II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerjasama Antar Daerah
Kerjasama antar daerah adalah suatu kerangka hubungan kerja yang
dilakukan oleh dua daerah atau lebih, dalam posisi yang setingkat dan seimbang
untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat
(Pamudji, 1985). Sedangkan Patterson(2008) dalam Warsono (2009: 118)
mendefinisikan kerjasama antar daerah (intergovernmental cooperation) sebagai
”an arrangement two or more goverments for accomplishing common goals,
providing a service or solving a mutual problem”. Dari definisi tersebut tercermin
adanya kepentingan bersama yang mendorong dua atau lebih pemerintah daerah
untuk memberikan pelayanan bersama atau memecahkan masalah secara
bersama-sama.
Ada dua motivasi utama mengapa kerjasama antar daerah menjadi
penting untuk dilakukan. Pertama, untuk menghindari terjadinya eksternalitas,
berupa kemungkinan adanya pembangunan yang pesat di suatu daerah tetapi
berdampak negatif bagi daerah yang lain. Kedua, adanya keinginan untuk
memecahkan masalah secara bersama dan mewujudkan tujuan bersama pada
bidang-bidang tertentu. Motivasi kedua ini biasanya didasarkan pada kesadaran
bahwa masing-masing daerah memiliki keterbatasan sumberdaya pembangunan
baik alam maupun manusia. Oleh karena itu, dengan bekerjasama masing-masing
daerah akan saling mendapat keuntungan apabila mereka saling memanfaatkan dan
mengembangkan potensi mereka secara bersama.
2.2. Teori Kerjasama Antar Daerah
2.2.1. Teori Model Kemitraan Antar Pemerintah Daerah
Olberding (2002) mengidentifikasikan dua model hubungan antar
pemerintahan lokal yang saling bertentangan, yaitu model persaingan antar
pemerintahan lokal (interjurisdictional competition) dan model regionalisme
(regionalism). Model persaingan mengasumsikan bahwa antar pemerintahan lokal
bersaing untuk memberikan layanan yang prima kepada penduduk dan
pengusahanya. Menurut model persaingan, beberapa kota menghasilkan layanan
20
publik dengan biaya yang murah, sedangkan lainnya tidak. Penduduk dan
pengusaha yang tinggal di kota dengan pelayanan yang prima tidak terdorong
untuk keluar dari kota tersebut. Sebaliknya, mereka yang tinggal di kota-kota
yang tidak dapat memuaskan pelayanan publik cenderung untuk bermigrasi ke
kota-kota lain. Karena persaingan antar pemerintah kota untuk menghasilkan
outcomes yang paling efisien, maka penduduk dan pengusaha akan memilih
tinggal di kota-kota yang pelayanan publik dan tarif pajaknya paling cocok
dengan preferensi mereka. Bahkan dapat dimungkinkan pula terjadinya
pembentukan kota-kota baru akibat buruknya pelayanan.
Berbeda dengan model kompetisi, model regionalisme menyatakan
bahwa kerjasama antar pemerintahan lokal dapat tercipta jika mereka mengakui
rasa saling tergantung (interdependency) dan bertindak dalam koridor yang
terkoordinasi. Para teoritisi administrasi publik tradisional menyatakan bahwa
beberapa pemerintahan kota yang bekerjasama menghasilkan skala ekonomi yang
menguntungkan, perlakuan warga negara yang lebih adil, dan peluang-peluang
yang lebih besar untuk mengatasi beberapa persoalan penting (Lyons, Lowery,
dan DeHoog, 1992).
Model regionalisme mengasumsikan bahwa setiap pemerintahan lokal
memiliki keterbatasan sumberdaya, baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya buatan maupun sumberdaya sosial. Oleh karena itu, agar pemerintah
lokal dapat berkembang maka antar pemerintah lokal diharapkan dapat saling
bekerjasama. Konsep pembentukan regionalisme seperti ini identik dengan
konsep perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pilar dari perencanaan
pembanguna wilayah adalah bahwa dalam membangun suatu wilayah harus
memperhatikan aspek tata ruang/spasial (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju,
2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan suatu wilayah lebih
dipengaruhi oleh wilayah di sebelahnya atau wilayah yang lebih dekat
dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih berjauhan akibat adanya
interaksi sosial-ekonomi antar penduduknya.
Hukum Geografi “Tobler” yang pertama menyebutkan bahwa “setiap hal
memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki
keterkaitan lebih dari lainnya” (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju, 2007). Dalam
21
ilmu wilayah, pengertian jarak tidak selalu berkonotasi fisik, tetapi lebih tepat jika
diungkapkan sebagai tingkat aksesibilitas yang dapat diukur melalui pendekatan
waktu tempuh, biaya perjalanan dan sebagainya. Secara alami, “kedekatan
psikologis” hubungan antar manusia tidak hanya ditentukan oleh jarak yang
memisahkannya, namun “posisi relatif” antar keduanya, akan menentukan pola
interaksi dan komunikasi antar keduanya. Sebagai contoh, secara psikologis
komunikasi dua orang yang duduk bersebelahan, berhadapan, dan saling
membelakangi akan memiliki nilai yang berbeda (Rustiadi, Saefulhakim dan
Panuju, 2007). Sejalan dengan konsep tersebut, model regionalisme
mensyaratkan, meskipun dua atau lebih pemerintahan lokal secara geografis
saling berdekatan, namun agar tetap terjalin hubungan komunikasi yang baik dan
saling menguntungkan maka diantara mereka hendahnya saling menjalin
hubungan kerjasama.
Dalam perspektif Good Governance, kemitraan merupakan ciri utama
dari model baru tata pemerintahan lokal (a new model of local governance) yang
mencakup penciptaan dan pencerminan perubahan hubungan yang melibatkan tiga
komponen, yaitu negara, pasar dan masyarakat sipil (Southern, 2002). Dalam
situasi dimana pemerintah (negara) mengalami kesulitan finansial, kombinasi tiga
komponen atau multistakeholders tersebut dapat menciptakan perpaduan
ketrampilan dan sumberdaya. Hal ini tidak saja penting, tetapi juga bermanfaat
untuk meningkatkan pemberian dan kualitas layanan dengan cara-cara yang lebih
efisien dan efektif (Slater, 2001).
2.2.2. Game Theory
Game theory adalah teori yang menjelaskan problem pengambilan
keputusan yang melibatkan beberapa kelompok kepentingan (multi stakeholders).
Teori ini mempelajari interaksi strategis antar pemain (agen). Dalam permainan
strategis, suatu agen memilih strategi yang dapat memaksimalkan keuntungan,
berdasarkan strategi yang dipilih agen lain. Ada dua bentuk permainan yaitu
permainan zero-sum (zero-sum game) atau non kooperatif yaitu keadaan dimana
pemenang memperoleh semuanya, dan permainan non zero-sum (non zero-sum
game) atau permainan kooperatif dimana memungkinkan terjadinya koalisi antara
22
sesama pemain. Intinya, teori ini menyediakan pendekatan permodelan formal
terhadap situasi sosial mengenai bagaimana pelaku keputusan berinteraksi dengan
agen lain. Teori permainan dapat menjelaskan suatu paradoks yang cukup
terkenal, yakni bagaimana orang bisa bekerjasama dalam masyarakat apabila
masing-masing dari mereka cenderung berusaha untuk menjadi pemenang.
John Nash menunjukkan perbedaan antara permainan kooperatif, dimana
masing-masing pemain saling bekerjasama secara terikat, dan permainan non-
kooperatif, dimana tidak ada kekuatan dari luar permainan yang dapat
memaksakan berlakunya sekumpulan peraturan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Dalam teori permainan, setiap pemain berusaha untuk mencapai
suatu kesetimbangan (equilibrium) yang disebut sebagai Kesetimbangan Nash.
Dalam konteks pembangunan wilayah, penerapan teori permainan ini
dapat juga dilakukan. Apabila akan membangun suatu wilayah, pilihannya adalah
apakah antar pemerintah daerah di wilayah tersebut harus saling bekerjasama atau
justru saling bersaing. Apabila pemicu kerjasama telah terbentuk, kondisi
kesetimbangan akan dapat terwujud apabila diantara mereka melakukan
kerjasama. Sebagai ilustrasi, jika beberapa daerah otonom memiliki keterbatasan
sumberdaya ekonomi dan sumber daya manusia (SDM), dan mereka ingin
mengembangkan ekonomi wilayahnya, maka jika mereka menerapkan permainan
non kooperatif justru akan saling melemahkan. Namun, jika mereka mau
menerapkan permainan kooperatif atau mau saling bekerjasama maka keuntungan
akan diperoleh seperti efisiensi biaya dalam mengembangkan potensi sumberdaya
ekonomi di masing-masing daerah.
2.2.3. Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi
Dalam studinya yang sangat komprehensif, Olberding (2002)
mengajukan teori kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi. Menurut teori
tersebut dihipotesiskan terdapat dua determinan utama terhadap pembentukan
kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi, yaitu: norma kerjasama
(cooperative norms) atau tradisi kerjasama regional dan kebutuhan (need).
Melalui norma kerjasama diharapkan berbagai pihak dapat bertindak dengan suatu
cara yang kolaboratif atau terkoordinasi. Menurut Axelrod (1997) dikatakan
23
bahwa jika perilaku terkoordinasi tercipta tanpa campur tangan pemerintah pusat
untuk mengawasi perilaku tersebut, maka keberadaan norma cenderung bertalian
erat dengan perilaku terkoordinasi dan regulasi penanganan konflik.
Ilmuwan lainnya juga menyimpulkan bahwa norma kerjasama sangat
penting untuk menggeser perilaku kompetitif menjadi perilaku kooperatif.
Sebagai contoh, Ostrom (1998) menyimpulkan bahwa penentu utama kerjasama
adalah norma timbal balik (norms of reciprocity) atau kecenderungan para
individu untuk bereaksi terhadap tindakan positif yang dilakukan oleh orang lain
dengan respon yang positif dan terhadap tindakan negatif dengan respon yang
negatif. Di samping itu, Ostrom (1998) juga menyarankan bahwa ada dua cara
untuk mengatasi dilema sosial yaitu komunikasi tatap muka (face-to-face
communication) antar berbagai pihak dan pembangunan sanksi, aturan dan
lembaga yang mendukung dan mempertahankan kerjasama. Hal yang sama
dikatakan oleh Axelrod (1997) bahwa mekanisme-mekanisme tertentu
mendukung norma dan akhirnya membantu untuk mencapai dan mempertahankan
kerjasama diantara kelompok-kelompok besar atau sekumpulan individu atau
organisasi. Ilmuwan lain menganggap bahwa norma adalah suatu bentuk
kelembagaan. Schotter (1981), mengatakan kelembagaan merupakan regulasi atas
tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan
merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang. Apapun
bentuknya, baik formal maupun informal, kelembagaan bertujuan mengurangi
ketidakpastian melalui pembentukan struktur/pola interaksi (North, 1990 dalam
Hidayat, 2007), atau untuk meningkatkan derajat kepastian dalam interaksi antar
individu (Kasper dan Streit, 1998 dalam Hidayat, 2007). Sedangkan menurut
Ostrom, (1990) dalam Hidayat, (2007) tujuan kelembagaan adalah untuk
mengarahkan prilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota
masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam
masyarakat serta mengurangi prilaku oportunis.
