PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
413
Kompetensi Guru:
Kunci Utama Agenda
Proses Pemanusiaan
Al Mawardi∗∗∗∗
ABSTRAK
Guru sebagai pendidik dan pengajar dikenal dengan sebutan
pahlawan tanpa jasa yang menyandang jabatan profesi.
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang
baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada
masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan
masyarakat sekelilingnya. Profesi guru yang di dalam forum-
forum resmi dan naskah-naskah akademik begitu mulia,
namun di masyarakat luas nampaknya masih menjadi
semacam profesi kelas dua di bawah profesi lain seperti
dokter, notaris, arsitek, advokat, kontraktor, konsultan hukum
dan sebagainya. Hal ini karena ukuran prestasi dalam
kehidupan masyarakat masih terletak pada standar ekonomi,
bukan pada standar idealitas dan moralitas. Kondisi ini
sangat disayangkan sebab guru merupakan subjek yang
sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban
manusia masa depan. Dalam persfektif agama, guru adalah
bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi para peserta
didik. Guru adalah orang yang memberikan santapan
kejiwaan dengan ilmu atau pengalaman, membimbing dan
meluruskan akhlak para peserta didik. Untuk
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan
profesionalisme guru di satu sisi, dan mutu atau kualitas
pendidikan di sisi lain, pemerintah bukan hanya diharapkan
berupaya meningkatkan kualifikasi dan strata pendidikan
guru, tetapi juga hendaknya meningkatkan standar
kesejahteraan guru.
Kata Kunci: Guru, Profesi, dan Kompetensi
∗Al Mawardi. MS, S. Ag, M. Ag adalah Dosen Agama pada Politeknik Negeri
Lhokseumawe Provinsi Aceh.
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
414
Pendahuluan
Manusia Indonesia seutuhnya yang diidealisasikan menjadi titik puncak
capaian tujuan pendidikan nasional masih terus menjadi dambaan, terutama
ketika sosok yang sesungguhnya belum lagi ditemukan pada saat arus
globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa secara keras. Krisis proses
kemanusiaan dan pemanusiaan secara kekinian benar-benar sah jika disorot
secara tajam. Pendidikan sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan
pemanusiaan terus disorot tajam oleh masyarakat dan pemakai lulusan (global
market).
Arogansi kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran
ketertiban umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan,
pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan,
korupsi, kolusi, nepotisme dan seabreg prilaku buruk lainnya benar-benar masih
menggejala. Bahkan berdasarkan penelitian UNDP, negara Indonesia adalah
salah satu negara terkorup di dunia, yang memiliki indeks pengembangan
sumberdaya manusia (human development index) nyaris terendah di dunia, yang
memiliki kinerja birokrasi nyaris terpuruk, yang memiliki anggaran dan gaji
guru terendah dan memiliki hutang nyaris tertingi, dan yang memiliki partai
politik terbanyak di dunia.1
Menggejalanya seabreg aksi amoral dan kemungkaran di atas yang justru
terjadi di saat kran reformasi terbuka lebar adalah karena kurangnya internalisasi
nilai-nilai pendidikan sebagai proses pendewasaan manusia menjadi insan sejati.
Aktualisasi pendidikan hanya sebagai formalitas pengembangan wawasan
intelektual, tetapi tidak dibarengi dengan pemaknaan emosionalitas dan
spiritualitas. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Amien Rais, bahwa para
cendikiawan Indonesia yang telah menamatkan berbagai jenjang pendidikan
layaknya sebagai “Kancil Pilek”. Artinya, bahwa para cendikiawan hanya
1 Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, hal. 3
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
415
memiliki seabreg ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi kurang memiliki
kepedulian terhadap realitas masyarakat sekitar.
Untuk membuat gejala buruk itu tereduksi secara bermakna, penegakan
hukum, pembangkitan rasa malu, dan penguatan ajaran agama melalui
implementasi pendidikan menjadi keniscayaan untuk diagendakan, baik pada
tataran birokrasi, jaringan partai politik, tokoh masyarakat, orang tua, pelaku
bisnis, aparat keamanan, ilmuan, maupun lembaga pendidikan. Di samping
solusi tersebut di atas, peningkatan kualifikasi tenaga kependidikan sebagai
pengembang intelektualitas dan peradaban manusia merupakan suatu
kemutlakan. Profesionalisme guru senantiasa perlu dikembangkan, baik dengan
cara pendidikan dan pelatihan, peningkatan kualifikasi pendidikan dan jabatan,
pelaksanaan penelitian tentang persoalan-persoalan kekinian, peningkatan
kesejahteraan, serta melalui penggalakan pengabdian kepada masyarakat dan
lingkungan sekitar.
