Transcript

UU Rumah Sakit Antara Kepentingan Rumah Sakit dan Keselamatan PasienMasyarakat Hukum Kesehatan Indonesia berpendapat substansi RUU Rumah Sakit masih belum mengakomodir kepentingan publik.

Beberapa waktu lalu, dunia kesehatan nasional diramaikan oleh sebuah kasus yang menyita perhatian publik. Seorang pasien diperkarakan oleh sebuah rumah sakit, baik secara perdata maupun pidana. Pasien itu, Prita Mulya Sari didakwa dan digugat karena dianggap telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional melalui surat elektronik yang beredar di dunia maya. Kasus Prita vs Omni tidak hanya menarik dari aspek cyberlaw, tetapi juga dalam kaitannya dengan hubungan antara rumah sakit dan pasien.Senin (28/9), DPR melalui Rapat Paripurna mengesahkan sebuah RUU yang bisa menjadi solusi atas segala masalah yang terjadi antara rumah sakit dan pasien. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari saat menyampaikan Pendapat Akhir Presiden terhadap RUU Rumah Sakit, mengatakan masyarakat sekarang sangat paham atas hak dan kewajiban yang mereka miliki. Akibatnya, masyarakat pun menuntut mutu pelayanan dan tanggung jawab pemberi pelayanan kesehatan.Kondisi ini membuat semakin kompleksnya permasalahan di rumah sakit, kata Fadilah. Salah satu masalah itu adalah maraknya tuntutan malpraktik pada fasilitas pelayanan kesehatan yang diduga atas kelalaian tenaga kesehatan maupun rumah sakit. Padahal, di luar itu, rumah sakit masing dipusingkan dengan persoalan finansial. Pengelolaan rumah sakit, menurut Fadilah, memerlukan biaya operasional dan investasi yang besar.Menjawab segala persoalan yang dihadapi rumah sakit, Fadilah memandang keberadaan sebuah undang-undang yang mengatur tentang rumah sakit sangat dibutuhkan. Selama ini, pengaturan rumah sakit hanya di level peraturan menteri kesehatan. Kondisi ini, lanjutnya, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. Keberadaan undang-undang rumah sakit tidak mungkin ditunda-tunda lagi, tegasnya.Fadilah menyadari pembahasan RUU Rumah Sakit tidaklah mudah karena memerlukan pendekatan multidisipliner serta harus sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, ia berharap RUU Rumah Sakit tetap memperhatikan prinsip jaminan pelaksanaan HAM, perlindungan pasien, pemberdayaan masyarakat, implementasi hak dan kewajiban masing-masing pihak serta meningkatkan peran serta SDM kesehatan dan organisasi profesi.Pembentukan UU Rumah Sakit, jelas Fadilah, juga diperlukan sebagai perwujudan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menyatakan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.Semoga dengan disahkannya RUU ini tujuan penyelenggaraan rumah sakit dapat memberikan sumbangsih nyata dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya, papar Fadilah.Secara normatif, RUU Rumah Sakit memang memuat sejumlah substansi yang dapat memberikan solusi atas masalah sebagaimana dipaparkan Menteri Kesehatan. Soal pembiayaan misalnya, RUU membuka banyak opsi sumber finansial. Mulai dari penerimaan rumah sakit, anggaran dan subsidi pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta sumber lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan perundang-undangan. Sementara, untuk melindungi kepentingan pasien. RUU Rumah Sakit misalnya secara tegas menyatakan rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). RUU Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).Organ untuk melindungi keselamatan pasien lengkap karena RUU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien.Pada level yang lebih tinggi', RUU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57). Tidak pro publikDihubungi hukumonline, Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia M Nasser berpendapat substansi RUU Rumah Sakit masih belum mengakomodir kepentingan publik. Secara umum, Nasser menangkap paradigma pemerintah dalam RUU ini hanya menempatkan rumah sakit sebagai alat negara dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada warga negaranya. Akibatnya, RUU Rumah Sakit belum mampu menjamin akses publik khususnya masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan.Diakui Nasser, sejumlah substansi RUU seperti pembentukan Badan Pengawas dan penetapan tarif rumah sakit menyiratkan sikap pemerintah yang ingin melindungi kepentingan pasien. Namun, ia ragu apa yang tertulis dalam RUU akan diimplementasikan dengan baik. Kelemahan yang terdapat dalam RUU Rumah Sakit dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kalangan pemodal untuk mengkomersilkan rumah sakit.Hal ini (kelemahan RUU Rumah Sakit) bisa terjadi karena dua. Pertama, karena DPR kejar setoran. Kedua, pemerintah dalam pembahasan tidak ngotot memperjuangkan kepentingan publik, Nasser menambahkan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol23216/antara-kepentingan-rumah-sakit-dan-keselamatan-pasien

