ILMU SOSIAL DASAR
DISUSUN OLEH:
M. TAFSIRUDDIN
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN
KOMPUTER (STMIK) PRINGSEWU
2010
BAB1
ILMU SOSIAL DASAR
1. ILMU PENGETAHUAN
Pengetahuan diperoleh karena ada rangsangan pada diri manusia untuk
mengetahui sesuatu dalam rangka mempertahankan hidupnya. Pengetahuan ada yang
umum dan ada yang khusus. Pengetahuan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara
pengetahuan dengan objeknya. Pengetahuan menjadi ilmiah karena adanya keinginan
yang mendalam untuk menyelidiki sesuatu yang ingin kita ketahui dengan
menggunakan metode tertentu, dan itulah yang kemudian disebut ilmu pengetahuan.
Penelitian untuk menyelidiki kebenaran ilmiah dapat dilakukan melalui pendekatan
induktif maupun deduktif. Ilmu pengetahuan dikembangkan bukan hanya untuk ilmu
pengetahuan itu sendiri, tetapi juga karena adanya kepentingan-kepentingan di
dalamnya. Apa pun kepentingannya, ilmu pengetahuan seharusnya dikembangkan
untuk meningkatkan harkat dan kesejahteraan manusia.
2. ILMU BUDAYA DASAR, ILMU ALAMIAH DASAR, DAN ILMU
SOSIAL DASAR
Secara umum ilmu pengetahuan dikelompokan menjadi tiga yaitu ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan budaya atau lebih
umum disebut ilmu pengetahuan humaniora. Pengelompokan ilmu pengetahuan ini
yang mendasari pengembangan Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, dan Ilmu
Budaya Dasar. Ilmu Sosial Dasar bukanlah merupakan suatu disiplin ilmu tetapi
lebih merupakan kajian yang sifatnya multi atau interdisipliner. Ilmu Sosial Dasar
diajarkan untuk memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum kepada
mahasiswa tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala
sosial yang terjadi di sekitamya. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa dapat
memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan
kepekaan sosial yang dimilikinya, mahasiswa diharapkan memiliki kepedulian sosial
dalam menerapkan ilmunya di masyarakat.
3. ILMU PENGETAHUAN DAN PEMANFAATANNYA
Ilmu pengetahuan dikembangkan untuk meningkatkan harkat hidup manusia,
sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Masalahnya, manusia
sering memiliki rasa serakah, sehingga ilmu pengetahuan tidak jarang digunakan
untuk memenuhi kepentingannya sendiri walaupun dengan cara mengorbankan orang
lain. masalah yang menjadi perhatian utama adalah masalah utilitarisme. Utilitarisme
adalah nilai praktis kegunaan ilmu pengetahuan. Dalam konteks utilitarisme, ilmu
pengetahuan harus dikembangkan dalam rangka memberikan kebahagiaan dan
kesejehteraan semua manusia
BAB2INDIVIDU, KELUARGA, MASYARAKAT, DAN
KEBUDAYAAN
1. KONSEP INDIVIDU DAN KONSEP KELUARGA
Individu sebagai manusia perseorangan pada dasarnya dibentuk oleh tiga aspek yaitu
aspek organis jasmaniah, psikis rohaniah, dan sosial. Dalam perkembangannya
manusia menjalani sejumlah bentuk sosialisasi. Sosialisasi inilah yang membantu
individu mengembangkan ketiga aspeknya tersebut. Salah satu bentuk sosialisasi
adalah pola pengasuhan anak di dalam keluarga, mengingat salah satu fungsi
keluarga adalah sebagai media transmisi atas nilai, norma dan simbol yang dianut
masyarakat kepada anggotanya yang baru. Pranata keluarga ini bukanlah merupakan
fenomena yang tetap melainkan sebuah fenomena yang berubah, karena di dalam
pranata keluarga ini terjadi sejumlah krisis. Krisis tersebut oleh sebagian kalangan
dikhawatirkan akan meruntuhkan pranata keluarga ini. Akan tetapi bagi kalangan
yang lain apa pun krisis yang terjadi, pranata keluarga ini akan tetap survive.
2. KONSEP MASYARAKAT DAN KONSEP KEBUDAYAAN
Masyarakat adalah sekumpulan individu yang mengadakan kesepakatan bersama
untuk secara bersama-sama mengelola kehidupan. Terdapat berbagai alasan mengapa
individu-individu tersebut mengadakan kesepakatan untuk membentuk kehidupan
bersama. Alasan-alasan tersebut meliputi alasan biologis, psikologis, dan sosial.