Profesi guru yang di dalam forum-forum resmi dan naskah-naskah
akademik begitu mulia, di masyarakat luas nampaknya masih menjadi semacam
profesi kelas dua di bawah profesi lain seerti dokter, notaris, arsitek, konsultan
hukum dan sebagainya. Kondisi ini sangat disayangkan sebab guru merupakan
subjek yang sangat besar kontribusinya dalam membangun peradaban manusia
masa depan. Apresiasi guru terhadap profesinya dan peningkatan citra
masyarakat terhadap guru dan profesi yang disandangnya tidak akan lepas dari
fungsi dan perbaikan taraf hidup mereka. Karenanya, adalah tugas para pembuat
kebijakan untuk membenahi kesejateraan guru, antara lain dengan menaikkan
gaji atau tunjangan jabatan pendidikannya. Agenda kerja pejabat pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui perbaikan atau penghasilan
mereka adalah suatu keniscayaan, disebabkan karena meningkatnya standar
kebutuhan internal para guru sejalan dengan pergeseran nilai uang.
Tanggung jawab guru sebagai abdi negara dan masyarakat tetap tidak
mungkin diletakkan melebihi batas-batas kondisi internal dirinya. Guru adalah
manusia biasa yang memiliki banyak keterbatasan, seperti halnya kebanyakan
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
416
manusia. Oleh karena itu, merupakan suatu kebanggaan bagi guru jika mampu
melahirkan anak didik menjadi manusia yang cerdas, berbudi luhur dan terampil
serta memiliki daya adaptabilitas yang tinggi dalam menghadapi perubahan dan
perkembangan zaman. Namun hal itu tetap tidak akan melebihi kebanggaan
daripada anaknya sendiri. Guru akan menjadi lebih ikhlas mendidik ”anak orang
lain” jika anaknya sendiri menjadi manusia terdidik dan terpelajar (educated and
civilizated student).
Penilaian masyarakat yang kurang baik terhadap profesi guru, demikian
juga rendahnya gaji yang diterima, tidak hanya terjadi di negara Indonesia, di
Amerika Serikat yang nota benenya sebagai negara super power, ternyata power
untuk menggaji guru tidak sebaik yang dipersepsikan kebanyakan orang. Ernest
House, misalnya, menggambarkan profesi guru sebagai profesi yang dibelenggu
oleh kondisi economic of scarcity dan isolated profession. Kini adalah waktu
yang sangat tepat untuk memperjuangkan kenaikan gaji atau tunjangan jabatan
pendidikan guru, sejalan dengan semakin terlihatnya kompetensi professional
guru dalam mengelola proses belajar-mengajar di kelas. Perbaikan nasib guru
memungkinkan dirinya membeli dan membaca sumber informasi, memperkaya
khazanah keilmuaan dan keintelektualannya, sehingga kekonservatifan dan
nilai-nilai tradisionalitasnya dapat diminimalisir.
Berdasarkan realitas dan kerangka pemikiran di atas, muncul beberapa
pertanyaan, di antaranya adalah: Bagaimana pemaknaan terhadap konsep profesi
keguruan?; apa saja yang menjadi kode etik guru agar senantiasa terlindungi dan
tidak tersoburdinasikan dalam realitas keseharian?; bagaimana pandangan Islam
tentang profesi keguruan?, dan apa solusi atau agenda alternatif yang perlu
diagendakan dan diimplementasikan sehingga citra profesi guru di satu sisi dan
mutu pendidikan di sisi lain, mampu unggul dalam pentas pergulatan masa
depan? Berikut ini adalah kajian sederhana tentang profesi keguruan dan
sejumlah solusi ke arah pencerdasan manusia menjadi manusia sejati.
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
417
Konsep Profesi Keguruan
Semua orang mengetahui bahwa mengajar adalah suatu profesi. Namun
demikian, tidak semua perbuatan dapat dikatakan sebagai profesi. Dalam
konteks ini, suatu profesi memiliki sejumlah kriteria atau karakteristik. Sanusi
menyebutkan bahwa di antara kriteria atau ciri-ciri jabatan yang dinamakan
profesi adalah:
a) Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang
menentukan;
b) Jabatan tersebut memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi
dengan waktu yang cukup lama;
c) Jabatan tersebut memiliki prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan
memperoleh imbalan yang tinggi pula;
d) Jabatan tersebut memerlukan keterampilan khusus dan bidang ilmu
tertentu di luar jangkauan khalayak ramai;
e) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi teori ke praktek;
f) Jabatan tersebut memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang
ruang lingkup kerja tertentu, dan bebas dari intervensi pihak lain;
g) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien, serta memiliki kode
etik yang dikontrol oleh organisasi profesi;
h) Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi bila dibanding
dengan jabatan lainnya;
i) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan
yang berhubungan dengan hal-hal yang dilakukan;
j) Menggunakan administrator untuk memudahkan melakukan
profesinya.2
2Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1981
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
418
Dari acuan kriteria di atas dapat dipahami bahwa jabatan pedagang,
penyanyi, penari, serta tukang koran misalnya bukanlah dinamakan sebagai
jabatan profesi. Berbeda dengan jabatan-jabatan di atas, jabatan guru, dokter,
advokat, kontraktor, notaris dan sejenisnya dinamakan sebagai jabatan profesi.
Ada beberapa syarat sehingga dinamakan sebagai jabatan profesi. Di antaranya
adalah; melibatkan kegiatan intelektual, menggeluti bidang ilmu yang khusus
dan mementingkan layanan di atas kepentingan pribadi.
