Download - KONSEP KELUARGA SAKINAH (STUDI PEMIKIRAN …
KONSEP KELUARGA SAKINAH
(STUDI PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SOPHAL JAMILAH
NIM: 1112044200023
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438/2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Konsep Keluarga Sakinah (Studi Pemikiran
Muhammad Quraish Shihab” dengan baik. Sholawat serta salam kita curahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari
zaman kegelapan hingga zaman terang benderang seperti sekarang ini.
Syukur alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kemuliaan Nabi-Nya
serta keikhlasan hati dan kerja keras disertai doa dan dorongan serta bantuan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga kesulitan
dan hambatan dapat penulis lalui dengan sebaik-baiknya.
Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terimakasih
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag dan Arif Furqon, MA, Masing-masing Selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal
Syakhsiyyah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. H. M. Riza Afwi, LC, MA, Dosen Pembimbing, yang senantiasa ikhlas
meluangkan waktunya untuk memberi arahan, koreksi, dan bimbingan
yang sangat berarti demi kelancaran skripsi ini.
4. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama di
bangku perkuliahan.
5. Pimpinan beserta Staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum juga
Pimpinan beserta Staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk pengadaan studi
kepustakaan.
6. Ayahanda H. Achmad Fathullah (Alm) dan Ibunda Hj. Salbiah dan
ayahanda mertua H. Muhammad, S.Pd.I dan ibunda mertua Hj. Komariah
yang tiada terkira jasanya yang memberikan motivasi dalam penulisan
skripsi ini serta memberikan kasih sayangnya, memberikan semangat yang
luar biasa, dan tak lupa juga berkat do’a-Nya dan juga dukungan moril
maupun materil hingga penulis bisa menyelesaikan studi ini.
7. Suami tercinta Miftahur Rahmat, M.Pd.I. yang tak bosan-bosan
memberikan semangat dan motivasinya baik moril maupun materil yang
selalu menemani dan membimbing dalam penyusunan skripsi ini hingga
selesai.
8. Anakku tercinta Muhammad Fathullah Al-Qarni dan kakak Futuhal Arifin
dan Chintya Budesta Putri dan keponakanku Hany Azkia Maulida dan
Adik-adikku tercinta Malyatul Izzi, Fairuz Zaman, Maslahatun Nisa,
Mutiara Zahratun Nisa, M. Nizam Al-Farizi yang selalu menemani dan
memberikan semangat dalam penyusunan skripsi inidan juga dukungan
moril maupun materil hingga penulis bisa menyelesaikan studi ini hingga
selesai.
9. Sahabatku tercinta aisyah, zulfah, afifah, novi, maria, lina, zulhijah, jeni,
lusi dan teman-temanku AKI 2012-2016 yang tiada hentinya selalu
membantu dan memberikan suport dalam penyusunan skripsi ini dalam
suka maupun duka selama perkuliahan berlangsung.
Jakarta, 12 Okober 2016
Sophal Jamilah
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. IdentifikasiMasalah.............................................................................................. 6
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..................................................................... 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitan ............................................................................. 7
E. Tinjauan Pustaka/ Penelitian Terdahulu .............................................................. 8
F. Metode Penelitian .............................................................................................. 10
G. Sistematika Pembahasan .................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA SAKINAH
A. Pengertian Keluarga Sakinah ............................................................................ 14
B. Tujuan Keluarga Sakinah .................................................................................. 16
C. Ciri-ciri Keluarga Sakinah ........................................................................................... 17
D. Membentuk Keluarga Sakinah ..................................................................................... 21
BAB III BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB SERTA PEMIKIRANNYA
A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab .................................................................... 23
B. Karya- karya M. Quraish Shihab ........................................................................ 31
C. Corak Pemikiran M. Quraish Shihab.................................................................. 34
BAB IV KONSEP KELUARGA SAKINAH M. QURAISH SHIHAB
A. Konsep Keluarga Sakinah Menurut M. Quraish Shihab ................................... 40
B. Upaya-upaya Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah ......................................... 46
1. Masa Pra Pernikahan ................................................................................... 46
2. Masa Dalam Pernikahan (Rumah tangga) .................................................. 50
C. Reinterpretasi Keluarga Sakinah ....................................................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 62
B. Saran.............................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dikalangan para ilmuan ternyata konsep keluarga sakinah sangat bervariasi.
ini terjadi karena adanya tokoh-tokoh pembaharuan dalam hukum keluarga islam dan
menggunakan pendekatan-pendekatan baru dalam mengungkap sebuah istilah
keluarga sakinah.
Selain itu dalam sebuah perkawinan keluarga sakinah sangat diharapkan
dalam sebuah kehidupan berumah tangga, ini dipertegas dalam Kompilasi Hukum
Islam dalam pasal 3 bahwasanya perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah. 1
Menurut Fauzil Adhim, keluarga sakinah adalah keluarga yang di dalamnya
terdapat ketulusan cinta (rahmah), kasih sayang (mawaddah), dan kedamaian hati
(sakinah). Dalam keluarga ini, perasaan cinta dan kasih sayang telah membangkitkan
semangat dalam menatap kehidupan. Singkatnya, dalam keluarga sakinah ketenangan
hati mudah ditemui, ketenteraman jiwa dapat terjaga, dan masing-masing elemen
keluarga saling melengkapi dalam mengupayakan kemaslahatan.2
1 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, ed.revisi 2 jakarta ; PT
Raja Grafindo Persada, 2005. 2 Fauzil Adhim, Memasuki Pernikahan Agung )Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), h. 22
2
Perlu kita ketahui bahwasanya perkawinan bukan sekedar pertemuan dua
jenis kelamin untuk memperoleh keturunan, apalagi hanya sekedar untuk
menyalurkan hasrat biologisnya. Namun, harus ada tujuan yang lebih substantif dan
bermakna, yakni terciptanya keluarga sakinah yang diliputi oleh rasa kasih
(mawaddah) dan sayang (rahmah) seperti dalam firman-Nya dalam QS. Ar- Rum
(30): 21
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara murasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir”.3 (ar-Rum (30) : 21)
.
Ayat tersebut menggambarkan wujudnya rumah tangga yang dianjurkan oleh
ajaran islam yang harus diusahakan dan dicapai oleh setiap orang yang berumah
tangga sehingga dia betul-betul merupakan tempat peristirahatan yang nyaman dan
penuh kedamaian bagi seluruh anggota keluarga yang ada4. Namun demikian,
implementasi konsep keluarga sakinah pada prakteknya acapkali menemui banyak
3 Moh. Rifai, Terjemah/Tafsir Al Qur’an, Semarang: CV. Wicaksana, 1993, h. 719.
4 Sidi Nazar Bakry, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah ) cv. Pedoman
Ilmu Jaya, Jakarta.
3
kendala, sehingga tak sedikit bahtera rumah tangga yang karam di tengah perjalanan
mengarungi samudera kehidupan. 5
Dari ayat tersebut banyak yang mengartikan keluarga sakinah, diantaranya
adalah kalangan baik ahli tafsir, ahli hadis, ataupun fuqoha yang menafsirkan arti
mengenai keluarga sakinah, mawadah dan rahmah.
Menurut Ali bin Muhammad bin ali Al- Jurjani (ahli bahasa) sakinah adalah
apa-apa yang hati mendapatinya dari ketenangan datangnya ketiadaan dialah cahaya
dalam hati yang menetap pada yang menyaksikannya dan menjadi tenang dan dia
adalah permulaan keyakinan diri. Alhasil sakinah adalah ketenangan diri. sedangkan
mawaddah artinya cinta dan rahmah artinya kasih sayang
Menurut Al-Asfahani, (ahli sejarah dan sastra dalam ilmu balaghah (retorika)
dan sya’ir.) menurutnya mawaddah bisa dipahami dalam beberapa pengertian.
pertama, berarti cinta (mahabbah) sekaligus keinginan untuk memiliki. Kedua, kasih
sayang, disini hanya semata-mata mencintai dan menyayangi, layaknya dalam
hubungan kekerabatan, berbeda dengan cintanya suami istri. dalam hal ini, bentuk
cinta dan kasih sayang dengan senantiasa menjaga hubungan kekerabatan agar tidak
5 Hasan Basri, Kelurga Sakinah (Tinjauan Psikis dan Agama), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1994), h. 07
4
putus.6 dan Ketiga, berarti ingin atau menginginkan, dan cenderung bentuk ini adalah
buruk.
Menurut Al-Fairuz Abadi (ahli fiqih, ahli ushul, sejarawan, dan juga
sastrawan). Menurutnyan bahwa rahmah mencakup arti kasih sayang (riqqah)
Pemaaf (magfirah) dan kelembutan hati (ta’attuf).7
Sedangkan menurut Quraish Shihab keluarga sakinah tidak datang begitu
saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Kalbu harus disiapkan dengan kesabaran
dan ketakwaan, karena sakinah “diturunkan” Allah ke dalam kalbu.
Sakinah/ketenangan bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam
bentuk aktivitas. Memang al-Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya
pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. namun, itu bukan berarti bahwa setiap
pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah dan rahmat."
Pendapat M. Quraish Shihab di atas, menunjukkan bahwa keluarga sakinah
memiliki indikator sebagai berikut: pertama, setia dengan pasangan hidup kedua,
menepati janji ketiga, dapat memelihara nama baik, saling pengertian dan yang
keempat berpegang teguh pada agama.
6Muhammad Ali As- Sabuni, Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir (Mesir : Darur-Rasyad, t.td) jilid
III, h. 275
7 Muhammad Ali As- Sabuni, Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir (Mesir : Darur-Rasyad, t.td) jilid
III, h. 275
5
Selain itu menurut M. Quraish Shihab, ada beberapa faktor untuk
membentuk keluarga sakinah: (a) Kesetaraan. Kesetaraan ini mencakup banyak
aspek, seperti kesetaraan dalam kemanusiaan. (b) Musyawarah.8
Ada banyak tokoh di indonesia yang secara serius membahas tentang
mewujudkan keluarga yang ideal. Tetapi disini penulis tertarik terhadap pemikiran
M. Quraish Shihab, ketertarikan ini didasari pertama, M. Quraish Shihab dikenal
sebagai master tafsir di indonesia yang relatif memiliki pendidikan terbaik diantara
para penafsir al-Quran lainnya sehingga karyanya standar baru bagi studi al-Quran
lainnya. kedua, Dalam konteks indonesia, karya M. Quraish Shihab karyanya tidak
hanya untuk kalangan terpelajar tetapi juga untuk masyarakat awam. ketiga,
pemikirannya lebih keindonesiaan dan modern ketimbang yang lain sejauh yang
penulis ketahui dan pemikirannya selaras dengan keadaan hukum keluarga di
indonesia. Keempat, Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya
penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara
menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang
membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari
ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap
masalah yang menjadi pokok bahasan. Maka penulis menyusun skripsi yang berjudul
“Keluarga Sakinah Menurut Pemikiran Muhammad Quraish Shihab”
8 M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an;Kalung Permata Buat Anak-Anakku, Jakarta:
Lentera hati,2007. h. 82
6
Penelitian ini sangat penting dilakukan karena M. Quraish Shihab adalah
penafsir yang sangat berpengaruh diindonesia dan pemikirannya sangat relevan
dengan budaya yang ada di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa yang dimaksud keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah ?
2. Apa saja syarat-syarat untuk terbentuknya keluarga sakinah ?
3. Bagaimana Tinjauan al-Quran terhadap keluarga sakinah?
4. Bagaimana pandangan ahli tafsir, ahli hadis, dan fuqoha terhadap keluarga
sakinah ?
