Download - Implementasi Capability Based Planning dalam RMA (Revolution in Military Affairs) di Indonesia
-
Avezia Geby - 120140202004
1
AbstractTulisan ini membahas tentang bagaimana
mengimplementasikan Capability Based Planning yang terkait dengan akuisisi pertahanan dalam proses Revolution in Military Affair (RMA) yang ada di Indonesia. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai bagaimana seharusnya pemilihan serta perencanaan kekuatan pertahanan dilihat dari perspektif capability based planning. RMA sendiri berarti adanya transformasi pertahanan yang menyeluruh baik dalam sisi doktrin, strategi, organisasi dan teknologi. Salah satu bentuk nyata RMA adalah Minimum Essential Force (MEF). CBP akan mengidentifikasi komponen=komponen RMA melalui kapabilitas yang dimiliki oleh Indonesia.
Index Terms Revolution in Military Affair (RMA), Capability Based Plannig (CBP), akuisisi pertahanan, Minimum Essential Force (MEF), industri pertahanan
I. PENDAHULUAN Indonesia yang terletak di antara dua benua,
berbatasan langsung dengan sepuluh negara di wilayah laut
dan tiga negara di wilayah darat merupakan sebuah negara
dengan posisi yang sangat strategis. Posisi strategis ini tentu
memberikan banyak dampak positif, namun juga tidak sedikit
dampak negatif yang muncul terutama dalam keamanan
wilayah. Luas dan letak wilayah Indonesi membuat Indonesia
harus lebih teliti dan cermat dalam menyusun rencana strategis
pertahanan. Kondisi lingkungan strategis sekitar Indonesia
juga mempengaruhi bagaimana Indonesia harus menyusun
strategi pertahanannya.
Luasnya wilayah Indonesia tersebut berimplikasi
ancaman yang dihadapi Indonesia, beberapa diantaranya
adalah keamanan wilayah perbatasan yang juga memengaruhi
Artikel ini ditulis untuk memenuhi persyaratan UAS Mata Kuliah Akuisisi Penulis, Avezia Geby Ariane, merupakan mahasiswa Pascasarjana
Program Studi Ekonomi Pertahanan, Universitas Pertahanan Indonesia. Penulis sebelumnya menempuh pendidikan S1 di jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan.
dinamika hubungan Indonesia dengan beberapa negara
tetangga. Seiring dengan globalisasi yang telah menjadi
sebuah fenomena yang mengubah seluruh aspek kehidupan
manusia baik sistem sosial, ekonomi, politik bahkan hingga
aspek kehidupan terkecil dari seorang individu, ancaman
kedaulatan dan keutuhan wilayah menjadi sebuah ancaman
yang bersifat multidimensional. Perkembangan negara-negara
di dunia yang menciptakan situasi tidak menentu dan sulit
diprediksi memaksa setiap negara untuk semaksimal mungkin
memastikan keutuhan wilayahnya serta stabilitas negaranya.
Perubahan setiap aspek kehidupan atas modernisasi,
perkembangan teknologi, globalisasi menimbulkan banyak
ancaman dalam bentuk baru seperti terorisme, ancaman lintas
perbatasan, perkembangan senjata nulkir, penyelundupan
barang ilegal dan lain-lainnya. Sejalan dengan munculnya
perubahan bentuk ancaman terhadap sebuah negara, pola
pertahanan masing-masing negara pasti akan berubah seiring
dengan berjalannya waktu.
Melihat berbagai macam bentuk ancaman yang ada,
tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia harus segera
membangun postur pertahanan negara dengan lebih serius
sebagai satu bentuk detterence terhadap kawasan.
Pembangunan postur pertahanan yang baik dimulai dengan
penyusunan strategi dan pembentukan komponen utama yang
kuat, dalam hal ini adalah TNI. Reformasi dalam TNI dimulai
pasca reformasi dengan munculnya TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan
Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berisi
tentang pemisahan tugas serta fungsi dari TNI dan POLRI.
Keetapan MPR tersebut diperkuat dengan adanya UU Nomor
Mengimplementasikan Capability Based Planning Dalam Revolution in Military Affairs
di Indonesia Avezia Geby Ariane, 120140202004, Program Studi Ekonomi Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia
-
Avezia Geby - 120140202004
2
3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara serta UU Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Dalam upaya modernisasi militer, perlu adanya
perumusan kebijakan penganggaran untuk pembelanjaan
pertahanan yang bisa memenuhi kebutuhan pertahanan. TNI
sebagai komponen utama pertahanan memerlukan suatu
perencanaan pembangunan kekuatan yang matang. Karena itu
disusunlah MEF atau Minimum Essential Forces sebagai
standar kekuatan pokok dan minimum TNI. Secara realita
MEF dibangun untuk merefleksikan kekuatan optimal
pemberdayaan sumber daya nasional yang ada dan dibangun
sesuai dengan kemampuan sumber ekonomi nasional. 1
Pemenuhan MEF dibagi dalam tiga Renstra (rencana
strategis), Renstra I pada tahun 2009-2014, Renstra II pada
tahun 2015-2019, dan Renstra III pada tahun 2020-2024. Saat
ini Indonesia sudah memasuki Renstra II untuk pembangunan
kekuatan pertahanan. Fokus Renstra II ada pada penambahan
kapabilitas militer Indonesia. Kementerian Pertahanan sangat
fokus terhadap penyelesaian proyek kapal selam Changbogo
dan pesawat tempur IFX/KFX dengan Korea Selatan.2 Selain
itu, Angkatan Darat sedang mengembangkan Medium Battle
Tank bersama Turki. Kementerian Pertahanan juga dalam misi
penggantian pesawat tempur F-5 yang akan dipensiunkan.
