-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
1/20
Acara II
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Caecilia Eka Putri
NIM : 13.70.0018
Kelompok E2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
2/20
1
1. MATERI METODE
1.1.Alat dan Bahan
1.1.1.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, timbangan
analitik, dan alat gelas.
1.1.2.Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N,
HCl 1 N, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, NaOH 40%, NaOH 50%, dan NaOH
60%.
1.2.Metode
1.2.1.Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
3/20
2
1.2.2.
Deproteinasi
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
4/20
3
1.2.3.Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC
selama 24 jam dan dihasilkan chitin
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
5/20
4
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
6/20
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil dari pengamatan surimi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan
Kel PerlakuanRendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
26,35 28,57 32
E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
37,93 27,78 17,23
E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH
50%
23,53 30,77 28,89
E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH
50%
35 18,18 15,33
E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60%
29,17 25 42,5
Pada Tabel 1. dapat dilihat hasil pengamatan pengukuran kadar rendemen kitin I,
rendemen kitin II dan rendemen kitosan dengan berbagai perlakuan HCl dan NaOH.
Kelompok E1 dan E2 mendapat perlakuan HCl 0,75N, NaOH 3,5%, dan NaOH 40%.
Kelompok E3 dan E4 mendapat perlakuan HCl 1N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%.
Kelompok E5 mendapat perlakuan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 60%. Rendemen
kitin I yang paling banyak didapatkan oleh kelompok E2 yakni sebesar 37,93%.
Rendemen kitin I yang paling sedikit dapat dilihat pada hasil kelompok E3 sebesar
23,53%. Rendemen kitin II yang paling banyak didapatkan oleh kelompok E3 yakni
sebesar 30,77%. Rendemen kitin II yang paling sedikit dapat dilihat pada hasil kelompok
E4 sebesar 18,18%. Rendemen kitosan yang paling banyak didapatkan oleh kelompok E5
yakni sebesar 42,50%. Rendemen kitosan yang paling sedikit dapat dilihat pada hasilkelompok E4 sebesar 15,33%.
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
7/20
6
3. PEMBAHASAN
Industri pengolahan produk laut banyak menghasilkan limbah cangkang/kulit. Limbah
cangkang/kulit dan kepala dari crustaceans banyak mengandung kitin, protein dan
mineral. Pengolahan limbah tersebut menjadi kitin dan turunannya, kitosan, akan
menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi (Tarafdar & Biswas, 2013).
Kitin merupakan polisakarida alami yang paling banyak kedua di alam setelah selulosa
(Tarafdar & Biswas, 2013). Kitin biasanya tidak ditemukan secara tunggal di alam, kitin
biasa berikatan dengan senyawa lain (Suhardi et al., 1992). Kitin banyak ditemukan pada
cangkang/kulit dari kepiting, udang, dan lobster, eksoskleton dari zooplankton, karang,
dan ubur-ubur, sayap kupu-kupu dan kepik, dan pada dinding sel dari yeastdan jamur
(Islam et al., 2012). Kitin merupakan polisakarida linear yang tersusun atas (1-4)-2-
asetamida-2-deoksi-b-D-glukopiranosa. Sedangkan kitosan merupakan polisakarida
amino yang diproses dari limbah udang yang mengalami proses deasetilasi. Kitosan
merupakan polisakarida linear yang tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-b-D-
glukopiranosa (Puvvada et al., 2012).
Dalam praktikum kali ini, dilakukan 3 tahap pembuatan kitosan. Tahap yang dilakukan
meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Patria (2013) bahwa tahapan pembuatan kitosan meliputi deproteinasi, demineralisasi
kitin, depigmentasi, dan deasetilasi. Sedangkan menurut Islam et al. (2012), prosedur
isolasi kitin dari kulit udang meliputi demineralisasi, deproteinasi, dan decoloration.
Bahan yang digunakan untuk pembuatan kitin dan kitosan adalah limbah udang. Kulit
udang merupakan sumber kitin yang mengandung protein 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, namun besarnya kandungan komponen-komponen tersebut juga
dipengaruhi oleh jenis udang dan tempat hidup dari udang tersebut (Marganov, 2003).
Kadar kitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan
menghasilkanyield15-20% (Indra, 1994). Kitin pada crustaceabiasa berikatan dengan
protein, garam anorganik (CaCO3), dan pigmen (Suhardi et al., 1992). Kulit jenis udang
windu mengandung kitin sebesar 99,1% yang merupakan sumber kitin terbesar
(Prasetyo, 2006).
