Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
2
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
3
Untung Wahyudi
PANITIA HARI KIAMAT
Penerbit
Terban GK V/ 658 Yogyakarta 55223
E-Mail : [email protected]
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
4
PANITIA HARI KIAMAT (Kumpulan Cerpen) Penulis : Untung Wahyudin Penyunting : Emzy Desain Sampul : Akhi Dirman Al-Amin Cetakan 1 : Januari 2010
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Pasal 2 (1) Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Terban GK V/ 658 Yogyakarta 55223 E-Mail : [email protected]
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
5
PERSEMBAHAN
Bapak dan Ibu (almh.); 2 orang terbaik dalam kehidupanku,
yang telah membekali diri ini dengan semangat untuk terus berjuang menyelesaikan sekolah hingga perguruan tinggi.
Guru-guruku di Pon Pes Mathlabul Ulum dan Kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya; yang telah mengajarkan begitu banyak ilmu.
Teman-temanku se-almamater angkatan 2002 di Mathlabul Ulum Jambu-Sumenep. Dan teman-teman Kelas Akselerasi di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya 2010. Terima kasih kebersamaannya selama ini.
Teman-teman FLP yang tak pernah lelah menyemangati untuk terus menulis dan “menyerbu” media dengan karya.
Terima kasih untuk Mbak Afifah Afra, seorang penulis produktif yang saya kenal, yang telah bersedia memberikan testimoni atas karya kecil ini di tengah-tengah kesibukannya. Semoga saya bisa melaksanakan “tantangan” Mbak untuk segera menulis novel. Sekali lagi matur nuwun.
Buat Akhi Dirman Al-Amin yang mempertemukan saya dengan “Inzpiration Zone”; jazakallah khairal jaza’. Semoga ini menjadi langkah awal saya menapaki dunia perbukuan di tanah air.
Tak lupa kepada segenap pembaca yang bersedia meluangkan waktunya untuk membaca karya ini. Jika ada kebaikan itu semata-mata dari Allah. Semoga karya ini bisa menjadi jembatan untuk lebih intens berkarya. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan karya di masa mendatang.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
6
DAFTAR ISI
1. Panitia Hari Kiamat
2. Kematian Bapak
3. Sang Joki Karapan Sapi
4. Marwan dan Becak
5. Karena Kau Bukan Untukku
6. Episode Cinta yang Tertunda
7. Rokok Ozy
8. Catatan Hati Seorang Santri
9. Luka-Luka Pemilu
10. Kekasih Rahasia
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
7
PANITIA HARI KIAMAT
Kiamat sudah dekat
Jangan perbanyak maksiat!
Sebelum terlambat,
Segeralah bertobat!
Salam,
“Panitia Hari Kiamat”
“Gila! Sinting! Miring! Emang dia siapa? Asisten
Tuhan? Berani-beraninya mengatakan kalau kiamat sudah
dekat. Benar-benar edan!” Mince mencak-mencak. Rasa
kesal dalam hatinya kian menggelegak. Betapa tidak,
hampir di setiap tempat yang ia singgahi tulisan dengan
nada “ancaman” itu selalu ia temui. Kemarin malam, saat
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
8
ia dengan cukup bosan menunggu “mangsa” di tempat
mangkalnya, tulisan itu dengan jelas terpampang di
sebuah reklame di sudut taman bunga. Kemarin sore, saat
ia membesuk salah seorang rekannya di UGD, “surat
kaleng” itu juga terpajang di lobi rumah sakit. Dan
sekarang, di kamar kontrakannya tulisan yang sama juga
coba mengganggu ketenangannya.
“Benar-benar nggak ada kerjaan!” Umpatnya seraya
meraih “selebaran gelap” di depannya. Diseretnya
langkahnya ke sebuah kamar di samping kamar
kontrakannya.
“Tadi kamu lihat ada orang yang naruh kertas ini,
Yan?” tanyanya sembari memperlihatkan secarik kertas ke
depan mata salah seorang temannya.
“Nggak. Emang kertas apaan? Kertas undangan?”
Tanya waria berdandan cukup menor itu. Diraihnya
selembar kertas yang masih ada di tangan Mince itu.
Kontan kedua matanya membulat setelah tahu isi tulisan
yang dipegangnya. Ia tiba-tiba teringat isu murahan yang
berasal dari suku maya tentang ramalan kiamat 2012.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
9
“Hii… panitia hari kiamat? Emang hari kiamat itu ada
panitianya juga, ya?” waria bernama Yanti itu melepas
kertas di tangannya.
Mince dan temannya itu masih diliputi rasa heran.
Antara percaya dan tidak. Tidak mungkin kertas itu tiba-
tiba ada di kamar Mince kalau tidak ada yang
meletakkannya. Tapi siapa yang berani dan lancang masuk
ke kamarnya? Padahal, walau pintu kamarnya jarang
dikunci selama ini jarang ada temannya yang sembarang
masuk kalau tanpa seizinnya. Jangan-jangan… itu adalah
peringatan buat mereka yang selama ini menjalani
kehidupan yang menyimpang? Mereka berdua berusaha
menepis perasaan-perasaan aneh yang tiba-tiba menjejali
pikiran mereka.
* * *
Menjadi waria memang bukan pilihan Mince. Ia tidak
pernah punya niat menjadi seorang banci seperti sekarang.
Sejak kecil ia hanya bercita-cita menjadi seorang penari
balet. Cita-cita itu muncul setelah ia sadar kalau postur
tubuhnya kurus dan agak sedikit lentur. Tidak seperti
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
10
tubuh laki-laki kebanyakan. Tubuhnya cukup cocok untuk
menjadi seorang instruktur senam atau koreografer.
Tapi garis nasibnya berubah arah. Suatu ketika ia
ditakdirkan bekerja di sebuah salon ternama di kota
kelahirannya. Pergaulannya dengan para pekerja salon
yang rata-rata agak kemayu semakin memengaruhinya
untuk seperti mereka. Pelan, seiring bergulirnya waktu
dan keadaan, gaya hidupnya pun berubah. Ia mulai
mengikuti jejak teman-temannya yang pesolek layaknya
seorang perempuan. Hingga ia benar-benar terjun dan
terjerumus ke dalam dunia hitam yang tak pernah ia duga
sebelumnya. Ia semakin asyik dengan kehidupannya yang
menyimpang itu. Tentu setelah lembar demi lembar uang
mengalir cukup deras ke kantongnya. Walaupun itu hanya
cukup untuk kebutuhan perutnya.
* * *
Mince tidak lagi terganggu oleh tulisan-tulisan usil
orang yang tidak bertanggung jawab itu. Tulisan orang
yang mengaku dirinya sebagai Panitia Hari Kiamat itu.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
11
Emang tujuh belas Agustus-an, pake panitia-panitia
segala, gumam Mince kesal.
Tapi sekarang muncul polemik baru. Masalah baru
yang mencoba “mengobok-obok” profesinya dan juga
profesi teman-temannya. Mereka dilarang beroperasi
selama bulan Ramadhan! Mince bingung dan juga kesal.
Apa bedanya dengan bulan-bulan yang lain? Bukankah
masih banyak tempat-tempat mesum legal di kota ini yang
tetap buka di bulan itu? Tanyanya dalam hati. Ia semakin
tidak mengerti karena tempat-tempat hiburan yang selama
ini menjadi tempat mangkalnya juga tutup selama bulan
puasa.
Dan praktis, ia dan teman-temannya kehilangan
penghasilan. Sejak awal Ramadhan seminggu yang lalu, ia
dan teman-temannya tidak lagi beroperasi. Mereka takut
terjaring razia dan digiring ke kantor polisi. Mereka malu.
Apalagi kalau sampai ada wartawan iseng jeprat-jepret
kamera dan memajang foto mereka di halaman-halaman
depan surat kabar. Mereka tidak mau! Tapi kalau terus-
menerus seperti ini, apa yang akan mereka makan?
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
12
Mince cukup stress. Rasa bosan kini mulai
mengepung kesendiriannya. Ia tidak betah berdiam diri di
kamar kontrakannya sepanjang hari dan malam. Apalagi
jatah uang makannya yang ia dapatkan sebelum
Ramadhan sudah mulai berkurang. Isi dompetnya mulai
menipis.
Aku harus cari akal! Walau bagaimanapun aku harus
tetap dapat uang! Tekadnya dalam hati. Rasa gundah
dalam hatinya kian merejam-rejam.
Tapi tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibir
tipisnya. Ada percik ide yang tiba-tiba muncul dalam
pikirannya. Ide brilian yang mungkin tak pernah
terpikirkan oleh teman-temannya. Ia bergegas mengambil
tas yang biasa dibawanya.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ini
waktunya untuk beroperasi. Ia yakin kalau polisi tidak
akan keliaran pada jam-jam segini. Ditambah lagi selama
seminggu ini ia dan teman-temannya tidak beroperasi. Ia
yakin kalau “langganan” mereka sudah menunggu
kehadirannya, juga teman-temannya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
13
Sudah hampir setengah jam ia keliling taman bunga,
namun tak jua menemukan orang yang biasa
“memboking”-nya. Ketika tanpa ia duga ada seorang
pemuda dengan ransel di pundaknya menghampirinya.
Mince bahagia. Akhirnya ada juga yang mendatangiku,
pikirnya seraya menyunggingkan sedikit senyum.
“Maaf, mengganggu sebentar.” Seru pemuda itu
seraya duduk di samping Mince. Mince menggeser
duduknya, memberikan tempat kepada pemuda itu.
“Iya, ada apa, ya?” respon Mince.
“Maaf, saya dari sebuah surat kabar di kota ini. Saya
mendapat tugas untuk mewancarai orang-orang seperti
anda. Maksud saya, saya diberi tugas untuk mengungkap
kehidupan para waria di kota ini. Bagaimana mereka, latar
belakang kehidupan mereka dan yang lainnya….”
“Maaf, saya tidak bisa meladeni saudara. Kami tidak
mau kehidupan kami diganggu.” Mince cukup terkejut.
Pupus sudah harapannya.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
14
“Saya akan menjamin rahasia dan identitas anda.
Lagian saya tidak akan mengambil gambar anda. Yang
penting anda memberikan sedikit keterangan mengenai
dunia anda, juga kehidupan teman-teman anda….”
Mince berniat beranjak dari tempatnya. Namun
melihat raut wajah pemuda di depannya ia tidak tega. Ia
yakin, wartawan di depannya juga sama seperti dirinya.
Sama-sama mencari uang. Cuma caranya saja yang beda.
Seandainya ia tidak mendapatkan berita yang mungkin
cukup fenomenal dan kontroversial, pemuda itu tidak akan
mendapat bayaran.
Wartawan di depannya itu memulai wawancaranya.
Mince dengan lancar menjawab setiap pertanyaan yang
dilontarkannya. Pemuda itu mulai mencatat hal-hal
penting yang akan menjadi head line harian tempatnya
bekerja. Ia berharap kehidupan mereka juga dihargai dan
diperhatikan. Karena walau bagaimana pun setiap manusia
mempunyai garis nasib yang berbeda.
Pemuda berkaca mata minus itu menutup
wawancaranya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
15
“Sekali lagi terima kasih….” Pemuda itu bangkit
seraya memberikan selembar lima puluh ribuan kepada
Mince. Mince tertegun. Ia ragu untuk mengambil uang
dari wartawan itu. Dipandanginya pemuda yang sejak
setengah jam lalu berada di sampingnya. Ah, alangkah
mulia kehidupannya, desis Mince. Ia tiba-tiba teringat
dirinya yang selama ini selalu mengambil “jalan pintas”
untuk mendapatkan selembar uang. Andai saja ia punya
bekal pendidikan yang cukup, mungkin ia tidak akan
pernah menjalani kehidupan penuh resiko itu.
Lama Mince bengong. Diliriknya jam tangan yang
melingkar di pergelangan kirinya. Sudah pukul satu dini
hari. Ia harus pulang, karena ia rasa uang dari wartawan
itu sudah cukup untuk kebutuhan perutnya minimal
sampai beberapa hari ini. Kalaupun tidak cukup siapa tahu
ada wartawan baik hati lain yang mencoba
mewawancarainya lagi.
Suasana sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa orang
yang masih duduk-duduk di pinggir taman. Mince hendak
meninggalkan tempat nongkrongnya saat didengarnya
suara raungan motor aparat yang biasa keliling di tempat
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
16
itu. Mince berusaha sembunyi di balik rerimbunan taman
bunga yang ia rasa cukup aman untuk keselamatannya.
Ketika sebuah suara mengagetkannya.
“Mau lari kemana? Sudah dibilang dilarang keliaran
selama bulan Ramadhan masih tetap membandel!” Suara
itu cukup membuat jantung Mince copot. Mince tidak bisa
berkutik. Ia pasrah saja ketika kedua tangannya diringkus
aparat yang memergokinya.
* * *
Mince merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam
ruang batinnya. Wajahnya tiba-tiba pucat ketika di tembok
tahanan yang ditempatinya terpampang tulisan seperti
yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu.
Kiamat sudah dekat
Jangan perbanyak maksiat!
Sebelum terlambat,
Segeralah bertobat!
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
17
Pikirannya berkecamuk. Andai saja tadi aku tidak
nekad, mungkin aku tidak akan berada dalam kungkungan
jeruji besi ini bisik hati Mince. Tapi semuanya sudah
terjadi. Sebesar apapun penyesalannya, itu tidak akan
membuat dirinya lepas dari tempat ini. Kecuali ada orang
baik hati yang berusaha mengeluarkannya.