Calon pengganti pesawat tempur F-5 masih menjadi
pertimbangan antara pesawat Sukhoi Su-35, Dassault Rafale,
dan JAS Grippen.3
Pemenuhan Minimum Essential Forces adalah sebuah
bentuk dari transformasi militer yang konkrit secara teknologi.
Penggunaan kemajuan teknologi dalam meningkatkan
kapabilitas kekuatan militer merupakan bentuk dari Revolution
in Military Affairs (RMA). Kemajuan teknologi dalam RMA
berarti sama dengan adanya transformasi dalam pertahanan
Indonesia. Kemajuan teknologi militer yang dimiliki Indonesia
disesuaikan dengan kapabilitas yang dimiliki oleh Indonesia
dilihat baik secara ekonomi maupun beberapa faktor lain.
1 Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 2Jakarta Greater, 2013, Minimum Essential Forces Tahap II,
http://jakartagreater.com/minimum-essential-force-tni-tahap-2-2015-2019/, diakses tanggal 1 Mei 2015
3Liputan 6, 2014, Mengenal pesawat tempur Eurofighter yang dibidik Indonesia, http://news.liputan6.com/read/2127946/mengenal-pesawat-tempur-eurofighter-yang-dibidik-indonesia, diakses tanggal 1 Mei 2015
Perencanaan berdasarkan kapabilitas atau Capability Based
Planning (CBP) dilakukan dalam proses RMA karena melihat
dinamika lingkungan dan ancaman yang tidak lagi bisa
melihat perencanaan lewat Threat Based Planning (TBP).
Dalam penelitian ini, penulis bertujuan untuk
mengatahui bagaimana mengimplementasikan Capability
Based Planning (CPB) dalam Revolution in Military Affairs
(RMA) di Indonesia. Hal ini sangat penting dilakukan untuk
melihat adanya kesenjangan antara kondisi ancaman, situasi
kawasan, kemajuan teknologi serta transformasi di bidang
pertahanan yang sedang dialami oleh Indonesia. Dalam tulisan
ini, akan diidentifikasi faktor-faktor apa yang seharusnya bisa
diperhatikan lebih dalam untuk perencanaan postur pertahanan
jangka panjang. Selama ini perencanaan pembelian barang
militer terkesan bersifat spontan, padahal yang dimaksud
dengan Renstra I, II, dan III dalam MEF bertujuan untuk
merencanakan secara strategis kapabilitas komponen utama
pertahanan Indonesia.
Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif analitis. Penulis akan
melakukan hubungan antar variabel untuk dianalisa. Sumber
data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa
artikel, jurnal ilmiah, serta buku. Alat analisis dalam penelitian
ini adalah model defense planning yang menggunakan
capability based planning. Dimana dalam teorinya,
penggunaan CBP dalam perencanaan memiliki ciri-ciri
lingkungan strategis yang lebih dinamis, ancaman yang tidak
terprediksi, skenario ancama yang tidak spesifik, garis batas
dan aktor yang semakin kabur, hubungan antar instansi yang
harus semakin kuat serta pilihan strategi yang direncanakan
harus seimbang. CBP menarik untuk menjadi alat analisa
untuk revolution in military affairs yang terjadi di Indonesia.
Lingkup penelitian transformasi militer dibatasi pada
sejak munculnya UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan
Negara hingga sekarang saat masa pemenuhan MEF Renstra
tahap II.
-
Avezia Geby - 120140202004
3
II. TINJAUAN PUSTAKA Pembahasan capability based planning (CBP) dalam
revolution in military affairs (RMA) bukan yang pertama.
Meskipun dalam beberapa judul penelitian tidak secara
eksplisit menjelaskan bagaimana CPB mempengaruhi
perencanaan dalam RMA, namun dapat dipastikan
perencanaan berdasarkan kapabilitas selalu muncul dalam
transformasi pertahanan.
Penelitian pendahulu yang pertama berjudul The
Canadian Forces and the Revolution in Military Affairs: A
Time for Change, ditulis pada tahun 2001 oleh Gary Garnett,
Vice Chief of the Canadian Defense Staff.4 Garnett meneliti
bahwa dewasa ini, pergerakan dunia yang semakin dinamis
mengharuskan militer juga semakin berkembang lebih
dinamis. Capability based planning digunakan sebagai
persektif dasar untuk pengurangan personil dan penambahan
teknologi hingga penyusunan Strategy 2020, sebuah petunjuk
pelaksanaan rencana pembangunan pertahanan Kanada hingga
tahun 2020. Garnett juga menyatakan bahwa memiliki
perencanaan yang berdasarkan kapabilitas dapat dengan tepat
mengalokasikan sumber daya yang dimiliki dengan strategi
yang akan dijalankan.
