1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stroke merupakan suatu penyakit yang mengancam jiwa dan termasuk penyebab
kematian nomor tiga mengikuti penyakit jantung iskemi dan kanker, bila bertahan hidup
meninggalkan kecacatan jangka panjang. Secara global, terdapat lebih dari 50 juta penderita
stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack). Setiap tahunnya hampir 5 juta orang meninggal
dunia akibat stroke, dan 1 diantara 5 penderita yang bertahan hidup akan terkena serangan stroke
kembali pada 5 tahun kemudian. (Saenger AK, Christenson RH, 2010).
Perawatan stroke membutuhkan sarana infrastruktur pelayanan kesehatan dan ekonomi
yang sangat besar, perkiraan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan stroke di seluruh dunia
mencapai $68,9 billion, meliputi biaya langsung dan tidak langsung. Di Amerika serikat saja,
penderita stroke mencapai 5-6 juta orang, 15-30% diantaranya menderita kecacatan pemanen dan
20% penderita membutuhkan perawatan di rumah sakit selama 3 bulan sesudah onset serangan
strokenya. (Saenger AK, Christenson RH, 2010).
Computed Tomography (CT) scan kepala tanpa kontras adalah alat diagnostik utama
untuk stroke. Perubahan parenkim otak yang terlihat pada hasil CT scan dapat memberikan
informasi berharga terkait diagnosis dan prognosisnya, tetapi memiliki keterbatasan untuk
melihat respon jaringan terhadap terapi reperfusi seperti trombolisis. Saat ini fasilitas CT scan
telah tersedia di hampir seluruh daerah perkotaan di negara maju dan berkembang, namun
demikian tetap diperlukan waktu untuk akuisisi dan interpretasi hasil sebelum terapi dapat
2
dimulai, sehingga terjadi keterlambatan dan kurang tepat dalam terapi (Butcher K, Emery D,
2010).
Pemeriksaan neuroimaging merupakan standar emas untuk membedakan stroke iskemik
dan stroke Perdarahan Intraserebral (PIS), yang dilakukan di rumah sakit pada pemderita dengan
dugaan klinis stroke akut. Sebelum tiba di Rumah Sakit (RS), belum ada alat ukur diagnostik
spesifik untuk kepentingan seperti menurunkan tekanan darah segera pada kasus PIS akut atau
penggantian antikoagulan pada kasus PIS terkait warfarin. Demikian pula keputusan terapi
trombolitik yang sangat tergantung waktu onset serangan stroke iskemik akut. Diperlukan
suatu .alat diagnostik yang bisa dikerjakan cepat dan dekat dengan penderita (Foerch C et al
2012).
Biomarker serum secara luas digunakan untuk evaluasi penderita dengan berbagai
macam penyakit akut, terutama yang terdapat ketidaksesuaian antara klinis dan gambaran
radiologis, serta untuk mengetahui prognosis pada penderita dengan penyakit yang berat
(Abadier MZ et al, 2012). Pengukuran salah satu biomarker iskemia otak yang terakhir
ditemukan adalah Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP). GFAP ini telah diuji dan didapatkan
kadar yang lebih tinggi dibandingkan konsentrasi plasma biomarker yang telah ada yaitu protein
S-100β, pada keadaan otak yang mengalami iskemia (Missler U et al,2004). GFAP merupakan
protein intermediate filament (IF) yang sangat spesifik diotak , mempertahankan struktur sel
astroglial dan migrasi nya. Dalam keadaan sehat, GFAP tidak disekresi aktif dalam plasma.
Pemeriksaan GFAP serum dapat membedakan stroke PIS dan iskemik secara cepat pada
penderita klinis stroke akut (Foerch C et al 2012).
1.2. Rumusan masalah
3
Berapakah nilai diagnostk kadar GFAP (Glial Fibrilary Acidic Protein) serum terhadap CT
scan kepala untuk membedakan stroke perdarahan dan iskemik pada penderita stroke akut ?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Membuktikan bahwa pemeriksaan kadar GFAP serum dapat membedakan stroke
perdarahan dan iskemik pada penderita stroke akut.
1.3.2. Tujuan khusus
1.3.2.1. Mengukur kadar GFAP serum penderita stroke akut.
1.3.2.2. Mempelajari peranan GFAP serum pada stroke perdarahan intra serebral (PIS) dan
stroke iskemik akut.
1.3.2.3. Menilai waktu yang tepat pemeriksaan GFAP serum pada kasus stroke akut.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat akademik
Sebagai tambahan pengetahuan khususnya di bidang neurologi mengenai GFAP
serum dalam membedakan jenis stroke pada penderita stroke akut.
1.4.2. Manfaat klinis
Menegakkan diagnosis stroke perdarahan dan stroke iskemik dengan lebih cepat dan
murah terutama pada rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan yang tidak tersedia
sarana CT scan kepala.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi Stroke
Terdapat beberapa definisi yang berusaha menjelaskan pengertian stroke. Menurut
Chandra B (1986),stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena
gangguan peredaran otak, dimana terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau secara
cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak
yang terganggu. Mengacu pada WHO MONICA PROJECT 1995, stroke adalah gangguan
fungsional otak, fokal (ataupun global) yang timbul mendadak, berlangsung lebih dari 24 jam
(kecuali dilakukan intervensi bedah atau meninggal sebelum 24 jam), yang disebabkan oleh
kelainan peredaran darah otak (Islam MS, 2000).
Secara umum, stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan perdarahan, dengan
stroke iskemik hampir 85% dari keseluruhan. Stroke iskemik dapat disebabkan karena trombosis
intrakranial maupun emboli ekstrakranial. Trombosis intrakranial disebabkan adanya
atherosklerosis, sedangkan emboli ekstrakranial pada umumnya berasal dari arteri ekstrakranial
atau dari jantung sebagai akibat dari infark miokard, mitral stenosis, endokarditis, atrial fibrilasi,
kardiomiopati atau gagal jantung kongestif. Stroke perdarahan dibedakan menjadi stroke
perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA), dengan penyebab paling
sering adalah hipertensi, trauma, obat-obatan atau malformasi vaskuler (Saenger AK,
Christenson RH, 2010).
5
2.1. 2. Epidemilogi
Insiden stroke atau angka kejadian stroke di seluruh dunia adalah 180 per 100.000
penduduk per tahun, atau hampir 0,2%. Sedangkan prevalensinya sekitar 500-600 per 100.000
penduduk, atau sekitar 0,5% (Islam MS, 2000). Sekitar 750.000 kasus baru stroke terjadi di
Amerika Serikat dan diperkirakan 150.000 orang meninggal akibat stroke setiap tahunnya.
Insidennya meningkat seiring dengan pertambahan usia, di mana dua per tiga kasus stroke terjadi
pada usia lebih dari 65 tahun, laki-laki lebih banyak mengalami stroke daripada wanita dan orang
Afrika-Amerika lebih banyak terjadi stroke dibandingkan dengan yang berkulit putih (Gilroy J
2000).
Data di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan kasus stroke baik dalam kematian,
kejadian maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan usia sebesar : 15,9% (usia 45 – 55
tahun), 26,8% usia 55 – 65 tahun, dan 23,5% usia > 65 tahun. Sedangkan insiden stroke
sebesar 51,6/ 100.000 penduduk dan kecacatan : 1,6% tidak berubah, 4,3% semakin memberat.
Penderita laki-laki lebih banyak terserang stroke dibanding perempuan dengan profil usia < 45
tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun sebesar 54,2%, dan usia > 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke
menyerang usia produktif dan usia lanjut, sehingga dapat menimbulkan masalah baru dalam
pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari (Misbach J, 2000).
Sampai saat ini stroke masih merupakan penyebab gangguan fungsional yang pertama,
dan sebanyak 15 – 30 % penderita stroke mengalami kecacatan yang permanen. Mayoritas stroke
adalah infark serebral. Sekitar 85% dari semua stroke disebabkan oleh stroke iskemik atau infark
(Saenger AK, Christenson RH, 2010).
6
2.1.3. Faktor Risiko Stroke
Sejumlah faktor memberikan konstribusi terjadinya serangan stroke pertama. Faktor
risiko stroke secara umum di bedakan menjadi faktor risiko yang tidak bisa diubah (non-
modifiable risk factors) termasuk didalamnya antara lain : usia, jenis kelamin, suku bangsa,
riwayat keluarga, faktor genetik, dan berat badan lahir rendah, dan faktor risiko yang dapat
diubah (modifiable risk factor), diantaranya: hipertensi arterial, TIA, stroke sebelumnya, bruit
karotis asimtomatik, penyakit jantung, ateromatosis arkus aorta, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok, konsumsi alkhohol, peningkatan fibrinogen, peningkatan homosistein, kadar folat
serum rendah, peningkatan antibodi antikardiolipin, kontrasepsi oral dan obesitas. (Saenger AK,
Christenson RH, 2010).
2.1.4. Patogenesis Stroke Iskemik
Iskemik fokal akut terjadi akibat embolisme atau trombogenesis insitu. Trombogenesis
merupakan rangkaian kejadian yang kompleks sehingga terjadi trombus yang stabil. Komponen
kuncinya adalah agregasi platelet, cedera endotel dan pembentukan fibrin. Adanya aterosklerosis
dan trombogenesis akan mengganggu aliran darah dan kemudian menyebabkan iskemia dan
infark jaringan otak (Brockington CD, 2004).
Stroke iskemik diawali serangkaian fase yang muncul akibat kaskade iskemik (gambar
2.1). Waktu yang tepat masing-masing fase sangat heterogen dan tergantung pada banyak faktor
seperti ukuran infark, onset dan durasi iskemik, serta efektifitas reperfusi. Fase iskemik diawali
dengan hipoperfusi serebral mendadak dan diikuti kegagalan bioenergik seluler, excitotoksik,
stres oksidatif, kerusakan sawar darah otak (SDO), cedera mikrovaskuler, aktivasi hemostatik,
inflamasi dan nekrosis neuronal, glial dan sel endotel. (Brouns R, De Deyn PP, 2009)
7
Gambar 2.1. Kaskade iskemik ( Diambil dari Brouns, De Dyen, 2009)
Proses trombosis berawal dari rusaknya lapisan endotel pembuluh darah. Terkelupasnya
endotel dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pecahnya plak ateromatus, berkaitan
dengan hipertensi, merokok, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus dan sebagainya. Terpaparnya
struktur sub endotel (kolagen, laminin, fibronektin, fibulin, trombospondin dan membrana
basalis) secara langsung oleh aliran darah sehingga mengakibatkan trombus melekat pada
struktur sub endotel tersebut (Islam MS, 2000). Proses adhesi ini mengakibatkan platelet
teraktivasi dan berubah bentuk. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan beberapa bahan
kimia, antara lain:
a. ADP (Adenosin Difosfat)
b. AA (Asam Arakhidonat), yang selanjutnya akan dimetabolisme menjadi tromboksan-A2,
suatu vasokonstriktor yang sangat kuat dan dapat mengakibatkan agregasi platelet.
c. Bahan eikosanoid lainnya, seperti prostaglandin F2α (PGF2α) dan serotonin, yang juga
mengakibatkan vasokonstriksi dan agregasi platelet
Agregasi platelet dan vasokonstriksi menyebabkan oklusi arterial yang mengakibatkan
berkurangnya aliran darah yang memasok bagian otak tersebut (Islam MS, 2000).
