-
ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun Oleh:
DANI TIRTANA
NIM: 101044222184
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM (AKI)
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2008/1429 H
-
ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Disusun Oleh:
Dani Tirtana
NIM: 101044222184
Dibawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Asmawi, M. Ag NIP: 150282394
Ah. Azharuddin lathif, M. Ag NIP: 150318308
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM (AKI)
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2008/1429 H
-
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Izin Poligami” (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tentang Izin Poligami) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada hari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Administrasi
Keperdataan Islam. Jakarta, 2008
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
Panitia Ujian
1. Ketua : Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM ( ………………) NIP. 150 210 422
2. Sekretaris : H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ………………) NIP. 150 290 159
3. Pembimbing I : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA. ( ………………) NIP: 150 169 102
4. Pembimbing II : DR. Euis Nurlaelawati, MA. ( ………………) NIP: 150 277 992
5. Penguji I : Drs. Noryamin Aini, MA. ( ………………) NIP. 150 247 330
6. Penguji II : Kamarusdiana, S.Ag. MH. ( ………………) NIP. 150 285 972
-
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil'alamiin, segala puji hanya diserahkan kepada Allah swt. yang
telah mensyariatkan hukum Islam kepada umat manusia. Shalawat dan salam,
semoga Allah melimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai pembawa syari'at
Islam untuk diimani, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis bersyukur telah dapat merampungkan penyusunan
skripsi ini yang berjudul “ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN ”.
. Sebagai seorang insan sosial, tentunya penulis tidak luput dari pertolongan
orang lain. Untuk itu penulis menghaturkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya
kepada:
• Bapak Prof. DR. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para
jajarannya.
• Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Program Studi dan Bapak
Kamarusdiana S, Ag, MH. selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
• Bapak Asmawi, M. Ag. dan Bapak Ah. Azharuddin lathif, M. Ag. selaku
pembimbing skripsi yang telah meluangkam waktu dan pikiran selama
membimbing skripsi.
-
• Segenap Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan program studi Ahwal
Syakhsiyyah, khususnya pada konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
• Segenap jajaran karyawan akademik fakultas dan universitas, berikut jajaran
karyawan perpustakaan fakultas dan universitas.
• Segenap jajaran pimpinan dan staf Pengadilan Agama Jakarta Selatan (bpk
Mardani) yang telah membantu dalam proses kelengkapan semua data skripsi.
• Keluarga tercinta; Ayahanda Sahlan dan Ibunda Tuningsih, Nenny, Fera, Wiwin
(Bonghe), yang tidak henti-hentinya memberikan motivasi materil dan moril
sehingga akhirnya penulis dapat juga menyelesaikan studi di perguruan tinggi.
• Rekan-rekan AKI angkatan 2001 senasib dan seperjuangan. Hari-hari nan indah
terkenang selalu bersamamu. Semoga sukses!!.
• Keluarga besar Paduan Suara Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membentukku layaknya alat musik padang yang harmonis dan lantang.
Bagiku kaulah keluarga kedua bagiku. Aishiteru!.
• Keluarga besar mahasiswa (KBM UIN Jakarta), keluarga besar perkampungan
UKM, dan organ extra kampus yang memberikanku wacana keutuhan mahasiswa.
Beserta juga, konco-konco Rt soeboeh Apartemen; Basis, linghapas, zidade,
walden, kencru, fikri & semuanya.
-
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi para pembaca umumnya. Amin.
Ciputat, 27 Ramadhan 1429 H
Penulis
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..... v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….……………….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………….………………... 7
D. Metode Penelitian …...………………………………………... 7
E. Sistematika Pembahasan…….………………………………...... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI ………………. 10
A. Pengertian Poligami……………………………………......... 10
B. Tradisi Poligami sepanjang sejarah………………………….. 14
C. Pengaturan Poligami Dalam Hukum Islam……………...…… 16
BAB III MASALAH POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN DI INDONESIA……………………………… 29
A. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 …..……………………….... 29
B. Menurut UU No. 3 Tahun 2006………………………………. 36
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) …….………………. 39
D. Menurut PP No 10 Tahun 1983……………………………….. 44
BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN
POLIGAMI……………………………………………………… 50
A. Deskrifsi….…………………………………………………... 50
-
B. Analisis …………………………………………….………… 55
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 68
Kesimpulan………………………………………………… ……. 68
Saran-Saran……………………………………………………...… 71
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 74
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan adalah membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Oleh karena itu, untuk mewujudkannya
suami istri harus saling membantu dan saling melengkapi agar masing-masing dapat
berkembang guna mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Dari pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan
memiliki dua aspek yaitu:
1. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ‘ikatan lahir
bathin’, yang artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan
secara lahir tampak, juga mempunyai ikatan lahir bathin yang dirasakan
terutama oleh orang yang bersangkutan dan ikatan bathin ini mempunyai inti
perkawinan itu;
2. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya ‘membentuk keluarga’ dan
berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai
1 Presiden Republik Indonesia, Undang-undang no. 1 Tahun 1974, bab. I, pasal. 1, h. 1
-
hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur
jasmani tapi unsur bathin berperan penting.2
Prinsip perkawinan menurut Undang-undang perkawinan tahun 1974 adalah
Monogami, sedangkan poligami merupakan pengecualian. Prinsip hukum Islam
mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah. Namun demikian dalam
pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi dengan keadilan terhadap isteri dengan
penuh tanggung jawab.
Al-Qur’an menerangkan poligami dalam surat An-Nisaa ayat 3:
☺
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(An Nisaa: 3)
Fenomena poligami dalam masyarakat, kebanyakan dipicu untuk melegalkan
hubungan cinta kepada yang lain untuk menjadi pasangan hidup yang kedua. Ketika
cinta sudah bersemi dilain hati, maka tak satu aral pun yang mencegal untuk
membina hubungan tersebut, namun apa yang terjadi dalam kasus tersebarnya video
2 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 10-11
-
porno adegan mesum antara tokoh politik YZ dan penyanyi dangdut ME, seakan
memberi ruang introspeksi bahwa peraturan perundang-undangan yang kita punya
mungkin terlalu memberatkan untuk melegalkan cinta yang lain.3 Begitu juga
peristiwa heboh yang terjadi hampir bersamaan di negeri ini yaitu; keputusan da’i
kondang AA Gym untuk berpoligami.
Dari kalangan liberal dan penyeru feminisme seakan dengan poligaminya AA
Gym, mereka mendapatkan momentum memobilisasi emosional kaum hawa guna
menolak syari’at poligami dengan teriakan sekeras-kerasnya. Lebih-lebih, mereka
mendapatkan dukungan media yang lumayan banyak dan kompak. Ironisnya, mereka
juga memaknai dalil-dalil Al Quran dan hadits secara serampangan. Mereka
memahaminya dari persfektif gender quality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap
laki-laki. Sehingga, yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat
pemberontakan terhadap laki-laki dalam segala hal.4
Poligami dalam perundang-undangan dijelaskan pada pasal 3 ayat 2 undang-
undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yakni “Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan”. Apabila ditelaah, pasal tersebut memberikan
implikasi, bahwa poligami dapat dilakukan seorang pria dengan persyaratan undang-
undang.
3 Sulaiman Al-Kumayi, Aa Gym Diantara Pro - Kontra Poligami, Pustaka Adnan: Semarang,
cet. I, Januari 2007, h. 6 4 Ibid, h. 7
-
Persyaratan poligami tersebut diatur dalam undang-undang pada UU no. 1
tahun 1974 pada pasal 4 dan 5. Berikut juga mengenai tata cara pelaksanaanya dalam
peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 tentang penjelasan undang-undang 1 tahun
1974 bab VIII pasal 40-44. Kemudian juga dalam peraturan pemerintah no. 10 tahun
1983 mengenai pernikahan dan perceraian pegawai negeri sipil pada pasal 4 dan 5.
Selain itu diterangkan juga melalui instruksi presiden R.I no. 1 tahun 1991 tentang
penyebaran kompilasi hukum Islam bab IX pasal 55-59 yang dikenal dengan KHI.