Garnett melanjutkan bahwa RMA yang terjadi di
setiap negara pasti berbeda bentuknya, namun pada umumnya
pasti perubahan utama akan muncul dalam strategi pertahanan
negara tersebut. Perspektif CBP dalam RMA yang terjadi di
Kanada secara langsung mengubah Defense Planning
Guidance milik Canadian Force, yang untuk pertama kalinya
memberikan arahan formal untuk Canadian Joint Task List
terhadap skenario kekuatan yang berdasarkan kapabilitas.
Menurut Garnett dalam jurnal yang ditulisnya, Canadian
Force pada saat itu sedang bertransformasi menuju sebuah
kekuatan yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Selain penelitian yang dilakukan oleh Garnett,
penelitian lain oleh Gary Chapman, 2003, berkata bahwa
RMA memiliki definisi yang berbeda-beda5, namun jika
diperhatikan kembali sebetulnya RMA terfokus pada
4 Garnett, 2001, The Canadian Forces and the Revolution in Military
Affairs: A Time for Change, Canadian Military Journal. 5 Chapman, 2003, An Introduction to the Revolution in Military Affairs,
XV Armaldi Conference on Problems in Global Security
teknologi yang maju dengan biaya yang diharapkan lebih
sedikit karena mengurangi jumlah personel dan
memperbanyak jumlah teknologi.
Selain itu, terdapat pembahasan perencanaan
berdasarkan kapabilitas dalam RMA pada
Secara teoritis, RMA dijelaskan oleh Steven Metz
dan James Kievit6 dalam Strategy and the Revolution in
Military Affairs: From Strategy to Policy, bahwa gagasan
RMA pertama kali muncul di Uni Soviet dengan nama
Military Technical Revolution pada akhir tahun 1970an. Lalu
berkembang menjadi RMA di AS yang pada akhirnya juga
berfokus pada perkembangan teknologi. Metz dan Kievit
menyatakan bahwa RMA dapat meningkatkan kefektifan
perang dengan cara perubahan empat hal secara simultan,
yaitu: perubahan teknologi; perkembangan sistem; inovasi
operasional; dan adaptasi organisasional. Namun pada
akhirnya, terdapat prioritas utama yang pasti akan dipilih yaitu
perubahan dalam teknologi militer.
Metz dan Kievit kembali menjelaskan bahwa pada
akhirnya definisi RMA akan berubah sesuai dengan
kapabilitas masing-masing. Semakin jauh RMA berkembang
dalam sebuah negara, semakin banyak nilai positif dan
negatifnya. Semakin besar bentuk teknologi militer yang
dikembangkan, dalam konteks AS, semakin banyak
pertanyaan yang muncul untuk AS dan semakin berkembang
bentuk ancaman yang ada dalam lingkungannya. Yang
terpenting menurut Metz dan Kievit adalah bagaimana
pemerintah menghubungkan setiap komponen dalam RMA
yaitu strategi, teknologi dan organisasional lalu
mengimplementasikannya ke dalam kebijakan yang sesuai
dengan kapabilitas AS.
RMA sendiri memiiki transformasi seiring dengan
berjalannya kondisi ancaman. Fokus RMA di AS pada awal
tahun 1990an berbeda dengan fokus RMA saat ini. Paul K.
Davis, dalam artikelnya yang berjudul Military
Transformation? Which Transformation, and What Lies
6 Metz & Kievit, 1995, Strategy and the Revolution in Military Affairs:
From Strategy to Policy , http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/ssi/stratrma.pdf, pp. 3-12
-
Avezia Geby - 120140202004
4
Ahead?7 Karena itu berdasarkan persepktif CBP, Kementerian
Pertahanan harus segera berganti mindset dari perencanaan
ancaman yang terskenario ke dalam sebuah perencanaan yang
fokus kepada kapabilitas yang dibutuhkan saat krisis dan
konflik. Pendekatan berdasarkan kapabilitas yang dimiliki
sangat dibutuhkan dalam hal fungsional, seperti apa saja yang
dibutuhkan untuk menyerang musuh, bagaimana kapabilitas
kita jika kita menyerang dalam kondisi tertentu, teknologi
seperti apa yang dapat kita kembangkan sesuai dengan
kapabilitas kita, hal tersebut seharusnya dapat dipetakan
kembali oleh pemerintah dalam menyusun setiap
kebijakannya.
Dalam paparannya di bahan ajar Revolusi Krida
Yudha dan Kalkulasi Strategis, Idil Syawfi8 menjelaskan
bahwa RMA di Indonesia terdiri dari empat komponen yaitu
teknologi, doktrin, organisasi, dan strategi. Dimana keempat
komponen tersebut memiliki hubungan saling
berkesinambungan.
Gambar 1: Komponen dalam RMA
Hubungan dari keempat komponen tersebut jika
direncanakan sesuai dengan kapabilitas akan membawa
7 Davis, 2011, Military Transformation? Which Transformation, and What
Lies Ahead?, National Security Research Division Journal, pp. 11-41 8 Syawfi, 2012, Revolusi Krida Yudha dan Kalkulasi Strategis, Bahan
Ajar Mata Kuliah Politik Pertahanan Indonesia, Universitas Katolik Parahyangan, 20 Mei 2012
Indonesia menuju transformasi pertahanan Indonesia di masa
yang akan datang. Pemenuhan MEF menjadi salah satu
komponen penting di dalam RMA. Seperti yang diutarakan
oleh Davis sebelumnya, Syawfi uga mengutarakan bahwa
RMA berubah sesuai dengan kondisi negara dimana RMA itu
berproses. Keempat komponen yang ada dalam RMA juga
akan mengubah fokusnya, sesuai dengan kapabilitas yang
dimiliki oleh negara tersebut agar dapat terpenuhi.