Tatapan mata Mince kosong. Pandangannya tajam
menukik pekat malam yang semakin kelam. Pelan
matanya mulai terpejam. Ia tak kuasa menahan kantuk
yang sedari tadi menyerang pelupuk matanya.
Setelah beberapa jam tertidur pulas, ia terbangun dan
terperanjat saat sayup-sayup suara adzan dari seberang
terdengar. Bulu kuduknya tiba-tiba saja merinding
mendengar panggilan adzan itu.
“Tuhan, apa maksud semua ini? Selama ini aku tidak
pernah merasakan kegelisahan seperti ini. Apa maksud
dari tulisan-tulisan yang pernah aku temui? Mungkinkah
ini jalan untuk menuju cahaya-Mu? Jika benar, bimbing
aku untuk meraih percik hidayah-Mu. Memetik sebuah asa
yang selama ini hanya hadir dalam mimpi-mimpiku.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
18
Salam untuk para “asisten”-Mu, Panitia Hari Kiamat
itu….”
* * *
Sumenep, 13 Desember 2010
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
19
KEMATIAN BAPAK
Kahar terkesiap mendengar taushiyah Ustadz Taufik,
guru ngajinya semasa ia kecil. Malam itu ia sengaja nyabis
ke dalem beliau untuk menanyakan perihal syirik, klenik
dan sejenis yang kian marak di kampungnya.
Ada masalah besar yang harus ia pecahkan dalam
keluarganya saat ini. Ia harus berbuat sesuatu agar
peristiwa langka yang sudah dianggap lumrah oleh
sebagian masyarakat Ellak Daya itu tidak terjadi.
“Tapi justru mereka sangat percaya dengan semua
perkataan dukun, Ustadz.” Sela Kahar seraya menyeruput
segelas kopi yang dihidangkan guru ngajinya itu.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
20
“Begitulah, Har. Karena para dukun itu memang
seringkali meminta kekuatan jin untuk sesuatu yang akan
dia katakan.”
Pemuda itu terpekur. Pikirannya tiba-tiba saja terseret
pada peristiwa “percekcokan” yang terjadi antara dirinya
dan Pak Lik Parman, adik bungsu Bapaknya yang
meninggal tiga hari yang lalu. Menurutnya, rencana Pak
Lik itu sudah keterlaluan. Sudah di luar batas kewajaran.
Padahal kecurigaan yang bercokol dalam kepala Pak Lik
itu belum tentu benar. Kahar tidak habis pikir, kenapa
tiba-tiba saja Pak Lik menghubung-hubungkan kematian
Bapaknya dengan para dukun yang selama ini tidak ia
sukai.
Kematian Bapak yang meninggal dengan perut
membusung itu memang tidak wajar. Kena sihir, kata
kebanyakan orang. Tapi ia sama sekali tidak percaya.
Pikirannya menentang keras rencana Pak Lik yang ingin
adungkep arwah Bapak untuk minta “keterangan”, siapa
yang telah mencelakai beliau sebelum dijemput ajal.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
21
“Pokoknya Kahar tidak setuju! Biarkanlah arwah
Bapak tenang di alam kubur sana!” Seru Kahar mencoba
menyampaikan gemuruh dalam hatinya. Hatinya bergetar
menahan emosi yang kian membuncah.
Ruang tamu yang cukup luas itu tiba-tiba memanas.
Emosi pamannya nyaris meledak. Emak pun tampak
khawatir dengan suasana menegangkan yang tiba-tiba
menyelimuti suasana pertemuan keluarga itu.
“Pak Lik hanya ingin tahu siapa sebenarnya orang
yang telah mencelakakan Bapakmu, Har.” Lelaki empat
puluh tahun di depan Kahar itu mencoba menanggapi
ucapannya.
“Tapi bukan dengan cara seperti ini. Kahar tidak mau
ada dukun menginjakkan kakinya ke rumah kita ini,
apalagi sampai “mengganggu” arwah Bapak. Kita kan
sudah tahu kalau Bapak itu meninggal karena sakit.”
Kahar kian emosi. Pak Lik-nya hanya mendengus. Tidak
mengerti dengan jalan pikiran keponakannya itu.
Menurutnya sifat Kahar tidak jauh beda dengan sifat
mendiang kakaknya yang keras kepala.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
22
“Tapi penyakit yang diderita Bapakmu itu bukan
penyakit biasa, Har. Ini jelas ulah seseorang yang iri
terhadap Bapakmu!” nada suara Pak Lik Parman mulai
meninggi. Pertanda kalau kesabarannya mulai menipis. Ia
paling tidak suka kalau ada anak yang “masih ingusan”
membantah keinginannya.
Sepi. Hening menyelimut. Ruang tamu yang biasa
dipakai keluarga untuk bercengkrama itu tiba-tiba sunyi.
Tak ada suara untuk beberapa saat. Semua larut dalam
pikiran mereka masing-masing.
“Emak paham perasaanmu, Har. Tapi biarlah kita beri
kesempatan Pak Lik-mu untuk mencoba. Siapa tahu kita
dapat ‘petunjuk’, siapa sebenarnya yang telah berbuat
jahat pada Bapakmu.” Seru wanita setengah baya di
samping Kahar mencoba menengahi. Beliau tidak mau
suasana musyawarah keluarga itu kian memanas.
Kahar nyaris tersedak. Ia baru ingat kalau Emak juga
sangat percaya dengan hal-hal yang berbau mistik. Itu ia
ketahui saat ia kerap memergoki Emak membakar dupa
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
23
dan kemenyan yang konon dipercaya sebagai penolak
marabahaya dan pengusir cobeh di malam Jum’at.
“Emakmu benar, Har. Ini satu-satunya cara untuk
mengungkap rahasia di balik kematian Bapakmu.” Bu Lik
Marni, istri Pak Lik Parman menimpali. Mencoba
meyakinkan hati Kahar.
Pemuda dua puluh lima tahun itu bangkit. Ia menyeret
langkahnya ke kamar, meninggalkan sanak keluarganya
yang masih melanjutkan musyawarah untuk sebuah
rencana besar di hari ketujuh kematian Bapaknya.
“Aku tidak mau terlibat dalam masalah ini,” pikir
Kahar seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.
Matanya tajam menatap langit-langit kamar. Seolah-olah
ada sesuatu yang ia cari. Semenjak Bapak meninggal ada
yang berubah memang di rumahnya ini. Ia kian takut
keluarganya semakin jauh terperangkap dalam jaring-
jaring setan yang siap meracuni dan mencabik-cabik
akidah mereka.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
24
“Aku harus bisa menggagalkan rencana ini!” Untuk
kesekian kalinya ia menghembuskan nafas. Ia mencoba
memejamkan matanya dan berusaha memadamkan api
kemarahan dalam hatinya. Bantu hamba ya, Allah….
Bisiknya lirih. Selirih desah risau angin yang menyelusup
lewat jendela kamarnya
***
Kahar akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan
waktunya di dalam kamar. Ia seolah-olah tidak berminat
keluar rumah walau sekadar ke ladang untuk mengurus
kebun sawi yang pernah digarap Bapak. Ia tidak mau
mendengar desas-desus para tetangga yang ternyata juga
percaya kalau orang tuanya meninggal gara-gara santet,
sihir dan semacamnya. Apalagi mereka juga tahu rencana
keluarganya yang akan mendatangkan “orang pintar” pada
hari ketujuh kematian Bapaknya nanti.
“Berarti keluargaku sudah menjadi bahan omongan
orang sekampung?” Pikiran Kahar kian kalut. Ia semakin
bingung. Tak tahu apa yang harus ia perbuat untuk
mencegah “rencana gila” Pak Lik-nya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
25
***
Adzan Isya’ baru saja berkumandang dari loadspeaker
langgar dan masjid kampung. Kahar mempercepat
langkahnya menuju rumah Ustadz Taufik yang lumayan
jauh dari rumahnya itu. Ia ingin mencari solusi. Ia mau
meminta bantuan guru ngajinya untuk menggagalkan
rencana pamannya.
“Sebenarnya saya juga prihatin dengan keluargamu,
Har. Kenapa mereka kok masih percaya dengan
permainan dukun yang jelas-jelas akan menjerumuskan
mereka itu.” Ustadz Taufik mendesah. Beliau menatap
wajah Kahar yang tampak kuyu. Kusut. Beliau tahu apa
yang sekarang sedang bergolak dalam hati salah seorang
anak didiknya itu. Sebenarnya laki-laki paruh abad itu
juga mempunyai hasrat untuk mencegah rencana keluarga
Kahar. Tapi keinginan itu tiba-tiba surut saat ia sadar
kalau dirinya hanya seorang Kajih di kampung ini.
Apalagi kepercayaan terhadap hal-hal berbau syirik itu
sudah mengakar di masyarakat. Sulit rasanya untuk
mencegah kebiasaan mereka yang sering menghubung-
hubungkan sebuah peristiwa dengan hal-hal kedukunan.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
26
“Begitulah, Ustadz. Saya semakin pusing. Dua hari
lagi rencana itu akan dilaksanakan. Saya tidak tahu harus
berbuat apa.” Keluh pemuda itu.
“Begini saja. Kau ajak lagi keluargamu
bermusyawarah. Siapa tahu mereka berubah pikiran.” Ujar
Ustadz Taufik mencoba memberi solusi.
Kahar hanya diam. “Justru mereka sudah tidak bisa
diajak bicara lagi,” bisiknya dalam hati. Pikirannya
semakin kalut. Gemuruh dalam hatinya kian keras
berdebur. Ia bisa saja kabur dan menghilang dari rumah
untuk beberapa hari agar tidak bisa menyaksikan
“peristiwa seram” itu. Tapi itu bukan jalan terbaik. Kalau
itu ia lakukan berarti ia lari dari masalah. Tapi?
“Saya hanya takut kalau sampai keluarga saya
mencurigai seseorang tanpa bukti yang jelas. Apalagi
kalau warga juga tahu. Saya tidak ingin ada korban akibat
ritual yang jelas-jelas menyesatkan itu.” Kahar kembali
tercenung. Pikirannya sarat dengan rasa khawatir yang
semakin membuat hatinya tidak tenang.
***
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
27
Angin senja di komplek kuburan umum di sudut
kampung itu bertiup perlahan. Aroma bunga kamboja
menusuk-nusuk hidung setiap orang yang menciumnya.
Kahar masih duduk mematung di sisi pusara
Bapaknya. Tangannya meremas-remas tanah merah di
depannya. Matanya sembab. Bening-bening kristal di
sudut matanya mengalir perlahan. Ia mengutuki diri atas
ketidakberdayaannya untuk mencegah rencana
keluarganya. Sesuai rencana, sesudah maghrib di hari
ketujuh kematian Bapaknya ini ritual itu akan
dilaksanakan.
“Maafkan Kahar, Pak. Kahar tidak bisa mencegah
rencana mereka. Semoga Allah membukakan hati mereka.
Semoga hati mereka yang membatu kembali mencair oleh
percik hidayah-Nya.” Kahar memegang batu nisan
Bapaknya. Bibirnya bergetar. Ia terus berdoa dan berdoa.
Karena sebentar lagi ritual menegangkan itu akan
dilaksanakan. Ia hanya berharap semoga apa yang akan
mereka lakukan itu tidak akan menyeret seseorang
menjadi tersangka. Ia tidak ingin ada korban kemarahan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
28
warga. Ia tidak mau ada pertumpahan darah di
kampungnya.
“Wah, dicari-cari dari tadi ternyata sudah ada di sini.”
Sebuah suara membuyarkan lamunannya. Ia menolehkan
wajahnya. Benar! Mereka sudah datang. Mereka yang
akan adungkep arwah Bapak sudah tiba di lokasi kuburan.
Kahar mundur beberapa langkah, membiarkan seorang
dukun yang diikuti paman, dan beberapa anggota
keluarganya menempati sisi kiri kuburan orang tuanya. Ia
sendiri menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon
waru di tepi kuburan.
“Baiklah. Saya harap semua yang ada di sini untuk
memusatkan pikirannya masing-masing. Jangan sampai
ada yang berteriak kalau nanti ada suara-suara asing yang
tiba-tiba hadir di tengah-tengah kita ini. Demi keselamatan
warga, dan agar tidak ada korban lagi di kampung ini, kita
harus berhasil melakukan ritual ini.” seorang berpakaian
serba hitam yang akan memimpin ritual itu bersuara.
Memberikan arahan-arahan sebelum memulai ritualnya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
29
Sebentar kemudian ritual itu pun dimulai. Semua
sesaji yang dipersiapkan ditaruh tepat di sisi kanan
kuburan. Asap dupa mengepul di antara aroma kemenyan
yang menusuk-nusuk penciuman.
Semua yang hadir di lokasi pemakaman itu tampak
berkonsentrasi. Semua diam. Suasana tampak sepi. Sunyi.
Hanya desir angin ditingkahi suara serangga di semak-
semak belukar yang terdengar. Bulu-bulu roma mereka
meremang. Kahar pun memejamkan matanya. Hatinya
terus berdzikir ketika tiba-tiba sebuah suara asing entah
dari mana hadir. Berdenging dan mengusik konsentrasi
semua yang hadir di pemakaman itu. Dan suara aneh
itulah yang mereka tunggu selama ini. Sebuah suara yang
akan menjawab semua pertanyaan dukun yang memimpin
ritual itu. Sebuah bisikan yang akan menjadi jawaban atas
tanda tanya besar yang melekat di benak warga kampung
Ellak Daya yang penasaran siapa sebenarnya di antara
mereka yang memiliki ilmu hitam.
Kahar mencoba untuk tetap memejamkan matanya.