Dari semua peraturan perundang-undangan yang mengatur poligami diatas
adalah latar belakang pengambilan keputusan ketika suami meminta izin poligami di
Pengadilan Agama.
Fakta menarik dalam masyarakat mengenai alasan-alasan poligami, cenderung
mengedepankan hal-hal materil yang menjadi tolak ukur kemampuan materi
berpoligami. Jika tidak mempunyai materi yang banyak, maka diharamkan poligami.
Padahal hal tersebut bukan tujuan terpenting yang dimaksud dalam esensi poligami
melainkan alasan-alasan itu sudah mendarah daging dalam mencermati poligami, atau
disebut dengan material –minded.
Alasan-alasan poligami yang terjadi di Pengadilan Agama, pada umumnya
sesuai dengan apa yang telah diungkapkan dalam undang-undang no. 1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 4 ayat 2 yakni diantaranya:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
-
3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Namun pada faktanya, terdapat salah satu putusan yang dianggap di luar
ketentuan syarat diatas seperti alasan yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dalam memberikan putusan izin poligami. Diantaranya alasan-alasan tersebut
sesuai dengan pasal 4 ayat 2 UU.no.1 tahun 1974 tentang perkawinan diatas, namun
terdapat juga alasan-alasan diluar ketentuan undang undang yang tertulis secara
formil.
Melihat dari esensi UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 4
ayat 2 dan pasal 5 juga diterangkan dalam PP no. 9 tahun 1975 tentang penjelasan
dari UU no. 1 tahun 1974 adalah meskipun syarat-syarat kumulatif telah terpenuhi,
tidak menjadi kebolehan secara langsung mengabulkan permohonan termohon karena
alasan yang dimaksud dalam izin poligami juga ada syarat-syarat alternatif.
Begitupun ketika alasan syarat-syarat alternatif telah terpenuhi sedangkan suami tidah
memenuhi persyaratan kumulatif, maka menjadi ketidakbolehan mengabulkan
permohonan termohon untuk berpoligami.
Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar
aktualisasi hukum tetap dan juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya
poligami yang tidak disertakan dengan alasan yang tepat. Maka timbul persepsi
ketidakkonsistenan Peradilan Agama dalam memberikan izin poligami karena secara
-
fakta mengizinkan pemohon berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan
alasan perundang-undangan diatas.
Melihat kenyataan diatas, melalui pengamatan sementara penulis bahwa
adanya indikasi ketidakkonsistenan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dalam memberikan izin poligami melalui putusan-putusan yang ada. Karena kondisi
obyektif putusan perkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, terdapat putusan yang
diantaranya tidak disertakan alasan yang jelas sehingga perlu diteliti dengan akurat.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih
dalam tentang izin poligami yang ada di Pengadilan Agama. Dalam hal ini penyusun
beri judul:
“ANALISIS YURIDIS IZIN POLIGAMI DALAM PUTUSAN
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, melihat adanya putusan yang tidak disertai alasan
yang tepat pada putusan hakim dengan nomor perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS,
Sehingga timbul persepsi ketidakkonsistenan hakim dalam memberikan izin
poligami, maka penelitian ini terbatas pada alasan-alasan apa yang menjadi
-
pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mengabulkan
izin poligami.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaturan poligami dalam hukum Islam?
b. Bagaimana undang-undang mengatur poligami?
c. Apakah hasil keputusan Pengadilan Agama telah konsisten dengan hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk memberikan gambaran yang utuh tentang pengaturan poligami dalam Islam
dan hukum perkawinan di Indonesia.
b. Untuk memberikan gambaran yang utuh dalam menganalisa putusan izin poligami.
2. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Hakim untuk meninjau lagi alasan-
alasan pemberian izin poligami.
b. Menjadi bahan kajian pemerintah agar meninjau kembali undang-undang
perkawinan yang dianggap kurang tegas dalam memberikan acuan izin poligami.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif. yaitu, penelitian tehadap asas-
asas hukum yang tercantum dalam undang-undang dengan pendekatan case
-
approach. Hal ini karena pendekatan kajiannya adalah perundang-undangan.
Kemudian metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analisis dimana peneliti
akan mendeskripsikan masalah, setelah itu menganalisanya.
1. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua jenis. Yaitu:
a. Data Primer. Yaitu didapat dari putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
wawancara dengan juru bicara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
b. Data Sekunder. Yaitu data-data kepustakaan atau dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen-dokumen yang dimaksud
antara lain: Al Qur’an, Al Hadits, buku-buku karangan ilmiah, perundang-
undangan, dan peraturan pemerintah yang lainnya yang erat kaitannya dengan
masalah yang diajukan.
3. Tehnik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tehnik
analisis kualitatif. Ini karena mempergunakan analisis isi berupa data dokumen,
naskah, dan literatur lainnya.
Adapun tehnik penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan
karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet. I, Januari 2007.
E. Sistematika Pembahasan
Agar lebih terarah dalam pembahasan skripsi ini, penulis membuat
sistematika sesuai dengan kebutuhan masing-masing bab dan membaginya menjadi
-
lima bab. Masing-masing bab dimungkinkan terdiri dari beberapa sub bab yang
merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun sistematika penyusunannya yaitu:
BAB KESATU Bab ini berisi pembahasan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, methode penelitian, dan
sistematika pembahasan.
BAB KEDUA Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang poligami.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperoleh konsep dasar
yang berkenaan dengan pokok masalah penelitian beserta
tinjauan dari berbagai hukum yang berlaku.
BAB KETIGA Berbicara mengenai izin poligami, Pembahasan ini
dimaksudkan untuk memperoleh konsep dasar dalam
mempertajam analisis. Bab ini mencakup poligami dalam UU
No. 1 Tahun 1974, UU No. 3 Tahun 2006, dan Kompilasi
Hukum Islam. berikut juga PP No 10 Tahun 1983 tentang
perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil..
BAB KEEMPAT Berisi tentang analisis terhadap putusan Hakim di Pengadilan
Agama tentang perizinan poligami. Bab ini merupakan inti
pembahasan dalam skripsi ini, yang dimaksudkan untuk
memperoleh jawaban yang konkrit dari pokok masalah serta
-
mengantarkan pada bab selanjutnya. Bab ini mencakup tentang
deskripsi kasus dan analisis.
BAB KELIMA Merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
-
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami
Kata “poligami” berasal dari bahasa Yunani pecahan kata dari “poly” yang
artinya banyak, dan “gamein” yang berarti pasangan, kawin atau perkawinan. Secara
epistemologis poligami adalah “suatu perkawinan yang banyak” atau dengan kata
lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari seorang, seorang laki-laki yang
memiliki isteri lebih dari satu isteri pada waktu bersamaan.5 Dalam kamus besar
bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami adalah ikatan perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan
poligami.6
Dalam Islam poligami dikenal dengan istilah ta’adudu zaujah yang artinya
adalah bertambahnya jumlah istri.7 Dengan demikian poligami dapat dikatakan
perkawinan yang tak terbatas. Term ini sebenarnya punya makna umum, yaitu
5 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka 1998), h. 799 6 W. J. S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1984),
h. 693 7 Muhammad Jawad Mughniyah, terjemah al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, penejemah:
Masykur A.B Afif Muhmmad, Idrus al-Kaf terbitan Dar al-Jawal Beirut, (PT Lentera Basritama) cet. V 2005, h. 332
-
memilki dua orang atau lebih isteri dalam waktu yang bersamaan. Adapun kebalikan
dari bentuk perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan dimana suami
hanya memiliki satu orang isteri.8
Dalam Islam poligami mempunyai arti mempunyai isteri lebih dari satu,
dengan batasan umum yang telah ditentukan. Al- Quran memberi penjelasan empat
untuk jumlah isteri meskipun ada yang mengatakan lebih dari itu. Perbedaan tersebut
disebabkan karena perbedaan penafsiran tentang ayat yang menyatakan
diperbolehkannya poligami.
Dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh dengan proses sejarah
poligami dan juga hal- hal yang berkaitan dengan konsep tujuan berpoligami.
Bangsa Arab dan non-Arab sebelum Islam datang sudah terbiasa berpoligami.
Ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam
memberi arahan untuk berpoligami yang berkeadilan sejahtera. Dalam Islam poligami
bukan wajib, tapi mubah, berdasar antara lain firman Allah SWTdalam surat An-
Nisaa’ ayat 3.9
Sayyid Qutb berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam kehidupan hal-
hal yang tidak dapat dipungkiri dan dilewatkan keberadaannya, seperti halnya;
melihat masa subur laki-laki yang berlangsung sampai umur 70 tahun atau diatasnya,
sementara kesuburan seorang perempuan berhenti ketika sudah mencapai umur 50
8 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, (Yogyakarta : Al –Kutsar 1999), cet. I h. 71 9 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Anatara Jodoh, Poligami Dan Perselingkuhan, (Pustaka Al-
Kautsar: Jakarta 2007), Cet. I, h. 119
-
tahun atau sekitarnya, maka dari itu terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur laki-
laki dibanding masa subur perempuan.10
Selain itu menyikapi kondisi faktual kemandulan seorang istri, ketika seorang
laki-laki mendapatkan perempuan mandul dan pada waktu itu pula ia mengakui
kemandulannya, di lain pihak ia mendambakan keluarga sejahtera yang memiliki
anak-anak sehat dan lucu, maka, tidak dapat dipungkiri menyadari atas
kekurangannya ia akan merelakan suaminya untuk berkeluarga lagi dengan harapan
berlanjutnya jalinan kekeluargaan antara dirinya dengan suaminya walaupun ia akan
memendam kesesalan dan kesusahan dalam dirinya.
Timbul alasan ini akan meneruskan hubungan persaudaraan dan kehidupan
yang sejahtera serta mengontrol masyarakat dari keberpihakan kepada desakan
kepentingan dan keinginan yang beragam.11
Opini masyarakat Islam mengenai kebolehan berpoligami yaitu, anggapan
jumlah perempuan yang semakin bertambah dibanding jumlah laki-laki yang ada
tersebutkan dalam rasio perbandingan 1:3. Dengan alasan tersebut para ulama
berpendapat bahwa tujuan ideal Islam dalam perkawinan adalah monogami. Tentang
konsep poligami yang jelas-jelas tertulis dalam Al- Qur’an itu, menurut sebagian
mereka hanyalah karena tuntutan zaman ketika masa nabi, yang ketika itu banyak
anak yatim atau janda, yang ditinggal bapak atau suaminya. Sedang sebagian
pendapat yang lain kebolehan poligami hanyalah bersifat darurat atau kondisi
10 Abu Usamah Muhyidin, Abu Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Ajaran
Islam, (Yogyakarta, Sketsa: 2006), cet. I, h. 28 11 Ibid, h. 31-32
-
terpaksa, sembari mengingatkan, agama adalah kesejahteraan (maslahah) bagi
pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat atau kesusahan. Darurat
dikerjakan hanya kalau sangat terpaksa. Ditambahkan dari kondisi ini, satu hal yang
perlu dicatat, menolak kesusahan atau kemudharatan harus didahulukan daripada
mendapatkan kesejahteraan (kemaslahatan).12
Mukti Ali, pada saat menjabat sebagai Menteri Agama menyatakan bahwa,
mengibaratkan sebuah pesawat terbang yang telah mempunyai peralatan navigasi
yang seba komplit dengan crew-nya yang cukup. Tetapi pesawat itu tidak
diperkenankan terbang kalau tidak dilengkapi dengan ‘pintu darurat’. Jadi di samping
pintu biasa, pesawat itu harus memiliki pintu darurat. Oleh karena itu, kalau orang
hendak keluar/masuk atau naik pesawat terbang harus mempunyai pintu biasa, jangan
melalui pintu darurat. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa, maka pintu
darurat itu dibuka, dan ke sanalah dengan segala persiapan orang baru keluar pesawat
terbang. Begitupun dengan poligami itu bukan suatu yang diperintahkan begitu saja,
tetapi memiliki hukum dan aturan tertentu.13
Penetapan dasar hukum selain surat An- Nisaa ayat 3 mengenai kebolehan
poligami, juga didasari oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam pasal
3, 4, dan 5 UU No.1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang bersangkutan
mengenai poligami karena jelas tertera alasan-alasan yang dimaksud, berikut juga
persyaratan-persyaratannya.
12 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Anatara Jodoh, Poligami Dan Perselingkuhan, h. 117 13 Mukti Ali dalam Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Islam, h. 33
-
B. Tradisi Praktek Poligami Sepanjang Sejarah
Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu sebelum
agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami merupakan hal yang
biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang
Eropa yang sekarang kita sebut Russia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia,
Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa
berpoligami. Demikian juga bangsa timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka
juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang
melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku
sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam,
seperti Afrika, India, China, dan Jepang. Tidaklah benar kalau poligami hanya
terdapat di negeri-negeri Islam.14
Di India praktek poligami sangat dominan terutama di kalangan kerajaan,
pembesar, atau oarang-orang kaya. Bagi mereka poligami merupakan peraturan
alternatif jika istrinya mandul atau dianggap pemarah atau emosional. Di kalangan
bangsa mesir kuno poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji
akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama jika nanti
14 Hasan Aedy, Poligami Syaria’ah Dan Perjuangan Kaum Perempuan, Alfabeta: Bandung,
Cet. I, Agustus 2007, H. 60
-
suami berpoligami. Apabila nanti dia menikah lagi, dia terkena peraturan yang
berlaku.15
Bentuk poligami yang dilakukan, ada dalam bentuk seorang laki-laki
mengawini lebih dari seorang wanita, dan ada dengan bentuk seorang laki-laki yang
telah mempunyai seorang isteri atau lebih, juga mempunyai seorang atau beberapa
gundik. Gundik-gundik ini kadang-kadang mempunyai fungsi sebagai isteri.16
Dalam aturan “Likci” China, poligami dibolehkan sampai 130 (seratus tiga
puluh) isteri. Bahkan salah seorang raja China mempunyai 30.000 isteri.17 Begitu
juga bangsa Babylonia, India, Syiria, dan Mesir, sebagian bangsa tersebut tidak
memiliki batas tertentu dalam jumlah nominal isteri.
Seperti dikatakan sebelumnya, poligami juga tidak hanya ada pada suku
bangsa beragama Islam, tetapi juga pada suku bangsa beragama Kristen yang pada
dasarnya tidak melarang poligami, karena tidak ada keterangan yang jelas mengenai
pelarangan poligami dalam kitab injil.18
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami karena tidak ada
satu ayat pun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang Kristen
di Eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa
Eropa -yang kebanyakan Kristen- pada mulanya seperti orang Yunani dan Romawi
15 Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, (Gema Insani Press: Jakarta 1997),
cet. 2, h. 35 16 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1974), cet. I, h. 31 17 Abdullah Nasih ‘Ulwan, Hikmah Poligami Dalam Islam, (Jakarta: Studio Press, 1997), h.
11 18 Ibid, h.11-12
-
sudah lebih dulu melarang poligami, mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka
yang melarang poligami. Dengan demikian peraturan tentang monogami atau kawin
dengan satu orang isteri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri
mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka
menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan
menganggapnya sebagai peraturan dari agama.19
Pelarangan poligami oleh agama Kristen cenderung mengikuti tradisi yang
berlaku di wilayah dimana agama Kristen itu berkembang, seperti di Eropa,
masyarakat disana cenderung kepada monogami karena menurut mereka monogami
lebih menjamin akan terjaganya keutuhan keluarga. Berdasarkan hal tersebut tokoh-
tokoh kristen memberikan penafsiran ayat-ayat yang menjelaskan masalah
perkawinan, sehingga akhirnya poligami dipandang haram padahal pengharaman
poligami di Eropa tersebut menyebabkan terjadinya perzinahan, perselingkuhan, dan
pelacuran dimana-mana.