Pembentukan kehidupan bersama itu sendiri melalui beberapa tahapan yaitu
interaksi, adaptasi, pengorganisasian tingkah laku, dan terbentuknya perasaan
kelompok. Setelah melewati tahapan tersebut, maka terbentuklah apa yang
dinamakan masyarakat yang bentuknya antara lain adalah masyarakat pemburu dan
peramu, peternak, holtikultura, petani, dan industri. Di dalam tubuh masyarakat itu
sendiri terdapat unsur-unsur persekutuan sosial, pengendalian sosial, media sosial,
dan ukuran sosial. Pengendalian sosial di dalam masyarakat dilakukan melalui
beberapa cara yang pada dasarnya bertujuan untuk mengontrol tingkah laku warga
masyarakat agar tidak menyeleweng dari apa yang telah disepakati bersama.
Walupun demikian, tidak berarti bahwa apa yang telah disepakati bersama tersebut
tidak pernah berubah. Elemen-elemen di dalam tubuh masyarakat selalu berubah di
mana cakupannya bisa bersifat mikro maupun makro.
Apa yang menjadi kesepakatan bersama warga masyarakat adalah kebudayaan, yang
antara lain diartikan sebagai pola-pola kehidupan di dalam komunitas. Kebudayaan
di sini dimengerti sebagai fenomena yang dapat diamati yang wujud kebudayaannya
adalah sebagai suatu sistem sosial yang terdiri dari serangkaian tindakan yang
berpola yang bertujuan untuk memenuhi keperluan hidup. Serangkaian tindakan
berpola atau kebudayaan dimiliki individu melalui proses belajar yang terdiri dari
proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.
3. HUBUNGAN ANTARA INDIVIDU, KELUARGA, MASYARAKAT, DAN
KEBUDAYAAN
Aspek individu, keluarga, masyarakat dan kebudayaan adalah aspek-aspek sosial
yang tidak bisa dipisahkan. Keempatnya mempunyai keterkaitan yang sangat erat.
Tidak akan pernah ada keluarga, masyarakat maupun kebudayaan apabila tidak ada
individu. Sementara di pihak lain untuk mengembangkan eksistensinya sebagai
manusia, maka individu membutuhkan keluarga dan masyarakat, yaitu media di
mana individu dapat mengekspresikan aspek sosialnya. Di samping itu, individu juga
membutuhkan kebudayaan yakni wahana bagi individu untuk mengembangkan dan
mencapai potensinya sebagai manusia.
Lingkungan sosial yang pertama kali dijumpai individu dalam hidupnya adalah
lingkungan keluarga. Di dalam keluargalah individu mengembangkan kapasitas
pribadinya. Di samping itu, melalui keluarga pula individu bersentuhan dengan
berbagai gejala sosial dalam rangka mengembangkan kapasitasnya sebagai anggota
keluarga. Sementara itu, masyarakat merupakan lingkungan sosial individu yang
lebih luas. Di dalam masyarakat, individu mengejewantahkan apa-apa yang sudah
dipelajari dari keluarganya. Mengenai hubungan antara individu dan masyarakat ini,
terdapat berbagai pendapat tentang mana yang lebih dominan. Pendapat-pendapat
tersebut diwakili oleh Spencer, Pareto, Ward, Comte, Durkheim, Summer, dan
Weber. Individu belum bisa dikatakan sebagai individu apabila dia belum
dibudayakan. Artinya hanya individu yang mampu mengembangkan potensinya
sebagai individulah yang bisa disebut individu. Untuk mengembangkan potensi
kemanusiaannya ini atau untuk menjadi berbudaya dibutuhkan media keluarga dan
masyarakat.
BAB4
KEPENDUDUKAN, GENERASI, DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
1. PENGERTIAN DAN KAJIAN KEPENDUDUKAN
Ilmu yang mempelajari masalah kependudukan adalah demografi.
Istilah ini pertama kali digunakan oleh Achille Guillard. Demografi sebagai suatu
ilmu telah muncul sejak abad ke-17.
John Graunt seorang pedagang di London, yang melakukan analisis data kelahiran
dan kematian, migrasi dan perkawinan dalam hubungannya dengan proses penduduk
dianggap sebagai Bapak Demografi.
Jumlah penduduk dapat meningkat, stabil atau menurun. Indikator dari perubahan
penduduk ini adalah tingkat kelahiran, kematian dan migrasi.
Komposisi penduduk merupakan suatu konsep yang mengacu pada susunan
penduduk menurut kriteria tertentu, seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, suku
bangsa, dan pendidikan.