Profesi Keguruan
Berhubungan dengan jabatan guru, National Education Association
menyarankan kriteria-kriteria berikut3: Pertama, Jabatan yang melibatkan
kegiatan intelektual. Jabatan guru merupakan jabatan profesi karena dalam
kesehariannya senantiasa bertugas mengembangkan intelektualitas anak didik.
Dalam hal ini, guru dapat dikategorikan sebagai jabatan profesi. Kedua, Jabatan
yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus. Berkenaan dengan
kriteria ini, terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar digolongkan
sebagai jabatan profesi. Para pakar yang bergerak di bidang pendidikan
menyatakan bahwa mengajar adalah merupakan suatu bidang khusus yang
sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwenang, sedangkan
kelompok lainnya menyatakan bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh
ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok yang pertama meyakini
bahwa mengajar merupakan suatu sain (science), bukan sebagai suatu kiat atau
art.4 Berdasarkan pandangan para pakar pendidikan tersebut dapat dituliskan
bahwa guru adalah jabatan profesi.
Kriteria yang ketiga adalah apabila jabatan tersebut memerlukan
persiapan profesional yang lama. Yang membedakan jabatan profesional dengan
non-profesional adalah dalam penyelesaisan pendidikan melalui kurikulum,
3National Education Assosiation, The Yardstick of a Profession. Dalam Institutes of
Professional and Public Relation. Washington DC: The Association. 1948, hal. 58
4 Stinnett dan Huggett, J, Professional Problems of Teachers. Second Edition. New York: The
Macmillan Company.1963, hal. 56
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
419
yaitu ada yang diatur oleh universitas/institut atau melalui pengalaman praktek
dan pemagangan serta dengan kuliah. Yang pertama yakni pendidikan melalui
perguruan tinggi disediakan untuk jabatan profesional, sedangkan yang kedua,
yakni pendidikan melalui pengalaman peraktek dan pemagangan, atau campuran
antara praktek dan pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan non-
profesional. Guru adalah salah satu jabatan yang diatur oleh universitas dan
institut, dan oleh karenanya dinamakan sebagai jabatan profesi. Keempat,
Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan
(Sutainable training). Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat
sebagai jabatan profesional, karena hampir setiap tahun guru melakukan
berbagai kegiatan latihan profesional, baik yang mendapatkan penghargaan
kredit maupun tanpa kredit. Untuk saat ini, bermacam-macam pendidikan
profesional tambahan diikuti oleh para guru dalam berbagai tingkatan untuk
menyetarakan kualifikasi yang telah ditetapkan. Ada dua model pendidikan dan
pengembangan kualitas profesi guru. Pertama, pendidikan dan pengembangan
sikap selama pendidikan prajabatan, dan yang kedua pengembangan sikap dan
mutu profesi selama dalam jabatan. Peningkatan mutu dan kompetensi guru
selama dalam jabatan dapat terjadi dengan cara formal dan informal.
Peningkatan sikap profesional keguruan dengan cara formal adalah seperti
dengan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya.5
Kelima, jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang
permanen. Keenam, jabatan yang lebih mementingkan layanan kepentingan
umum dari pada kepentingan pribadi. Jabatan mengajar adalah jabatan yang
mempunyai nilai sosial yang tinggi. Jabatan guru telah terkenal secara universal
sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk
membantu orang lain, bukan didasari oleh keuntungan ekonomi atau keuangan.
Kebanyakan guru memilih jabatan ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh
mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi
atau lahiriah. Namun ini tidak bearti bahwa guru harus dibayar lebih rendah,
5 Soetjipto, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, hal. 55
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
420
tetapi juga jangan mengharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru.
Ketujuh, jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin
erat. Semua profesi mempunyai organisasi yang kuat untuk dapat mewadahi
tujuan bersama dan melindungi anggotanya. Berkenaan dengan jabatan profesi
keguruan, PGRI adalah organisasi yang kuat yang mewadahi tujuan dan
melindungi semua yang berprofesi guru dari tingkat pendidikan TK sampai
pendidikan tingkat atas.
Kode Etik Profesi Keguruan
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 ”Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian”, pada Pasal 28 dinyatakan bahwa ”Pegawai Negeri Sipil
mempunyai Kode Etik sebagai pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan di
dalam dan di luar kedinasan.” Dalam penjelasan Undang-Undang Kepegawaian
tersebut, dituliskan bahwa dengan adanya Kode Etik tersebut, pegawai negeri
sipil sebagai aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat mempunyai
pedoman, sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan
dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Dalam Pidato Pembukaan Kongres PGRI XIII, Basuni sebagai ketua
Umum PGRI juga menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan
landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam
melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru.6 Dalam hal ini
dapat dipahami bahwa Kode Etik suatu profesi adalah merupakan norma-norma
yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan
tugas-tugasnya dan dalam kehidupan sehari-hari. Norma-norma tersebut berisi
petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka
melaksanakan profesinya dan larangan-larangan yang ditetapkan. Tujuan
6PGRI, Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973, Jakarta:
PGRI, 1973, hal. 98
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
421
dirumuskannya kode etik tersebut adalah untuk kepentingan anggota dan
organisasi profesi itu sendiri.
