Download - Journal Mata
PENGARUH PARAMETER INOKULASI PADA
PATOGENESIS PEMAKAIAN LENSA KONTAK YANG
BERHUBUNGAN DENGAN INFEKSI KERATITIS
Connie Tam1, James J. Mun1,2, David J. Evans1,3 andSuzanne M. J. Fleiszig1,2,4,5
From the 1School of Optometry, the 2Vision Science Program, and the Graduate Groups in 4Microbiology and5Infectious Diseases and Immunity, University of California, Berkeley, California; and the 3College of Pharmacy, Touro University-California, Vallejo, California.
ABSTRAK
Tujuan : penggunaan lensa kontak merupakan faktor predisposisi terjadinya
keratitis Pseudomonas aeruginosa. Namun, mekanisme kejadian tersebut belum
diketahui secara jelas. Penelitian dengan model in vivo ini digunakan untuk
mengetahui kondisi parameter inokulasi lensa terhadap kemungkinan terjadinya
keratitis.
Metode : lensa kontak hidrogel dipasang pada tikus setelah diinkubasikan ke
bakteri Pseudomonas aeruginosa sekitar 1011 cfu/ml (3jam) hingga 103 cfu/ml
(24jam). Kelompok lainnya sebelumnya diinokulasikan dengan menggunakan
pena hisap dengan inocula yang tinggi, tetapi sebelumnya dibilas dalam etanol
dan disimpan kering (6 bulan). Kornea dibilas dengan kertas tisu sebelum lensa
ditempelkan agar flouresin dapat menempel. Mata sebelah kontralateral tidak
diperlakukan. Dua puluh empat jam setelah penyakit terdeteksi, lensa dipindahkan
ke tikus lain dan diperiksa dengan mikroskop untuk mengukur bakteri hidup
sebelum homogenisasi. Setelah lensa diambil, kornea dicuci untuk mengumpulkan
bateri adheren dan dianalisis dengan imunohistokimia.
Hasil : semua mata yang memakai lensa terkontaminasi terjangkit keratitis setelah
7 – 10 hari. Keterlambatan onset dan tingkat keparahan tidak disebabkan oleh
parameter inokulum ataupun jaringan yang hilang tetapi muncul segera pada lensa
1
yang dipindahkan dari lensa yang dipindahkan dari mata yang terinfeksi (2 hari).
Bagian posterior permukaan lensa mengandung P. aeruginosa yang menembus
matriks lensa. Kelainan pada kornea menunjukkan infiltrasi fagosit dan limfosit T.
Kesimpulan : P. aeruginosa menyebabkan keratitis dalam penggunaan lensa
kontak setelah inokulasi tunggal. Onset yang tertunda merupakan hal yang perlu
diperhatikan pada pemakaian lensa kontak jangka lama mengingat adanya risiko
keratitis yang lebih besar. Infeksi terjadi tanpa gangguan fungsi barrier kornea
sebelum memakai lensa dan terjadi tanpa adanya paparan dari cairan perawatan
lensa. Data menunjukkan bahwa keratitis melibatkan pembentukan biofilm atau
adaptasi bakteri lainnya.
PENDAHULUAN
Penggunaan lensa kontak merupakan faktor predisposisi utama infeksi
kornea yang disebabkan oleh P. aeruginosa. Namun mekanisme bagaimana
penggunaan lensa kontak menyebabkan infeksi kornea baik oleh bakteri ini
maupun oleh bakteri lain belum diketahui secara jelas. Yang terpenting,
tersedianya lensa kontak disposable dan bahan lensa kontak yang hypermeable
terhadap oksigen tidak menghilangkan risiko terkena infeksi. Dengan demikian,
faktor lain selain penggunaan berulang kali dan hypoxia muncul sebagai
patogenesis dari penyakit ini.
Banyak keterbatasan dalam melakukan penelitian ini, salah satunya adalah
sulitnya mendapatkan lensa yang sesuai dengan mata hewan pengerat. Walaupun
peneliti telah mempelajari memakai lensa pada kelinci dan marmut, hewan ini
terlalu mahal untuk dijadikan hewan coba. Model kelinci melibatkan operasi
pengangkatan membran palpebra untuk menghindari lepasnya lensa kontak dan
untuk memaksimalkan efek lensa seperti hipoksia. Pada marmut hewan ini cocok
untuk mempelajari menganai tingkat keamanan mata, efek penggunaan lensa dan
fisiologi dari kornea, tetapi hewan ini tidak rentan terhadap infeksi P. aeruginosa.