Gambar 2: RMA Roadmap
Gambar 2 menunjukkan garis besar perkembangan
transformasi militer yang diharapkan tercapai pada tahun
2050. Dimulai dari jaman Orde Baru dimana militer masih
terlibat dalam bisnis dan politik, sehingga muncul istilah
tentara bisnis. Lalu maju ke arah reformasi sektor keamanan
yang ditandai dengan TAP MPR mengenai pemisahan tugas
dan fungsi TNI serta Polri, hingga UU TNI No. 34 Tahun
2004. Selanjutnya pada MEF yang dimulai dari tahun 2009
dan diharapkan akan tercapai pada tahun 2024, sampai kepada
transformasi penuh kekuatan pertahanan Indonesia pada tahun
2050.
Model analisa penelitian ini berdasarkan beberapa
teori yang telah dijelaskan di dalam subbab ini bisa
-
Avezia Geby - 120140202004
5
digambarkandengan:
III. CAPABILITY BASED PLANNING DALAM REVOLUTION IN MILITARY AFFAIRS
Penerapan RMA bukanlah sebuah hal yang mudah
karena RMA akan berpengaruh secara simetris kepada
doktrin, strategi, dan postur pertahanan yang dimiliki oleh
Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Pertahanan No. 15 Tahun
2009 mengenai Pembinaan Teknologi dan ndustri Pertahanan,
RMA dipertimbangkan sebagai rujukan dalam pembinaan
teknologi dan industri pertahanan.
Dalam subbab sebelumnya dijelaskan bahwa MEF
merupakan sebuah bentuk capability based planning dalam
RMA yang harus dicapai pada tahun 2024. Hal tersebut
berdasarkan uraian yang terdapat pada Kebijakan Umum
Pertahanan Negara melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun
2008. Berdasarkan Perpres tersebut, pembangunan komponen
utama didasarkan kepada konsep pertahanan berbasis
kapabilitas (capability based defense). Dalam Buku Putih
Pertahanan, terdapat beberapa faktor utama mengapa
pertahanan negara dirancang berdasarkan kapabilitas, yaitu:9
1. Perkiraan ancaman terhadap Indonesia dan
segala kepentingannya, yakni ancaman yang
menjadi domain fungsi pertahanan, termasuk
tugas-tugas pelibatan pertahanan yang sah
2. Strategi Pertahanan Negara yang
menyinergikan pertahanan militer dan
pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan
pertahanan negara yang utuh dan
menyeluruh.
3. Tingkat penangkalan yang memenuhi
standar penangkalan agar dapar menangkal
ancaman yang diperkirakan
9 Buku Putih Pertahanan Indonesia, 2008, hal. 119
4. Tingkat probabilitas kerawanan tertinggi
bagi Indonesia yang menjadi sumber-sumber
ancaman atau sumber-sumber konflik di
masa datang
5. Luas wilayah dan karakteristik geografi
Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau
dengan wilayah perairan yang luar dan
terbuka
6. Kemampuan rasional negara dalam
membiayai pertahanan negara, termasuk
dalam pembangunan kapabilitas pertahanan
negara dengan tidak mengorbankan sektor-
sektor lain.
Dalam hal ini, MEF dianggap sebagai sebuah
perencanaan yang mampu menjamin kepentingan strategis
pertahanan yang mendesak. 10 Pengadaan alutsista dalam
pemenuhan MEF merupakan sebuah bentuk prioritas
penambahan kekuatan pokok minimal dan mengganti alutsista
yang tidak layak pakai. Seperti yang sebelumnya dijelaskan
dalam subbab I, fokus Renstra II tahun 2015-2019 adalah
pemenuhan penambahan alutsista untuk matra darat, laut dan
udara yang dimana salah satunya adalah penggantian pesawat
F-5 dengan pesawat baru.
Perencanaan kekuatan pertahanan berdasarkan
kapabilitas atau CBP sebetulnya merupakan alternative dari
perencanaan berdasarkan ancaman (threat based planning).
CBP memiliki karakteristik yang lebih rasional karena
dinamika perencanaannya lebih responsive kepada
ketidakjelasan kondisi ancaman. CBP cenderung berfokus
kepada pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan dan
dibutuhkan dibandingkan dengan peralatan apa yang akan
kita ganti. Namun hal tersebut kembali lagi kepada
bagaimana output yang diinginkan oleh sebuah negara. Karena
pendekatan yang digunakan berdasarkan kapabilitas, maka
outcome dari CBP haruslah berupa strategi yang terus dapat
berkembang sesuai dengan kapabilitas yang ada.
