II TINJAUAN PUSTAKA
Rosella termasuk dalam keluarga Malvaceae yaitu tumbuhan semak tegak
yang kebanyakan bercabang, memiliki bunga dan batang yang sewarna dan
biasanya mencolok. Penggunaan bagian batang Rosella dengan berbagai
perlakuan pendahuluan terhadap batang diharapkan dapat menghasilkan zat warna
alami yang baik bagi makanan.
2.1. Rosella
Konon bunga rosella berasal dari Afrika Barat, tetapi menurut sebagian
orang ada juga yang mengatakan berasal dari India. Namun, kini di berbagai
Negara tropis sudah banyak juga yang membudidayakan. Ada 300 spesies bunga
rosella di dunia, salah satunya adalah Rosella merah (Sari, 2010).
Bunga Rosella atau dengan nama latin Hibiscus sabdariffa L. dapat hidup di
daerah yang memiliki iklim lembab dan hangat pada daerah tropis dan sub tropis.
Rosella memiliki kelebihan dibandingkan dengan tanaman tropis dan sub tropis
lainnya yaitu dapat bertahan dalam cuaca yang sangat dingin serta dapat hidup
dalam ruangan yang memiliki sedikit pencahayaan akan tetapi pertumbuhan
terbaik diperoleh pada ruang terbuka dengan cahaya matahari (Sari, 2010).
Tanaman Rosella ini memiliki bunga dan batang yang sewarna dan biasanya
mencolok, memiliki daun berwarna hijau gelap sampai dengan merah, dan
memiliki kulit dan batang yang berserat kuat. Bunga berwana merah sampai
dengan kuning dengan warna gelap ditengahnya, dengan jumlah kelopak antara 3–
10
11
7 buah. Bunga rosella memiliki putik sekaligus serbuk sari sehingga tidak
memerlukan bunga lain untuk bereproduksi (Sari, 2010).
Tanaman Rosella dapat diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae
(tumbuhan), subkingdom Tracheobonta (berpembuluh), subdivisio
Spermatophyta (menghasilkan biji), divisio Magnoliophyta (berbunga), kelas
Magnoliopsida (berkeping dua), subkelas Dillenidae, ordo Malvales, familia
Malvaceae (suku kapas-kapasan), genus Hibiscus, dan spesies Hibiscus
sabdariffa L (Comojime, 2008).
Gambar 1. Rosella
Pada prinsipnya bunga Rosella dapat hidup di kondisi lahan, cuaca, serta
suhu yang bagaimanapun, akan tetapi di setiap daerah yang berbeda akan
menghasilkan warna yang berbeda pula. Batang Rosella akan tumbuh dari satu
titik tumbuh. Batangnya tumbuh sangat tinggi, yaitu 1-3 meter dan lebar bisa
mencapai 2 meter dan satu pohon bisa keluar kelopak bunga antara 10 kg
(Sari, 2010).
BungaKelopak
Kaliks
Batang
12
Tanaman Rosella memiliki dua varietas dengan budidaya dan manfaat yang
berbeda, yaitu Hibiscus sabdariffa varietas Altisima yang merupakan varietas
Rosella berkelopak kuning dan Hibiscus sabdariffa varietas Sabdariffa yang
merupakan Rosella berkelopak merah yang kini mulai diminati petani dan
dikembangkan untuk diambil bunga dan bijinya sebagai tanaman herbal dan
bahan baku minuman kesehatan (Comojime, 2008).
Menurut Sari (2010) diketahui bahwa tanaman Rosella merupakan
tumbuhan higrofit, karena berhabitat di tempat lembab dan memiliki stomata yang
kecil yang dapat mengurangi penguapan.
Akar pada tumbuhan rosella berbentuk serabut, akar seperti ini bertujuan
agar mudah untuk menyerap air. Bentuk daunnya seperti daun ubi yang
membentuk seperti tiga jari. Daunnya juga berwarna hijau yang di bagian
pinggir-pinggirnya berwarna merah dan yang di tengah terdapat bintik-bintik
merah. Rosella rata-rata memiliki kandungan unsur hara yang sangat tinggi. Di
belakang daunnya terdapat stomata yang kecil dan bertujuan untuk mengurangi
penguapan. Rosella juga memiliki batang yang kuat yang bertujuan agar binatang
tidak mudah untuk merusaknya.
Merupakan bunga sempurna yang memiliki putik dan serbuk sari sekaligus.
Sehingga bunga rosella tidak memerlukan bantuan dalam melakukan reproduksi.