C. Pengaturan Poligami Dalam Hukum Islam
a. Hukum Poligami Dalam Islam
Saat ini sudah merupakan hal yang biasa dan patut disesalkan, bahwa kaum
muslimin dewasa ini banyak menentang poligami. Poligami dituduh sebagai
pemboros harta atau sebagai pengumbar nafsu yang berlebihan dan tuduhan-tuduhan
lain yang menempatkan poligami pada tempat yang buruk. Hal ini membuktikan
bahwa orang-orang yang membenci Islam telah berhasil menyebarkan isu bahwa
19 H.S.S Al- Hamdani, Risalatun Nikah (Risalah Nikah), Raja Murah, Pekalongan, 1980, h. 72
-
poligami adalah eksploitasi golongan laki-laki terhadap golongan perempuan yaitu
hanya memuaskan hawa nafsu mereka. Padahal poligami merupakan hal yang telah
umum dan telah disyari’atkan oleh Islam.20
Secara konkrit Islam tidak membahas hukum poligami dan tidak
mensyariatkan praktiknya kepada para pengikutnya. Realitas poligami telah
berlangsung dalam kehidupan umat serta masyarakat terdahulu, juga berlangsung di
dalam lingkungan pemeluk agama Samawi yang lain, dan tradisi masyarakat Arab
Jahiliyah, akan tetapi belum terdapat dalam realitas kehidupan mereka batasan-
batasan yang benar serta panduan hukum yang baik terhadap praktik ini.21
Kedatangan Islam tidak ditujukan untuk memberikan legalitas penuh atas
praktik poligami akan tetapi tujuannya adalah untuk memberikan batasan-batasan
keberadaannya serta membimbing kaum laki-laki berperilaku adil terhadap para istri.
Di lain pihak Islam datang dan memasuki ruang dari permasalahan ini dengan
perbaikan-perbaikan dan syarat-syarat yang khusus, memberikannya landasan terarah
untuk memandu dan membatasi semua keburukan serta bahaya yang senantiasa
terjadi pada masyarakat. Merumuskan undang-undang yang terperinci untuk menjaga
hak-hak kaum perempuan yang senantiasa terlupakan serta melestarikan kehormatan
mereka yang senantiasa tertindas.22
20 Eni Setiani, Editor: Dra. Eni Setiani, Muhammad Hamzah, Hitam Putih Poligami
(Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena), Cisera Publishing Jakarta: Cet I Januari 2007, h. 27
21 Ibid, h. 28 22 Abu Usamah Muhyidin Abdul Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang
Islam, h. 2
-
Dapat disimpulkan bahwa hukum poligami dalam Islam adalah kebolehan
yang bersyarat. Sumbernya terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an itu sendiri pada surat An-nisa ayat 3 yang
membolehkan poligami dengan syarat hanya dengan empat orang istri dan bisa
berlaku adil.
“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja. (An Nisaa: 3)
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa ayat poligami tidak menganjurkan
apalagi mewajibkan poligami. Tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami,
dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat
amat membutuhkan dengan syarat yang tak ringan.23
b. Syarat Poligami Dalam Islam
Berdasarkan ketentuan Al-Qur’an, poligami terbatasi dengan syarat-syarat.
syarat tersebut terbagi dalam tiga faktor:
1. Faktor Jumlah
Aturan tentang poligami memang sudah dikenal dan berlaku dalam kabilah-
kabilah Arab zaman jahiliyah tanpa batasan tertentu. Telah di katakan juga bahwa ada
23 M. Quraish Shihab, Perempuan: dari cinta sampai seks, dari nikah mut’ah sampai nikah
sunnah, dan dari bias lama sampai bias baru, (Jakarta; Lentera Hati, 2005), h. 165-166
-
hadist yang mengatakan terdapatnya poligami di kalangan orang-orang arab ketika
mereka memeluk agama Islam dan tanpa pembatasan jumlah.24 Namun setelah Islam
datang membatasi poligami dengan hanya empat orang istri.
Dalam fiqh lima mazhab, Muhammad Jawad Mughniyah berkomentar tentang
poligami yang dibahasakan dengan ‘jumlah istri’. Bahwa semua mazhab sepakat
tentang seorang laki-laki boleh beristri empat dalam waktu bersamaan, dan tidak
boleh lima berdasarkan keterangan surat an-Nisaa ayat 3.25 Adapun mengenai
pembahasan selanjutnya tentang poligami tidak dituangkan dalam komentarnya
tersebut. Melainkan tentang perceraian keempat orang istri yang sudah dinikahi
melalui uraian pendapat Imamiyah dan Syafi’i.
Sunnah nabi yang sahih telah menguatkan bahwa jumlah maksimal istri
adalah empat orang sebagai berikut:
َأْسَلْمُت َوِعْنِدى َثَماُن : َعِن اْلَحاِرِث ْبِن َقْيٍش َألَسِديِّ َقاَل ِإْخَتْر ِمْنُهنَّ َأْرَبًعا : ِبيِّ َفَقاَل النَِّبيُِّنْسَوٍة، َقاَل َفَذَآْرُت َذاِلَك ِللنَّ
)رواه إبن ماجه(
“Dari Harist bin Qays al Asadi ra. Dia berkata: “Aku masuk Islam sedang aku mempunyai isteri delapan. Lalu diberitahukan kepada nabi SAW. maka nabi bersabda: pilihlah empat orang diantara mereka.” (HR Ibnu Majah).
24Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, h. 52 25 Muhammad Jawad Mughniyah, terjemah al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khomsah, penejemah:
Masykur A.B Afif Muhmmad, Idrus al-Kaf terbitan Dar al-Jawal Beirut, (PT Lentera Basritama) cet. V 2005, h. 332-333
-
2. Faktor Nafkah
Nafkah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat
rumah tangga yang umum. Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu
menyediakan biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahinya. Menurut syari’at
Islam Jika seorang laki-laki belum memiliki sumber rezeki untuk menafkahi istri, dia
belum boleh kawin, sesuai sabda Rasulullah berikut ini:
رواه ( َيا َمْعَشَر الشََّباِب َمِن اسَتَطاَع ِمْنُكُم الَباَءَة َفلَيَتَزوَّْج )مسلم
“Wahai sekalian pemuda.. siapa diantara kamu yang telah mampu memikul
beban nafkah hendaklah ia kawin”. (HR. |Muslim) Berdasarkan syara’ seorang laki-laki belum dibolehkan menikah jika belum
mampu memberikan nafkah. Begitu pula, laki-laki yang sudah mempunyai istri satu
tetapi belum mampu memberikan nafkah yang layak, maka dia tidak boleh
berpoligami. Dengan demikian, tidak ada ikhtilaf diantara fuqoha tentang kewajiban
suami terhadap istrinya, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-
kebutuhan lainnya. 26
3. Berbuat Adil Diantara Istri-Istri
Surat An-Nisa ayat 3 merupakan dasar keadilan yang harus ditegakkan.
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam
26 Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, h. 58
-
kehidupan sehari-harinya, yaitu sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan
perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing.27
Sementara itu, keadilan yang berkenaan dengan aspek bathiniyah yaitu
masalah cinta, kasih sayang dan selera (hasrat seksual) merupakan perkara yang
mustahil direalisasikan oleh manusia.
⌧ ☺ ☺ ⌧
☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 129)
Dalam hal ini pasti setiap orang memiliki kecenderungan hati atau sikap
condong kepihak tertentu. Meskipun begitu adanya tetap harus diupayakan sekuat
mungkin usaha adil dalam menggauli istri-istri yang memang di amanatkan Allah
SWT.