Data mengenai struktur penduduk yang disajikan secara grafis disebut piramida
penduduk (population pyramid).
Kebijaksanaan kependudukan berhubungan dengan keputusan pemerintah.
Dengan mempengaruhi kelahiran, kematian, dan persebaran penduduk, pemerintah
memiliki strategi yang dianggap baik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Di luar kebijaksanaan persebaran penduduk atau migrasi, secara garis besar,
kebijaksanaan kependudukan terbagi menjadi dua bagian, yaitu kebijaksanaan
pronatal dan kebijaksanaan antinatal.
Karakteristik angkatan kerja tidak terlepas dari pengaruh ketiga variabel utama
kependudukan (kelahiran, kematian, dan migrasi). Kehidupan sosial suatu negara
dapat digambarkan jika kita mengetahui komposisi lapangan pekerjaan dari angkatan
kerjanya.
Antara kekuatan-kekuatan ekonomi dan kekuatan-kekuatan demografi ada hubungan
timbal balik dan saling mempengaruhi.
2. GENERASI, REGENERASI, DAN PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
Generasi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu masa di mana kelompok
manusia pada masa tersebut mempunyai keunikan yang dapat memberi ciri pada
dirinya dan pada perubahan sejarah atau zaman.
Menurut Notosusanto, pengertian generasi itu sendiri sebenarnya lebih berlaku untuk
kelompok inti yang menjadi panutan masyarakat zamannya, yang dalam suatu situasi
sosial dianggap sebagai pimpinan atau paling tidak penggaris pola zamannya (pattern
setter).
Di Indonesia, dianggap telah ada empat generasi, yaitu generasi ‘20-an, generasi ’45,
generasi ’66, dan generasi reformasi (’98).
Suatu generasi harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan pada zamannya,
melaksanakan pembangunan dengan sumber daya yang ada dan akan ada, serta
menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan dari pembangunan dan sumber daya-
sumber daya tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya suatu sistem dan mekanisme pembangunan dalam
keseluruhan yang melibatkan semua pihak, baik aparatur, peraturan, pengawas,
maupun rakyatnya (grass-root).
Selain itu, diperlukan juga kajian-kajian sosial seperti ekonomi, kependudukan
(demografi) dan ekologi untuk pendukungnya.
Cara pandang kita terhadap pengertian generasi, baik dari sisi terminologi maupun
fakta dan persepsinya tidak dapat dilakukan dengan terlalu sederhana.
Dari generasi ke generasi selalu memunculkan permasalahan yang khusus dan pola
penyelesaiannya akan khas pula tergantung faktor manusia dan kondisi yang ada
pada zamannya.
Masing-masing generasi mencoba menjawab tantangan yang khas pada masanya dan
seharusnyalah dipandang secara holistik (menyeluruh) untuk mempelajari dan
mengkajinya.
Pemahaman tentang sejarah dan wawasan yang luas sangat mempengaruhi tantang
penilaian dan persepsi terhadap keberadaan suatu generasi dan masyarakat secara
keseluruhan.
Bila kita kaitkan antara generasi dengan pembangunan, maka keberadaan generasi
tidak akan terlepas dari karakter dan ciri-ciri penduduk suatu bangsa beserta
kondisinya.
Masalah penduduk yang meliputi jumlah, komposisi, persebaran, perubahan,
pertumbuhan dan ciri-ciri penduduk berkaitan langsung dengan perhitungan-
perhitungan pembangunan, baik konsep, tujuan maupun strategi pembangunan suatu
bangsa.
Penduduk suatu bangsa dapat merupakan modal yang sangat penting bagi
pembangunan (sumber daya), tetapi jika tidak dipelajari dan disesuaikan akan dapat
menjadi faktor penghambat yang cukup penting pula.
Masing-masing negara mempunyai kebijakan regenerasi yang berbeda dalam
menangani masalah penduduk dan dalam melakukan kaderisasi.
BAB 3MENGGAGAS PERAN PEMUDA DALAM
PERSPEKTIF KEBANGSAAN DAN KENEGARAN SERTA KEDAERAHAN
Pendahuluan
Sejarah mencatat sejak lahirnya bangsa ini pada tanggal 17 agustus 1945
sampai sekarang Indonesia telah banyak mengalami sebuah perjalanan panjang dan
sebuah keniscayaan dalam setiap perjalanan pasti terjadi perubahan.Dalam konteks
keIndonesiaan kita pun mengalami perubahan yang cukup berarti baik ditingkat
lokal maupun global.Namun di sisi lain jelas negeri ini tidak dapat melupakan efek
negatif dari perubahan tersebut. Sebut saja seperti terjadinya konflik-konflik yang
terjadi baik konflik yang bersifat SARA maupun konflik yang dilatarbelakangi oleh
kepentingan politik, maupun ekonomi.