Adapun adaptasi dan tingkah laku dari Bunga Rosella ini diantaranya adalah
sebagai berikut: (a) Bagian batang yang terdapat daun, bunga dan buah hanya
bagian batang paling ujung, (b) Batangnya juga bersifat semakin panjang semakin
13
merunduk ke tanah, (c) Tumbuhan rosella selalu menghadap pada arah matahari,
(d) Saat buahnya diambil maka daunnya akan berguguran dan akan tumbuh lagi
ke atas, (e) Pada setiap tangkai hanya ada satu bunga yang merupakan bunga
tunggal, dan (f) Setiap kali akan tumbuh tinggi, bunga Rosella menggugurkan
daunnya terlebih dahulu.
Bunga Rosella mempunyai kandungan zat kimia, yaitu, air, protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, phosphor, besi, asam askorbat (Daryanto dan Agrina, 2006).
2.2. Zat Warna
Warna merupakan salah satu aspek penting dalam hal penerimaan
konsumen terhadap suatu produk pangan. Warna dalam bahan pangan dapat
menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Selain sebagai faktor
yang dapat menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator
kesegaran atau kematangan (Winarno, 1992). Winarno (1992) menambahkan
bahwa apabila suatu produk pangan memiliki nilai gizi yang baik, enak, dan
tekstur yang sangat baik akan tetapi jika memiliki warna yang tidak sedap
dipandang akan memberi kesan bahwa produk pangan tersebut telah menyimpang.
Menurut Hendry (1996), warna juga dapat memberikan asumsi flavor, seperti
warna kuning menunjukkan rasa lemon, warna merah menunjukkan rasa
strawberi.
Menurut Elbe dan Schwartz (1996), zat pewarna merupakan suatu bahan
kimia (chemical) baik alami maupun sintetik yang dapat memberikan warna.
Berdasarkan sumbernya, zat pewarna untuk makanan dapat diklasifikasikan
14
menjadi pewarna alami dan sintetik (Winarno, 1992). Menurut Hendry (1996),
selain zat pewarna alami dan sintetik juga terdapat zat pewarna identik alami. Zat
pewarna identik alami merupakan zat pewarna yang disintesis secara kimia
sehingga menghasilkan zat pewarna dengan struktur kimia yang sama seperti zat
pewarna alami.
Tabel 1. Beberapa Sifat Pigmen Alami
Jenis Pigmen Jumlah Senyawa Warna Sumber
Dapat Larut dalam
Kestabilan
Antosianin 120Jingga, merah,
biruTanaman Air
Peka pada perubahan pH panas
Flavonoid 600Tak
berwarna, kuning
Umumnya tanaman Air Tahan
panas
Leukoantosianin 20 Tak berwarna Tanaman Air Tahan
panas
Tanin 20Tak
berwarna, kuning
Tanaman Air Tahan panas
Betalain 70 Kuning, merah Tanaman Air
Peka terhadap
panas
Kuinon 200Kuning sampai hitam
Tanaman, bakteri,
algaAir Tahan
panas
Karotenoid 300
Tak berwarna, kuning,
merah
Tanaman Lemak Tahan panas
Klorofil 25 Hijau, coklat Tanaman Lemak,
air
Peka terhadap
panasSumber : Clydesdale dan Francis (1976) dalam Winarno (1992)
Hendry (1996) menjelaskan bahwa pewarna alami merupakan bahan
pewarna yang diperoleh dari sumber yang dapat dimakan atau bahan pewarna
15
yang secara alami sudah terdapat di alam. Menurut Winarno (1992), yang
termasuk ke dalam pewarna alami adalah ekstrak pigmen dari tumbuh-tumbuhan
dan pewarna mineral. Zat pewarna alami disebut juga uncertified color.
Penggunaan zat pewarna alami ini bebas dari prosedur sertifikasi. Contoh zat
pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, anthosianin, β-karoten,
biksin.