اهللا َ
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (Al Baqarah: 286)
27 Ibid, h.58
-
Abdullah bin Abbas r.a28 menafsirkan surat An-Nisa ayat 129 tentang
keadilan dengan pernyataan bahwa adil yang di maksud dalam ayat tersebut adalah
adil dalam hubb (cinta) dan jima’ (persetubuhan suami istri). Apabila seorang muslim
ingin berpoligami sedangkan ia yakin bahawa dirinya tidak mampu menerapkan
keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa
di sisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah
bersabda:
َيْوَم َجاَء َبْيَنُهَما، َيْعِدْل َفَلْم ِإْمَرَأَتاِن الرَُّجِل ِعْنَد َآاَن َِذاإ َساِقٌط قُُّهَوِش الِقَياَمِة
“Apabila ada seorang laki-laki mempunyai dua orang istri dan dia tidak berlaku adil di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan badan yang miring”.29
Mahmud Syaltut dalam argumennya menerangkan poligami pada intinya
adalah keadilan. Bagi seorang Mu’min yang tidak takut akan pertengkaran dan
perpecahan dalam rumah tangga diperbolehkan poligami Karena sikap adil selalu
dibutuhkan dalam pertengkaran rumah tangga poligami. Sepatutnya untuk
menghindari ketakutan keadaan seperti ini seorang Mu’min dianjurkan untuk
menikahi seorang perempuan saja.30
28 Musfir Aj Jahrani, Poligami Dari Berbagai Persepsi, h. 59 29 Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, Juz 11, h. 515 30 Abu Usamah Muhyidin Abdul Hamid, Legalitas Poligami Menurut Sudut Pandang Islam,
H. 55-56
-
Dalam ranah ahli-ahli fiqh lain, memang ada kondisi pribadi yang membuat
poligami menjadi suatu yang mendesak untuk dilakukan. Di antaranya adalah
besarnya dorongan seksualitas yang tidak cukup dengan hanya satu istri. Istri mandul,
istri menderita sakit yang berkepanjangan yang tidak memungkinkanya bersetubuh,
atau karena ketidaksenangan yang tidak dapat diubah. Suami bersangkutan enggan
menceraikan istrinya. Ia tidak mau pergaulan yang sudah lama dengan istrinya
berakhir dengan perceraian. Ini merupakan perasaan terpuji, sekalipun tidak
mendatangkan kebahagiaan bagi istrinya. Tapi perlu digarisbawahi bahwa hal ini
tidak boleh di sisi Allah SWT dan merupakan faktor yang meniscayakan perceraian
jika istri memintanya.31
Muhammad Abduh yang dianggap ulama kontemporer penolak poligami
memberikan alsaan yang riil tentang keadilan bahwa poligami pada dasarnya boleh.
Namun yang menjadi persoalan adalah kemampuan seseorang untuk berlaku adil bagi
istri-istrinya. Zaman sekarang sangat sulit bahkan tidak ada orang yang dapat berlaku
adil bagi istri-istri mereka. Banyak orang yang berpoligami meninggalkan istri
pertama dan juga anak-anaknya. Istri muda lebih mereka cintai diatas segalanya.
Akibatnya, perhatian dan curahan kasih sayang mereka lebih terfokus kepada istri
muda. Sementara itu, karena perhatian kurang dari suami terhadap istri tua,
menyebabkan mereka (para istri tua) memilih jalan urban (pindah rumah) ke daerah
lain, guna membesarkan dan mendidik anak-anak mereka. Dalam kebutuhan seksual
31Abdul-Ghani Abud, Qadiyath Al-Hurriyah wa Qadhaya ukhra, buku ketujuh dari rangkaian
karya ilmiyah dengan tema Al-Islam wa Tahaddiyat Al-Ashri (Islam dan Berbagai tantangan zaman), cet. I, (Daar el-Fikr al-Arabiy, 1978), h. 74-76
-
pun, sudah dipastikan tidak bisa adil. Kecenderungan mereka jelas kepada istri muda.
Karena sisi pelayanan yang lebih greget dari para istri tua. Hal ini berakibat juga pada
kebutuhan materi. Karena memperoleh ‘service’ yang lebih dari istri muda, suami
akan selalu memberi sesuatu yang istimewa pula terhadap istri muda. Kalau seperti
ini, jelas istri tua yang dirugikan dan tidak bisa tampil keadilan yang diinginkan.32
Lain halnya dengan pandangan Quraish Shihab mengenai keadilan. Ia melihat
keadilan dalam surat An-Nisa ayat 129 mengisyaratkan bahwa keadilan yang tidak
dapat dicapai itu adalah keadilan dari segi kecenderungan hati yang memang berada
diluar kemampuan manusia. Sebelum menutup mati pintu poligami, perlu diketahui
bahwa poligami yang mengakibatkan dampak buruk seperti terjadinya pelanggaran
ketentuan hukum, bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum
itu. Apalagi pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi masyarakat.
Munculnya wanita simpanan serta pernikahan-pernikahan dibawah tangan,
mempunyai dampak yang sangat buruk bagi masyarakat, lebih-lebih terhadap
perempuan.33 Jika memang poligami dibangun atas itikad baik menurut ketentuan
syarat yang berlaku mengapa tidak jika kemaslahatan kedua belah pihak adalah
solusinya.
Praktek poligami Rasulullah SAW merupakan praktek poligami perspektif
Islam yang senantiasa menjadi panutan harus yang ditiru oleh umatnya. Tidak sedikit
32 Fiqh Realitas, Respon Ma’ahad Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, Editor:
Dr. Abu Yasid LI.M., Pustaka Pelajar Yogyakarta, cet: I September 2005, h. 348 33 M. Quraish Shihab, Perempuan: dari cinta sampai seks, dari nikah mut’ah sampai nikah
sunnah, dan dari bias lama sampai bias baru. h. 177
-
pula orang Islam yang keliru memahami praktek poligami tersebut. Ada anggapan
bahwa nabi berpoligami dengan tujuan memuaskan nafsu seksualnya seperti
kebanyakan yang dilakukan orang pada umumnya. Padahal dari istri Rasul hanya
Aisyah yang masih gadis ketika dinikahi, selainnya adalah para janda tua. Maka dari
itu kekeliruan ini harus diluruskan, karena poligami nabi sering dijadikan dalil
pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim.34
Menurut Muhammad Al Ghazali pernikahan Rasulullah dengan para istrinya
dilandasi beberapa alasan diantaranya karena semata didorong kondisi mereka
masing-masing (mereka memelihara anak yatim), karena kebijaksanaan dan
kepentingan beliau dalam menghadapi kaum tertentu, untuk amar ma’ruf nahi’
munkar, yang kesemuanya dalam rangka memperkokoh dakwah Islam.35
Terlepas dari alasan apapun, nabi Muhammad SW sendiri adalah manusia
mulia yang ma’sum yang dijauhkan Allah dari kesenangan nafsu duniawi. Berbeda
dengan manusia-manusia lain. Dalam hal ini Allah menjelaskan kekhususannya
dalam Al Qur’an:
☺ ☺
⌧ ☺
34 Hasan Aedy, Poligami Syaria’ah Dan Perjuangan Kaum Perempuan, h. 24 35 Khaeron Sirin, Artikel Membangun Masyarakat Madani, Al-Burhan:PTIQ, 2007, H. 18
-
☺
⌧ ☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
Artinya: “ Hai nabi, Sesungguhnya kami Telah menghalalkan bagimu isteri-
isterimu yang Telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Azhab: 50).