Dalam Guide to Capability Based Planning yang
dibuat oleh Tripartite Technical Cooperation Program antara
10 Luthfi, 2012, Implementasi Revolution in Military Affairs Dalam
Kebijakan Pertahanan Indonesia, pp. 61-62
RMA Perubahan
strategi, teknologi, doktrin, organisasi
CBP Transformasi kekuatan
pertahanan
-
Avezia Geby - 120140202004
6
Inggris, AS, Kanada, Australia, dan New Zealand,11 dijelaskan
bahwa ada beberapa langkah dasar dalam CBP seperti pada
gambar di bawah ini
Gambar 3: Skema CBP dalam kebijakan pertahanan
Dalam skema di atas, dijelaskan bahwa skema
dimulai dengan bimbingan menyeluruh, lalu bergerak kearah
mengidentifikasi perbedaan kapabilitas, mencari opsi dan
berakhir dengan perencanaan yang terjangkau. Yang perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah kebanyakan alutsista
memiliki fungsi ganda bagi beberapa matra sekaligus, karena
itu dalam perencanannya, seharusnya ada komunikasi yang
terarah bagi setiap matra dalam hal perencanaan alutsista.
Untuk mengimplementasikan CBP dengan baik, harus
terbentuk struktur manajemen dan pembagian tanggung jawab
yang baik terlebih dahulu. Setelah itu, beberapa langkah
11 Tritartite Technical Cooperation Program, 2011, Guide to Capability
Based Planning, pp. 3-4
dilakukan oleh Tripartite Technical Cooperation Program12,
yaitu:
1. Stakeholder Identification &
Involvements : stakeholder akan
mengontrol informasi, sumber daya dan
otoritas terhadap pelaksanaan perencanaan
sehingga harus diikutsertakan ke dalam
proses yang akan berlangsung
2. Inputs to Capability Based Planning:
Informasi yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan CBP adalah (namun tidak
terbatas kepada) tujuan, konteks isi,
kendala, batasan, karakteristik tertentu
3. Partition Design: Dalam pelaksanaan CBP
lebih mudah untuk diidentifikasi dan
dilaksanakan dalam bentuk-bentuk
kecil/partisi sehingga lebih mudah
penangannya jika ada kendala.
4. Use of Scenario: meskipun CBP bersifat
dinamis, namun dalam pelaksanaannya
tetap digunakan skenario untuk
menggambarkan hubunga antara kebijakan
dan tujuan kapabilitas
5. Capability Goals: pengaturan tujuan
penting untuk dilaksanakan agar terlihat
hingga tingkatan mana tujuan yang
diinginkan harus tercapai
6. Capability Assessment: penilaian dalam
CBP penting dilakukan untuk melihat
apakah tujuan yang dimaksud sesuai dengan
semua faktor lainnya
7. Development and Costing of Force
Development Options: merupakan suatu
langkah utama dalam mencocokkan
capability mismatches dengan affordable
capability
8. Balance of Investment: evaluasi
keseimbangan harga yang dikeluarkan dan
12 Tritartite Technical Cooperation Program, 2011, Guide to Capability
Based Planning, pp. 11-17
-
Avezia Geby - 120140202004
7
investasi yang akan didapatkan
9. Presentation of Result: presentasi terhadap
output yang dihasilkan dari CBP
10. Audit Trail
11. Future Issues for Capability Based
Planning
Kesebelas langkah diatas adalah rekomendasi
bagaimana seharusnya CBP dilakukan dalam sebuah
pengadaan
IV. ANALISA Berdasarkan beberapa bagian sebelumnya dalam
penelitian ini, telah dijelaskan tentang bagaimana MEF
menjadi bagian dari RMA karena MEF merupakan sebuah
gebrakan baru dari Kementerian Pertahanan pada tahun 2009
agar komponen utama pertahanan memiliki kemampuan
minimal. Secara realita MEF dibangun untuk merefleksikan
kekuatan optimal pemberdayaan sumber daya nasional yang
ada dan dibangun sesuai dengan kemampuan sumber ekonomi
nasional (Permenhan No. 19 Th. 2013) MEF merupakan suatu
bentuk pembanguna kekuatan Komponen Utama menuju ideal
dengan tahapan-tahapan tertentu. Bisa dikatakan bahwa MEF
adalah sebuah rencana pembangunan kekuatan pertahanan
Indonesia yang tahu diri dengan anggaran pertahanan
Indonesia yang setiap tahunnya tidak pernah lebih dari 1%
APBN.
Pengadaan Alutsista untuk meningkatkan kapabilitas
pertahanan negara sesuai dengan rencana strategis yang telah
disusun seringkali terkendala banyak hal salah satunya adalah
keterbatasan APBN untuk alokasi anggaran pertahanan. Dari
seluruh negara ASEAN, Indonesia menempati tempat ketiga
terbawah dengan anggaran pertahanan paling kecil diantara 10
negara ASEAN lainnya. Melihat kemampuan Indonesia yang
tidak sebesar negara-negara lainnya, seharusnya pemerintah
melihat dan mengkaji ulang bagaimana cara perencanaan dan
pengadaan alutsista. Dalam hal ini, yang terpenting jika
menggunakan perpektif capability based planning adalah
seberapa jauh kegunaan alutsista tersebut dan apakah mampu
Indonesia dalam membelinya. Seperti yang disebutkan akhir-
akhir ini dalam pembelian pesawat pengganti F-5 Tiger.