8
Pada stroke akut, terjadi perubahan pada Aliran Darah Otak (ADO), dimana penurunan
ADO pada level tertentu menimbulkan respon jaringan yang berbeda-beda (gambar 2.2). Pada
daerah yang mengalami iskemik, aliran darah menurun secara signifikan. Secara mikroskopik,
daerah iskemik (penumbra) yang pucat akan dikelilingi oleh daerah hiperemis dibagian luar yaitu
daerah yang disebut sebagai luxury perfusion, karena melebihi kebutuhan metabolik sebagai
akibat mekanisme sistem kolateral yang mencoba mengatasi keadaan iskemia (Gusev E, 2003).
Gambar 2.2 Respon jaringan otak terhadap perubahan ADO (Diambil dari Gusev E, 2003).
Didaerah sentral dari fokus iskemik terdapat inti yang terdiri atas
jaringan nekrotik dengan tingkat iskemik terberat. Pada keadaan iskemik,
penyediaan glukosa, oksigen dan bahan makanan lain ke sel otak akan terhambat. Hal tersebut
akan menghambat mitokondria dalam menghasilkan ATP yang akan dipakai sel otak untuk
berbagai proses yang memerlukan energi seperti membangun dan memelihara komponen seluler,
menjalankan proses seluler, dan juga menjalankan fungsi motorik, kognitif dan memori. Bila
keadaan ini tidak dikoreksi pada waktunya, iskemik dapat berlanjut menjadi kematian sel (Lyden
PD, 2001; Gusev E, 2003).
9
Pada daerah inti iskemik, kematian sel sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat
kegagalan energi yang merusak dinding sel beserta isinya sehingga mengalami lisis (sitolisis),
sedangkan pada daerah penumbra sel neuron masih hidup, tetapi metabolisme oksidatif sangat
berkurang serta pompa ion sangat minimal dan mengalami proses depolarisasi neuronal, yang
bila hal ini terjadi secara berkepanjangan maka sel tidak lagi dapat mempertahankan
integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel yang secara akut timbul melalui proses
apoptosis, suatu disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding
sel yang disebut programmed cell death. Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan
autoregulasi didaerah iskemik, sehingga respon arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan
oksigen / karbondioksida menghilang. Disamping neuron-neuron yang sensitif
terhadap iskemia, kematian sel dapat langsung terjadi pada iskemik berat
dengan hilangnya energi secara total dari sel karena terhentinya aliran
darah. Disamping itu disintegrasi sitoplasma dan disrupsi membran sel juga
menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat makin memperburuk
keadaan lingkungan seluler (Brouns R, De Deyn PP, 2009)
2.1.5. Patogenesis Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)
Penyebab paling sering dari stroke PIS adalah hipertensi kronik yang menyebabkan
lemahnya dinding pembuluh darah dan mulai terjadi peningkatan prevalensi PIS dengan
penggunaan antikoagulan (Saenger AK, Christenson RH, 2010).
2.1.5.1. Mekanisme kerusakan sel otak pada PIS
Efek kerusakan sel otak pada stroke PIS akut ada dua mekanisme yaitu :
10
1. Kondisi primer, kerusakan jaringan otak oleh karena hematom dan proses peningkatan
tekanan intrakranial.
2. Efek produk toksik dari darah yang mempengaruhi jaringan otak.
Kerusakan sel otak disebabkan oleh karena beberapa mekanisme yang saling tumpang
tindih, meliputi kaskade koagulasi dengan produk trombin, lisis sel darah merah dengan hasil
hemoglobin produk yang toksik, reaksi inflamasi dan aktifasi kaskade pada parenkim otak (Hua
Y, 2007; Power W, 2010). Berdasarkan perjalanan waktu maka kerusakan sel otak dibagi
menjadi 3 fase berikut (gambar 2.3.) :
Fase pertama : jam-jam pertama setelah serangan stroke PIS akan terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik yang mempengaruhi pembentukan edema perihematom.
Meningkatnya permeabilitas sawar darah otak (SDO) menyebabkan protein molekuler ke
ruang ekstraseluler dan pengaruh gradient osmotik akan membawa air masuk ke
parenkim otak terjadilah edema vasogenik.
Fase kedua : 24-48 jam terjadi retraksi klot dan aktivasi kaskade koagulasi membentuk
trombin yang mengaktifasi edema dan semakin merusak SDO.
Fase ketiga: terjadi aktivasi kaskade komplemen, saat eritrosit mulai lisis, hemoglobin
dan produk degradasi akan merusak parenkim otak karena proses inflamasi dan terjadilah
edema sitotoksik (Wei JW et al, 2010).
11
Gambar 2.3. Skema patogenesis edema perihematom (Diambil dari Wei JW,
2010)
Kerusakan sel otak karena proses massa menyebabkan iskemik di daerah neuron. Akibatnya
akan terjadi gangguan peredaran darah otak sehingga terjadi iskemik di sekitar bekuan darah.
Iskemik akan menyebabkan terjadinya penurunan Adenosin Triphosphat (ATP) sehingga terjadi
gangguan stabilisasi membran neuron dengan akibat influks kalsium ke dalam sel yang
selanjutnya terjadi aktifasi dari beberapa enzim antara lain protease, endonuklease, lipase dan
kalmodulin sehingga terjadi kematian neuron baik secara apoptosis maupun nekrosis (Inaji M et
al., 2003).
12
Gambar 2.4. Proses kerusakan otak saat PIS (Diambil dari Qureshi A, 2009)
2.1.5.2 Pengaruh glutamat dalam kerusakan sel otak akibat stroke PIS
Glutamat juga berpengaruh terhadap kerusakan di sekitar sel neuron yang mati. Pada saat
terjadi perdarahan kadar glutamat di dalam plasma tinggi secara cepat kemudian berdifusi ke
dalam parenkimal otak, kemudian glutamat ditangkap oleh reseptor N-Metyl-D-Aspartat
(NMDA) dan alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionate (AMPA) yang akhirnya
menyebabkan kerusakan neuron, begitu juga glutamat dapat merusak oligodendrosit yang
menyebabkan injuri di daerah perbatasan putih dan abu-abu. Selain itu glutamat diambil oleh
neuron dan sel glia yang kemudian menstimulus glikolisis dan memproduksi asam laktat. Asam
laktat yang tinggi akan menurunkan derajat keasaman dan sangat potensial merusak sel neuron
maupun glia.
13
Gambar 2.5. Diagram kerusakan sel otak akibat PIS (Diambil dari Kenneth R et al., 2003)
Akibat dari jumlah ikatan reseptor glutamat yang berlebihan akan terjadi penumpukan ion
kalsium dalam sel dan proses inflamasi sehingga sel dapat mati dengan cara nekrosis atau
apoptosis. Nekrosis pada umumnya mengikuti peristiwa yang terjadi mendadak misalnya pada
daerah pusat iskemik sedangkan apoptosis terjadi pada peristiwa yang lebih lambat (Kenneth
R.et al., 2003)
2.2. Stroke Biomarker
Stroke biomarker mempunyai peranan potensial untuk membedakan diagnosis dan
prediksi kejadian stroke, terutama pada beberapa kasus dimana temuan neuroimaging
menggambarkan keadaan normal atau ekuivokal. Kesulitan untuk menemukan biomarker yang
dilepaskan perlahan-lahan oleh glial dan pelepasan protein neuronal menyeberangi sawar darah
otak setelah stroke atau trauma kepala. Sebagai tambahan, marker iskemia serebral dapat
memberikan hasil diagnostik yang spesifik, namun juga meningkat dalam berbagai situasi yang
menyerupai stroke (stroke mimic). Istilah stroke mimic digunakan pada berbagai keadaan
14
abnormalitas yang menunjukkan tanda dan gejala klinis menyerupai stroke. Diantaranya adalah :
kejang, hipoglikemi, kelebihan dosis obat, hiponatremia, migraine, tumor serebri dan hematoma
subdural (Saenger AK, Christenson RH, 2010)
Biomarker stroke yang ideal seharusnya memenuhi kriteria sebagai berikut: dapat
membedakan stroke iskemik dan perdarahan, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi,
segera terdeteksi dan cukup stabil pelepasannya setelah iskemik, dapat memprediksi keluaran,
dapat digunakan sebagai petunjuk terapi dan menentukan faktor resiko, mudah dikerjakan, hasil
pengukurannya cepat, metode efektif dan harga yang relatif terjangkau. Kepentingan untuk
memperbaiki keluaran stroke membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat dan akurat.
Biomarker stroke sangat potensial sebagai prediktor dan penunjang diagnosis pada kasus stroke
akut (Jensen MB, 2009).
Masih ditunggu penemuan biomarker stroke untuk PIS, yang kerusakan SDO nya
tertunda, dimana masih cukup intak untuk mendeteksi molekul besar beberapa jam setelah
perdarahan. Permeabilitas SDO cukup substansial untuk mengukur protein spesifik otak ketika
terjadi peningkatan volume hematom (sekitar 8-12 jam kemudian). Proses iskemik pada otak
menyebabkan aktivasi seluler dan disintegrasi, menyebabkan lepasnya protein spesifik seperti
Myelin Basic Protein (MBP), Glial Fibrillary Acidic Protein (GFAP), Protein terikat kalsium
S100B dan Neuron Specific Enolase (NSE). Protein marker tersebut dapat diukur di darah
maupun Liquor Cerebro Spinal (LCS). Masing-masing memiliki latar belakang biokemikal unik
dan berbeda asal subselulernya. MBP adalah suatu membrane proteolipid mielin, yang terikat
pada membrane sel mielin sentral maupun perifer meskipun jumlahnya lebih sedikit. GFAP
protein spesifik di astrosit dan dilepaskan saat terjadi disintegrasi dan degradasi sitoskeleton.
Protein S100B terdapat di astrosit, oligodendrosit, neuron dan jaringan ekstraserebral. NSE
15
didapatkan pada sitoplasma neuron dan sedikit pada sel neuroendokrin. Masih banyak lagi serum
biomarker lainnya. (Brouns R et al, 2010)
2.3. Sel Glia Otak
Sel-sel Glia atau yang umumnya disebut neuroglia adalah sel-sel non neuronal yang
mempunyai fungsi utama sebagai sel pendukung neuron, fungsi lain adalah mengatur suasana
internal dari otak, khususnya cairan di sekitar neuron dan synap-synap-nya, serta menyediakan
kecukupan nutrisi sel-sel saraf. Sel-sel glia juga mempunyai peran dalam pertumbuhan neuron
sebagai guiding dari migrasinya pada awal pertumbuhan, dan memproduksi molekul-molekul
yang memodifikasi pertumbuhan axon dan dendrite (Michael VS, 2010).
