Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi
Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka
2004-2009
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Oleh :
Achmad Insan Maulidy
NIM : 106083003638
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Jurusan Hubungan Internasional
Jakarta
2011
Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi
Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka
2004-2009
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hubungan Internasional
oleh :
ACHMAD INSAN MAULIDY
NIM. 106083003638
di Bawah Bimbingan
Pembimbing Penasehat Akademik
M. Adian Firnas, M.Si Ali Munhanif, Ph.D
NIP. 196512121992031004
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura
Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat Malaka 2004-
2009” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan llmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Juni
2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata 1 (S1) Jurusan Ilmu Hubungan Intenasional.
Jakarta, 20 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D Agus Nilmada Azmi, M.Si.
NIP. 1973041199032002 NIP.197808042009121002
Pembimbing
M. Adian Firnas, M.Si.
Penguji I Penguji II
Dina Afrianty, Ph.D Arisman, M.Si.
NIP. 1973041199032002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dibuat dan diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Mei 2011
Achmad Insan Maulidy
106083003638
i
ABSTRAK
Selat Malaka merupakan perairan di kawasan Asia Tenggara yang
menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Selat Malaka terletak di
antara Pulau Sumatra dan Semenanjung Melayu. Oleh kerena itu selat ini di sebut
sebagai jalur pelayaran internasional, beberapa negara menggunakan selat ini
sebagai jalur perlintasan kapal pengangkut bahan bakar dan bahan industri
berbagai negara, hingga menyebabkan beberapa negara bergantung pada kondisi
keamanan serta keselamatan di Selat malaka. Selat Malaka dilintasi 50.000 kapal
berbagai tipe setiap tahunnya, dengan 30% kapal merupakan kapal niaga yang
mengangkut barang-barang perdagangan dunia. Selat Malaka juga merupakan
jalur pelayaran yang digunakan oleh kapal tanker untuk mengangkat separuh
pasokan energi dunia.
Strategisnya serta padatnya jalur pelayaran di Selat Malaka menyebabkan
selat ini rawan akan terjadinya gangguan keamanan dan tindak kejahatan di laut.
Gangguan keamanan yang sering terjadi di selat ini adalah pembajakan/
perompakan, penyeludupan serta terorisme, dalam penulisan karya ilmiah ini
menitik beratkan pada masalah pembajakan (piracy). Tercatat pada tahun 2004
terjadi peningkatan yang signifikan terhadap kasus pembajakan di selat ini yaitu
berjumlah 38 kasus, berdasarkan laporan IMB (international maritime bureau),
lalu terbentuklah patroli terkoordinasi tiga negara Indonesia, Malaysia, dan
Singapura dalam mengatasi keamanan di Selat Malaka.
Penelitian ini memiliki hasil bahwa patroli terkorrdinasi tiga negara
tersebut berhasil meminimalisir tindak kejahatan pambajakan di Selat Malaka.
Keberhasilan patroli terkoordinasi ini tercipta kerena adanya kekompakan dan
mementingkan kepentingan bersama untuk mengamankan Selat Malaka dari pada
kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara anggota patroli
terkoordinasi.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan di dukung oleh teori-teori dan juga
data-data sekunder sehingga dalam penelitian ini di peroleh suatu bukti kebenaran
hasil temuan. Patroli terkoordinasi tiga negara Selat Malaka sudah berhasil
menurunkan tingkat kejahatan bajak laut di perairan Selat Malaka, terbukti dengan
tingkat kejahatan yang menurun akibat dari intensifnya kegiatan patroli
terkoordinasi yang dilakukan oleh tiga negara Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Selain itu, keberhasilan kerjasama keamanan yang beranggotakan tiga
negara pantai Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat negara
tetangga tertarik untuk bergabung dalam patroli tersebut contohnya seperti
Thailand yang ikut bergabung dalam patroli tersebut karena posisi negaranya yang
bersinggungan dengan Selat Malaka.
Kata Kunci: Selat Malaka, Patroli terkoordinasi, Pembajakan (piracy)
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT, karena dengan
hidayah dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
"Kerjasama Keamanan Indonesia, Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah
Pembajakan di Perairan Selat Malaka 2004-2009". Penulis sepenuhnya menyadari
bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
terdapat kekurangan baik yang bersifat teknis maupun mated. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Kritik dan
saran yang diberikan, akan penulis jadikan bahan dalam penyempurnaan skripsi
ini.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu membantu penyelesaian
skripsi ini. Dimana dalam penyelesaian skripsi ini penulis banyak menemui
hambatan dan ritangan yang dihadapi penulis tetapi berkat bantuan yang diberikan
berbagai pihak, terutama dosen pembimbing, semua permasalah dan kendala
dapat teratasi. Oleh kerena itu, penulis dengan tulus menguncapkan terima kasih
atas bantuannya baik langsung dan tidak langsung kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dina Afrianty, Ph.D., sebagai Ketua Jurusan Hubungan Internasional dan
Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si., sebagai Sekretaris Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iii
3. M. Adian Firnas, M.Si., sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang
telah memberikan ilmu, saran dan arahannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. AH Munhanif, Ph.D., sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.
5. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam
meyelesaikan tugasnya sebagai mahasiwa.
6. Armein Daulay, M.Si., terima kasih atas waktu dan pikirannya untuk dapat
memberikan masukan kepada penulis dalam menulis skripsi ini.
7. Bapak Amaly, sebagai staf di Jurusan Hubungan Internasional yang telah
membantu penulis dalam mengurus segala bentuk yang berhubungan
dengan nilai kuliah.
8. Kedua orang tua, Mama dan Bapak terima kasih atas do'a, kasih sayang,
dan dukungan baik moril maupun materi sehingga skripsi ini dapat
Selesai.
9. Ka Irma dan Ka Aan, terima kasih atas pengertian dan dukunganya pada
saat penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman terbaik penulis di HI A angkatan 2006: Beben, Firman,
Fikri, Umam, Nanda, Alvi, lean, Kawe, Adnan, Julian, dan Irfan. Lima
tahun yang luar biasa bersama kalian, penuh suka dan duka dalam
berjuang bersama-sama dari awal hingga akhir kuliah ini. Sukses selalu ya
kawan-kawanku dan jangan pernah lelah untuk mengejar cita-citamu.
iv
11. Teman-teman dari HI A angkatan 2006 lainnya dan teman-teman dari HI
B angkatan 2006 yang tidak dapat disebutkan satu persatu serta teman-
teman HI angkatan 2007, 2008, dan 2009.
12. Raudhatul Jannah, terima kasih atas waktunya, dukungan, semangat dan
doanya dalam penyusunan skripsi ini, semoga engkau diberikan kesehatan
selalu.
13. Teman-teman rumah: Budi Jawa, Kocrot, Onting, Pi'i, Azis, terima kasih
atas dukunganya dalam penulisan skripsi ini.
14. Staf Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, KEMLU,
LEMHANAS, Perpustakaan Freedom.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih atas
dukungan dalam penulisan skripsi ini. Semoga mendapatkan balasan dari
Allah SWT atas kebaikan yang diberikan kepada penulis.
Akhir kata, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas
kekurangan atau ketidak sempurnaan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat berguna bagi perkembangan studi Hubungan
Internasional dan Indonesia.
Jakarta, Mei 2011
Achmad Insan Maulidy
v
DAFTAR ISI
Abstrak....................................................................................................................…….i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………..v
Daftar Tabel . ……………………………………………………………………….…vii
Daftar Istilah dan Singkatan.........................................................................................viii
Bab I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah…………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...... 8
C. Tinjauan Pustaka………………………………………………………… 9
D. Kerangka Teori………………………………………………………….. 12
E. Metodologi penelitian…………………………………………………… 20
F. Sistematika Penulisan……………………………………………….…… 21
BAB II Permasalahan Bajak Laut di Selat Malaka
A. Definisi Bajak Laut................................................................................... 23
A.1. Tiga Tipe Perompakan/ Bajak Laut di Zaman Moderen…………... 28
B. Bajak Laut sebagai Ancaman Keamanan di Selat Malaka…………….... 37
C. Faktor-faktor yang Mendorong Meningkatnya Bajak Laut…………….. 42
C.1. Faktor Geografis…………………………………………………… 42
C.2. Faktor Ekonomi……………………………………………………. 44
C.3. Faktor Politik………………………………………………………. 45
vi
BAB III Patroli Terkoordinasi Indonesia, Malaysia dan Singapura sebagai Upaya
Menjaga Keamanan di Perairan Selat Malaka
A. Persepsi tentang Kerjasama Keamanan di Selat Malaka……………..….49
B. Kerjasama Penanganan Laut Indonesia, Malaysia dan Singapura…….…52
B.1. Patroli Terkoordinasi di Selat Malaka………………………….…...54
C. Analisis Masalah Keamanan di Selat Malaka Melalui
Patroli Terkoordinasi……………………………………………………..65
C.1. Keuntungan dari Patroli Terkoordinasi…………………….……….65
C.2. Kelemahan Patroli Terkoordinasi…………………………………...69
C.3. Hambatan atas Patroli Terkoordinasi…………………………….…72
C.4. Keberhasilan dari Patroli Terkoordinasi……………………………75
BAB IV Kesimpulan
D. Kesimpulan………………………………………………………...…....78
Daftar pustaka…………………………………………………………………………x
Lampiran
vii
Daftar Tabel
I. Serangan bajak laut di Asia Tenggara 2000-2005………………………….27
II. Perompakan dan pembajakan di Selat Malaka tahun 2007………………...28
III. Perompakan dan pembajakan di Selat Malaka tahun 2008………………...28
viii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
Ad hoc = Sementara
AEC = ASEAN Economic Community
APSC = ASEAN Political Security Community
ASC = ASEAN Security Community
AscC = ASEAN Socio-cultular Community
ASEAN = Association of Southeast Asian Nations
Binpotnaskuatmar = Pembinaan Potensi Nasional Kekuatan Maritim
Choke point = Pintu masuk selat
Cooperative security = Kerjasama keamanan
Coordinated patrol = Patroli terkoordinasi
CSCE = Conference on Security Cooperation in Europe
Forward presence = Meneruskan kehadiran
GAP = Grey-area Phenomena
Illegal fishing = Penangkapan ikan secara illegal
Illegal logging = Pencurian kayu/Penjulan kayu secara illegal
Illegal migrant = Pengungsi yang tidak sah
IMB = International Maritime Bureau
IMO = International Maritime Organization
KASAL = Kepala Staf Angkatan Laut
Littoral States = Negara yang memiliki pantai berdampingan/negara pantai
MIMA = Maritime Institute of Malaysia
MSSP = Malacca Straits Sea Patrols
National interest = Kepentingan nasional
Piracy = Pembajakan
Point control = Titik pengawasan
Press secretary = Tekanan sekertaris
RSN = Republic of Singapore Navy
Safety at sea = Keselamatan di laut
Sea robbery = Pembajakan di laut
ix
Security community = Komunitas keamanan
SLOC = Sea Lines of Community
SLOT = Sea Lines of Trade
Special taks force = Tugas pasukan khusus
Speed boat = Kapal dengan kecepetan tinggi
The narrowest point = Wilayah sempit
TNI AL = Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
Transnational crimes = Kejahatan lintas negara
UNCLOS = United Nations Convention on the Law of the Sea
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selat Malaka secara geografis membentang sepanjang 500 mil laut berada
diantara sepanjang Malaya dan pulau Sumatra. Lebar alur masuk di sebelah utara
adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang
merupakan wilayah tersempit yaitu sekitar 8 mil laut. Selat Malaka juga
tersambung dengan selat Singapura yang mempunyai panjang selat 60 mil, dan
sejak jaman dahulu Selat Malaka merupakan jalur transportasi yang di layari
kapal-kapal.
Perairan Asia Tenggara memiliki peran strategis karena menghubungkan
Samudera Pasifik dan Samudra Hindia. Selat Malaka merupakan salah satu jalur
SLOC (Sea Line Of Communication) dan SLOT (Sea Line Of Trade) sekaligus
choke point armada angkatan laut dalam forward presence ke seluruh penjuru
dunia. Sebagai jalur SLOC Selat Malaka di lewati 72% kapal-kapal tanker yang
melintas dari Samudera Hindia ke Pasifik.1
Selat Malaka yang masuk ke dalam jalur SLOC dan SLOT yang sangat
berperan penting bagi Dunia. Ini merupakan hal yang menjadi tugas negara-
negara pantai Selat Malaka seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk
menjaga keamanan di selat tersebut. Karena Selat Malaka yang menjadi jalur
SLOT yang merupakan jalur perdagangan Internasional di mana dunia sangat
tergantung pada keamanan selat tersebut.
1 S.Y.Pailah, Tantangan dan perubahan maritime; konflik perbatasan di wilayah
perairan negara kesatuan Republic Indonesia jilid I, Manado; Klub Studi Perbatasan, 2007, h. 3.
2
Secara umum, Selat Malaka dan Selat Singapura yang mempunyai alur
pelayaran sempit dan terdapat pulau-pulau kecil memberikan peluang kepada
munculnya tindak kejahatan di perairan Selat Malaka yang merupakan salah satu
dari sembilan selat dan terusan strategis dunia yaitu: Selat Babel Mandab yang
menghubungkan Laut Merah dan Laut Arabia, Selat Bosporus yang
menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara, Selat Dardanelles di Turki, Selat
Dover yang menghubungkan terusan Inggris dan Laut Utara, Selat Hormus yang
menghubungkan semenanjung Oman dan Laut Arabia, Selat Jiblaltar sebagi
pemisah antara Benua Afrika dan Benua Eropa, terusan Suez di Mesir dan terusan
Panama. Di perairan kawasan Asia Pasifik, jalur SLOC yang terdapat adalah Selat
Malaka.2
Di kawasan Asia Pasifik, perairan Asia Tenggara memiliki peranan yang
sangat penting, kerena merupakan penghubung antara dua samudra besar, Pasifik
dan Hindia. Jalur yang terpadat adalah Selat Malaka dilewati 72% tanker yang
melintas dari samudra Hindia ke pasifik dan hanya 28% yang melewati selat lain,
yaitu Selat Lombok, Selat Makasar dan laut Sulawesi. Di perkirakan sekitar
50.000 kapal dalam setahunya melintasi Selat Malaka, sehingga apabila terjadi
interdiksi di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh negara-negara
di Asia Tenggara, melainkan juga akan memberikan dampak yang luar biasa bagi
Negara lain.3
2 Edhi Nuswantoro, “Pengelolaan keamanan Selat Malaka,” keynote speech pada
workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat
Malaka, Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar negeri, Medan, 19-20
juli 2005, h. 1. 3 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era Dinamika
Global, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2003, h. 349.
3
Betapa penting Selat Malaka bagi dunia sehingga banyak negara yang
ingin mengukuhkan pengaruhnya di wilayah laut Indonesia, Malaysia, dan
Singapura. Di samping itu negara-negara seperti AS (Amerika Serikat) dan Jepang
memanfaatkan Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional untuk
kebutuhan dalam dan luar negeri. Apabila terjadi insiden di Selat Malaka seperti
adanya perompakan ataupun pembajak kapal-kapal yang bermuatan barang,
dampaknya bermuara ke seluruh penjuru dunia. Jepang akan kehilangan 16%
pasokan minyak bumi dan 80% pasokan gas alam, hal ini tentu mengancam
stabilitas perekonomian Jepang.4
Ancaman serius yang ada di Selat Malaka adalah kegiatan terorisme dan
pembajakan. Pembajakan maritim telah endemik ke daerah bagian Asia Tenggara
sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam pembahasannya dari pembajakan, L. Wright
dalam bukunya “Piracy in the Southeast Asian Archipelago” memperlihatkan
bagaimana saat itu bangsa Belanda mencoba memonopoli perdagangan rempah-
rempah melalui Selat Malaka dari tahun 1670. Perdagangan yang dilakukan oleh
Belanda dianggap telah menyimpang oleh penduduk lokal, sehingga menciptakan
atau meningkatnya pembajakan di Asia Tenggara khususnya diperairan Selat
Malaka. Pada abad ke-19, perampokan/ pemerusakan telah menjadi endemik di
banyak dunia Melayu, sebagian besar ini adalah penting kerena dinamika politik,
dengan peperangan antar suku dan membangun kekaisaran di nusantara.
Perompakan adalah salah satu masalah yang tidak pernah habis selama periode
kolonial.5
4 S.Y Pailah, Tantangan dan perubahan maritime, h. 4.
5 L. Wright, “Piracy in the Southeast Asian Archipelago”, dalam buku, Peter Chalk,
Grey-Area Phenomena In Southest Asia: Piracy, Drug Trafficking and political terrorism,
4
Dalam Kongres AS (April 2004) Panglima Komando Armada Pasifik,
Laksamana Thomas Fargo manguraikan rencana untuk mengerahkan pasukan
marinir dan armada kapal berkecepatan tinggi di Selat Malaka. Hal ini murni
merupakan prakarsa Washington dalam rangka memerangi terorisme di Asia
Tenggara. Inisiatif keamanan laut regional merupakan prakarsa yang
dipergunakan oleh militer AS dalam memerangi ancaman transnasional seperti
proliferasi nuklir, terorisme, lalulintas perdagangan manusia dan obat-obatan
terlarang serta pembajakan.6
Inisiatif AS untuk turut memelihara dan menjaga keamanan Selat Malaka
dari ancaman teroris adalah positif, tetapi inisiatif itu sangat sepihak. Sebenarnya
apabila AS memahami kultur dan budaya pimpinan di Asia Tenggara, AS dapat
mengutarakan dengan bijaksana. Inisiatif AS yang tampak sepihak tidak dapat di
salahkan kerena keinginan AS untuk memerangi terorisme termasuk di perairan
Selat Malaka, juga di dasari faktor Psikologis.7 Dalam hal ini, AS melihat Selat
Malaka sebagai salah satu wilayah yang menjadi tempat tumbuhnya terorisme.8
Selain AS, Jepang juga menyatakan sikapnya melalui press secretary
kementrian luar negeri Jepang, Mitsuo Sakaba dengan mengatakan bahwa Jepang
akan berpartisipasi dalam keamanan laut dengan pemertintah Indonesia, Malaysia
dan Singapura. Perspektif Jepang sesungguhnya ingin menjadikan Selat Malaka
sebagai urusan internasional bagi negara pantai dan negara pengguna selat. Akan
tetapi, pandangan ini di tentang oleh Indonesia dan Malaysia yang belum
Canberra: strategic and defence studies centre research school of pacific and Asian studies the
Australian national University, 1997, h. 23. 6 Edhi Nuswantoro, Pengelolaan keamanan Selat Malaka, h. 3.
7 Peristiwa 11 September yang menghantam New york dan Washington telah mengubah
perspectif AS terhadap terorisme secara signifikan. 8 Huala Adolf, “Tanggung Jawad RI atas Selat Malaka”, Kompas, 26 april 2004.
5
sepenuhnya menjadi anggota kerjasama pengamanan laut di Selat Malaka yang di
prakarsai oleh Jepang walaupun disetujui oleh Singapura serta negara pengguna
selat lainya.9
Berdasarkan fakta yang ada, KASAL Laksamana TNI Bernard Kent
Sondakh menyatakan penolakannya atas rencana kehadiran armada kapal perang
Amerika. KASAL menegaskan bahwa penegakan kedaulatan di wilayah perairan
Selat Malaka merupakan tanggung jawab bersama negara pantai, yakni Indonesia,
Malaysia dan Singapura.10
Pasal 2 ayat 2 konvensi 1982 menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara
pantai meliputi ruang udara diatas serta dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya.
Dalam pelaksanaan kedaulatanya negara pantai mempunyai beberapa macam
wewenang yang diatur oleh pasal 25 konvensi 1982.11
Oleh karena itu, tidak
perlu melibatkan pihak asing untuk menjaga keamanan wilayah perairan Selat
Malaka dari serangan perompak dan ancaman yang ditujukan oleh para pengguna
Selat Malaka. Akan tetapi, kerjasama keamanan antara negara pantai Indonesia,
Malaysia Dan Singapura dalam upaya mengamankan Selat Malaka dengan
menciptakan patroli terkoordinasi negara pantai Salat Malaka.
9 Yan Santosa EP, dalam Koran Harian Republika. 23 Juni 2004
10Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era Dinamika
Global., h. 347. Dengan diadakannya perundingan Indonesia dengan Malaysia pada tanggal 17
febuari 1970, ditandatanganilah perjanjian garis batas laut wilayah antara dua negara yang
dilanjutkan menjadi UU RI No. 2 tahun 1971 dan sebagi akibat dari perjanjian garis batas laut
wilayah masing-masing negara yang lebarnya 12 mil , ilah bahwa pada bagian-bagian tertentu dari
laut yang merupakan laut bebas sekarang telah menjadi laut-laut wilayah Indonesia dan Malaysia.
Ini berarti bahwa di bagian-bagian laut yang telah menjadi laut wilayah ini akan berlaku
kedaulatan negara-negara pantai yaitu Indonesia dan Malaysia. 11
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, h. 334.
6
B. Rumusan Masalah
Ancaman maritim regional Selat Malaka telah berkembang menjadi
kegiatan sindikat internasional serta dilakukan secara rapi dan terkoordinir.
Masalah ini telah menjadi masalah maritim yang perlu ditangani secara serius
seperti masalah pembajakan yang semakin meningkat di perairan Selat Malaka.
Dalam menangani masalah pembajakan di perairan Selat Malaka tidak bisa hanya
diselesaikan oleh satu pihak negara saja. Akan terapi harus bekerja sama dalam
mengamankan selat malaka, terutama bagi tiga negara pantai tersebut Indonesia,
Malaysia dan Singapura. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahannya yaitu,
Bagaimana upaya yang dilakukan tiga negara pantai Indonesia, Malaysia,
dan Singapura dalam mengamankan Selat Malaka dari tindak kejahatan
pembajakan di laut?
C. Tinjauan Pustaka
Keamanan di Selat Malaka terutama masalah penyerangan bajak laut yang
terjadi di Selat Malaka telah menjadi topik pembahasan baik di tingkat
pemerintah, pengambil kebijakan politik, praktisi militer maupun akademis
masing-masing pandangan memiliki terminologi yang berbeda berdasarkan
presepsi dan penempatan sebagai isu keamanan. Adapun penelitian sebelumnya
yang menjadi acuan penulis dalam penulisan skripsi ini, yang berkaitan dengan
keamanan Selat Malaka dan pembajakan di selat tersebut yaitu:
1. Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, Bumi Aksara, Jakarta, April 2010.
Sub bab, Masalah Pengamanan Pelayaran Di Selat Malaka-Singapura.
Dalam buku ini di jelaskan bahwa dasar dari kerjasama keamanan yang
7
dilakukan oleh negara pantai Selat Malaka adalah keamanan yang
semakin memburuk di selat tersebut. Melalui Cooperation On
Cooperation against piracy and other theats to maritime security di
Pnom Penh, menghasilkan suatu kesimpulan bahwa untuk dalam
membasmi pembajakan perlunya kerjasama maritime bilateral maupun
multilateral yang di tingkatkan dan latihan militer bersama. Akan tetapi
kelemahan dari latihan militer bersama yang lebih banyak di rugikan
adalah Indonesia karena lebih banyak melakukan latihan di daerah
perairan Indonesia yang notabennya banyak terjadi pembajakan.
2. S. Y pailah, “Tantangan dan Perubahan Maritime (Konflik Perbatasan
di Wilayah Perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia)”, Klub Studi
Perbatasan, Manado, 2007. Dalam buku ini di jelaskan bahwa dengan
situasi Selat Malaka yang rawan terhadap pembajakan, bayak negara
besar seperti AS dan jepang yang ingin memberikan bantuan berupa
pasukan militernya yang langsung terjun ke selat tersebut. Jika pasukan
asing seperti AS terlibat langsung dalam penanganan Selat Malaka akan
mengganggu kedaulatan negara pantai oleh kerena itu cukup negara
pantailah Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang mengamankan Selat
Malaka tersebut, tanpa pasukan asing dengan kepentingan yang berbeda.
3. Jusuf Dharma Senoputro, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana, Universita
Indonesia, Jakarta 2005. “Pengelolaaan Bersama Keamanan Di Wilayah
Perairan Selat Malaka (Studi Kasus Masalah Perompakan Di Perairan
Selat Malaka periode 2003-2004)”.
8
Tesis ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Tesis ini
menghasilkan fokus pembahasan mengenai permasalahan tindak
pembajakan di perairan Selat Malaka, yang menghasilkan kerjasama
keamanan antara negara-negara pantai Selat Malaka Indonesia,
Malaysia, dan Singapura yang tergabung dalam patroli terkoordinasi.
Kerjasama ini sebelumnya juga sudah terbentuk akan tetapi hanya
tingkat bilateral dan berkembang menjadi trilateral. Patroli terkoordiansi
tiga negara pantai Selat Malaka ini dapat menurunkan tingkat tindak
kejahatan pembajakan yang terjadi di Selat Malaka selama periode 2003-
2004.
3. Steven Yohanes Pailah, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pasca Sarjana, Universita
Indonesia, Jakarta 2008. “Pengelolaan Isu-Isu Keamanan Di Selat
Malaka Periode 2005-2006”. Tesis ini menggunakan metode penelitian
deskriptif. Dalam pembahasan di tesis ini memfokuskan isu-isu
keamanan yang ada pada Selat Malaka, seperti internasionalisasi Selat
Malaka oleh pihak asing, pembajakan sehingga dapat mengancam
negara-negara pantai Selat Malaka, ancaman yang ada di Selat Malaka
juga membuat ASEAN gerah sehingga menghasilkan persetujuan dalam
seminar ASEAN-Japan yaitu: Regional Cooperation Agreement On
Combating anti Armed Robbery Against Ship and Piracy in Asia
(ReCAAP). Pada bulan September 2006 di Kuala Lumpur. Akan tetapi di
tolak Indonesia, Malaysia dan China. Ancama yang terjadi di Selat
Malaka membuat negara pantai berinisiatif untuk membuat kerjasama
9
keamanan yang berangotakan negara-negera pantai, untuk mengatasi isu-
isu keamanan yang terjadi di Selat Malaka periode 2005-2006.
Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah:
a. Dalam penelitian ini terdapat, keuntungan, kelemahan, hambatan, dan
keberhasilan dari terselenggaranya patroli terkoordinasi tiga negara
Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
b. Rentan waktu yang digunakan dalam penelitian ini sampai pada tahun
2009 dengan melajutkan penelitian yang sudah ada, dan pada tahun ini
pun terjadi penurunan tindak kejahatan pembajakan di perairan Selat
Malaka.
D. Kerangka Teori
Teori adalah upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi.
Pernyataan yang disebut teori itu berwujud sekumpulan generalisasi dan karena
generalisasi itu terdapat konsep-konsep, bisa juga diartikan bahwa teori adalah
pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara logis. Pada dasarnya teori
berfungsi membantu kita mengorganisasikan dan menata fakta-fakta yang kita
teliti.12
Teori yang dipergunakan adalah teori Grey-area phenomena (GAP), teori
ini digunakan untuk menjelaskan penomena bajak laut yang terjadi di perairan
Selat Malaka, terutama ketika akhirnya bajak laut mendapat perhatian khusus dari
pembuat kebijakan dikawasan, yang kemudian timbul gagasan menjaga keamanan
12
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi, Jakarta: PT Pustaka
LP3ES, 1990, h. 186-187.