Di samping teori berbasis norma, faktor lain yang terkait dengan proses
pembentukan kemitraan regional adalah kebutuhan-kebutuhan daerah (the needs
of the region). Beberapa studi kasus juga telah menemukan bahwa kebutuhan
ekonomi (economic need) merupakan salah satu faktor utama yang mendorong
24
pembentukan kemitraan regional (lihat Coe, 1992; Huggins, 1992). Selain faktor
ekonomi, para ilmuwan politik juga menemukan bahwa kebutuhan-kebutuhan
sosial mempengaruhi hasil-hasil kebijakan publik (Peterson, 1981; Dye, 1990).
Dengan demikian, faktor kebutuhan merupakan sebuah faktor penentu penting
lainnya yang mendorong proses pembentukan kemitraan. Dalam hal ini, faktor
kebutuhan dapat dikatakan sebagai faktor pendorong terciptanya kemitraan agar
suatu daerah tetap dapat bertahan. Kebutuhan daerah dapat berupa kebutuhan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta kebutuhan sosial
seperti melakukan interaksi antar pejabat, pengusaha dan stakeholders lainnya.
Kemampuan interaksi ini akan dapat menambah wawasan pengetahuan terhadap
berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal lainnya, dan
pengetahuan terhadap berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan lokal
lain dapat dijadikan benchmarking dalam pembuatan kebijakan sejenis di tempat
pemerintahan lokal sendiri.
Ada tiga kelompok yang diasumsikan berperan penting dalam
mendorong norma pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan
ekonomi. Beberapa kajian mencatat bahwa dua kelompok yang secara aktif
terlibat dalam pembentukan kemitraan regional khususnya dalam pembangunan
ekonomi adalah pejabat publik dan pemimpin bisnis (Raasch dan Brooks, 1995;
Grell dan Gappert, 1993; Coe, 1992; Hersberg, Magidson, dan Werneeke, 1992;
Huggins, 1992). Di samping itu, peran masyarakat sipil juga turut memberikan
pengaruh terhadap norma pembentukan kemitraan regional. Rusk (1995),
misalnya, menemukan bahwa keterlibatan masyarakat sipil memainkan peranan
yang vital dalam perumusan strategi kerjasama regional.
25
Sumber: Diadopsi dari Olberding, 2002
Gambar 3 Teori Kemitraan Regional Untuk Pembangunan Ekonomi
Gambar di atas menunjukkan bahwa pengaruh norma kerjasama tidak
hanya pada pembentukan hubungan antar pemerintahan lokal atau antar
organisasi, tetapi juga terhadap struktur dan proses pembentukannya. Van de Ven
(dalam Olberding, 2002) mengindentifikasikan tiga dimensi struktur dalam
hubungan antar organisasi: (1) formalisasi melalui kesepakatan atau kontrak; (2)
kompleksitas, atau jumlah organisasi yang terlibat dalam kerjasama dan jumlah
proyek dan tugas yang dilaksanakan melalui hubungan antar organisasi; dan (3)
sentralisasi, atau derajat pembuatan keputusan bersama oleh komite atau dewan.
Di samping itu, terdapat dua dimensi proses dalam hubungan antar organisasi: (1)
intensitas aliran sumberdaya, atau jumlah sumberdaya yang mengalir diantara
Kebutuhan
Norma-norma kerjasama yang dibangun secara parsial
Pemerintah
Sektor Swasta
Masyarakat Sipil
Kemitraan Regional untuk Pembangunan Ekonomi
Formalisasi
Sentralisasi
Kompleksitas
Intensitas aliran sumberdaya
Intensitas aliran informasi
+
+
_
_
+
+
+
Lingkungan ekonomi politik makro
26
organisasi; dan (2) intensitas aliran informasi, atau frekuensi komunikasi diantara
organisasi.
Terakhir, lingkungan ekonomi dan politik makro juga dapat berperan
dalam pembentukan kerjasama regional. Perubahan kebijakan otonomi daerah
yang tengah digodok oleh pemerintah maupun kondisi perekonomian di tingkat
nasional maupun internasional dapat menjadi faktor pendukung atau bahkan
penghambat bagi terciptanya kerjasama regional. Birner dan Wittmer (2003),
misalnya, mencatat bahwa lingkungan ekonomi dan politik makro turut
menentukan dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal.
2.3. Teori Regionalisasi
Kata region (dalam bhs.Latin: regio) terbentuk dari kata latin rege
yang berarti tata pemerintahan, yang menunjuk pada batasan geografis yang
terdiri dari beberapa ruang administratif tertentu. Sedangkan regionalisasi
terbentuk dari kata dasar regio(n) dan kemudian menjadi regional sebagai kata
sifat yang berarti kewilayahan. Kata regional diartikan sebagai sifat kewilayahan
yang melibatkan beberapa area administratif, baik sebagian ataupun menyeluruh,
dan imbuhan-isasi (pada kata regionalisasi) menunjukkan suatu proses
pembentukannya. Dengan demikian, regionalisasi secara umum dapat diartikan
sebagai proses terbentuknya suatu region yang terdiri dari beberapa daerah
administratif dan secara keruangan memiliki relevansi/keterkaitan geografis
(Abdurahman, 2009). Dari pengertian ini terlihat bahwa region merupakan
produk dari sebuah proses regionalisasi. Proses yang tidak hanya menitikberatkan
aspek teknis kewilayahan namun juga mempertimbangkan aspek batasan
administratif (politik-administratif).
Abdurahman (2009), membedakan antara istilah wilayah dengan region.
Istilah wilayah dipergunakan untuk menyebut sebuah batasan ruang geografis
tanpa batasan yang pasti, seperti wilayah budaya, wilayah tandus, wilayah iklim
tropis, dan seterusnya. Sedangkan istilah region dipergunakan untuk menyebut
ruang geografis yang menunjukkan keterlibatan ruang (spatial) beberapa daerah
administratif, baik sebagian maupun menyeluruh. Mengacu pada istilah di atas,
maka pengertian regionalisasi di Indonesia dapat diartikan sebagai proses
27
pembentukan region yang melibatkan beberapa daerah otonom, khususnya
kabupaten/kota, baik di dalam satu provinsi maupun antar provinsi.
Di Indonesia, hasil regionalisasi yang merupakan tindak lanjut dari
kegiatan pewilayahan sangat dipengaruhi oleh penggunaan paradigma yang
mendominasi pembentukannya. Ada dua paradigma yang biasa digunakan dalam
melakukan proses regionalisasi, yaitu paradigma sentralistik dan desentralistik.
Menurut Abdurahman (2009), pada pemanfaatan paradigma sentralistik,
regionalisasi dapat digambarkan sebagai proses terbentuknya suatu pewilayahan
yang terdiri dari beberapa daerah administratif yang memiliki relevansi pada
aspek geografis atas perintah (ex mandato) struktur hirarkis yang berwenang.
Proses regionalisasi yang didominasi oleh pola sentralistik disebut regionalisasi-
sentralistik atau sruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi sentralistik ini
adalah terbentuknya daerah-daerah eks karesidenan di Pulau Jawa, provinsi, kota,
dan kabupaten. Sedangkan regionalisasi dengan paradigma desentralistik dapat
diartikan sebagai proses pewilayahan yang ditandai dengan platform kerja sama
oleh para aktor regional antara daerah otonom yang bertetangga (memiliki
relevansi keruangan) berdasarkan kebersamaan dan kepentingan pembangunan
tertentu serta atas dasar kehendak sendiri (ex mera motu). Proses regionalisasi
yang didominasi oleh pengaruh pola desentralistik biasa disebut regionalisasi-
desentralistik atau nonstruktural-administratif. Hasil dari regionalisasi ini
adalah pembentukan beberapa lembaga kerjasama antar daerah seperti
BARLINGMASCAKEB, Subosukawonosraten, Sampan, dan lain-lain.
Pada prakteknya, implementasi dari proses regionalisasi desentralistik
biasanya lebih bersifat kompleks jika dibandingkan dengan regionalisasi
sentralistik, karena pada pelaksanaannya dibutuhkan adanya komitmen politik dan
kesepakatn-kesepakatan dari para aktor regional (kepala daerah) dalam
memadukan potensi daerah dan pengaruh kekuatan dari luar. Tabel berikut
menjelaskan perbedaan proses regionalisasi sentralistik dengan proses
regionalisasi desentralistik.
28
Tabel 5 Perbedaan Proses Regionalisasi Sentralistik dan Desentralistik
Proses
Teknis
PENDEKATAN KEWILAYAHAN (Pendekatan Homogenitas, Fungsionalitas, dan Perencanaan dsb)
Produk
TEKNIS PERWILAYAHAN
Proses Politik
Regionalisasi Sentralistik (ex mandato)
Regionalisasi Desentralistik (ex mera motu)
Proses Adm.
Regionalisasi Struktural (hirarkhis)
Regionalisasi Non-Struktural (jejaring)
Produk
Region dalam Konteks Hirarkis
(PEWILAYAHAN)
Region dalam Konteks Jejaring
(REGION)
Contoh
Eks-Karesidenan di Jawa Kawasan Khusus
Bentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota baru sesuai UU.
32 Tahun 2004
BARLINGMASCAKEB, Subosukawonosraten,
Sampan, RM Lake Toba, Aksess, Jonjokbatur, Kaukus Setara Kuat,
Janghiangbong, dsbnya. Sumber: Abdurahman, 2009.
Regionalisasi sentralistik sebagai produk dari pewilayahan,
implementasinya relatif mudah dan sederhana karena dalam proses pengambilan
keputusannya tidak menitikberatkan pertimbangan pada aspek keterlibatan daerah
terkait. Dengan kewenangnan yang bersifat direktif-koordinatif, lembaga
pemerintahan yang lebih tinggi memiliki kewenangan utama dalam pembentukan
regionalisasi sentralistik. Kewenangan tersebut dapat berupa pembuatan kebijakan
berupa produk hukum, seperti peraturan pemerintah atau peraturan perundang-
undangan yang lainnya. Sementara koordinasi pelaksanaan dari peraturan tersebut
dilakukan secara direktif (bersifat struktural-hirarkhis) oleh lembaga pemerintah
yang lebih tinggi sedangkan lembaga pemerintah yang lebih rendah hanya bersifat
afirmatif (Abdurahman, 2009).