Tipe-tipe dari sel glia adalah :
Mikroglia : mempunyai kemampuan sebagai fagosit yang melindungi neuron pada SSP.
Sel ini relatif kecil dibandingkan sel-sel Makroglia, dan hanya merupakan 35% dari total
sel glia dalam SSP. Sel ini ikut bergerak dengan otak, dan mengalami multiplikasi bila
otak mengalami cedera.
Makroglia : pada Susunan Saraf Pusat meliputi Astrosit atau Astroglia, Oligodendroglia,
Sel-sel Ependym dan Radial glia. Sedangkan yang terdapat pada susunan saraf tepi yaitu
sel schwan dan sel satelit.
2.3.1. Astrosit atau Astroglia
Astrosit merupakan sel glia terbanyak dalam Sistem Saraf Pusat (SSP) dan memegang
peranan penting dalam fungsi fisiologis dan menjaga homeostasis otak. Astrosit dibagi menjadi 2
subtipe yaitu Astrosit protoplasmik dan fibrous, keduanya berbeda dalam hal morfologi seluler
16
dan lokasi anatomis. Astrosit protoplasmik memiliki cabang-cabang prosesus pendek, tebal, dan
bercabang banyak, letaknya di substansia grisea. Astrosit fibrous mempunyai prosesus panjang,
tipis, dan sedikit bercabang, terletak di substansia alba (Michael VS, Harry VV, 2010)
Gambar 2.6 Astrosit protoplasmik dengan cabang prosesusnya melekat pada pembuluh darah bv:blood vessel ( diambil dari Michael VS et al, 2010)
2.3.2. Peranan Astrosit pada SSP Sehat
Astrosit merupakan tipe sel non-neuronal terbanyak pada SSP dan memenuhi 50% dari
volume otak manusia. Astrosit memiliki berbagai fungsi penting untuk aktivitas neuronal normal
meliputi pengambilan glutamat, pelepasan glutamate, buffer K+ dan H+ dan transport air. Fungsi
astrosit akan terganggu dan mempengaruhi kelangsungan hidup neuron selama proses iskemik
dan cedera otak lain. Astrosit juga berpengaruh pada pertumbuhan neurite dan proses
penyembuhan otak pasca cedera (Chen Y, Swanson RA, 2003)
Sel ini memfiksir neuron pada suplai darahnya, meregulasi lingkungan kimia eksternal
neuron dengan mengeliminasi ion-ion yang berlebih, seperti kalium, dan mendaur ulang
pelepasan neurotransmitter pada synap selama aktifitas transmisi pada synap. Teori terbaru
menyatakan bahwa astroglia merupakan bahan utama pada jaringan SDO. Astrosit merupakan
saluran Natrium dan Kalium yang dapat mencetuskan arus ke dalam, tetapi tidak seperti sel
neuron, astrosit menghasilkan potensial aksi sepanjang prosesusnya. Sinyal antar astroglia
17
ditransmisikan dengan kalsium [Ca++]i. berupa bentukan eksitabilitas astrosit. Gap junction ( atau
biasa dikenal dengan sinap elektrik) antar astrosit dilakukan oleh molekul messenger Inositol
Triphosphat (IP3) (Nedergaard M et al 2003). Lebih lanjut lagi astrosit merupakan mediator
utama saat terjadi perubahan ADO lokal yang berespon dengan merubah aktivitas neuronal. Saat
terjadi aktivitas sinaptik, prosesus astrosit akan mentitrasi aliran darah yang lewat, hal ini dapat
dilihat dengan fMRI pada daerah korteks visual saat diberi rangsangan visual (Schummers J et
al,2008). Astrosit juga berperan dalam menjaga homeostasis transmitter, cairan ion dan pH.
Prossesus astrosit kaya akan saluran aquaporin 4 (AQP4) dan menjadi pengangkut untuk ambilan
K+ (Simard M, Nedergaard M, 2004). Peranan astrosit dalam fungsi sinaptik SSP yang sehat
dijelaskan pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Peranan astrosit pada SSP sehat (diambil dari Michael VS, Harry VV 2010)
2.3.3 Astrogliosis
Astrosit adalah sel yang paling awal dan paling responsif ketika terjadi iskemia otak.
Astrosit seperti sel yang lain, sangat rentan terhadap Reactive Oxygen Species (ROS) sebagai
akibat dari iskemik, reperfusi. ROS dihasilkan oleh ketidakseimbangan oksigen-glukosa sepintas
18
yang menyebabkan depolarisasi membran mitokondria astrosit dan transisi permeabilitas
membran mitokondria (Chen Y, Swanson RA, 2003). Berkurangnya ADO menyebabkan
gangguan fungsi pompa ion astrosit dan mengganggu homeostasis yang ditandai dengan
kenaikan Ca 2+ intrasel dan K + ekstrasel. Gangguan homeostasis ion ini menyebabkan aliran
pasif air ke dalam astrosit menyebabkan edema vasogenik. Astrosit berperan dalam proses
edema otak vasogenik maupun sitotoksik. Studi terbaru menyatakan bahwa aquaporins (AQPs)
adalah jalur primer pergerakan air dan mengatur respon astrosit terhadap perubahan osmotik,
sehingga AQPs memegang peranan penting dalam pembentukan edema serebri. AQP4 banyak
pada perikapiler astrosit dan prosesus astrosit (Chen Y, Swanson RA, 2003).
Glikogen adalah sumber energi utama di otak dan tersimpan dominan di astrosit sehingga
adanya gangguan fungsi sel menyebabkan iskemik sel otak semakin berat. (Pelinka LE et al,
2003). Beberapa jam setelah cedera otak, astrosit pada daerah tersebutt menjadi hipertrofi dan
proliferasi, disebut astrogliosis reaktif. Respon ini terjadi karena perpindahan mikroglia dan
makrofag pada daerah yang iskemik. Astrosit reaktif ini melepaskan protein struktural seperti
GFAP dan vimentin. Vimentin sendiri normalnya adalah IF astrosit imatur tapi akan dibentuk
pada saat astrogliosis. Protein lain yang juga meningkat meliputi superoxide dismutase,
gluthation peroxidase dan metalothionein. Pada kondisi trauma otak atau stroke PIS, oksigenase
heme sebagai langkah pertama metabolisme heme dan penting untuk mencegah partisipasi iron
memproduksi radikal bebas (Chen Y, Swanson RA, 2003).
Definisi astrogliosis reaktif dijelaskan dalam 4 gambaran berikut ini :
1. Astrogliosis reaktif adalah suatu spectrum perubahan molekular, selular dan fungsional pada
astrosit yang muncul sebagai respon terhadap segala bentuk cedera pada SSP.
19
2. Perubahan yang terjadi pada reaktif astrogliosis dapat bervariasi keparahannya, berjalan
progresif dalam ekspresi molekular, terjadi hipertrofi seluler dan pada kasus yang berat terbentuk
luka glial.
3. Astrogliosis reaktif diatur oleh sinyal inter- dan intraseluler.
4. Perubahan akibar astrogliosis berapotensi menimbulkan aktivitas astrosit yang dapat
menganggu fungsi sel-sel neuron dan non-neuron disekitarnya (Sofroniew MV, 2009).
Gambar 2.8 Faktor pencetus dan molekul regulator astrogliosis reaktif (diambil dari Michael VS, Harry VV 2010)
Peningkatan GFAP serum merupakan pertanda astosit reaktif dan protein sitoskeletal ini
berperan sebagai efek pembatas dari luka glial selama perpanjangan akson. Astrosit reaktif
mensisntesis kolagen dan proteoglikan sulfat yang mempengaruhi pertumbuhan neurit (Chen Y,
Swanson RA, 2003).
2.4. GFAP (Glial Fibrilary Acidic Protein)
Teknik imunohistokimia memungkinkan deteksi penanda molekuler pada tingkat sel
tunggal berguna untuk mengidentifikasi karakteristik sel pada jaringan sehat dan patologis.
20
Ekspresi GFAP telah menjadi penanda khas untuk identifikasi imunohistokimia astrosit. GFAP
pertama kali diisolasi sebagai protein yang terkonsentrasi sangat tinggi di plak demielinisasi pada
pasien multipel sklerosis dan kemudian ditemukan dalam astrosit reaktif pada proses patologis
lainnya (Michael SV, 2010).
GFAP adalah salah satu dari keluarga protein filamen intermediate, termasuk
vimentin, nestin, dan lain-lain, yang dikenal sebagai intermediate filament (IF). Di tubuh sendiri
dikenal beberapa IF yaitu ada 5 tipe yaitu :
Tipe 1 dan 2 : Acidic dan Basic Keratins.
Acidic dan Basic keratins saling berikatan membentuk acidic-basic heterodimer dan
berkaitan dengan pembentukan filamen keratin. Terdapat banyak isoform dari IF yaitu
Epithelial Keratins (20 isoform) pada sel epitel dan Trichotic Keratins (13 isoform), IF
ini terdapat pada rambut, kuku.
Tipe 3 : membentuk homo atau heteropolymeric proteins.
Adapun yang termasuk tipe – 3 ini adalah :
- GFAP ditemukan pada Astrosit
- Desmin, merupakan komponen struktur sarkomer pada selsel Otot
- Peripherin, ditemukan pada neuron perifer
- Vimentin, terdapat pada hampir semua protein IF, seperti astrosit, fibroblas,
lekosit, sel-sel endotel pembuluh darah. IF ini memperkuat membran
seluler dan menjaga agar organelorganel sel tetap pada tempatnya di
sitoplasma
21
Tipe 4 adalah Nestin, α-internexin, Synemin, syncoilin, dan neurofilaments, banyak
ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada akson dan neuron vertebra.
Tipe 5 adalah : Nuclear Lamins,
Protein ini terlokalisir pada 2 tempat yaitu nuclear compartment, dan nuclear lamina
merupakan lapisan struktur protein pada permukaan dalam nukleus (Pekny M, Pekna M,
2004).
GFAP merupakan anggota dari protein sitoskeletal merupakan filamen utama pada
astrosit matur di SSP (Hergenroeder et al., 2008), dengan panjang filamen 8-9 nM. GFAP
merupakan molekul monomerik dengan berat molekul sekitar 40 – 53 kiloDalton (kDa). Nilai
normal GFAP pada individu normal adalah < 0,033 μg/L (BioVendor Laboratory, 2006).
Gambar 2.9 Glial Fibilary Acidic Protein
GFAP merupakan protein utama yang berperan di dalam sitoskeleton astrosit yang
memberi kekuatan dan bentuk sel pada astrosit, tidak disekresi secara aktif ke ruang interseluler.