Sabtu, 02 Juli 2011Manajemen Rumah Sakit Di Indonesia Di samping masalah-masalah manajemen, rumah sakit kita juga menghadapi masalah-masalah yang lebih mendasar, yaitu aspekaspek filosofi. Apakah RS harus tetap merupakan instansi social yang non-profit making atau boleh profit making?Dalam Majalah Manajemen (No. 4, Mei 1981) telah dikemukakan sebuah artikel: Organisasi Rumah Sakit Mengapa Kurang Efektif? Artikel tersebut ditulis oleh J. Sadiman, dan mengemukakan aspekaspek hubungan

antara pengurus/yayasan yang memiliki rumah sakit dengan direksi rumah sakit serta kemungkinan adanya kekaburan mengenai menajemen organisasi rumah sakit.Masalah manajemen rumah sakit pada akhir-akhir ini memang banyak disorot. Tidak saja atas keluhan-keluhan masyarakat yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit, baik dari segi mutu, kemudahan, dan tarif, tetapi juga perkembangan zaman yang memang sudah mendesak ke arah perbaikan-perbaikan itu.Setidak-tidaknya ada beberapa alasan untuk meningkatkan kemampuan manajemen rumah sakit:1. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang cepat.Dalam 10-20 tahun terakhir, ilmu kedokteran (termasuk di Indonesia) telah berkembang tidak saja ke tingkat spesialisasi dalam bidang-bidang ilmu kedokteran, tetapi sudah ke superspesialisasi.Sejalan dengan ini, teknologi yang dipergunakan juga semakin meningkat. Bisa dipahami bahwa investasi dalam dunia kedokteran dan rumah sakit akan semakin mahal (termasuk human invesmentnya). Karena itu, manajemen rumah sakit yang tidak baik akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang semakin mahal atau sebaliknya, bahwa rumah sakit tidak dapat berjalan dan bangkrut. Dalam hal ini perlu disadari bahwa dengan perkembangan tersebut, pelayanan rumah sakit pada dasarnya memang cenderung menjadi mahal.2. Demand masyarakat yang semakin meningkat dan meluas. Masyarakat tidak saja menghendaki mutu pelayanan kedokteran yang baik, tetapi juga semakin meluas. Masalah-masalah yang dahulu belum termasuk bidang kedokteran sekarang menjadi tugas bidang kedokteran. Terjadi apa yang disebut proses medicalization. Dapat dimengerti bahwa karenanya beban rumah sakit akan semakin berat.3. Dengan semakin luasnya bidang kegiatan rumah sakit, semakin diperlukan unsur-unsur penunjang medis yang semakin luas pula, misalnya: masalah-masalah administrasi, pengelolaan keuangan, hu-bungan masyarakat dan bahkan aspek-aspek hukum/legalitas. Belum lagi kehendak pasien yang menghendaki unsur penunjang nonmedis yang semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini. Manajemen rumah sakit dengan demikian akan semakin kompleks. Makin lama makin dirasakan perlunya peningkatan pengelolaan rumah sakit secara profesional.Ada kesan bahwa kecenderungan di atas kurang diperhitungkan. Rumah sakit seolah-olah ketinggalan kereta menanggapi kecenderungan itu. Di samping itu, juga masalah-masalah yang elementer banyak yang belum terselesaikan, misalnya seperti yang ditulis oleh J. Sadiman, yaitu hubungan antara direksi rumah sakit dan pemilik rumah sakit (yayasan) sehingga sering terjadi kesalahpahaman di antara keduanya.Rumah sakit di Indonesia untuk sebagian besar ( 70%) dimiliki oleh Pemerintah. Sebagian rumah sakit swasta didirikan oleh lembaga-lembaga/yayasan, khususnya dengan latar belakang keagamaan atau lembaga-lembaga sosial lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang yang terhormat. Sudah tentu, rumah sakit seperti ini membawa missi sosial dan karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat non-profit making inilah, ada kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola asal jalan dan sematamata mengutamakan pelayanan medis pasien-pasien yang dirawat. Kerugian yang ada biasanya akan ditangani lembaga-lembaga keagamaan/sosial yang bersangkutan, dari donasi/sumbangan yang diperolehnya.Baru pada akhir-akhir ini, terutama pada sekitar tahun 1975, muncul rumah sakit swasta di kota-kota besar, yang dikelola dengan motivasi yang agak berlainan. Meskipun rumah sakit ini tidak secara berterus terang merupakan lembaga yang profit making, akhirnya toh tidak dapat disembunyikan bahwa rumah sakit ini mempunyai kemampuan finansial yang kuat yang tentunya sulk untuk menyatakan bahwa rumah sakit ini adalah non-profit making dan sosial sematamata. Fenomena ini telah menumbuhkan polemik baru dari segi filosofis, yaitu apakah rumah sakit dimungkinkan dikelola secara bisnis dalam arti menjadi suatu instansi yang profit making? Polemik ini sudah tentu menyangkut landasan kenegaraan/falsafah kenegaraan kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945.Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit toh tidak mungkin dikelola semata-mata sosial. Dalam keadaan sekarang, hampir seluruh rumah sakit swasta menghadapi realita kehidupan yang semakin meterialistis. Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur, dan bahkan imbalan jasa dokter dan paramedic dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini memang lebih mementingkan aspek sosial, seolah-olah ketinggalan kereta. Tidak terlepas dalam hubungan ini adalah rumah sakit pemerintah di mana meskipun seluruh biaya eksploitasi/personel/gedung dan lain sebagainya ditanggung oleh pemerintah (secara teoretis), keperluan mengelola rumah sakit sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen adalah sangat mutlak.Hubungan DokterRumah SakitMasalah ini juga sangat pelik. Seperti dikatakan di atas, hampir seluruh rumah sakit yang besar sekalipun tidak memiliki dokter ahli yang tetap. Dewasa ini mereka bekerja secara lepas dan tersendiri dan rumah sakit semata-mata memberikan hak kepada dokter-dokter untuk merawat pasien di rumah sakit. Sebagian rumah sakit me-nyelenggarakan hubungan kerja secara part time untuk suatu jabatan rumah sakit tertentu, misalnya untuk direksi medis atau kepala-kepala bagian. Namun sudah ada rumah sakit swasta yang justru melepas keterikatan dengan dokter-dokter ahli ini. Hubungan ini membawa implikasi yang pelik dalam hubungan keuangan. Menjadi pertanyaan, pasien yang dirawat di rumah sakit itu pasien dokter atau pasien rumah sakit? Apabila mereka itu pasien para dokter, bukankah rumah sakit harus berterima kasih kepada