Pemuda adalah tulang punggung negara, karenanya masa depan suatu negara sangat
tergantung dari peran pemuda itu sendiri. Ditangan pemuda jualah mau kemana
negara ini akan dibawa. Mau di beri warna apa bangsa ini, pemudalah yang
mempunyai prioritas utama untuk memikul tanggung jawabnya.Tidak dapat
dipungkiri, peran pemuda sangat besar bagi kemajuan suatu bangsa karena
merekalah tumpuan harapan bagi kelangsungan hidup suatu bangsa
Dalam sebuah tulisan seorang aktivis kepemudaan mengatakan bahwa
generasi muda tidak bisa tidak bisa dilepaskan dari pembangunan negara kita ini
karena memiliki empat hal yang ada pada dirinya yaitu semangat mudanya,sifat
kritisnya dan kematangan logikanya serta kearifan untuk melihat problem yang
sesuai dengan tempatnya.
Maka tak salah kemudian dalam setiap momen bersejerah bangsa ini kita
akan menjumpai para pemuda yang melakukan sebuah ”revolusi” peradaban
mengatasnamakan Nasionalisme.Dalam sejarah bangsa kita yang mulia ini para
pemuda menorehkan tinta emas sebagai garda terdepan perubahan.
Nasionalisme Gelombang Pertama: Kebangkitan Nasional 1908
Berdasarkan sejarah, gerakan kebangkitan nasionalisme Indonesia diawali
oleh Boedi Oetomo di tahun 1908, dengan dimotori oleh para mahasiswa kedokteran
Stovia, sekolahan anak para priyayi Jawa, di sekolah yang disediakan Belanda di
Djakarta. Jadi patut dipertanyakan sebagai tonggak kebangkitan nasional
Indonesia.Para mahasiswa kedokteran di Stovia, merasa muak dengan para penjajah,
--walaupun mereka sekolah di sekolah penjajah—dengan membuat organisasi yang
memberi pelayanan kesehatan kepada rakyat yang menderita.
Nasionalisme Gelombang Kedua: Soempah Pemoeda 1928
Setelah Perang Dunia I, filsafat nasionalisme abad pertengahan, mulai
merambat ke negara-negara jajahan melalui para mahasiswa negara jajahan yang
belajar ke negara penjajah. Filsafat nasionalisme itu banyak mempengaruhi kalangan
terpelajar Indonesia, misalnya, Soepomo ketika merumuskan konsep negara
integralistik tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan persatuan
dalam negara seluruhnya. Demikian pula, pada masa ini banyak diciptakan lagu-lagu
kebangsaan yang sarat dengan muatan semangat nasionalisme seperti Indonesia
Raya, Dari Sabang Sampai Merauke, Padamu Negeri, dan sebagainya.
Di dalam negeri sendiri, Soekarno sejak remaja, masa mahasiswanya bahkan
setelah lulus kuliahnya, terus aktif menyuarakan tuntutan kemerdekaan bagi
negerinya, 20 tahun setelah kebangkitan nasional, kesadaran untuk menyatukan
negara, bangsa dan bahasa ke dalam 1 negara, bangsa dan bahasa Indonesia, telah
disadari oleh para pemoeda yang sudah mulai terkotak-kotak dengan organisasi
kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera dan sebagainya,
kemudian diwujudkan secara nyata dengan menggelorakan Sumpah Pemoeda di
tahun 1928.
Nasionalisme Gelombang Ketiga: Kemerdekaan 1945
Pada nasionalisme gelombang ketiga ini, peran nyata para pemoeda yang
menyandra Soekarno-Hatta ke Rengas-Dengklok agar segera memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia, dapat kita baca dari buku-buku sejarah. Kurang dari 20
tahun (hanya 17 tahun), sejak Soempah Pemoeda dikumandangkan.
Nasionalisme Gelombang Keempat: Lahirnya Orde Baru 1966
Tepat 20 tahun setelah kemerdekaan, terjadi huru-hara pemberontakan
G30S/PKI dan eksesnya. Disini kembali pemuda memperlihatkan kembali aksinya
dengan melakukan tuntutan untuk membubarkan PKI
Nasionalisme Gelombang Kelima: Lahirnya Orde Reformasi 1998
Gelombang krismon yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan baik
oleh para mahasiswa dan pemuda kaum muda sekali lagi memperlihatkan ke
nasionalismean dengan menurunkan Soeharto sekaligus mengakhiri 32 tahun jaman
kejayaannya.