GFAP merupakan protein yang sangat spesifik untuk SSP dan hanya dilepaskan pada saat terjadi
kematian sel nekrotik akibat autolisis. Protein tipe ke-3 dari IF ini ditemukan spesifik di astrosit
pada SSP (Pelinka LE, 2003). Namun, GFAP bukan merupakan penanda mutlak dari semua non-
reaktif astrosit dan secara imunohistokimia sering tidak terdeteksi dalam astrosit jaringan SSP
22
yang sehat maupun yang telah sembuh dari cedera SSP . GFAP dapat terdeteksi dalam astrosit
SSP yang sehat, dengan teknik pewarnaan ganda menggnakan beberapa zat warna (termasuk
protein reporter transgenik). Ekspresi GFAP pada astrosit menunjukkan variabilitas yang
dinamis baik lokal dan regional dan diatur oleh sejumlah besar molekul sinyal inter-dan intra-
seluler (Sofroniew MV (2009).
Gambar 2.10 GFAP,dilakukan pengecatan imunositokimia dengan fluorophore.b. astrosit pada tikus sehat c.reaktif astrosit akibat inflamasi (diambil dari Michael VS et al,2010).
Studi pada tikus transgenik menunjukkan bahwa ekspresi GFAP tidak berperan penting
untuk keadaan dan fungsi astrosit sehat dalam SSP tikus transgenik, namun sangat penting untuk
proses astrogliosis reaktif dan pembentukan bekas luka glia (glial scar formation). Terdapat
beberapa isoform dan varian yang berbeda dari GFAP termasuk GFAP a, b, c, d, dan j, dan ini
dinyatakan secara heterogen baik di SSP sehat maupun patologis, namun distribusi diferensial
dan peran masing-masing isoform tersebut masih dipelajari (Michael VS, 2010).
2.5. Peranan Astrogliosis pada Stroke
23
Dari perspektif diagnostik praktis, penampilan astrosit di daerah kistik ensefalomalasia
serebri pasca stroke iskemik atau perdarahan dapat digunakan untuk memperkirakan berapa lama
sebelum terjadinya kematian), meskipun tidak sangat akurat. Urutan peristiwa selular dalam
stroke iskemik berlangsung dari intensitas eosinofilia pada neuron (beberapa jam sampai 1-2 hari
setelah onset), masuknya leukosit polimorfonuklear (intensitas bervariasi, rentang waktu yang
sama berkisar 1-2 hari), dilanjutkan masuknya makrofag / histiosit (dari darah atau mikroglia
yang teraktivasi) sebagai liquefactive necrosis (3 - 5 hari setelah infark tersebut), dan akhirnya
terjadi proliferasi astrosit berlebihan dan membentuk bekas luka di sepanjang perbatasan daerah
infark pada hari ke 7-10 setelah iskemik dan kemudian bertahan sepanjang hidup. Tak ada
kerangka waktu yang benar-benar tepat, terutama pada pasien usia tua, dimana terjadi proses
penuaan, serta paparan kondisi lain, yang mungkin mempengaruhi tingkat astrogliosis reaktif
yang diamati. 'Infark kistik kronis' biasanya berhubungan dengan gliosis astrositik (Michael
VS,2010). Proses Astrositik biasanya melintasi celah kistik yang ditinggalkan oleh jaringan otak
yang mati, membentuk jalinan halus dengan histiosit berbusa sepanjang serabut glial. Stroke
juga dapat menyebabkan neurogenesis dari periventrikular sel progenitor neuron yang
mengekspresikan GFAP (Ohab JJ, 2006) .
24
Gambar 2.11 Astrogliosis reaktif dengan bentukan luka glial (diambil dari Michael VS,2010)
Peran astrogliosis reaktif dalam perkembangan lesi iskemik serebri belum diketahui pasti,
namun studi baru-baru ini mendukung peranan metabolik pada neuron selama iskemik sesaat dan
kegagalan fungsi astrosit dapat menyebabkan degenerasi neuronal (Takano T et al, 2009). Selain
itu, studi eksperimental pada tikus transgenik ditemukan bentukan luka astroglial setelah stroke
dikaitkan dengan hilangnya fungsi pertahanan sepanjang tepi infark, sehingga meningkatkan
penyebaran inflamasi dan volume infark (Li L et al, 2008).
2.6. Pemeriksaan GFAP pada Stroke
GFAP hanya ditemukan di sitoskeleton astrosit dan titer nya akan meningkat pada saat
astrosit mengalami astrogliosis. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan
bahwa GFAP akan diekspressikan ke dalam plasma darah segera setelah terjadi cedera otak dan
GFAP tidak akan diekspressikan pada pasien dengan trauma lain tanpa adanya cedera otak
(Pelinka LE, 2003). Pada SSP yang mengalami cedera, astrosit akan mengalami respon reaksi
yang disebut astroglyosis. Astrogliosis ini ditandai dengan ekspressi GFAP yang cepat dan
banyak oleh sel astrosit. Seperti diketahui sebelumnya bahwa penyusun SDO adalah astrosit,
maka kerusakan pada astrosit akan menyebabkan GFAP lebih mudah beredar di dalam darah.
Kemampuan untuk membedakan stroke PIS dan stroke iskemik menggunakan tes biomarker
sebelum penderita tiba di RS, dapat menentukan tatalaksana yang spesifik, cepat dan tepat pada
pasien stroke akut. Berdasrkan pengukuran tunggal yang dikerjakan pada stroke fase akut,
didapatkan kadar GFAP serum yang lebih tinggi pada penderita stroke PIS dibandingkan stroke
iskemik.
25
Studi sebelumnya menunjukkan keterlambatan pelepasan GFAP dalam serum pasien
stroke iskemik, mencapai konsentrasi maksimum antara hari ke 2 dan ke 4 (Herrmann et
al.,2000; Foerch et al., 2003).
Gambar 2.12 GFAP serum pasien stroke iskemik ((diambil dari Herrmann et al,2000)
Sebuah studi menyatakan nilai median GFAP serum pada penderita stroke iskemik secara
konstan dibawah batas yang terdeteksi sebelum 24 jam onset serangan stroke. Setelah 48 jam
akan meningkat dan mencapai puncak (gambar 2.13). Pada penderita stroke PIS nilai median
GFAP serum meningkat setelah 2 jam onset dan mencapai puncaknya 6 jam setelah onset dan
kemudian akan mulai menurun 24 jam setelah onset (Dvorak F et al, 2009)
26
Gambar 2.13 Grafik GFAP serum pada stroke PIS dan stroke iskemik (Diambil dari Dvorak F, 2009)
Karena kerusakan mendadak pada SDO disertai kerusakan otak yang lebih mendadak,
GFAP terdeteksi di serum pada stroke PIS fase hiperakut, tetapi tidak pada stroke iskemik. Pada
stroke iskemik integritas struktur sel-sel otak dan SDO dapat bertahan lebih lama. Kematian sel
akibat nekrotik dan lisis baru muncul 6-12 jam setelah oklusi pembuluh darah. Pelepasan protein
astroglial GFAP baru mencapai puncak setelah 48-72 jam setelah onset stroke iskemik. Kadar
GFAP serum yang tinggi pada 6-12 jam setelah onset, mengindikasikaan adanya stroke PIS,
sehingga GFAP dapat digunakan sebagai marker diagnostik yang sangat cepat pada pasien stroke
akut. (Foerch et al., 2012).
Pada sebuah penelitian perbandingan antara biomarker otak protein S-100β dengan
GFAP, ditemukan bahwa konsentrasi ekpressi GFAP plasma darah pada pasien yang mengalami
iskemia otak adalah 28 kali nilai normal dan untuk protein S-100β hanya sekitar 18 kali nilai
normal. Besarnya titer GFAP pada plasma/serum darah mempunyai korelasi dengan luasnya
kerusakan otak. Kenaikan kadar GFAP yang signifikan terjadi 12 jam setelah terjadinya iskemia
dan masih berlanjut sampai 4 hari (Willoughby KA, 2004, Dvorak F, 2009).
Gambar 2.14 Ekspresi GFAP dibandingkan S100β
Adhesi platelet
Aktivasi platelet
Gangguan Na-K-ATPase
Glutamat ↑ROSNO
Efek massa,Tekanan hidrostatik↑
Kaskade koagulasi
Hipoperfusi serebralEndotel terkelupas Dinding pembuluh
darah robek
Hematom
Faktor risiko vaskuler
Disfungsi endotel
27
GFAP ini spesifik dihasilkan oleh astrosit pada saat proses astrogliosis. Hal ini sangat
berbeda dengan protein S100β yang dihasilkan oleh berbagai jaringan (Abadier MZ, 2012).
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
28
Keterangan:
Merokok/hipertensi/DM menyebabkan kerusakan/ disfungsi endotel sampai terkelupas sehingga
tampak kolagen subendotel. Akibatnya terjadi proses adhesi yang mengakibatkan platelet
teraktivasi dan berubah bentuk. Platelet yang teraktivasi akan melepaskan beberapa bahan
kimia, antara lain: ADP (Adenosin Difosfat), AA (Asam Arakidonat) yang mengakibatkan
terjadinya agregasi platelet. Pelepasan bahan eikasonoid lainnya seperti prostaglandin F2a dan
29
serotonin akan menyebabkan vasokonstriksi. Akibat kedua proses ini terjadi oklusi arterial dan
iskemia jaringan (Islam MS 2000). Pada sisi lain akibat hipertensi, dinding pembuluh darah
robek terbentuklah hematom di parenkim otak. Hematom akan menyebabkan efek massa dan
peningkatan tekanan intrakranial. Akibatnya akan terjadi gangguan peredarah darah otak
sehingga terjadi iskemik dan oligonemia di sekitar bekuan darah yang akan menyebabkan
terjadinya penurunan ATP (Xi G, 2001). Penurunan ATP akan mengganggu enzim Na-K ATPase
sehingga dilepaskan glutamat yang akhirnya menyebabkan Ca++ masuk ke dalam intrasel yang
selanjutnya terjadi aktivasi dari beberapa enzim antara lain protease, endonuklease, lipase dan
kalmodulin sehingga terjadi kematian neuron baik secara apotosis maupun nekrosis (Inaji M et
al., 2003). Keseluruhan proses diatas meliputi iskemik, kerusakan integritas SDO, sel hipertrofi,
dan destruksi astroglia (astrogliosis) menyebabkan kerusakan parenkim otak bermanifestasi
berupa defisit neurologis fokal dengan gambaran klinis stroke akut. Astrogliosis disertai
pelepasan GFAP dalam serum. Kadar GFAP diharapkan dapat membedakan jenis stroke iskemik
atau perdarahan, yang akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras.