10
bersama perairan Selat Malaka. Peter Chalk menyebutkan bahwa GAP dapat
diartikan sebagai ancaman terhadap suatu negara berdaulat, ancaman ini muncul
dari aktor non-negara dan timbul dari luar proses yang berkaitan dengan struktur
pemerintahan.13
GAP bukanlah pemikiran yang baru, GAP merupakan bagian dari
spektrum keamanan namun biasanya di tempatkan pada posisi yang rendah dalam
pembahasan keamanan, dan pada dasarnya sangat membahayakan keamanan dan
tentunya mengganggu kedaulatan suatu negara.
GAP kadang disertai dengan kekerasan, bila penggunaan kekerasan cukup
menonjol dimana biasanya GAP tersebut terorganisir. Motif utama yang melatar
belakanginya adalah politik atau ekonomi atau kedua-duanya sekaligus. GAP
dengan karakter seperti ini muncul dalam bentuk kejahatan transnasional
terorganisir.14
Dapat dikatakan seperti terorisme maritim, perdagangan obat bius,
perdagangan manusia, dan bajak laut. Akan tetapi pembajakan yang terjadi di laut
tidak selalu terjadi secara terorganisir, namun terdapat peningkatan dalam kasus
yang mengindikasikan keterlibatan organisasi kejahatan transnasional.
GAP menantang kemampuan negara untuk menjamin penegakan hukum di
teritorinya dan keamanan tatanan sosial, terutama keamanan terhadap individu
warga negara. GAP berbeda dengan dangan ancaman konvensional, seperti agresi
eksternal yang lawannya jelas. Di sebukan bahwa, karakter GAP menyebabkan
terjadinya pengabaian terhadap keberadaan isu GAP dan dampak yang di
akibatkannya. Negara baru akan memberikan perhatian terutama dalam bentuk
kebijakan apabila pengaruh GAP besar atau pada tingkat ekstrem telah
13
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Soultheast Asia, Canberra: Strategic and
Defence Studies Center Research School of Pasific and Asian Studies The Australian National
University, 1997, h 5-7. 14
Philips Jusario Vermonte, “Transnasional Organized Crime: Isu dan Permasalahan”
Analisis CSIS tahun XXXI/2002, no. 1, h. 18.
11
menyebabkan krisis.15
Dan perhatian yang diberikan oleh negara adalah kebijakan
untuk mengamankan perairan Selat Malaka dalam masalah ini pembajakan.
Konsep keamanan yang dikemukakan oleh Barry Buzan merupakan
pandangan awal dari pokok permasalahan yang dikemukakan khususnya
keamanan di perairan Selat Malaka. Menurut Barry Buzan, kemananan
merupakan suatu konsep yang relative sifatnya, namun dalam pengertian yang
lebih luas, keamanan dapat diartikan sebagai kemerdekaan atas suatu ancaman
tertentu, dan kemampuan negara dan masyarakat untuk mempertahankan identitas
kemerdekaan dan integritas fungsional mereka terhadap kekuatan-kekuatan
tertentu yang dianggap musuh. Dasar utama dari keamanan adalah bertahan hidup,
yang dapat mencangkup tradisi dan eksistensi suatu negara.16
Pengertian lain dari keamanan menurut Barry Buzan adalah keamanan
sebagai suatu gagasan yang lebih luas dibandingkan dengan kekuasaan, yang
mempunyai bentuk atau pola yang lebih bermanfaat di dalam melakukan
kerjasama.17
Dalam hal ini patroli terkoordinasi yang dilakukan oleh Indonesia,
Malaysia, dan Singapura adalah suatu kerjasama keamanan regional dalam tingkat
Asia Tenggara. Menurut Barry Buzan, keamanan regional adalah unsur-unsur
yang pada prinsipnya harus ditambahkan di dalam hubungan antar negara, yang
merupakan bentuk persahabatan antar negara.18
Oleh karena itu, keamanan mutlak hanya dapat diperoleh melalui
kooperasi bertingkat (lokal, regional maupun global) dan dalam berbagai dimensi
15
Ibid, h. 19. 16
Barry Buzan, People, State and Fear: The National Security Problem in International
Relations, Sussex: Wheatsheaf Book, 1993, h. 93. 17
Ibid, h. 189. 18
Barry Buzan, People, states and fear: an agenda for international security studies in
the post cold war area, London: Harvester Wheatsheaf 1991, h. 189
12
seperti ekonomi, pertahanan dan lingkungan.19
Konsep keamanan tepat digunakan
untuk masalah Selat Malaka, yang tergolong berbahaya kerena adanya
pembajakan. Hal ini membuat Indonesia sebagai negara pantai wajib menjaga
keamanan perairan Selat Malaka, tetapi dalam konsep ini Indonesia tidak dapat
bergerak sendiri, melainkan dengan bekerja sama dalam bidang keamanan oleh
negara-negara pantai seperti Malaysia dan Singapura.
Selat Malaka sebagai suatu wilayah strategis di kawasan Asia Tenggara,
membuat negara-negara yang berada di sepanjang wilayah selat tersebut menjadi
ketergantungan sehingga untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan
mereka (Indonesia, Malaysia, Singapura) dibutuhkan suatu keamanan kolektif
regional (kerjasama keamanan), dimana beban dan tanggung jawab untuk
mempertahankan stabilitas keamanan dapat dipikul bersama-sama oleh negara-
negara kawasan Asia Tenggara agar lebih memadai.
Selain itu, keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman dan
bebas dari ancaman berupa pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional dan
internasional yang berlaku di wilayah perairan, serta ancaman terhadap keamanan
negara prilaku subjek hukum di laut yang berpotensial mengancam keamanan
negara atau disintegrasi wilayah negara. Dari perkembangan lingkungan strategis,
baik global, regional maupun nasional, dapat diidentifikasi adanya berbagai
bentuk ancaman, yaitu ancaman potensial yang bersumber dari masalah batas
wilayah perairan yuridiksi nasional, masalah penyalahgunaan alur laut kepulauan
Indonesia, masalah sumber daya alam dan energi, serta ancaman faktual berupa
kegiatan perikanan illegal, penyeludupan, perompakan, pencurian harta karun,
19
Barry Buzan, People, State and Fear: The National Security Problem in International
Relations, h. 43.
13
pelanggaran wilayah, pelanggaran imigrasi, penelitian ilmiah tanpa izin, seta
pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan laut.20
Menurut Bernard Kent Sondakh, keamanan laut bukan semata-mata
menegakan hukum di laut. Lebih tegasnya lagi, keamanan laut tidak sama dengan
penegakan hukum di laut, karena keamanan laut mempunyai cangkupan yang luas
dan kompleks. Dalam pandangan TNI AL, keamanan laut mengandung pengertian
bahwa laut aman dan terkendali serta bebas dari empat hal pokok, yaitu: Laut
bebas dari ancaman kekerasan, Laut bebas dari ancaman navigasi, Laut bebas dari
ancaman terhadap sumberdaya laut, dan Laut bebas dari pelanggaran hukum, baik
hukum nasional maupun internasional.21
Konsep cooperative security dapat menjelaskan bentuk kerjasama yang
paling mungkin diterapkan oleh tiga negara pantai di Asia Tenggara Indonesia,
Malaysia dan Singapura, yaitu, untuk menangani bajak laut yang terjadi diperairan
Selat Malaka. Davit Dewitt menyebutkan bahwa, model cooperative security
mengandalkan mekanisme dialog. Model kerjasama cooperative security pertama
kali muncul di kawasan Eropa lewat keberadaan Conference on Security
Cooperation in Europe (CSCE).22
Menurut Muthiah Alagappa, dalam “Asian Security practices (Material
and Ideational Influences)”, Konsep cooperative security ini ditandai oleh
beberapa karakter. Pertama, pemahaman bahwa ancaman keamanan bersifat luas,
tidak hanya bersifat militer tetapi bisa juga bersifat non-militer. Kedua,
20
Uray Asnol Kabri, “Kerjasama Keamanan Regional ASEAN Ditinjau Dari Perspektif
Kepantingan Keamanan Laut Nasional”, Dharma Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf Dan
Komando TNI AL No. DW/112/2001, h. 85. 21
Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh Mengibarkan Bendera
Kewajiban, Jakarta: Penerbit Dinas Penerangan Angkatan Laut, 2004, h. 154-155. 22
Davit Dewitt, “Common, Comprehensive and Cooperative Security”, Pacific Affairs,
vol. 7 no.1 tahun 1994, h. 7-12.
14
pendekatan bersifat inklusif artinya, cooperative security bersifat fleksibel
terhadap bentuk-bentuk hubungan aliansi, termasuk hubungan-hubungan bilateral
dan perimbangan kekuatan yang sudah ada dalam menciptakan keamanan
regional. Kompetisi dan perbedaan antar negara tetap ada dalam suatu sistem yang
menganut cooperative security, namun kondisi perbedaan tersebut berlangsung
dalam koridor yang telah disepakati oleh semua negara yang berpartisipasi dalam
kerjasama keamanan yang memakai model cooperative security koridor yang
dimaksud disini adalah norma dan proses yang telah disepakati oleh negara-
negara tersebut. Dengan penekanan kepada mekanisme dialog, cooperative
security memungkinkan pembentukan multilateralisme yang bersifat ad hoc,
informal dan proses-proses yang fleksibel sampai kondisi untuk pembentukan
institusi multilateral lebih memungkinkan.23
Pada dasarnya manusia menginginkan keamanan yang bersifat kolektif
(Universal). Hal ini sangat beralasan kerena masing-masing negara pada dasarnya
tidak mampu untuk menanggulangi masalah secara individual, sehingga
diperlukan pengamanan secara bersama-sama. Keamanan kolektif sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu militer, ekonomi, sosial dan lingkungan.24
Kelima faktor seperti: militer, ekonomi, sosial dan lingkungan sangat
mempengaruhi sistem hubungan internasional dengan negara sebagai sentralnya
dan akan menentukan stabilitas sistem internasional. Untuk itu diperlukan suatu
kerjasama dalam bidang keamanan, faktor ancaman dapat memunculkan suatu
bentuk kerjasama antar negara baik dalam bentuk kerjasama bilateral, trilateral,
23
Muthiah Alagappa, “Asian Security practices (Material and Ideational Influences)”,
dalam skripsi Ilham Sani, “Perang Mengatasi Bajak Laut di SLOC I”, Depok: Universitas
Indonesia, 1999, h. 35 24
Barry Buzan and Ole Waever, Regions and Powers, The Structure of International
Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2004, h. 45.
15
regional dan sebagainya. Hal ini juga dapat diwujudkan dengan pembentukan
suatu komunitas keamanan di kawasan/wilayah. Menurut Karl Deutsch,
komunitas keamanan (security community) adalah kerjasama transnasional dalam
kawasan yang terdiri atas negara-negara berdaulat yang saling sepakat untuk
memelihara kondisi saling ketergantungan dalam melakukan perubahan secara
damai.25
Menurut Adler, Suatu komunitas itu sendiri dapat di definisikan atas tiga
karakteristik:
1. Anggota suatu komunitas mempunyai persamaan identitas, nilai
dan cara.
2. Suatu komunitas memiliki banyak sisi dan hubungan langsung;
interaksi tidak terjadi secara langsung dan hanya dalam wewenang
khusus dan terpisah, tetapi lebih melalui beberapa pertemuan tatap
muka dan hubungan dalam banyak latar.
3. Komunitas memperlihatkan suatu hubungan timbal balik yang
menyatakan beberapa tingkatan kepentingan dalam jangka waktu
yang lama dan bahkan altruism (altruism dapat dipahami sebagai
rasa kewajiban dan tanggung jawab).26
Dalam ikatan komunitas keamanan, saling menolong menjadi hal
kebiasaan dan identitas dan identitas nasional dinyatakan melalui penggabungan
usaha. Hak untuk menggunakan perubahan kekuatan dari satuan kepada
kebersamaan kedaulatan Negara-negara dan menjadi sah hanya pada ancaman dari
luar atau terhadap anggota komunitas keluar dari norma inti komunitas.
25
Emanuel Adler and Michael Barnett, Security Community, Cambridge: Cambridge
University Press 1998, h. 54. 26
Emanuel Adler and Michael Barnett, Security Community, h. 31.
16
Keseimbangan kekuatan, pencegahan nuklir dan ancaman pembalasan menguasai
berarti dan tugas fungsional, tetapi hanya untuk menjaga komunitas dari orang
luar, komunitas keamanan sebagai sistem keamanan bersama atau bahkan sebagai
organisasi pertahanan militer yang terpadu.
Pada hakekatnya, keamanan suatu wilayah bukanlah semata-mata untuk
kepentingan suatu negara saja, tetapi menyangkut kepentingan semua negara dan
bangsa di dunia terutama di sekitar kawasan, baik untuk kepentingan ekonomi
maupun politik secara global. Untuk itu, menjaga stabilitas keamanan di kawasan
tersebut bukan monopoli satu negara semata, melainkan tanggung jawab bersama.
Dalam kondisi keterbatasan kemampuan masing-masing negara, upaya terpadu
negara kawasan secara sinergi merupakan kebutuhan mendesak yang perlu
diwujudkan.27
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk memudahkan terkumpulnya data-data
yang diperlukan dalam penulisan suatu karya ilmiah. Disamping itu juga bisa
digunakan untuk memudahkan perumusan suatu kesimpulan dan memeriksa
kebenaran pernyataan yang disimpulakan.28
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data yang menjelaskan fakta-fakta yang diperoleh
dalam penelitian. Data diperoleh melalui kajian pustaka atas buku-buku, jurnal
ilmiah, maupun surat kabar, dokumen-dokumen dan melalui media elektronik
seperti internet yang berkaitan dengan “Kerjasama Keamanan Indonesia,
27
Uray Asnol Kabri, Kerjasama Keamanan Regional ASEAN, h. 80-81. 28
Moch Nasir, metode penilitian, Jakarta: Ghalia Press, 1998, h. 51.
17
Malaysia, Singapura Dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Perairan Selat
Malaka Periode 2004-2009”. Melalui studi perpustakaan ini diharapkan dapat
dipelajari konsepsi kerjasama keamanan negara pantai dalam menjaga keamanan
wilayah perairan Selat Malaka.
F. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan.
Terdiri atas latar belakang masalah tentang kondisi keamanan wilayah perairan
Selat Malaka, tujuan penulisan, kerangka teori yang berisikan konsep dan
perspektif para ahli mengenai definisi keamanan, metode penelitian yang bersifat
deskriptif dan sistematika penulisan.
Bab II : Permasalahan Bajak Laut Di Selat Malaka
Bab ini menjelaskan definisi dan tipe-tipe tentang bajak laut di Perairan Selat
Malaka,bajak laut sebagai ancaman yang dapat mengganggu aktivitas di Selat
Malaka dan faktor-faktor yang menyebabkan populasi bajak laut di Selat Malaka
meningkat.
Bab III : Patroli Terkoordinasi Indonesia, Malaysia dan Singapura Sebagai
Upaya Menjaga Keamanan di Perairan Selat Malaka
Bab ini membahas mengenai kerjasama yang di lakukan oleh tiga negara pantai
indoneisa, Malaysia dan Singapura untuk mengatasi keamanan di Selat Malaka
melalui patroli terkoordinasi, dalam bab ini juga akan dimuat analisis tentang
kerjasama patroli terkoordinasi.
Bab IV : Penutup
Bab ini berisi hasil kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.
18
BAB II
Permasalahan Bajak Laut di Selat Malaka
Pada abad ke-17 dan 18, perjalanan di lautan bagi awak dan penumpang
kapal sangatlah berbahaya. Banyak di antara mereka yang meninggal atau sakit di
perjalanan karena lingkungan yang kurang sehat dan terbatasnya bahan makanan.
Keadaan ini memperhitungkan datangnya badai atau topan yang menyebabkan
perjalanan menjadi lebih lama dan menyengsarakan. Tetapi, sekalipun keadaan di
atas merupakan ancaman serius yang ditakutkan, namun ancaman datangnya
bajak lautlah yang ternyata paling ditakuti. Sebab, bajak laut biasanya bertempur
habis-habisan, membunuh semua awak dan semua penumpang kapal untuk
memastikan kemenangan dan keamanan. Kalaupun ada beberapa diantaranya
yang diselamatkan, biasanya adalah mereka yang di anggap berguna oleh para
perompak.29
Ancaman terhadap jalur perdagangan internasional di perairan Asia
Tenggara adalah aksi pembajakan yang berdasarkan ilustrasi dan dokumen sejarah
bahwa ancaman terhadap keamanan itu berasal dari aktor-aktor non-negara atau
ancaman non-konvensional yang bukan merupakan fenomena baru. Perompakan
tercatat menjadi perhatian sejak Abad ke-4 Masehi di laut Cina dan berangsur-
angsur menyebar dan berkembang selama berabad-abad, dan berkembang luas di
laut Mediterania dari abad ke-16 sampai ke-18.
29
Jean-Michel Chalier & Victor Hubinon, “Le Roi Des Sept Mers, Dargaud Editeurs”,
dalam tesis Jusuf Dharma Senoputro, “Pengelolaan Kerjasama Keamanan di Wilayah Perairan
Selat Malaka”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005. h. 33.
19
A. Definisi Bajak Laut
Motif dari para bajak laut untuk melakukan pembajakan di laut dari pada
di darat membuat negara-negara bekerja kerja keras dalam menghadapi mereka.
Pembajakan mewakili perhatian klasik dari hukum internasional, yang secara
tradisional terfokus pada masalah-masalah yang tidak langsung berada dalam
hukum negara-negara. Sejumlah konvensi internasional telah di ratifikasi sejak
abad ke-19 untuk melawan pembajakan di laut lepas dan mencapai puncaknya
pada konvensi Genewa di tahun 1958 yang mengizinkan setiap negara untuk
menangkap para pembajak tanpa mempedulikan kebangsaan pelaku pembajakan
tersebut.30
Keberhasilan konvensi-konvensi ini telah menghasilkan dalam hubungan
internasional, dengan efektifitas penegakan hukum yang tidak terkarakterisasi
agar para pelaku kriminal dapat dikenai tindakan hukum lokal. Pembajakan di
zaman moderen cendrung tidak beroperasi di laut lepas, karena mereka pasti akan
berhadapan langsung dengan kekuatan angkatan laut yang besar dan lebih
menyukai tantangan otoritas kedaulatan negara yang kurang kuat dengan
membajak kapal-kapal di laut territorial sedang berlabuh atau berada di
pelabuhan.
Menurut International Maritime Organization (IMO) piracy atau
pembajakan adalah suatu tindakan dari percobaan pada kapal laut dengan maksud
untuk melakukan pencurian atau kejahatan kepada orang lain dan dengan
percobaan atau dengan kemampuan untuk menggunakan kekuatan/kekerasan
30
Peter Hough, Understanding Global Security, dalam tesis Jusuf Dharma Senoputro,
“Pengelolaan Bersama Keamanan di Wilayah Perairan Selat Malaka” Jakarta: Universitas
Indonesia, Desember 2005, h. 34.
20
dalam tindakan tersebut.31
Pada dasarnya bajak laut akan membunuh habis
korbannya dengan alasan tidak meninggalkan jejak, jika ada yang selamat
biasanya digunakan untuk budak atau dijual oleh para bajak laut.
Sedangkan menurut prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh
TNI AL, tindak pidana pembajakan didefinisikan sebagai setiap tindakan
kekerasan/perampasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan
memusnahkan terhadap orang lain atau barang, yang dilakukan untuk tujuan
pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal.32
Kualifikasi tindak pidana dan pasal-pasal yang dilanggar:
1. Pembajakan (piracy) melangar pasal 438 KUHP, Pasal 103, pasal
110, pasal 105, pasal 107 UNCLOS 1982
2. Pembajakan di laut (piracy at sea), Melanggar pasal 439 KUHP
3. Pembajakan di pesisir, Melanggar pasal 442 KUHP
4. Pembajakn di sungai, melanggar pasal 441KUHP
5. Nahkoda bekerja sebagai atau menganjurkan melakukan
pembajakan, melanggar pasal 442 KUHP
6. Bekerja sebagai ABK pembajak, Melanggar pasal 443 KUHP
7. Menyerahkan kapal untuk dibajak, melanggar pasal 448 KUHP
8. Penumpang merampas kapal, melanggar pasal 448 KUHP
9. Melarikan kapalnya dan pemilik kapal, melanggar pasal 449
KUHP
31
Graham Gerard Ong-Webb, “Piracy, Maritime Terorism and Securing the Malacca
Straits, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006, h. xii. 32
Prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh TNI AL, Jakarta: Markas Besar
TNI AL, Juni 2003, h. 13.
21
10. Tanpa izin pemerintah bekerja sebagai Nahkoda atau ABK kapal
pembajak, melanggar pasal 450 dan 451 KUHP.33
Pembajakan di perairan Asia Tenggara juga semakin berbahaya dan
terorganisir, laporan IMB (International Maritime Bireau) yang berpusat di
London. Direktur IMB Kapten Pottengal Mukun dalam laporan tengah tahunan
biro maritim, mengenai laporan 182 serangan pada semester pertama 2004 turun
22%, dari tahun lalu sebanyak 234 serangan. Berbanding jauh dengan negara
Bangladesh dan India mengalami penurunan besar dengan total 17 kasus
sedangkan sebelumnya 41 kasus. Namun 30 orang terbunuh pada tahun 2004,
dibandingkan dengan 2003 jumlah korban tewas 16 orang. "Pelabuhan Tanjung
Priok dan Balikpapan di Indonesia, Lagos di Nigeria, dan Chennai di India yang
termasuk kedalam kategori pelabuhan dengan jumlah penyerangan yang tinggi",
sedangkan Selat Malaka menghadapi 20 serangan, naik dari tahun lalu dengan 15
serangan.34
Dari laporan IMB di atas masalah pembajakan semakin meningkat apa lagi
di wilayah Asia Tenggara, jika dilihat sejarahnya masalah pembajakan di laut
sudah terjadi sejak manusia mulai mempergunakan kapal bagi kepentingan
kehidupannya melalui laut. Apalagi dengan bermunculannya kerajaan-kerajaan di
sepanjang pantai, penggunaan kapal semakin meningkat, tidak saja untuk
keperluan penangkapan ikan di laut, tetapi juga sudah dijadikan sebagai sarana
transportasi bagi pedagang yang terus meningkat pula juga. Dalam sejarah, sudah
33
Ibid, h. 13. 34
Pottengal Mukun, “Selat Malaka di Hantui Perompak”, Kuala Lumpur,
http://www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236 di akses tanggal 20 Oktober 2010, pukul
22.00.
22
diketahui bahwa di wilayah Asia Tenggara sejak awal abad Masehi sampai abad
ke-13 Masehi sudah terdapat kerajaan-kerajaan besar maritim besar seperti
kerajaan Funan, Champa, Sriwijaya dan Majapahit. Perkembangan ke-4 kerajaan
itu telah menyebabkan meningkatkan perdagangan Cina ke Selatan (Nanyang)
dengan mempergunakan kapal-kapal layar. Bersamaan dengan itu telah
berkembang pula pembajakan di laut seperti yang di catat oleh Ban Gu (32-29 M)
bahwa pembajakan sudah terjadi sepanjang rute kapal-kapal dagang Cina ke
Srilangka (Yichenghu) Melalui Singapura (Duyuan Go).35
Pada dasarnya para
pembajak itu ada karena melihat dari aktifitas laut yang meningkat, dengan kapal-
kapal yang membawa barang komoditif, sehingga terjadi pembajakan pada kapal-
kapal yang akan melakukan transaksi dagang.
Berikut ini diuraikan mengenai sejarah bajak laut di perairan Asia
Tenggara. Perhatian akan ditunjukan pada aksi bajak laut di perairan Asia
Tenggara bagian barat yaitu mulai dari Selat Malaka sampai laut Cina Selatan.
Sebab, kasus bajak laut yang paling terbanyak ada di kawasan ini.
Catatan sejarah paling awal mengenai bajak laut di Asia Tenggara di tulis
oleh Shih Fa-Hsien.36
Shih Fa-Hsien menyebutkan ada bajak Laut di kawasan
Bajak Laut di kawasan Selat Malaka pada sekitar tahun 413-414 Masehi. Berita
mengenai keberaan bajak laut terus ada berabad-abad berikutnya. Berita Chia_tan
yang di tulis akhir abad ke-8 menyebutkan tempat bajak laut secara lebih rinci,
yaitu di sebuah pulau di sebelah barat laut kerajaan Sriwijaya. Pada abad ke-12
dikabarkan keberhasilan satu kerajaan kecil di bawah pengaruh Sriwijaya yang
berhasil memukul mundur serangan bajak laut. Wang Ta-Yuan menulis bahwa
35
Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, Jakarta: Bumi Aksaraja, April 2010. h. 97-98. 36
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 23-24.
23
bajak laut pada tahun 1330-1340 terdapat di daerah Lung-Ya-Men (sekarang
Keppei Harbor, Singapura) selama sembilan abad ini berita bajak laut terpusat di
sekitar sekitar Selat Malaka dan sekitarnya. Sumber-sumber tersebut juga
menyebutkan mengenai kegiatan-kegiatan para pembajak, seperti mengincar kapal
karam kemudian membajak kapal serta menangkap orang-orang yang berada di
atas kapal tersebut untuk dijual sebagi budak. Tatapi tidak disebutkan asal dari
para bajak laut tersebut apakah mereka dari etnis yang sama atau tidak. Pada
abad-abad berikutnya para pelaku pembajakan merupakan campuran dari berbagai
campuran dari berbagai suku bangsa.37
Pada era perang dingin kegiatan bajak laut relatif rendah jumlahnya,
karena perhatian pada masyarakat terfokus pada persaingan antara blok barat
dengan blok timur dari pada memperhatikan isu keamanan tingkat rendah seperti
bajak laut yang sering kali dianggap sebagai salah satu bentuk kriminalitas biasa,
namun pada akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an laporan mengenai
serangan bajak laut sangat menonjol.38
Sasaran mereka adalah orang-orang perahu
yang berasal dari Vietnam. Seluruh perahu yang berasal dari Vietnam yang
berlabuh di pantai negara lain diperkirakan berjumlah 500.000 dan separuhnya
diperkirakan pernah mengalami serangan bajak laut selama pelayaran mereka.39
Sekitar akhir tahun 1980-an bajak laut di kawasan Asia Tenggara kembali
mengalami peningkatan, terutama perairan di bagian barat, yaitu Selat Malaka,
37
Adrian B Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan laut Selawesi
abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, h. 122-123. 38
Pada masa pendataan mengenai serangan bajak laut sangat kurang sehingga sangat sulit
untuk mengetahui jumlah kasus bajak laut secara tepat. Mark Bruyneel, “Modern day piracy
statistic”, www. Tortuga.myweb.nl/archive/modern/figures.htm. di akses pada tanggal 20 Oktober
2010. Pukul 23:30. 39
Ko Tun Hwa, The Control of Piracy and Maritime terrorism, Dalam skripsi Ardiana
wahyu Hapsari, “ASEAN dan permasalahan bajak laut di Asia Tenggara”, Depok: Universitas
Indonesia, 2002, h. 29.