Namun suara asing itu seolah-olah memaksanya untuk
membuka mata. Suara itu… ya, suara itu mirip suara
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
30
Bapak. Persis. Tapi benarkah arwah Bapak juga hadir di
tempat ini? Atau ini hanya akal-akalan dukun saja untuk
mempengaruhi keyakinan keluarganya? Kahar tenggelam
dalam pikirannya sendiri. Ia tidak memedulikan suara-
suara asing itu. Bibirnya masih bergetar, beristighfar.
***
Kahar baru saja mengakhiri rakaat terakhir shalat
Isya’-nya saat pendengarannya menangkap suara gaduh
dari seberang jalan. Suara-suara itu kian jelas terdengar.
Kahar menguak jendela kamarnya. Ia terkejut bukan main
saat melihat puluhan warga membawa obor dan benda-
benda tajam di tangan mereka. Mereka mengacung-
acungkan benda-benda tajam itu ke udara. Tampak benda-
benda itu mengkilat tertimpa cahaya obor yang mereka
bawa.
Kahar buru-buru menanggalkan sarungnya dan
langsung keluar dari pintu belakang. Ia mau mengikuti
mereka. Ia harus tahu apa yang akan mereka lakukan.
Pemuda itu terus mengendap-endap. Menyisir jalan
yang tampak gelap. Ia berhenti sejenak saat melihat orang-
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
31
orang kampung itu menuju kediaman Ustadz Taufik yang
bersebelahan dengan balai desa.
“Apa yang akan mereka lakukan terhadap beliau?”
Pikiran Kahar semakin kacau. Konsentrasinya pecah
berantakan. Ia berusaha mempercepat langkahnya. Namun
langkah kakinya tiba-tiba berat, seolah-olah ada kekuatan
gaib yang menahan dan menarik-narik kedua kakinya. Ia
terjerembab saat kakinya tersangkut sebuah ranting kayu
yang menghalangi langkahnya. Sorot matanya tak lepas
memandangi langgar dan rumah guru ngajinya dari
kejauhan. Pandangannya tiba-tiba saja mengabur saat ia
dengan jelas melihat kobaran api membubung dan
membungkus rumah Ustadz Taufik.
Hawa dingin yang menggigit malam itu tiba-tiba
lenyap oleh kobaran api yang kian meninggi, melumat
habis rumah seorang guru ngaji yang selama ini cukup
disegani.
“Ya Allah, lindungi Ustadz hamba. Selamatkan beliau
dari panas bara api sebagaimana Engkau menjadikan api
yang membungkus tubuh Nabi Ibrahim air salju yang
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
32
sangat dingin.” Kahar mengangkat kedua tangannya.
Tengadah di antara kepak sayap ribuan malaikat yang
turut mengamini doa-doanya.
***
Sumenep, 22 Mei 2005
*) Cerpen ini pernah dimuat Majalah Gizone
Keterangan:
1. Nyabis : Berkunjung 2. Dalem : Kediaman 3. Kajih : Guru ngaji 4. Cobeh : Dedemit, hantu dan sejenisnya 5. Adungkep : Salah satu cara yang dilakukan seorang
dukun untuk mengundang arwah seseorang yang sudah meninggal. Biasanya dilakukan jika ada yang meninggal kurang wajar (kata orang kena santet atau sihir)
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
33
SANG JOKI KARAPAN SAPI
Mimpi Jaka untuk bisa sekolah di salah satu sekolah
favorit di kota kelahirannya akhirnya tercapai juga. Tidak
sia-sia ia mempertahankan prestasi belajarnya sejak kelas
satu kemarin. Hasil UN (Ujian Nasional) yang cukup
memuaskan dan membuat sekolahnya bangga itu telah
mengantarkannya ke bangku sekolah favorit itu. Meskipun
hal itu pernah ditolak oleh Emak, perempuan yang telah
membesarkannya sendirian di dunia ini semenjak
kepergian Bapaknya menghadap Sang Pencipta ketika ia
masih duduk di kelas IV SD dulu. Menurut Emak
keinginan Jaka terlalu muluk-muluk. Mimpinya terlalu
mengawang hingga membuatnya lupa diri. Tidak sadar
bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
34
“Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi, Cong1. Mau
sekolah saja kok milih-milih. Di kecamatan ini kan juga
ada sekolah. Masa’ harus ke kota segala?” begitu kata
Emak waktu Jaka mengutarakan keinginannya. Namun
Jaka tetap berusaha meyakinkan Emak bahwa motivasinya
untuk sekolah di sekolah favorit itu tidak lain adalah agar
ia mendapatkan pendidikan yang layak. Jaka akan belajar
dengan serius dan akan bersaing dengan siswa-siswa
lainnya. Mempertahankan prestasinya bahkan mungkin
lebih bagus lagi dari prestasinya waktu SMP.
“Kata guru Jaka lingkungan sekolah juga ikut
mendukung prestasi siswanya, Mak. Dan SMA Sumekar
dikenal sebagai salah satu sekolah yang melahirkan siswa-
siswa berprestasi. Alumninya banyak yang tembus ke
beberapa perguruan tinggi negeri.”
“Kalau menurut Emak tergantung muridnya juga,
Cong. Mau sekolah di mana saja kalau muridnya ndak
mau belajar, ya tetap saja bodoh…” Emak kembali
1 Cong/Kacong: Panggilan kesayangan kepada seorang anak (Madura)
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
35
berargumen. Dalam hati Jaka membenarkan kata-kata
Emak. Tapi Jaka tahu kenapa Emak bersikukuh
“melarang” ia masuk SMA Sumekar. Apa lagi kalau
bukan masalah biaya. Meskipun katanya sekarang ada
sekolah gratis, tetap saja biaya buku, seragam dan segala
tetek bengek atribut siswa untuk sekolah ditanggung
sendiri. Bisa semakin menggunung utang Negara ini kalau
semua biaya sekolah digratiskan.
“Tapeh pesse dari dimmah, Cong? Be’na enga’ se tak
tao2 keadaan keluarga kita saja. Kamu bisa saja tetap
ngotot mau sekolah di sana. Tapi Emak tidak menjamin
kamu akan sampai selesai. Bisa-bisa setahun sekolah kita
sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahmu se tak
sakone’3 itu.” Suara Emak terdengar datar. Jaka merasa
ada sesuatu yang menohok ulu hatinya. Kekhawatiran
Emak masuk akal. Ia yakin Emak sebenarnya ingin ia
sekolah di tempat yang sesuai dengan keinginannya.
Bahkan di tempat yang lebih elit sekali pun. Tapi keadaan
2 Tapi uang darimana, Cong? Kamu seperti yang tidak tahu
3 Yang tidak sedikit
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
36
ekonomi lah yang membuat Emak tampak pesimis
menghadapi semua ini.
“Jaka akan ikut membantu Emak mencari uang, Mak.
Yang penting Jaka bisa sekolah di SMA Sumekar.”
“Maksudnya kamu sambil mau kerja, gitu? Kerja apa?
Emak kan hanya bisa berjualan gorengan di warung depan
rumah yang pendapatannya hanya cukup untuk makan
sehari-hari saja?”
“Jaka kan nanti punya banyak teman, Mak. Siapa tahu
Jaka ada yang nawari bekerja. Ya kerja apa saja yang
penting halal…”
Suasana kembali hening. Jaka hanya terpekur
sementara Emak kembali dengan pekerjaannya
membersihkan beras dalam nampan di depannya. Hari
sudah sore. Emak mau memasak nasi untuk makan malam
nanti.
***
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
37
Ini adalah hari pertama Jaka masuk sekolah SMA
Sumekar. Rasa bangga dan bahagia memenuhi ruang
hatinya. Di tempat ini ia akan menyulam mimpi-mimpinya
dengan belajar dan belajar untuk mencapai cita-citanya
yang terus berpijar dalam hatinya. Kelak jika Allah
berkehendak ia akan serius menekuni bidang pertanian.
Menjadi Sarjana Pertanian adalah cita-citanya sejak ia
duduk di kelas 3 SMP kemarin. Ia ingin membantu
masyarakat di desanya dalam mengembangkan sawah dan
pertanian. Sangat sayang jika potensi sawah di
kampungnya tidak digarap dengan baik dan profesional.
Selama ini penduduk kampung hanya mengikuti arus
musim yang terus berputar. Musim tembakau petani
berbondong-bondong menanam tembakau, musim tanam
padi, mereka berlomba-lomba menanam padi, dan
seterusnya. Padahal menurutnya masih banyak yang perlu
dikembangkan dari tanah persawahan di kampungnya.
Ia tidak peduli meskipun setiap hari harus mengayuh
sepeda ontel sejauh sepuluh kilo meter untuk sampai di
sekolahnya. Itu akan dijalaninya, meskipun ketika sampai
di sekolah sekujur tubuhya basah oleh keringat yang
membanjir. Seperti hari pertama ini. Meskipun ia sudah
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
38
berangkat pagi sekitar pukul setengah enam tetap saja ia
merasa kecapean. Mungkin karena masih belum terbiasa.
“Kenalkan namaku Arman…” Seorang siswa
menyalami Jaka begitu ia sampai di parkiran sepeda dekat
kantin itu.
“Aku Jaka….”
“Kamu anak baru, ya? Aku kelas XII B. Kakak kelas
kamu.” Siswa bernama Arman itu mengenalkan
identitasnya.
“Wah, maaf Kak Arman. Saya pikir kamu juga anak
baru.”
“Jangan panggil aku Kakak. Panggil nama saja biar
lebih akrab. Sepertinya rumah kamu jauh, ya? Biasanya
jarang siswa-siswa di sini yang datang pagi-pagi kecuali
hari Senin. Rumah kamu di mana?”
“Rumahku di Lenteng. Kalau tidak ingin terlambat
aku harus berangkat pagi-pagi.”
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
39
“Wah, hebat sekali. Aku salut dengan semangat kamu.
Jarang-jarang anak sekarang yang mau mengayuh sepeda
ontel sejauh itu. Apalagi jarak Lenteng-Sumenep lumayan
jauh. Kok nggak ikut angkot saja?” Arman merasa kagum
dengan Jaka.
“Biasa saja, Man. Aku sudah terbiasa, kok. Selain
hemat ongkos, hitung-hitung sambil olah raga…” Jaka
terkekeh. Ia merasa senang hari ini. Hari pertama sudah
punya kanca se berenca,4 sehingga membuatnya tidak
canggung.
Jaka dan Arman kembali terlibat obrolan panjang.
Jaka menceritakan motivasinya untuk sekolah di SMA ini.
Arman semakin mengangguk-angguk kagum dengan
semangat yang terpancar di wajah Jaka.
Lima belas menit kemudian bel berdentang. Semua
siswa yang sudah berdatangan dengan rapi masuk ke
kelasnya masing-masing.
4 Teman yang fair atau komunikatif
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
40
“Aku ke kelas dulu, ya, Ka. Kamu juga sudah masuk
tuh. Teman-temanmu sudah masuk kelas. Hari pertama
biasanya perkenalan antara guru dan siswa-siswi baru.
Kamu yang semangat, ya….” Arman menepuk pundak
Jaka seraya berlalu dari hadapannya. Sementara Jaka juga
menuju kelasnya.
“Selamat pagi, anak-anak. Selamat datang di SMA
Sumekar. Saya harap kalian senang belajar di sekolah ini.
Saya sebagai salah satu panitia Masa Orientasi Sekolah
(MOS) tahun ini akan mengumumkan bahwa tiga hari ke
depan acara kita adalah MOS, masa perkenalan antara
kalian dengan sekolah tercinta ini. Sebelum kalian belajar
di sekolah ini, kalian harus kenal dulu dengan lingkungan
sekolah, disiplin-disiplinnya dan lain-lain…” tampak
seorang panitia dari kelas XII berkoar-koar di kelas Jaka.
Itu kan Arman? Jaka baru sadar bahwa panitia di
depan itu adalah Arman. Berarti Arman salah seorang
pengurus OSIS? Pikir Jaka. Wah, pasti dia banyak teman
dan relasi di luar sekolah ini. Siapa tahu Arman bisa
membantu masalah keuangan keluarganya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
41
Begitu istirahat pertama tepat pada pukul sembilan,
Jaka langsung menghampiri Arman di ruang OSIS.
Untung saja Arman lagi sendirian.
“Arman, kamu panitia MOS, ya?” ditanya seperti itu
Arman hanya senyam-senyum.
“Maaf, Ka. Tadi nggak sempet cerita kalo aku juga
panitia MOS. Emang kenapa?”
“Ya nggak apa-apa sih? Kalo aku kenal dengan salah
satu panitianya kan aku nggak perlu dipelonco kayak
siswa yang lain?” Jaka terkekeh. Setahu dia acara MOS
atau OSPEK kalau di perguruan tinggi itu tidak lepas dari
acara perpeloncoan. MOS sering dijadikan ajang “balas
dendam” oleh sebagian panitia yang dulu merasa dikerjain
oleh kakak kelasnya.
“Wah, nggak tuh, Ka. Sekarang sudah bukan
jamannya lagi. Itu tidak mendidik. Sejak kasus yang
heboh di STPDN beberapa tahun lalu pihak sekolah tidak
mengijinkan panitia bersikap kasar kepada siswa baru.
Kalau ada panitia yang bandel bisa-bisa diskors oleh pihak
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
42
sekolah. Sejak aku kelas satu sudah tidak ada lagi acara
perpeloncoan.” Arman menjelaskan dan mencoba
menghilangkan kekhawatiran Jaka.
“Syukurlah kalau begitu. Jadi aku aman-aman saja,
nih?”