BAB 4
MATERI DAN METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Berdasarkan ruang lingkup penelitian ini merupakan penelitian klinis, transversal (cross
sectional), jenis terapan, analitik, dan desain uji diagnostik, yang dikerjakan pada semua pasien
30
yang terdiagnosis sebagai stroke akut, yang berkunjung ke Instalasi Rawat Darurat (IRD)
neurologi RSU Dr. Soetomo Surabaya. Subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi dilakukan pemeriksaan klinis neurologis berupa: anamnesis, pemeriksaan saraf
kranialis, tes refleks fisiologis dan patologis, tes motorik dan sensorik, kemudian dilakukan
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar GFAP serum, setelah menerima keterangan
keuntungan dan tujuan pemeriksaan tersebut dan telah menandatangani surat persetujuan.
Setelah itu dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras.
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1. Populasi Target
Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita stroke akut
4.2.2. Populasi Terjangkau
Penderita stroke akut yang datang ke IRD bagian neurologi RSU Dr.Soetomo
Surabaya mulai bulan Oktober 2012 sampai bulan Januari 2013.
4.2.3. Sampel penelitian
Semua penderita stroke akut yang datang ke IRD bagian neurologi RSU Dr.Soetomo
Surabaya antara bulan Oktober 2012 sampai bulan Januari 2013 yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3. Cara Pengambilan Sampel
31
Metode pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut kasus yang datang berurutan
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (sampling from consecutive admission) sampai
tercapai jumlah sampel yang telah ditetapkan.
4.4. Besar sampel
Penelitian ini adalah penelitian uji diagnostik untuk memprediksi sensitivitas dan spesifisitas
alat diagnostik. Besar sampel penelitian ini diperhitungkan berdasarkan rumus :
n = (Z α) 2 p (1-p) d2P
Keterangan :
n = besar sampel
Zα = tingkat kesalahan ditetapkan sebesar 5%, sehingga Zα = 1,96
p = sensitivitas GFAP seum = 82,4% (Foerch et al, 2012)
d = penyimpangan yang bisa diterima untuk sensitivitas =10%
P = prevalensi = 70%
= (1,96) 2 x 0,824 x (1- 0,824) = 72,8 dibulatkan = 73 (0,1)2 x 0,7
Jadi diperlukan sampel penelitian minimal sebanyak 73 orang
4.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel penelitian dilakukan di IRD RSU Dr Soetomo, Surabaya. Pemeriksaan
kadar GFAP serum dilakukan di laboratorium Patologi Klinik Gedung Diagnostik Pusat
RSU Dr.Soetomo Surabaya. Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras dilakukan di IRD
RSU Dr Soetomo.
32
Waktu penelitian selama 6 bulan dengan perinciaan sebagai berikut
Kegiatan Sept 12 Okt 12 Nov 12 Des 12 Jan 13 Feb 13
Mencari kepustakaan
X
Menyusun proposal
X
Pelaksanaan penelitian
X X X X
Pengolahan data X X
Laporan penelitian
X
4.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.6.1 Kriteria Inklusi
1. Penderita dengan defisit neurologis klinis stroke hemisferik
2. Onset < 10 jam
3. Bersedia mengikuti penelitian
4.6.2. Kriteria Eksklusi
1. Mengalami stroke iskemik, stroke PIS, TIA, cedera kepala < 3 bulan sebelumnya
2. Terdapat gejala klinis infeksi intrakranial
3. Pernah didiagnosa tumor otak
4. Terdapat gejala dan tanda ensefalopati
4.7. Variabel penelitian
4.7.1. Variabel Bebas
Kadar GFAP dalam serum penderita stroke akut
4.7.2. Variabel Tergantung
CT scan kepala tanpa kontras
33
4.8. Definisi operasional
4.8.1. Stroke
defisit neurologis fokal atau global, onset akut (mendadak), menetap > 24 jam, yang
dikarenakan penyebab pembuluh darah otak (Islam M.S., 2000); dan terkait dengan
gambaran neuroimaging yang mendukung (Abadier M.Z., 2012).
4.8.2. Klinis stroke hemisferik
berdasarkan pemeriksaan klinis neurologis didapatkan defisit neurologis fokal yang
menandakan adanya lesi hemisfer serebri yang letaknya kontralateral dengan gambaran
klinis (paling tidak satu dari berikut: hemiparesis, afasia, hemkineglect, hemianopia
homonymous, gaze deviasi kontralateral sisi hemiparesis, penurunan kesadaran).
(Foerch .C et al 2012, De Jong 2000).
4.8.3. Onset
waktu yang dihitung dalam satuan jam, dari awal keluhan hingga penderita datang di
IRD, diperiksa dan didiagnosis sebagai stroke.
4.8.4. Jenis Kelamin
Jenis kelamin sampel penelitian yang dikelompokkan dalam laki-laki dan perempuan.
4.8.5. Status Penderita
34
Data penderita khusus yang akan digunakan sebagai catatan medik selama penelitian ini
berlangsung.
4.8.6. Infeksi intrakranial
Proses infeksi yang mengenai salah satu atau seluruh struktur meningens, parenkim otak,
ventrikel maupun vaskuler; ditandai dengan klinis dan laboratoris yang menunjang
infeksi dan atau didapatkan tanda rangsang meningeal.
4.8.7. Tumor otak
Didiagnosis dari anamnesis adanya defisit neurologik yang bersifat kronik progresif dan
CT Scan kepala adanya gambaran tumor.
4.8.8. Cedera kepala
Didiagnosis dengan adanya riwayat trauma kepala dan dari CT Scan kepala didapatkan
adanya tanda-tanda cedera kepala fokal maupun difus.
4.8.9. Ensefalopati
Sekumpulan gejala neurologis yang timbul tanpa disertai perubahan / kelainan struktural
di otak, dimana gejala ini dapat hilang sendiri atau menetap mengikuti penyebab yang
mendasarinya (McCandles DW, 2009)
4.8.10. Pemeriksaan klinis neurologis
meliputi anamnesis, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan klinis neurologis dan
laboratorium penunjang terkait.
35
4.8.11. Pemeriksaan kadar GFAP serum
Dilakukan dengan metode electrochemiluminometric immunoassay –The Elecys GFAP
prototype test (BioVendor,2006). Pada penelitian ini hasil GFAP serum > 0,29 µg/L
yaitu menunjukkan stroke perdarahan adalah, sedangkan hasil GFAP serum ≤ 0,29
µg/L menunjukkan stroke bukan perdarahan /iskemik (Foerch .C, 2012).
4.8.12. CT scan kepala tanpa kontras
standar baku emas untuk menentukan diagnosis stroke perdarahan atau iskemik. pada
penelitian ini yang menunjukkan stroke perdarahan yaitu didapatkan gambaran
hiperdens, 30-60 hu pada serebri, sedangkan CT scan kepala pada stroke bukan
perdarahan/iskemik didapatkan gambaran hipodens (Lindsay K.W., 2004).
4.9. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Semua subyek yang masuk dalam kriteria inklusi dan pihak keluarga yang bertanggung
jawab pada penderita diberi penjelasan tentang tujuan, kegunaan dan risiko penelitian,
kemudian diminta untuk mengikuti penelitian tanpa paksaan. Pada akhir penjelasan, subyek
atau keluarga terdekat diminta membaca, bertanya tentang hal – hal yang belum dimengerti
dan bila sudah memahami dan menyetujui, selanjutnya diminta menandatangani surat
pernyataan persetujuan mengikuti penelitian. Apabila ada hal – hal yang belum dimengerti
atau kurang jelas maka dapat ditanyakan kembali pada dokter yang memberikan penjelasan
(PPDS I neurologi yang melakukan penelitian dengan memberikan nomer telpon).
36
Subyek yang telah menandatangani surat persetujuan, dicatat identitas dan karakteristiknya
dalam formulir. Pengambilan data subyek penelitian, dilakukan oleh penulis dan dokter
PPDS 1, dengan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologi yang teliti
2. Pemilihan sampel untuk kasus yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi
3. Sampel yang memenuhi syarat dan semua data klinis yang diperlukan dilakukan
pencatatan.
4. Pemeriksaan kadar GFAP serum dilakukan di laboratorium Patologi Klinik GDC RSUD
Dr . Soetomo Surabaya.
5. Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan di IRD RSUD Dr.Soetomo Surabaya
6. Semua hasil pencatatan dikumpulkan untuk selanjutnya dilakukan tabulasi data dan
analisis statistik.
4.10. Bahan penelitian
Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah serum pasien yang akan
dilakukan pemeriksaan kadar GFAP dengan metode electrochemiluminometric
immunoassay. Sampel darah vena 2 ml di-sentrifuge, diletakkan dalam mikroplate yang
telah dilapisi dengan polyclonal anti-human GFAP antibody, dicuci kemudian diberi label
biotin monoclonal anti human GFAP antibody dan ditambahkan reagen khusus.
4.11. Cara Pengolahan dan Analisis Data
37
Data yang diperoleh dari lembar pengumpulan data kemudian dinyatakan dalam skala
dikotom. Analisis hasil pemeriksaan kadar GFAP dan CT scan kepala dianalisis dengan
tabel 2x2 untuk mendapatkan sensitivitas, spesifisitas, akurasi, nilai duga positif, nilai duga
negatif dan likelihood ratio
4.12 Alur penelitian
Gambar 4.1. Kerangka operasional penelitian
BAB 5
Penderita stroke akut datang ke IRD RSU Dr Soetomo Surabaya
Sampel penelitian
Pengambilan serum untuk pemeriksaan kadar GFAP diperiksa oleh laaboratorium yang ditunjuk
Pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras dilakukan saat itu juga di IRD
inklusi eksklusi
38
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di IRD bagian neurologi RSU Dr. Soetomo Surabaya selama 4
bulan, mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Januari 2013. Dari penelitian ini
didapatkan 73 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Selama berlangsungnya penelitian ini tidak didapatkan efek samping dari pemeriksaan
kadar GFAP serum maupun CT scan kepala yang menyebabkan subyek tidak dapat melanjutkan
penelitian.
5.1. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Faktor Demografis
Tabel 5.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelaminJenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
wanita 36 49,3pria 37 50,7
Pada tabel 5.1 dapat dilihat karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin.
Secara keseluruhan didapatkan 73 subyek penelitian, pria sebanyak 37 orang (50,7%), sedangkan
wanita sebanyak 36 orang (49,3%).
Tabel 5.2. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan rerata usia
VariabelSubyek
(73)Rerata Deviasi baku Minimum Maksimum
Umur (tahun) 57,74 12,94 26 87
Pada tabel 5.2. didapatkan rerata usia subyek penelitian adalah 57.74 tahun atau 58 tahun,
subyek penelitian termuda berusia 26 tahun, sedangkan tertua berusia 87 tahun.
5.2. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Onset
39
Tabel 5.3. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan onset
Onset (jam ) Frekuensi Persentase (%)
1 4 5,52 8 11,03 8 11,04 12 16,45 7 9,66 12 16,47 3 4,18 6 8,29 4 5,510 9 12,3
Berdasarkan tabel 5.3. didapatkan rerata onset dari 73 subyek penelitian adalah 5,4 jam
atau 5 jam, onset paling rendah adalah 1 jam, sedangkan onset paling tinggi adalah 10 jam.