24
laut Jawa, Selat Singapura, dan Laut Cina Selatan. Bila jaman dahulu sebagian
bajak laut memiliki motif politik dalam melaksanakan pembajakan, bajak laut
modern mayoritas dilandasi oleh motif ekonomi, namun tidak menutup
kemungkinan adanya motif politik seperti kegiatan perompakan kapal dan
penyanderaan awak atau penumpang kapal yang dilakukan oleh gerakan separatis
Moro.40
Peningkatan kasus pembajakan ini terjadi hingga tahun 2004 atas laporan
tahunan IMB.
A.1. Tiga-Tipe Pembajak/ Bajak Laut di Zaman Moderen
Kegiatan bajak laut di zaman moderen ini berbeda dengan kegiatan
bajak laut zaman kerajaan dahulu, saat ini para bajak laut bukan lagi
menangkap awak kapal untuk dijadikan budak. Namun, bukan berarti para
bajak laut tidak berbahaya di zaman moderen ini. Pembajakan dan
perusakan terhadap awak kapal kerap kali terjadi dan teknologi yang
dipergunakan oleh bajak laut juga sudah berkembang.
Menurut Peter Chalk, IMB menggolongkan pembajakan di zaman
moderen dapat dibagi menjadi tiga katagori:41
a. Low level armed robbery (pembajakan bersenjata tingkat rendah)
Kegiatan kelompok pembajak ini berupa pencurian di pelabuhan dan
dermaga aksi bajak laut seperti ini biasa terjadi di pelabuhan-
pelabuhan kecil. Sebab, pengawasan oleh petugas terhadap
40
Pemerintah Indonesia juga menuduh gerakan Aceh merdeka terlibat dalam beberapa
kasus pembajakan di dekak di perairan Aceh, bajak laut merampok kapal dan menyandera awak
kapal untuk meminta uang tebusan, seperti yang terjadi terhadap kapal MT Tirta Niaga IV pada
awal tahun 2000. Namun, para pemilik kapal memilih untuk mengabulkan tuntutan para pembajak,
sebab tuntutannya pada umumnya tidak terlalu besar dan pemilik kapal mengingikan agar masalah
cepat selesai tanpa harus menghadapi prosedur investigasi resmi yang rumit. Di akses dari,
www.iccwbo.org/ccs/imb_piracy/weekly_piracy_report, pada tanggal 20 Oktober 2010, pukul
21:00. 41
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 24.
25
keamanan pelabuhan kurang. Kebanyakan kasus kebanyakan bajak
laut tipe ini terjadi di Indonesia. Chalk mencontohkan 16 dari 17
kasus bajak laut di perairan Jakarta merupakan pembajak model ini,
yaitu serangan terjadi saat kapal sedang berlabuh atau saat kapal
tersebut sedang menuju ke luar perairan tersebut.42
IMB
menyebutkan bahwa serangan bajak laut ini adalah serangan yang
bersifat oportunis yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang
bersenjata pisau dengan menggunakan kapal kecil yang
berkecepatan tinggi. Sasaran perompakan biasanya uang tunai dan
barang-barang berharga. Kerugian yang mereka timbulkan sekitar
5.000 sampai 15.000 dolar AS.43
Bajak laut ini juga bisa disebut
pembajakan kecil-kecilan yang hanya membajak awak kapal
kemudian melarikan diri. Biasanya terjadi ketika kapal yang menjadi
sasaran sedang lego jangkar atau sedang berlabuh di pelabuhan.
b. Medium level armed assault robbery (penyerangan pembajakan
bersenjata tingkat menengah)
Tipe ini merupakan bajak laut yang umumnya terjadi di perairan
Asia Tenggara, yaitu pembajakan di laut lepas atau laut territorial.
Bila berlangsung di selat yang sempit bajak laut seperti ini sangat
mengganggu sistem pelayaran. Sebab ada kemungkinan kapal yang
dibajak akan lepas kendali, terutama saat awak kapalnya diikat,
dikurung atau mungkin dibunuh. Biasanya bajak laut seperti ini
42
Peter Chalk, Grey-Area Phenomena in Southeast Asia, h. 24. 43
David G. Wiencek, “The Growing Threat of Maritime Piracy”, diakses dari
http.//www.china.jamestown.org/pubs/view/cwe_001_001_004.htm, pada 29 September 2010,
pukul 13.00.
26
beroperasi secara terorganisir dan tidak jarang beroprasi dari
semacam „kapal induk‟. Serangan bajak laut ini seringkali
membahayakan nyawa awak kapal.44
c. Major criminal hijack (kejahatan bajak laut tingkat tinggi)
Tipe bajak laut ini juga dikenal sebagai fenomena „kapal siluman‟
atau „phantom ship‟. Kegiatan bajak laut ini memiliki modal yang
sangat besar dan jauh lebih terorganisir dengan melibatkan organisasi
kejahatan internasional yang mengerahkan sekelompok orang yang
telah terlatih untuk menggunakan senjata api. Tindakan bajak laut ini
mengikuti pola sendiri.45
Pertama, kapal dikuasai kemudian
muatannya diturunkan kemudian kapal tersebut dicat ulang dan
didaftarkan dengan nama lain dan juga disertai dokumen-dokumen
palsu untuk melakukan pelayaran lagi. Muatan kemudian dijual
kembali di tempat lain dengan pembeli yang telah diatur sebelumnya.
Kerugian material yang ditimbulkan oleh bajak laut jenis ini lebih
besar dari dua tipe sebelumnya, sebab, kapal dan muatannya lenyap
sekaligus, serta ancaman kehilangan nyawa bagi awak kapal dan
penumpangnya lebih besar.
Pada awalnya perairan Asia Tenggara paling rawan terhadap bajak
laut tipe low level armed robbery dan Medium level armed assault
robbery. Dua jenis bajak laut ini termasuk katagori yang sering terjadi di
kawasan Asia Tenggara. Sasaran utama yang diincar oleh bajak laut ini
44
Piracy in Southeast Asia, http://www.angelfire.com/ga3/tropicalguy/piracy- modernday
.html, diakses tanggal 05 Juli 2011, pukul 20.00.
45
Ibid.
27
adalah kapal barang dan kapal tanker yang berukuran kecil atau sedang.
Kapal tanker berisikan bahan bakar menjadi sasaran yang digemari bajak
laut sebab bahan bakar mudah dijual.
Secara umum perairan di Asia Tenggara dikenal penuh dengan
serangan bajak laut bahkan secara khusus Indonesia dikenal dengan
kawasan paling mengkhawatirkan. Tahun 2002 ditandai dengan
peningkatan frekuensi serangan bajak laut yang sangat menyolok di
Indonesia, dapat dilihat pada gambar tiga hasil laporan Maritime Institute
of Malaysia (MIMA) Pada bulan Mei 2006. Selat Malaka dan Selat India
adalah kawasan yang rentan terhadap serangan bajak laut. Para bajak laut
ini merampas sebagian kecil atau seluruh muatan kapal yang dibajak,
bahkan tidak jarang para bajak laut rela untuk membunuh awak kapal yang
dibajak.46
(lihat Tabel 1)
Tabel 1. Piracy Incident in Indonesia, Malaysia, Singapore and
Straits of Malacca
Tahun
Lokasi 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Indonesia 119 91 108 121 94 97
Malaysia 21 9 14 5 9 3
Singapura 5 7 6 2 8 7
Selat Malaka 76 17 16 28 38 12
ICC Internasional Maritime Beureau, Piracy and Armed Robbery Againts Ships,
Annual Report 1 January 200547
46
Ralf Emmers and Leonard C. Sebastian, “Terrorism and Transnational Crime in
Soultheast Asia International Relations”, dikutip oleh Donald E. Weatherbee, Internasional
Relations in Soultheast Asia: the Struggle for Autonomy, dalam bambang cipto, Hubungan
Internasional di Asia Tenggara: (teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. h. 226. 47
Sumber: http//:www.mima.online, “Indonesia‟s Efforts in Combating Piracy and
Armed Robbery in The Straits of Malacca”, dalam Tesis, Steven Yohanes Pailah, Pengelolaan isu-
isu Keamanan di Selat Malaka Periode 2004-2006, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008, h. 3.
28
Pada tahun 2007, menurut IMO, jumlah pembajakan mengalami
pengurangan menjadi sejumlah 12 pembajakan barsenjata/armed robbery
dengan jumlah paling banyak terjadi pada kuartal kedua sebesar enam
pembajakan bersenjata/ armed robbery. (lihat tabel 2)
Tabel 2. Perompakan & Pembajakan di Selat Malaka Tahun 2007
(Versi International Maritime Organization)
No. Waktu Nama Kapal Jenis
1 21/01/2007 SINAR MERAK Piracy/ Armed Robbery
2 22/01/2007 ARENDAL Piracy/ Armed Robbery
3 28/03/2007 HEINRICH OLDENDORFF Piracy/ Armed Robbery
4 25/05/2007 ECHIGO MARU Piracy/ Armed Robbery
5 29/04/2007 SHOKO MARU Piracy/ Armed Robbery
6 10/05/2007 ALAM CEPAT Piracy/ Armed Robbery
7 24/05/2007 KUDAM Piracy/ Armed Robbery
8 13/08/2007 BRANTAS 25 Piracy/ Armed Robbery
9 28/08/2007 MARTHA RUSS Piracy/ Armed Robbery
10 19/10/2007 KOTA TERAJU Piracy/ Armed Robbery
11 01/11/2007 ISLAMABAD Piracy/ Armed Robbery
12 06/11/2007 BOW FERTILITY Piracy/ Armed Robbery
(Sumber: Reports on Acts of Piracy And Armed Robbery Against Ships Annual Report
2006, International Maritime Organization, 10 April 2008)
Lalu pada tahun 2008, jumlah pembajakan bersenjata/armed
robbery berkurang drastis menjadi hanya dua pembajakan bersenjata/
armed robbery yang terjadi pada kuartal pertama.( lihat tabel 3)
Tabel 3. Perompakan & Pembajakan di Selat Malaka Tahun 2008
(Versi International Maritime Organization)
No. Waktu Nama Kapal Jenis
1 10/01/2008 LION CITY RIVER Piracy/ Armed Robbery
2 10/02/2008 KASAGISAN Piracy/ Armed Robbery
(Sumber: Reports on Acts of Piracy And Armed Robbery Against Ships Annual Report
2006, International Maritime Organization, 19 Maret 2009)
29
Tercatatat beberap contoh kasus pembajakan yang terjadi di
perairan Selat Malaka. Kasus pembajakan 2 kapal milik Jepang yaitu Ten
Yu tahun 1998 dan Alondara Rainbow tahun 1999. Kapal Ten Yu milik
perusahaan Jepang Masumoto bersama 15 awak kapalnya meninggalkan
Kuala Tanjung (Indonesia) pada bulan September 1998 menuju Inchon
Korea dengan membawa sebanyak 3000 ton batang alumunium. Kapal ini
ternyata telah dibajak di perjalanan dan baru ditemukan 3 bulan kemudian
di sungai Yangtse di Cina, tetapi catnya sudah diganti berserta awak
kapalnya. Adapun kapal Rainbow milik perusahaan Imura Lines, yang
juga membawa 7000 ton batang alumuniumdari Kuala Tannjung pada
tanggal 22 Oktober 1999 menuju Fukuoka Jepang. Dua setengah jam
setelah berlayar mereka dibajak pada waktu malam hari oleh para
pembajak yang memnggunakan Speed boat, senjata dan pedang. Kedua
kapal jepang ini dibajak di perairan Asia Tenggara.48
Pada bulan Juli 2003, sebuah upaya pembajakan terjadi 3 kali
berturut-turut di perairan Selat Malaka terhadap kapal tanker milik
Indonesia yang bermuatan LPG/gas, dan kapal tanker bermuatan minyak.
pembajak menembakkan senjata api, namun berhasil digagalkan. Pada
tanggal 26 Maret 2003, terjadi serangan terhadap kapal bernama Dewi
Madrim milik Indonesia.49
Sebuah kapal yang mengangkut bahan kimia
berukuran kecil, di sebelah timur Propinsi Riau. Sekitar 1 orang perompak
bersenjata api dan pisau menaiki kapal tersebut dan memotong jalur
48
Syamsumar Dam, “Politik Kelautan”, h. 101. 49
http://www.klasifikasiindonesia.com/ajax/info/dataregister3.php?nr=7111, di akses
tanggal 29 juni 2011, pukul 22.00.
30
komunikasi kapal tersebut, dan mengikat para awak kapal. Para pelaku
tersebut kemudian mengambil alih navigasi kapal dan membawa kapal
dengan kecepatan rendah. Setelah beberapa saat para perompak tersebut
meninggalkan kapal dan membawa uang, peralatan dan barang-barang
milik awak kapal. Pada tanggal 8 April 2003, Kapal Trimanggada (cargo)
milik Indonesia dalam perjalanannya di Selat Malaka diapit oleh 3 buah
kapal motor dan dipaksa untuk segera mematikan mesin. Para pelaku
bersenjata api tersebut kemudian menaiki kapal dan menyandera serta
menculik kapten kapal dan 1 orang ABKnya untuk kemudian meminta
uang tebusan kepada pemilik kapal. Pada tanggal 5 Januari 2004, kapal
Tanker Cherry 201 milik Indonesia diserang dan dibajak oleh orang-orang
bersenjata di Selat Malaka. Para pembajak kemudian menyandera 13 anak
buah-kapal. Setelah 1 bulan melakukan negosiasi, para pembajak
kemudian menembak mati 4 ABK, dan sisanya melompat ke laut.50
Angka-angka kejahatan pembajakan di laut yang dicatat oleh IMB
maupun MIMA cukup besar terutama bagi wilayah Indonesia,
ketidakmampuan mengatasi pembajakan terlihat juga dari contoh kasus di
atas hanya beberapa persen saja yang dapat di gagalkan. Sesungguhnya
negara manapun di dunia tidak menghandaki perompakan dan pembajakan
terus berlangsung.
Akan tetapi, menyangkut tanggung jawab keamanan dan
pengelolaan di Selat Malaka, tidak hanya diberi tugas kepada satu negara
saja, seperti Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia dan Singapura harus
50
ICC-IMB, Piracy and Armed Robbery Against Ships Annual Report-2003-dan Report 1
January 2004, http://www.icc-ccs.org/story/2008/05/080524_bajak.shtml, di akses tanggal 17
Maret 2011, pukul 00:10.
31
bertanggung jawab. Apalagi Malaysia dan Singapura lebih banyak
mengambil keuntungan dan memanfaatkan jasa Selat Malaka untuk
membangun perekonomian.51
Namun, konstelasi Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki posisi strategis sebagai jalur komunikasi lalu lintas laut (Sea Line
of Communication/SLOC) dunia, menyebabkan seringnya pembajakan
terjadi di perairan Indonesia. Padatnya arus lalu lintas pelayaran dan
sempitnya alur pelayaran yang harus dilalui merupakan faktor utama
timbulnya keinginan para perompak melakukan aksinya.52
Secara geografis wilayah perairan Selat Malaka merupakan jalur
hubungan perdagangan nasional dan internasional letaknya berbatasan
langsung dengan negara tetangga Malaysia, Singapura, dan Thailand yang
juga merupakan wilayah yang menjadi tanggung jawab dalam bidang
keamanan pangkalan utama TNI AL I/ Belawan. Sehingga para pengguna
laut yang selalu menggunakan perairan ini sebagai salah satu jalur lalu
lintas transportasi angkutan laut yang dirasakan memiliki nilai strategis
dan ekonomis.
Kasus terjadinya pembajakan di perairan Indonesia itu, menurut
KASAL Benart Kent Sondakh, sebenarnya tidaklah tinggi seperti yang
dilaporkan oleh IMB. Menyoroti besar-besaran mengenai kasus
pembajakan yang terjadi di Selat Malaka, sengaja dihembuskan dan
dibesar-besarkan, sehingga menjadi isu internasional. Namun demikian,
KASAL pun mengakui bahwa beberapa kasus perompakan itu memang
51
Republika, “RI, Singapura, dan Malaysia Patroli di Malaka” 21 Juni 2005. 52
Hardiwan, “Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut”, Dharma Wiratama,
Majalah Resmi Sekolah Staf dan Komando TNI AL No. DW/114/2002, h. 67.
32
ditemukan di wilayah perairan Indonesia, dan biasanya bajak laut
beroperasi diperairan atau selat yang sempit saat kapal yang menjadi
sasaran berjalan perlahan, mereka naik kapal sasaran, merampas atau
mengambil secara paksa barang-barang berharga ataupun uang yang ada di
kapal. Setelah itu mereka kabur dengan menggunakan boat dengan
kecepatan tinggi.53
Gangguan keamanan di Selat Malaka yang paling menonjol adalah
perompakan di Laut (sea robbery), yang oleh international Maritime
Bureau (IMB) dikategorikan sebagai pembajakan di laut (piracy), padahal
antara keduanya sangat berbeda baik latar belakang maupun tujuannya.
Perbedaan itu terjadi sebagai akibat tidak proposionalnya manejemen
pelaporan dari kapal ke markas IMB di Kuala Lumpur. Realitasnya di
lapangan, misalnya laporan dari kapal-kapal niaga yang sedang berlayar di
Selat Malaka tidak diverivikasi keakuratanya tetapi langsung
dipublikasikan apa adanya.
Sebagai contoh, kapal yang sedang berlayar dalam kegelapan
malam merasa terancam saat tiba-tiba melihat gerakan perahu yang
melintas dengan cepat dan langsung mengirim sinyal mara bahaya tanpa
melakukan identifikasi yang jelas. Akibatnya sinyal tersebut langsung
didengar atau dicatat oleh IMB. Padahal perahu yang melintas tersebut
belum tentu perompak, tetapi hanya perahu tradisional yang lalu lalang
antar pulau. Dari sinilah awal perbedaan data antara pihak Indonesia dan
Singapura (melalui kerjasama antara TNI AL dan RSN) dengan IMB yang
53
Rajab Ritonga, Kerjasama Keamanan Regional ASEAN, h. 257.
33
menyamaratakan setiap laporan dari kapal niaga sebagai kejadian
pembajakan di laut.54
Dari berbagai data yang dikumpulkan, para perompak pada
umumnya menggunakan sarana speed boat/kapal dengan kecepatan tinggi,
perahu pancung atau perahu penangkap ikan dengan perlengkapan senjata
api, golok dan masker dan tali berkait untuk naik ke kapal. Kapal yang
menjadi sasaran para perompak pada umumnya adalah kapal dagang,
kapal tanker, dan kapal ikan. Modus oprasi yang digunakan para perompak
pada umunya adalah dengan menempelkan speed boat ke kapal sasaran
kemudian naik ke kapal dengan menggunakan tali. Selanjutnya para
perompak mengadakan penjarahan di atas kapal dan hasil rampasannya di
turunkan ke speed boat. Sedangkan untuk pembajakan modus operasi yang
digunakan adalah dengan mengganti seluruh awak kapal baru yang
dikontrak, mengubah warna kapal dan mengganti nama kapal dengan
menggunakan dokumen palsu.55
Terkait dengan kondisi tersebut TNI AL telah meningkatkan
frekuensi operasi di perairan Selat Malaka dan juga melaksanakan operasi
terpadu dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura, sehingga
diharapkan dapat menekan atau meminimalisasi tindak kejahatan di laut
dengan menindak/ menangkap para pelaku dan memproses sesuai dengan
hukum yang berlaku.
54
Djoko Sumarjono, “Kerawanan di Selat Malaka”, Harian Kompas, 2 Juli 2005. 55
Hardiwan, Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut , h. 67-68.
34
B. Bajak Laut Sebagai Ancaman Keamanan di Selat Malaka
Secara geografis Selat Malaka membentang sepanjang 500 mil laut berada
di semenanjung Malaya dan Pulau Sumatra. Lebar alur masuk di Selat Malaka di
sebelah Utara adalah sekitar 200 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah Selatan
yang merupakan wilayah sempit (The narrowest point) yaitu sekitar 8 mil laut.
Selat Malaka bersambungan dengan Selat Singapura yang mempunyai panjang
selat kurang lebih 60 mil laut, lebih jelasnya dapat dilihat gambar 1 Wilayah Selat
Malaka.
Gambar 1. Selat Malaka
Gambar 1. Wilayah Perairan Selat Melaka.
56
Dalam konstelasi geografis Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai
jalur pelayaran yang sempit dan terdapat pulau-pulau kecil yang justru memberi
peluang terjadinya tindak kejahatan di laut. Selat Malaka salah satu dari 13 selat
strategis di dunia yang menghubungkan Asia dan Pasifik, serta Amerika dan
Afrika. Adapun selat yang strategis lainya adalah Selat Babel Mandap yang
56
Solvay Gerke, “Perkembangan Selat Malaka”, Malaysia: CenPRIS, USM (Universiti
sains Malaysia), 2009.
35
menghubungkan Laut Merah dan Laut Arabia, Selat Bosporus yang
menghubungkan Laut Hitam dan Laut Marmara sampai Terusan Suez di Mesir
dan Terusan Panama.
Untuk kawasan perairan Asia Pasifik lintasan SLOC yang terdapat di Selat
Malaka, dimana dilewati oleh 72% kapal tanker yang melintas dari Samudra
Hindia ke Pasifik.57
Sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
maka keamanan alur dan keselamanatan kapal-kapal yang melintas di selat ini
merupakan merupakan tanggung jawab negara pantai. Jaminan keamanan ini
sangat penting mengingat faktor keamanan dapat menjadi isu yang krusial bagi
kehidupan masyarakat internasional. Sebagai tiga negara yang secara trilateral
bertanggung jawab untuk menjamin keamanan kapal-kapal yang melintasi Selat
Malaka, maka Indonesia, Malaysia dan juga Singapura harus memiliki komitmen
yang kuat dan landasan kerja sama yang jelas serta akurat. Hal ini tampaknya
belum dirasakan adanya jaminan keamanan pelayaran yang terkontrol,
sebagaimana desakan negara-negara pengguna Selat Malaka.58
Perlu dipahami bahwa keamanan Selat Malaka sesungguhnya bukan
terletak pada patroli keamanan semata namun mengandung pengertian bahwa
Selat Malaka harus bebas dari ancaman maupun gangguan terhadap aktifitas
pemanfaatannya. Oleh karena itu beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga
Selat Malaka bebas dari proses sekuritisasi atau internasionalisasi, adalah:59
a. Selat Malaka bebas dari ancaman kekerasan yang menggunakan kekuatan
bersenjata terorganisir, serta yang memiliki kemampuan mengganggu dan
57
Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h. 21-23. 58
Djoko Sumaryono, “Kerawanan di Selat Malaka”, diakses dari
http://www.unisosdem.org/ kliping_detail.php?aid=4285&coid=1&caid=45, pada tanggal 28
Oktober 2010, pukul 23:15. 59
Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h. 23.
36
membahayakan personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa
pembajakan, sabotase obyek vital, peranjauan, hingga aksi terror
bersenjata.
b. Selat Malaka bebas ancaman navigasi yang ditimbulkan oleh kondisi
geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana seperti menara
suar, system radar dan lain-lain, sehingga dapat membahayakan
keselamatan pelayaran.
c. Selat Malaka bebas ancaman kerusakan lingkungan dan sumberdaya laut,
yakni pencemaran dan perusakan ekosistem laut. Eksploitasi yang
berlebihan serta konflik pengelolaan sumber daya laut. Fakta menunjukan
bahwa konflik pengelolaan sumber daya (jalur selat) memiliki
kecendrungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan diikuti dengan
penggelaran kekuatan militer.
d. Selat Malaka bebas dari pelanggaran hukum yautu pelanggaran hukum
nasional dan internasional, seperti illegal fishing, illegal logging, illegal
migrant, penyeludupan dan lain-lain.
Bertitik tolak dari presepsi tersebut sangatlah jelas bahwa keamanan Selat
Malaka memiliki lingkup yang cukup luas, sehingga memerlukan organisasi,
manejemen, serta sarana dan prasarana yang memadai. Dalam hal ini penulis
menekankan pada masalah bajak laut di Selat Malaka yang sangat mengancam
keamanan bagi tiga negara pantai Selat Malaka dan pengguna perairan Selat
Malaka tersebut.
Selanjutnya dalam forum The 2nd
Asean Annual Senior Officials Meeting
on Transnasional Crime yang diselenggarakan pada tanggal 17 Mei 2002 di
37
Kuala Lumpur, Malaysia dengan topic “Work Proggrame to Implement the
ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime”, diperoleh kesepakatan
sebanyak delapan jenis tindak kejahatan lintas negara (transnational crimes),
yaitu:
1. Perdagangan gelap narkotika (Drug’s Trafiking)
2. Perdagangan Manusia (Human Trafiking)
3. Pembajakan di Laut (Sea-Piracy)
4. Penyeludupan Senjata (Arms Smuggling)
5. Pencucian Uang (Money Laundring)
6. Terorisme (Terorism)
7. Kejahatan Ekonomi Internasional (International Economic Crime)
8. kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime)60
Kesepakatan tersebut pada dasarnya tidak hanya berlaku secara regional,
namun sudah menjadi komitmen masyarakat internasional untuk melawan
kejahatan lintas negara yang terorganisir dan memiliki jaringan global.
Menurut James Laki, transnational crime adalah keseluruhan bentuk
kejahatan domestic yang terjadi di perbatasan internasional dalam satu negara atau
lebih dan mendapatkan fokus perhatian masyarakat internasional.61
Laki
menambahkan bahwa Faktor social dan ekonomi serta struktur yang lemah dari
negara adalah penyebab terjadinya kejahatan transnasional.62
Ini seperti yang
terjadi pada Selat Malaka terhadap bajak laut, maka sangat penting dilakukan
60
www.kemlu.go.id/Documents/ASP%202010.pdf, diakses 28 Oktober 2010, Pukul:
20:00. 61
James Laki, “Non-Traditional Security Issues:Securitisation of Transnational Crime in
Asia”, Singapore: Research Paper nanyang Tecnological University, 2005. 62
James Laki, “Securitization of Transnational Crime”, Singapore: laporan Workshop
Institute of Defence and Strategic studies (IDSS), 2005.
38
pengkajian terhadap aplikasi konsep keamanan maupun mekanisme kontrol di
lapangan. Hal ini merupakan pintu masuk untuk meneliti apakah konsep
kerjasama keamanan Selat Malaka dapat mengatasi masalah bajak laut serta
mampu menguraikan keinginan-keinginan kolektif yang bersifat sekuritisasi
trilateral antara tiga negara pantai Selat Malaka.
C. Faktor-faktor yang mendorong meningkatnya bajak laut
Bajak laut tidak serta merta timbul suatu komunitas, meskipun beberapa
kebudayaan tertentu menerima bajak laut. Ada beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap kasus bajak laut di suatu komunitas terdiri dari faktor geografis, faktor
sosial ekonomi, dan faktor politik.
C.1. Faktor Geografis
Perairan Asia Tenggara merupakan struktur kelautan yang paling
rumit di dunia. Hampir semua tipe topografis terdapat pada perairan ini.
Seperti landas kontenen yang dangkal, laut dalam, lereng benua, palung
dan pulau karang. Pulau ini mencapai 8.940.000 kilometer persegi, atau
2,5 persen dari lautan di dunia, meliputi Selat Malaka, Selat Singapura,
dan Selat Philip, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda,
Laut Arafuru, Laut Timor, Laut Sulawesi, Laut Sulu, dan Laut Pilipina.
Dan secara umumnya Selat Malaka mempunyai alur yang sangan sempit.
