dan peran. Rumah ibadat ialah bangunan yang memiliki ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Kerukunan umat beragama ialah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Kerukunan umat beragama ialah kerjasama aktivitas sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Perselisihan adalah bersimpangan. Bersimpangan sikap dan pendapat tentang pendirian rumah ibadat yang terlihat pada sikap setuju dan tidak setuju atau pro-kontra. Perselisihan di sini antara pihak panitia, pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan masyarakat setempat, dan/atau dengan pihak
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
7
lainnya seperti pemerintah daerah, Kantor Kementerian Agama dan FKUB. Substansi yang dipermasalahkan meliputi: pendirian, penertiban dan/atau penutupan rumah ibadat. Acuannya ialah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab VI tentang Penyelesaian Perselisihan pasal 21 dan 22 yang terkait Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 13, 14, 15, 16 dan 17, dan Bab V tentang Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagai Tempat Peribatan Pasal 18 dan 19.
Kompleksitas berarti kerumitan atau kesulitan dalam proses penyelesaian perselisihan tentang pendirian rumah ibadat. Intensitas berarti kesungguhan dalam penyelesaian perselisihan dalam pendirian rumah ibadat yang terlihat dari prosesnya melalui musyawarah hingga ke pengadilan. Peran ialah pelaksanaan tugas penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat, dan/atau pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadah tanpa izin.
Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan rumah ibadat dalam rangka implementasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Di antaranya dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan ialah penelitian dengan judul Efektivitas Sosialisasi PBM (2007), Revitalisasi
Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indonesia (2009), dan Penelitian Rumah Ibadat (2010). Di antara hasil penelitian tersebut, bahwa dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat menyatakan telah mengetahuinya meski belum optimal. Pedoman tersebut umumnya dilaksanakan oleh panitia pembangun rumah ibadat yang menyadari pentingnya, dan berwawasan ke depan. Sedangkan di pedesaan, dan terutama pada penganut agama mayoritas di suatu tempat tampak belum menjadikan PBM sebagai pedoman prioritas dalam pendirian rumah ibadat.
Rumah ibadat yang pembangunannya diterima dengan damai adalah yang memenuhi aturan PBM dan peraturan
M. Yusuf Asry
8
Pemerintah Daerah. Faktor komunikasi dan dan nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara berperan sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan lebih disebabkan oleh faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dan prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kepentingan ekonomi dan kekuasaan, ego mayoritas dan arogansi minoritas.
Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media mass, dan oleh sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seakan terbebankan hanya pada umat Kristiani. Sesungguhnya juga terbebankan pada umat lain seperti Islam, Hindu dan Buddha yang menempati posisi minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat disarankan agar disiplin mematuhi aturan PBM, dan mengamalkan kearifan lokal yang mendukung dan toleransi sosial.
Berbeda dengan penelitian ini yang berupaya mengungkap secara spesifik perselisihan seputar pendirian rumah ibadat hingga penertiban, dan atau penutupan, serta upaya dan hasil penyelesaiannya. Penelitian ini dilakukan pada lokasi yang berbeda. Dengan demikian diharapkan tulisan ini akan melengkapi hasil penelitian sebelumnya.
Kerangka pikir berangkat dari kondisi saat ini adanya fenomena dan fakta perselisihan seputar pendirian dan pelaksanaan fungsi rumah ibadat, baik pada tataran global maupun nasional. Perselisihan tersebut mencakup penolakan, penertiban dan penutupan rumah ibadat. Suatu penyelesaian perselisihan mengacu pada PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab VI pasal 21 dan 22, yaitu melalui musyawarah, dan jika tidak dicapai, penyselesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan. Aspek yang dilihat dalam penelitian ini ialah pada kompleksitas perselisihan, sebab
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
9
perselisihan, intensitas peran pemerintah, FKUB, majelis agama dan ormas keagamaan dalam upaya penyelesaian perselisihan, respon dan saran masyarakat terhadap penyelesaian perselisihan. Acuan analisisnya menggukan pendekatan: regulasi, sosial budaya dan ekonomi, serta agama. Kondisi yang diharapkan ialah terselesaikan perselisihan sehingga terpelihara kerukunan antarumat beragama, terjaga ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Secara ringkas kerangka pikir tersebut disusun dalam gambar sebagai berikut:
Bagan Kerangka Pikir
M. Yusuf Asry
10
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi
penelitian di Kecamatan Pamulang dan Kecamatan Serpong Utara
Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, dengan pertimbangan: 1)
Penganut agama beragam (heterogin), yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Khonghucu; 2) Terdapat kasus perselisihan
rumah ibadat, (a) antara Kristen dan masyarakat, dan (b) antara
Buddha dan pengembang (developer) perumahan serta
pemerintah daerah; 3) Dalam perselisihan terlibat masyarakat,
pemerintah, FKUB, dan ormas keagamaan.
Unit analisis penelitian ini ialah: 1) Gereja Bethel Indonesia
(GBI) “ Kunir”, Jln Kunir No. 85, Kelurahan Pondok Cabe Udik,
Kecamatan Pamulang. 2) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI)
“Jemaat Efatta” Jln. Puri Raya Blok D6 No. 1-2, Kelurahan Pamulang
Barat, Kecamatan Pamulang, dan 3) Vihara Siripada Jln. Raya
Serpong Blok B/10 No. 54 Perum Vila Melati Mas, Serpong Utara.
Data dihimpun melalui studi kepustakaan/dokumen,
wawancara dan pengamatan. Narasumber sebanyak 18 informan
meliputi unsur: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Banten, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang dan Kota
Tangerang Selatan, Kantor Pemerintah Daerah dan Kesbanglinmas,
BP2T, KUA, Lurah, pengurus FKUB, pengurus majelis-majelis agama,
pimpinan ormas keagamaan, pengurus rumah ibadat dan warga
masyarakat. Pengamatan dilakukan pada tiap rumah ibadat yang
diperselisihkan. Analisis data kualitatif menggunakan tiga alur
kegiatan yaitu: reduksi data, penyajian data dan verifikasi penarikan
kesimpulan (Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992 : 15-
20). Hasil penelitian sementara dipresentasikan pada saat di
lapangan dengan 20 nara sumber dari para pihak yang berselisih,
dan yang terlibat dalam upaya penyelesaian perselisihan. Tulisan ini
merupakan ringkasan hasil penelitian tersebut yang disusun atas
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
11
lima bagian, yaitu: 1) Pendahuluan, 2) Selayang Pandang Kota
Tangerang Selatan dari tingkat kota hingga dua kecamatan yang
merupakan lokus penelitian ini, 3) Temuan hasil penelitian, 4)
Analisis, dan 5) Kesimpulan dan rekomendasi.
M. Yusuf Asry
12
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
13
SELAYANG PANDANG
KOTA TANGERANG SELATAN
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu dari delapan
kabupaten/kota di Provinsi Banten. Daerah ini merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2008. Luas
wilayah Kota Tangerang Selatan mencapai 147,19 km2 atau 1,52%
dari luas wilayah Provinsi Banten dengan batas-batas: sebelah utara
Kecamatan Pinang, Kecamatan Larangan dan Kecamatan Ciledug
Kota Tangerang; sebelah timur Kota Jakarta Selatan; sebelah selatan
Kota Depok dan Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat; dan sebelah
barat Kecamatan Cisauk Pagedangan dan Kecamatan Kelapa Dua
Kabupaten Tangerang. Secara administratif Kota Tangerang Selatan
terbagi pada 7 kecamatan yaitu: Kecamatan Serpong, Serpong
Utara, Pondok Aren, Ciputat, Ciputat Timur, Pamulang dan
Kecamatan Setu (BPS Provinsi Banten, 210: 9 dan 40).
Penduduk Kota Tangerang Selatan tahun 2009 tercatat
1.303.569 jiwa, terdiri dari: 658.701 laki-laki (50,53%) dan 644.868
perempuan (49,47%) (BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka
2010). (BPS Provinsi Banten, Hasil Sensus Penduduk 2010/ SP 2010:
6,10 dan 13). Kota Tangerang Selatan dihuni banyak suku, di
antaranya yang dominan secara berurutan ialah etnis Betawi, Sunda,
M. Yusuf Asry
14
Jawa, Cina, Minang dan Batak. Etnis asli ialah Betawi dan Sunda.
Selebihnya adalah pendatang.
Dalam kehidupan sosial budaya, khususnya di Kecamatan
Pamulang dan Serpong Utara sebagian besar beragama Islam. Pada
masa lalu kental dengan tradisi, dan mulai berubah sejak marak
gerakan dakwah dan pengajian, komunikasi dan silahturahim
terbuka. Ada pameo, “sekali orang datang ke Tangerang, berat
untuk meninggalkannya”. Pendatang menjadi orang Tangerang
(Ahmad Djabir, Abdul Rozak, 2010: 6). Dari segi pendidikan pada
tahun 2009 data Kota Tangerang Selatan masih menyatu dengan
Kabupaten Tangerang, yaitu: tidak tamat SD 23,45%, tamat SD
24,03%, Tamat SLTP 19,84%, tamat SLTA 26,14%, D1&2 0,52%,
D3&S1 6,01% (BPS Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2010: 115-
116). Dari segi ekonomi yang menonjol ialah aktivitas perdagangan,
industri, jasa, dan sebagaian kecil pertanian, sebagai suatu profesi
penduduk asli.
Kehidupan keagamaan di Kota Tangerang Selatan secara
umum tercermin pada lambang Provinsi Banten dalam bentuk
”Kubah Masjid”. Hal ini melambangkan kultur masyarakat Banten
yang agamis, termasuk Kota Tangerang Selatan. Agama mayoritas
Islam. Komposisi pemeluk agama terdiri dari Islam 949,340 jiwa
(90.76%), Kristen 51.970 jiwa (4.97%), Katolik 33.799 jiwa (3.23%),
Hindu 2.144 jiwa (0,20%), Buddha 8.447 jiwa (0,81%), Khonghucu
250 jiwa (0.02%) dan Kepercayaan 7 jiwa. Ormas keagamaan
tumbuh dan berkembang. Di antaranya terdapat 25 ormas Islam.
(Kesbanglinmas, Daftar dan Nama Ormas, Organisasi Kepemudaaan
dan LSM Kota Tangerang Selatan, 2009), yang berpengaruh
dominan ialah NU, Muhammadiyah dan MUI.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
15
Pamulang sebuah kecamatan yang berada di pusat
pemerintahan di Kota Tangerang Selatan. Luas wilayahnya
mencapai 2.123,891 ha, berbatasan sebelah utara dengan
Kecamatan Ciputat, selatan dan timur dengan Kota Depok, serta
sebelah barat dengan Kecamatan Serpong (Profile Kota Tangerang
Selatan, 2009:1). Pamulang terdiri dari 8 Kelurahan, 162 RW dan 851
RT. Kedelapan kelurahan dimaksud yaitu : Kedaung, Pamulang
Barat, Pondok Benda, Pondok Cabe Ilir, Bambu Apus, Pamulang
Timur dan Benda Baru (Profile Kota Tangsel, 2009:1). Penduduk
Pamulang menurut data bulan Januari 2011 berjumlah 231.222 jiwa
yang terdiri dari laki-laki 117.133 jiwa (50,66%) dan perempuan
114.089 jiwa (49,34%). (Kecamatan Pamulang: 2011). Mayoritas
penduduk kecamatan ini ialah etnis Betawi dan Sunda. Selebihnya
yang dominan secara berurutan ialah suku Jawa, Tionghoa, Minang
dan Batak. Salah satu dari kelurahan tersebut, Pondok Cabe Udik
terdapat lokasi GBI Kunir yang menjadi sasaran penelitian ini.
Kecamatan Serpong Utara memiliki luas wilayah 2.560.298
ha yang berbatasan dengan kecamatan-kecamatan, di sebelah
selatan dengan Kecamatan Setu, barat dengan Kecamatan Cisauk
dan sebelah timur dengan Kecamatan Pamulang dan Ciputat.
Kecamatan Serpong Utara terdiri dari 9 Kelurahan, 101 RW dan 412
RT. Penduduk Serpong Utara pada tahun 2010 berjumlah 106.745
jiwa yang terdiri dari 53.065 laki-laki (49,71%) dan 53.680
perempuan (50,29%). Vihara Siripada yang menjadi sasaran
penelitian ini terletak di Jelupang.
M. Yusuf Asry
16
1. KASUS PERSELISIHAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT DAN
PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG SEBAGAI TEMPAT
IBADAT
a. Pembangunan Gereja Bethel Indonesia “Kunir”,
Pamulang
Lokasi Pembangunan Fisik GBI “Kunir”
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
17
M. Yusuf Asry
18
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
19
PROFIL SINGKAT
NAMA : GEREJA BHETEL INDONESIA “KUNIR”
ALAMAT : JL. KUNIR NO. 85 KEL. PONDOK CABE
UDIK, KECAMATAN PAMULANG, KOTA
TANGERANG SELATAN
BERDIRI : TAHUN 2003
KEBAKTIAN : DI PT FABIOLA JL.KUNIR NO. 56A
SEKERTARIAT : KOMPLEK RUKO PONDOK CABE
MUTIARA BLOK B12, CIPUTAT
PIMPINAN : PDT ICHWAN DARMAWAN
PENDETA : PDT ICHWAN DARMAWAN
JEMAAT : ± 245 ORANG (DEWASA, REMAJA DAN
ANAK-ANAK)
KASUS : 2004 DAN 2010
PIHAK TERLIBAT : WARGA, GBI DAN KANTOR KEMENAG
SEBAB UTAMA :
1) PEMELUK GEREJA GBI PERLU RUMAH
IBADAT PERMANEN (FAKTOR AGAMA)
2) PENDIRIAN GEREJA DINILAI
BERLEBIHAN DARI KEBUTUHAN UMAT
YANG NYATA DAN SUNGGUH-
SUNGGUH (FAKTOR REGULASI)
3) PENDIRIAN GEREJA DI TENGAH UMAT
BERAGAMA LAIN DIKHAWATIRKAN
M. Yusuf Asry
20
TERJADI PEMURTADAN (FAKTOR
AGAMA)
4) RELASI PENGURUS GBI DAN PEMUKA
AGAMA SERTA TOKOH MASYARAKAT
KURANG KOMUNIKATIF (FAKTOR
SOSIAL-BUDAYA).
5) TANDA TANGAN PERSETUJUAN
PENDIRIAN GEREJA DITAWARKAN
IMBALAN DANA (FAKTOR EKONOMI)
1) Perdirian Gereja Bhetel Indonesia “Kunir”
Menurut Pdt. Ichwan Darmawan, selaku pimpinan Jemaat
Gereja Bethel Indonesia “Kunir”, bahwa aktivitas pembinaan iman
Kristiani di Pondok Cabe Udik telah diselenggarakan sejak tahun
2003. Saat ini anggota GBI mencapai 135 orang dewasa, 50
pemuda/ remaja, dan 60 anak-anak. Pada tanggal 31 Agustus 2004
GBI didaftarkan pada Kementerian Agama Provinsi Banten Up.
Bimas Kristen Protestan di bawah Kepala Pembimas Youke Lougal,
S.PAK (Surat No. KW.28/I/BA.00/010/2004). Sebelumnya, induk
Gereja ini telah terdaftar di Ditjen Bimas Kristen Protestan
Kementerian Agama pada tahun 1989 (SK No. 41 Tahun 1979 dan
No. 211 tanggal 2 Nopember 1989).
Sejak berdiri GBI “Kunir” tahun 2003, aktivitas peribadatan
dilakukan pada sebuah ruangan milik PT Fabiola di Jln Kunir No.
56A. Pada tahun 2004, GBI bermaksud mendirikan sebuah
bangunan gereja yang permanen dengan membeli sebidang tanah
bekas sirkuit seluas 2.948m2, sertifikat hak milik di Jalan Kunir No. 83
RW. 05 Pondok Cabe Udik.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
21
Pendirian GBI telah mendapat rekomendasi persetujuan
dari berbagai pihak terkait: 1) Kepala Desa Pondok Cabe Udik (surat
No. 640/DS/PKU/2004 tanggal 20 Agustus 2004), 2) Camat
Pamulang (surat No. 452/09 tanggal 4 Agustus 2004), 4) Kepala
Kepolisian Sektor Pamulang (surat No. Pol 893/IX/2004/SekPam
tanggal 16 September 2004), 5) Koramil Ciputat (surat No. B/190-
06/IX/2004 tanggal 30 September 2004), 5) Komandan Kodim 0506
Tangerang (surat No B/110-5/2/204 tgl 16 Februari 2005), 6) Warga
lingkungan RT 01,02, 05 RW 05 Kepala Desa Pondok Cabe Udik
untuk pembuatan IMB GBI (2 Agustus 2004). 7) Kepala Kejaksaan
Negeri Tangerang tidak berkeberatan atas pembangunan rumah
ibadat GBI Pondok Mutiara dengan pertimbangan dan keputusan
selanjutnya menjadi wewenang Bupati (surat No.
B.09/0.6.11/dps.5/03/2005 tanggal 18 Maret 2005), 8) Badan Pekerja
Daerah Banten GBI (surat No. 062 tanggal 27 April 2009), 9)
Rekomendasi persetujuan Kementerian Agama Kabupaten
Tangerang (surat No. Kd.28.04 /BA.01.2/863/2006 tanggal 8 Agustus
2006) dan FKUB Kabupaten Tangerang/FKUB KAB.PMG/VII/2008
tanggal 22 Juli 2008. Selain itu terdapat Pernyataan Polres Metro
Jakarta Selatan, bahwa tidak ada kewajiban/kewenangan/keharusan
serta tidak pada tempatnya Kepolisian Resort Jakarta Selatan untuk
memberikan pendapat/ rekomendasi tentang pendirian tempat
ibadat (surat No. Pol.B/479/III/2005/Resjaksel tanggal 1 Maret 2005).
Atas dasar rekomendasi persetujuan/pernyataan tidak
keberatan untuk pembangunan GBI tersebut, maka Pendeta Muda
Ichwan Darmawan mengajukan permohonan izin mendirikan
bangunan (IMB) GBI di Jalan Kunir No. 83 di atas tanah hak milik
sertifikat yang diketahui Camat Pamulang. Surat permohonan
dilampiri site plan bangunan yang disahkan oleh Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BP2T) dengan tinggi bangunan 4 lantai (16M),
M. Yusuf Asry
22
luas bangunan fisik 834,6 M2, di atas tanah 2.948 M2 (surat
No.653.1/9701-BP2T/2009 tanggal 29 September 2009).
Pada tanggal 10 September 2009, Bupati Tangerang (H.
Ismed Iskandar) menerbitkan Surat Keputusan tentang izin
pemanfaatan ruang kepada pemohon Ichwan Darmawan untuk
sarana ibadat Gereja GBI Pondok Cabe Udik, Pamulang (Keputusan
No. 653/KEP9143-BP2T/2009). Pada tanggal 23 November 2009,
Bupati Tangerang menerbitkan Keputusan No.645/11366-
BP2T/2009 tentang IMB. Dalam waktu 12 bulan sejak dikeluarkan
IMB tidak ada pelaksanaan kegiatan, maka izin tersebut batal
dengan sendirinya.
Pada awal bulan Juli 2010 akan dimulai pembangunan fisik
GBI dengan mengerahkan mesin alat berat, dengan diupayakan
tidak mengganggu warga sekitar (Ichwan Darwawan: 24 dan 25
Februari 2011). Pada saat akan mulai pemasangan tiang pancang
pendirian GBI tersebut terjadi demonstrasi penolakan yang diikuti
pengajuan surat keberatan kepada pihak yang berwenang (Aep
Safrudin, H. Nana Suardi dan Leni Kurniasih: 26 Februari 2011).
Penolakan Masyarakat
Pada tanggal 22 Desember 2004, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kecamatan Pamulang menyampaikan hasil survei Tim Khusus
menjawab permintaan Pdt. Ichwan Darmawan pimpinan Jemaat
GBI tentang rencana perdirian gereja di Jln Kunir, Pondok Cabe
Udik. Dalam surat tersebut dikemukakan jumlah penduduk dewasa
di RW 05 sebanyak 988 jiwa yang terdiri dari: 572 Islam memiliki
sebuah masjid dan 2 mushalla, 218 Kristen dan Katolik memiliki 2
gereja, 1 kapel dan 1 tempat ibadat, 140 umat Buddha mempunyai
2 vihara, dan 58 khonghucu memiliki 1 kelenteng. Masyarakat
sekitar mayoritas Muslim menolak rencana pembangunan GBI di
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
23
Jalan Kunir RW 05 Pondok Cabe Udik (surat tanggal 14 Desember
2004).
Pada tanggal 22 Desember 2004, MUI Kecamatan Pamulang
menyatakan bahwa mayoritas Muslim di RW 05/RT 03 menolak
pembangunan GBI secara terang-terangan (surat No.41/MUI/XII/
2004). Penolakan dengan alasan: desain pembangunan GBI yang
besar dan megah sedangkan penganut Kristen dan Katolik yang
dewasa sebanyak 218 orang, dan itupun telah berdiri 4 tempat
ibadat (2 gereja, 1 kapel dan 1 tempat ibadat). Jarak antargereja
yang ada hanya sekitar 150m. Penduduk sekitarnya mayoritas
Muslim.
Pada tanggal 18 September 2006, MUI Kecamatan
Pamulang merekomendasikan kepada Kepala Kantor Kemenag dan
Bupati Tangerang perihal persetujan pendirian GBI dicabut karena
tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, pada saat peninjauan
lapangan tanpa mengikutsertakan aparat dan tokoh masyarakat
setempat, dan rekomendasi tersebut tidak mengacu pada PBM Bab
4 pasal 13 mengenai pendirian rumah ibadat, serta disarankan
mengoptimalkan penggunaan gereja yang ada (surat
No.47/MUI/PML/IX/2006 tanggal 18 September 2006).
Pada tanggal 23 September 2006, Tim Peninjau dan Survei
MUI juga menyatakan kepada Kemenag Kabupaten Tangerang
bahwa rekomendasi yang diberikan tanpa pengecekan keabsahan
data di lapangan. Selanjutnya atas nama masyarakat Pondok Cabe
Udik mengharapkan agar Walikota Tangerang Selatan
melaksanakan Keputusan Walikota No. 47 tentang
penyelenggaraan perizinan terhitung tanggal 3 Agustus 2009,
dengan meninjau Keputusan Bupati Tangerang perihal IMB GBI
yang dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 2009 (surat
No.645/11366-BP2T/2006). Keputusan Bupati Tangerang “batal
demi hukum”. Selanjutnya mengusulkan kepada Kementerian
M. Yusuf Asry
24
Agama agar mencabut rekomendasi persetujuan pendirian GBI
yang disampaikan kepada Bupati dalam rangka pembatalan IMB GBI
(surat tertanggal 11 April 2010).
Pada tanggal 15 Juli 2010, atas nama masyarakat Pondok
Cabe Udik menyampaikan surat kepada Ketua DPRD Kota
Tangerang Selatan “kiranya berkenan mengawal dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang menolak rencana
pembangunan GBI. Warga RW 05 bersama masyarakat Pondok Cabe
Udik menyatakan berkeberatan atas didirikan GBI di Jalan Kunir No.
83. Unsur masyarakat meliputi pengurus masjid dan mushola
majelis-majelis taklim, Ikatan Remaja Masjid, tokoh pemuda dan
pengurus Persatuan Iman Tauhid Islam (PITI/Tionghoa), ormas
Muhammadiyah setempat dan LSM Perkasa. Alasan penolakan
antara lain: di RW 05 Pondok Cabe Udik telah berdiri 2 Gereja Kristen
yaitu GBIS, dan GPdI. Bangunan gereja yang ada cukup
menampung jemaat Kristiani dalam beribadat. Penerbitan IMB
seharusnya dikeluarkan oleh pemerintah Kota Tangerang Selatan,
dan bukan oleh pemerintah Kabupaten Tangerang.
Selain itu bangunan GBI yang direncanakan sesuai site plan
seluas 834.6m2 berlantai 4. Sedangkan jumlah umat GBI hanya
sebanyak 245 orang. Lokasi tanah GBI tersebut berbatasan dengan
Mushola Al-Kautsar, dan disekelilingnya rumah warga Muslim.
Semula warga tidak tahu tentang peruntukan lokasi tersebut untuk
rumah ibadat GBI. Disarankan agar umat Kristiani memanfaatkan
gereja yang ada.
Dampak perselisihan tersebut berdampak lahirnya “sikap
kaku” antara pendeta dan pihak gereja dengan warga. Relasi
pemeluk agama tampak “kurang cair”. Sekalipun kerjasama
antarumat beragama tetap terbuka, tetapi untuk penolokan
pendirian gereja baru oleh sementara warga dianggap “harga mati”.
Konsensus tampak sulit diwujudkan kecuali pembangunannya
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
25
dipindahkan ke daerah lain (Nana Suardi, 26 Februari 2011).
Perselisihan ini mereda sementara menunggu selesai pemilihan
kepala daerah (Pilkada ulang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari
2011).
Upaya Penyelesaian Perselisihan
Untuk kasus perselisihan pendirian GBI “Kunir”, Pemerintah,
institusi penegak hukum dan FKUB telah memberikan surat/reko-
mendasi persetujuan untuk pendiriannya. Mulai dari Camat
Pamulang (2004), Polri Metro Jaya (2004), Kodim 0506 (2004), Korem
052 (2005), Kejari (2005) hingga Kemenag Kabupaten Tangerang
(2008) dan FKUB (2008).
Bupati Tangerang menerbitkan IMB GBI tanggal 23
Nopember 2009, sesudah pemekaran Kota Tengerang Selatan dari
Kabupaten Tangerang pada tahun 2008. Sedangkan Perwako No.
47 terbit pada tahun 2009 yang menyatakan perizinan diurus oleh
Pemerintah Kota Tangerang Selatan berlaku sejak tanggal 3 Agustus
2009. Proses perijinan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang sejak
tahun 2004. IMB baru terbit pada tanggal 23 November 2009.
Untuk menyelesaikan perselisihan antara pendirian dan
penolakan pembangunan GBI “Kunir”, maka pada tahun 2010,
Walikota Tangerang Selatan mengeluarkan surat berisi
“Penghentian Pembangunan Fisik Gereja Bethel” (surat
No.645.8/2243/kesra/ Setda/2010 tanggal 16 Juli 2010). Adapun
pertimbangannnya ialah : 1) Masyarakat sekitar keberatan sehingga
dikhawatirkan timbul gejolak keresahan masyarakat, 2) Pemerintah
Kota Tangerang Selatan telah membuka pelayanan perizinan sejak
tanggal 1 Agustus 2009, termasuk IMB, dan 3) IMB GBI yang
dikeluarkan oleh Pemetintah Kabupaten Tangerang tanggal 23
M. Yusuf Asry
26
Nopember 2009 bertentangan dengan Peraturan Walikota
Tangerang Selatan No. 47 tahun 2009.
Majelis agama dan ormas keagamaan tidak terlihat
perannya dalam mengatasi perselisihan dalam pendiririan GBI
tersebut. Demikian pula tidak terlihat peran dari kalangan LSM dan
perguruan Tinggi dalam penyelesaian perselisihan tersebut.
Respon dan Saran Masyarakat
Respon masyarakat terhadap penyelesaian perselisihan
tentang pendirian GBI.: 1) Pemerintah mengeluarkan rekomendasi
persetujuan pendirian GBI tanpa komunikasi dengan para pihak
yang berselisih. 2) Penerbitan IMB GBI tanpa izin lingkungan
padahal sejak tahun 2004 telah ditolak oleh masyarakat. 3) IMB batal
demi hukum karena melewati batas waktu 12 bulan. 4) Site plan
bangunan GBI sangat megah dan luas melebihi keperluan nyata
dibandingkan jumlah jemaat, dan gereja sejenis telah berdiri di RW
05 Pondok Cabe Udik.
Masyarakat menyarankan: 1) GBI beribadat menyatu dengan
gereja di RW 05. 2) Pemerintah dan pihak GBI agar melakukan
pendekatan kepada masyarakat untuk musyawarah mengatasi
perselisihan terhadap pendirian GBI. 3) Memproses kembali IMB
baru.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
27
b. Rumah Tinggal sebagai Tempat Ibadat Komunitas Gereja
Pentakosta di Indonesia “Jemaat Efatta”, Komplek Perum
Puri Pamulang
c. Gambar Rumah Tinggal yang Dimanfaatkan Sebagai Tempat
Ibadat Komunitas GPdI
M. Yusuf Asry
28
PROFIL SINGKAT
NAMA : KOMUNITAS GEREJA PANTEKOSTA DI
INDONESIA (GPdI) JEMAAT EFATA
ALAMAT : JL. PURI RAYA BLOK D6 NO.1/2 RT 04 RW
25 KELURAHAN PAMULANG BARAT,
KECAMATAN PAMULANG KOTA
TANGERANG SELATAN
KEGIATAN : MULAI TAHUN 2006
PIMPINAN : Pdt.YOSEPH SUMAKUL, S.Th
PENDETA : Pdt.YOSEPH SUMAKUL, S.Th
JEMAAT : 30 ORANG (DEWASA & REMAJA)
KASUS : DESEMBER 2009
PIHAK TERLIBAT : WARGA, GPdI DAN KANTOR KEMENAG
SEBAB UTAMA : 1) PEMELUK GPdI BUTUH FASOS UNTUK
RUMAH IBADAT PERMANEN (FAKTOR
AGAMA)
2) MENGGANGGU KETETIBAN UMUM
(FAKTOR REGULASI)
3) PERMOHONAN IZIN PEMANFAATAN
RUMAH TINGGAL SEBAGAI TEMPAT
IBADAT (FAKTOR REGULASI)
4) RELASI DAN KOMUNIKASI PIMPINAN
GPdI DAN PEMUKA AGAMA KURANG
KOMUNIKATIF (FAKTOR SOSIAL
BUDAYA)
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
29
Rumah Tinggal sebagai Tempat Ibadat GPdI “Jemaat Efatta”
Menurut Pdt. Joseph Sumakul S.Th pimpinan Gereja
Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jemaat Efatta, bahwa ia menempati
rumah tempat tinggalnya di Jalan Puri Raya Blok D6 No. 1 dan 2 RT
04/RW25, Kelurahan Pamulang Barat pada tahun 2006. Pada awal
menempati rumah tersebut bulan Oktober 2006 Pdt. Sumakul
melapor kepada Ketua RT Syahban yang ketika itu RT 7 RW10
Pamulang Barat. Di samping itu juga memberitahukan
penyelenggaraan pembinaan iman Kristiani bersama keluarga dan
warga seiman pada tiap hari Minggu. Sejak tahun 2006 hingga 2009
aktivitas pembinaan dan peribadatan umat GPdI di Puri Raya
Pamulang Barat berlangsung lancar dan aman. Pada tahun 2008
terjadi penggantian ketua RT dari Syahban kepada Sulis Setiono,
yang pada saat terjadi perselisihan Sulis menjadi ketua RW 25.
Pada tahun 2009 terjadi demonstrasi oleh warga terhadap
pelaksanaan peribadatan GPdI di Jalan Puri Raya. Diduga protes
muncul sebagai dampak perkelahian antara warga RT 04 (Alif)
dengan Ketua RT 03 bernama Hook yang berkebetulan beragama
Kristen pada tanggal 5 Desember 2009. Karena peran Polsek
Pamulang, masalah tersebut dapat didamaikan. Namun pada
tanggal 10 Desember 2009 terpetik isu akan tejadi demo ke rumah
Pdt Joseph Sumakul.
Pdt.Sumakul meminta bantuan Polsek untuk
mengamankan perayaan Natal tanggal 13 Desember 2009. Pada
tanggal 20 Desember 2009 terjadi pengumpulan tandatangan atas
dokumen yang berisi keberatan atas kegiatan peribadatan di rumah
Pdt. Sumakul. Pernyataan tersebut ditanda-tangani oleh warga RT04
dan RT03 dengan alasan “mengganggu ketertiban umum”.
M. Yusuf Asry
30
Pada tanggal 27 Desember 2009 ketua RW 25 Sulis Setyono
memfasilitasi pertemuan yang dihadiri sekitar 50 warga RT 04 dan
RW sekitarnya untuk mencari solusi atas penolakan warga atas
pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat. Namun
pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Atas saran
Purwanto (Kanit Polsek Pamulang) agar kedua belah pihak
mengajukan penyelesaian perselisihan kepada pemerintah dan
FKUB.
Pendeta Sumakul juga meminta tandatangan dari beberapa
warga sekitar rumahnya yang berisi pernyataan “tidak keberatan”
adanya kegiatan peribadatan di rumah Pdt. Joseph Sumakul.
Pernyataan mana disampaikan kepada Camat melalui Sekretaris
Camat Oki Pudianto. Namun hingga tanggal 16 Juni 2010, bahkan
hingga saat ini belum tercapai penyelesaian.
Dengan adanya aksi demo warga terhadap kegiatan
peribadatan di rumah tempat tinggal tersebut, Pdt. Sumakul
mengupayakan mediasi melalui surat kepada berbagai pihak : 1)
MUI Kota Tangerang Selatan “untuk menengahi dan mengarahkan
umat Muslim di Perum Pamulang agar bisa saling menghormati
umat beragama” (16 uni 2010); 2) Ketua Komnas HAM RI “untuk
dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah kami ini, dan
memperjuangkan hak-hak kami untuk dapat melakukan kewajiban
kami sebagai umat beragama” (No. 04/JE/PAM/7/2010 tanggal 15
Juli 2010); 3) Lurah Pamulang Barat untuk menginformasikan
sebanyak 14 warga RT04 /RW25 Pamulang Barat yang
menandatangani pernyataan tidak keberatan atas keberadaan
tempat peribadatan umat Kristen (12 Februari 2010).
Selanjutnya juga mengirim surat kepada: 4) Ketua FKUB
yang menginformasikan adanya ancaman dan tidak adanya
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
31
kesimpulan musyawarah dengan Camat Pamulang. Memohon
kepada FKUB untuk mengadakan mediasi dengan Ketua RW 25
Pamulang Barat (No. 02/JE/PAM/VII/2010 tanggal 8 Juli 2010), dan
menyampaikan bahwa Sekertaris FKUB (Fachruddin) memfitnah
Pdt. Joseph Sumakul, mohon ditangani kembali demi terciptanya
keadilan dan kerukunan umat beragama (No. 01/JE/PAM/VII/2010
tanggal 8 Juli 2010), dan Walikota Tangerang Selatan berisi
pernyataan yang ditandatangani oleh warga Kristen/Katolik di
Perumahan Puri Pamulang sebanyak 130 orang dari 64 KK meminta
sarana fasilitas umum untuk pembinaan umat Kristen, sekaligus
menginformasikan pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat
pembinaan kerohaniaan iman Kristiani (28 Desember 2010).
Alasan penyelenggaraan ibadah rutin tiap minggu di Perum
Puri Pamulang menurut Pdt. Joseph Sumakul ialah karena : 1)
Kebutuhan akan tempat beribadat dan pembinaan keimanan
keluarga beserta warga Perum Puri Pamulang dan sekitarnya; 2)
Belum ada sarana tempat ibadat khusus bagi umat Kristiani di Puri
Pamulang; 3) Tidak ada fasum/fasos untuk gereja yang permanen,
sedangkan jumlah umat semakin bertambah dan perlu rumah
ibadat yang permanen.
Keberatan Masyarakat
Pada tanggal 18 Desember 2009 warga Komplek Puri
Pamulang menyatakan “merasa keberatan atas penggunaan rumah
pribadi milik Pdt. Joseph Sumakul, S.Th sebagai tempat ibadat/
kebaktian/gereja (GPdI Jemaat Efata).
Alasan keberatan pemanfaatan rumah tempat tinggal
sebagai tempat kegiatan peribatan secara rutin ialah: 1)
M. Yusuf Asry
32
“mengganggu ketertiban umum” karena konsentrasi massa yang
dapat semakin bertambah; 2) Perparkiran dapat mengganggu
lalulintas jalan umum. Apabila kegiatan peribadatan tersebut
dibiarkan/diteruskan akan dapat menyulut konflik yang bermuatan
SARA (Pernyataan ditandatangani oleh 48 warga RW 25 yang
diketahui oleh Ketua RT 03 dan Ketua RW 25 Kelurahan Pamulang
Barat).
Upaya Penyelesaian Perselisihan
Pada tanggal 27 Desember 2009, Ketua RW 25 Perum Puri
Pamulang Barat (Sulis Setiono) menyelenggarakan pertemuan
mencari solusi tentang protes masyarakat terhadapat aktivitas
jemaat GPdI yang dihadiri sekitar 50 warga, termasuk Pdt. Joseph
Sumakul di lapangan RT 04. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan
kesepakatan.
Pada tanggal 1 Februari 2010, Sekertaris Camat
mengundang rapat pihak terkait di Kantor Kecamatan Pamulang.
Rapat juga tidak menghasilkan kesepakatan. Pada hari Selasa
tanggal 22 Juli 2010, Camat Pamulang mengundang rapat 10 orang
yang dihadiri pihak terkait di Kantor Kecamatan Pamulang. Rapat
tersebut juga tidak menghasilkan kesepakatan. Perselisihan
pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat rutin mingguan
di rumah Pdt. Joseph Sumakul hingga penelitian ini dilakukan
belum ada solusinya. Sejumlah lembaga dan pemerintah yang
dimintai sebagai mediator dalam penyesesaian perselisihan
tersebut juga tidak semua memberikan tanggapan secara nyata.
Respon dan Saran Masyarakat
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
33
Respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan
antara pemanfaatan rumah tempat tinggal sebagai tempat
peribadatan rutin oleh jemaat GPdI Puri Pamulang dengan yang
berkeberatan belum terdapat titik temu. Di antaranya ialah 1) FKUB
seharusnya mencarikan solusinya secara intensif. 2) GPdI terkesan
memaksakan kehendak untuk mendapatkan fasos atau fasum untuk
pembangunan gereja yang permanen dari kelurahan. 3)
Pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat tidak perlu izin
sementara, karena selama tidak dipermasalahkan. 4) Jaminan
keamanan dalam kebaktian merupakan tanggung jawab yang
bersangkutan. 5) Komunikasi pimpinan dan jemaat GPdI dengan
warga kurang lancar. 6) Sikap Pdt. Yoseph Sumakul terhadap warga
yang beda pendapat cenderung agresif. 7) Upaya pemerintah dan
kelurahan mencari solusi kasus perselisihan disebut kegagalan.
Selanjutnya masyarakat menyarankan: 1) Kegiatan
pembinaan keimanan/peribatan GPdI “Jemaat Efata” agar
digabungkan dengan GPdI sejenis. 2) Mengupayakan fasum/fasos
untuk pembangunan GPdI yang permanen. 3) Pemerintah dan
FKUB memfasilitasi pembangunan komunikasi yang efektif antara
pimpinan GPdI dengan tokoh agama dan pemuka agama. 4)
Mendorong GPdI agar mengupayakan lokasi untuk dibangun gereja
yang permanen dengan konsultasi pihak kelurahan dan kecamatan.
M. Yusuf Asry
34
d. Lahan Fasos Vihara Siripada, Serpong
Gambar Lahan Fasos Vihara Siripada dibangun Hotel Feducia
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
35
PROFIL SINGKAT
NAMA : VIHARA SIRIPADA
ALAMAT : JL. RAYA SERPONG BLOK B/10 NO.54
PERUM VILLA MELATI MAS, DESA
JELUPANG KEC.SERPONG, KOTA
TANGERANG SELATAN (115310)
TLP. 021-5386879
BERDIRI : TAHUN 2006
PIMPINAN : SUDIONO RAIS (KETUA PEMBINA
YAYASAN) YAHYA
SANTOSA(PENGURUS)
PANDITA : YAHYA SANTOSA
PENGANUT : + 200 ORANG (DEWASA & REMAJA)
KASUS : TAHUN 2006
PIHAK TERLIBAT : PT PT COWELL DEVELOMENT TBK
(PENGEMBANG), PENGURUS VIHARA
SIRIPADA, DAN PEMERINTAH
KABUPATEN TANGERANG
SEBAB UTAMA : 1. PERMOHONAN IZIN MENDIRIKAN
BANGUNAN (IMB) VIHARA
SIRIPADA DI ATAS TANAH FASOS
(FAKTOR REGULASI)
2. PERUBAHAN LOKASI PERUNTUKKAN
FASOS (FAKTOR REGULASI)
3. TUKAR GULING LAHAN UNTUK
SARANA VIHARA SIRIPADA TIDAK
JELAS (FAKTOR REGULASI DAN
EKONOMI)
M. Yusuf Asry
36
Kepemilikan Fasos untuk Vihara Siripada Serpong
Menurut Yahya Santosa selaku Ketua Pembina Yayasan
Vihara Siripada dan pemuka agama Buddha, bahwa pada tanggal 14
Oktober 2005, pengurus vihara memohon izin kepada Bupati
Tangerang untuk menggunakan lahan milik pemerintah menjadi
saran peribadatan bagi pemeluk Buddha (Surat No. 410). Pada
tanggal 9 Februari 2006, Bupati Tangerang (H. Ismet Iskandar)
mengeluarkan keputusan persetujuan penggunaan tanah fasilitas
sosial milik pemerintah Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada
untuk sarana ibadah dengan luas 3.257 M2 (Kep. No. 593/Kep.24-
Huk/2006). Fasos dimaksud terletak di Perumahan Villa Melati Mas
Jl. Raya Serpong Blok B 10 No. 54 Desa Jelupang, Kecamatan
Serpong Utara Tangerang (15310 Telp. 021.5386879).
Pada tanggal 28 Juni 2010, Bupati Tangerang menerbitkan
Surat Keputusaan tentang perubahan atas Keputusan No.
593/Kep.24-Huk/2006 sebagaimana tersebut di atas mengenai
persetujuan penggunaan tanah fasilitas sosial milik pemerintah
Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada untuk sarana ibadat.
Berdasar survei dan pengukuran ulang atas tanah yang digunakan
Vihara Siripada pada tanggal 28 Februari 2008 luas tanah tersebut
ternyata hanya 1.964m2. Sisa dari ukuran tahun 2006 seluas
1.293m2 disediakan tanah di Perumahan Melati Mas Residence dari
PT Cowell Development Tbk kepada Pemerintah Kabupaten
Tangerang. Lahan tersebut disetujui penggunaannya sebagai
sarana ibadat oleh Vihara Siripada (Kep. No. 593/Kep.265-Huk/2010).
Yayasan Vihara Sriripada pernah mengajukan permohonan
rekomendasi penerbitan sertifikat hak milik a/n Vihara Siripada atas
tanah seluas 3.257m2 (Surat No.03 tgl 2 Mei 2007). Namun tidak
mendapat tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang dan
Gubernur Banten.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
37
Yayasan Vihara Siripada telah membangun Vihara Siripada,
gedung pendidikan dan sejumlah bangunan pendukung lainnya
dengan memanfaatkan tanah 1.900m2. Sisanya 1.371m2 digunakan
oleh Hanan Soeharto, SH untuk pembangunan Hotel Feducia. Hal
inilah yang memicu perselisihan antara pihak Vihara Siripada
dengan Pemerintah Kabupayen Tangerang dan Pengembang dan
Pemilik Hotel Feducia. Sebagai tukar guling pada tahun 2008, PT
Cowell Development Tbk menggantikan sebagian tanah fasos
Vihara Siripada yang terkena jalur jalan dan selokan.
Pengurus Vihara Siripada mengirim surat kepada Hamam
Soeharto yang menyatakan penolakan izin lingkungan pendirian
Hotel Feducia Serpong (surat No. 009/SKI/Sekretariat/SIP/XI/2008
tanggal 2 Desember 2008). Selain itu Yayasan Vihara Siripada
mengirim surat kepada Bupati Tangerang menolak izin lingkungan,
dan sekaligus memohon salinan IMB (No.
25/SKI/Sekretariat/Siripada/XI/2010 tanggal 5 Nopember 2010).
Perubahan Peruntukan Fasilitas Sosial
Pada tahun 2006, PT Cowell Development Tbk
menyerahkan tanah fasos kepada Pemerintah Kabupaten
Tangerang di Perum Villa Melati Mas, yang dalam berita acaranya
disebutkan termasuk tanah fasos Vihara Siripada yang terdiri dari
tanah jalan dan selokan (Surat No.046/Cowell Presdir/VII/2008).
Lahan 2.358m2 yang diberikan pada tahun 2006, sebagiannya akan
dibangun Hotel Feducia milik Hanan Soeharto, SH. Dengan
demikian terjadi perubahan peruntukan lahan fasos menjadi tempat
dibangun lahan bisnis.
Pihak Hotel Feducia telah memiliki IMB sehingga melanjutkan
pembangunan hotel dengan mengambil bagian tanah yang semula
diperuntukkan untuk vihara. Selisih kekurangan 1.293m2 telah
M. Yusuf Asry
38
diserahkan tanah fasilitas sosial dari PT Cowell Develompment Tbk
d/h PT Internusa Antarcipta kepada pemerintah daerah. Menurut
Yahya Santosa diperoleh informasi lahan tersebut dimaksudkan
sebagai tukar ganti kekurangan tanah vihara seluas 1.293m2.
Namun hingga saat penelitian ini dilakukan belum terdapat solusi
dari Pemerintah Kabupaten Tangerang atau pun Kota Tangerang
Selatan.
Penyelesaian Perselisihan
Bupati Tangerang mengeluarkan keputusan pada tahun 2010,
bahwa: 1) Perubahan atas keputusan Bupati Tangerang (Surat
No.593/kep/.24-Huk/2006) tentang penggunaan fasos melalui
Pemerintah Kabupaten Tangerang oleh Vihara Siripada untuk
sarana ibadat. 2) Menyetujui penggunaan tanah fasos melalui
pemerintah Kabupaten Tangerang untuk sarana ibadat Vihara
Siripada yang berlokasi:
- di Komplek Perum Villa Melati Mas seluas ……….. = 1.964M2,
- di Komplek Perum Villa Mas Residence seluas ……. = 1.293M2
Jumlah = 3.257M2
(Keputusan Bupati Tangerang No. 593/Kep.265-Huk/2010tanggal 28
Juni 2010).
PT Cowell Develoment Tbk menyediakan tanah fasos dan
menyerahkannya kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang di
Perum Villa Melati Mas, yang diperutukkan kepada Vihara Siripada.
Dengan demikian tukar guling tanah telah dilakukan, tetapi dengan
nilai harga tanah yang lebih rendah, berada dalam dua hamparan,
dan tidak jelas batas-batasnya.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
39
Sekalipun solusi terhadap lahan Vihara Siripada dari segi luas
tanah telah terpenuhi, tetapi dari pihak vihara masih tetap
mempertanyakan dan memohon penjelasan atas perubahan lahan
yang diperutukkan bagi sarana peribatan umat Buddha di Kota
Tangerang Selatan. Pihak Vihara juga tidak memberikan persetujuan
lingkungan untuk pembangunan Hotel Feducia yang
menggunakan lahan yang sejak tahun 2006 untuk kepentingan
sarana peribatan Vihara Siripada.
Respon dan Saran Masyarakat
Respon warga masyarakat terhadap penyelesaian
perselisihan atas perubahan sebagian tanah fasos Vihara Siripada: 1)
Perubahan lahan fasos kepada lahan untuk bisnis berbeda dari
peruntukan yang sesungguhnya. 2) Pemerintah Kabupaten
Tangerang terlihat lemah dalam memanfaatkan tanah fasos yang
menjadi milik pemerintah yang berasal dari pengembang
perumahan. 3) Pemerintah daerah tidak tegas dalam penyelesaian
perselisihan berkenaan dengan tanah fasos untuk kepentingan
sarana peribadatan Vihara Siripada.
Masyarakat menyarankan, sebagai berikut: 1) Perlu kejelasan
tukar guling tanah fasos untuk sarana peribadatan oleh Pemerintah
Kabupaten Tangerang, dan sekaligus penyerahan tanah yang
diperuntukkan bagi Vihara Siripada. 2) Perlu kemudahan dari
Pemerintah Kabupaten Tangerang dalam pengurusan sertifikat
tanah fasos untuk sarana peribadatan.
ANALISIS
Untuk pendirian rumah ibadat agar terpelihara kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat,
M. Yusuf Asry
40
maka dibuat aturan dalam PBM tahun 2006. Bab IV tentang
pendirian rumah ibadat, Bab V tentang Izin sementara Pemanfatan
Bangunan Gedung, dan VI tentang Penyelesaian Perselisihan.
Sesuai judul penelitian ini difokuskan pada perselisihaan di seputar
pendirian rumah ibadat dan penyelesaiannya.
Perselisihan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan
dalam suatu masyarakat, tak terkecuali umat beragama. Perselisihan
dapat membawa kondisi yang baik karena cenderung terjadi
perubahan umat, dan kondisi buruk jika perselisihan itu
berkelanjutan tanpa solusi yang dianggap bermanfaat bagi para
pihak yang berselisih. Artinya di sini yang dicari bukan hanya sebab
terjadi perselisihaan, tetapi juga bagaimana menyelesaikan
perselisihan.
Ada kata kunci panyelesaian perselisihan yang dimuat dalam
pasal 21 dan 22 PBM. Dari segi pentahapan penyelesaian
perselisihan terdapat tiga tahap. Pertama, musyawarah oleh
masyarakat. Di sini dapat berperan majelis-majelis agama, ormas
keagamaan, dan LSM lintas agama, bahkan tokoh masyarakat dan
pemuka agama secara personal. Kedua, musyawarah oleh
Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Kementerian Agama,
dengan mempertimbangkan pendapat FKUB. Pentahapan
berlansung jika musyawarah tahap pertama tidak berhasil
diselesaikan. Ketiga, pengadilan yang menyelesaikan perselisihan.
Forum musyawah dalam penyelesaian perselisihan tampak belum
optimal, dan paling banyak tiga kali. Selanjutnya terhenti, kasusnya
menjadi “mengambang”, dan sewaktu-waktu muncul kembali,
karena bersifat “laten”.
Penyelesaian perselisihan dari segi kompleksitasnya ternyata
perselisihan seputar rumah ibadat sangat kompleks, dan terbukti
ketiga kasus tersebut tidak terselesaikan, baik oleh masyarakat
maupun melalui inisiasi pemerintah daerah dan kantor kemenag,
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
41
serta FKUB. Apalagi intensitasnya dalam arti frekwensi pertemuan
penyelesaian terhitung rendah, karena paling banyak tiga kali
pertemuan yang melibatkan para pihak yang berselisih.. Sekalipun
tidak terselesaikan pada tingkat musyawarah belum ada yang
mangajukan perselisihan tersebut ke pengadilan.
Kasus perselisihan rumah ibadat, Gereja Bethel Indonesia
“Kunir” karena penolakan warga. Proses awalnya lebih dominan
peran pemerintah sehingga terlihat banyak terlibat instansi yang
memberikan rekomendasi persetujuan terhadap pendirian GBI
tersebut. Proses penolakan oleh masyarakat diabaikan. Pada saat
peninjauan ke lokasi pihak yang berselisih tidak dilibatkan.
Sekalipun secara formal keputusan tentang IMB keluar, tetapi bagi
masyarakat tetap merupakan permasalahan. Akhirnya Walikota
Tangerang Selatan menghentikan pembangunan fisik Gereja Bethel
Indonesia. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan perselisihan
tersebut tak terselesaikan.
Berbeda halnya dengan perselisihan kasus pemanfaatan
rumah tinggal sebagai tempat ibadat secara rutin mingguan.
Menjadi simalakama, diberikan izin atau tidak. Menarik kasus Gereja
Pantekosta di Indonesia “Jemaat Efata” Pamulang Barat. Ketika tidak
ada izin aktivitas pembinaan iman dan peribadatan malah aman.
Begitu ada upaya kearah pengusulan izin sementara justru
mengundang demonstrasi. Musyawarah beberapa kali untuk
menyelesaikan perselisihan, di tingkat RW hingga kantor
kecamatan. Namun, musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan.
Karena masing-masing bersikukuh mempertahankan pendapatnya,
antara pro dan kontra. Karena di balik sebab nyata (eksplisit)
perselisihan adalah karena menyangkut tiga hal pokok yaitu
identitas diri sebagai penganut agama, perasaan terancam dari
penganut agama satu dengan yang lainnya, dan karen kepentingan
ekonomi.
M. Yusuf Asry
42
Nampak dari rencana pembangun (site plan) GBI Kunir yang
cukup besar dibandingkan dengan jumlah jemaat (sekitar 200-an).
Begitu pula kasus GPdI Jemaat Efata menunjukkan identitas diri ada
dengan kebaktian bersama, dan tampak meminta fasilitas rumah
ibadat yang sama dengan yang diperoleh umat Islam dari
lingkungan perumahan. Faktor yang menonjol ialah rasa terancam
bagi warga (yang berbeda agana), karena adanya penyiaaran agama
yang berorientasi pada penambahan jumlah penganut. Faktor lain
yang tak kalah pentingnya ialah kepentingan ekonomi seperti kasus
tanah Vihara Siripada berubah fungsi untuk pembangunan hotel.
Solusi yang ditawarkan kurang menyentuh rasa keadilan dan
hukum. Penyelesaian kasus perselisihan “selesai tetapi tidak tuntas”.
Solusi tetap berpotensi untuk dipertanyakan, dan merupakan
potensi konflik laten.
Ketiga kasus perselisihan mengenai akibat pendirian rumah
ibadat tersebut mengindikasikan tidak terselesaikan. Penghentian
pembangunan rumah ibadat yang baru, pemanfaatan rumah
tinggal sebagai tempat ibadat, perubahan fungsi fasos untuk rumah
ibadat kepada kepentingan bisnis menjadi perselisihan yang tak
terselesaikan. Karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Di sisi lain
peranata musyawarah untuk penyelesaian perselisihan tampak
belum intensif. Kasus GBI sangat dominan peran aparat tanpa
mengajak musyawarah pihak yang berselisih. Kasus GPdI sempat
diadakan 3 (tiga) kali musyawarah tanpa hasil kesepakatan, bahkan
kasus Wihara Siripada seakan tertutup pintu musyawarah. Namun,
sejauh ini tidak ada kasus pendirian rumah ibadat yang diajukan ke
pengadilan. Dari segi peran pemerintah dalam penyelesaian
perselisihan pendirian rumah ibadat tergolong pada intensitas
rendah yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan kementerian
agama. Apalagi ormas keagamaan dan majelis-majelis agama
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
43
hampir tidak terlihat sama sekali, kecuali atas undangan secara
formal.
Dalam melihat perselisihan dan upaya penyelesaian di seputar
rumah ibadat paling tidak terdapat tiga aspek. Pertama, aspek
yuridis atau regulasi; kedua, aspek sosial-budaya dan ekonomi; dan
ketiga, aspek agama. Dari aspek ini peneliti mencoba melihat
kompleksitas perselisihan dan sejauhmana intensitas peran
menyelesaikannya, baik oleh pemerintah, FKUB, majelis agama, dan
ormas keagamaan.
Dari aspek yuridis atau regulasi pendirian GBI telah memenuhi
ketentuan yang berlaku, sekalipun sebagian mengacu pada SKB No.
1 Tahun 1969, dan sebagian lagi mengikuti aturan dalam PBM
Tahun 2006. IMB GBI telah terbit pada tahun 2009. Namun tetap
mendapat penolakan dari masyarakat sehingga terbit surat Walikota
Tangerang Selatan untuk “penghentian pembangunan fisik GBI”.
Hal ini mengindikasikan lemahnya pendekatan pada aspek sosial,
budaya dan komunikasi antar pemuka agama.
PBM Tahun 2006 Bab V mengatur “Izin Sementara
Pemanfaaatan Bangunan Gedung”. Bangunan gedung bukan
rumah ibadat yang dimanfaatkan sebagai rumah ibadat sementara
harus mendapat surat keterangan izin sementara dari
bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan: 1) laik fungsi, dan
2) pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat. Persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
a) Izin tertulis dari pemilik bangunan, b) rekomendasi tertulis
lurah/kepala desa, c) pelaporan tertulis kepada FKUB
kabupaten/kota, dan d) pelaporan tertulis kepada kepala kantor
kementerian agama kabupaten/kota. Izin sementera dikeluarkan
oleh bupati/walikota, dan dapat dilimpahkan kepada camat.
M. Yusuf Asry
44
Di Kecamatan Pamulang tidak kurang dari 35 bangunan gedung
atau ruko yang dimanfaatkan sebagai tempat ibadat, termasuk GPdI
di Pamulang Barat. Semuanya tanpa izin dan tidak terdaftar di
Kantor Kementerian Agama, tetapi tercatat di Kantor Kepolisian
Sektor Pamulang. Pencatatan karena adanya laporan dalam rangka
pengamanan (Edi Wibowo, 28 Februari 2011). Dalam kasus ini
regulasi tampak belum tersentuh. Namun aktivitas kebaktian
berlangsung aman. Bahkan ketika diurus izin sementara muncul
kecurigaan, dan mengundang demo penolakan seperti yang
dialami oleh GPdI di Pamulang Barat. Akibat dari pendekatan sosial,
budaya dan komukasi antarpemuka agama tidak lancar dan belum
efektif.
Adanya perubahan sebagian lokasi dan fungsi fasos untuk
sarana rumah ibadat Vihara Siripada menjadi lahan bisnis (hotel),
dan sulit mengurus sertifikat hak milik mengindikasikan
implementasi regulasi atau aturan PBM belum berjalan sesuai
tujuan pedoman tersebut. Kasus lahan untuk sarana vihara ini
sangat kental dengan kepentingan ekonomi atau bisnis.
Pendekatan sosial, budaya dan agama terabaikan.
Peran FKUB sangat didambakan dalam penyelesaian
perselisihan tentang rumah ibadat. Namun dengan keterbasan
dana, sarana dan tenaga, maka perannya seakan “pemadam
kebakaran” (K.H. Ahmad Dahlan, 3 Maret 2011). Ketua FKUB tersebut
menuturkan kondisi dan aktivitas FKUB Kota Tangerang Selatan
yang dibentuk pada tahun 2009 dan dikukuhkan pada tanggal 9
Desember 2009. Kantor atau sekretariat FKUB belum ada. Belum
terjalin komunikasi antara FKUB dan Dewan Penasihat FKUB.
Sosialisasi PBM tahun 2006 minim karena tidak tersedia fasilitas dan
dana. Dana operasional FKUB dari Pemerintah Kota Tangerang
Selatan tahun 2011 sebesar Rp. 100 juta. Kegiatan strategis masih
terbatas, yaitu: silaturahim tokoh lintas agama (15 Juli 2010) dan
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
45
Sosialisasi PBM Tahun 2006 bagi lurah, camat dan SKPD. Sekalipun
demikian telah mengeluarkan rekomendasi persetujuan pendirian 3
(tiga) rumah ibadat, yaitu: HKBP di Ciputat (27 Juli 2010), HKBP di
Serpong (24 Desember 2010), dan Gereja Kristen Indonesia di
Serpong (24 Desember 2010).
M. Yusuf Asry
46
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
47
PENUTUP
Kesimpulan
1) Perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat di Kota
Tangerang Selatan merupakan kasus yang rumit atau kompleks,
baik pendirian rumah ibadat yang baru, maupun pengurusan
izin sementara, IMB dan pengurusan sertifikat tanah fasilitas
sosial sebagai sarana peribadatan.
2) Sebab utama perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat
dibalik yang mengemuka terdapat tiga faktor yang dominan
yaitu: karena identitas diri sebagai umat beragama, merasa
terancan atas perkembangan agama bagi penganut agama
lainnya, dan kepentingan ekonomi (bisnis).
3) Sebab utama tersebut terlihat dari faktor penyebab yang
mengemuka dari ranah regulasi, sosial budaya, ekonomi dan
agama. Ranah regulasi ialah tidak terpenuhi sebagian
persyaratan dalam PBM, tidak menunjukan kebutuhan nyata
dan sungguh-sungguh atau berlebihan didasarkan site plan
bangunan, mengganggu ketertiban umum, pemanfaatan
rumah tinggal sebagai tempat ibadat tanpa keterangan izin
sementera, dan penggunaan fasos tanpa sertifikat kepemilikan
dan izin mendirikan bangunan (IMB). Dari ranah sosial dan
M. Yusuf Asry
48
budaya ialah relasi dan komunikasi antar pemuka agama
terbatas, kurang lancar serta kurang tulus dan efektif. Dari ranah
agama ialah adanya spirit misi/dakwah yang tidak terkendali
dikhawatirkan terjadi pemurtadan.
4) Peran Pemerintah Kota Tangerang Selatan, kecamatan hingga
kelurahan, jajaran Kantor Kementerian Agama dalam
menyelesaikan perselisihan di seputar pendirian rumah ibadat
belum intesif, sebagaimana terlihat pada ketiga model
perselisihan yang ditemukan berkelanjutan, dan belum
terselesaikan dengan tuntas. GBI “Kunir” sejak tahun 2004,
Gereja Pantekosta di Indonesia “Jemaat Efata” sejak tahun 2009,
dan Vihara Siripada sejak tahun 2006 hingga penelitian ini
dilakukan belum terselesaikan (Maret 2011).
5) Peran Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan
masih kurang proaktif dalam penyelesaian perselisihan
pendirian rumah ibadat, dan pemanfaatan bangunan gedung
atau rumah tinggal sebagai tempat ibadat karena lemah dalam
pendataan, dan dalam pembinaannya, dan kurang melibatkan
warga masyarakat yang berselisih.
6) Hanya dalam jumah kecil peran FKUB Kota Tangerang Selatan
yang responsif terhadap penyelesaian perselisihan pendirian
rumah ibadat dan pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat
ibadat. Namun lemah dalam pendataan dan lambat dalam
penyelasaian perselisihan, karena faktor netralitas dan
profesionalitas sumber daya manusia, kantor sekertariat yang
belum tersedia, dan bantuan dana operasional yang terbatas.
7) Denominasi di kalangan pemeluk Kristen sangat beragam
(untuk nasional sekitar 326 buah) memiliki ciri peribadatan dan
tata keanggotaan yang berlainan, sedangkan umumnya jumlah
pengguna dan persetujuan masyarakat tidak terpenuhi,
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
49
sehingga memanfaatkan bangunan gedung dan rumah tinggal
sebagai tempat ibadat tanpa izin sementara, dan hanya
terdaftar pada kantor keposisian, karena terkait dengan
keamanan.
8) Respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan
akibat pendirian rumah ibadat yang dimediasi pemerintah
dinilai masih rendah. Sementara pengelola rumah ibadat
cenderung eksklusif dan aggresif yang terbukti dari
permohonan mediasi ke berbagai instansi pemerintah di daerah
hingga institusi komnas HAM dan Presiden RI.