“Dijamin…”
***
Jam satu siang. Bel pertanda keluar sekolah
berdentang. Ratusan siswa SMA Sumekar berhamburan
keluar dari kompleks sekolah. Jaka kembali bertemu
Arman di pintu gerbang sekolah.
“Aku duluan, ya, Ka.” Arman menstarter motor
Supra-X-nya dan berlalu dari hadapan Jaka. Sementara
Jaka juga menaiki tunggangannya dan mengayuhnya
menyusuri jalanan kota Sumenep yang panasnya minta
ampun itu. Tapi Arman tetap dengan semangat mengayuh
sepedanya. Lima belas menit semenjak keluar dari
gerbang sekolah tiba-tiba ada yang berderak di bagian
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
43
bawah sepedanya. Arman menghentikan sepedanya dan
memeriksa sumber bunyi itu.
“Astaghfirullahal adzim….” Jaka menepuk jidatnya.
Tiba-tiba ia merasa lemas begitu melihat rantai sepedanya
putus. Ia menoleh ke sekitar. Sepi. Sepertinya jauh dari
bengkel. Sekarang ia baru sampai di desa Torbang, salah
satu desa di Kecamatan Kota Sumenep. Masih tinggal
sekitar tujuh kilo meter lagi untuk sampai ke rumahnya.
Dengan sabar Jaka menarik sepedanya dan
memasukkan rantai sepedanya yang terberai itu ke dalam
kantong plastik. Semoga ada bengkel buka. Jaka terus
menarik sepedanya ketika sebuah mobil Kijang berhenti di
dekatnya. Kaca mobil itu terbuka.
“Kenapa, Dik? Rantainya putus, ya?” sapa seseorang
dari dalam mobil. Seorang bapak-bapak yang usianya
sekitar empat puluhan.
“Iya, Pak. Di sekitar sini kira-kira ada bengkel buka,
ya?”
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
44
“Kamu jalan sedikit, lima puluh meter lagi ada
bengkel. Tepat di depan toko bangunan itu.”
Setelah berjalan sebentar Jaka sampai di bengkel yang
dimaksud. Jaka menoleh lagi. Ternyata mobil itu juga
menuju bengkel tempatnya berada. Sementara Jaka
memeriksa tasnya. Dia kembali mendesah, ternyata ia
tidak membawa uang sama sekali. Ia tidak tahu kalau
keadaannya akan seperti ini. Tampaknya seorang bapak di
dalam mobil itu melihat Jaka yang tampak kebingungan
mencari uang dalam tasnya. Padahal sepedanya sebentar
lagi selesai dipasang rantainya. Jaka tidak menyadari
kalau bapak itu sekarang ada di belakangnya.
“Ini buat ongkos servis sepeda kamu.” Jaka sedikit
kaget. Ragu untuk mengambil uang dari orang yang baru
dikenalnya itu.
“Nggak apa-apa. Diambil saja. Sisanya buat ongkos
mobil saja besok biar tidak perlu naik sepeda.”
“Terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih.” Jaka
meraih uang dua puluh ribuan itu dari tangan “malaikat
penolong” di depannya. Jaka tidak menyangka di jaman
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
45
yang serba individualis ini masih ada orang sebaik bapak
itu.
“Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan
imbalan yang lebih banyak…” Jaka untuk kesekian
kalinya mengucapkan terima kasih. Dan tak lupa
mengenalkan dirinya. “Nama saya Jaka, Pak!”
“Saya Pak Irwan. Oh, ya kalo ada waktu kamu bisa
mampir ke rumah saya. Tuh, jarak dua rumah dari bengkel
ini.”
“Insya Allah, Pak. Kalo ada waktu saya akan mampir
ke rumah Bapak. Saya pamit pulang dulu…” Jaka
akhirnya pamit dan mengayuh sepedanya yang sudah
sehat walafiat itu. Jaka masih belum percaya dengan
keajaiban yang dialaminya barusan. Kalau begini, aku
harus membawa uang kalau ke sekolah agar kejadian
seperti ini tidak terulang lagi. Kalau tidak ada bapak itu
bagaimana nasibku tadi? Jaka masih berpikir sembari
mengayuh pedal sepedanya dengan hati-hati. Takut
rantainya lepas lagi.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
46
***
“Apa yang Emak bilang, Cong? Itu salah satu alasan
kenapa Emak keberatan kamu sekolah jauh-jauh. Kalau
sekolah di Kecamatan kan lebih dekat dan kamu tidak
akan capek-capek seperti ini.” Emak menasihati Jaka lagi
begitu ia menceritakan kejadian tadi.
“Emak ndak perlu khawatir. Jaka baik-baik saja, kok.
Ini ujian di hari pertama Jaka sekolah. Kalau Jaka sabar
menghadapi masalah ini insya Allah ke depan akan
dipermudah urusannya.” Jaka kembali beralasan. Itu biar
Emak tidak perlu banyak-banyak mengeluarkan fatwanya
lagi. Ia harus buru-buru mandi dan siap-siap shalat ashar.
Setelah ashar ia sudah berjanji kepada Emak untuk ke
pasar membeli bahan-bahan gorengan untuk dijual besok.
Jaka melihat persediaan pisang, ubi jalar dan bahan-bahan
lainnya untuk dagangan besok sudah menipis. Hanya
pekerjaan itu yang bisa ia lakukan untuk meringankan
beban Emak. Jadi Emak tidak perlu capek-capek lagi ke
pasar. Sejak kecil ia sudah biasa membeli barang-barang
dapur seperti bawang merah-bawang putih, kacang
panjang bahkan ikan-ikan untuk menu makannya dengan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
47
Emak. Ia tidak merasa gengsi dan malu karena membantu
Emak. Tidak seperti sebagian teman-teman tetangganya
yang merasa malu ketika diminta bantuan orangtuanya
untuk pergi ke pasar.
Setelah shalat ashar selesai Jaka langsung pergi ke
pasar Lenteng untuk membeli segala kebutuhan dagangan
Emak.
“Ja’ kalopae melle tapai,5 Cong. Emak akan bikin
goreng tapai karena ada pelanggan yang mesen. Katanya
bosan kalo korket6 atau goreng pisang terus.”
“Beres, Mak…” Jaka langsung menaiki sepeda
ontelnya menuju pasar Lenteng yang tidak begitu jauh dari
rumahnya itu.
Sampai di pasar Jaka langsung menuju toko langganan
Emak.
5 Jangan lupa beli tape
6 Salah satu gorengan yang terbuat dari singkong sebagai bahan dasarnya
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
48
“Emakmu kemana, Ka? Kok kamu yang belanja?” Bi
Sum pemilik toko itu bertanya.
“Emak sibuk, Bi. Beres-beres rumah dan ngombi’7
sabreng8 untuk dibikin kalepon9.”
“Wah, emakmu memang pandai bikin macam-macam
jajan dan gorengan, Ka. Makanya banyak pelanggannya.”
“Alhamdulillah, Bi. Doakan semunya lancar.”
“Semuanya tiga puluh lima ribu, Ka.”
Jaka mengambil uang dari saku celana dan
menyerahkannya kepada Bi Sum.
“Kalangkong,10 Bi!” Jaka segera menuju sepedanya
yang diparkir di depan toko itu. Ketika sebuah suara
menyapanya.
7 Mengupas (Madura)
8 Ketela atau singkong (Madura)
9 Kue yang dibuat dari singkong
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
49
“Jaka, kamu belanja apa?”
Jaka hampir tidak percaya melihat siapa yang ada di
hadapannya. “Malaikat penolong” itu? Bapak yang telah
menolongnya kemarin itu ada di depannya.
“Hm…, lagi belanja, Pak…” jawab Jaka agak sedikit
gugup. “Bapak sendiri dari mana?”
“Saya dari rumah Pak Markum, pemilik sapi karapan
di desa Lenteng ini. Saya lagi cari seorang Joki11 untuk
Festival Karapan Sapi12 bulan depan. Joki yang biasa
“megang” sapi Bapak pulang ke rumah kakeknya di
Surabaya. Jadi saya harus cari Joki baru.”
“Jangan lupa kapan-kapan mampir ke rumah Bapak,
ya?”
10 Terima kasih
11 Orang yang mengendalikan sapi karapan saat pertandingan
12 Pacuan sapi. Salah satu kesenian masyarakat Madura
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
50
“Insya Allah, Pak.” Jaka menyalami bapak itu
sebelum akhirnya Jaka pamit pulang duluan. Sementara
Pak Irwan menuju sebuah toko yang tidak jauh dari
tempat Jaka belanja.
***
Jadi Bapak Irwan itu juragan karapan sapi? Waktu
kecil Jaka pernah diajak almarhum Bapak nonton
pertunjukan karapan sapi di GOR Ahmad Yani. Kata
bapak karapan sapi adalah kesenian dan tradisi
masyarakat Madura yang tetap dilestarikan oleh
masyarakat Madura sampai sekarang. Bapak juga pernah
bercerita kalau juragan karapan sapi itu rata-rata kaya-
kaya oleh hasil penjualan sapi karapan yang mereka
miliki. Satu ekor sapi harganya ada yang mencapai
puluhan juta rupiah. Itu kalau sapi milik mereka menang
di event-event pertandingan karapan sapi. Baik yang di
tingkat Kabupaten bahkan pertandingan yang
memperebutkan Piala Presiden misalnya.
Jaka semakin penasaran dan ingin bertandang ke
rumah Bapak Irwan. Ia ingin tahu banyak tentang tradisi
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
51
masyarakat Madura itu. Siapa tahu ia diajak untuk
menjadi salah seorang Joki Pak Irwan?
Jadi Joki? Jaka tiba-tiba terhenyak dengan pikirannya
sendiri. Bagaimana bisa? Wong ia tidak punya ilmu apa-
apa tentang tata cara mengendalikan sapi karapan. Tapi
kalau dicoba apa tidak bisa? Bukankah Joki-Joki itu juga
dilatih sebelum berlaga dalam pertandingan?
Jaka kembali sibuk dengan pikiran dan ide barunya
itu. Jika benar aku jadi Joki karapan sapi, maka beban
Emak untuk membiayai sekolahnya tidak begitu berat.
Siapa tahu bayaran seorang Joki itu lumayan mahal?
Sepulang sekolah Jaka langsung menuju rumah Pak
Irwan. Ia benar-benar tekejut begitu ia memasuki halaman
rumah Pak Irwan. Rumahnya dua lantai dengan halaman
yang cukup luas. Sekitar lima puluh meter dari rumahnya
ada sebidang tanah yang disulap jadi kandang sapi yang
tampak bersih. Berbeda dengan kandang-kandang sapi
tetangganya yang tampak kumuh dan jorok. Benar-benar
sapi-sapi karapan itu dirawat dengan baik.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
52
“Akhirnya kamu sampai juga ke rumah saya, Jaka?”
Pak Irwan menyilakan Jaka masuk.
“Iya, Pak. kebetulan saya nanti sore tidak ada acara.
Jadi saya sudah ijin kepada Emak untuk main ke rumah
sampeyan….”
“Saya belum cerita ke kamu kalo saya salah seorang
pemilik sapi karapan di desa ini. Sejak kecil saya memang
menyukai karapan sapi. Saya merasa senang dengan
kesenian ini. Saya pernah punya cita-cita untuk memiliki
sapi karapan. Dan alhamdulillah sampai sekarang masih
tetap suka dan sapi yang saya punya rata-rata jadi
pemenang di setiap pertandingan.” Pak Irwan bercerita
panjang lebar tentang kegemarannya dengan karapan sapi.
Jaka semakin kagum dengan kegigihan Pak Irwan
merawat sapi-sapi miliknya.
“Ya, begitulah, Jaka. Untuk merawat sapi-sapi itu
biayanya tidak sedikit. Selain biaya yang mahal juga
diperlukan ketelatenan dalam mengurusnya. Dan satu hal
lagi, menangnya sapi-sapi saya itu tidak lepas dari peran
sang Joki, orang yang mengendalikan sapi karapan disaat
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
53
pertandingan. Makanya saya sangat menyayangkan Joki
saya pulang ke Surabaya. Katanya dia pindah sekolah di
sana. Jadi total berhenti jadi Joki. Untung saat-saat ini
tidak ada pertandingan. Tapi kemarin saya dapat undangan
kalau bulan depan ada event tahunan yaitu Festival
Karapan Sapi se-Madura yang memperebutkan piala
Presiden. Sangat disayangkan kalau sapi-sapi saya kalah
dalam event tersebut.”
Jaka merasa semakin besar kesempatannya untuk
menjadi Joki. Berarti Pak Irwan benar-benar butuh
seorang Joki yang andal? Jaka tersenyum dalam hati.
“Kalau boleh saya ingin melamar menjadi Joki, Pak.
Saya ingin membantu meringankan beban Emak dalam
membiayai sekolah saya. Saya akan belajar untuk menjadi
seorang Joki…” Tiba-tiba kata-kata itu terlontar dari
mulut Jaka.
“Kamu serius, Ka? Wah, kebetulan sekali. Masalah
latihan gampang. Kalau kamu memang bersedia jadi Joki,
mulai Minggu depan kita sudah bisa latihan. Saya akan
undang pelatih andal untuk melatih kamu. Tapi bagaimana
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
54
dengan Emakmu? Apa kira-kira mengijinkan kalau kamu
jadi Joki?”
Untuk beberapa detik Jaka terdiam. Ia sebenarnya
tidak yakin kalau Emak akan mengijinkan dirinya menjadi
Joki. Jaka tahu betul bagaimana kekhawatiran Emak. Dia
pernah jatuh dari pohon jambu air saja Emak gipo13-nya
bukan main. Apalagi kalau sampai jatuh dari kaleles14 sapi
karapan?