5. Surat apakah yang menjadi rujukan terbentuknya keluarga sakinah ?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas seputar konsep keluarga
sakinah menurut M. Quraish Shihab. Untuk mengefektifitas dan memudahkan
pengelolahan data, maka penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi
tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan masalah tersebut.
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana pemikiran M. Quraish Shihab dalam membentuk keluarga
sakinah?
2. Faktor-faktor apa saja yang diperlukan dalam membentuk keluarga sakinah
menurut M. Quraish Shihab?
7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan memperhatikan latar belakang masalah dan rumusan masalah
tersebut diatas, maka tujuan dari pembahasan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui pemikiran M. Quraish Shihab dalam membentuk keluarga
sakinah.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang diperlukan dalam membentuk kelurga
sakinah menurut pemikiran M. Quraish Shihab.
Adapun manfaat yang melandasi penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Akademis
a. Menambah referensi akademis dalam wacana konsep keluarga sakinah
menurut pandangan M. Quraish Shihab.
b. Menambah pengetahuan atau pemikiran tentang konsep keluarga
sakinah.
2. Secara Praktis
a. Dengan adanya perbedaan pandangan mengenai konsep keluarga
sakinah dapat saling memenuhi satu sama lainnya.
b. Dengan adanya konsep keluarga sakinah hidup berumah tangga menjadi
harmonis dan saling menghormati.
8
E. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu
Dalam review studi terdahulu penulis menemukan beberapa buku dan judul
skripsi yang hampir sama dengan penulis buat. Dari literatur yang telah penulis
telaah terdapat beberapa karya tulis berupa buku dan judul skripsi yang dijadikan
acuan awal oleh penulis, yaitu sebagai berikut:
1. Imam Mustakim, “Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Perkawinan, ( Studi
terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah).9 Dalam penelitian
tersebut, hal pokok yang dijelaskan adalah tentang pemikiran Quraish Shihab Yang
berkaitan dengan hak dan kewajiban suami-istri dalam sebuah perkawinan. Suami-
istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang walaupun tugas yang
dilakukannya berbeda. Dalam skripsi ini Quraish juga tidak menafikan bahwa
lingkungan juga ikut adil dalam menentukan peran suami istri yang harus dilakukan.
2. Karya ilmiah Nurul Lathifa Rahmasari Sofwati dengan judul “Keluarga
Sakinah Menurut Al-Qur’an”.10
Dimana dari pembahasannya dapat disimpulkan
bahwa keluarga sakinah dalam konsep Al-Qur’an dapat ditemukan dalam Surat Ar-
Rum ayat 21. Dalam terminology yang berarti “tentram” dan masalah pembinaan
kepada keluarga harus selalu berpegang teguh pada ajaran Al-Qur’an dan hadits agar
tercapai keluarga bahagia dunia akhirat.
9 Imam Mustakim, “ Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan, (Studi Terhadap
Pemikiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah)” Skripsi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2005 tidak dipublikasikan. 10
Nurul Lathifa Rahmasari Sofwati, Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an ( Skripsi Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang: 2000).
9
3. M. Nur Hadi, “Hak-Hak Perempuan Dalam Keluarga” ( Studi atas pemikiran
Asghar Ali Enginer dan M. Quarish Shihab) 11
dalam skripsinya ia menjelaskan
perbedaan dan persamaan pemikiran kedua tokoh. Dia juga tidak lupa
membandingkan hak-hak perempuan pada masa lalu dengan masa sekarang. Kedua
tokoh tersebut sangat mengecam adanya kekerasan dalam rumah tangga serta
pembatasan terhadap peran perempuan dalam bidang sosial. Tetapi mereka juga
kurang setuju terhadap aktifitas gender yang ekstrim, karena bisa melupakan kodrat
wanita sebagai seorang ibu.
4. Skripsi yang berjudul: Upaya Badan Penasehatan, Pembinaan dan
Pelestarian Perkawinan (BP-4) dalam Membina Keluarga Sakinah di Kecamatan
Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah tahun 2002 disusun oleh
Mustikawati, 2002. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwatentang peran BP-4 seputih
Mataram dalam mencegah terjadinya perceraian, melalui bimbingan penyuluhan
islam berusaha membantu menyadarkan keluarga bermasalah dan pada akhirnya
semua komponen keluarga akan menyadari posisi, hak dan kewajiban masing-
masing.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini berbeda dengan penelitian
sebelumnya, perbedaannya terletak pada fokus kajiannya, penelitian ini berupa
menganalilis konsep M. Quraish Shihab tentang konsep keluarga sakinah.
11
M. Nur Hadi, ; Hak-Hak Perempuan Dalam Keluarga ( Studi atas Pemikiran Asghar Ali
Enginer dan M. Quraish Shihab)” skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004 tidak dipublikasiakn.
10
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara atau tindakan menurut sistem aturan
yang bertujuan agar kegiatan praktis terlaksana secara terarah dan tersistematis
sehingga dapat memperoleh hasil yang maksimal.12
Lebih lanjut penelitian dilakukan
adalah sebagai usaha agar ilmu pengetahuan mengalami peningkatan sebagai
peningkatan usaha-usaha manusia.
1. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif, maksudnya ialah
melalui pendekatan ini penyusun ingin mengetahui bagaimana al-Qur’an maupun
hadis berbicara tentang hukum keluarga terutama mengenai keluarga sakinah.
Pendekatan ini untuk menyelesaikan pokok pemikiran M. Quraish shihab. Dan juga
memakai pendekatan lain adalah sosio-historis, yaitu pendekatan yang digunakan
untuk mengetahui latar belakang sosio-kultur dan sosio-politik seorang tokoh karena
seorang tokoh merupakan hasil interaksi dengan lingkuangannya.
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan oleh penyusun dalam pembahasan skripsi ini
adalah penelitian perpustakaan (library research)13
. Yaitu penelitian yang kajiannya
dilakukan dengan menelusuri dan menelaah literatur atau sumber-sumber tertulis
12
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h.6 13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 201
11
baik berupa buku-buku, majalah, dan jurnal-jurnal, yang mempunyai relevansi
dengan pembahasan ini.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis akan memperoleh data dari dua sumber utama,
yakni primer dan sekunder.
a. Data primer dalam hal ini, adalah tulisan M. Quraish Shihab, Tafsir Al-
Misbah. Pengantin Al-Qur’an: kalung permata buat anak-anakk.
Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (1999). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai
Persoalan Umat (Mizan 1996). Dan lain sebagainya.
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai literatur kepustakaan
atau referensi yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek
penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah analisis data. Dalam hal
ini penulis akan menggunakan cara berfikir deduktif. Deduktif adalah analisa data
dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat umum untuk diambil
kesimpulan khusus darinya.
12
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini, penulis
menggunakan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta,
Fakultas Syariah dan Hukum 2014/2015 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan gambaran secara umum dan memudahkan pembahasan,
maka penyusun menyajikan skripsi ini dalam lima bab dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama, menjelaskan pendahuluan. Bab ini berisi tentang uraian
masalah teknik penulisan yang meliputi: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka/penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, menjelaskan tinjauan umum tentang keluarga sakinah,
pengertian keluarga, tujuan keluarga sakinah, ciri-ciri keluarga sakinah, dan
membentuk keluarga sakinah.
Bab ketiga, mengenai biografi M. Quraish Shihab serta pemikirannya ,
riwayat hidup M. Quraish Shihab, karya-karya M. Quraish Shihab, corak
pemikiran M. Quraish Shihab.
13
Bab keempat, menjelaskan analisis konsep keluarga sakinah menurut M.
Quraish Shihab, Upaya-upaya dalam pembentukan keluarga sakinah,
Reinterpretasi penafsiran keluarga sakinah.
Bab kelima, menjelaskan penutup, yang terdiri dari kesimpulan, saran-
saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA SAKINAH
A. Pengertian Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah terdiri dari dua kata, yaitu kata keluarga dan sakinah.
Keluarga dalam istilah fiqh disebut Usrah atau Qarabah yang telah menjadi bahasa
Indonesia yakni kerabat. 1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keluarga adalah sanak saudara.2
Sedangkan kata sakinah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah damai, tempat
yang aman dan damai. Sakinah berasal dari kata “ sakana, yaskunu, sakinatan” 3 yang
berarti rasa tentram, aman dan damai. 4
Sedangkan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata sakinah berarti diam
atau tenangnya sesuatu yang bergejolak. Jadi keluarga sakinah adalah keluarga yang
mampu menciptakan suasana kehidupan yang tentram, dinamis dan aktif, yang asih,
asah dan asuh.5
Firman Allah dalam QS. Ar-Rum (30) : 21
1 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, ilmu fiqh, (Jakarta:Departemen
Agama, 1984/1985), Jilid II, Cet, Ke-2, h.156 2 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, tt) h. 175
3Sakinah terambil dari kata sakana yang berarti „diam atau tenangnya sesuatu setelah
bergejolak‟. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin, karena ia adalah alat yang menjadikan
binatangyang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah karena
perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang. 4 Poewadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.851
5Asrofi dan M. Thohir, Keluarga Sakinah dalam Tradisi Islam Jawa ( Yogyakarta:Arindo
Nusa Media, 2006), h.3
15
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa keluarga sakinah merupakan impian dan
harapan setiap muslim yang melangsungkan perkawinan dalam rangka melakukan
pembinaan keluarga. Demikian pula dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan
baik yang rinci maupun global yang mengatur individu maupun keseluruhannya
sebagai kesatuan. Islam memberikan ajaran agar rumah tangga menjadi surga yang
dapat menciptakan ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan. Dalam upaya
mengantisipasi pengaruh budaya luar yang negatif. Inilah ciri khas keluarga sakinah
yang alami. Mereka (suami-istri) berserikat dalam rumah tangga itu untuk berkhidmat
kepada aturan dan beribadah kepada Allah swt.6
Seiring dengan pengertian tersebut, keluarga sakinah diidentifikasikan sebagai
keluarga yang dibina atas ikatan perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup
spritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara
6 Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, ( Surakarta: Intermedia Cetakan
III, 2001), h.37
16
anggota keluarga dan lingkungan dengan selaras, serasi serta mampu menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlakul karimah dengan baik.7
B. Tujuan Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah yang penuh diliputi suasana kasih sayang, cinta-mencintai
antar sesama anggota keluarga adalah menjadi idaman setiap orang yang menikah.
dimana hal itu akan tercapai jika masing-masing pihak suami maupun istri dapat
melaksanakan kewajiban dan haknya secara seimbang, serasi, dan selaras. Selain
dalam menjalani kehidupan rumah tangga dilandasi dengan nilai-nilai agama dan
dapat menerapkan Akhlak karimah.
Kehidupan keluarga sakinah memiliki tujuan mulia disisi Allah SWT, yakni
untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah SWT sehingga dapat hidup bahagia
didunia dan lebih-lebih diakhirat. Untuk mendapatkan limpahan rahmat dan ridho
Allh SWT, maka rumah tangga atau keluarga tersebut setidaknya memenuhi lima
syarat, yakni :
a. Anggota keluarga itu taat menjalankan agamanya.
b. Yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.
c. Pembiayaan keluarga itu harus berasal dari rizki yang halal.
d. Hemat dalam pembelanjaan dan penggunaan harta.
7 Asrofi dan M. Thohir, Keluarga Sakinah Dalam Tradisi Islam Jawa (Yogyakarta:Arindo
Nusa Media, 2006), h.11
17
e. Cepat mohon ampun dan bertaubat bila ada kesalahan dan kehilafan serta saling
maaf memaafkan sesama manusia.
Rumah tangga yang islami adalah rumah tangga yang laksana surga bagi
setiap penghuninya, tempat istirahat melepas lelah, tempat bersenda gurau yang
diliputi rasa bahagia, aman, dan tentram.