c. Sekilas Poligami Di Negara Muslim
Salah satu fenomena abad ke-20 didunia Muslim adalah adanya usaha
pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan). Sampai tahun
1996 di negara Timur Tengah misalnya hanya tinggal lima negara yang belum
-
memperbaharui hukum keluarga, bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses
pembuatan draft, yakni Emirat Arab,Saudi Arabia,Qatar, Bahrai, dan Oman36
Di dunia Islam pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu
membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara
yang paling lunak sampai paling tegas. Di Libanon, berdasarkan hukum keluarga
yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang
tetapi diharapkan menerapkan prinsip keadilan kepada para isteri. Di Maroko,
berdasarkan UU Status Pribadi tahun1958 juga demikian halnya.37
Cara lain bagi pembatasan poligami ialah dengan pembuatan perjanjian. Isteri
diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat
perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain maka si isteri
dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak
satu apabila yang melanggar itu pihak isteri. Hal ini disebutkan misalnya dalam pasal
19 Hukum Keluarga Yordania No. 61 tahun 1976 yang diubah dengan UU 31 Status
Pribadi Maroko tahun 1958.38
Di Pakistan Poligami hanya boleh dilakukan setelah mendapat izin dari isteri
pertama dan Dewan Hakam (arbitrasi) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu. Bagi
36 Dowound El Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Merrige and Divorce Laws of The
Arab World (London. the Hague, Boston: Kluwer Law International, 1996), h. 4 37 Atho Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor),Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern
(Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fiqh), Ciputat Press 2003, h. 214
38Ibid, h. 215
-
pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara maksimal satu tahun atau
denda 5000 Rupis atau kedua-duanya.39
Di Turki modern, berdasarkan UU Sipil tahun 1926, poligami sama sekali
dilarang dan apabila terjadi maka perkawinan itu dinyatakan tidak sah. Di Tunisia,
berdasarkan UU tahun 1956 yang telah diubah dengan UU tentang Status pribadi
tahun 1981, larangan poligami itu lebih tegas lagi. Pasal 18 UU itu menyatakan
bahwa laki-laki yang melakukan poligami dihukum kurungan selama setahun dan
denda sebesar 240.000 Frank. Tunisia berpendapat bahwa poligami tidak dikehendaki
oleh Al-Qur`an sendiri. Semua aturan pembatasan dan pelarangan poligami yang
tidak dikenal dalam kitab-kitab fikih itu diberlakukan untuk melindungi hak-hak
wanita.40
39 Atho Muzdhar, Khairuddin Nasution (Editor),Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern
(Studi Perbandingan Dan Keberanjakan UU Modern Dari Kitab-Kitab Fiqh), h. 216 40 Ibid, h. 216
-
BAB III
MASALAH POLIGAMI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI
INDONESIA
A. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan PP No. 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974
Undang –undang no 1 tahun 1974 ini merupakan pengaturan permasalahan
perkawinan atau sejenisnya dalam kerangka hukum yang baku. Hal ini bisa menjadi
pedoman atau acuan menyelesaikan permasalahan perkawinan. Dalam undang-
undang ini poligami diterangkan dalam pasal 3 ayat 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, dan pasal
5 ayat 1 dan 2. Kasus poligami yang apabila terjadi, maka pengadilan merujuk
undang-undang ini karena semua ketetapan hukum poligami tertera dalam undang-
undang ini sebagaimana Dalam pasal 3 menerangkan “pada azasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita
hanya boleh mempunyai seorang suami, dan pengadilan, dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-
pihak yang bersangkutan”.
Dan dalam pasal 4 diterangkan syarat-syarat alternatif yang harus dijalani
pemohon diantaranya sebagaimana tertera bahwa dalam hal seorang suami akan
-
beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Kemudian pengadilan yang dimaksud hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang
apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pada pasal 5 diterangkan syarat-syarat kumulatif yang kesemuanya harus
dijalani pemohon sebagaimana tertera:
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
-
tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
Dalam penjelasan lebih lanjut, PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksaaan UU
no. 1 tahun 1974 menerangkan dalam pasal 40, 41, 42, 43, dan pasal 44. Dalam pasal
40 berbicara mengenai ”apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari
seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”
dan pada pasal 41 pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42 menerangkan dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada
Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang
bersangkutan dan pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.
-
Pasal 43 menerangkan apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan
bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang dan pasal 44
menerangkan bahwa pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Undang-undang poligami diatas membolehkan untuk beristri lebih dari satu
orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan. akan tetapi
terbatas hanya sampai empat orang. Adapun syarat yang harus dipenuhi diantaranya
suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya dalam hal nafkah
dan keadilan. Jikalau suami tidak bisa memenuhi, maka suami dilarang beristri lebih
dari satu. Disamping itu suami harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan
agama. Jika tanpa izin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Permasalahan poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak
terdapat pertentangan oleh berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya
dilakukan poligami yang berupa diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami.
Kasus-kasus poligami yang kebanyakan terjadi saat ini jika ditinjau dari perspektif
keadilan sangat sulit sekali walaupun suami tersebut mampu dalam segi materilnya
tetapi belum mampu dalam segi moril dalam pembagian terhadap istri-istrinya.
-
Sehingga dalam hal ini masih diperlukan pemikiran lebih dalam lagi serta
pertimbangan-pertimbangan yang lebih matang dalam pengambilan sikap suatu
tindakan. Akan tetapi permasalahannya juga sering timbul dan tidak sedikit yang
menjadi meruncing, apalagi dari kasus-kasus tersebut timbul perkara dan masalah
yang baru.
Perkawinan dimaksudkan agar manusia mempunyai keturunan dan keluarga
yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan
ridha Ilahi. Ketentuan pasal 1 UU Perkawinan menyatakan, bahwa “Perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke
Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ditelaah, pasal tersebut memberikan implikasi,
bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan antara seorang pria dan wanita saja.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa senada dengan ketentuan itu,
maka pasal 27 BW maupun pasal 2 H. O. C. I.., pasal tersebut mengandung asas
monogami, dalam pengertian asas monogami mutlak, meskipun dalam memori
penjelasan mengenai pasal-pasal tersebut justru tidak diberi komentar tentang itu.41
Akan tetapi apabila dilihat dari ketentuan pasal 3 ayat 1 UU perkawinan yang
menyatakan, bahwa; “Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
41 Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Persfektif Perikatan Nikah (Telaah Kontekstual
Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974), Prestasi Pustaka: Jakarta, 2007, H. 120
-
suami”. Menunjukan, bahwa dengan istilah ‘pada dasarnya’ berarti boleh diadakan
penyimpangan. Hal ini terbukti dengan rumusan pada pasal 3 ayat 2 yang menyatakan
bahwa: “Pengadilan dapat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Hal ini dipertegas dalam penjelasan umum UU No.1 tahun 1974 angka 4
huruf c, yang menyebutkan;
“Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.
Paparan diatas menunjukan, bahwa dipergunakan asas monogami dalam
perikatan pernikahan, yaitu pada dasarnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menganut asas monogami didalam perkawinan, artinya seoarang suami hanya boleh
memiliki seorang seorang istri dan seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami
dalam satu saat. Akan tetapi asas monogami yang dianut dalam UU perkawinan
tersebut tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan
perkawinan sakinah dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan
poligami dan bukan menghapuskannya sama sekali sistem poligami.42
Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja,
karena dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat
42 Ibid, h. 120-121
-
memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini membuka
kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami dengan izin pengadilan. Hal
ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh
masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang
membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus
yang beragama Islam harus mendapat izin dari pengadilan agama43 dan yang
beragama selain Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini
tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.
Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya
poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah
ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan
lisan dari istri pada sidang pengadillan agama. Persetujuan dari istri yang
dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak
mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan
apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena
sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama. Dapat
diambil contoh apabila si istri ada di Luar Negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja
43 Instruksi Presiden R. I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Derpartemen
Agama R. I. Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Tahun 1997/1998, Pasal 51 Ayat 1
-
Wanita) selama 2 tahun atau lebih misalnya atau bisa juga karena selama minimal 2
tahun si istri memang tidak ada kabar beritanya.
Persetujuan secara lisan ini nantinya sang istri akan dipanggil oleh pengadilan
dan akan didengarkan oleh Majelis Hakim. Tidak hanya istri, tetapi suami juga akan
diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan
menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam
pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.44
Nasaruddin Umar berkomentar mengenai UU perkawinan yang menyangkut
poligami yakni, bahwa praktek poligini dalam undang–undang perkawinan diatur
secara ketat, namun praktiknya sulit ditegakan karena semata-mata mengandalkan
kesadaran dan kejujuran masyarakat.
Memang ada PP No 10 tahun 1983 dan PP No 45 tahun 1991, yang mengatur
praktik poligini bagi Pegawai Negeri Sipil, TNI dam Polri, serta pegawai BUMN,
tetapi sangsi bagi para pelaku poligini diluar ketentuan belum memadai. Oleh karena
itu praktisi hukum menilai masih perlu perangkat hukum lain untuk memberikan
kekuatan dalam menerapkan UU tersebut.45
B. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama
44 H.A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, , Pustaka
Pelajar, 2003, h. 2 45 Nasaruddin Umar, Telaah – Poligini, Antara News, 05/01/07, pukul 19:18
-
Peradilan agama dengan nama yang sangat beraneka ragam telah ada dan
tumbuh bersamaan dengan berkembangnya kekuasaan Islam di Indonesia. Tumbuh
dan berkembangnya disebabkan karena kebutuhan kesadaran hukum sesuai dengan
keyakinan masyarakat Islam pada masa itu. Pada masa penjajahan Belanda
keberadaanya telah diakui Belanda, kemudian di lembagakan secara resmi oleh
pemerintah Hindia Belanda dengan staats.blad 1882 No. 152.