9) Saran masyarakat terhadap upaya penyelesaian perselisihan
dalam pendirian rumah ibadat baru maupun pengurusan izin
sementara pemanfaatan bangunan gedung atau rumah tinggal
sebagai tempat ibadat, dan pengurusan sertifikat tanah fasilitas
sosial untuk sarana peribadatan, perlu segera dibuat peraturan
bupati/walikota tentang petunjuk teknis pedoman operasional
pendirian rumah ibadat.
Implikasi Temuan
1. Jika implementasi PBM 2006 memperhatikan kultur masyarakat
Banten umumya dan masyarakat Kota Tangerang Selatan
khususnya yang dikenal toleran dan agak “cuek” dalam relasi
keagamaan, maka akan terpelihara kerukunan umat beragama,
sekaligus perselisihan akibat pendirian rumah ibadat dengan
mudah dapat diselesaikan.
2. Jika semakin banyak pemanfaatan bangunan gedung dan rumah
tinggal sebagai tempat ibadat tanpa izin sementara tanpa
pembinaan dari kementerian agama dan instansi terkait, maka
M. Yusuf Asry
50
dapat terjadi gangguan terhadap kerukunan antarumat
beragama.
3. Jika komunikasi antarpemuka agama berlangsung secara alami
dan intensif, maka tingkat “kecurigaan” antarumat beragama
dapat diminimalisasi sehingga pendirian rumah ibadat dapat
terlaksana dalam suasana saling pengertian.
Rekomendasi
1) Walikota Tangerang Selatan hendaknya menerbitkan peraturan
tentang petunjuk operasional pendirian dan penyelesaian
perselisihan seputar rumah ibadat yang didirikan dengan
memperhatikan kearifan lokal dalam upaya implementasi dan
sosialisasi PBM No.9 dan 8 Tahun 2006.
2) Pemda dan Kementerian Agama Kota Tangerang Selatan
hendaknya memfasilitasi pertemuan-pertemuan melalui
pendekatan sosial budaya dan silaturahim antarpemuka agama
secara rutin dan terjadwal guna menumbuhkan sikap saling
pengertian sehingga dapat mempermudah penyelesaian
perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
3) Kantor kementerian agama kabupaten/kota bersama FKUB
hendaknya bekerjasama dengan kepolisian melakukan
pendataan pemanfaatan bangunan gedung dan rumah tinggal
sebagai tempat ibadat agar dapat disentuh pembinaan
kerukunan antarumat beragama.
4) Pengurus rumah ibadat tiap pemeluk agama hendaknya
membuat sertifikat kepemilikan tanah dan IMB dengan
mengupayakan kemudahan dari BP2T, pemerintah daerah,
Pemerintah Kota Tengerang Selatan dan kantor kementerian
agama kabupaten/ kota.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
51
5) Panitia pendirian rumah ibadat sebelum melakukan
pembangunan hendaknya diadakan terlebih dahulu studi
kelayakan yang komprehensif, dengan mempertimbangkan
komposisi pemeluk agama, budaya lokal, jumlah pengguna atau
umat yang dilayani, dan besaran gedung yang akan dibangun
agar terhindar dari kesan berlebihan yang mengindikasikan
kemegahan di tengah lingkungan kehidupan masyarakat yang
sederhana.
M. Yusuf Asry
52
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
53
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya (Edisi
yang Disempurnakan), Kementerian Agama RI, Jakarta, 2011.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten dalam Angka 2010,
Serang, 2011.
Djabir Ahmad dan Abdul Rojak, Ed., Potret Kerukunan Umat
Beragama Kabupaten Tangerang, FKUB Tangerang, 2010.
Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman, Quqlitative Data
Analysis, TerjemahanTjetjep Rohendi Rohidi, Analisis data
Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1972.
Ranjabar, Jacobus, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Ghalia Indoneesia,
Jakarta, 2006.
Rojak, Abdul, Sirajudin dan Istijar Nusantara, Sejarah Berdirinya Kota
Tangerang Selatan, Green Komunika, Pamulang, 2010.
Salim, Peter, Advanced English-Indonesia Dictionary, (t.tp), 1991.
M. Yusuf Asry
54
Surat/Dokumen:
Keputusan Bupati Tangerang No.645/11366-BP2T/2009 tentang Ijin
Mendirikan Bangunan tanggal 23 Desember 2009.
Fisik Gereja Bethel Indonesia” tanggal 16 Juli 2010.
Peraturan Walikota Tangerang Selatan No. 46 tahun 2009 tentang
Pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang dan
Peaturan Bupati Tangerang di Kota Tangerang Selatan
Tanggal 3 Agustus 2009.
Peraturan Walikota Tangerang Selatan No. 47 tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perijinan Tanggal 3 Agusutus 2009.
Polsek Metro Pamulang, “Daftar Data Rumah/Ruko yang
Dipergunakan untuk Kebaktian Umat.
KUA Serpong, Data Rumah Ibadah di Kecamatan Serpong, 2010.
Kecamatan Serpong, Profil Kecamatan Serpong,2009.
Bakesbangpol dan Linmas, Kota Tangerang Selatan “Daftar Nama-
Nama Organisasi Kemasysarakatan, Organisasi Kepemudaan
dan Lembaga Swadaya Masyarakat”, Pamulang, 2010.
FKUB Provinsi Banten, “Laporan Kegiatan Kerja Tahun 2009 – 2010”,
Serang, 2010.
------“Laporan Hasil Dialog dan Kunjungan Kerja ke FKUB Kabupaten
Kota Se-Provinsi Banten”, 2010.
FKUB Kota Tangerang Selatan, “Laporan Singkat Kegiatan FKUB”,
Pamulang, 2011.
KUA Kecamatan Pamulang, “Laporan dan Evaluasi Kerja, 2010.
MUI Kec.Pamulang, “Peninjauan Kembali Rekomendasi No.KD.28.04/
BA.01.2/683/ 2006”, 2 Oktober 2006.
Studi Kasus tentang Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat di Kota Tangerang Selatan ...
55
Seharja, Wahyu, GBI Sepenuh, “Pernyataan tentang Tidak Pernah
Memberikan Dukungan kepada Rencana Pembangunan
Gereja GBI, 27 September 2006.
Rais, Sudiono, “Penolakan IMB atas Hotel Fiducia” Serpong, 25
Januari 2010.
Rais, Sudiono dan Yahya Santosa,“Tangapan Surat Keputusan Bupati
Tangerang No.593/Kep.265-Huk/2010 tentang Perubahan
Atas Keputusan Bupati Tangerang No.593/Kep.24-
Huk/2006”, 25 November 2010.
Sumakul, Joseph, Surat GPdI tentang Kronologi Kasus Gereja
pantekota di Indonesia “Jemaat Efata”, 16 Juni 2010.
Surat Walikota Tangerang Selatan, No.
645/8.2243/Kesra/Setda/2010 Perihal “Penghentian
Pembangunan
“Pernyataan Bersama Masyarakat yang Menolak Pendirian Gereja di
Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang.
Winarno, Lazarus, GPdI Jemaat Eben Haezer, “Pernyataan tentang
Mencabut Kembali Persetujuan dan Menolak Rencana
Pembangunan Gereja GBI”, 26 September 2006.
Yahya, Santosa, “Tanggapan Surat kepada Bupati Tangerang”
tanggal 25 Nopember 2010.
“Selayang Pandang Provinsi Banten” dalam Banten Harmoni No.
01/XII/2009, hal.7-9.
M. Yusuf Asry
56
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
57
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat di Kota dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat
Oleh :Akmal Salim Ruhana
Akmal Salim Ruhana
58
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
59
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salahsatu hal yang kerap mengganggu kondisi kerukunan
umat beragama di Indonesia adalah masalah di seputar rumah
ibadat. Sejumlah kasus perusakan rumah ibadat, misalnya, terjadi
tahun 2004.1 Kasus-kasus itu belakangan ini bahkan cenderung
meningkat sebagaimana dilaporkan sejumlah lembaga. CRCS,
misalnya, mencatat terdapat 18 kasus rumah ibadat pada 2009, dan
pada 2010 meningkat menjadi 39 kasus.2 Demikian juga The Wahid
Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap rumah
ibadat. Bahwa pada tahun 2010 terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34
tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).3 Angka
ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan
adanya perluasan wilayah kajian. Adapun SETARA Institute pada
tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang
1 PGI bahkan memiliki data sejumlah gereja yang dirusak/ditutup sejak 1945
hingga 2010. Lihat http://pgi.or.id/ page/36694/penutupan-gereja.html. diunduh pada 7 April 2011.
2 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM, 2011, hlm. 34.
3 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid Inst., 2011, hlm. 17.
Akmal Salim Ruhana
60
mengalami gangguan dalam berbagai bentuknya, baik
penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah,
dan lain-lain.4 Bahkan, Moderate Muslim Society mencatat dari 81
kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan,
penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.5 Meski data kasus di atas
ada yang mempermasalahkan perihal “gambar nasional” yang
diklaimnya,6 namun secara faktual kasus-kasus itu tidak dapat
dipungkiri keberadaannya.
Melihat dinamika dan intensitasnya, tak heran jika masalah di
seputar rumah ibadat menjadi isu penting saat ini dan juga
merupakan salahsatu permasalahan dalam pembangunan nasional
sebagaimana ditegaskan di dalam RPJMN 2010-2014. Di samping
itu, kasus rumah ibadat yang terjadi di beberapa provinsi di
Indonesia menegaskan bahwa ini problem nasional—meski
persebarannya tidak merata. Dilaporkan, daerah yang paling banyak
memiliki kasus terkait rumah ibadat adalah Provinsi Jawa Barat,
diikuti DKI Jakarta, dan seterusnya. Berikut data CRCS terkait
perkembangan jumlah kasus rumah ibadat di Indonesia 2008-2010:7
4 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010,
Jakarta: SETARA, 2011, hlm. 9. 5 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi,
Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12. 6 Misalnya disampaikan Ketua PBNU, Drs. H. Slamet Effendi Yusuf, saat menjadi
narasumber pada Launching dan Diskusi Laporan Tahunan Kehidupan Beragama CRCS tanggal 1 Februari 2011 di Jakarta. Bahwa, menurutnya, di dalam Laporan Tahunan yang dijuduli “...di Indonesia” (baca: nasional) ini hanya meliput informasi dari media dan terutama di Bagian Barat Indonesia, kurang memberi perhatian ke wilayah Timur Indonesia. Hal ini berakibat adanya kesan kasus rumah ibadat di Indonesia hanya menimpa umat Kristiani yakni dengan sulitnya mendirikan gereja. Padahal, lanjut Slamet, ia banyak mendapat laporan dari umat Muslim di wilayah Timur Indonesia, misalnya NTT dan Papua, yang juga mengalami kasus rumah ibadat dengan sulitnya mendirikan masjid—dengan menunjuk sejumlah laporan-aduan kasus masjid dari Pengurus NU daerah yang diterimanya melalui SMS.
7 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia terbitan CRCS tahun 2008, 2009, dan 2010.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
61
2008 (total 12 kasus)
2009 (total 18 kasus)
2010 (total 39 kasus)
1. Jawa Barat 7 kasus (58%)
1. Jawa Barat 8 kasus (45%)
1. Jawa Barat 21 kasus (53%)
2. DKI Jakarta 2 kasus (17%)
2. DKI Jakarta 4 kasus (22%)
2. DKI Jakarta 6 kasus (15%)
3. Papua, Lampung, dan NTB masing-masing 1 kasus (8%)
3. Jawa Timur 2 kasus (11%)
3. Sumut 3 kasus (8%)
4. Jawa Tengah, Riau, Bali, dan Sumatera Selatan, masing-masing 1 kasus (6%)
4. Jawa Timur 2 kasus (5%) 5. Lampung, Banten, Jateng, Jatim, Bali, Kaltim, Sulsel, dan Papua, masing-masing 1 kasus (2%)
Salahsatu kasus yang kini masih menyita perhatian publik
bahkan pimpinan negara8 adalah kasus Gereja Kristen Indonesia
Bakal Pos Taman Yasmin, Kota Bogor (selanjutnya cukup disebut GKI
Yasmin). Kasus lokal ini diketahui telah menasional dengan adanya
massivitas pemberitaan media nasional, atau bahkan mengglobal
karena telah diliput sejumlah media asing. Hingga makalah ini
ditulis, kasus ini belum selesai dan sejumlah pihak masih ‘berseteru’
di tengah kesimpangsiuran duduk persoalannya. Bahwa
sebagaimana diberitakan, GKI Yasmin mengklaim telah memiliki
IMB namun tidak dapat membangun gereja dan beribadat di lokasi
gerejanya. Konon IMB itu telah teruji keabsahannya di meja
pengadilan (sejak tingkat PTUN, PT TUN, hingga Mahkamah Agung)
8 Lihat antara lain pernyataan juru bicara kepresidenan di http://pgi.or.id/
article/65890/persoalan-gki-yasmin-harus-diselesaikan-melalui-langkah-politik. html, lihat juga http://www.mediaindonesia.com/read/ 2011/04/04/268/284/1/Istana-Pantau-
Penyelesaian-Kasus-GKI-Yasmin diunduh pada 7 April 2011.
Akmal Salim Ruhana
62
yang semuanya memenangkan GKI Yasmin atas pihak yang
menggugatnya. Di sisi lain, penolakan pendirian gereja tetap
diinginkan pihak tertentu dengan alasan ketidakabsahan IMB, dan
mendesak pemerintah daerah tetap menyegel lokasi pembangunan
gereja. Posisi pemerintah daerah, dalam perkembangan terakhir
(7/4/2011) telah mencabut IMB gereja meski menimbulkan protes
keras pihak GKI.
Kasus lainnya terjadi di Kabupaten Bogor, yakni kasus rencana
pendirian gereja Paroki Santo Joannes Baptista Parung (selanjutnya
disebut SJB Parung). Kasus ini masih menggantung dan belum
terselesaikan hingga kini. Dalam kasus terkait gereja Katolik ini
diberitakan warga masyarakat melakukan penolakan pendirian
gereja yang berlokasi di Kampung Tulang Kuning Desa Waru
Kecamatan Parung Kabupaten Bogor ini. Belum adanya sejumlah
rekomendasi dan bukti dukungan warga sekitar menyebabkan
proses perolehan IMB terhambat dan gereja urung dibangun,
hingga kini.
Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat
sebagaimana tersebut di atas, muncul pertanyaan mengenai apa
yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian penting mengingat
kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (peraturan yang salahsatunya
menjelaskan perihal pendirian rumah ibadat) yang sedang dan terus
disosialisasikan oleh pemerintah, sejatinya menjadi solusi atas
permasalahan di sekitar rumah ibadat ini. Untuk itulah, penelitian ini
menemukan konteks dan urgensinya.
Permasalahan
Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan
penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian,
penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
63
Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana dan mengapa kedua kasus rumah ibadat ini terjadi?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan
terkait kasus ini?
3. Bagaimana peran FKUB dalam penyelesaian perselisihan ini?
4. Bagaimana respon masyarakat terhadap upaya penyelesaian
perselisihan tersebut?
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana perselisihan tentang pendirian,
penertiban, atau penutupan rumah ibadat dan sebab
diperselisihkannya.
2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan.
3. Mengetahui peran FKUB dalam penyelesaian perselisihan.
4. Mengetahui respon masyarakat terhadap penyelesaian
perselisihan tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan
informasi faktual mengenai kasus GKI Yasmin, Bogor, dan SJB
Parung, sehingga dapat berkontribusi pada upaya berbagai pihak-
berkepentingan dalam penyelesaian permasalahan ini. Di samping
itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi kredibel
tentang kasus ini diantara pemberitaan atau informasi terbatas yang
telah ada namun kurang research-based.
Akmal Salim Ruhana
64
Definisi Operasional
Perselisihan di seputar rumah ibadat secara konseptual
didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia pendiri atau
pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan pihak
masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan kantor
kementerian agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat
dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian
rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung bukan
rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah
ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna
rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan pemerintah
daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi menyangkut
tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan, yakni
persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini,
acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No.
9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14.
Perselisihan dapat terkait pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat. Dalam konteks kasus GKI Yasmin yang
terjadi adalah ketiga-tiganya, sedangkan dalam kasus SJB Parung
lebih terkait pada pendirian saja.
Kerangka Pemikiran
Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring
dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan
masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi di
sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan lain
hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik, keberadaan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
65
rumah ibadat juga merupakan gambaran eksistensi umat beragama
bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan di wilayah
tersebut.
Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan
masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting
sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya
menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang terganggu
masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan.
Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas
hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal
pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena
disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani
dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat,
termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,
maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat
beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat adalah hal-hal sebagai
berikut:
Pertama, ranah regulasi. Secara teoritik, keberadaan suatu
peraturan (regulation) adalah untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat, karena peraturan sejatinya adalah serangkaian
ketentuan yang dirumuskan bersama dan harus ditaati bersama
demi ketertiban umum. Di lapangan, alasan yang kerap diberikan
ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin
Akmal Salim Ruhana
66
pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian
persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan
rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan
dan diperselisihkan ketika belum memenuhi persyaratan sebagai-
mana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam
beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang
sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada
ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan
sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan administratif,
persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada
Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Dalam hal kasus
terjadi sebelum terbitnya PBM, maka SKB No. 1 Tahun 1969 atau
regulasi daerah lainnya yang berlaku sebagai lex specialis.
Kedua, ranah politik-ekonomi-sosial-budaya. Kehadiran
komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang
telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang
‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang
mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini.
Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era
reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan
merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa
tatanan sosial kehidupan majemuk telah hancur. Kelompok
menengah telah memaksa kelompok etnis pribumi untuk puas
hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian
memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas
dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.9 Konsep ingroup-
9 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan
Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58,
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
67
outgroup10 juga kerap berlaku. Kehadiran rumah ibadat agama lain
dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap
menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di
ranah budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan
adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’
bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan.
Demikian pula dalam hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi
lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas
pribumi yang lebih lemah.11
Ketiga, ranah keberagamaan. Intoleransi beragama kerap juga
dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan
terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima
kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya.12
Dari ketiga ranah ini, dapat digambarkan kerangka pikir
penelitian ini yang sekaligus menunjukkan pendekatan yang
dilakukan dalam proses analisis kasus ini:
Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia.
10 Lebih jauh dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
11 Sebagai contoh, konflik Ambon, menurut kajian Badan Litbang dan Diklat, pada mulanya dipicu soal kesenjangan sosial-ekonomi yang kemudian ‘meminjam’ identitas agama untuk melakukan massifikasi dukungan perlawanan.
12 SETARA Institute menegaskan hal ini, misalnya. Bahwa kasus-kasus penolakan rumah ibadat bukan soal peraturan melainkan intoleransi masyarakat. Lihat lebih lanjut dalam http://health.kompas.com/ read/2010/09/21/15584227/Masalah-
nya.Bukan.PBM..tapi.Intoleransi, diunduh pada 8 April 2011.
Akmal Salim Ruhana
68
Ranah
Regulasi/peraturan
Apakah proses pendirian
gereja sesuai ketentuan
PBM, SKB1/1969, atau
peraturan khusus lainnya?
Fakta-
fakta
dalam
kasus
rumah
ibadat
Ranah
Politik-Ekonomi-
Sosial-Budaya
Apakah ada motif/unsur
ekonomi, politik, sosial,
atau budaya dalam kasus
perselisihan ini?
Kesenjangan poleksosbud?
Dinamika politik lokal?
Ranah
Keberagamaan
Bagaimana kondisi
kehidupan beragama di
daerah sasaran penelitian?
Adakah intoleransi
beragama? Isu
agama/SARA?
Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait rumah ibadat sudah banyak dilakukan. Diantaranya oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi penelitian itu antara lain menyimpulkan bahwa pendirian rumah ibadat dapat berjalan baik dengan terpenuhinya ketentuan (PBM, SKB 1/1969, dll.) serta adanya komunikasi yang baik antara pihak panitia pembangunan dengan lingkungan sekitar. Penelitian ini juga menunjukkan adanya
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
69
berbagai kesulitan dalam pendirian masjid di beberapa daerah di bagian Timur Indonesia, sebagaimana hal serupa dialami sejumlah panitia pendirian gereja di bagian Barat Indonesia.
Penelitian lain terbaru, yang antara lain langsung menjadikan GKI Yasmin dan SJB Parung sebagai salahsatu lokusnya, adalah penelitian-bersama yang dilakukan oleh Yayasan Paramadina, MPRK-UGM, dan ICRP. Penelitian berjudul “Problematika Pendirian Gereja di Jakarta dan Sekitarnya: Sebuah Analisis Pendahuluan atas Peran Regulasi Negara dan Regulasi Sosial” ini, melihat peran-peran regulasi negara dan sosial dalam kasus-kasus rumah ibadat. Dilakukan pula kategorisasi kasus, menjadi: bermasalah sejak awal, bermasalah di awal kemudian tidak bermasalah/lancar, lancar di awal kemudian dipermasalahkan, dan bermasalah sejak awal hingga akhir. Diantara kesimpulan penelitian ini adalah terdapat inefisiensi dan potensi penghambatan pendirian rumah ibadah dalam praktek regulasi saat ini. Hal ini antara lain dicontohkan dari gereja yang sudah memenuhi syarat tandatangan dan syarat rekomendasi namun tetap belum memperoleh IMB. Simpulan lain, relasi gereja dengan masyarakat sekitar, terutama tokohnya, sangat berperan dalam menentukan apakah gereja akan menghadapi kendala atau tidak.
Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah cukup banyak, meski dalam lingkup dan angle berbeda. Diantara penelitian itu adalah penelitian Ibnu Hasan Muchtar tentang Kasus Ciketing, Bekasi, dan penelitian Ahsanul Khalikin tentang Kasus Gereja HKBP di Depok.
Penelitian-penelitian terdahulu dalam banyak hal cukup beririsan dengan penelitian atas kasus GKI Yasmin dan SJB Parung ini. Namun demikian, ada ruang yang dapat diisi, sekaligus distingsi penelitian kali ini, yakni kedalaman dalam memahami
Akmal Salim Ruhana
70
setiap kasus tersebut (GKI Yasmin dan SJB Parung) dengan pendekatan yang lebih lengkap: regulasi dan non-regulasi.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta wawancara. Sejumlah dokumen dari berbagai pihak, termasuk salinan putusan pengadilan, dapat diperoleh. Sejumlah pihak dapat diwawancara langsung, antara lain: juru bicara panitia pendirian GKI Yasmin, pendeta GKI Yasmin, penasihat hukum GKI Yasmin, ketua dan pengurus Forkami, panitia pembangunan gereja SJB Parung, Kankemenag Kota dan Kabupaten Bogor, FKUB Kota dan Kabupaten Bogor, MUI, dan masyarakat sekitar lainnya. Disamping itu, wawancara-tertulis dan via telepon dilakukan terhadap sejumlah pihak.
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik melalui tahap-tahap: editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi untuk memperoleh kesimpulan. Dalam kaitan ini, upaya penyimpulan juga menggunakan teknik pembobotan yang meski bersifat penilaian relatif-subjektif namun dapat membantu menggambarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada.
Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik triangulasi13 dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Informasi versi GKI Yasmin, versi Forkami dan versi Pemkot serta informasi versi panitia SJB Parung dan penolaknya dipadu (dan diadu?) secara komplementatif dan bersifat fakta an sich, menyisihkan perspektif antar pihak yang parsial.
13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Rosdakarya, Bdg, 2002, hlm. 178.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
71
GAMBARAN UMUM
KOTA DAN KABUPATEN BOGOR
Kondisi Geografis-Demografis-Poleksosbud
Kota Bogor,14sekitar 60 kilometer dari ibukota Jakarta,
berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kota ini
memiliki luas wilayah 111,73 km², dengan jumlah penduduk
949.066 jiwa (2010), dan kepadatan penduduk 8.494 orang/km2.
Di utara, Kota Bogor berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja,
Bojonggede, dan Kemang Kabupaten Bogor; di timur dengan
Kecamatan Sukaraja dan Ciawi Kabupaten Bogor; di selatan
dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin Kabupaten Bogor; dan di
barat dengan Kecamatan Kemang dan Dramaga Kabupaten Bogor.
Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan, yakni: Bogor Utara, Bogor
Barat, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Selatan, dan Tanah
Sereal.
14 Sejumlah data geografis-demografis diambil dari Kota Bogor Dalam Angka 2010
dan www.kotabogor.go.id., sedangkan data keagamaan diambil dari Kantor Kementerian Agama Kota Bogor.
Akmal Salim Ruhana
72
Kota Bogor dipimpin Walikota Diani Budianto yang
memimpin untuk kali kedua. Incumbent ini didukung Partai Golkar,
PDIP dan PKS serta tujuh partai kecil lainnya, yakni Partai Patriot,
PBSD, PSI, PKPI, PPDI, dan PDK dalam pemilukada 2008 lalu.
Sedangkan komposisi DPRD: Demokrat 15 kursi, PKS 7 kursi, Golkar
6 kursi, dan sisanya untuk partai lainnya.
Kedudukan geografis Kota Bogor sebagai penyangga
ibukota berimplikasi pada heterogenitas penduduk sekaligus
kompleksitas permasalahannya. Di sisi lain, posisi strategis itu
menjadi daya tawar tersendiri secara ekonomi.
Sedangkan Kabupaten Bogor15 merupakan daerah
penyangga ibukota yang memiliki wilayah yang cukup luas, yakni
2.371,21 km2. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Tangerang, Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di
utara; Kabupaten Karawang di timur; Kabupaten Cianjur dan
Kabupaten Sukabumi di selatan; serta Kabupaten Lebak di barat.
Kabupaten dengan 40 kecamatan ini memiliki jumlah penduduk
4.477.344 jiwa (2009) dengan tingkat kepadatan 1.820 jiwa/km².
Kabupaten Bogor dipimpin Bupati Rachmat Yasin, yang
dalam pemilukada diusung oleh PPP dan PDIP. Sedangkan
komposisi DPRD: Demokrat 14 kursi, Golkar 7 kursi, PDIP 7 kursi;
PPP 6 kursi, PKS 6 kursi, Gerindra 6 kursi, PAN 3 kursi, dan Hanura 1
kursi.
Kedudukan geografis Kabupaten Bogor sebagai penyangga
ibukota berimplikasi pada heterogenitas penduduk sekaligus
kompleksitas permasalahannya. Di sisi lain, posisi strategis itu,
15 Sejumlah data geografis-demografis diambil dari Kabupaten Bogor Dalam
Angka 2010, sedangkan data keagamaan diambil dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bogor.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
73
termasuk potensi pariwisatanya, menjadi daya tawar tersendiri
secara ekonomi.
Kondisi Kehidupan Keagamaan
Komposisi pemeluk agama dan rumah ibadat di Kota Bogor
adalah: Islam 843.199 jiwa (83,7%) dengan 695 masjid.; Kristen
87.422 jiwa (8,7%) dengan 88 gereja; Katolik 45.032 jiwa (4,5%)
dengan 2 gereja; Hindu 12.549 jiwa (1,2%) dengan 2 pura;
Buddha 11.346 jiwa (1,2%) dengan 20 vihara; dan agama lainnya
7.970 jiwa (0,8%).
Sebagai daerah dengan mayoritas penduduk beragama
Islam, Kota Bogor memiliki banyak organisasi kemasyarakatan
keagamaan Islam, yakni: MUI, LPTQ, DDII, LDII, DMI, GUPPI, PHBI,
MDI, NU, Muhammadiyah, PUI, LPPM, BKSPP, FKPP, Al-Irsyad, Persis,
Aisyiyah, Satkar Ulama, AMII, Al-Hidayah, Mathlaul Anwar, IPHI, ICMI,
BKPRMI, IPQAH, dan Pemuda Ansor. Selain itu, di Kota Bogor
terdapat 199 TKA/TKQ dengan 796 orang gurunya, juga terdapat
247 TPA/TPQ dengan 741 orang gurunya. Di kota ini juga terdapat
431 majelis taklim dan 215 lembaga dakwah dengan 1.979 da’i
atau mubalignya.
Sedangkan komposisi pemeluk agama di Kabupaten Bogor,
menurut data Kankemenag Kabupaten Bogor, sebagai berikut:
Islam 3.769.506 jiwa (98%), Kristen 30.893 jiwa (0,01%), Katolik
25.695 jiwa (0,01%), Hindu 8.500 jiwa (0,002%), Buddha 20.955 jiwa
(0,005%), dan agama Khonghucu 2.447 jiwa (0,001%). Terdapat
4.746 masjid, 29 gereja Kristen, 3 gereja Katolik, 4 pura, dan 11
vihara. Terdapat banyak ormas keagamaan, antara lain: MUI, PGI,
PHDI, KWI, WALUBI, MAKIN, NU, Muhammadiyah, Persis, PUI,
Mathlaul Anwar, MDI, dan Al-Irsyad.
Akmal Salim Ruhana
74
Sekilas tentang GKI Yasmin dan Gereja SJB Parung
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin yang
merupakan anggota PGI ini berencana membangun gereja yang
berlokasi di pinggir jalan Taman Yasmin III, di Jl. KH. Abdullah bin
Nuh No. 31, Curug Mekar, Bogor Barat, Kota Bogor. Semula, jemaat
beribadat di gereja GKI Jl. Pengadilan 35 Bogor. Atas alasan
perkembangan jumlah jemaat dari waktu ke waktu dan ekses
sosialnya di sana (seperti soal lahan parkir yang sempit), sangat
diperlukan bangunan gereja baru, yakni gereja di Taman Yasmin,
yang direncanakan untuk melayani ibadat sekitar 300 jemaat.16
Secara geografis, lokasi bakal gereja berada di sekitar (dan
satu RT dengan penghuni) Komplek Taman Yasmin III dan perkam-
pungan masyarakat, yang mayoritas beragama Islam. Secara
ekonomis, kehidupan masyarakat komplek Taman Yasmin dari
kalangan berpunya, sedangkan warga di sekitar/di luar komplek
relatif menengah ke bawah.
Adapun SJB Parung mulai lahir pada 19 November 1989,
yakni dengan bergabungnya 4 kelompok persekutuan doa/stasi,
yakni Stasi Gunung Sindur, ARCO, Lebakwangi, dan Bojongsari.
Adapun perkembangan umat Katolik sendiri di Parung dan
sekitarnya bermula pada 1977 dimana terdapat sejumlah guru
Inpres dari Jawa Tengah yang beragama Katolik untuk mengisi
formasi di beberapa sekolah di beberapa kecamatan, yakni:
Kecamatan Parung, Gunung Sindur, Sawangan, Sawangan Baru,
Tajurhalang, dan Sasakpanjang. Dengan berkembangnya
penduduk dan sejalan dengan itu bertambahnya pula jumlah
jemaat, maka untuk pelayanan ibadat diperlukan suatu rumah
16 Lihat Slide berjudul “Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman
Yasmin”, yang dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei 2010 oleh GKI.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
75
ibadat yang memadai. Maka pada 1991-1993 mulai membeli tanah
seluas 7.000 m2 di Kampung Tulang Kuning, Desa Waru,
Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Tempat ini dinilai strategis
secara transportasi karena ada di simpang tiga jalur Bogor-Jakarta-
Tangerang, dan relatif di tengah secara geografis wilayah
pelayanan sebuah paroki yang mencakup 4 kecamatan.
Secara geografis, lokasi bakal gereja berada di Kampung
Tulang Kuning, di tengah perkampungan masyarakat Parung yang
mayoritas beragama Islam, serta beberapa komplek perumahan
baru. Secara ekonomis, kehidupan masyarakat relatif menengah ke
bawah.
Akmal Salim Ruhana
76
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
77
TEMUAN PENELITIAN
I. KASUS GKI YASMIN
Gambaran Kronologis Kasus
Untuk memahami kasus ini secara jernih, perlu merunut
secara kronologis peristiwa demi peristiwa yang terjadi—
didasarkan informasi-lintas berbagai pihak, sebagai berikut:17
Waktu P e r i s t i w a
2001 Bertambahnya jemaat GKI Yasmin di Jl. Pengadilan 35, menurut kajian internal GKI, diperlukan gereja baru (untuk 300 orang). GKI membeli tanah seluas 1720 m2
di Taman Yasmin. 10 Mar 2002
GKI menyatakan berhasil mengumpulkan sebanyak 170 orang yang menandatangani Surat Pernyataan Tidak Keberatan pendirian gereja di Taman Yasmin. Di sisi lain, warga setempat (terutama MAM, RT setempat yang didatangi panitia) menolak keberadaan GKI di sana karena mayoritas sekitarnya muslim.
17 Secara komplementatif-selektif pemaduan informasi dilakukan dari 3 versi
keterangan: versi GKI (Slide dan penjelasan), versi Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia, warga muslim sekitar lokasi), dan versi Pemerintah Kota.
Akmal Salim Ruhana
78
2003-2006
Sosialisasi dilakukan oleh panitia, pada: 1 Maret 2003, 25 Oktober 2005, 8 Januari 2006, 12 Januari 2006, 14 Januari 2006, dan 15 Januari 2006. Kegiatan-kegiatan tersebut dihadiri oleh warga masyarakat sekitar termasuk pemuda, tokoh masyarakat dan warga lainnya. Dalam pertemuan-pertemuan itu pihak GKI menyatakan mendapat persetujuan berupa tandatangan. Di sisi lain, pihak warga tetap menolak rencana pendirian gereja—seperti pada sosialisasi tgl 14 Januari 2006, dimana RT 08/08 menolak dengan surat pernyataan penolakan.
Feb-Mei
2006
Panitia mengusahakan dan mendapatkan sejumlah bahan persyaratan, yakni: 1. Rekomendasi pembangunan gereja dari Walikota Bogor (15/2/2006); 2. Saran Teknis Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor (3/3/2006); 3. Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah dari Kantor Pertanahan Kota Bogor (14/3/ 2006); 4. Penilaian Saran Teknis Lalu Lintas dari Dinas Lalin dan Angkutan Jalan Kota Bogor (15/2/ 2006); 5. Surat izin Pembuatan Jalan Masuk dari Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor (12/4/2006); 6. Saran Teknis Kepala Dinas Bina Marga (17/4/2006); dan 7. Pengesahan Site Plan dari Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor (30/5/2006).
13 Juli 2006
GKI memperoleh SK Walikota Bogor tentang IMB No. 645.8.372 Tahun 2006, ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor (a.n. Walikota)
18Agt 2006
Dilakukan sosialisasi pembangunan gedung gereja yang dihadiri Ketua dan Sekretaris MUI Bogor, Camat Bogor Barat, perwakilan ulama, kepala desa, kapolsek, wakapolsek, kepala keamanan desa, ketua LPM, perwakilan warga masyarakat.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
79
19Agt 2006
Peletakan batu pertama gereja yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah Kota Bogor yang menyampaikan kata sambutan dari Walikota.
11Okt
2006
Muncul opsi dari Sekda Kota Bogor untuk memindahkan lokasi pembangunan gereja karena adanya protes dari kelompok tertentu kepada Walikota agar pembangunan tidak diteruskan.
6 Des
2006
Ada surat pemberitahuan dari PT. Inti Innovaco bahwa di lokasi Sektor VII, Perumahan Taman Yasmin tidak terdapat fasilitas sosial untuk pembangunan rumah ibadah non-Muslim. Atas dasar surat ini GKI bertahan di lokasi Jl. Abd. Bin Nuh No. 31.
10 Jan
2007
Pembangunan dimulai berdasarkan IMB, dengan mulai dilakukan pemasangan pondasi tiang pancang. Masyarakat setempat mulai resah dan menyalurkan aspirasinya via ormas Islam.
Mar 2007
Anggota DPRD Kota Bogor meninjau lapangan dan mengadakan dialog dengan pihak gereja dan Ketua RT setempat. Terakhir diputuskan untuk sementara kegiatan pembangunan gereja dihentikan dan pembangunan dinyatakan status quo.
Apr 2007
Pihak gereja melaksanakan kegiatan pembangunan lagi, dan terus membangun meski ditegur oleh Ketua RT setempat dengan surat bernomor: 148/17/RT-08/IV/2007 tanggal 30 April 2007. Hal ini memancing timbulnya demonstrasi-demonstrasi warga muslim Kota Bogor.
10 Feb
2008
Terjadi demonstrasi di DPRD Bogor yang meminta agar IMB GKI Yasmin untuk dicabut.
Feb 2008
Forum warga Curug Mekar membuat surat permohonan pembatalan IMB pembangunan gereja ke Dinas Tata Kota Pemkot Bogor.
Akmal Salim Ruhana
80
14 Feb 2008
GKI menerima surat dari Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor No. 503/208 – DTKP perihal Pembekuan IMB.
28 Feb 2008
GKI mengirimkan surat kepada Walikota Bogor perihal keberatan dan penolakan atas surat pembekuan IMB yang diterbitkan Kepala DTKP (dengan tembusan ke berbagai pihak)
10 Mar
2008
GKI Jl. Pengadilan No. 35 mengadu ke Komnas HAM. Sebagai responnya Komnas HAM mengirim surat No. 592/K/PMT/ IV/08 tertanggal 7 April 2008 kepada Menteri Agama Republik Indonesia perihal Penolakan Pembekuan IMB GKI Yasmin. Selain itu, GKI mengambil jalur hukum terhadap Surat Pembekuan Kepala DTKP tersebut.
4 Sep 2008
Ada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung bahwa Pemkot, khususnya DTKP, dikalahkan dalam hal Pembekuan IMB. Pada tanggal yang sama akhirnya Pemkot banding atas Putusan PTUN Bandung.
2 Feb 2009
Ada putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta menguatkan putusan PTUN Bandung, Pemkot kalah.
25Feb 2009
Kasasi yang diajukan oleh Pemkot tidak memenuhi syarat formal dan ditolak oleh MA karena yang menjadi obyek gugatan adalah merupakan keputusan pejabat daerah.
Mar 2009
Terjadi lagi kegiatan pembangunan gereja, kemudian didemo oleh warga Muslim se-Curug Mekar yang mengakibatkan terjadinya pemasangan spanduk penolakan warga dan penutupan akses ke area pembangunan gereja.
25Apr 2009
Terjadi demo di lokasi pembangunan gereja untuk menghalau pekerja yang sedang melanjutkan pekerjaan gereja.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
81
15 Mei 2009
Warga mulai mencari data kebenaran sesuai data yang tertera dalam Form Tidak Keberatan, dan akhirnya diketemukan, data yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Beberapa orang menyatakan tidak pernah menandatangani pernyataan data seperti format tersebut, bahkan ada juga yang merasa tidak hadir dalam pertemuan di kelurahan/sosialisasi itupun dalam lembaran daftar hadir dan tanda tangan penerimaan uang sebagai pengganti uang transport.
8 Jan 2010
Pembangunan dilanjutkan kembali namun karena ada surat agar menghentikan, pekerjaan dihentikan. Pagar yang baru dibangun dan bedeng proyek dirusak sekelompok orang.
20 Jan 2010
Warga Curug Mekar sepakat untuk membentuk wadah koordinasi, yakni Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia, belakangan juga membuat situs www.forkami.com)
30 Jan 2010
Forkami menemukan dan melaporkan adanya indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang digunakan sebagai syarat pembuatan IMB Gereja GKI Yasmin ke POLRESTA dengan membawa 7 orang saksi dan diantar oleh sekitar 150 orang
4 Feb 2010
HJ, warga Curug, dijadikan tersangka karena laporan dari pihak GKI. Forkami melaporkan indikasi pemalsuan tanda tangan warga atas nama Haris Fadilah dan Idrus, tertera pada berkas pertemuan tanggal 8 Januari 2006
9 Feb 2010
Warga datang ke Polresta untuk klarifikasi indikasi pemalsuan tanda tangan warga yang dipalsukan untuk dicocokkan dengan data dari DTKP, namun DTKP tidak bisa menunjukkan form data tandatangan dimaksud.
11 Feb 2010
Forkami bertemu dengan pihak Pemkot yang menghasilkan kesanggupan Pemkot untuk membatalkan IMB Gereja GKI Yasmin. (Pada 15-20 Febr, tahap peneguran di lapangan)
Akmal Salim Ruhana
82
22 Feb 2010
Pemkot Mengundang Forkami, FKUB, Kemenag dan gereja untuk menyelesaikan permasalahan. Pihak gereja tidak datang.
23 Feb 2010
Warga cekcok dengan pemborong yang akan memasang baja ringan. Satpol PP datang membawa barang bukti baja ringan—bahwa selama masa menunggu PK pembangunan tidak boleh dulu.
24 Feb 2010
Pihak pemborong tetap melakukan pekerjaannya.
25 Feb 2010
Muncul surat pembatalan rekomendasi dari Walikota Bogor, No. 503/367/Huk, yang menyatakan bahwa “…. adanya sikap keberatan dan protes dari masyarakat ..”
8 Mar 2010
Ada surat dari Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Bogor, perihal permohonan agar kegiatan pembangunan gereja GKI Yasmin dihentikan.
11 Mar 2010
Dipasang tulisan “DISEGEL” di pagar lokasi gereja. Pada saat itu terjadi cekcok antara pihak GKI, Pol PP, dan Forkami, serta adanya pengancaman dengan menggunakan clurit.
18 Mar 2010
Segel hilang, dicopot oleh oknum tertentu. Dua hari kemudian, 20 Maret 2010, segel baru dipasang lagi oleh Pol PP.
24 Mar 2010
Masyarakat dan perwakilan Forkami menemui Kesbang, Satpol PP dan Tapem (atas nama walikota), menanyakan perkembangan usul pembatalan rekomendasi.
25Mar 2010
Forkami dan warga mengajukan 3 saksi ke Polresta atas tuduhan pemalsuan data yang diajukan oleh panitia gereja.
27Mar 2010
Warga membawa MK ke Polresta, klarifikasi dengan data yang diberikan ke Polresta tersebut. BAP MK ditunda karena sakit.
Apr 2010
Proses pengajuan saksi-saksi, dan proses BAP MK.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
83
8 Apr 2010
Klarifikasi soal PK ke PTUN Bandung. Berkas pemalsuan lainnya (Lurah AA dan Mjk) belum juga dilimpahkan ke kejaksaan.
10 Apr 2010
GKI menyiapkan acara misa pada 11 April 2010 dengan memasukkan kursi ke dalam lokasi dengan mencopot segel. Warga protes. Kasatpol PP kembali memasang segel.
Apr-Jun
2010
Warga jemaat GKI Yasmin beribadah di trotoar di depan lokasi pembangunan gedung gereja, yaitu berturut-turut pada tanggal 11 April 2010, tanggal 25 April 2010, 2 Mei 2010, 9 Mei 2010, 16 Mei 2010, 23 Mei 2010, dan 6 Juni 2010.
3 Mei 2010
AI (Ketua Forkami) diperiksa terkait dengan pengrusakan bedeng dan pagar di lokasi gereja dan dijadikan tersangka atas pasal 170 KUHP.
24 Mei 2010
Forkami bersama Tim Pembela Muslim (TPM) ke Komnas HAM untuk klarifikasi keberadaan JD yang mengaku staf ahli Komnas HAM, dan lain-lain.
27 Mei 2010
MK tidak mau lagi didampingi oleh lawyer yg diberikan oleh Forkami, Th, dan malah diadukan oleh MK ke Polresta atas tuduhan memalsukan tanda tangan MK. MK juga ingin mencabut BAP-nya dikarenakan apa yang tertuang di BAP-nya hasil tekanan.
Jun-Ag
2010
Proses pemberkasan dan pelimpahan perkara HJ dan MK.
12 Agt 2010
Sidang Kasus HJ. Dilanjutkan sidang II pada 19 Agustus 2010, sidang III pada 26 Agustus 2010, Sidang IV pada 21 Oktober 2010, Sidang V pada 28 Oktober 2010, sidang VI pada 4 November 2010, sidang VII pada 2 Desember 2010, sidang VIII pada 9 Desember 2010, sidang IX pada 16 Desember 2010, dan sidang X pada 23 Desember 2010.
Akmal Salim Ruhana
84
25 Agt 2010
Sidang I kasus MK. Dilanjutkan sidang II pada 1 September 2010.
27 Agt 2010
Satpol PP melepas segel Gereja GKI Yasmin dan pada hari itu juga para panitia pembangunan gereja dan lawyer-nya memasuki areal gereja GKI. Warga minta ke Walikota, Sesdakot, Astapraja, Kapolresta untuk segera memerintahkan Kasat Pol PP untuk memasang kembali segel tersebut. Esoknya (28 Agustus 2010) segel dipasang lagi.
19 Des 2010
Ketika jemaat GKI melakukan misa Minggu pagi di trotoar, datang sekelompok rombongan dari Jakarta yang dipimpin oleh BG dan ES anggota DPR dari PDIP, membongkar segel dengan paksa tanpa ijin dari Satpol PP ataupun Pemkot.
20 Des 2010
Dengan tekanan dari warga baik demo ke Pemkot dan Mako Pol PP akhirnya jam 18.00 segel dipasang kembali oleh Pol PP dengan dikawal oleh anggota Polisi.
25 Des 2010
Pihak Jemaat Gereja GKI memaksa mengadakan Misa di depan lokasi/trotoar yang dilakukan mulai jam 17.00 yaitu dengan mendirikan tenda dan kemudian Misa yang telah dihalau oleh ratusan warga tetapi aparat tetap saja tidak tegas.
26 Des 2010
Dari mulai subuh aparat Kepolisian dan Brimob serta satpol PP mensterilkan lokasi tersebut karena jemaat GKI tetap memaksa akan melakukan Misa Minggu Pagi seperti yang biasa mereka lakukan di setiap Minggu pagi. Warga berkumpul ratusan untuk meyakinkan bahwa tidak akan digunakan untuk Misa lagi.
20 Jan 2011
MK diputus bersalah oleh PN Bogor dan dijatuhi vonis 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan, karena terbukti telah memalsukan tanda tangan warga sebagai syarat mendapatkan IMB.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
85
24 Feb
2011
Putusan MA tentang Peninjauan Kembali Tata Usaha
Negara terkait Kandsus Surat Pembekuan IMB GKI
Yasmin
6 Mar
2011
Jemaat GKI beribadat di dalam lokasi dengan
membuka segel. Sore harinya lokasi kembali
digembok. Demikian juga minggu berikutnya (13
Maret 2011), namun jemaat tidak bisa masuk karena
segel/lokasi dijaga ketat oleh keamanan—mengingat
besarnya potensi bentrokan dengan warga yang juga
menginginkan segel tetap terpasang.
8 Mar
2011
Pemkot melaksanakan perintah putusan MA dengan
mencabut Surat Pembekuan IMB yang pernah
dikeluarkannya pada 14 Februari 2008.
11 Mar
2011
Pemkot mencabut IMB atas dasar adanya kecacatan
dalam salahsatu syaratnya—sebagaimana telah
terbukti divonisnya MK sebagai pelaku pemalsuan
tanda tangan syarat perolehan IMB tersebut. Pemkot
juga menawarkan tempat pengganti, meski masih
ditolak pihak GKI.
17 Apr
2011
Jemaat GKI melakukan ibadat Minggu pagi di depan
Istana Negara, sekaligus sebagai bentuk protes atas
kondisi yang dialaminya.
? Dan seterusnya... (hingga makalah ini ditulis, proses
kasus masih terus berjalan)
Dari kronologi kasus ini, secara singkat dapat digambarkan
titik-titik masa penting dan kondisi-kondisinya, sebagai berikut:
Akmal Salim Ruhana
86
A B C D E
2001
Proses
Awal
13 Juli
2006
IMB
terbit
14 Febr 2008
SK Pembekuan
IMB terbit
8 Mar 2011
SK Pembekuan
IMB dicabut
11 Mar
2011
IMB
dicabut
Rentang waktu A ke B adalah masa sosialisasi dan
pemenuhan persyaratan IMB oleh pihak panitia GKI. Pada rentang
ini masyarakat belum terlalu aware selain informasi proses yang
terbatas. Masyarakat sekitar, misalnya, kaget karena tiba-tiba
diketahui ada peletakan batu pertama gereja di lokasi, yang konon
sudah ber-IMB. Posisi B ke C adalah masa protes warga dan
sesekali berselisih fisik. Posisi C ke D adalah masa tahap demi
tahap proses peradilan, dari PTUN, PT TUN, hingga MA, yang selalu
dimenangkan pihak GKI. Bias informasi/pemberitaan terjadi pada
tahap ini, yakni seolah-olah yang terjadi adalah proses hukum
terhadap IMB, padahal sesungguhnya terhadap Surat Pembekuan
IMB.18 Posisi D ke E sangat singkat jaraknya, sebagai pelaksanaan
putusan MA dan sikap Pemkot selanjutnya.
Perselisihan yang terjadi adalah segitiga, dengan tiga pihak
yakni: GKI, Pemkot, dan warga muslim sekitar/Forkami. Pemkot
berhadapan dengan GKI terkait IMB dan permasalahan pembekuan
serta pencabutannya, GKI dengan warga dalam kasus di lapangan,
18 Bias ini menyebabkan sejumlah kesan: bahwa IMB telah benar dan tanpa
masalah; penolakan terhadap GKI dipandang sebagai pure penolakan gereja yang ber-IMB (mengabaikan perihal keabsahan IMB); Pemkot membangkang putusan peradilan; dan sebagainya. Peneliti, hingga saat makalah ditulis, belum mendapat akses yang luas dari pihak-berkepentingan (GKI dan Pemkot) untuk mengonfirmasi dan meneliti perihal keabsahan IMB, padahal hal itu termasuk pokok persoalan.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
87
dan Pemkot dengan warga dalam gugatan IMB. ‘Bandul’ kebijakan
Pemkot dalam perebutan GKI-warga.
Perihal keberlakuan peraturan, posisi A ke B menggunakan
Ingub No. 28 Tahun 1990, sedangkan B dan selanjutnya
semestinya menggunakan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006—sesuai
pasal 29 tentang penyesuaian peraturan perundang-undangan
daerah terhadap PBM selambatnya dalam 2 tahun pascaterbitnya
PBM, yakni 21 Maret 2008.
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan
Meski dalam tahap tertentu menjadi pihak berselisih, namun
sebagai pihak yang berkewajiban melayani umat beragama dan
menjamin ketertiban masyarakat, Pemkot Bogor telah cukup
banyak melakukan perannya, khususnya dalam penyelesaian
perselisihan terkait GKI Yasmin. Awal sekali, ketika mulai ada
protes warga terhadap rencana pendirian gereja GKI Yasmin pada
Oktober 2006, Pemkot Bogor memberikan opsi pemindahan lokasi
gereja. Searah dengan itu, komunikasi Pemkot melalui Kesbang
dan Satpol PP terus dilakukan dalam rangka mencari solusi atas
kondisi pertentangan yang terjadi.
Penerbitan Surat Pembekuan IMB yang meski di kemudian
hari justru menjadi bibit perselisihan-hukum pemkot dengan GKI
Yasmin dan warga, adalah juga upaya pemkot dalam menangani
kasus ini. Meski di sisi lain hal ini dapat dikesankan sebagai
ketundukan aparat terhadap keinginan dan tekanan pihak
tertentu, namun sejatinya Surat No. 503/208-DTKP itu diterbitkan
agar pertentangan dalam masyarakat mereda. Nyatanya memang
sebaliknya, pertentangan antar pihak kian tereskalasi dengan
kondisi persidangan PTUN-PTTUN-MA yang melibatkan banyak
emosi dan pewacanaan yang liar atau keluar konteks.
Akmal Salim Ruhana
88
Dalam perkembangan selanjutnya, pemkot melakukan
upaya penyelesaian perselisihan dengan merujuk Pasal 21 PBM,
dengan langkah-langkah sebagaimana tertera dalam surat Sekda
Bogor tanggal 21 Februari 2010, yakni: a) penerbitan surat
penghentian pelaksanaan pembangunan; b) pemanggilan para
pihak; c) verifikasi data/kelengkapan administrasi; d) musyawarah
antar pihak; dan e) perumusan hasil musyawarah. Upaya-upaya ini
serta sejumlah pertemuan fasilitasi dan dialog memang tidak juga
menemui titik temu—selain justru pemkot kian ‘tertekan’ dengan
wacana pembangkangan hukum yang digaungkan pihak GKI
pascakemenangannya di setiap tahap proses peradilan, PTUN
hingga MA. Selain itu, pemkot tertekan dengan wacana
“pembatasan hak beribadat” yang terjadi ketika media marak
memberitakan perihal jemaat GKI yang beribadat di
trotoar/pinggir jalan.
Pasca keputusan MA tentang kasasi soal Surat Pembekuan
IMB (11/3/2011), pemkot mencabut Surat Pembekuan IMB
dimaksud sebagai bentuk pelaksanaan perintah putusan MA, dan
tiga hari kemudian mencabut SK IMB dengan alasan adanya
indikasi kecacatan dalam proses pengajuan IMB sebagaimana
putusan PN terkait pemalsuan tandatangan oleh MK. Sejalan
dengan itu, dalam maksud memfasilitasi kegiatan ibadat
warganya, pemkot memberikan penawaran kepada GKI Yasmin
berupa pemindahan lokasi dan ganti rugi lahan pendirian
gereja/ruislag serta segala biaya pembangunan yang telah
dikeluarkan. Namun demikian, GKI bersikukuh ingin di lokasi
tersebut dan bahkan mengajukan sejumlah protes terhadap
kebijakan pemkot.
Senarai peran pemkot di atas, dari kacamata pihak GKI,
memang bermakna sebaliknya. Bagi GKI, pemkot-lah yang menjadi
sumber masalah, yakni dengan: terbitnya Surat Pembekuan IMB
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
89
yang pernah dikeluarkannya, penyegelan lokasi gereja di Jalan KH.
Abdullah bin Nuh, pencabutan surat rekomendasi Walikota,
hingga pencabutan IMB atas nama GKI Yasmin. Di sisi lain, proses
gugat menggugat dan perselisihan di pengadilan memposisikan
Pemkot sebagai pihak lawan bagi GKI. Hal ini dan kesan tidak
tegasnya sikap Pemkot kian menurunkan peran Pemkot di mata
GKI.
Peran FKUB dalam Penyelesaian Perselisihan
FKUB Kota Bogor belum pernah mengeluarkan rekomendasi
tertulis terkait pendirian gereja GKI Yasmin karena proses terbitnya
IMB sebelum lahirnya PBM—yang notabene PBM menjadi
landasan keberadaan FKUB. Namun demikian, pascamunculnya
perselisihan terkait GKI Yasmin, FKUB Kota Bogor telah turut serta
bersama Pemkot melakukan upaya penyelesaian dalam
serangkaian dialog dan pertemuan fasilitasi. Misalnya, dalam rapat
penyelesaian masalah GKI Yasmin di Balaikota Bogor pada 18
Februari 2010 dan di Ruang Rapat Sekda Kota Bogor pada 22
Februari 2010, beberapa pengurus FKUB terlibat aktif memberikan
prasaran dan solusi permasalahan.
Dalam perkembangannya, FKUB Kota Bogor terus menjaga
kondusivitas kerukunan masyarakat Bogor dan mengawal kasus ini
meski dalam porsi yang tidak terlalu dominan—mengingat
kapasitas dan keterbatasannya. Sejatinya FKUB dapat lebih
berperan sebagai pihak yang berwenang dan diamanati PBM
untuk berdialog, menyerap dan menyalurkan aspirasi umat,
termasuk menangani kasus-kasus kerukunan umat beragama.
Akmal Salim Ruhana
90
Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Perselisihan
Sejak kasus perselisihan terjadi tahun 2006, masyarakat
sekitar menganggap Pemkot lamban dan tidak tegas, terbukti
dengan terus bergulirnya kasus ini. Penyebabnya, sebagaimana
ditengarai salah seorang tokoh masyarakat, karena konon ada
oknum yang terlibat dalam proses penerbitan IMB yang terkesan
dipaksakan atau hasil bergaining. Bahkan proses pengadilan pun
diduga by design dengan melemahkan posisi Pemkot melawan GKI.
‘Tuduhan’ pendapat masyarakat ini memang sulit terkonfirmasi,
namun pihak GKI sendiri merasa Pemkot tidak tegas dan bahkan
dinilai membangkang putusan pengadilan, seraya menduga ada
kebijakan yang bias kepentingan politik, karena tekanan partai
tertentu yang berkuasa. Pemkot sendiri menegaskan bahwa yang
dilakukannya adalah semata soal ketertiban umum dan
pemenuhan peraturan, bukan soal agama. Buktinya, Pemkot tetap
berupaya memfasilitasi aktivitas ibadat warganya dengan
penawaran lokasi pengganti dan kompensasi lainnya.
Perkembangan terakhir, pasca dicabutnya IMB, pihak GKI
masih tetap ngotot ingin menempati lokasi gereja itu dengan
melakukan serangkaian demo dan protes didukung sejumlah
elemen masyarakat sipil dan media. Di sisi lain, masyarakat
bersikap wait and see dan terus mengawal kasus ini, tak ingin
“kecolongan” (lagi)—bahkan dengan meng-update perkem-
bangan kasus ini di situs www.forkami.com.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
91
II. KASUS PAROKI ST. JOANNES BAPTISTA PARUNG
Gambaran Kronologis Kasus
Untuk memahami kasus gereja SJB Parung ini perlu merunut
secara kronologis peristiwa demi peristiwa yang terjadi, sebagai
berikut:
Waktu P e r i s t i w a
1977 Di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor terdapat 15 orang
guru SD Inpres jemaat Katolik, yang terus berkembang semakin banyak, sementara di sana tidak memiliki gedung
gereja.
1991-
1993
SJB berupaya untuk mempunyai tanah di Tulang Kuning.
Akhirnya gereja memiliki tanah sebagai bakal lokasi gereja, yakni sekitar 7.000 m2 di Kampung Tulang Kuning, Waru, Parung.
1992 s.d. skrg
Dengan menggunakan tenda, misa dan aktivitas rohani diadakan di lapangan terbuka milik Felix Juhari di Lebak
Wangi, Parung. Di samping itu, SJB terus bersosialisasi dan berhubungan dengan warga dan aparat sekitar Tulang Kuning. Aktivitas sosial non keagamaan (posyandu, bakti
sosial, dan olah raga) terus digalakkan.
2001 SJB hendak mendirikan Gedung Serba Guna (ada IMB), namun digagalkan oleh aksi massa Ikatan Remaja Masjid (Irmas), Parung.
Febr. 2005
SJB berniat Paskahan di Tulang Kuning. Paskahan tersebut digagalkan oleh aksi sekelompok orang yang tidak jelas
identitasnya.
19 Jan
2007
Masyarakat Kampung Tulang Kuning membuat
pernyataan penolakan pembangunan gereja SJB Parung di daerahnya.
25 Jan 2007
MUI mengeluarkan surat penolakan pembangunan gereja SJB Parung,
1 Febr SJB mengajukan permohonan IMB kepada Bupati Bogor,
Akmal Salim Ruhana
92
2007 dengan surat No. 08/II/PPG/2007, dengan disertai berkas
dokumen pendukung. Dikatakan ada 2000 jemaat, dan belum ada gereja di 6 kecamatan sekitar Parung.
22 Febr 2007
Kesbanglinmas melakukan verifikasi/pemeriksaan KTP warga yang menyetujui pendirian rumah ibadat SJB di Kampung Tulang Kuning.
27/4/07 FKUB Kabupaten Bogor disahkan oleh Bupati.
29 Mei 2007
MUI menyampaikan surat kepada Bupati Bogor No. 21/MUI-Kec/V/2007 perihal Keberatan Pembangunan
Gereja dan Pembangunan Tenda Permanen.Dikatakan bahwa permohonan belum memenuhi kebutuhan nyata sesuai pasal 13 PBM, karena sudah ada gereja di daerah
Parung dan sekitarnya, dan dinilai cukup. Juga disebutkan rencana SJB telah menimbulkan keresahan.
24 Juni 2007
Panitia pendirian gereja SJB Parung menyampaikan surat No. 016/PPG/VI/07 dengan tembusan ke berbagai
pihak/instansi, perihal tanggapan terhadap surat MUI Kec. Parung No. 21/MUI-Kec./V/2007 tentang Keberatan Pembangunan Gereja dan Pembangunan Tenda
Permanen. Bahwa gereja yang ada adalah gereja Kristen, sementara gereja Katolik belum ada. Persetujuan warga sekitar dikatakan telah ada mencapai 127 KK atau 464
orang.
Agustus
2007
Misa Agustusan/misa sore berlangsung di Tulang Kuning
dan lancar.
24 Sept
2007
Ada Misa HUT Paroki di Tulang kuning aman dan kondusif.
Umat yang hadir sekitar 1.000 orang. Parkir dikelola oleh warga Muslim setempat dan keuangan parkir untuk
mereka.
2008 Misa Tahun Baru 2008, berlangsung aman (hadir juga oleh
Danramil dan Kapolsek).
16 - 22
Maret 2008
Selama pekan suci, 16 - 23 Maret 2008, gereja berniat lagi
paskahan di Tulang Kuning setelah berkoordinasi dengan aparat keamanan dan aparat pemerintah serta melibatkan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
93
umat non Katolik sekitar Tulang Kuning (menangani
keamanan dan perparkiran).
22 Mar
2008
Upacara Malam Paskah dan Hari Raya (Minggu) Paskah
digagalkan oleh aksi demo FKRM “Jamiul Fataa”, Desa Waru Induk, Kec. Parung. Malam Paskah, umat Paroki mencari gereja Katolik terdekat agar bisa Misa Malam
Paskah sesuai anjuran Pastor Alfonsus Sutarno, PR. Di Tulang Kuning sendiri tetap diadakan Misa Malam Paskah
dalam ruangan yang ada.
23 Mar
2008
Minggu, Hari Raya Paskah, Misa Paskah diadakan di Kapel
Susteran OSF (Marsudirini), Telaga Kahuripan, Parung kurang lebih 10 km dari Tulang Kuning.
21 Agt 2009
Rapat Muspika Parung membicarakan permasalahan rencana pendirian gereja SJB, yg dihadiri unsur Muspika
Parung, MUI, Fosiru, Ulama Kamtibmas, Apdesi, dan Paguyuban Kades Parung
16 Des 2009
Camat Parung mengirimkan Surat Teguran I kepada Ketua Dewan Pastoral SJB Parung, agar menghentikan seluruh
kegiatan keagamaan di lokasi karena belum memiliki IMB dan atas alasan kondusifitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Peninjuan lokasi sebelumnya dilakukan.