Model tikus dengan menggunakan lensa kontak hydrogel telah
dipublikasikan pada penelitian sebelumnya. Penelitian dengan menggunakan
2
model ini menunjukkan induksi P. aeruginosa, menyebabkan regulasi sitokin , sel
dendrit dan infiltrasi neutrofil ke kornea.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model tikus
yang diterbitkan dalam penelitian sebelumnya dapat dimodifikasi untuk
menimbulkan keratitis P. aeruginosa dengan menggunakan single inokulasi
sehingga kondisi yang menyebabkan penyakit tersebut dapat terdefinisikan
dengan lebih baik. Hipotesis dari penelitian ini adalah penyesuaian kondisi
pertumbuhan bakteri dan gangguan pada barier epitel kornea dapat menyebabkan
keratitis P. aeruginosa setelah single inokulasi.
BAHAN DAN METODE
Lensa Kontak untuk hewan percobaan (tikus)
Kontak lensa hydrogel low-Dk (69% air, Dk 26) dibuat sesuai dengan
kornea tikus dan memiliki dimensi sebagai berikut: diameter 5,34 mm, basis
kurva 2,4 mm, ketebalan pusat 80 μm, dan 40μm ketebalan tepi. Integritas lensa
diperiksa di bawah stereo mikroskop untuk memastikan tepi yang halus sebelum
dilakukan pemasangan lensa.
Strain dari bakteri dan persiapan inokulum
P. aeruginosa PAO1 mengekspresikan GFP pada pSMC2 plasmid (PAO1-
GFP) digunakan untuk semua eksperimen. Bakteria dibiakkan dalam media agar
TSA (Tryptic soy agar) yang dilengkapi dengan carbenicillin 300 μm/mL pada
suhu 370C selama 16 jam. Untuk high inokulum, bakteri disuspensikan dalam
media Dulbeccos’s modified Eagles medium (DMEM; Sigma-Aldrich, St Louis
MO) hingga konsentrasi 1011 cfu/ml. Untuk low inokulum, koloni tunggal bakteri
diambil dengan menggunakan tusuk gigi steril dan diinokulasi ke dalam 3,5 ml
Mian’s Medium (7,5 mm NaH2PO4; 16,8mM K2HPO4, 10 mM MgSO4, 0,2%
NaNO3, 10 mM CH3COONa) terkandung dalam lensa kontak dengan konsentrasi
awal 103 cfu/mL dan mencapai konsentrasi akhir sebesar 106 cfu/ml setalah 24
jam dalam suhu ruangan. Lensa kontak diinkubasi dengan high inokulum selama
3
3 jam atau dengan low inoculum selama 24 jam pada suhu rungan sebelum
penempatan di kornea sebelah kiri masing- masing tikus. Lensa tidak dibilas
untuk menghilangkan bakteri nonadherent sebelum ditempelkan (10 μm inokulum
direndam dalam lensa). Tepat sebelum inokulasi ada sekitar 106 P. Aeruginosa
pada kondisi high inokulum dan kira kira 105 cfu pada kondisi low inokulum.
Penggunaan Lensa pada in vivo model
Tikus jenis Lewis betina berumur 3 bulan dibeli dari Charles River
Laboratories Inc. Selama percobaan, hewan diempatkan secara individual dan
beraktivitas normal dalam lingkungan yang terkendali ( suhu 720F ± 40F,
kelembapan pada 30%-40% dan 12 jam terang dan 12 jam gelap). Sebelum
pemakaian, lensa kontak diinokulasi dan dilakukan pengambilan gambar mata,
hewan uji dianestesi ringan menggunakan 2,5% isofluran. Kornea dari beberapa
hewan coba tersebut diusap sekali dengan menggunakan kertas tisu (Kimwipe)
sebelum lensa direndam dalam high inoculum. Prosedur blotting ini efektif dalam
merusak epitel kornea sehingga memungkinkan pewarnaan flouresin yang luas
(gambar1). Dalam percobaan lain, bakteri diberikan pada lensa dengan
menggunakan pena hisap. Pena sudah digunakan selama 6 bulan sebelumnya
dalam percobaan high inoculum, dibilas ethanosl, dikeringkan dan disimpan
kering selama 6 bulan sebelum digunakan untuk memasang lensa sehingga dalam
pena dalam keadaan steril.