Setelah Indonesia merdeka pemerintah menyerahkan pembinaan Peradilan
Agama kepada Departemen Agama (akan tetapi pada saat ini berdasarkan Keputusan
Presiden No. 21 tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004 berada dibawah mahkamah
agung). Kemudian pada tahun 1970 aturan tentang Pengadilan Agama benar-benar
diperkuat melalui UU No. 14 tahun 1970 yang saat ini telah diubah dengan UU No. 4
tahun 2004 selanjutnya pada 1974 lahir UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pasal 63 ayat 1 dari undang undang ini ternyata memberikan kewenangan lebih besar
kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, namun
sayang pada periode ini masih terdapat kekurangan, yaitu masih ada pemerintah
untuk pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri sekalipun itu
hanya bersifat adfministratif.
Berdasarkan diundangkan dan diberlakukannya UU RI No. 3 tahun 2006
tentang perubhan atas UU no. 7 tahun 1989, maka posisi Peradilan Agama semakin
mantap dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Jika dilihat dari sisi
personalitas, wewenang absolutnya dan hukum acara yang diatur secara khusus dalam
-
UU ini menunjukan batasannya sebagai peradilan khusus dalam penyelenggaraan
kekuasan kehakiman di Indonesia.46
Undang-undang No. 3 tahun 2006 lebih banyak membahas tentang
independensi badan peradilan yang khusus menaungi masalah keagamaan.
Kewenangannya sejajar dengan pengadilan dari lingkungan pengadilan lain47. Dalam
hal ini adalah perkara-perkara perdata agama Islam yang sepenuhnya diselesaikan di
peradilan tersebut. Mengenai perkara perdata non-Islam diserahkan ke dalam wilayah
peradilan umum. Didalamnya memuat kekuasaan pengadilan. yang bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara
orang-orang Islam. Bidangnya adalah:
a. Perkawinan:
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf, infaq, zakat, shadaqah dan ekonomi syariah48
Perkawinan yang dimaksud dalam uu no. 3 tahun 2006 adalah salah satunya
membahas tentang poligami. Hal ini dijelaskan dalam penjelasan UU no. 3 tahun
2006 itu sendiri.
Secara eksplisit tidak ada aturan yang membahas poligami dalam cakupan
yang utuh agar bisa digunakan untuk menjadi pertimbangan keputusan, namun hal
tersebut tercover dalam undang-undang lain yakni uu no. 1 tahun 1974 tentang
46 Hotnidah Nasution, Peradilan Agama Sebagai Peradilan Khusus, Ahkam (jurnal syari’ah dan pranata sosial) Vol .8, ISSN 1412-4734, Fak. Syari’ah UIN Jakarta, H. 77-78
47 H. Munawir Sjadzali, Sambutan Pemerintah Atas Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap RUU Tentang Pengadilan Agama, 14 Desember 1989, Paragraf IV
48 Presiden Republik Indonesia, Undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU no. 7 tahun 1989 mengenai peradilan agama, bab III pasal 49 ayat 1
-
masalah perkawinan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 ayat 2 UU no. 7 tahun
1989 yaitu:
“Bidang perkawinan yang dimaksud ialah hal-hal yang diatur atau berdasarkan undang undang mengenai perkawinan yang berlaku”
Dapat disimpulkan bahwa undang-undang No. 3 tahun 2006 adalah peraturan
mengenai kewenangan atau kekuasaan badan peradilan agama sebagai payung hukum
undang-undang yang bernafaskan Islam. Peraturan poligami yang akan dijalani
dengan melihat UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam.
Kemudian juga hukum acara Pengadilan Agama, yang berlaku sama seperti
pengadilan pada umumnya kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang
ini.49
C. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI lahir dari keinginan untuk menyatukan hukum Islam yang tersebar di
seluruh nusantara. Tujuan utamanya adalah selain mempositifkan syari’at Islam
dalam bidang keperdataan (ahwalusyakhsiyah), juga ingin mengkodifikasi dan
menyamakan kitab fiqh yang akan dipakai di pengadilan. Karena pada saat itu terjadi
keberagaman putusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Dengan tujuan
49 Ibid, Bab IV pasal 54
-
tersebut maka timbulah keinginan penyeragaman dan kebonafitan hukum untuk umat
islam50.
Kompilasi hukum Islam hadir pada tata hukum nasional Indonesia melalui
instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden (inpres) No. 1 Tahun 1991 tanggal
22 juli 1991. Terpilihnya instrumen inpres ini menimbulkan dua pandangan.
Pandangan pertama melihat inpres tersebut mempunyai kemampuan mandiri untuk
berlaku efektif disamping instrument lainya, dan karenanya memiliki daya atur
tersendiri dalam sistem hukum positif nasional, sedangkan pandangan lain melihat
bahwa inpres yang dimaksud dalam tata hukum Indonesia tidak terlihat dalam tata
urutan peraturan perundangan nasional.
Menurut Ismail Sunni, karena sudah jelas keberlakuan hukum dibidang
perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam yang ditetapkan
undang-undang bagi umat Islam, maka kompilasi hukum Islam itu memuat hukum
materilnya melalui keputusan presiden/instruksi presiden. Pendapat tersebut antara
lain didasarkan pada disertasi A. Hamid Attamimi. Selanjutnya Sunni mengatakan
bahwa instruksi presiden ini dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yaitu
kekuasaan presiden untuk memegang kekuasaan pemerintah Negara. Atas dasar
50 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Cet II, Logos Wacana
Ilmu, Jakarta 1999, h. 1-2
-
kekuasaan itu (apapun nama produk hukum yang dikeluarkan) apakah itu keputusan
presiden atau instruksi presiden, kedudukannya adalah sama.51
Materi pokok poligami dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam buku I
tentang perkawinan bab IX pasal 55-59 yang menerangkan cakupan untuk beristri
lebih dari seorang.
Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur KHI dalam bidang hukum
perkawinan pada intinya merupakan penegasan ulang tentang hal-hal yang telah
diatur dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975.52 Mengenai
perihal poligami hal itu bisa dilihat pasal 57, 58 dan 59. Namun esensi yang dibangun
KHI mengenai poligami terdapat pada pasal 55 lebih mengedepankan nilai keadilan
suami bagi para istri. Berikut poligami dalam KHI tersebut:
Pasal 55 menerangkan bahwa beristri lebih dari seorang pada satu waktu
bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama dari seorang
suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dan apabila
syarat utama yang disebut tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari
seorang.
Pasal 56 bahwa suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan melakukan menurut tatacara
sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Berikut
51 Ismail Sunni, “Tradisi Dan Inovasi Keislaman Di Indonesia Dalam Bidang Hukum”,
makalah dalam symposium Islam dan Kebudayaan Indonesia, Dulu, Kini dan Esok, (Jakarta:Oktober 1991), h. 21-24
52 Yahya Harhap, Informasi Materil Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Dalam Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:1991), h. 81
-
juga menerangkan perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dalam pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 menerangkan bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama,
harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1
Tahun 1974 yaitu :
a. Adanya persetujuan isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-
isteri dan anak-anak mereka.
Kemudian mengatur mengenai persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan
tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang
Pengadilan Agama dan persetujuan dimaksud tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila isteri tidak ada kabar dari isteri
atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu
mendapat penilaian Hakim.
-
Pasal 59 menerangkan dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu
alasan yang diatur, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan
Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan
banding atau kasasi.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, keadilan telah
dijelaskan oleh para ulama agar berhati-hati dalam menjalankan keadilan kepada istri-
istri yang telah atau akan dinikahi nanti. Karena selain dijelaskan bahwa keadilan
yang hakiki itu haya milik Allah AWT, juga sangsi agama berupa api neraka
merupakan jaminan bagi orang yang tidak bisa berbuat adil bagi para pelaku
poligami.