dokter-dokter? Dokter-dokter dengan demikian benar-benar tamu rumah sakit. Artinya, orang yang dihormati, berada di luar organisasi rumah sakit, tetapi menentukan jalannya rumah sakit, karena 80% dari biaya rumah sakit pada hakikatnya dikontrol oleh dokter-dokter.Dengan peranan yang besar dari para dokter dan sebaliknya, begitu kendornya hubungan antara dokter dan rumah sakit dewasa ini tidak saja memberi dokter posisi unik di rumah sakit, tetapi juga sangat berpengaruh dalam memberikan warna terhadap pengelolaan rumah sakit secara keseluruhan. Karena itu, banyak direktur rumah sakit yang sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi dokter-dokter.Meskipun demikian, dengan adanya kebutuhan untuk mening- katkan manajemen rumah sakit seperti di atas, pola-pola hubungan itu sudah harus diletakkan dari sekarang. Dalam menghadapi masalah ini, rumah sakit (sebenarnya) lebih banyak harus menyesuaikan dini dengan kebijalcsanaan pemerintah, karena hampir semua dokter spesialis berada dalam kewenangan pemerintah.Dan i segi manajemen, rumah sakit dapat saja bertahan -dalam ke- adaan sekarang, artinya mempertahankan status hubungan sebagai dokter tamu atau status part timer dengan dokter-dokter ahli, atau sebagai konsultan, namun (akhirnya) masyarakat yang menjadi korban. Seperti yang kita lihat sekarang, di mana terjadi disparitas yang besar antara rumah sakit pemerintah dan swasta. Rumah sakit pemerintah mampu memberikan pelayanan yang murah, sehingga banyak dimanfaatkan rang, tetapi berakibat kualitas pelayanannya sering dianggap kurang. Sebaliknya, dari segi pengabdian merupakan tempat pengabdian yang utama. Sedangkan di rumah sakit swasta, mereka memperoleh insentif dari aspek-aspek material. Disparitas ini mengesankan bahwa rumah sakit swasta untuk golongan yang mampu dan rumah sakit pemerintah untuk melayani golongan yang kurang mampu. Tetapi, dalam perkembangan waktu, rumah sakit pemerintah pun didorong untuk memiliki fasilitas golongan yang mampu dengan timbulnya fasilitas-fasilitas khusus di rumah sakit pemerintah. Di sini, juga diakomodir kepentingan dokter dari segi material.Keadaan seperti ini, pada akhir-akhir ini telah memperoleh perhatian. Konon sedang dipikirkan, bagaimana rumah sakit juga dapat memiliki dokter-dokter ahli yangfid/ time, sehingga pelayanan rumah sakit semakin dapat dijangkau oleh masyarakat luas.Pengelolaan Rumah SakitPengelolaan rumah sakit sehari-hari menjadi wewenang dan tugas di- reksi rumah sakit sendiri. Pada dasarnya, betapapun (mungkin) ke- bijaksanaan yang diberikan oleh pengurus yayasan/pemilik rumah sakit mungkin sudah baik, citra rumah sakit akan terbentuk oleh pe- laksanaan tugas sehari-hari.Scperti dikatakan di atas, masalah-masalah ini menjadi semakin komplelcs. Pelayanan administrasi/penunjang/hubungan masyarakat dan aspek-aspek hukum/peraturan rumah sakit semakin luas. Hal ini memerlukan penanganan manajemen secara lebih profesional. Hospital management telah berkembang menjadi ilmu yang tersendiri. Sebaliknya, dengan peningkatan ilmu kedokteran ke tingkat super- spesialisasi, ada anggapan bahwa dokter-dokter (secara profesional) sayang apabila menangani masalah-masalah yang nonmedis.Masalah itu perlu dikemukakan, karena peranan dokter adalah sangat kuat dan pengelolaan rumah sakit di Indonesia dewasa ini, yang dengan sendirinya mempengaruhi jalannya organisasi-organisasi rumah sakit, yaitu penyelenggaraan organisasi diagnostik, therapy, perawatan pasien, penyediaan/logistik, adiminstrasi/keuangan, rumah tangga, perlengkapan dan lain sebagainya.Tentunya akan sangat ideal, apabila seorang direktur adalah se- orang dokter yang telah memperoleh pendidikan dalam Hospital Management. Tidak berlebihan bahwa para manajer rumah sakit di Indonesia telah banyak belajar dari pengalaman, namun dalam meng- hadapi perumahsakitan yang semakin komplelcs, masalah ini perlu dipecahkan, sehingga kemampuan rumah sakit menyelenggarakan rumah sakit itu dapat ditingkatkan.Struktur OrganisasiDengan memperhatikan uraian di atas, jelaslah bahwa ada tiga badan yang semestinya sangat penting dengan tugas dan wewenang yang cukup jelas, yaitu:1. Pemilik Rumah Sakit/Yayasan/Governing Board.2. Direksi Rumah Sakit.3. Staf Kedokteran (Medical Staff).Ketiga Badan ini, sesuai dengan fungsi dan wewenangnya, saling mengisi dan mengontrol, sehingga tercapai keseimbangan untuk mengarahkan tujuan yang hendak dicapai oleh rumah sakit itu.Tetapi, khusus di Indonesia, ketiga badan ini pada umumnya masih sering terjadi semacam conflict of interest dari masing-masing anggota badan tersebut, karena dari segi personalia sering tidak dapat dipisahkan tugas seorang dokter yang menjadi direksi rumah sakit yang sekaligus merawat pasien. Atau anggota yayasan yang juga merawat pasien. Dalam tahap sekarang masalah ini memang (dalam batas-batas tertentu) tidak dapat dihindari, karena peranan yang besar dari para dokter dalam badan-badan tersebut. Masalah ini dalam tahap pertama tentunya dapat dikurangi dengan suatu job discription yang sejelas-jelasnya. Di masa depan, dengan perkembangan rumah sakit yang semakin kompleks, tentunya dianjurkan adanya pemisahan yang jelas. Dalam hubungan ini, untuk kemudahan komunikasi, ketiga badan ini dapat membentuk semacam Badan Musyawarah yang merumuskan dan menampung permasalahan-permasalahan yang ada, sebelum diputus oleh yayasan/ Governing Board/pemilik rumah sakit.Kepentingan untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan rumah sakit memang sudah mendesak. Dalam tahap pertama, perlu disadari pentingnya keseragaman pandangan di antara pendukung suatu rumah sakit, baik pengurus yayasan, direksi dan para dokter, rumah sakit, lambat atau cepat, semakin dihadapkan pada masalah-masalah yang semakin pelik. Untuk itu pengelolaan rumah sakit harus semakin ditingkatkan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen yang berlaku.Apabila masalah ini sudah dicapai, direksi rumah sakit yang bertugas mengelola rumah sakit akan banyak didorong dan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip Hospital Administration secara semestinya.PustakaManajemen kesehatan Oleh Sulastomohttp://mediadigitalindonesia.blogspot.com/2011/07/manajemen-rumah-sakit-di-indonesia-2.html