Rumah tangga yang sakinah, baik secara lahir maupun batin dapat merasakan
ketentraman, kedamaian dimana segala hajat lahir dan batin terpenuhi secara
seimbang, serasi dan selaras. Kebutuhan batin yaitu dengan adanya suasana
keagamaan dalam keluarga serta pengamalan akhlakul karimah oleh setiap anggota
keluarga, komunikasi yang baik antara suami, istri, dan anak-anak. Kebutuhan lahir
terpenuhi juga materi sandang, pangan, papan, dan lain-lain.8
C. Ciri-ciri Keluarga Sakinah
Keluarga dapat dikatakan keluarga yang sakinah jika mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:9
a. Pembentukan Rumah Tangga
Ketika menyetujui pembentukan rumah tangga, suami dan istri bukan
sekedar melampiaskan kebutuhan seksual mereka, namun tujuan utamanya
adalah saling melengkapi dan menyempurnakan, memenuhi panggilan fitrah dan
sunnah, menjalin persahabatan dan kasih sayang, serta meraih ketenangan dan
8 Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996), Cet. Ke-4, h.16
9 Ali Qaimi, Single Parent Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak, (Bogor: Cahaya,2003),
h. 15-18
18
ketentraman insani. Dalam memilih jodoh, standar dan tolak-ukur islam lebih
menitik beratkan pada sisi keimanan dan ketakwaan.
b. Tujuan Pembentukan Rumah Tangga
Tujuan utamanya menuju dijalan yang telah digariskan Allah SWT dan
senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya.
c. Lingkungan
Dalam keluarga, upaya yang senantiasa digalakkan adalah memelihara
suasana penuh kasih sayang dan masing-masing anggota menjalankan tugasnya
masing-masing secara sempurna. Lingkungan rumah tangga merupakan tempat
yang cocok bagi pertumbuhan, ketenangan, pendidikan, dan kebahagiaan para
anggotanya.
d. Hubungan Antara Kedua Pasangan
Dalam rumah tangga, suami istri berupaya saling melengkapi dan
menyempurnakan. Mereka berusaha untuk saling menyediakan sarana bagi
perkembangan dan pertumbuhan sesama anggotanya.
e. Hubungan Dengan Anak-anak
Orang tua menganggap anak-anak mereka sebagai bagian dari dirinya.
Asas dan dasar hubungan yang dibangun dengan anak-anak mereka adalah
penghormatan, penjagaan hak-hak, pendidikan dan bimbingan yang layak,
19
kemurnian kasih dan sayang, serta pengawasan terhadap akhlak dan perilaku
anak-anak.
f. Duduk Bersama
Orang tua senantiasa siap duduk bersama dan berbincang dengan anak-
anaknya, menjawab berbagai pertanyaan mereka, serta senantiasa berupaya untuk
memahami dan menciptakan hubungan yang mesra. Manakala berada disamping
ayah dan ibunya, anak-anak akan merasa aman dan bangga. Mereka percaya
bahwa keberadaan ayah dan ibu adalah kebahagiaan. Bahkan mereka senantiasa
berharap agar kedua orang tuanya selalu berada disampingnya dan jauh dari
perselisihan, pertikaian, dan perdebatan.
g. Kerjasama dan Saling Membantu
Masing-masing keluarga memiliki perasaan mana yang baik bagi dirinya
adalah baik bagi yang lain. Persahabatan antara mereka adalah persahabatan
yang murni, tanpa pamrih, sangat kuat dan erat.
Aktivitas dan tindakan mereka masing-masing bertujuan untuk kerelaan dan
kebahagiaan yang lain, bukan untuk mengganggu dan saling melimpahkan
beban. Kasih sayang mereka tanpa pamrih.
h. Upaya Untuk Kepentingan Bersama
Saling berupaya untuk memenuhi keinginan pasangannya yang sejalan
dengan syari‟at dan saling memperhatikan selera masing-masing, saling menjaga
20
dan memperlihatkan serta selalu bermusyawarah yang berkaitan dengan masalah
yang sifatnya untuk kepentingan bersama.
Disamping itu yang menjadi karakteristik dari keluarga sakinah antara lain:
a. Adanya ketenangan jiwa yang ditandai dengan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
b. Adanya hubungan yang harmonis antara individu dengan masyarakat.
c. Terjamin kesehatan jasmani dan rohani serta sosial
d. Cukup sandang pangan dan papan.
e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia
f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar
g. Adanya jaminan hari tua
h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar
Berdasarkan pengertian yang dirumuskan oleh BP4, maka dapat diuraikan
bahwa ciri-ciri keluarga sakinah adalah:
a. Keluarga dibina dari perkawinan
b. Keluarga mampu memahami hajat hidup baik secara material maupun
spritual yang layak
c. Keluarga mampu menciptakan suasana cinta kasih dan kasih sayang antara
sesama anggota
21
d. Keluarga mampu menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai keimanan,
ketaqwaan, amal shaleh, dan akhlakul karimah.
e. Keluarga mampu mendidik anak minimal sampai dengan sekolah menengah
umum
f. Kehidupan sosial ekonomi keluarga mampu mencapai tingkat yang memadai
sesuai dengan ukuran masyarakat yang maju dan mandiri.10
D. Membentuk Keluarga Sakinah
Dalam suatu perjalanan rumah tangga tidak selalu berisikan senyum dan tawa,
tetapi sesekali pasti terdapat perselisihan antara suami dan istri. Karena itulah, ketika
hendak melangkah ke jenjang perkawinan dianjurkan memilih jodoh yang baik
(sholeh atau sholeha) hal ini tidak lain hanya bertujuan untuk membina perkawinan
yang bahagia, sakinah, dan harmonis. Untuk itu, dalam upaya membina keluarga
yang sakinah perlu diperhatikan berbagai aspek secara menyeluruh, diantaranya
peranan masing-masing suami dan istri, baik yang individual maupun yang dimiliki
bersama.11
Namun selain mengetahui peranan masing-masing suami dan istri, terdapat
langkah-langkah yang harus tempuh dalam membentuk keluarga sakinah, yaitu:12
10
Danuri, Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga, ( Yogyakarta: LPPK IKIP,
1976), h. 19 11
Dedi Junaedi, Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As- Sunnah
(Jakarta:Akademika Pressindo, Edisi Pertama, 2003), h. 220 12
Ali Qaimi, Single Parent Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak,(Bogor: Cahaya, 2003),
h.187
22
a. Saling pengertian.
b. Saling sabar.
c. Saling terbuka.
d. Toleransi.
e. Kasih sayang.
f. Komunikasi.
g. Adanya kerjasama.
Selain itu, untuk mewujudkan keluarga sakinah/teladan setidaknya ada hal-hal
yang harus dilakukan diantaranya adalah:
1. Perhatikan pendidikan dan perolehan pengetahuan, baik formal, in formal
maupun non formal.
2. Ciptakan keluarga dengan penuh saling pengertian diantara anggota keluarga.
3. Tumbuhkan suasana keadilan, kesetaraan dan kemitrasejajaran.
4. Jauhkan diri dari sikap mau menangnya sendiri. Tumbuh kembangkan pola pikir
bahwa kreativitas untuk merubah nasib merupakan keharusan sebagai manusia.
5. Jauhkan diri dari sikap menyerah sebelum berusaha.
6. Kembangkan potensi perempuan baik posisinya sebagai anak, remaja, ibu si anak
maupun sebagai isteri.13
13
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Cet 1, h. 267
23
23
BAB III
BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB SERTA PEMIKIRANNYA
A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari
1944.1 Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Abdur
Rahman Shihab (1905-1986) adalah alumni Jam’iyyat al- Khair Jakarta, sebuah
lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang mengedepankan gagasan-gagasan
Islam modern. Sang ayah juga seorang Ulama tafsir, yang semasa hidupnya
merupakan seorang cendikiawan terkemuka di Ujung Pandang, salah seorang pendiri
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang dan staf pengajar dengan
jabatan Guru Besar pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Ujung
Pandang.
Sang Ayah juga pernah menjabat Rektor IAIN Alauddin Ujung Pandang.
2 Jadi, sebutan “ Shihab” adalah nama keluarganya. menurut Quraish Shihab, minat
ayahnya terhadap ilmu memang cukup besar, sehingga walaupun sibuk
berwiraswasta, beliau selalu berusaha menyisihkan waktunya untuk berdakwah dan
mengajar baik di masjid maupun di perguruan tinggi. Nampaknya, kecintaan sang
ayah terhadap ilmu inilah yang kemudian memotivasi Quraish Shihab dalam
1 M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h. 6
2Edi Bahtiar, Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia: Telah Terhadap Pemikiran M.
Quraish Shihab, Tesis Master IAIN Jakarta, 1999, h. 1
24
studinya. Bahkan, minatnya terhadap studi al-Qur’an pun sangat dipengaruhi oleh
sang ayah.3
Sejak kecil, Quraish Shihab sudah harus ikut mendengar sang ayah mengajar
al-Qur’an. Pada saat-saat seperti ini, selain menyuruh mengaji, sang ayah juga
menjelaskan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Dari sinilah benih
kecintaan Quraish Shihab terhadap studi al-Qur’an mulai tumbuh. Hal ini yang tak
boleh diabaikan adalah dukungan dan pengaruh sang ibu yang senantiasa mendorong
anak-anaknya untuk belajar, juga seorang yang sangat “ ketat” dalam soal agama.
Yakni ia selalu mengukur urusan agama dari sudut al al-Qur’an dan al- Hadis.4
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di daerah kelahirannya sendiri, ia
kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil nyantri di
Pondok Pesantren Daar al-Hadis al- Faqihiyyah di kota yang sama. 5Pada tahun
1958, dalam usia 14 tahun, Quraish Shihab meninggalkan Indonesia menuju Kairo
Mesir, untuk melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar. Keinginan untuk belajar
di Kairo ini terlaksana atas bantuan beasiswa dari Pemerintah Daerah Sulawesi
(waktu itu wilayah Sulawesi belum dibagi menjadi Sulawesi Utara dan Selatan).
Keputusan ini nampaknya merupakan sebuah obsesi yang sudah ia impikan
sejak jauh sebelumnya, yang barangkali muncul secara evolutif dibawah bayang-
3 M. Quraish Shihab, Muhammad, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), h. 14 4 Edi Bahtiar, Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia., h. 18
5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, h. 6
25
bayang pengaruh ayahnya. Di al-Azhar, ia diterima di kelas II Stanawiyah. Di
lingkungan al-Azhar inilah untuk sebagian besar karir intelektualnya dibina dan
dimatangkan selama lebih kurang 11 tahun.
Mesir dengan Universitas al-Azharnya, selain sebagai pusat gerakan
pembaharuan Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al-Qur’an.
Sejumlah tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah mufassir yang
“dibesarkan” di Mesir. Tak heran jika banyak peminat studi keislaman pada waktu
itu, dan juga saat ini, memilih Mesir sebagai tempat studi dan pusat pembelajaran
ilmu-ilmu keislaman.
Sejak di Indonesia, sebelum Quraish Shihab berangkat ke Mesir untuk
melanjutkan studinya, minatnya adalah studi al-Qur’an. Karena itu, ketika nilai
Bahasa Arab yang dicapai di tingkat menengah dianggap kurang dan tak diizinkan
melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas al-Azhar,
Quraish Shihab bersedia mengulang satu tahun. Padahal, dengan nilai yang
dicapainya itu, sejumlah jurusan lain di lingkungan Universitas al- Azhar bersedia
menerimanya. Bahkan dia juga diterima di Universitas Kairo dan Daar al-Ulum.