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
8/20
7
Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral (Suhardi, 1993). Pada
tahap demineralisasi, limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan.
Kemudian dicuci kembali dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali.
Proses ini bertujuan untuk membersihkan limbah udang dari cemaran kotoran. Proses
pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang ada pada limbah udang yang
telah dicuci. Setelah kering, limbah udang dihancurkan menjadi serbuk dan diayak
dengan ayakan 40-60 mesh. Proses penghancuran bertujuan untuk memperoleh luas
permukaan yang lebih besar sehingga proses dapat berjalan lebih cepat (Muzzarelli et al.,
1977). Proses pengayakan bertujuan untuk menyeragamkan ukuran partikel. Sehingga
apabila masih ada partikel yang berukuran besar, perlu dilakukan penghancuran ulang.
Serbuk limbah udang kemudian ditimbang sebanyak 10 gram. Kemudian diberi larutan
HCl (10:1) 0,75 N untuk kelompok E1 dan E2, HCl 1 N untuk kelompok E3, dan HCl
1,25 N untuk kelompok E4 dan E5 sebanyak 100 ml. Penambahan HCl bertujuan untuk
melarutkan komponen mineral yang dikandung oleh kulit udang. Kulit udang
mengandung mineral utama berupa kalsium karbonat dan kalsium fosfat sebanyak 30-
50% dari berat keringnya. Pelarutan dengan asam encer seperti misalnya HCl, H2SO4,
dan asam laktat mampu menghilangkan mineral dalam kitin yang masih kasar. Akan
tetapi, HCl akan merusak permukaan biopolimer kitin (Bastaman, 1989). Ketika kalsium
fosfat ditambah dengan HCl, akan terbentuk gas O2, Ca2+, dan H3PO4.
Sementara kalsium
karbonat yang direaksikan dengan HCl akan membentuk CO2, Ca2+, dan H2O. Ca
2+yang
dihasilkan tersebut akan berikatan dengan Cl-menjadi bentuk CaCl2yang larut dalam air
(Robert, 1992).
Kemudian dipanaskan sambil diaduk di atas hotplateselama 1 jam setelah mencapai suhu
80oC. Proses pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja HCl dalam melarutkan
mineral. Sedangkan pengadukan bertujuan untuk menghindari timbulnya gelembung-
gelembung udara Puspawati & Simpen (2010). Karena dihasilkannya gas O2dan CO2
(Robert, 1992). Selanjutnya disaring dan dicuci residunya dengan air hingga pH netral.
pH diuji dengan kertas pH yang ditandai dengan warna hijau. Proses dari penyaringan
dan pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan mineral karena mineral yang ada pada
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
9/20
8
kitin setelah ditambah HCl dapat terlarut dalam air (Bastaman, 1989). Selanjutnya berat
basah ditimbang. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 90oC selama 24 jam. Lalu
berat rendemen kitin I dihitung dengan menggunakan rumus.
Selanjutnya dilakukan tahap deproteinasi. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan
protein yang ada pada limbah udang. Limbah udang mengandung sekitar 30% protein
(Purwaningsih, 1994). Hasil tepung dari proses demineralisasi ditimbang. Kemudian
ditambahkan dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6 pelarut : 1 serbuk. Kemudian
dipanaskan sambil diaduk pada suhu 70oC selama 1 jam. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Tarafdar & Biswas (2013), penambahan NaOH dilakukan bertahap. Pertama
dilarutkan dalam NaOH 0,5% dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 100 oC yang
bertujuan untuk mendegradasi protein tersier dari kulit udang. Kedua serbuk dilarutkan
kembali dengan NaOH 3% dan dipanaskan lagi pada suhu 100oC selama 30 menit yang
bertujuan untuk decoloration warna kulit udang. Sedangkan menurut Martinou et al.
(1995) penambahan NaOH bertujuan untuk mengubah bentuk kristalin kitin yang rapat
menjadi yang lebih renggang sehingga enzim dapat lebih mudah mendeasetilasi polimer
kitin dalam produksi kitosan. Proses pemanasan dan pengadukan pada proses
deproteinasi sama dengan tujuan pemanasan dan pengadukan pada proses demineralisasi,
yakni untuk mengoptimalkan kinerja NaOH dalam melarutkan protein. Sedangkan
pengadukan bertujuan untuk menghindari timbulnya gelembung-gelembung udara
Puspawati & Simpen (2010).