Pada regionalisasi desentralistik, pelaksanaannya lebih bersifat kompleks.
Karena pembentukannya berasal dari inisiatif lokal, maka sejak dari mulai ide
pembentukan, perencanaan sampai implementasinya sangat dibutuhkan adanya
peran serta dari masing-masing pemerintah lokal. Karena tujuan dari pembentukan
regionalisasi desentralistik adalah untuk mengoptimalkan hasil pembangunan
wilayah dengan cara lebih mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal masing-
masing, maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh adanya kesediaan, komitmen,
29
dan konsensus bersama antar pemimpin daerah otonom yang terlibat. Diantara
mereka harus dibangun komunikasi yang mutualistik melalui asas musyawarah
secara terus menerus. Kendala biasanya akan muncul ketika terjadi pergantian
kepala daerah. Karena mereka tidak terlibat dalam proses pembentukan kerjasama
sejak awal biasanya komitmennya terhadap keberlangsungan kerja sama tersebut
tidak sekuat pejabat yang digantikannnya.
2.4. Teori Tindakan Kolektif
Teori tindakan kolektif pertama kali dikembangkan oleh Mancur Olson
(2001). Teori ini mengupas mengenai aktivitas berbagai kelompok kepentingan
(interest group) dalam mengelola sumberdaya bersama (common risources). Teori
ini dikembangkan dalam rangka untuk mengatasi munculnya penunggang bebas
(free-riders) dalam pengelolaan sumberdaya bersama. Teori ini sudah mapan
digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang bersingggungan dengan masalah
pengelolaan sumberdaya bersama. Dimasa lalu, penyelesaiaan atas solusi ini
dilakukan dngan cara memformulasikan dan menegakkan hak kepemilikan
(property right). Tetapi dalam studi yang lebih baru, kesepakatan kelembagaan
lokal (local institutional arrangements), dapat dipakai untuk mengatasi persoalan
pengelolaan sumberdaya secara efisien (Yustika, 2008).
Menurut Olson (2001) dalam Yustika (2008) determinan penting bagi
keberhasilan suatu tindakan kolektif adalah ukuran (size), homogenitas
(homogeneity) dan tujuan kelompok (porpuse of the groups). Menurut Olson
suatu tindakan kolektif akan bekerja secara optimum tergantung pada ketiga
determinan tersebut. Secara hipotetik, semakin besar ukuran suatu kelompok
kepentingan maka akan semakin sulit bagi kelompok tersebut menegosiasikan
kepentingan diantara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya kelompok
yang dibangun dengan ukuran yang kecil akan bekerja lebih efektif. Keragaman
anggota kelompok juga sangat berpengaruh terhadap efektivitas tindakan kolektif.
Semakin beragam kepentingan anggota kelompok maka akan semakin sulit
memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing anggota membawa
kepentingannya sendiri-sendiri, demikian juga sebaliknya. Jadi homogenitas
kepentingan akan memudahkan kerja suatu kelompok. Tujuan kelompok juga
30
berpengaruh terhadap efektivitas tindakan kolektif. Tujuan kelompok harus dibuat
secara fokus dengan memperhatikan kepentingan semua anggota. Tujuan
kelompok yang luas, disamping kabur juga akan memecah kesatuan antar anggota
sehingga dukungan terhadap tindakan kolektif menjadi lemah.
Dari beberapa tindakan kolektif yang dilakukan, terdapat beberapa situasi
yang membutuhkan tindakan kolektif untuk menyelesaikan persoalan
(Heckarthorn, 1993). Pertama, sistem untuk mengelola sumberdaya bersama
(common-pool resources), seperti perikanan, sumberdaya air yang dikelola
melalui sistem irigasi atau padang rumput. Kedua, sistem untuk mengontrol
perilaku (controlling behavior), misal norma-norma sosial yang melarang
eksploitasi atau perilaku merusak. Ketiga, perubahan-perubahan sosial semacam
revolusi atau perubahan perlahan dalam kebijakan publik. Ketiga situasi tersebut
mempersyaratkan adanya tindakan kolektif agar kegiatan pemanfaatan
sumberdaya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Bahkan lebih dari itu
tindakan kolektif menjadi krusial sebagai instrumen untuk mencegah konflik dan
kemungkinan dieksploitasinya salah satu atau beberapa pihak dalam kegiatan
tersebut. Hal ini menjadi argumentasi penting perlunya kehadiran tindakan
kolektif dalam pemecahan masalah kegiatan ekonomi (Yustika, 2008).
Deskripsi di atas sekurangnya menyumbangkan tiga karakteristik esensial
mengapa suatu tindakan kolektif perlu dilakukan. Pertama, tindakan kolektif
diperlukan apabila suatu kelompok memproduksi barang dan jasa secara bersama,
jika tidak tindakan kolektif tidak dibutuhkan. Kedua, produksi memberikan laba
kepada semua anggota, sehingga tidak mungkin mengeluarkan anggota yang
gagal berkontribusi dalam aktivitas produksi. Ketiga, adanya produksi dalam
barang-barang publik yang menyertakan biaya. Ketika ketiga kondisi tersebut
terpenuhi, anggota kelompok akan bertemu dengan problem penunggang bebas
(free-riders problem), yaitu mereka yang tidak berkontribusi terhadap beban biaya
dari tindakan kolektif tetapi masih menerima benefitnya. Fakta yang tidak
mungkin disanggah, setiap aktivitas ekonomi selalu berpotensi menyumbangkan
penunggang bebas sehingga suatu tindakan kolektif dibutuhkan untuk
mengatasinya.
31
Berkaitan dengan masalah penunggang bebas (free-riders), tindakan
kolektif bisa menjadi salah satu cara untuk menyelesaiakan masalah ini, tetapi
dapat pula bahwa tindakan kolektif justru menjadi sumber munculnya
penunggang bebas (Yustika, 2008). Dalam proposisi yang pertama, mereka yang
dirugikan dari keberadaan free-riders akan menggalang kekuatan yang berujung
pada tindakan kolektif, misalnya melakukan eksklusi terhadap penunggang bebas
tersebut. Sedangkan dalam proposisi kedua, tindakan kolektif yang didesain
secara kurang lengkap besar peluangnya untuk menciptakan free-riders baru,
misalnya ketidakjelasan aturan main tentang hukuman dan insentif. Kedua
kemungkinan skenario tentang free-riders itu sangat mungkin terjadi sehingga
desain tindakan kolektif memang mesti dilakukan secara hati-hati dengan
mempertimbangkan banyak aspek, seperti ukuran, homogenitas dan tujuan
kelompok.
Dalam kasus kerjasama antar daerah sebagai bentuk dari tindakan kolektif
untuk meningkatkan skala ekonomi daerah pabila ingin dapat bekerja secara
efektif perlu didesain secara hati-hati dan cermat. Pertama, jumlah anggota
sebaiknya tidak terlalu besar, karena semakin banyak pemerintah daerah yang
tergabung dalam suatu lembaga kerjasama antar daerah akan semakin sulit untuk
melakukan koordinasi di antara para anggotanya, dan apabila hal ini tejadi akan
berujung pada gagalnya pencapaian tujuan organisasi. Kedua, keragaman
kepentingan di antara para anggotanya juga perlu mendapat perhatian. Semakin
beragam kepentingan anggota ketika bergabung dalam lembaga kerjaam antar
daerah maka peluang kegagalan dari lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya
akan semakin besar. Untuk itu diperlukan seleksi ketat terhadap kepentingan dari
masing-masing anggota ketika hendak bekerjasama. Ketiga, dalam merumuskan
tujuan yang hendak dicapai, organisasi hendaknya merumuskannya dengan
mengarah pada tujuan-tujuan yang spesifik, fokus pada masalah tertentu dan tidak
dirumuskan secara umum dan luas. Karena tujuan yang dirumuskan secara
spesifik dan khusus akan membantu mempercepat pencapaian tujuan.
32
2.5. Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah 2.5.1. Pengertian Kelembagaan
Para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang yang beragam
mendefinisikan kelembagaan secara beragam menurut sudut pandang
keilmuwanannya (Hidayat, 2007). Berikut beberapa pandangan dari para ahli
mengenai pengertian kelembagaan. North mendefinisikan kelembagaan sebagai
batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis
antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi. Schmid
mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah
masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung
jawab, baik sebagai individu mauapun sebagai kelompok. Sementara Jack Knight,
mengartikan kelembagaan sebagai serangkaian peraturan yang membangun
struktur interaksi dalam sebuah komunitas (Hidayat, 2007). Sedangkan Ostrom
(1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat
yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat,
prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak boleh
disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari
tindakan yang dilakukannya. Singkatnya, kelembagan adalah aturan main yang
berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut
sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi)
dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama
anggota masyarakat (Hidayat, 2007).
Berdasarkan atas bentuknya, North membagi kelembagaan menjadi dua
yaitu informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang
keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi,
pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan
dikelompokkan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal
adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements),
perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisnis, politik dan lain-lain.
Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional,
regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal (Hidayat, 2007).
33
Wolfgang Kasper dan Manfred Streit, membagi kelembagaan berdasarkan
atas proses kemunculannya, yaitu internal institutions dan external institutions.
Internal institution adalah institusi yang tumbuh dari budaya masyarakat seperti
nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di masyarakat. External institutions adalah
institusi yang dibuat oleh pihak luar yang kemudian diberlakukan pada suatu
komunitas tertentu. Regulasi produk pemerintah termasuk external institutions
(Hidayat, 2007).
Banyak kalangan yang menganggap bahwa pengertian kelembagaan atau
institusi dengan organisasi dapat saling dipertukarkan. Namun, sebenarnya ada
perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Organisasi merupakan wadah
manusia untuk berinteraksi seperti partai politik, lembaga pendidikan, lembaga
yang mengurusi kegiatan olah raga, organisasi keagamaan, dan lain-lain.
Sedangkan kelembagaan atau institusi adalah serangkaian peraturan yang berlaku
di dalam organisasi tersebut.
2.5.2. Tingkatan Kelembagaan
Kelembagaan sebagai norma atau tata aturan yang berlaku untuk mengatur
pola interaksi manusia pada dasarnya memiliki empat tingkatan, yaitu
kelembagaan pada: (1) level masyarakat (social); (2) level kelembagaan formal
(formal institutional environment); (3) level tata kelola (governance); dan (4)
perubahan bersifat kontinu (Williamson, 2000).