“Insya Allah Emak mengijinkan, Pak.” Jaka mencoba
meyakinkan hatinya, juga Pak Irwan. Pak Irwan merasa
senang dengan semangat yang terpancar di wajah Jaka.
***
Jaka dan Emak baru saja selesai makan malam.
Setelah membereskan piring dan perabotan lainnya Jaka
langsung menuju ruang istirahat Emak, di atas lencak15 di
13 Khawatir atau gelisah (Madura)
14 Salah satu alat yang dipasang pada sapi karapan.
15 Tempat duduk atau tempat tidur yang terbuat dari bilah-bilah bambu
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
55
ruang tamu itu. Tempat itu selalu menjadi tempat istirahat
Emak setelah seharian capek dengan dagangannya di
warung.
Jaka langsung duduk di sisi lencak dan memijati betis
dan kaki Emak. Pasti Emak capek, pikir Jaka.
“Ada apa, Cong? Ada sumbangan lagi di sekolah?”
Emak ternyata hafal betul bagaimana Jaka jika ingin minta
uang. Sejak kecil Jaka selalu memijati Emak jika ada
maunya. Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan Emak.
“Begini, Mak. Jaka ingin membantu Emak dalam
membiayai kebutuhan sekolah Jaka.” Jaka tidak langsung
to the point. Ia tidak mau Emak tiba-tiba shok mendengar
kabar yang mungkin akan membuat Emak jantungan itu.
“Dari dulu be’na16 bilang gitu. Kamu tidak perlu
bekerja. Emak masih bisa dan mampu bekerja walaupun
pendapatannya tidak seberapa itu.” Ucap Emak sambil
memejamkan matanya disaat Jaka memijati kakinya.
16 Kamu
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
56
Perlahan-lahan rasa pegal di kakinya berangsur-angsur
hilang.
“Kaule17 olle18 kalakoan19, Mak…” hati-hati Jaka
kembali bicara.
“Jaka…Jaka… anak kecil seperti kamu mau kerja
apa? Mau jadi kuli panggul di pasar Lenteng atau Pasar
Anom20? Kapan belajarnya? Katanya mau belajar dengan
rajin?” Emak menggeleng-gelengkan kepalanya
mendengar kata-kata anak semata wayangnya.
“Jaka mau jadi tokang tongko’21 Karapan Sapi,
Mak….”
17 Saya
18 Dapat/memperoleh
19 Pekerjaan
20 Pasar Anom adalah pasar tradisional di Kabupaten Sumenep
21 Joki (Madura)
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
57
“Apa?!” Emak menegakkan punggungnya. Tampak
sekali ada gurat-gurat keterkejutan di wajah wanita
setengah baya itu. Jaka sudah menduga Emak akan shok
mendengar rencananya itu.
“Emak tidak setuju. Pokoknya Emak tidak setuju
kamu jadi tokang tongko’. Resikonya sangat besar, Cong.
Emak nggak mau terjadi apa-apa sama kamu…”
“Jaka benar-benar ingin bantu Emak. Dan hanya ini
yang bisa Jaka lakukan. Kebetulan ada tawaran pak Irwan,
jadi Jaka pikir tidak ada salahnya kalau Jaka mencoba.
Jaka akan dilatih oleh seorang pelatih yang
berpengalaman, Mak. Emak tidak perlu khawatir. Jaka
akan baik-baik saja, insya Allah.”
Suasana kembali hening. Emak hanya terdiam.
Memikirkan rencana anaknya itu. Jaka adalah sosok yang
sama dengan mendiang suaminya, penyuka kesenian
karapan sapi. Dan satu lagi yang tidak beda sama sekali
antara Jaka dan almarhum suaminya; mereka sama-sama
keras kepala. Mereka akan tetap dengan pendiriannya.
Tidak akan bisa tenang jika keinginannya tidak terpenuhi.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
58
Wajah wanita itu tampak sendu. Jaka semakin merasa
terharu melihat ibu yang telah membesarkannya sendirian
itu bersedih di depannya.
“Emak ijinkan kamu jadi tokang tongko’, Cong. Tapi
ingat kamu kodu te-ngate22. Emak hanya bisa mendoakan
kamu.” Mendengar kalimat terakhir Emak Jaka langsung
menghambur memeluk erat wanita itu. Tanpa terasa air
mata Jaka meleleh, ada keharuan menyeruak di dalam
hatinya.
***
Sejak hari Minggu kemarin Jaka sudah mulai latihan.
Pak Irwan memuji kelihaian Jaka dalam mengendalikan
sapi karapan miliknya. Tidak sia-sia ia membayar mahal
pelatih untuk melatih Jaka menjadi Joki andal. Pak Irwan
yakin Jaka sanggup mengendalikan sapi-sapinya dalam
event bergengsi itu. Ia berjanji akan membayarnya dengan
bayaran mahal jika sanggup mengalahkan Joki-Joki
lainnya dalam pertandingan nanti.
22 Harus hati-hati
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
59
“Saya yakin kamu bisa, Ka.” Pak Irwan menepuk
pundak Jaka bangga. Jaka tersipu dengan pujian yang
menurutnya sangat berlebihan itu.
“Saya janji tidak akan mengecewakan Bapak…” Janji
Jaka sambil berdoa akan keselamatannya nanti dalam
pertandingan. Jaka tahu, seperti yang dikatakan Emak,
menjadi Joki itu penuh resiko. Jika lengah sedikit maka
tidak menutup kemungkinan sang Joki akan terpelanting
ketika dua ekor sapi karapan itu melesat dari garis start
menuju finish.
Di sekolah kabar perihal Jaka menjadi Joki karapan
sapi juga tersebar. Beberapa siswa ada yang mendukung
pekerjaan baru Jaka. Mereka bahkan mendoakan
keselamatan Jaka dan berharap Jaka menjadi juara. Jaka
tidak tahu siapa yang menyebarkan kabar itu di sekolah.
Padahal ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang
profesi barunya itu. Begitu juga kepada Arman, teman
akrab Jaka semenjak acara MOS itu.
“Aku juga ikut mendoakan kamu, Ka. Semoga kamu
berhasil dan obsesi kamu untuk membantu Emakmu
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
60
tercapai.” Jaka lagi-lagi dibuat terkejut dengan kata-kata
Arman. Darimana Arman tahu bahwa motivasinya
menjadi Joki itu dalam rangka membantu Emaknya?
“Kamu tahu darimana, Man?”
“Aku kemarin ke rumah Paman Irwan. Disuruh Ibu
mengantar uang arisan ke Bi Maryam, istri Paman Irwan.
Beliau cerita kalau ada siswa SMA Sumekar yang jadi
salah seorang Joki-nya. Eh, ternyata orang itu adalah
kamu…”
“Begitulah, Man. Doain, ya!”
***
Detik-detik pertandingan yang ditunggu-tunggu
masyarakat Madura itu kini tiba. Event tahunan yang
memperebutkan Piala Presiden tahun ini diselenggarakan
di Stadion Sunarto Hadi Wijoyo, Kabupaten Pamekasan.
Ribuan orang telah memenuhi stadion. Semua tiket terjual
habis. Ternyata apresiasi masyarakat Madura terhadap
kesenian yang satu ini masih sangat besar. Jaka bangga
terlibat dalam event ini. Seandainya Bapak masih ada
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
61
tentu beliau bangga melihatnya bertanding di event
bergengsi ini.
Alunan musik saronen23 mengalun mengiringi acara
pembukaan Festival Karapan Sapi Piala Presiden. Orang-
orang tampak larut dengan musik yang mengalun indah
itu. Jaka benar-benar seperti Joki andal yang sudah
berpengalaman. Duduk berjejer bersama ratusan Joki yang
datang dari empat Kabupaten di Madura. Padahal ini
adalah pengalaman pertamanya mengikuti pertandingan.
Bukan hanya se-Kabupaten tapi se-Madura. Artinya
semua pemilik sapi karapan yang berada di pulau garam
ini mengikutsertakan sapi-sapi karapan mereka. Joki-
Jokinya tentu sudah jauh lebih berpengalaman ketimbang
dirinya.
Kini giliran Jaka untuk bertanding. Sekali main ada
empat pasang sapi karapan yang dilombakan. Jaka sudah
siap di atas kaleles. Di tangannya sudah ada alat cacak24
23 Musik khas Madura
24 Dua bilah kayu yang diberi paku untuk mencakar pantat sapi
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
62
yang dipenuhi jeruji paku-paku tajam yang siap menyayat-
nyayat pantat sapi. Tokang tambeng25 dan tokang gettak26
sudah siap di sisi kanan dan sisi kiri sapi. Jaka sekilas
melihat lawan mainnya di samping kanan dan kirinya.
Dari wajah-wajah mereka tampak ada semangat untuk
memenangkan pertandingan ini. Ia yakin mereka jauh
lebih berpengalaman dari dirinya. Tapi ia tidak boleh
minder, bagaimana pun ia akan berusaha semaksimal
mungkin untuk memenangkan pertandingan.
Suara letusan pertanda pertandingan dimulai
terdengar. Jaka mulai mencakar pantat sapi itu dengan alat
di genggamannya. Sorak sorai para penonton pun
menggema, memenuhi stadion Sunarto Hadi Wijoyo yang
penuh sesak oleh ribuan penonton itu. Empat pasang sapi
termasuk sapi dalam kendali Jaka itu melesat seperti
kesetanan. Rasa perih yang ditimbulkan dari alat cacak di
genggaman para Joki itu telah membuat sapi-sapi berpacu
25 Orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas
26 Orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba dapat melesat dengan cepat
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
63
dengan cepat. Melesat seperti anak panah yang lepas dari
busurnya. Sepasang sapi yang dikendalikan Jaka berada di
urutan paling depan dan pertama kali menyentuh garis
finish. Suara teriakan penonton di atas tribun itu kembali
menggema. Konon ada yang biasa taruhan dalam
pertandingan ini. Mereka memanfaatkan event-event
pertandingan karapan sapi untuk meraup uang jutaan
rupiah dengan cara taruhan antar penonton.
Jaka turun dari atas kaleles disambut oleh pujian dan
sanjungan dari para pendukung sapi karapan milik Pak
Irwan. Jaka diberi minuman berenergi agar dalam
pertandingan nanti kembali mengendalikan sapi dengan
baik.
Setelah melalui babak penyisihan dan semi final
akhirnya Jaka berhasil membawa sapi milik pak Irwan ke
babak final. Pak Irwan tidak bisa menyembunyikan
kebanggannya terhadap keberhasilan Jaka dalam
pertandingan ini. Tinggal selangkah lagi sapi milik Pak
Irwan akan menyandang predikat juara dalam event ini.
Penawaran-penawaran mahal untuk sapinya tentu akan
semakin banyak. Biasanya banyak juragan karapan sapi
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
64
yang mengincar sapi-sapi yang menang dalam
pertandingan bergengsi ini dan bersedia membelinya
dengan harga yang sangat tinggi.
Jaka kembali naik ke atas kaleles. Di babak final ini ia
harus bisa mengalahkan lawan yang tidak bisa dianggap
remeh itu. Jaka terus mendapat dukungan dari orang-orang
Pak Irwan. Dia semakin bersemangat dan akan berusaha
untuk memenangkan lomba ini.
Beberapa saat kemudian letusan pertanda
pertandingan dimulai kembali terdengar. Jaka dengan
lihainya mengendalikan sapi karapan. Seperti dugaan
Jaka sapi-sapi lawannya tidak bisa diremehkan. Tiga
pasang sapi yang akan memperebutkan juara satu, dua dan
tiga itu bertanding dengan seimbang. Ketiganya tampak
beriringan, hanya berjarak beberapa meter saja. Sapi yang
dikendalikan Jaka berada di urutan paling depan ketika
sepasang sapi lainnya tiba-tiba menyelip dan menyenggol
sapi dalam kendali Jaka. Kedua pasang sapi itu tampak
oleng. Jaka berusaha untuk tetap seimbang dan
melekatkan kedua kakinya pada kaleles. Namun usaha
Jaka gagal. Salah satu kakinya tergelincir. Jaka kehilangan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
65
keseimbangan. Ia terjatuh sementara sapi dalam
kendalinya melesat mengejar kedua lawannya.
Suara tepukan dan sorak sorai penonton kembali
terdengar. Namun Jaka tidak ingat apa-apa lagi begitu
badannya jatuh membentur tanah lapang di dekat garis
finish itu. Orang-orang tampak panik. Menggotong tubuh
Jaka yang terjatuh dan segera membawanya ke Rumah
Sakit.
Jaka baru sadar ketika beberapa orang
mengerumuniya di dalam ruangan yang serba putih itu. Di
dekatnya tampak ibunya menangis tersedu-sedu,
mengkhawatirkan nasib Jaka. Jaka meringis begitu
menggerakkan kakinya. Kecelakaan di lapangan itu telah
membuat salah satu kakinya cedera meskipun tidak terlalu
parah.
“Jaka, kauharus sembuh, Cong. Kalau kamu sembuh,
kamu nggak usah bekerja seperti ini lagi. Emak tidak mau
terjadi apa-apa sama kamu…” Jaka melihat Emaknya
yang sangat disayanginya itu tersedu di tepi bangsal
tempatnya berbaring. Di dekat Emak Pak Irwan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
66
melihatnya dengan rasa kasihan selain bangga dengan
keberhasilan Jaka.