21 Des 2009
Camat Parung kembali mengirimkan Surat Teguran II kepada Ketua Dewan Pastoral SJB Parung,
Jan-Febr 2010
BKMT dan IPHI memberikan surat penolakan pendirian gereja di Tulang Kuning pada 5 Januari 2010. Hal yang
sama disampaikan DPC NU pada 15 Februari 2010; 40 DKM se-Parung pada 20 Februari 2010; serta Forum Silaturahmi
Umat-Ulama-Umara (Fosiru) dan DMI pada 30 Februari 2010.
1 April 2010
Camat Parung, melalui surat No. 451.1/201/trantib, melaporkan kepada Bupati telah terjadi unjuk rasa warga karena SJB Parung tetap melakukan kegiatan peribadatan
di lokasi.
Akmal Salim Ruhana
94
21 April
2010
Surat Rekomendasi dari FKUB Kabupaten Bogor yang
berisi “tidak merekomendasikan” pendirian gereja SJB di Tulang Kuningsanto
26/4/10 FPI melalui suratnya nomor 001/SS/DPW-FPI/IV/2010 menyatakan sikap menolak rencana pembangunan gereja SJB parung.
5 Mei
2010
Rapat Lengkap Pengurus FKUB (termasuk dihadiri anggota
wakil dari Katolik) membuat keputusan tentang Paroki SJB Parung, setelah melihat berbagai pertimbangan, maka “tidak merekomendasikan” rencana pembangunan, dan
meminta “menghentikan seluruh kegiatan keagamaan” di tempat tersebut sesuai Surat Camat Parung.
19 Sep 2010
MUI melalui surat No. 02/MUI-Kec/Huk.IX/2010 menyampaikan permohonan kepada Bupati agar menutup tempat tinggal yang dipakai tempat kebaktian di
Tulang Kuning.
20 Sept 2010
Badan Perizinan Terpadu Kab. Bogor menyampaikan surat jawaban dari SJB perihal permohonan penggunaan tanah untuk kegiatan pembangunan tempat ibadat dan rumah
tinggal, dengan “tidak dapat diproses lebih lanjut” dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan sebagaimana ketentuan Pasal 14 PBM.
30 Nov 2010
Bupati mengeluarkan surat penghentian seluruh kegiatan Gereja Paroki SJB, dengan surat No. 453.2/556-Huk.
dengan alasan belum terpenuhinya persyaratan sesuai Pasal 14 PBM.
Bupati melalui surat No. 453.2/557-Huk. menjawab Surat Dirjen Kemenkumham soal informasi kelanjutan proses
izin pembangunan gereja SJB Parung.
23 Des
2010
Mediasi di Pendopo Kab Bogor di hadapan bupati,
Danrem, Dandim, kapolres, camat, dan ketua MUI Parung, dan pengurus FKUB.
29 Des 2010
Surat Pastoral Parung Nomor 027/ST.JB/XII/2010 sebagai tanggapan atas surat Bupati, menyatakan bahwa cakupan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
95
wilayah meliputi 3 desa di Kec. Parung berjumlah 99
orang, dan telah ada dukungan lebih dari 60 orang. Hanya saja data pendukung belum ditandatangan RT/RW dan Kepala Desa—dikatakan karena adanya tekanan psikologis
tertentu.
30 Des
2010
Tim Lengkap Pemda Kab. Bogor
(BPT/SatpolPP/Hukum/Kesbanglinmas) berkunjung ke lokasi Paroki SJB Parung, disertai Camat, Kades Waru, FKUB
Kab. Bogor, MUI Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Tujuannya untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB (2007) dan IPPT (2010). Hasilnya akan
disampaikan ke Bupati.
1 Jan
2011
Rapat terkait Paroki SJB Parung dihadiri Bupati, FKUB, dan
MUI Kab Bogor
7 Jan
2011
SJB menyampaikan surat Nomor 029/ST.JB/I/2011 yang
ditujukan kepada Menteri Agama tentang Permohonan Referensi untuk rekomendasi pendirian gereja SJB Parung,
yang intinya meminta Menteri memberikan surat referensi kepada Kankemenag Kab. Bogor dan FKUB Kab. Bogor agar dapat segera mengeluarkan rekomendasi pendirian
gereja SJB Parung karena menilai syarat dukungan masyarakat telah ada. Surat disebutkan ditembuskan ke FKUB dan Kankemenag Kab. Bogor, namun nyatanya tidak
dikirimkan/ditembuskan dengan alasan tertentu.
17 Jan
2011
Camat Parung menyampaikan surat kepada Bupati No.
453.2/20-Kec perihal Laporan Kegiatan Peribadatan, yang menginformasikan bahwa hingga 16 Januari 2011
kegiatan peribadatan masih tetap dilakukan oleh pihak dewan pastoral dengan sekitar 250 jemaat di lokasi. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan kerawanan/konflik.
19 Jan
2011
Camat Parung menyampaikan surat kepada Bupati No.
453.2/25-Kec perihal laporan Hasil Penelitian Administrasi Kependudukan, yang menyatakan bahwa di 4 desa (Waru, Waru Jaya, Parung, dan Pemagarsari—disertai surat
Akmal Salim Ruhana
96
laporan dari keempat kepala desa) jumlah warga ber-KTP
agama Katolik total berjumlah 79 orang.
24 Jan
2011
FKUB Kab. Bogor membuat Penjelasan Seputar Gereja dan
Peribadatan di Pastoral Paroki GSB Parung, dengan menyimpulkan alasan belum terpenuhinya ketentuan Pasal 14 PBM.
s/d skrg Jemaat SJB sebanyak kurang lebih 250 orang tetap
melakukan kegiatan peribadatan di lokasi SJB, Parung.
21-24
April 2011
Jemaat SJB tetap melaksanakan rangkaian perayaan
Paskah (Hari Kamis Putih 21 April, Hari Jumat Agung 22 April, Malam Paskah 23 April, dan Minggu Paskah 24 April 2011) di Tulang Kuning, meski dua hari sebelumnya Bupati
mendesak agar SJB melaksanakan paskah di gereja Telaga Kahuripan.19
? Dan seterusnya... (hingga makalah ini ditulis, proses kasus
masih terus berjalan)
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan
Peran Pemerintah Kabupaten Bogor (Pemkab) sejak perseli-
sihan terjadi pada 2007 (atau sebelumnya) hingga kini cukup
optimal. Sejumlah tindakan seperti penanganan melalui kores-
pondensi, pencegahan konflik di lapangan, hingga fasilitasi
dialog/pertemuan penyelesaian masalah. Sementara komunikasi
melalui korespondensi terus dilakukan, sejumlah pertemuan
langsung pun digelar. Misalnya pada 21 Agustus 2009 diadakan
Rapat Muspika Parung untuk membicarakan permasalahan
rencana pendirian gereja SJB, yang dihadiri unsur: Muspika
19 Lihat “Umat Katolik Parung Tolak Pindah dari Tulang Kuning“ dalam
http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2011/04/22/brk,20110422-
329411,id.html, diunduh tanggal 24 April 2011.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
97
Parung, MUI, Fosiru, Ulama Kamtibmas, Apdesi, dan Paguyuban
Kades Parung. Kemudian tanggal 23 Desember 2010 dilakukan
mediasi di Pendopo Kabupaten Bogor di hadapan Bupati, Danrem,
Dandim, Kapolres, Camat, Ketua MUI Parung, dan pengurus FKUB.
Bahkan, untuk menyelesaikan kasus ini, pada 30 Desember
2010 Tim Lengkap Pemkab Bogor, terdiri atas BPT, Satpol PP, Bag.
Hukum, dan Kesbanglinmas langsung berkunjung ke lokasi Paroki
SJB Parung, yang disertai Camat, Kades Waru, FKUB Kab. Bogor,
MUI Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Tujuannya
untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB yang diajukan
tahun 2007 dan IPPT tahun 2010. Pertemuan ini menghasilkan
sejumlah hal yang hasilnya kemudian akan disampaikan ke
Bupati.20
Perkembangan terbaru, ketika jemaat SJB sekitar 250 orang
tetap melakukan kegiatan peribadatan di lokasi SJB Parung, Pemkab
dan aparat di bawahnya terus memantau perkembangan kondisi
agar tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Peran FKUB dalam Penyelesaian Perselisihan
FKUB Kabupaten Bogor yang disahkan Bupati pada 27 April
2007 telah cukup berperan dalam penyelesaian kasus SJB Parung
ini. Bahkan dalam posisinya sebagai salahsatu pemberi rekomen-
dasi tertulis sebagaimana dimaksud pasal 14 PBM, posisinya
dianggap kian penting.21 Bahwa pada 5 Mei 2010 dalam suatu
20 Suasana pertemuan ini sempat memanas dan diwarnai isu demo massa,
namun penjagaan oleh kepolisian dan TNI di lokasi (rumah Romo Gatot) itu berjalan lancar. Lihat “Oknum Tokoh Agama...” Suara Pembaharuan, 30 Desember 2011.
21 Bahwa pihak panitia gereja SJB merasa atas pengaruh MUI dan FKUB Bogor-lah (yang tidak merekomendasikan permohonan) sehingga para ketua RT/RW dan Kepala Desa enggan memberi tanda tangan pengesahan daftar dukungan warga sekitar, padahal
Akmal Salim Ruhana
98
Rapat Lengkap Pengurus FKUB yang juga dihadiri anggota wakil
dari Katolik, Romo Stn, telah membuat keputusan tentang Paroki
SJB Parung. Setelah mempertimbangkan berbahai hal, maka FKUB
“tidak merekomendasikan” rencana pembangunan, dan bahkan
meminta “menghentikan seluruh kegiatan keagamaan” di tempat
tersebut, sebagaimana Surat Camat Parung.
FKUB juga turut berperan dalam Tim Lengkap Pemda Kab.
Bogor (BPT, Satpol PP, Bagian Hukum, dan Kesbanglinmas, yang
pada 30 Desember 2010 melakukan kunjungan ke lokasi Paroki SJB
Parung, yang disertai Camat, Kades Waru, FKUB Kab. Bogor, MUI
Kec. Parung, Kepolisian dan TNI, serta wartawan. Kunjungan ini
bertujuan untuk observasi lokasi dan verifikasi pengajuan IMB
(2007) dan IPPT (2010).
Peran aktif FKUB dalam kasus perselisihan memang
dirasakan tidak mudah oleh beberapa anggotanya. Di satu sisi
hendak menengahi antar pihak, namun di sisi lain, mereka harus
menghadapi masyarakat yang tidak jarang kurang tahu
peraturan.22 Namun, FKUB yang berkantor di Kantor Kesbangpol
menurutnya secara pribadi beberapa ketua RT sudah mendukung. Baca misalnya surat Paroki SJB tanggal 29 Desember 2010, juga wawancara dengan pengurus gereja, A dan SH, pada 3 Maret 2011. Namun kemudian hal ini diklarifikasi FKUB Kab. Bogor dalam Penjelasannya tanggal 24 Januari 2011, yang menerangkan bahwa memang hingga saat itu belum pernah ada permohonan dari SJB dengan persyaratan yang lengkap, sehingga FKUB tidak bisa merekomendasikan; juga ditegaskan kembali dalam wawancara ketua dan seorang wakil FKUB Kab. Bogor pada 2 Maret 2011.
22 Misalnya diceritakan MR dan KY, ketua dan anggota FKUB Kab. Bogor, dalam wawancara dengan peneliti pada 2 Maret 2011. Ketika menangani kasus pendirian rumah ibadat di daerah Kec.... Kab. Bogor, mereka dikepung massa yang berdemo dan menuduh kedua anggota FKUB itu telah ‘dibayar’ pihak panitia untuk membela. Beruntung kondisi berangsur terkendali, dengan penjelasan yang cukup dari keduanya. Cerita lain, mereka sempat disogok sejumlah uang bahkan kendaraan oleh pihak yang meminta rekomendasi FKUB, lalu tersiar kabar mereka telah ‘terbeli,’ namun sejatinya sogokan ditolak dan hal ini justru telah membuat malu pihak penyogok, saat kasus penyogokan ini mereka ungkap.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
99
Linmas ini tetap berupaya untuk menciptakan kerukunan dan
ketertiban umum.
Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Perselisihan
Terhadap upaya penyelesaian perselisihan terkait Paroki SJB
oleh Pemkab (yakni permintaan penghentian aktivitas keagamaan
di Tulang Kuning), banyak pihak di dalam masyarakat memberikan
dukungan. Hal ini setidaknya dilihat dari pernyataan sejumlah
ormas Islam dan/atau kelompok masyarakat di Kecamatan
Parung—yang segaris dengan kebijakan Pemkab itu. Di sisi lain,
upaya Pemkab ini ditentang pihak gereja yang didukung sejumlah
elemen, seperti FKKJ dan media, yang tetap hendak membangun
gereja di lokasi sekarang.
Di sisi lain lagi, terdapat sejumlah masyarakat yang tidak
acuh dengan perkembangan yang terjadi, terutama warga sekitar
yang tidak terlalu mau tahu dengan urusan agama lain selain
pemenuhan ekonomi keluarganya. Yang terakhir ini misalnya
ditunjukkan oleh Hal, seorang tukang ojek di pertigaan Parung,
ditanya soal demonstrasi menolak gereja SJB yang pernah terjadi
beberapa waktu lalu, dikatakannya dengan lurus, tanpa beban: “Ah,
abdi mah tara ngiringan [demo]. Nu penting mah kampung aman
jeung abdi tiasa ngojeg” (Ah, saya tidak mau ikut-ikutan [berdemo].
Yang penting daerah ini aman dan saya bisa menarik ojek.)23
Pihak SJB Parung sendiri menyatakan ketidakpuasan dengan
kondisi saat ini yang terkesan dibiarkan menggantung—padahal
23 Wawancara singkat dengan Hal, tukang ojek yang tinggal di daerah Parung,
pada 3 Maret 2011. Jika pendapat Hal mewakili sebagian besar masyarakat sekitar lokasi, boleh jadi sikap semacam apatisme itulah yang membuat kondisi saat ini cenderung tidak ada gejolak—padahal di sisi lain SJB Parung terkesan melawan kebijakan Pemkab.
Akmal Salim Ruhana
100
berbagai persyaratan telah terus diupayakan, dan diklaim telah
terpenuhi.24 Kondisi ini juga memprihatinkan. Meski ibadat
mingguan masih bisa terus dilakukan di lokasi dengan tenda semi-
paten tanpa gangguan, namun sesekali kondisi menghangat
terutama untuk momen-momen tahunan seperti Misa Paskah.
24 Wawancara dengan Romo Gt, dan beberapa pengurus gereja SJB di lokasi
pada 3 Maret 2011.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
101
ANALISIS
I. Analisa terhadap Kasus GKI Yasmin
Ranah Regulasi
Meski terbitnya IMB pada 13 Juli 2006 (baca: 4 bulan pasca
terbitnya PBM) namun ketentuan PBM belum digunakan karena
segala proses perizinan dilakukan jauh hari sebelumnya. Maka
ketentuan yang digunakan dalam permohonan IMB adalah
Instruksi Gubernur Jawa Barat No. 28 Tahun 199025 sebagai lex
specialis dari SKB No.1/BER/mag-mdn/1969. Dari penelusuran data-
data dan wawancara, ditemukan beberapa hal sebagai berikut:
Ketentuan dalam
Ingub Jabar
28/1990
Terpe-
nuhi? Keterangan
a. perhatikan pendapat tertulis
kepala kandepag setempat
belum Ditegaskan oleh Kandepag Kota Bogor melalui surat tgl 29 April 2010
tentang “...belum pernah mengeluarkan rekomendasi tertulis terkait dengan gereja GKI..”
25 Selengkapnya lihat dalam Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya,
DIPA Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama Jawa Barat, 2006, hlm. 143.
Akmal Salim Ruhana
102
b. sesuaikan dengan
perencanaan tata guna dan tata ruang setempat
yang melibatkan Bappeda, PU,
Pemerintahan, Kesra, Kandepag
ya Telah ada 1. Rekomendasi Walikota
Bogor (15/2/06); 2. Saran Teknis DLHK (3/3/06); 3. Pertimb Teknis Kantor Pertanahan (14/3/06); 4. Penilaian
Saran Dinas Lalin dan Angkutan Jalan (15/2/06); 5. Surat izin Pembuatan
Jalan Masuk dari Dinas Bina Marga (12/4/06); 6. Saran Teknis Kepala Dinas BinaMarga (17/4/06); dan 7.
Pengesahan Site Plan dari Dinas Tata Kota dan Pertamanan (30/5/06)—
minus Kandepag
c. sesuaikan dengan
kebutuhan penduduk
domisili setempat dgn jumlah minimal 40 KK
belum Warga sekitar lokasi (Taman Yasmin
III), hanya 4 keluarga yang beragama Kristen, itupun tidak semuanya
sedenominasi. Kebanyakan jemaat dari luar Kelurahan Curug Mekar.26
d. perhatikan dan pertimbangkan
kondisi dan keadaan setempat
ya, denga
n catata
n
Panitia telah melakukan serangkaian pertemuan dengan warga sekitar,
bahkan pada 2002-2006 terus berkomunikasi dengan M, ketua RT setempat —meski selalu ditolak
permohonannya.
e. perhatikan izin
dari masyarakat sekitarnya
ya,
dengan
catatan
Panitia mengajukan 170 ttd/nama
sebagai warga yang tidak keberatan, yang disertakan dalam berkas
permohonan IMB. Meski kemudian beberapa di antaranya terbukti
26 Wawancara dengan AS, warga komplek Taman Yasmin III, se-RT dengan lokasi
gereja (ring I).
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
103
sebagai palsu, dan pemalsu (MK)
sudah divonis 3 bulan.27
f. perhatikan
pendapat tertulis dari MUI, DGI, Parisada Hindu
Darma, MAWI, Walubi,
Ulama/rokhaniawan setempat
belum Tidak ada satupun pendapat tertulis
dari majelis-majelis agama tersebut, selain justru (di kemudian hari) ada pendapat tertulis berupa pernyataan
menolak rencana pembangunan gereja di Taman Yasmin dari MUI
Kota Bogor, tertanggal 14 Juni 2010.
g. tidak mengalih-fungsikan suatu tempat atau
bangunan untuk digunakan tempat ibadat
ya Telah ada surat dari Kantor Pertanahan Kota Bogor tentang Pertimbangan Teknis Penatagunaan
Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan Tanah, tertanggal 14 Maret 2006.
Dari gambaran di atas, secara regulasi (Ingub Jabar 28/1990)
terdapat ketidakterpenuhan sejumlah persyaratan untuk
diprosesnya permohonan pendirian gereja GKI Yasmin. Jikapun
menggunakan perangkat regulasi SKB 1/1969 atau PBM, posisinya
27 Penjelasan lain disampaikan BS dan JD (jubir dan lawyer GKI) dalam wawancara
pada 27 Februari 2011. Bahwa ada beberapa acara pra/sosialisasi yang dilakukan GKI dengan warga, dan beberapa tandatangan yang terbukti palsu itu ada pada berkas pertemuan yang tidak disertakan dalam berkas permohonan IMB yang diajukan ke Walikota—sehingga permohonan IMB bersih dari pemalsuan (pen). Ditambahkan JD, jikapun benar palsu pun hanya 4 orang saja sementara yang lainnya benar dan mencukupi syarat minimum. Selain itu, IMB bersifat einmalig, sekali jadi, tidak bisa dibatalkan meski kemudian terbukti di kemudian hari salahsatu syaratnya cacat. Dari berbagai berkas yang didapat, peneliti menemukan bahwa Surat Pernyataan Tidak Keberatan yang diajukan adalah pertemuan tanggal 8 Januari 2006 dan 15 Januari 2006 yang terbukti mengandung tandatangan palsu, misalnya merujuk pada poin 8 dalam surat jawaban Kantor BPN tertanggal 14 Maret 2006, yang menjawab surat permohonan dari panitia GKI. Terkait einmalig, pendapat peneliti, dalam diktum keempat SK IMB terdapat kalimat “...dengan
ketentuan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekurangan atau kekeliruan akan
diadakan perubahan sebagaimana mestinya,” maka SK sejatinya bisa ditinjau ulang.
Akmal Salim Ruhana
104
akan sama karena perihal dukungan warga sekitar dan sejumlah
pendapat tertulis belum terpenuhi.
Sampai di sini dapat dipahami pihak-pihak yang menolak
keberadaan GKI Yasmin dengan alasan cacat hukumnya IMB yang
dipegang panitia pembangunan gereja. Namun, penerbitan,
pembekuan, dan lalu pencabutan IMB adalah fakta—yang perlu
mendapat penjelasan dari aspek-aspek lainnya (ranah
poleksosbud dan keagamaan). Perkembangan terakhir, Walikota
memang telah mencabut IMB dengan salahsatu alasannya karena
terdapat indikasi kecacatan persyaratan pengajuannya, berkese-
suaian/mendahului kesimpulan penelitian ini.28
Menarik mencermati putusan pengadilan yang konon
mengukuhkan keabsahan IMB. Dari pemeriksaan dan
pencermatan berkas-berkas putusan ditemukan hal-hal, sebagai
berikut:29
a. Yang digugat oleh penggugat/GKI adalah surat SK Pembekuan
IMB yang dikeluarkan dan ditandatangani Kepala Dinas Tata
Kota dan Pertamanan (DTKP) tanggal 14 Februari 2008 —dan
bukan IMB itu sendiri.
b. Isi putusan PTUN adalah mengabulkan gugatan Para
Penggugat, menyatakan batal surat Kepala DTKP, dan
memerintahkan tergugat (DTKP) mencabut surat pembekuan
tersebut.
28 Bahwa penelitian (lapangan) ini dilakukan pada 21 Februari s.d. 3 Maret 2011,
di saat posisi SK Pembekuan IMB masih berlaku dan putusan MA belum ada. Sedangkan penulisan laporan/makalah ini dilakukan medio April 2011.
29 Selengkapnya cermati berkas Putusan PTUN Bandung Nomor: 41/G/2008/PTUN-BDG tanggal 25 September 2008, putusan PTTUN Jakarta Nomor: 241/B/2008/PT.TUN.JKT tanggal 2 Februari 2009, dan putusan PK Mahkamah Agung Nomor: 127 PK/TUN/2009 tanggal 24 Februari 2011.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
105
c. Isi putusan PT TUN adalah menerima permohonan banding
para tergugat (DTKP), dan menguatkan putusan PTUN (yang
menyatakan surat pembekuan IMB batal).
d. Isi putusan PK Mahkamah Agung adalah menyatakan
permohonan peninjauan kembali dari Pemohon PK (Kepala
DTKP) tidak dapat diterima.
Dari data itu maka perihal keabsahan IMB belum masuk ke
ranah hukum/pengadilan, sebagaimana senantiasa diberitakan di
media massa dan diwacanakan oleh pihak GKI seolah-olah yang
dipengadilankan itu adalah soal keabsahan IMB. Disinilah justeru
titik krusial permasalahan yang menyebabkan penolakan warga.
Jika titik krusial ini terus dihindari dan bias pemberitaan terus
menggelinding, kiranya permasalahan belum akan selesai.30 Jika
hendak menggugat ketidakabsahan IMB sejatinya di-PTUN-kan
saja oleh warga, dan jika dimenangkan maka IMB itu bisa dicabut
atas perintah pengadilan. Hanya saja, nampaknya warga lebih
memilih jalur meminta (atau menekan?) pihak yang mengeluarkan
IMB, yakni Pemkot, untuk meninjau keberadaan IMB yang pada
proses penerbitannya mereka nilai mengabaikan sejumlah syarat-
administratifnya. Pemkot dinilai bisa menggunakan ‘diktum
koreksi’ dalam IMB, sebagaimana layaknya selalu ditemui dalam
suatu surat keputusan, yang mengatakan “...dengan ketentuan
apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekurangan atau
kekeliruan akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya.”
30 Dalam wawancara, peneliti tidak mendapat akses yang cukup untuk meneliti
secara lebih jauh ihwal keabsahan IMB yang menjadi core yang diperselisihkan. Penjelasan mengenai proses lahirnya IMB dengan transparansi informasi proses penerbitannya sejatinya perlu dijelaskan oleh parapihak terkait, sebagai jawaban atas ‘dugaan’ (atau meminjam bahasa BS, ‘fitnah’) yang berkembang.
Akmal Salim Ruhana
106
Ranah Poleksosbud dan Keagamaan
Searah dengan analisa regulasi, ranah politik-ekonomi-
sosial-budaya penting dilihat untuk membantu menjelaskan
kenapa perselisihan terkait GKI Yasmin terjadi. Bahwa suatu
fenomena sosial tidak disebabkan oleh sesuatu yang tunggal,
melainkan banyak faktor yang terlibat dan berperan.
Mengenai peran agama dalam dinamika politik lokal
memang ada yang mengasumsikan kuat dan/atau sebaliknya.31
Bahwa isu politik selalu berhubungan dengan isu agama tidak bisa
dipungkiri, sejarah menunjukkan hal itu. Dalam konteks
perselisihan GKI Yasmin, aura politik lokal memang dipersepsi ada.
Misalnya ditegaskan JD, jemaat sekaligus lawyer GKI, bahwa kasus
perselisihan ini terjadi karena pengaruh ‘partai tertentu’ terhadap
walikota-incumbent, DB, yang diusungnya. Buktinya, ditambahkan
JD, kasus ini baru terjadi di periode kedua walikota, dahulu tidak
ada masalah apa-apa.32 Namun hal ini agak terbantah oleh fakta
bahwa penolakan warga terhadap pendirian gereja sudah terjadi
sejak awal (2002, sebelum DB menjabat) ketika Ketua RT setempat
waktu itu, MAM, selalu menolak permohonan panitia bahkan
dalam 5 kali kunjungan panitia ke rumahnya. Ketika belakangan
Pemkot mencabut IMB GKI Yasmin, DB sendiri menegaskan yang
menjadi urusannya bukan soal agama, melainkan IMB yang
memang menjadi ranah/wilayah kebijakannya.33 Meski demikian,
31 Baca misalnya AA GN Ari Dwipayana,”Agama di Bilik Suara: Representasi
Agama dalam Demokrasi di Ranah Lokal,” dalam Zainal Abidin Bagir, dkk., Pluralisme
Kewargaan, Bandung: CRCS-Mizan, 2011. Bandingkan dengan kajian tematik dalam Nawala, The Wahid Institute, No. 3/TH I/Agustus-November 2006.
32 Wawancara dengan JD pada 27 Februari 2011 di depan lokasi gereja. 33 Dalam http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=88511, diunduh 10
April 2011.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
107
adanya motif politis agama dalam balutan kebijakan politik
memang sulit diabaikan sekaligus sulit dibuktikan.
Kondisi ekonomi rata-rata jemaat GKI yang ‘bermobil’, di
satu sisi, dan ekonomi warga sekitar (di luar komplek Taman
Yasmin/ring II) yang notabene di bawah rata-rata, mengundang
perhatian untuk dicermati. Bahwa sejumlah warga yang diajak
oleh panitia pendirian gereja dalam ‘pertemuan prasosialisasi’
adalah para warga dari ring II itu, bukan warga Taman Yasmin yang
di ring I yang sudah jelas-jelas menolak proses pendirian gereja.
Selain itu, ada sejumlah ‘uang transport’ yang diberikan panitia
pasca pertemuan-pertemuan itu. Hal-hal ini memunculkan asumsi
ekonomis tertentu, meski tidak terlalu signifikan berlaku dalam
kasus ini—bahwa penolakan terjadi baik di ring I maupun II.
Warga Komplek Taman Yasmin (ring I) kebanyakan
pandatang dari berbagai daerah dengan ras dan suku yang
berbeda. Warga di luar komplek (Curug, Cijahe, dan Wangkal)
sedikit homogen, warga pribumi Bogor yang kebanyakan bersuku
Sunda. Adapun calon jemaat GKI kebanyakan dari luar wilayah
dengan ragam latar belakang suku dan ras. Meski demikian,
segregasi sosial antarpihak tidak menonjol dalam hal ini, karena
kebanyakan jemaat juga adalah pribumi warga Bogor. Hanya saja,
komunikasi sosial terlihat kurang terjalin dengan baik. Lebih lagi,
dalam perkembangannya, komunikasi antarpihak kian menjauh
karena GKI (dengan ‘bantuan advokatif’ sejumlah jaringan tokoh
dan LSM) di satu sisi gencar meng-expose isu ‘ketertindasan
beragama’ ke berbagai media, yang dalam tingkat tertentu
menyudutkan masyarakat setempat dan aparat pemerintahan. Di
sisi lain, masyarakat semakin tidak simpati dengan GKI, terlebih
ketika GKI selalu ‘mempertontonkan’ ibadat Minggu pagi di
pinggir jalan atau trotoar di depan lokasi—yang memberi kesan
adanya intoleransi beragama, dan hal itu menyudutkan warga.
Akmal Salim Ruhana
108
Upaya pihak Pemkot mengajak dialog GKI bahkan tidak gayung
bersambut.
Di ranah keagamaan, isu keagamaan berupa pemurtadan
mengemuka menyertai kasus ini. Bahkan sejumlah elemen umat
Islam pernah mengadakan acara aksi damai bertema “Umat
Bersatu tolak Agenda Pemurtadan,” yang berkait erat dengan
pendirian gereja GKI Yasmin.34 Searah dengan itu, AI, ketua
Forkami, menceritakan pengalamannya didatangi seorang ibu
yang mengaku suaminya telah didekati dan dialihagamakan oleh
oknum tertentu di sekitar komplek Taman Yasmin. Selain itu,
tambahnya, pernah ada oknum gereja yang datang ke rumah-
rumah menyebarkan misinya. 35 Namun demikian, sebagian
informan menyatakan hal ini sebagai isu sampingan, sebagaimana
disampaikan AS, anggota FKUB Kota Bogor. Bahwa sejauh ini sulit
menemukan bukti Kristenisasi itu, seraya lebih harus introspeksi ke
dalam (internal umat Islam sendiri) terkait adanya isu bantuan dari
oknum tertentu untuk masyarakat yang berkekurangan, “apakah
kita sudah memperhatikan mereka?” 36
Sejumlah pendapat media menyatakan adanya intoleransi
keagamaan yang terjadi dalam kasus ini. Hal itu kian ditegaskan
dengan foto-foto ibadat di trotoar para jemaat GKI Yasmin, yang
‘bercerita-lebih-banyak’ tentang kesan adanya ketidaksediaan
34 Tabligh Akbar diadakan oleh FUI Bogor pada Minggu tanggal 23 Januari 2011
pukul 07.00-12.00 wib di lapangan samping Kantor Radar Bogor, berseberangan dengan lokasi gereja Jl. KH. Abdullah bin Nuh.
35 Meski peneliti belum berhasil mengonfirmasi dan bertemu dengan yang bersangkutan karena sudah pindah rumah yang cukup jauh, cerita/pengalaman AI itu kiranya mewakili gambaran adanya kekhawatiran warga Muslim setempat terkait isu Kristenisasi di wilayah ini. Sejumlah VCD yang menceritakan atau berisi ihwal pemurtadan juga tampaknya semakin menguatkan asumsi masyarakat tentang Kristenisasi ini—sebagaimana peneliti disarankan AI untuk melihat beberapa fakta via VCD-VCD itu.
36 Wawancara dengan AS pada 2 Maret 2011.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
109
warga Muslim terhadap hak beribadat jemaat GKI. Mewakili warga
Muslim sekitar, Ketua Forkami, AI, membantah hal itu dengan
penjelasan bahwa warga Muslim sangat toleran dan welcome
dengan umat lain yang tertib hukum dengan tidak mengajarkan
agama pada orang yang sudah beragama. Buktinya mereka biasa
dan bisa bertetangga dengan baik dengan umat-umat lain.37
Terkait hal-hal di atas, menarik mencermati analisa Sidney
Jones dalam laporannya tentang “Kristenisasi dan Intoleransi.”38
Bahwa belakangan ini intoleransi beragama meningkat di
Indonesia sebagai akibat ‘pertarungan aksi-reaksi’ antara hardline
Islamists dan Christian evangelicals dalam ladang-garap yang sama.
Bahkan Provinsi Jawa Barat (dimana Kota Bogor berada) menjadi
tempat yang sangat ditarget. Dijelaskan dalam laporan ICG:
Most agree that West Java is one of the fastest growing areas for
evangelical Christianity, although no one is quite sure why. One
official suggested that the many workers in the region’s large
industrial estates, uprooted from their traditional social networks,
were attracted to groups that offer ready-made communities. An
official at the Indonesian Communion of Churches, a Protestant
umbrella organisation, said the big evangelical organisations
were deliberately targeting West Java and Banten, the provinces
that ring Jakarta, in the hope that a pincer movement of prose-
lytisation would eventually gain them a bigger foothold in the
capital. Others attributed the growth simply to the large amounts
37 Wawancara dengan AI pada 26 Februari 2011. 38 Laporan Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance, yang
diterbitkan International Crisis Group, sebuah lembaga kajian kebijakan antarnegara berpusat di Brussel, yang dirilis pada 24 November 2010.
Akmal Salim Ruhana
110
of funding available for Christian outreach activities in the wider
metropolitan Jakarta area.39
Jika amatan Jones ini benar, maka isu pemurtadan atau
Kristenisasi (dan/atau Islamisasi) bukanlah semata isu sampingan—
sebagaimana ada yang mengatakan itu isu strategis untuk
penggalangan massa saja. Tegasnya, ada indikasi-makro sedang
terjadi proses penguatan kontestasi/kompetisi di antara agama
dakwah/mission itu. ‘Gesekan’ penyiaran agama di ladang yang
sama itu sesekali tercermin dalam sikap-sikap yang dapat
dikategorikan intoleran.
II. Analisa terhadap Kasus SJB Parung
Ranah Regulasi
Proses pembangunan gereja SJB Parung mengikuti
ketentuan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, meski panitia
pembangunan gereja mengajukan permohonan IMB-nya pada 1
Februari 2007. Dari penelusuran data-data dan wawancara,
diketahui hal-hal sebagai berikut:
Ketentuan dalam PBM
No. 9 dan 8 Tahun
2006
Terpe-
nuhi? Keterangan
“...berdasarkan keperluan nyata dan
sungguh-sungguh”?
ya
Terdapat sejumlah pemeluk agama Katolik di sekitar Parung, dan belum ada gereja Katolik—
selain 6 gereja Kristen.
39 Laporan ICG, Asia Briefing No. 114, Indonesia: “Christianisation” and Intolerance,
hlm. 2.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
111
...tetap menjaga KUB, trantib, dan sesuai per-
UU-an”
ya, dengan
catatan
Panitia telah sedapat mungkin
memenuhi peraturan perun-dangan dan menjaga trantib, meski juga tetap beraktivitas di
lokasi yang notabene telah dilarang oleh Camat/Pemkab.
Persyaratan Administratif
ya, dengan
catatan
Sejumlah surat/berkas terkait dilaporkan lengkap, hanya saja
BPT mnyatakan belum bisa memproses lebih lanjut (soal tanah)
Persyaratan Teknis
Per
syar
atan
Kh
usu
s
ada sedikitnya 90 nama/ KTP calon
pengguna yg disahkan pejabat stempat
Belum Pihak panitia mengklaim sudah berhasil mengumpulkan
sebanyak 99 orang calon pengguna dari 3 desa, hanya saja hasil penelitian adminduk oleh
Camat Parung didapat baru 79 orang.
dukungan masyarakat
setempat sedikitnya 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
Belum Pihak panitia sudah mengumpulkan pendukung
lebih dari 60 orang warga sekitar, hanya saja daftar belum bisa diajukan karena belum disahkan
oleh RT/RW dan Lurah/Kepala Desa setempat.
rekomendasi tertulis
Kakankemenag kab/kota
Belum Rekomendasi tertulis belum diberikan
rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota
Belum FKUB “tidak merekomendasikan” pendirian gereja SJB Parung dengan alasan belum
terpenuhinya syarat 90/60 dan soal KUB
Akmal Salim Ruhana
112
Dari gambaran di atas, secara regulasi (PBM No. 9 dan 8/2006)
terdapat ketidakterpenuhan sejumlah persyaratan untuk
diprosesnya permohonan pendirian gereja SJB Parung.
Ketidakterpenuhan itu tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi
faktor-faktor lainnya yang justru mungkin lebih dominan
menyebabkan keterhambatan keluarnya izin tersebut.
Ranah Poleksosbud dan Keagamaan
Dinamika politik lokal ditengarai sedikit banyak
berpengaruh dalam kasus ini. Bahkan Panitia Pembangunan
Gereja menegaskan hal itu dengan menyebutkan “situasi/kondisi
politik di Kabupaten Bogor mendominir hambatan perkembangan
gereja” sebagai salahsatu masalah eksternal yang dihadapinya.40
Hal ini juga berkaitan dengan janji pemilu pada pemilukada lalu,
sebagaimana dikatakan salahseorang pengurus SJB Parung.41
Namun demikian, sebagaimana kasus GKI Yasmin, sulit
mengonfirmasi kebenaran hal ini meski sulit pula
mengabaikannya.
Secara umum masyarakat sekitar lokasi adalah warga
menengah ke bawah secara ekonomi, namun demikian, tidak
ditemukan fakta-fakta yang mendukung adanya asumsi ekonomis
yang mempengaruhi kasus ini. Bahwa pihak SJB Parung pernah
melakukan beberapa kali kegiatan bakti sosial bagi masyarakat, hal
itu semata untuk ‘mendekatkan’ hubungan.
40 Lihat Dasa Warsa Panitia Pembangunan Gereja Santo Joannes Baptista Parung
2000-2010, sebuah laporan internal, hlm. 10. Juga dikuatkan dalam wawancara tanggal 3 Maret 2011 dengan Romo Gt dan beberapa pengurus gereja.
41 Wawancara pengurus SJB Parung pada 3 Maret 2010, di lokasi Kp. Tulang Kuning.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
113
Bahwa jemaat SJB Parung mayoritas datang dari luar
wilayah Tulang Kuning, sehingga posisi sebagai pendatang
membutuhkan ‘pendekatan’ dan akseptasi yang cukup dari
masyarakat sekitar. Di sisi lain, keberadaan SJB yang sudah
berpuluh tahun di Tulang Kuning sesungguhnya memberi arah
pada sosialisasi yang memadai. Yang agak mengemuka justru
konflik intern dalam internal paroki sendiri, yang diakui pengurus
sebagai tantangan internal.42
Dalam hal keagamaan, sedikit serupa dengan kasus GKI
Yasmin, bahwa mayoritas penolak adalah warga masyarakat
sekitar yang beragama Islam atau bahkan mengatasnamakan
suatu organisasi Islam. Meski tidak menjadikan perihal ideologis
sebagai alasan penolakan, melainkan persoalan keterpenuhan
persyaratan yang bersifat administratif, namun sulit dipungkiri
aura pseudo-intolerance sebagai akibat persaingan dakwah-misi
agama yang boleh jadi suatu efek impor dari kasus lain di daerah
lain. Tegasnya, umat Muslim setempat mungkin menjadi sangat
berhati-hati dengan perkembangan misionari di wilayahnya akibat
agresivitas misionari agama di wilayah lain yang menggunakan
cara-cara yang tidak tepat. Meski belum tentu benar, namun
adanya rasa keterancaman saja sudah cukup mendorong suatu
sikap resistan tertentu.
42 Lihat Dasa Warsa... hlm. 10
Akmal Salim Ruhana
114
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
115
P E N U T U P
Post Scriptum: Ke Arah Penyelesaian Perselisihan
Beribadat merupakan pokok dalam beragama, karenanya
kebebasan beribadat adalah keniscayaan hakiki. UUD 1945 Pasal
29 Ayat (2) menegaskan hal itu. Hanya saja, kebebasan beribadat
tidaklah sama dengan kebebasan mendirikan rumah ibadat.
Kebebasan beribadat berarti hak seseorang untuk meyakini dan
mengabdi pada Tuhannya, hak yang asasi dalam forum internum
setiap umat beragama. Sedangkan kebebasan mendirikan rumah
ibadat berarti hak sekelompok umat beragama untuk memfa-
silitasi kegiatan ibadat, yang dalam pelaksanaannya ‘harus’
bersinggungan dengan hak pihak lain. Karena bangunan rumah
ibadat pastilah berada dalam suatu tanah dan lingkungan sosial,
maka ada ruang interaksi yang tidak bisa diabaikan. Oleh karena
itu, harus ada upaya penyelesaian kasus ini agar hak beribadat
dapat terpenuhi dan hak mendirikan rumah ibadat dapat
terlaksana dengan tetap memenuhi ketentuan dan acceptable
dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Meski tidak
berpretensi menjadi solusi, namun upaya tetap harus dilakukan.
Penyelesaian perselisihan kasus-kasus ini hendaknya terus
dilakukan dan dalam kerangka PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 (yang
saat ini de jure berlaku), khususnya terkait pasal 21 tentang penye-
Akmal Salim Ruhana
116
lesaian perselisihan. Ketika perselisihan tidak berhasil ditangani
sendiri para pihak berselisih (Ayat 1) maka penyelesaian oleh
walikota dibantu Kantor Kementerian Agama serta dengan
pertimbangan FKUB kota, dilakukan dengan adil dan tidak
memihak (Ayat 2). Hingga laporan ini ditulis, proses Kasus GKI
Yasmin masih berjalan dengan kesiapan Pemerintah Kota untuk
menyelesaikan masalah ini.43 Namun jika kemudian upaya itu tidak
juga menuntaskan, maka sebaiknya diselesaikan melalui penga-
dilan (Ayat 3), yakni dengan pengujian keabsahan IMB yang
dipermasalahkan itu. Namun, dalam perkembangan terakhir, hal
ini sudah tidak relevan karena IMB dimaksud sudah dicabut. Maka
Pasal 14 Ayat 2 PBM dapat dilakukan dengan fasilitasi yang
moderat, atau dengan mekanisme lain yang disepakati bersama
para pihak (local wisdoms?). Untuk ini, kedewasaan dan
kebijaksanaan semua pihak menjadi keniscayaan.
Di samping jalur regulasi/hukum itu, penting juga
mensterilkan kebijakan pemerintahan dari keberpihakan terhadap
kelompok tertentu. Ekses pemilukada sejatinya mendapatkan
‘pengawalan’ publik untuk kebijakan yang adil dan
menenteramkan semua pihak. Komunikasi yang baik antarpihak
merupakan regulasi-sosial sangat penting dan menentukan.44
Sementara misi/dakwah penting untuk dilakukan secara baik
dalam koridor peraturan atau kesepakatan bersama. Searah
dengan itu, pendidikan masyarakat tentang hidup bersama dalam
43 Walikota Bogor sudah menegaskan akan menyelesaikan kasus ini dengan baik,
yang didukung DPRD. Lihat pernyataannya dalam http://health.kompas.com/read /2011/04/
01/1949587/walkot.bogor.akan.selesaikan. GKI. yasmin. 44 Mengkonfirmasi hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan (2010)
bahwa komunikasi yang baik antar pihak (termasuk menjauhi praktik-praktik di luar kewajaran: pemalsuan, suap, dsb, pen) dapat membantu ketercapaian titik-temu dalam proses permohonan pendirian rumah ibadat.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
117
keberagaman penting untuk terus digalakkan secara arif. Hal-hal
ini dapat dilakukan terhadap kedua kasus di atas.
Faktor-faktor yang dapat mendukung penyelesaian kasus ini
antara lain: a) Ketegasan pemerintah daerah dalam pengambilan
kebijakan atau penegakan regulasi di bidang pemeliharaan
ketenteraman dan ketertiban masyarakat; b) Adanya kebijakan
yang adil dan bebas-kepentingan; c) Komunikasi yang baik
antarpihak dengan saling menahan diri, berpikir jernih, dan
bersikap bijak; serta d) Adanya pemahaman yang memadai di
kalangan umat beragama tentang wawasan kebangsaan (4 pilar
kebangsaan).
Sedangkan faktor-faktor yang dapat menghambat
penyelesaian kasus ini antara lain: a) Politisasi, eksploitasi,
dan/atau komersialisasi kasus bernuansa agama ini untuk
kepentingan lainnya; b) Keterbatasan pemahaman terhadap
aturan terkait pendirian rumah ibadat dan peraturan terkait
lainnya; serta c) Upaya penyiaran agama yang di luar koridor
ketentuan atau dengan cara-cara yang tidak semestinya.
Kesimpulan
Dari kronologi dan analisa kasus-kasus ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
• Kasus GKI Yasmin
1. Kasus GKI Yasmin adalah kasus perselisihan segitiga (Pemkot-
GKI-warga) terkait rencana pendirian gereja GKI yang
disebabkan sejumlah hal. Hal-hal itu antara lain: terbitnya IMB
yang ‘diduga’ cacat hukum, keterbatasan dan bias informasi
pendirian rumah ibadat, serta pseudo-intoleransi yang berkaitan
dengan praktik penyiaran agama yang tidak sewajarnya.
Akmal Salim Ruhana
118
2. Peran Pemerintah telah cukup baik, dengan upaya komunikasi,
mediasi, dan fasilitasi yang dilakukan. Meski demikian, dalam
perspektif tertentu hal-hal itu menjadi tidak berarti karena
dipersepsi sebagai titik-picu permasalahan dan menjadi
salahsatu pihak berselisih.
3. Peran FKUB tidak cukup dominan, selain terus turut aktif
bersama pemerintah dalam menangani dan menuntaskan
permasalahan ini.
4. Respon masyarakat terbagi atas dua; warga GKI memprotes
kebijakan penyelesaian a la Pemkot, di sisi lain, warga lebih
searah dengan kebijakan Pemkot dan dalam posisi wait and see
mengawal perkembangan selanjutnya. Di sisi lain lagi, sejumlah
tokoh masyarakat dan LSM terus membela GKI dengan menekan
pihak Pemkot dan bahkan dengan menggelembungkan isu ini
hingga ke tingkat internasional.
• Kasus SJB Parung
1. Kasus SJB Parung adalah kasus perselisihan terkait rencana
pendirian gereja SJB Parung yang mendapat penolakan dari
sejumlah pihak, terutama dengan alasan belum terpenuhinya
beberapa persyaratan sebagaimana diatur di dalam PBM No.9
dan 8 Tahun 2006 dan alasan ketenteraman masyarakat.
Ketidakterpenuhan itu erat kaitannya dengan pseudo-
intoleransi yang berkaitan dengan praktik penyiaran agama
yang tidak sewajarnya—yang boleh jadi merupakan efek impor
dari kasus lain di wilayah lain.
2. Peran Pemerintah telah cukup baik, dengan upaya
korespondensi, mediasi, dan dialog-fasilitasi yang terus
dilakukan. Meski demikian, dalam konteks tertentu kebijakan
Pemerintah dinilai kurang menguntungkan.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
119
3. Peran FKUB telah cukup baik dalam penyelesaian perselisihan
bahkan menjadi pihak yang menentukan—sebagai ‘pintu’ bagi
berjalannya proses lanjutan. Posisinya akan lebih signifikan jika
perannya sebagai penampung aspirasi dan panutan
masyarakat diperkuat.
4. Respon masyarakat secara umum mendukung kebijakan
penyelesaian kasus ini, meski di sisi lain ada yang memahami
sebaliknya, atau bagi pihak lain yang lebih apatis menjadi tidak
bermakna apa-apa. Sedangkan pihak SJB merasa tidak puas
karena kasus ini seperti dibiarkan menggantung.
Rekomendasi
Dari sejumlah kesimpulan tersebut di atas dapat
direkomendasikan sejumlah hal, sebagai berikut:
1. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 dan peraturan terkait lainnya perlu
disosialisasikan kepada segenap umat beragama dan aparat
pemerintah daerah, dengan penjelasan yang memadai tentang
‘ruh’ dan maksud setiap pasal/klausul. Hal ini untuk
menghindari adanya celah-celah ‘penyiasatan’ yang dapat
berujung pada perselisihan antarpihak.
2. Pemerintah (dalam setiap tingkatannya) hendaknya tegas dalam
menerapkan peraturan, dan dilaksanakan dengan adil dan tidak
diskriminatif. Di sisi lain, para pihak hendaknya bersikap bijak
dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
memperkeruh suasana.
3. Bias pemberitaan dan pewacanaan yang tidak tepat perlu
dihentikan. Dalam hubungan ini, para pihak, termasuk media
massa, hendaknya bisa menjelaskan atau memberitakan kasus
ini secara benar dan berimbang. Demikian juga, semua fihak
Akmal Salim Ruhana
120
agar menahan diri dengan tidak berkomentar di atas
keterbatasan informasi faktual, atau bahkan tidak
memanfaatkan isu-sensitif agama ini untuk kepentingan-
kepentingan politik sesaat.
4. Perlu peningkatan wawasan kebangsaan, paham moderat, dan
budaya tertib hukum di kalangan umat beragama. Di satu sisi,
moderasi paham keagamaan dengan peningkatan toleransi
dan wawasan kebangsaan perlu dilakukan. Di sisi lain, ranah
hukum sejatinya menjadi pegangan bersama dalam
menyelesaikan perselisihan, jika upaya-upaya selainnya
mengalami kebuntuan.
5. Kegiatan dakwah atau mission hendaknya dilakukan secara
benar dan diarahkan pada peningkatan pemahaman dan
pengamalan agama, bukan melulu dalam semangat rekrutmen
umat atau kompetisi-negatif dengan melakukan berbagai cara
yang tidak seharusnya.
6. Perlu kajian dan penelitian lebih jauh dan updated terhadap
kasus-kasus ini dan kasus lainnya dengan senantiasa
mengarahkan pada upaya penyelesaian-permanen terhadap
kasus-kasus dimaksud. Untuk ini, kerjasama FKUB, LSM, peneliti,
dan para pihak sangat diharapkan dapat bersinergi.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
121
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Zainal Abidin, dkk., Pluralisme Kewargaan, Bandung: CRCS-
Mizan, 2011.
Dasa Warsa Panitia Pembangunan Gereja Santo Joannes Baptista
Parung 2000-2010, sebuah laporan kegiatan (internal) PPG
Dasa Warsa 2000-2010, Gereja Santo Joannes Baptista Parung,
tt.
International Crisis Group, Asia Briefing No. 114, Indonesia:
“Christianisation” and Intolerance, Brussel: ICG, 2010.
Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan
Umat Beragama, Edisi ke-11, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, 2009.
Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010,
Jakarta: The Wahid Institut, 2011.
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010,
Yogyakarta: CRCS UGM, 2011.
Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara
Membiarkan Intoleransi, Jakarta: Moderate Muslim Society,
2011.
Akmal Salim Ruhana
122
Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya, DIPA
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen
Agama Jawa Barat, 2006.
Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman Yasmin, slide yang
dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei
2010 oleh GKI.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2002.
Nawala, The Wahid Institute, No. 3/TH I/Agustus-November 2006.
Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia 2010, Jakarta: SETARA Institute, 2011.
Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal
Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam
Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April
1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama
dengan Yayasan Obor Indonesia.
Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya: Edisi Tanya Jawab yang
Disempurnakan. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2010.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali
Press, 1990.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
123
Studi Kasus Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumnas Kota Baru Driyorejo Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik
Oleh :Titik Suwariyati
Titik Suwariyati
124
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
125
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari
segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128
suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan
beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada
enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan
aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi
dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan
ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan,
namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus
dikelola dengan baik.
Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan,
kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara.
Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting
bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial
yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam
pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama sendiri diartikan
sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
Titik Suwariyati
126
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis
melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan umat beragama.
Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi, yang tidak
semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan Litbang dan Diklat,
misalnya, mendaftar sejumlah faktor non-keagamaan yang
memengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi,
dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan ini biasanya
berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan sendiri ada
sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan
anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan,
perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan
kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan
pendirian rumah ibadat.
Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun
belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat
beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya
cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat,
penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat.
Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat,
sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini
menjadi isu penting dan juga merupakan salah satu permasalahan
dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam
RPJMN 2010-2014.
Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan
melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal
gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Bahwa jika pada tahun
2009 lalu Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
127
mencatat terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat, dengan
cakupan wilayah yang sama pada tahun 2010 ini meningkat
menjadi 39 kasus.45 Demikian juga The Wahid Institute mencatat
adanya peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Bahwa
pada tahun 2010 ini terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34 tindakan
intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).46 Angka ini lebih
besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan adanya
perluasan wilayah laporan. Adapun SETARA Institute pada tahun
2010 lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami
gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan,
penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.47
Bahkan, Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi,
sebanyak 63 kasus (80%) adalah aksi penyerangan, penolakan
rumah ibadat, dan intimidasi.48
Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam
mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1
Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan
keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya
dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di
berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah
ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan
belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah
dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14
45 CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta:
2011, hlm. 34. 46 The Wahid Inst., Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010,
Jakarta: 2011, hlm. 17. 47 SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia 2010, Jakarta: 2011, hlm. 9. 48 Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika
Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011, hlm. 12.
Titik Suwariyati
128
tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindah-
pindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan
terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja
dimaksud adalah 108 buah.
Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat,
sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga
Muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat
mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri
mushalla, sementara warga Muslim bermaksud meningkatkan
status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan
warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 49
Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat
di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan
mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian
penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
(peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah
ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah,
sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat
ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011
mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di seputar
rumah ibadat. Selain menjawab problem aktual di lapangan, hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan
informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah
ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar.
Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang
jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun
2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian
49 SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia 2010, Jakarta: 2011, hlm. 12.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
129
terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan
mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi
(damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang
diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun
penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus
perselisihan yang terjadi.
Permasalahan
Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan
penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian,
penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah
Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa diperselisihkan?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan?
3. Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan?
4. Bagaimana respon masyarakat terhadap penyelesaian
perselisihan tersebut?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat terjadi dan alasan diperselisihkan.
2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan.
Titik Suwariyati
130
3. Mengetahui peranan FKUB dan majelis agama dalam
penyelesaian perselisihan.
4. Mengetahui respon masyarakat terhadap hal perselisihan
dimaksud.
Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat
diperoleh dan terverifikasinya data dan informasi faktual mengenai
sejumlah rumah ibadat yang mengalami penutupan/diper-
selisihkan. Dengan demikian, adanya informasi mengenai data
faktual ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Agama,
Kementerian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah sebagai bahan
untuk menyusun kebijakan terkait dengan implementasi peraturan
pendirian rumah ibadat dalam rangka upaya peningkatan
kerukunan umat beragama. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan memberi penjelasan atas kedalaman penyebab dan
berbagai motivasi kasus-kasus rumah ibadat yang dilaporkan oleh
beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Definisi Operasional
Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat
beragama akan terwujud jika segenap umat beragama memiliki
toleransi yang tinggi, saling pengertian, saling menghormati,
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
131
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan
pada tingkat tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam
konteks di seputar masalah rumah ibadat, umat beragama
hendaknya dapat menerima dan memahami kebutuhan rumah
ibadat umat agama lain, serta memberikan penghormatan,
penghargaan atas kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat,
membantu dalam prosesnya.
Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara
konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia
pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan
pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan
kantor departemen agama kabupaten/kota atau dengan FKUB
setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan
pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung
bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai
rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama
pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan
pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi
menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan,
yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini,
acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No.
9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian
ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah
ibadat. Perselisihan pendirian dan penutupan dimaksudkan
terhadap rumah ibadat yang diperselisihkan oleh masyarakat.
Sedangkan penertiban dimaksudkan pada tempat bukan rumah
ibadat yang digunakan untuk rumah ibadat (rumah ibadat
sementara).
Adapun rumah ibadat dalam penelitian ini adalah bangunan
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk
beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara
Titik Suwariyati
132
permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Panitia
pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh
umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat
(PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 7).
Kerangka Berpikir
Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring
dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan
masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi
di sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan
lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik,
keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat
beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan
di wilayah tersebut.
Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan
masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting
sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya
menjaga ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu
masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan.
Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas
hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal
pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena
disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani
dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat,
termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,
maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
133
beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam
konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan
antara lain sebagai berikut:
1. Ranah regulasi
Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat
dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah
ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat
atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat
kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi
persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski
demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap
rumah ibadat yangt sudah memiliki izin mendirikan bangunan
(IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat
keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait
persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan
khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006.
2. Ranah sosial-ekonomi-budaya
Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas
pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang
tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly
(1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi
mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa
kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan
sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi
petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah
Titik Suwariyati
134
hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis
pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan.
Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama
untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap
ketidakadilan.50
Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini.
Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah
mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau
perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah
ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat
beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya
masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula dalam hal
ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap
mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara
ekonomi lebih rendah.
3. Ranah keberagamaaan
Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab
adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas
keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk
agama lain di sekitarnya.
Penelitian Terdahulu
Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi
50 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan
Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yaysan Obor Indonesia,
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
135
penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai
berikut:
• Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap
agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan peradaban
yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral). Dalam
pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi
tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan.
• Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan
PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah
ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya
dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang
menyadari pentingnya dan berwawasan ke depan. Sedangkan
pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut
agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan prioritas
kegiatan.
• Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain
karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan pemerintah
daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup
antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang
terpelihara sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat
yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, lebih
disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai
kepentingan para elite agama dalam prestise sosial,
pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan
kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi
minoritas.
• Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang
dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian
lembaga swadaya masyarakat (LSM) ialah terbebankan pada
umat Kristiani, tetapi sesungguhnya juga terbebankan pada
Titik Suwariyati
136
umat Islam, Hindu dan Buddha yang minoritas di tengah
pemeluk agama mayoritas.
• Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi
aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang
mendukung dan toleransi sosial.
Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah
cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi
penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam
memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan
rumah ibadat.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan
menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta
wawancara. Bahan pustaka yang digunakan antara lain Laporan
Tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan
beberapa LSM berkaitan, dan media massa. Karena bersifat
verifikatif, maka data awal itu akan menjadi pedoman pada
pelaksanaan pengumpulan data di lapangan (spotchecking). Dalam
melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman
wawancara.
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui
tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi
dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
137
Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui
waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil
wawancara dengan hasil pengamatan, dengan dokumen,
membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan
ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa
dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan antara
informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang
waktu.51
Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di Kecamatan Driyorejo
Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini
didasarkan pada pertimbangan adanya kasus perselisihan terkait
pendirian rumah ibadat terjadi di daerah ini dalam hal ini pendirian
Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel.
51 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 178.
Titik Suwariyati
138
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
139
GAMBARAN UMUM KABUPATEN GRESIK
Kabupaten Gresik adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Jawa Timur. Wilayah Kabupaten Gresik di sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan Selat
Madura, di sebelah selatan dengan Kota Surabaya, Kab. Sidoarjo,
dan Kab. Mojokerto, sedangkan sebelah barat dengan Kab.
Lamongan. Kab. Gresik mempunyai luas wilayah 1.101.25 km².
Dengan jumlah penduduk 1.223.512 jiwa yang terdiri dari laki-laki
615.763 jiwa dan perempuan 607.749 jiwa. Kepadatan penduduk
mencapai 1.019 jiwa per-km². Secara administratif kabupaten ini
terbagi atas 18 kecamatan.
Gresik sudah dikenal sejak abad ke-11 ketika tumbuh
menjadi pusat perdagangan tidak saja antar pulau, tetapi sudah
meluas ke berbagai negara. Sebagai kota bandar, Gresik banyak
dikunjungi pedagang dari Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam,
Bengali, Campa dan lain-lain. Sejak abad ke-14 Gresik sudah
menjadi salah satu pelabuhan utama dan kota dagang yang
cukup penting, serta menjadi tempat persinggahan kapal-kapal
dari Maluku menuju Sumatera dan daratan Asia (termasuk India
dan Persia). Hal ini berlanjut hingga era VOC.
Perkembangan Kota Gresik berawal dari masuknya agama
Islam yang kemudian menyebar ke seluruh Pulau Jawa, tidak
Titik Suwariyati
140
terlepas dari nama Nyai Ageng Pinatih, beliau adalah janda kaya
raya yang juga seorang syah bandar. Konon suatu saat, para
pelaut anak buah Nyai Ageng Pinatih menemukan seorang bayi
asal Blambangan (Kabupaten Banyuwangi) yang dibuang ke laut
oleh orang tuanya. Bayi ini kemudian diberi nama Jaka Samudra.
Setelah perjaka bergelar Raden Paku yang kemudian menjadi
penguasa pemerintah yang berpusat di Giri Kedaton, dari tempat
inilah beliau kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri.
Kalau Syekh Maulana Malik Ibrahim pada jamannya
dianggap sebagai para penguasa, tiang para raja dan menteri,
maka Sunan Giri disamping kedudukannya sebagai seorang sunan
atau wali (penyebar agama Islam) juga dianggap sebagai
sultan/prabu (penguasa pemerintahan). Sunan Giri dikenal
menjadi salah satu tokoh wali songo ini, juga dikenal dengan
Prabu Satmoto atau Sultan Ainul Yaqin. Sunan Giri dinobatkan
sebagai penguasa pemerintahan pada tahun 1487 M. Peristiwa
tersebut kemudian dijadikan sebagai hari lahirnya Kota Gresik.
Sunan Giri memerintah Gresik selama 30 tahun dan dilanjutkan
oleh keturunanya sampai kurang lebih 200 tahun.
Di Gresik terdapat makam bersejarah, yaitu makam
Maulana Malik Ibrahim (di Gapuro), makam Sunan Giri (di Desa
Giri), Makam Sunan Prapen (cucu Sunan Giri) di Desa Klangonan,
makam Fatimah binti Maimun, Makam Kanjeng Sepuh dan
petilasan Sunan Kalijaga di kawasan Gunung Surowiti Kecamatan
Panceng. Makam-makam tersebut telah menjadi tujuan wisata
religi (ziarah) bagi para peziarah (wisatawan) dari berbagai daerah.
Kesemua makam itu telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan
ilmu pengetahuan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Karena banyaknya makam para wali, Kota Gresik terkenal
sebagai kota wali. Di samping itu, Kota Gresik juga bisa disebut
dengan Kota Santri, karena keberadaan pondok-pondok pesantren
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
141
dan sekolah yang bernuansa Islami, yaitu madrasah ibtidaiyah,
tsanawiyah, dan aliyah hingga perguruan tinggi yang cukup
banyak di kota ini. Kerajinan yang bernuansa Islam juga banyak
diproduksi oleh masyarakat Kota Gresik, misalnya kopyah, sarung,
mukenah, sorban dan lain-lain.