Secara umum, tujuan dibuatnya kode etik dalam suatu jabatan profesi
adalah di antaranya; untuk menjunjung tinggi martabat profesi; untuk menjaga
dan memelihara kesejahteraan para anggotanya, yaitu dengan memenuhi
kesejahteraan lahir atau material dan kesejahteraan batin atau spiritual; untuk
meningkatkan pengabdian para anggota; untuk meningkatkan mutu profesi; dan
untuk mutu organisasi profesi.7 Berdasarkan pemikiran di atas, maka Kode Etik
Guru di Indonesia dapat dirumuskan sebagai himpunan nilai-nilai dan norma-
norma profesi guru yang tersusun dengan baik dan sistematik dalam suatu
sistem yang utuh dan bulat. Fungsi Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai
landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam
melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai guru baik di dalam maupun di luar
sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan Negara serta kemanusiaan pada
umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu,
guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mempedomani
dasar-dasar fundamental keguruannya. Di antara dasar-dasar tersebut adalah:
1. Guru berbakti membimbing anak didik untuk membentuk manusia
seutuhnya;
2. Guru memiliki dan melaksanakan kejuruan profesional;
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai
bahan melakukan bimbingan dan pembinaan;
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang
berhasilnya proses belajar-mengajar;
7R. Hermawan. S, Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi dan Kode Etik Guru
Indonesia, Jakarta: Marga Hayu, 1979, hal. 76
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
422
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid, dan
masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung
jawab bersama terhadap kelangsungan pendidikan;
6. Guru secara bersama-sama dan pribadi berupaya mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya;
7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan
kesetiakawanan sosial;
8. Guru secara bersama-sama berupaya meningkatkan mutu organisasi
PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian;
9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang
pendidikan.
Guru dalam Perspektif Islam
Guru adalah bapak ”spiritual” atau pemberi motivasi bagi murid. Guru
adalah orang yang memberikan santapan kejiwaan dengan ilmu atau
pengalaman, membimbing dan meluruskan akhlak para anak didik. Justru
karena itu, menghormati dan memberi nilai yang lebih terhadap guru merupakan
suatu keniscayaan dan merupakan arti lain bahwa seseorang telah
memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Abu Darda’ menuliskan bahwa guru
dan murid adalah dua teman dalam kebaikan, dan tidak ada yag lebih baik selain
keduanya. Muhammad Athiyah al Abrasyi,8 menuliskan bahwa sifat-sifat yang
harus dimiliki guru adalah:
Pertama, memiliki sifat zuhud, dan mengajar karena mencari ridha
Allah. Menurutnya, guru memiliki kedudukan yang mulia dan dimuliakan. Guru
memiliki tugas-tugas, dan dalam mejalankan segala tugasnya senantiasa karena
mencari keridhaan Allah, tanpa harus menunggu balasan uang atau pangkat.
Artinya, bahwa pangkat, uang, dan jabatan tersebut diperoleh dengan harapan
mencari keridhaan Allah semata, bukan dengan tujuan lainnya.
8 Muhammad Athiyah Al Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terj.
Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996, hal. 64-72
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
423
Kedua, guru harus suci dan bersih. Seorang guru hendaknya suci badan
dan anggota tubuhnya, menjaga diri dari perbuatan dosa, suci jiwanya dengan
membebaskan diri dari prilaku sombong, riya, dengki, permusuhan, pemarah
dan sifat-sifat tercela lainnya. Rasulullah bersabda: Dua macam umatku akan
celaka; orang yang berilmu tapi jahat, dan orang yang beribadah tapi bodoh.
Sebaik-baik orang adalah orang yang berilmu tapi baik, dan sejelek-jelek orang
adalah orang yang berilmu tapi jahat. (Hadits).
Ketiga, ikhlas dalam melaksanakan tugas. Keikhlasan seorang guru
dalam melaksanakan tugasnyamerupakan sarana yang paling ampuhuntuk
kesuksesan para muridnya dalam proses belajar. Guru sebagai orang yang
berilmu adalah orang yang senantiasa merasa membutuhkan tambahan ilmu,
meletakkan posisi murid-muridnya di dalam mencari kebenaran, ikhlas pada
muridnya dan sangat peduli terhadap waktu-waktu yang dimiliki para muridnya.
Hal ini karena ia bersikaprendah hatidalam proses belajar mengajar, memiliki
sikap yang bijak dan teguh hati teradap apa yang diperbuat, bersikap lemah-
lembut tetapi tidak lemah, bersikap keras, tetapi tidak kejam.
Keempat, bersikap murah hati. Seorang guru hendaknya bersifat hilm
atau penyantun dan pemurah hati terhadap murid-muridnya, mampu
mengendalikan dirinya dari bersikap marah, bersikap lapang dada, banyak
bersabar, dan tidak marah karena hal-hal yang mengganggunya. Kelima,
memiliki sikap tegas dan terhormat. Agar seorang guru menjadi lebih sempurna,
ia harus memiliki sikap yang tegas dan terhormat. Ia harus memiliki
keistimewaan-keistimewaan agar dapat menjauhkan dirinya dari tindak
kejahatan yang akan menimpanya, menghindarkan dari hal-hal yang jelek, tidak
membiasakan dirinya berteriak-teriak dan banyak omong kosong.