Gambar 1. Flouresin menempel pada kornea setelah diusap dengan kertas tissue (blotting). Kornea
dari tikus Lewis ini diwarnai oleh flouresin dalam sodium solution ( 0,35%) untuk mengetahui
adanya kerusakan epitel. Kornea yang tidak diusapkan tisue (unbloted) menunjukkan tidak ada
4
penempelan flouresin (A) sebaliknya kornea yang diusapkan tisu (blotted) menunjukkan adanya
penempelan flouresin yang maksimal, menunjukkan adanya kerusakan epitel
Setiap kelompok eksperimen terdiri dari 3 hewan. Mata sebelah
kontralateral digunakan sebagai kontrol dan tidak diberikan lensa ataupun
diinokulasikan dengan bakteri. Hewan percobaan dipantau setiap hari untuk
mengetahui patologi kornea. 24 jam setelah terjadi opacity samar, kornea
diobservasi, gambar dikumpulkan menggunakan three chip cooled camera
(Optronica, Golete, CA) yang melekat pada stereo mikroskop (STEMI 2000-C,
Carl Zeiss, Thornwood, NY). Lima poin penilaian dengan menggunakan sistem
grading (0-4) digunakan untuk menentukan karakteristik patologi. Scoring ini
menilai mengenai luas daerah opak, kepadatan kekeruhan pusat dan perifer, dan
kualitas permukaan epitel. Jumlah dihitung dari empat karakteristik, nilai 0 (tidak
ada infeksi) hingga nilai maksimum 16 (infeksi berat). Ketika lensa tidak berada
diposisi semula, lensa tidak dimasukkan kembali namun hewan percobaan dimati
untuk sisa penelitian.
Setelah terbentuk defek patologi pada kornea, lensa dikeluarkan dan
kornea yang terinfeksi segera dibilas menggunakan 10 μL PBS untuk mengambil
bakteri nonadheren untuk dihitung jumlahnya (kuantifikasi). Lensa yang
digunakan pada hewan percobaan tersebut diperiksa dengan menggunakan
mikroskop laser confocal sebelum homogenisasi dalam 100 μL PBS. Dalam
beberapa percobaan, lensa ini (dari kelompok low inoculum) dipindahkan ke tikus
lain. Bakteri hidup pada apusan mata dan lensa diukur dengan serial dilution dan
kemudian diletakkan pada nonselektif TSA. Dengan media selektif diinokulasi
secara paralel 300 mg/mL karbenisilin TSA untuk memilih plasmid bacteria,
MacConkey agar untuk bakteri gram negatif dan Cetrimide agar untuk bakteri P.
Aeruginosa. Hewan percobaan dibunuh dengan cara inhalasi isofluran 5%
sebelum dilakukan enukleasi mata, yang diolah untuk bedah beku mikroskopi dan
imunofloresensi mikroskop. Semua prosedur dilakukan sesuai dengan penyataan
ARVI mengenai Penggunaan Hewan pada Penelitian Mata dan Penglihatan dan
5
hal ini telah disetujui oleh Animal Care dan Komite Universitas California,
Berkeley.
Imunohistokimia dari jaringan kornea
Seluruh mata difiksasi dalam paraformaldehyde 4% (wt/vol) selama 1 jam
pada suhu kamar, ditambahkan 30% sukrosa dalam OBS (wt/vol) semalam pada
suhu 40c dan beku pada suhu yang optimal pada media penanaman sebelum
dibedah dengan ketebalan 5-8 μm dengan menggunakan alat cryostat (CM1900;
Leica mycrosystema, Bannockburn, IL). Untuk menghindari pewarnaan yang
nonspesifik, potongan diinkubasi dalam PBS yang mengandung 3% bovine serum
albumin (BSA), 35 serum kambing dan 0,1% Triton X-100 selama 1 jam pada
suhu kamar. Potongan diinkubasi dalam antibodi monoclonal pada tikus yaitu
CD11 b/c (label CR3 reseptor komplemen ditemukan paling banyak fagosit), ED-
1 (monosit / makrofag marker),reseptor αβ T-cell atau CD4 (BD Pharmingen, San
Jose, CA) sepanjang malam dalam suhu 40C dan diusap sebanyak 3 kali selama 5
menit dalam PCST (0,1%BSA, dan 0,1% Triton X-100 in PBS). Rhodamin red
terkonjugasi, antibody IgG sekunder pada tikus (Invitrogen, Carlsbad, CA, 1:5000
dilusi dalam buffer) digunakan selama 1 jam dalam suhu ruangan, diikuti
pencucian dilakukan 4 kali setiap pencucian 10 menit dalam PBST. Sampel
dimuat dan diwarnai dengan media yang mengandung DAPI (Vectashield, Vector
Laboratories, Burlingame, CA)untuk label inti sel (biru) dilihat di bawah
mikroskop dengan menggunakan epifluorescense mikroskop (IX70, Olympus,
Center Valley, PA).