“Maafkan saya, Pak Irwan. Saya tidak bisa
mengendalikan dengan baik. Saya gagal membawa sapi
bapak menjadi juara dalam pertandingan tadi.” Jaka
menyesali kegagalannya. Ia merasa telah gagal membantu
meringankan beban Emak dalam membiayai sekolahnya.
“Kamu tidak gagal, Jaka. Walaupun kamu tadi
terjatuh, tapi sapi yang kamu kendalikan berhasil sampai
duluan di garis finish.” Jaka masih tidak percaya
mendengar berita itu. “Dan bapak punya kejutan buat
kamu dan Emak kamu…”
“Kejutan apa, Pak?” Baik Jaka maupun Emak tampak
penasaran dengan kata-kata Pak Irwan.
“Kamu berhak mendapat uang Satu Juta Rupiah
sebagai honor dari pekerjaan kamu ini. Ditambah hadiah
utama dalam pertandingan ini yaitu sebuah sepeda motor.
Semua menjadi milik kamu karena kamu telah
menorehkan prestasi baru untuk sapi karapan milik saya.”
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
67
Jaka dan Emak saling pandang. Masih tidak percaya
dengan “anugerah” itu. Kalimat syukur mengalir deras
dari bibir perempuan setengah baya itu. Usaha Jaka
ternyata tidak sia-sia. Niatnya untuk membantu Emak
membiayai sekolahnya sekarang tercapai. Ia berjanji akan
serius belajar dan berharap apa yang didapatkannya
sekarang menjadi “cambuk semangat” sekaligus jalan
untuk menggapai cita-citanya kelak.
***
Surabaya, 17 April 2009
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
68
MARWAN DAN BECAK
Apa yang bisa diharapkan dari seorang tukang becak?
Serajin apa pun tukang becak mengayuh becaknya pasti
hasilnya tidak lebih dari sekadar pengganjal perut. Beda
dengan pejabat yang dalam sekejap bisa mendatangkan
uang jutaan bahkan milyaran rupiah. Lengkap dengan
fasilitas yang serba wah! Apalagi tukang becak sekarang
semakin bertambah. Hampir di setiap sudut kota Sumenep
ini mangkal tukang-tukang becak. Di taman Adipura,
pintu masuk Pasar Anom atau di pertigaan terminal
Wiraraja. Semua menunggu penumpang bis yang
berdatangan dari Surabaya dan berharap di antara mereka
ada yang mau menumpang becak. Mereka berkumpul,
tepatnya nongkrong di warung-warung kopi karena
mereka lebih banyak yang nganggur saking banyaknya
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
69
tukang becak sementara orang-orang lebih memilih naik
ojek atau sudah dijemput keluarganya di terminal.
Marwan semakin pusing. Sampai sesiang ini tak
sepeser pun uang menghuni kantongnya. Karena memang
tak satu pun penumpang yang mau ikut becak. Entah
kenapa hari ini begitu sepi. Padahal biasanya jam
sembilan pagi ia sudah bisa mengantongi sepuluh ribu
rupiah dari hasil genjotan becaknya. Sementara siang
semakin terik. Matahari sudah mulai memanggang seisi
bumi, mengalirkan peluh-peluh para petani dan kuli-kuli
panggul Pasar Anom.
"Becak, Pak…??" Marwan menawarkan jasa.
"Nggak, di rumah juga punya…" Marwan hanya
mampu mengelus dada mendengar jawaban seenaknya
dari seorang bapak yang ditawarinya.
Beginilah nasib abang becak. Ada saja orang yang
"meremehkan" pekerjaan ini! Marwan pernah berpikir
untuk mencari pekerjaan lain. Tapi ia sadar dengan
kemampuannya. Ia tidak memiliki keahlian lain selain
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
70
menarik becak atau jadi kuli panggul di pasar. Tidak
seperti Rusli tetangganya yang mempunyai keahlian
membuat lemari, meja atau kursi. Dia tidak sepi order.
Hampir setiap hari ada saja yang memesan lemari atau
rak-rak toko dari bahan kayu jati. Akhirnya Marwan
mencoba istiqomah dengan profesinya sekarang. Setiap
hari keluar rumah dengan becak milik juragannya.
Meskipun penghasilannya tidak seberapa. Ia bersyukur
mempunyai seorang istri seperti Lasmi, yang tidak banyak
menuntut dengan penghasilan yang didapatkannya dari
membecak. Lasmi selalu nrimo berapa pun hasil genjotan
pedal becaknya. Apalagi sembako semakin hari semakin
menggila saja harganya. Beras, minyak keltek, semakin
hari semakin tidak terjangkau oleh kaum melarat seperti
dia. Benar-benar harus lebih profesional mengatur
keuangan keluarga. Memilah-milah antara kebutuhan dan
keinginan.
"Ya, harus disyukuri, Mas. Meskipun sedikit itu kan
hasil jerih payah sampeyan. Yang penting cukup buat
makan dan uang saku anak kita sekolah." Kata-kata itu
yang kadang membuat hati Marwan terenyuh. Betapa ia
sangat beruntung mendapatkan istri sesabar dan seikhlas
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
71
Lasmi. Coba jika istrinya banyak menuntut? Yang selalu
"melawan" dan berteriak-teriak seperti tokoh-tokoh dalam
sinetron Suami-Suami Takut Istri yang kurang disukainya
itu. Pasti ia kurus kering dengan sikap istrinya, atau
bahkan mengambil jalan pintas untuk mendapatkan uang.
Ikut ngeco' sapi, misalnya? Nyopet di pasar atau pekerjaan
lain yang bisa mendapatkan uang tanpa harus memeras
keringat berlebihan? Marwan selalu beristighfar agar tidak
pernah dihantui pikiran semacam itu. Karena di jaman
yang serba sulit ini seringkali kemiskinan menjadi salah
satu penyebab tindak kejahatan. Dia sering miris melihat
berita-berita televisi yang dipenuhi oleh tindak kriminal
yang ujung-ujungnya disebabkan oleh masalah keuangan
itu.
"Saya akan berusaha lebih keras lagi, Dek." Begitu
jawaban Marwan setiap kali memberikan uang belanja
dari hasil keringatnya.
***
Ratih, putri semata wayang Marwan demam. Marwan
sangat khawatir. Apalagi di musim penghujan ini rawan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
72
sekali demam berdarah. Puskesmas kecamatan dipenuhi
oleh pasien anak-anak yang terkena demam berdarah. Ia
tidak mau penyakit itu menular pada putrinya. Lasmi
mencoba mengompres putrinya. Berharap demamnya
turun.
"Kita bawa ke dokter saja, Dek…" Marwan semakin
panik melihat kondisi putrinya yang siang tadi masih asyik
bermain bersama teman-temannya, sekarang terbaring
lemah itu.
"Pesse dari dimma, Mas?" Lasmi menimpali sembari
meletakkan bak berisi air di atas meja.
Marwan baru sadar bahwa sekarang ia tidak punya
uang. Hasil membecak kemarin sudah dibelikan beras dan
minyak. Sementara sisanya untuk bayar listrik. Ia
berusaha untuk tepat waktu membayar uang listrik karena
ia tidak mau bayar dobel bulan berikutnya. Kalau urusan
listrik sudah beres, ia hanya tinggal mencari uang untuk
biaya makan sehari-hari.
"Pinjam ke Pak Sanusi bisa ndak, ya?" Marwan
mencoba usul. Selama ini ia paling anti meminjam uang
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
73
kepada siapa pun, termasuk Pak Sanusi yang dikenal
sebagai tokang mabudu' uang itu. Ia tidak mau dikejar-
kejar utang, meskipun hanya sedikit. Ia lebih baik menarik
becak daripada harus meminjam dan harus
mengembalikan dua kali lipat dari uang yang dipinjamnya.
"Ndak usah, Mas. Insya Allah Ratih akan sembuh.
Kita berdoa saja." Lasmi mencoba menenangkan
kepanikan suaminya. Marwan hanya bisa berdoa agar
putrinya tidak apa-apa dan besok bisa sekolah dan
bermain lagi bersama teman-temannya.
Tapi sampai keesokan harinya demam putrinya belum
juga turun. Panasnya semakin tinggi. Marwan harus bisa
mendapatkan uang untuk memeriksakan putrinya.
"Sampeyan mau kemana?" Tanya Lasmi begitu
melihat Marwan memakai "baju dinas"-nya. Celana
trening, baju kaos dan topi caping yang juga biasa dipakai
petani ke sawah itu.
"Saya mau keluar membecak, Dek. Semoga ada
penumpang dan dapat uang cukup untuk membawa Ratih
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
74
ke puskesmas." Lasmi hanya diam melihat Marwan yang
keluar menghampiri becak yang diparkir di samping
rumah.
"Hati-hati, Mas… semoga dapat uang cukup…" lirih
Lasmi berucap.
Sementara Marwan dengan semangatnya yang
menyala-nyala mengayuh becaknya sejauh lima kilo meter
untuk sampai ke kota. Tujuannya adalah jalan dr. Cipto,
tepatnya lokasi Rumah Sakit dr. Moh. Anwar. Siang-siang
begini biasanya banyak keluarga pasien minta diantar ke
apotek atau pulang ke rumahnya. Ia tidak memilih
pertigaan terminal karena di sana sudah terlalu banyak
tukang becak yang mangkal.
Sesampainya di pintu masuk rumah sakit, mata
Marwan berbinar-binar. Ada seorang ibu memanggilnya.
Alhamdulillah dapat satu orang, bisik Marwan dalam hati.
"Ke jalan Kemala, Pak? Berapa?" Ibu itu ternyata
bukan satu dua kali ikut becak. Sepertinya sudah biasa
menawar tarif becak. Karena kalau tidak maka akan kena
ongkos mahal kalau tidak ada "akad" sebelum berangkat.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
75
"Biasa, Bu. Tujuh ribu lima ratus…" jawab Marwan.
"Lima ribu, ya… karena saya harus balik lagi ke sini.
Jadi PP sepuluh ribu?" tawar ibu itu.
Marwan langsung mengangguk dan menyilakan calon
penumpangnya naik. "Baiklah, silakan naik…"
Di mata Marwan sudah jelas lembaran sepuluh ribuan
berwarna merah itu. Kalau dalam waktu singkat ada lima
penumpang saja yang ikut becaknya, berarti lima puluh
ribu bisa dikantonginya. Marwan pikir sudah cukup untuk
membawa putrinya ke puskesmas. Syukur kalau ada sisa.
Bisa buat belanja besok atau ditabung untuk biaya sekolah
anaknya.
Lima belas menit kemudian Marwan sudah sampai
lagi di rumah sakit. Tapi sepertinya tidak ada calon
penumpang lagi yang lewat. Tadi ada bapak-bapak
menghampirinya. Dia pikir mau menumpang becak, tapi
ternyata hanya tanya tempat apotek Diana yang lokasinya
agak jauh dari rumah sakit. Marwan menimang-nimang
uang sepuluh ribuan di tangannya. Sementara peluh terus
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
76
mengucur di dahi dan seluruh tubuhnya. Dilihatnya
sekeliling tapi tidak juga ada orang yang mau ikut
becaknya.
Lelaki tiga puluh lima tahun itu semakin gelisah.
Keringatnya semakin deras membanjiri sekujur badannya.
Bukan karena panas yang membakar, tapi karena ia
teringat kondisi putrinya yang panasnya sebelum ia
berangkat tadi belum turun-turun. Jam dinding di pos
satpam menunjukkan pukul satu siang. Marwan semakin
khawatir. Ia ingin pulang, tapi uang di kantong celananya
mana mungkin cukup untuk biaya berobat putrinya ke
puskesmas. Belum ongkos angkutan. Ah… Marwan
benar-benar bingung. Ia mencoba menenangkan
pikirannya dengan duduk tenang di sadel becaknya.
Ketika sebuah suara mengagetkannya.
"Pak, Bantu saya, Pak…" seorang gadis berusia dua
puluhan tahun tiba-tiba menangis di depan Marwan.
"Ada apa, Dik? Apa yang bisa saya bantu?" Marwan
jadi bingung dan merasa kasihan melihat gadis di
depannya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
77
"Bantu donor darah untuk bibi saya yang baru
dioperasi. Saya sendirian, Paman saya di Surabaya. Stok
darah di rumah sakit ini habis…."
"Ya…ya…tapi saya kan harus diperiksa dulu, takut
golongan darah saya tidak sama."
"Ikut saya, Pak..." Gadis itu langsung mengajak
Marwan ke ruang lab. Memeriksakan darah Marwan.
Sementara ia menunggu di ruang tunggu dengan harap-
harap cemas.
"Bagaimana dokter?" gadis itu langsung menanyakan
dokter yang baru keluar.
"Darah bapak itu O. Jadi bisa mendonorkan darahnya
untuk bibi anda."
Gadis berkerudung merah itu berulangkali mengucap
hamdalah. Sembari menunggu Marwan keluar dari ruang
lab.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
78
Beberapa menit kemudian Marwan keluar. Rasa
pusing tiba-tiba menyerang kepalanya. Gadis itu langsung
menghampirinya.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah menolong bibi
saya."
"Sama-sama, Dik. Saya pamit pulang dulu…"
Marwan beranjak meninggalkan ruang tunggu lab.
"Tunggu! Ini untuk Bapak. Sekali lagi terima kasih."
Gadis itu memasukkan sejumlah uang ke dalam saku
pakaian Marwan. Tetapi Marwan berusaha mencegahnya.