Setelah itu disaring dan didinginkan. Kemudian residunya dicuci dengan air hingga pH
netral. pH diuji dengan kertas pH. pH netral diketahui dengan perubahan kertas pH dari
kuning menjadi hijau. Residu kemudian ditimbang berat basahnya. Kemudian diovenpada suhu 90oC selama 24 jam dan dihasilkan kitin. Kitin yang diperoleh ditimbang
sebagai dan dihitung sebagai berat rendemen kitin II dengan menggunakan rumus.
Selanjutnya dilakukan tahap deasetilasi kitin menjadi kitosan. Deasetilasi bertujuan untuk
menghilangkan gugus asetil dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat
dengan konsentrasi tinggi (Rahayu & Purnavita, 2007). Kitin ditambahkan dengan NaOH
40% untuk kelompok E1 dan E2, NaOH 50% untuk kelompok E3 dan E4, dan NaOH
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
10/20
9
60% untuk kelompok E5. Penambahan NaOH bertujuan untuk menghilangkan gugus
asetil sehingga terlepas dari gugus amin. Ion H pada gugus amin akan membuat kitosan
mudah bereaksi dengan air melalui ikatan hidrogen sehingga akan mempengaruhi derajat
deasetilasi dan berpengaruh terhadap kualitas kitosan yang dihasilkan (Patria, 2013).
Kemudian dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam sambil diaduk. Menurut Patria
(2013), suhu terbaik deasetilasi dalam menghasilkan kitosan dalam jumlah banyak adalah
70oC. Jumlah kitosan yang dihasilkan akan semakin sedikit apabila temperaturnya
dinaikkan, karena suhu tinggi akan menyebabkan rantai molekul dari kitosan mengalami
depolimerisasi dan menyebabkan penurunan berat molekul dari kitosan. Kemudian
disaring dan residu dicuci hingga pH netral. Berat basah ditimbang. Kemudian dioven
pada suhu 90oC selama 24 jam dan dihasilkan kitosan. Kitosan dihitung dengan berat
rendemen kitosan.
Menurut Hirano (1989), penggunaan larutan NaOH 40-60% dalam suhu tinggi digunakan
untuk memperoleh kitosan dari kitin. Kitin mempunyai struktur kristal yang panjang
dengan ikatan kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil. Selain itu, menurut
Ramadhan et al. (2010), NaOH merupakan larutan alkali yang digunakan untuk
menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus asetamida menjadi
gugus amina. Peningkatan derajat deasetilasi kitin menandakan gugus asetamida dari
kitin semakin banyak yang terlepas. Semakin sedikit gugus asetamida yang ada pada
kitosan menandakan efektifitas hidrolisis oleh basa kuat yang semakin baik.
Deasetilasi kitosan yang semakin lama akan meningkatkan depolimerisasi yang dapat
menurunkan viskositas dan berat molekul. Semakin lama dan semakin tinggi suhu yang
digunakan dalam proses, maka berat molekul kitosan semakin rendah. Derajat deasetilasimenunjukan banyaknya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari kitin dalam proses
pembuatan kitosan. Semakin tinggi derajat deasetilasi maka gugus asetil yang terkandung
dalam kitosan semakin rendah. Semakin sedikit gugus asetil dalam kitosan akan
menyebabkan interaksi antara ion-ion dengan ikatan hidrogen dari kitosan semakin
rendah sehingga dihasilkan kitosan yang kuat. Semakin tinggi suhu dan lama proses
deasetilasi akan menyebabkan derajat deasetilasi semakin meningkat (Patria, 2013).
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
11/20
10
Dari hasil pengamatan, rendemen kitin I yang paling banyak didapatkan oleh kelompok
E2 yakni sebesar 37,93%. Rendemen kitin I yang paling sedikit dapat dilihat pada hasil
kelompok E3 sebesar 23,53%. Kelompok E1 dan E2 mendapat perlakuan HCl 0,75N,
kelompok E3 dan E4 mendapat perlakuan HCl 1N, dan kelompok E5 mendapat perlakuan
HCl 1,25 N. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Johnson & Peterson (1974) yang
mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan menghasilkan
rendemen kitin yang semakin banyak pula. Konsentrasi HCl yang semakin tinggi akan
semakin memudahkan pelepasan mineral yang ada pada kulit udang. Namun, hasil yang
terendah pun sudah melampaui penelitian dari Puspawati & Simpen (2010) bahwa
sekurang-kurangnya diperoleh kitin dari udang sebesar 20%.