Mikroskop confocal laser scanning dari kontak lensa
Lensa kontak yang telah dilepas dari hewan yang terinfeksi dilihat dengan
menggunakan sistem konfokal menggunakan 488 nm laser untuk meneliti ikatan
bakteri yang dilihat dari GFP sinyal. Untuk mempermudah melihat, lensa kontak
dipotong separuh, dibasahi dengan PBS dan di letakkann pada object glass. Agar
dapat melihat kedua sisi posterior dan anterior lensa dan untuk menghindari
perbedaan deteksi sinyal disepanjang kedalaman sampel, maka bagian lensa
6
diletakkan berlawanan arah sehingga kedua permukaan posterior dan anterior
dapat terlihat dalam bidang yang sama. Dari studi menegaskan bahwa bakteri
yang melekat pada lensa kontak mengandung GFP plasmid.
ANALISIS STATISTIK
Data numerik di nyatakan sebagai nilai median dengan kuartil atas dan
kuartil bawah. Uji non parametrik menggunkan uji Mann Whitney untuk
membandingkan perbedaan dari dua kelompok terssebut dan test Kruskal Wallis
digunakan untuk kelompok dengan jumlah 3 atau lebih. P< 0,05 menunjukkan
bahwa hasilnya signifikan.
HASIL
Pengaruh parameter inokulum pada penggunaan Lensa Kontak yang
menyebabkan keratitis P. Aeruginosa
Semua lensa kontak yang digunakan pada hewan percobaan menimbulkan
kekeruhan pada kornea setelah inokulasi pertama dengan P. Aeruginosa setelah
pemasangan lensa, terlepas dari kondisi inokulum dan blotting kornea. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam onset penyakit pada kelompok low inokulum (8
hari) dan high inokulum (7 hari) (p=0,617; Mann Whitney U test). Inokulasi
dengan menggunakan pena menyebabkan penyakit dengan onset 10 hari, hasil ini
juga menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara low dan high dose
inoculum (p=0,240 kruskal wallis test). Lensa mata yang sebelumnya dipindahkan
dari mata yang sakit menunjukkan kecenderungan onset yang lebih pendek
dibandingkan yang lain ( median 2 hari), yang secara statistik signifikan
dibandingkan dengan kelompok inokulim yang disengaja (p= 0,048, mann
Whitney U Test). Kornea blotting dengan kertas tissu sebelum inokulasi (high
Inokulum) dan pemasangan lensa sehingga memungkinkan diwarnai flouresins
tidak mempengaruhi waktu onset (median 8,5 hari) (p= 1,000, mann whitney u
7
test dibandingkan dengan high dose inoculum tanpa blotting).
Gambar 2. Onset dari penyakit (A) dan skor tingkat keparahan (B) lensa kontak yang
menyebabkan keratitis P. Aeruginosa pada tikus setelah inokulasi pertama. Tidak ada perbedaan
waktu yang signifikan pada onset penyakit (p=0,240) maupun tingkat keparahan penyakit (p=
0,427) pada kelompok low inocula (105 cfu) (n= 4 hewawn), high dose (109 cfu) (n=5 hewan) dan
inoculum yang tidak disengaja (n=3 hewan). Pengusapan pada kornea sebelum lensa di pasang
tidak menunjukkan efek pada onset dan tingkat keparahan penyakit (p=1,00, p=0,330).