Diketahui paling banyak subyek penelitian datang pada onset 4 jam dan 6 jam yaitu masing-
masing 12 orang (16,4%), hanya 3 orang (7%) yang mempunyai onset 7 jam.
5.3. Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Pemeriksaan GFAP Serum dan CT scan
Kepala
Tabel 5.4. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pemeriksaan GFAP
VariabelSubyek
(73)Rerata Deviasi baku Minimum Maksimum
GFAP (µg/L) 0,377 0,245 0,044 1,246
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa rerata kadar GFAP pada penderita stroke akut yang
menjadi sampel penelitian adalah 0,377µg/L, kadar GFAP paling rendah adalah 0,044µg/L,
sedangkan kadar GFAP paling tinggi adalah 1,246µg/L.
40
Tabel 5.5 .Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pemeriksaan GFAP dan CT scan kepala
Pemeriksaan Jumlah Persentase (%)
GFAPbukan perdarahan 33 45,2Perdarahan 40 54,8
CT scanbukan perdarahan 45 61,6perdarahan 28 38,4
Pada tabel 5.5. didapatkan data dari 73 penderita stroke akut yang menjadi subyek
penelitian, sebanyak 40 orang (54,8%) menunjukkan kadar GFAP > 0,29 µg/L yang berarti
termasuk dalam stroke perdarahan, sedangkan 33 orang lainnya (45,2%) memiliki kadar GFAP
serum ≤ 0,29 µg/L yang termasuk stroke bukan perdarahan/iskemik. Berdasarkan hasil
pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras diketahui sebanyak 28 orang (38,4%) didiagnosis
stroke perdarahan, sedangkan sebanyak 45 orang (61,6%) didiagnosis stroke bukan
perdarahan/iskemik.
5.4. Tabulasi silang (tabel 2x2) GFAP serum dibandingkan CT scan Kepala
Tabel 5.6. Tabulasi silang hasil GFAP dengan CT scan kepala CT scan Kepala Total
perdarahan bukan perdarahan
GFAP perdarahan 24 16 40bukan perdarahan 4 29 33Total 28 45 73
Tabel 5.6. menunjukkan bahwa tabulasi silang antara hasil diagnosis GFAP dengan hasil
diagnosis CT scan kepala pada subyek penelitian, menghasilkan diagnosis yang sama, dimana 33
subyek yang didiagnosis bukan perdarahan dengan GFAP, sebanyak 29 orang (87,9%) juga
41
didiagnosis bukan perdarahan dengan CT scan, dan 40 subyek yang didiagnosis perdarahan
dengan GFAP, sebanyak 24 orang (60%) juga didiagnosis perdarahan dengan CT scan.
Berdasarkan Tabel diatas didapatkan :
Sensitivitas GFAP =
2428
x 100 %=85 , 7 %
Spesifisitas GFAP =
2945
x 100 %=64 , 4%
Akurasi = 24 + 29 x 100% = 72,6% 73
Nilai duga positif =
2440
x 100 %=60 %
Nilai duga negatif =
2933
x 100%=87 , 9%
Likelihood ratio positif (LR+) = 0,857 = 2,41
1 – 0,644
Likelihood ratio negative (LR-) = 1 – 0,857 = 0,22
0,644
Prevalensi = 28 = 38
73
Pre-test odds = 0,38 = 0,61
42
1 – 0,38
Pre-test probability = 0,61 = 0,37
0,61 + 1
Post-test odds = 0,6 x 2,41 = 1,44
Post test probability = 1,44 = 0,59
1,44 + 1
5.5. Tabulasi silang (tabel 2x2) GFAP serum dibandingkan CT scan kepala berdasarkan
kategori onset
Berikut adalah tabulasi silang antara hasil diagnosis GFAP dengan hasil diagnosis CT
scan kepala pada subyek penelitian berdasarkan kategori onset:
Tabel 5.7. Tabulasi Silang hasil GFAP dengan hasil CT scan berdasarkan kategori onset
43
Tabel 5.8. Perhitungan Sensitivitas dan Spesifisitas GFAP, Nilai Duga Positif dan Negatif berdasarkan kategori onset
KategoriOnset
(jam)
Sensitivitas GFAP
Spesifisitas GFAP
Nilai Duga Positif
Nilai Duga Negatif
≤ 2 100.0% 87.5% 80.0% 100.0%≤ 3 100.0% 61.5% 58.3% 100.0%≤ 4 100.0% 61.5% 58.3% 100.0%≤ 5 86.7% 62.5% 59.0% 88.2 % ≤ 6 85.7% 60.0% 60.0% 85.7%≤ 7 86.4% 62.5% 61.2% 86.9%≤ 8 83.3% 63.9% 60.6% 85.1%
Onset (jam)
Diagnosis CT scan Totalbukan
perdarahanperdarahan
≤ 2 Diagnosis GFAP
bukan perdarahan
7 0 7
perdarahan 1 4 5Total 8 4 12
≤ 3 Diagnosis GFAP
bukan perdarahan
8 0 8
perdarahan 5 7 12Total 13 7 20
≤ 4 Diagnosis GFAP
bukan perdarahan
8 0 8
perdarahan 5 7 12Total 13 7 20
≤ 5 Diagnosis GFAP
bukan perdarahan
15 2 17
perdarahan 9 13 22Total 24 15 39
≤ 6 Diagnosis GFAP
bukan perdarahan
18 3 21
perdarahan 12 18 30Total 30 21 51
≤ 7 GFAP Bukan perdarahanPerdarahanTotal
20
1232
3
1922
23
3154
≤ 8 GFAP Bukan perdarahanPerdarahanTotal
23
1336
4
2024
27
3360
44
Berdasarkan Tabel 5.7. dan 5.8. diketahui sensitivitas GFAP sangat tinggi mencapai
100% pada kategori onset ≤ 2 jam sampai onset ≤ 4 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada onset
1 sampai 4 jam, pemeriksaan GFAP mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada onset 5
jam atau lebih. Sedangkan spesifisitas, paling tinggi pada onset 1-2 jam yaitu mencapai 87,5%.
BAB 6
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian klinis, transversal (cross sectional), jenis terapan,
analitik, dan desain uji diagnostik, yang dikerjakan pada semua penderita yang terdiagnosis
sebagai stroke akut, yang berkunjung ke IRD neurologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Subyek
45
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan telah menandatangani informed
consent, dilakukan pemeriksaan klinis neurologis, kadar GFAP serum dan CT scan kepala tanpa
kontras pada saat yang bersamaan.
Uji diagnostik dibedakan berdasarkan kegunaannya yaitu sebagai alat skrining, untuk
memastikan dan menyingkirkan penyakit; untuk memantau perjalanan penyakit; menentukan
prognosis, dan sebagainya (Sastroasmoro, 2002). Pada penelitian ini ke arah kegunaan yang
pertama yaitu sebagai alat skrining. Memilih pemeriksaan diagnostik yang tepat bukanlah hal
yang mudah. Uji diagnostik yang ideal jarang ditemukan, yaitu uji yang memberi hasil positif
pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil negatif pada semua subyek yang tidak
sakit. Hampir pada semua jenis uji diagnostik terdapat kemungkinan untuk diperoleh hasil uji
positif pada subyek yang sehat (positif semu), dan hasil negatif pada subyek yang sakit (negatif
semu).
. Selama kurang lebih 4 bulan penelitian berlangsung, didapatkan 73 subyek yang
memenuhi kriteria penelitian. Dari 73 subyek tersebut, 37 subyek diantaranya adalah pria
(50,7%) dan 36 subyek lainnya adalah wanita (49,3%). Temuan ini sesuai dengan data
epidemiologi yang menyatakan bahwa pria lebih banyak mengalami stroke daripada wanita
(Biller J, 2004; Goldstein LB et al, 2006). Insiden stroke berdasarkan jenis kelamin dilaporkan
lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio 1.3 : 1.0 (Sacco et al, 2002).
Karakteristik subyek penelitian berdasarkan onset mulai dari keluhan awal sampai
penderita datang ke IRD, diperiksa dan didiagnosis sebagai stroke, yang terbanyak pada onset 4
dan 6 jam. Hal ini dikarenakan berbagai faktor antara lain jarak rumah dengan rumah sakit, akses
transportasi, keluarga yang bersedia mengantarkan, berat ringannya gejala yang tampak pada
46
penderita serta masalah biaya. Berdasarkan data yang ada, penderita dengan klinis penurunan
kesadaran akan datang pada onset yang lebih cepat.
Hasil penelitian yang diperlihatkan pada tabulasi silang (tabel 5.6.) menunjukkan
sensitivitas kadar GFAP serum dibandingkan CT scan kepala tanpa kontras (sebagai baku emas
untuk stroke) menunjukkan angka sebesar 85,7% dan spesifitas sebesar 64,4%. Pada sebuah
penelitian oleh Foerch C et al, 2012, menyebutkan bahwa pemeriksaan kadar GFAP serum
dengan cutoff 0,29 µg/L menghasilkan sensitivitas diagnostik 84,2% dan spesifisitas diagnostik
sebesar 96,3% untuk membedakan stroke perdarahan dengan stroke iskemik. Penelitian ini
menghasilkan angka sensitivitas yang tinggi, sehingga pemeriksaan kadar GFAP (Glial Fibrilary
Acidic Protein) serum dapat membedakan stroke perdarahan dan stroke bukan perdarahan pada
penderita stroke akut.
Penjelasan untuk sensitivitas yang tinggi antara lain: pertama, berdasarkan kriteria
inklusi penelitian ini, hanya penderita dengan gejala klinis stroke hemisferik saja yang diikutkan,
termasuk diantaranya penderita dengan perdarahan intraserebral luas. Oleh karena itu
pemeriksaan GFAP sebagai alat diagnostik, lebih tampak nyata terutama pada penderita stroke
dengan klinis yang lebih berat. Kedua, tes analisa sensitivitas ini telah menggunakan
electrochemiluminometric immunoassay khusus untuk GFAP, bukan menggunakan metode
hand-pipetted ELISA sehingga akan mempekecil faktor kesalahan dalam tehnik pengerjaannya.
Namun, tetap ditemukan sejumlah stroke perdarahan intraserebral yang tidak menunjukkan kadar
GFAP tinggi dalam darah. Hal ini disebabkan adanya perdarahan intraventrikuler, yang
menyebabkan kerusakan jaringan astroglia lebih sedikit (Foerch C et al, 2012). Demikian
sebaliknya, pada sejumlah penderita stroke iskemik didapatkan peningkatan kadar GFAP serum
yang membuat spesifisitas nya sedang. Hal ini dapat disebabkan adanya perdarahan
47
mikrovaskuler yang berkembang sangat cepat sesudah kejadian stroke iskemik akut, dimana
gambaran itu tidak terdeteksi oleh CT scan kepala pada awal onset serangan. Adanya perdarahan
mikrovaskuler disertai penyakit pembuluh darah kecil (yang biasanya asimptomatik) tersebut
merupakan faktor predisposisi untuk terbentuknya perdarahan baru (Jeon et al, 2009).