Kelembagaan pada level masyarakat adalah kelembagaan yang
keberadaannya telah menyatu dalam sebuah masyarakat (social embeddedness)
seperti norma, kebiasaan, tradisi, hukum adat, dll. Level kelembagaan formal
adalah kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja
seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga
legislatif/pemerintah. Kelembagaan yang terjadi pada level governance (tata
kelola) yaitu serangkaian peraturan (rule of the game) dalam sebuah komunitas
yang membentuk struktur tata keleola (governance structure), lengkap dengan tata
cara penegakan, pemberian sanksi, dan perubahan dari rule of the game tersebut.
Kelembagaan pada level keempat berlangsung kontinu (sepanjang waktu)
mengikuti perubahan insentif ekonomi, harga alokasi sumberdaya dan tenaga
34
kerja. Dengan kata lain, kelembagaan berubah mengikuti perubahan harga input
produksi, perubahan input produski menyebabkan perubahan kelembagaan
(Hidayat, 2007).
2.5.3. Teori Perubahan Kelembagaan
Pada dasarnya kelembagaan bersifat selalu berubah. Perubahan dapat
terjadi pada setiap level. Tidak ada lembaga yang bersifat permanen. Ia akan
selalu berubah menuju tatanan kelembagaan (institutional arrangement) yang
lebih efisien (Hidayat, 2007). Schlueter dan Hanisch (1999) mengklasifikasi teori
perubahan kelembagaan berdasarkan efisiensi ekonomi dan teori distribusi konflik
(distributional conflict theory).
Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi memiliki tiga
arus pemikiran utama. Arus pemikiran pertama disampaikan oleh Friedrich
Hayek, ekonom terkemuka Austria dan pendukung utama ekonomi neo klasik.
Menurut Hayek, perubahan kelembagaan bersifat spontan, tidak disengaja, namun
merupakan hasil dari tindakan yang disengaja (Hayek, 1968 dalam Hidayat,
2007). Artinya bahwa seseorang atau sekelompok masyarakat tidak akan
membuat sebuah lembaga/aturan bila tidak ada dorongan yang menuntut aturan
tersebut harus ada. Yang dimaksud Hayek, “perubahan kelembagaan bersifat
spontan” adalah bahwa lahirnya dorongan untuk menciptakan atau merubah
kelembagaan bersifat spontan. Sedangkan aktifitas membuat atau mewujudkan
kelembagaannya bersifat disengaja. Sebagai contoh, pembuatan peraturan daerah
(perda) tentang pengelolaan sumberdaya air tanah merupakan tindakan yang
disengaja, tapi lahirnya kebutuhan adanya perda tersebut bersifat spontan sebagai
respons terhadap situasi yang berkembang (Hidayat, 2007).
Arus pemikiran kedua tentang teori perubahan kelembagaan berdasarkan
atas efisiensi ekonomi disampaikan antara lain oleh Posner (1992) dalam Hidayat,
(2007). Menurut Posner, sebuah lembaga/aturan berubah karena adanya upaya
melindungi hak-hak kepemilikan (property rights). Artinya, seseorang atau
anggota masyarakat terdorong membuat sebuah aturan tujuan utamanya adalah
untuk melindungi hak-hak kepemilikan dari gangguan yang datang dari luar.
Adanya land tenure system (sistem kepemilikan lahan) dalam masyarakat adat
35
bertujuan agar hak-hak lahan terdistribusi di antara anggota masyarakat adat
tersebut dan mereka memiliki kepastian mengenai hal tersebut.
Pemikiran ketiga perubahan ekonomi kelembagaan berdasarkan atas
efisiensi ekonomi antara lain disampaikan oleh Oliver Williamson (2000) dalam
Hidayat (2007). Menurutnya, lembaga/aturan akan terus berubah dinamis sebagai
upaya meminimumkan biaya transaksi (transaction cost). Perubahan biaya
informasi, penegakan hukum, perubahan harga, teknologi dll mempengaruhi
insentif/motivasi seseorang dalam berinteraksi dengan pihak lain. Hal ini akan
berpengaruh pada perubahan kelembagaan (North, 1990). Perubahan harga relatif
faktor produksi akan mendorong pihak yang terlibat dalam transaksi melakukan
negosiasi untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan baru. Perubahan kesepakatan
atau kontraktual akan sangat sulit tanpa perubahan aturan main. Oleh karena itu,
North menegaskan, perubahan harga membawa pada perubahan aturan main
(Hidayat, 2007).
Selain itu, kelembagaan juga tidak resisten terhadap perubahan selera atau
kesukaan anggota masyarakat/aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah komunitas.
Perubahan tersebut, sebagaimana diyakini North (1990), akan mengancam
existensi kelembagaan yang ada. Jika para aktor merasakan bahwa kelembagaan
yang berlaku sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan atau kondisi
lingkungan yang ada, maka ia akan berusaha melakukan perubahan kelembagaan
agar lebih akomodatif terhadap lingkungan yang baru. Kehilangan nilai budaya,
norma, tradisi dan lain-lain dari sebuah komunitas merupakan contoh perubahan
kelembagaan karena adanya perubahan kondisi lingkungan, baik karena pengaruh
eksternal sosial ekonomi komunitas tersebut maupun karena faktor internal.
Sebagai contoh, permintaan pasar ikan karang yang tinggi dengan harga yang
sangat bagus merupakan insentif bagi nelayan untuk menangkap ikan sebanyak
mungkin. Karena itu, larangan menangkap ikan karang sebagaimana berlaku di
beberapa kawasan konservasi laut dianggap oleh para nelayan sebagai faktor
penghambat mencari keuntungan ekonomi. Sehingga, nelayan akan berusaha
mengubah, mencabut atau mengabaikan larangan tersebut. Pencabutan atau
perubahan sebagian dari aturan tersebut merupakan bentuk perubahan
kelembagaan (Hidayat, 2007).
36
Demikian juga, ketika Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi terkini
sehingga tidak effektif, maka pemerintah mengupayakan perubahan atas undang-
undang tersebut. Pada saat undang-udang tentang tata ruang dirasa sudah tidak
sesuai lagi maka pemerintah akan berupaya menggantinya dengan undang-undang
baru yang bisa lebih baik. Perubahan kelembagaan akan terus berlangsung untuk
meminimumkan biaya transaksi (Hidayat, 2007).
Teori kedua yang menjelaskan perubahan kelembagaan adalah
distributional conflic theory. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap aktor
dalam sebuah arena (komunitas) memiliki perbedaan kepentingan dan kekuatan.
Perbedaan kepentingan ini merupakan sumber konflik. Setiap aktor yang terlibat
konflik akan berusaha mencari solusi atas konflik tersebut dengan memanfaatkan
kekuatan (power) yang ia miliki dengan jalan mengubah aturan main yang berlaku
(Hidayat, 2007). Aktor yang dapat mengendalikan power atau memiliki power
lebih baik, misalnya karena menguasai informasi, akses politik, modal, dll, akan
mengendalikan proses perubahan tersebut agar berpihak pada kepentingannya
(Knight, 1992). Perubahan kelembagaan tersebut bukan untuk memuaskan semua
pihak atau untuk mencapai kepentingan kolektif melainkan untuk kepentingan
mereka yang punya kekuatan. Proses perubahan tersebut bisa disengaja atau bisa
pula sebagai konsekuensi dari strategi mencari keuntungan dari aktor-aktor yang
bermain. Oleh karena itu, sering ditemukannya tarik menarik dalam proses
pembuatan undang-undang karena adanya perbedaan kepentingan dari setiap aktor
yang bermain. Mereka tidak peduli apakah kelembagaan baru tersebut akan lebih
efisien atau tidak. Yang penting, bagaimana agar aturan main yang baru tersebut
dapat menguntungkan kelompoknya (Knight, 1992).
Knight (1992) mendefinisikan power sebagai kekuatan untuk
mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan kepentingannya. Untuk
menggambarkan power, Hidayat (2007) mengemukakan dengan ilustrasi, jika “A”
lebih powerful dari pada “B”, maka “A” akan mampu memaksa “B” mengadopsi
aturan main yang ide utamanya berasal dari “A” atau dibuat oleh “A”. Dalam hal
ini, pada awalnya “A” tidak memikirkan kepentingan “B” meskipun pada
akhirnya bisa jadi aturan baru tersebut juga menguntungkan “B”. Dalam hal ini,
37
ketaatan kelompok B atas kelembagaan baru bukan karena mereka setuju dengan
isinya, atau menguntungkannya, melainkan karena mereka tidak mampu membuat
yang lebih menguntungkan baginya. Kondisi ini akan terus berlangsung selama
power resources tidak terdistribusi secara merata atau asymmetric power
condition.
2.5.4. Intergovernmental Networks Sebagai Mekanisme Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Mengelola kerjasama antar daerah pada prinsipnya adalah mengelola
hubungan antar organisasi. Secara teoritis, ada dua pola hubungan antar organisasi
yang bisa dilakukan dalam pengelolaan kerjasama antar daerah (Warsono, 2009).
Pertama, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat intergovernmental
ralationship. Pola hubungan ini memiliki karakter hubungan yang bersifat
hierarkis, yang melihat forum kerjasama sebagai unit yang koheren dengan tujuan
yang jelas, prosesnya terstruktur dari atas, diarahkan pada tujuan tertentu,
keputusan organisasi didominasi pada kewenangan yang terpusat dan mempunyai
tujuan dan nilai yang jelas.
Kedua, adalah pola hubungan organisasi yang bersifat Intergovernmental
Networks. Kerjasama antar daerah yang berbasis network lebih didasarkan pada
inter-relasi yang dilakukan oleh daerah, yang masing-masing daerah bersifat
bebas dan mandiri untuk melakukan relasi satu sama lain. Selain itu, tidak ada
struktur kewenangan sentral dan tujuan dari kerjasama tersebut yang bukan
merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang menjadi anggota forum
kerjasama antar daerah tersebut sebagai sebuah perwujudan dari aksi bersama
(collective action) (Ruhyanto dan Hanif, (2007). Oleh karena setiap kerjasama
antar daerah harus didasarkan pada kepentingan bersama, maka proses
pembentukannya harus bersifat partisipatif dan fleksibel sehingga dapat
melahirkan konsensus. Konsensus ini tidak akan terbentuk tanpa adanya
pengakuan kesetaraan, kesukarelaan, dan kemandirian dari setiap daerah yang
terlibat. Dalam konteks ini, maka penggunaan pola hubungan organisasi
kerjasama antar daerah haruslah yang bersifat Intergovernmental Networks.
38
Terdapat beberapa perwujudan dari bentuk-bentuk Intergovernmental
Networks yang membuat kerjasama antar daerah menjadi lebih efektif. Pertama,
adalah information networks, dimana daerah dapat membuat sebuah forum yang
berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi potensi
atas masalah-masalah bersama. Kedua, adalah development networks, dalam jenis
ini engagement dari masing-masing daerah lebih tingi karena interaksi antar
daerah tidak hanya dalam pertukaran informasi, tetapi juga dikombinasikan
dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung meningkatkan kapasitas
informasi daerah untuk melaksanakan solusi atas masing-masing persoalannya.