Pemindahan lenda dari mata yang sakit menunjukkan onset yang lebih cepat dibandingkan pada
kelompok tidak sengaja dan kelompok inoculum) (p=0,074 dan 0,048) (n= 4 hewan)
Skor keparahan penyakit (gambar 2b) berkisar dari rata 6 (lensa ditransfer)
sampai 9 (high inokulum) dan maksimal 16. Tidak ada perbedaan signifikan pada
skor keparahan penyakit pada kelompok high inokulum, low inokulum maupun
inoculum yang disengaja (p= 0,427, Kruskal wallis test) ataua antara blotted dan
unblotted pada high inokulum ( p=0,33; mann whitney u test). Tak satupun dari
mata kontralateral yang menggunakan lensa steril sampai 14 hari menunjukkan
penyakit kornea.
8
Gambar 3. Jumlah ekspresi GFP P. Aeruginusa strain PAO1 bakteri hidup yang
didapatkan dari permukaan mata (A) atau yang didapatkan dari lensa kontak (B). Tidak ada
perbedaan signifikan diantara kelompok.
Seperti yang terlihat pda gambar 3A dan 3B, pembersihan ocular dan
homogenisasi lensa dari mata yang terinfeksi menunjukkan jumlah yang sangat
mengejutkan pada setiap lukasi (1,5-2,4 x 105 cfu dan 0,57-1,3 x 108cfu, masing –
masing untuk semua hewan percobaan). Untuk kedua parameter tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kelompok tersebut (p=0,659, p=0,688)
Media selektif digunakan untuk memverifikasikan bahwa bakteri yang
berasal dari mata yang terinfeksi merupakan bateri yang bersala dari inoculum
yang pertama kali diperkenalkan ketika lensa dipasang. Hal ini dilakukan dengan
secara simultan seperti yang diterangkan pada bahan dan metode. Hanya ada satu
jenis koloni yang tumbuh di piring TSA. Hasil ini menunjukkan adanya retensi
dari GFP plasmid dalam penggunaan lensa di model in vivo. Data ini konsisten
dengan peneliian sebelumnya yang menunjukkan adanya retensi dari plasmid oleh
P. Aeruginosa dalam kornea yang terinfeksi.
9
Patologi dan mikroskopi pada kornea
Kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diperiksa secara makroskopik dan
mikroskopik dengan menggunakan kontras dan flouresens dua contoh dari mata
yang mempunyai keratitis yang berat (skor lebih dari 10) terdapat kekeruhan pada
pusat kornea, kerusakan lapisan kornea dengan aadanya pembengkakan dan
adanya infiltrasi selular (sel biru). Terdapat infiltrasi dari GFP P. Aeruginosa pada
setiap kornea yang terinfeksi. Mata dengan tingkat keparahan dan skor kurang
dari 10 (gambar 4B) terdapat kekeruhan pada kornea pusat tetapi lebih redup
dibandingkan keratitis yang berat, ada kerusakan pada lapisan kornea,
pembengkakan pada sel epitel kornea dan adanya infiltrat. Tidak ditemukan GFP
P. Aeruginosa pada kelompok mild disease menunjukkan bahwa bakteri belum
masuk ke dalam kornea, atau terbunuh ketika memasuki kornea.
Gambar 4. A. Keratitis yang berat dengan total skor lebih dari 10 B. Mild keratitis dengan total
skor kurang dari 10 C. Mata kontrol. Kornea dan infiltrasi diwarnai dengan DAPI (biru). Semua
mata yang terinfeksi menunjukkan adanya jumlah yang besar sel –sel infiltratif yang masuk ke
dalam kornea. Keratitis yan berat mempunyai kerusakan struktur lapisan kornea yang berat dan
menunjukka adanya ekspresi GFP dari P. Aeruginosa (hijau). EP = epitelium EN= endothelium
10
Gambar 5. Imunostaining setelah infiltrasi sel (red) 3 hari setelah inokulasi P. Aeruginosa pada
hewan coba yang menggunakan lensa kontak. Kanan, infiltrating sel ditandai dengan adanya
antibodi monoclonal tikus CD 11 b/c (CR3 reseptor komplemen, contoh fagosit), ED 1 antigen
(monosit, makrofag), ab T cell reseptor atau CD4. Inti sel terwarnai dengan DAPi (biru). Kiri,
gambar dengan kontras. (pada low inoculum)
Pembentukan Biofilm P. aeruginisa dalam penggunaan Lensa kontak
Laser Scanning confocal mikroskop dari lensa yang dilepas dari mata tikus
dengan P. Aeruginosa keratitis menunjukkan struktur klasik biofilm bakteri di
permukaan lensa posterior (15-20 μm ketebalan total) (gambar 6b 6d). Biofilm ini
sebagian tertanam dalam lensa (10-15μm ke dalam lensa dari 80 μmketebalan
total) dengan sisa (5 μm) biofilm mengenai permukaan lensa. Sebaliknya,
permukaan anterior menunjukkan bakteri yang terisolasi tertanam hingga 10 μm
di bawah permukaan (gambar 6a, permukaan anterior 6b). Lensa yang dinokulasi,
103 cfu/mL PAO1-GFP selama 24 jam (low inoculum; Fig. 6C) or 1011 cfu/mL
11
selama 3 jam (high inoculum) tidak menunjukkan struktur biofilm sebelum
dipasang.