Dan juga merupakan jalan pintas bagi kapal-kapal untuk mempercepat
waktu tempuh dan tidak harus melewati jalur memutar.63
Sehingga tercatat
63
Edhi Nuswantoro, ”Pengelolaan Keamanan Selat Malaka”, h 2-3.
39
bahwa bahwa perairan Asia Tenggara merupakan perairan yang cukup
sibuk.
Perairan Asia Tenggara yang cukup luas dan beragam itu, namun
terdapat perairan yang paling sibuk di dalamnya, adalah perairan di
sebelah barat, yaitu Selat Malaka, Selat Philips, Laut Cina Selatan, dan
laut Jawa. Selat Malaka dan Selat Philips sebenarnya bukan merupakan
jalur yang ideal bagi lalu lintas kapal dan tanker secara topografis.64
Sebab, kedua selat lebarnya beragam dari 126 mil sampai 24 mil saja.
Selain itu selat-selat ini juga memiliki beberapa titik yang sangat dangkal.
Survey yang dilakukan pada tahun 1969 di Selat Malaka menunjukan ada
21 titik dangkal sepanjang selat.65
Akibatnya masih banyak kapal dan tanker yang mempergunakan
Selat Malaka dan hanya kapal dan tanker yang mempunyai bobot yang
berat melewati Selat Lombok. Kapal dan tanker yang melewati Selat
Malaka terpaksa memperlambat laju sampai dengan kecepatan 10 knot.
Pada saat ini lah kapal-pakal dan tanker rawan terhadap para bajak laut.
Lambatnya kapal memudahkan perahu atau kapal bajak laut mengejar dan
menghampiri korbannya. Apa lagi kebanyakan bajak laut menggunakan
speed boat untuk menjalankan oprasinya.66
Selain itu bajak laut juga diuntungkan oleh adanya pulau-pulau
yang tersebar di perairan Asia Tenggara, mereka menggunakan pulau-
64
Moehtar Kusuma Atmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung, Binacipta, 1978, h.
234. 65
Kirdi Dipoyudo, Persoalan di Sekitar Selat Malaka, Jakarta: Analisa CSIS, Tahun IV
1975. 66
Graham Gerard Ong-Webb, Piracy, Maritime Terrorims and Securing the Malacca
Straits, h. 168.
40
pulau tersebut untuk bersembunyi. Baik sebelum mereka berangkat
maupun sesudah melakukan pembajakan. Keadaan geografis seperti ini
menyulitkan patroli untuk mencari keberadaan mereka.
C.2. Faktor Ekonomi
Negara-negara pendiri ASEAN, kecuali Filipina sempat menikmati
pertumbuhan yang bagus pada dekade 70-an dan 80-an. Pada tahun 1991-
1996, pertumbuhan perekonomian Asia Tenggara sangat pesat, yang
kemudian memunculkan julukan, “keajaiban ekonomi Asia" moderenisasi
dan pembangunan yang dilakukan oleh Negara-negara Asia Tenggara juga
memiliki potensi untuk menimbulkan sejumlah tindak kejahatan atau
kriminalitas. Vagg berpendapat bahwa pembangunan di negara-negara
berkembang menyimpan kerawanan yang terkait dengan masalah
kriminalitas. Pembangunan yang berlangsung merupakan periode transisis
dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat moderen.67
Eric Frecon menyebutkan bahwa faktor ekonomi juga merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan bajak laut tumbuh di perairan Selat
Malaka, menurutnya aksi kejahatan terjadi akibat meningkatnya kebutuhan
ekonomi di kepulauan Riau dan sekitarnya maka persoalan keamanan di
Selat Malaka sesungguhnya bermotif ekonomi.68
Pandangan Frecon ini mewakili sejarah bajak laut di Selat Malaka.
Sejak abad ke-16, jalur lintasan Selat Malaka telah dikenal oleh bangsa-
bangsa Eropa barat yang mencari rempah-rempah. Di lintasan ini juga
67
Jhon Bradford, “Shifting the Tdes Against Piracy in Southeast Asian Waters”, Asian
Survey, Vol.XLVIII,No.3, May/June 2008. h. 479. 68
Eric Frecon, “Piracy and Armed Robbery at Sea Long the Malacca Straits: Initial
Impressions from Fiedwork in Riau Island”. Singapore: ISEAS, 2006. h. 69.
41
sebelumnya berdiri kerajaan Sriwijaya dan kemudian kerajaan Malaka.
Saat itu, aksi bajak laut terutama berasal dari orang-orang Bugis dan
Makasar yang melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal dagang yang
melewati perairan tersebut.69
Jadi, pembajakan yang terjadi di perairan Selat Malaka pemicu
utamanya adalah masalah ekonomi akibat banyaknya pengangguran.
Sebab, Selat Malaka sekarang ini merupakan jalur SLOC yaitu jalur
perdagangan dunia. Setiap harinya rata-rata 200 kapal berbagai tipe dan
lebih dari 25% perdagangan dunia dengan menggunakan kapal tanker
minyak dan LNG melintas di Selat Malaka. Hal inilah yang memicu
terjadinya pembajakan atau kapal-kapal tersebut menjadi sasaran bagi para
pembajak laut, karena Kapal-kapal tersebut membawa barang yang mudah
untuk di jual kembali.
C.3. Faktor Politik
Kapasitas negara yang menjadi fokus adalah kemampuan negara
dalam menjamin keamanan wilayah lautnya. Seperti, kemampuan negara
untuk menyelenggarakan pengawasan terhadap kawasan laut sangat
terbatas. Batasan itu disebabkan oleh kurangnya sumber daya manusia,
finansial dan material.
Secara tradisional bajak laut diatasi oleh kekuatan bersenjata, yaitu
dengan angkatan laut. Keberhasilan negara-negara kolonial dalam
menekan jumlah kasus bajak laut dengan mengerahkan kekuatan angkatan
69
Bernard Dorleans, “Sejarah Orang Indonesia dan Orang Prancis dari awal Abad XX”,
Jakarta: KPG, 2006.
42
bersenjata untuk mengatasi para bajak laut tersebut. Namun, bersama
dengan persoalan migrasi illegal, dan penyeludupan obat-obatan terlarang,
persoalan bajak laut diserahkan oleh agensi seperti polisi air dan patroli
pantai. Sementara itu, armada angkatan laut di Asia Tenggara kebanyakan
terdiri dari kapal-kapal lama. Hanya Singapura yang berencana untuk
mengembangkan angkatan lautnya dengan perlengkapan dan teknologi
baru. Indonesia di masa pemerintahan Abdurahman Wahid menjadikan
angkatan laut sebagai prioritas pertahanan keamanan. Rencananya adalah
penambahan jumlah personel dan armada dalam lima tahun kedepan.
Namun, sebenarnya pembaharuan Angkatan Laut/AL yang dilakukan oleh
Abdurrahman Wahid tersebut antara lain disebabkan oleh sedikitnya
inventaris AL yang bisa beroprasi secara baik hanya 25% saja.70
Pada dasarnya peran AL di negara-negara ASEAN adalah lebih
kepada kepemilikan armada tempur, dan juga dalam menghadapi
peperangan. Sedangkan untuk kemampuan patroli dan pengawasan pantai
kurang mencukupi apabila dengan perairan yang harus dijaga. Namun,
secara universal TNI AL mengemban tiga peran penting yaitu peran
militer, peran polisionil dan peran diplomasi yang dilandasi oleh
kenyataan laut bahwa laut merupakan wahana kegiatan angkatan
bersenjata.71
Lemahnya koordinasi antara negara pantai Selat Malaka dan
minimnya fasilitas patroli untuk menjangkau luas Selat malaka menjadi
kendala dan juga dapat menciptakan pertumbuhan bajak laut di kawasan
70
Ibid, h. 180. 71
Ken booth, “Law, Force & Diplomacy at sea”, London: George Allen & Unwin Ltd,
1985, h. 45.
43
perairan Selat Malaka. Sehingga terjadi peningkatan yang signifikan pada
kasus bajak laut pada akhir tahun 1990-an membuat para pembuat
kebijakan mulai mempertimbangkan suatu penanganan khusus. Sebab,
selain kasus bajak laut yang muncul pada akhir tahun 1990-an muncul
persoalan keamanan baru, terutama yang di sebabkan oleh aktifitas pelaku
kejahatan transnasional. Oleh karena itu, tiga negara pantai Indonesia,
Malaysia, dan Singapura untuk membentuk patroli terkoordinasi yang
terpadu untuk mengatasi masalah bajak laut di perairan Selat Malaka.
44
BAB III
PATROLI TERKOORDINASI INDONESIA, MALAYSIA DAN
SINGAPURA SEBAGAI UPAYA MENJAGA KEAMANAN DI PERAIRAN
SELAT MALAKA
Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat general
dengan mengikutsertakan seluruh warga negara, pemanfaatan seluruh sumber
daya nasional, dan seluruh wilayah negara. Pertahanan negara bertujuan untuk
menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara kesatuan
RI, serta keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Dengan
demikian usaha menyelenggarakan pertahanan negara harus mengacu pada
hakikat dan tujuan tersebut.72
Mengembang potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan dan
keamanan negara di bidang maritim, Binpotnaskuatmar (Pembinaan Potensi
Nasional Kekuatan Maritim), merupakan upaya dalam rangka membina dan
mengambangkan kondisi segenap potensi nasional yang mempunyai kaitan atau
pengaruh di bidang maritim, yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya
alam dan sumber daya buatan termasuk sarana dan prasarananya agar mampu
melaksanakan tugas pertahanan dan keamanan di bidang maritim. Jadi, tujuan
akhirnya dari Binpotnaskuatmar adalah tumbuhnya kemampuan dan daya tangkal
negara dan bangsa guna menanggulangi setiap bentuk ancaman, khususnya
dibidang maritim.73
72
Estu Raharjo,”Dengan Dicabutnya Undang-Undang No.20 Tahun 1982 Apa Tugas TNI
AL Sekarang ini”, Majalah TNI AL Cakrawala, No.380 Tahun 2004, h. 65. 73
Ibid, h. 66.
45
Seperti keamanan yang mengancam Selat Malaka dengan adanya bajak
laut, itu termasuk tanggung jawab negara kesatuan Indonesia dan tentunya
Malaysia dan Singapura juga bertanggung jawab dalam masalah keamanan di
Selat Malaka. Selat Malaka merupaka selat yang digunakan sebagai jalur
tranportasi internasional. Sebagai jalur yang sibuk tentunya diperlukan kerjasama
untuk mengatur lalulintas dan juga pengamanan di Selat Malaka. Sebelum adanya
kerjasama, banyak yang terjadi di perairan selat tersebut karena tidak adanya
pengaturan dan pengamanan yang jelas, hingga banyak terjadinya kecelakaan
lalulintas dan juga tindak kriminalkitas seperti pembajakan di perairan tersebut,
mewarnai sekian banyak peristiwa di selat tersebut. Kesadaran akan pentingnya
menciptakan keamanan dan ketertiban di Selat Malaka oleh tiga negara di
sekitarnya mendorong terciptanya suatu kerjasama.
A. Persepsi Tentang Kerjasama Keamanan di Selat Malaka
Isu Selat Malaka senantiasa memperoleh perhatian dunia kerena fungsinya
yang sangat vital dan penting dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan
internasional. Keamanan selat ini semakain penting dimana berbagai negara
menggunakan jalur pelayaran internasional untuk mengangkut bahan mentah yang
kemudian diolah di negaranya. Gangguan keamanan yang sering terjadi adalah
pembajakan (Piracy). Pada beberapa kasus para bajak laut tidak hanya membajak
muatan kapal, bahkan terkadang mencuri kapalnya dan meninggalkan kapal
begitu saja dan meninggalkan awak kapal di tengah laut, atau sering kali
menjadikan awak kapal sebagai Sandra kemudian para perompak tersebut
meminta tebusan.
46
Indonesia, Malaysia dan Singapura yang merupakan negara yang berada
tepat di sepanjang Selat Malaka, memiliki tanggung jawab untuk memelihara
keselamatan dan keamanan pelayaran internasional tersebut. Konvensi hukum laut
1982 mengatur bahwa keamanan laut merupakan tanggung jawab negara pantai
yang memiliki wilayah tersebut.
Menyadari pentingnya keamanan laut, perlu kiranya menyamakan persepsi
mengenai keamanan laut diantara tiga negara selat ini, karena tanpa disadari
adanya perbedaan-perbedaan kepentingan nasional tiap negara dapat menggiring
ke dalam suatu polemik berkepanjangan yang berdampak negatif hal ini juga akan
menyababkan terhambatnya upaya membangun keadaan yang aman damai bagi
negara tepi selat dan negara pengguna Selat Malaka. Pada dasarnya tujuan suatu
negara melakukan hubungan internasional adalah untuk memenuhi kepentingan
nasional di dalam negerinya.74
Dalam masalah ini ketiga negara tepi harus
memperjuangkan kepentingan nasionalnya di Selat Malaka, sebagai negara yang
mempunyai hak dan tanggung jawab di wilayah perairan yang strategis ini.
Untuk menghindari terjadinya kegagalan dan konflik di dalam kerjasama
keamanan di Selat Malaka ini. Diperlukan pengertian keamanan laut75
itu sendiri,
adalah laut bisa dikendalikan dan aman digunakan oleh pengguna untuk bebas
dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas pemanfaatan laut dari keamanan
laut bukan hanya penegakan hukun di laut saja. Persepsi Indonesia mengenai
keamanan laut antara lain:76
74
Syamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h.
15. 75
Slamet Soebijanto, Coordinate Patrol ; One of The Ways to Secure of Malacca Straits,
dibawakan dalam seminar ASEAN Regional Forum Confidence Building Measures, Singapore:
Regional Cooperation in Maritime Security, 2-4 Maret 2005, h.56. 76
Ibid, h. 58.
47
1. Laut bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan
mengunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan memiliki
kemampuan untuk menggangu dan membahayakan personil atau
negara. Ancaman tersebut dapat berupa pembajakan, sabotase objek
vital maupun aksi terror bersenjata.
2. Laut bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang di timbulkan
oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana
bantu navigasi seperti suar, buoy dan lain-lain, sehingga dapat
membahayakan keselamatan pelayaran.
3. Laut bebas dari ancaman terhadap sumberdaya laut berupa pencemaran
dan perusakan ekosistem laut serta eksploitasi yang berlebihan.
4. Laut bebas dari pelanggaran hukum, baik hukum nasional maupun
internasional seperti illegal fishing, illegal logging, illegal immigrant,
smuggling dan lain-lain.
Atas dasar persepsi Indonesia di atas, maka semakin jelas keamanan laut
memiliki ruang lingkup yang luas. Hal ini juga menjadi dasar menyamakan
persepsi bagi tiga negara tepi dalam melakukan kerjasama keamanan di Selat
Malaka. Suatu konsesus regional telah dibangun atas tiga prinsip berikut: pertama,
bahwa tanggung jawab utama atas keamanan dan keselamatan jalur laut seperti
Selat Malaka, berada di tangan negara-negara perairan, kedua beranekaragamnya
pihak yang berkepentingan dan rumitnya tugas yang menjadi beban maka ada
peran untuk seluruh pihak, apakah itu negara-negara yang berkepentingan,
organisasi internasional seperti International Maritime Organization (IMO),
masyarakat perkapalan, dan juga perusahaan-perusahaan multi nasional, ketiga,
48
setelah kita menjabarkan cara yang baik untuk melakukan kerjasama dibidang
yang baru ini, kita harus terus berkonsultasi sesuai dengan hukum internasional. 77
B. Kerjasama Penanganan Laut Indonesia, Malaysia dan Singapura
Kerjasama trilateral antara Indonesia, Malaysia dan Singapura merupakan
bentuk kerjasama pengamanan laut sebagai upaya pengamanan di sepanjang
perairan Selat Malaka. Kerjasama yang ditandatangani pada 20 Juli 2004 ini
merupakan kerjasama untuk melakukan partroli terkoordinasi di antara tiga negara
kerjasama koordinasi ini bukan merupakan bentuk kerjasama patroli bersama
tetapi merupakan patroli terkoordinasi yang dilaksanakan sepanjang tahun dengan
melibatkan angkatan laut dari tiga negara.
Kerjasama ini merupakan peningkatan yang dilakukan oleh negara untuk
berkoordinasi dalam menangani keamanan di Selat Malaka kerena sebelum
terjadinya kerjasama ini, masing-masing negara melakukan kerjasama secara
bilateral saja. Kerjasama bilateral yang dilakukan oleh masing-masing negara di
Selat Malaka yaitu patkor Indonesia dengan Malaysia, patkor Indonesia dengan
Singapura dan juga patkor Singapura dengan Malaysia.
Kerjasama ini merupakan suatu bentuk upaya meningkatkan kualitas
pengamanan di Selat Malaka yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman bagi
siapa saja yang melintasinya. Bagi Indonesia, Malaysia dan Singapura, jelas
kerjasama ini diharapkan dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan pada
kerjasama sebelumnya. Kerjasama sebelum ini di nilai sama sekali tidak dapat
membuat angka kejahatan di perairan ini menurun. Bahkan sebelum kerjasama
77
Isu maritim: Fokus ASEAN Regional Forum 2005, http://rsi.com.sg/indonesian
/fokusasia/view/20050303211500/I/htm. Di akses Tanggal 05 Januari 2011, pukul 00:30.
49
trilateral Indonesia, Malaysia dan Singapura ini dibentuk, angka tindak kejahatan
di selat ini mencapai angka yang sangat menghawatirkan. Kerjasama trilateral
Indonesia, Malaysia dan Singapura merupakan patroli terkoordinasi baru untuk
mengamankan Selat Malaka. Dengan melibatkan tiga negara sekaligus. Ketiga
negara tersebut tentu sangat berharap dengan kerjasama ini, keamanan di selat
tersibuk di Asia Tenggara ini dapat menjadi kenyataan.78
Seperti diketahui, Selat Malaka menjadi sorotan dunia internasional.
Banyak negara di dunia yang bergantung pada selat ini, karena pasokan komoditi
mereka di pasok lewat selat ini. Apabila lalulintas terganggu maka akan berakibat
fatal bagi negara-negara yang bersangkutan. Selat Malaka telah menjadi sebuah
masalah yang rumit littoral states dikarenakan selat tersebut terkenal aksi dengan
aksi pembajakan. Hal ini menyebabkan negara-negara di sekitar selat mendapat
kritikan dari berbagai pihak. Oleh kerena itu, dijalin kerjasama diantara negara
pantai Selat Malaka, oleh karena itu, maka terciptanya patroli terkoordinasi antara
tiga negara pantai Selat Malaka.
B.1. Patroli Terkoordinasi di Selat Malaka
Pada tahun 1992, Singapura dan Indonesia sepakat untuk
mendirikan jalur komunikasi langsung antara angkatan laut kedua negara
dan sepakat untuk menyelenggarakan patroli terkoordinasi untuk
mengamankan jalur pelayaran Selat Singapura dari tindak pembajakan
termasuk persyaratan untuk melakukan pengejaran yang terkoordinasi
melewati batas territorial. Juga di tahun 1992, Indonesia dan Malaysia,
78
Ida Bagus Sanubari, “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Memcegah
Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”, Kertas karya perorangan,
Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, 2005, h. 52.
50
melalui mekanisme untuk kerjasama dalam bidang maritime (yang telah
meliputi kerjasama Angkatan Laut dan Kepolisian untuk melaksanakan
latihan dan oprasi di Selat Malaka, serta prosedur tetap pertemuan di laut
untuk pertukaran informasi), di sepakati pada bulan Desember 1992 untuk
membentuk suatu tim kerjasama oprasi maritim untuk melakukan patroli
terkoordinasi sepanjang pesisir Selat Malaka.79
Dengan kerjasama bilateral antara dua negara ini seperti Indonesia
dengan Singapura ataupun Indonesia dengan Malaysia, diharapkan
kerjasama bilateral ini dapat menciptakan situasi yang aman dan terkendali
di Selat Malaka maupun di Selat Singapura. Dimulai dengan latihan
bersama angkatan laut kedua negara Indonesia dengan singapura di Selat
Singapura, dengan tujuan utama yaitu mengamankan Selat Singapura dari
para bajak laut.
Patroli terkoordinasi antara Indonesia dengan Singapura (patkor
indosin) merupakan sandi yang diberikan untuk The Indo-Sin Coordinate
Patrol atau patroli terkoordinasi Indonesia-Singapura yang dilaksanakan
oleh Republic of Singapore Navy dengan TNI AL sejak tahun 1992 untuk
mencegah dan memberantas berbagai tindak kejahatan di laut seperti
pembajakan, penyeludupan senjata dan lalu lintas perdagangan obat bius
untuk mendukung integritas dan kedaulatan nasional bagi kedua negara
yakni Indonesia dan Singapura.80
KASAL Laksamana TNI Bernatd Kent Sondakh menegaskan,
bahwa masalah keamanan perairan Selat Malaka adalah tanggung jawab
79
Sam Bateman & Stephen Bates, Calming the Waters Initiatives For Asia Pacific
Maritime h. 52. 80
Majalah Cakrawala, “Berita Koarmabar”, no. 373 Tahun 2002, h. 58.
51
tiga negara pantai, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura. Kerjasama
pengaman diwilayah ini sudah sejak lama dilakukan oleh tiga negara
pantai tersebut dalam bentuk patroli terkoordinasi/Coordinated Patrol
Malindo antara Malaysia dan Indonesia, patkor indosin antara Indonesia
dan Singapura.
Untuk itu perlu adanya kerjasama multilateral dalam keamanan
laut. Kerjasama ini tidak berarti negara pengguna mengirim kekuatan
militernya untuk melakukan pengamanan bersama dengan negara pemilik
laut, namun dalam bentuk pertukaran informasi intelejen, latihan bersama,
melengkapi sarana tanda-tanda navigasi, bantuan pengembangan
kemampuan yang menyangkut sarana dan prasrana maupun manajemen
oprasional, bantuan pengerukan, bantuan eksplolasi dan eksploitasi
sumber daya laut, serta bantuan pencegahan, peniadaan pencemaran,
perusakan lingkungan dan ekosistim laut.81
Dengan tidak menurunkan angkatan militer negara pengguna selat
ke Selat Malaka untuk mengamankan Selat Malaka. Hal ini lebih
menghormati kedaulatan negara pantai Selat Malaka. Karena kehadiran
militer negara pengguna seperti AS atau Jepang akan secara otomatis
mengganggu kedaulatan tiga negara pantai yaitu Indonesia, Malaysia dan
Singapura.
Pada tanggal 20 Juli 2004, Singapura, Indonesia dan Malaysia
memulai program kerjasama Trilateral Coordinated Patrol untuk
mengamankan Selat Malaka. Dalam kegiatan pengamanan Selat Malaka
81
Ibid, h. 125.
52
lewat patroli terkoordinasi itu, dibangun beberapa titik pengawasan (point
control) masing-masing di Belawan dan Batam (Indonesia), Lumut
(Malaysia) dan Changi (Singapura) dan Kerjasama dalam bentuk patroli
terkoordinasi ini di dasari atas dukungan yang kuat dari media setempat
dan tanggapan masyarakat yang positif pada demonstrasi peluncuran
patroli tersebut yang merupakan inisiatif pemerintah yang muncul untuk
melaksanakan kegiatan ini. Hal ini merupakan program multilateral
pertama di kawasan yang tidak melibatkan kehadiran extra-regional
partner. 82
Peluncuran patroli terkoordinasi di Selat Malaka diresmikan pada
tanggal 20 Juli 2004 dalam suatu upacara di perairan Selat Malaka,
dihadiri Panglima TNI Jendral TNI Endriartono Sutartono, Panglima
Tentara Diraja Malaysia Jendral Tan Sri Dato‟Zahidi Zainudin, Kepala
Pertahanan Angkatan Bersenjata Singapura Letjen Ng Yat Chung, Kepala
Staf Angkatan Laut Laksamana Bernart Kent Sondakh, Panglima Tentara
Laut Diraja Malaysia Laksamana Dato‟ Sri Mohd. Anwar bin HJ. Mohd.
Nor dan Kepala Staf Angkatan Laut Singapura Laksamana muda Ronnie
Tay.83
Dengan peresmian patroli terkoordinasi ini tiga negara pantai Selat
Malaka Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengharapkan dapat
terciptanya suasana aman dan bebas dari tindak kejahatan di laut. Dengan
hadirnya para petinggi Angkatan Laut tiga negara pantai Selat Malaka saat
82
John Bradford, “Southeast Asian Maritime Security In The Age Of Terror: Threats,
Opportunity, And Charting The Course Forward”, Singapore: Instituteor Defence and Strategic
Studies, April 2005, h. 9. 83
Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, h. 147.
53
upacara peluncuran patroli terkoordinasi dapat mempersatukan misi
keamanan laut di Selat Malaka.
Dengan digelar patroli terkoordinasi sejak tahun 2004 oleh tiga
negara pantai Selat Malaka, terlihat semakin terasah kemampuan
Angkatan Laut ke tiga negara pantai tersebut. Kepala Staf TNI Angkatan
Laut Laksamana Agus Suhartono dalam pertemuan Malacca Strait Sea
Patrol (MSSP) ke-6 di Batam, kepulauan Riau. Agus Suhartono
mengungkapkan bahwa “kerjasama awal patroli terkoordinasi di rintis oleh
tiga negara pantai Indonesia, Malaysia dan Singapura, dan pada tahun
2008 Thailand bergabung dalam MSSP, dan sekarang Brunai, Filipina dan
Vietnam menjadi peninjau.84
Dalam kegiatan patroli terkoordinasi ini, masing-masing Angkatan
laut mengikut sertakan sekitar 5-7 kapal perangnya. Di samping itu, di
siagakan komunikasi hot line selama 24 jam untuk saling tukar informasi
dan laporan, khususnya untuk mempercepat aksi penindakan dari unsur-
unsur patroli apabila terjadi gangguan atau ancaman di perairan Selat
Malaka. Kegiatan patroli terkoordinasi ini tidak semata-mata kerena
adanya laporan IMB, tetapi didorong oleh rasa tanggung jawab tiga negara
pantai sebagian negara yang berdaulat untuk mewujudkan stabilitas
keamanan di Selat Malaka.85
Dengan adanya hot line 24 jam dapat mempermudah Angkatan
Laut tiga negara pantai Selat Malaka dapat saling tukar informasi dan juga
mencegah adanya salah komunikasi yang berakibat fatal. Dengan patroli
84
Laksamana Agung Saputra, “Selat Malaka Hingga Somalia”, Kompas, 22 Juli 2010 85
Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, hal. 175, 177.
54
terkoordinasi ini tidak adanya anggota patroli yang melakukan aktifitasnya
mengganggu kedaulatan negara anggota patroli.
Untuk kerjasama setingkat Asia-Pasifik, justru ASEAN menjadi
pelopor dalam instrumen diplomatik terutama penyelesaian masalah secara
damai melalui Treaty of Amity and Cooperation (TAC).86
Tujuan di
bentuknya TAC adalah untuk mempromosikan perdamaian di kawasan
Asia Tenggara yang selalu mengedepankan kerjasama yang erat dengan
sesama masyarakat ASEAN serta memberikan kontribusi yang kuat,
solidaritas dan persahabatan antara negara.