Ketiga, adalah outreach networks, dimana networks antar daerah lebih solid
dengan adanya program strategi untuk masing-masing daerah yang diadopsi dan
dilaksanakan di daerah lain. Keempat, adalah action networks, dimana daerah-
daerah secara bersama-sama membuat serangkaiuan program aksi bersama yang
dijalankan oleh masing-masing daerah sesuai dengan proporsi dan
kemampuannya masing-masing. (Agranoff, 2003 dalam Ruhyanto dan Hanif,
2007).
2.5.5. Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah
Format kelembagaan kerjasama meliputi; format kerjasama, pengelolaan
kerjasama, struktur organisasi, kerangka regulasi, dan sumber pendanaan.
2.5.5.1. Format Kerjasama
Aspek kelembagaan kerjasama yang pertama adalah bagaimana bentuk-
bentuk kerjasama antar daerah yang paling ideal untuk dipilih agar efektivitas dari
lembaga kerjasama tersebut dapat tercapai. Ada beberapa alternatif bentuk
kerjasama yang dapat dipilih sebagai dasar bagi pengembangan kerjasama antar
daerah. Masing-masing alternatif akan dikomparasikan dengan melihat kekuatan,
kelemahan serta fisibilitas pelaksanaannya. Perbedaan dari masing-masing bentuk
kerjasama tersebut terutama terletak pada dimensi kewenangan serta lingkup
otoritas dan pola relasi antara lembaga kerjasama dengan anggota-anggotanya.
Berikut digambarkan berbagai alternatif dari format kerjasama tersebut
(Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto (2007):
39
A. Lembaga Kerjasama
1. Karakteristik
Format kerjasama ini tidak hanya berbasis pada sharing of information,
namun lebih dari itu, fomat kelembagan seperti ini juga menyentuh aktivitas-
aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka
meningkatkan kapasitas daerah sebagai anggota, memfasilitasi terjadinya
horizontal learning antar daerah, bahkan sampai pada kesepakatan membuat
program aksi bersama. Dengan kata lain, format kerjasama semacam ini memiliki
sifat developmental networks, outreach networks, dan action networks. Yang
membedakan format kerjasama ini dengan format kerjasama yang lainnya adalah
adanya otoritas pengaturan (regulatory) yang kuat. Otoritas pengaturan ini
diharapkan dapat menciptakan sustainabilitas dan efektivitas kerjasama melalui
penciptaan struktur sanksi yang ketat bagi pihak yang tidak melaksanakan hasil
kesepakatan bersama. Hal ini dimaksudkan agar network diantara anggota dapat
terlembagakan secara kuat.
2. Kelebihan
Kekuatan dari format kerjasama ini adalah tingginya engagement antar
daerah sebagai anggota kerjasama. Semua kesepakatan yang dibuat dalam
lembaga kerjasama antar daerah dalam format ini dimungkinkan memiliki tingkat
integrasi yang tinggi dengan kebijakan internal daerah. Hal ini terjadi karena
adanya kesepakatan bersama yang bersifat mengikat dan wajib ditaati oleh para
anggotanya jika tidak ingin mendapat sanksi. Dengan adanya aturan ini solidaritas
dan keberlangsungan forum kerjasama akan dapat lebih terjamin.
3. Kelemahan
Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini adalah menyangkut tingkat
penerimaan kepemimpinan lembaga kerjasama antar daerah dengan daerah
sebagai anggotanya. Format kelembagaan seperti ini membutuhkan karakter
kepemimpinan yang kuat. Persoalannya adalah dalam kelompok kerjasama antara
daerah yang memiliki tingkat otonomi yang sama dan sederajat, siapa yang
kemudian menjadi pemimpin lembaga kerjasama antar daerah dengan model
tersebut. Apakah ada mekanisme checks and balances? Pertanyaan ini penting
untuk dijawab karena kerjasama dengan alternatif semacam ini sangat membuka
40
peluang dominasi satu daerah atas daerah lainnya. Selain itu, model ini juga
mengasumsikan bahwa secara internal daerah sudah tidak memiliki permasalahan
terkait denga karakteristik lokal masing-masing, sehingga apa yang menjadi
kesepakatan dalam lembaga kerjasama secara otomatis dapat diimplementasikan
di masing-masing anggota.
4. Fisibilitas
Penerapan model ini secara teknis tidak mudah dilahirkan dan
dikembangkan dengan mengandalkan pada mekanisme network. Diperlukan
mekanisme lain yang bersifat legal-formal yang baku untuk dapat menerapkan
alternatif ini. Dalam suasana desentralisasi dan otonomi seperti sekarang ini,
dimana daerah memiliki posisi yang sederajat sangat tidak mudah untuk
membentuk lembaga kerjasama dengan format seperti ini. Kekuatan pengikat
yang didasarkan semata-mata pada pemberian sanksi dan bukan toleransi antar
pihak yang bekerjasama justru dapat menjadi bumerang bagi efektivitas dan
sustainabilitas kerjasama yang hendak dibangun.
B. Forum Koordinasi
1. Karakteristik
Pada pola kerjasama semacam ini fungsi lembaga kerjasama yang
dibentuk sangat terbatas pada upaya memfasilitasi komunikasi dan koordinasi
antar daerah anggota, lingkup komunikasi dan koordinasi juga sangat terbatas
pada teknis pelaksanaan dan penganggaran. Yang menjadi kekuatan pengikat
adalah adanya toleransi antar pihak dan adaya informasi yang seimbang mengenai
bidang-bidang yang dikerjasamakan. Lembaga kerjasama yang dibentuk tidak
memiliki otoritas regulatif dan tidak ada mekanisme sanksi bagi pelanggar
kesepakatan. Hubungan antar anggota bersifat cair dan fleksibel.
2. Kelebihan
Dibandingkan dengan format kelembagaan yang lainnya, alternatif ini
relatif sangat mudah untuk dibangun dan dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena
daerah hanya memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi atas daerahnya
sendiri tanpa ada kewajiban atau beban yang lain. Kekuatan pengikat daerah
untuk bekerjasama hanya berdasarkan toleransi antar daerah dan tidak
41
menyediakan sanksi yang tegas. Dengan demikian, energi yang dikeluarkan oleh
suatu daerah relatif tidak banyak dan daerah relatif aman dari sanksi ketika suatu
daerah akan membangun kerjasama dengan model ini. Alternatif kerjasama
seperti ini umumnya menjadi embrio bagi pengembangan format kerjasama yang
lebih canggih. Tanpa didahului oleh adanya sharing of information antar daerah
sebagai anggota lembaga kerjasama intergavenmental networks yang
diwujudkan dalam kerjasama antara daerah tidak akan eksis dan berkembang.
3. Kelemahan
Kelemahan paling menonjol dari format kerjasama ini adalah minimnya
kontribusi yang bisa diberikan forum kerjasama bagai pembangunan wilayah
karena aktivitas kerjasama hanya terbatas pada sharing of infomation. Karena
sifatya yang cair dan fleksibel serta tidak adanya jaminan sanksi membuat
keterlibatan dan solidaritas antar anggota sangat longgar, oleh karenanya
keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini sangat diragukan.
4. Fisibilitas
Secara teknis model kerjasama antar daerah semacam ini tidak sulit untuk
dilahirkan dan dikembangkan oleh daerah. Pembentukan kerjasama semacam ini
cenderung ”aman” dari sisi politik internal. Persoalan penganggaran yang
biasanya menjadi ganjalan utama dalam pengembangan kerjasama relatif tidak
menjadi kendala karena relatif kecilnya penganggaran yang dibutuhkan.
Sedangkan secara eksternal (antar daerah) penerapan model ini sangat mungkin
untuk dilakukan, masing-masing anggota tidak akan menghadapi kedala karena
sifat kerja sama yang cair dan fleksibel.
C. Forum Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi
1. Karakteristik
Alternatif ini merupakan kombinasi dari developmental networks,
outreach networks, dan action networks. Yang membedakan dari alternatif
pertama adalah lembaga kerjasama semacam ini tidak memiliki otoritas
pemberian sanksi yang mengikat dengan ketat pada anggotanya. Model ini
merupakan perkembangan dari alternatif model kerjasama antar daerah yang
kedua, namun dengan karakter yang lebih canggih, yang tidak lagi sekedar
42
berbasis pada sharing of information antar daerah sebagai anggotanya, tetapi juga
pada aktivitas lainnya seperti pelaksanaan program-program dalam rangka
meningkatkan kapasitas daerah anggota, fasilitasi horizontal learning antar daerah
hingga fasilitasi dalam membuat aksi bersama yang terintegrasi dengan kebijakan
internal daerah. Model kelembagaan seperti ini memiliki karakter hubungan antar
anggota yang sifatnya cair dan fleksibel. Meski tidak menyediakan dan mengatur
sanksi bagi daerah yang melanggar, namun model kerjasama semacam ini
menyediakan dan mengatur struktur insentif dan sekumpulan aturan yang dapat
mempengaruhi anggotanya untuk melaksanakan apa yang sudah menjadi
kesepakatan bersama.
2. Kelebihan
Kekuatan dari model ini adalah terletak pada besarnya kontribusi jangka
panjang yang diberikan oleh lembaga kerjasama terhadap kebijakan internal
daerah karena dapat memberikan pengaruh yang signifikan. sehingga soliditas dan
keberlangsungan forum kerjasama dengan model ini menjadi dapat lebih dijamin.
3. Kelemahan
Format kerjasama ini pada umumnya berorientasi pada upaya penguatan
kapasitas anggotanya melalui fasilitasi berbagai bentuk capacity building. Efek
capacity building yang umumnya bersifat jangka panjang dan tidak kasat mata ini
selalu menjadi persoalan ketika dihadapkan pada tuntutan instan jangka pendek
yang cenderung berorientasi fisik. Karakter ini biasanya menjadi hambatan dalam
upaya menarik dukungan politik dari DPRD yang cenderung menekankan pada
dampak langsung yang lebih berdimensi material.
4. Fisibilitas
Format model kerjasama semacam ini memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi. Diperlukan keuletan dan energi yang tidak sedikit untuk membangun
kesadaran bersama bahwa kerjasama antar daerah sangat penting dan perlu untuk
dilakukan dalam rangka mendorong potensi daerah. Model ini juga memerlukan
adanya dukungan dan kesiapan internal daerah seperti kepemimpinan yang
visioner serta adanya kesamaan persepsi dan keputusan bersama antara eksekutif
dan legislatif daerah. Intinya, energi yang harus dikeluarkan oleh suatu daerah
43
untuk membentuk kerjasama dengan model ini tidak sedikit serta diperlukan
adanya sinergi dari pihak lain.