Gambar 6. Hasil dari confocal microscopy P aeruginosa sebelum dan sesudah
menggunakan lensa kontak. Permukaan anterior lensa (A) dan permukaan posterior lensa (B)
setelah 4 hari digunakan pada mata tikus (kelompok low inoculum). Pembentukan biofilm terdapat
pada posterior (C), setelah 9 hari masih ditemukan biofilm pada permukaan posterior lensa (D)
DISKUSI
Dari data menunjukkan bahwa inokulum tunggal P. Aeruginosa pada lensa
kontak dapat menyebabkan kejadian keratitis pada tikus selama 2 hingga 14 hari
setelah pemakaian. Bakteri ditemukan pada lensa dan pada permukaan mata
( bawah lensa) di semua mata yang sakit. Patologi dikaitkan dengan adanya
infiltrai dari fagosit (CD11b / c + dan ED-1 + sel) dan T-limfosit CD4 + sel
termasuk. Keterlambatan onset, keparahan penyakit sangat dipengaruhi oleh
parameter inokulum (ukuran atau jenis) atau keadaan dari barier epitel (untuk
12
flouresin). Pada semua kasus biofilm P. Aeruginosa ditemukan tertanam pada
posterior bukan anterior dari permukaan lensa.
P. aeruginosa memiliki genom yang besar dengan jumlah gen yang tidak
biasa yang ditujukan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Terdiri dari dua
komponen regulator sensorik sistem yang dapat menyesyakan diri pada beragam
lingkungan. Beberapa sistem ini mengatur mengenai faktor virulensi dan
patogenesis penyakit kornea secara in vivo. Pada penelitian menunjukkan adanya
penundaan onset pada saat lensa dipindahkan dari mata yang terinfeksi ke mata
yang sehat menunjukkan bahwa patogenesis dari kontak lensa yang menyebabkan
keratitis melibatkan proses adaptasi bakteri secara in vivo, dengan disertai
perubahan ekspresi gen untuk mengaktifkan fenotip dan genotip bakteri. Dari data
menunjukkan bahwa P. Aeruginosa dapat meningkatkan kemampunnya dalam
menembus berlapis- lapis epitel kornea pada paparan berulang di kornea.
Pembentukan biofilm yang ditemukan pada permukaan posterior lensa
menunjukkan bahwa ada keterlibatan dalam patogenesis. Keberadaan pada
permukaan lensa posterior dapat melindungi bakteri dari aliran air mata.
Selanjutnya diketahui bahwa biofilim pada P. Aeruginosa dapat melindungi dari
bakteri lain dan dari imun host sehingga bakteri dapat mengubah ekspresi gen dan
mengakibatkan resistensi. Pertumbuhan bakteri sebagai biofilm pada lensa kontak
terbukti secra in vitro menimbulkan resistensi pada disinfektan dan sel fagosit.
Biofilm ini juga dapat melindungi bakteri dari sel epitel dan zat anti microba dari
air mata seperti sistem komplemen, igA, peptida defensin dan peptida
antimikroba. Penelitian lanjut diperlukan untuk menggambarkan kontribusi relatif
dalam inisiasi lensa kontak yang berhubungan dengan keratitis.