Pengabaian Hak Pasien Oleh Rumah Sakit & Dokter Sebuah Study Kasus Terhadap Putusan MA Nomor 365 K / Pid / 201228 November 2013 | 17:52 By : El Roi Israel SipahelutDalam Kehidupan sehari-hari tidak ada manusia yang tidak pernah sakit. Ada yang sakitnya hanya sakit ringan sehingga tidak diobatipun penyakitnya telah sembuh sendiri, akan tetapi ada pula yang sakitnya adalah sakit berat sehingga membutuhkan perawatan khusus untuk menyembuhkan penyakitnya tersebut. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan hidup yang sangat penting dalam menunjang aktifitas sehari-hari. Manusia melakukan berbagai upaya demi mewujudkan hidup yang sehat. Pasal 47 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kegiatan. Pelayanan kesehatan prefentif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan keadaan pasien dalam kondisi semula .Pasien pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan yang intensif. Dokter dianggap sebagai pribadi yang akan dapat menolongnya karena kemampuannya secara ilmiah sehingga peranan dokter dalam melakukan tindakan medis seolah-olah mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang lebih tinggi daripada pasien. Dokter adalah orang yang mempunyai keahlian profesional sebagai pemberi jasa, di pihak lain pasien orang yang memerlukan bantuan jasa profesi dokter sebagai penerima jasa pelayanan. Hubungan kedua belah pihak tersebut dimulai pada saat pertama kali pasien datang ke kamar praktik dokter dengan membawa keluhan sakit pada dirinya. Setelah mendengar keluhan sakit dari pasien maka timbul inisiatif dokter untuk melakukan tindakan tertentu yang bertujuan untuk menyembuhkan pasien1Kedudukan hukum para pihak dalam tindakan medis adalah seimbang sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Dokter bertanggungjawab selaku profesional di bidang medis yang memiliki ciri tindakan medis berupa pemberian bantuan atau pertolongan yang seharusnya selalu berupaya meningkatkan keahlian dan ketrampilannya melalui penelitian. ___________________1Cst. Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 234Pasien bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang ia berikan kepada dokter dan membayar biaya administrasi pengobatan. Pasien di dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sering kali pasien hanya mengikuti kata dokter sehingga pasien berada pada posisi yang lemah. Hubungan dokter dengan pasien tidaklah seimbang, dokter sebagai orang yang mempunyai ilmu tentang kesehatan, semua perkataan dan perintahnya akan diikuti oleh pasien sedangkan hak pasien kadang terabaikan.Tindakan dokter secara umum hanyalah menyangkut kewajiban untuk mencapai tujuan tertentu yang didasarkan pada standar profesi medis (inspaningsverbintennis). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesional dan menghormati hak pasien. Kewajiban dokter untuk memberikan informed consent kepada pasien sebenarnya tidak terlepas dari kewajiban dokter untuk memperoleh atau mendapatkan informasi yang benar dari pasien. Hubungan antara dokter, pasien, dan rumah sakit yang ditentukan pada kode etik di samping menimbulkan hubungan medis, juga berakibat pada hubungan hukum pelayanan kesehatan kesehatan melibatkan beberapa tenaga kesehatan di dalamnya.Pelayanan kesehatan merupakan suatu komoditas jasa yang mempunyai sifat-sifat khusus dan tidak sama dengan industri jasa lainnya, seperti jasa angkutan, jasa telekomonikasi, dan jasa perbankan. Konsumen yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan biasanya dalam kondisi sakit, prihatin, panik, dan tegang dalam ketidakpastian, ini artinya konsumen menghadapi unsur keterpaksaan.2Kalangan penyandang profesi medik/kesehatan melakukan tindakan/perbuatan terhadap pasien berupa upaya yang belum tentu keberhasilannya, karena transaksi terapeutik hakikatnya merupakan transaksi para pihak, yaitu dokter dan pasien, untuk mencari terapi yang paling tepat oleh dokter dalam upaya menyembuhkan penyakit pasien. Hubungan transaksi terapeutik ini dinamakan inspanningsverbintenis dan bukan resultaatverbintenis sebagaimana persepsi pasienyang menilai dari hasil. Pasien juga tidak pernah mempunyai pikiran bahwa apa pun tindakan/perbuatan yang dilakukan oleh dokter dan/atau tenaga kesehatan lainnya itu sudah didasarkan pada persetujuan pasien, yang dalam kepustakaan disebut sebagai informed consent atau persetujuan tindakan medik.3Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi apabila pasien datang membutuhkan bantuan dokter mengenai diagnosis atau perawatan doter dalam melakukan jasa tertentu. Hubungan dokter dengan pasien ditinjau dari sudut hukum merupakan suatu perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan, yang dikenal dengan perjanjian terapeutik. Hubungan hak dasar antara pasien dan dokter tersebut tentulah dilandasi oleh perjanjian terapeutik, maka setiap pasien hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan apa yang boleh dilakukan ____________________2Z umrotin K Susilo dan Puspa Swara, Penyambung Lidah Konsumen, ctk pertama, YLKI, 1996, hlm. 633Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 60