Belakangan Quraish Shihab mengakui bahwa pilihannya itu ternyata tepat. Sebab
selain minat pribadi, pilihannya itu sejalan dengan besarnya kebutuhan umat manusia
akan al-Qur’an dan penafsirannya.
26
Seperti layaknya mahasiswa penerima beasiswa, di Mesir Quraish Shihab
hidup sederhana. Inilah yang mengantarkannya tidak merokok hingga sekarang.
Quraish Shihab juga tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas kemahasiswaan.
Meskipun demikian, Quraish Shihab sangat aktif memperluas pergaulannya terutama
dengan sejumlah mahasiswa yang berasal dari negara lain untuk memperluas
wawasan,6 mengenai kebudayaan bangsa-bangsa tersebut dan sekaligus untuk
memperlancar Bahasa Arab.
Belajar di Mesir, seperti diketahui, sangat menekankan aspek hafalan. Hal ini
juga diakui oleh Quraish Shihab. Karena itu, jika ujian jawaban tidak persis dengan
catatan maka nilainya akan kurang. Tak heran jika di Mesir kisahnya, terutama pada
musim hujan, banyak orang belajar sambil berjalan-jalan. Selain harus memahami
teks yang harus dipelajari, mereka juga diharuskan untuk menghafalnya.
Biasanya, setelah salat subuh, ia belajar memahami teks, selanjutnya berusaha
menghafalnya sambil berjalan-jalan. Quraish Shihab tampaknya sangat mengagumi
kuatnya hafalan orang-orang Mesir, terutama dosen-dosennya di Universitas al-
Azhar. Dalam pandangan Quraish Shihab, belajar dengan cara menghafal semacam
ini sebenarnya bukan tidak ada lagi segi positifnya. Bahkan menurutnya, nilai positif
akan semakin bertambah jika kemampuan hafalan itu dibarengi dengan kemampuan
analisis.
6 Rifyal Ka’bah, Banyak yang harus Dibenahi dalam Beberapa Persoalan Tentang Studi
Islam diBarat, U lumul Qur’an, Vol.3, no. 5 (1994,), h. 22
27
Pada tahun 1967, dalam usia 23 tahun, ia berhasil meraih gelar Lc (Licence)
atau setingkat dengan Sarjana Strata Satu, pada Fakultas Usuluddin Jurusan Tafsir
dan Hadis Universitas al-Azhar Kairo, dan kemudian melanjutkan studinya pada
Fakultas yang sama.
Dua tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1969, ia berhasil merih gelar
M.A.( Master of Art) dalam spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an. Dengan tesis yang
berjudul al-I’jaz al-Tasyri’ li al-Qur’an al-Karim. Pilihan untuk menulis tesis
mukjizat ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi didasarkan pada pengamatannya
terhadap realitas masyarakat muslim. Menurutnya, gagasan tentang kemukjizatan al
al-Qur’an di kalangan masyarakat muslim telah berkembang sedemikian rupa
sehingga sudah tidak jelas lagi, apa itu mukjizat dan apa itu keistimewaan al-Qur’an.
Mukjizat dan keistimewaan al-Qur’an menurut Quraish Shihab merupakan dua hal
yang berbeda, tetapi keduanya masih sering dicampur adukkan bahkan oleh kalangan
ahli tafsir sekalipun.7
Setelah menyelesaikan studi Masternya, Quraish Shihab kembali ke daerah
asalnya Ujung Pandang. Disini ia dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor Bidang
Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin Ujung Pandang. Selain itu, ia
juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik didalam kampus seperti Koordinator
Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun diluar
7 M. Quraish Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan ( Bandung: Mizan 2001), h. 2
28
kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental.8
Selama masa karirnya sebagai dosen pada periode pertama di IAIN Alauddin
Ujung Pandang, Quraish Shihab telah melakukan beberapa penelitian, antara lain
penelitian tentang “ Penetapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur”
(1975) dan “ Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).9 Selama periode pertama
tugasnya sebagai staf pengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang, Quraish Shihab
belum menunjukkan produktivitas yang tinggi dalam melahirkan karya tulis.
Sepuluh tahun lamanya Quraish Shihab mengabdikan dirinya sebagai staf
pengajar di IAIN Alauddin Ujung Pandang dan mendarmabaktikan ilmunya kepada
masyarakat. Meskipun ia telah menduduki sejumlah jabatan, semangat Quraish
Shihab untuk melanjutkan pendidikan tetap menyala-nyala. Ayahnya selalu berpesan
agar ia berhasil meraih gelar doktor. Karena itu, ketika kesempatan untuk
melanjutkan studi itu datang, tepatnya pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke
Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamaternya Universitas al-Azhar. Dua tahun
lamanya ia menimba ilmu di Universitas Islam tertua itu, dan pada tahun 1982,
dengan disertasi yang berjudul Nazm al-Durar li al-Biqa’i: Tahqiq wa al-Dirasah, ia
berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium Summa
8M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h.6 9 M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h.6
29
cum laude disertai penghargaan tingkat pertama. Perlu dicatat,10
Quraish Shihab
adalah orang Asia Tenggara pertama yang menyandang predikat ini.
Setelah berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu al al-Qur’an di
Universitas al-Azhar, Quraish Shihab kembali ke tempat tugas semula, mengajar di
IAIN Alauddin Ujung Pandang. Dalam masa tugasnya pada periode kedua di IAIN
Alauddin Ujung Pandang ia menulis karya berjudul Tafsir al-Manar: Keistimewaan
dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984). Tidak sampai dua tahun
di IAIN Alauddin Ujung Pandang, pada tahun 1984 ia hijrah ke jakarta dan
ditugaskan pada Fakultas Ushuluddin dan Program Pasca Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Suasana kehidupan akademis di ibu kota tentu saja menghadirkan banyak
tantangan, khususnya bila dibandingkan dengan suasana akademis di Ujung Pandang,
tetapi juga menawarkan sejumlah kesempatan bagi dinamika intelektual dan
keilmuannya. Disini ia bergaul dan berinteraksi dengan berbagai tradisi akademis dan
berbagai pola pendekatan dalam wacana pemikiran islam, yang dalam beberapa hal
mungkin berbeda dengan tradisi akademis di Universitas al-Azhar.
Selain mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan, seperti
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 1984, Anggota Badan Lajnah
Pentashih al-Qur’an Departemen Agama sejak 1989, Anggota Badan Pertimbangan
10
M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h.6
30
Pendidikan Nasional sejak 1989, dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dalam
organisasi-organisasi profesi, ia duduk sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu
Syari’ah. Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, dan ketika Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) berdiri,
Quraish Shihab dipercaya menduduki jabatan sebagai asisten ketua umum. Di sela-
sela kesibukannya sebagai staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan jabatan-
jabatan di luar kampus itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan diskusi dan
seminar, di dalam maupun diluar negeri.11
Kemudian sejak 1995, Quraish Shihab mendapat kepercayaan untuk
menduduki jabatan Rektor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan ini jelas
merupakan posisi strategis untuk merealisasikan gagasan-gagasannya. Adapun pada
jabatan struktural pemerintahan, Quraish Shihab pernah dipercaya untuk menduduki
jabatan sebagai Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII. Tetapi kabinet itu
hanya bertahan dua bulan dan jatuh pada tanggal 21 Mei 1998.12
Pada tahun 1999,
pada Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, ia diangkat sebagai Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Mesir.
Dari latar belakang keluarga dan pendidikan seperti ini, nampak bahwa hal
inilah yang menjadikannya seorang yang mempunyai kompetensi yang cukup
menonjol dan mendalam di bidang tafsir di Indonesia. Dengan kata lain, menurut
11
M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h. 6 12
Edi Bahtiar, Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia, h. 23
31
Howard M. Frederspiel, kondisi di atas menjadikan Quraish Shihab terdidik lebih
baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang-pengarang lainnya yang terdapat
dalam Popular Indonesia of the Qur’an.13
B. Karya-Karya M. Quraish Shihab
Quraish Shihab sudah mulai aktif menyajikan sejumlah makalah pada
berbagai diskusi dan seminar sejak tahun 1970-an, dan keaktifannya itu semakin
tinggi Frekuwensinya sepulangnya ia dari menyelesaikan studi doktornya di
Universitas al-Azhar, Mesir tahun 1982. Namun demikian, baru awal tahun 1990-an
tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam bentuk buku untuk menjadikan bacaan
khalayak umum.
Dalam banyak karyanya, Quraish Shihab selalu merujuk suatu persoalan yang
dibahas pada ayat al-Qur’an. Hal ini tidaklah mengherankan karena ia dikenal
sebagai pakar tafsir al-Qur’an. Karya-karyanya tidaklah terbatas pada bidang tafsir
saja, oleh karena ia seorang pakar tafsir al-Qur’an, secara tidak langsung, ia juga
menguasai berbagai disiplin ilmu-ilmu Islam lainnya. Dari karya-karyanya terlihat
bahwa betapa luas wawasannya dalam disiplin berbagai ilmu pengetahuan secara
umum.
Quraish Shihab dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Tulisan-
tulisannya tidak hanya ditemukan dalam bentuk buku yang sudah beredar, tetapi juga
13
Howard M. Frederspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dan Mahmud yunus hingga
Quraish Shihab, Ahli Bahasa Tajul Arifin 9 Bandung: Mizan 1999), h. 295
32
tersebar di berbagai jurnal ilmiah dan media massa. Quraish Shihab merupakan
seorang pemikir muslim yang berhasil mengkomunikasikan ide-idenya dengan
khalayak pembaca. Banyak dari karya-karyanya telah dicetak ulang, dan menjadi
karya “ best seller”. Ini menunjukkan perhatian masyarakat terhadap karya-karyanya
cukup besar. Karyanya Membumikan al-Qur’an: Fungsi Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992) telah mengalami cetak ulang kedelapan belas
sejak pertama diterbitkan tahun 1992 sampai 1998. Demikian pula karyanya lentera
hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan. 2000), Wawasan al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung; Mizan, 1996). Masing-
masing telah mengalami cetak ulang dua puluh kali ( antara1994-2000), dan tiga
belas kali (1996-2003).
Howard M. Federspiel menggambarkan bahwa buku pertama dari tiga karya
Quraish Shihab diatas adalah buku pertama memberikan ikhtisar nilai-nilai agama
yang baru, buku kedua meletakkan dasar bagi kepercayaan dan praktik Islam yang
benar, sementara buku ketiga memberikan wawasan tentang “ perilaku al-Qur’an “.14
merujuk kepada ketiga karyanya itu, setting sosial karya Quraish Shihab mencakup
atau untuk dikonsumi masyarakat awam, tetapi sebenarnya ia ditujukan kepada
pembaca yang cukup terpelajar.15
14
Howard M. Frederspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dan Mahmud yunus hingga
Quraish Shihab, Ahli Bahasa Tajul Arifin 9 Bandung: Mizan 1999), h. 296-298 15
Howard M. Frederspiel, Kajian Al-Qur’an di Indonesia dan Mahmud yunus hingga
Quraish Shihab, Ahli Bahasa Tajul Arifin 9 Bandung: Mizan 1999), h. 298
33
Tidak hanya itu, karya-karya Quraish Shihab yang sudah diterbitkan dan
beredar diantaranya adalah: pesona al-Fatihah (Jakarta: Untagma, 1986), Falsafah
Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), Tafsir al-Manar: Keistimewaan
dan Kelemahannya) IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1994), Mahkota Tuntunan ilahi
Tafsir Surat al-Fatihah (Jakarta: Untagma, 1988), Studi Kritis Tafsir al-Manar
Karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994). Tafsir al-Qur’an Nur’Karim: Tafsir Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunannya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),
Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan
Gaib (Bandung: Mizan, 1997), Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (Bandung:
Mizan, 1997), Menyikap Tabir Ilahi: al-Asma al-Husna dalam perspektif al-Qur’an
(Jakarta: Lentera, 1998) Haji Bersama M. Quraish Shihab: Panduan Praktis Menuju
Haji Mabrur (Bandung: Mizan, 1998) Yang Tersembiunya: Jin, Iblis, Setan dan
Malaikat dalam al-Qur’an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa
Lalu dan Masa Kini )Jakarta: Lentera Hati, 1999), Untaian Permata Buat Anakku:
Pesan al-Qur’an untuk Mempelai (Bandung: al- Bayan, 1999), Sejarah dan Ulum al-
Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah
(Bandung: Mizan, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung:
Mizan, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999),
Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur’an dan Hadis (Bandung: Mizan, 1999), Fatwa-Fatwa
34
Seputa Tafsir al-Quran (Bandung: Mizan, 2001), Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta, Lentera Hati, 2000), dan Perjalanan Menuju
Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-Ayat Tahlil (Jakarta Hati, 2001).