Perbedaan yang mencolok dalam pembentukan biofilm bakteri pada
bagian anterior dan posterior lensa. Kebersihan pada permukaan anterior karena
adanya refleks berkedip dan aliran air mata dapat membantu mencegah
terbentuknya koloni bakteri. Adanya biofilm pada permukaan posterior lensa
menunjukkan tidak adanya pertahanan dibawah lensa kontak. Bisa juga karena
13
adanya perubahan biokimia dari air mata yang mengakibatkan pertumbuhan
bakteri di bawah lensa. Penggunaan lensa kontak dapat menyebabkan
berkurangnya pencampuran air mata pada permukaan kornea dan mempengaruhi
volume air mata di kornea. Hal ini menunjukkan bahwa kelenjar lakrimal atau
konjungtiva yang menghasilkan faktor biokimia untuk sistem pertahanan secara
signifikan berkurang ketika memakai lensa kontak.
Dampak lensa kontak pada epitel kornea juga telah terbukti. Dari
penelitian in vitro menunjukkan bahwa paparan sel epitel terhadap lensa kontak
akan memblok dari antimikroba peptida bera defensin. Penilitian lain dengan
model in vivo dengan menggunakan kelinci menunjukkan adanya gas permeabel
yang kaku pada lensa kontak sehingga menghambat proliferasi epitel kornea dan
menyebabkan apoptosis desakuamasi. Semua penelitian ini menunjukkan bahwa
lensa kontak pada epitel kornea menyebabkan kornea mudah terkena infeksi dari
P. Aeruginosa.
Kesimpulanya lensa kontak pada keratitis microbial yang dilakukan pada
hewan percobaan memberikan keuntungan yang signifikan. Data yang
ditunjukkan dalam studi ini menunjukkan bahwa adaptasi bakteri ke lensa kontak,
menyebabkan pembentukan biofilm pada permukaan posterior lensa dan
berkontribusi dalam patogenesis penyakit ini.
14
Referensi
1. Green M, Apel A, Stapleton F. A longitudinal study of trends in keratitis in Australia. Cornea. 2008;27:33–39.
2. Cheng KH, Leung SL, Hoekman HW, et al. Incidence of contact-lens-associated microbial keratitis and its related morbidity. Lancet.1999;354:181–185.
3. Ibrahim YW, Boase DL, Cree IA. Epidemiologic characteristics, predisposing factors and microbiological profile of infectious corneal ulcers: the Portsmouth Corneal Ulcer Study. Br J Ophthalmol. 2009;93:1319–1324.
4. Morgan PB, Efron N, Hill EA, et al. Incidence of keratitis of varying severity among contact lens wearers. Br J Ophthalmol. 2005;89:430–436.
5. Yamamoto N, Jester JV, Petroll WM, Cavanagh HD. Prolonged hypoxia induces lipid raft formation and increases Pseudomonas internalization in vivo after contact lens wear and lid closure. Eye Contact Lens. 2006;32:114–120.
6. Zhu H, Kumar A, Ozkan J, et al. Fimbrolide-coated antimicrobial lenses: their in vitro and in vivo effects. Optom Vis Sci. 2008;85:292–300.
7. Sankaridurg PR, Rao GN, Rao HN, Sweeney DF, Holden BA. ATPase-positive dendritic cells in the limbal and corneal epithelium of guinea pigs after extended wear of hydrogel lenses. Cornea. 2000;19:374–377.
8. Hazlett LD. Corneal response to Pseudomonas aeruginosa infection. Prog Retin Eye Res. 2004;23:1–30.
9. Willcox MD. Pseudomonas aeruginosa infection and inflammation during contact lens wear: a review. Optom Vis Sci. 2007;84:273–278.
10. Evans DJ, McNamara NA, Fleiszig SM. Life at the front: dissecting bacterial-host interactions at the ocular surface. Ocul Surf. 2007;5:213–227.
11. Szliter EA, Barrett RP, Gabriel MM, Zhang Y, Hazlett LD. Pseudomonas aeruginosa-induced inflammation in the rat extended-wear contact lens model.Eye Contact Lens. 2006;32:12–18.
12. Zhang Y, Gabriel MM, Mowrey-McKee MF, et al. Rat silicone hydrogel contact lens model: effects of high- versus low-Dk lens wear. Eye Contact Lens.2008;34:306–311.
13. Lakkis C, Fleiszig SM. Resistance of Pseudomonas aeruginosa isolates to hydrogel contact lens disinfection correlates with cytotoxic activity. J Clin Microbiol. 2001;39:1477–1486.