terhadap dirinya atau tubuhnya, tetapi juga ia terlebih dahulu berhak mengetahui hak-hak mengenai penyakitnya dan tindakan-tindakan atau terapi apa yang dilakukan dokter terhadap tubuhnya untuk menolong dirinya serta segala risiko yang mungkin timbul kemudian. Atas kesepakan bersama untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang mendasarkan atas suatu persetujuan untuk melakukan hal-hal tertentu akan berakibat munculnya hak dan kewajiaban. Hubungan antara pasien dengan dokter itu tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan hubungan antara pelayanan kesehatan dengan masyarakat.4Hubungan antara dokter dengan pasien dalam hal ini adalah di Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominant, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, di mana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan ketrampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan memberikan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.Seorang dokter dianggap sebagai orang yang mempunyai kemampuan luar biasa yaitu kemampuannya mengobati sehingga orang ________________________yang sakit dapat menjadi sembuh danpada pasien pada umumnya sedikit sekali mengetahui tentang penyakitnya akan pasrah diri sepenuhnya kepada kemampuan dokter. Idealitanya, dokter maupun pasien dalam hal tindakan medis mempunyai hak-hak dasar yang sama, di satu pihak dokter adalah orang yang mempunyai keahlian profesional sebagai pemberi jasa, dan pasien adalah orang yang membutuhkan jasa profesional dokter sebagai penerima jasa tindakan medis.Hermien Hadiati Koeswadji, mengemukakan bahwa hubungan antara dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik didasari oleh dua macam hak asasi manusia, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self dan hak untuk mendapatkan informasi (the right to information). Kedua hak tersebut bertolak dari hak atas perawatan kesehatan (the right to healthcare) yang merupakan hak asasi individu.5Realitanya di Rumah Sakit Umum (Prof. Dr. R. D. Kandouw Malalayang) pasien selaku konsumen dalam hal ini adalah pengguna jasa medis merasa belum menerima bentuk pelayanan medis sebagai hak-haknya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran._______________________5Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Bayu Media Publishing, ctk. Pertama,Malang, 2007, hlm.7