Tabel 2. Pewarna Pangan yang Terdapat dalam Jenis Minuman
Warna Zat Pewarna Buatan Jenis Pewarna Jenis Minuman
Merah Carmossine Sintesis Diizinkan Es ampere, es limun
Merah Rhodamin B Sintesis DilarangEs campur, es cendol, es kelapa, es sirup, es cincau
Merah Amaranth Sintesis Diizinkan Es campurMerah Scarleth 4 R Sintesis Dilarang Es campurKuning Tartazine Sintesis Diizinkan Es limun, es sirup
Kuning Sunset Yellow Sintesis Diizinkan Es limun, es sirup, es campur
Kuning Methanil Yellow Sintesis Dilarang Es sirup
Biru Fast Green FCF Sintesis Diizinkan Es limun, es cendol
Hijau Brilliant Blue Sintesis Diizinkan Es mamboSumber: IPB, TNO-VU (1990) dalam Cahyadi (2006)
Menurut Hendry (1996), pewarna sintetik merupakan bahan pewarna yang
dapat memberikan warna yang tidak ada di alam dan merupakan sintesis kimia,
contohnya sunset yellow, carmoisine, dan tartrazine. Menurut Winarno (1992),
zat pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat
digunakan sebagai zat pewarna makanan. Zat pewarna yang diijinkan
penggunaaannya dalam makanan dikenal dengan certified color atau permitted
16
color. Untuk penggunaannya, zat warna tersebut harus menjalani tes dan prosedur
penggunaan yang disebut proses sertifikasi.
Menurut Hendry (1996), pewarna indentik alami merupakan bahan pewarna
yang disintesis secara kimia tetapi warna dan strukturnya sama seperti di alam,
contohnya β-karoten dan anthosianin. Elbe dan Schwartz (1996) menambahkan
bahwa bahan pewarna yang dapat disintesis akan tetapi merupakan bahan pewarna
yang identik alami dikategorikan ke dalam uncertified color.
2.3. Anthosianin dan Flavonoid
Anthosianin merupakan salah satu bagian penting dalam grup pigmen
setelah klorofil. Anthosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti
bunga dan kyanos yang berarti biru gelap. Anthosianin merupakan pigmen yang
larut dalam air yang menghasilkan warna dari merah sampai biru dan tersebar luas
dalam buah, bunga, dan daun (Jackman dan Smith, 1996). Anthosianin umumnya
ditemukan pada buah-buahan, sayur-sayuran, dan bunga, contohnya pada kol
merah, anggur, strawbery, chery, bunga kembang sepatu, dan sebagainya
(Jackman dan Smith, 1996).
Secara kimia, anthosianin merupakan hasil dari glikosilasi polihidroksi dan
atau turunan polimetoksi dari garam 2-benzopirilium atau dikenal dengan struktur
flavilium. Akibat kekurangan elektron, maka inti flavilium menjadi sangat reaktif
dan hanya stabil pada keadaan asam (Harborne, 1987).
17
Terdapat delapan belas bentuk antosianidin, akan tetapi hanya ada enam
yang memegang peranan penting dalam bahan pangan, yaitu sianidin, malvidin,
petunidin, pelargonidin, delfinidin, dan peonidin.
Antosianidin Cyanidin
Gambar 2. Struktur Dasar Antosianidin dan Struktur Dasar Cyanidin (Jackman dan Smith, 1996)
Struktur anthosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
stabilitas warna anthosianin. Jumlah gugus hidroksi atau metoksi pada struktur
antosianidin akan mempengaruhi warna anthosianin. Jumlah gugus hidroksi yang
dominan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil. Sedangkan
jumlah gugus metoksi yang dominan akan menyebabkan warna cenderung merah
dan relatif stabil (Jackman dan Smith, 1996).
Menurut Markakis (1982), molekul anthosianin disusun dari sebuah aglikon
(antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula (glikon). Terdapat 5
jenis gula yang biasa ditemui pada molekul anthosianin, yaitu glukosa, rhamnosa,
galaktosa, xilosa, fruktosa dan arabinosa. Dalam tanaman, anthosianin biasanya
berada dalam bentuk glikosida yaitu ester dengan satu molekul monosakarida
18
disebut monoglukosida, biosida atau diglukosida jika memiliki dua molekul gula,
dan triosida jika memiliki tiga molekul gula (Delgado dan Vargas, 2000).
Pigmen anthosianin terdapat pada cairan sel tumbuhan, senyawa ini
berbentuk glukosida dan menjadi penyebab warna merah, biru, dan violet banyak
buah dan sayur. Jika bagian gula dihilangkan dengan cara hidrolisis, tersisa
aglikon yang disebut anthosianidin. Bagian gula biasanya terdiri atas satu atau dua
molekul glukosa, galaktosa dan ramnosa. Struktur dasar terdiri atas 2-fenil-
benzopirilium atau flavilum dengan sejumlah penyulih hidroksi dan metoksi.