"Nggak apa-apa. Diambil saja buat tambah-tambah…"
gadis itu tetap memaksa memberikan uang itu. Marwan
tidak bisa menolak lagi karena uang itu sudah ada di saku
pakaiannya. Sesampainya di tempat becaknya, Marwan
masih tidak percaya melihat jumlah uang yang diberikan
perempuan tadi. Dua ratus ribu rupiah! Jumlah yang
sangat banyak di mata Marwan. Jarang ia mendapatkan
uang sebanyak itu dari hasil membecak. Benar-benar
Allah Maha Pemurah, pikirnya. Yang tidak pernah
menutup mata bagi hamba-Nya yang benar-benar susah.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
79
Marwan langsung menggenjot becaknya pulang. Pasti
Lasmi senang bukan main melihat ia membawa uang
sebanyak itu. Selama berprofesi sebagai tukang becak
baru kali ini ia mengantongi pesse sebanyak itu.
Marwan meletakkan becaknya di halaman rumah
Samin, tetangga sebelah rumahnya. Karena di depan
rumahnya banyak sepeda motor dan kerumunan orang
yang memenuhi amper rumahnya. Ia tidak punya firasat
apa-apa. Ia hanya ingin segera membawa Ratih ke
puskesmas. Itu saja yang sedari tadi memenuhi
pikirannya.
"Yang sabar, Marwan…" seorang tetangga menepuk
pundak Marwan, mencoba menenangkan. Padahal
Marwan biasa-biasa saja. Karena ia masih belum sadar
apa yang terjadi di rumahnya.
Tanpa menghiraukan tetangganya Marwan langsung
menyeruak kerumunan orang-orag di rumahnya.
"Lasmi, ayo kita bawa Ratih ke puskesmas. Saya
sudah ada uang untuk membawanya berobat. Ini
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
80
uangnya…" Marwan mengeluarkan uang pemberian gadis
di rumah sakit tadi. Sementara Lasmi hanya mampu
terisak, menahan tangis.
"Terlambat, Mas. Ratih sudah…" Lasmi memeluk
suaminya yang masih belum percaya dengan
pemandangan yang ada di depannya. Bahwa tubuh kecil
yang terbaring tenang itu adalah putri semata wayangnya.
Seluruh otot kaki dan persendian Marwan tiba-tiba seperti
dilolosi. Tak mampu lagi menahan beban tubuh kurusnya.
Sementara pandangannya perlahan mengabur. Seperti ada
ribuan kunang-kunang yang menghalangi penglihatannya.
***
Sumenep, 20 Februari 2010
Keterangan:
Minyak keltek : Minyak goreng
Ngeco' : Mencuri
Pesse dari dimma? : Uang dari mana?
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
81
Tokang mabudu' : Rentenir
Amper : Serambi
Pesse : Uang
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
82
KARENA KAU BUKAN UNTUKKU
Kebisuan yang terjelma
Menumbangkan asa dan cinta
Dalam gairah prasangka
Seakan hadir tak bermakna
Mengerti pun aku diam
Dalam galau kesendirianku27
Minggu, 01 Januari 2006
Kubuka lembaran ini dengan lelehan air mata, Za. Air
mata kesedihan yang kian menyesaki rongga dada. Dan
27 Puisi ini dikutip dari novel Siluet Senja karya Hafidz & Ria, GIP Jakarta.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
83
entah kapan kawah air mata ini akan mongering. Atau kau
sengaja akan membiarkan luka hati ini kian menganga,
tanpa ada setitik niat pun untuk membalutnya?
Sudah seminggu ini kau berubah, Za. Kulihat kau
bukan Zahra yang dulu. Zahra yang selalu terbuka dengan
masalah yang mendera. Zahra yang selalu ceria, lincah,
komunikatif sehingga hampir semua santriwati
mengagumi, termasuk aku.
Jangankan ngobrol bersama, sekarang bahkan kau
lebih memilih berangkat sendiri setiap hendak mengikuti
kegiatan demi kegiatan pesantren. Padahal dulu kemana-
mana kita selalu bersama. Ke kursus menjahit, pramuka,
latihan pidato dan hampir di setiap kegiatan pesantren kita
berangkat bersama. Melalui hari-hari indah di pesantren
walau katamu kadang membosankan, menjemukan dan
tak jarang membuat sebagian santriwati tidak betah dan
memilih stop study. Tapi kita tidak, Za. Kita tetap enjoy
menjalani disiplin. Sesuai prinsip kita; enjoy this life.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
84
Kamis, 05 Januari 2006
Kemarin sore aku sengaja mengirimimu surat, Za.
Aku terpaksa, karena aku tahu kau akan menghindar dan
berusaha mencari kesibukan lain jika aku mengajakmu
bicara. Di surat itu aku memintamu untuk berterus terang
dengan masalah yang sebenarnya. Yang membuat kau
berubah dan menjauh dariku. Aku juga memintamu untuk
membalas suratku paling lambat tadi malam pukul 21.00,
setelah bel belajar malam usai. Tapi kau tidak
membalasnya. Aku tunggu sampai tadi pagi, juga tidak
ada. Dan akhirnya… kusimpulkan bahwa kau memang
benar-benar berniat mengakhiri persahabatan kita.
Persahabatan yang kita jalin selama hampir dua tahun ini.
21 Januari 2006
Aku tidak pernah menyangka kalau persahabatan yang
selama ini kita jalin akan berakhir dengan sad ending, Za.
Akhir yang tak pernah kita harapkan sebelumnya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
85
Terus terang aku takut kehilanganmu, Za. Takut
kehilangan persahabatan yang dengan susah payah kita
bina bersama.
Kau mungkin tidak tahu betapa berantakannya hati
dan perasaanku saat ini. Apalagi jika melihat perubahan
sikapmu. Sungguh kau jauh berubah. Kau seolah-olah
sangat membenci keberadaanku. Itu tampak sekali dari
sikap cuek dan sikap "dingin" yang kautampakkan. Kau
sudah tidak mau merespon surat-surat yang kukirim
padamu. Padahal aku yakin, kautahu kalau surat-suratku
itu membutuhkan jawaban jujurmu. Jawaban yang
kuharapkan mampu mengobati dan menebus semua
kecurigaanku tentangmu.
Aku tidak tahu sampai kapan hubungan ini akan
membaik kembali seperti dulu lagi. Aku ingin hubungan
persahabatan kita kembali harmonis, Za. Tanpa ada jarak
yang hanya membuat kita saling sungkan walau hanya
untuk sekadar bertegur sapa. Jarak antara kita semakin
jauh. Dan kian jauh….
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
86
Sungguh selama ini aku merasa tersisihkan. Terutama
oleh sikapmu yang berubah drastis itu. Kau tidak pernah
sudi lagi menampakkan senyum dan keceriaan di depanku.
Kau selalu menghindar setiap aku berusaha di dekatmu.
Padahal aku hanya ingin satu; persahabatan kita kembali
seperti dulu. Hanya itu!
Selasa, 24 Januari 2006
"Cerpenmu bagus, Nur. Aku hampir nangis lho
membacanya." komentarmu saat membaca Gerhana
Cinta, salah satu cerpenku yang dimuat bulletin pesantren
edisi khusus dulu. Jangankan kau, Za. Aku sendiri
meneteskan air mata saat menulisnya. Saat mengisahkan
dilema hati Aisyah dalam cerpen tersebut. Aku tahu itu
hanya fiktif. Hanya hasil imajinasiku. Tapi aku yakin
kisah itu juga ada di kehidupan nyata. Karena hampir
semua cerita yang kutulis tidak pernah lepas dari realitas
kehidupan sehari-hari yang aku temui, aku alami.
"Tapi sayang kurang nyastra." tambahmu mengkritisi
bahasa yang kugunakan. Kuakui aku memang tidak bisa
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
87
merangkai kata-kata indah apalagi sastra seperti yang
kauharapkan. Aku masih harus banyak belajar dari
penulis-penulis senior yang sudah diakui di belantara
kesusastraan Indonesia. Makanya aku banyak mengoleksi
buku-buku karya Helvy Tiana Rosa, Supernova-nya Mbak
Dee dan aku baru saja membeli novel Asma Nadia, "Jo
dan Kas; 101 Dating" yang dulu pernah dimuat
bersambung di majalah Muslimah. Aku masih ingat saat
kita saling rebutan untuk membaca kelanjutan "kisah
cinta" Jo dan Kas yang "unik" itu.
Ah… andai saja kautahu aku telah memiliki bukunya
pasti kau lah yang pertama kali akan merampas buku itu
dari tanganku. Tapi…
Sabtu, 28 Januari 2006
Aku pasrah saja, Za, saat dokter Herman memvonis
aku terserang thypus. Aku disarankan untuk opname
selama beberapa hari untuk pemulihan karena kondisiku
memang payah. Badanku panas. Demamku tinggi.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
88
Dan teman-teman membesukku, Za. Bahkan teman
sekelas kita, Hana, Nanik dan Rida tadi malam menginap
di sini, di ruang yang serba putih dan sesak dengan bau
obat ini. Dan aku kecewa saat kutahu kau tidak ada di
antara mereka. Padahal aku berharap kau juga
menjengukku seperti teman-teman yang lain. Tapi kau
tidak ada. Kau benar-benar tak pernah mengerti
perasaanku, Za. Aku sempat menangis dalam diam dan
membatin, sebesar apa kesalahanku hingga kau benar-
benar membenciku?
30 Januari 2006
Alhamdulillah sejak kemarin keadaanku mulai
membaik, Za. Aku hanya dirawat selama dua hari di
RSUD Moh. Anwar. Dan kini aku kembali menjalani
rutinitasku di pesantren. Walau kata Kak Ika, Bagian
Kesehatan pesantren, aku harus banyak istirahat. Aku
diminta untuk tidak terlalu banyak pikiran.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
89
Ba'da Shubuh, 01 Pebruari 2006
"Itu gejala posesive. Perasaan itu bisa kauhilangkan
demi kesucian jiwamu. Kau harus bisa menjadi tuan bagi
pikiran dan perasaanmu." kata Ustadzah Sarah saat
kusampaikan masalah yang terjadi antara kita, Za.
Maafkan aku, Ukhti. Sebenarnya aku tidak ingin
menceritakan hal ini kepada siapa-siapa. Tapi aku tidak
kuat, Za. Aku sungguh tertekan dengan sikapmu yang
misterius itu.
"Posesive?" aku sempat terkejut mendengar kata-kata
Ustadzah pengajar Ilmu Psikologi yang lemah lembut itu,
Za. Rasa memiliki? Simpati berlebihan? Benarkah…??
"Coba kaurenungi ayat ini; 'Teman-teman akrab pada
hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Kecuali orang-orang yang bertakwa.' (Az-
Zukhruf;67)"
Terus terang, lama aku terpekur, Za. Merenungi ayat
al-Qur'an yang seolah-olah "menyentil" masalah
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
90
persahabatan kita. Apakah ini pertanda kalau persahabatan
kita benar-benar akan berakhir?
Hatiku bergetar, Za. Aku tidak mengharapkan itu
terjadi. Aku tidak mau persahabatan kita hancur gara-gara
hal yang tidak jelas seperti ini. Toh, walau pun itu benar-
benar terjadi, insya Allah aku ikhlas. Asalkan kaujelaskan
masalah yang sebenarnya. Sesuatu yang telah
merenggangkan jarak antara kita.
06 Maret 2006
Sebulan berlalu. Aku sama sekali tidak mengisi diary
ini dengan masalah yang menimpa kita, Za. Masalah yang
aku sendiri tidak tahu apa sebab-musababnya. Selama
sebulan ini aku berhasil mempraktikkan "terapi" yang
dianjurkan Ustadzah Sarah sebulan yang lalu. Terapi yang
kuharap mampu melupakan masalah yang cukup
menyiksa hatiku.
Dan di ulang tahunmu yang ke-18 ini, aku
menyiapkan sebuah "kado istimewa" yang akan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
91
kupersembahkan untukmu. Aku sudah minta bantuan
Hana untuk menyerahkan padamu nanti ba'da Dzuhur.
Namun belum sempat kuberikan kado itu, Hana
menyerahkan sepucuk surat padaku.
"Untuk kamu, dari Zahra!" katanya sembari
menyerahkan sepucuk surat itu ke tanganku. Lama aku
termangu. Ragu untuk mengambil suratmu.
"Untuk apa? kalau hanya untuk menambah sakit hati
ini, aku rasa tidak perlu. Semuanya sudah terlambat!"
kataku ketus. Hana terheran-heran dengan sikapku.
"Lantas untuk apa kado ini aku berikan padanya?"
Tanya Hana sambil menimang-nimang kado ulang tahun
yang sudah kubungkus rapi.
"Bilang saja itu persembahan terakhir dari
persahabatanku dengannya." kata-kataku makin ketus.
Walau kuakui aku tidak kuat membendung gemuruh
dalam hati. Gelombang perasaan yang jauh lebih dahsyat
dari gelombang Tsunami.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
92
"Tapi dia ingin kamu membacanya. Di surat ini dia
menjelaskan masalah yang sebenarnya antara kalian
berdua."
"Setelah lebih dari dua bulan, setelah hati ini nyaris
berkeping-keping, dia akan menjelaskannya? Setelah aku
berusaha menghapus semua memori kebersamaan dan
keakraban yang pernah ada?"
"Tolong, Nur. Aku yakin Zahra melakukannya bukan
tanpa sebab. Dia tidak mungkin melakukan semua ini
kalau tidak ada masalah "vital" yang belum kauketahui.
Dan sekarang cobalah baca surat itu!"
Lama aku terdiam, Za. Aku sadar, aku begitu egois.