BAB4
PEMBARUAN UNDANG-UNDANG
KEWARGANEGARAAN
Dalam rangka pembaruan Undang-Undang Kewarganegaraan, berbagai ketentuan
yang bersifat diskriminatif sudah selayaknya disempurnakan. Warga keturunan yang
lahir dan dibesarkan di Indonesia sudah tidak selayaknya lagi diperlakukan sebagai
orang asing. Dalam kaitan ini, kita tidak perlu lagi menggunakan istilah penduduk
asli ataupun bangsa Indonesia asli seperti yang masih tercantum dalam penjelasan
UUD 1945 tentang kewarganegaraan. Dalam hukum Indonesia di masa datang,
termasuk dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang
Kewarganegaraan, atribut keaslian itu, kalaupun masih akan dipergunakan, cukup
dikaitkan dengan kewarganegaraan, sehingga kita dapat membedakan antara
warganegara asli dalam arti sebagai orang yang dilahirkan sebagai warganegara
(natural born citizen), dan orang yang dilahirkan bukan sebagai warganegara
Indonesia.
Orang yang dilahirkan dalam status sebagai warganegara Republik Indonesia itu di
kemudian hari dapat saja berpindah menjadi warganegara asing. Tetapi, jika yang
bersangkutan tetap sebagai warganegara Indonesia, maka yang bersangkutan dapat
disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’. Sebaliknya, orang yang dilahirkan sebagai
warganegara asing juga dapat berubah di kemudian hari menjadi warganegara
Indonesia, tetapi yang kedua ini tidak dapat disebut sebagai ‘Warga Negara Asli’.
Dengan sendirinya, apabila hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1)
tentang calon Presiden yang disyaratkan orang Indonesia asli haruslah dipahami
dalam konteks pengertian ‘Warga Negara Indonesia’ asli tersebut, sehingga elemen
diskriminatif dalam hukum dasar itu dapat hilang dengan sendirinya. Artinya, orang
yang pernah menyandang status sebagai warganegara asing sudah sepantasnya
dianggap tidak memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
Dengan demikian, dalam rangka amandemen UUD 1945 dan pembaruan UU tentang
Kewarganegaraan konsep hukum mengenai kewarganegaraan asli dan konsep
tentang tata cara memperoleh status kewarganegaraan yang meliputi juga mekanisme
registrasi seperti tersebut di atas, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang pokok.
Dengan begitu asumsi-asumsi dasar yang bersifat diskriminatif berdasarkan rasa dan
etnisitas sama sekali dihilangkan dalam penyusunan rumusan hukum di masa-masa
yang akan datang sesuai dengan semangat untuk memajukan hak asasi manusia di
era reformasi dewasa ini.
BAB 6
MASYARAKAT PEDESAAN DAN
MASYARAKAT PERKOTAAN
BAB7
PERTENTANGAN-PERTENTANGAN SOSIAL
DAN INTEGRASI SOSIAL
Ide Negara Bangsa dan Integrasi Sosial
Ide mengenai negara bangsa diawali oleh bangsa Eropa pada abad ke-16.
Charles Tilly (1975) dalam bukunya, The Formation of National States in
Western Europe, mensyaratkan kondisi-kondisi pembentukan negara
bangsa, ciri-ciri dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Prasyarat tersebut
antara lain adalah:
1. adanya suatu negara nasional,
2. adanya suatu wilayah dengan batas jelas,
3. adanya pemerintahan pusat,
4. adanya proses pembuatan kebijakan nasional,
5. adanya kekuatan pemaksa atau coercive power untuk memonopoli
sarana dan prasarana fisik.
Pertumbuhan negara bangsa terutama dipengaruhi oleh tumbuhnya kelas-
kelas pedagang di perkotaan yang didorong oleh semangat kapitalisme.
Menurut Tilly, kapitalisme merupakan faktor politik penting dalam
pembetukan negara bangsa. Dalam negara bangsa seperti ini, kekuatan
ekonomi akan saling berkompetisi sehingga ekonomi bergerak secara
dinamis.
Negara bangsa yang lahir atas dorongan semangat kapitalisme akan
menentukan bagaimana proses integrasi sosial masyarakat di dalamnya.
Kelompok-kelompok masyarakat akan bekerja sama, mulai dari individu,
keluarga, sampai masyarakat lebih luas. Ketika konsensus atau
permusyawaratan telah tercapai di antara unit-unit penyusun negara bangsa,
maka terdapat nilai-nilai yang disepakati bersama pula. Nilai-nilai tersebut
sangat penting sebagai pengikat demi menghindarkan prasangka diantara
unit-unit tersebut.