Permasalahan keadilan berpoligami dalam KHI merupakan concern KHI
sendiri melihat permasalahan hukum Islam dalam pandangan fiqh yang ada. Manusia
memang terbatas mengenai keadilan, akan tetapi tetap bisa dinilai dengan pola
berfikir positif dan realistis dalam kasus poligami.
Hakim yang dipercaya sebagai orang yang dianggap penengah dalam masalah
apapun tak luput dari kekurangan mengenai keadilan. Keadilan sesorang hanya bisa
dinilai oleh orang lain selain dirinya, maka timbul siapa orang yang dipercaya dalam
hal ini?. Jawaban yang kongkrit adalah hakim itu sendirilah yang disepakati publik
menilai keadilan seseorang karena mempunyai keahlian yang telah dipelajari secara
khusus mengenai masalah-masalah apapun.
-
Yahya Harahap mengemukakakan pandangannya mengenai KHI tentang
poligami yaitu dalam permasalahan dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama.
Poligami tidak lagi merupakan tindakan Individual Affairs. Poligami bukan semata-
mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi kekuasaan negara yakni mesti ada izin
Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama perkawinan itu dianggap poligami
liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan dianggap never existed tanpa izin
Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat
nikah.53
Dari Maksud penjabaran tersebut bertujuan membawa ketentuan-ketentuan
undang-undang No. 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup yang bernafas dan bernilai
syari’at Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam undang-undang no. 1
tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan yang bersifat khusus dan
sebagai aturan hukum Islam yang diberlakukan khusus bagi mereka yang beragama
Islam.
D. Menurut PP No. 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil Dan PP No. 45 Tahun 1983 Tentang Perubahan
Atas PP No. 10 Tahun 1983
Undang-undang ini diperuntukan bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar
selalu berdisiplin dalam upaya memberikan contoh publik. Bahkan dalam membina
hubungan keluarga sekalipun.
53 Ibid, h.59
-
Dalam memori penjelasan PP no.10 tahun 1983 antara lain disebutkan, bahwa
pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat harus
menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan
pada undang-undang yang berlaku. Dengan sedikit perubahan yang ada pada PP no.
45 tahun 1990, maka peraturan ini semakin lengkap untuk menjaga pelanggaran-
pelanggaran yang tidak diinginkan. Meskipun, masih ada kekurangan-kekurangan
yang perlu dikaji.
Sehubungan dengan contoh dan teladan yang harus diberikan oleh pegawai
negeri sipil pria kepada bawahan dan masyarakat, maka kepadanya dibebankan
ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian, pegawai
yang bersangkutan harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat atasannya.
Lain halnya pegawai negeri sipil wanita yang tidak diperbolehkan menjadi istri
kedua, ketiga, atau keempat. Hal ini sesuai dengan PP no. 10 tahun 1983 dan
perubahannya pada PP no. 45 tahun 1990 diantaranya:
Pasal 4 menerangkan bahwa pegawai negeri sipil pria yang akan beristeri
lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat dan pegawai
negeri sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dengan
meminta izin yang diajukan secara tertulis berikut alasan yang lengkap yang
mendasari permintaaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Syarat-syaratnya, yaitu sebagaimana dikemukakan pasal 10 PP no. 10 tahun
1983 adalah sebagai berikut:
-
Pasal 10 1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. Ada persetujuan tertulis dari isteri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang
cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. Ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan; b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3); c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Hal mengenai mekanismenya diterangkan dalam pasal 5 dan 10 PP no. 10
tahun 1983 adalah sebagai berikut:
Pasal 5
1. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada pejabat melalui saluran tertulis.
2. Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Pasal 10
-
1. Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurangkurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
2. Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah a. ada persetujuan tertulis dari isteri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila : a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan; b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3); c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Hal-hal lain mengenai pengaturan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya
pada PP no. 45 tahun 1990 adalah sebagai berikut:
Pasal 9 1. Pejabat yang menerima permintaan izin beristri lebih dari seorang sebgaimana
dimaksud dalam pasal (4) ayat 1 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
2. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
3. Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasehat.
Pasal 11
-
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri
lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai: 1. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
2. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
3. Pimpinan Bank milik Negara dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
2. Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin tersebut. Melihat semua perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, timbul
sekarang pertanyaan; mampukah PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP
no. 45 tahun 1990 memberantas praktek poligami illegal dengan segala bentuknya?.
Merujuk pada penelitian Soetojo Prawirohamidjojo54 yang dijadikan desertasi
doktornya, bahwa memang dengan berlakunya UU Perkawinan angka kawin lebih
dari satu menunjukkan statistik menurun secara drastis. Namun, praktek poligami
dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh :
54 Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia,
(Surabaya: Airlangga University Press 2002), h. 50
-
1. Tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
2. Bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi
oleh rasa takut kepada atasan disamping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
3. Tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal.
Meskipun masih ada kelengahan dalam sudut apapun, dengan rasa optimis
yang tinggi diharapkan PP no. 10 tahun 1983 dan perubahannya pada PP no. 45 tahun
1990 menjadi garda terdepan untuk memberi arahan untuk berpoligami dengan baik
dan tepat. Khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil yang menjadi figur bagi kalangan
masyarakat.
-
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI
A. Deskripsi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Mengenal kasus poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
hendaknya dilihat dari beberapa sumber otentik yaitu sebuah putusan pengadilan.
Selain mengikuti proses persidangan poligami itu sendiri, hendaknya juga menelusuri
dari sumber ahli yang berkaitan terhadap penetapan itu semua.
Kasus poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan sudah ada
sejak dahulu. Diperkirakan sejak didirikannya Pengadilan Agama Jakarta Selatan
maka kasus poligami itu ada meskipun tidak ada penjelasan atau data akurat yang
bisa memaparkan itu semua.55
Mengenai kasus yang ada, penulis meneliti satu putusan poligami di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Berikut deskripsi putusan izin poligami dengan
nomor perkara 851/Pdt.G/2004/PAJS yang penulis kemukakan;
1. Ringkasan Kasus
Adalah Rahiman bin Sabirin, umur 36 tahun, wiraswasta berstatus menikah
dengan Eni Hastutui binti Sunaryo dengan catatan akta nikah No. 728/76/IX/1996
tanggal 5 September 1996 di KUA Gedong Tatanan Lampung Selatan. Sekarang ini
kedua suami istri tersebut bertempat tinggal di daerah Kebagusan Pasar Minggu,
55 Wawancara Dengan Muh. Abduh. Pengadilan Agama Jak-Sel, 15 februari 2008
-
Jakarta Selatan. Dari hasil pernikahan mereka telah lahir 3 orang anak masing-masing
bernama: Madania lahir 21 Juli 1997, Ali Muthahari lahir 17 Januari 1999, Prima
Nugraha lahir 19 Januari 2003. Kehidupan rumah tangga mereka rukun sebagaimana
layaknya suami istri lainnya sampai pada suatu saat Rahiman berkenalan dengan Idah
Gusti Rahmawati binti Sugiarto umur 20 tahun beragama Islam dengan status
perawan pekerjaannya adalah mahasiswi tinggal di kelurahan Bancong kecamatan
Kasui wai Kanan, Lampung. Mereka saling jatuh cinta dan sepakat untuk membina
hubungan mereka ke jenjang pernikahan meskipun tahu bahwa Rahiman telah
mempuyai istri dan anak.
2. Duduk Perkara
Tersebutkan bahwa Rahiman bin Sabirin sebagai pemohon dan Eni Hastuti
binti Sunaryo sebagai termohon serta Idah Goesti Rahmawati binti Sugiarto sebagai
calon istri kedua pemohon. Pemohon meminta izin kepada Pengadilan Agama untuk
menikah untuk yang ke dua kali dengan cara poligami dengan alasan menjalankan
syari’at agama. Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Agama mengabulkan izin
pemohon untuk menikah lagi secara poligami dengan berbagai pertimbangan.
3. Pertimbangan
Petimbangan-pertimbangan tersebu