Sebagian anthosianin berasal dari 3,5,7-trihidroksiflavilum klorida dan bagian
gula biasanya terikat pada gugus hidroksil pada karbon 3. Anthosianin berwarna
kuat dan namanya diambil dari nama bunga. Telaah akhir-akhir ini menunjukkan
bahwa beberapa anthosianin mengandung komponen tambahan seperti asam
organik dan logam (Fe, Al, Mg) (deMan, 1997).
Peningkatan gugus hidroksil cenderung menguatkan warna menjadi lebih
berona biru. Peningkatan jumlah gugus metoksil meningkatkan kemerahan. Anthosianin
dapat berbentuk berlainan. Dalam larutan, terdapat kesetimbangan antara kation R+
yang berwarna atau garam oksonium dan pseudobasa ROH yang tidak berwarna,
tergantung pada pH. Jika pH naik, lebih banyak pseudobasa yang terbentuk dan warna
makin lemah.
R+ + H2O ↔ ROH + H+
19
Sekitar 16 anthosianin telah diidentifikasi dalam bahan alam tetapi hanya 6
jenis anthosianin yang sering terdapat dalam berbagai produk, yaitu pelargonidin,
sianidin, delfinidin, peonidin, malvidin, dan petunidin.
Gambar 3. Pengaruh Penyulih Terhadap Warna Anthosianin
Pigmen anthosianin mudah rusak jika buahdan sayur diproses. Suhu tinggi
dapat mengakibatkan kandungan gula yang meningkat, perubahan pH dan adanya
asam askorbat yang mempengaruhi laju kerusakan (deMan, 1997).
Warna anthosianin pada pH asam yang sesuai akan menghasilkan warna
yang sama dengan warna garam oksonium. Dalam larutan yang sedikit bersifat
basa (pH 8 sampai pH 10), terbentuk basa anhidro yang terionisasi dan berwarna.
Pada pH 12, senyawa ini cepat terhidrolisis menjadi kalkon yang terionisasi
sempurna. Leukobasa adalah bentuk anthosianin yang tereduksi. Senyawa ini
biasanya tidak begitu berwarna tetapi tersebar luas dalam buah dan sayur. Karena
20
pengaruh oksigen dan hidrolisis asam, senyawa leukobasa dapat membentuk
warna khas ion karbonium (deMan, 1997).
Flavonoid atau antoksantin adalah glukosida dengan inti benzopiron. Flavon
mempunyai ikatan rangkapdua antara karbon 2 dan 3. Flavonol mengandung
gugus hidroksil tambahan pada karbon 3, dan flavanon berikatan jenuh pada
karbon 2 dan 3. Kemampuan flavonoid untuk mewarnai rendah tetapi dapat
terlibat dalam pewarnaan, misalnya flavonoid dapat memberikan warna biru dan
hijau jika digabung dengan besi. Flavonoid yang banyak tersebar luas ialah
kuersetin, senyawa 3,5,7,3’,4’-pentahidroksi flavon. Banyaak flavonoid
mengandung gula rutinosa. Hespiridin merupakan flavanon yang terdapat pada
jeruk, dan pada pH 12, cincin tengah terbuka membentuk kalkon berwarna kuning
sampai coklat (deMan, 1997).
Sifat dan warna anthosianin di dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain jumlah pigmen, letak dan jumlah gugus hidroksidan
metoksi, kopigmentasi, dan sebagainya (Markakis, 1982). Konsentrasi pigmen
yang tinggi di dalam jaringan akan menyebabkan merah hingga gelap, konsentrasi
sedang akan menyebabkan warna ungu, dan konsentrasi rendah akan
menyebabkan warna biru (Winarno, 1992).
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kestabilan anthosianin, antara
lain secara enzimatis dan non enzimatis. Secara enzimatis, kehadiran enzim
antosianase atau polifenol oksidase mempengaruhi kestabilan anthosianin karena
bersifat merusak anthosianin. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
21
anthosianin secara non enzimatis antara lain pengaruh dari pH, cahaya, suhu
(Elbe dan Schwartz, 1996). Menurut Tensiska dan Natalia (2006), perubahan
warna atau terjadinya degradasi warna disebabkan karena perubahan pH, dimana
semakin tinggi pH maka warna pigmen anthosianin akan berubah menjadi
senyawa kalkon yang tidak berwarna.
Pigmen anthosianin termasuk senyawa golongan flavonoid. Ekstraksi
senyawa golongan flavonoid dianjurkan dilakukan pada suasana asam karena
asam berfungsi mendenaturasi membran sel tanaman, kemudian melarutkan
pigmen anthosianin sehingga dapat keluar dari sel, serta mencegah oksidasi
flavonoid (Robinson, 1995).