Selama ini fokus pemerintah hanya kepada berapa besar harga
dari pesawat pengganti tersebut, bagaimana perawatannya
serta apakah Indonesia bisa mendapatkan jumlah yang sama
sesuai dengan yang digantikan. Pada pendekatan CBP,
pembelian pesawat tempur pengganti F-5 Tiger bisa dianalisa
dengan konteks akuisisi. Dimana apakah pemelian pesawat
pengganti itu memiliki sumber anggaran yang besar atau kecil,
harus membeli baru atau bekas yang akan diretrofit,
bagaimana bentuk pembiayaannya, apakah ada skema lain dari
cara pembeliannya, bagaimana value for money yang
dihasilkan oleh pesawat pengganti tersebut jika Indonesia
membeli dalam jumlah tertentu, apakah ada manfaat dual-use
baik untuk kegunaan militer dan kegunaan sipil, dan yang
terpenting adalah apakah Indonesia benar-benar membutuhkan
pesawat pengganti dengan spesifikasi tertentu itu. Banyak hal
yang dapat mempengaruhi pembelian alutsista baru dan
terkadang hal tersebut dikesampingkan hanya karena beberapa
faktor lain yang tidak signifikan.
Beberapa hal lain dalam perencanaan alutsista yang
sering terlupakan adalah apakah Indonesia bisa mendapatkan
transfer teknologi dari hasil pembelian alutsista tersebut.
Penguatan industri pertahanan juga menjadi suatu bentuk
peningkatan kapabilitas kekuatan pertahanan yang harus
dikembangkan. Sempat beberapa saat modernisasi alutsista
TNI selalu terhambat oleh embargo beberapa negara, dengan
adanya peningkatan kapabilitas industri pertahanan dalam
pembuatan alutsista, hal tersebut diharapkan tidak terjadi lagi.
Dalam Perpres No. 42 Tahun 2010, dijelaskan bahwa Industri
Pertahanan adalah industri nasional yang produknya baik
secara sendiri maupun kelompok atas penilaian Pemerintah
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan sarana
pertahanan. Dimana seharusnya industri pertahanan bisa
digunakan secara maksimal untuk kepentingan pertahanan.
Ketertinggalan industri pertahanan Indonesia seharusnya bisa
ditindaklanjuti lebih jauh agar tercipta kemandirian sistem
persejataan.
Keseriusan Pemerintah dalam melakukan revitalisasi
industri pertahanan juga dilakukan dengan melengkapi
berbagai regulasi terkait dengan industri pertahanan.
-
Avezia Geby - 120140202004
8
Pemerintah berharap dengan revitalisasi tersebut industri
pertahanan dapat menghasilkan alat utama, sistem
persenjataan, dan berbagai alat pendukungnya yang sesuai
dengan teknologi yang berkembang sehingga memberikan
sumbangan terhadap kemandirian sarana pertahanan. Selain
itu, melalui revitalisasi ini industri pertahanan diharapkan
menghasilkan berbagai teknologi yang sesuai dengan karakter
dan cara perang mutakhir. Kebijakan industri pertahanan
dibuat dengan harapan akan adanya kemandirian pada
pertahanan Indonesia seperti yang tercantum dalam hakikat
pertahanan negara. Pembangunan saat ini dilihat dari dinamika
strategis yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka
panjang. MEF merupakan rencana strategis jangka panjang
yang tertuang dalam pembangunan yang dibagi setiap lima
tahun. Bisa dikatakan MEF merupakan sebuah kebijakan
sadar diri pemerintah Indonesia terhadap kemampuan untuk
meningkatkan pertahanan yang terkendala anggaran. Dengan
adanya KKIP, pemenuhan MEF diharapkan akan lebih
terencana dan terstruktur sehingga tercipta postur pertahanan
Indonesia dengan kondisi alutsista yang dapat memberikan
daya gentar dan daya tangkal maksimal.
Dalam rangka untuk merealisasikan MEF, KKIP
menyusun blueprint yang menjadi perpaduan program antara
KKIP, Kemhan, dan Dewan Riset Nasional untuk rencana
pengembangan alutsista. KKIP sebagai pihak yang mengambil
kebijakan dalam industri pertahanan, Kemhan/TNI sebagai
pengguna yang memahami rencana pembangunan kekuatan
pokok dan kekuatan idealnya, Dewan Riset Nasional yang
akan membidangi penelitian dan pengembangan bersifat riset
terapan. Cetak biru yang disusun oleh KKIP menunjukkan
adanya sasaran pada setiap tahapan pembangunan industri
pertahanan dalam jangka waktu tertentu dan koordinasi
dengan lembaga tertentu. MEF dengan setiap renstra sudah
memiliki blueprint tersendiri terhadap sejauh mana
pembangunan kekuatan pertahanan dan lembaga mana saling
bekerja sama dalam pembangunan tersebut. Penyusunan
blueprint KKIP ini merupakan suatu bentuk CBP pada tahap
capability assessment, dimana ada pengkajian ulang antara
perencanaan dan faktor-faktor lain yang ada dalam
perencanaan tersebut.