Dari hasil pengamatan, rendemen kitin II yang paling banyak didapatkan oleh kelompok
E3 yakni sebesar 30,77%. Rendemen kitin II yang paling sedikit dapat dilihat pada hasil
kelompok E4 sebesar 18,18%. Rendemen kitin diperoleh dengan penambahan NaOH
3,5%. Hasil yang terendah, kelompok E4 belum melampaui penelitian dari Puspawati &
Simpen (2010) bahwa sekurang-kurangnya diperoleh kitin dari udang sebesar 20%. Hal
ini disebabkan oleh karena reduksi gugus protein kurang sempurna (Supitjah, 2004).
Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya residu yang terbuang selama proses
pencucian.
Dari hasil pengamatan, rendemen kitosan yang paling banyak didapatkan oleh kelompok
E5 yakni sebesar 42,50%. Rendemen kitosan yang paling sedikit dapat dilihat pada hasil
kelompok E4 sebesar 15,33%. Rendemen kitosan yang didapat dipengaruhi oleh
konsentrasi NaOH yang ditambahkan. Kelompok E1 dan E2 mendapat perlakuan NaOH
40%, kelompok E3 dan E4 mendapat perlakuan NaOH 50%, dan kelompok E5 mendapatperlakuan NaOH 60%. Rendemen kitosan terbanyak (kelompok E5 dengan penambahan
NaOH 60%) sudah sesuai dengan teori. Tetapi rendemen kitosan terkecil (kelompok E4
dengan penambahan NaOH 50%) tidak sesuai dengan teori. Seharusnya penambahan
konsentrasi larutan akan meningkatkan rendemen yang dihasilkan. Menurut Rochima
(2005), hal ini disebabkan oleh karena gugus fungsional amino (-NH3+) yang
menggantikan gugus asetil kitin semakin aktif, sehingga proses deasetilasi akan
berlangsung dengan baik. Penggunaan NaOH 60% menyebabkan pemutusan ikatan
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
12/20
11
antara karbon pada gugus asetil dengan nitrogen pada gugus amina semakin banyak,
sehingga gugus asetil yang dihilangkan semakin banyak. Apabila gugus asetil banyak
yang hilang maka derajat deasetilasinya semakin tinggi (Puspawati & Simpen, 2010).
Warna dari kitin dan kitosan yang dihasilkan dalam praktikum ini adalah putih pucat
(kekuningan). Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Muzzarelli (1985) bahwa kitin
merupakan kristal amorphousyang berwarna putih, tidak berasa, tidak berbau, dan tidak
dapat larut dalam air maupun pelarut organik. Namun sesuai apaila dibandingkan dengan
terori dari Bastaman (1989), bahwa kitin memiliki warna putih kekuningan, tidak
beracun, dan mudah terurai. Menurut Dunn et al.(1997), kitosan yang mengalami kontak
dengan udara akan mengalami dekomposisi, perubahan warna menjadi kekuningan, dan
mengalami penurunan viskositas.
Dalam pemanfaatannya, kitosan yang telah diperoleh, perlu dimurnikan dengan metode
purifikasi yang meliputi penghilangan kontaminan tidak larut dan menambahkan agen
deproteinasi dan demetalisasi serta perlakuan SDS dan EDTA (Puvvada et al., 2012).
Selanjutnya, kualitas kitosan yang dihasilkan dapat diuji dengan kelarutannya dalam
asam asetat 1% dan dengan pelarutan kitosan dalam dimethyl sulphoxide(DMSO). Jika
banyak yang terlarut, hal ini menandakan bahwa di dalam kitosan masih banyak
mengandung benzoylated chitin(Tarafdar & Biswas, 2013).
Kelarutan kitosan dalam larutan asam asetat juga dipengaruhi oleh suhu dan lama
perendaman dalam larutan NaOH. Kelarutan juga akan semakin meningkat dengan
adanya peningkatan derajat deasetilasi. Hal ini disebabkan oleh karena gugus asetil akan
hilang dan terlepas dari gugus amin. Ion H pada gugus amin akan membuat kitosan mudahbereaksi dengan air melalui ikatan hidrogen. Kitosan hanya dapat larut dalam asam encer
seperti asam asetat, asam format, dan asam sitrat, serta dapat larut dalam air. Keberadaan
gugus karboksil dalam asam asetat akan mempermudah pelarutan kitosan kareana adanya
interaksi antar atom hidrogen pada gugus karboksil dari asam asetat dan gugus amin dari
kitosan. Dalam larutan asam, gugus amin yang bebas dapat berperan sebagaipolikationic
sebagai agen pengkelat atau dispersi. Struktur polimer kitosan yang bersifat asam dengan
struktur lurus berperan dalam flokulasi, membentuk lapisan atau mengimobilisasi enzim.