Disamping TAC, ASEAN Vision 2020 merupakan promosi
keamanan saat ini. Secara simbolik visi ASEAN 2020 adalah sebuah
kesatuan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang memiliki pandangan
kedepan, hidup dalam perdamaian, stabilitas dan kemakmuran, terikat
bersama dalam sebuah komunitas yang saling peduli. Visi ASEAN 2020
ini kemudian diwujudkan dalam bentuk sebuah komunitas ASEAN
(ASEAN Community) yang memiliki tiga pilar yaitu Komunitas Keamanan
ASEAN (ASEAN Security Community/ASC), Komunitas Ekonomi
ASEAN (ASEAN Econimic Community/AEC), Komunitas Budaya
ASEAN (ASEAN Socio-Cultular Community/AScC).87
ASC mencerminkan komitmen negara-negara ASEAN untuk
memperkuat dan meningkatkan kerjasama politik-keamanan, dalam hal ini
kerjasama keamanan patroli terkoordinasi. ASC di dasarkan pada prinsip-
86
TAC terbentuk saat terselenggaranya KTT ke-1 ASEAN di Bali, Indonesia, 23-25
Pebruari 1976, yang di sepakati oleh negara-negara ASEAN. 87
“ASEAN Selayang Pandang”, Dirjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri RI,
Jakarta, 2007.
55
prinsip non-interference, pembuatan keputusan berdasarkan consensus,
ketahanan nasional dan regional, penghormatan atas kedaulatan nasional
serta penyelesaian sengketa secara damai.88
Kerjasama keamanan maritime regional tiga negara Indonesia,
Malaysia, Singapura melalui patroli terkoordinasi ini meliputi upaya-
upaya menciptakan keselamatan laut (safety at sea), penegakan hukum dan
ketertiban di laut (law and order at sea). Kerjasama ini, secara eksplisit
terdapat dalam butir A.5 Bali Concord II, sebagai berikut:
“maritime issues and concerns are transboundary in nature, and
therefore shall be addressed regionally in holistic, integrated and
comprehensive manner. Maritime cooperation between and among
ASEAN member countries shall contribute to evolution of the ASEAN
Security Community”.89
Dapat di simpulkan bahwa terselenggaranya patroli terkoordinasi
tiga negara Indonesia, Malaysia, Singapura merujuk dari prinsip-prinsip
ASC yang sekarang telah berubah menjadi APSC (ASEAN Political
Security Community) yang merupakan pilar dari ASEAN Community.
Dalam blueprint dinyatakan bahwa APSC memiliki tiga karakteristik
utama yang berkenaan dengan kerjasama kerjasama tiga negara pantai
Selat Malaka yaitu: (1) A rules-based of shared values and norms; (2) A
cohesive, peaceful, stable, and resilient region with shared responsibility
for comprehensive security; dan (3) A dynamic and outward looking
region in an increasingly integrated and interdependent world.90
88
Ibid. h. 29 89
Lihat Bali Concord II sebagaimana yang dihasilkan dari KTT ASEAN, 9 Oktober 2003
di Bali, dalam buku, “ASEAN Selayang Pandang”, Dirjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar
Negeri RI, Jakarta, 2007, h. 178-179. 90
APSC (ASEAN Political Security Community) Blueprint, http://www.asean.org
/22337.pdf, di akses tanggal 5 Juli 2011, pukul 22.44.
56
Tiga karakteristik yang dimiliki oleh APSC merupakan salah satu
faktor yang menjadi acuan terselenggaranya patroli terkoordinasi tiga
negara pantai Selat Malaka. Lebih spesifik terdapat pada karakteristik
yang ke-dua yaitu: A cohesive, peaceful, stable, and resilient region with
shared responsibility for comprehensive security, yang merupakan
pengembangan aksi ASC dalam bidang keamanan non-tradisional, yaitu
dalam mengatasi masalah issu keamanan non-tradisional dengan
melakukan kerjasama keamanan antara negara anggota ASEAN.
Untuk memperkuat kerja sama dan memperkokoh komitmen
patroli terkoordinasi tiga negara itu dalam mengamankan Selat Malaka,
telah di tandatangani term of Reference (TOR) Joint Coordinating
Committee (JCC) Malacca Straits Patrol (MSP) di Batam pada 21 April
2006. TOR JCC MSP mengatur koordinasi tiga negara dalam melakukan
operasi pengamanan di Selat Malaka, termasuk tukar menukar informasi
intelijen. Selain itu TOR JCC MSP juga menjadi payung hukum bagi
pelaksanaan patroli terkoordinasi di laut dalam kerangka Malsindo
(Malaysia-Singapura-Indonesia) dengan pengamanan melalui udara (eye in
the sky). Pengesahan TOR JCC MSP dan SOP MSP itu dihadiri oleh
Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto, Panglima Angkatan Bersenjata
Malaysia Admiral Tan Sri Dato` Mohd Anwar bin Hj Mohd Noor, serta
Panglima Angkatan Besenjata Singapura Letnan Jenderal Ng Yat Chung.91
Pada dasarnya usaha kerjasama internasional yang bagaimana pun
harus sejalan dengan ketentuan UNCLOS 1982. Selat Malaka dan Selat
91
Laksamana Slamet Soebijanto, “pembahasan standar prosedur operasional (SOP)
pengamanan Selat Malaka”, http://koarmabar.tnial.mil.id/Berita/tabid/62/articleType/
ArticleView/articleId/87.aspx, di akses tanggal 24 Desember 2010, pukul 23:00.
57
Singapura memenuhi criteria sebagai “selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional” menurut ketentuan UNCLOS 1982. Ketentuan-
ketentuan Bab III UNCLOS 1982 adalah hasil kompromi yang telah
dirundingkan secara rinci untuk menciptakan keseimbangan antara
kepentingan negara-negara tepi (coastal/riparian States) dan kepentingan
negara-negara pengguna selat (user states).92
Kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara pantai Selat Malaka
harus berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, seperti patroli terkoordinasi
yang di lakukan oleh tiga negara pantai Indonesia, Malaysia, dan
Singapura dalam upaya mengamankan selat tersebut merujuk pada
ketentuan UNCLOS 1982, sehingga apapun yang di putuskan dalam
pertemuan tiga negara membahas patroli terkoordinasi tidak merugikan
satu belah pihak.
Kegiatan patroli terkoordinasi yang melibatkan Angkatan Laut dari
tiga negara pantai Selat Malaka itu, bukanlah merupakan patroli bersama
(Joint Patrol), tetapi merupakan patroli terkoordinasi (Coordinated Patrol)
yang dilaksanakan sepanjang tahun. Kegiatan ini merupakan peningkatan
dari kegiatan sebelumnya, yaitu patroli terkoordinasi bilateral yang
dilaksenakan oleh dua negara. Seperti antara Indonesia dengan Malaysia,
Indonesia dengan Singapura, dan Malaysia dengan Singapura.93
92
Etty R. Agues, “Pengelolaan Keamanan di Selat Malaka Secara Terpadu”, keynote
speech pada “workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu pengelolaan
keamanan Selat Malaka,” Medan: Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian
Luar Negeri, 19-20 juli 2005, h. 3. 93
Alfian Sitompul, “Brunai memahami kebijakan RI terhadap selat malaka”,
http://www.tni.mil.id/index2.php?page=detailindex.html&nw_code=361, diakses tanggal 24
Desember 2010, pukul 18:55
58
Direncanakan sedikitnya akan ada 15 kapal perang dari ketiga
Angkatan Laut yang tergabung dalam Special Task Force, disamping
setiap negara juga melaksanakan kegiatan patroli rutin. Dalam Special
Task Force ini, menurut KASAL, meskipun trilateral tetapi tidak berarti
kapal-kapal perang dari ketiga negara itu bisa masuk sampai keperairan
wilayah negara lainnya. Coordinated Patrol ini berbeda dengan Joint
Patrol dimana gugus tugasnya bisa masuk kemana saja. “dalam patroli
terkoordinasi ini setiap force berada di wilayah masing-masing, namun
dalam oprasinya kita koordinir dalam suatu Taks Force bersama”
Laksamana TNI Bernart Kent Sondakh menambahkan, bahwa dalam
kondisi tertentu, ketika suatu kapal perang sedang mengejar kapal yang
melanggar, kemudian lari ke wilayah perairan negara tetangga, maka hal
itu bisa diberi tahukan ke Angkatan Laut setempat untuk dilakukan
pengejaran. Dan bila Ankatan Laut setempat kapalnya jauh dari lokasi
pengejaran, maka bisa saja pengejaran oleh kapal perang tersebut
diteruskan sampai ke wilayah perairan negara lain dengan terelebih dahulu
memberikan informasi bahwa kapal perang itu sedang mengejar suatu
target. “inilah yang dinamakan patroli terkoordinasi”.94
Dengan adanya patroli terkoordinasi trirateral ini diharapkan dapat
mempercepat proses laporan dari para korban tindak kejahatan di laut,
dimana sebelumnya permintaan bantuan atau laporan dari korban harus
memakan waktu yang lama. Dengan adanya patroli terkoordinasi yang
memasang jarring komunikasi hotline antara tiga negara selama 24 jam,
94
Rajab Ritonga, Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh, h. 260.
59
maka proses penerimaan laporan dan aksi dari unit yang sedang berpatroli
akan lebih akurat dan berlangsung cepat.
Perairan Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan salah satu
jalur pelayaran yang padat di lalui oleh kapal-kapal niaga maupun kapal
perang asing yang akan menuju Singapura atau Selat Malaka maupun yang
akan memasuki perairan Indonesia. Adanya objek vital dan padatnya jalur
pelayaran yang tersebar di seluruh perairan Selat Malaka dan Selat
Singapura serta perkembangan politik di tanah air tidak menutup
kemungkinan akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk melakukan
pelanggaran kedaulatan dan hukum di laut dalam rangka mengganggu
stabilitas keamanan nasional dan regional.95
Dihadapkan dengan keadaan tersebut maka perairan Selat Malaka
dan Selat Singapura merupakan perairan yang strategis dan vital, serta
rawan terhadap timbulnya berbagai bentuk ancaman potensial maupun
faktual. Dan sudah menjadi kewajiban bagi negara pantai sepanjang alur
Selat Malaka dan Singapura untuk mengamankan wilayah tersebut. Oleh
karena itu, perlu diambil langkah-langkah antisipasi sedini mungkin oleh
Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan menggelar patroli terkoordinasi
antara angkatan laut Indonesia-Malaysia-Singapura dengan menghadiri
unsur perairan Selat Malaka dan Selat Singapura.96
Ada banyak kemungkinan mekanisme pemicu yang memprakasai
penelitian awal dan keinginan untuk membentuk lembaga atau organisasi
untuk memelihara ketentraman dan membantu perkembangan hubungan
95
Rencana Operasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia)-01/2004, h. 1-2. 96
Ibid, h. 2.
60
mereka. Salah satunya adalah ancaman keamanan bersama. Perang atau
suatu ancaman bersama adalah kondisi yang cukup atau penting untuk
membangkitkan kepentingan dalam komunitas keamanan. Hasil kerjasama
keamanan mungkin memasukan perincian yang besar dari tindakan
tersebut baik yang dianggap mengancam mupun tidak kebijaksanaan yang
dibentuk untuk mengatasi masalah kegiatan bersama berhungan dengan
kegiatan bersama berhubungan dengan pilihan saling tergantung, dan
membangun rencana keamanan yang diharapkan untuk melayani
kepentingan bersama mereka. Negara-negara sering membangun ikatan
keamanan yang kuat, tidak hanya untuk memberikan pertahanan bersama
dari ancaman bersama, tetapi juga memperdalam lembaga dan pertalian
antar bangsa mengikat negara-negara ini bersama.
Dengan didasari ancaman bersama dalam bidang maritim dalam
bentuk gangguan stabilitas keamanan di wilayah perairan Selat Malaka
yaitu tindak kriminal pembajakan, pemerintah Indonesia, Malaysia dan
Singapura mengeluarkan kebijaksanaan penyelenggaraan patroli
terkoordinasi. Terselenggaranya patroli terkoordinasi ini karena tidak ada
negara Asia tenggara yang membangun kebijakan maritime yang kuat
sepadan dengan dinamika maritim itu sendiri. Kekuatan Angkatan Laut
nasional di pinggiran wilayah hanya terbatas untuk patroli laut dan
kewajiban penegakan hukum di dalam wilayah kewenangannya. Patroli
bersama Angkatan Laut di wilayah belum pernah dilaksanakan kerena
penetapan bersama kegiatan seperti itu masih dianggap tidak lazim.97
97
Sam Bateman & Stephen Bates, Calming the Waters Initiatives For Asia Pacific
Maritime, h. 15.
61
C. Analisis Masalah Keamanan di Selat Malaka Melalui Patroli
Terkoordinasi
Berbagai permasalahan yang timbul di Selat Malaka kini telah menjadi
perhatian utama, tidak hanya menjadi perhatian dari negara pantainya saja namun
perhatian berdatangan dari negara pengguna Selat Malaka. Berbagai kerjasama
juga telah di bentuk dan dilaksanakan untuk menangani berbagai macam masalah
yang ada di Selat Malaka. Namun dengan demikian negara pantai Selat Malaka
memiliki tanggung jawab yang lebih untuk menjaga perairan Selat Malaka
khususnya dalam perspektif keamanan.
C.1. Keuntungan dari Patroli Terkoordinasi
Keuntungan dari kerjasama keamanan trilateral Indonesia,
Malaysia dan Singapura ini adalah pertama, terbentuknya suatu koordinasi
dan kerjasama antar penegak hukum ke tiga negara di Selat Malaka
sebagai upaya mencegah tindak kriminalitas. Kedua, dapat meningkatkan
perekonomian masing-masing negara. Ketiga, adalah sebagai upaya
pencegahan masuknya kekuatan asing.
Selat Malaka merupakan salah satu jalur transportasi perdagangan
dunia. Sebanyak 50.000 kapal berukuran besar melintasi selat ini setiap
tahunnya. Hal ini menjadikan sebagai peluang untuk melakukan aksi-aksi
kejahatan maritim. Menyadari hal tersebut, negara-negara pantai Selat
Malaka di sekitarnya perlu melakukan kerjasama secara trilateral hal ini
demi terciptanya koordinasi yang baik dilapangan. Kerjasama trilateral
negara pantai melalui patroli terkoordinasi diharapkan dapat
62
memaksimalkan patroli di perairan yuridiksi masing-masing negara di
Selat Malaka dalam waktu tertentu untuk mengawasi, mengamankan dan
menindak para pelaku pelangaran atau kejahatan di laut untuk menjamin
keamanan di wilayah tiga negara.98
Dalam kerjasama ini, ketiga negara berpatroli di daerah perairan
yuridiksi masing-masing pada sektor-sektor yang telah ditentukan serta
pada waktu dan tempat yang terkoordinasi sehingga menjadi lebih
efektif.99
Sebagai contoh seperti yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, TNI AL memberitahukan kepada pihak Angkatan Laut
Malaysia waktu dan tempat di kawasan Selat Malaka mana mereka akan
melakukan patroli, Malaysia secara otomatis akan melakukan patroli yang
mengalami kekosongan, demikian juga sebaliknya. Patroli terkoordinasi
ini juga melakukan pertukaran informasi. Penindakan terhadap pelaku
tindak kejahatan di perairan Selat Malaka ini juga berdasarkan pada
undang-undang di masing-masing negara. Dan kerjasama ini juga akan
mewajibkan sistem wajib lapor bagi setiap kapal yang akan memasuki
perairan Selat Malaka pada titik koordinat tertentu.100
Kerjasama ini melibatkan tiga negara pantai Selat Malaka
sekaligus dimana sebelumnya kerjasama yang dijalin hanya sebatas
hubungan bilateral saja. Hal ini tentu akan sangat memudahkan petugas di
lapangan tentunya Angkatan Laut tiga negara pantai tersebut untuk dapat
98
Nugroho F Yudho, ”Bertindak Lebih Tegas”, http://www.tokoh-indonesia.com/
ensiklopedi/b/bernard-sondakh/index.shtml, diakses tanggal 29 Desember 2010, Pukul 19:00 99
Aslizar Tandung, “TNI Intensifkan Cegah Senjata Bagi Teroris”,
http://www.dephan.go.id/ modules.php?name=News&file=article&sid=9158, diakses tanggal 30
Desember 2010, Pukul 21:00. 100
Agus Susilo, “Implementasi Wawasan Nusantara Guna Memajukan Sistem
Pengendalian Informasi Selat Malaka Dalam Rangka Ketahanan Nasional”, Jakarta: Lembaga
Ketahanan Nasional RI, 2010, h.71-72.
63
melakukan pertukaran informasi secara cepat dan dapat segera langsung
mengambil tindakan.
Dengan semakin baiknya perairan di Selat Malaka maka secara
tidak langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan perekonomian
dikawasan ini. Kelancaran transportasi atas barang dan sumber daya alam
menjadi penggerak bagi sektor-sektor industri sehingga roda
perekonomian akan berjalan lancar. Seperti ada lima pelabuhan penting
internasional di Selat Malaka, yakni Singapura, Pelabuhan Klang (di dekat
Kuala Lumpur), Johor, Penang dan Belawan (Medan). Selain itu masih
ada sejumlah besar pelabuhan-pelabuhan kecil dan terminal feri yang
cukup penting bagi kawasan setempat. Bila Singapura dan pelabuhan
utama lainnya yang jumlahnya lebih sedikit, merupakan pusat pelayaran
dunia, maka pelabuhan-pelabuhan kecil merupakan tulang punggung
perdagangan lokal dan migrasi tenaga kerja. Malaysia memiliki 3
pelabuhan penting dalam jalur Selat Malaka dan sangat berpengaruh pada
kemajuan perekonomian negaranya.101
Dari beberapa pelabuhan yang ada di negara pantai Selat Malaka
merupakan tulang punggung penggerak perekonomian negaranya.
Pelabuhan tersebut menjadi tempat transit kapal-kapal tanker, sehingga
kapal-kapal tersebut harus membayar pajak sesuai dengan jumlah yang di
tentukan. Hal ini memberikan pemasukan terhadap tempat negara yang
menjadi transit kapal-kapal tanker tersebut. Transit kapal-kapal tanker ini
101
Solvay Gerke dan Hans-Dieter Evers, “Perkembangan Wilayah Selat Malaka”,
Malaysia: Center for policy research and Internasional Studies, Universiti Sains Malaysia,
November 2009, h. 07.
64
lebih menguntungkan Singapura, sebab pelabuhannya yang indah dan
lebih strategis.
Selat Malaka juga pemasok sumber daya laut dalam jumlah yang
besar dan menopang perekonomian negara-negara di pesisirnya. Lebih dari
380.000 ton ikan (lebih dari 60% jumlah keseluruhan penangkapan ikan
per tahun) seharga RM 2 milyar per tahun yang masuk ke Malaysia berasal
dari Selat Malaka. Di Indonesia, Selat Malaka merupakan sumber produksi
ikan kedua terbesar setelah Laut Jawa. Kualitas yang tinggi dan panen ikan
yang dapat diandalkan adalah sangat penting untuk menjamin
perkembangan sosial-ekonomi yang berkelanjutan dan kesehatan rakyat.
Kegiatan ekonomi lainnya, seperti budidaya laut, turisme, industri wisata
dan maritim bergantung dengan kondisi viabilitas dan kondisi alam air laut
di selat.102
Selain itu, juga terdapat juga keuntungan politis yang akan dicapai
oleh tiga negara khususnya Indonesia. Berkurangnya angka kejahatan di
laut akan dapat menunjukan keseriusan Indonesia dalam menangani
keamanan negerinya. Sehingga posisi tarwarnya akan lebih baik terlebih
dengan melakukan kerjasama dengan negara lain. Hal ini dikarenakan
sebagian besar kawasan Selat Malaka merupakan bagian dari perlintasan
kelautan wilayah Indonesia.
Dengan melakukan patroli terkoordinasi ini, apabila kerjasama ini
berhasil dalam meningkatkan keamanan dan mengurangi angka kejahatan
di laut secara signifikan maka hal ini akan tentu dapat dijadikan nilai tawar
102
Ibid, h. 14.
65
bagi tiga negara tersebut khususnya Indonesia mampu menangani
keamanan dalam negaranya sendiri.
C.2. Kelemahan Patroli Terkoordinasi
Kelemahan dari patroli terkoordinasi adalah yang pertama,
peralatan penunjang dan armada laut Indonesia yang sudah tua dan masih
minim. Kedua, kerjasama patroli terkoordinasi ini walaupun bertujuan
untuk penegakan hukum yaitu, mengatasi aksi-aksi pembajakan,
penyeludupan manusia, illegal logging, illegal fishing, dan lain-lain, akan
tetapi tetapi, hanya dititik beratkan pada masalah pembajakan (Piracy)
saja.
Kerjasama patroli terkoordinasi Indonesia, Malaysia, dan
Singapura adalah bertujuan untuk melakukan penegakan hukum. Akan
tetapi penegakan hukum di perairan Selat Malaka tidak akan berjalan
dengan tanpa dukungan sarana penunjang yang memadai. Seperti
diketahui perompakan dan aksi kejahatan di Selat Malaka selama ini
banyak terjadi di wilayah yuridiksi hal ini tentunya akibat dari
keterbatasan peralatan yang dimiliki oleh Angkatan Laut Indonesia.
Adapun bukti kelemahan secara rinci dari kerjasama patroli
terkoordinasi yaitu peralatan Angkatan Laut salah satu negara yaitu
Indonesia yang kurang memadai. Dari data yang diperoleh penulis, pada
tahun 2004 jumlah total pembajakan dan aksi kejahatan di seluruh belahan
dunia mencapai 325 laporan kasus dimana sebagian besar terjadi di
wilayah Asia. Pada tahun tersebut Malaysia melaporkan terdapat 9 kasus,
66
Singapua 8 kasus dan perairan Indonesia mencapai 93 kasus.103
Hal ini
terjadi di sebabkan karena perbedaan perlengkapan peralatan penunjang
untuk mengamankan laut di wilayah masing-masing negara.
Sebagai negara yang memiliki wilayah laut yang luas. Indonesia,
dalam hal ini pihak Angkatan Laut minim sarana penunjang. Angkatan
Laut Indonesia hanya memiliki armada laut berupa 14 kapal perang
berpeluru kendali (6 Van Speljk Trigates, 3 Fatahillah Corvettes, 1 Ki
Hajar Dewantoro Corvettes, 4 Dengger Fast Missile Boats), Angkatan
Laut Indonesia juga hanya memiliki 2 kapal tipe 209, kapal Amphibi 26
unit LSTs, Kapal penyapu ranjau 12 unit serta, 7 Kapal patroli frigate, 16
Parchim Corvettes, dan 8 Lurssen 57 mm craft.104
Jumlah tersebut sangat tidak ideal untuk melakukan pengamanan di
wilayah laut Indonesia yang sangat luas, bahkan tahun pembuatan kapal-
kapal tersebut adalah antara tahun 1967 sampai dengan tahun 1990an
walaupun armada laut Indonesia telah mengalami rekondisi, Indonesia
sebenarnya membutuhkan 380 kapal perang untuk menjaga seluruh
wilayah NKRI dan mencapai jumlah yang ideal bagi armada laut
Indonesia. Di Selat Malaka sendiri, hanya 7 kapal patroli yang beroprasi
padahal idealnya Selat Malaka memerlukan 36 kapal perang.105
Keterbatasan anggaran untuk melakukan peremajaan peralatan
penunjang adalah salah satu hambatan bagi Indonesia. Hal ini berdampak
103
Graham Gerard Ong-Webb,Piracy, Maritime Terorism and Securing the Malacca
Straits, h. 165-166 104
Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara, Jakarta: khalifa, 2005, h.
204. 105
Nugroho F Yudho, ”Bernard Kent Sondakh” http://www.tokoh-indonesia.com
/ensiklopedi/b/bernatd-sodakh/index.shtml, diakses tanggal 29 Desember 2010, Pukul 19:00
67
pada upaya pengamanan yang dilakukan Angkatan Laut Indonesia dalam
menjaga keamanan di Selat Malaka.
Berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang rata-rata armada
lautnya jauh lebih muda dibangdingkan dengan Indonesia. Angkatan laut
Malaysia memiliki beberapa armada angkatan laut antara lain, 19 kapal
perang berpeluru kendali (2 Leiku frigates tipe Exocet SSM dan Sewolf
SAM, 2 FS 1500 frigates tipe Exocet SSM, 4 Laksamana (assaad) missile
corvettes tipe OTO Melara SSM, 8 Spica/ Cambatante 11 missle boat tipe
Exocet SSM).106
Luas wilayah laut Malaysia tidak seluas perairan
Indonesia sehingga dalam melaksanakan tugas patroli perairanya pun tidak
banyak memiliki kendala. Sedangkan kekuatan armada angkatan laut
Singapura mempunyai 24 kapal perang berpeluru kendali (6 Victor
Corvettes, 6 Sewofl Misseli boats, 12 Fearless Corvettes). 4 Kapal Selam
(Chalengger A12 ex Swedia), 5 Amphibi (4 Endurance class LPDs, 1
perseverance LST ex Inggris) dan 6 Delta Class Lafayette Stealth missile
frigates.107
Dari data di atas dapat kita bandingkan armada Angkatan Laut
ketiga negara, Singapura dapat kita liat mempunyai armada laut yang
sangat luar biasa kuat dan tangguh, mengingat negara tersebut merupakan
negara dengan luas wilayah yang kecil. Akan tetapi bila melihat secara
keseluruhan Angkatan Laut ketiga negara, Indonesia dengan armada laut
yang terbatas sehingga menjadikan kerjasama ini sedikit mengalami
kendala yang dapat menghambat proses pengamanan di lapangan.
106
Rizki Ridyasmara, Singapura Basis Israel Asia Tenggara, h. 205. 107
Ibid, h. 206.
68
Sehingga ketiga negara harus secara bersama-sama mencari cara untuk
mengatasinya.
C.3. Hambatan atas Patroli Terkoordinasi
Hambatan-hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan patroli
terkoordinasi antara lain, pertama, adanya perbedaan kepentingan antar
kepentingan umum dengan kepentingan pribadi. Maksudnya adalah
adanya ketidak sadaran terhadap pengguna selat yaitu para pemilik kapal
untuk mematuhi setiap peraturan yang diterapkan oleh pemerintah untuk
menciptakan keselamatan pelayaran serta sebagai upaya penegakan
hukum. Hal ini dikarenakan proses birokrasi yang terlalu berbelit-belit
yang pada akhirnya membutuhkan biaya yang besar dari pemilik kapal.
Sehingga banyak pemilik kapal yang berusaha yang menyewa jasa
keamanan bersenjata yang jelas-jelas akan menimbulkan permasalahan
baru bagi pemerintah yaitu masalah keamanan.
Kedua adalah adanya perbedaan prioritas, negara di kawasan Selat
Malaka sangat menyadari ancaman yang dihadapi dan senantiasa dituntut
untuk selalu menciptakan keamanan di sepanjang perairan selat ini. Akan
tetapi keterbatasan sumber daya manusia dan juga minimnya peralatan
penunjang operasi akibat keterbatasan dana telah menimbulkan adanya
prioritas kepentingan.108
Maksudnya adalah besar dana yang dibutuhkan
untuk mengamankan jalur pelayaran Selat Malaka telah membuat masing-
masing negara untuk memprioritaskan kepentingan nasionalnya masing-
108
Ida Bagus Sanubari, “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Mencegah
Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”, h. 69.