Keenam, memiliki sikap kebapakan sebelum menjadi guru. Seorang guru
hendaknya menyenangi para muridnya sama dengan menyenangi anak-anaknya,
memikirkan muridnya sama dengan memikirkan anaknya sendiri. Berdasarkan
prinsip Islam inilah, pendidikan modern sekarang ditegakkan, sehingga dapat
dikatakan, bahwa seorang guru hendaknya lebih mencintai muridnya daripada
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
424
anak-anaknya. Seorang ayah yang memberi kasih sayang kepada anaknya
adalah sesuatu hal yang biasa, tetapi seorang ayah yang mampu memberikan
kasih sayang kepada anak orang lain (murid-muridnya) dianggap sebagai ayah
yang terhormat dan layah untuk diteladani.
Ketujuh, memahami karateristik murid. Guru hendaknya menguasai dan
memahami karakteristik dan kecenderungan para muridnya, termasuk juga
kebiasaan, rasa, dan pikirannya, ini dibutuhkan agar guru di dalam
melaksanakan tugasnya tidak keliru arah. Inilah yang dituntut para pakar
pendidikan di abad 21. Dalam pendidikan Islam, seorang guru dituntut
mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan karakteristik para muridnya. Hal ini
diperlukan agar guru dapat memilih materi-materi pelajaran yang sesuai dengan
tingkat kemampuan intelektualits murid-muridnya. Guru hendaknya tidak
memberikan materi yang bersifat kongkrit dan abstrak, atau bersifat fisik dan
metafisik secara sekaligus kepada para muridnya, tetapi harus disesuaikan
dengan kadar kemampuan muridnya terlebih dahulu.
Kedelapan, guru harus menguasai materi ajaran. Guru harus memiliki
kompetensi profesional, dalam arti memiliki banyak ilmu dan pengetahuan yang
akan diajarkan kepada para muridnya. Agar pengetahuan guru tetap eksis dan
berkembang, maka diharuskan kepadanya senantiasa berupaya belajar dan
mencari pegetahuan yang baru sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan
para pengguna pasar. Guru sebagai edukator atau pentransfer ilmu dan
pengalaman dituntut senantiasa mengaktualisasikan dirinya, sehingga proses
pembelajaran yang dilakukan tidak selalu menoton, membosankan dan
menjengkelkan para pengguna pasar dalam semua tingkatan (tingkat dasar, dan
lanjutan).
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Citra Profesi Keguruan
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di
masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
425
menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya.9 Perbaikan citra profesi
guru di mata masyarakat akan sangat ditentukan oleh persepsi masyarakat
terhadap keberadaan profesi guru itu sendiri. Profesi guru sebagai profesi mulia
tidak diukur dari kredibilitas prestasi ekonomi yang diraih, melainkan dari
prestasi intelektual bangsa. Guru sebagai penegak tonggak dan pilar peradaban
manusia, tidak saatnya lagi dijadikan sebagai ”sumber dana” untuk aneka
keperluan. Budaya memotong gaji dan rapel guru untuk berbagai alasan kiranya
tidak muncul lagi di era reformasi dan demokratisasi saat ini. Semua pihak
hendaknya memberikan kesempatan kepada guru tampil secara bersahaja secara
sosial dan ekonomi, namun jangan kebersahajaannya tersebut menjadi sasaran
empuk berbagai pihak untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak
bertanggung jawab.
Pendidikan merupakan satu chapter permasalahan kehidupan yang
paling banyak dipersoalkan. Hal ini karena kehadirannya di samping sebagai
respon atas kebutuhan manusia berperadaban, juga karena eksistensinya
senantiasa sebagai aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan manusia universal.
Dalam konteks ini, tuntutan akan kehadiran guru profesional tidak pernah surut,
meskipun dalam altar proses kemanusiaan dan pemanusiaan guru yang paling
diandalkan seringkali disebut sebagai ’Si Umar Bakri.’ Sebagai tantangan bagi
guru adalah bagaimana agar keberadaannya mampu menjalankan roda
pembelajaran untuk melahirkan manusia sejati pada masyarakat pengguna jasa
pendidikan yang terus berubah. Dalam konteks ini, guru juga dituntut agar
mampu memadukan dua dimensi pendidikan yaitu dimensi intrinsik dan
instrumental pendidikan.
Dimensi intrinsik mengandung makna bahwa guru harus mampu
menciptakan proses pendidikan secara universal, yang mengemban misi sejati
untuk memproduk manusia berpengetahuan luas, berkepribadian luhur dan
memiliki kemauan (konasi) untuk hidup. Para guru bukan hanya memposisikan
dirinya sebagai objek material dan formal pendidikan dengan parameter dunia
9Soetjipto, 1999, hal. 42
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
426
kerja dan kehidupan yang serba praktis pragmatis, melainkan juga
memanusiakan manusia yang pada gilirannya membuatnya mampu
memanusiakan diri dan menghayati akan makna dan hakikat kehidupan sebagai
pemegang mandat ilahiah dan kultural. Sedangkan pada dimensi instrumental
pendidikan, para guru menjadi ujung dan arah tombak agar pendidikan dapat
menjadi instrumen perubahan sosial yang progresif, dengan misi utama
menciptakan gayutan lulusan dengan kebutuhan dunia kerja.
Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu memberikan bekal
hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika pembekalan tersebut
disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif akan melahirkan output
yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal, tetapi bahkan melahirkan
anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan spiritual. Kehadiran
pendidikan budi pekerti merupakan sesuatu yang signifikan terlebih dalam
mengatasi berbagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul pada era
modern. Berbagai prilaku masyarakat modern yang bertentangan dengan nilai
dan estetika moral adalah seperti; perkelahian pelajar, mogok belajar, tindakan
asusila, ber-tripping ria, dan sebagainya. Guru memang merupakan salah satu
subjek yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan budi pekerti. Namun,
bagi guru hal ini tidak jarang menjadi dilema, oleh karena simbol-simbol fisik
dan prestasi ekonomi sudah menjadi indikator yang menentukan kewibaaan.
Dalam hal ini, pada pelbagai kasus profesi guru jangankan dihormati dan
dihargai, tetapi bahkan menjadi sumber ejekan dan kesinisan. Berangkat dari
realitas inilah, tidak arang terdengar bila para guru sering melakukan tindakan-
tindakan yang komersial dalam aktivitas kesehariannya. Para guru, dengan
aneka cara berusaha mengakses ekonomi, mulai dari jualan di pasar, menjual
buku kepada anak-anak, hingga menjadi sopir dan tukang ojek.
Guru profesional adalah guru yang mampu mengakomodasikan dimensi
intrinsik dan dimensi instrumental pendidikan. Kemampuan profesional guru
secara evolutif harus terus berubah sejalan evolusi kemajuan bidang IPTEK.
Dalam hal ini, guru berkedudukan menjalankan fungsi teknologisasi dan
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
427
instrumentalisasi. Guru mendorong pengembangan media belajar dalam
paradigma teknologi pendidikan atau mengakses pemanfaatan teknologi yang
ada pada masyarakat untuk keperluan pembelajaran. Tugas berat ini dapat
membuat citra profesi guru menjadi makin tersubordinasikan, di mana secara
personal, guru diidentifikasi sebagai miskin ekonomi yang lazim membuat
profesinya dilecehkan. Gaji guru yang sangat rendah dibanding dengan profesi
sejenis di manca negara, bahkan di lingkungan ASEAN adalah hal klise dan
sering dipersoalkan. Namun pun demikian, hal itu tetap menjadi derita
berkepanjangan bagi para yang berprofesi guru.
Dalam konteks lain, guru juga senantiasa dituntut untuk dapat
melahirkan lulusan yang memiliki persyaratan teknis untuk mendapatkan
pekerjaan atau swausaha. Ketika ada perbenturan antara membludaknya lulusan
dengan terbatasnya kesempatan kerja, guru lagi-lagi menjadi pusat tundingan
penyebab rendahnya mutu pendidikan dan membludaknya daftar pengangguran.
Posisi guru makin terpuruk karena gejala anomali di kalangan pelajar sering
dilabelkan sebagai kesalahan mereka. Tugas ini semakin memberatkan para
yang berprofesi guru, disebabkan karena jaringan-jaringan kemasyarakatan
semakin ruwet dan tidak konstruktif.
Media massa, seperti televisi, komputer, internet, program porno, disket
komputer, diskotik, taman rekreasi, dan sebagainya merupakan realitas jaringan
kemasyarakatan yang lebih bersifat destruktif daripada konstruktif. Jaringan-
jaringan tersebut seakan-akan kehilangan jejak untuk merepresentasikan
idealitas kemanusiaan seperti figuritas, kekuasaan, hukum, etika bisnis,
spiritualitas, modernitas, moralitas, relegiusitas, dan daya sensibilitas sosial.
Jaringan-jaringan kemasyarakatan tersebut hanya sebagai imajiner dan idealisasi
belaka, dan sama sekali tidak bermakna dalam proses kemanusiaan dan
pemanusiaan manusia secara universal.
Namun demikian, meskipun jaringan-jaringan kemasyarakatan amat
dominan mempengaruhi proses pemanusiaan dan kemanusiaan, eksistensi dan
fungsi guru tetap menjadi hal yang signifikan dan prioritas. Tuntutan institusi
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
428
pendidikan akan tenaga pendidikan yang bermutu dan unggul senantiasa
menjadi dambaan dan harapan publik. A.E Wise dalam Six Steps to Teacher
Professionalism menyatakan bahwa ketika orientasi mutu pendidikan dijadikan
agenda prioritas, kehadiran guru yang bermutu menjadi prioritas utama pilihan
publik.10
Mengikuti logika pemikiran Vollmer dan Mills (1968) jabatan guru
dikategorikan sebagai profesi yang sesungguhnya, karena pekerjaan mengajar
lebih mengandalkan aspek mental daripada motorik atau manual seperti halnya
profesi insinyur, advokat, notaris, dokter, teolog dan sejenisnya.11
Dengan status
profesionalnya itu, guru mestinya memiliki komitmen tinggi terhadap tugas dan
fungsinya sebagai abdi negara dan masyarakat. Realitas mogok mengajar dan
belajar yang dilakukan oleh guru dan siswa merupakan suatu fenomena
kependidikan yang menarik untuk dikaji dan diteliti pada era sekarang. Guru
mogok mengajar, apapun alasannya merupakan counter produktif proses
pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan.