Lokasi penelitian ini di Kecamatan Driyorejo salah satu
kecamatan di Kab. Gresik yang terletak di ujung selatan yang
berbatasan dengan Kec. Laskarsantri Kota Surabaya dan Kec.
Taman Kab. Sidoarjo, sebelah timur dengan Kec. Karangpilang
Kota Surabaya, dan sebelah barat dengan Kec. Wringinanom Kab.
Gresik.
Luas Kecamatan Driyorejo 5.129,720 ha, terdiri atas tanah
sawah 1.639,590 ha, pekarangan/halaman 2.174,990 ha,
tegal/kebun 1.052.060 ha, dan lainnya 263,080 ha. Kondisi
tanahnya berbukit dan tanahnya berbatu cadas, sehingga sangat
keras dan tidak bisa dibuat sumur. Kebutuhan air penduduk
dipenuhi oleh PDAM.
Sawah di Kecamatan Driyorejo sudah kurang
menghasilkan padi karena air tercemar limbah pabrik. Karena di
Kec. Driyorejo banyak berdiri pabrik berskala nasional seperti
Maspion, KIA, Garuda Food, Mie Sedap dan lain-lain. Industri yang
terdapat di Kecamatan Driyorejo meliputi 35 industri besar, 56
industri sedang, dan 71 industri kecil atau rumah tangga. Karena
merupakan daerah industri dan letaknya yang berbatasan dengan
Kota Surabaya, Kec. Driyorejo menjadi daerah pengembangan
pemukiman dan salah satunya adalah komplek perumahan milik
Perum Perumnas yang sudah ada sejak tahun 1995 yang bernama
Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo.
Tingkat pendidikan masyarakat Kab. Gresik cukup tinggi
mengingat jarak Gresik dan Surabaya sangat dekat. Dilihat dari
Titik Suwariyati
142
tingkat pendidikan, penduduk Kab. Gersik sebagai berikut: SLTA:
364 orang, DIII: 11 orang, S1: 261 orang dan S2: 50 orang. Di
samping sarana dan prasarana yang cukup memadai - terdapat
sarana pendidikan dari taman kanak-kanak hingga SMU atau SMK
baik yang dikelola oleh negeri maupun swasta - tingkat ekonomi
penduduk juga menunjang untuk mereka menyekolahkan
anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Di Kab. Gresik sendiri
ada Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang cukup besar, di
samping perguruan tinggi swasta lainnya.
Mata pencaharian sebagian penduduk sebagai petani
tambak bandeng, udang dan ikan air tawar, petani sawah, nelayan,
PNS, dan karyawan swasta, dan yang terbanyak sebagai karyawan
industri dan di sektor informal. Lebih khusus lagi penduduk Kec.
Driyorejo banyak yang bekerja di sektor formal, karena di wilayah
ini ada perum perumnas yang cukup besar. Penghuninya hampir
semuanya bekerja di Surabaya, baik sebagai PNS maupun
karyawan swasta.
Dilihat dari agamanya, penduduk yang beragama Islam
berjumlah 938.948 orang, Kristen: 3.780 orang, Katolik: 2.351
orang, Hindu: 1.635 orang, dan Buddha: 578 orang. Sedangkan
rumah ibadat berupa masjid: 373 buah, langgar: 579 buah, gereja
Katolik 2 buah, gereja Kristen 11 buah, dan pura 4 buah. Aktivitas
keagamaan pada umumnya berupa pengajian, sema’an al-Quran,
TPA dan TPQ. Karena di Gresik banyak terdapat makam para wali,
maka banyak pula warga, baik dari Gresik maupun luar Gresik yang
berziarah, dan kegiatan ini dilakukan hampir setiap hari.
Organisasi keagamaan yang dominan di Kab. Gresik adalah
Nahdlatul Ulama (NU), di samping itu ada pula Muhammadiyah
yang mempunyai yayasan pendidikan berbagai jenjang, dari TPA
sampai perguruan tinggi, selain itu ada pula LDII, Salafi, dan HTI.
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
143
KASUS PENDIRIAN GEREJA KRISTEN BETHANY
INDONESIA DAN GEREJA KATOLIK
SANTO GABRIEL
Kasus pembangunan rumah ibadat terjadi di Perumnas
Kota Baru Driyorejo. Komplek perumahan ini diresmikan tahun
1995 oleh Presiden Megawati dan direncanakan menjadi
perumahan terbesar di Asia Tenggara dengan 6000 unit rumah
yang pada awalnya dan akan dibangun lagi jika semua unit sudah
terjual. Pada tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi,
sehingga rumah-rumah yang sudah jadi tidak laku dan banyak
yang gagal dibangun. Melihat kondisi seperti ini, salah satu
solusinya diusulkan agar Perumnas bekerjasama dengan TNI AL
untuk menyediakan perumahan bagi para anggota TNI AL dengan
beberapa keringanan. Karena itu banyak lahan dan rumah yang
sudah jadi dibeli oleh Koperasi Angkatan Laut dan oleh Koperasi
Angkatan Laut rumah-rumah itu dijual kepada para anggotanya.
Akhirnya perumahan ini yang dulunya sepi dan rawan kriminalitas,
mulai ramai dengan datangnya para penghuni, dan mulai aman
serta terus berkembang dengan berbagai kegiatan terutama
ekonomi dan pendidikan.
Titik Suwariyati
144
Ramainya para penghuni Perumnas Driyorejo ini yang
mayoritas beragama Islam, mereka secara swadaya membangun
masjid dan mushalla sebagai sarana peribadatan kaum Muslim
yang kini jumlahnya mencapai 23 buah. Masjid dan mushalla ini
dibangun di lahan fasum. Melihat hal ini, warga Perumnas
Driyorejo yang beragama Kristen dan Katolik berkeinginan pula
mendirikan gereja agar mereka tidak perlu ke Surabaya untuk
melakukan kebaktian setiap minggu. Keinginan umat Nasrani
untuk mendirikan gereja ini pada awalnya disampaikan kepada
Manager Cabang Perum Perumnas Kantor Regional VI Cab. Gresik.
Melihat kenyataan bahwa memang sudah ada rumah ibadat untuk
umat Islam, maka Manager Cabang Perum Perumnas Kantor
Regional VI Cab. Gresik mengirim surat kepada General Manager
Perum Perumnas Regional VI di Surabaya dengan nomor
Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 7 September 2005 perihal
Permohonan Lahan Fasum untuk sarana ibadah. Isi surat tersebut
adalah permohonan pemakaian lahan fasum di Blok 12 H yang
akan digunakan oleh 8 gereja dengan pembagian 3 denominasi
yaitu Protestan, Karismatik dan Gereja Bethel Indonesia (AGAPE).
Surat ini kemudian direspon oleh General Manager dengan surat
balasan nomor Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 13 Oktober
2005 yang menyatakan bahwa karena di Perumnas Kota Baru
Driyorejo belum ada sarana ibadat umat non- Muslim. Pada
prinsipnya General Manager menyetujui penyerahan tanah
tersebut untuk kepentingan tempat ibadat umat Kristen dan
Katolik dengan ketentuan bahwa peruntukan dan penggunaan
lahan untuk pembangunan gereja tersebut dilaksanakan
berdasarkan persetujuan Bupati Kep. Daerah Kab. Gresik.
Dari surat tersebut jelas bahwa pihak Perum Perumnas
Kantor Regional VI Surabaya mengetahui bahwa penggunaan
fasos dan fasum untuk bangunan tertentu harus melalui prosedur
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
145
tertentu. Hal ini dikuatkan dengan surat Sekda Kab. Gresik kepada
Manager Cab. Perum Perumahan Driyorejo No.
450/809/403.74/2005 tanggal 20 Oktober 2005 perihal
Pemberitahuan Pemakaian Fasum. Surat ini menjawab surat dari
Manager Cab. Perum Perumnas Driyorejo No.
Reg.VI/Cab.Grs/806/09/2005 tgl 17 Sept 2005 perihal Pemberi-
tahuan Pemakaian Lahan Fasum untuk tempat ibadat. Dalam surat
ini diterangkan bahwa, 1) bentuk kegiatan fisik yang ada di atas
tanah fasum harus disesuaikan pada site plan yang sudah ada
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2)
seyogyanya lahan fasum untuk keperluan tempat ibadat
diserahkan dulu ke pemerintah daerah melalui tim verifikasi
fasos/fasum; dan 3) Pemda Kab. Gresik yang akan mengatur
peruntukannya. Sementara itu, Manager Perum Perumnas Cab.
Gresik juga menulis surat kepada Bupati Gresik No.
Reg.VI/809/10/2005 tanggal 31 Oktober 2005 perihal persetujuan
peruntukan dan penggunaan lahan untuk pembangunan gereja.
Dalam perkembangannya, sampai pada tahun 2007 pihak
Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo belum menyerahkan fasum
kepada Pemerintah Kab. Gresik, sehingga belum diproses
kelanjutannya sampai akhirnya ada surat dari Komandan
Pangkalan Utama TNI AL (Komando Armada RI Kawasan Timur
Pangkalan Utama TNI AL/Danlantamal) kepada Bupati Gresik No.
B/141-20/03/14/Lant-V tanggal 10 Oktober 2007 perihal
permohonan izin mendirikan gereja Katolik dan Kristen. Isi surat
sebagai berikut:
1. Dasar:
a. Surat dari Gereja Bethany Indonesia No. 09/GBI-JD/VIII/2007
tanggal 13 Agustus 2007 perihal permohonan perizinan
Titik Suwariyati
146
b. Surat dari Gereja Katolik Paroki Santo Yusup No.
006/PANPEMB/KPP/XII/04 tanggal 9 Desember 2004 perihal
Permohonan Lahan Ibadah (Gereja) Umat Katolik.
c. Surat dari Gereja Katolik Paroki Santo Yusup No.
008/PANPEMB/KPP/XI/2005 tanggal 14 November 2005
perihal permohonan surat dinas untuk mendapatkan surat
persetujuan lahan tempat ibadat
d. Surat dari Perum Perumnas Regional VI Cabang Gresik No.
Reg.VI/Cab.Grs/808/09/2005 tanggal 7 September 2005
perihal pemberitahuan pemakaian lahan untuk sarana
ibadat.
e. Surat Pemkab Gresik No. 450/809/403.74/2005 tanggal 20
Oktober 2005 perihal pemberitahuan pemakaian fasum.
2. Sehubungan dengan hal di atas, pihak Lantamal V
mengizinkan kepada Panitia Pembangunan Gereja Kristen dan
Katolik untuk mendirikan gereja di lahan Perumahan TNI AL
Driyorejo masing-masing seluas 500 m² dan areal parkir
bersama seluas 420 m² (gambar terlampir)
Mencermati surat Danlantamal tersebut, nampaknya
Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan
Gereja Katolik Santo Yusup sebagai gereja yang membawahi
keuskupan di Driyorejo nampaknya tanpa menghiraukan adanya
peraturan perubahan peruntukan lahan fasos dan fasum, di
samping itu, karena surat ini dibuat pada bulan Oktober 2007 yang
artinya PBM telah lahir. Berbekal surat izin dari Danlantamal,
Panitia Pembangunan Gereja Bethany Indonesia membuat surat
yang ditujukan kepada Ketua RT 10 Giok, Ketua RT 22 Giok, Ketua
RT 23 Giok, Ketua RT 24 Giok, dan Ketua RT 25 Giok. Surat ini
dengan maksud memberitahukan/mensosialisasikan surat
persetujuan pembangunan Gereja Bethany Indonesia di tanah
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
147
fasum Perumahan TNI AL Wilayah Jl. Giok Kota Baru Driyorejo
Gresik yang dikeluarkan oleh Danlantamal.
Berbekal surat persetujuan pembangunan gereja dari
Danlantamal inilah yang dijadikan acuan oleh Panitia
Pembangunan Gereja Bethany Indonesia untuk melakukan
pembangunan sampai bangunan fisik gereja itu selesai. Dilihat
dari bentuk bangunannya, dari luar nampak gereja ini seperti
rumah biasa, tidak ada simbol-simbol yang menunjukkan sebagai
bangunan gereja, sehingga warga sekitar tidak tahu kalau
bangunan itu bangunan gereja. Sampai saat ini Gereja Kristen
Bethany Indonesia sudah dipergunakan namun kegiatannya tidak
mencolok dalam arti jemaatnya tidak banyak. Memurut informasi
dari Kepala KUA Kec. Driyorejo, tidak adanya reaksi atas kebaktian
yang dilakukan di Gereja Kristen Bethany Indonesia karena warga
di sekitar gereja kebanyakan dari Angkatan Laut.
Melihat situasi yang cukup tenang, Panitia Pembangunan
Gereja Katolik Santo Gabriel berniat memulai membangun gereja
dengan mengadakan upacara peletakan batu pertama. Acara
seremonial ini mengundang para pejabat di lingkungan
Kecamatan Driyorejo. Melihat ada upacara peletakan batu pertama
pembangunan gereja, masyarakat terkejut, karena tahu bahwa
belum ada izin pembangunan gereja. Masyarakat pun mulai resah,
bahkan kemudian juga mempertanyakan status Gereja Kristen
Bethany Indonesia yang sudah berwujud bangunan dan sudah
dipergunakan untuk kebaktian.
Sementara, pada tanggal 21 Maret 2006 telah lahir PBM
Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. PBM Nomor: 9 dan
8 ini telah disosialisasikan secara berjenjang. Pengurus FKUB
Titik Suwariyati
148
tingkat provinsi yang memperoleh sosialisasi PBM dari Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama maupun Kementerian
Dalam Negeri, kemudian menyosialisasikan kepada para pengurus
FKUB, tokoh agama, tokoh masyarakat di tingkat kabupaten. Hasil
dari sosialisasi ini nampak antara lain ketika masyarakat mulai
paham akan adanya peraturan yang berkaitan dengan pendirian
rumah ibadat yang menjadi salah satu isi PBM. Hal ini dibuktikan
dengan respon dari Panitia Pembangunan Gereja Kristen Bethany
Indonesia yang mengirim surat kepada Bupati Gresik dengan
nomor: 57/GBI-JP/VII/2008 tanggal 13 Juli 2008 perihal
Permohonan Ijin Mendirikan Bangunan. Surat ini mendapat
jawaban dari Bupati Gresik dengan surat nomor:
050/679/403.71/2008 tanggal 24 Sept 2008. Inti dari isi surat
tersebut adalah:
1) Berdasarkan pengesahan site plan tanggal 6 Agustus 2004
Nomor: 503.648/3671/403.51.3/2004 lokasi lahan tersebut
peruntukannya adalah sebagai pertokoan
2) Lahan belum diserahkan kepada Pemeritah Kab. Gresik,
sehingga masih menjadi kewenangan pihak pengembang
3) Hendaknya pihak pengembang menyerahkan terlebih dahulu
fasos-fasum kepada Pemerintah Kab. Gresik.
Dari surat jawaban Bupati Gresik tersebut jelas bahwa
prosedur yang benar adalah fasos-fasum dalam suatu areal
pemukiman perumahan harus diserahkan oleh pengembang
dalam hal ini Perum Perumnas kepada Pemerintah Daerah Kab.
Gresik. Namun demikian pembangunan gereja terus dilakukan,
sambil mereka memenuhi persyaratan khusus sebagaimana
tercantum pada pasal 14 PBM yaitu tentang 90 orang pengguna
dan dukungan 60 orang dari masyarakat sekitar. Pada saat ini
digambarkan suasana sudah mulai panas, para tokoh agama
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
149
maupun tokoh masyarakat Kec. Driyorejo berusaha
mengendalikan masyarakat yang sudah kasak kusuk akan
menghentikan pembangunan gereja tersebut secara paksa.
Di tingkat kabupaten dilakukan rapat koordinasi sampai
beberapa kali. Dalam salah satu rapatnya, menugaskan FKUB Kab.
Gresik untuk melakukan verifikasi terhadap 90 orang pengguna
dan 60 orang pendukung dari masyarakat sekitar. Hasil dari
verifikasi tersebut dituangkan dalam surat FKUB yang ditujukan
kepada Bupati Gresik No. 12/FKUB.G/11/2008 tanggal 12
Nopember 2008 perihal Rekomendasi yang isinya: setelah
dilakukan penelaahan/pemeriksaan terhadap berkas permohonan
dan hasil verifikasi faktual/tinjauan lapangan, FKUB tidak
menyetujui permohonan pembangunan Gereja Bethany Indonesia
dengan pertimbangan sebagai berikut: 1) Secara administrasi
berkas permohonan panitia pembangunan Gereja Krsiten Bethany
Indonesia, belum/tidak memenuhi syarat/ketentuan sebagaimana
tercantum dalam pasal 14 ayat 2 butir a dan b PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006; 2) Dari hasil verifikasi faktual/tinjauan lapangan/lokasi
terbukti tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini
diperkuat dengan surat keterangan dari Kepala Desa Mulung
sebagaimana terlampir. Surat ini dilampiri juga dengan Berita
Acara Rapat Pleno FKUB Kab. Gresik Hasil verifikasi FKUB Kab.
Gresik tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kepala Kantor
Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kab. Gresik
kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Kab. Gresik
No. 450/21/403.77/2009 perihal rekomendasi yang pada intinya
karena belum memenuhi persyaratan pendirian rumah ibadat,
agar jangan menerbitkan IMB untuk pembangunan Gereja Kristen
Bethany Indonesia.
Titik Suwariyati
150
No Asal Desa Jumlah Identitas KTP
Status Agama Pengguna
Pengguna Dukungan Katolik Kristen 1 Mulung 7 67 6 1 2 Petiken 62 - 60 2 3 Randegansari 4 - 3 1 4 Cangkir 12 - 8 3 5 Gadung 10 - 16 1 Jumlah 95 67 88 7
Hasil verifikasi FKUB ini direspon oleh masyarakat sekitar
pembangunan gereja dengan membuat surat atas nama RW VII
Perumnas KBD Desa Randangsari Kec. Driyorejo No.
02/KBD/23/III/2009 tanggal 23 Maret 2009 yang menyatakan
bahwa mereka menyetujui pembangunan gereja tersebut. Surat
ini dilampiri tanda tangan warga sebanyak 23 lembar. Surat ini
ditandatangani oleh Ketua RW 08 Desa Randangsari dan diketahui
oleh Kepala Desa Randegansari.
Persoalan pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia
dan Gereja Katolik Santo Gabriel ini sudah pernah diserahkan ke
tingkat Provinsi Jawa Timur, namun oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi
Jawa Timur dan FKUB Provinsi Jawa Timur dikembalikan ke Kab.
Gresik untuk diselesaikan. Untuk itu, pemerintah daerah bersama-
sama dengan Kantor Kemenag Kab. Gresik, FKUB secara aktif
melakukan rapat koordinasi mengingat Panitia Pembangunan
Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel
tetap melaksanakan pembangunan dengan berpedoman telah
mendapat ijin dari Danlantamal.
Pada tanggal 30 September 2009 Kepala Kesbanglinmas
Kab. Gresik mengirim surat kepada Ketua Panitia Pembangunan
Gereja Bethany Indonesia No. 450/630/537.77/2009 berkaitan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
151
dengan pemberhentian kegiatan pembangunan gereja. Surat
tersebut dibuat sebagai tindaklanjut surat FKUB Kab. Gresik No.
12/FKUB.GSK/II/2008 tanggal 12 Nopember 2008 perihal
rekomendasi pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia
yang belum memenuhi persyaratan khusus sebagaimana yang
diamanatkan oleh PBM, sehingga surat ini menguatkan
rekomendasi FKUB bahwa agar panitia pembangunan
menghentikan pembangunan gereja tersebut karena belum
memenuhi persyaratan sebagaimana peraturan yang ada (PBM).
Tidak hanya Gereja Kristen Bethany Indonesia yang masih
tetap melakukan pembangunannya, Gereja Katolik Santo Gabriel-
pun demikian pula. Untuk itu pada tanggal 21 Januari 2010 Kepala
Kesbangpollinmas mengirim surat kepada Ketua Panitia
Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel di Perumahan Kota
Baru Driyorejo Nomor: 450/33/437.77/2009 perihal: Teguran
Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik. Surat ini dikirim
sebagai tindak lanjut laporan Camat Driyorejo tanggal 18 Januari
2010 No. 453.2/34/437.108/2010 kepada Bupati Gresik yang
menyatakan bahwa masih ada kegiatan fisik pembangunan Gereja
Katolik di Desa Mulung Kec. Driyorejo. Untuk itu melalui surat ini
Kepala Kesbangpollinmas Kab. Gresik memerintahkan agar Panitia
Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel agar tidak melanjutkan
pembangunan gereja tersebut sebelum mendapatkan ijin dari
Pemerintah Kab. Gresik.
Dengan adanya kedua surat ini, rupanya Panitia
Pembangunan Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Panitia
Pembangunan Gereja Katolik Santo Gabriel menginformasikannya
kepada Danlantamal Armatim V Surabaya, dan Danlantamal pun
mengirim surat kepada Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas
Kab. Gresik dengan No. B/22.20/03/14/Lant V tanggal 3 Februari
2010 perihal pelaksanaan pembangunan Gereja Katolik di
Titik Suwariyati
152
Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo. Danlantamal menulis
surat yang isinya sebagai berikut:
1. Dasar
a. Surat Komandan Lantamal V No. B/141-20/03/14/Lant. V
tanggal 10 Oktober 2007 perihal Permohonan Izin
Mendirikan Gereja Kristen dan Katolik.
b. Surat Komandan Lantamal V No. B/164-20/03/14/Lant. V
tanggal 12 Nopember 2009 perihal Permohonan Izin
Mendirikan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL
Driyorejo Kab. Gresik.
c. Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia
Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru
Driyorejo No. 450/33/437.77/2010 tanggal 21 Januari 2010
perihal Teguran Pelaksanaan Pembangunan Gereja Katolik.
2. Sehubungan dengan hal di atas, mohon agar pembangunan
Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo Kab.
Gresik tetap dapat dilanjutkan mengingat surat izin
pembangunan telah dikirimkan kepada Bupati Gresik pada
tahun 2007.
Melihat pembangunan gereja yang terus dilakukan,
padahal masyarakat tahu bahwa belum ada ijin pembagunan
kedua gereja itu, masyarakat semakin resah dan ada keinginan
gereja itu dirusak saja, beruntung emosi warga ini masih bisa
dikendalikan oleh para tokoh agama, satu di antaranya adalah
KH. Sururi, seoang tokoh agama yang masih cukup muda,
mantan anggota DPRD Tk II Kab. Gresik. Akhirnya pada tanggal
10 Pebruari 2010 atas nama Warga Muslim Perumnas Kota Baru
Driyorejo menulis surat kepada Bupati Gresik perihal Keberatan
Pembangunan Rumah Ibadat (Gereja) di Perumnas Kota Baru
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
153
Driyorejo. Dalam surat tersebut dinyatakan pula jika
pemerintah daerah tidak bisa mengambil tindakan tegas untuk
menghentikan pembangunan gereja tersebut, dikhawatirkan
akan terjadi pengrusakan massal oleh masyarakat.
Menerima surat dari Warga Muslim Perumnas Kota
Baru Driyorejo, Bupati kembali melakukan rapat koordinasi
dengan unit terkait. Keputusan dari rapat tersebut adalah
menugaskan Kepala Kantor Kesbangpol dan Linmas Kab. Gresik
mengirim surat kepada Komandan Pangkalan Utama TNI AL V
No. 450/105/437.77/2010 perihal Pelaksanaan Pembangunan
Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo.
Isi:
1. Berdasarkan Peraturan Mendagri No. 9 Tahun 2009
tentang pedoman penyerahan prasarana, sarana dan
utilitas perumahan dan pemukiman di daerah. Bahwa
pengelolaan lahan fasum, fasos dan utilitas oleh para pihak
termasuk lahan fasum, fasos dan utilitas untuk tempat
dan/atau rumah ibadat harus terlebih dahulu diawali
dengan penyerahan lahan fasum, fasos dan utilitas dari
pengembang kepada pemeritah daerah, baru kemudian
dapat diminta oleh para pihak kepada pemda untuk
dikelola dengan persetujuan DPRD.
2. Berdasarkan PBM, ada persyaratan khusus yaitu 90
pengguna dan 60 pendukung dari masyarakat sekitar.
3. Bahwa surat permohonan ijin mendirikan bangunan untuk
gereja tertanggal 13 Juli 2008 nomor: 57/GBI-JD/VII/2008
telah ditolak berdasarkan surat Bupati Gresik tertanggal 24
September 2008 Nomor: 050/679/403.71/2008 karena
tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam
perundang-undangan.
Titik Suwariyati
154
4. Memperhatikan beberapa ketentuan tersebut di atas
sebagaimana point 1, 2, dan 3 dan untuk menjaga
ketertiban, keamanan dan kerukunan antarumat beragama
serta untuk mencegah terjadinya gejolak masyarakat di
sekitar wilayah perumahan (Perumnas) Driyorejo sebagai
akibat dari pembangunan gereja, maka dengan ini diminta
kepada para pihak agar dapatnya menghentikan semua
aktifitas pembangunan gereja di lokasi perumahan
(Perumnas) Driyorejo
Surat tersebut direspon oleh Komandan Pangkalan
Utama TNI AL V dengan membalas surat kepada Kepala Kantor
Kesbangpol dan Linmas Kab. Gresik No. B/64.20/03/14/Lant V
tanggal 30 Maret 2010
Isi surat tersebutsebagai berikut:
1. Dasar
a. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
b. Surat Komandan Lantamal V No. B/141-20/03/14/Lant. V
tanggal 10 Oktober 2007 perihal Permohonan Izin
Mendirikan Gereja Kristen dan Katolik.
c. Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia
Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru
Driyorejo No. 450/33/437.77/2009 tanggal 24 Februari
2010 perihal Teguran Pelaksanaan Pembangunan Gereja
Katolik Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo
2. Sehubungan dengan hal di atas, bersama ini disampaikan
beberapa hal sebagai berikut (daftar nama sesuai dengan
lampiran):
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
155
a. Pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Gereja
Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo
tersebut telah sesuai dengan yang ditentukan dalam
PBM tersebut sebagai berikut:
1) Mendapat dukungan paling sedikit 90 orang
pengguna masing-masing rumah ibadat tersebut.
2) Mendapat dukungan paling sedikit 60 orang dari
masyarakat setempat yang berada di sekitar masing-
masing rumah ibadat tersebut.
b. Pembangunan Gereja Bethany Indonesia dan Gereja
Katolik di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo sangat
dibutuhkan oleh dinas TNI AL mengingat pembangunan
rumah ibadat tersebut merupakan pelaksanaan dari
fungsi faswatpres Lantamal V.
3. Pembangunan dua rumah ibadat di Perumahan Non Dinas
TNI AL Driyorejo akan tetap dilaksanakan mengingat
pembangunan tersebut bertujuan untuk meningkatkan
ketaqwaan dan keimanan anggota militer/PNS TNI AL dan
warga sekitarnya.
Pada tanggal 19 Mei 2010 Kepala Satuan Polisi Pamong
Praja melaporkan kepada Bupati Gresik dengan surat No.
050/207/437.90/2010 perihal Laporan Hasil Pemanggilan PPNS
terhadap Panitia Pembangunan Gereja di Driyorejo.
Isi suratsebagai berikut:
• Melakukan pemanggilan I terhadap Kapten Marinir Patmono
Daniel selaku panitia pembangunan gereja di Kec. Driyorejo
pada tanggal 9 April 2010. Pihak panitia pembangunan
gereja tidak hadir.
Titik Suwariyati
156
• Pada tanggal 12 April 2010 dilakukan pemanggilan II. Panita
tidak hadir lagi hanya menginformasikan via telepon bahwa
Kapten Marinir Patmono Daniel sedang mengikuti diklat.
• Pada tanggal 6 Mei 2010 dilakukan pemanggilan ke III dan
panita tetap tidak hadir.
Setelah beberapa lama dilihat perkembangan situasinya,
ternyata proses pembangunan kedua gereja masih tetap
berlangsung, maka dilakukan rapat koordinasi pada tanggal 27
Oktober 2010.
Berita acara rapat koordinasi pembangunan gereja Kristen
Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel di Desa Mulung Kec.
Driyorejo.
Hari : Rabu
Tanggal : 27 Oktober 2010
Tempat : Ruang Rapat Graita Eka Praja
Kantor Bupati Gresik
Pimpinan Rapat :
1. Ketua : Asisten I
2. Pendamping : Kakan Kesbangpol Linmas
3. Pendamping : Ketua FKUB Kab. Gresik
Peserta Rapat :
1. Dewan Penasehat FKUB Kab. Gresik
2. Anggota FKUB Kab. Gresik
3. Perwakilan dari Badan Penanaman Modal dan Perijinan
Kab. Gresik
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
157
4. Perwakilan dari Badan Perencanaan Pembangunan,
Penelitian dan Pengembangan Daerah Kab. Gresik
5. Perwakilan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kab. Gresik
6. Perwakilan dari Intelkam Polres Gresik
7. Perwakilan dari Intel Kodim 0817 Gresik
8. Perwakilan dari Intel Kejaksaan Negeri Gresik
9. Perwakilan dari Sub Denpom Gresik
10. Perwakilan dari Sub Garnisun Gresik
11. Perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional
12. Muspika Kec. Driyorejo
13. Kepala Desa Mulung
Hasil Keputusan:
• Bahwa pendirian Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik
Santo Gabriel di Desa Mulung Kec. Driyorejo tidak memenuhi
persyaratan sesuai dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ttg
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan
Pendirian Rumah Ibadat khususnya pasal 14 ayat (2);
• Pemerintah Kab. Gresik dituntut ketegasannya tentang
penghentian/pembongkaran tempat ibadat Gereja Kristen
Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel yang tidak
dilengkapi dengan perijinan yang berlaku;
• Pembangunan Gereja Kristen Bethany dan Gereja Katolik
Santo Gabriel harus segera dihentikan;
Titik Suwariyati
158
• Menyerahkan fasos-fasum kepada pemda dan
penggunaaannya diserahkan kepada pemda;
• Simbol-simbol atau label-label yang ada pada Gereja Kristen
Bethany dan Gereja Katolik Santo Gabriel harus segera
diturunkan.
Pada hari yang sama tanggal 27 Oktober 2010,
Komandan Pangkalan Utama TNI AL V mengirim surat kepada
Bupati Gresik No. B/1483/X/2010 perihal: Kelengkapan Persyaratan
Khusus Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Driyorejo
Gresik.
Isi surat:
1. Dasar
a. PBM No. 9 dan 8 Th 2006
b. Surat Komandan Lantamal V No. B/64-20/03/14/Lant V tgl
30 Maret 2010 perihal Pembangunan Gereja Oikumene dan
Gereja Katolik di di Perumahan Non Dinas TNI AL Driyorejo.
c. Surat Kepala Kesbangpollinmas kepada Ketua Panitia
Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Kota Baru
Driyorejo No. 450/105/437.77/2009 tanggal 24 Februari
2010 perihal: Pelaksanaan Pemb Gereja Katolik Perumahan
Non Dinas TNI AL Driyorejo
2. Sehubungan dengan hal di atas, disampaikan beberapa hal
sebagai berikut:
a. Pembangunan Gereja Katolik di Perumahan Non Dinas TNI
AL Driyorejo sangat diperlukan oleh Dinas TNI AL mengingat
pembangunan rumah ibadat tersebut merupakan
pelaksanaan dari fungsi faswatpers (fasilitas perawatan
personil) lantamal V;
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
159
b. Pendirian rumah ibadat diperuntukkan bagi pelayanan umat
beragama di wilayah kelurahan/desa namun apabila
komposisi jumlah penduduk umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi,
pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas
wilayah kecamatan atau kab/kota atau provinsi;
c. Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif, teknis bangunan gedung, dan persyaratan
khusus, adapun persyaratan khusus tersebut adalah:
1) Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat (warga
yang beragama Katolik) paling sedikit 90 (sembilan
puluh) orang.
2) Dukungan masyarakat setempat (warga yang beragama
selain Katolik) paling sedikit 60 (enam puluh) orang.
Dikirimkan kelengkapan persyaratan khusus berupa daftar
nama pengguna rumah ibadat sebanyak 95 orang dan daftar
nama dukungan masyarakat setempat sebanyak 67 orang. Setelah
dilakukan penelitian terhadap berkas daftar nama 90 orang
pengguna dan 60 orang pendukung ternyata sama dengan yang
telah diverifikasi oleh FKUB.
Pada tanggal 21 Desember 2010 diadakan rapat Muspida
Plus, karena rapat dihadiri oleh unsur DPRD Kab. Gresik, Polres
Gresik, Kejaksaan Negeri Gresik, Pengadilan Negeri Gresik, Kodim
0817 Gresik, Sub Garnisun 0817 Gresik, Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Gresik, Satuan Polisi Pamong Praja kab. Gresik, Kantor
Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kab. Gresik,
dan Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Sekretariat Daerah
Kab. Gresik. Materi rapat yaitu pokok persoalan “Pendirian Rumah
Ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo
Gabriel di Desa Mulung Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik”.
Titik Suwariyati
160
Dalam notulasi rapat ini dikemukakan kronologi
munculnya kasus perselisihan pembangunan rumah ibadat ini
sejak tahun 2004, pada saat pengesahan site plan oleh Bupati
Gresik Nomor: 503.648/3671/403.51.3/2004 lokasi lahan fasum di
lokasi perum perumnas Kota Baru Driyorejo peruntukannya
sebagai pertokoan. Kemudian adanya surat Surat dari Manager
Cabang Perum Perumnas Kantor Regional VI Cab. Gresik kepada
General Manager Perum Perumnas Regional VI di Surabaya no.
Reg.VI/Cab.Grs/403/09/2005 tanggal 7 September 2005 perihal
Permohonan Lahan Fasum untuk sarana ibadat di lahan fasum di
Blok 12 H yang akan digunakan oleh 8 gereja dengan pembagian 3
denominasi yaitu Protestan, Karismatik dan Gereja Bethel
Indonesia (AGAPE). Sebagai bahan pertimbangan diinformasikan
bahwa di Perumnas Kota Baru Driyorejo sudah ada 23
masjid/mushalla di lokasi fasum dan sudah digunakan untuk
beribadah oleh umat Islam.
Kronologi peristiwa ini diakhiri dengan surat Badan
Penanaman Modal dan Perijinan Kab. Gresik Nomor:
503/582/437.77/2010 dan Nomor: 503/583/437.77/2010 tanggal
22 Nopember 2010 perihal penghentian pembangunan Gereja
Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel.
Kesimpulan rapat Muspida Plus ini adalah pendirian rumah
ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo
Gabriel di Desa Mulung Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik
telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku
antara lain:
1. Pendirian rumah ibadat Gereja Kristen Bethany Indonesia dan
Gereja Katolik Santo Gabriel belum memiliki IMB akan tetapi
pembangunannya sampai sekarang sudah mencapai:
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
161
a. Bangunan fisik Gereja Kristen Bethany Indonesia telah
mencapai 90%
b. Bangunan fisik Gereja Katolik Santo Gabriel telah mencapai
30%
2. Fasum/fasos seharusnya seharusnya diserahkan terlebih dahulu
oleh pengembang kepada Pemerintah Kabupaten Gresik
3. Untuk pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Selain
memenuhi persyaratan tersebut, harus memenuhi persyaratan
khusus PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 pasal 14 ayat (2) yaitu:
a. Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang
yang disahkan oleh lurah/kepala desa
Persyaratan-persyaratan tersebut belum terpenuhi sebagai
persyaratan administratif, persyatan teknis, maupun persyaratan
khusus, permohonan panitia pembangunan rumah ibadat yang
disampaikan kepada Bupati Gresik.
Hasil rapat Muspida Plus ini kemudian ditindaklanjuti
oleh Bupati Gresik dengan mengirim surat kepada Pengurus
Gereja Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo
Gabriel di Perum Perumnas Kota Baru Driyorejo dengan nomor:
450/777/437.77/2010 tanggal 28 Desember 2010 perihal:
Penghentian Kegiatan Pembangunan Gereja Bethany Indonesia
dan Gereja Katolik Santo Gabriel. Mengacu pada hasil rapat
Muspida Plus bahwa pembangunan kedua gereja tersebut belum
memenuhi ketentuan perundang-undangan, maka:
Titik Suwariyati
162
1. Seluruh kegiatan pembangunan Gereja Bethany Indonesia
dan Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di
Kota Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec. Driyorejo Driyorejo
Kab. Gresik harus dan segera dihentikan.
2. Melepaskan segala simbol-simbol atau label-label yang ada
pada Bethany Indonesia dan Pengurus Gereja Katolik Santo
Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec.
Driyorejo Driyorejo Kab. Gresik; serta
3. Menghentikan segala bentuk kegiatan,
peribadatan/kebaktian di Gereja Bethany Indonesia dan
Pengurus Gereja Katolik Santo Gabriel yang terletak di Kota
Baru Driyorejo, Desa Mulung Kec. Driyorejo Driyorejo Kab.
Gresik.
Surat Bupati ini ditembuskan kepada 1) Ketua DPRD Kab.
Gresik, 2) Kepala Polisi Resort Gresik, 3) Komandan Komando
Distrik Militer 0817 Gresik, 4) Ketua Pengadilan Negeri Gresik, 5)
Kepala Kejaksaan Negeri Gresik, 6) Komandan Pangkalan Utama
TNI AL V, 7) Dansubgar 0817, 8) Kepala Kantor Kementerian Agama
Kab. Gresik, 9) Kepala Kantor Kesbanglinmas Kab. Gresik, 10)
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kab. Gresik, 11) Kepala Bagian
Pemerintahan Umum Setda Kab. Gresik, 12) Kepala Bagian Hukum
Setda Kab. Gresik, 13) Ketua FKUB Kab. Gresik, 14) Ketua MUI Kab.
Gresik, 15) Muspika Kecamatan Driyorejo, 16) Kepala Desa Mulung.
Pada saat penelitian ini dilakukan, tidak nampak aktivitas
pembangunan kedua gereja. Gereja Bethany Indonesia fisik
bangunannya sudah selesai 100%. Dari luar bentuk bangunannya
seperti rumah biasa, namun nampaknya bagian utama rumah itu
merupakan ruangan cukup luas atau semacam aula. Di depan
telah dipasang papan nama Gereja Kristen TNI AL Bethany
Indonesia dengan disertai jadwal kebaktian. Sedangkan Gereja
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
163
Katolik Santo Gabriel telah selesai bangunan temboknya dan telah
berbentuk gereja, tinggal penyelesaiannya saja.
Pada waktu terjadi peristiwa Temanggung, Muspika
Kecamatan Driyorejo dan KUA Kec. Driyorejo, Kapolsek
mengadakan rapat pada tanggal 10 Februari 2011 dengan agenda
utama memelihara dan mengendalikan kondisi Kec. Driyorejo
yang suhunya cukup panas dengan adanya kasus pembangunan
rumah ibadat ini, agar peristiwa Temanggung tidak terjadi di
Driyorejo. Mengetahui ada rapat koordinasi ini, pengurus Gereja
Bethany Indonesia mengirim surat kepada Kapolsek Driyorejo
Gresik dengan nomor: 64/GBI-KBD/II/2011 tanggal 12 Februari
2011 perihal Permohonan Perlindungan dan Keamanan
Peribadatan. Pada intinya mengingat perkembangan situasi
Kamtibmas yang terjadi dewasa ini, meminta perlindungan
ketertiban, keamanan, kenyamanan pelaksanaan seluruh aktifitas
peribadatan di Gereja Krsiten TNI AL Bethany Jl. Raya Giok Kota
Baru Driyorejo Gresik. Surat ini ditembuskan kepada 1) Kapolda
Jatim, 2) Pangdam V Brawijaya, 3) Pangarmatim, 4) Gubernur
Jatim, 5) Kementerian Agama Jatim, 6)Danlantamal V, 7) Kapolres
Gresik, Dandim 0817 Gresik, 8) Muspika Driyorejo, 9) Lurah
Mulung, 10) Ketua Umum Sinode Gereja Bethany Indonesia, dan
11) Koord Bethany Jatim. Yang banyak dipertanyakan adalah
mengapa Bupati Gresik, Kepala Kesbanglinmas dan lainnya tidak
mendapat tembusan?
Informasi terakhir dari Yarham, ketua tim verifikasi,
bahwasannya pada tanggal 16 Maret 2011, FKUB bersama panitia
pembangunan gereja dan Muspida datang ke lokasi gereja untuk
melakukan rapat. Mereka disambut oleh KH. Sururi dan warga,
hadir pula wartawan media cetak dan elektronik. Rapat dipimpin
oleh orang dari BIN Jatim. Yarham menggambarkan suasana rapat
saat itu sangat tegang dan hasilnya mentaati surat Bupati Gresik.
Titik Suwariyati
164
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
165
ANALISIS
Mencermati kronologi kasus perselisihan pendirian rumah
ibadat Gereja Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel,
ditinjau dari ranah regulasi, bahwasannya pembangunan dua
gereja tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang ada. Pertama, status fasos dan fasum secara
prosedural oleh pihak pengembang yaitu Perum Perumnas harus
diserahkan terlebih dahulu kepada Pemerintah Daerah Kab. Gresik.
Kalau sudah diserahkan barulah masyarakat mengajukan untuk
dijadikan tempat ibadat. Penyerahan fasos dan fasum ini belum
pernah dilakukan oleh fihak Perum Perumnas kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Gresik. Kedua, persyaratan khusus berupa 90
orang pengguna dan 60 pendukung memang ada daftar
namanya, namun setelah dilakukan verifikasi oleh FKUB Kab.
Gresik, hasilnya tidak memenuhi syarat.
Pemerintah Daerah Kab. Gresik dalam hal ini telah
berperan secara maksimal baik sebagai regulator, fasilitator, dan
dinamisator. Sebagai regulator, pemerintah daerah telah berusaha
menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang dimungkinkan
akan terganggu dengan pembangun Gereja Kristen Bethany
Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel yang pada dasarnya
telah dibangun tanpa mengindahkan peraturan sebagaimana
Titik Suwariyati
166
diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Sebagai fasilitator,
pemerintah daerah telah menyediakan beberapa gereja baik
gereja Kristen maupun Katolik yang sudah ada yang dirasakan
masih bisa memenuhi kebutuhan umat Nasrani untuk melakukan
kebaktian. Pemerintah daerah sebagai dinamisator, telah
memberdayakan unsur-unsur terkait seperti para tokoh agama,
FKUB, ormas keagamaan dalam penyelesaian kasus pembangunan
gereja ini.
Penduduk yang bertempat tinggal di Perumnas Kota Baru
Driyorejo pada umumnya pendatang dari luar Kab. Gresik, banyak
dari mereka merupakan penduduk pindahan dari Surabaya dan
merekalah yang umumnya beragama Katolik atau Kristen.
Sebagaimana disinyalir oleh Usman Pelly (1999) kehadiran
komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang
telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang
‘meminjam’ sentimen agama. Ini yang terjadi di Driyorejo yang
warganya secara ekonomi lebih mapan dan tingkat pendidikan juga
lebih tinggi daripada penduduk asli, apalagi masyarakat Kab. Gresik
yang selama ini sangat dikenal sebagai masyarakat “Kota Santri”.
Ketika warga Muslim yang tinggal di Kota Baru Driyorejo segera
membangun masjid atau mushalla, umat Kristiani-pun ingin
membangun gereja, namun mereka terbentur dengan berbagai
persyaratan.
Dalam kasus perselisihan pendirian Gereja Kristen Bethany
Indonesia dan Gereja Katolik Santo Gabriel, ada dua pihak yang
terlibat langsung yaitu pihak pertama adalah Panitia Pembangunan
Gereja dan Danlantamal V Surabaya. Pihak kedua adalah
Pemerintah Daerah Kab. Gresik beserta jajarannya. Pihak pertama
merasa bahwa lahan yang ada Kota Baru Driyorejo sudah menjadi
milik TNI AL karena sudah dilakukan jual beli oleh Koperasi TNI AL,
sehingga peruntukan lahan itu sepenuhnya menjadi kebijakan
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
167
Danlantamal, karena itulah Danlantamal memberikan ijin
pembangunan gereja di lokasi itu dengan mengabaikan adanya
peraturan khusus yang mengatur pendirian rumah ibadat yaitu PBM
No. 9 dan 8 Tahun 2006. Sementara itu, pihak kedua berpegang
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
ketika persyaratan belum terpenuhi, maka pembangunan gereja itu
belum bisa dilaksanakan.
Titik Suwariyati
168
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
169
PENUTUP
Kesimpulan
1. Perselisihan pendirian Gereja Kristen Bethany Indonesia dan
Gereja Katolik Santo Gabriel dengan Pemerintah Daerah Kab.
Gresik beserta jajarannya karena Panitia Pembangunan Gereja
telah mendapat ijin dari Danlantamal karena lahan itu milik
Angkatan Laut. Setelah terbitnya PBM Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 Panitia
Pembangunan Gereja merasa telah memenuhi persyaratan
khusus yaitu adanya 90 orang pengguna dan 60 orang
pendukung. Sementara Pemerintah Daerah Kab. Gresik
menganggap persyaratan belum ada yang terpenuhi.
2. Sejak awal kasus ini muncul, keterlibatan Pemerintah Daerah
Kab. Gresik sangat tinggi baik sebagai regulator, fasilitator
maupun dinamisator. Disadari sejak awal jika masalah
pembangunan gereja ini tidak ditangani dengan sungguh-
sungguh, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kerusuhan,
karena selama ini masyarakat sekitar telah berusaha menahan
diri untuk tidak melakukan tindakan yang anarkhis. Untuk itu
pemerintah daerah selalu memfasilitasi setiap ada rapat yang
menghadirkan fihak-fihak yang bersengketa maupun rapat
koordinasi dengan Kesbangpol dan Linmas, FKUB maupun para
Titik Suwariyati
170
tokoh agama. Untuk itu Bupati Gresik kemudian menerbikan
surat keputusan yang isinya seluruh kegiatan pembangunan
Gereja Kristen Bethany Indonesia dan Gereja Katolik Santo
Gabriel yang terletak di Kota Baru Driyorejo Kab. Gresik harus
dan segera dihentikan.
3. FKUB Kab. Gresik mempunyai kontribusi yang cukup signifikan
karena selama ini selalu diminta pendapatnya oleh Pemerintah
Daerah, sampai pada saat dilakukan verifikasi persyaratan
khusus 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung dilakukan
oleh satu tim yang terdiri para anggota FKUB.
4. Situasi masyarakat di sekitar lokasi pembangunan gereja di
Kecamatan Driyorejo cukup panas. Menurut beberapa
informan, sekarang ini situasi masih bisa dikendalikan, tetapi
kalau Pemerintah Daerah tidak bisa menyelesaikan kasus ini,
masyarakat akan bertindak sendiri dan ini dibuktikan dengan
surat dari warga Muslim Perumnas Kota Baru Driyorejo kepada
Bupati Gresik yang menyatakan keberatan atas pembangunan
rumah ibadat (gereja) di Perumnas KBD. Kalau pemda tidak bisa
mengambil tindakan tegas untuk menghentikan
pembangunan gereja tersebut, dikhawatirkan akan terjadi
pengrusakan massal oleh masyarakat
Studi Kasus tentang Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
171
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik, Gresik Dalam Angka 2010
_________, Kecamatan Driyorejo Dalam Angka 2010
CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010,
Yogyakarta: 2011
Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun
2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2002
Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian
Awal Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,”
dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-
April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI
bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia
SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011.
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Toleransi 2010, Jakarta: 2011
-o0o-
Titik Suwariyati
172
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
173
Studi Kasus Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadatdi Kabupaten Badung, Bali
Oleh :Bashori A. Hakim
Bashori A. Hakim
174
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
175
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perihal pendirian rumah ibadat merupakan persoalan yang
menarik untuk dikaji, terlebih sejak dikeluarkannya Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 &
8 Tahun 2006. Menarik, karena dengan adanya PBM itu dinamika
permasalahan terkait pendirian rumah ibadat di berbagai daerah
terlihat semakin meningkat, yang dengan sendirinya berpengaruh
terhadap kerukunan umat beragama. Karena itu, kerukunan umat
beragama bukanlah kondisi yang statis, melainkan berkembang
seiring dengan dinamika kehidupan umat beragama. Fluktuasinya
dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak semata-mata faktor
keagamaan. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui
salahsatu kajiannya mengidentifikasi ada sejumlah faktor non-
keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama,
yaitu: politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Adapun faktor
keagamaan sendiri teridentifikasi ada beberapa aspek, antara lain:
penyiaran agama, bantuan (keagamaan) luar negeri, perkawinan
antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak,
pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan
dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok
Bashori A. Hakim
176
sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan “pendirian
rumah ibadat”.
Di antara faktor-faktor keagamaan yang akhir-akhir ini kerap
mengganggu kondisi kerukunan umat beragama adalah persoalan
di seputar rumah ibadat. Permasalahannya cukup bervariasi, mulai
dari penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban hingga
penutupan tempat/rumah ibadat. Mengingat variasi
permasalahan dan jumlahnya cenderung meningkat setiap tahun,
maka tidak mengherankan jika permasalahan di seputar rumah
ibadat menjadi isu penting dan merupakan salahsatu
permasalahan dalam pembangunan nasional sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2010 – 2014.
Beberapa lembaga pengkajian dalam laporan tahunannya
mencatat adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal
gangguan terhadap rumah ibadat. Center for Religious and Cross-
cultural Studies (CRCS) mencatat, pada tahun 2009 terdapat 18
kasus di seputar rumah ibadat. Dengan cakupan wilayah yang
sama, pada tahun 2010 meningkat menjadi 39 kasus (CRCS,
2011:34). Demikian pula The Wahid Institute mencatat adanya
peningkatan gangguan terhadap rumah ibadat. Pada tahun 2010
tercatat ada 62 kasus, dengan rincian 28 kasus pelanggaran dan 34
kasus tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat. Angka ini lebih
besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski ada perluasan
wilayah laporan (The Wahid Institute, 2011:17).
SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59
tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai bentuk,
baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan aktivitas
ibadah, dan lain-lain (SETARA Institute, 2011:9). Bahkan, lebih rinci
Moderate Moslem Society mencatat dari 81 kasus intoleransi,
sebanyak 63 kasus (80 %) adalah aksi penyerangan, penolakan
rumah ibadat, dan intimidasi (Moderate Moslem Society, 2011:12).
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
177
Di Provinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama
Hindu, umat beragama lain merasakan kesulitan mendirikan
rumah ibadat terlebih sejak dikeluarkannya Perda Bali berupa
Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 tentang Prosedur dan
Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadat di
Wilayah Provinsi Bali (Hakim, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah
Ibadat di Kota Denpasar, Bali, 2010). Dengan adanya Keputusan
Gubernur Bali itu maka umat beragama di Provinsi Bali dalam
kaitannya dengan persoalan pendirian rumah ibadat tentu
memiliki dinamikanya sendiri. Apalagi dalam beberapa tahun
kemudian dikeluarkan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 yang salah satu
materinya juga berisi perihal pendirian rumah ibadat.
Kehadiran PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 yang sedang dan terus
disosialisasikan oleh pemerintah, diharapkan dapat menjadi solusi
atas permasalahan di sekitar rumah ibadat. Namun bagaimana
pengaruhnya dalam kehidupan keagamaan masyarakat hinggga
kini, perlu diketahui sesuai kondisi riil di lapangan. Untuk itulah
maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama pada tahun 2011 mengadakan penelitian
khusus mengenai berbagai kasus di seputar rumah ibadat di
berbagai daerah, termasuk di Provinsi Bali. Selain untuk
mengungkap problem aktual di lapangan, hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat mengklarifikasi data dan informasi dari berbagai
pihak mengenai gangguan terhadap rumah ibadat yang
ditengarai tidak seutuhnya benar.
Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang
jelas dengan penelitian serupa yang dilakukan oleh Puslitbang
Kehidupan Keagamaan tahun 2010 yang lalu. Jika pada tahun
2010 fokus penelitian terhadap sejumlah rumah ibadat yang
hendak didirikan dan mendapat resistensi masyarakat dan yang
tidak mendapat resistensi (damai), pada tahun 2011 ini fokusnya
Bashori A. Hakim
178
adalah tentang pendirian rumah ibadat yang diperselisihkan,
ditertibkan, serta yang ditutup.
PERMASALAHAN
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: mengapa
terjadi kasus perselisihan tentang pendirian, penertiban, dan
penutupan rumah ibadat di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.
Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa
permasalahan berikut: 1) Bagaimana kasus perselisihan tentang
pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi; 2)
Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan
tersebut; 3) Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian
perselisihan.
Tujuan
Tujuan penelitian adalah untuk: 1) Mengetahui kasus
perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau penutupan
rumah ibadat di Kabupaten Badung; 2) Mengetahui peran
pemerintah dalam penyelesaian perselisihan; 3) Mengetahui peran
FKUB dalam penyelesaian perselisihan.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Pimpinan
Kementerian Agama dan instansi terkait sebagai bahan dalam
menyusun kebijakan berkenaan dengan implementasi peraturan
terkait rumah ibadat, dalam upaya peningkatan kerukunan umat
beragama. Selain itu, diharapkan dapat memberikan penjelasan
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
179
lebih mendalam dalam mengungkap berbagai kasus tentang
rumah ibadat di lokasi penelitian.
Batasan Istilah
Untuk menyamakan persepsi, ada beberapa istilah yang
dipergunakan dalam penelitian ini yang perlu dijelaskan. Mengacu
kepada buku “Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya” yang diterbitkan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, beberapa istilah dimaksud
berikut penjelasannya adalah:
1. Perselisihan (akibat pendirian rumah ibadat), ialah perselisihan
antara pihak panitia pendiri atau pengguna atau calon
pengguna rumah ibadat dengan pihak masyarakat setempat,
dengan pemerintah daerah, dengan Kantor Kementerian
Agama kabupaten/kota atau dengan FKUB setempat dalam hal
yang berkaitan dengan izin dan persyaratan pendirian rumah
ibadat ataupun penggunaan bangunan gedung bukan rumah
ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai rumah
ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama pengguna
rumah ibadat.
2. Rumah ibadat, adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri
tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para
pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak
termasuk tempat ibadat keluarga.
3. Tempat ibadat keluarga, untuk umat Islam disebut
mushalla/langgar/surau/meunasah; untuk umat Kristen disebut
kapel/rumah doa; untuk umat Katolik disebut kapel; untuk
umat Hindu disebut sanggah/mrajan/panti/paibon; untuk umat
Buddha disebut cetya; dan untuk umat Khonghucu disebut
siang hwee/co bio/cong bio/kong tek su.
Bashori A. Hakim
180
4. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), adalah forum
yang dibentuk masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah
dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan
umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
5. Kerukunan umat beragama, adalah keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam
pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
6. Panitia pembangunan rumah ibadat, adalah panitia yang
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau
pengurus rumah ibadat.
7. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat, adalah izin
yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan
rumah ibadat.
8. Persyaratan administratif, misalnya surat kepemilikan tanah
tempat rumah ibadat akan dibangun; sedangkan persyaratan
teknis misalnya persyaratan tata bangunan gedung (Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, PBM No. 9 & 8 Tahun 2010 & Tanya
Jawabnya, 2010).
Kerangka Pemikiran
Kerangka berpikir yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah, bahwa keberadaan rumah ibadat di suatu tempat, pada
dasarnya secara simbolik dapat dijadikan pertanda atas
keberadaan umat beragama di lingkungan tempat dimaksud.
Dengan kata lain, keberadaan gereja di suatu wilayah misalnya,
menunjukkan keberadaan umat Kristiani di lingkungan wilayah
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
181
tersebut; demikian pula keberadaan masjid, pura, vihara dan
seterusnya. Semakin banyak jumlah rumah ibadat di suatu wilayah
– dengan demikian – mengindikasikan bahwa jamaah/jemaat atau
umat beragamanya banyak pula. Asumsi demikian sejalan dengan
“kerangka dasar” pemikiran yang diterapkan dalam PBM Bab IV
Pendirian Rumah Ibadat, khususnya terkait Pasal 14 Ayat (2 a)
yang menyebutkan bahwa pendirian rumah ibadat – juga – harus
memenuhi persyaratan khusus, antara lain: daftar nama dan kartu
tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang
yang disahkan oleh pejabat setempat (PBM No.9 & 8 Tahun 2006).
Gesekan – bahkan di antaranya cenderung menimbulkan
konflik – antarumat beragama, selain pada umumnya bermula dari
persoalan-persoalan sosial, budaya, ekonomi dan politik, tidak
dapat dipungkiri di antaranya – juga – dipicu oleh persoalan
pendirian rumah ibadat. Bahkan tentang pendirian rumah ibadat
ini di beberapa daerah merupakan issu sentral yang menimbulkan
permasalahan di kalangan umat beragama.
Untuk memahami permasalahan terkait rumah ibadat,
dapat didekati paling tidak melalui tiga aspek yaitu: aspek regulasi,
aspek sosial – ekonomi – budaya, serta aspek keberagamaan.
Aspek regulasi, tentang izin pendirian bangunan (IMB)
rumah ibadat merupakan permasalahan yang sering timbul dalam
pendirian rumah ibadat, di samping kelengkapan persyaratan lain
dalam pendirian rumah ibadat sebagaimana diatur dalam PBM No.
9 & 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. “Peraturan lainnya” yang
dimaksud di sini ialah bahwa di Kabupaten Badung dan Provinsi
Bali pada umumnya ada pergub terkait pendirian rumah ibadat
yang di antaranya ada aturan yang tidak singkron dengan aturan
sejenis dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006. Dengan demikian di
Kabupaten Badung umat beragama ketika hendak mendirikan
rumah ibadat harus mengacu kepada PBM No. 9 & 8 Tahun 2006
Bashori A. Hakim
182
dan Pergub Provinsi Bali. Rumah ibadat atau bangunan bukan
rumah ibadat yang dipergunakan untuk tempat ibadat ketika tidak
atau belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
peraturan di atas – dengan demikian – dipermasalahkan atau
diperselisihkan. Namun, dalam beberapa kasus mungkin saja
terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang sudah memiliki
IMB, atau sebaliknya terjadi kasus penggunaan bangunan bukan
rumah ibadat dipergunakan untuk tempat ibadat yang tidak
dipersoalkan, baik oleh masyarakat setempat maupun pemerintah
setempat.
Aspek sosial, ekonomi dan budaya, rasa sentimen
keagamaan, kerap timbul dari persoalan-persoalan yang pada
dasarnya tidak terkait secara langsung dengan keagamaan. Dalam
kasus komunitas tertentu, kehadiran kelompok pendatang – yang
kemudian sukses di bidang tertentu termasuk bidang ekonomi –
dalam struktur komunitas “pribumi” yang telah mapan, acapkali
menimbulkan friksi sosial – yang dalam tingkat tertentu – dapat
menjalar ke arah “sentimen agama”. Konsep in-group dan out-
group dalam konteks ini menjadi relatif berperan. Kehadiran
rumah ibadat agama lain dalam suatu komunitas yang telah
mapan sebelumnya, sering menimbulkan persoalan karena
adanya penolakan dari komunitas yang telah mapan. Demikian
pula dari aspek budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang
mengindikasikan hadirnya komunitas umat beragama lain,
seringkali dianggap dapat “mengganggu” stabilitas budaya
masyarakat setempat yang telah mapan.
Aspek keberagamaan, sikap intoleransi kelompok agama
tertentu terhadap kelompok agama lain, dapat menimbulkan
perselisihan bahkan penolakan terhadap kehadiran rumah ibadat
kelompok agama lain. Inklusifitas keagamaan akan menimbulkan
penolakan atas kehadiran rumah ibadat umat lain.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
183
Metode
Metode yang dipergunakan dalam penelitian adalah
metode kualitatif, dengan bentuk studi kasus. Data dikumpulkan
menggunakan teknik wawancara, studi dokumentasi dan pustaka,
serta pengamatan. Data yang terkumpul diolah melalui tahap:
editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi untuk memperoleh
pengetahuan baru. Wawanca dilakukan kepada sejumlah informan
yang dianggap mengetahui tentang permasalahan yang dikaji,
dengan menggunakan pedoman wawancara. Studi pustaka
dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah dan media cetak
lain terkait dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan
pengamatan dilakukan terhadap obyek-obyek tertentu yang
terkait, sejauh yang dapat dilakukan. Proses pengolahan dan
analisis data dilakukan secara deskriptif analitik.
Untuk menguji keabsahan data dipergunakan teknik
triangulasi dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain.
Menurut Patton (1987) – sebagaimana dikutip Moleong –
triangulasi dalam konteks kajian ini dilakukan dengan sumber
yakni membandingkan dan mengecek balik suatu informasi
melalui waktu dan alat ukur yang berbeda untuk menguji derajat
keterpercayaan informasi yang diperoleh. Melalui cara demikian
maka dalam proses pengumpulan data dilakukan pembandingan,
misalnya antara hasil wawancara dengan hasil pengamatan,
dengan dokumen terkait, membandingkan antara pendapat
masyarakat umum dengan pejabat, serta antara informasi pada
saat penelitian dengan saat normal (Moleong, 2002:178).
Bashori A. Hakim
184
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
185
GAMBARAN SEKILAS
KABUPATEN BADUNG
Kondisi Geografi
Kabupaten Badung secara geografis terletak antara
80.14’20” – 80.50’48” Lintang Selatan dan 115.05’00” – 115.26’16”
Bujur Timur. Luas wilayahnya 418.52 Km2 atau sekitar 7,43 % dari
luas Pulau Bali. Batas-batas wilayahnya, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur Kabupaten Bangli,
Kabupaten Gianyar, dan Kota Denpasar, sebelah selatan Samudera
Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Tabanan.
Dilihat dari segi pemerintahan, wilayah Kabupaten Badung
secara administratif terbagi menjadi 6 kecamatan dan 62
desa/kelurahan, dengan rincian 16 kelurahan dan 46 desa dinas.
Keenam kecamatan dimaksud yaitu: Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara,
Mengwi, Abiansemal, dan Petang. Ibukota kabupaten terletak di
Kecamatan Mengwi, dengan pusat pemerintahan terletak di Desa
Sempidi, Kecamatan Mengwi. Dilihat dari tingkat kemandiriannya,
seluruh desa/kelurahan di kabupaten ini tergolong kategori swa
sembada. Sedangkan dari segi karakteristik daerah, ada 26
desa/kelurahan tergolong klasifikasi daerah urban (perkotaan) dan
Bashori A. Hakim
186
36 selebihnya merupakan daerah rural (pedesaan). Berbeda
dengan berbagai daerah lain di Indonesia, wilayah Badung dan
seluruh wilayah Provinsi Bali yang lain selain terbagi menurut
administrasi pemerintahan, terbagi pula menurut wilayah/daerah
adat. Adapun pembagian wilayah adat untuk masing-masing
kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Kuta Selatan
memiliki 9 desa adat, Kecamatan Kuta 6 desa adat, Kecamatan
Kuta Utara 8 desa adat, Kecamatan Mengwi 38 desa adat,
Kecamatan Abiansemal 34 desa adat, serta Kecamatan Petang 27
desa adat (BPS Kabupaten Badung, 2010).