Mengingat kelanjutan hubungan tersebut mengandung resiko, maka untuk memulai melakukan tindakan tertentu sebagai kelanjutan hubungan tersebut diperlukan persetujuan tersendiri oleh kedua belah pihak. Walaupun sebenarnya bahwa seorang pasien yang dengan keluhan datang ke kamar praktek dokter dengan tujuan memperoleh kesembuhan, berarti telah bersedia menerima tindakan dokter yang berarti telah menyetujui apapun yang akan dilakukan oleh dokter dalam upaya penyembuhannya, dengan kata lain pasien telah memberikan persetujuan, namun persetujuan yang demikian sifatnya terselubung, yaitu tidak nyata dan tidak dapat dibuktikan oleh pihak lain.Keadaan yang demikian untuk saat ini sulit diterima karena cara berpikir masyarakat telah mengalami kemajuan. Kedudukan dokter dan pasien sejajar secara hukum karena keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati bersama. Secara umum perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pelayanan jasa kesehatan belum maksimal. Hal tersebut dikarenakan masih ditemukannya berbagai hambatan dalam upaya untuk menyelesaikan perlindungan hukum terhadap konsumen. Salah satunya ketidaktahuan konsumen bagaimana dan di mana tempat untuk menyampaikan keluhan.Latar belakang yang kedua adalah tentang Medical Record. Pelayanan Medical Record (Rekam Medis) bukan pelayanan dalam bentuk pengobatan, tetapi merupakan bukti pelayanan, finansial, aspek hukum dan Ilmu Pengetahuan. Peran Rekam Medis sangat dibutuhkan untuk mengelola bahan bukti pelayanan kesehatan dengan aman, nyaman, efisien, efektif dan rahasia.Sehingga rekaman pelayanan kesehatan dapat berfungsi sebaik-baiknya untuk tindakan pelayanan yang diperlukan. Munculnya transformasi paradigma rekam medis dari tradisional menjadi manajemen informasi kesehatan pada pertengahan tahun 1990-an merupakan reformasi baru di bidang informasi kesehatan yang dipicu oleh modernisasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perekam Medis dan Informasi Kesehatan yang profesional wajib memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan standar kompetensi dan kode etik profesi.Bagaimana menjalankan visi dan misi masyarakat mandiri hidup sehat bila deteksi dini dari penyajian informasi awal tidak cepat dan tepat dikelola melalui sistem informasi kesehatan terpadu. Tujuan pengelolaan rekam medis adalah untuk menunjang tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang didukung oleh suatu sistem pengelolaan rekam medis yang cepat, tepat, bernilai dan dapat dipertanggung jawabkan.Rekam Medis merupakan bukti tertulis tentang proses pelayanan yang diberikan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya kepada pasien dalam rangka penyembuhan pasien, rekam medis mencatumkan nilai administrasi, legal, finansial, riset, edukasi, dokumen, akurat, informatif dan dapat dipertanggung jawabkan Rekam Medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik. Penyelenggaraan Rekam Medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih lanjut dengan peraturan tersendiri. Kegunaan Rekam Medis di Rumah Sakit yaitu berupa aspek administrasi, aspek medis, aspek hukum, aspek keuangan, aspek penelitian. Dari Sisi Penegakan Hukum (Law Enformcement ) Tidak ada dan Tidak Boleh ada sebuah Profesi berada diatas Hukum, Bahkan Oleh Hakim Sekalipun, Para dokter yang melakuakn Demo untuk menyatakan Simpatinya Kepada rekan Seprofesinya adalah Sebuah hal yang baik Sebagi bentuk dukungan Moral kepada Ketiga Terdakwa sesuai Putusan MA bernomor 356 K ini, tetapi Kemudian mengadakan Demo dan Membuat pernyataan Kepada Publik bahwa Tindakan Hukum yang di kenakan/dibebankan Kepada Ketia Dokter yang menjadi Terdakwa adalah Tindakan KRIMINALISASI TERHADAP PROFESI DOKTER tidak ada seorangpun masyarakat sejak kasus ini merebak mengatakan hal itu (setahu saya) tetapi para dokterlah yang mengatakan hal tersebut,semua Profesi wajib mentaati dan menghormati hukum, tidak ada konstitusi yang menjamin terhdap arogansi Profesi jika ya berarti sudah terjadi oligarki.Kasus ini bukanlah sebuah kriminalisasi terhadap Profesi dokter tetapi sebuah Penerapan atau snagsi Hukum Positip terhadap Pribadi -pribadi yang menjalankan Profesinya, dimana didalam menjalankan profesinya tersebut sudah diatur dalam protap, juga undang-undang (mislanya undang Profesi dokter, kesehatan, dll ), jadi di mohonkan kepada Para Dokter untuk bersikap dan berperspektif yang benar didalam menyikapi masalah ini.Hal lain juga yang sangat memperparah situasi di rumah-rumah sakit berkaitanhak-hak pasien adalah dukungan Mentri Kesehatan Nafsiah Mboi terhadap Demo para dokter, tetapi ketika Demo berjalan da tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya Menkes buru-buru mengeluarkan Sanksi tegas kepada Rumah sakit yang menelantarkan Pasien , sebagai seorang Dokter tidak menjadi persoalan kalau Ibu Mentri memberikan dukungan bagi rekan seprofesinya tetapi disisi yang lainnya dia adalah seorang mentri dimana regulasi dibidang kesehatan di kendalikan oleh dia termsuk para dokter didalam pengawasannya secara umum.Karean itu Mentri sebagai Pemimpin tertinggi diranah Kesehatan di bangsa ini bisa menggunakan pendekatan Profesi kepada para dokter lewat seruan, ajakan untuk kembali menjalankan tugas keprofesian mereka sebagai dokter yang bekerja dan atau ditugaskan di rumah sakit rumah sakit di indonesiahttp://hukum.kompasiana.com/2013/11/28/pengabaian-hak-pasien-oleh-rumah-sakit-dokter-sebuah-study-kasus-terhadap-putusan-ma-nomor-365-k-pid-2012-by-el-roi-israel-sipahelut-612108.html

Pelajaran dari Kasus Rumah Sakit Harapan Kita

Jumat, 28 Desember 2012, saya diminta pendapat dalam sesi wawancara dengan sebuah tv mengenai Kasus Rumah Sakit Harapan Kita yang digunakan untuk shooting dan secara kebetulan terjadi musibah kematian seorang anak yang menderita leukimia. Entah apakah kematian anak tersebut merupakan efek keterlambatan dokter atau tenaga kesehatan Rumah Sakit tersebut menangani anak tersebut akibat terganggu adanya shooting atau hal tersebut hanya kebetulan saja terjadi.

Saya tertarik menuangkan hal ini dalam tulisan karena beberapa hasil wawancara saya tidak disiarkan yang menurut saya mungkin penting untuk diketahui masyarakat umum.