D. Badan Usaha Bersama
1. Karakteristik
Format kerjasama model ini mendasarkan pada logika networking, dengan
menekankan pada orientasi pengembangan ekonomi regional. Pada umunya
alternatif ini merupakan kerjasama beberapa daerah dalam pengembangan sektor
ekonomi tertentu sesuai dengan competitive advantages yang dimiliki oleh
masing-masing daerah. Misalnya kesepakatan antar daerah untuk
mengembangkan sektor pariwisata, pertambangan, industri, peningkatan investasi,
dan sebagainya.
2. Kelebihan
Kekuatan dari format ini terletak dari kontribusi yang riil bagi
pengembangan ekonomi dan pembangunan bagi daerah-daerah anggota dapat
lebih optimal. Forum kerjasama semacam ini dapat memberikan pengaruh secara
langsung terhadap kebijakan internal daerah. Misalnya adanya kesepakatan
kerjasama pada pengembangan sektor pariwisata, maka daerah-daerah yang
tergabung dalam forum kerjasama tersebut akan menindaklanjuti kesepakatan ini
dalam kebijakan internal daerah termasuk mengalokasikan anggaran yang
memadahi untuk sektor pariwisata tersebut. Dengan demikian, tingkat
engagement antar daerah menjadi tinggi karena setiap daerah memilik
kepentingan untuk memperoleh manfaat dari adanya kerjasama yang dibangun.
3. Kelemahan
Kelemahan mendasar dari format kerjasama ini terletak pada basis hukum
kerjasama. Sejauh ini kerangka legal yang memungkinkan baru sebatas Surat
Keputusan Bersama (SKB) di antara kepala daerah anggota. Di satu sisi basis
legal ini memiliki keunggulan karena proses perumusannya tidak memerlukan
waktu lama dan tidak memerlukan biaya yang banyak. Tetapi di sisi lain memiliki
kelemahan, dimana kerangka legal yang hanya berbentuk SKB, tidak mudah bagi
daerah untuk mendapatkan dukungan dan komitmen dari DPRD terutama terkait
dengan dukungan perencanaan dan penganggaran. Dari sisi sustainabilitas,
44
kerangka legal ini juga kurang memberikan jaminan sustainabilitas kerjasama,
karena kekuatan hukumnya yang hanya terbatas pada kesepakatan antar anggota
yang pada umumnya tidak disertai dengan pemberian sanksi bagi pelanggaran
yang dilakukan. Keberhasilan format ini sangat tergantung pada daya tarik dan
efektivitas struktur insentif yang diciptakan bersama.
4. Fisibilitas
Pengembangan kerjasama dengan format badan usaha ini memerlukan
proses yang rumit dan energi yang tidak sedikit. Kerjasama model ini biasanya
menghadapi tantangan yang relatif berat pada awal membangun kesadaran dan
komitmen bersama. Upaya mencari titik temu dari berbagai perbedaan prioritas
masing-masing daerah bukanlah pekerjaan yang sederhana. Namun demikian,
kendala-kendala tersebut pada dasarnya dapat diatasi selama tersedia argumen
logis dan diikuti dengan pembuktian bahwa kerjasama dapat bekerja efektif serta
memberikan kontribusi riil bagi pembangunan daerah.
2.5.5.2. Pengelolaan Kerjasama
Aspek kelembagaan kerjasama yang lain yang juga harus mendapatkan
perhatian adalah bagaimana pengelolaan kerjasama dilakukan agar efektivitas dari
lembaga kerjasama antar daerah dapat dijamin. Pilihan pola pengelolaan
kerjasama biasanya juga sangat dipengaruhi oleh pilihan bentuk-bentuk kerjasama
sebagaimana diuraikan di atas. Karena pilihan terhadap bentuk kerjasama akan
sangat berpengaruh terhadap pola pengorganisasian, pengelolaan, atau mekanisme
kerja lembaga kerjasama maupun karakter struktur organisasi yang terbentuk.
Terlepas dari bentuk kelembagan yang dipilih, secara umum pengelolaan
kerjasama antar daerah terbagi dalam dua pola yaitu pengelolaan profesional dan
pengelolaan terintegrasi dengan pemerintah daerah.
a. Pengelolaan oleh Profesional (Privat Sector)
Pada pengelolaan profesional, pengelolaan lembaga kerjasama diserahkan
kepada kelompok profesional yang direkrut secara khusus untuk mengelola
aktivitas kerjasama. Kelompok profesional biasanya dipimpin oleh seorang
manager yang dipilih dengan menggunakan pertimbangan meritokrasi, misalnya
melalui fit and proper test dan bekerja selama kurun waktu yang disepakati.
45
Manager merupakan eksekutor dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah-
daerah sebagai anggota lembaga kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai
dewan pengarah yang berada di atas manager. Forum kerjasama yang melibatkan
daerah-daerah inilah yang menjadi forum tertinggi dalam proses pengambilan
keputusan.
Model pengelolaan profesional ini memiliki tingkat kepercayaan yang
tinggi dari para anggotanya karena mereka percaya bahwa manager dan para
stafnya bersifat independen serta tidak memihak kepada salah satu anggota.
Namun, pengelolaan model ini memiliki kendala yaitu tidak mudahnya proses
integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah dengan unit-unit di pemerintah
daerah.
b. Pengelolaan oleh Pemerintah Daerah (Public Sector)
Pengelolaan kerjasama dengan menggunakan model ini yaitu pengelolaan
kerjasama antar daerah yang sepenuhnya melekat dalam unit-unit SKPD tanpa
melibatkan kalangan profesional. Peran pengelolaan dilimpahkan kepada aparat-
aparat instansi yang sesuai dengan bidang tugas dari sektor atau bidang yang
dikerjasamakan. Masing-masing daerah dapat berperan sebagai manager secara
bergantian dalam periode waktu tertentu. Manager merupakan eksekutor dari
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan daerah-daerah sebagai anggota lembaga
kerjasama. Daerah-daerah berfungsi sebagai dewan pengarah yang berada di atas
manager. Forum kerjasama yang melibatkan daerah-daerah inilah yang menjadi
forum tertinggi dalam proses pengambilan keputusan. Dalam beberapa kasus,
model ini tidak terlalu mempercepat proses kerjasama antar daerah karena sangat
berpeluang terjebak dalam logika birokrasi dalam proses mengembangkan
kerjasama tersebut, serta rendahnya tingkat kepercayaan antar anggota terhadap
netralitas manajer. Namun, pengelolaan kerjasama dengan model ini mempunyai
kekuatan berupa tingginya integrasi antara aktivitas kerjasama antar daerah
dengan unit-unit kerja di pemerintah daerah karena model ini memang di bawah
pengelolaan pemerintah daerah secara langsung.
46
2.5.5.3. Struktur Organisasi
Aspek kelembagan kerjasama antar daerah yang ketiga adalah struktur
organisasi. Menurut Brinton Milward dan Keith G. Provan (2003), setidaknya ada
dua model struktur organisasi yang dominan dalam pengembangan kerjasama
antar daerah yaitu (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, (2007):
a. Organisasi berbasis pada Hierarki
Model ini mendasarkan pada teori intraorganisasi (intraorganizational
theory). Karakter yang dimiliki oleh model ini adalah pola hubungan yang bersifat
hirarkis antar anggota. Forum kerjasama dianggap unit yang koheren dengan
tujuan yang jelas yang ditentukan oleh sekelompok pihak. Proses pembuatan
keputusan bersifat top-down dan tidak melibatkan anggota. Sedangkan relasi antar
anggota bersifat otoritatif.
b. Organisasi berbasis pada Networks
Model ini mendasarkan pada teori interorganisasi (interorganizational
theory) dengan berbasis pada network antar anggota. Kerjasama antar daerah yang
berbasis network lebih didasarkan pada inter-relasi yng dilakukan oleh daerah,
yang masing-masing daerah bersifat bebas dan mandiri untuk melakukan relasi
satu sama lain. Dalam model ini tidak ada struktur kewenangan yang sentral dan
tujuan dari kerjasama merupakan hasil kesepakatan dari daerah-daerah yang
menjadi anggota forum kerjasama antara daerah tersebut sebagai perwujudan dari
aksi bersama (collective action).
2.5.5.4. Kerangka Regulasi
Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang keempat adalah
kerangka regulasi. Keberhasilan lembaga kerjasama antar daerah juga sangat
ditentukan oleh kerangka regulasi yang membentuk terjadinya kerjasama tersebut.
Legitimasi suatu kerjasama antar daerah tidak hanya ditunjukkan dari
berfungsinya lembaga kerjasama tersebut, namun juga harus dijamin dalam
kerangka regulasi yang mewadahinya sehingga dapat menjamin dan mendorong
bekerjanya bentuk-bentuk kerjasama antar daerah. Di samping itu, kerjasama
antar daerah tanpa adanya kerangka regulasi yang jelas akan dapat menimbulkan
konfilik dan kesalahpahaman antar angggotanya. Ada beberapa alternatif pilihan
47
kerangka regulasi yang dapat digunakan dalam melakukan kerjasama antar daerah
diantaranya melalui (Ruhyanto dan Hanif, 2007):
a. Perjanjian, menyangkut pada materi yang merupakan hal yang sangat prinsip
yang memerlukan pengesahan/ratifikasi. Menurut Rosen (1993) kerangka
regulasi kerjasama antar daerah dalam bentuk perjanjian dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
1. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan
atas perjanjian tertulis
2. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan
atas perjanjian tertulis.
b. Persetujuan, Cakupan materi yang diatur dalam jenis peraturan semacam ini
lebih sempit dari perjanjian. Sifat persetujuan biasanya menyangkut hal-hal
yang teknis.
c. Deklarasi, merupakan perjanjian-perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan
umum dimana para pihak bersepakat untuk melakukan kebijakan-kebijakan
tertentu di masa mendatang.
d. Memorandum of Understanding (MoU), regulasi ini merupakan bentuk
perjanjian yang umumnya mengatur pelaksanaan suatu perjanjian induk.
Kerangka regulasi sebagai bentuk pengaturan legal formal bagi kerjasama
antar daerah bisa menjadi sangat kontraproduktif dengan semangat networking
yang dibangun dalam forum kerjasama antar daerah. Karena semakin formal
pengaturan kerjasama antar daerah, maka derajat network-nya menjadi makin
lemah. Apabila mengacu pada hipotesis ini maka kerangka regulasi dalam bentuk
handshake agreements menjadi pilihan tepat untuk diterapkan. Namun, Keban
(2010) menganggap bahwa kerangka regulasi handshake agreements merupakan
bentuk regulasi yang banyak menimbulkan konflik dan kesalahpahaman
(misunderstanding), karena kesepakatan dibuat tidak dengan cara ditulis sehingga
potensi pengingkaran terhadap kesepakatan tersebut menjadi sangat tinggi. Atas
dasar hal tersebut, perjanjian tertulis (written agreements) menjadi pilihan
alternatif sebagai kerangka regulasi bagi kerjasama antar daerah. Perjanjian
tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama,
atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus dituangkan
48
dalam perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan
penarikan diri, sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, jadwal, operasi dan
aturan kepemilikan sumberdaya bersama, dan cara pemecahan konflik.