C. Corak Pemikiran M. Quraish Shihab
Sesuai dengan keahlian Quraish Shihab, pengetahuan tentang corak
pemikirannya dapat ditelusuri dari pendekatan yang digunakannya dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Persoalan-persoalan yang dibahas dalam penelitian
itu tentunya tidak terlepas dari ayat-ayat al- Qur’an, bahwa berbagai persoalan
muncul adalah dari sebab bagaimana seseorang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an,
yang kemudian akan menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Penafsiran
terhadap ayat-ayat al-Qur’an itu tidak terlepas dari corak penafsiran yang dipakai
sesorang dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an
Secara umum, corak penafsiran yang digunakan Quraish Shihab dalam karya-
karyanya adalah Tafsir bi al-Ma’sur, yaitu penafsiran dengan menggunakan metode
riwayat sebagai sumber pokoknya.16
Maksud dari menggunakan riwayat disini adalah
menyandarkan penafsiran dengan merujuk atau bersumber kepada Sunnah yang
berhubungan dengan ayat-ayat al-Qur’an, penafsiran para sahabat dan penafsiaran
para tabi’in.17
Oleh karenanya, corak pemikiran ini juga dinamakan tafsir bi al-
16
M. Quraish Shihab , dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
h.174 17
Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Alih
Bahasa Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), h.201-202
35
manqul, yaitu penafsiran dengan menggunakan riwayat.18
Lawan dari corak
penafsiran ini adalah tafsir bi al- Ra’yi, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan
menggunakan rasio sebagai titik tolak penafsiran. tafsir al-Ra’yi ini juga disebut
tafsir bi al-Ijtihad atau tafsir Ijtihad, yaitu penafsiran dengan menggunakan ijtihad.
Tafsir bi al- Ma’sur ini sebenarnya merupakan bagian dari metode tafsir
Tahlili, yaitu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan
segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya, sesuai dengan urutan bacaan
yang terdapat didalam al-Qur’an Mushaf Usmani. Dalam penggunaannya, corak
tafsir bi al-Ma’sur ini tidak hanya monopoli dari metode tafsir tahlili, tetapi juga
mendapat bagian didalam metode-metode tafsir yang lain, seperti ijmali. Muqarin
dan maudu’i.
Seseorang yang menggunakan corak penafsiran dengan tafsir bi al-ma’sur
tidaklah sepenuhnya meninggalkan rasionya, hanya saja porsi penggunaan rasio
disini lebih sedikit. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang dianggap menggunakan
corak penafsiran dengan tafsir bi al-Ra’yi, tidak sepenuhnya meningglkan riwayat.
Jika riwayat tidak digunakan, tentunya akan berubah menjadi tafsir bi al-Hawa, yaitu
tafsir atas dasar hawa nafsu atau sekehendak hatinya. Oleh karenanya, sebagian
Ulama membolehkan penggunan metode tafsir bi al-Ra’yi dengan syarat-syarat
tertentu.19
18
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, h. 174 19
M. Quraish Shihab, dkk, Sejarah dan Ulum AL-Qur’an, h. 177-178
36
Walaupun Quraish Shihab menggunakan corak tafsir bi al-Ma’sur, tetapi ia
juga menggunakan rasio. Ini terbukti dari sikapnya yang kompromi terhadap ta’wil,
20 mengindikasikan bahwa ia termasuk penafsir rasional.
21
Quraish Shihab mengatakan bahwa ta’wil akan sangat membantu dalam
memahami dan membumikan al-Qur’an ditengah kehidupan modern dan masa-masa
yang akan datang.22
Tetapi menurutnya, pemahaman terhadap ayat-ayat yang sudah
jelas, serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal, maka redaksi tersebut
tidak perlu di ta’wil-kan dengan memaksa suatu makna yang dianggap logis.
Mengenai penafsiran rasional ini, tampaknya Quraish Shihab juga sepakat
bahwa penafsiran atas teks-teks al-Qur’an juga diharuskan dengan pemikiran yang
rasional. Ia mengungkapkan bahwa tafsir seperti apa dan bagaimana pun terdapat al-
Qur’an, selama itu rasional, tidak bisa disalahkan oleh siapa pun. Sebab al-Qur’an itu
sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Arkoun, seorang pemikir Islam
Kontemporer asal al-jazair, memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tidak
terbatas.
Dengan demikian, ayat-ayat selalu terbuka untuk sebuah interpretasi baru,
tidak pernah pasti dan tertutup untuk interpretasi tunggal. Edi bahtiar dalam tesisnya,
menyimpulkan bahwa ada beberapa unsur yang membuat Quraish Shihab tergolong
20
Abdurrahman al-Bagdadi, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur’an, Alih
Bahasa Abu Laila Dan Muhammad Thohir, ( Bandung: PT Al- Ma’arif, 1998), h.14-15 21
Edi Bahtiar, Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia, h. 85 22
M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h. 91
37
baru dalam memberikan terobosan penafsiran al-Qur’an, khususnya untuk konteks
Indonesia. Unsur-unsur itu adalah: pertama, dalam menafsirkan al-Qur’an, Quraish
Shihab mempunyai internal relationship, yakni bahwa teks ayat itu merupakan satu
kesatuan yang utuh dan sehingga harus dipandang secara holistik dan integral, antara
satu ayat dengan ayat yang lain saling menafsirkan.
Hal ini sesuai dengan diktum para penafsir klasik bahwa al-Qur’an itu
yufassiru ba’duhu ba’dan, kedua, Quraish Shihab sangat memperhatikan istilah
kebahasaan yang dipakai oleh teks al- Qur’an dalam membicarakan suatu hal, sebab
kalimat tersebut sangat konteks dengan wacana bahasa ketika al-Qur’an diturunkan.
Oleh karena itu, penafsiran tidak boleh dipisahkan dari konteks historis ketika
ayat tersebut turun. Kesadaran sejarah merupakan syarat mutlak dalam melakukan
empati dari horisons pembaca ke horisons pemilik teks, ketiga, prinsip penerimaan
Quraish Shihab terhadap tatanan kronologi turunnya ayat-ayat al-Qur’an dapat
memberi keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan
keabadian nilainya.23
Hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut dari ketiga unsur terobosan penafsiran
Quraish Shihab diatas adalah unsur kedua, yaitu penafsiran dengan uraian
kebahasaan ketika menafsirkan teks-teks al-Qur’an. Dalam menafsirkan suatu ayat,
Quraish Shihab berpendapat bahwa diperlukan interpretasi untuk lebih menjelaskan
23
Edi Bahtiar, Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia, h. 84-85
38
apa yang dimaksud oleh suatu lafaz. Oleh karenanya, Quraish Shihab selalu
menggunakan analisis kebahasaan terhadap teks al-Qur’an.
Bahwa disepakati oleh semua pihak untuk memahami kandungan al-Qur’an
diperlukan pengetahuan Bahasa Arab yang mendalam. Untuk memahami arti suatu
kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seseorang terlebih dahulu harus meneliti apa
saja pengertian yang terkandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang
paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.
Penggunaan aspek kebahasaan ini terlihat dari beberapa karyanya, seperti
Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudu’i Atas Berbagai Persoalan Umat dan Tafsir al-
Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Menurut Quraish Shihab, meskipun al-Qur’an menggunakan kosakata yang
digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya, namun, pengertian kosakata
tersebut tidak terlalu sama dengan pengertian-pengertian yang populer dikalangan
mereka. Di sisi lain, perkembangan Bahasa Arab dewasa ini telah memberikan
pengertian-pengertian baru bagi kosakata-kosakata yang juga digunakan oleh al-
Qur’an.24
Seorang mufassir, dengan lebih menitik beratkan pada kaidah kebahasaan dan
konteks pembicaraan ayat, harus memperhatikan penggunaan al-Qur’an disetiap
kosakata, dan mendahulukannya dalam memahami kosakata tersebut dari pengertian
24
M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h. 81
39
yang dikenal pada masa pra-Islam. Bahkan secara umum, tidak dibenarkan untuk
menggunakan pengertian-pengertian baru yang berkembang kemudian. namun,
apabila tidak ditemukan pengertian-pengertian khusus Qur’an bagi satu kosakata atau
terdapat petunjuk bahwa pengertian Qur’an tersebut bukan yang dimaksud oleh ayat,
maka dalam hal ini seseorang mempunyai kebebasan memilih arti yang
dimungkinkan menurut pemikirannya dari sekian arti yang dimungkinkan oleh
penggunaan bahasa.25
Model penafsiran dengan uraian kebahasaan ini dilakukan Quraish Shihab
dengan konsisten di setiap ayat pada surat-surat yang dikajinya. Ia sangat
memperhatikan arti kosakata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk pada
pandangan pakar bahasa bagaimana kosakata iti digunakan al-Qur’an, dan
memahami arti ayat atas dasar kenapa digunakannya kata tersebut oleh al-Qur’an.
Langkah ini penting mengingat al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian
semantik dan satu kata yang digunakan oleh masyarakat Arab yang ditemuinya,
kemudian memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut.26
25
M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan,1999), h. 81-82 26
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hinga Ideologi ( Jakarta:
Teraju, 2003), h. 234
40
40
BAB IV
ANALISIS KONSEP KELUARGA SAKINAH M. QURAISH SHIHAB
A. Konsep Keluarga Sakinah Menurut M. Quraish Shihab
Keluarga adalah “unit terkecil” yang memiliki pimpinan dan anggota,
mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing
anggotanya. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan,
rahmat, dan kasih sayang, ghirah ( kecemburuan positif) dan sebagainya.1 selain itu
membina keluarga sakinah merupakan idaman setiap rumah tangga, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Allah swt dan menjadi dambaan setiap pasangan suami istri.
Dari data yang saya temukan, bahwasanya kata sakinah ditemukan di dalam
Al-Qur‟an sebanyak enam kali di samping bentuk lain seakar dengannya. Secara
keseluruhan, semuanya berjumlah 69.
Kata sakinah berasal dari sakana-yaskunu, pada mulanya berarti sesuatu yang
tenang atau tetap setelah bergerak.2 Kata ini antonim dari idtirab (kegoncangan), dan
tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah
sebelumnya terjadi gejolak, apapun latar belakangnya. Rumah dikatakan maskan.
karena ia merupakan tempat untuk istirahat setelah beraktivitas. Begitu juga waktu
1 M. Quraish Shihab , Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung: Mizan, 1999), h. 255 2 Al- Asfahani, Al-Mufradat Fi garibil- Qur‟an, ditahqiq oleh Muhammad Sayyid al- Kailani,
(Beirut: darul- ma‟rifah, t.th). pada term sakana, h.236
41
malam, dinyatakan oleh al-Qur‟an dengan sakan3 , karena ia digunakan untuk tidur
dan istirahat setelah sibuk mencari rezeki di siang hari.