Di Kabupaten Badung, kasus-kasus terkait perselisihan
rumah ibadat terdapat di Kecamatan Kuta Utara (tiga kasus) dan
Kecamatan Kuta Selatan (satu kasus). Dengan demikian maka lokus
kajian ini lebih dikonsentrasikan di kedua kecamatan di atas.
Kecamatan Kuta Utara memiliki 6 desa/kelurahan, meliputi
3 kelurahan dan 3 desa dinas, dengan klasifikasi 4 desa/kelurahan
dalam kategori urban (perkotaan) dan 2 desa/kelurahan kategori
rural (pedesaan). Selain itu terdapat 8 desa adat, yaitu: Kerobokan,
Padonan, Tandeg, Canggu, Berawa, Tuka, Dalung dan
Padangluwih (BPS. Kabupaten Badung, 2010). Kecamatan Kuta
Selatan memiliki 6 desa/kelurahan, meliputi 3 kelurahan dan 3
desa dinas, dengan klasifikasi 3 desa/kelurahan kategori urban
(perkotaan) dan 3 desa/kelurahan kategori rural (pedesaan), serta 9
desa adat yaitu: Jimbaran, Tanjung Benoa, Tengkulung, Pecatu,
Ungasan, Kampial, Peminge, Bualu, dan Kutuh (BPS. Kabupaten
Badung, 2010).
Demografi
Penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2009 berjumlah
388.514 jiwa, terdiri atas 195.206 laki-laki dan 193.308 perempuan.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
187
Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,21 % dengan kepadatan
rata-rata 928 jiwa per km2. Jumlah kepala keluarga 95.553 dengan
rata-rata 4 jiwa setiap KK. Jumlah penduduk dilihat dari
kewarganegaraan, WNI sebanyak 388.242 jiwa dan WNA 272 jiwa.
Dilihat dari persebaran penduduk antar kecamatan,
Kecamatan Mengwi dihuni oleh penduduk terbanyak yaitu
108.469 jiwa atau 27,92 % dari jumlah seluruh penduduk
Kabupaten Badung. Kecamatan Abiansemal memiliki jumlah
penduduk terbanyak kedua, yaitu sebanyak 80.991 jiwa atau 20,85
%, dan Kecamatan Petang merupakan kecamatan dengan jumlah
penduduk terkecil yaitu 28.392 jiwa atau 7,31 % (BPS Kabupaten
Badung, 2010).
Persebaran penduduk di tiap kecamatan selengkapnya
dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut :
Tabel 1
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Badung
Tahun 2009 *)
No. Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Kuta Selatan 36.153 34.814 70.967
2. Kuta 20.202 19.133 39.335
3. Kuta Utara 30.407 29.953 60.360
4. Mengwi 53.753 54.716 108.469
5. Abiansemal 40.399 40.592 80.991
6. Petang 14.292 14.100 28.392
Jumlah 388.514
*) Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2010.
Mobilitas penduduk tahun 2009 meliputi penduduk
meninggal 648 jiwa laki-laki dan 546 jiwa perempuan, sedang
penduduk yang lahir 1.230 jiwa laki-laki dan 1.062 perempuan.
Sementara itu, penduduk yang datang berjumlah 2.691 jiwa laki-
Bashori A. Hakim
188
laki dan 3.302 perempuan, sedang penduduk yang pindah
berjumlah 925 jiwa laki-laki dan 1.372 jiwa perempuan.
Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi
Dalam rangka mencerdaskan masyarakat, dilakukan
pembangunan bidang pendidikan antara lain melalui peningkatan
sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang keberhasilan
bidang pendidikan. Di Kabupaten Badung sampai tahun 2009
terdapat 169 TK, 268 SD/MI, 47 SMP, 20 SMA, dan 16 SMK; dengan
jumlah siswa, TK 10.908 murid, SD/MI 57.906 murid, SMP 23.902
siswa, SMA 8.273 siswa, dan SMK 8.604 siswa.
Satu-satunya perguruan tinggi negeri di Kabupaten
Badung adalah Universitas Udayana, yang pada tahun 2009
memiliki jumlah mahasiswa sebanyak 17.386 orang. Perguruan
Tinggi lainnya adalah perguruan tinggi swasta sebanyak 4 buah,
yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Triatma Mulya, Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi BIITM Kuta Badung, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen
Dyana Pura, dan Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Triatmajaya.
Lebih dari dua pertiga wilayah Kabupaten Badung adalah
lahan pertanian. Pembangunan pertanian diupayakan untuk
peningkatan produktivitas dan diversifikasi tanaman untuk
kebutuhan pangan dan pelestarian lingkungan.
Kabupaten Badung yang letaknya bersebelahan dengan
Kota Denpasar, usaha akomodasi bagi para wisatawan baik
domestik maupun asing cukup maju, dengan tersedianya 94 hotel
bintang pada tahun 2009, hotel melati 455 buah, serta pondok
wisata 401 buah.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
189
Kehidupan Keagamaan
Penduduk Kabupaten Badung dilihat dari segi agama,
terdiri atas berbagai pemeluk agama. Penduduk beragama Hindu
menempati posisi mayoritas, yakni sebanyak 346.241 jiwa (89,12
%). Penduduk beragama Islam 29.242 jiwa (7,53 %), Budha 1.093
jiwa (0,28 %), Kristen Protestan 6.368 jiwa (1,64 %), dan Katolik
5.570 jiwa (1,43 %). Sementara itu belum ada data tentang
penganut agama Khonghucu di kabupaten ini. Untuk
melaksanakan peribadatan, masing-masing umat beragama
memiliki tempat peribadatan (bangunan suci). Tempat
peribadatan dimaksud berikut jumlah masing-masing adalah: pura
kahyangan tiga 354 buah, pura sad/dang kahyangan 11 buah,
pura kahyangan lainnya 1.411 buah; masjid 20 buah, mushalla 16
buah, gereja Kristen 43 buah, gereja Katolik 7 buah,
klenteng/vihara 5 buah.
Jumlah pemeluk agama perkecamatan pada tahun 2009
secara rinci dapat dilihat dalam tabel 2 berikut :
Tabel 2
Jumlah Penduduk Menurut Penganut Agama
Di Kabupaten Badung Tahun 2009 *)
Kecamatan Hindu Islam Budha Kristen
Protestan Katolik Jumlah
Kuta Selatan 60.736 8.415 210 931 675 70.967
Kuta 22.040 14.937 429 1.060 869 39.335
Kuta Utara 53.671 835 232 2.862 2.760 60.360
Mengwi 101.792 3.900 138 1.405 1.234 108.469
Abiansemal 80.027 809 20 110 25 80.991
Petang 27.975 346 64 - 7 28.392
Jumlah 346.241 29.242 1.093 6.368 5.570 388.514
*) Sumber: BPS Kabupaten Badung, 2010.
Bashori A. Hakim
190
Dari tabel di atas terlihat, di Kecamatan Kuta Utara
dengan jumlah penduduk 60.360 jiwa, sebagian besar penduduk
atau sekitar (88,90 %) terdiri atas umat Hindu, kemudian menyusul
umat Islam (1,39 %). Jumlah umat Kristen dan Katolik hampir
berimbang, sedangkan umat Buddha menempati posisi minoritas
yakni sekitar (0,39 %). Adapun tempat ibadat yang tersedia di
Kecamatan Kuta Utara meliputi: pura kahyangan tiga 18 buah,
pura sad/dang kahyangan 1 buah, pura kahyangan lainnya 101
buah, masjid 5 buah, mushalla 6 buah, gereja Kristen 8 buah,
gereja Katolik 4 buah (BPS. Kabupaten Badung, 2010).
Di Kecamatan Kuta Selatan dengan jumlah penduduk
70.967 jiwa, sebagian besar penduduk (85,59 %) terdiri atas umat
Hindu. Umat Islam menempati posisi kedua (11,86 %). Jumlah
umat Kristen dan Katolik hampir berimbang sedangkan jumlah
umat Buddha menempati posisi minoritas (0,29 %). Adapun
tempat ibadat yang tersedia di Kecamatan Kuta Selatan meliputi:
pura kahyangan tiga 27 buah, pura sad/dang kahyangan 4 buah,
pura kahyangan lainnya 97 buah, masjid 4 buah, mushalla 2 buah,
gereja Kristen 5 buah, gereja Katolik 1 buah, klenteng/vihara 2
buah (BPS. Kabupaten Badung, 2010).
Di Kabupaten Badung, kesadaran untuk bersama-sama
menjaga dan memelihara kerukunan serta kedamaian dalam
kehidupan bermasyarakat sudah berlangsung sejak lama.
Kesadaran tersebut semakin menguat setelah terjadi pergolakan
politik di Indonesia tahun 1998 yang menimbulkan konflik sosial
bahkan muncul pula konflik yang berbau SARA terjadi di seluruh
wilayah di Indonesia. Situasi ini dianggap bisa merusak kerukunan
yang sudah terjaga dengan baik selama ini. Oleh karena itu, para
tokoh/pimpinan lembaga/majelis agama yang ada di Bali dalam
beberapa kali pertemuan menyepakati untuk membicarakan
perlunya sebuah wadah yang dapat dipakai untuk menjembatani
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
191
komunikasi masing-masing komponen dalam masyarakat dengan
cepat dan tepat.
Atas saran Bupati Badung dan didorong oleh kebutuhan
bersama para pimpinan agama untuk menjaga kerukunan dan
kedamaian di Badung, maka dibentuk Forum Komunikasi Antar
Umat Beragama (FKAUB) ditetapkan dengan SK Bupati Badung No.
2642 A tertanggal 27 Desember 1999. Keberadaan FKAUB
ditangani oleh Bagian Sosial Sekretariat Daerah Kabupaten
Badung. Setelah Bagian Sosial dilikuidasi tahun 2000, FKAUB
ditangani Dinas Sosial, dan tahunn 2001 ditangani Dinas
Kebudayaan Kabupaten Badung sampai dikeluarkan SK Bupati
tentang perubahan menjadi Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Tahun 2008.
FKUB memiliki visi sebagai mitra terdepan pemerintah
dalam membangun kerukunan umat beragama di Kabupaten
Badung. Adapun misinya, pertama memelihara kerukunan intern
dan antar umat beragama, kedua memberdayakan FKUB, ketiga
memfasilitasi pendirian rumah ibadat sesuai kebutuhan nyata dari
umat dengan memperhatikan situasi dan kondisi lingkungan.
Terpeliharanya kerukunan antar umat beragama di Bali,
khususnya Kabupaten Badung antara lain juga adanya dukungan
kearifan lokal Bali seperti, menyama braya/pasiddhikaran yaitu
budaya hidup bersama sebagai satu saudara. Prinsip dan
semangat menyama braya ini sudah menjadi komitmen bersama
masyarakat Bali bahwa di atas segala-galanya komunikasi menjadi
penting. Melalui komunikasi, kerukunan dan selanjutnya
kerjasama bisa ditingkatkan.
Bashori A. Hakim
192
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
193
KASUS-KASUS RUMAH IBADAT
Kasus-kasus Perselisihan Rumah Ibadat
Di Kabupaten Badung dan Provinsi Bali pada umumnya,
“mushalla” yang menurut PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 tidak
termasuk kategori rumah ibadat dan masuk kategori tempat
ibadat keluarga (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, 2010 : 62-63), ternyata dalam
kenyataan masyarakat Bali mushalla dianggap dan diberlakukan
sebagaimana masjid. Rupanya dalam kaitannya dengan tata-
aturan rumah ibadat masyarakat Bali lebih mendasarkan kepada
peraturan daerah (perda) dibanding dengan PBM No. 9 & 8 Tahun
2010. Menurut Perda Provinsi Bali yang tertuang dalam Keputusan
Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 tentang Prosedur dan
Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadat di
Wilayah Provinsi Bali, dalam Pasal 2 Ayat (1) dinyatakan bahwa
pembangunan tempat-tempat ibadat (pura, masjid, mushalla,
langgar, surau, gereja, kapela, pos pelayanan iman, vihara, cetya) di
wilayah Provinsi Bali harus mendapat ijin tertulis dari Gubernur Bali
(Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003).
Melihat realita demikian, maka dalam kajian kasus tentang
perselisihan rumah ibadat di Badung, “mushalla” – yang menurut
Bashori A. Hakim
194
PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 merupakan tempat ibadat keluarga –
juga menjadi bagian yang dikaji.
Di Kabupaten Badung, berdasarkan penuturan beberapa
informan terdapat beberapa kasus terkait perselisihan rumah
ibadat, yakni di Kecamatan Kuta Utara terdapat 3 kasus dan di
Kecamatan Kuta Selatan terdapat 1 kasus.
1. Kasus Perselisihan Rumah Ibadat Di Kecamatan Kuta Utara
a. Kasus Mushalla At-Taqwa
Mushalla At-Taqwa berada di bawah Yayasan Budi
Santosa, terletak di Jalan Bidadari II D, Desa Kerobokan, Kecamatan
Kuta Utara, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Mushalla tersebut
pertama dibangun tahun 1996 di atas tanah kaveling seluas 200
m2 dan telah diperluas/ditambah dengan luas tanah dan
bangunan menjadi 400 m2. Saat ini tanah yayasan telah
bertambah luasnya menjadi 750 m2, dengan perincian 400 m2
untuk bangunan mushalla dan 350 m2 untuk parkir.
Menurut penuturan beberapa informan dari unsur
pengurus mushalla, pada tahun 1993/1994 Yayasan Darmasanti
menyelenggarakan shalat Jumat dengan memasang tenda biru di
tanah kosong yang belum dimanfaatkan untuk dibangun
bungalow. Selama kurang lebih dua tahun berjalan, tanah tersebut
akan digunakan/dibangun sehingga kegiatan shalat Jumat harus
segera dipindahkan. Dengan dana terbatas dari jamaah,
sementara harus segera pindah maka dicari tanah yang terjangkau
harganya; dan diperoleh tanah kaveling di tengah sawah dengan
luas 200 m2 milik warga setempat dan telah dijual kepada seorang
pengusaha kaveling tanah.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
195
Selanjutnya, tanah tersebut dibeli Yayasan Darmasanti dan
langsung dibangun mushalla bekerjasama dengan Bank Dagang
Bali. Pada saat itu pula nama yayasan diminta untuk diubah dan
kemudian diganti dengan nama Yayasan Budi Santosa. Bangunan
mushalla seluruhnya dalam bentuk bangunan permanen, dan
pada saat ini mushalla tersebut dapat menampung sekitar 600
jamaah shalat Jumat.
Mushalla tersebut digunakan utamanya untuk shalat
Jumat. Kegiatan lainnya di bidang pendidikan yaitu TPA/TPQ,
majelis taklim kaum bapak, dan majelis taklim kaum ibu. Di bawah
Yayasan Budi Santosa juga mengadakan kifayah yaitu
perkumpulan kematian.
Kronologi timbulnya kasus mushalla di atas secara singkat
adalah, bahwa sejak pergantian pejabat klian dinas pada awal
tahun 2010, pengurus mushalla didatangi pejabat tersebut
meminta agar mengurus ijin pendiriannya. Perselisihan di sini
lebih kepada masyarakat non Muslim yang diwakili klian dinas
mempermasalahkan keberadaan mushalla yang belum memiliki
ijin (IMB). Masyarakat juga pernah akan melakukan demo, tetapi
tidak jadi dilakukan karena saling kenal baik antar mereka.
Puncaknya, pada bulan Februari 2010 ada SMS dari
seseorang ke Polda Bali, isinya pemberitahuan akan ada demo
tanggal 26 Februari jam 13.00 di Mushalla At-Taqwa Jl. Bidadari II D
No. 11 Br. Mertanadi, Kerobokan Klod Kuta Utara oleh warga non-
Muslim sekitar mushalla sekitar 60 orang dipimpin W dan M dalam
rangka menolak keberadaan mushalla tersebut karena tidak
mempunyai IMB dan pendiriannya dianggap tidak memenuhi
persyaratan jumlah warga Muslim yang tinggal di sekitar mushalla;
dan pada saat pendirian mushalla tersebut tahun 1998 warga
sekitar mushalla/penyanding tidak setuju, namun Kaling yang dulu
atas nama N menyetujui karena pada waktu itu ada kakak dari
Bashori A. Hakim
196
Kaling tersebut duduk sebagai anggota dewan sehingga pendirian
mushalla tersebut diijinkan. SMS tersebut diteruskan ke MUI dan
sampai ke pengurus mushalla. Pada hari H ancaman demo, telah
berdatangan aparat Polda ke lokasi mushalla. Ternyata hal itu
hanya issu karena orang yang disebutkan akan memimpin demo
tidak tahu menahu hal itu.
Menurut penuturan beberapa unsur pengurus mushalla,
teguran untuk mengurus ijin dan ancaman penolakan terhadap
keberadaan mushalla terutama dilakukan ketua klian dinas,
disebabkan desakan dari sebagian anggota masyarakat dalam hal
ini pemilik bungalow dan penghuninya yang merasa terganggu
dengan kemacetan kendaraan saat jamaah pulang shalat Jumat.
Pengurus mushalla telah berupaya mengurus perijinan, antara lain
memenuhi persyaratan pendirian rumah ibadat, menghimpun
tanda tangan umat pemeluk Islam/penduduk Muslim dewasa
telah terpenuhi lebih 90 orang dan dukungan penduduk setempat
sekitar mushalla telah terkumpul 30 orang. Ketua mushalla aktif
melakukan pendekatan dengan berbagai elemen masyarakat
termasuk para pemuda, sehingga hubungan antar mereka cukup
baik.
b. Kasus Mushalla Nurul Hikmah
Mushalla ini terletak di Perumahan Dalung Indah, Desa
Dalung, Kecamatan Kuta Utara. Mushalla dibangun pada sekitar
tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pada
beberapa tahun yang lalu –setelah dikeluarkannya PBM No. 9 & 8
Tahun 2006– akan diadakan renovasi bangunan, ternyata terdapat
reaksi dari pihak aparat Pemda Badung. Pihak Satpol PP
Kabupaten Badung mendatangi lokasi mushalla dan
memerintahkan kepada Pengurus Mushalla Nurul Hikmah agar
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
197
menghentikan rencana renovasi bangunan mushalla. Pihak
pengurus mushalla diminta memproses pengurusan IMB Mushalla
Nurul Hikmah terlebih dahulu sebelum melakukan renovasi
bangunan mushalla. Demikian penuturan beberapa Pengurus
Mushalla Nurul Hikmah. Pengurus mushalla merasa kesulitan jika
memproses pengurusan IMB, karena di samping mushalla telah
relatif cukup lama dibangun, untuk pengurusan IMB harus
memenuhi persyaratan-persyaratan pendirian rumah ibadat
sebagaimana diatur dalam Pergub Provinsi Bali Tahun 2003 dan
PMB No. 9 & 8 Tahun 2006.
Sekalipun ada kasus penyetopan renovasi bangunan
mushalla oleh Satpol PP Kabupaten Badung dan kesulitan
pengurusan IMB, namun aktivitas peribadatan di Mushalla Nurul
Hikmah hingga saat penelitian ini dilakukan, masih tetap berjalan
seperti waktu-waktu sebelumnya tanpa ada gangguan dari pihak
lain.
c. Kasus Rencana Pendirian Mushalla
Yayasan al-Hikmah di Perumahan Dalung Permai,
Kelurahan Kerobokan Kaja, Kecamatan Kuta Utara, pada tahun
2002 merencanakan membangunan sebuah mushalla. Melalui
panitia pengadaan tanah, dibelilah tanah dari developer seluas 4
are (400 m2). Semula tanah tersebut oleh developer disediakan
untuk fasum dan direncanakan untuk membangun ruko. Karena
telah dibeli oleh Yayasan al-Hikmah, maka pada tahun 2006 areal
tanah itu dipergunakan oleh warga Muslim setempat untuk
tempat salat Taraweh, salat Idul Adha dan tempat aktivitas
pemotongan hewan qurban. Dalam proses selanjutnya, warga
Muslim setempat –melalui Yayasan al-Hikmah– areal tanah yang
sudah dibeli itu akan dibangun mushalla dan tempat pengajian –
Bashori A. Hakim
198
majelis taklim– pada tahun 2007 mulai dipagar. Namun kegiatan
pemagaran tersebut ditolak oleh warga Hindu setempat, dengan
alasan bahwa tanah tersebut diperuntukkan sebagai fasum, untuk
membangun ruko. Namun berkat pendekatan kepada warga
Hindu setempat yang dilakukan oleh unsur pengurus Yayasan al-
Hikmah, lambat laun pemagaran tersebut dapat dilanjutkan. Kini
lahan tanah tersebut oleh warga Muslim sekitar dipergunakan
untuk tempat pengajian bapak-bapak/ibu-ibu dan kaum remaja,
tanpa dibangun bedeng atau sejenisnya dan hanya dengan lantai
tanah dipasang tenda setiap akan dipergunakan untuk tempat
pengajian. Yang pasti, rencana pembangunan mushalla
diurungkan hingga kini.
2. Kasus Perselisihan Rumah Ibadat Di Kecamatan Kuta Selatan
Di Kecamatan Kuta Selatan terdapat satu kasus
perselisihan rumah ibadat, yakni berupa kasus perselisihan
tentang “pemindahan bangunan” Mushalla Baitul Ummah yang
terletak di JL. Taman Griya Nusa Dua, Kelurahan Jimbaran,
Kecamatan Kuta Selatan. Mushalla dibangun oleh umat Islam
secara swadana pada tahun 2010, di atas tanah yang dibeli secara
swadaya oleh umat Islam setempat. Dengan dana seadanya,
mushalla dibangun sangat sederhana, yakni berupa “bedeng”
beratap seng, tiang bambu dan berlantai flor semen. Pada tahap
selanjutnya, pihak Pengurus Yayasan Baitul Ummah melalui Panitia
Pembangunan Mushalla merencanakan pemindahan bangunan
Mushalla Baitul Ummah yang bersifat sementara itu ke areal tanah
yang terletak di sebelah kiri mushalla dengan bangunan yang
permanen. Mulai awal tahun 2011 dengan dana yang relatif
terbatas Panitia Pembangunan Mushalla mulai merintis
pembangunan fondasi mushalla. Mengetahui hal itu kemudian
Satpol PP Kabupaten Badung mendatangi Pengurus Yayasan
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
199
Baitul Ummah dan Panitia Pembangunan Mushalla, meminta agar
menghentikan pembangunan mushalla tersebut dengan alasan
belum ada IMB, melangar ketentuan Perda Bali Nomor 4 Tahun
1974 tentang Bangunan. Menurut pengakuan unsur Pengurus
Yayasan Baitul Ummah, pihak Satpol PP Kabupaten Badung telah
berkali-kali mendatangi lokasi Mushalla Baitul Ummah dengan
maksud yang sama. Klimaksnya, pada tanggal 4 Pebruari 2011
pihak Satpol PP Kabupaten Badung meminta Pengurus Yayasan
Baitul Ummah –diwakili Kyt– untuk menandatangani surat
pernyataan yang isinya antara lain, pengakuan melakukan
pelanggaran ketentuan Perda No.4 tentang Bangunan, serta
bersedia menghentikan kegiatan di lokasi bangunan sampai
dengan dikeluarkannya IMB dari Dinas Cipta Karya Kabupaten
Badung.
Dengan adanya surat pernyataan di atas, maka hingga saat
penelitian ini dilakukan, pembangunan fondasi mushallah
tersebut dihentikan sementara, sambil menunggu proses
pengurusan IMB ke Pemda Badung. Untuk sementara ini umat
Islam setempat melakukan salat jamaah di bangunan sementara
berupa bedeng sebagaimana telah dipaparkan di atas.
A. Kasus-kasus Rumah Ibadat yang Tidak Menimbulkan
Perselisihan
Selain terdapat kasus-kasus perselisihan rumah ibadat
sebagaimana telah dipaparkan di atas, terdapat pula kasus-kasus
rumah ibadat yang tidak menimbulkan perselisihan.
Yang dimaksud dengan kasus-kasus rumah ibadat yang
tidak menimbulkan perselisihan di sini adalah rumah-rumah
ibadat yang proses pendirian/pembangunan atau renovasinya
tidak menimbulkan perselisihan, baik dari kalangan masyarakat
Bashori A. Hakim
200
setempat, Pemda, Kantor Kementerian Agama Kabupaten maupun
FKUB setempat, sekalipun tidak memenuhi prosedur pendirian
rumah ibadat sebagaimana ditetapkan dalam PBM No. 9 & 8 Tahun
2006. Adanya hubungan emosional ataupun hubungan baik
antara personal pengurus rumah ibadat dengan kepala
lingkungan/tokoh adat setempat serta unsur pejabat pemda,
tampaknya dapat mencairkan proses pendirian suatu rumah
ibadat atau penggunaan bangunan dengan cara alih fungsi untuk
tempat ibadat sekalipun prosedur pendirian/penggunaan rumah
ibadat tidak terpenuhi.
Rumah-rumah ibadat dimaksud adalah:
1. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB), didirikan di lingkungan
Banjar Pagending, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara. Gereja
yang dibangun pada tahun 2009 itu, pada saat proses
pembangunannya tak memiliki IMB, namun tidak timbul
perselisihan di kalangan masyarakat sekitar. Pihak Satpol PP
pun juga tidak mempersoalkan pembangunannya sekalipun
belum memiliki IMB;
2. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Jemaat Pelambingan,
terletak di Desa Canggun, Kecamatan Kuta Utara. Gereja yang
dibangun sekitar lima tahun yang lalu (tahun 2006) itu,
sekalipun tak ada IMB, namun pembangunannya tetap
berlanjut tanpa ada pihak yang memperselisihkan;
3. Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) Jemaat Abian Base, di
Banjar Gede, Kelurahan Abian Base, Kecamatan Mengwi. Gereja
yang dibangun di atas tanah “desa adat” itu ketika direnovasi
pada tahun 2005 juga tidak menimbulkan perselisihan dalam
masyarakat maupun pihak Pemda setempat, sekalipun tidak
memiliki IMB;
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
201
4. Empat gereja menggunakan bangunan ruko yang ada di
Sentral Parkir Kuta/Kuta Galika. Bangunan-bangunan ruko
tersebut dipergunakan secara alih fungsi oleh para pengurus
gereja untuk kegiatan peribadatan/kebaktian jemaatnya tanpa
melalui proses permohonan untuk memperoleh surat
keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan
gedung dari Pemda Kabupaten Badung. Keempat gereja
dimaksud adalah: 1) Gereja Bali Yewon Church, 2) Gereja Cina,
3) Gereja Injili Steven Chong, dan 4) Gereja Rock Kuta/Gereja
Betel Indonesia. Sekalipun keempat gereja tersebut
dipergunakan kegiatan kebaktian oleh jemaat masing-masing
gereja, namun tidak ada yang mempermasalahkan, baik kepala
lingkungan, pemerintah setempat ataupun masyarakat sekitar
ruko.
Dari kenyataan di atas mengindikasikan adanya dinamika
dalam persoalan rumah ibadat di Kabupaten Badung, antara lain
bahwa keberadaan (termasuk pendirian) rumah ibadat umat Islam
dan umat Kristiani di wilayah Badung tidak terlalu menjadi
persoalan bagi masyarakat (Hindu) sekitarnya, manakala
hubungan dan komunikasi antara pengurus rumah ibadat dengan
kepala lingkungan/para tokoh adat setempat terjalin dengan baik,
atau ada hubungan emosional seperti kekerabatan/persaudaraan
atau pertemanan. Sebaliknya, jika hubungan tidak harmonis atau
tidak terdapat hubungan persaudaraan, keberadaan maupun
pendirian rumah ibadat di atas mereka perselisihkan. Dengan
demikian, timbulnya perselisihan tentang keberadaan dan
pendirian rumah ibadat di atas menandakan adanya disharmoni
atau tidak adanya hubungan emosional antara komunitas-
komunitas tersebut.
Atas timbulnya kasus-kasus perselisihan rumah ibadat di
atas, baik Pemda Kabupaten Badung maupun FKUB belum
Bashori A. Hakim
202
melakukan penanganan sesuai fungsi masing-masing, karena
kasus perselisihannya baru sampai di tingkat lokal dan dapat
diatasi oleh pihak-pihak yang berselisih dan pejabat/pimpinan
adat di tingkat lokal. Terhadap kasus beberapa ruko di Sentral
Parkir Kuta yang dialih-fungsikan menjadi gereja (4 gereja), belum
ada upaya penertiban dari Pemda Kabupaten Badung. Demikian
penuturan dari berbagai kalangan, antara lain: unsur pemda, FKUB
Badung, serta pengurus beberapa rumah ibadat terkait.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
203
ANALISIS
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa rumah ibadat
adalah merupakan kebutuhan setiap komunitas umat beragama
untuk menunaikan ibadah/kebaktian secara bersama sesuai ajaran
agama yang mereka yakini. Keberadaan rumah ibadat di suatu
lingkungan komunitas agama merupakan simbol keberadaan
sekaligus eksistensi agama yang bersangkutan. Demikian penting
suatu rumah ibadat bagi suatu komunitas agama, karena di
antaranya menyangkut aspek simbol maupun eksistensi bagi
komunitas agama yang bersangtkutan, sehingga untuk
pengadaan/pendiriannya di suatu lingkungan masyarakat
“seringkali” mempengaruhi sikap emosional keagamaan terhadap
umat beragama yang bersangkutan. Akibatnya, pendirian rumah
ibadat tidak jarang menjadi pemicu timbulnya konflik antarumat
beragama, bahkan di kalangan internal umat beragama.
Kenyataan demikian sejalan dengan hasil identifikasi tentang
faktor-faktor yang memengaruhi kerukunan umat beragama yang
dilakukan Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama –melalui
salahsatu kajiannya- yang menyebutkan bahwa “pendirian rumah
ibadat” merupakan salah satu aspek dari faktor keagamaan yang
mempengaruhi kerukunan umat beragama.
Bashori A. Hakim
204
Dalam konteks itulah maka peran pemerintah menjadi
sentral, untuk mengatur tentang pendirian rumah ibadat dalam
upaya menangkal kemungkinan timbulnya konflik di kalangan
umat beragama yang diakibatkan oleh pendirian rumah ibadat.
Peran demikian tidak dapat dimaknai sebagai keikutsertaan
pemerintah “mencampuri” urusan internal suatu agama, tetapi
lebih sebagai peran “regulasi”.
Berkenaan dengan kebutuhan rumah ibadat bagi masing-
masing umat beragama di atas, di Provinsi Bali –termasuk di
dalamnya Kabupaten Badung– sejak dikeluarkan Perda Bali berupa
Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003 serta PBM No. 9 & 8
Tahun 2006 terutama terkait dengan pendirian rumah ibadat,
penambahan rumah ibadat bukanlah menjadi konsentrasi bagi
kalangan umat beragama, terutama umat beragama non-Hindu
(Hakim, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah Ibadat di Kota
Denpasar, Bali, 2010). Mereka mengaku sudah saatnya lebih
mengutamakan pembinaan umat, sedangkan pendirian rumah
ibadat mereka lakukan jika benar-benar mereka butuhkan.
Persyaratan pendirian rumah ibadat dalam kedua peraturan di atas
yang mereka rasakan sulit untuk dipenuhi, rupanya menjadi alasan
utama mereka, di samping keberadaan mereka di lingkungan
minoritas dari segi jumlah umat. Sekalipun kenyataan dalam
masyarakat tak berlaku tirani mayoritas-minoritas, namun kedua
peraturan di atas dirasakan sulit untuk dipenuhi oleh kalangan
umat minoritas.
Meskipun demikian, umat Islam dan Kristen sekalipun
merasakan ada kesulitan memenuhi persyaratan administratif,
namun ada penambahan rumah ibadat di beberapa kecamatan.
Penambahan pendirian rumah ibadat yang dilakukan, terkesan
seperti dipaksakan. Hal ini terindikasi dari pendirian beberapa
rumah ibadat yang proses pendiriannya tidak memenuhi
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
205
persyaratan administratif sebagaimana ditetapkan dalam Perda
Bali/Keputusan Gubernur Bali No.33 Tahun 2003 ataupun PBM No.
9 & 8 Tahun 2006, sekalipun pendiriannya tidak diperselisihkan.
Terdapatnya beberapa gereja Kristen yang pembangunannya
tidak memiliki IMB –tapi tetap dibangun dan tidak ada yang
mempersoalkan– seperti Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) di
Banjar Pagending, GKPB di Desa Canggun, serta GKPB di Banjar
Gede, menjadi penguat uraian di atas.
Timbulnya beberapa kasus tentang perselisihan rumah
ibadat di kalangan masyarakat Kabupaten Badung, kebanyakan
lebih pada persoalan regulasi, yakni tentang persyaratan IMB.
Kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul seperti, kasus
Mushalla at-Taqwa dan Mushalla Nurul Hikmah yang keduanya
terdapat di Kecamatan Kuta Utara serta Mushalla Baitul Ummah di
Kecamatan Kuta Selatan, yang digugat oleh Satpol PP maupun
Klian Dinas setempat karena tidak adanya persyaratan IMB,
menunjukkan bahwa aspek regulasi masih menjadi persoalan
sentral dalam pendirian rumah ibadat di kalangan masyarakat.
Sedangkan kasus rencana pendirian mushalla di Perumahan
Dalung Permai Kecamatan Kuta Utara yang akan menggunakan
areal tanah fasum/untuk rencana bangunan ruko, yang ketika
hendak dilakukan pemagaran areal tanah ditolak oleh warga –
Bali/Hindu– setempat, adalah lebih pada persoalan aspek sosial-
ekonomi, bahkan budaya setempat. Dapat dipahami, memang,
tanah yang sedianya diperuntukkan oleh developer untuk
bengunan ruko –sekalipun telah dibeli oleh Yayasan al-Hikmah–
kemudian hendak dibangun mushalla, pada awalnya mendapat
penolakan dari warga sekitar. Alasan warga setempat cukup
rasional karena mendasarkan kepada kepentingan yang lebih
umum yakni kepentingan ekonomi masyarakat luas, di samping
memang menyalahi prosedur tata bangunan. Terlepas dari alasan
Bashori A. Hakim
206
demikian, betapapun, unsur budaya terasa ikut serta mewarnai
menjadi pemicu penolakan, karena warga Muslim sekitar yang
akan menggunakan mushalla adalah terdiri atas para pendatang
yang pada umumnya dari Jawa. Dalam kasus ini, lagi-lagi faktor
komunikasi, hubungan baik dan pendekatan yang dilakukan oleh
Pengurus Yayasan al-Hikmah kepada tokoh masyarakat dan warga
setempat, menjadi hal yang penting. Buktinya, warga setempat
yang semula bersikap menolak terhadap pemagaran areal tanah di
atas, lambat-laun berubah sehingga pemagaran dapat dilanjutkan.
Timbulnya berbagai kasus di seputar rumah ibadat di
Kabupaten Badung sebagaimana dipaparkan di atas, baik yang
berupa perselisihan pendirian rumah ibadat maupun pendirian
rumah ibadat yang tidak menimbulkan kasus perselisihan, antara
lain akibat dari kurang maksimalnya sosialisasi PBM No. 9 & 8 di
kalangan masyarakat utamanya masyarakat bawah.
Sementara itu, posisi PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 atas
keberadaan Perda Bali berupa Keputusan Gubernur Bali No. 33
Tahun 2003 terutama yang menyangkut perihal pendirian rumah
ibadat –karena ada perbedaan pengaturan dalam hal yang sama–
apabila tidak segera diklarifikasi oleh pejabat yang berwenang,
dapat menimbulkan kerancuan dan tumpang-tindih dalam
pengaturan pendirian rumah ibadat.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
207
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berkut:
1. Perselisihan tentang pendirian rumah ibadat di Kabupaten
Badung, pada umumnya lebih pada persoalan regulasi,
terutama tidak adanya IMB; Tidak lengkapnya persyaratan
pembangunan tersebut sekaligus dijadikan sebagai momen
penertiban oleh aparat pemerintah daerah, dalam hal ini Satpol
PP. Sedangkan perselisihan lainnya, lebih pada aspek sosial-
ekonomi dan budaya. Di antara perselisihan yang timbul
tersebut dapat dicairkan melalui proses pendekatan dan
hubungan baik dengan pihak-pihak/aparat terkait serta
masyarakat yang memperselisihkan.
2. Baik pihak pemda maupun FKUB setempat belum berperan
melakukan penanganan secara proaktif terhadap kasus-kasus
perselisihan rumah ibadat yang timbul, karena kasus
perselisihannya baru sampai tingkat lokal dan dapat
diselesaikan/diatasi oleh pihak-pihak yang berselisih.
Bashori A. Hakim
208
3. Terdapatnya kasus-kasus rumah ibadat, baik yang
diperselisihkan maupun yang tidak diperselisihkan,
mengindikasikan kurang maksimalnya sosialisasi PBM No. 9 & 8
Tahun 2006 di Kabupaten Badung.
4. Adanya tumpang-tindih antara peraturan dalam Keputusan
Gubernur Bali N0.33 Tahun 2003 dengan PBM No. 9 & 8 Tahun
2006 terkait pendirian rumah ibadat, jika tidak segera
diklarifikasi dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaan
peraturan yang sama.
Rekomendasi
1. Sekalipun kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul di
kalangan masyarakat masih bertaraf lokal dan dapat diatasi
sendiri oleh pihak-pihak yang berselisih, kiranya pemda
maupun FKUB setempat sesuai tugas dan fungsi masing-
masing secara proaktif melakukan pemantauan terhadap
kasus-kasus perselisihan rumah ibadat yang timbul di
wilayahnya, dengan melakukan pembinaan agar kasus serupa
tidak timbul pada waktu mendatang. Pengenalan terhadap
aspek perselisihan yang timbul, apakah aspek regulasi ataukah
aspek sosial-ekonomi, budaya maupun aspek keagamaan, perlu
dilakukan, untuk bahan evaluasi sekaligus upaya antisipatif.
2. Untuk mengurangi timbulnya kasus di seputar rumah ibadat,
baik yang diperselisihkan maupun yang tidak oleh pihak aparat
ataupun masyarakat, perlu kiranya Pemda Kabupaten Badung
bersinergi dengan instansi dan lembaga terkait melakukan
sosialisasi PBM No. 9 & 8 secara terprogram dengan
mengikutsertakan unsur aparat terkait, para tokoh adat, tokoh
agama dan masyarakat sebagai peserta sosialisasi.
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
209
3. Untuk memperoleh kepastian dalam pelaksanaan peraturan
terkait dengan pendirian rumah ibadat, diharapkan Kanwil
Kementerian Agama Provinsi Bali bersama Pemda Bali atau
instansi yang berwenang segera mengupayakan klarifikasi
peraturan menyangkut tentang pendirian rumah ibadat dari
kedua peraturan yakni Keputusan Gubernur Bali No. 33 Tahun
2003 dan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006.
Bashori A. Hakim
210
Studi Kasus tentang Perselisihan tentang Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
211
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian –Suatu Pendekatan
Praktek- Jakarta, PT. Rineka Cipta, Edisi Revisi V.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Badung, 2010, Badung
Dalam Angka, Badung, Badan Pusat Statistik.
Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), 2011,
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia
2010,Yogyakarta, CRCS UGM.
Creswell, John W., Aris Budiman, et. All (Ed.), 2002, Research Design
–Qualitative & Quantitative Approaches, Pendekatan
Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cet.II.
Gubernur Bali, 2003, Keputusan Gubernur Bali, Nomor 33 Tahun
2003, Pemda Provinsi Bali, Bali.
Hakim, A., Bashori, 2010, Laporan Studi Kasus Pendirian Rumah
Ibadat di Kota Denpasar, Bali, Jakarta, Puslitbang Kehidupan
Keagamaan.
Moderate Moslem Society, 2011, Laporan Toleransi dan Intoleransi
Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta,
MMS, 2011.
Bashori A. Hakim
212
Moleong, J. Lexy, 2003, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung,
Rosdakarya .
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat,
Kemenag RI., 2010, Laporan Studi Kasus tentang Pendirian
Rumah Ibadat di Berbagai Daerah, Jakarta, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan.
------------- , 2010, Sosialisasi PBM & Tanya- Jawabnya “Edisi Tanya
Jawab yang Disempurnakan”, Jakarta, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan.
SETARA Institute, 2011, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 2010, Jakarta, Setara
Institute.
The Wahid Institute, 2011, Laporan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi, 2010, Jakarta, The
Wahid Institute.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
213
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
Oleh :Drs. Mursyid Ali
Drs. Mursyid Ali
214
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
215
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan sangat
beragam dalam berbagai aspek seperti suku, budaya, sosial,
agama dsb, kerukunan hidup umat beragama merupakan salah
satu persoalan yang sangat penting. Kerukunan harus senantiasa
dipelihara dan ditingkatkan oleh segenap lapisan dan kelompok
sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar proses
pembangunan berlangsung lancar sesuai dengan yang
diharapkan.
Kerukunan merupakan sesuatu yang sangat dinamis dan
senantiasa berubah. Tidak ada masyarakat yang terus selalu rukun
atau terus menerus konflik. Fluktuasi kerukunan dipengaruhi oleh
banyak faktor baik faktor agama seperti perbedaan paham
keagamaan, penyiaran agama, pembangunan rumah ibadat,
maupun faktor non-agama seperti kesenjangan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik.
Aktualisasi kelompok seharusnya tidak menjadi ancaman
bagi kelompok lain, bahkan dapat memberikan keuntungan bagi
kehidupan sosial, jika saja orang di dalamnya tetap mempunyai
pegangan dan keyakinan bersama sebagai satu bangsa. Proses
Drs. Mursyid Ali
216
demokrasi memberikan peluang kepada setiap kelompok untuk
mengungkapkan jatidirinya. Ada proses penyamaan dan
penyetaraan semua kelompok dalam ruang publik dan mengikis
diskriminasi. Semua orang bebas mengungkapkan keinginannya.
Namun bila kebebasan itu tidak terkendali, dapat “kebablasan”
dan mengundang perpecahan, termasuk perpecahan di kalangan
umat beragama.
Suasana kurang nyaman atau kurang rukun di lingkungan
umat beragama bisa disebabkan dan dipicu banyak faktor. Salah
satu faktor keagamaan yang tahun-tahun belakangan ini acapkali
mengganggu kondisi kerukunan umat beragama di berbagai
daerah adalah persoalan tempat ibadat. Kasus rumah ibadat ini
cukup bervariasi antara lain terkait dengan penolakan pendirian
rumah ibadat, penyalahgunaan, penertiban, perusakan, serta
penutupan rumah ibadat.
Untuk mengetahui secara lebih jelas dan mendapat
gambaran yang lebih lengkap dan utuh berkenaan dengan
berbagai kasus terkait rumah ibadat ini, khususnya yang terjadi di
kota Palangka Raya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
memandang perlu dilakukan penelitian tersendiri, terutama
menyangkut dengan beberapa pertanyaan penelitian berikut : 1)
Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat yang terjadi, dan mengapa
diperselisihkan; 2) Bagaimana peran pemerintah dalam
penyelesaian perselisihan; 3) Bagaimana peranan FKUB dalam
penyelesaian perselisihan; 4) Bagaimana respon masyarakat
setempat mengenai perselisihan rumah ibadat.
Untuk lebih jelasnya, beberapa pertimbangan yang
dijadikan alasan mengapa kajian tentang perselisihan rumah
ibadat ini dipandang penting dan perlu dilakukan antara lain :
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
217
Pertama, persoalan perselisihan rumah ibadat ini
merupakan salah satu isu penting terkait upaya perwujudan,
pemeliharaan, dan peningkatan kerukunan umat beragama.
Kedua, munculnya kasus perselisihan rumah ibadat di berbagai
daerah, bila berlangsung berlarut-larut dan tidak segera
diselesaikan, sangat potensial dapat mengganggu dan
menghambat upaya perwujudan kerukunan dan keutuhan
bangsa. Ketiga, untuk mengetahui duduk perkaranya secara lebih
jelas dan mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentang
perselisihan rumah ibadat ini, perlu dilakukan penelitian. Keempat,
beragam informasi dan temuan kajian ini diharapkan dapat
dijadikan tambahan masukan yang bermakna oleh jajaran
pimpinan Kementerian Agama dan pihak-pihak terkait dalam
penyusunan kebijakan, khususnya tentang kasus perselisihan
rumah ibadat dan masalah kerukunan pada umumnya di masing-
masing wilayah terkait.
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang dipaparkan di atas,
tujuan kajian ini meliputi : 1) Mengetahui perselisihan tentang
pendirian, penertiban atau penutupan rumah ibadat setempat dan
alasan diperselisihkan; 2) mengetahui peran pemerintah dalam
penyelesaian perselisihan; 3) Mengetahui peran FKUB dan majelis
agama dalam penyelesaian perselisihan; 4 ) Mengetahui respon
masyarakat terhadap perselisihan rumah ibadat.
Kegunaan Penelitian
Berbagai informasi dan kenyataan lapangan yang menjadi
temuan kajian ini, diharapkan akan menjadi masukan tambahan
Drs. Mursyid Ali
218
yang bermakna bagi jajaran pimpinan Kementerian Agama serta
pihak-pihak terkait dan berkepentingan lainnya dalam rangka
penyusunan kebijakan khususnya mengenai perselisihan rumah
ibadat dan upaya perwujudan kerukunan umat beragama. Selain
itu diharapkan dapat dijadikan informasi awal untuk lembaga atau
perorangan yang berminat melakukan kajian sejenis secara lebih
luas dan mendalam.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
219
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Administrasi Pemerintahan
Secara administratif pemerintahan, Kota Palangka Raya,
selain menyandang fungsi sebagai ibukota propinsi, merupakan
wilayah administrasi pemerintahan tingkat kota di lingkungan
Provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya ini terdiri dari
lima wilayah kecamatan. Masing-masing Kecamatan Pahandut,
Sabangau, Jekan Raya, Bukit Batu, dan Kecamatan Rakumpit, yang
meliputi 30 Kelurahan, 157 Rukun Warga (RW), dan sebanyak 642
Rukun Tetangga (RT).
Wilayah Kota Palangka Raya dibatasi oleh, di sebelah utara
dan timur Kabupaten Kali Mas; di sisi selatan bersebelahan dengan
Kabupaten Palang Pisau; dan di bagian barat bertetangga dengan
Kabupaten Katingan.
Secara keseluruhan Kota Palangka Raya mempunyai luas
wilayah 2678,51 km2, yang sebagian besar atau seluas 2485,75
km2 (92,8 %) merupakan kawasan hutan. Sisanya seluas 45,54 km2
(1,7%) perkampungan atau pemukiman, 42,86 km2 (1,67 %) sungai
dan danau, 12,65 km2 (0,5 %) tanah pertanian, 22,30 km2 (0,9 %)
merupakan areal perkebunan, dan lain-lain seluas 69,41 km2 (2,5
%).
Drs. Mursyid Ali
220
Jumlah penduduk Palangka Raya tercatat sebanyak
200.998 jiwa, terdiri dari penduduk perempuan sebesar 50,37 %
dan sebanyak 49,27 % laki-laki, dengan tingkat kepadatan
penduduk relatif rendah yakni sekitar hanya 75 orang per km2.52
Kehidupan Sosial
Di lingkungan Kota Palangka Raya, tercatat tidak kurang
dari sebanyak 272 organisasi sosial kemasyarakatan yang secara
garis besar dapat dikelompokkan dalam bentuk yayasan sebanyak
66 buah - organisasi keagamaan 43 buah – organisasi sosial 72
buah – LSM 33 buah – partai politik sebanyak 24 buah, dan
organisasi paguyuban sebanyak 34 buah.53
Organisasi kemasyarakatan (Ormas) tersebut merupakan
organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara
Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan,
profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan YME,
untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka
mencapai tujuan nasional dalam wadah NKRI yang berdasarkan
Pancasila ( UU Nomor : 8 Thn 1985).
Adapun fungsi Ormas-ormas ini meliputi ; a) wadah
penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; b) wadah
pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha
mewujudkan tatanan organisasi; c) wadah peran serta dalam
usaha menyukseskan pembangunan nasional; d) sarana penyalur
aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik
antaranggota dan antarormas, antarormas dengan organisasi
52 Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010 53 Daftar ORMAS, LSM, dan PARPOL, Badan Kesbang dan Linmas Kota Palangka
Raya, 2007.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
221
kekuatan politik, badan permusyawaratan/perwakilan rakyat, dan
pemerintah.
Sementara lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah
organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat,
warga negara RI secara sukarela atas kehendak sendiri dan
berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang
ditetapkan organisasi/ lembaga sebagai wujud partisipasi
masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat yang menitikberatkan kepada
pengabdian secara swadaya. Keberadaan LSM bertujuan supaya
kegiatannya bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan sejalan
dengan pembangunan di daerah, dalam lingkup pembangunan
nasional, serta berfungsi sebagai : 1) Wahana partisipasi
masyarakat guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat; 2) Wahana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan; 3) Wahana pengembangan kebudayaan
masyarakat; 4) Wahana pembinaan dan pengembangan
anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi/lembaga.
Berkenaan dengan kehidupan sosial politik di Palangka
Raya tercatat sebanyak 24 partai politik yang berkiprah dalam
pemilihan umum. Berdasarkan hasil pemilu 2009 di Kota Palangka
Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) meraih
dukungan suara terbesar pertama. Disusul di urutan kedua dan
ketiga partai Demokrat dan partai Golkar. Untuk anggota DPRD
Kota Palangka Raya, komposisinya sebagai berikut: PDIP sebanyak
empat orang, partai Demokrat tiga orang, Golkar tiga orang, PAN,
PKS, Gerindra, masing-masing dua wakil. Selebihnya Hanura, PKPI,
PKB, PDP, PPP, PDS, PBB, PBR, dan Partai Buruh, masing-masing
memperoleh seorang anggota DPRD.
Drs. Mursyid Ali
222
Budaya
Selanjutnya bila ditinjau dari sisi etnis, etnis Dayak
merupakan etnis terbesar di Palangka Raya dan Kalteng. Sensus
penduduk tahun 2000, mencatat sekitar 43 persen, penduduk
setempat berasal dari etnis Dayak (Ngaju, Sampit, Bakumpai,
Katingan, dan Mayan). Selebihnya sekitar 24 persen etnis Banjar, 18
persen etnis Jawa, dan sisanya Batak, Madura, Minang, dan
Tionghoa. Untuk menopang hidup kesehariannya, etnis Dayak
banyak berkiprah sebagai pejabat/pegawai dan petani. Etnis
Banjar, selain sebagai pegawai, bersama dengan etnis Tionghoa
dominan di bidang perdagangan. Sedangkan etnis Jawa banyak
berkiprah di bidang pertanian, pegawai dan perdagangan.
Menurut Musni Umberan dkk 54, dalam masyarakat Dayak
rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan saling memiliki masih sangat
kental karena diikat dalam hubungan darah atau garis keturunan
(genealogis). Ikatan genealogis ini mewujudkan rasa hormat,
kesetiaan, solidaritas dan kerukunan dalam masyarakat.
Masyarakat Dayak diikat oleh norma dan aturan (adat) yang
dijadikan pedoman hidup, bertidak dan berperilaku, serta
mengikat setiap anggota. Kebersamaan, saling memiliki, saling
menolong, serta memelihara keselarasan, merupakan konsep
dasar hidup masyarakat Dayak yang harus diwariskan secara
turun-temurun. Mikhail Coomans55 menuturkan bahwa orang
Dayak menerima hidup yang dikaruniakan kepadanya. Dunia ilahi
sudah mengatur hidup ini. Dengan mematuhi adat yang diberikan
nenek moyang, hidup ini akan berkembang, diperkuat, dilindungi,
dan diperkaya. Manusia harus mengembangkan, memelihara, dan
54 Depdikbud, Konsep Pemujaan Masyarakat Dayak, 1997. 55 Mikhail Coomans, Manusia Daya, Gramedia, 1987
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
223
melindungi hidupnya dengan menuruti contoh yang diberikan
nenek moyang seperti yang diuraikan dalam mitos-mitos.
Dalam pemikiran orang Dayak, kehidupan mengambil
perhatian utama. Rintangan tertentu yang mengancam hidup
dapat mereka atasi sendiri. Tetapi terhadap rintangan lain yang
disebabkan dunia ilahi, mereka tak berdaya. Di balik segala
kejadian itu mereka melihat roh-roh, atau nenek moyang yang
menghukum atau suka menngganggu. Hal itu dapat dipulihkan,
diamankan dan dinetralisir melalui upacara-upacara sakral. Setelah
segala kehidupan diatur melalui hukum adat, roh tertinggi
mengasingkan diri di tempat khusus yang menjadi tujuan dan
jalan bagi arwah orang yang meninggal. Cakra peredaran hidup
mulai dan berakhir pada roh tertinggi itu.
Dengan mentaati adat dan teladan nenek moyang, maka
hidup akan terjamin baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Pandangan eskatologis orang Dayak berharap akan dipersatukan
kembali dengan kaum kerabat yang telah meninggal dan dengan
nenek moyangnya. Harapan itu sangat kental, sehingga sikap ini
menjadi hambatan untuk pindah agama lain (Fridolin Ukur).
Kehidupan Agama
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk
masyarakat Palangka Raya agama merupakan kebutuhan dasar
dan mempunyai makna sentral dalam perjalanan hidupnya.
Sebagai salah satu acuan hidup, agama dijadikan pedoman utama
dalam upaya aktualisasi jati diri dan berperilaku dalam kehidupan
sosial keseharian, serta menyatu dengan norma-norma sosial
budaya lokal. Secara teoritis agama berisi seperangkat nilai yang
berpengaruh sebagai pegangan moral yang dapat mengendalikan
dan membatasi tindak-tanduk para pemeluknya. Para pemeluk
Drs. Mursyid Ali
224
agama berupaya agar perilakunya selalu sesuai dengan pesan dan
nilai-nilai agama yang dianutnya menuju suatu kehidupan yang
sejahtera lahir-bathin, penuh kedamaian dan keselamatan.
Seperti halnya masyarakat di berbagai perkotaan,
masyarakat Kota Palangka Raya termasuk masyarakat yang
majemuk, baik dari segi sosial, budaya, etnis, maupun keyakinan
agama. Dilihat dari sisi komposisi penduduk menurut agama, di
kota Palangka Raya pada tahun 2009, tergambar bahwa sebagian
besar yakni sekitar 59,61 % penduduk setempat beragama Islam.
Sisanya sebanyak 31,51 % Protestan, 5,01 % Katolik, 3,30 % Hindu,
dan sebanyak 0,57 % beragama Buddha.
Untuk lebih jelas dan terinrinci bisa disimak lewat tabel 1 di
bawah ini.
Tabel 1
Prosentase Jumlah Penduduk Palangka Raya
Menurut Agama Tahun 2009
No. Agama Frekuensi Prosentase (%)
1. Islam 104.400 59,61
2. Protestan 55.195 31,51
3. Katolik 8.773 5,01
4. Hindu 5.776 3,30
5. Budha 1.005 0,57
Jumlah 175.146 100,00
Sumber : Kantor Kementerian Agama Palangka Raya, Th. 2010
Catatan : Pemeluk Kong Hu Chu, tidak ada data.
Jumlah rumah ibadat untuk masing-masing kelompok
agama di lingkungan Kota Palangka Raya meliputi: bagi kelompok
Muslim tersedia 138 masjid, Protestan 119 gereja, Katolik sebanyak
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
225
11 gereja, Hindu 14 pura, dan kelompok Buddha memiliki 4 buah
vihara.
Tabel 2
Jumlah Rumah Ibadat di Kota Palangka Raya Tahun 2009
No. Agama Rumah
Ibadat
Prosentase (%)
1. Islam 138 Masjid 48,25
2. Protestan 114 Gereja 41,60
3. Katolik 11 Gereja 3,85
4. Hindu 14 Pura 4,90
5. Budha 4 Vihara 1,40
Jumlah 286 100,00
Dari Tabel 1 dan 2 di atas, bila dibandingkan presentase
pemeluk agama dengan prosentase rumah ibadat masing-masing
kelompok, terlihat bahwa prosentase masjid yang tersedia bagi
kelompok Muslim (48,25 %) lebih sedikit dari prosentase penganut
agama Islam (59,61 %). Begitu juga dengan kelompok Katolik yang
prosentase penganutnya sebesar 5,01% - prosentase rumah
ibadarnya lebih kecil yakni 3, 85 %.
Sementara kelompok Protestan (Kristen) yang prosentase
pemeluk sebanyak 31,51 % - memiliki rumah ibadat lebih banyak
yaitu sebesar 41,60 % dari jumlah rumah ibadat secara
keseluruhan di Palangka Raya. Kelompok Hindu yang prosentase
penganutnya sebesar 3,30 % berbanding dengan prosentase pura
sebesar 4,90 %. Sedangkan kelompok Buddha dengan prosentase
penganut sebanyak 0,57 % berbanding dengan vihara yang
dimiliki sebesar 1,40 %.
Drs. Mursyid Ali
226
Selanjutnya mengenai berbagai organisasi keagamaan di
lingkunan Kota Palangka Raya terdapat skitar 46 organisasi yang
berkiprah di bidang keagamaan yang tercatat di pemda setempat.
Di lingkungan kelompok Muslim setempat terdapat dua
ormas yang relatif besar pengaruhnya. Pertama, Nahdlatul Ulama
(NU) yang banyak berkiprah di bidang dakwah, pembinaan agama,
pendidikan dan politik melalui pondok pesantren, madrasah,
tempat ibadat, majelis taklim, kelompok yasinan/tahlilan dan
lembaga sosial lainnya. Kedua, kelompok Muhammadiyah dengan
beragam aktivitasnya di bidang pendidikan, kesehatan, sosial
ekonomi, melalui lembaga pendidikan tingkat dasar sampai
perguruan tinggi, rumah sakit/klinik, panti asuhan, koperasi, dan
usaha lain di sektor jasa.
Selain itu ada sejumlah organisasi kelompok kawula muda
seperti HMI – PMII dan IMM yang aktif dalam pembinaan
(kaderisasi) generasi muda, diskusi dan dialog tentang iptek, sosial
dan politik.
Agak mirip dengan Muhammadiyah, kelompok Kristen dan
Katolik setempat berkiprah dalam pembinaan jemaat, penyiaran,
pendidikan, dan sosial melalui organisasi gereja, lembaga
pendidikan, klinik, panti asuhan dan diskusi berkala.
Sementara kelompok Hindu dan Buddha, secara umum
aktivitasnya relatif terbatas, lebih bersifat internal seperti
pembinaan agama anggota, dan peringatan hari besar
keagamaan. Selain jumlah penganutnya memang relatif sedikit.
Kedua kelompok ini terkesan lebih berorientasi pada konsolidasi
internal dan tidak membawa misi ke luar kelompok.56
56 Wawancara dengan pengurus FKUB setempat.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
227
HASIL KAJIAN
A. Kasus Rumah Ibadat
Berdasarkan laporan Kementerian Agama dan Kesbang
Linmas serta penuturan para tokoh ormas keagamaan setempat,
secara umum tradisi kehidupan keagamaan di Kota Palangka Raya
di tahun-tahun belakangan sampai sekarang, semuanya berjalan
normal, tidak banyak hambatan atau gangguan. Masing-masing
kelompok dapat melaksanakan aktivitas keagamaan dan
peribadatannya tanpa gangguan berarti. Tidak ada kasus atau
konflik bernuansa agama, termasuk kasus rumah ibadat secara
terbuka yang melibatkn massa atau kelompok-kelompok
keagamaan secara luas.
Kondisi kehidupan keagamaan yang relatif kondusif
tersebut, menurut penuturan para pejabat terkait serta pimpinan
majelis-majelis agama setempat antara lain karena makin tumbuh
dan meningkatnya kesadaran dan saling pengertian
antarkelompok masyarakat dan agama. Masyarakat setempat
tentu saja banyak mengambil hikmah dan pelajaran dari
kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam yang sempat
memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang
merugikan semua pihak. Para tokoh masyarakat, agama, dan
pejabat setempat nampaknya telah wanti-wanti dan tidak akan
Drs. Mursyid Ali
228
serampangan bersikap dan bertindak. Dalam penyelesaian
berbagai persoalan yang muncul lebih banyak menggunakan
pendekatan kearifan lokal melalui dialog dan musyawarah secara
kekeluargaan antar pihak-pihak terkait bersama pemerintah
setempat.
Walaupun tidak ada konflik keagamaan termasuk kasus
rumah ibadat secara terbuka dan mengganggu kerukunan, namun
beberapa peristiwa dan kasus-kasus kecil yang bersipat temporer,
mudah diselesaikan, khususnya yang terkait rumah ibadat, sesekali
bisa saja muncul seperti kasus berikut ini :
1. Kasus Penyalahgunaan Tempat Tinggal Menjadi “Rumah
Ibadat”
Atas dasar izin Kantor Wilayah Kementrian Agama (Bimas
Kristen) setempat, sebuah rumah tinggal di Kecamatan Jekan
Raya Kota Palangka Raya, digunakan sebagai tempat
ibadat/kebaktian (2010). Karena dipandang tidak sesuai dengan
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, dan dapat mengganggu
suasana lingkungan, masyarakat sekitar mengajukan protes dan
keberatan. Kemudian melalui proses beberapa kali dialog dan
pertemuan yang bersifat kekeluargaan, yang melibatkan para
tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pejabat pemerintah
setempat, rumah tinggal yang dijadikan tempat kebaktian
tersebut ditutup. Pemda dan tokoh agama menyarankan
kepada kelompok Kristen agar membangun gereja di tempat
lain mengingat kondisi wilayah sangat memungkinkan, banyak
lahan kosong, dengan mengikuti prosedur yang berlaku.