2.5.5.5. Sumber Pendanaan
Aspek kelembagaan kerjasama antar daerah yang ke lima adalah terkait
dengan sumber pendanaan. Sumber pendanaan sangat penting peranannya, tidak
hanya berkait dengan keberlangsungan lembaga kerjasama antar daerah, tetapi
juga bisa berimplikasi pada pergeseran fungsi dari lembaga kerjasama. Ada
beberapa alternatif sumber pendanaan kerjasama antar daerah yang dapat digali
diantaranya (Sukmajati, Kurniadi dan Ruhyanto, 2007).
a. Mengandalkan Iuran dari Anggota
Iuran anggota diambil dari alokasi dana APBD. Kelebihan dari model
pendanaan ini terjaminnya eksistensi aktivitas lembaga kerjasama antara daerah
yang terintegrasi dalam program-program pembangunan daerah. Sedangkan
kelemahannya, mekanisme ini harus membutuhkan kesepakatan antara
pemerintah daerah dengan DPRD tentang pentingnya kerjasama antar daerah.
b. Mengandalkan Bantuan Pemerintah
Adanya bantuan keuangan dari pemerintah akan menjamin kepastian
sumber pendanaan yang diperlukan dalam melakukan kerjasama antar daerah.
Namun, model ini memiliki kelemahan yaitu membuka peluang masuknya
intervensi pemerintah terhadap kinerja lembaga kerjasama antar daerah.
c. Mengandalkan Bantuan Lembaga Donor.
Model ini akan dapat menjamin tersedianya jaminan keuangan yang
berimplikasi pada eksistensi lembaga kerjasama. Namun, model ini tidak dapat
menjamin keberlanjutan dukungan pendanaan untuk lembaga kerjasama antar
daerah.
d. Mengandalkan Bantuan Sponsor
Model ini menjamin tersedianya keuangan yang dapat digunakan untuk
operasional lembaga kerjasama. Namun, bantuan dari sponsor biasanya menuntut
kompensasi yang harus ditanggung dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah,
49
dan hal ini bisa berimplikasi pada bergesernya fungsi dari lembaga kerjasama
antar daerah tersebut.
e. Mengandalkan Pelanggan
Model ini dapat diterapkan apabila format kelembagaan kerjasama antar
daerah berbentuk badan usaha. Tantangan utama dari model ini adalah
menciptakan performa yang baik dari badan usaha tersebut sehingga pendapatan
dari pembeli dapat menjamin keberlangsungan dari badan usaha yang ada.
2.6. Konsep Kinerja Organisasi
2.6.1. Pengertian Kinerja Organisasi
Setiap organisasi dibentuk atau didirikan untuk mencapai suatu tujuan
yang telah ditetapkan bersama. Untuk mengetahui sejauh mana tujuan organisasi
telah dicapai, perlu dilakukan penilaian melalui evaluasi secara terus menerus
terhadap kinerja organisasi. Hal ini penting dilakukan, karena dengan melakukan
penilaian terhadap kinerja, organisasi dapat melakukan perbaikan atau
peningkatan untuk tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian sasaran penilaian
kinerja di sini adalah tingkat keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu
tertentu.
Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan
pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otlay, 1999).
Sedangkan Rogers (1994) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja (outcome
of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-
tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan dan kontribusi ekonomi.
Dengan kata lain, kinerja adalah tingkat pencapaian hasil (the degree of
accomplishment) suatu pekerjaan yang dilakukan oleh individu maupun
organisasi.
2.6.2. Evaluasi Kinerja Organisasi
Indikator kinerja menginformasikan tingkat pencapaian hasil yang
dinyatakan secara kuantitatif. Nasir (2003) mengkategorikan informasi kinerja
sebagai berikut:
50
1. Input adalah jumlah sumber daya yang digunakan
2. Output adalah jumlah barang atau jasa yang berhasil diserahkan kepada
konsumen (diselesaikan) selama periode pelaporan
3. Outcome adalah kejadian atau perubahan kondisi, perilaku atau sikap
yang mengindikasikan kemajuan ke arah pencapaian misi dan tujuan
program.
4. Efisiensi atau produktivitas adalah hubungan atau rasio antara jumlah
input dengan jumlah output.
5. Karakteristik demografis dan karakteristik beban kerja lainnya.
6. Dampak (impact) adalah suatu hasil tertentu yang diakibatkan secara
langsung oleh suatu program. Tanpa adanya program dampak tersebut tidak
akan terjadi.
Pengukuran kinerja yang dikembangkan oleh LAN (lembaga
Administrasi Negara) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan) yang dikenal dengan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah) memberikan informasi tentang kesesuaian pelaksanaan
program suatu organisasi dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengukuran
capaian aktivitas dapat dilakukan pada tataran masukan (input), proses,
keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact)
dari aktivitas atau program instansi pemerintah bagi kesejahteraan masyarakat
(Nasir, 2003).
2.7. Penelitian Terdahulu
2..7.1. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Indonesia
Ada satu penelitian tentang kerjasama antar daerah yang langsung berkait
dengan lembaga kerjasama antara daerah BARLINGMASCAKEB, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Warsono (2009) yang mencoba untuk
mendiskripsikan pola kerjasama regional yang terjadi di Jawa Tengah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada tiga pola region dari kerjasama regional
yang saat ini terjadi di Jawa Tengah, yakni:
51
1. Keruangan Tanpa Kerjasama
Region ini memiliki karakter: tidak terjadi komunikasi, hampir tidak terjadi
kerjasama (kecuali koordinasi sektoral), tidak ada lembaga kerjasama dan baru
tahap identifikasi kebutuhan. Kerjasama jenis region ini meliputi:
a. Purwomanggung: Purworejo, Wonosobo, Magelang dan Temanggung.
b. Banglor : Rembang dan Blora.
c. Wanarakuti : Juwana, Jepara, Kudus, dan Pati.
2. Kerjasama Bersifat Koordinatif
Region ini memiliki karakter: baru bersifat koordinatif, meski telah tersusun
visi namun belum menggunakan konsep management regional. Misi dan
platform: sangat makro dan intensitas kegiatan rendah. Kerjasama jenis region
ini meliputi:
Kedungsepur :Kendal, Demak, Ungaran (Kabupaten Semarang), Kota
Semarang dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan)
3. Kerjasama Dengan Konsep Manajemen Regional
Region ini memiliki karakter: digerakkan visi, misi, dilandasi konsep regional
marketing, intensitas kegiatan tinggi, dan telah teridentifikasi kebutuhan
kerjasama pada pelayanan publik. Kerjasama jenis region ini meliputi:
a.BARLINGMASCAKEB : Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas,
Cilacap, dan Kebumen,
b.Subosukawonosraten : Surakarta, Boyolali, Kartasura, Karanganyar,
Wonogiri, Sragen dan Klaten.
c.Sampan : Kota Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang,
Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Brebes.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Ada dua pola hubungan antar
pemerintah daerah, yakni intergovernmental relation dan intergovernmental
management. Keduanya mengedepankan karakter networking. Intergovernmental
relations merupakan sebuah pola organisasi antar daerah yang hanya
memungkinkan koordinasi dalam aspek umum di seluruh wilayah kerjasama,
sedangkan Intergovernmental Management merupakan sebuah pola organisasi
antar daerah yang memberikan kemungkinan penyelenggaraan manajemen yang
52
terkendali penuh dengan sektor kerjasama yang jelas. Dari kedua pola hubungan
tersebut, pola hubungan Intergovernmental Management lebih dapat
mengekspresikan collective action sehingga lebih bisa menumbuhkan semangat
kolaborasi antar pemerintah daerah.
2..7.2. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Negara Lain
Dari hasil studi mengenai kerjasama antar daerah di beberapa negara
menunjukkan adanya beberapa pola hubungan kerjasama antar daerah yang dapat
dijadikan referensi, berbagai pola tersebut antara lain (Mas’udi, Hanif dan Bayo
(2007) dalam Pratikno, 2007):
1. South African Local Goverment Association (SALGA) di Afrika Selatan
South African Local Goverment Association (SALGA) merupakan
lembaga yang mewadahi kerjasama antar daerah di Afrika Selatan. Lembaga ini
mempunyai fokus kegiatan kerjasama yang sangat komprehensif. Lembaga ini
terbentuk atas dasar mandat konstitusi baru Afrika Selatan (1997) untuk
mempercepat proses teranformasi demokrasi di ranah pemerintahan lokal yang
memfokuskan diri pada pemberian pelayanan. Lembaga ini berfungsi sebagai
interest groups dari kepentingan daerah terhadap pemerintah pusat. Sebagai
lembaga kerjasama yang mempunyai fokus kegiatan yang komprehensif SALGA
mengemban beberapa peran sebagai berikut:
a. Merepresentasikan, mempromosikan dan melindungi kepentingan-
kepentingan pemerintah daerah.
b. Membangun kapasitas pemerintah lokal untuk meningkatkan perannya dalam
pembangunan
c. Memperkaya peran asosiasi pemerintah daerah dalam badan-badan
perwakilan dan konsultasi daerah.
d. Meningkatkan profil dan kekuatan pemerintah daerah.
e. Menjadi forum bersama antar pemerintah daerah sebagai instrumen untuk
menekan pemerintah nasional dan provinsi untuk memperhatikan
permasalahan-permasalahan di pemerintah daerah.
f. Menjamin partisipasi perempuan dalam pemerintahan daerah.
53
g. Bertindak sebagai Organisasi Pekerja Nasional bagi anggota-anggotanya di
level daerah dan provinsi.
h. Mengatur dan memperkuat hubungan-hubungan kerja.
i. Memberikan bantuan hukum kepada para anggotanya dalam tiap
permasalahan yang berimplikasi pada hubungan kerja.
Untuk membiayai kegiatannya, SALGA memmperoleh dana dari iuran
anggotanya. Sebagai organisasi kerjasama yang dibentuk melalui konstitusi
Afrika Selatan, SALGA memiliki kekuatan penekan yang kuat terhadap anggota-
anggotanya. Oleh karena itu, organisasi ini memiliki kejelasan dan ketegasan
aturan main bagi tiap anggotanya. Misalnya anggota pemerintah daerah di
SALGA bisa dikeluarkan atau dibekukan jika disetujui oleh komite eksekutif
nasional jika gagal membayar iuran anggota atau denda lainnya. Dengan kekuatan
aturan main semacam ini, SALGA menjadi pola kelembagaan kerjasama antar
daerah yang cukup kuat, terutama sebagai forum koordinasi, monitoring sekaligus
sebagai forum evaluasi.