Semangat nasionalisme di bumi Indonesia berkobar ketika sekelompok
generasi muda Indonesia bersumpah untuk membela satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa, yaitu nusa (tanah air) Indonesia, bangsa
Indonesia, dan bahasa Indonesia. Sumpah pemuda dapat dianggap sebagai
dorongan lahirnya integrasi sosial yang berujung pada penguatan integrasi
secara nasional.
Perlu kita sadari bersama, bahwa negara bangsa yang dibangun atas dasar
kesepatakan atas nilai-nilai yang sangat lemah, akan rawan terhadap konflik
pemecah belah kesatuan. Sumpah pemuda memang telah menyepakati hal-
hal prinsip nasionalisme Indonesia, namun, sejarah telah membuktikan
bahwa semangat nasionalisme yang dibangun, kemudian diteruskan oleh
Soekarno dan Hatta pada masa kemerdekaan negara republik Indonesia di
tahun 1945, belum mampu menimbulkan semangat nasionalisme yang kuat
di antara warga negara Indonesia. Adanya keinginan dari sekelompok
masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia, seperti kemunculan negara
Indonesia Timur menyadarkan kita bahwa benih-benih disintegrasi nasional
masih dapat muncul ke permukaan bila nilai-nilai nasionalisme tidak
mengalami penguatan berarti.
Analisis Integrasi Nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia Kini
Maraknya kemunculan kembali sentimen ketidakpuasan yang dimotori oleh
kelompok separatisme di masa pemerintahan SBY-Kalla mengindikasikan
bahwa pemerintah belum cukup mampu meminimalisir rasa ketidakadilan,
setidaknya bagi kelompok berbasis etno-regional seperti Republik Maluku
Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Seperti berbanding
lurus, hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2007 menunjukan
indeks kepercayaan masyarakat terhadap duet kepemimpinan reformis
tersebut turut menghunjam drastis dalam 2 tahun terakhir, dari 67 persen
bulan Desember 2006 ke 49,7 persen.1 Boleh jadi faktor kegagalan SBY-
Kalla dalam memenuhi janji reformasi di bidang politik,, meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat ternyata dijawab dengan pilihan
kebijakan ‘kurang’ berpihak pada rakyat. Terbukti janji pemerataan
pembangunan kawasan barat dan timur belum bisa menghambat niatan
penduduk di timur Indonesia untuk mencari penghidupan di Pulau Jawa2.
Belum lagi kebijakan mempersilahkan investor asing mengeksploitasi besar-
besaran sumber daya mineral di bumi Papua ternyata tidak menyisakan
kemakmuran, kecuali 1% total pendapatan tahunan bagi penduduk asli suku
Komoro papua, dan masih banyak lagi kebijakan yang pada akhirnya
mengorek luka lama kelompok-kelompok minoritas tersebut. Tulisan ini
bermaksud untuk memberikan pencerahan pemikiran bahwa selama ini kita
terlampau ‘takut’ untuk membuka diri terhadap bangunan negara lain semisal
federasi sebagai penguat keterikatan rakyat Indonesia dalam satu bangsa
yang besar, tanpa harus melalui perpecahan terlebih dahulu akibat
separatisme, akan tetapi mengedepankan konsensus sebagai jalan tengah
menuju perbaikan bersama.
1 Menurut Saiful Mujani, Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI), tingkat kepercayaan masyarakat terhadap SBY-Kalla merosot drastis karena ’’Konsentrasi masyarakat sekarang terfokus pada prestasi ekonomi. Apalagi, kesulitan ekonomi akibat mahalnya beras menjadi pendongkrak angka ketidakpercayaan publik,’’ Menurut Mujani, kecenderungan penurunan tersebut diprediksi terus terjadi hingga berhenti pada angka popularitas 32 persen. Lihat Lembaga Survey Indonesia, “Popularitas SBY dan Kalla Merosot,” Radar Lampung Online (28 Maret 2007) http://radarlampung.co.id/web/index.php?option=com_content&task=view&id=505&Itemid=2 (diakses 16 Juli 2007).2 GNU/GLP, “Proyeksi Penduduk 2000-2025: Urbanisasi,” Free source GNU/GLP (15 Juli 2007) http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_content&task=view&id=923&Itemid=939 (diakses 16 Juli 2007). Menurut sumber, tingkat urbanisasi di Indonesia akan mencapai 68 persent di tahun 2025. Pada saat itu, angka urbanisasi paling besar akan terkonsentrasi pada empat provinsi seperti Jawa, Bali, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Banten.