2.4. Zat Warna Alami Lain
Sebagian besar daya tarik buah-buahan dan sayuran dalam makanan karena
warna dari bahan makanan yang diinginkan. Pigmen-pigmen dan precusors warna
yang ditemukan dalam buah-buahan dan sayuran sebagian besar terdapat atau
terbentuk dalam inklusi plastid selular (misalnya, kloroplas dan kloroplas lainnya)
dan mempunyai tingkat kelarutan yang lebih rendah dalam lemak atau air di
dalam sel dan vakuola protoplas. Pigmen ini diklasifikasikan dalam empat
kelompok utama, yaitu klorofil, karotenoid, anthosianin, dan anthoxanthin. Dua
kelompok pigmen yang terakhir disebut sebagai flavonoid, dan termasuk tanin
(Potter dan Hotchkiss, 1995).
22
2.4.1. Klorofil
Klorofil sebagian besar terdapat di dalam kloroplas dan memiliki peran
utama dalam fotosintesis produksi karbohidrat dari karbon dioksida dan air.
Warna hijau terang dari daun dan bagian tanaman lainnya adalah karena sebagian
besar klorofil larut dalam minyak, yang secara alami atau di alam terikat dengan
molekul protein dalam kompleks sangat teratur. Sel-sel tumbuhan akan mati bila
mengalami penuaan, pengolahan, atau dimasak, protein dalam sel terdenaturasi
dan magnesium yang terikat pada klorofil dapat dilepaskan. Hal ini menyebabkan
perubahan kimia klorofil yang berwarna hijau pada minyak zaitun menjadi
pheophytine yang berwarna cokelat. Perubahan klorofil menjadi pheophytin lebih
mudah berlangsung pada pH asam dan kurang mudah terjadi pada kondisi basa.
Berdasarkan alasan di atas, jika dilakukan pemanasan pada kacang polong,
kacang-kacangan lainnya, bayam, dan sayuran hijau, yang cenderung
mengakibatkan kehilangan warna hijau cerah yang sangat banyak. Untuk
mengatasi atau melindungi perubahan warna pada bahan-bahan tersebut selama
pemanasan dilakukan penambahan natrium bikarbonat atau senyawa alkali selama
pemasakan atau pada pengalengan bahan-bahan tersebut dengan kandungan air
yang tinggi. Penambahan garam magnesium dapat membantu mengurangi
perubahan klorofil menjadi pheophytin. Namun, pada prakteknya tidak
memperlihatkan hasil yang positif atau digunakan secara komersial karena pH
yang basa cenderung menyebabkan tekstur selulosa pada sayuran menjadi lunak
23
dan meningkatkan penghancuran vitamin C dan thiamin pada suhu pemasakan
(Potter dan Hotchkiss, 1995).
2.4.2. Karotenoid
Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang larut dalam lemak dan
berwarna kuning sampai merah oranye. Pigmen ini sering terbentuk bersama
dengan klorofil dalam kloroplas tetapi ada dalam chromoplasts lain juga dapat
terjadi bebas dalam tetesan lemak. Karotenoid yang penting adalah karoten yang
berwarna oranye terdapat di dalam wortel, jagung, aprikot, peach, buah jeruk, dan
squash, lycopene yang berwarna merah terdapat di dalam buah tomat, semangka,
dan aprikot, dan xantofil berwarna kuning-oranye terdapat pada jagung, peach,
paprika, dan squash, dan crocetin berwarna kuning-oranye yang terkandung dalam
rempah-rempah kunyit. Karotenoid lainnya jarang terjadi yang menarik dalam sel
tanaman (Potter dan Hotchkiss, 1995).
Bagian utama yang sangat penting yang berhubungan dari beberapa
karotenoid yaitu menjadi vitamin A, beberapa karotenoid berfungsi sebagai
prekursor vitamin A. Sebuah molekul beta-karoten berwarna oranye diubah
menjadi dua molekul vitamin A yang berwarna dalam tubuh. Beberapa karotenoid
lain (misalnya, alpha-karoten, dan cryptoxanthin) juga merupakan prekursor
vitamin A, tetapi karena perbedaan yang kecil dalam struktur kimia satu molekul
dari masing-masing molekul hanya menghasilkan satu molekul vitamin A
(Potter dan Hotchkiss, 1995).