69
masing yang lebih mendesak. Keterbatasan anggaran membuat negara di
sekitar Selat Malaka untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya
masing-masing yang lebih mendesak merupakan salah satu hambatan
dalam upaya kerjasama keamanan Indonesia, Malaysia dan Singapura
melalui patroli terkoordinasi untuk menciptakan jaminan keamanan di
Selat Malaka.
Ketiga, hambatan kerjasama ketiga negara ini adalah pada
kepentingan nasional ketiga negara di sekitar selat itu sendiri. Sampai saat
ini masing-masing negara masih memiliki konflik diantara mereka.
Sebagai contoh Indonesia di masa lalu memiliki konflik dengan Malaysia
atas sengketa pulau Simpadan dan Ligitan.109
Perebutan pulau Ambalat yang walau pun telah selesai di makamah
internasional yang di menangkan oleh Malaysia atas kepemilikan pulau
Ambalat.110
Dan seringnya bersih teganga di wilayah perbatasan laut
Indonesia dengan Malaysia. Dengan Singapura pun Indonesia sebagai
contoh banyaknya buronan korupsi yang lari ke Singapura, serta kasus
penyeludupan pasir laut untuk proyek reklamasi pantai Singapura.111
Semua itu berkaitan dengan isu kedaulatan di laut dan perbatasan
masing-masing negara di sekitar selat. Kasus diatas beberapa dari
109
Tim Liputan 6 SCTV, “Malaysia Menangkan Sengketa Simpadan Dan Ligitan”,
http://berita.liputan6.com/politik/200212/46537/Malaysia.Memenangkan.Sengketa.Sipadan.dan.Li
gitan, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 20:00 110
Teuku Rezasyah, “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia”,
http://nasional.kompas.com/read/2009/06/06/14563761/Sengketa.Ambalat..Malaysia.Ukur.Kekuat
an.Indonesia, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 23:40 111
Abdul Kadir, “Tindak Tegas Terhadap Ekspor Pasir Illegal”,
http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/a
rticleId/69/TINDAK-TEGAS-TERHADAP-EKPOR-PASIR-ILLEGAL.aspx, diakses tanggal 18
Januari 2011, pukul 01:00
70
banyaknya konflik yang terjadi diantara ketiga negara selain dari
kelemahan dan hambatan di atas kerjasama keamanan antara Indonesia,
Malaysia dan Singapuara ini juga masih belum dapat memberikan akses
secara leluasa bagi masing-masing anggotanya untuk dapat melakukan
crossborder pada saat melakukan patroli terkoordinasi. Akan tetapi,
seiring dengan waktu berjalan dan kewajiban bagi negara patai Selat
Malaka untuk mengamankan perairan tersebut membuat tiga negara pantai
Selat Malaka Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk mengedepankan
terciptanya keamanan di Selat Malaka.
C.4. Keberhasilan dari Patroli Terkoordinasi
Keberhasilan tiga negara pantai dalam mengamankan Selat Malaka
melalui patroli terkoordinasi telah tercipta di tahun 2009, semenjak
digelarnyanya patroli terkoordinasi tiga negara pantai Selat Malaka.112
keberhasilan yang telah tercipta melalui patroli terkoordinasi yang pertama
adalah kesuksesan patroli terkoordinasi ini telah diakui oleh negara Asia
Tenggara lainnya, sehingga beberapa negara Asia Tenggara ada yang ingin
bergabung sebagai tim peninjau dalam patroli terkoordinasi. Kedua adalah
dapat menurunkan angka pembajakan di perairan Selat Malaka.
Ide ke ikut sertaan Thailand bergabung dalam patroli terkoordinasi
sebenarnya telah ada tahun 2005, ide untuk melibatkan Thailand dalam
patroli terkoordinasi di Selat Malaka datang dari Indonesia dan dibahas
dalam Shangrilla Dialogue di Kuala Lumpur 2 Agustus 2005, yang
112
Agus Suhartono, “Selat Malaka Semakin Aman”, http://www.tempointeraktif.
com/hg/politik/2011/01/17/brk,20110117-306983,id.html, 27 oktober 2010, pukul 23:55
71
dihadiri panglima angkatan bersenjata tiga negara pantai dan Thailand.
Semula keikutsertaan Thailand akan di tetapkan pada 1 Desember 2005
dengan payung MIST (Malaysia-Indonesia-Singapura-Thailand), namun
perkembangan politik di Thailand tidak memungkinkan dan akhirnya
pemerintah setempat memutuskan Thailand berstatus peninjau dalam
kerjasama pengamanan bersama di Selat Malaka.113
Hal ini telah menciptakan keamanan di perairan Selat Malaka
sebagai jalur perdagangan internasional sehingga negara-negara pengguna
selat dapat merasa aman dalam menggunakan selat tersebut. Pandangan
dunia internasional juga berubah setelah melihat perubahan signifikan
yang terjadi pada keamanan Selat Malaka, sehingga isu intervensi terhadap
perairan Selat Malaka itu tidak ada. Seperti yang dilakukan AS yang ingin
menurunkan pasukanya di wilayah Selat Malaka. Tetapi hal ini di tolak
oleh Indonesia dan Malaysia dengan alasan mengganggu kedaulatan
negara pantai Selat Malaka.
Kerjasama keamanan tiga negara pantai Selat Malaka Indonesia,
Malaysia dan Singapura melalui patroli terkoordinasi telah mencapai
keberhasilan, patroli terkoordinasi ini yang di selengarakan pada 20 Juli
2004 telah berhasil menekan angka pembajakan yang terjadi di Selat
Malaka. Ini terbukti pada laporan IMB tahun 2004-2009. Berdasarkan data
Biro Maritim Internasional atau International Maritime Bureau (IMB),
113
Ruslan Burhani, “Thailand Ikut Amankan Selat Malaka”, http://www.antaranews.
com/view/?i=1227191723&c=INT&s, di akses tanggal 18 Januari 2011, pukul 20:55
72
hanya ada satu insiden di Selat Malaka yang masuk perairan Indonesia
dalam seperempat tahun pertama 2009.114
(Lihat Diagram 1)
Diagram 1 Incident in Straits Malacca
38
12
7
1112
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
Sumber: Laksamana Agung Saputra, “Selat Malaka Hinga Somalia”, Kompas:22 Juli
2010. (diolah).
Keberhasilan patroli terkoordinasi yang dilakukan tiga negara
pantai Selat Malaka, dengan menekan tindak kejahatan di laut. Patroli
terkoordinasi ini juga merubah pandangan bahwa negara pantai Selat
Malaka tidak mampu mengatasi tindak kejahatan di perairan Selat Malaka,
akan tetapi dengan di gelarnya patroli terkoordinasi di Selat Malaka yang
telah berjalan dari 20 Juli 2004 hingga saat ini telah merubah pandangan
dunia luar terhadap negara-negara pantai Selat Malaka.
114
Elin Yunita Kristanti, “Selat Malaka Makin Aman, Indonesia Dipuji”,
http://nasional.vivanews.com/news/read/51469-selat_malaka_makin_aman__ indonesia_di puji,
diakses tanggal 27 oktober 2010, pukul 00:20
73
BAB IV
KESIMPULAN
D. Kesimpulan
Pada dasarnya penegakan keamanan di laut merupakan fungsi yang sangat
mahal dan kompleks, sehingga di dunia ini tidak ada satupun yang mampu
mewujudkan jaminan keamanan di laut hanya oleh satu institusi atau negara
secara mandiri. Untuk mencapai hasil yang sempurna dan efesien, intinya adalah
keterpaduan, dengan menyatukan kekuatan dan seluruh kemampuan dengan
instansi-instansi yang mempunyai kewenangan di laut. Indikator dari keterpaduan
itu adalah terwujudnya kerjasama tim (team work) yang kompak, dan hal itu
dapat terwujud hanya apabila dilandasi rasa saling percaya (mutual trust) dan
salaing menghargai kemampuan (competence) masing-masing instansi yang
terlibat dalam upaya penegakan hukum di laut.
Dengan berjalannya Patroli Terkoordinasi Trilateral yang dilakukan oleh
beberapa negara-negara anggota ASEAN yang termasuk negara pantai Selat
Malaka serta mengalami permasalahan yang sama yaitu menghadapi gangguan
keamanan pelayaran oleh tindak pembajakan, diharapkan kegiatan patroli
terkoordinasi dapat mengurangi tindak kejahatan itu sehingga hal ini dapat
menghapus ketidak mampuan negara-negara pantai Selat Malaka ini dalam rangka
menangani masalah keamanan di perairan Selat Malaka.
Kegiatan patroli terkoordinasi ini sudah sejak dahulu dilakukan, akan
tetapi sekarang ini di tingkatkan kerjasama dan lebih terkoordinasi dengan
mengaktifkan operasi-operasi pengamanan di Selat Malaka. Dengan
74
terselenggaranya patroli terkoordinasi ini, selain mengadakan patroli rutin di
perairan Selat Malaka, masing-masing negara sudah memiliki pos-pos koordinasi
seperti Batam dan Belawan di Indonesia, Lumut di Malaysia, Changi Naval Base
di Singapura.
Sejak terselanggaranya patroli terkoordinasi tiga negara/trilateral pantai
Selat Malaka antara Malaysia, Singapura dan Indonesia dengan sandi Malsindo di
Selat Malaka, tingkat kejahatan di perairan tersebut mulai menurun sejak di
gelarnya patroli terkoordinasi. Dahulu para perompak leluasa untuk melakukan
aksinya di Selat Malaka, akan tetapi sejak digelarnya patroli terkoordinasi yang
melibatkan 17 kapal perang, tidak ada lagi peluang gerak bagi mereka untuk
melakukan aksinya. Selain itu, indikasi menurunya tindak kejahatan di Selat
Malaka terlihat dari jumlah kasus yang dilaporkan oleh kapal-kapal yang
melintasi perairan Selat Malaka. Sebelum terselenggaranya patroli terkoordinasi,
paling sedikit ada 9 laporan kejadian tindak kejahatan perompakan setiap bulanya.
Sedangkan sekarang sudah menurun, tercatat sepanjang tahun 2009 hanya ada 1
laporan tindak perompakan di perairan Selat Malaka.
Pihak pemerintah Malaysia juga menyatakan bahwa Selat Malaka aman
untuk dilayari. Penegasan ini dimaksudkan untuk meyakinkan sejumlah negara
Asia Tenggara yang percaya bahwa selat tersebut diincar oleh kaum teroris.
Patroli udara gabungan dengan Singapura dan Thailand yang diselenggarakan di
atas perairan Selat Malaka di harapkan dapat menutup ruang bagi para bajak laut
untuk beraksi, dan patroli udara gabungan ini juga diharapkan lebih meningkatkan
keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka. Malaysia, Singapura dan
Indonesia yang selama ini telah melaksanakan patroli laut terkoordinasi, sepakat
75
untuk meningkatkan pengawasan lewat patroli udara gabungan patroli udara ini
diizinkan untuk terbang sampai 12 mil garis pantai di atas wilayah perairan
negara-negara penyelenggara patroli terkoordinasi.
Keikutsertaan Thailand dalam mengamankan Selat Malaka sangat penting
mengingat posisis Thailand sebagai pintu gerbang pelayaran asing yang akan
melalui perairan Selat Malaka. Keikutsertaan tersebut, di latar belakangi
maraknya berbagai aksi kejahatan laut di wilayah perairan Thailand, di Selat
Malaka, seperti perompakan dan penyeludupan senjata.
Empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah
sepakat untuk mengitensifkan pengamanan di perairan Selat Malaka melalui
patroli terkoordinasi baik di laut maupun di udara. Untuk memudahkan upaya
menekan tindak kejahatan di laut di perairan Selat Malaka, maka masing-masing
negara mendirikan “incident hotline station” Sabang, Dumai di Indonesia, Lumut
di Malaysia, Pukhet di Thailand, Changi di Singapura. Hal ini dapat memudahkan
Angkatan Laut 4 negara mendapatkan informasi tertang pelanggaran hukum di
perairan Selat Malaka dan langsung memberikan bantuan, sehingga dapat
menekan angka tindak kejahatan di perairan Selat Malaka dan menciptakan
suasana aman bagi pengguna Selat Malaka.
x
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adler, Emanuel and Barnett, Michael. Security Community, Cambridge:
Cambridge University Press 1998.
Atmadja, Moehtar Kusuma. Bunga Rampai Hukum Laut, Bandung: Binacipta,
1978.
Bateman, Sam & Bates, Stephen. Calming the Waters Initiatives for Asia Pacific
Maritime Cooperation, Australia: Strategic and Defencestudies Center
Research School of Pacific and Asian Studies the Australian National
University Canberra, 1996.
Buzan, Barry and Waever, Ole. Regions and Powers, The Structure of
International Security, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Buzan, Barry. People, State and Fear, The National Security Problem in
International Relations, Sussex: Wheatsheaf Book, 1993.
Chalk, Peter. Grey-Area Phenomena In Southest Asia: Piracy, Drug Trafficking
and political terrorism, Canberra: strategic and defence studies centre
research school of pacific and Asian studies the Australian national
University, 1997.
Dam, Syamsumar. “Politik Kelautan”, Jakarta: Bumi Aksaraja, April 2010.
Gerard, Graham Ong-Webb. “Piracy, Maritime Terorism and Securing the
Malacca Straits, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006
Lapian, Adrian B. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan laut
Selawesi abad XIX, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
Mas’oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional: Displin dan Metodologi, Jakarta:
PT Pustaka LP3ES, 1990.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan FungsiDlam Era
Dinamika Global, Bandung: Penerbit PT Alumni, 2003.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006.
Nasir, Moch. Metode Penilitian, Jakarta: Ghalia Press, 1998.
Pailah, S.Y. Tantangan dan perubahan maritime; konflik perbatasan di wilayah
perairan negara kesatuan Republic Indonesia jilid I, Manado; Klub Studi
Perbatasan, 2007
xi
Ritonga, Rajab. Biografi Laksamana Bernard Kent Sondakh Mengibarkan
Bendera Kewajiban, Jakarta: Penerbit Dinas Penerangan Angkatan Laut,
2004.
DOKUMEN
Agues, Etty R. “Pengelolaan Keamanan di Selat Malaka Secara Terpadu”,
keynote speech pada “workshop : pertemuan kelompok ahli tentang
kebijakan terpadu pengelolaan keamanan Selat Malaka,” Medan: Badan
Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar Negeri, 19-20
juli 2005
Gerke, Solvay. “Perkembangan Selat Malaka”, Malaysia: CenPRIS, USM
(Universiti Sains Malaysia), 2009
Laki, James. “Securitization of Transnational Crime”, Singapore: laporan
Workshop Institute of Defence and Strategic studies (IDSS), 2005
Nuswantoro, Edhi. “Pengelolaan keamanan Selat Malaka,” keynote speech pada
workshop : pertemuan kelompok ahli tentang kebijakan terpadu
pengelolaan keamanan Selat Malaka, Badan Pengkajian Dan
Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar negeri, Medan, 19-20 juli
2005
Prosedur tetap penanganan tindak pidana di laut oleh TNI AL, Jakarta: Markas
Besar TNI AL, Juni 2003
Rencana Oprasi Malsindo (Malaysia, Singapura, Indonesia)-01/2004
Soebijanto, Slamet. Coordinate Patrol ; One of The Ways to Secure of Malacca
Straits, dibawakan dalam seminar ASEAN Regional Forum Confidence
Building Measures, Singapore: Regional Cooperation in Maritime
Security, 2-4 Maret 2005
Sanubari, Ida Bagus. “Meningkatkan Pengamanan Selat Malaka Guna Memcegah
Internasionalisasi Asing Dalam Rangka Menjaga Kedaulatan NKRI”,
Kertas karya perorangan, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia, 2005
Susilo, Agus. “Implementasi Wawasan Nusantara Guna Memajukan Sistem
Pengendalian Informasi Selat Malaka Dalam Rangka Ketahanan
Nasional”, Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2010.
xii
JURNAL
Bradford, Jhon F., “Shifting the Tdes Against Piracy in Southeast Asian Waters”,
Asian Survey, Vol.XLVIII,No.3, May/June 2008
Dewitt, Davit. “Common, Comprehensive and Cooperative Security”, Pacific
Affairs, vol. 7 no.1 tahun 1994
Dipoyudo, Kirdi. ”Persoalan di Sekitar Selat Malaka”, Jakarta: Analisa CSIS,
Tahun IV 1975
Mustofa, Muhammad. “Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi”,
Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002)
Vermonte, Philips Jusario, “Transnasional Organized Crime: Isu dan
Permasalahan” Analisis CSIS, tahun XXXI/2002, no.1
MAJALAH/ SURAT KABAR
Adolf, Huala. “Tanggung Jawad RI atas Selat Malaka”, Kompas, 26 april 2004
Hardiwan. “Permasalahan Pembajakan dan Perompakan di Laut”, Dharma
Wiratama, Majalah Resmi Sekolah Staf dan Komando TNI AL No.
DW/114/2002
Kabri, Uray Asnol. “Kerjasama Keamanan Regional ASEAN Ditinjau Dari
Perspektif Kepantingan Keamanan Laut Nasional”, Dharma Wiratama,
Majalah Resmi Sekolah Staf Dan Komando TNI AL No. DW/112/2001
Saputra, Agung. “Selat Malaka Hingga Somalia”, Kompas, 22 Juli 2010
Raharjo, Estu. ”Dengan Dicabutnya Undang-Undang No.20 Tahun 1982 Apa
Tugas TNI AL Sekarang ini”, Majalah TNI AL Cakrawala, No.380 Tahun
2004
Republika. “RI, Singapura, dan Malaysia Patroli di Malaka” 21 Juni 2005
Rice, “AS Siap Bantu Asia Amankan Wilayah Perairan Terbuka”, Media
Indonesia, Tanggal 15 Maret 2006
Santosa, Yan EP. “Jepang Bantu Amankan Selat Malaka”, dalam Koran Harian
Republika. 23 Juni 2004
Sumarjono, Djoko. “Kerawanan di Selat Malaka”, Harian Kompas, 2 Juli 2005
“Malaysia Ajak Tetangga Amankan Selat Malaka”, Kompas, 14 Juni 2004.
xiii
TESIS/ SKRIPSI
Hapsari, Ardiana wahyu. “ASEAN dan Permasalahan Bajak Laut di Asia
Tenggara”, Depok: Universitas Indonesia, 2002
Pailah, Steven Yohanes. “Pengelolaan isu-isu Keamanan di Selat Malaka Periode
2004-2006”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2008.
Sani, Ilham. “Perang Mengatasi Bajak Laut di SLOC I”, Depok: Universitas
Indonesia, 1999
Senoputro, Jusuf Dharma. “Pengelolaan Kerjasama Keamanan di Wilayah
Perairan Selat Malaka”, Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
WEBSITE
Burhani, Ruslan. “Thailand Ikut Amankan Selat Malaka”, http://www.antaranews.com/
view/?i=1227191723&c=INT&s=http://www.antaranews.com/view/?i=12271917
23&c=INT&s=, di akses tanggal 18 Januari 2011, pukul 20:55.
http://koarmabar.tnial.mil.id/Berita/tabid/62/articleType/ArticleView/articleId/87/Patkor-
Malsindo-Mulai-Tunjukkan-Hasil.aspx, di akses tanggal 24 Desember 2010, pukul 23:00.
http.//www.china.jamestown.org/pubs/view/cwe_001_001_004.htm, pada 29
September 2010, pukul 13.00.
Isu maritim: Fokus ASEAN Regional Forum 2005, http://rsi.com.sg/indonesian
/fokusasia/view/20050303211500/I/htm. Di akses Tanggal 05 Januari 2011,
pukul 00:30.
Kadir, Abdul. “Tindak Tegas Terhadap Ekspor Pasir Illegal”,
http://www.tnial.mil.id
/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleI
d/69/TINDAK-TEGAS-TERHADAP-EKPOR-PASIR-ILLEGAL.aspx, diakses
tanggal 18 Januari 2011, pukul 01:00.
Kristanti, Elin Yunita. “Selat Malaka Makin Aman, Indonesia Dipuji”,
http://nasional.vivanews.com/news/read/51469selat_malaka_makin_aman__indon
esia_di puji, diakses tanggal 27 oktober 2010, pukul 00:20.
Pottengal, Mukun. “Selat Malaka di Hantui Perompak”, Kuala Lumpur,
http://www.gatra.com/2004-07-26/artikel.php?id=42236 di akses tanggal 20
Oktober 2010, pukul 22.00.
Rezasyah, Teuku. “Sengketa Ambalat, Malaysia Ukur Kekuatan Indonesia”,
http://nasional.kompas.com/read/2009/06/06/14563761/Sengketa.Ambalat..Malay
sia.Ukur.Kekuatan.Indonesia, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 23:40.
xiv
Suhartono, Agus. “Selat Malaka Semakin Aman”, http://www.tempointeraktif.
com/hg/politik/2011/01/17/brk,20110117-306983,id.html, 27 oktober 2010, pukul
23:55.
Sumaryono, Djoko. “Kerawanan di Selat Malaka”, diakses dari
http://www.unisosdem. org/kliping.detail.php?aid=4285&coid=1&caid=45, pada
tanggal 28 Oktober 2010, pukul 23:15.
Tim Liputan 6 SCTV, “Malaysia Menangkan Sengketa Simpadan Dan Ligitan”,
http://berita.liputan6.com/politik/200212/46537/Malaysia.Memenangkan.Sengket
a.Sipadan.dan.Ligitan, diakses tanggal 18 Jaunari 2011, pukul 20:00.
LAMPIRAN I
ASEAN Political-Security Community Blueprint
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
I. INTRODUCTION
1. The ASEAN Political-Security Community has its genesis of over four decades of close co-operation and solidarity. The ASEAN Heads of States/Governments, at their Summit in Kuala Lumpur in December 1997 envisioned a concert of Southeast Asian nations, outward looking, living in peace, stability and prosperity, bonded together in partnership in dynamic development and in a community of caring societies.
2. To concretise the ASEAN Vision 2020, the ASEAN Heads of States/Governments adopted the Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) in 2003, which establishes an ASEAN Community by 2020. The ASEAN Community consists of three pillars, namely the ASEAN Political-Security Community (APSC), the ASEAN Economic Community (AEC) and the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
3. Conscious that the strengthening of ASEAN integration through accelerated establishment of an ASEAN Community will reinforce ASEAN’s centrality and role as the driving force in charting the evolving regional architecture, the ASEAN Leaders at the 12th ASEAN Summit in the Philippines decided to accelerate the establishment of an ASEAN Community by 2015.
4. At the 13th ASEAN Summit in Singapore, the ASEAN Heads of States/Governments signed the ASEAN Charter, which marked ASEAN Member States’ commitment in intensifying community-building through enhanced regional cooperation and integration. In line with this, they tasked their Ministers and officials to draft the APSC Blueprint, which would be adopted at the 14th ASEAN Summit.
5. The APSC Blueprint is guided by the ASEAN Charter and the principles and purposes contained therein. The APSC Blueprint builds on the ASEAN Security Community Plan of Action, the Vientiane Action Programme (VAP), as well as relevant decisions by various ASEAN Sectoral Bodies. The ASEAN Security Community Plan of Action is a principled document, laying out the activities needed to realise the objectives of the ASEAN Political Security Community, while the VAP lays out the measures necessary for 2004-2010. Both documents are important references in continuing political and security cooperation. The APSC Blueprint provides a roadmap and timetable to establish the APSC by 2015. The APSC Blueprint would also have the flexibility to continue programmes/activities beyond 2015 in order to retain its significance and have an enduring quality.
II. CHARACTERISTICS AND ELEMENTS OF THE APSC
6. It is envisaged that the APSC will bring ASEAN’s political and security cooperation to a higher plane. The APSC will ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with one another and with the world at large in a just, democratic and harmonious environment.
7. The APSC shall promote political development in adherence to the principles of democracy, the rule of law and good governance, respect for and promotion and protection of human rights
ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 1
i.
ii.
iii.
i.
member states of the ASEAN Community; consolidating and strengthening ASEAN’s solidarity, cohesiveness and harmony; and contributing to the building of a peaceful, democratic, tolerant, participatory and transparent community in Southeast Asia.
13. Moreover, cooperation in political development will bring to maturity the political elements and institutions in ASEAN, towards which the sense of inter-state solidarity on political systems, culture and history will be better fostered. Such inter-state solidarity can be achieved further through the shaping and sharing of norms.
A.1. Cooperation in Political Development
14. Since the adoption of the ASC Plan of Action in 2003, ASEAN has achieved progress in different measures of political development. There was increased participation by organisations, such as academic institutions, think-tanks, and civil society organisations in ASEAN meetings and activities. Such consultations and heightened interactions fostered good relations and resulted in positive outcomes for the region.
15. Efforts are underway in laying the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information based on each country’s national laws and regulations; preventing and combating corruption; and cooperation to strengthen the rule of law, judiciary systems and legal infrastructure, and good governance. Moreover, in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms, the ASEAN Charter stipulates the establishment of an ASEAN human rights body.
A.1.1. Promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States
Actions:
A.1. 2. Lay the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information for mutual support and assistance among ASEAN Member States
Actions:
a)b)
c)
and fundamental freedoms as inscribed in the ASEAN Charter. It shall be a means by which ASEAN Member States can pursue closer interaction and cooperation to forge shared norms and create common mechanisms to achieve ASEAN’s goals and objectives in the political and security fields. In this regard, it promotes a people-oriented ASEAN in which all sectors of society, regardless of gender, race, religion, language, or social and cultural background, are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building. In the implementation of, the Blueprint, ASEAN should also strive towards promoting and supporting gender-mainstreaming, tolerance, respect for diversity, equality and mutual understanding.
8. At the same time, in the interest of preserving and enhancing peace and stability in the region, the APSC seeks to strengthen the mutually beneficial relations between ASEAN and its Dialogue Partners and friends. In doing so, it also maintains the centrality and proactive role of ASEAN in a regional architecture that is open, transparent and inclusive, while remaining actively engaged, forward-looking and non-discriminatory.
9. The APSC subscribes to a comprehensive approach to security, which acknowledges the interwoven relationships of political, economic, social-cultural and environmental dimensions of development. It promotes renunciation of aggression and of the threat or use of force or other actions in any manner inconsistent with international law and reliance of peaceful settlements of dispute. In this regard, it upholds existing ASEAN political instruments such as the Declaration on Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), the Treaty of Amity and Co-operation in South East Asia (TAC) and the Treaty on the Southeast Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ), which play a pivotal role in the area of confidence building measures, preventive diplomacy and pacific ap-proaches to conflict resolution. It also seeks to address non-traditional security issues.
10. Based on the above, the ASEAN Political-Security Community envisages the following three key characteristics: A Rules-based Community of shared values and norms; A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with shared responsibility for comprehensive security; and A Dynamic and Outward-looking Region in an increasingly integrated and interdependent world.
11. These characteristics are inter-related and mutually reinforcing, and shall be pursued in a balanced and consistent manner. To effectively realise the APSC, the APSC Blueprint is an action-oriented document with a view to achieving results and recognises the capacity and capability of ASEAN Member States to undertake the stipulated actions in the Blueprint.