BAB8ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
2.1 Kondisi Kemiskinan di Indonesia
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang
artinya tidak berharta-benda (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian
yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi
ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok sehingga
kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Kemiskinan dipandang sebagai kondisi seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya
secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Dengan demikian, kemiskinan tidak lagi dipahami hanya
sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-
hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang,
dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan
sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kemiskinan juga berarti akses
yang rendah dalam sumber daya dan aset produktif untuk memperoleh
kebutuhan-kebutuhan hidup, antara lain: ilmu pengetahuan, informasi,
teknologi, dan modal.
Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan, pada
dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga pengertian,
yaitu:
5
1. Kemiskinan Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam
golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah
garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.
2. Kemiskinan Relatif. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya
telah hidup di atas garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain
yang membantunya.
Keluarga miskin adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk
menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses
yang mempengaruhi kehidupannya. Ada tiga potensi yang perlu diamati dari
keluarga miskin yaitu:
1. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, contohnya dapat dilihat
dari aspek pengeluaran keluarga, kemampuan menjangkau tingkat
pendidikan dasar formal yang ditamatkan, dan kemampuan menjangkau
perlindungan dasar.
2. Kemampuan dalam melakukan peran sosial akan dilihat dari kegiatan
utama dalam mencari nafkah, peran dalam bidang pendidikan, peran
dalam bidang perlindungan, dan peran dalam bidang kemasyarakatan.
3. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan dapat dilihat dari upaya
yang dilakukan sebuah keluarga untuk menghindar dan mempertahankan
diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi.
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh berbagai hal
antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya kecukupan dan
mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, gizi
anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan
pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja
dan sebagainya.
Berbagai upaya tersebut telah berhasil menurunkan jumlah penduduk
miskin dari 54,2 juta (40.1%) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta (11.3%)
pada tahun 1996. Namun, dengan terjadinya krisis ekonomi sejak Juli 1997
dan berbagai bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami pada
Desember 2004 membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat,
yaitu melemahnya kegiatan ekonomi, memburuknya pelayanan kesehatan
dan pendidikan, memburuknya kondisi sarana umum sehingga
mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin menjadi 47,9 juta
(23.4%) pada tahun 1999. Kemudian pada 5 tahun terakhir terlihat
penurunan tingkat kemiskinan secara terus menerus dan perlahan-lahan
sampai mencapai 36,1 juta (16.7%) di tahun 2004 seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini (catatan: terjadi revisi metode di tahun 1996).
54.2
43.2
3530
27.2 25.922.5
34.5
47.9
38.4 37.4 36.1
0
10
20
30
40
50
60
1976
1980
1984
1987
1990
1993
1996
1996
1999
2002
2003
2004
Jumlah penduduk miskin (juta)
Pemecahan masalah kemiskinan memerlukan langkah-langkah dan
program yang dirancang secara khusus dan terpadu oleh pemerintah dan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Penulis ingin menitikberatkan karya tulis ini dengan 3 masalah utama
kemiskinan di Indonesia, yaitu: terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan, serta terbatasnya dan
rendahnya mutu layanan pendidikan.
Revisi metode
1. Terbatasnya Kecukupan dan Mutu Pangan
Hal ini berkaitan dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang
tidak merata, dan kurangnya dukungan pemerintah bagi petani untuk
memproduksi beras sedangkan masyarakat Indonesia sangat tergantung
pada beras. Permasalahan kecukupan pangan antara lain terlihat dari
rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi,
anak balita, dan ibu.
2. Terbatasnya dan Rendahnya Mutu Layanan Kesehatan
Hal ini mengakibatkan rendahnya daya tahan dan kesehatan masyarakat
miskin untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak
dari keluarga untuk tumbuh kembang, dan rendahnya kesehatan para ibu.
Salah satu indikator dari terbatasnya akses layanan kesehatan adalah
angka kematian bayi. Data Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional)
menunjukan bahwa angka kematian bayi pada kelompok pengeluaran
terendah masih di atas 50 per 1.000 kelahiran hidup.
3. Terbatasnya dan Rendahnya Mutu Layanan Pendidikan
Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya
kesediaan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah guru bermutu di
daerah, dan terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-
mengajar. Pendidikan formal belum dapat menjangkau secara merata
seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi perbedaan antara penduduk
kaya dan penduduk miskin dalam masalah pendidikan.