Pada penelitian ini didapatkan Nilai duga positif 60% artinya probabilitas seseorang
menderita stroke perdarahan sebesar 60% apabila uji diagnostik GFAP tinggi. Sebaliknya, nilai
duga negative menunjukkan probabilitas seseorang menderita stroke bukan perdarahan apabila
uji diagnostic GFAP nya rendah, pada penelitian ini sebesar 87,9%. Berdasarkan tabel 5.6.
didapatkan Likelihood ratio positif (LR+) 2,41 menunjukkan seberapa besar kemungkinan GFAP
memberikan hasil positif pada penderita stroke PIS dibandingkan pada penderita stroke iskemik.
Kemampuan suatu tes yang valid, bila dapat merubah pendapat kita dari apa yang kita pikikan
sebelum tes (pre-test probability) ke apa yang kita pikirkan setelah tes (post-test probability). Uji
diagnostik akan lebih berguna bila tes tersebut menghasilkan perubahan yang besar dari prê-test
probability ke post-test probability. Pada penelitian ini perubahan pre-test ke post-test probability
adalah sebesar 0,22% (0,59% - 0,37%). Disebutkan bahwa tes diagnostik yang menghasilkan
perubahan kecil pre test to post test probability adalah tidak penting. Penelitian ini menghasilkan
akurasi 72,6%. Kadar GFAP dapat terdeteksi dalam serum dengan onset yang berbeda pada
stroke perdarahan dan stroke iskemik. Pengetahuan tentang onset serangan yang tepat merupakan
faktor utama ada uji diagnostik ini. Penderita stroke dengan onset bangun tidur (“wake up
strokes”), kurang tepat untuk tes GFAP ini (Dvorak F, 2009).
Berdasarkan tabulasi silang (tabel 5.7.) yang membedakan kategori onset, didapatkan
angka sensitivitas tinggi (100%) pada onset kurang dari sama dengan 4 jam. Artinya
pemeriksaan kadar GFAP ini lebih sensitif untuk mengenali stroke perdarahan dari stroke bukan
48
perdarahan pada penderita yang datang sebelum atau pada onset 4 jam. Setelah lebih dari 4 jam,
angka sensitivitasnya menurun. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya Foerch C et al.
melalui BE FAST study bahwa analisis GFAP plasma pada penderita stroke onset kurang dari 4,5
jam dapat membedakan stroke PIS dan stroke iskemik. Penelitian yang lain menyatakan jendela
waktu dimana kadar GFAP serum yang meningkat sangat tinggi pada 6-12 jam setelah onset
serangan stroke, mengindikasikan bahwa itu adalah stroke PIS (Dvorak F et al, 2009). Pada
stroke iskemik integritas struktur sel-sel otak dan sawar darah otak masih bertahan lebih lama
setelah onset serangan. Kematian sel oleh karena nekrosis dan lisis belum muncul dalam 6-12
jam pertama setelah sumbatan pembuluh darah (Brunkhorst R et al, 2010).
Gambar 6.1. Pelepasan GFAP serum pada stroke PIS dan iskemik (diambil dari Dvorak F et al, 2009).
Pengamatan histopatologi yang lain menemukan pelepasan protein astroglial (S100β dan
GFAP) ke serum mencapai puncaknya 48-72 jam setelah onset stroke iskemik kemudian turun
dan menghilang dalam 3 bulan. Sedangkan pada stroke PIS, protein astroglia tersebut akan
mencapai puncak pada 6-12 jam dan langsung menurun drastis setelah onset 48 jam
( Wunderlich MT et al, 2006).
49
Kelebihan penelitian ini adalah temuan klinis yang dapat diterapkan untuk membantu
menegakkan diagnosis stroke, pada suatu kondisi yang tidak memungkinkan pelaksanaan CT
scan kepala, dimana kadar GFAP serum memiliki sensitivitas yang tinggi untuk membedakan
stroke PIS dari stroke iskemik. Namun demikian penelitian ini mempunyai beberapa
keterbatasan yaitu: penelitian ini adalah penelitian yang berbasiskan data di rumah sakit sehingga
pengambilan kesimpulan secara umum tidaklah bisa diambil secara mutlak dan pengambilan
data dilakukan secara consecutive sampling. Subyek penelitian dibatasi oleh onset, dimana
manfaat pemeriksaan GFAP ini sangat tergantung dari onset serangan stroke. Pemeriksaan kadar
GFAP serum saat ini, bukan merupakan pemeriksaan rutin sehingga untuk penerapannya masih
membutuhkan proses dan dukungan sarana penunjang.
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
50
Pemeriksaan kadar GFAP serum terhadap CT scan kepala mempunyai
sensitivitas 85,7% spesifisitas 64,4% akurasi 72,6%, nilai duga positif 60%, nilai duga
negatif 87,9% dan likelihood ratio 2,41 untuk membedakan stroke perdarahan dan iskemik
pada penderita stroke akut. Sensitivitas paling tinggi didapatkan pada penderita yang datang
pada onset kurang dari atau sama dengan 4 jam serangan.
7.2. Saran
1. Perlu penelitian uji diagnostik kadar GFAP serum terhadap CT scan kepala pada
penderita stroke akut dengan onset ≤ 4 jam untuk mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi..
2. Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan korelasi kadar GFAP serum pada stroke
PIS dengan volume hematoma, derajat fungsional dengan skor NIHSS, maupun outcome
dengan skala mRS.
3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan variabel klinis lain terhadap
kadar GFAP seum misalnya fungsi ginjal, infeksi atau faktor resiko vaskuler meliputi
dislipidemi dan merokok.
DAFTAR PUSTAKA
Abadier MZ, Eliwa GH, Moneim Mohamed MA, 2012. Plasma Glial Fibrilary Acidic Protein: A
Panel for Differential Diagnosis of Acute Stroke. Journal of American science 8(5): 267-272.
51
Biller J, Love BB, 2004. Vascular Disease of the Nervous System. In Bradley WG, et al (s).
Ischemic Cerebrovascular Disease. Neurology in Clinical Practice. 4th ed. Philadelphia:
Butterworth Heinemann, 1197-1948.
BioVendor Laboratory, 2006. Human GFAP ELISA. BioVendor Laboratory Medicine Inc,
Czech Republic.
Brockington CD, Zivin JA, 2004. Acute Medical Managemne of Ischemic Disease. In: Bradley
WG (Eds). Neurology in Clinical Practice, 4th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann, pp.
1197-1248.
Brouns R, De Deyn PP, 2009. The complexity of neurobiological processes in acute ischemic
stroke. Clin Neurol Neurosurg 111:483–95.
Brouns R, De Vil B, Cras P et al, 2010.Neurobiochemical Markers of Brain Damage in
Cerebrospinal Fluid of Acute Ischemic Stroke Patients. Clin Chemistry 56(3): 451-458.
Brunkhorst R, Pfeilschifter W, Foerch C, 2010. Astroglial protein as diagnostic markers of acute
intracerebral hemorrhage: Pathophysiological background and clinical findings. Trans Stroke Res
1: 246-251.
Butcher K, Emery D, 2010. Acute stroke imaging. Part I: Fundamentals. Can J Neurol Sci 37(1):
4-16.
Campbell WW, 2005. DeJong’s The Neurologic Examination 6 th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, pp.225-332.
Chen Y, Swanson RA, 2003. Astrocytes and Brain Injury. Journal of Cerebral Blood Flow and
Metabolism 23: 137–149
52
Dvorak F, Haberer I, Sitzer M, Foerch C, 2009. Characterisation of the diagnostic window of
serum glial fibrillary acidic protein for the differentiation of intracerebral haemorrhage and
ischaemic stroke. Cerebrovasc Dis. 27(1): 37-41.
Foerch C, Niessner M, Back T, Bauerle M, De Marchis GM, et al, 2012. Diagnostic Accuracy of
Plasma Glial Fibrilary Acidic Protein for Differentiating Intracerebral Hemorrhage and Cerebral
Ischemia in Patients with Symptoms of Acute Stroke. Clinical Chem 58: 1-10.
Goldstein LB, Adams R, Albert MJ, et al, 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke A
Guideline from the American Heart Association/ American Stroke Association Stroke Council:
Cosponsored by the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease Interdisciplinary Working
Group; Cardiovascular Nursing Council; Clinical Cardiology Council; Nutrition, Physical
Activity, and Metabolism Council; and the Quality of Care and Outcomes Research
Interdisciplinary Working Group. Stroke 37: 1583-1633.
Gilroy J, 2000. Cerebrovascular Disease. In: Gilroy J (Eds), Basic Neurology, 3rd ed. New York:
McGraw Hill, pp 225-236.
Greenberg MS, 2006. Handbook of neurosurgery: Intra cranial pressure monitoring 6th ed. New
York: Thieme medical publisher: pp 649-652.
Gusev E, Skvortsova, 2003. Haemodynamic Events Associated with Acute Focal Brain Ischemia
and Reperfusion. In Brain Ischemia 1st ed. New York: Kluwer Academic/Plenum Publisher,
pp.1-72.
Herrmann M, Vos P, et al, 2000. Release of Glial Tissue-spesific Protein after Acute Stroke: A
Comparative Analysis of Serum Concentrations of Protein S100β and Glial Fibrilary Acidic
Protein. Stroke 31: 2670-2677.
53
Hua Y, Keep RF et al., 2007. Brain Injury After Intracerebral Hemorrhage: The Role of
Thrombin and Iron. Stroke 38[ 2]:759-762.
Inaji M et al., 2003. Chronological Changes of Perihematoma Edema of Human Intracerebral
Hematom. Acta Neurochir Suppl ; 86: 445– 448.
Informasi Teknologi PT Buana RSUD Dr.Soetomo Surabaya.
Islam MS, 2000. Patofisiologi Stroke, edisi pertama. Surabaya: 1-10
Jensen MB, Chacon MR, Sattin JA, 2009. Potential Biomarkers for the Diagnosis of Stroke.
Expert Review Cardiovasc. Ther 7(4): 389-393.
Jeon SB, Kwon SU, Cho AH, Yun SC, et al, 2009. Rapid Appearance of New Cerebral
Microbleeds after Acute Ischemic Stroke. Neurology 73 (20): 1638-1644.
Kenneth R.et al., 2003. Heme and Iron Metabolism: Role in Cerebral Hemorrhage Review
Articl. Journal of Cerebral Blood Flow & Metabolism 23:629–652.
Li L, Lundkvist A, Andersson D, Wilhelmsson U, Nagai N, Pardo AC, Nodin C, et l, 2008.
Protective Role of Reactive Astrocytes in Brain Ischemia. J Cereb Blood Flow Metab 28: 468–
481.
Lindsay KW, Bone I, 2003. Neurology and Neurosurgery Illustrated 4th ed. Philadelphia:
Elsevier science, pp. 257-259.