(Wawancara dengan FKUB dan Kesbang Linmas).57
57 Laporan FKUB Propinsi Kalteng dan Wawancara dengan Pejabat Kesbang
Linmas
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
229
2. Penyalahgunaan Sarana Publik Menjadi Tempat Ibadat
Kasus sejenis di atas juga terjadi dalam bentuk penyalahgunaan
ruang hotel, restoran “Dian Wisata” Palangka Raya (2010)
sebagai tempat ibadat mingguan. Atas dasar protes dan
kesepakatan bersama pihak-pihak terkait ; pemilik hotel, tokoh
agama, dan masyarakat setempat, akhirnya tempat kebaktian
tersebut dilarang oleh Walikota. (Wawancara dengan Kesbang
Linmas).
3. Pembangunan Mushalla
Pembangunan Mushalla di komplek perumahan di Kecamatan
Jekan Raya (2010) pada mulanya diprotes oleh kelompok non-
Muslim sekitar karena tidak sesuai dengan aspirasi lingkungan.
Namun setelah melalui proses permusyawaratan yang bersifat
kekeluargaan (kearifan lokal), yang melibatkan tokoh agama,
kelompok paguyuban dan aparat Pemda setempat, akhirnya
disepakati bahwa mushalla tersebut dapat dibangun dan
difungsikan, atas dasar pertimbangan – selain mushalla itu
bukan mesjid – terpeliharanya kerukunan umat beragama harus
diutamakan. (Wawancara dengan FKUB Palangka Raya).
4. Kesepakatan tidak perlu dibangun fasilitas umum untuk
memelihara kelestarian lingkungan, keamanan, ketertiban,
kenyamanan, dan kerukunan warga, di salah satu tempat
permukiman (perumahan) di Kecamatan Menteng, Palangka
Raya, penduduk setempat bersepakat di lingkungan
perumahan mereka tidak perlu dibangun fasilitas umum seperti
pertokoan (mall), rumah ibadat, sekolah-sekolah dan lainnya.
(Wawancara dengan FKUB Palangka Raya).
Drs. Mursyid Ali
230
B. Peran Pemerintah Daerah
Kepala Badan Kesbang Linmas dan Pol Kalimantan Tengah,
Rugini menuturkan bahwa pemerintah Kalteng dengan segenap
aparatnya berkomitmen untuk berupaya secara serius agar tidak
ada kekerasan dan tindakan anarkhis di Kalteng serta berupaya
meningkatkan kerukunan, kedamaian, harmonisasi, integritas,
dalam kehidupan masyarakat.58
Belajar dari pengalaman masa silam (kasus Dayak – Madura),
masyarakat Kalteng sekarang ini tidak mudah terprovokasi dengan
isu agama dan suku, antara lain karena filosofi huma betang yang
sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Dayak dan warga
setempat lainnya. Dalam filosofi huma/rumah betang tersebut
terdapat sejumlah kepala keluarga yang terdiri dari berbagai suku
dan agama, namun bisa hidup tenteram, penuh toleransi,
kebersamaan dan kerjasama.
Dari sisi lain menurut Rugini, sejak leluhur sampai saat ini,
masyarakat setempat mudah diatur, patuh pada pimpinan,
penurut dan mudah mengalah, sehingga cukup susah bila ada
orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk menghasut dan
memecah-belah persatuan masyarakat yang sudah ada. Meskipun
demikian, kesabaran masyarakat Dayak pasti ada batasnya, jangan
dipojokkan terus. Kalau terus dipojokkan mereka bangkit dan
bertekad mempertahankan diri serta membela martabat serta
kehormatannya.
Selanjutnya Gubernur Teras Narang59, meminta semua pihak
agar jangan sampai terjadi kekerasan dan tindakan anarkhis
berkaitan dengan kerukunan dan kedamaian masyarakat
58 Harian Tabengan, 23 Februari, 2011, hal. 4. 59 Harian Tabengan, 23 Februari, 2011.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
231
setempat. Hal ini sudah menjadi komitmen Pemda dan segenap
jajarannya. Kepada masyarakat pendatang, Gubernur berharap
agar dapat hidup bersama, seiring-sejalan dan menyesuaikan diri
dengan masyarakat setempat. Masyarakat Kalteng diminta
bersama-sama menjaga ketenteraman, keamanan dan kerukunan
hidup bermasyarakat. Hindari kekerasan dan main hakim sendiri,
namun lebih mengutamakan toleransi, dialog, dan musyawarah
dalam mencari solusi suatu permasalahan.
Terkait dengan berbagai persoalan tentang kerukunan,
termasuk kasus perselisihan rumah ibadat menurut Kakanwil
Kemenag Kalteng, Pemda telah menggariskan: 1) Menyediakan
fasilitas kantor dan anggaran bagi FKUB; 2) melakukan dialog dan
coffee morning secara berkala; 3) Monitoring kasus-kasus melalui
instansi terkait; 4) Meningkatkan fungsi dan peran peranata lokal
seperti lembaga adat dan kelompok paguyuban; 5)
Mempermudah pendirian rumah ibadat; 6) Menghindari perilaku
tindak kekerasan dan anarkhis; 7) Mengutamakan dialog dan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
C. Peran FKUB
Berikut, berkenaan dengan peran FKUB, terkait dengan
tugasnya yang diatur PBM Nomor 9-8, tahun 2006, pasal 9,
beberapa aktivitas/program yang sudah dilakukan antara lain : 1 )
melakukan dialog dengan pemuka agama, pemuka masyarakat
dan pejabat pemerintahan tentang kerukunan dan rumah ibadat;
2) Monitoring kasus keagamaan; 3) Sosialisasi PBM bersama
Pemda dan Kemenag; 4) Melakukan seminar kerukunan bekerja
sama dengan STAIN; 5) Mengikuti berbagai kegiatan kerukunan
yang diselenggarakan pemerintah dan ormas-ormas keagamaan.
Drs. Mursyid Ali
232
Beberapa faktor yang menguntungkan dalam upaya
kerukunan dan pelaksanaan fungsi FKUB dituturkan Ketua FKUB
(M. Yamin) antara lain: 1) Tersedianya sekretariat/kantor dan
anggaran dari Pemda, serta bantuan dana Kemenag; 2) Dukungan
politis yang besar dari pemerintah; 3) Peran pemersatu para
pemuka agama, adat dan tokoh masyarakat setempat; 4) Budaya
masyarakat Dayak yang cinta damai dan lingkungan, patuh
terhadap adat dan pimpinan serta toleran; 5) Mengambil
pembelajaran (hikmah) dari kasus kerusuhan Dayak-Madura
beberapa waktu lampau.
Sementara faktor yang dipandang bisa menghambat, antara
lain: 1) Kurang mandiri, banyak ketergantungan terhadap
pemerintah khususnya dana; 2) Kesibukan para fungsionaris; 3)
Keterbatasan sumber daya.
D. Respon Masyarakat
Menyangkut ihwal kiprah pemerintah dan FKUB, terkait soal
rumah ibadat setempat, menurut menurut Sudirson (dosen), dan
beberapa narasumber lainnya terdapat beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian berbagai pihak terkait dengan masalah
kerukunan dan rumah ibadat misalnya : 1) Pemerintah, FKUB dan
ormas keagamaan, sering lamban atau kurang sigap. Setelah
muncul kasus, baru bertindak; 2) Langkanya tokoh atau figur yang
punya otoritas dan bisa diterima oleh kalangan luas; 3) Pengurus
FKUB, kurang bervariasi; 4) Sentimen primordial kedaerahan dan
kelompok makin menonjol, serta praktek persaingan politik
kurang sehat antarkelompok dapat mengganggu proses
demokratisasi dan kerukunan.
Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya yang lebih
konkrit dan terarah antara lain: 1) Peningkatan fungsi-fungsi
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
233
keamanan dan intelejen melalui Kominda (Kejaksaan, Polri, TNI,
dan BIN); 2) Mengikutsertakan kalangan perguruan tinggi dan
pengusaha dalam penanganan masalah kerukunan dan tugas
FKUB; 3) Menggalakkan dialog dan kerjasama kemanusiaan lintas
agama, etnis, sosial, budaya dan profesi; 4) Mengurangi sentimen
primordial dan orientasi kelompok yang menghambat
demokratisasi.
Drs. Mursyid Ali
234
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
235
ANALISIS
Kelompok Sosial, Budaya, dan Agama
1. Sebagian besar, sekitar 43 persen penduduk Kota Palangka
Raya, secara etnis berasal dari suku Dayak. Kelompok ini
menganut kepercayaan keagamaan Kaharingan, Kristen dan
Islam dan berkiprah di bidang pemerintahan selaku pejabat
dan pegawai negeri, karyawan swasta dan petani. Selebihnya
Etnis Banjar (24 %), Muslim, bergerak di sektor perdagangan
dan pegawai negeri. Etnis Jawa (+/- 18 %), umumnya beragama
Islam, mengandalkan hidup kesehariannya selaku petani,
pegawai dan dagang. Sisanya suku Madura, Minang, Bugis
(Muslim), Tionghoa, dan Batak.
2. Beberapa karakteristik masyarakat Dayak antara lain : 1) Konsep
dasar hidup kebersamaan; 2) Ikatan kekeluargaan yang kental
atas dasar genealogis; 3) Taat pada adat dan pimpinan; 4) Cinta
damai dan lingkungan; 5) Menghindari konflik.
3. Dilihat dari perbandingan prosentase pemeluk agama dan
prosentase rumah ibadat, kelompok Kristen dengan penganut
sebanyak 31,5 % memiliki rumah ibadat lebih banyak yakni
sekitar 41,60 % dari jumlah rumah ibadat setempat secara
keseluruhan. Sementara kelompok Muslim yang umatnya
Drs. Mursyid Ali
236
sekitar 59,7 % - memiliki masjid sebanyak 48,25 %. Kelompok
Katolik dengan prosentase pemeluk 5,01 % - mempunyai
rumah ibadat lebih sedikit yaitu 3,85 %. Pengikut Hindu
setempat sebanyak 3,30 % berbanding dengan 4,90 % rumah
ibadat (pura). Sedangkan bagi kelompok Buddha sebanyak 0,57
%, memiliki prosentase yang lebih besar yakni 1,40 % dari
jumlah rumah ibadat secara keseluruhan. Besarnya jumlah
rumah ibadat Kristen di atas dipandang seiring dengan
banyaknya sekte aliran atau denominasi di lingkungan Kristen
masing-masing membutuhkan gereja sendiri. Selain itu
sebagian sekte Kristen ini dianggap relatif agresif dan antusias
dalam penyebaran agamanya.
4. Disimak dari sisi organisasi keagamaan, di Palangka Raya
terdapat sekitar 43 ormas keagamaan. Di kalangan Muslim ada
beberapa organisasi yang relatif besar dan berpengaruh seperti
: 1) Muhammadiyah yang berkiprah di sektor-sektor
pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dakwah, dan jasa; 2)
NU, yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, pembinaan
ibadah dsb; 3) HMI, PMII, IMM, aktif dalam pembinaan
kepemimpinan dan politik di kalangan kawula muda.
Sementara kelompok Kristen (PGI) dan Katolik, mirip dengan
Muhammadiyah dan NU dengan jumlah yang lebih kecil. Kedua
kelompok ini sangat aktif di bidang pendidikan, pebinaan
spiritual melalui gereja, santunan sosial dan kesehatan. Adapun
kelompok Hindu, Buddha serta Konghucu mungkin lebih
banyak dan fokus melakukan pembinaan yang bersifat internal.
5. Selain kelompok-kelompok di atas, di wilayah Kota Palangka
Raya terdapat kelompok paguyuban yang menurut catatan
Kesbang Linmas sebanyak 34 Organisasi yang berasal dari
berbagai etnis dan tersebar di berbagai daerah. Kelompok ini
bersifat kekeluargaan dan bertujuan serta fokus pada
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
237
pembinaan silaturrahim dan kesejahteraan anggota. Selain
kesejahteraan, khususnya setelah kerusuhan Dayak-Madura
sampai sekarang, kelompok ini juga sering dilibatkan dalam
penyelesaian berbagai permasalahan lingkungan termasuk
dalam penyelesaian konflik keagamaan yang muncul di wilayah
setempat.
Kasus Rumah Ibadat
1. Berkenaan dengan persoalan perselisihan rumah ibadat di Kota
Palangka Raya, berdasarkan laporan dan wawancara dengan
para narasumber, sejak berlakunya PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006 sampai sekarang (Februari 2011), tidak ada perselisihan
rumah ibadat yang melibatkan masa dan berlarut-larut
penyelesaiannya, baik menyangkut pendirian penertiban
maupun penutupan rumah ibadat. Namun demikian, pernah
juga muncul kasus tempat ibadat yang relatif mudah
diselesaikan sendiri oleh warga setempat melalui dialog dan
musyawarah secara kekeluargaan.
2. Bentuk kasus perselisihan tempat ibadat tersebut : a)
Penggunaan rumah tinggal dan ruang publik berupa hotel dan
mall yang dipakai sebagai tempat ibadat atau kebaktian
mingguan yang diprotes oleh kelompok Muslim karena tidak
sesuai dengan PBM; b) Kasus keberatan kelompok Kristen
terhadap pendirian mushala di komplek perumahan karena
dipandang tidak sesuai dengan aspirasi lingkungan yang
mayoritas Kristen.
3. Perselisihan kasus tempat ibadat di atas, berhasil diselesaikan
dengan damai melalui dialog dan musyawarah secara
kekeluargaan yang melibatkan tokoh-tokoh lingkungan,
pemuka agama, pengurus tempat ibadat, pemuka adat, aparat
Drs. Mursyid Ali
238
kelurahan sampai tingkat RT/RW sebelum dilaporkan ke tingkat
lebih tinggi (kota) dan FKUB. Untuk memelihara kerukunan dan
kebersamaan, kelompok Kristen atas kesadaran sendiri
menutup tempat kebaktian karena tidak sesuai dengan
ketentuan. Sekaligus juga menyetujui dibangun dan
difungsikannya mushalla yang termasuk kategori rumah ibadat
keluarga untuk pemenuhan kebutuhan kelompok Muslim
setempat.
Peran Pemerintah
1. Sehubungan dengan permasalahan rumah ibadat, Pemda
Propinsi Kalimantan Tengah tidak atau belum pernah
mengeluarkan perda atau pergub. Dalam hal ini menurut para
nara sumber, mengenai pengaturan rumah ibadat, Pemda
setempat mengacu pada PBM Nomor 9-8 Tahun 2006. Selaku
penaggung jawab utama, Pemda setempat bersama-sama
tokoh agama, adat dan pemuka masyarakat lainnya
memberikan perhatian dan dukungan politis yang tinggi
terhadap masalah kerukunan. Belajar dari pengalaman
kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam, Pemda
dengan segenap aparatnya berkomitmen dan berupaya tidak
ada perilaku tindak kekerasan dan anarkhis di Kalteng, serta
senantiasa meningkatkan kerukunan, kedamaian, harmonisasi,
sinergitas dalam kehidupan masyarakat.
2. Menyangkut persoalan FKUB, Pemda dan Kemenag telah
menyediakan fasilitas kantor dan dana, melaksanakan
sosialisasi PBM, dialog dengan para tokoh agama, adat, dan
masyarakat. Dalam hal pendirian rumah ibadat, Pemda selalu
memberikan kemudahan, khususnya bidang perizinan, dan
penyediaan lahan. Di wilayah Kalteng yang luas dan banyak
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
239
lahan kosong, tidak pantas ada rumah tinggal atau fasilitas
umum dijadikan rumah ibadat. (Wawancara dengan Kesbang).
Dalam penyelesaian konflik atau perselisihan, maka dialog dan
musyawarah harus dikedepankan.
3. Dalam penanganan konflik atau kasus, Pemda dipandang
kurang sigap dan relatif lamban. Tindakan baru dilakukan
setelah kasus terjadi dan melibatkan massa. Fungsi-fungsi
keamanan dan intelijen belum berperan optimal. Koordinasi
antar aparat dan monitor situasi di lapangan tentang
kerukunan sering diabaikan.
Peran FKUB
1. Pengaduan tentang konflik perselisihan rumah ibadat, lebih
banyak disampaikan pada tokoh agama, masyarakat, ormas,
dan aparat setempat, daripada disampaikan secara langsung
kepada pimpinan FKUB. Demikian juga penyelesaian
perselisihan rumah ibadat menurut para tokoh ormas, pada
umumnya melalui dialog dan musyawarah serta kesepakatan
lingkungan yang melibatkan para tokoh agama, adat,
masyarakat, dan aparat pemerintah setempat. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor seperti: 1) FKUB, relatif masih baru,
belum terpublikasi secara luas; 2) Kewenangan dan fasilitas
terbatas; 3) Belum mewakili semua komponen umat beragama
setempat; 4) Keberadaan FKUB di tingkat kabupaten/kota,
sementara kasus/persoalan terjadi di tingkat
kelurahan/kecamatan.
2. Penanganan masalah kerukunan dan konflik umat beragama,
memerlukan pendekatan dan wawasan yang lebih
komprehensif, sementara komposisi kepengurusan FKUB pada
umumnya terdiri dari para tokoh agama. Oleh karena itu
Drs. Mursyid Ali
240
dipandang perlu mempertimbangkan kemungkinan perluasan
partisipasi personalia FKUB seperti dari kalangan perguruan
tinggi, pengusaha dan partisipan lainnya.
3. Dominasi kelompok mayoritas agama dalam komposisi
kepengurusan FKUB cenderung berdampak pada kelompok
minoritas lebih banyak bersikap pasif dan menyesuaikan diri
dengan sikap dan kehendak yang dominan, sehingga dapat
mengurangi nilai obyektifitas. Penyusunan pengurus ke depan
hendaknya relatif lebih longgar dan tidak berorientasi pada
faktor proporsional keagamaan semata secara kaku.
4. Di kalangan kelompok Kristen terdapat banyak sekte, aliran,
atau sub-kelompok yang berada di luar kendali PGI yang
dipandang representasi kelompok Kristen dalam forum-forum
resmi keagamaan. Begitu pula di lingkungan Muslim, juga
terdapat kelompok-kelompok kecil yang merasa aspirasinya
belum tertampung oleh MUI atau ormas keagamaan Islam
lainnya yang duduk di FKUB. Oleh karena itu, mungkin saja
kelompok yang tidak terwakili tersebut, merasa tidak terikat
dengan keputusan FKUB.
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
241
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan diskripsi di atas dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Sejak berlakunya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 sampai
sekarang (Februari 2011), tidak pernah terjadi kasus
perselisihan rumah ibadat secara terbuka, melibatkan massa
secara luas dan berlarut-larut. Beberapa kasus menyangkut
rumah ibadat yang terbilang kecil, sederhana, temporer dan
relatif mudah diselesaikan yakni: 1) Penggunaan rumah tinggal,
mall, dan ruang hotel sebagai tempat kebaktian yang diprotes
kelompok Muslim karena tidak sesuai dengan ketentuan PBM;
2) Pendirian mushala di tempat pemukiman yang ditolak
kelompok Kristen karena dipandang tidak sesuai dengan
aspirasi lingkungan yang menurut mereka mayoritas non-
Muslim.
2. Kedua kasus tempat ibadat di atas kemudian berhasil
diselesaikan melalui dialog dan musyawarah serta kesepakatan
lingkungan yang melibatkan para tokoh agama, tokoh adat,
aparat kelurahan serta pemuka masyarakat setempat. Atas
dasar kesadaran dan kerelaan sendiri serta untuk kepentingan
Drs. Mursyid Ali
242
berbagai pihak yang lebih besar yaitu terpeliharanya kerukunan
masyarakat, kelompok Kristen menutup tempat kebaktian
karena tidak sesuai dengan ketentuan PBM. Selain itu kelompok
Kristen juga menyetujui pembangunan mushala yang menurut
PBM masuk kategori rumah ibadat keluarga, untuk pemenuhan
kebutuhan ibadat kelompok Muslim setempat.
3. Belajar dan mengambil hikmah dari pengalaman tragis
kerusuhan Dayak-Madura beberapa waktu silam, Pemda
Kalteng dengan segenap aparatnya berkomitmen dan
berupaya agar tidak ada perilaku dan tindak kekerasan dan
anarkhis serta senantiasa meningkatkan kerukunan, kedamaian
harmonisasi, toleransi, sinergitas dalam kehidupan masyarakat
setempat. Memberikan dukungan politis yang besar, fasilitas
kantor dan anggaran terhadap FKUB serta mempermudah
proses perizinan dan penyediaan lahan pendirian rumah
ibadat.
4. Dalam penanganan kasus konflik sosial, aparat sering dianggap
kurang sigap atau relatif lamban. Setelah kasus terjadi dan
membesar, baru aparat turun tangan. Hal ini menurut salah
seorang tokoh perguruan tinggi setempat lantaran fungsi-
fungsi keamanan dan intelijen belum optimal.
5. Peran FKUB dipandang masyarakat setempat masih kurang
optimal karena beberapa faktor antara lain: 1) FKUB relatif baru
terbentuk, belum terpublikasi secara luas; 2) Kewenangan dan
fasilitas terbatas; 3) Kurang mewakili segenap komponen umat
beragama yang ada dalam masyarakat; 4) Keberadaan FKUB di
tingkat kabupaten/kota, sementara persoalan/kasus yang
ditangani berada di tingkat kelurahan atau kecamatan.
6. Dominasi kelompok mayoritas agama dalam kepengurusan
FKUB, cenderung berdampak pada kelompok minoritas
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
243
bersikap pasif, dan senantiasa berupaya menyesuaikan diri
dengan kehendak kelompok mayoritas, sehingga
memperlancar proses tapi juga mengurangi nilai obyektifitas
dalam keputusan.
7. Penanganan masalah kerukunan dan konflik umat beragama
memerlukan wawasan dan pendekatan yang lebih
komprehensif, sementara umumnya pimpinan FKUB terdiri dari
para tokoh agama.
8. Secara umum FKUB banyak bergantung pada pemerintah,
terutama di bidang dana dan fasilitas lainnya, sehingga dapat
mengurangi kemandirian.
Rekomendasi
1. Diperlukan berbagai upaya peningkatan intensitas dan
efektifitas sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006,
diberbagai kalangan dan lapisan masyarakat secara lebih luas,
agar isi PBM lebih mudah dipahami dan diterapkan.
2. Perluasan partisipasi komponen masyarakat dan peningkatan
sinergisitas antara FKUB, dengan kalangan perguruan tinggi,
pemuka adat, dan pengusaha.
3. Menggalakkan dialog dan kerjasama kemanusiaan lintas
agama, etnis, budaya, sosial dan profesi.
4. Perlu dilaksanakan berbagai upaya agar secara bertahap
ketergantungan FKUB terhadap pemerintah bisa dikurangi,
misalnya melalui berbagai usaha pemberdayaan umat.
Drs. Mursyid Ali
244
Studi Kasus Rumah Ibadat di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah
245
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fedyani, Konflik dan Integrasi, Perbedaan Faham Dalam
Ajaran Islam, Rajawali, Jakarta, 1986.
Atho Mudzar, Konflik Etnis-Religius Indonesia Kontemporer,
Balitbang dan Diklat Deoag, 2002.
Andik Purwasitho, Komunikasi Multikultural, Universitas Muham-
madiyah, Surakarta 2003.
Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya Dalam Angka, 2009.anya
Jawab, 2008.
Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, LKIS, 2003.
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, Mizan, Bandung, 2001.
Mursyid Ali, Choirul Fuad, Peta Kerukunan Umat beragama di
Indonesia, Kementrian Koordinator Bidang Kesra, 2005.
Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalteng, Departemen Pendi-
dikan dan Kebudayaan, 1979
Peter. L. Berger, Thomas Huckman, Tafsir Atas Kenyataan, LP3ES,
1990.
Saiful Mudjani, Masalah Toleransi Antar Agama, LSI, 2006.
Drs. Mursyid Ali
246
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
247
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadatdi Kota KupangNusa Tenggara Timur
Oleh :Haidlor Ali Ahmad
Haidlor Ali Ahmad
248
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
249
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Permasalahan di seputar rumah ibadat memang tidak hanya
terjadi di Indonesia, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat
kasus terkait rumah ibadat juga terjadi. Rencana pembangunan
Islamic Center di Ground Zero (yang konon juga adalah
pembangunan mesjid), telah memicu pertentangan antara
kelompok masyarakat yang pro dan kontra rencana pembangunan.
Di India bahkan terjadi kekerasan dan konflik sosial yang dipicu oleh
penghancuran Masjid Babri di Kota Ayodhya, yang bahkan telah
meluas pula ke wilayah Pakistan dan Bangladesh. Sementara itu,
proses perdamaian antara Palestina dan Israel juga kembali
terganggu oleh adanya konflik horisontal akibat pembakaran Masjid
Beit Fajjar oleh pemukim Yahudi di dekat Betlehem, Tepi Barat.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa masalah di seputar rumah
ibadat tidak khas Indonesia, melainkan dialami oleh negara-negara
lain yang memiliki setting dan karakter kehidupan keagamaan yang
berbeda dengan Indonesia.
Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari
segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128
suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan
beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada
Haidlor Ali Ahmad
250
enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan
aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi
dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan
ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan,
namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus
dikelola dengan baik.
Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan,
kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara.
Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting
bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial
yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam
pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama bukanlah
kondisi yang statis melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan
umat beragama. Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan
situasi, yang tidak semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan
Litbang dan Diklat, misalnya, mendaftar sejumlah faktor non-
keagamaan yang memengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu:
politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan
ini biasanya berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan
sendiri ada sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan
luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda,
pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar
keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama,
kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan,
dan pendirian rumah ibadat.
Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun
belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat
beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya
cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat,
penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
251
Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat,
sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini
menjadi isu penting dan juga merupakan salahsatu permasalahan
dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam
RPJMN 2010-2014.
Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan
melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal
gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Pada tahun 2009 lalu
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) mencatat
terdapat 18 kasus di seputar rumah ibadat, dengan cakupan wilayah
yang sama pada tahun 2010 ini meningkat menjadi 39 kasus;60 The
Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap
rumah ibadat. Pada tahun 2010 terjadi 28 kasus pelanggaran dan 34
tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat (total 62 kasus).61 Angka
ini lebih besar dari jumlah angka kasus tahun 2009 meski dengan
adanya perluasan wilayah laporan. SETARA Institute pada tahun 2010
lalu mencatat terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami
gangguan dalam berbagai bentuknya, baik penyerangan,
penyegelan, penolakan, larangan aktivitas ibadah, dan lain-lain.62
Moderate Muslim Society mencatat dari 81 kasus intoleransi,
sebanyak 63 kasus (80%) merupakan aksi penyerangan, penolakan
rumah ibadat, dan intimidasi.63
Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam
mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
60 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM,
2011, hlm. 34. 61 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid
Inst., 2011, hlm. 17. 62 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010,
Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 9. 63 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi,
Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12.
Haidlor Ali Ahmad
252
(PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1
Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan
keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya
dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di
berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah
ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan
belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah
dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14
tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindah-
pindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan
terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja
dimaksud adalah 108 buah.
Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat,
sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga
Muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat
mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri
mushalla, sementara warga Muslim bermaksud meningkatkan
status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan
warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 64
Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat
di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan
mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian
penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
(peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah
ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh pemerintah,
sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat
ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011
akan mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di
64 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010,
Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 12.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
253
seputar rumah ibadat. Selain menjawab problem-aktual di lapangan,
hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan
informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah
ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar.
Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang
jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun
2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian
terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan
mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi
(damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang
diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun
penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus
perselisihan yang terjadi.
Permasalahan
1. Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa
diperselisihkan?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian
perselisihan?
3. Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan?
4. Bagaimana respon masyarakat terhadap penyelesaian
perselisihan tersebut?
Tujuan dan Kegunaan
1. Mengetahui dan mendiskripsikan perselisihan tentang
pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat terjadi
dan alasan diperselisihkan.
Haidlor Ali Ahmad
254
2. Mengetahui dan mendiskripsikan peran pemerintah dalam
penyelesaian perselisihan.
3. Mengetahui dan mendiskripsikan peranan FKUB dan majelis
agama dalam penyelesaian perselisihan.
4. Mengetahui dan mendiskripsikan respon masyarakat terhadap
hal perselisihan dimaksud.
Adapun kegunaan dari penelitian ini antara lain untuk
memberi masukan bagi para pengambil kebijakan, khususnya di
lingkungan Kementerian Agama dan umumnya di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri serta fihak-fihak lain yang terkait dengan
pemeliharaan kerukunan umat beragama dan lebih spesifik dalam
penanganan kasus-kasus pendirian rumah ibadat.
Definisi Operasional
Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1
ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat beragama akan
terwujud jika segenap umat beragama memiliki toleransi yang
tinggi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan pada tingkat
tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam konteks di
seputar masalah rumah ibadat, umat beragama hendaknya dapat
menerima dan memahami kebutuhan rumah ibadat umat agama
lain, serta memberikan penghormatan, penghargaan atas
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
255
kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat, membantu dalam
prosesnya.
Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara
konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia
pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan
pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan
kantor departemen agama kabupaten/kota atau dengan FKUB
setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan
pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung
bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai
rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama
pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan
pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi
menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan,
yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini,
acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No.
9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian
ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah
ibadat.
Perselisihan dalam penelitian ini terkait pendirian, penertiban,
atau penutupan rumah ibadat. Perselisihan pendirian dan
penutupan dimaksudkan terhadap rumah ibadat yang
diperselisihkan oleh masyarakat. Sedangkan penertiban
dimaksudkan pada tempat bukan rumah ibadat yang digunakan
untuk rumah ibadat (rumah ibadat sementara).
Adapun yang dimaksud dengan rumah ibadat dalam
penelitian ini adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang
khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-
masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat
keluarga. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang
Haidlor Ali Ahmad
256
dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus
rumah ibadat (PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat (7).
Kerangka Berpikir
Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring
dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan
masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi
di sekitarnya bersinggungan satu sama lain, yang dalam satu dan
lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik,
keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat
beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan
di wilayah tersebut.
Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan
masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting
sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya
menjaga ketenteraman dan ketertiban umum yang terganggu
masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan.
Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas
hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal
pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena
disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani
dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat,
termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,
maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat
beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
257
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan antara lain sebagai berikut:
Ranah regulasi
Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap rumah ibadat yang sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Ranah sosial-ekonomi-budaya
Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly (1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis
Haidlor Ali Ahmad
258
pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan. Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap ketidakadilan.65
Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini. Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula dalam hal ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara ekonomi lebih rendah.
Ranah keberagamaaan
Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk agama lain di sekitarnya.
Penelitian Terdahulu
Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan tahun 2010 lalu.
65 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik dan
Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia,
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
259
Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi penelitian ini
menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap
agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan
peradaban yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral).
Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan
menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas
kegiatan.
2. Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan
PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah
ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya
dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang
menyadari pentingnya dan berwawasan ke depan. Sedangkan
pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut
agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan prioritas
kegiatan.
3. Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain
karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan
pemerintah daerah, juga karena adanya komunikasi dan
kerukunan hidup antar umat beragama, serta nilai-nilai
kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan.
Pendirian rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan
penolakan, lebih disebabkan faktor perbedaan paham
keagamaan, dan berbagai kepentingan para elite agama dalam
prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan
ekonomi dan kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas
dan arogansi minoritas.
4. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang
dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian LSM
ialah terbebankan pada umat Kristiani, tetapi sesungguhnya
Haidlor Ali Ahmad
260
juga terbebankan pada umat Islam, Hindu dan Buddha yang
minoritas di tengah pemeluk agama mayoritas.
5. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi
aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang
mendukung dan toleransi sosial.
Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah
cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi
penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam
memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan
rumah ibadat.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan
menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sebelum
melakukan kajian lapangan peneliti melakukan studi kepustakaan.
Bahan pustaka yang digunakan antara lain Laporan Tahunan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan beberapa LSM
berkaitan, dan media massa. Karena bersifat verifikatif, maka data
awal itu akan menjadi pedoman pada pelaksanaan pengumpulan
data di lapangan (spotchecking).
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan,1)
Metode wawancara yang dilakukan terhadap informan kunci,
meliputi beberapa pejabat dan staf pegawai kantor kemenag
tingkat propinsi, kota dan KUA, pejabat kesbang linmas, anggota
FKUB, panitia pembangunan rumah ibadat, dan tokoh-tokoh
agama dan tokoh masyarakat, lurah, RW dan RT; 2) Observasi secara
terbatas dan cenderung secara kebetulan, karena keterbatasan
peneliti berinteraksi dengan masyarakat; 3) Studi dokumentasi,
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
261
untuk melengkapi data yang diperoleh melalui metode wawancara
dan observasi.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi
dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain. Menurut
Patton (1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan
dan mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui
waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil
wawancara dengan hasil pengamatan, dengan dokumen,
membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan
ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa
dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan antara
informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang
waktu.66
Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui
tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan di Kota Kupang Nusa Tenggara
Timur (NTT). Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan adanya
kasus-kasus perselisihan terkait pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat yang terjadi di daerah tersebut. Selain itu,
pemilihan lokasi ini juga mempertimbangkan keterwakilan wilayah
Indonesia bagian tengah, sebagai bentuk keseimbangan mayoritas-
minoritas pemelukan agama di wilayah tersebut.
66 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 178.
Haidlor Ali Ahmad
262
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
263
GAMBARAN UMUM
KOTA KUPANG
Kondisi Geografi
Kota Kupang terletak di antara 10°36’14”-10°39’58” lintang
selatan dan 123°32’23” -123°37’01” bujur timur. Luas wilayah Kota
Kupang mencapai 180,27 km2. Berdasarkan administrasi
kepemerintahan Kota Kupang dibatasi oleh:
• Teluk Kupang di sebelah utara,
• Kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat Kabupaten
Kupang di sebelah timur.
• Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang di sebelah selatan,
• Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan TelukSemau di
sebelah barat.
Kota kupang terdiri dari 47 kelurahan, yang tergabung
dalam 4 kecamatan, yakni Kecamatan Alak, Maulafa, Oebobo dan
Kelapa Lima. Keempat kecamatan tersebut memiliki luas wilayah
yang berbeda-beda, Kecamatan Alak merupakan kecamatan
dengan wilayah paling luas,sedangkan Kecamatan Kelapa Lima
Haidlor Ali Ahmad
264
merupakan kecamatan dengan wilayah paling sempit. Secara rinci
luas wilayah kecamatan di Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Luas Wilayah Kecamatan di Kota Kupang
No. Kecamatan Luas Wilayah
(km2)
Prosentase dari luas
wilayah kota
1 Alak 86.91 48.21
2 Maulafa 54.80 30.40
3 Oebobo 20.32 11,27
4 Kelapa Lima 18.24 10,12
Kota Kupang 180,27 100
Kondisi Demografi
Jumlah penduduk Kota Kupang dapat dilihat pada tabel 2
Tabel 2
Jumlah Penduduk menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah
Rasio
Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan
1 Alak 23.802 22.001 45.803 108
2 Maulafa 28.276 27.557 55.853 102
3 Oedobo 57.702 57.227 114.979 100
4 Kelapa Lima 38.092 37.067 75.227 102
Jumlah 147.872 143.922 291.794 102
Catatan: Berdasarkan Registrasi Penduduk 299.67
67 Kota Kupang Dalam Angka2010: 43.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
265
Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi
Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di Kota
Kupang cukup variatif dan masing-masing etnis yang ada di sana
identik dengan pekerjaan atau mata pencaharian tertentu. Meski
pulau-pulau di NTT merupakan pulau-pulau kecil dan dikelilingi
lautan yang luas, namun putra-putra daerah lebih akrab dengan
budaya darat, berenang pun banyak yang tidak bisa. Orientasi mata
pencaharian putra daerah cenderung menjadi pegawai negeri.68
Tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh informan yang lain,
etnis Timor pada umumnya bekerja sebagai PNS (dari staf hingga
pejabat), sebagai karyawan rendahan, buruh di sektor-sektor non
formal antara lain sebagai buruh nelayan, menjalankan perahu milik
orang-orang Bugis dan pedagang kecil-kecilan.69 Menurut Pdt. Hd
belakangan ini ada dinamika yang dialami putra-putra daerah,
misalnya dari pengalaman menjadi pembantu di warung-warung
milik orang Lamongan, sekarang sudah ada beberapa warung milik
putra daerah yang menjajakan makanan sebagaimana yang biasa
dijajakan oleh pendatang dari Lamongan.70
Selain etnis Timor, etnis Jawa pada umumnya juga bekerja
sebagai PNS, selebihnya mereka menguasai pasar di Kota Kupang
sebagai pedagang pakaian, sembako, dan sayur-sayuran, usaha
pemotongan ayam, tukang bakso, dan yang perempuan berjualan
jamu gendong. Sedangkan pengusaha restoran besar dari etnis
Jawa pada umumnya didominasi para pendatang dari Solo,
sedangkan pendatang dari Lamongan mendominasi restoran,
warung makan hingga penjaja makanan kaki lima dengan ciri khas
68 Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-2-2011. 69 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah
keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 70 Wawancara dengan Pdt.Hd, 25-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
266
dagangan ikan bakar, ayam bakar dan pecel lele yang biasanya
diberi label Lamongan.71
Etnis Minang dikenal sebagai pedagang bersekala besar,
sebagai pemilik toko dan rumah makan Padang; Etnis Bugis juga
sebagai pedagang bersekala besar, sebagai pemiliki toko pakaian,
toko sembako, pemilik tambak, pemilik perahu.72 Pada umumnya
para pendatang dilihat dari sisi ekonomi lebih baik dibandingkan
dengan penduduk pribumi. Karena para pendatang memiliki etos
kerja yang lebih tinggi, memiliki kegigihan dan mereka serius dalam
bekerja.73
Karena roda perekonomian di Kota Kupang dikuasai oleh
etnis-etnis pendatang terutama Bugis sehingga ketika terjadi
kerusuhan tahun 1998 ekonomi di Kupang mengalami kelumpuhan
selama 3 bulan.74 Demikian juga ketika muncul SMS provokatif
(bertepatan dengan waktu penelitian ini dilaksanakan), hampir saja
terjadi kelumpuhan ekonomi. Di pasar-pasar tradisional banyak
kios-kios tutup dan beberapa jenis barang kebutuhan sehari-hari
sulit didapat, karena banyak pelaku-pelaku ekonomi yang tidak
melakukan aktifitas.
Jumlah Pemeluk Agama
Jumlah pemeluk agama mayoritas di Provinsi NTT penganut
agama Katolik (55%), pada urutan kedua Kristen (35%) sedangkan
71 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah
keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 72 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani maslah
keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 73 Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-1-2011. 74 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
267
Islam menduduki urutan ke 3 atau termasuk minoritas (8.6%).
Namun persebaran penganut agama di wilayah Provinsi NTT tidak
merata, sehingga penganut Katolik bukan sebagai penganut agama
mayoritas di semua wilayah kabupaten/kota. Penganut agama
Katolik sebagai penganut agama mayoritas di Kabupaten Timor
Tengah Utara (TTU), Belu, Ende, Flores Timur, Ngada, Manggarai,
Manggarai Barat, Sikka, dan Lembata. Sedangkan penganut agama
Kristen sebagai penganut agama mayoritas terdapat di wilayah Kota
Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS), Alor,
Sumba Timur, Sumba Barat, dan Rote Ndao.
Jumlah pemeluk agama di Kota Kupang mayoritas adalah
penganut agama Kristen (178,944 jiwa), pemeluk agama Katolik
pada urutan kedua (67, 582 jiwa), dikuti penganut agama Islam
(41.741 jiwa), penganut agama Hindu (2.111 jiwa) dan penganut
agama Buddha (416 jiwa).
Jumlah Rumah Ibadat
Jumlah rumah ibadat di Kota Kupang sebanyak 319 buah,
dengan rincian umat Kristen memiliki 208 gereja, umat Katolik 49
gereja, umat Islam 56 masjid, dan umat Hindu 6 pura.75 Data rumah
ibadat yang bersumber dari Kota Kupang dalam Angka 2010 di atas
memiliki perbedaan dengan data yang bersumber BPS Provinsi NTT
dan dari Kanwil Kementerian Agama NTT. Menurut data BPS
Provinsi umat Katolik memiliki 38 gereja (termasuk kapela) selisih 11
gereja; umat Kristen memiliki 138 gereja, selisih 70 gereja; umat
Islam memiliki 54 masjid (termasuk mushala), selisih 2 masjid.76
75 Kota Kupang dalam Angka 2010: 104. 76 BPS Provinsi NTT dari Kanwil Kementerian Agama NTT.
Haidlor Ali Ahmad
268
Rumah ibadat (khususnya masjid) di Kota Kupang dahulu
sebelum kerusuhan tahun 1998 dalam kondisi yang
memprihatinkan. Pada waktu terjadi kerusuhan banyak masjid yang
dibakar, maka setelah direnovasi pada tahun 1999-2000, banyak
masjid-masjid di Kota Kupang yang berubah menjadi bagus, kecuali
Masjid Raya.
Ormas keagamaan
Ormas keagamaan Katolik yang terdapat di Kota Kupang
antara lain, Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Pemuda Katolik, Wanita
Katolik Republik Indonesia (WKRI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), dan kelompok kategorial antara lain
Legio Maria, Serikat St. Vinsensius, dan Karismatik.77
Sedangkan ormas keagamaan Kristen yang terdapat di Kota
Kupang antara lain, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Persatuan
Gereja Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persatuan Gereja Pantekosta
Indonesia (PGPI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI), Forum Pemuda Kristen
(FPK), Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris), Forum
Komunikasi Intern Pimpinan Gereja Kristen (FKIPGK), dan Lembaga
Pengembangan Paduan Suara Gerejawi Daerah (LPPD).78
Ormas keagamaan Islam yang terdapat di Kota Kupang
antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan
ormas-ormas under bow-nya, [Muslimat NU, Gerakan Pemuda
Ansor, Fatayat NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)],
77 Sumber Kasi Urusan Agama Katolik Kanwil Kementerian Agama Provinsi NTT
dikoreksi oleh RD dari Bimas Katholik Kemenag dalamrapat konsinyering tanggal 20 -4-2011 .
78 Wawancara dengan salah seorang pejabat di Kanwil Kemenag Provinsi NTT,
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
269
Muhamadiyah dan ormas-ormas under bow-nya, [Aisyiah, Nasyiatul
Aisyiyah], Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), Dewan Masjid
Indonesia (DMI), Ikatan Persaudaraan Haji, Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), Al-Iryad, Wanita Islam, Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid
Indonesia (BKPRMI), Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga
Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ), Badan Penasehat
Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4).
Hubungan dan Kerjasama Antarumat
Menurut Kakanwil Kementerian Agama Provinsi NTT dan
Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Kupang hubungan antarumat
beragama di Kupang tidak ada masalah, justru yang bermasalah
adalah hubungan intern umat Kristen, karena ada denominasi yang
belum terdaftar tapi sudah melakukan aktivitas keagamaan, dan
memiliki banyak cabang, serta anggotanya diperoleh dari
denominasi-denominasi yang lain dengan iming-iming materi.79
Kepala Kantor Kemenag Kota Kupang menambahkan, bahwa di
Kota Kupang antar penganut agama saling menghargai.
Masyarakatnya cinta damai. Terdapat banyak keluarga dengan
berbagai pemeluk agama.80 Namun faktanya, tidak seperti yang
diungkapkan tiga pejabat Kementerian Agama di atas. Di NTT atau
khususnya di Kota Kupang ternyata rawan konflik antaragama.
Masyarakat Kota Kupang sangat mudah terpicu oleh konflik-konflik
yang terjadi di daerah lain. Sebagaimana saat penelitian ini sedang
berlangsung, suasana Kota Kupang cukup tegang dengan adanya
79 Wawancara dengan Kakanwil Kemenag Prov. NTT tanggal 22-2-2011 dan Kepala
Kantor Kemenag Kab. Kupang tanggal 24-2-2011. 80 Wawancara dengan Kepala Kantor Kemenag Kota Kupang, 24-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
270
isu SMS provokatif untuk melakukan pembalasan konflik yang
terjadi di Temanggung Jawa Tengah.
Lebih dari itu, beberapa informan kami menyampaikan
bahwa di Kota Kupang hubungan antar umat beragama Islam di
satu sisi dengan umat Katolik dan Kristen di sisi lain masih sering
terjadi konflik. Hingga tahun 2007 ceramah keagamaan yang
dilakukan oleh umat Islam masih sering dilempari batu. Mendirikan
rumah ibadat bagi umat Islam banyak mengalami kesulitan, jika
bukan masjid Amal Bakti Muslim Pancasila selalu menghadapi
banyak kendala.81
Dalam hubungan antar etnis, di kalangan masyarakat Kota
Kupang terdapat sentimen antaretnis tertentu. Misalnya, orang
Kupang ketika menjual tanah lebih memilih pembeli dari kalangan
Tionghoa, mereka tidak suka menjual tanah kepada orang Bugis
karena takut kelak tanahnya untuk membangun masjid.82 Hal yang
sama disampaikan oleh salah seorang anggota panitia
pembangunan salah satu masjid di Kota Kupang “jika ada non-
Muslim jual tanah, kemudian ada orang Islam yang mau beli,
biasanya akan dipersulit proses pembeliannya”.83
Hubungan antar umat di tingkat provinsi NTT agak rawan.
Namun karena minoritas (Islam) cenderung mengalah sehingga
hubungan antarumat beragama di NTT secara semu kelihatan
harmonis. Misalnya, di Kabupaten Manggarai ada orang yang
melempar masjid sehingga kaca jendela masjid pecah, namun fihak
yang berwajib mengatakan hal tersebut hanya masalah kecil.
81 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 82 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan, 1-3-2011. 83 Wawancara dengan SS, ,2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
271
Insiden tersebut sudah dibicarakan di FKUB, tapi karena jumlah
wakil umat Islam di FKUB kecil, maka fihak Islam cenderung
mengalah.84
Faktor Pendukung Kerukunan
Karena masyarakat beragama di Kota Kupang dapat saling
bekerjasama hingga memasuki ranah keagamaan. Misalnya, pada
hari raya Iedul Fitri, ketika umat Islam sedang menunaikan shalat
Ied, sebagai penjaga keamanannya dari kalangan pemuda Kristen
dan Katolik. Sebaliknya ketika umat Kristen dan Katolik sedang
melaksanakan ritual pada hari Natal/Paskah dijaga oleh muda-mudi
Muslim. Selain itu, di Kota Kupang biasa diselenggarakan Natal
bersama, dalam acara tersebut juga dihadiri tokoh-tokoh agama
lain, antara lain dari MUI dan juga disuguhkan lagu-lagu kasidah dari
muda-mudi Muslim. Demikian pula pada waktu bulan Ramadlan
diadakan buka bersama juga hadir tokoh-tokoh dari agama lain, dan
fokal group Kristen/Katolik. Di kantor, setelah apel pagi hari Senin
biasa dilakukan doa bersama selain doa-doa khusus. Masyarakat
merasa semuanya bersaudara. Pada waktu kerusuhan 1998, meski
Asrama Haji Kupang dan beberapa buah masjid dibakar oleh
pemuda-pemuda Kristen, tapi masih ada beberapa pemuda Kristen
ikut bersama-sama menjaga masjid agar tidak dibakar.85
Masyarakat Kota Kupang memiliki kearifan lokal berkaiatan
dengan kerukunan hidup bersama, yaitu “kitong samua basodara”
(kita semua bersaudara).86 Dalam realita kehidupan masyarakat di
daerah-daerah masih sering terjadi kawin mawin antar penganut
84 Wawancara dengan AM, 1-3-2011; dokumen fax terlampir. 85 Wawancara dengan Pdt HD. 86 Drs. Abdulkadir Makarim, Timor Express, 1 Maret 2011.
Haidlor Ali Ahmad
272
agama.87 Selain itu, kerukunan yang masih melekat antar individu
misalnya salah seorang informan mengatakan bahwa dia memiliki
saudara seorang Muslim yang dengan suka rela menyekolahkan
keponakannya yang berbeda agama ke Seminari, sehingga menjadi
pastur. Sebagai anak yang baik, ketika pamannya berkeinginan
menunaikan ibadah haji, ia pun membiayai keinginan pamannya
untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima. Selain itu di wilayah
NTT yang lain hingga tahun 1998 banyak pembangunan rumah
ibadat yang panitianya terdiri dari berbagai penganut agama.
Demikian juga panitia Musabaqah Tilawati Quran (MTQ) gabungan
dari berbagai penganut agama.88
Keraifan lokal, gotong royong dahulu kuat sekali di
masyarakat kelas bawah. Dalam upacara perkawinan maupun
upacara kematian mereka yang mengalami kekurangan biaya bisa
meminjam uang, setelah selesai dan memperoleh sumbangan dari
sanak saudara dan tetangga baru dilakukan pembayaran pinjaman.
Sekarang kearifan lokal ini telah mengalami pergeseran.89
Faktor Penghambat Kerukunan
Faktor penghambat kerukunan misalnya konflik antarumat
beragama yang terjadi pada tahun 1998, merupakan imbas dari
konflik Ambon dan peristiwa Ketapang Jakarta. Sebagai imbas
konflik Ambon pada waktu itu diisukan ada dua kapal yang
mengangkut orang Islam (Laskar Jihad) yang sedang menuju ke
NTT, akibatnya anak-anak muda yang tidak berfikir panjang
87 Wawancara dengan Ant, 88 Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. 89 Wawancara dengan Pdt. Hd, 25-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
273
kemudian membakar asrama haji, dan selanjutnya sekitar 20 masjid
di Kota Kupang dibakar dan dirusak 90.
Pada saat penelitian ini dilakukan di Kota Kupang sedang
diguncang SMS yang berbunyi antara lain “Bakar, Usir dan
Hancurkan” Yang maksudnya “bakar asrama haji dan masjid, usir
umat Islam dari Kupang dan hancurkan aset milik umat Islam” Batas
waktu ancaman tersebut antara tanggal 22-27 Februari 201191.
Drs.H.Abdulkadir Makarim, mengatakan fantastis ketika di
Kota Kupang di tabuh Gong Perdamaian oleh Presiden Susilo
Bambang Yudoyono, 8 Februari 2011 pada waktu yang bersamaan
di Temanggung Jawa Tengah terjadi kerusuhan.92
Untuk mengatasi isu SMS provokatif tersebut agar tidak
meresahkan masyarakat atau menimbulkan konflik antar umat
dilakukan berbagai upaya antara lain:
1) Sejak tanggal 22 Februari 2011 Asrama Haji Kupang, semua
rumah ibadah umat Islam, baik berupa masjid maupun
mushala, kampus perguruan tinggi milik umat Islam dijaga oleh
polisi. Polda NTT tidak mau mengambil resiko dengan adanya
SMS provokatif tersebut.
2) Pemda tanggal 22 Februari 2011 mengeluarkan Seruan Bersama
Pemerintah Provinsi NTT Bersama Pemimpin Agama-Agama
NTT yang isinya:
a) Agar masyarakat tetap tenang dan senantiasa menjaga
kerukunan di antara pemeluk agama serta tidak
90 Wawancara dengan Im, 24-2-2011 dan Imam di salah satumasjid Masjid di Kota
Kupang, 25-2-2011 91 Wawancara dengan Sng,24-2-2011 92 Drs. Abdulkadir Makarim, Timor Express, 1 Maret 2011.
Haidlor Ali Ahmad
274
terprovokasi dengan berbagai isu dan aksi kekerasan di
daerah lain belakangan ini.
b) Masyarakat NTT meningkatkan dialog dan komunikasi
antarumat lintas agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda,
dan mahasiswa serta komponen strategis masyarakat terkait
lainnya untuk mencegah semua jenis konflik dan tetap
menjaga kerukunan yang telah terpelihara di Provinsi NTT
selama ini.
c) Mengimbau dan mendukung aparat keamanan menjaga
ketertiban dan keamanan di wilayah NTT guna menciptakan
suasana damai dan kundusif di tengah-tengah masyarakat
NTT.
Seruan bersama tersebut ditandatangani oleh Gubernur NTT,
Drs. Frans Lebu Raya; Wagub NTT, Ir. Esthon L. Foenay, MSi;
a.n.Uskup Agung Kupang, Rm. Gerandus Duka, Pi; Sinode Gereja
Masehi Injili Timor, Pdt. Robert Litelnoni, STh; Ketua Majelis
Ulama Indonesia, Drs.H.Abdulkadir Makarim; Ketua PHDI,
Drs.I.G.M.Putra Kusuma. MSi;
3) Pada tanggal 25 Februari 2011 MUI Provinsi NTT mengundang
rapat berbagai ormas Islam di Kota Kupang, termasuk tokoh
agama dan tokoh pemuda Islam untuk menyikapi munculnya
SMS provokatif tersebut. Yang pada kesimpulannya “Kita harus
melindungi diri kita, keluarga kita, umat Muslim, masjid kita dan
aset-aset yang dimiliki umat Muslim”.
4) MUI Provinsi NTT membentuk SMS Senter (085237068685).
Dengan adanya SMS Senter ini diharapkan setiap individu
Muslim yang menerima SMS yang bersifat provokatif agar tidak
disampaikan kepada orang lain (teman) tapi disampaikan ke
SMS Senter. Sejak dibentuknya SMS Senter yang baru sehari,
sudah 117 sms yang masuk.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
275
5) Tokoh pemuda melakukan safari ke sejumlah tempat ibadat di
Kota Kupang, yang dilakukan pada hari Sabtu-Minggu (26-27
Februari 2011), untuk melakukan sosialisasi bahwa Kupang
dalam kondisi aman. Aksi yang difasilitasi oleh Novanto Center
(NC) dihadiri oleh Ketua BP Sinode GMIT, Ketua Pemuda Katolik
NTT, Ketua GMKI Cabang Kupang, Ketua Pemuda Gereja, Ketua
HMI Cabang Kupang, Ketua BKPRMI NTT, Ketua BKPRMI Kota
Kupang, beberapa tokoh pemuda Kristen Protestan dan
pemuda Muslim, Asisten I Kota Kupang dan Asisten II Kota
Kupang. Rombongan dipimpin oleh Direktur NC, H.Muhammad
Ansor. Lokasi safari adalah Masjid Al-Hidayah Oesapa, Masjid
Nurul Huda Pasar Inpres Naikoten, Masjid Al-Istiqomah BTN
Kolhua, dan Masjid Al-Muhajirin Tuak Daun Merah. Di setiap
lokasi, rombongan diterima Imam Masjid, pengurus yayasan
dan jamaah masjid setempat sekitar 50 orang. Aksi ini untuk
melakukan sosialisasi bahwa Kota Kupang dalam suasana
kundusif dan tidak akan terjadi kerusuhan sebagaimana
ancaman SMS provokatif, dan masyarakat dianjurkan untuk
kembali beraktifitas karena ekonomi pada sektor-sektor tertentu
nyaris lumpuh.93
6) Seorang provokator ditangkap oleh intel ketika memasuki
gereja. Setelah digeledah di dalam tasnya diketemukan ada KTP
93 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011; Kupang Metro, Senin, 28 Februari 2011; Pengamatan peneliti dan wawancara dengan pemilik salah satu warung makan, gejala kelumpuhan ekonomi antara lain terlihat di pasar-pasar komoditas tertentu, misalnya ikan laut dan sayur-sayuran sulit didapat. Selama dua hari tanggal 26-27 Februari 2011 kami ingin makan ikan bakar tidak tersedia di warung langganan kami. Kata pemilik warung “di pasar langka ikan, karena banyak angin, nelayan enggan melaut. Harga ikan mahal sekali Pak. Ikan yang biasanya Rp 15 ribu per ekor, menjadi Rp 75-100 ribu”. Padahal sebenarnya orang-orang Bugis bukannya enggan melaut karena banyak angin, tapi lebih memilih di rumah, siap siaga menghadapi ancaman kerusuhan yang puncaknya jatuh pada tanggal 27 Februari 2011. Selain itu juga banyak pedagang yang menutup toko dan kiosnya, dan banyak juga orang tua yang melarang anak-anak mereka masuk sekolah, sehingga banyak lembaga-lembaga pendidikan yang meliburkan sekolahnya.
Haidlor Ali Ahmad
276
dari berbagai daerah, sarung dan kufiah, seolah-olah dia
seorang Muslim, padahal dia seorang Kristen.94 Senada dengan
yang disampaikan oleh AM, ada seorang mantan satpam dari
Bogor beragama Kristen masuk Gereja Paulus di Jl Suharto.
Orang tersebut membawa bungkusan seperti bom yang
ternyata isinya antara lain berupa kufiah, baju dinas brimob dan
borgol. AM menginginkan kasus ini dipublikasikan, agar
diketahui oleh masyarakat umum. Supaya tidak menyinggung
perasaan umat Kristiani redaksinya dibuat sedemikian rupa “Ada
orang yang mengalami gangguan jiwa yang memasuki gereja
dengan membawa kufiah. Padahal dia beragama Kristen dan
berasal dari Bogor.” AM menyayangkan penangkapan ini tidak
pernah dipublikasikan.95
Menurut seorang imam salah satu masjid di Kota Kupang,
faktor-faktor yang menjadi penghambat kerukunan di Kupang
antara lain adalah: 1) pengaruh/imbas dari konflik/kerusuhan yang
terjadi di luar NTT; 2) Kesenjangan ekonomi antara penduduk asli
dan pendatang. Dimana pada umumnya kondisi para pendatang
secara sosial ekonomi lebih baik dibandingkan dengan penduduk
asli. Sehingga terjadi kecemburuan sosial.96
Yang menjadi faktor penghambat kerukunan lainya ialah
masyarakat Kupang non-Muslim sepertinya alergi melihat sesuatu
yang berbau Islam, sehingga bangunan yang memiliki ciri keislaman
sering menghadapi hambatan. Misalnya, pembangunan Rumah
Susun Mahasiswa Muhamadiyah di Liliba Atas yang merupakan
94 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 95 Wawancara dengan AM, 1-3-2011. 96 Wawancara dengan berbagai kalangan (salah seorang pejabat Kanwil
Kementerian Agama Provinsi NTT, salah seorang pejabat Kesbang Linmas Kota Kupang, Im, dan Pdt. Hd) di tempat dan waktu yang berbeda namun jawabannya kurang lebih sama.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
277
bantuan dari Menteri Perumahan didemo oleh masyarakat non-
Muslim. Memang bangunan tersebut belum memiliki IMB, namun
sudah memperoleh persetujuan dari pemerintah setempat.97
Hasil pengamatan peneliti ketika baru sehari di Kupang,
peneliti melihat staf di Bidang Urusan Agama Katolik ketika
menghadap kepada atasannya mereka selalu menunduk apalagi
ketika memberikan atau menyerahkan sesuatu kepada atasanya
(misalnya, map atau buku), mereka menunduk seperti orang Islam
sedang ruku’ (gerakan menunduk dalam shalat) dan mereka juga
merendahkan nada bicaranya. Sehingga peneliti sempat berkelakar
dengan Kabid Urusan Agama Katolik, sementara kami sedang
membicarakan masalah kerukunan antar umat beragama di Kota
Kupang “bagaimana orang sesopan itu bisa melakukan konflik, bisa
berperang? Apakah kalau mau membunuh permisi dulu?”. Seorang
sopir yang selalu mengantar peneliti mengatakan dalam berbicara
dengan atasan selalu merendahkan nada suaranya.98 Namun
ternyata dalam kesempatan wawancara dengan informan yang lain,
kami peroleh pemeo “Masyarakat Kupang di depan menunduk di
belakang menanduk”.99 Artinya, fenomena tingkah laku sopan
mereka tidak sesuai dengan perilaku sebenarnya yang
temperamental.
Di Kupang sentimen etnis (ta’asub ashabiyah) cukup tinggi.
Informan kami mencontohkan, panitia pembangunan Mushala Al-
Faidah menggunakan Mir orang asli Alor, sebagai tameng. Padahal
Mir kurang memiliki kecakapan untuk berdialog maupun
melakukan bargaining dengan pihak-pihak yang menentang
97 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 98 Wawancara dengan Yf, 27-2-211. 99 Wawancara dengan ARP, 2-3-2011.
Haidlor Ali Ahmad
278
pembangunan mushala. Sementara yang lain adalah orang-orang
pendatang, seperti Jun (imam mushala) pendatang dari Jawa tidak
berani di depan. Sebaliknya Mir sebagai orang asli Alor lebih aman
jika berada paling depan.100
100 Wawancara dengan MAR di kediaman ARP, 2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
279
HASIL KAJIAN
Kasus Pendirian Rumah Ibadat
Di Kota Kupang umat Islam sebagai kelompok minoritas
setelah kerusuhan tahun 1998 merasa kesulitan untuk membangun
rumah ibadat. Hal ini tercermin di kantor-kantor pemerintahan
seperti Kantor Gubernur NTT, Kantor Wali Kota Kupang, dan
Universitas Nusa Cendana tidak tersedia mushala, meski hanya
berupa sebuah ruangan kecil. Karena sifat peribadatan umat Muslim
(shalat) dengan frekuensi hitungan jam, berbeda dengan
peribadatan umat lain, maka ketiadaan sarana (tempat ibadat) bagi
umat Muslim ini dirasakan menyulitkan bagi umat Muslim
(pegawai/mahasiswa maupun tamu) untuk menunaikan ibadah
shalat lima waktu khususnya untuk shalat dzuhur dan ashar.
Sebaliknya untuk kalangan mayoritas sangat mudah mendirikan
rumah ibadat, bahkan banyak ruko-ruko yang dijadikan sebagai
tempat ibadat.101
Hampir setiap pendirian masjid di Kota Kupang selalu
dipermasalahkan, kecuali pembangunan Masjid Amal Bakti Muslim
Pancasila. Di Kota Kupang terdapat empat buah Masjid Amal Bakti
101 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
280
Muslim Pancasila, yaitu: 1) Masjid Darul Hidayah di Perumahan BTN
Kolhua; 2) Masjid Nurul Iman di Oebobo; 3) Masjid Baitur Rahman di
Perumnas Kelapa Lima; 4) Masjid Al Mutaqin WK Kelapa Lima102.
Pada mulanya pembangunan Masjid Amal Bakti Nurul Iman
di Oebobo tidak berjalan mulus, tapi kemudian Presiden Suharto
memberi intruksi kepada Gubernur NTT (pada waktu itu), maka
akhirnya Gubernur yang meletakkan batu pertama pembangunan
masjid tersebut. Demikian pula pembangunan Masjid Al-Mutaqin
yang semula merupakan swadaya masyarakat, tapi karena dipersulit
bahkan tidak jauh dari lokasi rencana pembangunan masjid
tersebut kemudian dibangun gereja. Sehingga di lokasi
pembangunan masjid tersebut dibangun Masjid Amal Bakti dan
diberi nama yang sama dengan masjid yang direncanakan
pembangunannya oleh masyrakat, yakni Masjid Al-Mutaqin103.