24
Dalam pengolahan makanan, karotenoid cukup tahan terhadap panas, dan
perubahan pH. Pencucian bahan makanan dengan air mengakibatkan karotenoid
larut dalam air, selain itu juga larut dalam lemak. Namun, karotenoid sangat
sensitif terhadap oksidasi, yang mengakibatkan hilangnya warna dan hancurnya
aktivitas vitamin A (Potter dan Hotchkiss, 1995).
2.4.3. Tanin
Tanin merupakan campuran kompleks dari senyawa fenolik yang
ditemukan pada tumbuhan. Kebanyakan tanin tidak berwarna, tetapi bila tanin
berreaksi dengan ion logam membentuk kompleks berbagai berwarna gelap yang
mungkin merah, coklat, hijau, abu-abu, atau hitam. Kompleks berwarna gelap ini
ditemukan di kulit kayu oak, sumac, dan pohon myrobalen. Intensitas berbagai
kompleks berwarna ini tergantung pada tannin tertentu, ion logam tertentu, pH,
konsentrasi kompleks yang terbentuk, dan faktor lain belum sepenuhnya dipahami
(Potter dan Hotchkiss, 1995).
Tanin merupakan senyawa yang larut dalam air dan muncul pada saat
memeras jus dari buah anggur, apel, dan buah-buahan lainnya serta dalam
ekstraksi dari teh dan kopi. Warna dan kejernihan air seduhan teh dipengaruhi
oleh kesadahan dan pH air. Air yang basa mengandung kalsium dan magnesium
mendukung pembentukan kompleks tanin yang berwarna gelap coklat, yang
memicu ketika air teh didinginkan. Jika jus lemon yang asam ditambahkan ke air
teh, warna air teh menjadi cerah dan endapan cenderung larut. Besi dari peralatan
atau dari kaleng dapat menyebabkan pengembangan sejumlah warna yang tak
25
terduga untuk produk yang mengandung tanin, seperti kopi, kakao, dan makanan
yang diberi bumbu mengandung senyawa tanin (Potter dan Hotchkiss, 1995).
Tanin juga penting karena tanin astringency proses yang mempengaruhi
citarasa dan memberikan kontribusi pada biji kopi, anggur, teh, sari apel, bir, dan
minuman lainnya. Astringency berlebihan menyebabkan sensasi puckery di dalam
mulut, merupakan kondisi yang dihasilkan bila teh mengandung tanin yang tinggi
dari overbrewing (Potter dan Hotchkiss, 1995).
2.4.4. Betalains
Seperti anthocyanin, betalains berwarna merah dan pigmen larut dalam air
tetapi secara kimiawi berbeda dan kurang luas tersebar di dunia tanaman. Pabrik
makanan pertama menemukan warna merah pada beet. Betalains juga terdapat
pada beberapa buah-buahan dan bunga kaktus. Batalains terdegradasi oleh panas
pada pengolahan tetapi terjadi dalam jumlah pigmen yang cukup tinggi
yang digunakan untuk pewarnaan. Betalains relatif stabil dibandingkan dengan
pigmen merah alami, terutama dalam kisaran pH 4-6. Betalains telah
dipertimbangkan untuk digunakan sebagai pewarna alami untuk makanan
(Potter dan Hotchkiss, 1995).
2.5. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran menjadi
komponen terpisah. Menurut Harborne (1987), ekstraksi adalah proses penarikan
komponen zat aktif suatu sampel dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan
metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan
26
tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan.
Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non-polar dalam pelarut non-polar.
Geankoplis (1991) menegaskan bahwa efektivitas suatu proses ekstraksi
ditentukan oleh kemurnian pelarut, suhu ekstraksi, metode ekstraksi dan ukuran
partikel-partikel bahan yang diekstraksi. Makin murni suatu pelarut dan makin
lama waktu kontak antara pelarut dengan bahan yang diekstraksi pada suhu
tertentu, maka ekstrak yang dihasilkan makin banyak.
Anthosianin, seperti flavonoid lainnya merupakan struktur dengan cincin
aromatik yang berisi substituen komponen polar dan residu glikosil sehingga
menghasilkan molekul polar. Dengan keadaannya yang polar, anthosianin lebih
mudah larut dalam air atau pelarut polar dibanding dalam pelarut non-polar
(Jackman dan Smith, 1996).