Pada mulanya, kata sukun digunakan untuk menunjukkan arti ketenangan
yang bersifat jasmani, sementara sukun yang berarti ketenangan dan kesenangan yang
bersifat rohani adalah majaz isi’arah.4 Sakinah atau ketenangan, atau antonim
kegoncangan. Kata ini tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan
dan ketenteraman setelah sebelumnya ada gejolak, apa pun bentuk gejolak tersebut.
Kecemasan menghadapi musuh, atau bahaya, atau kesedihan dan semacamnya bila
disusul dengan ketenangan batin yang mendalam, maka ketenangan tersebut dinamai
sakinah. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh ketidak pastian, yang
mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan
ketenteraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan.
Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain
akan membantunya mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih mampu
menghadapi tantangan. Karena alasan-alasan inilah maka manusia kawin,
berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat bahwa
keberpasangan manusia bukan hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi
lebih dari pada itu. Ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.
Ketenangan itu di dambakan oleh suami setiap saat, termasuk saat dia meninggalkan
rumah dan anak istrinya, dan dibutuhkannya pula oleh istri lebih-lebih saat suami
3 Surah al-An‟am/6:96
4 Ibnu Asyur, at-Tahrir wat-Tanwir,(t.t:t.p,t.th),jilid XIII,h.3234
42
meninggalkannya keluar rumah. Ketenangan serupa dibutuhkan juga oleh anak-anak
bukan saja saat mereka berada di tengah keluarga, tetapi sepanjang masa.
Bahwa sakinah harus didahului oleh gejolak, menunjukkan bahwa ketenangan
yang dimaksud adalah ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat-
saat di mana gejolak bahkan kesalahpahaman dapat terjadi, namun ia dapat segera
tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. Ia tertanggulangi bila agama, yakni tuntunan-
tuntunannya, di pahami dan dihayati oleh anggota keluarga, atau dengan kata lain bila
agama berperan dengan baik dalam kehidupan keluarga.
Sakinah, bukan sekedar apa yang terlihat pada ketenangan lahir, yang
tercermin pada kecerahan air muka, karena yang ini bisa muncul akibat keluguan,
ketidaktahuan, atau kebodohan, tetapi sakinah terlihat pada kecerahan air muka yang
disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh
ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan kesucian hati, serta
bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad yang kuat.
Sebagaimana dikemukakan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya “Secercah
Cahaya Illahi” bahwa sakinah, tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi
kehadirannya. Kalbu harus disiapkan dengan kesabaran dan ketakwaan, karena
sakinah “diturunkan” Allah ke dalam kalbu. Sakinah baru diperoleh setelah melalui
beberapa fase, bermula dari mengosongkan kalbu dari segala sifat tercela dan buruk,
dengan jalan menyadari dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, kemudian
“memutuskan hubungan” dengan masa lalu yang kelam, dengan penyesalan dan
43
dengan pengawasan ketat terhadap diri menyangkut hal-hal mendatang, disusul
dengan mujahadah/perjuangan melawan sifat-sifat jiwa yang tercela, dengan
mengedepankan sifat-sifatnya yang terpuji, mengganti yang buruk dengan yang baik,
seperti kekikiran dengan kedermawanan, kecerobohan dengan keberanian, egoisme
dengan pengorbanan, sambil memohon bantuan Allah dengan berzikir mengingat-
Nya, yang kesemua itu dapat disimpulkan dengan upaya menghiasi diri dengan
ketabahan dan takwa.
Sifat sifat itulah yang mengantar kepada kesadaran bahwa pilihan Allah
adalah pilihan yang baik, bahkan mengantarnya untuk “Tidak menghendaki untuk
dirinya kecuali apa yang dikehendaki-Nya, tidak juga mengharapkan sesuatu, kecuali
apa yang ditetapkan-Nya untuk yang bersangkutan”. Saat itu, pasti kecemasan
betapapun hebatnya akan berubah menjadi ketenangan, dan ketakutan betapapun
mencekamnya akan beralih menjadi ketenteraman. Itulah tanda bahwa “sakinah”
telah bersemayam di dalam kalbu.5
Ada faktor-faktor yang diperlukan dalam membentuk keluarga sakinah menurut
M. Quraish Shihab. agar nikah (penyatuan) dan zawaj (keberpasangan) itu langgeng
lagi diwarnai oleh sakinah, agama menekankan sekian banyak hal, diantara lain:
1. Kesetaraan
Kesetaraan ini mencakup banyak aspek, seperti kesetaraan dalam kemanusiaan.
Tidak ada perbedaan dari segi asal kejadian antara lelaki dan perempuan. Sekian kali
5 M. Quraish Shihab , Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 80-83
44
kitab suci al-Qur'an menegaskan bahwa ba’dhukum min ba’dh( sebagian kamu dari
sebagian yang lain. Ini adalah satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa
lelaki sendiri aau suami sendiri, belumlah sempurna ia baru sebagian demikian juga
perempuan, sebelum menyatu dengan pasangannya. Mereka baru sempurna bila
menyatu dan bekerja sama. QS.al- Imran (3):195 yang menggunakan istilah tersebut
berpesan bahwa, baik lelaki maupun perempuan lahir dari sebagian lelaki dan
sebagian perempuan, yakni perpaduan antara sperma lelaki dan indung telur
perempuan. karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan dan derajat
diantara mereka. Kalima serupa dikemukakan dalam hubungan suami istri, “
bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mas kawin), padahal sebagian kamu
telah (bercampur) dengan sebagian ang lain (sebagai suami istri) (QS. An-Nisa (4):.
21). “percampuran “yang direstui Allah terjadi berkat kerja sama dan kerelaan
masing-masing untuk membuka rahasia yang terdalam, dan ini tidak mungkin terjadi
tanpa adanya kemitraan antara kedunya.
Ayat lain yang menggunakan istilah diatas adalah dalam konteks kerja sama
dalam kehidupan bermasyarakat: “ orang-orang mukmin (lelaki) dan orang-orang
mukminat (perempuan) sebagian mereka menjadi auliya (penolong, pembantu,
pendukung) bagi sebagian yang lain (QS. At- Taubah (9):71.
Dahulu, ulama-ulama menekankan kafaah dari segi keturunan dan agama.
Namun, kini kafaah dan kesetaraan lebih ditekankan di samping pada pandangan
hidup/agama, juga pada budaya, tingka pendidikan, serta usia.
45
2. Musyawarah
Pernikahan yang sukses bukan saja ditandai oleh tidak adanya cekcok antara suami
istri, bisa saja cekcok tidak terjadi bila salah satu pasangan menerima semua yang
dikehendaki oleh pasangannya menerimanya tanpa diskusi atau tanpa satu kata yang
menampakkan keberatannya. Pernikahan semacam ini memang dapat memenuhi
kebutuhan jasmani termasuk biologis kedua pasangan tetapi, pada hakikatnya, bukan
pernikahan semacam ini yang dapat dinamai sukses dan mengantar kepada kebagiaan
lahir dan batin.
Pernikahan yang melahirkan mawadah dan rahmah adalah pernikahan yang
didalamnya kedua pasangan mampu berdiskusi menyangkut segala persoalan yang
mereka hadapi, sekaligus keluwesan untuk menerima pendapat mitranya. Penerimaan
yang tulus dan tidak menilainya sebagai mengurangi kehormatan siapa yang
menerima itu.
Pernikahan meraih sukses bila kedua pasangan memiliki kesadaran bahwa
hidup bersama adalah take and give harus silih berganti ke depan, bahwa hidup
berumah tangga walaupun disertai dengan aneka masalah dan kesulitan jauh lebih
baik daripada hidup sendiri-sendiri.
Pada saat bermusyawarah atau berkomunikasi, banyak sekali tuntunan dan
tata cara yang diajarkan agama, mulai dari sikap batin dan kesediaan memberi maaf,
kelemah lembutan dan kehalusan kata-kata, sampai kepada ketekunan mendengar
mitra musyawarah/ diskusi .(QS. Ali Imran (3) 159.
46
3. Kesadaran akan Kebutuhan Pasangan
Kitab suci al-Qur‟an menggarisbawahi bahwa suami maupun istri adalah
pakaian untuk pasangannya. (QS. Al-Baqaroh (2): 187). Ayat ini menggaris bawahi
sekian banyak hal yang harus disadari oleh suami dan istri guna terciptanya keluarga
sakinah.
Kebutuhan tersebut banyak dan beraneka ragam tidak hanya dalam bidang
jasmani atau seks, tetapi juga ruhani sedemikian banyak hingga dia tidak putus. Begiu
kebutuhan tersebut tidak dirasakan lagi, ketika itu pula cinta memudar dan
pernikahan goyah.
B. Upaya-Upaya Dalam Pembentukan Keluarga Sakinah
Untuk mencapai keluarga yang sakinah, seorang individu hendaknya
mengupayakannya sedini mungkin, yaitu sejak masa pra pernikahan, kemudian
dilanjutkan pada saat menjalani kehidupan rumah tangga.
1. Masa Pra Pernikahan
Landasan pernikahan yang Islami merupakan upaya yang perlu
dilakukan seseorang ketika ia sudah memiliki keinginan dalam menuju
gerbang pernikahan. Karena perkawinan atau pernikahan seperti dinyatakan di
dalam Al-Quran merupakan sebuah ikatan yang suci dan kuat (mitsaqan
ghalizan) antara seorang laki-laki dan seorang wanita.
Melalui pernikahan, Islam menghendaki agar hubungan antara laki-
laki dan wanita menjadi kuat, mantap, dan kekal, serta dapat menjadi
47
pasangan yang bersatu dalam kerja, maksud, tujuan, serta cita-cita.6 Menurut
Syekh Abdul Halim Mahmud melalui pernikahan Allah menghendaki agar
seorang istri yang shalihah menjadi penenteram bagi suami dengan segala
makna yang terkandung dalam kata “tenteram”, yang meliputi: kepuasan,
ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, dan seterusnya.
Menikah merupakan perintah Allah swt dan sunnah Rasul saw. Firman Allah
didalam QS. An-Nur (24): 32
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-
wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Oleh karena itu, sudah semestinya bagi seseorang yang akan
melaksanakan pernikahan diniatkan untuk beribadah kepada Allah dan
melaksanakan sunnah rasul, selain sebagai sarana penyaluran kebutuhan
biologis yang baik dan benar menurut agama.
Islam merupakan agama yang ajarannya sangat kompleks. Demikian
juga dengan masalah pernikahan berserta hal-hal yang berhubungan dengan
pernikahan, juga telah diatur dengan sempurna di dalam Al-Quran dan Hadits.
6 Ahmad Abdurrahman, Fadhilah Wanita Salihah, h. 37
48
Yang dimaksud dengan hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan adalah
hal-hal yang sebaiknya dilakukan menjelang pernikahan seperti melamar,
sampai kemudian menikah beserta walimahnya.
Untuk melamar itu sendiri, Islam juga mempunyai tata caranya sendiri
yang mana diperbolehkan bagi peminang untuk melihat wanita yang akan
dipinangnya sebatas yang diperbolehkan oleh agama.7 Tujuan dari melihat
tersebut adalah sebatas bagi laki-laki yang akan meminangnya dapat melihat
rupa wanita yang akan dipinangnnya sehinga diharapkan ditemui kecocokan
daripadanya. Sedangkan dalam hal memilih calon yang dilamar (yang akan
dinikahinya), kepada laki-laki dianjurkan supaya hati-hati terhadap wanita
jahat dengan alasan wanita seperti itu hanya akan membawa kepada
keburukan (tidak akan membawa kepada kebaikan). Juga dianjurkan supaya
menerima pinangan orang yang baik dalam agama dan berakhlak mulia,
karena jika menolak akan menimbulkan fitnah.