Tujuan, Tugas, Fungsi dan Kewajiban Rumah Sakit Undang-Undang No. 44 tahun 2009 mengenai Rumah Sakit (UU RS) secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Rumah Sakit adalah perlindungan dan keselamatan pasien. Lebih lanjut disebutkan bahwa tugas Rumah Sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Rumah Sakit juga berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. Sedangkan, salah satu hak pasien menurut UU RS adalah memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.

Terkait dengan kasus pemberian izin penggunaan Rumah Sakit sebagai lokasi shooting, walaupun tidak ada larangan tegas dalam UURS mengenai hal tersebut tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan, tugas, fungsi dan kewajiban Rumah Sakit sebagaimana diamanatkan dalam UURS sehingga layaknya hal ini dapat menjadi pertimbangan di kemudian hari untuk Kepala/Direktur Rumah Sakit dalam memberikan izin Rumah Sakit sebagai lokasi shooting apalagi shooting komersial. UURS juga menyebutkan secara tegas bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Mengenai sanksi pidana, sayangnya UU RS hanya mengatur sanksi pidana terkait penyelenggaraan Rumah Sakit tanpa izin dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).

Perlunya Dewan Pengawas Rumah Sakit

Walapun hal ini bukan merupakan kewajiban tetapi dari redaksi UURS, pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit. Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari unsur pemilik Rumah Sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. Salah satu tugas Dewan Pengawas Rumah Sakit :

a. menentukan arah kebijakan Rumah Sakit;b. menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis;c. menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran;d. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien;f. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dang. mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundangundangan.

Ke depan jika fungsi Dewan Pengawas Rumah Sakit ini di implementasikan mungkin kejadian-kejadian seperti yang terjadi di RS Harapan Kita tidak akan terulang.

Penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk menggugat RS kurang tepat

Hukum kita menganut asas lex specialis derogat lex generalis yang secara mudah diartikan sebagai ketentuan hukum yang khusus mengalahkan ketentuan hukum yang umum sehingga tentunya lebih tepat jika yang digunakan sebagai basis menggugat RS adalah UURS bukan UU Perlindungan Konsumen seperti yang banyak diperbincangkan.

Reaksi Menteri Kesehatan dan DPR memanggil Kepala Rumah Sakit atau Direktur RS Harapan KitaSelain Dewan Pengawas Rumah Sakit yang dapat dibentuk secara internal oleh Rumah Sakit, UURS mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan Rumah Sakit dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab kepada Menteri.Badan Pengawas Rumah Sakit tersebut merupakan unit nonstruktural yang bertanggung jawab dibidang kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat. Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Reaksi Menteri Kesehatan dan DPR menurut saya cukup baik akan tetapi jika lembaga Badan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana diisyaratkan oleh UURS berjalan dengan semestinya maka akan lebih bijak jika Menteri Kesehatan atau DPR memanggil Badan Pengawas Rumah Sakit terkait kasus yang terjadi di Rumah Sakit tersebut terlebih dahulu sebelum memanggil Direktur atau Kepala RS Harapan Kita. Terlepas dari pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini menurut hemat saya pencabutan sanksi tetap bukan langkah bijak dalam situasi sekarang ini mengingat banyak tenaga kerja menggantungkan hidupnya juga di RS tersebut. Teguran keras layak untuk diberikan bila memang terjadi pelanggaran dalam kasus tersebut.

Semoga kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari dan Rumah Sakit dapat lebih berhati-hati akan tanggung jawab dan resiko hukum yang menjadi kewajibannya.