Ekstraksi pigmen dari bahan mentah merupakan langkah awal dalam proses
pemurnian (purifikasi). Ekstraksi anthosianin dari berbagai sumber dapat
dilakukan dalam keadaan segar. Ekstraksi anthosianin secara langsung membuat
warna larutan yang terbentuk langsung berwarna merah, ungu jingga, hingga biru
sesuai warna pigmen anthosianin yang terkandung dalam bahan tersebut
(Markakis, 1982).
Menurut Jackman dan Smith (1996), cara untuk ekstraksi secara tradisional
dan paling sering digunakan adalah dengan maserasi yaitu merendam bahan yang
akan diekstrak dalam alkohol, pada pemanasan dengan panambahan sedikit asam
27
seperti HCl. Menurut Metiever et al. (1980), pelarut yang paling sering digunakan
adalah metanol atau etanol dengan sebagian kecil asam (1% atau lebih sedikit).
Akan tetapi karena sifat metanol yang beracun maka digunakan etanol dalam
asam.
Menurut Strack dan Wray (1993), penambahan asam sebagai pelarut tidak
selalu diperlukan. Bagaimanapun untuk analisis kuantitatif, metode ekstraksi yang
digunakan harus diperiksa secara menyeluruh untuk tanaman tertentu dan jenis
pigmen tertentu. Jika terdapat grup asil pada anthosianin misalnya didalam buah
anggur, maka penggunaan asam sebagai campuran pelarut harus dihindarkan. Hal
ini disebabkan karena ikatan asil ini mudah terhidrolisis (Markakis, 1982). Salah
satu contoh ekstraksi yang tidak menggunakan asam adalah pada ekstraksi
Capulin (prunus serotina). Dalam ekstraksi Capulin, pelarut yang digunakan
adalah aseton (Galindo et al., 1999).
Ekstraksi dilakukan pada suhu ruang dan dalam kondisi gelap. Penggunaan
suhu ruang bertujuan menghindari kerusakan anthosianin akibat kerusakan oleh
suhu. Ekstraksi dilakukan dalam kondisi gelap untuk menghindari kontak dengan
cahaya sehingga kerusakan anthosianin dapat diminimalkan. Menurut Elbe dan
Schwartz (1996), cahaya dapat mempercepat kerusakan anthosianin.
Metode ekstraksi padar cair, satu atau beberapa komponen yang dapat larut
dipisahkan dari bahan padat dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara
tekhnis dalam skala besar terutama dibidang industri bahan alami dan makanan,
misalnya untuk memperoleh bahan-bahan aktif dari tumbuhan atau organ-organ
28
binatang utnuk keperluan farmasi, selain itu untuk memperoleh gula dari umbi,
minyak dari biji-bijian dan kopi (Hardojo, 1995). Beberapa jenis ekstraksi akan
dibahas sebagai berikut.
2.5.1. Ekstraksi secara dingin
1. Metode maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada
temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk
menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin.
Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana. Sedang
kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel
cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan
untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin.
2. Metode Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui serbuk
simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak memerlukan
langkah tambahan yaitu sampel padat telah terpisah dari ekstrak. Kerugiannya
adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan
dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi
sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien.
29
2.5.2. Ekstraksi secara panas
1. Metode Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon
Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel dengan
tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung.
Menggunakan pelarut yang lebih sedikit, waktu pemanasan dapat diatur.
Sedangkan kerugian metode ini adalah karena pelarut didaur ulang ekstrak yang
terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga
dapat menyebabkan reaksi penguraian oleh panas. Jumlah total senyawa-senyawa
yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga
dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih
banyak untuk melarutkannya. Bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak
cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti
metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah komdensor perlu
berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang efektif.
Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran
azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,
misalnya heksan : diklormetan = 1 : 1, atau pelarut yang diasamkan atau
30
dibasakan, karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam
pelarut cair di dalam wadah.
2. Metode refluks
Keuntungan dari metode ini adalah digunakan untuk mengekstraksi sampel-
sampel yang mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.
Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar dan sejumlah
manipulasi dari operator.
3. Metode destilasi uap
Destilasi uap adalah metode yang popular untuk ekstraksi minyak-minyak
menguap (esensial) dari sampel tanaman
Metode destilasi uap air diperuntukkan untuk menyari simplisia yang
mengandung minyak menguap atau mengandung komponen kimia yang
mempunyai titik didih tinggi pada tekanan udara normal (Medicafarma, 2008).