Selain itu menurut Sayyid Sabiq, Islam juga mensunnahkan untuk
memilih wanita yang mempunyai kriteria sebagai berikut:
a) Shalihah (taat dalam menjalankan agama)
b) Perawan/gadis
c) Keturunan orang shaleh
d) Sayang kepada anak-anak
7Ahmad Abdurrahman, Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 2000), h. 114
49
e) Cantik, dan ringan maharnya
f) Tidak mandul8
Sedangkan untuk adabnya dalam melamar antara lain:
1. Seorang mukmin tidak boleh meminang atau melamar wanita yang masih
dalam lamaran lelaki lain, sebelum ia benar-benar melepaskannya.
2. Apabila dua orang laki-laki hendak meminang seorang wanita, maka laki-
laki pertamalah yang lebih berhak.
3. Boleh menerima pinangan seseorang seandainya peminang pertama
adalah orang yang kurang baik (tidak shaleh), sedangkanpeminang kedua
adalah orang yang shaleh.
4. Wajib menjauhi cara-cara melamar yang non Islami seperti tukar cincin,
dll. Jika meniru cara mereka berarti digolongkan dengan mereka.
5. Dilarang meminang wanita yang masih dalam „iddah dengan terang-
terangan, kecuali dengan sindiran.
Kemudian untuk masalah menikah, Islam menganjurkan kepada lelaki
muslim untuk menikahi wanita yang shalihah, yang mana wanita tersebut
patuh menjalankan perintah suami, menyenangkan jika dilihat, mendengarkan
perkataan suami dan menaatinya, serta menjaga diri dan harta jika
ditinggalkan oleh suami.9 Juga hendaknya memperhatikan keturunan calon
8 Ahmad Abdurrahman, Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 2000), h. 115 9 Ahmad Abdurrahman, Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 2000), h. 115
50
istri, karena dilarang menikahi wanita yang cantik tapi berasal dari keturunan
yang buruk. Sebagaimana juga wajibnya menikahi wanita atas pertimbangan
agamanya dan bukan karena hartanya, martabatnya, atau kecantikannya.
Selain itu di dalam sunnah nabi dikatakan supaya menikahi wanita yang
banyak anaknya (tidak mandul), dan dianjurkan menikah dan menggauli istri
pada bulan Syawal,10
dan lain sebagainya.
Menikah merupakan sunnah Rasulullah saw, dan dengan menikah
berarti telah menolong agamnya.11
Untuk melaksanakan pernikahan yang sah
menurut agama maka harus terpenuhi rukun-rukunnya, yaitu adanya:
a. Wali
b. Dua orang saksi
c. Shigat akad
d. Mahar
2. Masa dalam Pernikahan (Rumah Tangga)
Keluarga sakinah merupakan keluarga ideal dan idaman. Oleh
karenanya, untuk membentuk keluarga yang bisa dikatakan sebagai keluarga
yang sakinah, sebuah rumah tangga harus mengupayakan terpenuhinya
beberapa kebutuhan yang antara lain:
a. Kebutuhan Lahiriyah
10
Ahmad Abdurrahman, Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 2000), h. 116 11
Ahmad Abdurrahman, Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap (Cirebon: Pustaka
Nabawi, 2000), h. 116
51
Kebutuhan lahiriyah adalah kebutuhan yang berkenan dengan kebutuhan
lahir atau yang biasa disebut dengan kebutuhan dhohir manusia. Biasanya
kebutuhan lahiriyah manusia identik dengan nafkah yang sifatnya materi.
Memang tidak salah anggapan tersebut. Karena pada dasarnya nafkah itu
sendiri sudah mencakup beberapa hal yang sifatnya sangat penting dan masuk
dalam kebutuhan primer manusia, seperti kebutuhan sandang, pangan dan
papan.
Sebuah rumah tangga yang kekurangan dalam kebutuhan primer atau
bahkan tanpa adanya nafkah tersebut tidak mungkin bisa bertahan lama. Oleh
karena itu, di dalam sebuah keluarga harus ada yang berperan sebagai tulang
punggung keluarga yang dalam hal ini dibebankan kepada suami dan atau
ayah. Suami atau ayahlah yang bertugas sebagai pencari nafkah bagi
keluarganya.12
Firman Allah QS. An-Nisa (4): 34
Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
12
Ahmad Abdurrahman, Lelaki Salih 2, (Cirebon: Pustaka Nabawi, 2000), h. 70
52
sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Dari ayat tersebut dijelaskan alasannya kenapa hanya kepada suami atau
ayah saja yang dibebani mencari nafkah, yaitu karena secara biologis laki-laki
mempunyai kekuatan yang lebih. Selain kepada istri, kewajiban nafkah
tersebut juga kepada anak, pembantu rumah tangga (kalau ada), dan semua
orang yang menjadi tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya yang
tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab
kepala keluarga yang bersangkutan.
b. Kebutuhan Bathiniyah
Yaitu hal-hal yang berhubungan dengan sisi bathin manusia atau yang
biasa dikatakan sebagai nafkah bathin, seperti kebutuhan biologis atau
pemuasan seksual. Dari sekian banyak kebutuhan manusia dalam hidup dan
kehidupannya, maka kebutuhan pada pemuasan seksual lebih menonjol dan
menentukan, malahan insting seksual merupakan dasar dan barometer bagi
kebahagiaan seeorang. Mengenai kebutuhan biologis ini, masing-masing dari
suami dan istri hendaknya diupayakan saling memuaskan.
Suami tidak boleh meremehkan masalah bersetubuh ini. Karena
bersetubuh merupakan kewajiban suami. Ia merupakan kebutuhan biologis
53
yang harus dipenuhi, bahkan seorang istri diperbolehkan minta cerai apabila
kebutuhan yang satu ini tidak dipenuhi.
Sedangkan kepada istri, Rasulullah saw berperan supaya jangan
menunda-nunda jika suaminya berkehendak untuk melakukannya. Bahkan
kata beliau, seorang istri wajib menuruti ajakan suaminya meskipun dalam
kondisi yang sangat sibuk.
c. Kebutuhan Spiritual
Kebutuhan Spiritual ini yang dimaksud adalah bagaimana kedua
pasangan mengkondisikan rumah tangganya selalu diwarnai dengan nuansa
agama (menghidupkan nuansa agama dirumah). Artinya semua apa yang
berlaku dan terjadi di dalamnya didasari dengan petunjuk agama, baik itu
yang berhubungan dengan tingkah laku penghuninya maupun yang
berhubungan dengan kondisi rumah itu sendiri.
Dalam sebuah hadits Nabi saw dinyatakan bahwa di dalam rumah
yang biasa dipenuhi dengan bacaan ayat-ayat Allah dan kegiatan belajar
mengajar ilmu, akan diturunkan perasaan tentang di dalam batin (sakinah) dan
dikucurkan rahmat kepada penghuninya.13
Oleh karena itu, untuk mewujudkan rumah yang penuh sakinah
mawaddah, dan rahmah adalah dengan menghidupkan majlis ta‟lim dalam
keluarga.14
Jika ketenangan batin masuk dalam jiwa-jiwa anggota keluarga
13
Ahmad Abdurrahman, Lelaki Salih 2, h. 86 14
Ahmad Abdurrahman, Lelaki Salih 2, h. 87
54
dan rahmat Allah bercucuran atas mereka, maka Allah akan melindungi
mereka dari kesusahan dan musibah. Sehingga rumah itu akan selalu dalam
keadaan tenteram dan damai, penuh dengan rahmat Illahi.
Demikian juga dengan kebutuhan pendidikan juga sangat penting
artinya bagi siapa saja, terutama pendidikan agama. Wanita pun diperintahkan
agar membekali diri dengan ilmu yang bermanfaat, yang dapat mendorongnya
sehingga mengenal Allah dan agamanya. Dalam hal ini agama tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan, semunya wajib untuk
menuntutnya.
Di dalam sebuah keluarga, suami lah yang mempunyai tanggung
jawab untuk memberi pengajaran pengetahuan agama kepada istrinya, dan
dalam pendidikan anak, istri lah yang mempunyai tanggung jawab penuh
untuk mendidik anaknya.15
C. Reinterpretasi Penafsiran Keluarga Sakinah
Keluarga sakinah merupakan keluarga yang dibina atas perkawinan
yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan meterial secara layak
dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antar anggota keluarga dan
lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak
mulia. Keluarga sakinah juga merupakan bentuk keluarga ideal yang menjadi
idaman setiap keluarga.
15 Ahmad Abdurrahman, Fadhilah Wanita Shalihah, h.71
55
Banyak ulama-ulama yang menafsirkan tentang keluarga sakinah,
mawadah dan rahmah. diantaranya menurut ulama klasik dan ulama
kontemporer.
Ibnu katsir mengartikan sakinah ialah supaya kamu dapat menjaga
kehormatanmu, supaya kamu cenderung kepadanya, supaya kamu tentram
dengannya. Kesamaan iman adalah faktor penting dalam pembentukan
sakinah wanita dinikahi karena 4 perkara: kecantikannya, nasab, hartanya,
imannya.
Sedangkan menurut ulama kontemporer dunia diantaranya menurut
Sayyid Qutb dan Wahbah Zuhaili.
Sayyid Qutb mengartikan sakinah bahwa sakinah itu berasal dari
keimanan, iman adalah wujud dari paduan ilmu dan amal dalam takwa kepada
Allah. Menilai pasangan kita itu bisa dilihat dari 3 hal: sikapnya kepada orang
tua (hormat dan sopan), sikapnya kepada anak-anak (penuh kelembutan dan
kasih sayang), sikapnya kepada sahabat-sahabatnya (setia dan dapat
dipercaya). Jangan menikah hanya karena: kecantikannya (karena hanya akan
mendatangkan fitnah), nasab (karena akan menjadi sumber kehinaan), harta
(karena hanya akan menjadi sumber kefakiran).
Menurut Wahbah Zuhaili ialah menafsirkan kata mawadah dan
rahmah dalam surat ar-rum ayat 21. Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan kata
mawadah memiliki arti dengan mahabah yang berarti cinta, sehingga Wahbah
56
Zuhaili memberikan penafsiran kata mawadah dengan arti cinta. Ini
dilandaskan atas keilmuan bahasa arab yang dikuasai oleh Wahbah Zuhaili.
Sedangkan rahmah diartikan oleh Wahbah Zuhaili belas kasih.
Penafsiran makna mawadah dan rahmah oleh Wahbah Zuhaili dalam
menafsirkan Al-Quran lebih kepada ilmu bahasa. Wahbah Zuhaili
menafsirkan mawadah dan rahmah tersebut diatas tidak terlepas dari makna
sebenarnya. Dalam kamus bahasa arab mawadah mempunyai banyak arti
yaitu menyukai, senang, menyayangi, cinta dan kasih sayang.16
Sedangkan
rahmah mempunyai arti belas kasih dan rahmat.17
Jadi pendapat dari Wahbah
Zuhaili tentang mawadah dan rahmah pada surat Ar-Rum ayat 21 tidak
berbeda dengan arti dalam kamus bahasa. Karena penafsirannya tidak
menyimpang dari cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Menurut Prof Dr.Hamka, rahmah lebih tinggi kedudukannya daripada
mawaddah sebab ia kasih mesra di antara suami isteri yang bukan lagi
berasaskan keinginan syahwat, sebaliknya rasa kasih sayang murni yang
tumbuh dari jiwa yang paling dalam sehingga suami isteri merasakan
kebahagiaan yang tidak bertepi dan ketenangan yang tidak berbatas.