Sesuai dengan fokus penelitian ini, berkenaan dengan kasus
perselisihan pendirian rumah ibadat yang masih terjadi perselisihan
hingga/setelah berlakunya PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006, di Kota
Kupang terdapat 5 kasus, yaitu: 1) Kasus pendirian rumah ibadat
Rodlotul Jannah di Mantasih; 2) Kasus pendirian rumah ibadat di RSS
Baumata; 3) Kasus pendirian Masjid Baitur Rahman Batuplat
Kecamatan Alak; 4) Kasus pembangunan Masjid Al Ikhwan di Jl.
Bajawa; dan 5) Kasus pembangunan Mushala Al-Faidah di RSS Liliba
Oesapa.104 Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan
penelitian pada 3 kasus yang disebut terakhir.
102 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
maslah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 103 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011. 104 Meski sebenarnya pebangunan mushala tidak diatur oleh PBM, karena
mushala masuk kategorirumah ibadat keluarga.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
281
1) Pendirian Masjid Baitur Rahman Batuplat Kecamatan Alak
Sebelum terjadi kerusuhan tahun 1998, umat Muslim di
Batuplat biasanya melakukan shalat Jumat dan tarawih di masjid
bawah105 yang berjarak sekitar dua kilo meter dari tempat tinggal
mereka. Namun pada waktu terjadi kerusuhan tahun 1998, masjid
tersebut dibakar oleh para perusuh. Pada bulan Ramadlan tahun
1999 umat Muslim Batuplat melakukan shalat tarawih di rumah
seorang warga, karena masjid sedang dalam perbaikan. Pada tahun
2001 dalam rapat warga Muslim untuk menyambut bulan Ramadlan
diputuskan sebagai tempat shalat tarawih direncanakan di teras
rumah warga. Namun sebelum datang bulan Ramadlan rencana
shalat tarawih di teras rumah itu berubah, berpindah ke rumah
warga yang lain yang kebetulan kosong. Untuk itu, kemudian
diadakan gotong royong menghilangkan sekat-sekat kamar rumah
tersebut dan menambah bagian mighrabnya. Setelah itu panitia
penyelenggara shalat tarawih berkirim surat kepada Lurah untuk
meminta izin penggunaan rumah sebagai tempat shalat jamaah
warga Muslim. Menjelang Ramadlan tiba tanah lokasi rumah
tersebut diwakafkan oleh pemiliknya untuk dijadikan tempat ibadat.
Maka sejak itu (awal tahun 2002) umat Muslim di Batuplat berniat
untuk membangun masjid di tanah yang sudah diwakafkan oleh
pemiliknya itu.106
Berkenaan dengan adanya niat membangun rumah ibadat,
maka masyarakat pun segera menggalang dana. Setelah dana
terkumpul masyarakat Muslim Batuplat kemudian memulai
pembangunan rumah ibadat (masjid). Karena belum ada ijin, maka
105 Karena topografi pemukaan tanah di Kota Kupang tidak merata/turun naik,
maka masyarakat Kota Kupang biasa menyebut tempat yang tinggi dengan sebutan atas dan tempat yang rendah dengan sebutan bawah.
106 Wawancara dengan SS,2-3-2011.
Haidlor Ali Ahmad
282
pihak panitia diminta agar segera mengurus perijinan. Masih pada
tahun 2002, panitia sudah melengkapi persyaratan administrasi
sesuai dengan peraturan yang berlaku pada waktu itu. Akan tetapi
sebelum ijin pembanguan rumah ibadat itu diperoleh,
pembanguan masjid tersebut diprotes oleh warga non-Muslim
Batuplat dan akhirnya proses pembangunannya dihentikan.
Dengan alasan tempat ibadat (masjid) tidak boleh dibangun di
tengah-tengah pemukiman penduduk107.
Setelah lahirnya PBM, panitia berupaya melengkapi
persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan PBM, termasuk
daftar pengguna 90 orang dan pendukung 60 orang.108 Karena pada
waktu itu FKUB belum terbentuk, sehingga tidak ada rekomendasi
dari FKUB dengan didampingi Ketua MUI Kota menghadap kepada
Sekda untuk menyerahkan berkas persyaratan perijinan tersebut.
Dengan demikian panitia tinggal menunggu rekomendasi dari
Walikota. Selanjutnya panita memperoleh memo dari Walikota.
Namun memo tersebut tidak diberikan kepada panitia, melainkan
hanya ditujukkan oleh Wakil Walikota, sebagai pejabat yang
menerima kedatangan panitia dan panitia hanya memoto memo
tersebut, tidak mengambilnya. Setelah itu, Wakil Walikota
menyarankan agar panitia pembangunan masjid menghadap
kepada Kepala Dinas Tatakota untuk penyelesaian IMB.109
Karena memo tidak diambil oleh panitia, akhirnya memo
tersebut ada di pihak Binsos, tapi ketika ditanyakan oleh panitia,
Binsos mengatakan bahwa memo itu tidak ada di pihaknya.
Sebaliknya Binsos menunggu dikeluarkannya memo dari Walikota.
Sehingga panitia merasa “dipingpong”. Akhirnya ijin pendirian
107 Wawancara dengan imam salah satu masjid di Kota Kupang, 25-2-2011. 108 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 109 Wawancara dengan SS,2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
283
Masjid di Batuplat masih berputar antara Walikota, Binsos dan Dinas
Tata Kota. Dengan kata lain permasalahannya masih berputar di
birokrasi tingkat atas di Pemkot Kupang. 110
Padahal apabila mengacu kepada PBM, setelah penyerahan
semua persayaratan perijinan, selambat-lambatnya setelah 90 hari
Walikota harus memberikan jawaban. Tapi setelah melewati waktu
tersebut panitia tidak memperoleh jawaban apa-apa dan berkas
perijinan diserahkan kembali tanpa rekomendasi.111
Alasan Penolakan Masyarakat
Sebagian masyarakat non-Muslim sekitar menolak rencana
pembangunan masjid di lingkungan mereka, dengan alasan
mengganggu ketenangan, antara lain penggunaan pengeras suara.
Padahal, umat Muslim sejak semula menggunakan rumah tinggal
yang sudah diwakafkan oleh pemiliknya untuk masjid, dalam
pelaksanaan peribadatan, shalat, khutbah ataupun ceramah
keagamaan tidak pernah menggunakan pengeras suara. Dari
semula umat Muslim di Batuplat telah berupaya dalam pelaksanaan
peribadatannya untuk tidak mengganggu masyarakat
lingkungannya yang berbeda agama.112
Sebagian masyarakat non-Muslim di Kota Kupang
umumnya dan Batuplat khususnya dalam bersikap terhadap umat
Islam setempat selalu mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang
terjadi di daerah lain, misalnya kasus eksekusi hukuman mati Tibo di
Poso dan terakhir kasus pembakaran gereja di Temanggung Jawa
110 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 111 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 112 Wawancara dengan SS,2-3-2011.
Haidlor Ali Ahmad
284
Tengah. Jika terjadi peristiwa-peristiwa semacam itu di daerah lain,
maka sebagian umat non-Muslim di Kupang pun bersikap kurang
harmonis terhadap umat Islam, demikian pula reaksinya terhadap
pembangunan masjid termasuk pembangunan masjid di Batuplat.
Demikian pula sikap mereka terhadap fihak pendukung
pembangunan masjid (60 orang) jika mau tandatangan diancam,
antara lain dengan kata-kata ”awas, jika nanti terjadi apa-apa!” 113
Solusi Pemkot
Pada bulan Oktober 2008 diadakan pertetemuan antara
tokoh-tokoh agama dan MUI Kota Kupang dengan Walikota. Pada
waktu itu Walikota memberikan solusi sebidang tanah untuk
pembangunan masjid di Batuplat.114 Tanah pemberian Wali Kota
tersebut berjarak sekitar satu kilo meter dari lokasi pembanguan
masjid yang dibatalkan/dari tempat pemukiman umat Muslim
sebagai calon penggunanya. Sedangkan di lokasi pemberian
Walikota itu tidak ada pemukiman.115 Di lokasi baru hanya ada satu
KK Muslim. Sehingga menimbulkan pertanyaan dari masyarakat
Muslim setempat, tanah itu untuk apa jauh dari pemukiman?
Seandainya jadi dibangun masjid di sana, siapa yang mengurus?116
Tanah pemberian Wali Kota itu ternyata juga menimbulkan
permasalahan tersendiri. Karena tanah tersebut kemudian
dipertanyakan oleh DPRD setempat, kebijakan Walikota itu
menggunakan dana apa? Menggunakan dana APBD atau APBN?
Demikian pula dari kalangan panitia pembangunan masjid juga
113 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 114 Wawancara dengan SS,2-3-2011. 115 Wawancara dengan MAR,27-2-2011. 116 Wawancara dengan SS, 2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
285
mempertanyakan status tanah tersebut, apa dasar hibahnya?117
Akhirnya, umat Muslim di Batuplat menjadi sangsi dengan status
tanah tersebut, sehingga mereka minta kejelasan keabsahan hibah
dari pemkot, kalau tidak jelas, mereka khawatir sewaktu-waktu
tanah tersebut bisa diambil kembali.118
Dengan adanya lokasi baru untuk pembangunan masjid,
maka kemudian dibentuk panitia pembangunan masjid yang baru.
Karena status tanahnya masih belum jelas, maka panitia yang baru
pun tidak melakukan aktivitas apa-apa.119 Disamping karena tidak
ada dana, maka panitia tidak mampu membangun. Hingga
penelitian ini dilaksanakan, tanah tersebut masih berupa lahan
kosong.120
Para informan dari non-Muslim memberikan informasi yang
berbeda berkenaan dengan kasus pendirian masjid di Batuplat, dua
orang pejabat Kesbang Linmas mengatakan “sekarang kasus
perselisihan masjid di Batuplat ini sudah teratasi”.121 Sedangkan Pdt.
Hd mengatakan, bahwa rekomendasi dari FKUB untuk pendirian
masjid di Batuplat sudah keluar.122 Namun faktanya, di tempat yang
lama, pembangunan masjid yang sudah sampai pada
pembangunan dinding dan kusen pintu maupun jendela itu
akhirnya terbengkelai karena belum ada atapnya. Sedangkan di
tempat yang baru (tanah pemberian Walikota) masih berupa tanah
kosong.
117 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 118 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 119 Wawancara dengan SS, 2-3-2011. 120 Wawancara dengan MAR,27-2-2011. 121 Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011. 122 Wawancara dengan Pdt. Hd.
Haidlor Ali Ahmad
286
Saran Masyarakat
FKUB menyarankan agar bangunan (di tempat lama) yang
sudah terlanjur berupa dinding batu itu dialihkan untuk
pembanguan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Karena
pembangunan TPA proses perijinannya tidak serumit
pembangunan masjid. Jangan sampai bangunan yang sudah
separoh jadi itu terlalu lama terbengkelai, nanti kusen pintu dan
jendela yang sudah terpasang dan balok kayu yang sudah tersedia
sejak tahun 2002 bisa lapuk karena kehujanan dan kepanasan.123
2. Kasus Pendirian Masjid Al-Ikhwan di Jl. Bajawa
Rencana pembangunan Masjid Al Ikhwan di Jl.Bajawa sudah
dimulai sejak April 1996, sepuluh tahun sebelum PBM disusun.
Tanah lokasi pembangunan masjid seluas 500 m2 dan sudah ada
sertifikatnya. Masjid tersebut rencananya akan dibangun dua
tingkat ke bawah, memanfaatkan kemiringan tanah. Luas bangunan
lantai 110x10 m dan lantai bawah 70 m2 untuk kamar marbot,
kamar mandi, tempat wudlu, WC dan lain-lain.124
Namun rencana pembangunan masjid ini diprotes oleh
masyarakat non-Muslim sekitar. Sehingga rencana
pembangunannya dibatalkan. Padahal renacana pembangunan
masjid di Jl. Bajawa sudah merupakan kebutuhan nyata karena di
sekitar lokasi terdapat umat Muslim yang jumlahnya mencapai 80
KK. Lebih besar dari jumlah pengguna (90 orang) sebagaimana
ketentuan PBM.125
123 Wawancara dengan MAR, di kediaman SS, 2-3-2011. 124 Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. 125 Wawancara dengan imam salah satu masjid di Kota Kupang, 25-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
287
Kelengkapan Persyaratan
Untuk pembangunan masjid di Jl Bajawa ini panitia sudah
berupaya melengkapi persyaratan perijinan sebagai berikut: 1)
pembentukan panitia pembangunan masjid, 2) Ijin tingkat
kelurahan, 3) Gambar proyeksi, 4) Ikrar wakaf (tahun 1996). Setelah
berlakunya PBM, rencana pembangunan masjid diulang dari awal,
mengikuti proses sesuai ketentuan PBM.126 Hingga penelitian ini
dilaksanakan tanah lokasi pembangunan masjid ini masih berupa
lahan kosong.
Kasus-kasus yang muncul
a) Shalat berjamaah di rumah (sementara belum ada masjid)
dilempari batu.
b) Ada seorang guru MAN yang sedang membangun rumah
tinggal, dipermasalahkan oleh masyarakat sekitar dikira akan
membangun masjid.127
Karena suasananya kurang kundusif, sekarang sedang
cooling dawn, dan sementara kegiatan yang dilakukan hanya
membersihkan lokasi tempat pembangunan masjid.128
Peran FKUB
Dalam kasus pembangunan masjid di Jl. Bajawa ini FKUB
tidak bisa berbuat banyak. Salah seorang anggota FKUB dari unsur
Islam hanya bisa memberi saran agar pembangunan masjid
126 Wawancara dengan ARB, 2-3-2011. 127 Wawancara dengan ARB,2-3-2011. 128 Wawancara dengan ARB,2-3-2011.
Haidlor Ali Ahmad
288
dibatalkan dan diganti dengan pembangunan mushala, karena
pembanguan mushala tidak perlu ijin seperti pembangunan
masjid.129
3. Kasus Pendirian Mushala Al-Faidah Oesapa
Mushala Al-Faidah, sebuah bangunan semi permanen
didirikan pada tahun 2003. Lokasi didirikan Mushala Al-Faidah di
Komplek RSS Liliba Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima. Latar
belakang didirikan Mushala Al-Faidah ini karena developer tidak
menyediakan fasilitas untuk rumah ibadat (masjid/mushala) di
pemukiman RSS Liliba. Oleh karena itu umat Muslim yang tinggal di
RSS tersebut mengumpulkan dana dan kemudian membeli tanah
untuk mendirikan rumah ibadat. Mushala Al-Faidah didirikan di atas
tanah kapling milik Masri Irwan Blegur yang dibeli dari Oliva Odje
tanggal 6-9-2002 dan tanah milik Rasda Lima Diding yang dimiliki
sejak tahun 2002. Kemudian pada tahun 2005 diperluas dengan
tanah milik Said Umar yang dibeli dari Orgen Romas Belu, 24-2-
2005. Luas masing-masing kapling 270 m2 sehingga total tanah
yang disediakan untuk pembangunan mushala tersebut seluas 810
m2. Namun tanah tersebut masih merupakan milik pribadi belum
diwakafkan.
Meskipun hanya berupa mushala, sejak rencana awal
pembangunannya sudah banyak menghadapi kendala, antara lain:
Pertama, dari Koperasi Pegawai Negeri Dirtag Provinsi NTT
berupa rekomendasi dengan nomor: 07/Kpn,Dirtag-NTT/2002. Inti
dari isi rekomendasi tersebut kurang lebih: 1) Tanah kapling yang
dibagi dengan hak milik adalah untuk tujuan perbaikan tunjangan
129 Wawancara dengan MAR di kediaman ARB, 2-3-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
289
kesejahteraan anggota dengan dilatari anggota belum memiliki
tanah untuk kebutuhan rumah tinggal; 2) Bahwa kapling dimaksud
diperuntukkan bagi pembangunan rumah tinggal, bukan untuk
tujuan pengbangunan yang lain; 3) Tanah kapling yang sudah
dibagikan kepada anggota dilarang untuk dipindahtangankan
kepada pihak lain/pihak ke tiga, baik itu pegawai negeri non
anggota, keluarga maupun pihak luar (masyarakat umum).
Rekomendasi itu ditandatangani oleh Ketua Pengurus Koperasi
Dirtag Prov NTT, Sumral B. Manoe, SH. Menurut Mir jika ditelusuri
rekomendasi tersebut illegal.130
Kedua, Lurah Oesapa melalui surat nomor:
451.2/266/KOSP/2003 tanggal 5 November 2003 ditandatangani
oleh RA Penna, Lurah Oesapa. Isi surat meminta agar pembangunan
mushala dihentikan. Surat Lurah tersebut berdasarkan protes warga
non-Muslim sekitar mushala karena tidak setuju atas pembangunan
mushala. Mir meragukan alasan Lurah tersebut, karena banyak
tanda tangan yang kelihatannya dipalsu. Selain itu menurut Mir
tidak semua warga non-Muslim sekitar mushala menolak
keberadaan mushala, karena sebagian di antara mereka ada yang
meminta aliran listrik dan air dari mushala untuk kebutuhan sehari-
hari dan pada hari Iedul Adha penduduk sekeliling tidak terkecuali
non-Muslim biasa dibagi daging korban131.
Belakang jamaah mushala Al-Faidah semakin banyak
meliputi warga Muslim di RSS Liliba, Komplek Politeknik, warga
Muslim yang tinggal di belakang asrama Sumba dan belakang
lembaga pemasyarakatan. Sehingga jika waktu shalat Jumat atau
waktu bulan Puasa jamaahnya luber ke luar. Pada tanggal 18 Januari
130 Wawancara dengan MIB, 27-2-2011. 131 Wawancara dengan salah seorang penggagas berdirinya mushala Al-Faidah, 23-
2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
290
2010 Pengurus Mushala Oesapa berkeinginan mengembangkan
bangunan mushala yang sudah ada, sebagai tindak lanjut dari hasil
rapat umat Muslim Oesapa Tanggal 10-01-2010. Alasan pengem-
bangan bangunan mushala karena jumlah jamaah semakin banyak
dan persyaratan suatu pemukiman, yang salah satunya adalah
tersedianya rumah ibadat. Untuk itu, pengurus mushala kemudian
berkirim surat kepada Wali Kota Kupang dengan nomor surat:
02//PPM-RSS/OESAPA/I/2010. Dalam surat tersebut juga
dikemukakan bahwa pembangunan mushala tersebut sudah
berlangsung ±7 tahun dengan berbagai jalan formal dan prosedural
dan sebelumnya sudah berkirim surat, 1) No.76/PPM-RSS/Oesapa-
LLB/II/2003 perihal: Pemberitahuan; 2) No.80//PPM-RSS/Oesapa-
LLB/II/2003 perihal: Pemberitahuan; 3) No. 04/PPM-RSS/OESAPA-
LLB/III/’09 perihal: Keberadaan Al-Faidah. Surat yang ditandatangani
Masri Irwan Blegur (Ketua) dan Zilman Syarif (sekretaris)
mengharapkan adanya kebijakan Wali Kota sebagai wujud toleransi
antarumat beragama. Tembusan surat disampaikan kepada: 1)
Ketua DPRD Kota Kupang, 2) Kapolresta Kupang, 3) Ketua Bappeda
Kota Kupang, 4) Kadin Pemukiman dan Tata Ruang Kota Kupang, 5)
Kaban Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat, 6)
Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi NTT (sekarang Kanwil
Kementerian Agama Provinsi NTT), 7) Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kota Kupang, 10) Ketua FKUB Kota Kupang, Camat Kelapa Lima,
Lurah Oesapa, Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT).
Dengan adanya rencana pembangunan mushala tersebut
berkembang isu di kalangan masyarakat khususnya non-Muslim,
bahwa mushala Al Faidah akan dikembangkan menjadi masjid,
sebagaimana dikatakan oleh Pdt. Hd, bahwa permasalahan muncul
karena mushala mau dikembangkan menjadi masjid.132 Akan tetapi
132 Wawancara dengan Pdt.Hd, 25-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
291
bukti-bukti berupa dokumen dari panitia tidak ada yang menyebut
kata masjid.
Faktor Lingkungan
Di Oesapa terdapat lima gereja, yakni GMIT terdiri dari 1)
Gereja Nazaret, 2) Gereja Bethel Oesapa, dan 3) Gereja Ora Et Labora;
dan Gereja Pantekosta terdiri dari 1) Gereja Jamaat Tunas Daun dan
2) Gereja Jemaat Bukit Zaitun, serta satu Kapela Santo Petrus.
Disamping itu terdapat dua masjid, yaitu Masjid Al-Hidayah dan
Masjid Al-Fitra.133
Faktor lingkungan lokasi pendirian rumah ibadat dipandang
tidak memenuhi syarat. Di tengah-tengah tempat pemukiman
penduduk, berbatasan langsung dengan rumah penduduk dan
penduduk sekitarnya adalah non-Muslim. Pada umumnya
masyarakat menganggap bahwa rumah ibadat tidak boleh
dibangun di tempat pemukiman, sebaliknya jamaah lingkungan
Mushala Al-Faidah menginginkan di lingkungannya ada sarana
ibadah, di mana seharusnya pihak pengembang (developer)
menyediakan fasos dan fasum (termasuk sarana ibadat). Dengan
adanya masjid/mushala di dekat lingkungan tempat tinggal, mereka
tidak kesulitan melakukan shalat jamaah lima waktu, dan sekaligus
dapat dijadikan sebagai sarana dan prasarana mengajarkan ilmu-
ilmu agama kepada anak-anak mereka.134
Keberatan masyarakat non-Muslim sekitar karena faktor
lingkungan, Ant dan Yog yang merupakan pejabat di Kesbang
Linmas mengatakan di Oesapa sudah ada 4 masjid.135 Ternyata yang
133 Wawancara dengan EHB, 28-2-2011. 134 Wawancara dengan AN, SB, Sis, SJ, dan Fu. 135 Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
292
dikatakan oleh Ant dan Yog itu tidak benar, karena Pdt. Hd
mengatakan alasan masyarakat non-Muslim karena di Oesapa
sudah ada 2 buah masjid. Setelah peneliti crosscheck, menurut
beberapa orang pengurus (takmir) Mushala Al-Faidah di Oesapa
memang sudah ada dua masjid. Demikian juga menurut keterangan
Lurah Oesapa yakni Masjid Al-Hidayah sekitar 5 km dan masjid Al
Fitra sekitar 2 km dari lokasi Mushala Al-Faidah. Karena letaknya
cukup jauh, sehingga masyarakat Muslim sekitar Mushala Al-Faidah
merasa kejauhan untuk melakukan shalat jamaah lima waktu dan
terutama untuk menunaikan shalat Jumat.136
Lurah Oesapa – merujuk kepada rekomendasi Koperasi
Pegawai Negeri yang melarang pemindahan hak tanah –
mempertanyakan boleh tidaknya tanah yang diperuntukkan
sebagai perumahan/tempat tinggal kemudian difungsikan untuk
rumah ibadat. Sementara ke lima gereja Kristen dan satu kapela
berada di luar komplek perumahan.137 Dalam hal ini dari kalangan
Muslim di Kota Kupang, (antara lain Pengurus FKUB, Dosen Unmuh
Kupang yang salah seorang panitia pembangunan mushala)
mengatakan bahwa ada perbedaan karakter peribadatan Islam
dengan agama-agama lain. Peribadatan Islam (khususnya shalat
lima waktu) dilakukan dengan hitungan jam, sedangkan kebaktian
yang dilakukan umat Kristiani dilakukan seminggu sekali. Karena
frekuensi peribadatannya berbeda, maka kebutuhan akan rumah
ibadatnya juga sangat berbeda. Karena kebaktian bersifat
mingguan, maka tempat peribadatannya agak jauh atau terpisah di
luar perumahan tidak ada masalah. Tapi karena karakter
peribadatan Islam dalam hitungan jam, maka sangat sulit bagi umat
Islam jika rumah ibadatnya jauh di luar perumahan. Apa lagi untuk
136 Wawancara dengan AN, SB, Sis, SJ, dan Fu. 137 Wawancara dengan EHB,28-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
293
shalat Isya (waktu malam) dan Subuh (dini hari) tentu akan lebih
aman bila dilakukan di tempat ibadat yang letaknya berdekatan
dengan tempat tinggal.
Faktor Ekonomi dan Kecemburuan Sosial
Penduduk Kelurahan Oesapa mayoritas dari etnis Bugis
yang secara ekonomis lebih baik dibandingkan dengan penduduk
pribumi.138 Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi
kelompok masyarakat yang lain baik secara etnis maupun
keagamaan. Sebagaimana dikatakan Pdt. Hd “masalah perselisihan
rencana pembangunan masjid adalah masalah komunikasi.
Sebaiknya di fihak panitia pembangunan tidak mengatakan sudah
memiliki dana untuk membangun masjid. Hal itu justru dapat
menimbulkan iri hati di kalangan masyarakat sekitar yang berbeda
agama. Sehingga untuk rencana pembangunan masjid ini masih
butuh waktu.”139 Kecemburuan itu juga tampak dari wawancara
peneliti dengan RT di RSS Oesapa, RT yang wilayahnya meliputi
Mushala Al-Faidah ini mempertanyakan dana yang dimiliki oleh
panitia pembangunan mushala tersebut dari mana asalnya?140
Peran FKUB
Menurut Mir, FKUB belum berbuat banyak terhadap kasus
perselisihan pendirian rumah ibadat di Oesapa.141 Sementara
seorang anggota FKUB mengatakan bahwa FKUB sudah pernah
138 Wawancara dengan beberapa informan, Ant, Im, Pdt Hd dll dalam waktu dan
kesempatan berbeda. 139 Wawancara dengan Pdt. Hd 25-2-2011. 140 Wawancara dengan Jer, 28-2-2011. 141 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
294
membahas masalah Mushala Al-Faidah142. FKUB sudah pernah
memediasi hingga ke Wali Kota. Namun yang paling menghambat
peran FKUB karena proses perijinan sudah dihambat pada tingkat
kelurahan dan camat. Misalnya daftar pengguna dan pendukung
pendirian rumah ibadat tidak memperoleh pengesahan di tingkat
kelurahan. Sehingga FKUB tidak bisa memberikan rekomendasi.143
Solusi yang Ditawarkan Pemkot
Karena berlarut-larutnya perselisihan pembangunan
Mushala Al-Faidah, maka Pemkot Kupang memberikan solusi
mencarikan tanah, tapi hingga sekarang belum berhasil. Pada
awalnya Wali Kota berjanji akan mencarikan tanah sebagai
pengganti lokasi pembanguan mushala dan tanah lokasi mushala
yang lama tetap sebagai milik umat Muslim dan akan digunakan
sebagai tepat Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), tapi hingga
sekarang belum ada realisasinya.144
142 Wawancara dengan Ant dan Yog, 25-2-2011. 143 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011. 144 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
295
ANALISIS
Administratif/Prosedural/Regulasi
Masalah perselesihan pendirian rumah ibadat (masjid/
mushala) yang terjadi di Kota Kupang, pada umumnya
rencana/awal pembangunannya sudah dilakukan sebelum tahun
2006, atau sebelum diterbitkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.
Namun sejak awal berdirinya masjid/mushala tersebut sudah
menghadapi tantangan dari sebagian anggota masyarakat
setempat yang berbeda agama. Kemudian setelah lahirnya PBM,
panitia pendirian rumah ibadat menghadapi permasalah proses
perijinan, ada yang dihambat di tingkat bawah (RT/RW dan lurah)
dan yang lain ada yang di tingkat dinas di pemerintah kota.
Dengan kata lain, meskipun panitia pembangunan masjid
sudah berupaya memenuhi persaratan-persaratan yang diperlukan,
namun pihak penentang (termasuk di dalamnya aparat pemerintah)
berupaya menghambat dengan berbagai cara. Hal itu lebih tampak
jelas pada pembangunan mushala (rumah ibadat keluarga) – yang
tidak diatur oleh PBM – masih dituntut untuk melengkapi
persyaratan-persaratan layaknya masjid.
Haidlor Ali Ahmad
296
Hubungan Pribumi-Pendatang
Hubungan antara pribumi dan pendatang dapat dikatakan
dalam suasana “keharmonisan semu”. Pertama, karena pada
umumnya pendatang memeluk agama yang berbeda dengan
agama mayoritas penduduk pribumi Kota Kupang. Ketika ada isu
SMS provokatif antara lain ada SMS yang berbunyi “bakar,
hancurkan dan usir”. Kata usir secara mudah dapat diketahui
ditujukan kepada para pendatang. Meskipun di sisi lain keberadaan
pendatang juga dibutuhkan oleh masyarakat khususnya Kota
Kupang dan umumnya Provinsi NTT.
Hal itu terbukti ketika terjadi kerusuhan tahun 1998, Kota
Kupang mengalami kelumpuhan ekonomi selama 3 bulan dan
ketika muncul SMS provokatif, beberpa sektor ekonomi nyaris
lumpuh. Disamping itu ada perlakuan yang berbeda terhadap
pribadi-pribadi pribumi dibandingkan dengan pendatang. Misalnya
kasus perselisihan pembangunan mushala di RSS Oesapa, yang
lebih menampilkan Mir sebagai orang asli Alor dari pada yang lain
sebagai pendatang. Padahal Mir kurang memiliki kecakapan untuk
berkomunikasi. Sementara yang lain sebagai pendatang meskipun
banyak yang sarjana sebagai dosen tapi akan lebih riskan jika
diposisikan di garis depan.
Fungsi Pemerintah Sebagai Regulator, Fasilitator dan
Dinamisator
Berdasarkan informasi dari beberapa orang staf Urais Kanwil
Kementerian Agama Provinsi NTT, salah seorang pejabat Kantor
Kemenag Kota Kupang dan Mir bahwa pihak Kelurahan Oesapa
selama ini tidak bersedia memberikan rekomendasi. Padahal Camat
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
297
Kelapa Lima sudah menyetujui.145 Ketika peneliti mempertanyakan
“yang memberikan rekomendasi kan FKUB dan Kepala Kantor
Kemenag Kabupaten/Kota?” Salah seorang takmir mushala
mengatakan bahwa untuk perijinan tersebut sudah disediakan
blanko dari pemkot yang antara lain ada kolom rekomendasi dari
kelurahan dan camat.146
Menurut pengamatan peneliti terhadap salah seorang
pejabat di Kanwil Kemenag Provinsi NTT dan salah seorang pejabat
Kantor Kemenag Kota Kupang kelihatan ada rasa takut dan
berupaya menutup-nutupi kasus perselisihan rumah ibadat di Kota
Kupang. Lebih jelas lagi pada diri salah seorang pejabat Kantor
Kemenag Kota ketika kami wawancarai mengatakan “tidak tahu
tentang perselisihan pendirian rumah ibadat di Oesapa”. Tetapi
ketika hal itu kami sampaikan kepada salah seorang takmir di
Oesapa, takmir tersebut mengatakan bahwa, tidak mungkin pejabat
tersebut tidak mengetahui permasalah Mushala Al-Faidah Oesapa,
karena yang bersangkutan sering khutbah dan ceramah di sini (pen:
Mushala Al-Faidah) dan isterinya juga orang sini (pen: Oesapa)”.147
Demikian pula ketika saya konfirmasi kepada salah seorang anggota
FKUB Kota Kupang, kami memperoleh jawaban ada kesan ketakutan
di kalangan para pejabat Kanwil Kemenag dan Kantor Kemenag
Kota, sehingga dalam kasus perselisihan pendirian rumah ibadat,
mereka selalu menyuruh FKUB yang bicara.148 Dalam hal ini, peneliti
tidak menyalahkan para pejabat Kanwil Kemenag dan Kantor
Kemenag Kota karena suasana di NTT khususnya di Kota dan
Kabupaten Kupang memang tidak kundusif untuk mengungkapkan
145 Wawancara dengan dua orang sataf di Kanwil Kemenag Provinsi NTT, 23-2-2011
dan pejabat di jajaran Kantor Kemenag Kota Kupang, 24-2-2011. 146 Wawancara dengan Mir, 23-2-2011. 147 Wawancara dengan Mir, 27-2-2011. 148 Wawancara dengan MAR, 27-2-2011.
Haidlor Ali Ahmad
298
fakta secara apa adanya. Apa lagi pada saat penelitian ini
berlangsung suasana Kota dan Kabupaten Kupang sedang tegang
dengan adanya ancaman kerusuhan melalui SMS provokatif.
Lurah Oesapa mengharapkan agar perselisihan masalah
pendirian mushala ini dapat diselesaikan sesuai dengan mekanisme
dan ketentuan yang berlaku, mengacu kepada PBM dan ada
kepastian hukum dan administrasi yang benar.149 Menurut hemat
peneliti, justru di sini letak peliknya permasalahan sehingga pihak
panitia pembangunan mushala merasa dipermainkan, karena
pendirian mushala tidak diatur oleh PBM.
Edialnya fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan
dinamisator tapi faktanya banyak orang dari kelompok keagamaan
tertentu ketika menjadi PNS atau pejabat pemerintah yang
seharusnya melepaskan baju kelompok keagamaannya dalam
artian melepaskan diri dari kepentingan kelompok keagamaannya,
sebaliknya dapat memposisikan diri sebagai yang mewakili
pemerintah dalam mengayomi seluruh umat beragama.
Dari deskripsi di atas masih banyak aparat pemerintah yang
masih berusaha menghabat proses perijinan pembangunan rumah
ibadat. Sehingga dari beberapa orang panitia pembangunan rumah
ibadat ada yang merasa proses pengurusan perijinannya dijegal di
tingkat RT/RW dan lurah dan ada pula yang merasa “dipingpong” di
tingkat pemkot. Pendirian rumah ibadat di Kota Kupang, khususnya
bagi umat Muslim, baik mushala maupun masjid sarat dengan
unsur-unsur politik. Sehingga sering masalah perselisihan antar
umat sudah selesai tapi kemudian dipolitisasi, sehingga ada saja
hambatan yang muncul. Jika ada solusi dari pejabat tinggi di
pemkot lebih dikarenakan kepentingan politik berkaitan dengan
149 Wawancara dengan EHB,28-2-2011.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
299
pemilukada. Sebaliknya, ketika ada aparat (non-Muslim) yang
berupaya berbuat adil menjadi pengayom bagi semua penganut
agama termasuk di dalamnya umat Islam, justru akhirnya tersingkir
dari percaturan politik elit di NTT.150
Perlu Ada Dialog Antarumat
Dalam suatu wawancara dengan Pdt. Hd, ia menanyakan
kepada peneliti tingkat urgensinya rumah ibadat bagi umat Islam,
peneliti sampaikan bahwa bagi umat Islam ada ajaran yang
mengatakan bahwa shalat jamaah memiliki pahala yang berlipat
ganda dibandingkan salat sendiri-sendiri di rumah. Sehingga hal ini
mendorong umat Islam untuk mendirikan sarana untuk shalat
jamaah, baik sekedar berupa mushala lebih-lebih bisa berupa
masjid. Di samping itu, ada hikmah yang bisa dipetik dari kebiasaan
shalat berjamaah, antara lain akan meningkatkan pergaulan antar
individu (Jawa: sesrawungan); menumbuhkan nilai sosial
kemasyarakatan, misalnya jika ada jamaah yang sakit akan mudah
diketahui oleh anggota masyarakat yang lain, selanjutnya mereka
akan membesuknya; Jika ada yang kena musibah mereka juga akan
lebih cepat menerima informasi dan menggalang solidaritas.
Sebenarnya, nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan rasa solidaritas
semacam itu juga bisa ditumbuhkembangkan kepada seluruh
anggota masyarakat tanpa pandang agamanya. Sehingga
masyarakat umum akan dapat merasakan kemanfaatannya. Untuk
itu kiranya cukup beralasan apa yang dikatakan Pdt. Hd di atas
“masalah perselesihan rencana pembangunan masjid adalah
masalah komunikasi”.
150 Wawancara dengan kepala suatu instansi pemerintah yang menangani
masalah keagamaan dan dua orang stafnya, 1-3-2011.
Haidlor Ali Ahmad
300
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
301
P E N U T U P
Kesimpulan
1. Dari ketiga kasus perselisihan pendirian rumah ibadat yang ada,
pihak panitia pembangunan sudah berupaya mengikuti
peraturan yang ada baik sejak sebelum lahirnya PBM maupun
setelah diberlakukannya PBM. Hambatan itu tampak jelas, ketika
yang dibangun hanya mushala yang tidak diatur oleh PBM juga
masih memperoleh hambatan.
2. Peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan belum
maksimal, karena masih banyak aparat pemerintah yang belum
bisa melepas baju kelompok keagamaannya dan menjadi
aparat yang mampu mengayomi seluruh penganut agama. Jika
ada solusi cenderung untuk kepentingan politik dalam
pemilukada.
3. Peranan FKUB penyelesaian perselisihan pendirian rumah
ibadah juga belum bisa maksimal, karena proses perijinan
sudah dihambat pada tingkat bawah RT, RW dan kelurahan.
4. Respon masyarakat yang terhadap pembangunan rumah ibadat
tampak ada yang menggerakkan maupun yang menakut-
nakuti, disamping mereka juga masih belum mengetahui
urgensinya pembangunan rumah ibadat bagi umat lain.
Haidlor Ali Ahmad
302
Rekomendasi
1. Berkenaan dengan uapaya panitia pembangunan rumah ibadat
yang sudah memenuhi persayaratan perijinannya diharapkan
agar aparat pemerintah terkait dapat memberikan kemudahan
dan FKUB serta kepala kantor kementerian agama
kabupaten/kota dapat segera memberikan rekomendasi.
Demikian pula kepala daerah juga dapat menerbitkan IMB-nya
sesuai dengan peraturan yang berlaku (PBM).
2. Berkenaan dengan kasus-kasus perselisihan pembangunan
rumah ibadat aparat pemerintah terkait hendaknya dapat
berlaku adil dan dapat mengayomi terhadap semua penganut
agama sehingga dapat mewujudkan hubungan antarumat
beragama dan pemerintah yang lebih kondusif.
3. FKUB hendaknya dapat bersikap lebih proaktif dan dapat
menjadi mediator bagi mereka yang sedang berselisih dalam
masalah pendirian rumah ibadat.
4. Untuk lebih memberikan pemahaman masyarakat yang berbeda
agama terhadap urgesinya pembangunan rumah ibadat bagi
umat lain perlu adanya dialog antarumat bergama sehingga
dapat meminimalisasi terjadinya perselisihan masalah pendirian
rumah ibadat.
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadat ...
303
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM
dan Tanya Jawabnya.
CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: 2011.
Kanwil Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur, Profil
Pelayanan Bidang Urusan Agama Katholik,2009.
Kupang Metro, Senin, 28 Februari 2011.
Makarim, Abdulkadir, Drs. H., “Pentingnya Kerukunan (Antara Harapan dan Kenyataan)”, Timor Express, Selasa, 1 Maret 2011.
Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun
2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta: 2011.
PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2009.
SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011.
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Toleransi 2010, Jakarta: 2011.
Haidlor Ali Ahmad
304
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
305
Studi Kasus Perselisihan terkait Pendirian, Penertiban dan Penutupan Rumah Ibadatdi Kota/Kabupaten JayapuraProvinsi Papua
Oleh :Ibnu Hasan Muchtar
Kata Pengantar
306
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
307
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan di seputar rumah ibadat tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat kasus
terkait rumah ibadat juga terjadi. Rencana pembangunan Islamic
Center di Ground Zero (yang konon juga adalah pembangunan
mesjid), telah memicu pertentangan antara kelompok masyarakat
yang pro dan kontra rencana pembangunan. Di India bahkan terjadi
kekerasan dan konflik sosial yang dipicu oleh penghancuran Masjid
Babri di Kota Ayodhya, yang bahkan telah meluas pula ke wilayah
Pakistan dan Bangladesh. Sementara itu, proses perdamaian antara
Palestina dan Israel juga kembali terganggu oleh adanya konflik
horisontal akibat pembakaran Masjid Beit Fajjar oleh pemukim
Yahudi di dekat Betlehem, Tepi Barat. Fakta-fakta ini menunjukkan
bahwa masalah di seputar rumah ibadat tidak khas Indonesia,
melainkan dialami oleh negara-negara lain yang memiliki setting
dan karakter kehidupan keagamaan yang berbeda dengan
Indonesia.
Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk dari
segi suku bangsa, budaya, dan agama. Setidaknya terdapat 1.128
suku bangsa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan
Kata Pengantar
308
beragam budayanya masing-masing. Selain itu, setidaknya ada
enam agama yang banyak dipeluk penduduk Indonesia dan ratusan
aliran kepercayaan/keyakinan, yang menyebar di berbagai provinsi
dengan komposisi yang beraneka ragam. Di satu sisi, kemajemukan
ini merupakan khazanah kekayaan bangsa yang patut dibanggakan,
namun di sisi lain sekaligus merupakan tantangan yang harus
dikelola dengan baik.
Dalam konteks kemajemukan agama dan keyakinan,
kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang sangat penting
untuk dijaga dan dipelihara dalam bingkai kehidupan bernegara.
Hal ini karena kerukunan umat beragama merupakan pilar penting
bagi terwujudnya kerukunan nasional, dan merupakan modal sosial
yang harus dijaga dan dikelola sebagai salah satu potensi dalam
pembangunan bangsa. Kerukunan umat beragama sendiri diartikan
sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Kerukunan umat beragama bukanlah kondisi yang statis
melainkan dinamis seiring dinamika kehidupan umat beragama.
Fluktuasinya dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi, yang tidak
semata-mata faktor keagamaan. Kajian Badan Litbang dan Diklat,
misalnya, mendaftar sejumlah faktor non-keagamaan yang
mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi,
dan sosial-budaya. Faktor-faktor non-keagamaan ini biasanya
berdampak besar dan luas. Adapun faktor keagamaan sendiri ada
sebelas, yaitu: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri,
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan
anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan,
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
309
perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan
kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan
pendirian rumah ibadat.
Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun
belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat
beragama adalah masalah di seputar rumah ibadat. Variasinya
cukup beragam, antara lain: penolakan pendirian rumah ibadat,
penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat.
Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat,
sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini
menjadi isu penting dan juga merupakan salahsatu permasalahan
dalam pembangunan nasional sebagaimana tersurat di dalam
RPJMN 2010-2014.
Berbagai laporan tahunan, misalnya, menghitung dan
melaporkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam hal
gangguan terhadap rumah ibadat tersebut. Pada tahun 2009 Center
for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) mencatat terdapat 18
kasus di seputar rumah ibadat, dengan cakupan wilayah yang sama
pada tahun 2010 ini meningkat menjadi 39 kasus.151 Demikian juga
The Wahid Institute mencatat adanya peningkatan gangguan
terhadap rumah ibadat. Bahwa pada tahun 2010 ini terjadi 28 kasus
pelanggaran dan 34 tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat
(total 62 kasus).152 Angka ini lebih besar dari jumlah angka kasus
tahun 2009 meski dengan adanya perluasan wilayah laporan.
Adapun SETARA Institute pada tahun 2010 lalu mencatat terdapat 59
tempat ibadat yang mengalami gangguan dalam berbagai
151 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, Yogyakarta: CRCS UGM,
2011, hlm. 34. 152 Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Toleransi 2010, Jakarta: The Wahid
Institute, 2011, hlm. 17.
Kata Pengantar
310
bentuknya, baik penyerangan, penyegelan, penolakan, larangan
aktivitas ibadah, dan lain-lain.153 Bahkan, Moderate Muslim Society
mencatat dari 81 kasus intoleransi, sebanyak 63 kasus (80%) adalah
aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat, dan intimidasi.154
Sebagian kalangan umat beragama juga merasa sulit dalam
mendirikan rumah ibadat. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), misalnya, pada 1
Desember 2007 melayangkan surat kepada Presiden, menyatakan
keluhannya karena berbagai peristiwa penutupan rumah ibadatnya
dan merasa kesulitan ketika hendak mendirikan rumah ibadat di
berbagai tempat. Dalam surat itu disertakan data kondisi rumah
ibadat gereja, sebagai berikut: sebanyak 27 gereja ditutup dan
belum dapat digunakan untuk beribadat; sebanyak 24 gereja sudah
dibuka dan dapat digunakan untuk beribadat kembali; sebanyak 14
tempat ibadat/gereja digunakan untuk beribadah secara pindah-
pindah; 6 gereja digunakan ibadat meski dalam tekanan; dan
terdapat 37 gereja tanpa keterangan. Total keseluruhan gereja
dimaksud adalah 108 buah.
Kesulitan juga dihadapi umat Muslim di Kupang Barat,
sebagaimana dilaporkan SETARA Institute 2010. Bahwa warga
muslim di Desa Manusak Kupang Timur dan di Kupang Barat
mengalami kesulitan mendirikan masjid. Di lokasi ini telah berdiri
mushalla, sementara warga muslim bermaksud meningkatkan
status mushalla menjadi masjid, namun sudah 10 tahun keinginan
warga Muslim ini ditolak oleh masyarakat sekitar. 155
153 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010,
Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 9. 154 Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun 2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi,
Jakarta: Moderate Muslim Society, 2011, hlm. 12. 155 Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010,
Jakarta: SETARA Institute, 2011, hlm. 12.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
311
Mencermati berbagai permasalahan di seputar rumah ibadat
di Indonesia sebagaimana gambaran di atas, muncul pertanyaan
mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Pertanyaan ini kian
penting mengingat kehadiran PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
(peraturan yang salahsatunya menjelaskan perihal pendirian rumah
ibadat) yang sedang dan terus disosialisasikan oleh Pemerintah,
sejatinya menjadi solusi atas permasalahan di sekitar rumah ibadat
ini. Untuk itulah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011
akan mengadakan penelitian khusus mengenai berbagai kasus di
seputar rumah ibadat. Selain menjawab problem aktual di lapangan,
hasil penelitian ini juga diharapkan dapat mengklarifikasi data dan
informasi berbagai pihak mengenai gangguan terhadap rumah
ibadat tersebut di atas yang ditengarai tidak seutuhnya benar.
Penelitian ini memiliki keterkaitan sekaligus distingsi yang
jelas dengan penelitian serupa tahun 2010 lalu. Jika pada tahun
2010 lalu Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian
terhadap sejumlah rumah ibadat yang hendak didirikan dan
mendapat resistansi masyarakat dan yang tidak mendapat resistansi
(damai), pada 2011 ini fokusnya adalah rumah ibadat yang
diperselisihkan, baik berupa pendirian, penertiban, maupun
penutupan. Artinya, akan dilakukan pendalaman terhadap kasus
perselisihan yang terjadi.
Permasalahan
Berdasarkan gambaran di atas, maka rumusan permasalahan
penelitian ini adalah mengapa perselisihan tentang pendirian,
penertiban dan penutupan rumah ibadat terjadi di berbagai daerah
Indonesia. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
Kata Pengantar
312
1. Bagaimana perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat terjadi, dan mengapa diperselisihkan?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan?
3. Bagaimana peranan FKUB dalam penyelesaian perselisihan?
4. Bagaimana respon masyarakat terhadap penyelesaian
perselisihan tersebut?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui perselisihan tentang pendirian, penertiban, atau
penutupan rumah ibadat terjadi dan alasan diperselisihkan.
2. Mengetahui peran pemerintah dalam penyelesaian perselisihan.
3. Mengetahui peranan FKUB dan majelis agama dalam
penyelesaian perselisihan.
4. Mengetahui respon masyarakat terhadap perselisihan dimaksud.
Kegunaan Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat
diperoleh dan terverifikasinya data dan informasi faktual mengenai
sejumlah rumah ibadat yang mengalami penutupan/diper-
selisihkan. Dengan adanya informasi mengenai data faktual ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi Kementerian Agama, Kemen-
terian Dalam Negeri, dan pemerintah daerah sebagai bahan untuk
menyusun kebijakan terkait dengan implementasi peraturan
pendirian rumah ibadat dalam rangka upaya peningkatan
kerukunan umat beragama. Selain itu, hasil penelitian ini
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
313
diharapkan memberi penjelasan atas kedalaman penyebab dan
berbagai motivasi kasus-kasus rumah ibadat yang dilaporkan oleh
beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Definisi Operasional
Secara konseptual kerukunan umat beragama adalah
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai
kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 1). Dengan demikian, kerukunan umat
beragama akan terwujud jika segenap umat beragama memiliki
toleransi yang tinggi, saling pengertian, saling menghormati,
menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan
pada tingkat tertentu dapat melakukan kerjasama. Artinya, dalam
konteks di seputar masalah rumah ibadat, umat beragama
hendaknya dapat menerima dan memahami kebutuhan rumah
ibadat umat agama lain, serta memberikan penghormatan,
penghargaan atas kesetaraan pengamalan agama, dan jika dapat,
membantu dalam prosesnya.
Sedangkan perselisihan di seputar rumah ibadat secara
konseptual didefinisikan sebagai perselisihan antara pihak panitia
pendiri atau pengguna atau calon pengguna rumah ibadat dengan
pihak masyarakat setempat, dengan pemerintah daerah, dengan
kantor kementerian agama kabupaten/kota atau dengan FKUB
setempat dalam hal yang berkaitan dengan izin dan persyaratan
pendirian rumah ibadat, ataupun penggunaan bangunan gedung
bukan rumah ibadat yang akan atau telah dipergunakan sebagai
rumah ibadat. Perselisihan juga dapat terjadi antar sesama
Kata Pengantar
314
pengguna rumah ibadat dan karena ketidakpastian pelayanan
pemerintah daerah. Artinya, perselisihan rumah ibadat terjadi
menyangkut tertib aturan dan pemenuhan berbagai persyaratan,
yakni persyaratan administratif, teknis, dan khusus. Dalam kaitan ini,
acuan peraturan yang secara khusus mengaturnya adalah PBM No.
9 dan 8 Tahun 2006 Pasal 13 dan 14. Perselisihan dalam penelitian
ini dapat terkait pendirian, penertiban, ataupun penutupan rumah
ibadat.
Perselisihan dalam penelitian ini terkait pendirian, penertiban,
atau penutupan rumah ibadat. Perselisihan pendirian dan
penutupan dimaksudkan terhadap rumah ibadat yang
diperselisihkan oleh masyarakat. Sedangkan penertiban
dimaksudkan pada tempat bukan rumah ibadat yang digunakan
untuk rumah ibadat (sementara).
Adapun rumah ibadat dalam penelitian ini adalah bangunan
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk
beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara
permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Panitia
pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh
umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat
(PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Bab I psl 1 ayat 7).
Kerangka Berpikir
Masalah di seputar rumah ibadat kerap terjadi seiring
dinamika kehidupan umat beragama di dalam pluralitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Keberagaman agama dan keyakinan
masyarakat berkelindan dengan masalah-masalah sosial ekonomi
di sekitarnya bersinggungan satu sama lain yang, dalam satu dan
lain hal, menyebabkan gesekan dan konflik. Secara simbolik,
keberadaan rumah ibadat juga adalah gambaran eksistensi umat
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
315
beragama bersangkutan dalam ‘kontestasi’ demografi keagamaan
di wilayah tersebut.
Mengingat potensi gangguan kerukunan yang disebabkan
masalah rumah ibadat ini, pemerintah memiliki peranan penting
sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator. Sebagai regulator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan tugas utamanya
menjaga ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu
masalah rumah ibadat, misalnya, dengan membuat aturan-aturan.
Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas
hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8
Tahun 2006 diterbitkan sebagai regulasi yang mengatur perihal
pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral karena
disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator,
maksudnya, pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani
dan melindungi umat beragama dalam melaksanakan ibadat,
termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,
maksudnya, pemerintah berupaya memberdayakan umat
beragama dalam kehidupan beragama, termasuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat.
Dari perspektif itu, pendekatan yang dapat dilakukan untuk
memahami kasus-kasus terkait rumah ibadat, khususnya dalam
konteks Indonesia yang dalam penelitian ini digunakan pendekatan
antara lain sebagai berikut:
1. Ranah regulasi
Alasan yang kerap diberikan ketika sejumlah rumah ibadat
dipermasalahkan adalah soal izin pendirian bangunan rumah
ibadat, serta serangkaian persyaratannya sebagaimana diatur dalam
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 atau peraturan lainnya. Rumah ibadat
atau tempat bukan rumah ibadat yang digunakan untuk ibadat
kerap dipermasalahkan dan diperselisihkan ketika belum memenuhi
Kata Pengantar
316
persyaratan sebagaimana ditegaskan dalam peraturan. Meski
demikian, dalam beberapa kasus terjadi perselisihan terhadap
rumah ibadat yangt sudah memiliki izin mendirikan bangunan
(IMB). Untuk itu, pada ranah regulasi ini penting melihat
keterpenuhan persyaratan sebagaimana yang diatur, yakni terkait
persyaratan admnistratif, persyaratan teknis, dan persyaratan
khusus. Hal ini merujuk pada Pasal 13 dan 14 PBM No. 9 dan 8 Tahun
2006.
2. Ranah sosial-ekonomi-budaya
Kehadiran komunitas pendatang ke dalam struktur komunitas
pribumi yang telah mapan kerap menimbulkan friksi sosial—yang
tidak jarang ‘meminjam’ sentimen agama. Penelitian Usman Pelly
(1999) yang mencari akar kerusuhan etnis di era reformasi
mengonfirmasi hal ini. Penelitian itu menyimpulkan bahwa
kerusuhan etnis sejak awal era reformasi berakar pada kesenjangan
sosial-ekonomi dan merupakan protes budaya yang memberi
petunjuk kuat bahwa tatanan sosial kehidupan majemuk telah
hancur. Kelompok menengah telah memaksa kelompok etnis
pribumi untuk puas hidup di papan bawah dan terpinggirkan.
Potensi konflik kemudian memanfaatkan label etnis dan agama
untuk memperkuat solidaritas dan legitimasi perlawanan terhadap
ketidakadilan.156
Konsep ingroup-outgroup juga kerap berperan dalam hal ini.
Kehadiran rumah ibadat agama lain dalam struktur sosial yang telah
mapan sebelumnya, kerap menimbulkan penolakan dan/atau
perselisihan. Demikian juga di ranah budaya, kehadiran rumah
156 Usman Pelly, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal Konflik
dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April 1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia,
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
317
ibadat lain yang mengindikasikan adanya komunitas umat
beragama lain kerap dianggap ‘gangguan’ bagi stabilitas budaya
masyarakat setempat yang telah mapan. Demikian pula hal
ekonomi, pendatang yang secara ekonomi lebih kuat, kerap
mendapatkan ‘perlawanan’ dari komunitas pribumi yang secara
ekonomi lebih rendah.
3. Ranah keberagamaaan
Intoleransi beragama kerap juga dituding sebagai penyebab
adanya penolakan atau perselisihan terkait rumah ibadat. Inklusifitas
keagamaan tidak bisa menerima kehadiran (rumah ibadat) pemeluk
agama lain di sekitarnya.
Dari ketiga ranah ini, dapat digambarkan kerangka pikir
penelitian ini yang sekaligus menunjukkan pendekatan yang
dilakukan dalam proses analisis kasus ini:
Ranah
Regulasi/peraturan
Apakah proses pendirian gereja sesuai ketentuan PBM, SKB1/1969, atau peraturan khusus lainnya?
Fakta-fakta
dalam kasus
rumah ibadat
Ranah Politik-Ekonomi-
Sosial-Budaya
Apakah ada motif/unsur ekonomi, politik, sosial, atau budaya dalam kasus perselisihan ini? Kesenjangan poleksosbud? Dinamika politik lokal?
Ranah Keberagamaan
Bagaimana kondisi kehidupan beragama? Adakah intoleransi beragama? Isu agama/SARA?
Kata Pengantar
318
Penelitian Terdahulu
Penelitian serupa dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan tahun 2010 lalu. Penelitian yang dilakukan di 6 lokasi
penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai
berikut:
• Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari tiap
agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan peradaban
yang dijiwai dengan nilai-nilai kesucian (sacral). Dalam
pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi
tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan.
• Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan
PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah
ibadat telah diketahui, tetapi belum optimal, hanya
dilaksanakan pada panitia pembangun rumah ibadat yang
menyadari pentingnya IMB dan berwawasan ke depan.
Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada
panganut agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan
prioritas kegiatan.
• Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, selain
karena terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan pemerintah
daerah, juga karena adanya komunikasi dan kerukunan hidup
antar umat beragama, serta nilai-nilai kearifan lokal yang
terpelihara sebagai media pendekatan. Pendirian rumah ibadat
yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, lebih
disebabkan faktor perbedaan paham keagamaan, dan berbagai
kepentingan para elite agama dalam prestise sosial,
pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan
kekuasaan. Di samping itu, karena ego mayoritas dan arogansi
minoritas.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
319
• Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang
dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagaian
lembaga swadaya masyarakat (LSM) ialah terbebankan pada
umat Kristiani, tetapi sesungguhnya juga terbebankan pada
umat Islam, Hindu dan Buddha yang minoritas di tengah
pemeluk agama mayoritas.
• Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan
pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi
aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang
mendukung dan toleransi sosial.
Penelitian lain dalam tema serupa sesungguhnya telah
cukup banyak, meski lingkupnya masih terbatas. Adapun distingsi
penelitian kali ini adalah penekanan pada kedalaman dalam
memahami kasus tentang pendirian, penertiban, dan penutupan
rumah ibadat yang terjadi di lokasi penelitian.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus yang mendalam dan
menyeluruh dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan/dokumen dan pengamatan lapangan serta
wawancara. Pengamatan lapangan dengan cara mendatangi rumah
ibadat yang menjadi sasaran penelitian dalam hal ini 3 rumah ibadat
Islam yaitu Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura, Masjid
Kuba Koya Barat dan Masjid Al-Mawaddah Rt. 01/IX Jl. Feliyau II
Hawai Sentani Kab. Jayapura. Wawancara dilakukan dengan
berbagai informan di antaranya: Kepala Bidang Pendidikan Agama
Islam Kantor Kemenag Wilayah Papua, Kepala Kantor Kemenag Kota
Jayapura, Kasub TU dan Kasi Pendais dan Pemberdayaan Masjid
Kata Pengantar
320
Kota Jayapura, PWNU, Pengurus MUI Provinsi dan Kota Jayapura,
Kepala KUA Distrik Abepura, pengurus FKUB Kota dan Kabupaten
Jayapura. Bahan pustaka yang digunakan antara lain laporan
tahunan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, laporan tahunan
beberapa LSM berkaitan, dan media massa. Karena bersifat
verifikatif, maka data awal itu akan menjadi pedoman pada
pelaksanaan pengumpulan data di lapangan (spotchecking). Dalam
melakukan wawancara, peneliti menggunakan pedoman
wawancara.
Analisis data dilakukan dengan memperhatikan semua unsur
yang menjadi fokus kajian dengan cara deskriptif-analitik, melalui
tahap-tahap editing, klasifikasi data, reduksi data, dan interpretasi
untuk memperoleh kesimpulan.
Untuk menguji keabsahan data, digunakan teknik triangulasi
dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain dengan kata
lain informasi dari satu informan ditanyakan ulang dan dikroscek
kepada informan lainnya baik dari pihak yang mengusulkan
pembangunan maupun pihak yang menolak. Menurut Patton
(1987) triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan
mengecek balik derajat keterpercayaan suatu informasi melalui
waktu dan alat yang berbeda, misalnya membandingkan hasil
wawancara denan hasil pengamatan, dengan dokumen,
membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan
ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa
dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan informasi pada
saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu.157
157 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2002, hlm. 178.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
321
Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kota Jayapura dan
Kabupaten Jayapura Papua. Pemilihan di dua wilayah ini mengingat
keterbatasan kasus yang ada di satu wilayah sebagai mana dalam
desain operasional semula adalah di salah satu kabupaten/kota
dengan jumlah kasus minimal 3 (tiga) kasus perselisihan terkait
pendirian, penertiban, atau penutupan rumah ibadat yang terjadi di
daerah tersebut yaitu 2 masjid dan 1 vihara. Setelah dilakukan
pembahasan dan diskusi bersama pejabat Kantor Kementerian
Agama Wilayah maupun Kota Jayapura, Sekretaris FKUB Kota
Jayapura, Pengurus MUI kota dan provinsi, pengurus ormas Islam
(PWNU), dan pengecekan di lapangan ternyata tidak terdapat kasus
untuk vihara dan rumah ibadat agama lain selain masjid, maka
diputuskan untuk melakukan penelitian khusus rumah ibadat Islam
yaitu masjid dan ditemukan hanya dua masjid di Kota Jayapura dan
satu masjid di Kabupaten Jayapura yang lokasinya cukup berjauhan.
Kata Pengantar
322
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
323
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Kondisi Geografis
Provinsi Papua adalah sebuah provinsi di Indonesia yang
terletak di Pulau Nugini bagian barat atau West New Guinea.
Provinsi Papua yang memiliki luas 317.062 km2 atau 17,04 persen
dari luas Indonesia (1.860.359,67 km2), merupakan provinsi
dengan wilayah terluas di Indonesia. Provinsi ini dulu dikenal
dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973,
namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada
saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama
yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama
provinsi ini kemudian diganti menjadi 'Papua' sesuai UU
No.21/2001 Otonomi Khusus Papua.
Pada masa era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini
Belanda (Dutch New Guinea), asal kata Irian adalah Ikut Republik
Indonesia Anti-Netherland. Pada tahun 2004, disertai oleh berbagai
protes, Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia; bagian timur tetap memakai nama 'Papua' sedangkan
bagian baratnya menjadi Irian Jaya Barat. Ibu kota Provinsi papua
adalah Jayapura, provinsi ini terbentuk dari 28 kabupaten, dua di
antaranya adalah kabupaten pemekaran yaitu Kab. Deiyay dan
Kab. Intan Jaya dan 1 Kota yaitu Jayapura.
Kata Pengantar
324
Batas wilayah Provinsi Papua sebelah utara Samudera Pasifik,
sebelah selatan Laut Arafuru, sebelah barat Laut Seram-Laut Banda
Provinsi Maluku, sebelah timur berbatasan dengan Negara Papua
New Guinea. (www.papua.go.id).
Kondisi Demografis
Pada tahun 2009, berdasarkan hasil proyeksi SUPAS05 BPS,
penduduk Papua berjumlah 2.097.482 jiwa, dengan rasio jenis
kelamin 51,83% laki-laki dan 48,17% perempuan (Papua dalam
Angka 2010: 77). Mengacu pada perbedaan tofografi dan adat
istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok
besar. Pertama, penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan
ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan
mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan; Kedua,
penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa
danau dan lembah serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata
pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil
hutan; Ketiga, penduduk daerah dataran tinggi dengan mata
pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana.