2.6. Blansir
Blansir atau blanching adalah perlakuan panas yang lazim dilakukan pada
makanan sebelum proses pengeringan, pembekuan atau pengalengan. Tujuan
blansir tergantung pada proses yang akan dilakukan selanjutnya. Blansir sebelum
pembekuan atau pengeringan adalah untuk menginaktifkan enzim. Bila produk
tidak diblansir dahulu dan langsung dibekukan atau dikeringkan, maka produk
tersebut akan mengalami perubahan warna, cita rasa dan nilai gizi yang lebih
cepat sebagai hasil aktivitas enzim. Dua enzim yang tahan panas dan biasanya
terdapat dalam jaringan tanaman yaitu periksidase dan katalase. Oleh karena itu
31
adanya aktivitas enzim ini dapat digunakan sebagai cara untuk evalusi kecukupan
proses blansir. bila kedua enzim ini diinaktifkan, maka berarti enzim jenis
lainnyapun akan inaktif. Waktu pemanasan yang dibutuhkan untuk inaktivasi
enzim dalambuah dan sayuran tergantung dari jenis bahan, metode pemanasan,
ukuran bahan serta suhu medium pemanasan. Untuk blansir secara komersial
biasanya dilakukan pada suhu 100˚C tetapi dengan waktu yang berbeda-beda
tergantung jenis bahannya. Sebagai medium pemanas biasanya digunakan air,
tetapi uap atau udara panaspun dapat digunakan. Khusus untuk buah, blansir
biasanya dalam dilakukan dalam larutan kalsium untuk memperbaiki kekerasan
buah dengan terbentuknya kalsium pekat. Bahan pemekat seperti pektin, karboksil
metil selulosa dan alginat dapat digunakan untuk membantu memperbaiki tekstur
setelah diblansir (Wirakartakusumah, 1992).
Pada bahan beku yang tidak dipanaskan lagi setelah thawing, tidak
dilakukan blansir sebelum pembekuan karena hal ini akan menyebabkan
perubahan tekstur dan flavour yang tidak dikehendaki. Untuk menginaktifkan
enzim dalam hal ini digunakan pengawetan dengan bahan kimia. Biasanya
perubahan enzimatis yang sering terjadi adalah reaksi browning dan oksidasi asam
askorbat. Oleh karena itu harus dihindarkan atau dikurangi adanya kontak dengan
oksigen. Untuk itu, biasanya dilakukan dengan penambahan sirup gula atau asam
askorbat itu sendiri sebagai antioksidan (Wirakartakusumah, 1992).
32
2.7. Pengecilan Ukuran
Pemecahan bahan-bahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil merupakan
satu operasi yang penting didalam industri pangan. Dasar-dasar teori operasi ini
relatif belum banyak dikembangkan, kebanyakan operasi didasarkan kepada
pengalaman empiris dan sangat sering menyangkut mekanisasi operasi yang mula-
mula dilakukan dengan tangan (Wirakartakusumah, 1992).
Pengecilan ukuran dapat dibedakan menjadi pengecilan yang ekstrim
(penggilingan) dan pengecilan ukuran yang relatif masih berukuran besar,
kisalnya pemotongan menjadi bentuk-bentuk yang khusus. Pengecilan ukuran
dapat dilakukan secara basah dan kering. Keuntungan-keuntungan yang
didapatkan melalui penggilingan basah antara lain mudah memperoleh bahan
sangat lembut, berlangsung pada suhu yang tidak tinggi dan sedikit kemungkinan
terjadi oksidasi atau ledakan. Oleh karena itu seringkali ditambahkan air untuk
bahan yang sedikit mengandung air (Wirakartakusumah, 1992).
Tujuan proses pengecilan ukuran dapat dijelaskan sebagai berikut:
(a) Memperluas permukaan bahan. Luas permukaan yang lebih besar dapat
membantu kelancaran beberapa proses seperti membantu ekstraksi suatu senyawa
dengan meningkatkan luas kontak bahan dengan pelarut, mempercepat waktu
pengeringan bahan, mempercepat proses pemasakan, blansir dan lain-lain;
(b) Meningkatkan efisiensi proses pengadukan; dan (c) Pengecilan ukuran juga
dilakukan untuk memenuhi standar ukuran produk tertentu, misalnya untuk gula
atau refining pada pengolahan cokelat (Wirakartakusumah, 1992).
33
Kajian teknis maupun ekonomis harus dilakukan sebelum dilakukan
pengecilan ukuran agar proses berlangsung dengan biaya yang minimum.
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah kekerasan bahan, struktur
mekanis bahan dan kadar air (Wirakartakusumah, 1992).