Permasalahan Yang Membuat Rumah Sakit Belum Berkembang Dari Segi SDMSumber daya manusia merupakan elemen organisasi yang sangat penting. Sumber daya manusia merupakan pilar utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam upaya mewujudkan visi dan misinya. Karenanya harus dipastikan sumber daya ini dikelola dengan sebaik mungkin agar mampu member kontribusi secara optimal. Maka diperlukanlah sebuah pengelolaan secara sistematis dan terencana agar tujuan yang diinginkan dimasa sekarang dan masa depan bisa tercapai yang sering disebut sebagai manajemen sumber daya manusia. Tujuan manajemen sumberdaya manusia adalah mengelola atau mengembangkan kompetensi personil agar mampu merealisasikan misi organisasi dalam rangka mewujudkan visi.Rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan rujukan utama bagi masyarakat yang ingin memperoleh pelayanan kesehatan baik untuk pengobatan maupun untuk pemulihan kesehatannya. Sebagai pusat rujukan kesehatan utama, rumah sakit dituntut mampu memberikan pelayanan yang komprehensif bagi setiap pasiennya. Pelayanan kesehatan yang komprehensif adalah berbagai bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien oleh suatu tim multi disiplin sesuai kebutuhan pasien. SDM di rumah sakit menjadi hal penting yang mendukung berkembangnya rumah sakit dan menjadi tolak ukur penting dalam penilaian pengembangan mutu pelayanan di Rumah Sakit.Rumah sakit merupakan organisasi pelayanan jasa yang mempunyai kespesifikan dalam hal SDM, sarana prasarana dan peralatan yang dipakai. Sering rumah sakit dikatakan sebagai organisasi yang padat modal, padat sumber daya manusia, padat tehnologi dan ilmu pengetahuan serta padat regulasi. Padat modal karena rumah sakit memerlukan investasi yang tinggi untuk memenuhi persyaratan yang ada. Padat sumberdaya manusia karena didalam rumah sakit pasti terdapat berbagai profesi dan jumlah karyawan yang banyak. Padat tehnologi dan ilmu pengetahuan karena di dalam rumah sakit terdapat peralatan-peralatan canggih dan mahal serta kebutuhan berbagai disiplin ilmu yang berkembang dengan cepat. Padat regulasi karena banyak regulasi/peraturan-peraturan yang mengikat berkenaan dengan syarat-syarat pelaksanaan pelayanan di rumah sakit.Sumber daya manusia yang ada di rumah sakit terdiri dari : 1) Tenaga kesehatan yang meliputi medis (dokter), paramedis(perawat) dan paramedis non keperawatan yaitu apoteker, analis kesehatan, asisten apoteker, ahli gizi, fisioterapis, radiographer, perekam medis. 2) Tenaga non kesehatan yaitu bagian keuangan, administrasi, personalia dll.Pembangunan Rumah Sakit semestinya mengandalkan sumber daya manusiayang memadai dalam arti kuantitas dan kualitas. Permasalahan yang sering ditemukan di rumah sakit umumnya antara lain mengenai : Jumlah dan jenis SDM kesehatan tertentu, supply berlebihan akan tetapi daya serap terbatas. Seperti yang telah disampaikan diatas bahwa rumah sakit bukan hanya membutuhkan kuantitas tenaga kesehatan akan tetapi diperlukan juga kualitas yang baik dari tenaga kesehatan tersebut agar roda pelayanan dapat berjalan dengan baik. Sementara permsalahan saat ini, walaupun banyak jumlah tenaga kesehatan yang ada, kualitas atau kompetensi menjadi dipertanyakan sehingga rumah sakit mengalami kesulitan dalam proses orientasi dan memerlukan pengajaran yang lebih intensif agar memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien. Kelangkaan/kekurangan supply (khususnya dokter/dokter spesialis/drg) sehingga harus merangkap pekerjaan dibeberapa pelayanan kesehatan/RS. Masalah ini mungkin tidak menjadi kendala di ibukota khususnya Jakarta, akan tetapi ini menjadi penghambat yang bermakna kepada rumah sakit yang letaknya diluar pulau jauh atau terpencil. Sulitnya mencari tenaga kesehatan apalagi berdasarkan peraturan saat ini yang membatasi dokter hanya berpraktek di 3 rumah sakit. Distribusi SDM tidak merata, terjadi penumpukan SDM diwilayah jawa sementara daya tarik diluar pulau jawa sangat kurang, Seperti pernyataan sebelumnya daya tarik rumah sakit di daerah pulau Jawa lebih menarik kepada SDM tenaga kesehatan daripada di luar pulau Jawa. Kapasitas SDM diupayakan terus untuk ditingkatkan lewat pendidikan (formal) atau pelatihan. Walaupun sudah banyak pelatihan yang dilakukan oleh rumah sakit untuk memperbaharui keilmuan para tenaga kesehatan akan tetapi bagaimana aplikasi pleatihannya ditempat kerja masih menjadi pertanyaan. Terkadang rumah sakit tidak dapat melakukan evaluasi terhadap pendidikan yang telah dilakukan, menyeleksi SDM yang tepat dalam mengikuti pelatihan serta apakah pelatihan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan di rumah sakit atau apakah dapat diimplemantasikan dirumah sakit tersebut. Dibutuhkan daya saing SDM kesehatan untuk pasar luar negri (globalisasi) sementara tenaga kesehatan asing mulai berdatangan, Saat ini, pengobatan ke luar negri sudah tidak menjadi asing lagi, begitu juga dokter luar yang membuka prakteknya diIndonesia. Tentu saja kondisi globalisasi ini harus didukung dengan kemampuan SDM Indonesia yang siap terhadap pasar luar negri. Kan tetapi saat ini sedikit tenaga kesehatan ataupun RS di Indonesia yang telah siap menghadi arus pasar luar negri. Profesionalisme dalam bekerja masih dipertanyakan. Banyaknya keluhan malpraktek menjadi sindirin bagi rumah sakit dalam menilai kompetensi tenaga kesehatan yang bekerja di RS tersebut. Penilaian terhadap kompetensi tenaga kesehatan dirasa masih kurang terorganisir dengan baik dan penilaian masih kurang selektif, ini menjadi hambatan di rumah sakit dalam memberikan mutu pelayanan terutama patient safety. Kinerja SDM kesehatan pada tenaga PNS masih dipertanyakan. Tenaga PNS Indonesia memang menjadi masalah utama rumah sakit umum di Indonesia menjadi terhabat perkembangannya. Budaya PNS yang jauh dari kedisiplinan membuat RSU menjadi sulit berkembang. Manajemen SDM kesehatan diinstitusi kesehatan belum dilakukan dengan baik seperti dalam recruitment sampai retirement, Devisi/Biro/bagian SDM/personalia belum dianggap dan ditempatkan sebagai bidang yang strategis dalam organisasi dan dikelola oleh orang yang bukan ahlinya.Beberapa masalah diatas merupakan msalah umum yang menjadi batu sandungan rumah sakit di Indonesia sulit untuk berkembang. Diperlukan tahap-tahap strategis yang matang oleh rumah sakit dimulai dari perencanaan, pnerimaan, penilaian, pengembangan dan penghentian SDM yang bekerja di RS. Tahap strategis ini harus dilakukan oleh rumah sakit agar tercipta visi dan misi rumah sakit dengan SDM yang berkualitas.Sumber :Tugas KARS SDMoleh :Yulika Harnizahttp://www.yaslisinstitute.org/news.php?view=97


Top Related