Dalam konteks ini, fenomena yang mesti dilihat bukan hanya mogok
mengajar sebagai anomali kepribadian guru, melainkan harus diposisikan pada
alasan rasional, mengapa para guru melakukan mogok. Kecilnya insentif
ekonomi agaknya menjadi alasan klasik, namun tetap diangkat kepermukaan.
Dalam perspektif ini, kondisi kehidupan guru memang belum baik. Posisi guru
sebagai pendidik dan pengembang sejarah peradaban intelektualitas semakin
tersoburdinasikan ketika indikator ekonomi dijadikan ukuran prestasi
masyarakat. Sedangkan modal idealisme dan moralitas yang dimiliki pahlawan
tanpa jasa itu dinilai hanya sebagai sosok ketradisionalan belaka.
Kondisi kurangnya standar ekonomi dan kesejahteraan hidup memang
merupakan nasib yang harus diterima oleh guru sebagai pahlawan tanpa jasa.
Namun sesuatu yang tidak bisa dimengerti adalah sikap arogantif pejabat terkait
10
Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper, J.M,
(1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company 11
Sanusi, Achmad, dkk, Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga
Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung Depaetemen P dan K, 1991, hal. 78
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
429
yang akut dan kronis mejadikan para guru sebagai sapi perahan. Jumlah guru
yang banyak dan ketakberdayaan mereka melawan arus birokrasi akibat
kekawatiran dimarjinalkan, adalah menjadi sasaran empuk oleh pihak tertentu.
Di sisi lain, kuantitas guru yang cukup besar juga acap kali dijadikan ajang
politisasi oleh kekuatan atau organisasi tertentu, terlebih pada saat menjelang
pesta demokrasi. Implikasinya, sikap dan daya kritis para guru semakin
menurun bahkan pupus, dengan alasan ketidakberdayaan dalam melawan arus.
Dalam kondisi ini, apapun perlakukan yang ditimpakan kepada mereka, seperti
pemotongan gaji dan uang siluman untuk aneka urursan biasanya selalu diterima
secara pasrah bahkan dianggap lumrah.
Pada tataran tugas, guru dituntut untuk lebih profesional sejalan dengan
meningkatnya kesadaran sejarah peradaban dan daya kritis siswa. Jika
sebelumnya anak didik menerima segala realitas kinerja guru, kini mereka sudah
mampu membedakan mana guru yang baik dan mana pula yang cenderung
anumalis dalam menjalankan tugas. Munculnya daya kritis siswa tersebut
memang merupakan fenomena baik dan konstruktif, sejauh hal tersebut
dijadikan sebagai sumber kearifan bagi tenaga kependidikan. Artinya, para guru
dan kepala sekolah hendaknya senantiasa mampu tetap eksis dengan predikat
digugu dan ditiru. Guru merupakan tenaga profesional yang bukan hanya
berperan dalam menanamkan nilai-nilai intelektualitas, tetapi juga mampu
menginternalisasikan nilai-nilai moralitas yang menyebabkannya dapat
dijadikan sebagai teladan dalam realitas kehidupan. Di sinilah makna
pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan manusia menjadi
manusia sejati.
Berdasarkan hasil rekomendasi para Mendikbud dari sembilan Negara
di New Delhi pada tahun 1995 dinyatakan bahwa ada enam pandangan tentang
visi pendidikan abad 21, di antaranya adalah: pertama, ikut menggalang
perdamaian dan ketertiban dunia, dengan titik tekan menanamkan nilai-nilai anti
kekerasan, keadilan, dan nilai-nilai toleransi antar sesama manusia kepada
peserta didik. Kedua, mendidik anak untuk mempersiapkan dirinya menjadi
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
430
pribadi ideal dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan anggota masyarakat
dalam tatanan kehidupan yang demokratis. Ketiga, pendidikan harus
direalisasikan secara merata dan komprehensif, dengan menafikan batas-batas
kemampuan ekonomi, jenis kelamin, atau aspek lain yang mengarah kepada
tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan nilai hakiki pendidikan.
Keempat, pendidikan harus mampu menanamkan dasar-dasar pembangunan
yang berkelanjutan (sutainable development) dengan memperhatikan kelestarian
dan pelestarian hidup dalam konteks yang luas.
Kelima, pendidikan harus menjadi instrumen yang tepat untuk
memepersiapkan tenaga kerja untuk pembangunan ekonomi, dan karenannya
pendidikan senantiasa harus dikorelasikan dengan tuntutan kerja (global market)
yang dewasa ini dikenal dengan istilah link and match. Keenam, pendidikan
harus berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi (science and
technology) terutama bagi negara-negara sedang berkembang agar tidak
senantiasa tergantung pada negara-negara maju.