Dalam bidang kerohanian pada tahun 2009, jumlah
penduduk Papua yang memeluk agama Kristen tercatat 1.956.749
orang, atau sekitar 64,3 persen dari total penduduk Papua.
sementara pemeluk agama Katolik mencapai 21,99%, Islam 13,43%
dan sisanya pemeluk agama Hindu dan Buddha. Jumlah tempat
peribadatan yang ada di Papua juga didominasi oleh tempat
peribadatan Kristen yang tercatat sebanyak 4.121 gereja.
Sedangkan jumlah tempat peribadatan Katholik mencapai 1.427
gereja, tempat peribadatan Islam mencapai 757
masjid/musholla/langgar, tempat peribadatan Hindu sebanyak 33
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
325
pura dan tempat peribadatan Buddha sebanyak 11 vihara. (Papua
dalam angka 2010: 136).
Kehidupan Sosial-Budaya
Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193
bahasa yang masing-masing berbeda. Seni tradisional yang
terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Kamoro, Dani, dan
Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan
pengelolaan lingkungan yang lebih baik di antaranya dapat
ditemukan di kalangan suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya
Maru, Mandacan, Biak, Arni, dan Sentani.
Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem
kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilineal).
Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat asli Papua
cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi
oleh alam laut, hutan dan pegunungan.
Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang
sangat unik, seperti yang ditunjukkan oleh budaya suku Komoro di
Kabupaten Mimika, yang membuat genderang dengan
menggunakan darah. Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang
gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani
disebut win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan
dijadikan festival budaya lembah Baliem.
Kehidupan Keagamaan
Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting
bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan
antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah
Kata Pengantar
326
lain, mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun demikian
sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua,
penganut agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang.
Pada umumnya masyarakat Papua majemuk, baik dalam hal suku,
agama maupun budaya. Dalam kemajemukan itu, mereka tetap
membina kerukunan hidup antarumat beragama, kelompok umat
beragama senantiasa memahami sejarah perkembangan agama-
agama di wilayah ini dan atas kesadaran akan sejarah itulah maka
mereka pun saling menghargai satu sama lain.
Kota Jayapura
Nama Kota Jayapura pada awalnya adalah Hollandia. Nama
tersebut diberi oleh Kapten Sachse pada tanggal 07 Maret 1910.
Kata Hollandia berasal dari kata hol = lengkung atau teluk, land =
tanah atau tempat. Jadi Hollandia artinya tanah yang melengkung
atau tanah/tempat yang berteluk. Sebagaimana keadaan geografi
Negeri Belanda atau Holland atau Nederland yang berteluk-teluk,
keadaan geografi Kota Jayapura hampir sama dengan garis pantai
utara Negeri Belanda itu. Kondisi alam yang berlekuk-lekuk inilah
yang mengilhami Kapten Sachse untuk mencetuskan nama
Hollandia di atas nama asli Numbay. Numbay diganti nama sampai
4 kali Hollandia, Kotabaru, Sukarnopura, dan terakhir Jayapura.
Kota Madya Daerah Tingkat II Jayapura berdiri sejak tanggal
21 September 1993 berdasarkan Undang - undang No. 6 Tahun
1993. Luas wilayah Kota Jayapura 94.000 ha. Di wilayah tersebut
terdapat ±30% tidak layak huni, karena terdiri dari perbukitan yang
terjal, rawa-rawa dan hutan dengan kemiringan tanah 40% yang
bersifat konservasi dan hutan lindung. Kota ini terdiri dari 5 distrik
yaitu Distrik Abepura, Jayapura Selatan, Jayapura Utara, Muara
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
327
Tami dan Heram. Kota Jayapura terbagi dalam 24 kelurahan dan
15 kampung.
Wilayah Kota Jayapura mempunyai batas administratif, di
sebelah utara Lautan Pasifik, selatan Distrik Arso Kabupaten
Keerom, timur Negara PNG, barat Distrik Sentani dan Depapre
Kabupaten Jayapura (www.papua.go.id).
Penduduk
Menurut data dari kantor Kemenag Kota Jayapura pada tahun
2009, penganut agama yang berada di wilayah ini terdiri dari
Kristen 113.314 jiwa, Katolik 43.248 jiwa, Islam 94.953 jiwa, Hindu
2.495 jiwa, Buddha 1.927 jiwa. Dari komposisi penduduk menurut
penganut agama, maka dapat disimpulkan bahwa penduduk Kota
Jayapura mayoritas adalah penganut agama Kristen. (BPS Kota
Jayapura, Kota Jayapura dalam Angka 2010: 26).
Data Umat Pemeluk Agama dirinci Menurut Kecamatan
Kota Jayapura Tahun 2009
No Distrik Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Jumlah
1. Jayapura Utara 27.450 37.796 11.831 1.102 701 78.880
2. Jayapura Selatan 30.649 30.680 15.683 689 745 78.626
3. Abepura 23.263 20.775 8.740 621 379 53.778
4. Muara Tami 13.591 10.690 3.203 83 102 27.669
5. Heram - 13.373 3.611 - - 16.984
Jml 94.953 113.314 43.248 2.495 1.927 255.937
Sumber: Kantor Kemenag Kota Jayapura 2010,
Kata Pengantar
328
Sedangkan data mengenai jumlah tempat ibadat menurut
agama yang terdapat di Kota Jayapura pada tahun 2009 terdiri
dari, gereja Kristen 270 buah, gereja Katolik 19 buah, masjid 106
buah, vihara 2 buah, dan pura 1 buah.
Jumlah Tempat Ibadat di Kota Jayapura per-Distrik
Tahun 2009
No Distrik Mas-jid Mush
ola
Gereja
Kristen
Gereja
Katolik
Viha
ra Pura Jumlah
1. Jayapura Utara
38 2 85 3 - - 128
2. Jayapura Selatan
31 4 57 4 1 - 97
3. Abepura 21 5 68 5 1 1 101 4. Muara Tami 4 36 25 4 - - 69 5. Heram 12 4 35 3 - - 54 J U M L A H 106 51 270 19 2 1 449
Sumber: Kantor Kemenag Kota Jayapura 2010, hal.75
Perselisihan tentang pendirian rumah ibadat juga terjadi di
daerah ini, program penelitian di Kota Jayapura di fokuskan di 2
tempat yaitu di Masjid Quba di Jln. Trans Papua, Sowakarsa, Koya
Barat, Distrik Muaratami dan Mesjid Al – Muhajirin Komplek Mako
Brimob Polda Papua yang berada di Jl. Raya Abepura No.1, Distrik
Jayapura Selatan.
Kabupaten Jayapura
Kabupaten Jayapura adalah salah satu kabupaten di
Provinsi Papua. Ibukota kabupaten ini terletak di Sentani, 33 km
dari Kota Jayapura. Berdasarkan hasil pengolahan cepat sensus
penduduk 2010 di Kabupaten Jayapura, jumlah penduduk
Kabupaten Jayapura 114.515 jiwa, terdiri dari 60.672 laki-laki dan
53.843 perempuan. Penduduk terbanyak di Distrik Sentani (41,66
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
329
%) dan Distrik Airu dengan persentase terkecil (0.70 %). Luas
wilayah Kabupaten Jayapura 17.516.60 km2 yang terbagi dalam 19
distrik 139 kampung dan 5 kelurahan. Penyebaran penduduk
Kabupaten Jayapura masih terpusat pada distrik Sentani dan
distrik-distrik sekitarnya seperti Sentani Timur, Sentani Barat dan
Waibu.
Batas-batas wilayah administratif Kabupaten ini meliputi;
sebelah utara Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi, sebelah
selatan Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo
dan Kabupaten Tolikara, sebelah timur Kota Jayapura dan
Kabupaten Keerom, sebelah barat Kabupaten Sarmi. (BPS Kab.
Jayapura, Angka Sementara Sensus Penduduk 2010 Kab. Jayapura
:3).
Di wilayah ini terdapat sebuah danau yang luas dan
menjadi ciri khas, danau yang berada di wilayah Kabupaten
Jayapura yaitu Danau Sentani yang luasnya 9.639 ha, yang
meliputi wilayah Distrik Sentani, Sentani Timur, Ebungfauw dan
Waibu. Keadaan topografi berupa lereng relatif terjal dengan
kemiringan 5%-30% serta mempunyai ketinggian 0,5m-1500m dpl.
Daerah pesisir pantai utara berupa dataran rendah yang
bergelombang dengan kemiringan 0%-10% yang ditutupi dengan
endapan alluvial. Secara fisik, selain daratan juga terdiri dari rawa
(13.700 ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten Jayapura (72,09%)
berada pada kemiringan di atas 41%, sedangkan yang mempunyai
kemiringan 0-15% berkisar 23,74%. Secara fisik, selain daratan juga
terdiri dari rawa (13.700 ha). Sebagian besar wilayah Kabupaten
Jayapura (72,09%) berada pada kemiringan diatas 41%, sedangkan
yang mempunyai kemiringan 0-15% berkisar 23,74%.
(www.jayapurakab.go.id).
Kata Pengantar
330
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
331
KASUS-KASUS RUMAH IBADAT
A. Kasus Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura
1. Kasus perselisihan terkait pendirian
a. Sejarah berdirinya Masjid
Rencana pendirian masjid ini bermula dari desakan
kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh yang dirasakan para
anggota satuan Brimob Polda Papua dan keluarganya yang
beragama Islam bertempat tinggal di Asrama dalam satu komplek
dengan Mako Brimob di Jalan Raya Abepura Nomor 1 Jayapura.
Mengingat sejak berdirinya Mako Sat Brimob Papua dari tahun 1968
hingga pertengahan tahun 2006 belum terdapat sarana ibadat
berupa masjid bagi anggota yang beragama Islam. Berdasarkan hal
di atas maka dilakukan pertemuan seluruh anggota Sat Brimob
Polda Papua (Islam dan non-Islam) pada tanggal 26 September 2006
di Aula Koesjaeri Brimob Kotaraja tentang rencana pembangunan
masjid di lingkungan Sat Brimob Polda Papua dan menghasilkan
kesepakatan:
1. Seluruh anggota menyetujui rencana untuk dibangunnya sarana
ibadat satu masjid di lingkungan Satuan Brimob Polda Papua;
Kata Pengantar
332
2. Tempat akan dibangung masjid adalah eks lapangan tennis yang
sudah dua tahun terakhir tidak dipakai lagi;
3. Dana untuk pembangunan masjid adalah dana sumbangan
sukarela anggota yang beragama Islam;
4. Dana yang berasal dari luar bersifat bantuan yang tidak mengikat
berdasarkan proposal usulan kepada instansi pemerintah,
suwasta, perusahaan-perusahaan dan kaum Muslimin Kota
Jayapura melalui masjid-masjid yang sudah ada.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut Kasat Brimob yang
pada saat itu dijabat oleh Drs. Irwanto KBP NRP 61050755 pada
tanggal 22 Januari 2007 mengeluarkan Surat Perintah No. Pol:
Sprin/23/I/2007/Sat.Bm memerintahkan kepada Para Perwira dan
Bintara yang nama, pangkat, jabatan dan NRP yang tercantum
dalam lampiran untuk nomor 1 sd. 24 disamping melaksanakan
tugas dan tanggung jawab sehari-hari, ditunjuk sebagai panitia
dalam rangka Pembangunan Masjid Al-Muhajirin Sat Brimob Polda
Papua di Jayapura hingga selesainya Pembangunan Masjid
dimaksud.
Dengan surat perintah disebut di atas maka panitia mulai
bekerja dengan mengumpulkan dana dan beberapa administrasi
untuk mendukung kelancaran rencana dimaksud di antaranya
melakukan:
1. Menulis surat kepada Kakanwil Kemenag Papua untuk
penentuan arah kiblat;
2. Memohon rekomendasi pembangunan masjid dari Kanwil
Departemen Agama (waktu itu);
3. Membuat surat edaran tentang rencana pembangunan Masjid
Al-Muhajirin;
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
333
4. Membuat rencana anggaran yang dibutuhkan dalam
pembangunan dan;
5. Membuat gambar rencana arsitektur, struktur, mekanikal dan
elektrikal masjid.158
b. Terjadinya Protes
Setelah berlangsung pembangunan selama dua sampai tiga
bulan dan telah mencapai ± 40%, terjadi protes dari sebagian
anggota Satuan Brimob yang beragama Kristen dengan melakukan
demonstrasi di depan Kantor Polda Papua dan menuntut untuk
bertemu dengan Kepala Polisi Daerah Papua untuk menyampaikan
aspirasi mereka tentang pembangunan masjid yang sedang
berlangsung.
Para pendemo menuntut agar Kepala Polda Papua
menghentikan pembangunan Masjid Al-Muhajirin di lingkungan
Mako Sat Brimobda di Kotaraja Jayapura. Dengan adanya demo
yang dilakukan oleh sebagian anggota Brimobda yang beragama
Kristen – mereka juga merupakan jemaat dari Gereja Kristen Injili di
Tanah Papua (GKI) yang terletak hanya berkisar 50 M dari komplek
Mako Brimobda – maka Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Pol.
Drs. Tommy T. Jacobus mengeluarkan surat No. Pol. B/862/IV/2007
Prihal: Penghentian Sementara Pelaksanaan Proyek Pembangunan
di Sat Brimobda Papua yang ditujukan kepada Kepala Satuan
Brimobda Papua walaupun dalam rujukan surat Kapolda tidak
tercantum atas desakan para pendemo159.
158 Kronologis Pembangunan Masjid Al-Muhajirin 159 Wawancara dengan beberapa jemaah shalat zuhur Masjid Al-Muhajirin
tanggal, 24 Februari 2011
Kata Pengantar
334
Isi surat Kepala Kepolisian Daerah Papua yang ditujukan
kepada Kepala Satuan Brimobda Papua adalah sebagai berikut:
1. Rujukan: Surat Kasat Brimob Polda No. Pol. B/1107/XI/2006/Sat
Bm. Tanggal 20 Nopember 2006 tentang Permohonan Bantuan
Dana Pembangunan
2. Diperintahkan kepada Kasat untuk menghentikan semua proyek
pembangunan secara swadaya yang sedang dilaksanakan di Sat
Brimobda Papua.
3. Penghentian tersebut didasarkan pada fakta sebagai berikut:
a. Belum adanya izin tertulis dari Kapolda Papua tentang
pemanfaatan lahan untuk pembangunan tersebut;
b. Lahan yang sekarang digunakan untuk pembangunan
tersebut sudah direncanakan untuk pembangunan
perluasan kantor Sat Brimob, yang telah dalam proses
pengajuan ke Mabes Polri;
c. Setelah diberlakukannya sistem DIPA dalam pengelolaan
keuangan negara yang berbasis kinerja, maka pembangunan
yang bersifat swadaya harus dilengkapi persyaratan yang
ketat termasuk sumber anggarannya;
d. Untuk pembangunan yang sudah terlanjur dibangun sampai
saat ini, akan dialih fungsikan menjadi Kantor Sat Brimob
sesuai dengan perencanaan semula.160
Berdasarkan surat Kepala Polda tersebut di atas maka panitia
pembangunan Masjid Al-Muhajirin dihentikan, walaupun
pelaksanaan ibadah dan kegiatan-kegiatan pengajian baik secara
dinas maupun di luar dinas tetap berjalan.
160 Surat Kepala Polda Papua ke Kasat Brimobda tanggal 30 April 2007
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
335
2. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Kota
Jayapura Papua pada awal rencana pembangunan Masjid Al-
Muhajirin telah menerima permohonan pengajuan untuk
didaftarkan sebagai sebuah masjid sarana ibadat di lingkungan
Kesatrian Satuan Brimob Papua dengan nomor surat No. Pol.:
B/246/XII/2006/ Sat. Bm yang ditanda tangani oleh Kepala Satuan
Brimob Polda Papua Drs. Irwanto tanggal 10 Desember 2006.
Merespon surat permohonan ini maka Kepala Kontor
Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) telah
mengeluarkan surat nomor: Kd.26.13/1/BA.00.5/008/2007
tertanggal 5 Januari 2007 perihal Rekomendasi Pembangunan
Masjid Al-Muhajirin Kompleks Sat Brimob Polda Papua Kotaraja Kota
Papua yang isinya Kepala Kantor responsife, mendukung dan
memberikan rekomendasi terhadap pembangunan Masjid Al-
Muhajirin Kompleks Sat Brimob Polda Papua Kota Jayapura.
Terhadap perselisihan yang terjadi di tengah-tengah proses
pembangunan di dalam lingkungan internal antar anggota Sat
Brimob yang pro dan yang kontra, Kantor Kementerian Agama Kota
merasa tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
perselisihan ini, disebabkan keberadaan masjid yang diperselisihkan
di bawah satu institusi pemerintah yaitu institusi Polda Papua.
Oleh Karen itu maka dari pihak pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama Kota Jayapura sampai tulisan ini di buat
belum/tidak bertindak untuk menyelesaikan perselisihan yang ada
dalam internal Mako Brimob Polda Papua.161
161 Wawancara dengan Kepala Kantor Kemenag Kota Papua tanggal 25 Februari
2011.
Kata Pengantar
336
3. Peran FKUB
Dari hasil wawancara dengan salah satu pengurus FKUB
Kota Jayapura dapat disimpulkan bahwa FKUB Kota Jayapura
sampai saat ini belum bertindak atau melakukan sesuatu untuk
penyelesaian perselisihan pendirian masjid yang berada di Satuan
Brimob Polda, bebarapa kali sering dimunculkan dalam bentuk
pertanyaan ketika rapat-rapat yang membahas masalah kerukunan
antarumat beragama oleh sebagian majelis/pemuka agama
misalnya pemuka agama Hindu dalam berbagai kesempatan,
namun tidak mendapat respon yang memadai.
Di antara alasan FKUB tidak mengambil peran cukup dalam
perselisihan pendirian rumah ibadat ini selain pihak panitia
pembangunan tidak pernah mengajukan permohonan
rekomendasi dari FKUB sebagai kelengkapan persyaratan khusus
sebagaimana diatur dalam PBM tahun 2006 pasal 14, juga karena
pembangunan rumah ibadat ini di dalam wilayah internal Satuan
Brimob Polda Papua dan perselisihan terjadi antar anggota Satuan
Brimob itu sendiri dan penanganannya telah dilakukan oleh institusi
Polda Papua.
Sedangkan alasan panitia pembangunan masjid tidak
mengajukan permohonan rekomendasi kepada FKUB Kota Jayapura
disebabkan karena pemahaman panitia pembangunan terhadap
PBM tahun 2006 belum ada, pembangunan rumah ibadat itu sendiri
di bawah suatu institusi pemerintah, juga pada saat merencanakan
pembangunan dan dimulainya pembangunan keberadaan FKUB
Kota Jayapura sendiri belum diketahui oleh masyarakat.162
162 Wawancara dengan Sekretaris FKUB Kota Jayapura Drs. I. Made Sunartha
tanggal 28 Februari 2011
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
337
4. Peran Majelis Agama (MUI)
Sebagaimana dikemukan di atas bahwa baik pemerintah
(Kementerian Agama Kota Jayapura) maupun FKUB Kota Jayapura
tidak bisa berbuat banyak berkenaan dengan perselisihan yang
terjadi dalam pembangunan Masjid Al-Muhajirin, hal serupa juga
terjadi pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Jayapura.
Walaupun dalam berbagai kesempatan sering permasalahan Masjid
Al-Muhajirin dipersoalkan namun tidak menjadi perhatian penuh
yang harus dilakukan disebabkan karena perselisihan ini terjadi di
dalam salah satu institusi pemerintah yang dianggap dapat
menyelesaikan persoalannya sendiri163.
5. Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Kasus
Kerukunan antarumat beragama di Kota Jayapura
khususnya dan umumnya di Provinsi Papua sangat baik dan
berjalan secara natural/alami. Sepanjang kedatangan penganut
berbagai agama ke Papua dengan niat baik, maka mereka akan
dapat hidup bersama dengan baik pula. Tetapi jika kedatangan
mereka dengan niat/tujuan yang tidak baik maka bukan orang
Papua yang akan menghukum mereka, tetapi alam yang akan
menghukum mereka.
Tingkat toleransi penduduk Papua cukup kuat. Mereka
dapat ada saling menghargai dan saling pengertian. Tetapi jika ada
orang baru datang kemudian membuat aturan sendiri tidak
mengindahkan kearifan lokal yang ada, maka bukan hanya orang
Papua yang menentang tetapi orang yang sudah lama tinggal di
163 Wawancara dengan salah satu pengurus MUI Kota Jayapura tangal, 23 April
2011.
Kata Pengantar
338
daerah ini bersama-sama dengan penduduk asli akan
menghadapinya, akan melaporkan ke pihak yang berwenang,
karena jika terjadi sesuatu aparat yang berwenanglah yang
menghadapi mereka.
Di Provinsi Papua juga terdapat forum-forum pemuda,
keagamaan tetapi mereka tetap bergerak dalam wilayah
kewenangan mereka dan mereka masih sangat patuh kepada induk
organisasinya.
Berkenaan dengan keberadaan masjid yang dibangun dan
sedang terhenti di komplek Brimob sesungguhnya secara resmi
pihak gereja tidak pernah ikut campur menentang atau
menolaknya, namun sebagian anggota jemaat yang mereka juga
anggota Sat Brimob yang tinggal di asrama yang memprotes
pembangunan masjid. Ada beberapa alasan penolakan mereka, di
antaranya:
a. Tidak mengikuti prosedur sebagaimana Telah diatur dalam PBM
tahun 2006;
b. Keberadaannya di dalam instansi pemerintah (jika ada tempat
ibadat muslim maka juga harus ada tempat ibadat agama lain);
c. Sudah ada dua masjid yang tidak terlalu jauh dari lingkungan
komplek Brimob;
d. Pada awal pembangunannya diperkirakan hanya mushalla
tetapi ternyata masjid;
e. Tinggi masjid melebihi tinggi kantor itu sendiri karena
bertingkat dua.
Sebagai tanggapan terhadap keberadaan masjid yang
terhenti pembangunannya sudah cukup lama maka:
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
339
a. Posisinya dikembalikan kepada institusi Polda Papua yang
telah meminta diberhentikan pembangunannya;
b. Karena pembangunannya sudah permanen maka jika ada
pembangunan kantor agar bangunan masjid itu
diintegrasikan menjadi perkantoran, sedangkan untuk
beribadah anggota yang beragama Islam cukup dibangunkan
mushalla yang letaknya agak ke belakang.164
B. Kasus Rumah Ibadat/Masjid Kuba Kampung Koya Barat
Abepura
Masjid Kuba ini terletak di Jalan Trans Papua Kampung Koya
Koso Distrik Abepura Kota Jayapura, berjarak kurang lebih 25 km
dari ibukota Distrik/Kecamatan Abepura dan 30 km dari ibukota
Jayapura menuju arah Kabupaten Keerom. Daerah ini terkenal
dengan daerah tranmigrasi dari Jawa/Bali dan transmigrasi lokal,
selain itu banyak juga warga pendatang berasal dari Sulawesi
Selatan yang telah lama bermukim di Kota Jayapura baik mereka
sebagai pedagang atau pegawai negeri sipil yang sukses dan
membeli tanah dan berusaha di bidang pertanian, perikanan
ataupun peternakan di wilayah ini. Wilayah ini juga terkenal dengan
daerah pemancingan ikan tawar, yang kolam-kolam ikan buatan
yang dimiliki oleh para pendatang dari Kota Jayapura.
Mengingat daerah ini sejak dibuka tahun 1990-an sampai
sekarang terus membuka diri untuk didatangi oleh para pendatang
tidak terkecuali yang beragama Islam maka kebutuhan akan tempat
ibadat tidak dapat terelakkan.
164 Disarikan dari hasil wawancara dengan Wakil Ketua dan Wakil Sekretaris
pengurus Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI) Kotaraja Abepura tanggal 28 Februari 2011.
Kata Pengantar
340
Pada tahun 1996 atas prakarsa beberapa warga pendatang
berasal dari Sulawesi Selatan untuk mendirikan sebuah masjid yang
diberi nama Masjid Kuba. Maka mulailah mereka membuat pondasi
masjid di atas tanah seorang warga Muslim berasal dari Sulawesi
Selatan. Namun proses pembangunan masjid ini dikemudian hari
dipersoalkan oleh ondoafi (ketua adat setempat yang sekaligus
menjadi kepala kampong) karena belum mendapatkan
persetujuan/surat pelepasan tanah ulayat. Pembangunan terhenti
cukup lama karena dari pihak ondoafi minta uang ganti rugi.
Beberapa tahun terakhir atas kemurahan hati seorang
pengusaha (H. Syukur) dilakukan pendekatan kepada ondoafi yang
mempersoalkan tanah tempat pendirian masjid dan dapat dicapai
kesepakatan untuk membayar sejumlah uang sebagai tanda
pelepasan dari adat. Dengan demikian berdasarkan surat
keterangan nomor: 64/ K.4/2006 tanggal 25 Juni 2006 yang ditanda
tangani oleh ondoafi Pdt. Elly Waskai, T atas nama ondoafi dan
kepala kampung dan H. Syukur atas nama Masjid Kuba maka
pembangunan Masjid Kuba dapat diteruskan.
Persoalan terhentinya pembangunan Masjid Kuba bukan
disebabkan perselisihan antar warga Muslim dengan non-Muslim
atau karena gugatan mengapa membangun masjid, akan tetapi
semata-mata karena persoalan tanah yang belum mendapatkan
surat keterangan pelepasan dari adat setempat, dalam hal ini dari
ondoafi. 165
Keterangan dan informasi yang kami dapatkan dari pihak
panitia pembangunan Masjid Kuba, kami jadikan bahan untuk
dikonfirmasikan kepada Pdt. Elly Waskai selaku ondoafi dan kepala
165 Wawancara dengan H. Muhammad Nong Panitia Pembangunan Masjid Kuba
24 Februari 2011
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
341
kampung pada saat itu (sekarang sudah diganti) dan mendapatkan
pembenaran bahwa terhentinya pembangunan masjid bukan
persoalan agama atau peraturan menurut PBM tahun 2006 namun
karena persoalan tanah yang belum mendapatkan keterangan
pelepasan dari adat.
Kerukunan umat beragama di wilayah ini khususnya dan
umumnya di Kota Jayapura sangat kondusif, dalam pembangunan
rumah ibadat sampai saat ini belum menggunakan peraturan
bersama (PBM tahun 2006) tetapi masih berjalan sebagaimana biasa
menggunakan kearifan lokal setempat. Banyak pembangunan
rumah ibadat yang dilakukan dengan saling membantu/gotong
royong. Masjid Kuba misalnya dari pihak ondoafi sendiri sering
memberikan bantuan baik tenaga maupun berupa support moral.
Sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama Pdt. Elly Waskai
banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan wilayah Koya
Barat dan umumnya wilayah di sekitarnya seperti Kampung Nafri,
Koya Koso dengan cara memberikan kesempatan kepada para
pendatang membuka lahan pertanian dengan perjanjian yang
diatur berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam hal pertanian
misalnya pembagian antara pemilik lahan dan yang menggarap
dahulu adalah 1:2 jika lahannya 3 ha maka pembagiannya 1 ha
untuk pemilik dan 2 ha bagi penggarap setelah dalam waktu jangka
3 tahun perkebunannya sudah dapat dipanen. Sedangkan hasil
dalam jangka pendek dapat dinikmati oleh para penggarap. Namun
akhir-akhir ini perjajian bergeser menjadi 1:1. Dengan prakarsa ini
maka semakin terbukalah wilayah ini dengan hadirnya para
pendatang baru.166
166 Wawancara dengan Andoafi Pdt. Elly Waskai T. tanggal 24 Februari 2011
Kata Pengantar
342
C. Kasus Masjid Al-Mawaddah Rt. 01/IX Jl. Feliyau II Hawai
Sentani Kab. Jayapura
1. Kasus Perselisihan terkait Pendirian
a. Sejarah berdirinya
Memperhatikan kenyataan bahwa kebutuhan nyata dan
sungguh-sungguh tentang tempat ibadat masyarakat Muslim di
sekitar wilayah RW 9 Kelurahan Sentani Kota Distrik Sentani karena
mengingat semakin bertambah jumlah warga Muslim yang
bermukim di wilayah ini, maka beberapa warga yang dianggap
sesepuh berinisiatif untuk mendirikan sebuah rumah ibadat
(masjid). Untuk mewujudkan niat baik ini maka mulailah
mengumpulkan dana/sumbangan dari masyarakat Muslim sekitar
dan membeli sebidang tanah berukuran 30 x 30 M, milik seorang
Muslim pendatang yang telah dibeli dari warga asli sebelumnya
dengan harga Rp. 42.000.000,- dicicil sampai dengan tahun 2010.167
b. Kelengkapan Administrasi
Mengawali rencana pembangunan masjid ini maka dibentuk
panitia pembangunan yang diketuai oleh H. Usman David.
Selanjutnya panitia menyiapkan berkas-berkas administrasi untuk
bahan pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya
peruntukan pembangunan rumah ibadat sebagaimana diatur
dalam PBM Nomor: 9 dan 8 tahun 2006.
Dalam PBM tahun 2006 ini pengaturan tentang pendirian
rumah ibadat diatur di dalam Bab. IV pasal 13 dan pasal 14 di
167 Wawancara dengan Imam Masjid Al-Mawaddah Hasan tagl 25 Februari 2011
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
343
antaranya pada pasal 13 ayat 1 disebutkan pendirian rumah ibadat
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat
beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Sedangkan pada pasal 14 ayat 1 berbunyi pendirian rumah ibadat
harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis
bangunan gedung, pada ayat 2 selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pendirian rumah ibadat harus
memenuhi persyaratan khusus meliputi:
a. Daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) pengguna rumah
ibadat sebanyak 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat;
b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa;
c. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama
(sekarang Kementerian Agama) kabupaten/kota;
d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
Untuk memenuhi persyaratan khusus yang disebut di atas
maka panitia telah melakukan kegiatan sesuai dengan prosedur
yang berlaku sbb:
a. Untuk memenuhi persyaratan yang pertama maka panitia telah
mengumpulkan nama-nama colon pengguna dan
mendapatkan tanda tangan yang disahkan oleh pejabat
kelurahan melalui RT dan RW dengan jumlah usulan sebanyak
104 orang calon pengguna.
b. Memenuhi persyaratan kedua yaitu persetujuan warga sekitar
maka dapat terkumpul sebanyak 71 orang warga sekitar
lengkap dengan tanda tangan dan pengesahan dari pejabat
kelurahan setempat melalui RT dan RW dengan Surat
Pernyataan Nomor: 24/RT. 01/IX/2008, yang ditandatangani
Kata Pengantar
344
oleh Ketua RT. Ismail Yoku, mengetahui/menyetujui
Ondoafi/Ketua Adat Sentani Daneil H. Yoku dan
disahkan/mengetahui Kepala Kelurahan Sentani Kota Porto
Imbiri, S. STP, M. Ap.
c. Sedangkan untuk mendapatkan rekomendasi dari Kantor
Kementerian Agama juga panitia telah melayangkan
permohonan dan mendapatkannya melalui surat Rekomendasi
Pembangunan Masjid yang ditanda tangani oleh Kepala Kantor
Departemen Agama (waktu itu) Kabupaten Jayapura Ferdinan
Makadada, A. Ma., SE pada tanggal 13 Juni 2007.
d. Untuk rekomendasi tertulis dari FKUB Kabupaten Jayapura
sampai saat penelitian dilakukan memang belum diajukan
permohonannya disebabkan ketika saat pengurusan surat-surat
persetujuan, rekomendasi dan izin mendirikan bangunan (IMB)
FKUB Kabupaten Jayapura baru terbentuk dan belum dilantik
oleh Bupati Jayapura. Namun demikian menurut penuturan
ketua panitia pembangunan masjid secara lisan ketua FKUB
Kabupaten Jayapura telah mengetahui dan memberikan
persetujuan untuk melanjutkan pembangunannya.
Sebagaimana juga dituturkan oleh salah satu wakil ketua dan
bendahara FKUB Kabupaten Jayapura kepada penulis.
Sedangkan untuk persyaratan adminstratif dan persyaratan
teknis bangunan gedung hal ini telah terpenuhi dengan telah
diterbitkannya IMB oleh Bupati Kabupaten Jayapura Habel Melkias
Suwae, S. Sos., MM dengan surat Nomor: 10/645/PEM. KAN-
JPR/2010 yang ditandatangani tanggal 23 Februari 2010.168
168 Dirangkum dari hasil pertemuan dengan panitia pembangunan masjid
tanggal 26 Februari 2011 dan dukumen lengkap yang ada surat pernyataan dan daftar calon pengguna, surat pernyataan tidak keberatan warga sekitar, surat pernyataan tanah
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
345
c. Munculnya perselisihan
Sebagaimana dituturkan oleh ketua panitia pembangunan
masjid yang dihadiri juga oleh Sekretaris dan Imam Masjid Al-
Mawaddah dalam pertemuan dengan peneliti pada tanggal 26
Februari 2011 bertempat di Masjid Al-Mawaddah bahwa pada awal-
awal perencanaan dan pembangunan tidak ada persoalan yang
berarti terkecuali persoalan penyelesaian surat tanah dari
ondoafi/ketua adat169. Untuk kasus ini penyelesaiannya telah
dilakukan dan telah mendapatkan surat pernyataan persetujuan
tidak keberatan yang diketahui oleh ondoafi/ketua adat setempat
bahwa tanah yang akan digunakan untuk pembangunan masjid ini
tidak bemasalah karena telah diselasaikan antara pihak panitia dan
pihak pemilik semula yaitu Gustaf A. Yoku, Yakop A. Yoku dan Ismail
Yoku dengan imbalan sebesar Rp. 12.000.000,- dua kali
pembayaran.
Protes muncul dari seorang warga bernama Panitua (Pnt)
Abner Inggamer, seorang pensiunan PNS Kantor Wilayah
Kementerian Agama Papua. Pada mulanya dia termasuk yang
membubuhkan tanda tangan persetujuan tidak keberatan, namun
setelah berjalan pembangunan dia protes dan sering marah-marah
dari depan rumahnya yang berjarak cukup dekat hanya 50 m dari
pagar masjid. Beberapa tindakan yang dilakukan oleh Abner
Inggamer ini:
a. Memaki-maki tukang ketika bekerja namun oleh jemaah masjid
tidak ditanggapi;
tidak bermasalah, surat rekomendasi Kementerian Agama Kab. Jayapura, IMB dari Bupati Kabupaten Jayapura.
169 Catatan: Seperti telah menjadi pengetahuan umum bahwa di tanah Papua sistem hukum adat masih sangat kuat dan berlaku bahkan dapat saja lebih kuat dari hukum ketatanegaraan yang ada khusunya dalam soal-soal tanah ulayat.
Kata Pengantar
346
b. Ketika jemaah masjid pada hari Minggu beberapa waktu lalu
melakukan kerja bakti membersihkan masjid dan sekitar dia
melapor kepada polisi bahwa warga terganggu dengan kegiatan
yang dilakukan oleh jemaah masjid karena jemaah masjid
melakukan keributan, polisi sempat datang dan mendapatkan
jemaah sedang kerja bakti maka polisi pun pulang kembali;
c. Beberapa waktu lalu juga ketika dikumandangkan azan maghrib
Abner Inggamer marah-marah dan berkata “apakah Tuhan Yesus
itu tuli?’
d. Pada bulan Januari 2010 Abner Inggamer menulis surat kepada
Bupati Jayapura perihal Permohonan Pembatalan Pembangunan
Masjid dengan melampirkan daftar pernyataan warga yang
menolak berjumlah 95 orang. Namun setelah dikonfirmasi
panitia kepada yang namanya tertera mereka mengatakan
bahwa mereka tidak pernah menandatanganinya dan
kemungkinan tanda tangan palsu. Surat pengaduan ini juga
ditembuskan kepada: 1). Ketua DPRD Kabupaten Jayapura, 2).
Kapolres Kabupaten Jayapura, 3). Kepala Kementerian Agama, 4).
Kepala Kantor Pos Cabang Jayapura di Sentani, 5). Lurah Sentani
Kota, dan 6). Ondoafi/Ondofolo Ifar Besar, namun tidak
mendapat tanggapan.170
Di antara isi surat pengajuan keberatan yang juga
melampirkan daftar tanda tangan warga, walaupun oleh panitia
diragukan keabsahannya dan sudah mengkonfirmasikannya kepada
Ketua RW. Adapun isi surat keberatan tersebut sebagai berikut:
a. Masjid dibangun di tengah-tengah warga non-Muslim (umat
Kristen);
170 Hasil wawancara dengan panitia pembangunan Masjid tanggal 26 Feruari
2011
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
347
b. Terdapat unsur “penipuan” pada saat meminta persetujuan
warga dikatakan untuk pembangunan mushalla bukan masjid;
c. Masjid dibangun di atas tanah miring “daerah aliran sungai”
(DAS) sehingga mengganggu mengalirnya air hujan dan
menyebabkan banjir;
d. Dengan adanya pembangunan masjid maka muncul
ketidakrukunan antarwarga;
e. Dengan berdirinya masjid menggangu ketenangan warga;
f. Suara loud speaker ketika azan terlalu kuat menggangu warga
sekitar.
g. Yang paling pokok dalam surat keberatannya adalah bahwa
pendirian rumah ibadat (masjid) ini melanggar peraturan yang
berlaku yaitu PBM tahun 2006 Bab IV pasal 13 dan 14. Tidak ada
rekomendasi Kementerian Agama, tidak ada rekomendasi FKUB
dan tidak ada izin Bupati Kabupaten Jayapura.
d. Upaya Penyelesaian
Bedasarkan informasi yang dihimpun dari pihak panitia dan
dari penelaahan dokumen-dukumen yang ada maka dilakukan
pertemuan untuk menggali lebih lanjut kebenaran informasi
dengan mengundang pihak-pihak terkait yaitu FKUB Kabupaten
Jayapura, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Jayapura dan pihak
yang berkeberatan yaitu Abner Inggamer di Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Jayapura pada tanggal 28 Februari 2011.
Dalam pertemuan yang difasilitasi Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Jayapura masing-masing diminta untuk
menyampaikan kondisi, peran masing-masing dan solusi
Kata Pengantar
348
pemecahan serta harapan. Berikut kesimpulan dari penuturan
masing-masing narasumber:
1. Pimpinan FKUB Kabupaten Jayapura
Pimpinan FKUB dalam hal ini Ketua FKUB diwakili oleh 2
orang masing-masing Wakil Ketua FKUB dari unsur Islam Faisal
Shaleh, S. Ag, M. HI dan Bendahara FKUB Pdt. Lambert Sarwuna, S.
Th. Selain menyampaikan permohonan maaf ketua karena tidak
dapat hadir keduanya menyampaikan bahwa FKUB sampai saat ini
belum mengetahui ada persoalan terhadap pembangunan Masjid
Al-Mawaddah. Tetapi disampaikan bahwa walaupun izin tertulis dari
FKUB untuk pembangunan Masjid ini tidak ada tetapi izin lisan
kepada ketua FKUB pernah disampaikan.
2. Warga yang mencabut dukungan terhadap pembangunan (Pnt.
Abner Inggamer)
Pnt. Abner Inggamer dalam waktu yang cukup lama
menyampaikan alasan mengapa mencabut dukungan dan menolak
keberadaan masjid sebagaimana telah diuraikan di atas yang paling
pokok adalah bahwa pembangunan masjid ini tidak sesuai prosedur
dan PBM tahun 2006 dan juga terdapat unsur penipuan yang
semula di rencana pembangunan mushalla tetapi yang terjadi
adalah pembangunan masjid. Dengan bukti dokumen yang peneliti
miliki, semua yang dituduhkan dan menjadi alasan penolakan,
ditunjukkan dan dibacakan maka terbantahlah semua yang menjadi
alasan Pnt. Abner Inggamer.
2. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Kasus
Dari penuturan panitia pembangunan sebenarnya yang
mencabut persetujuan pembangunan masjid ini hanya satu orang,
yaitu Abner Inggamer. Semula dia ikut menandatangani surat tanda
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
349
persetujan warga, tetapi pada tahap berikutnya berbalik dan
membuat surat laporan serta menyertakan daftar warga lain yang
katanya ikut menolak, walaupun kebenarannya diragukan dan
dalam kenyataan tidak ada warga non-Muslim seorang pun yang
pernah secara langsung menyatakan keberatan mereka. Hal ini
sudah dikonfirmasikan kepada ketua RW setempat.
Walaupun dari surat pengaduan Abner Inggamer kepada
Bupati terlihat adanya tembusan untuk berbagai instansi terkait,
tetapi Kepala Kantor Kementerian Agama merasa tidak pernah
menerima surat tembusan dimaksud. Oleh karenanya Kepala Kantor
Kementerian Agama beserta jajarannya sangat responsif ketika
informasi ini disampaikan dan bersama-sama turun langsung
meninjau lokasi pembangunan masjid.
Selanjutnya diagendakan pertemuan untuk memfasilitasi
dengan cara mendengar langsung dari pihak yang merasa
berkeberatan terhadap pembangunan masjid dimaksud, sekaligus
mengundang pihak FKUB yang diwakili oleh Wakil Ketua dan
Bendaharanya. Lebih lanjut Kepala Kantor Kementerian Agama akan
berusaha menyelesaikan perselisihan terhadap pendirian Masjid Al-
Mawaddah.
Kegiatan pembangunan masjid ini sendiri tetap berlangsung
sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunannya yang
diperkirakan baru 25 % dari rencana pembangunannya yang dua
lantai. Demikian pula kegiatan beribadat baik shalat lima waktu
maupun shalat Jum’at juga terus berlangsung.
3. Peran FKUB dan Majelis Agama
Keberadaan FKUB Kabupaten Jayapura sendiri sudah sejak
tahun 2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten
Kata Pengantar
350
Jayapura yang kemudian mengalami perubahan lampirannya
Nomor 301 tahun 2008 menjadi lampiran Nomor: 86 tahun 2009
tertanggal 27 Maret 2009. Perubahan ini selain disebabkan karena
ada perubahan nomenklatur Satuan Kerja Perangkat Daerah di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Jayapura juga karena ada usulan
perubahan pengurus.
Dilihat dari susunan lampiran Surat Keputusan Bupati
Kabupaten Jayapura, kepengurusan FKUB Kabupaten Jayapura ini
cukup lengkap karena terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu: 1) Dewan
Penasehat FKUB, 2) Pengurus FKUB dan, 3) Sekretariat FKUB dalam
satu lampiran Surat Keputusan Bupati Nomor: 86 Tahun 2009
tanggal 27 Maret 2009. Walaupun isi Surat Keputusan Bupati ini
demikian lengkap, namun FKUB Kabupaten Jayapura belum bekerja
secara optimal sebagaimana dituturkan oleh masing-masing Wakil
Ketua dan Bendahara FKUB kepada penulis. Adapun beberapa
kegiatan yang pernah dilakukan oleh FKUB selama ini baru terbatas
sosialisasi PBM tahun 2006 yang baru dilaksanakan di 4 distrik dari
19 distrik yang ada di Kabupaten Jayapura. Selain sosialisasi,
kegiatan lain yang dilakukan FKUB baru sebatas menulis ucapan
selamat dalam spanduk pada hari-hari besar keagamaan atas nama
FKUB.
Belum optimalnya peran FKUB selama ini, antara lain terlihat
dari: 1) FKUB belum pernah mengeluarkan surat rekomendasi
berkenaan dengan pendirian rumah ibadat; 2) Persoalan
perselisihan menyangkut pembangunan Masjid Al-Mawaddah luput
dari pengetahuan FKUB. Sampai pada pertemuan yang dilakukan di
Kantor Kementerian Agama pengurus FKUB tidak mengetahui
adanya perselisihan yang terjadi.
Alasan utama belum berperannya secara optimal FKUB
selama ini adalah belum sepenuhnya ada perhatian dari Pemda
Kabupaten Jayapura terhadap keberadaan dan manfaat dari FKUB
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
351
itu sendiri. Hal ini terlihat dari belum adanya sarana dan prasara
yang disediakan untuk FKUB seperti kantor dan sarana lainnya. Dari
segi pendanaan selama ini ada beberapa kegiatan yang dibiayai
oleh pemda kabupaten melalui Kantor Kesbanglinmas yang
pengaturan keuangannya juga oleh Kantor Kesbanglinmas. Dari
Kantor Kementerian Agama juga tidak rutin mendapat anggaran
misalnya pernah ada tahun 2010 sebesar Rp 20 juta namum tahun
ini 2011 tidak ada.171
Selain FKUB Kabupaten Jayapura yang belum sepenuhnya
berfungsi sehingga belum berperan dalam penyelesaian kasus-
kasus seperti perselisihan pembangunan Masjid Al-Mawaddah
Hawai, majelis agama dalam hal ini MUI juga belum berperan,
karena MUI Kabupaten Jayapura tidak/belum mendapat laporan
dari panitia pembangunan masjid.
4. Respon Masyarakat terhadap Penyelesaian Kasus
Terdapat berbagai respon dan tanggapan dari masyarakat
terhadap perselisihan dan penyelesaian kasus Masjid Al-Mawaddah.
Inti dari tanggapan mereka berupa harapan, karena perselisihan
yang terjadi baru diketahui oleh sebagian kecil anggota masyarakat
dan yang mempersoalkan pembangunan masjid ini hanya satu
orang. Dalam hal ini Kementerian Agama dan FKUB Kabupaten
Jayapura diharapkan dapat segera memfasilitasi penyelesaian kasus
ini. Masyarakat khususnya yang beragama Islam dan sebagai
pendatang menyadari bahwa kedatangan mereka ke wilayah ini
semata-mata untuk mencari nafkah, menjalankan tugas sebagai
PNS, menginginkan dapat hidup dalam lingkungan kebersamaan.
171 Dirangkum dari hasil wawancara dengan Wakil Ketua dan Bendahara FKUB,
Kepala Kantor Kementerian Agama tanggal 28 Februari 2011.
Kata Pengantar
352
Oleh karenanya sebelum ada rencana pembangunan Masjid ini
mereka berusaha memahami dan mengikuti peraturan yang
berlaku yaitu PBM tahun 2006.
Pembangunan masjid ini didasari oleh kebutuhan nyata dan
sungguh-sungguh karena di wilayah Hawai belum ada
masjid/mushalla, sedangkan umat Islam yang ada di sekitar
kampung Hawai ini cukup banyak dan melebihi persyaratan yang
disyaratkan oleh PBM tahun 2006.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
353
ANALISIS PENELITIAN
Persoalan di seputar pendirian rumah ibadat menjadi
persoalan yang pelik. Hal ini diawali oleh adanya perbedaan
dalam konsep keumatan antara Islam dan non-Islam
khususnya Nasrani (Kristen dan Katolik). Bagi umat Islam yang
datang dari berbagai latar belakang aliran, organisasi dan
mazhab dapat melakukan ibadat shalat secara bersama di
masjid atau mushalla tanpa melihat perbedaan ras, suku,
bahasa, maupun organisasi. Oleh karena itu motivasi
pendirian rumah ibadat pada umat Islam dilatar belakangi
oleh keperluan nyata dan sungguh-sungguh dan melihat
kapasitas yang bisa ditampung oleh sebuah masjid/mushalla.
Sebaliknya di kalangan penganut agama Kristen khususnya
yang terdiri dari berbagai denominasi, sekte, aliran maupun
suku menyulitkan mereka untuk sebuah gereja menjadi
tempat ibadat bersama, disamping berbagai motivasi jemaat.
Oleh karena itu berkembanglah semangat pendirian rumah
ibadat pada setiap sekte yang terkadang menimbulkan
gesekan-gesekan sosial seperti yang terjadi di beberapa
daerah.
Untuk mengatur lalulintas di seputar pendirian rumah
ibadat maka pemerintah mulai pertengahan tahun 2005 sd.
Kata Pengantar
354
2006 lalu memfasilitasi majelis-majelis agama untuk
merumuskan sebuah peraturan yang dapat disepakati
bersama, maka lahirlah Peraturan Bersama Menag dan
Mendagri yang dikenal dengan PBM Nomor: 9 dan 8 Tahun
2006 yang berlaku untuk semua agama di seluruh wilayah
NKRI. Dalam kasus penolakan 2 (dua) masjid yang menjadi
fokus penelitian ini dapat dilihat pembahasan kesesuaian dan
ketidaksesuaian dengan regulasi yang ada sehingga menjadi
penyebab terjadinya penolakan atau faktor nonregulasi yang
lebih menonjol:
A. Ranah Regulasi
Dari dua masjid yang mendapat penolakan dari sebagian
masyarakat masing-masing dapat kita lihat posisinya jika kita
sesuaikan dengan regulasi yang ada (PBM Tahun 2006). Dari
penelusuran data-data dan wawancara, ditemukan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Kasus Rumah Ibadat/Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimob
Abepura
PBM 2006
Bab IV pasal 13 & 14
Terpen
uhi
Ya/tdk
Keterangan
Pasal 13 1. keperluan nyata dan sungguh-sungguh
ya
Menurut ketua panitia sejak berdirinya Mako Brimob Papua tidak ada tempat ibadat khusus sehingga keperluan anggota maupun keluarga untuk beribadat harus keluar komplek yang berjarak ± 800 – 1 km. Ibadat dilakukan 5 kali dalam sehari dan
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
355
juga keperluan tempat pendidikan agama anak-anak dan orangtua. Dari jumlah personil 1520 org, 1043 org beragama Islam.
Pasal 14 Ayat 1
tdk Keberadaan masjid di dalam lingkungan institusi pemerintah
Pasal 14 Ayat 2 poin a sd. c
ya
Calon pengguna 1043 org Pendukung lebih dari cukup karena semua anggota non-Muslim menyetujui Terbit rekomendasi dari Kakandepag (waktu itu).
Pasal 14 Ayat 2 poin d
tdk Ayat 2 poin d tidak terpenuhi karena walaupun FKUB sudah terbentuk namun belum efektif
Pasal 16 Persyaratan diajukan kepada Bupati/Walikota untuk mendapatkan IMB rumah ibadat
ya Telah diajukan kepada Walikota Cq. Kepala Dinas Tata Kota tanggal 8 Mei 2007
2. Kasus Masjid Al-Mawaddah Jl. Feliyau II Hawai Sentani Kab.
Jayapura
PBM 2006
Bab IV pasal 13 & 14
Terpenuhi
Ya/tdk Keterangan
Pasal 13
1. keperluan nyata dan
sungguh-sungguh
ya
Tidak terdapat masjid dalam radius 3 km dan dan terdapat jumlah umat Islam jauh
melebihi ketentuan dalam PBM yang bermukim di sekitar
Kata Pengantar
356
masjid yang sedang dibangun
Pasal 14
Ayat 1 ya Semua persyaratan terpenuhi
Pasal 14
Ayat 2 poin a sd. c ya Dokumen lengkap
Pasal 14
Ayat 2 poin d tdk
Ayat 2 poin d tidak terpenuhi
karena walaupun FKUB sudah terbentuk namun belum efektif, rekomendasi tertulis tidak ada,
tapi secara lisan sudah dan diakuai oleh ketua melalui 2 orang wakil ketua dalam
pertemuan tgl 1 Maret 2011
Pasal 16 ya
Sudah mendapatkan IMB dari
Bupati tertanggal 23 Februari 2010.
B. Ranah Non Regulasi
Setiap terjadinya suatu persoalan di seputar kehidupan
sosial tidak disebabkan oleh sesuatu yang tunggal, melainkan
banyak faktor yang terlibat dan berperan. Dalam kasus dua masjid
di atas, akan dilihat pula dari sisi non regulasinya.
Kasus Masjid Al-Muhajirin Komplek Brimop Adepura
Jayapura, dari sisi regulasi dapat dikatakan belum sepenuhnya
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam PBM tahun
2006, namun hal ini tidak menjadi hal utama yang dipersoalkan
oleh para penentang atau penggugat karena awalnya seluruh
anggota baik yang Muslim maupun yang non-Muslim sudah
menyatakan setuju. Selain itu PBM tahun 2006 untuk wilayah
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
357
Papua belum berjalan efektif. Hal ini terlihat dari sejak
terbentuknya FKUB di kedua wilayah Kabupaten dan Kota
Jayapura belum pernah memberikan rekomendasi samasekali bagi
pendirian rumah ibadat. Dari hasil pantauan di beberapa tempat
yang sedang dibangun tempat ibadat (gereja dan masjid)
sebagian besar tidak mengajukan/mengurus izin. Munculnya
perotes justru setelah proses pembangunan berjalan. Hal ini pula
yang menjadi tanda tanya dari pihak panitia pembangunan Masjid
Al-Muhajirin. Dari hasil penelusuran terungkap berbagai dugaan di
antaranya: 1) Sebagian anggota yang beragama Kristen mendapat
hasutan dari pihak luar; 2) Muncul rasa iri hati mengapa di
berbagai institusi pemerintah hanya tempat ibadat Muslim,
sementara tidak tidak tersedia tempat ibadat bagi agama lain; 3)
Pengaruh media massa yang sering memberitakan tentang
kesulitan-kesulitan pembangunan tempat ibadat (khususnya
gereja) di wilayah Indonesia bagian barat, sehingga menjadi salah
satu pemicu perselesihan pembangunan masjid di wilayah timur,
khususnya di Jayapura.
Dalam kontek keagamaan nampaknya tidak menjadi satu
persoalan yang dianggap sangat serius, para pendatang yang
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan dari berbagai latar
belakang agama dan suku tentu tidak datang ke tanah Papua
untuk mencari perselisihan namun kedatangan mereka hanya
untuk mencari nafkah. Oleh karena itu mereka sangat menghindari
hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan perselisihan terutama
dengan penduduk pribumi yang notabene berama Kristen.
Sedangkan untuk kasus Masjid Al-Mawaddah Hawai
Sentani, karena yang memprotes hanya satu orang, yang
membawa-bawa atas nama warga lain. Hal ini dianggap sebagai
persoalan pribadi antara tetangga, namun demikian perlu
diselesaikan dengan cara memfasilitasi antara kedua belah pihak
Kata Pengantar
358
oleh pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait, yakni
Kementerian Agama, FKUB dan majelis agama.
Faktor non regulasi di atas disinyalir kuat memengaruhi
munculnya protes sebagian anggota Sat Brimobda terhadap
pembangunan Masjid Al-Muhajirin, dapat pula dimaklumi dan
dipahami, jika semula diperkirakan masjid yang akan dibangun
adalah tempat yang hanya cukup menampung anggota shalat
berjamaah lima waktu dan shalat Jum’at, namun tiba-tiba
bangunan yang berdiri menjadi dua lantai dengan ukuran yang
cukup besar (± 40 m x 40 m), bangunan menara masjid menjulang
tinggi melebihi kantor induk Mako Brimob itu sendiri, sedangkan
tidak berjauhan dari tempat berdirinya masjid sedang dibangun
gedung Gereja Kristen Injili di Tanah Papua yang cukup besar
bahkan terbesar di Provinsi Papua. Disini perlunya kearifan
masing-masing pihak diperlukan.
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
359
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian dan analisis di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Di kedua wilayah penelitian terdapat penolakan sebagian
warga terhadap pembangunan rumah ibadat (masjid);
2. FKUB di kedua wilayah penelitian sudah terbentuk pada awal-
awal setelah ditandatangani PBM Tahun 2006 namun sampai
sekarang belum efektif;
3. Penolakan terhadap pembangunan Masjid Al-Muhajirin oleh
sebagian anggota yang beragama Kristen di Komplek Sat
Brimob Papua, bukan disebabkan karena tidak sesuai dengan
yang diatur oleh PBM karena PBM itu sendiri belum efektif
berjalan, namun lebih disebabkan oleh pengaruh ekternal
seperti hasutan dari pihak luar, rasa cemburu dan pengaruh
media massa;
4. Untuk Kasus Masjid Al-Mawaddah menurut peraturan sudah
terpenuhi sesuai dengan PBM tahun 2006, namun masih
terjadi penolakan, lebih disebabkan oleh dendam pribadi;
Kata Pengantar
360
5. Pemerintah dalam hal ini institusi Polri melalui Polda Papua
telah mengambil langkah tegas dengan memerintahkan untuk
menghentikan pembangunan Masjid Al-Muhajrin dan telah
dilaksanakan, sedangkan untuk kegiatan beribadatnya tetap
berjalan seagaimana biasa;
6. Tidak berperannya FKUB dan majelis agama dalam kasus
Masjid Al-Muhajirin disebabkan karena lokasi pembangunan
itu sendiri terletak di dalam instansi pemerintah dan sudah
ditangani secara baik oleh institusi yang bersangkutan;
7. Untuk kasus Masjid Al-Mawaddah belum berperannya
pemerintah, FKUB dan majelis agama karena tidak
mendapatkan laporan dan informasi adanya penolakan dari
salah satu warga sekitar;
8. Kasus Masjid Kuba Kampung Koya Barat Abepura, sempat
terhentinya pembangunan masjid ini bukan disebabkan
penolakan masyarakat setempat karena tidak sesuai dengan
PBM tahun 2006 atau karena sentimen agama, akan tetapi lebih
disebabkan oleh persoalan adat, yaitu setiap pembelian
sebidang tanah harus ada surat tanda pelepasan dari ketua adat
setempat (ondoafi).
Rekomendasi
1. Pemerintah baik Kementerian Dalam Negeri maupun
Kementerian Agama perlu terus mendorong pemerintah
daerah untuk memfasilitasi FKUB agar dapat berjalan efektif
melalui instruksi dan himbauan;
2. Perlu penanganan yang lebih arif terhadap kasus Masjid Al-
Muhajirin yang cukup dilematis karena pembangunan masjid
sudah bejalan 60% dengan dana swadaya masyarakat Muslim
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
361
Papua. Jika sangat mendesak bangunan masjid berlantai dua
itu akan dirobohkan. Oleh karena itu perlu dilakukan dialog
sebelum pelaksanaan pembangunan;
3. Untuk kasus Masjid Al-Mawaddah, pemerintah dan pihak
terkait, yakni Kementerian Agama Kabupaten Jayapura, FKUB
dan majelis agama perlu duduk bersama dan memediasi
perselisahan antar tetangga sehingga tidak menimbulkan
konflik yang lebih luas;
4. Sosialisasi PBM tahun 2006 untuk wilayah Papua perlu
diintensifkan, memperhatikan masih minimnya pengetahuan
sebagian besar masyarakat terhadap isi peraturan bersama ini.
Kata Pengantar
362
Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat
363
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM
dan Tanya Jawabnya: Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan.
Jakarta: 2010.
Bagir, Zainal Abidin, dkk., Pluralisme Kewargaan, Bandung: CRCS-
Mizan, 2011.
CRCS UGM, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia
2010, Yogyakarta:, 2011.
Demetouw, Timothius J., Menyusuri Perubahan Kinerja Pegawai Di
Kabupaten Jayapura, Badan Pengembangan dan Penelitian
Derah Papua, 2009.
International Crisis Group, Asia Briefing No. 114, Indonesia:
“Christianisation” and Intolerance, Brussel: ICG, 2010.
Memahami Konflik dan Strategi Penanggulangannya, DIPA
Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen
Agama Jawa Barat, 2006.
Menengok Perjalanan GKI Bogor-Bakal Pos Taman Yasmin, slide yang
dipresentasikan pada gelar perkara di Komnas HAM, 21 Mei
2010 oleh GKI.
Kata Pengantar
364
Moderate Muslim Society, Laporan Toleransi dan Intoleransi Tahun
2010, Ketika Negara Membiarkan Intoleransi, Jakarta:, 2011.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2002.
Pelly, Usman, “Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia: Suatu Kajian Awal
Konflik dan Disintegrasi Nasional di Era Reformasi,” dalam
Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXII, No. 58, Januari-April
1999, Jakarta: Jurusan Antropologi FISIP UI bekerjasama
dengan Yayasan Obor Indonesia.
SETARA Institute, Negara Menyangkal, Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2010, Jakarta: 2011.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali
Press, 1990.
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan
Toleransi 2010, Jakarta:, 2011.
________________, Nawala, No. 3/TH I/Agustus-November 2006.
-o0o-
Hubungan Umat Beragama:
STUDI KASUS PENUTUPAN /PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :Haidlor Ali Ahmad
Hubung
an Um
at Berag
ama
Studi K
asus Penutupan/Perselisihan Rum
ah Ibadat
ISBN 978-602-8739-09-2
Hubungan Umat Beragama:
STUDI KASUS PENUTUPAN /PERSELISIHAN RUMAH IBADAT
Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta 2012
Editor :Haidlor Ali Ahmad
Di satu sisi rumah ibadat adalah merupakan tempat bahkan pusat kegiatan ritual keagamaan, pembinaan mental spiritual, pendidikan agama, kegiatan sosial, budaya, dan penyiaran agama. Oleh karenanya rumah ibadat dipandang sebagai simbol agama. Karena fungsinya yang sedemikian rupa, di sisi lain rumah ibadat suatu agama sering dipandang oleh penganut agama lain sebagai ancaman. Keberadaan rumah ibadat terutama yang akan didirikan di suatu tempat sering dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi agama yang telah ada lebih dulu di tempat itu. Sebagaimana hasil penelitian yang tertuang dalam buku ini, hampir setiap pendirian rumah ibadat mengalami hambatan, karena tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditentukan (PBM). Ada pula yang karena sejak awal rencana pembangunannya sudah ditolak oleh penganut agama lain yang mayoritas, sehingga upaya-upaya pemenuhan persyaratan yang sudah ditentukan dalam peraturan selalu dihambat, baik oleh masyarakat sekitar, maupun oleh aparat yang seharusnya memfasilitasi pendirian rumah ibadat yang sudah merupakan kebutuhan nyata dan sungguh bagi penganut agama yang ingin mendirikannya.
Tentunya sangatlah memprihatinkan melihat realita betapa sulitnya membangun rumah ibadat. Apalagi jika kesulitan itu merupakan rekayasa yang dilakukan oleh kalangan yang menetang kehadirannya. Sehingga peraturan yang dengan kehadirannya dapat mempermudah, memberikan solusi dan bahkan mewajibkan pihak berwenang untuk memfasilitasi, tetapi justru oleh para penentang dimanfaatkan untuk mempersulit dan bahkan kalau dapat untuk menggagalkannya sama sekali. Disini menunjukkan ketaatan umat beragama kepada peraturan dan sikap toleransi sedang diuji.