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
13/20
12
Karena dalam larutan asam, gugus amino bebas dari kitosan akan berubah menjadi NH3+
yang akan membentuk kompleks elektrolit apabila bertemu dengan polimer anionik
(Patria, 2013).
Kitosan dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri, antifungal, pengawet dan dapat
memperpanjang umur simpan makanan, dan zat antikoagulasi darah (Tarafdar & Biswas,
2013). Selain itu, kitosan juga dapat dimanfaatkan antara lain sebagai bioadhesivealami,
carriermakromolekul pada obat, dan antimikroba. Kitin komersial diproduksi dengan
cara deproteinasi dan demineralisasi. Kondisi proses akan mempengaruhi karakteristik
kitosan (Puvvada et al., 2012). Pemanfaatan kitosan sebagai agen antibakteri bisa dalam
bentuk film atau hydro-gel. (Islam et al., 2012).
Kitosan banyak digunakan dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, kosmetik,
biomedis, industri kertas, dan industri tekstil serta makanan. Kitosan juga dapat
digunakan sebagai emulsifier, koagulasi, agen pengkelat, dan pengental. Kitosan juga
mampu menggantikan formalin dalam perannya mengawetkan makanan serta relatif
aman untuk dikonsumsi. Penggunaan kitin dan kitosan dipengaruhi oleh karakteristik dari
kitin dan kitosan. Karakteristik tersebut meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas,
dan berat molekul. Derajat deasetilasi sendiri dipengaruhi oleh bahan baku, larutan alkali,
suhu, dan waktu proses. Kitosan dengan berat molekul yang rendah digunakan sebagai
antibakteri, antitumor, dan antioksidan. Kitosan dengan berat molekul medium digunakan
untuk senyawa antikolesterol (Patria, 2013).
Salah satu contoh aplikasinya adalah pembuatan edible coatingpada produk olahan ikan
Fish Fingers (nugget ikan). Kitosan dapat dibuat menjadi berukuran nano. Nanopartikelmempunyai luas permukaan yang sangat luas sehingga dapat meningkatkan stabilitas dan
meningkatkan fungsinya. Nanopartikel kitosan banyak digunakan untuk farmasi karena
mempercepat proses pelepasan senyawa dalam obat ke seluruh tubuh. Nugget ikan
diproduksi dengan cara mencacah daging ikan yang kemudian dilapisi dengan
panir/batterdan dimasak secara deep fat frying. Penyimpanan beku tidak menghambat
aktivitas mikroba dan reaksi kimia secara sempurna, sehingga bisa saja terjadi kerusakan
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
14/20
13
selama penyimpanan yang dapat mengurangi umur simpan produk. Kerusakan dapat
terjadi akibat dari denaturasi protein dan oksidasi lipid (Abdou et al., 2012).
Edible coatingdiketahui dapat memperpanjang umur simpan produk.Edible coatingada
yang berbasis polisakarida, protein, maupun lemak. Edible coatingdapat diaplikasikan
dalam bentuk larutan, gas, maupun barrier uap air. Kitosan dapat digunakan sebagai
edible coating karena memiliki kemampuan antimikroba dan mampu membentuk lapisan
pelindung, membentuk tekstur, kemampuan mengikat, dan antimikroba. Nanopartikel
kitosan dapat dibuat dengan mereaksikan tripolifosfat (TPP) dan kitosan dalam suhu
ruang.Edible coatingdapat dibuat dengan penambahan tepung jagung, kuning telur, susu
skim, garam, dan cumin. Penggunaan edible coatingdari kitosan dan nano kitosan selama
penyimpanan beku mampu meningkatkan kualitas dari nugget ikan dan meningkatkan
umur simpan hingga 6 bulan. Nugget ikan yang dilapisi oleh edible coatingdari kitosan
ataupun nano kitosan mampu mengurangi resiko pencemaran oleh bakteri psikrofilik,
bakteri koliform,dan bakteri proteolitik (Abdou et al., 2012).