Enam wolrd views mengenai sosok pendidikan abad ke 21 di atas adalah
merupakan suatu kemutlakan bahwa guru-guru masa depan harus benar-benar
tampil secara profesional dilihat dari dimensi pribadi, penguasaan keilmuan,
metodologi pengajaran, dan kompetensi sosialnya. Tugas dan fungsi guru
sebagai tenaga kependidikan berspektrum luas tidak hanya memerankan fungsi
sebagai subjek yang mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga melakukan
tugas-tugas sebagai fasilitator, motivator, moderator, dinamisator dan evaluator
dalam proses pembelajaran baik di dalam maupun di luar kelas.
Untuk dapat menjalankan tugas-tugas tersebut, para guru harus memiliki
kompetensi tertentu. Sudarwan Danim,12
menyatakan bahwa ada sepuluh
kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu,
diantaranya: 1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru, 2) penguasaan
landasan pendidikan, 3) menguasaai bahan pelajaran, 4) kemampuan menyusun
program pengajaran, 5) kemampuan melaksanakan program pengajaran, 6)
12
Danim, hal . 197
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
431
kemampuan menilai hasil dan proses belajar-mengajar, 7) kemampuan
menyelenggarakan program bimbingan, 8) kemampuan menyelenggarakan
program administrasi sekolah 9) kemampuan bekerjasama dengan sejawat dan
masyarakat, dan 10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk
keperluan pengajaran.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat dimaknai bahwa guru sebagai jabatan profesi
senantiasa perlu kiranya diperhatikan oleh berbagai pihak. Peningkatan
perhatian kepada guru adalah dengan cara memberikan kesempatan untuk
meningkatkan kualifikasi pendidikan, meningkatkan kompetensi keilmuan dan
jabatan, serta meningkatkan kuantitas kesejahteraan guru. Peningkatan
kualifikasi pendidikan dapat dilakukan dengan cara melanjutkan pendidikan
(penyetaraan) ke jenjang S1, S2 dan bahkan S3. Peningkatan kompetensi
kependidikan dapat dilakukan dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan baik
dalam prajabatan, maupun selama dalam jabatan. Pendidikan dan pelatihan
keilmuan ini dapat dilakukan dengan cara mengikuti penataran, lokakarya,
seminar, dan kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan kependidikan. Di
samping melalui peningkatan mutu dan profesionalisme, pemerintah juga
diharapkan meningkatkan kesejahteraan guru, baik melalui peningkatan gaji,
maupun melalui peningkatan tunjangan prstasi kerja dan jabatan sehingga
keberadaan guru sebagai profesi tidak lagi tersoburdinasikan dalam realitas
masyarakat.
Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan juga merupakan agenda
pembaharuan yang perlu disikapi dengan segera. Hal ini agar berbagai anumali
problematikan modern tidak akan berkembang dan meningkat. Arogansi
kekuasaan, krisis ekonomi, krisis global, pelanggaran ketertiban umum, aksi
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
432
memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan
obat-obatan terlarang, politisasi massa, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme,
rendahnya indeks pengembangan sumberdaya manusia (human development
index), dan seabreg prilaku buruk lainnya merupakan dampak dari krisis
pendidikan era sekarang. Pendidikan merupakan instrumen yang harus mampu
memberikan bekal hidup bagi anak didik sesuai dengan potensinya. Jika
pembekalan tersebut disertai dengan pendidikan budi pekerti secara asumtif
akan melahirkan output yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan fisikal,
tetapi bahkan melahirkan anak didik yang cerdas secara moral, emosional dan
spiritual.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, S.R, (1979). Etika Keguruan: Suatu Pendekatan Terhadap Profesi
dan Kode Etik Guru Indonesia, Jakarta: Marga Hayu
Muhammad Athiyah Al Abrasyi, (1996). Beberapa Pemikiran Pendidikan
Islam, terj. Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
National Education Assosiation, (1948). The Yardstick of a Profession. Dalam
Institutes of Professional and Public Relation. Washington DC: The
Association.
Ornstein, Allan C, dan Leive, Daniel U, (1984). An Introduction to the
Foundations of Education. Third Edition, Boston: Houghton Mifflin
Company.
PGRI, (1973). Kenang-kenangan Kongres PGRI XIII 21 s/d 25 November 1973,
Jakarta: PGRI
Sanusi, Achmad, dkk, (1991). Studi Pengembangan Model Pendidikan
Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung: IKIP Bandung
Depaetemen P dan K.
PASAI: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas Malikusaleh, Lhokseumawe, NAD
433
Soetjipto dan Raflis Kosasi, (1999). Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta
Stinnett, T.M, dan Huggett, Albert. J, (1963), Professional Problems of
Teachers. Second Edition. New York: The Macmillan Company.
Sudarwan Danim, (2006) Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Wise, A.E, “Six Steps to Teacher Professionalism”, in the Ryan, K. and Cooper,
J.M, (1990). Reading in Education, Boston: Houghton Mifflin Company