14. Lee EJ, Evans DJ, Fleiszig SM. Role of Pseudomonas aeruginosa ExsA in penetration through corneal epithelium in a novel in vivo model. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2003;44:5220–5227.
15. Lee EJ, Cowell BA, Evans DJ, Fleiszig SM. Contribution of ExsA-regulated factors to corneal infection by cytotoxic and invasive Pseudomonas aeruginosain a murine scarification model. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2003;44:3892–3898.
16. Stover CK, Pham XQ, Erwin AL, et al. Complete genome sequence ofPseudomonas aeruginosa PAO1, an opportunistic pathogen. Nature.2000;406:959–964.
15
17. Zolfaghar I, Angus AA,Kang PJ, et al. Mutation of retS, encoding a putative hybrid two-component regulatory protein in Pseudomonas aeruginosa, attenuates multiple virulence mechanisms. Microbes Infect. 2005;7:1305–1316.
18. Zolfaghar I, Evans DJ, Ronaghi R, Fleiszig SM. Type III secretion-dependent modulation of innate immunity as one of multiple factors regulated byPseudomonas aeruginosa RetS. Infect Immun. 2006;74:3880–3889.
19. Mah TF, O'Toole GA. Mechanisms of biofilm resistance to antimicrobial agents. Trends Microbiol. 2001;9:34–39.
20. Drenkard E, Ausubel FM. Pseudomonas biofilm formation and antibiotic resistance are linked to phenotypic variation. Nature. 2002;416:740–743.
21. Prince AS. Biofilms, antimicrobial resistance, and airway infection. N Engl J Med. 2002;347:1110–1111.
22. Szczotka-Flynn LB, Imamura Y, Chandra J, et al. Increased resistance of contact lens-related bacterial biofilms to antimicrobial activity of soft contact lens care solutions. Cornea. 2009;28:918–926.
23. Hume EB, Stapleton F, Willcox MD. Evasion of cellular ocular defenses by contact lens isolates of Serratia marcescens. Eye Contact Lens.2003;29:108–112.
24. Schein OD, Glynn RJ, Poggio EC, Seddon JM, Kenyon KR. The relative risk of ulcerative keratitis among users of daily-wear and extended-wear soft contact lenses: a case-control study. Microbial Keratitis Study Group. N Engl J Med.1989;321:773–778.
25. Mun JJ, Tam C, Kowbel D, et al. Clearance of Pseudomonas aeruginosa from a healthy ocular surface involves surfactant protein D and is compromised by bacterial elastase in a murine null-infection model. Infect Immun.2009;77:2392–2398.
26. McNamara NA, Polse KA, Brand RJ, et al. Tear mixing under a soft contact lens: effects of lens diameter. Am J Ophthalmol. 1999;127:659–665.
27. Lin MC,Chen YQ, Polse KA. The effects of ocular and lens parameters on the postlens tear thickness. Eye Contact Lens. 2003;29:S33–S36; discussion S57–S39, S192–S194.
28. Lin MC, Polse KA. Hypoxia, overnight wear, and tear stagnation effects on the corneal epithelium: data and proposed model. Eye Contact Lens.2007;33:378–381, discussion 382.
29. Maltseva IA, Fleiszig SM,Evans DJ, et al. Exposure of human corneal epithelial cells to contact lenses in vitro suppresses the upregulation of human beta-defensin-2 in respon
30. Ladage PM, Yamamoto K, Ren DH, et al Proliferation rate of rabbit corneal epithelium during overnight rigid contact lens wear. Invest Ophthalmol Vis Sci.2001;42:2804–2812.
31. Yamamoto K, Ladage PM, Ren DH, et al. Effects of low and hyper Dk rigid gas permeable contact lenses on Bcl-2 expression and apoptosis in the rabbit corneal epithelium. CLAO J. 2001;27:13
32. Ladage PM, Yamamoto K, Ren DH, et al. Effects of rigid and soft contact lens daily wear on corneal epithelium, tear lactate dehydrogenase, and bacterial binding to exfoliated epithelial cells. Ophthalmology. 2001;108:1279–128
16
33. Fleiszig SM, Efron N, Pier GB. Extended contact lens wear enhancesPseudomonas aeruginosa adherence to human corneal epithelium. Invest Ophthalmol Vis Sci. 1992;33:2908–2916.
17