Kitosan yang terbaik dipengaruhi oleh kelarutan, viskositas, berat molekul, dan derajat
deasetilasi. Untuk mendapatkan kitosan dengan kualitas terbaik dibutuhkan proses
deasetilasi dengan suhu 100oC selama 80 menit. Tetapi, untuk menghasilkan kitosan
dalam jumlah yang banyak proses deasetilasi cukup dilakukan pada suhu 70oC selama 40
menit (Patria, 2013).
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
15/20
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
16/20
15
Semarang, 4 November 2015
Praktikan, Asisten Dosen
-Tjan, Ivana Chandra
Caecilia Eka Putri
13.70.0018
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
17/20
16
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdou, E. S., A. S. Osheba, and M. A. Sorour. (2012). Effect of Chitosan-Nonparticles
as Active Coating on Microbiological Characteristic of Fish Fingers.
International
Journal of Applied Science and Technology,Vol. 2 No. 7
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from
Prawn Shells. Dept Mechanical Manufacturing, Aeronautical and Chemical
Engineering. Queens Univ. Belfast.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties
of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Hirano. (1989). Production and Application on Chitin and Chitosan in Japan .In: Chitinand Chitosan: Sources, Chemistry, Biochemistry, Physical Properties and
Applications, Eds. G. Skjak-Braek; T. Anthonsen & P. Sandford.Elsevier Applied
Science. New York. pp. 37-40.
Islam, M. M., S. M. Masum, M. M. Rahman, M. A. I. Molla, and S. K. A. A. Shaikh.
(2012). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its
Properties.International Journal of Basic & Applied SciencesIJBAS-IJENS Vol:
11 No: 01
Johnson, A. H. & M. S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The
AVI Publishing Co., Inc. Connecticut.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm.
Martinou, A.; D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by
Enzymatic Means: Monitoring of Deacetylation Processes. Carbohydr Res 273 :
235-242.
Muzzarelli, R. A. A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona.
Pergamon Press.Ancona, Italy.
Muzzarelli, R. A. A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press, Inc.
Orlando, San Diego.
Patria, A. (2013). Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells
Waste.Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal
of the Bioflux Society, Volume 6, Issue 4.
http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htm -
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
18/20
17
Prasetyo, K. W. (2006). Pengolahan Limbah Cangkang Udang. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M. & I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui
Variasi Konsentrasi NaOH.Jurnal Kimia, Vol. 4. Halaman 70-90.
Puvvada, Y. S., S. Vankayalapati, and S. Sukhavasi. (2012). Extraction of Chitin from
Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in The Pharmaceutical
Industry.International Current Pharmaceutical Journal, 1(9): 258-263.
Rahayu, L. H. & Purnavita, S. (2007). Optimasi Pembuatan Kitosan Dari Kitin Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus Pelagicus) untuk Adsorben Ion Logam Merkuri.
Reaktor, Vol. 11, No.1, Hal. 45-49. Semarang.
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad &
S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya
terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan.Jurnal Kimia Indonesia,
Vol. 5 (1), Hal. 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rochima, E. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon
Jawa Barat. Buletin Teknologi hasil Perikanan. 10 (1) Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Suhardi, U; Santoso & Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi
Kitin. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAUUGM. Yogyakarta.
Supitjah, P. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses
Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Tarafdar, A. & G. Biswas. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and
Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on
Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering(IJTARME), ISSN :
23193182, Volume-2, Issue-3
.
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
19/20
18
6. LAMPIRAN
6.1.Perhitungan
Kelompok E1
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5
19 100% = 26,32%
Rendemen kitin II
=
berat kering
berat basah I 100%
=2
7 100% = 28,57%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,76
5,5 100% = 32%
Kelompok E2
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5,5
14,5 100% = 37,93%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2,5
9 100% = 27,78%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,12
6,5 100% = 17,23%
Kelompok E3
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=4
17 100% = 23,53 %
Rendemen kitin II
=
berat kering
berat basah I 100%
=2
6,5 100% = 30,77%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,3
4,5 100% = 28,89%
Kelompok E4
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=3,5
10 100% = 35 %
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
11 100% = 18,18%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=0,23
1,5
100% = 15,33%
-
7/24/2019 KITIN KITOSAN_CAECILIA EKA PUTRI_13.70.0018_E2_UNIKA SOEGIJAPRANATA
20/20
19
Kelompok E5
Rendemen kitin I
=
berat kering
berat basah I 100%
=3,5
12 100% = 29,17%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
8 100% = 25%
Rendemen kitin III
= berat keringberat basah I
100%
=0,85
2 100% = 42,5%
6.2.Laporan Sementara
6.3.Diagram Alir
6.4.Abstrak Jurnal