Lyden PD, 2001. Mechanisms of thrombolysis. In: Thrombolytic therapy for stroke. New
Jersey: Humana Press, pp 11-13.
McCandless DW, 2008. Metabolic Encephalopathy 3rd ed. Chicago : Springer science, pp.111-
115.
Michael VS, Harry VV, 2010, Astrocytes: Biology and Pathology. Acta Neuropathol 119: 7-35.
54
Misbach, J. 2000. Stroke in Indonesia: a first Large Prospective Hospital-Based Study of Acute
Stroke in 28 Hospitals in Indonesia. Journal of Clinical Neurosciences 8: 245-249.
Missler U,Wietmann M,Wiesmann, G, 2004. Measurement of Glial fibrilary acidic protein in
Human Blood: Analytic Method and Preliminary Clinical Results. Clinical chemistry J. 45: p
138-141.
Nedergaard M, Ransom B, Goldman SA , 2003. New Roles for Astrocytes: Redefining the
Functional Architecture of the Brain.Trends Neurosciences 26:523–530.
Ohab JJ, Fleming S, Blesch A, Carmichael ST, 2006. A Neurovascular Niche for Neurogenesis
after Stroke. J Neurosciences 26: 13007–1301.
Pelinka LE, Kroepfl A, Krenn M, Buchinger W, Redl H, Raabe A, 2003. Glial Fibrilary Acidic
Protein in Serum after Traumatic Brain Injury. In: Biochemical Markers for Brain Damage.
Lund Sweden: Lund University Hospital, p. 69.
Pekny M, Pekna M, 2004. Astrocyte intermediate filaments in CNS pathologies and
regeneration. J Pathol 204:428–437.
Power W, 2010. Intracerebral Hemorrhage and Head trauma : Common effect and Common
Mechanisme of Injury. Stroke; 41;107-110.
Qureshi A, 2009. Intracerebral Haemorrhage Lancet ; 373: 1632–1644.
Sacco et al, 2002. Stroke Risk Factor: Identification and Modification in Stroke Therapy 2nd ed.
Boston: Butterworth-Heinemann, pp 1-23.
Saenger AK, Christenson RH, 2010. Stroke biomarkers: Progress and challenges for diagnosis,
prognosis, differentiation, and treatment. Clinical Chemistry 56(1): 21-33.
55
Sastroasmoro S, Ismael S, 2002. Dasar-dasar Metodologi Klinis. Edisi kedua. Jakarta: Sagung
Seto, hlm 259-287.
Schummers J, Yu H, Sur M, 2008. Tuned responses of astrocytes and their influence on
hemodynamic signals in the visual cortex. Science 320:1638–1643.
Simard M, Nedergaard M, 2004. The Neurobiology of Glia in the Context of Water and Ion
Homeostasis. Neuroscience 129: 877– 896.
Sofroniew MV, 2009. Molecular dissection of reactive astrogliosis and glial scar formation.
Trends Neurosci 32:638–647.
Takano T, Oberheim N, Cotrina ML, Nedergaard M, 2009. Astrocytes and ischemic injury.
Stroke 40: S8–12.
Testai FD, Aiyagari V, 2008. Acute Hemorrhagic Stroke Pathophysiology and Medical
Interventions: Blood Pressure Control, Management of Anticoagulant-associated Brain
Hemorrhage and General Management Principles. Neurol Clin 26: 963– 85.
Wei JW, Arima H, Anderson CG, 2010. Significance of Perihematomal in Acute Intracerebral
Hemorrhage. European Neurological Journal 2(2): 121-130.
Wunderlich MT, Wallesch CW, Goertler M, 2006. Release of Glial Fibrilary Acidic Protein is
related to the neurovascular status in acute ischemic stroke. J Neurol 13: 1118-23.
Xi G, 2001. Mechanism of Edema Formation After Intracerebral Hemorrhage Efect of
Extravasated Red Blood cells on Blood flow and Blood-Brain Barrier Intergrity. Stroke 32:
2932-2938.
56
Lampiran 1
LEMBAR INFORMASI DAN PERSETUJUAN PENDERITA
Penjelasan untuk mendapatkan persetujuan ( Information for consent ):Kode Studi : ……………………………………………….Inisial penderita :………………………………………………..Dalam lembar informasi & persetujuan ini yang dimaksud dengan :
57
- Anda adalah penderita atau wakil keluarga penderita yang dapat diterima secara hukum (wakil yang sah) dari penderita yang mengalami stroke akut yang inisialnya tercantum di atas dan memenuhi persyaratan dalam penelitian ini.
- Anda atau keluarga anda mengalami stroke akut dan memenuhi persyaratan dalam penelitian ini.
Anda atau keluarga anda ditawarkan untuk ikut dalam penelitian ini. Sebelum anda memutuskan untuk ikut serta, anda harus mengerti mengapa penelitian ini dilakukan, bagaimana informasi yang didapat dari penderita yang terlibat dalam penelitian dan kemungkinan keuntungan yang diterima, serta resiko yang mungkin terjadi. Bacalah informasi berikut dengan seksama dan jika anda inginkan, anda dapat mendiskusikan dengan keluarga / dokter keluarga anda.
Apa latar belakang dan tujuan penelitian ini?Anda atau keluarga anda ditawarkan untuk ikut serta dalam penelitian ini karena anda
atau keluarga anda menderita stroke akut. Pengambilan darah pada penderita stroke akut bertujuan untuk pemeriksaan kadar GFAP (Glial Fibrilary Acidic Protein) . GFAP adalah suatu komponen protein yang terdapat di astrosit, penting untuk menandai terjadinya kerusakan sistem saraf sejak dini pada stroke akut. Harapan penelitian ini adalah GFAP dapat menjadi alat diagnostik untuk membedakan stroke perdarahan dengan stroke iskemik lebih cepat.
Apa saya atau keluarga harus ikut serta?Adalah keputusan anda, untuk memutuskan apakah anda atau keluarga anda ikut serta
atau tidak dalam penelitian ini. Apabila anda memutuskan untuk ikut serta , maka anda diberi lembar informasi dan persetujuan tertulis ini untuk ditandatangani, meskipun anda sudah memutuskan untuk ikut serta, anda tetap bebas untuk mengundurkan diri kapan saja tanpa harus memberikan alasan. Hal ini tidak mempengaruhi standar pengobatan yang akan anda atau keluarga anda terima.
Sebaliknya, dokter peneliti juga dapat menghentikan keikutsertaan anda atau keluarga anda dalam penelitian ini apabila keputusan tersebut dianggap yang terbaik untuk anda atau keluarga anda. Keikutsertaan anda atau keluarga anda juga dapat dihentikan jika anda atau keluarga anda tidak lagi memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam penelitian ini.
Jika anda atau keluarga anda tidak ingin diikutsertakan dalam penelitian ini, anda atau keluarga anda tetap mendapatkan pelayanan standar untuk penyakit anda atau keluarga anda tersebut.
Apa yang terjadi pada saya atau keluarga saya bila ikut serta? Penelitian ini dilakukan saat fase akut dari penyakit stroke. Anda atau keluarga anda
akan diambil sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan kadar GFAP
Prosedur Penelitian :Dokter peneliti akan menentukan anda atau keluarga anda masuk dalam kriteria
penelitian atau tidak. Bila masuk kriteria, maka dokter peneliti akan melakukan pemeriksaan kadar GFAP.
58
Apa kemungkinan efek samping dan resiko yang terjadi selama ikut penelitian?Efek samping dari penelitian ini hampir tidak ada. Ada beberapa efek samping dari
pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar GFAP, yaitu resiko nyeri saat ditusuk jarum dan infeksi. Tetapi kemungkinan resiko ini sangat kecil karena dilakukan oleh tenaga laboratorium yang kompeten dan terlatih.
Apa keuntungan yang mungkin diperoleh bila saya atau keluarga saya ikut serta?Dengan mengetahui kadar GFAP, dapat mendiagnosis stroke dengan cepat dan
diharapkan dapat memulai terapi yang tepat dengan cepat sehingga dapat mencegah disabilitas baru, disabilitas yang lebih berat atau bahkan kematian akibat stroke.
Siapa yang harus saya hubungi jika membutuhkan informasi/bantuan ?Jika anda atau keluarga anda mengalami masalah yang berhubungan dengan penelitian
atau kapan pun anda mempunyai pertanyaan mengenai penelitian ini atau tentang kondisi yang digunakan dalam penelitian ini, maka dapat menghubungi kami
Yudityarini Priyanto, dr No telepon : 08123042714
Lampiran 2
SURAT PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
59
Nama :
Jenis kelamin : laki-laki/wanita
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
No DMK :
Setelah mendapatkan penjelasan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian “Uji Diagnostik
kadar GFAP serum terhadap CT Scan kepala pada penderita stroke akut” disertai kesempatan
mengajukan pertanyaan mengenai penelitian tersebut, maka secara sukarela dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan menyatakan kesediaan untuk ikut dalam penelitian tersebut.
Surabaya, 2012
NAMA TANDA TANGANSUBYEK
SAKSI
PENELITI
Lampiran 3
LEMBAR PENGUMPUL DATA
1. Nama/umur :
2. Jenis kelamin :
60
3. No. DMK :
4. Alamat/ telp :
5. Tanggal pemeriksaan / pukul :
6. Anamnesis :
a. Onset Stroke :
b. Riwayat infark miokard :
c. Riwayat hipertensi :
d. Riwayat DM :
e. Riwayat stroke /TIA 3 bulan yg lalu :
f. Riwayat trauma kepala 3 bln yg lalu :
g. Riwayat tumor serebri :
7. Pemeriksaan :
a. Vital sign : Tensi : mmHg, Nadi : x/mnt (reg/irreg)
RR : x/mnt Temp ax : oC
b. Pemeriksaan neurologis
GCS :
Meningeal sign :
Pupil, r.cahaya :
Nn. Cranialis :
Kekuatan motorik :
Sensorik :
R. fisiologis :
R. patologis :
Sist.otonom :
c. Pemeriksaan laboratorium
61
- Darah lengkap :
- GDA :
- BUN/ SK :
- SGOT/ SGPT :
- Albumin :
- Na/ K/ Cl :
- GFAP :
d. Neuroimaging- CT Scan kepala :
e. Diagnosis Etiologi :
Lampiran 4
SURAT PERSETUJUAN PENGAMBILAN DARAH
62
Setelah mendapatkan informasi secukupnya dengan mengetahui dan mempertimbangkan
segala efek samping dari pemeriksaan darah, saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Alamat :
No.Telp/Hp :
menyatakan bersedia diambil darah pada diri saya sendiri/ istri/ suami/ ayah/ ibu/ anak/ saudara
saya dengan:
Nama :
Umur :
Alamat :
untuk pemeriksaan kadar GFAP serum, DL dan Kimia klinik rutin.
Surabaya,…………….…2012
Mengetahui Yang membuat kesediaan
(……………………….) (…………………………)
63