2. Sound Transit di Washington
Di Amerika Serikat pada umumya ada dua konsep pola asosiasi antar
pemerintah daerah, yaitu intergovernmental relations (IGR) dan intergovenmental
management (IGM). Pada pola pertama, hubungan antara para anggota hanyalah
hubungan koordinatif dalam rangka melakukan kerjasama untuk memperbesar
bargaining power mereka ketika berhadapan dengan pemerintah federal. Pola
asosiasi ini lebih bersifat public interest group, fungsi lembaga ini hanya
memberikan masukan kepada pemerintah federal berkaitan dengan penggunaan
dana federal di negara bagian. Status hukum asosiasi ini hanya menjadi sebuah
forum tanpa adanya kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu.
Pola asosiasi yang kedua, adalah pola asosiasi antar pemerintah daerah
untuk melakukan pengelolaan suatu bidang pemerintahan tertentu yang sama-
sama mereka butuhkan. Asosiasi ini terbentuk karena adanya kebutuhan yang
sama, dan mereka berkeyakinan ketika bidang tersebut dikerjakan bersama-sama
maka akan tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan bidang tersebut
secara keseluruhan.
54
Sound Transit adalah lembaga kerjasama antar daerah yang dibentuk
dengan menggunakan pola asosiasi intergovenmental management (IGM).
Lembaga ini membidangi kerjasama di bidang transportasi publik yang
melibatkan King County, Snohomish County, dan Pierce County. Ketiga County
ini terletak pada wilayah perkotaan Seattle. Bidang kerjasama yang dikelola oleh
Sound Transit adalah High Capacity Transportation (HCT), yang membidangi
perkeretaapian dan bus, pusat pemberhentian, parkir dan jalur-jalur khusus.
Dengan persetujuan Dewan Legislatif Washington, status legas dari Sound Transit
adalah menjadi agensi pada Departemen Transportasi. Kosekuensi hukum sebagai
sebuah agensi Sound Transit dapat diklasifikasikan sebagai sebuah badan quasi
eksekutive , quasi legislative dan quasi yudicative, sebab Sound Transit dapat
membuat peraturan, enforcing peraturan yang dikeluarkan, dan juga
menyelesaikan perselisihan internal pada tingkat pertama.
Sumber pendanaan dari pembiayaan kegiatannya, Sound Transit
mendapatkan porsi pajak yang ditarik oleh pemerintah dari penduduk yang
berdomisili di ketiga County tersebut. Pada tingkat pimpinan puncak, Sound
Transit dipimpin oleh sebuah board (Sound Transit Board) yang terdiri dari
walikota dari ketiga kota, dan para anggota dewan kota (city council members).
Sound Transit Board mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan dan
mengawasi jalannya kegiatan midle management. Midle management dipimpin
oleh seorang kepala dan dua orang wakil yang dipilih oleh Sound Transit Board.
Dari karakteristik tersebut, Sound Transit merupakan bentuk kerjasama
antar daerah yang akhirnya membentuk badan yang terpisah dan dijalankan oleh
sebuah direksi yang terpisah dari negara bagian baik county, regency, maupun
distri, namun segala kegiatannya tetap diawasi oleh pejabat struktural
pemerintahan.
3. The Local Autonomy Act (LAA) di Korea Selatan
The Local Autonomy Act (LAA) di Korea Selatan merupakan asosiasi dari
pemerintah lokal yang dapat dikategorikan sebagai jenis asosiasi otonomi lokal.
Namun, asosiasi ini merupakan bentuk asosiasi antar pemerintah daerah yang
dikelola oleh pemerintah pusat. Dalam konteks kerjasama, asosiasi ini banyak
diwarnai oleh ketidakberdayaan pemerintah lokal terhadap intervensi pemerintah
55
pusat. Sehingga terbentuknya asosiasi ini justru lebih memperlemah otonomi
pemerintah daerah.
LAA tidak cukup memiliki power dalam mengimplementasikan hasil kerja
komunitas lokal. Namun, asosiasi dapat memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk melakukan suatu proyek tertentu. Dalam melindungi
kepentingan bersama, lembaga kerjasama ini memiliki jaminan untuk membuat
keputusan dan mengelola konflik yang terjadi antar pemerintah daerah, tetapi
tetap di bawah kendali The Minister of Home affairs and Governor (Kementerian
Dalam Negeri) sebagai supervisor.
Lembaga kerjasama ini sangat bersifat sentralistik dan sangat tergantung
kepada kementerian dalam negeri. Kondisi ini diperkuat bahwa kepala
pemerintahan lokal masih ditunjuk oleh pemerintahan pusat, sehingga
kepentingan pusat masih sangat mewarnai pemerintahan lokal. Dengan peranan
yang demikian, maka efektvitas dari lembaga kerjasama seperti ini sangat
diragukan.
4. League of Cities of the Philippines (LCP) di Filipina
Kewenangan membentuk kerjasama antar daerah di Filipina di atur dalam
Local Government Code of 1991. Berdasarkan kewenangan tersebut kemudian
terbentuklah League of Cities of the Philippines (LCP) yang beranggotakan 117
kota. Lembaga ini merupakan institusionalisasi lebih lanjut dari League City
mayors of the Philippines. Keanggotaan dari organisasi ini semula adalah para
politisi lokal kemudian berubah menjadi institusi yang basis keanggotaanya
adalah pemerintahan kota. Perubahan ini juga menembus sampai ranah fungsi,
yaitu dari yang semula hanya memberikan pelayanan administratif bergeser
menjadi institusi yang memberikan pelayanan teknis dan terlibat dalam
perumusan kebijakan berkait dengan pemerintahan kota.
Apabila dilihat dari kewenangannya, lembaga kerjasama ini memiliki
kewenangan yang cukup berarti. Misalnya lembaga ini berhak terlibat dalam
proses formulasi dan implementasi kebijakan yang dibuat berkaitan dengan
otonomi di level pemerintahan kota. Lembaga ini juga memiliki tanggungjawab
untuk meningkatkan derajad kesejahteraan di wilayah perkotaan.
56
Beberapa ciri dari LCP sebagi bentuk lembaga kerjasama adalah (1)
adanya pergeseran karakter dan fungsi organisasi yang semula bersifat politis
menjadi bersifat fungsional, yaitu terjadinya perubahan basis keanggotaan yang
semula adalah para politisi menjadi institusi pemerintahan kota; (2) karakter
asosiasi bersifat fungsional yaitu dimilikinya kewenangan dan tanggungjawab
untuk terlibat dalam perumusan kebijakan berkait dengan otonomi kota dalam
rangka mencapai derajat kesejahteraan yang lebih baik bagi daerah perkotaan; (3)
dengan kewenangan dan tanggungjawab yang dimilikinya menunjukkan adanya
collective action dari pemerintahan kota, sekaligus sebagai arena untuk
mengkonsolidari aspirasi dan kepentingan dalam rangka melakukan bargaining
dengan pemerintah pusat.
2.7.3. Penelitian Lembaga Kerjasama Antar Daerah di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat sejumlah kerjasama antar daerah telah dibentuk untuk
membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Olberding (2002)
menemukan bahwa jumlah kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi
meningkat lima kali lipat selama dekade terakhir di daerah metropolitan besar di
Amerika Serikat tenggara dari tiga pada tahun 1987 menjadi 16 pada tahun 1997.
Bentuk kerjasama yang dilakukan dengan memberikan layanan masyarakat secara
bersama pada satu atau dua bidang pelayanan publik saja. Upaya kerjasama dalam
memberikan layanan dalam banyak bidang kepada masyarakat mengalami
kesulitan karena membutuhkan tingkat koordinaasi antar pemerintah yang cukup
luas.
Hanya terdapat sedikit kajian mengenai kemitraan antar daerah di Amerika
Serikat. Salah satunya dilakukan oleh Bennett dan Nathanson (1997) yang
meneliti tentang 13 kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi wilayah
metropolitan di Amerika Serikat. Penelitian lebih difokuskan pada faktor-faktor
yang mempengaruhi pembentukan lembaga kerjasama antar daerah, namun tidak
diteliti sampai pada tingkat keberhasilan dari keberadaan lembaga kerjasama antar
daerah tersebut.
Berdasarkan dari hasil penelitian, beberapa faktor tampaknya
mempengaruhi pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi.
57
Salah satu faktornya adalah tradisi regionalisme antara pejabat pemerintah lokal di
daerah. Pembentukan kemitraan antar daerah akan semakin kuat apabila
pemimpin bisnis (pengusaha) di daerah dan masyarakatnya juga memiliki norma
kerjasama yang tinggi. Di berbagai daerah dimana para pemimpin lokal,
pengusaha dan masyarakatnya lebih mementingkan nilai-nilai kompetitif
(bersaing) di antara mereka maka akan sulit terbentuk kemitraan antar daerah.
Di samping adanya norma kerjasama, faktor kebutuhan daerah juga dapat
mempengaruhi pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi.
Faktor kebutuhan daerah bisa berupa tingginya angka pengangguran maupun
adanya keterbatasan sumber daya pemerintah daerah. Sebagai contoh, pejabat
pemerintah lokal di daerah Pittsburgh metropolitan termotivasi untuk bekerja
sama dengan daerah lain karena beberapa kota sedang berjuang untuk membiayai
polisi, pemeliharaan jalan, dan pelayanan publik lainnya, dan bahkan beberapa
kota mengalami kebangkrutan. Dimensi lain kebutuhan yang dapat berpengaruh
terhadap pembentukan kemitraan regional untuk pembangunan ekonomi adalah
derajat kesamaan potensi ekonomi kota-kota di daerah metropolitan. Adanya
kesamaan potensi ekonomi ini akan lebih dapat dikembangkan secara lebih efisien
apabila dilakukan secara bersama-sama.
Para ahli telah lama mengakui sulitnya mencapai dan mempertahankan
kerjasama sukarela antara sejumlah besar individu atau daerah tanpa adanya
otoritas yang terpusat (Axelrod 1997), hal ini biasa disebut "dilema tindakan
kolektif". Solusi untuk dilemma ini adalah adanya norma kooperatif. Ostrom
(1998) menyimpulkan bahwa penentu utama kerjasama adalah adanya "norma
timbal balik", yaitu kecenderungan individu "untuk bereaksi terhadap tindakan
positif orang lain dengan tanggapan positif dan negatif tindakan orang lain dengan
respon negatif ". Solusi lain untuk mengatasi "dilema tindakan kolektif" adalah
melakukan komunikasi face-to-face antar pihak yang bekerjasama serta
membangun aturan sanksi bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas
kesepakatan yang telah dilakukan secara bersama.