A. A Rules-based Community of Shared Values and Norms
12. ASEAN’s cooperation in political development aims to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilities of the Member States of ASEAN, so as to ultimately create a Rules-based Community of shared values and norms. In the shaping and sharing of norms, ASEAN aims to achieve a standard of common adherence to norms of good conduct among
Assign appropriate ASEAN sectoral bodies to take necessary measures to promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States, which will undertake to: a. Encourage the holding of at least two track-two events per year, including academic conferences, workshops and seminars; b. Release periodic publications on the dynamics of ASEAN Member States’ political systems, culture and history for dissemination to the public; and c. Intensify exchange of experience and training courses in order to enhance popular and broader participation.Hold seminars/workshops to share experiences on democratic institutions, gender mainstreaming, and popular participation; andEndeavour to compile best practices of voluntary electoral observations.
Encourage the ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) to develop an
2 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 3
i.
ii.
iii.
i.
member states of the ASEAN Community; consolidating and strengthening ASEAN’s solidarity, cohesiveness and harmony; and contributing to the building of a peaceful, democratic, tolerant, participatory and transparent community in Southeast Asia.
13. Moreover, cooperation in political development will bring to maturity the political elements and institutions in ASEAN, towards which the sense of inter-state solidarity on political systems, culture and history will be better fostered. Such inter-state solidarity can be achieved further through the shaping and sharing of norms.
A.1. Cooperation in Political Development
14. Since the adoption of the ASC Plan of Action in 2003, ASEAN has achieved progress in different measures of political development. There was increased participation by organisations, such as academic institutions, think-tanks, and civil society organisations in ASEAN meetings and activities. Such consultations and heightened interactions fostered good relations and resulted in positive outcomes for the region.
15. Efforts are underway in laying the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information based on each country’s national laws and regulations; preventing and combating corruption; and cooperation to strengthen the rule of law, judiciary systems and legal infrastructure, and good governance. Moreover, in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms, the ASEAN Charter stipulates the establishment of an ASEAN human rights body.
A.1.1. Promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States
Actions:
A.1. 2. Lay the groundwork for an institutional framework to facilitate free flow of information for mutual support and assistance among ASEAN Member States
Actions:
a)b)
c)
and fundamental freedoms as inscribed in the ASEAN Charter. It shall be a means by which ASEAN Member States can pursue closer interaction and cooperation to forge shared norms and create common mechanisms to achieve ASEAN’s goals and objectives in the political and security fields. In this regard, it promotes a people-oriented ASEAN in which all sectors of society, regardless of gender, race, religion, language, or social and cultural background, are encouraged to participate in, and benefit from, the process of ASEAN integration and community building. In the implementation of, the Blueprint, ASEAN should also strive towards promoting and supporting gender-mainstreaming, tolerance, respect for diversity, equality and mutual understanding.
8. At the same time, in the interest of preserving and enhancing peace and stability in the region, the APSC seeks to strengthen the mutually beneficial relations between ASEAN and its Dialogue Partners and friends. In doing so, it also maintains the centrality and proactive role of ASEAN in a regional architecture that is open, transparent and inclusive, while remaining actively engaged, forward-looking and non-discriminatory.
9. The APSC subscribes to a comprehensive approach to security, which acknowledges the interwoven relationships of political, economic, social-cultural and environmental dimensions of development. It promotes renunciation of aggression and of the threat or use of force or other actions in any manner inconsistent with international law and reliance of peaceful settlements of dispute. In this regard, it upholds existing ASEAN political instruments such as the Declaration on Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), the Treaty of Amity and Co-operation in South East Asia (TAC) and the Treaty on the Southeast Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ), which play a pivotal role in the area of confidence building measures, preventive diplomacy and pacific ap-proaches to conflict resolution. It also seeks to address non-traditional security issues.
10. Based on the above, the ASEAN Political-Security Community envisages the following three key characteristics: A Rules-based Community of shared values and norms; A Cohesive, Peaceful, Stable and Resilient Region with shared responsibility for comprehensive security; and A Dynamic and Outward-looking Region in an increasingly integrated and interdependent world.
11. These characteristics are inter-related and mutually reinforcing, and shall be pursued in a balanced and consistent manner. To effectively realise the APSC, the APSC Blueprint is an action-oriented document with a view to achieving results and recognises the capacity and capability of ASEAN Member States to undertake the stipulated actions in the Blueprint.
A. A Rules-based Community of Shared Values and Norms
12. ASEAN’s cooperation in political development aims to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilities of the Member States of ASEAN, so as to ultimately create a Rules-based Community of shared values and norms. In the shaping and sharing of norms, ASEAN aims to achieve a standard of common adherence to norms of good conduct among
Assign appropriate ASEAN sectoral bodies to take necessary measures to promote understanding and appreciation of political systems, culture and history of ASEAN Member States, which will undertake to: a. Encourage the holding of at least two track-two events per year, including academic conferences, workshops and seminars; b. Release periodic publications on the dynamics of ASEAN Member States’ political systems, culture and history for dissemination to the public; and c. Intensify exchange of experience and training courses in order to enhance popular and broader participation.Hold seminars/workshops to share experiences on democratic institutions, gender mainstreaming, and popular participation; andEndeavour to compile best practices of voluntary electoral observations.
Encourage the ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) to develop an
2 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 3
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.vii.
i.
ii.
iii.iv.
i.
ii.
iii.
iv.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
ii.iii.
iv.
i.
ii.
iii.
iv.
A.1.5. Promotion and Protection of human rights
Actions:
A.1.6. Increase the participation of relevant entities associated with ASEAN in moving forward ASEAN political development initiatives
Actions:
A.1.7. Prevent and combat corruption
Actions:
A.1.3. Establish programmes for mutual support and assistance among ASEAN Member States in the development of strategies for strengthening the rule of law and judiciary systems and legal infrastructure
Actions:
A.1.4. Promote good governance
Actions:
institutional framework to facilitate free flow of information, based on each country’s national laws, by establishing an information baseline of these laws and to submit a progress report to the ASEAN Political-Security Community Council;Request each ASEAN Member State to develop relevant media exchange programmes to aid free flow of information, starting within three months from the adoption of this Blueprint;Enhance media capacity to promote regional-community building, explore the possibility of establishing an ASEAN media panel to boost cooperation and collaboration among the media-related institutions and organizations with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint;Implement internships, fellowships, scholarships and workshops, study visits and journalist exchange programs to enhance media capacity and professionalism in the region with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint; and Facilitate co-production and exchanges of films, TVs, animations, games and new media content to promote cultural exchanges with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint.
Entrust ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM), with the cooperation of other sectoral bodies and entities associated with ASEAN including ASEAN Law Association (ALA) to develop cooperation programmes to strengthen the rule of law, judicial systems and legal infrastructure;Undertake comparative studies for lawmakers on the promulgation of laws and regulations;Develop a university curriculum on the legal systems of ASEAN Member States by the ASEAN University Network (AUN) by 2010; andEnhance cooperation between ALAWMM and ALA and other Track II organisations through seminars, workshops and research on international law, including ASEAN agreements.
Conduct analytical and technical studies to establish baselines, benchmarks, and best practices in various aspects of governance in the region;Promote sharing of experiences and best practices through workshops and seminars on leadership concepts and principles with emphasis on good governance, and on developing norms on good governance;Conduct a study by 2009 on partnership between public and private sectors and academia in creating a conducive climate for good governance to provide concrete recommendations to appropriate ASEAN sectoral bodies; andPromote dialogue and partnership among governments, private sectors and other relevant organisations to foster and enable new ideas, concepts and methods with a view to enhance transparency, accountability, participatory and effective governance.
Establish an ASEAN human rights body through the completion of its Terms of Reference (ToR) by 2009 and encourage cooperation between it and existing human rights mechanisms, as well as with other relevant international organizations;Complete a stock-take of existing human rights mechanisms and equivalent bodies, including sectoral bodies promoting the rights of women and children by 2009;Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the development of an ASEAN instrument on the protection and promotion of the rights of migrant workers;Strengthen interaction between the network of existing human rights mechanisms as well as other civil society organisations, with relevant ASEAN sectoral bodies;Enhance/conduct exchange of information in the field of human rights among ASEAN countries in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms of peoples in accordance with the ASEAN Charter and the Charter of the United Nations, and the Universal Declaration of Human Rights and the Vienna Declaration and Programme of Action; Promote education and public awareness on human rights; andCooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the establishment of an ASEAN commission on the promotion and protection of the rights of women and children.
Develop modalities for interaction between relevant entities associated with ASEAN, such as the ASEAN-ISIS network, and ASEAN sectoral bodies;Promote research studies and scholarly publications on ASEAN political development initiatives;Hold consultations between AIPA and appropriate ASEAN organs; andRevise the Memorandum of Understanding of the ASEAN Foundation to take into account the provisions of the ASEAN Charter.
Identify relevant mechanisms to carry out cooperation activities in preventing and combating corruption and strengthen links and cooperation between the relevant agencies;Encourage all ASEAN Member States to sign the Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation for Preventing and Combating Corruption signed on 15 December 2004;Promote ASEAN cooperation to prevent and combat corruption, bearing in mind the above MoU, and other relevant ASEAN instruments such as the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT);Encourage ASEAN Member States who are signatories to the United Nations Convention
4 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 5
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.vii.
i.
ii.
iii.iv.
i.
ii.
iii.
iv.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
ii.iii.
iv.
i.
ii.
iii.
iv.
A.1.5. Promotion and Protection of human rights
Actions:
A.1.6. Increase the participation of relevant entities associated with ASEAN in moving forward ASEAN political development initiatives
Actions:
A.1.7. Prevent and combat corruption
Actions:
A.1.3. Establish programmes for mutual support and assistance among ASEAN Member States in the development of strategies for strengthening the rule of law and judiciary systems and legal infrastructure
Actions:
A.1.4. Promote good governance
Actions:
institutional framework to facilitate free flow of information, based on each country’s national laws, by establishing an information baseline of these laws and to submit a progress report to the ASEAN Political-Security Community Council;Request each ASEAN Member State to develop relevant media exchange programmes to aid free flow of information, starting within three months from the adoption of this Blueprint;Enhance media capacity to promote regional-community building, explore the possibility of establishing an ASEAN media panel to boost cooperation and collaboration among the media-related institutions and organizations with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint;Implement internships, fellowships, scholarships and workshops, study visits and journalist exchange programs to enhance media capacity and professionalism in the region with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint; and Facilitate co-production and exchanges of films, TVs, animations, games and new media content to promote cultural exchanges with emphasis on the process of the implementation of the APSC Blueprint.
Entrust ASEAN Law Ministers Meeting (ALAWMM), with the cooperation of other sectoral bodies and entities associated with ASEAN including ASEAN Law Association (ALA) to develop cooperation programmes to strengthen the rule of law, judicial systems and legal infrastructure;Undertake comparative studies for lawmakers on the promulgation of laws and regulations;Develop a university curriculum on the legal systems of ASEAN Member States by the ASEAN University Network (AUN) by 2010; andEnhance cooperation between ALAWMM and ALA and other Track II organisations through seminars, workshops and research on international law, including ASEAN agreements.
Conduct analytical and technical studies to establish baselines, benchmarks, and best practices in various aspects of governance in the region;Promote sharing of experiences and best practices through workshops and seminars on leadership concepts and principles with emphasis on good governance, and on developing norms on good governance;Conduct a study by 2009 on partnership between public and private sectors and academia in creating a conducive climate for good governance to provide concrete recommendations to appropriate ASEAN sectoral bodies; andPromote dialogue and partnership among governments, private sectors and other relevant organisations to foster and enable new ideas, concepts and methods with a view to enhance transparency, accountability, participatory and effective governance.
Establish an ASEAN human rights body through the completion of its Terms of Reference (ToR) by 2009 and encourage cooperation between it and existing human rights mechanisms, as well as with other relevant international organizations;Complete a stock-take of existing human rights mechanisms and equivalent bodies, including sectoral bodies promoting the rights of women and children by 2009;Cooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the development of an ASEAN instrument on the protection and promotion of the rights of migrant workers;Strengthen interaction between the network of existing human rights mechanisms as well as other civil society organisations, with relevant ASEAN sectoral bodies;Enhance/conduct exchange of information in the field of human rights among ASEAN countries in order to promote and protect human rights and fundamental freedoms of peoples in accordance with the ASEAN Charter and the Charter of the United Nations, and the Universal Declaration of Human Rights and the Vienna Declaration and Programme of Action; Promote education and public awareness on human rights; andCooperate closely with efforts of the sectoral bodies in the establishment of an ASEAN commission on the promotion and protection of the rights of women and children.
Develop modalities for interaction between relevant entities associated with ASEAN, such as the ASEAN-ISIS network, and ASEAN sectoral bodies;Promote research studies and scholarly publications on ASEAN political development initiatives;Hold consultations between AIPA and appropriate ASEAN organs; andRevise the Memorandum of Understanding of the ASEAN Foundation to take into account the provisions of the ASEAN Charter.
Identify relevant mechanisms to carry out cooperation activities in preventing and combating corruption and strengthen links and cooperation between the relevant agencies;Encourage all ASEAN Member States to sign the Memorandum of Understanding (MoU) on Cooperation for Preventing and Combating Corruption signed on 15 December 2004;Promote ASEAN cooperation to prevent and combat corruption, bearing in mind the above MoU, and other relevant ASEAN instruments such as the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLAT);Encourage ASEAN Member States who are signatories to the United Nations Convention
4 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 5
A.2.2. Strengthening Cooperation under the TAC
Actions:
A.2.3. Ensure full implementation of the DOC for peace and stability in the South China Sea
Actions:
A.2.4. Ensure the implementation of South East Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEAN WFZ) Treaty, and its Plan of Action Actions:
A.2.5. Promote ASEAN Maritime Cooperation
Actions:
iii.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.
i.
ii.iii.
i.ii.
iii.
iv.
v.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.v.
vi.
i.
ii.
A.1.8. Promote Principles of Democracy
Actions:
A.1.9. Promote peace and stability in the region
Actions:
A.2. Shaping and Sharing of Norms
16. ASEAN promotes regional norms of good conduct and solidarity, in accordance with the key principles enshrined in the ASEAN Charter. In this context, ASEAN also continues to uphold the Treaty of Amity and Co operation in Southeast Asia (TAC), the SEANWFZ Treaty and other key agreements, as well as the Declaration on the Conduct of Parties (DOC) in the South China Sea.
A.2.1. Adjust ASEAN institutional framework to comply with the ASEAN Charter
Actions:
against Corruption to ratify the said Convention; andPromote the sharing of best practices, exchange views and analyse issues related to values, ethics and integrity through appropriate avenues and fora and taking into account inputs from various seminars such as the ASEAN Integrity Dialogue.
Promote understanding of the principles of democracy among ASEAN youth at schools at an appropriate stage of education, bearing in mind the educational system in the respective ASEAN Member States; Convene seminars, training programmes and other capacity building activities for government officials, think-tanks and relevant civil society organizations to exchange views, sharing experiences and promote democracy and democratic institutions; andConduct annual research on experiences and lessons-learned of democracy aimed at enhancing the adherence to the principles of democracy.
Support the inclusion of culture of peace which includes, inter alia, respect for diversity, promotion of tolerance and understanding of faiths, religions and cultures in the curriculum of ASEAN academic institutions;Develop programmes and activities aimed at the promotion of culture of peace, interfaith and intrafaith dialogue within the region;Promote respect and appreciation for the region’s diversity and harmony among the peoples of the region;Promote dialogue and greater interaction among various religious and ethnic groups;Promote networking among schools in the region to develop peace-education in their respective curricula; andSupport poverty alleviation and narrowing development gaps to contribute to promoting sustained peace and stability in the region.
Prepare and implement a transitional work plan on the necessary institutional reforms needed to comply with the ASEAN Charter;Develop, as appropriate, supplemental protocols and/or agreements, including terms
of references and rules of procedures, needed to implement the ASEAN Charter; andDevelop a legal division to support the implementation of the ASEAN Charter.
Convene workshops and seminars to assess the progress of the implementation of the TAC and explore ways to improve its mechanisms;Convene a conference of High Contracting Parties to the TAC to review its implementation; andEncourage the accession to the TAC by non-ASEAN countries.
Continue ASEAN’s current practice of close consultation among Member States to achieve full implementation of the DOC;Explore and undertake cooperative activities identified in the DOC and eventually explore other co-operative measures on the basis of close consultation among the member countries, while respecting sovereignty and integrity of each other;Carry out on a regular basis the overview of the process of implementation of the DOC, thus ensuring timely and proper conducts of the Parties in the South China Sea in accordance with the DOC; andWork towards the adoption of a regional Code of Conduct in the South China Sea (COC).
Comply with the undertakings in the SEANFWZ Treaty, including accession to the International Atomic Energy Agency (IAEA) safeguards agreements and related instruments;Encourage Accession to the Protocol of the SEANWFZ Treaty by Nuclear Weapon States; andCooperate to implement the Plan of Action and draw up specific work programmes/projects to implement the Plan of Action.
Establish the ASEAN Maritime Forum;Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community;Stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member countries; andPromote cooperation in maritime safety and search and rescue (SAR) through activities such as information sharing, technological cooperation and exchange of visits of authorities concerned.
6 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 7
A.2.2. Strengthening Cooperation under the TAC
Actions:
A.2.3. Ensure full implementation of the DOC for peace and stability in the South China Sea
Actions:
A.2.4. Ensure the implementation of South East Asian Nuclear Weapon-Free Zone (SEAN WFZ) Treaty, and its Plan of Action Actions:
A.2.5. Promote ASEAN Maritime Cooperation
Actions:
iii.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.
i.
ii.iii.
i.ii.
iii.
iv.
v.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.v.
vi.
i.
ii.
A.1.8. Promote Principles of Democracy
Actions:
A.1.9. Promote peace and stability in the region
Actions:
A.2. Shaping and Sharing of Norms
16. ASEAN promotes regional norms of good conduct and solidarity, in accordance with the key principles enshrined in the ASEAN Charter. In this context, ASEAN also continues to uphold the Treaty of Amity and Co operation in Southeast Asia (TAC), the SEANWFZ Treaty and other key agreements, as well as the Declaration on the Conduct of Parties (DOC) in the South China Sea.
A.2.1. Adjust ASEAN institutional framework to comply with the ASEAN Charter
Actions:
against Corruption to ratify the said Convention; andPromote the sharing of best practices, exchange views and analyse issues related to values, ethics and integrity through appropriate avenues and fora and taking into account inputs from various seminars such as the ASEAN Integrity Dialogue.
Promote understanding of the principles of democracy among ASEAN youth at schools at an appropriate stage of education, bearing in mind the educational system in the respective ASEAN Member States; Convene seminars, training programmes and other capacity building activities for government officials, think-tanks and relevant civil society organizations to exchange views, sharing experiences and promote democracy and democratic institutions; andConduct annual research on experiences and lessons-learned of democracy aimed at enhancing the adherence to the principles of democracy.
Support the inclusion of culture of peace which includes, inter alia, respect for diversity, promotion of tolerance and understanding of faiths, religions and cultures in the curriculum of ASEAN academic institutions;Develop programmes and activities aimed at the promotion of culture of peace, interfaith and intrafaith dialogue within the region;Promote respect and appreciation for the region’s diversity and harmony among the peoples of the region;Promote dialogue and greater interaction among various religious and ethnic groups;Promote networking among schools in the region to develop peace-education in their respective curricula; andSupport poverty alleviation and narrowing development gaps to contribute to promoting sustained peace and stability in the region.
Prepare and implement a transitional work plan on the necessary institutional reforms needed to comply with the ASEAN Charter;Develop, as appropriate, supplemental protocols and/or agreements, including terms
of references and rules of procedures, needed to implement the ASEAN Charter; andDevelop a legal division to support the implementation of the ASEAN Charter.
Convene workshops and seminars to assess the progress of the implementation of the TAC and explore ways to improve its mechanisms;Convene a conference of High Contracting Parties to the TAC to review its implementation; andEncourage the accession to the TAC by non-ASEAN countries.
Continue ASEAN’s current practice of close consultation among Member States to achieve full implementation of the DOC;Explore and undertake cooperative activities identified in the DOC and eventually explore other co-operative measures on the basis of close consultation among the member countries, while respecting sovereignty and integrity of each other;Carry out on a regular basis the overview of the process of implementation of the DOC, thus ensuring timely and proper conducts of the Parties in the South China Sea in accordance with the DOC; andWork towards the adoption of a regional Code of Conduct in the South China Sea (COC).
Comply with the undertakings in the SEANFWZ Treaty, including accession to the International Atomic Energy Agency (IAEA) safeguards agreements and related instruments;Encourage Accession to the Protocol of the SEANWFZ Treaty by Nuclear Weapon States; andCooperate to implement the Plan of Action and draw up specific work programmes/projects to implement the Plan of Action.
Establish the ASEAN Maritime Forum;Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community;Stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member countries; andPromote cooperation in maritime safety and search and rescue (SAR) through activities such as information sharing, technological cooperation and exchange of visits of authorities concerned.
6 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 7
ii.iii.
iv.
i.ii.
iii.
iv.
v.
vi.
i.
ii.
iii.
i.
i.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
B.1.3. Build up the necessary institutional framework to strengthen the ARF process in support of the ASEAN Political-Security Community (APSC)
Actions:
B.1.4. Strengthen efforts in maintaining respect for territorial integrity, sovereignty and unity of ASEAN Member States as stipulated in the Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations
Actions:
B.1.5. Promote the development of norms that enhance ASEAN defence and security cooperation
Action:
B. A Cohesive, Peaceful and Resilent Region with Shared Responsibility for Comprehensive Security
17. In building a cohesive, peaceful and resilient Political Security Community, ASEAN subscribes to the principle of comprehensive security, which goes beyond the requirements of traditional security but also takes into account non-traditional aspects vital to regional and national resilience, such as the economic, socio-cultural, and environmental dimensions of development. ASEAN is also committed to conflict prevention/confidence building measures, preventive diplomacy, and post-conflict peace building.
B.1. Conflict Prevention/Confidence Building Measures
18. Confidence Building Measures and Preventive Diplomacy are important instruments in conflict prevention. They mitigate tensions and prevent disputes from arising between or among ASEAN Member States, as well as between ASEAN Member States and non-ASEAN member countries. They will also help prevent the escalation of existing disputes.
19. In the area of defence and regional political consultations, ASEAN Defence Officials have been involved in the ASEAN security dialogue since 1996. Under the framework of the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN has made voluntary briefings on political and security developments in the region and regularized meetings of high-level defence officials under the ARF Defence Officials’ Dialogue (DOD) and the ARF Security Policy Conference (ASPC). ASEAN has also established an annual ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) and ASEAN Defence Senior Officials’ Meetings.
B.1.1. Strengthen confidence-building measures
Actions:
B.1.2. Promote greater transparency and understanding of defence policies and security perceptions
Actions:
Organise regional exchanges among ASEAN Defense and military officials, at all levels, including among military academies, staff colleges and defence universities in the ASEAN Member States;Promote the exchange of observers of military exercises, commensurate with the capability and condition of each ASEAN Member State; Share information among ASEAN Member States on submissions to the UN Register of Conventional Arms;Promote bilateral exchanges and cooperation between defence officials and exchange visits between military training institutions to promote trust and mutual understanding; andConduct joint research projects on defence issues between government-affiliated policy and strategic research institutes in the region.
Work towards developing and publishing an annual ASEAN Security Outlook;Hold voluntary briefings on political and security developments in the region; Develop an ASEAN early warning system based on existing mechanisms to prevent occurrence/escalation of conflicts; andHold consultations and cooperation on regional defence and security matters between ASEAN and external parties and Dialogue Partners including through the ADMM Plus when it is operationalised.
Follow-up on the recommendations of the Review of the ARF;Implement the enhanced role of the ARF Chair, and activate the Friends of the ARF Chair mechanism as and when needed;Implement the decision of the ARF Ministers to move the ARF towards the preventive diplomacy stage (PD);Expand the capacity of the ARF Heads of Defense Universities, Colleges and Institu-tions Meeting (ARF HDUCIM) to exchange best practices in defense policies and aca-demic development;Compile best practices on confidence building measures, preventive diplomacy and conflict resolutions for further development by ARF; andEnhance the role of the Secretary-General of ASEAN in the ARF including further strengthening the ARF Unit in the ASEAN Secretariat.
Compile best practices and relevant international law to promote understanding and appreciation of best practices concerning friendly relations and cooperation among Member States of the United Nations;Convene consultation as well as a series of tract-two activities to strengthen cooperation in addressing threats and challenges that may affect the territorial integrity of ASEAN Member States including those posed by separatism; andFurther promote and increase awareness on these issues to help accelerate the pace of ASEAN Community building and elevate ASEAN’s profile in the world.
Initiate preparatory work for the development of practical cooperation programmes among the militaries of ASEAN Member States.
8 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 9
ii.iii.
iv.
i.ii.
iii.
iv.
v.
vi.
i.
ii.
iii.
i.
i.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
B.1.3. Build up the necessary institutional framework to strengthen the ARF process in support of the ASEAN Political-Security Community (APSC)
Actions:
B.1.4. Strengthen efforts in maintaining respect for territorial integrity, sovereignty and unity of ASEAN Member States as stipulated in the Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperation among States in Accordance with the Charter of the United Nations
Actions:
B.1.5. Promote the development of norms that enhance ASEAN defence and security cooperation
Action:
B. A Cohesive, Peaceful and Resilent Region with Shared Responsibility for Comprehensive Security
17. In building a cohesive, peaceful and resilient Political Security Community, ASEAN subscribes to the principle of comprehensive security, which goes beyond the requirements of traditional security but also takes into account non-traditional aspects vital to regional and national resilience, such as the economic, socio-cultural, and environmental dimensions of development. ASEAN is also committed to conflict prevention/confidence building measures, preventive diplomacy, and post-conflict peace building.
B.1. Conflict Prevention/Confidence Building Measures
18. Confidence Building Measures and Preventive Diplomacy are important instruments in conflict prevention. They mitigate tensions and prevent disputes from arising between or among ASEAN Member States, as well as between ASEAN Member States and non-ASEAN member countries. They will also help prevent the escalation of existing disputes.
19. In the area of defence and regional political consultations, ASEAN Defence Officials have been involved in the ASEAN security dialogue since 1996. Under the framework of the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN has made voluntary briefings on political and security developments in the region and regularized meetings of high-level defence officials under the ARF Defence Officials’ Dialogue (DOD) and the ARF Security Policy Conference (ASPC). ASEAN has also established an annual ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM) and ASEAN Defence Senior Officials’ Meetings.
B.1.1. Strengthen confidence-building measures
Actions:
B.1.2. Promote greater transparency and understanding of defence policies and security perceptions
Actions:
Organise regional exchanges among ASEAN Defense and military officials, at all levels, including among military academies, staff colleges and defence universities in the ASEAN Member States;Promote the exchange of observers of military exercises, commensurate with the capability and condition of each ASEAN Member State; Share information among ASEAN Member States on submissions to the UN Register of Conventional Arms;Promote bilateral exchanges and cooperation between defence officials and exchange visits between military training institutions to promote trust and mutual understanding; andConduct joint research projects on defence issues between government-affiliated policy and strategic research institutes in the region.
Work towards developing and publishing an annual ASEAN Security Outlook;Hold voluntary briefings on political and security developments in the region; Develop an ASEAN early warning system based on existing mechanisms to prevent occurrence/escalation of conflicts; andHold consultations and cooperation on regional defence and security matters between ASEAN and external parties and Dialogue Partners including through the ADMM Plus when it is operationalised.