Dalam hal doktrin dan strategi, sebetulnya sudah
disebutkan dalam buku putih pertahanan Indonesia tentang
konsep pertahanan berbasis kapabilitas. Namun dalam
kenyataannya, pertahanan Indonesia masih cenderung bersifat
threat based planning, dimana Indonesia masih menunggu
ancaman seperti apa yang akan dihadapi dengan skenario
menghadapi ancaman yang terbatas. Seiring dengan kondisi
lingkungan yang semaki dinamis, doktrin pertahanan akan
mengalami perubahan dengan kemajuan teknologi dan
komunikasi. Dalam buku Doktrin Pertahanan Negara,
disebutkan bahwa perang pada abad ke-21 mengandalkan
keunggulan teknologi persenjataan, profesionalisme prajurit
dan manajemen yang modern. Doktrin Pertahanan Negara
mengakui bahwa RMA yang berkembang pesat,
mempengaruhi konsepsi pertahanan di bidang doktrin, strategi
pertahanan, serta postur dan kebijakan pertahanan di setiap
negara. Respon Indonesia terhadap RMA dalam melakukan
penangkalan adalah melakukan kemandirian dalam bidang
teknologi, terutama teknologi militer yang diharapkan berefek
terhadap daya tangkal bangsa. Dalam strategi penangkalan ini,
teknologi memiliki peranan penting karena substansi RMA
yang paling menonjol adalah teknologi.13
Pelaksanaan perubahan doktrin kembali bergantung
kepada teknologi yang dimiliki. Menurut Doktrin Tri Dharma
Eka Karma (Tridek) 2010, penguasaan teknologi akan
berperan penting dalam pelaksanaan strategi TNI dalam
menangkal ancaman militer. Dengan penguasaan teknologi,
pembangunan kekuatan dapat diarahkan kepada terwujudnya
kualitas dan kuantitas prajurit yang profesional, andal, dengan
alutsista yang modern serta organisasi yang efektif. Kekuatan
sepeti itulah yang diinginkan oleh TNI untuk melakukan
penangkalan ancaman militer.
Dalam hal organisasi, perencanaan berdasarkan
kapabilitas dapat terlihat dalam postur setiap matra. Sistem
yang digunakan pada TNI sekarang sudah penuh dengan
teknologi, sehinggal tidak perlu memiliki banyak personel.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan
teknologi yang mengubah karakter dan cara berperang telah
mengubah organisasi dalam tubuh militer untuk menyesuaikan
13 Doktrin Pertahanan Negara, 2007, pp. 81
-
Avezia Geby - 120140202004
9
diri. Perubahan yang terjadi pada TNI adalah perubahan
sistem dari padat personel menjadi padat teknologi serta
adanya perubahan peningkatan kemampuan unit-unit militer
sesuai dengan kemajuan teknologi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Perpektif capability based planning (CBP) dalam
revolution in military affairs (RMA) pada pertahanan
Indonesia memiliki banyak tantangan yang harus segera
ditindaklanjuti. Karena pendekatan yang digunakan
berdasarkan kapabilitas yang dimiliki, seharusnya pemerintah
dapat memilihi mana hal yang bisa menjadi prioritas utama
dan mana hal yang bisa dikesampingkan terlebih dahulu. Hal
ini utamanya dalam pemenuhan MEF sebagai bentuk konnrit
dari transformasi militer menuju militer yang lebih modern.
Dengan pembangunan postur pertahanan kekuatan pokok
minimum (MEF) yang akan dicapai selama 15 tahun,
Indonesia telah meletakkan fondasi bagi terselenggaranya
postur ideal pertahanan di masa depan. Meskipun MEF tidak
secara instan membuat kekuatan pertahanan Indonesia
meningkat drastis, namun tahapan yang dirancang dapat
mempermudah untuk mengevaluasi tercapai atau tidaknya
pembangunan postur pertahanan ini.
Selain dengan perencanaan pengadaan alutsista dari
luar, ada baiknya jika pemerintah lebih memperhatikan juga
industri pertahanan dalam engeri yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kapabilitas kekuatan pertahanan Indonesia.
Pembentukan Komite Kebijakan industri Pertahanan yang
berlandaskan Peraturan Presiden No. 42 tahun 2010 yang
diperbaharui dengan Perpres No. 59 Tahun 2013, merupakan
sebuah harapan untuk lebih memfokuskan diri pada industri
pertahanan dalam negeri. Latar belakang dibentuknya KKIP
adalah untuk menyelaraskan antara kebutuhan alutsista TNI
dengan kemampuan produksi industri pertahanan nasional
(Kemenkumhan, 2011). Jadi setiap kebijakan industri
pertahanan akan dirumuskan terlebih dahulu oleh KKIP
sebelum kebijakan diambil. Hal ini perting dilakukan untuk
memastikan kapabilitas setiap alutsista yang dihasilkan
ataupun dibeli dalam bentuk joint production.
Salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan dalam
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam alat dan
sistem persenjataan, kegiatan penelitian dan pengembangan
(litbang/research and development) peralatan pertahanan yang
mendukung kepada pemenuhan kekuatan pokok minimum
sangatlah penting disamping pengembangan industri
pertahanan dalam negeri. Kemenristek sendiri sudah
memasukkan rencana pengembangan litbang inhan pada
Agenda Riset Nasional (ARN) periode 2015-2019.14 Untuk
mendukung ketersediaan alutsista yang mempunyai daya
detterence tinggi dan sejalan dengan program Komite
Kebijakan Industri Pertahanan, maka penguasaan Iptek
pertahanan dan keamanandimaksudkan untuk mendorong
kemandirian dalam teknologi pendukung daya gerak,
teknologi pendukung daya gempur, Komando,
Kendal, Komunikasi, Komputer, Informasi, Pengamatan dan
Pengintaian (K4IPP), teknologi pendukung dan alat
perlengkapan khusus, kajian strategis hankam, dan sumber
daya pertahanan. Untuk itu, pada kurun waktu 2015- 2019
penelitian, pengembangan, dan penerapan Iptek pertahanan
dan keamanan difokuskan pada pesawat tempur, kapal
perang/kapal selam, roket balistik dan kendali, kendaraan
tempur, radar, elektronika pertahanan, pesawat Udara Nir
Awak (UAV), dan munisi kaliber besar.15
Didukung dengan beberapa kebijakan yang sudah
ada, pemerintah sebaiknya bisa memanfaatkan kebijakan-
kebijakan tersebut untuk memaksimalkan transformasi
pertahanan Indonesia dengan mengimplementasikan CBP.