Sedangkan menurut Muhammad Quraish Shihab sakinah, mawadah
ialah untuk membentuk dan menjadikan sebuah keluarga menjadi keluarga
16
Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya:Pustaka
Progresif,1997), 1547 17 Ahmad Warson Munawwir,Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya:Pustaka
Progresif,1997), 483
57
sakinah diperlukan upaya-upaya yang harus diusahakan oleh seseorang yang
akan atau ingin membina rumah tangga, seperti pada saat memilih jodoh yang
baik untuk dijadikan pasangan hidup, bagaimana pada saat memilih jodoh
yang baik untuk dijadikan pasangan hidup, bagaimana pada saat melakukan
peminangan, sampai kemudian saat menikah beserta saat berlangsungnya
walimatul ‘ursy (resepsi pernikahan) itu sendiri yang kesemuanya harus
didasarkan pada ajaran agama islam. Upaya tersebut tidak terhenti sampai
disitu saja. Supaya rumah tangga selalu terkondisikan dengan baik dan
sempurna, maka terpenuhinya kebutuhan lahir, bathin, dan spiritual
merupakan komponen yang harus selalu dijaga.
Selanjutnya adalah masalah peminangan. Di dalam konsep hukum
islam dinyatakan bahwa syarat-syarat bolehnya melakukan peminangan,
adalah perempuan yang akan dipinang tidak dalam pinangan lelaki lain, dan
perempuan yang akan dipinang tidak terhalang secara syara‟, seperti dalam
masa iddah atau perempuan tersebut merupakan muhrim dari laki-laki yang
akan meminangnya. Sedangkan mengenai pembolehan melihat calon yang
akan dipinang itu sebatas yang diperbolehkan oleh agama dan tidak
diperkenankan menyendiri atau berduaan saja. Karena apabila hanya berduaan
saja tanpa adanya muhrimnya perempuan yang menemaninya dikhawatirkan
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang perbuatan itu bertentangan
dengan ajaran agama.
58
Setelah peminangan, langkah selanjutnya adalah pernikahan itu
sendiri. Dalam pernikahan ini, M. Quraish Shihab dan hukum Islam sama-
sama menetapkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat (mitsaqan
ghaliza), mantap, dan kekal antara seorang laki-laki dan perempuan. Adapun
mengenai syarat-syarat dan rukunnya nikah, ada sedikit perbedaan antara
keduanya yang kemungkinan disebebkan oleh perbedaan penafsiran dan atau
pemahaman terhadap nas-nas al-Quran dan al-Hadits.
Selanjutnya adalah tujuan perkawinan, ada naluri dalam jiwa makhluk
yang mengundangnya mencari pasangan. Naluri tersebut menjadi dorongan
yang amat kuat setelah seseorang mencapai usia dewasa. Ia melahirkan
gejolak, bahkan keresahan, bila tidak terpenuhi. Kesendirian dapat
mengakibatkan keterasingan dan ini melahirkan kegelisahan. Cara yang paling
ampuh mengenyahkan keterasingan dan kegelisahan itu adalah kehadiran
pasangan yang sesuai melalui ikatan luhur lahir dan bathin. Inilah yang
dimaksud oleh kitab suci al-Quran ketika menegaskan bahwa Allah
menciptakan dari jenis manusia pasangannya agar mereka memperoleh
sakinah, yakni ketenangan setelah sebelumnya ada gejolak. Untuk meraih
sakinah tersebut Allah menganugerahi manusia Potensi mawaddah dan
rahmah yang harus mereka perjuangkan wujudnya secara faktual.
Sulit menemukan padanan kata mawaddah dalam bahasa Indonesia,
karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna kata tersebut. Ia
59
pada mulanya, menurut pakar tafsir al-Biqa”i, berarti kelapangan dan
kekosongan. Pakar ini kemudian menukil pendapat al-Imam Abu al-Hasan al-
Haraly, yang menyatakan : al-Wud (mawaddah) adalah kosongnya jiwa dari
kehendak buruk. Siapa yang tidak menginginkan selainnya (objek yang
dicintainya), maka dia telah menyandang mawaddah. Kalau anda
menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain, maka
anda telah mencintainya. Tetapi jika anda menghendaki untuknya
kebaikan, serta tidak menghendaki untuknya selain itu, apapun yang
terjadi, maka mawaddah telah menghiasai hati anda. Mawaddah adalah
jalan menuju terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi
untuk siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu, dan karena itu, maka siapa
yang memilikinya, maka dia tidak pernah akan memutuskan hubungan,
apapun yang terjadi.
Paling tidak dua hal yang perlu digarisbawahi dari makna diatas :
1. Mawaddah adalah kosongnya jiwa dari maksud buruk terhadap pasangan.
2. Mawaddah menjadikan pasangan tidak menginginkan kecuali
pasangannya.
Kata mawaddah mirip dengan kata rahmat, hanya saja rahmat tertuju
kepada yang dirahmati sedang yang dirahmati itu dalam keadaan butuh, dan
dengan demikian kita dapat berkata bahwa rahmat tertuju kepada yang lemah,
sedang mawaddah tidak demikian. Rahmat adalah keprihatinan melihat
60
ketidakberdayaan satu pihak yang mendorong siapa yang merahmati berusaha
menanggulangi ketidakberdayaan itu. Dengan mawaddah dan rahmat salah
seorang pasangan tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang menyakiti hati
pasangannya, bahkan dia akan berkorban demi menyenangkan pasangannya.
Dengan mawaddah seseorang tidak akan berpoligami karena cintanya hanya
tertuju kepada seorang dan dengan rahmat seorang suami, walau butuh dan
terdorong untuk berpoligami, namun tidak akan melakukannya jika hal
tersebut dinilainya menyakitkan istrinya. Tetapi di sisi lain, seorang istri akan
merelakan suaminya menikah lagi dan berkorban untuk itu jika dia merasa
bahwa suaminya sangat membutuhkan hal tersebut. Demikian perkawinan
dalam ajaran Islam.
Tentu saja ada yang akan berkata bahwa ini adalah sesuatu yang ideal,
tetapi memang demikianlah adanya karena memang pada prinsipnya ajaran
Islam lebih mengutamakan monogami, sedang poligami hanyalah izin yang
tidak dibenarkan kecuali jika keadilan terjamin. Itu semua disebabkan karena
Islam mendambakan kebahagiaan keluarga, kebahagiaan yang antara lain
dilahirkan oleh mawaddah dan rahmat yang tertuang kepada pasangan. Ada
ungkapan dalam literatur agama yang menyatakan: Tidak ada didalam hati
dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud ini dua Tuhan. Demikian
61
pandangan tentang keesaan Tuhan. Keduanya berdasar Tauhid, yakni
Kesatuan. Itulah yang ideal, itulah yang didambakan.18
18
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2 : Memfungsikan Wahyu dalam
Kehidupan. ( Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 141-144
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan diatas, pada akhirnya
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Quraish Shihab bahwa keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi
ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan kalbu harus disiapkan
dengan kesabaran dan ketakwaan.
Sakinah/ketenangan bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke liar dengan
bentuk aktivias. Memang al-Qur’an menegaskan bahwa disyariatkannya
pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa
setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawadah, dan rahmah.”
Pendapat M. Quraish Shihab diatas, menunjukkan bahwa keluarga sakinah
memiliki indikator sebagai berikut: pertama, setia dengan pasangan hidup.
kedua, menepati janji. ketiga, dapat memelihara nama baik dan saling
pengertian. keempat, berpegang teguh pada agama.
2. Menurut Quraish Shihab, beberapa faktor untuk membentuk keluarga sakinah
ialah (a) Kesetaraan. Kesetaraan ini meliputi banyak aspek, seperti pandangan
hidup/agama, budaya, tingka pendidikan, serta usia. (b) Musyawarah.
63
Musyawarah ini diajurkan agama, untuk menyelesaikan problem yang terjadi.
Seperti kesediaan memberi maaf, kelemah lembutan dan kehalusan kata-kata,
sampai kepada ketekunan mendengar mitra musyawarah/ diskusi. (c) Kesadaran
akan Kebutuhan Pasangan. Ini meliputi kebutuhan jasmani dan rohani.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian sebagaimana yang telah dikemukakan
diatas, maka dapat diajukan saran yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam
rangka menciptakan keluarga sakinah adalah untuk selalu senantiasa
bermusyawarah minimal suami dan istri, lebih-lebih melibatkan anak-anak agar
terciptan rasa saling menyayangi dan menghormati. Dengan adanya rasa
tersebut, maka tidak akan terjadinya hal negatif dalam rumah tangga, dan pada
akhirnya akan melahirkan keluarga sakinah, keluarga yang penuh ketenangan,
kedamaian, kasih sayang dengan tuntutan al- Qur’an.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Ahmad. Lelaki Salih 2. Cirebon: Pustaka Nabawi, 2000.
Abdurrahman, Ahmad. Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap. Cirebon:
Pustaka Nabawi, 2000.
Al-Bagdadi, Abdurrahman. Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur’an,
Alih Bahasa Abu Laila Dan Muhammad Thohir. Bandung: PT Al- Ma’arif,
1998.
.Adhim, Fauzil. Memasuki Pernikahan Agung. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman. Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an,
Alih Bahasa Amirul Hasan dan Muhammad Halabi. Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1996.
As- Sabuni, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir. Mesir : Darur-Rasyad,
t.td, jilid III.
Asrofi dan Thohir M. Keluarga Sakinah dalam Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta:
Arindo Nusa Media, 2006.
Bahtiar, Edi. “Mencari Format Baru Penafsiran di Indonesia: Telah Terhadap
Pemikiran M. Quraish Shihab”. Tesis Master IAIN Jakarta, 1999.
Bakker, Anton. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.
Bakry, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga( Keluarga Yang Sakinah ) cv.
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta.
Basri, Hasan. Kelurga Sakinah (Tinjauan Psikis dan Agama). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994.
Basri, Hasan. Membina Keluarga Sakinah .Jakarta: Pustaka Antara, 1996.
Danuri. Pertambahan Penduduk dan Kehidupan Keluarga. Yogyakarta: LPPK IKIP,
1976.
65
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. ilmu fiqh.
Jakarta:Departemen Agama, 1984/1985, Jilid II, Cet, Ke-2.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hinga Ideologi.
Jakarta: Teraju, 2003.
Junaedi, Dedi. Perkawinan Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Jakarta:Akademika Pressindo, Edisi Pertama, 2003.
Ka’bah, Rifyal. Banyak yang harus Dibenahi dalam Beberapa Persoalan Tentang
Studi Islam diBarat, U lumul Qur’an, Vol.3, no. 5 (1994,).
M. Frederspiel, Howard. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dan Mahmud yunus hingga
Quraish Shihab, Ahli Bahasa Tajul Arifin 9. Bandung: Mizan 1999.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:Pustaka
Progresif,1997.
Poewadarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
Qaimi, Ali. Single Parent Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak. Bogor:
Cahaya,2003.
Rifai, Moh. Terjemah/Tafsir Al Qur’an. Semarang: CV. Wicaksana, 1993.
Shihab, M. Quraish. dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan,1999.
Shihab, M. Quraish. Mu’jizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan. Bandung: Mizan 2001.
Shihab, M. Quraish. Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-anakku.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986.
Sofwati, Nurul Lathifa Rahmasari. Keluarga Sakinah Menurut Al-Qur’an, Skripsi
Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang: 2000.
66
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, ed.revisi 2 jakarta
; PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Sutarmadi, Ahmad. Memberdayakan Keluarga Sakinah Menuju Indonesia 2020.
Surabaya: BP4 1997.
Takariawan, Cahyadi. Pernik-pernik Rumah Tangga Islami. Surakarta: Intermedia
Cetakan III, 2001.
Wahid, Mustafa Abdul. Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Diva Press,
2004.