2.2 Faktor Penyebab Kemiskinan
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu:
1. Kemiskinan alamiah. Kemiskinan alamiah terjadi akibat sumber daya
alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah, dan bencana
alam.
2. Kemiskinan buatan. Kemiskinan ini terjadi karena lembaga-lembaga yang
ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu
menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia
hingga mereka tetap miskin.
Bila kedua faktor penyebab kemiskinan tersebut dihubungkan dengan
masalah mutu pangan, kesehatan, dan pendidikan maka dapat disimpulkan
beberapa faktor penyebab kemiskinan antara lain:
1. Kurang tersedianya sarana yang dapat dipakai keluarga miskin secara
layak misalnya puskesmas, sekolah, tanah yang dapat dikelola untuk
bertani.
2. Kurangnya dukungan pemerintah sehingga keluarga miskin tidak dapat
menjalani dan mendapatkan haknya atas pendidikan dan kesehatan yang
layak dikarenakan biaya yang tinggi
3. Rendahnya minat masyarakat miskin untuk berjuang mencapai haknya
karena mereka kurang mendapat pengetahuan mengenai pentingnya
memliki pendidikan tinggi dan kesehatan yang baik.
4. Kurangnya dukungan pemerintah dalam memberikan keahlian agar
masyarakat miskin dapat bekerja dan mendapatkan penghasilan yang
layak.
5. Wilayah Indonesia yang sangat luas sehingga sulit bagi pemerintah untuk
menjangkau seluruh wilayah dengan perhatian yang sama. Hal ini
menyebabkan terjadi perbedaan masalah kesehatan, mutu pangan dan
pendidikan antara wilayah perkotaan dengan wilayah yang tertinggal jauh
dari perkotaan.
2.3 Penanggulangan Masalah Kemiskinan
A. Sasaran Pembangunan Tahun 2007
Adapun sasaran penanggulangan kemiskinan pada tahun 2007
adalah:
1. Berkurangnya penduduk miskin hingga mencapai 14.4% pada akhir
tahun 2007.
2. Meningkatnya jalur kesempatan masyarakat miskin terhadap pelayanan
dasar terutama pendidikan dan kesehatan.
3. Berkurangnya beban pengeluaran masyarakat miskin terutama untuk
pendidikan dan kesehatan, serta kecukupan pangan dan gizi.
4. Meningkatnya kualitas keluarga miskin.
5. Meningkatnya pendapatan dan kesempatan berusaha kelompok
masyarakat miskin, termasuk meningkatnya kesempatan masyarakat
miskin terhadap permodalan, bantuan teknis, dan berbagai sarana dan
prasarana produksi.
Kesimpulan
Persoalan kemiskinan merupakan masalah utama dunia pada masakini.
Implikasi dari kemiskinan telah menyebabkan pertelingkahan yang
mendorong kepada konflik kaum dan pemisahan wilayah disesetengah
tempat. Secara relatifnya, hampir keseluruhan negara-negara sedang
membangun mengalami masalah kemiskinan yang ketara dikalangan
rakyat. Permasalahan kemiskinan jika dianalisis dari perspektif
liberalisme, akan memperlihatkan hujah bahawa kemiskinan berlaku
kerana sifat malas yang ada di dalam diri manusia dan nilai-nilai
pemerintahan yang tidak demokratik.
1. Definisi Teknologi
Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi.
Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin,
material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya.
Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai dikenal sebelum sains dan
teknik.
Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan
untuk mempermudah pekerjaan manusia, namun jika pada kenyataannya
teknologi malah mempersulit, layakkah disebut Ilmu Pengetahuan?
Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang
menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru
ditemukan. Meskipun demikian, penemuan yang sangat lama seperti roda
juga disebut sebuah teknologi. Teknologi didefinisikan sebagai paduan
sempurna antara ilmu (science), rekayasa (engineering), seni (art), dan
ekonomi.
Dalam dunia ekonomi, teknologi dilihat dari status pengetahuan
kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk
memproduksi produk yang diinginkan( dan pengetahuan kita tentang apa
yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat perubahan
teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.
1. Kesimpulan
Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk
mempermudah pekerjaan manusia. Pada mulanya, teknologi tercipta
berdasarkan niat dan tujuan dari si pencipta teknologi tersebut. Bila sebuah
teknologi dapat diciptakan dengan tujuan yang baik, maka tidak akan
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Sehingga
teknologi tersebut dapat bermanfaat bagi para penggunanya. Dalam
penggunaan berbagai macam teknologi yang ada, harus mampu dalam
menganalisis dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan dari
teknologi tersebut.