Tanggung jawab besar ada pada pemerintah karena seperti
yang tercantum dalam bagan di subbab sebelumnya, puncak
dari CBP adalah government guidance.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa RMA
yang ada di Indonesia masih bersifat terbatas. Salah satu
bentuk RMA yang paling konkrit adalah MEF. Meskipun
tidak secara formal menyatakan bahwa transformasi
pertahanan Indonesia merujuk kepada RMA, namun beberapa
14 Jakarta Greater, 2014, Kemenristek Susun Agenda Riset Nasional (ARN)
perode 2015-2019, http://jakartagreater.com/kemenristek-susun-agenda-riset-nasional-arn-periode-2015-2019/, diakses pada tanggal 2 Mei 2015
15 Ibid.
-
Avezia Geby - 120140202004
10
bukti empiris menyatakan bahwa terjadi beberapa perubahan
dan pembangunan postur pertahanan. Dalam analisis dokumen
didapatkan bahwa CBP menjadi latar belakang bagi
Pemerintah untuk melaksanakan transformasi postur
pertahanan. Kenyataannya CBP tidak mudah dilakukan karena
pengimplementasian perencanaan berdasarkan kapabilitas
berarti harus mengubah banyak mindset yang sebelumnya
sudah berkembang lama. CBP dari setiap negara memang
berbeda, namun setidaknya terdapat sedikit kesamaan dalam
CBP di RMA setiap negara, semua berawal dari perubahan
struktur organisasi dan terjadi peningkatan teknologi militer.
Perubahan yang dilakukan oleh Kementerian
Pertahanan dan TNI adalah dengan meniitikberatkan pada
efektivitas dan pemanfaatan teknologi. Secara umum,
penataan organisasi terkait perkembangan teknologi dilakukan
dengan cara perampingan sehingga menjadi efektif dan
berbasis kinerja. Selain itu, kebijakan signifikan dikeluarkan
dengan perubahan sistem padat personel menjadi padat
teknologi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan teknologi yang mengubah karakter dan cara
berperang telah mengubah organisasi dalam tubuh militer
untuk menyesuaikan diri
-
Avezia Geby - 120140202004
11
REFERENCES Sumber buku: [1] Wahyuni, S, Qualitative Research Method: Theory ans Practice,
Jakarta: Salemba Empat, 2012, pp. 121-123 [2] Yusgiantoro, P, Ekonomi Pertahanan: Teori dan Praktik, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Sumber reports: [3] -- Guide to Capability-Based Planning, Tripartite Technical
Cooperation Program, Washington, Washington DC Sumber handbooks: [4] NATO Research and Technology Board: Panel On Studies, Analysis and
Simulation (SAS), Handbook in Long Term Defense Planning, 2001. Sumber journals : [5] Davis, P. (2011), Military Transformation? Which Transformation, and
What Lies Ahead?, National Security Research Division Journal, pp. 11-41
[6] Garnett, G. (2001) The Canadian Forces and the Revolution in Military Affairs: A Time for Change, Canadian Military Journal.
[7] Metz & Kievit, (1995) Strategy and the Revolution in Military Affairs: From Strategy to Policy, http://www.au.af.mil/au/awc/awcgate/ssi/stratrma.pdf, pp. 3-12
Sumber conference paper: [8] Chapman, G. (2003) An Introduction to the Revolution in Military
Affairs, XV Armaldi Conference on Problems in Global Security Sumber thesis: [9] Luthfi, M., Implementasi Revolution in Military Affairs Dalam
Kebijakan Pertahanan Indonesia M.S. thesis, FISIP, UI., Depok., Jabar, 2012.
Sumber lain: [10] Jakarta Greater, (2013), Minimum Essential Forces Tahap II,
http://jakartagreater.com/minimum-essential-force-tni-tahap-2-2015-2019/, diakses tanggal 1 Mei 2015
[11] Jakarta Greater, (2014), Kemenristek Susun Agenda Riset Nasional (ARN) perode 2015-2019, http://jakartagreater.com/kemenristek-susun-agenda-riset-nasional-arn-periode-2015-2019/, diakses pada tanggal 2 Mei 2015
[12] Liputan 6, (2014) Mengenal pesawat tempur Eurofighter yang dibidik Indonesia, http://news.liputan6.com/read/2127946/mengenal-pesawat-tempur-eurofighter-yang-dibidik-indonesia, diakses tanggal 1 Mei 2015
[13] Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 [14] UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara [15] UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia [16] Doktrin Pertahanan Negara [17] Postur Pertahanan Negara [18] Buku Putih Pertahanan Negara
-
Avezia Geby - 120140202004
12