Follow-up on the recommendations of the Review of the ARF;Implement the enhanced role of the ARF Chair, and activate the Friends of the ARF Chair mechanism as and when needed;Implement the decision of the ARF Ministers to move the ARF towards the preventive diplomacy stage (PD);Expand the capacity of the ARF Heads of Defense Universities, Colleges and Institu-tions Meeting (ARF HDUCIM) to exchange best practices in defense policies and aca-demic development;Compile best practices on confidence building measures, preventive diplomacy and conflict resolutions for further development by ARF; andEnhance the role of the Secretary-General of ASEAN in the ARF including further strengthening the ARF Unit in the ASEAN Secretariat.
Compile best practices and relevant international law to promote understanding and appreciation of best practices concerning friendly relations and cooperation among Member States of the United Nations;Convene consultation as well as a series of tract-two activities to strengthen cooperation in addressing threats and challenges that may affect the territorial integrity of ASEAN Member States including those posed by separatism; andFurther promote and increase awareness on these issues to help accelerate the pace of ASEAN Community building and elevate ASEAN’s profile in the world.
Initiate preparatory work for the development of practical cooperation programmes among the militaries of ASEAN Member States.
8 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 9
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.iv.
v.
vi.vii.
i.ii.
iii.
B.2.3. Promote regional cooperation to maintain peace and stability
Actions:
B.3. Post-Conflict Peace-building
23. ASEAN’s efforts in post-conflict peace building shall complement other comprehensive approaches to: (a) ensure the complete discontinuity of conflicts and violence and/or man-made disasters in affected areas; (b) facilitate the return of peace and/or normalisation of life as early as possible; and (c) lay the ground for reconciliation and all other necessary measures to secure peace and stability, thus preventing the affected areas from falling again to conflicts in the future.
24. Measures can be pursued in promoting humanitarian relief activities, including intensifying cooperation with the United Nations and other organisations, as well as capacity building for people in affected areas.
B.3.1. Strengthen ASEAN humanitarian assistance
Actions:
B.3.2. Implement human resources development and capacity building programmes in post-conflict areas
Actions:
B.2. Conflict Resolution and Pacific Settlement of Disputes
20. Convinced that the settlement of differences or disputes should be regulated by rational, effective and sufficiently flexible procedures, avoiding negative attitudes, which might endanger or hinder cooperation, ASEAN promotes the TAC, which seeks to preserve regional peace and harmony and prescribes that Member States refrain from threat or use of force.
21. The TAC gives provision for pacific settlement of disputes at all times through friendly negotiations and for refraining from the threat or use of force to settle disputes. The strategies for conflict resolution shall be an integral part of a comprehensive approach. The purpose of these strategies shall be to prevent disputes and conflicts from arising between ASEAN Member States that could potentially pose a threat to regional peace and stability.
22. ASEAN, the United Nations and other organisations have held a number of cooperation activities in the effort to promote peace and stability. More efforts are needed in strengthening the existing modes of pacific settlement of disputes to avoid or settle future disputes; and undertaking conflict management and conflict resolution research studies. Under the ASEAN Charter, ASEAN may also establish appropriate dispute settlement mechanisms.
B.2.1. Build upon existing modes of pacific settlement of disputes and consider strengthening them with additional mechanisms as needed
Actions:
B.2.2. Strengthen research activities on peace, conflict management and conflict resolution
Actions:
i.
ii.iii.
i.ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Study and analyse existing dispute settlement modes and/or additional mechanisms with a view to enhancing regional mechanisms for the pacific settlement of disputes;Develop ASEAN modalities for good offices, conciliation and mediation; andEstablish appropriate dispute settlement mechanism, including arbitration as provid-ed for by the ASEAN Charter.
Consider the establishment of an ASEAN Institute for Peace and Reconciliation;Compile ASEAN’s experiences and best practices on peace, conflict management and conflict resolution;Identify priority research topics, with a view to providing recommendations on promoting peace, conflict management and conflict resolution; Enhance existing cooperation among ASEAN think tanks to study peace, conflict management and conflict resolution;Hold workshops on peace, conflict management and conflict resolution with relevant regional and international organisations, including the UN; Undertake studies to promote gender mainstreaming in peace building, peace process and conflict resolution; andDevelop a pool of experts from ASEAN Member States as resource persons to assist in conflict management and conflict resolution activities.
Carry out technical cooperation with the UN and relevant regional organisations to exchange expertise and experiences in maintaining peace and stability;Identify national focal points, with a view to promoting regional cooperation in maintaining peace and stability; andEstablish a network among existing ASEAN Member States’ peace keeping centres to conduct joint planning, training, and sharing of experiences, with a view to establish-ing an ASEAN arrangement for the maintenance of peace and stability, in accordance with the ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) 3-Year Work Programme.
Provide basic services or assistance to bring relief to victims of conflict in consultation with the receiving State;Promote cooperation for orderly repatriation of refugees/displaced persons and resettlement of internally displaced persons; Promote the safety of the humanitarian relief assistance workers; Develop common operating procedures for the provision of humanitarian assistance in the event of conflict;Intensify cooperation with the United Nations and promote the role and contributions of relevant international organisations on humanitarian assistance;Promote civil-military dialogue and coordination in humanitarian assistance; andExpand the role and contribution of women in field-based humanitarian operations.
Draw up guidelines for training and capacity-building needs assessment; Identify priority training topics; Design training programmes in the identified priority topics and development of
10 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 11
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.iv.
v.
vi.vii.
i.ii.
iii.
B.2.3. Promote regional cooperation to maintain peace and stability
Actions:
B.3. Post-Conflict Peace-building
23. ASEAN’s efforts in post-conflict peace building shall complement other comprehensive approaches to: (a) ensure the complete discontinuity of conflicts and violence and/or man-made disasters in affected areas; (b) facilitate the return of peace and/or normalisation of life as early as possible; and (c) lay the ground for reconciliation and all other necessary measures to secure peace and stability, thus preventing the affected areas from falling again to conflicts in the future.
24. Measures can be pursued in promoting humanitarian relief activities, including intensifying cooperation with the United Nations and other organisations, as well as capacity building for people in affected areas.
B.3.1. Strengthen ASEAN humanitarian assistance
Actions:
B.3.2. Implement human resources development and capacity building programmes in post-conflict areas
Actions:
B.2. Conflict Resolution and Pacific Settlement of Disputes
20. Convinced that the settlement of differences or disputes should be regulated by rational, effective and sufficiently flexible procedures, avoiding negative attitudes, which might endanger or hinder cooperation, ASEAN promotes the TAC, which seeks to preserve regional peace and harmony and prescribes that Member States refrain from threat or use of force.
21. The TAC gives provision for pacific settlement of disputes at all times through friendly negotiations and for refraining from the threat or use of force to settle disputes. The strategies for conflict resolution shall be an integral part of a comprehensive approach. The purpose of these strategies shall be to prevent disputes and conflicts from arising between ASEAN Member States that could potentially pose a threat to regional peace and stability.
22. ASEAN, the United Nations and other organisations have held a number of cooperation activities in the effort to promote peace and stability. More efforts are needed in strengthening the existing modes of pacific settlement of disputes to avoid or settle future disputes; and undertaking conflict management and conflict resolution research studies. Under the ASEAN Charter, ASEAN may also establish appropriate dispute settlement mechanisms.
B.2.1. Build upon existing modes of pacific settlement of disputes and consider strengthening them with additional mechanisms as needed
Actions:
B.2.2. Strengthen research activities on peace, conflict management and conflict resolution
Actions:
i.
ii.iii.
i.ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Study and analyse existing dispute settlement modes and/or additional mechanisms with a view to enhancing regional mechanisms for the pacific settlement of disputes;Develop ASEAN modalities for good offices, conciliation and mediation; andEstablish appropriate dispute settlement mechanism, including arbitration as provid-ed for by the ASEAN Charter.
Consider the establishment of an ASEAN Institute for Peace and Reconciliation;Compile ASEAN’s experiences and best practices on peace, conflict management and conflict resolution;Identify priority research topics, with a view to providing recommendations on promoting peace, conflict management and conflict resolution; Enhance existing cooperation among ASEAN think tanks to study peace, conflict management and conflict resolution;Hold workshops on peace, conflict management and conflict resolution with relevant regional and international organisations, including the UN; Undertake studies to promote gender mainstreaming in peace building, peace process and conflict resolution; andDevelop a pool of experts from ASEAN Member States as resource persons to assist in conflict management and conflict resolution activities.
Carry out technical cooperation with the UN and relevant regional organisations to exchange expertise and experiences in maintaining peace and stability;Identify national focal points, with a view to promoting regional cooperation in maintaining peace and stability; andEstablish a network among existing ASEAN Member States’ peace keeping centres to conduct joint planning, training, and sharing of experiences, with a view to establish-ing an ASEAN arrangement for the maintenance of peace and stability, in accordance with the ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) 3-Year Work Programme.
Provide basic services or assistance to bring relief to victims of conflict in consultation with the receiving State;Promote cooperation for orderly repatriation of refugees/displaced persons and resettlement of internally displaced persons; Promote the safety of the humanitarian relief assistance workers; Develop common operating procedures for the provision of humanitarian assistance in the event of conflict;Intensify cooperation with the United Nations and promote the role and contributions of relevant international organisations on humanitarian assistance;Promote civil-military dialogue and coordination in humanitarian assistance; andExpand the role and contribution of women in field-based humanitarian operations.
Draw up guidelines for training and capacity-building needs assessment; Identify priority training topics; Design training programmes in the identified priority topics and development of
10 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 11
vii.
viii.
ix.
x.
xi.
xii.
xiii.
xiv.
xv.
xvi.
xvii.
xviii.
i.
ii.
iii.
iv.
B.3.3. Increase cooperation in reconciliation and further strengthen peace-oriented values
Actions:
B.4. Non-Traditional Security Issues
25. A key purpose of ASEAN is to respond effectively and in a timely manner, in accordance with the principles of comprehensive security, to all forms of threats, transnational crimes and transboundary challenges.
B.4.1. Strengthen cooperation in addressing non-traditional security issues, particularly in combating transnational crimes and other transboundary challenges
Actions:
iv.v.
vi.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.
v.vi.
B.4.2. Intensify counter-terrorism efforts by early ratification and full implementation of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism
Actions:
training materials; Implement annual programmes in each target area; Develop cooperation programmes with relevant external parties and financial institutions to promote Human Resources Development and capacity building in post-conflict reconstruction and peace building; andWork towards the development of a systematic training programme for formal and community educators in the field of peace education and reconciliation, which can be conceptualised and implemented.
Undertake studies to increase cooperation in reconciliation and further strengthen peace-oriented values; Promote public participation in the development of cooperation in post-conflict reconstruction and rehabilitation including the encouragement of comprehensive input of academia, media, non-governmental organisations, civil society and community groups; andPromote inter-communal understanding through exchange activities.
Implement effectively eight priority areas in the Work Programme to Implement the Plan of Action to Combat Transnational Crime;Endeavour to ratify the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters among ASEAN Member States and work towards elevating it to an ASEAN treaty;Continue the work of the working group, as mandated by the ASEAN Law Ministers’ Meeting, to enhance cooperation on the issue of extradition;Further strengthen criminal justice responses to trafficking in persons, bearing in mind the need to protect victims of trafficking in accordance with the ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, and where applicable, other relevant international conventions and protocols on trafficking in persons;Enhance cooperation to combat people-smuggling;Work towards a drug-free ASEAN by 2015, in accordance with the ASEAN Work Plan for Combating Illicit Drug-Trafficking, by: strengthening measures to prevent the illicit production of drugs, import and export of controlled chemical precursors as well as regional cooperation in controlled delivery; and enhancing cross-border law enforcement cooperation through information sharing, best practices, and capacity building, in
combating drug-trafficking;Develop multilateral or bilateral legal arrangements towards combating drug and precursor chemical trafficking starting in 2008;Provide assistance to ASEAN Member States in enhancing scientific laboratory capacity in precursor identification and drugs signature analysis for drug enforcement operation and intelligence;Provide transfer of knowledge concerning the profile of drug crime syndicate groups as well as watch-list of their drug activities;Provide transfer of knowledge on best practices on the disposal of precursors and essential chemicals seized from clandestine laboratories;Strengthen the capacity of the criminal justice system including judges, prosecutors and law enforcement officials on drug control;Enhance cooperation with relevant external parties in combating transnational crimes, including countering terrorism;Enhance cooperation and coordination among existing ASEAN sectoral bodies in dealing with transnational crimes;Strengthen close cooperation among ASEAN Member States, to combat IUU fishing in the region and where applicable, through the implementation of the IPOA - IUU fishing and work towards the establishment of ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFCF);Promote full implementation by relevant sectoral bodies, to prevent, combat and eradicate the illicit trade in small arms and light weapons in all its aspects, in accordance with the UN Programme of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All its Aspects (UN PoA) and the International Instrument to enable States to Identify and Trace, in Timely and Reliable Manner, Illicit Small Arms and Light Weapons (International Tracing Instrument);Strengthen cooperation and assistance in combating and suppressing cyber crimes including cooperation among law enforcement agencies, taking into account the need of each country to develop laws to address cyber crimes;Forge closer cooperation in fighting against sea piracy, armed robbery against ships, hijacking and smuggling, in accordance with international laws; andStrengthen cooperation in the field of border management to jointly address matters of common concern, including forgeries of identification and travel documents, by enhancing the use of relevant technologies to effectively stem the flow of terrorists and criminals.
Work towards the entry into force of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) by 2009 its ratification by all ASEAN Member States, and promote effective implementation of the Convention;Endeavour to accede and ratify the relevant international instruments on counter terrorism; Promote effective implementation of the ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter-Terrorism; andCooperate to support development initiatives aimed at addressing the root causes of
12 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 13
vii.
viii.
ix.
x.
xi.
xii.
xiii.
xiv.
xv.
xvi.
xvii.
xviii.
i.
ii.
iii.
iv.
B.3.3. Increase cooperation in reconciliation and further strengthen peace-oriented values
Actions:
B.4. Non-Traditional Security Issues
25. A key purpose of ASEAN is to respond effectively and in a timely manner, in accordance with the principles of comprehensive security, to all forms of threats, transnational crimes and transboundary challenges.
B.4.1. Strengthen cooperation in addressing non-traditional security issues, particularly in combating transnational crimes and other transboundary challenges
Actions:
iv.v.
vi.
i.
ii.
iii.
i.
ii.
iii.
iv.
v.vi.
B.4.2. Intensify counter-terrorism efforts by early ratification and full implementation of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism
Actions:
training materials; Implement annual programmes in each target area; Develop cooperation programmes with relevant external parties and financial institutions to promote Human Resources Development and capacity building in post-conflict reconstruction and peace building; andWork towards the development of a systematic training programme for formal and community educators in the field of peace education and reconciliation, which can be conceptualised and implemented.
Undertake studies to increase cooperation in reconciliation and further strengthen peace-oriented values; Promote public participation in the development of cooperation in post-conflict reconstruction and rehabilitation including the encouragement of comprehensive input of academia, media, non-governmental organisations, civil society and community groups; andPromote inter-communal understanding through exchange activities.
Implement effectively eight priority areas in the Work Programme to Implement the Plan of Action to Combat Transnational Crime;Endeavour to ratify the Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters among ASEAN Member States and work towards elevating it to an ASEAN treaty;Continue the work of the working group, as mandated by the ASEAN Law Ministers’ Meeting, to enhance cooperation on the issue of extradition;Further strengthen criminal justice responses to trafficking in persons, bearing in mind the need to protect victims of trafficking in accordance with the ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons Particularly Women and Children, and where applicable, other relevant international conventions and protocols on trafficking in persons;Enhance cooperation to combat people-smuggling;Work towards a drug-free ASEAN by 2015, in accordance with the ASEAN Work Plan for Combating Illicit Drug-Trafficking, by: strengthening measures to prevent the illicit production of drugs, import and export of controlled chemical precursors as well as regional cooperation in controlled delivery; and enhancing cross-border law enforcement cooperation through information sharing, best practices, and capacity building, in
combating drug-trafficking;Develop multilateral or bilateral legal arrangements towards combating drug and precursor chemical trafficking starting in 2008;Provide assistance to ASEAN Member States in enhancing scientific laboratory capacity in precursor identification and drugs signature analysis for drug enforcement operation and intelligence;Provide transfer of knowledge concerning the profile of drug crime syndicate groups as well as watch-list of their drug activities;Provide transfer of knowledge on best practices on the disposal of precursors and essential chemicals seized from clandestine laboratories;Strengthen the capacity of the criminal justice system including judges, prosecutors and law enforcement officials on drug control;Enhance cooperation with relevant external parties in combating transnational crimes, including countering terrorism;Enhance cooperation and coordination among existing ASEAN sectoral bodies in dealing with transnational crimes;Strengthen close cooperation among ASEAN Member States, to combat IUU fishing in the region and where applicable, through the implementation of the IPOA - IUU fishing and work towards the establishment of ASEAN Fisheries Consultative Forum (AFCF);Promote full implementation by relevant sectoral bodies, to prevent, combat and eradicate the illicit trade in small arms and light weapons in all its aspects, in accordance with the UN Programme of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All its Aspects (UN PoA) and the International Instrument to enable States to Identify and Trace, in Timely and Reliable Manner, Illicit Small Arms and Light Weapons (International Tracing Instrument);Strengthen cooperation and assistance in combating and suppressing cyber crimes including cooperation among law enforcement agencies, taking into account the need of each country to develop laws to address cyber crimes;Forge closer cooperation in fighting against sea piracy, armed robbery against ships, hijacking and smuggling, in accordance with international laws; andStrengthen cooperation in the field of border management to jointly address matters of common concern, including forgeries of identification and travel documents, by enhancing the use of relevant technologies to effectively stem the flow of terrorists and criminals.
Work towards the entry into force of the ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) by 2009 its ratification by all ASEAN Member States, and promote effective implementation of the Convention;Endeavour to accede and ratify the relevant international instruments on counter terrorism; Promote effective implementation of the ASEAN Comprehensive Plan of Action on Counter-Terrorism; andCooperate to support development initiatives aimed at addressing the root causes of
12 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 13
iii.
iv.
i.
ii.
iii.
i.
C.2. Promoting enhanced ties with External Parties
Actions:
C.3. Strengthening Consultations and Cooperation on Multilateral Issues of Common Concern
Action:
III. IMPLEMENTATION AND REVIEW OF THE APSC BLUEPRINT
A. Implementation Mechanism
28. To ensure the success in implementing the APSC Blueprint, Member States shall integrate the programmes and activities of the Blueprint into their respective national development plans.
29. All relevant ASEAN senior official bodies or their equivalent shall be responsible in ensuring the implementation of the various elements, actions and commitments in the Blueprint by reflecting them in their respective work plans, mobilising resources for them, raising issues for the consideration of their respective ministerial bodies and the ASEAN Leaders, and undertaking national initiatives in order to meet these commitments.
30. The Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security Community Plan of Action (ASCCO) shall continue to serve as the platform in coordinating the efforts of various sectoral bodies through exchanges ofinformation, best practices, and lessons learned in the implementa-tion of the APSC Blueprint. ASCCO’s new initiatives and recommendations on emerging issues shall be reported to the ASEAN Political-Security Council.
31. The ASEAN Political-Security Community (APSC) Council shall be responsible for the overall implementation of the Blueprint and shall ensure coordination of efforts under its purview as well as those which cut across the other Community Councils.
B.5. Strengthen ASEAN Cooperation on Disaster Management and Emergency Response
Actions:
B.6. Effective and timely response to urgent issues or crisis situations affecting ASEAN
Action:
C. A Dynamic and Outward-looking Region in An Increasingly Integrated and Interdependent World
26. ASEAN fosters and maintains friendly and mutually beneficial relations with external parties to ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with the world at large in a just, democratic and harmonious environment. ASEAN remains outward-looking and plays a pivotal role in the regional and international fora to advance ASEAN’s common interests.
27. Through its external relations, ASEAN will exercise and maintain its centrality and proactive role as the primary driving force in an open, transparent and inclusive regional architecture to support the establishment of the ASEAN Community by 2015.
C.1. Strengthening ASEAN Centrality in Regional Cooperation and Community Building
Actions:
terrorism and conditions conducive to terrorism.
Enhance joint effective and early response at the political and operational levels in activating the ASEAN disaster management arrangements to assist affected countries in the event of major disasters; Enhance civilian-military coordination in providing effective and timely response to major natural disasters;Finalise the SOP for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations for establishing joint operations in providing relief aid to disaster affected areas of Member States in line with the ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER); Work towards effective interface on disaster management between ASEAN and other ASEAN-related bodies such as the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Plus Three and East Asia Summit (EAS) in a manner that will enhance ASEAN’s disaster management capacities; andDevelop ARF strategic guidelines for humanitarian assistance and disaster relief cooperation.
Convene special meetings at the Leaders’ or Ministerial levels in the event of crisis or emergency situations affecting ASEAN; and develop arrangements to address such situations in a timely manner.
Initiate, host, Chair and/or Co-Chair activities and meetings with Dialogue Partners, other external parties, and within the context of ASEAN Plus Three, EAS and ARF;
14 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 15
i.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
i.
ii.
Explore, initiate and implement concrete cooperation activities on actions as stipulated in various agreed documents including the APSC Blueprint under the existing regional frameworks;Advance the ARF towards Preventive Diplomacy in a phased and prudent manner while continuing with Confidence Building Measures; while also engaging other regional and international organisations and Track II organisations in the process; andEnhance coordination in ASEAN’s external relation and regional and multilateral fora.
Promote activities to raise awareness of ASEAN and enhance ASEAN’s interests, including the establishment of ASEAN Committees in Third Countries where appropriate;Explore cooperation projects with regional organisations such as the GCC, ECO, Rio Group, SAARC and SCO; andDevelop cooperation projects to implement the ASEAN-UN Memorandum of Understanding (MOU).
Enhance consultations within ASEAN including by ASEAN Permanent Missions in United Nations and other International Organisations with the aim of promoting ASEAN’s interests.
iii.
iv.
i.
ii.
iii.
i.
C.2. Promoting enhanced ties with External Parties
Actions:
C.3. Strengthening Consultations and Cooperation on Multilateral Issues of Common Concern
Action:
III. IMPLEMENTATION AND REVIEW OF THE APSC BLUEPRINT
A. Implementation Mechanism
28. To ensure the success in implementing the APSC Blueprint, Member States shall integrate the programmes and activities of the Blueprint into their respective national development plans.
29. All relevant ASEAN senior official bodies or their equivalent shall be responsible in ensuring the implementation of the various elements, actions and commitments in the Blueprint by reflecting them in their respective work plans, mobilising resources for them, raising issues for the consideration of their respective ministerial bodies and the ASEAN Leaders, and undertaking national initiatives in order to meet these commitments.
30. The Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security Community Plan of Action (ASCCO) shall continue to serve as the platform in coordinating the efforts of various sectoral bodies through exchanges ofinformation, best practices, and lessons learned in the implementa-tion of the APSC Blueprint. ASCCO’s new initiatives and recommendations on emerging issues shall be reported to the ASEAN Political-Security Council.
31. The ASEAN Political-Security Community (APSC) Council shall be responsible for the overall implementation of the Blueprint and shall ensure coordination of efforts under its purview as well as those which cut across the other Community Councils.
B.5. Strengthen ASEAN Cooperation on Disaster Management and Emergency Response
Actions:
B.6. Effective and timely response to urgent issues or crisis situations affecting ASEAN
Action:
C. A Dynamic and Outward-looking Region in An Increasingly Integrated and Interdependent World
26. ASEAN fosters and maintains friendly and mutually beneficial relations with external parties to ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with the world at large in a just, democratic and harmonious environment. ASEAN remains outward-looking and plays a pivotal role in the regional and international fora to advance ASEAN’s common interests.
27. Through its external relations, ASEAN will exercise and maintain its centrality and proactive role as the primary driving force in an open, transparent and inclusive regional architecture to support the establishment of the ASEAN Community by 2015.
C.1. Strengthening ASEAN Centrality in Regional Cooperation and Community Building
Actions:
terrorism and conditions conducive to terrorism.
Enhance joint effective and early response at the political and operational levels in activating the ASEAN disaster management arrangements to assist affected countries in the event of major disasters; Enhance civilian-military coordination in providing effective and timely response to major natural disasters;Finalise the SOP for Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and Emergency Response Operations for establishing joint operations in providing relief aid to disaster affected areas of Member States in line with the ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER); Work towards effective interface on disaster management between ASEAN and other ASEAN-related bodies such as the ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Plus Three and East Asia Summit (EAS) in a manner that will enhance ASEAN’s disaster management capacities; andDevelop ARF strategic guidelines for humanitarian assistance and disaster relief cooperation.
Convene special meetings at the Leaders’ or Ministerial levels in the event of crisis or emergency situations affecting ASEAN; and develop arrangements to address such situations in a timely manner.
Initiate, host, Chair and/or Co-Chair activities and meetings with Dialogue Partners, other external parties, and within the context of ASEAN Plus Three, EAS and ARF;
14 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT 15
i.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
i.
ii.
Explore, initiate and implement concrete cooperation activities on actions as stipulated in various agreed documents including the APSC Blueprint under the existing regional frameworks;Advance the ARF towards Preventive Diplomacy in a phased and prudent manner while continuing with Confidence Building Measures; while also engaging other regional and international organisations and Track II organisations in the process; andEnhance coordination in ASEAN’s external relation and regional and multilateral fora.
Promote activities to raise awareness of ASEAN and enhance ASEAN’s interests, including the establishment of ASEAN Committees in Third Countries where appropriate;Explore cooperation projects with regional organisations such as the GCC, ECO, Rio Group, SAARC and SCO; andDevelop cooperation projects to implement the ASEAN-UN Memorandum of Understanding (MOU).
Enhance consultations within ASEAN including by ASEAN Permanent Missions in United Nations and other International Organisations with the aim of promoting ASEAN’s interests.
16 ASEAN POLITICAL-SECURITY COMMUNITY BLUEPRINT
32. Progress of implementation of the APSC Blueprint shall be reported annually by the Secretary-General of ASEAN to the annual ASEAN Summit, through the APSC Council.
B. Resource Mobilisation
33. Financial resources to implement the Blueprint will be mobilised by ASEAN Member States, as well as from various facilities including the ASEAN Development Fund (ADF), Dialogue Partners, donor countries, international agencies, the private sector, and non-governmental organisations.
C. Communication Strategy
34. To ensure the success of establishing the APSC, a comprehensive communication plan will be developed and launched at the national and regional levels. This will not only create greater public awareness of the various initiatives, outcomes and issues of the APSC, but also enable all stakeholders to be involved in the process.
D. Review Mechanism
35. The APSC Blueprint shall be reviewed and evaluated to ensure that all the activities are responsive to the needs and priorities of ASEAN, taking into account the changing dynamics of the region and the global environment. The review and evaluation shall be conducted biennially by the ASCCO, in co-ordination with the ASEAN Secretariat. In the course of the review and evaluation, ASEAN Member States are given the flexibility to update the Blueprint. As in the progress of implementation of the APSC Blueprint, the results of the review and evaluation shall be reported by the Secretary-General of ASEAN to the ASEAN Summit through the APSC Council.