Ya, semua itu aku lakukan karena aku tidak tahan dengan
sikapmu yang telah menampar-nampar kekerdilan hatiku.
Terus terang aku masih membutuhkanmu, Za. Butuh
dukungan darimu.
Dan akhirnya hatiku kembali melunak. Kusobek ujung
amplop ungu itu dan perlahan membacanya dengan
gejolak perasaan yang berdentam-dentam.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
93
To: Ukhti Fillah Nurul Faizah
Assalamu'alaikum…
Maafku untukmu, Za. Semoga Allah masih sudi
menaburkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita.
Entah darimana aku harus memulai surat ini,
Nur. Karena aku tahu kekecewaanmu selama ini
melebihi besarnya gunung. Melebihi banyaknya
buih di lautan sana.
Aku bukan tidak membaca surat-suratmu, Nur.
Bahkan setiap surat yang kaukirimkan, aku sudah
menulis jawabannya. Namun aku tidak kuasa
menyerahkannya padamu. Aku takut kau kecewa
dengan jawaban yang kutulis. Semakin sakit hati
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
94
dengan cerita yang sebenarnya. Tentang sebab
perubahan sikapku selama ini.
Aku tidak pernah berharap persahabatan kita
berakhir seperti yang kaukatakan. Karena kau
adalah sahabat sejatiku. Kau memiliki kelebihan
yang tidak dimiliki teman-teman yang lain.
Namun… "badai isu" itu yang telah berusaha
menghancurkan persahabatan yang kita bangun
bersama. Isu yang aku yakin tidak benar. Mereka
hanya mengada-ada. Mereka hanya iri dengan
keakraban kita berdua. Karena hal itu memang
tidak pernah terjadi antara kita.
Nur, maafkan aku jika aku baru berterus terang
dengan perubahanku selama dua bulan ini.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
95
Sebenarnya hal ini tidak ingin aku sampaikan
kepadamu. Tapi aku rasa ini penting untuk
kauketahui. Agar kecurigaan yang selama ini
bercokol dalam hatimu hancur tak berbekas.
Karena aku tahu, kita tidak seperti yang mereka
sangkakan. Yang telah menduga persahabatan kita
"tidak sehat". Di luar batas kewajaran. Padahal aku
tahu "perasaan" itu hanya pantas untuk kita berikan
kepada kaum Adam. Kaum lelaki yang Allah
sediakan untuk kita, kaum Hawa.
Begitulah, Nur. Aku harap kau mengerti. Dan
sekarang, izinkan aku kembali merenda dan
menyulam benang persahabatan kita. Sekali lagi,
maafkan aku, Nur…
Wassalam…
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
96
Ukhtuki Fillah,
Zahra Adzkiya
Suratmu kulipat kembali, Za. Aku tidak kuat menahan
air mata yang kian deras membasahi pipiku. Apa salah
kita, Za? Apa alasan mereka menilai kita serendah itu dan
sehina itu? Aku masih normal, Za. Dan aku yakin kau juga
begitu. Atau memang kita harus tidak berlebihan dalam
berteman? Apa benar kata Ustadzah Sarah, kalau teman-
teman yang lain juga membutuhkan kita? Mengharapkan
perhatian dan kasih saying kita? Apakah ini yang telah
menyebabkan mereka berburuk sangka?
***
Ellak Daya, Maret 2006
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
97
EPISODE CINTA YANG TERTUNDA
05 Ramadhan 1426
Jujur, aku tidak suka dengan cara orang tuaku
yang masih memperlakukanku seperti anak kecil.
Yang selalu “ikut campur” dalam setiap urusan
“pribadi”-ku. Padahal aku sudah mahasiswa semester
tujuh. Usiaku pun sudah menginjak dua puluh tiga.
Kupikir sudah saatnya aku untuk mandiri, tanpa harus
bergantung pada orang lain.
Bukan aku tidak butuh perhatian mereka. Sama
sekali bukan! Aku hanya tidak suka cara orang tuaku
yang menurutku terlalu “over protektif” itu.
Oke! Itu bisa aku maklumi. Karena sebagai orang
tua, mereka memang bertanggung jawab atas anak-
anaknya. Bagaimana perkembangannya,
pergaulannya, tingkah lakunya dan sebagainya. Tapi
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
98
kali ini aku benar-benar tidak suka dengan sikap orang
tuaku. Dengan rencana mereka yang akan
menjodohkanku dengan seorang gadis di kampungku.
Semula aku tidak percaya. Aku anggap omongan
kakakku seminggu yang lalu hanya guyonan belaka.
Mungkin kakakku hanya ingin “menakut-nakuti” aku
yang sampai sekarang masih betah dengan status
JOMBLO. Ah… aku jadi semakin pusing. Bingung.
Kenapa jalan hidup seperti ini yang harus aku lalui?
“Kakak hanya guyon, kan?” tanyaku sekali lagi di
telepon seminggu yang lalu.
“Aku serius, Di. Sepertinya Bapak dan Emak
benar-benar merencanakan perjodohan itu. Semula
aku juga tidak percaya, karena aku yakin kau tidak
mau diperlakukan seperti ini.” Ada nada sesal dalam
kalimat kakakku. Ah, Emak… Bapak…
“Kalau menurutmu bagaimana?” lama aku
terdiam. Aku baru sadar ketika kakak kembali
menyadarkanku dengan pertanyaan yang sama.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
99
“Entahlah, Kak. Aku akan coba membicarakan
masalah ini nanti setelah aku pulang.”
“Sebaiknya memang begitu, Di. Kau harus
menjelaskan dengan hati yang tenang. Ungkapkan
semua alasanmu kalau kau memang kurang suka
dengan rencana itu.” Kututup gagang telepon dengan
perasaan yang semakin tidak menentu.
11 Ramadhan 1426
Aku benar-benar bingung. Pusing tujuh keliling.
Aku tidak bisa membayangkan seandainya orang
tuaku benar-benar menjodohkan aku dengan
perempuan yang tidak aku kenal itu.
“Gimana, Di? Jadi pulang besok?” Kak Wahyu,
kakak kelasku yang sudah tiga tahun mengajar di
pesantren ini tiba-tiba mengagetkan lamunanku. Aku
hanya tersenyum seraya menata lembar-lembar
jawaban UTS yang berserakan di atas meja. Sebelum
pulang aku harus menyelesaikan koreksian yang
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
100
lumayan menumpuk. Maklum, pesantren baru saja
menyelesaikan Rapat Tahunan (RAPTA) untuk
mengganti pengurus organisasi yang lama. Jadi
konsentrasiku terfokus pada kegiatan tersebut. Hingga
tidak sempat mengoreksi jawaban-jawaban UTS.
“Insya Allah jadi, Kak. Tapi….”
“Tapi kenapa, Di? Kok kayaknya kamu kurang
semangat untuk pulang. Seharusnya kamu kan
gembira karena mau bertemu dengan keluargamu di
kampung. Sudah dua tahun kan kamu nggak pulang?”
“Bukan karena aku akan bertemu mereka. Aku
hanya belum siap bicara tentang masalahku itu.”
“Maksudmu tentang perjodohan itu?” Kak Wahyu
mencoba menerka apa yang bersemayam dalam ruang
pikiranku. Ya, masalah ini memang pernah aku
sampaikan pada Kak Wahyu, karena aku benar-benar
butuh bantuan seseorang yang bisa memecahkan
kebuntuan pikiranku. Terutama masalah perjodohan
yang menurutku sangat ‘mengerikan’ itu.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
101
“Kamu tenang saja, Di. Sekarang jawaban itu ada
pada kamu. Kalau kau memang cocok dengan pilihan
orangtuamu, kenapa harus kamu tolak? Misalkan
gadis itu sosok yang ideal menurut kamu, terutama
akhlak dan agamanya. Itu kan lebih baik. Ingat, jodoh
itu memang kadang-kadang datang melalui sebuah
perantara. Siapa tahu jodoh kamu memang lewat
pilihan orang tuamu?” tanpa aku duga Kak Wahyu
mengeluarkan kalimat-kalimat yang cukup
membuatku semakin pusing.
“Kok Kak Wahyu jadi mendukung orang tuaku?”
tanyaku.
“Bukan masalah mendukung atau tidak. Sekarang
masalahnya, bagaimana kalau pilihan orang tuamu itu
ternyata cocok sama kamu?”
Aku kembali terdiam. Pikiranku berkecamuk.
Kalau kupikir-pikir, apa yang dia sampaikan juga
benar. Kenapa sih selama ini aku selalu berburuk
sangka? Kalau perjodohan itu adalah sesuatu yang
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
102
“kurang baik”? Kenapa aku tidak pernah berpikir
seperti apa yang ada dalam pikiran Kak Wahyu?
“Entahlah, Kak. Rasanya saya masih belum siap
memikirkan masalah itu.”
“Belum siap bagaimana? Menurutku sudah
saatnya kau untuk memikirkan masalah ini. Lagian ini
kan masih proses. Siapa tahu pilihan orang tuamu
cantik dan shalihah. Maaf, saya tidak bermaksud
memprovokasi. Tapi begitulah….” Kulihat Kak
Wahyu hanya tersenyum seraya meninggalkanku
termangu di depan pintu. Mungkin ia tidak tahu apa
yang sedang bergejolak dalam hatiku.
13 Ramadhan 1426
Jam dua belas siang. Alhamdulillah aku sampai di
pelabuhan Sapeken setelah hampir empat belas jam
menempuh perjalanan dari pelabuhan Kalianget.
Perjalanan yang cukup melelahkan. Tinggal dua jam
perjalanan lagi untuk sampai ke Desa Sepanjang,
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
103
kampung halamanku. Desa tempat kelahiranku
memang lumayan jauh dibanding pulau-pulau lain
yang ada di Kabupaten Sumenep. Dari Sapeken aku
harus ikut perahu selama dua jam untuk sampai di
Tembing, pelabuhan yang tidak begitu jauh dari
rumahku. Ah, Sepanjang… Apa kabar? Sudah lama
aku tidak menjejakkan kakiku di pulau ini. Sudah dua
tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini. Walau
aku selalu berdoa untuk kampung halamanku tercinta.
Adzan Ashar menyadarkanku dari tidur. Rupanya
aku benar-benar terlelap sejak perahu yang aku
tumpangi berangkat dari pelabuhan Sapeken dua jam
yang lalu.
Pelan aku turun dari perahu yang membawaku
dengan selamat ke pelabuhan Tembing. Beberapa
tukang ojek tampak berkerumun menawarkan
tumpangan. Kuedarkan pandanganku ke tempat
kerumunan orang-orang di pinggir pelabuhan. Kucari
sosok Bapak yang katanya mau menjemputku dengan
sepeda motor. Jadi aku tidak perlu naik ojek lagi
untuk sampai ke rumah.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
104
Nah, itu dia! Tapi… perasaan gembira dalam
hatiku kembali memudar saat kulihat sosok lelaki
tegap itu menghampiriku. Bapak! Orang yang selama
ini aku banggakan. Sosok yang telah mengajarkanku
banyak hal. Walau di satu sisi ada yang kurang aku
sukai dari sifat beliau. Sifat otoriter yang sejak dulu
tetap melekat pada diri Bapak. Tapi… Walau
bagaimana pun beliau adalah orang nomor satu yang
harus kubanggakan dalam kehidupanku. Maafkan
saya, Pak….
“Bagaimana perjalanannya, Di? Capek, ya?”
kusambut tangan Bapak dan kucium tangan beliau
penuh takdzim.
“Alhamdulillah. Akhirnya aku sampai juga ke
Sepanjang ini. Bagaimana kabar Ibu dan Tutik?
Mereka baik-baik saja kan, Pak?”
“Mereka sehat-sehat saja. Kakakmu insya Allah
besok lusa datang. Katanya dia mau ikut perahu milik
nelayan dari Banyuwangi.”
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
105
Udara dingin tampak berdesir cukup dingin.
Awan tebal bergantung menggayuti kaki langit
bersama gerimis yang mulai menetes.
Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok penuh
kerikil dan batu akhirnya aku sampai di rumah.
Kulihat pemandangan di sekitar. Rumah-rumah
panggung masih tetap mendominasi suasana desa
Sepanjang yang tampak tenang. Walau ada beberapa
yang sudah berganti rumah gedung.
13 Ramadhan 1426, jam 15.30 WIB.
Kedatanganku disambut dengan cukup meriah di
rumah ini. Maklum, sudah dua tahun aku tidak pulang.
Para tetanggaku pun banyak yang berdatangan
menyambut kedatanganku. Setelah lama
bercengkrama dengan keluarga dan segenap famili
aku sowan ke rumah Ustadz Yusuf, guru ngajiku di
surau sebelum aku nyantri ke kota. Suasana surau
masih tampak seperti yang dulu.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
106
“Saya sangat mengharapkan kehadiranmu di sini,
Di. Kapan kamu akan pulang kampung?” Tanya
Ustadz Yusuf.
“Kuliah saya masih tinggal dua tahun lagi,
Ustadz. Nanti kalau sudah saatnya pulang, saya akan
pulang untuk membantu rekan-rekan di sini untuk
meramaikan mushalla.”
“Itu yang sampai saat ini saya usahakan, Di.
Warga kampung di sini masih lebih suka shalat di
rumah daripada shalat berjamaah di mushalla. Oh, ya,
nanti habis tarawih kau isi kultum, ya. Sekali-kali
nggak apa-apa kan?”
“Ustadz Yusuf kan lebih afdhol, daripada saya
yang masih belum ada apa-apanya ini.”
“Nggak apa-apa, Di. Kamu coba saja nanti.
Materinya terserah kamu.”
Lama aku terdiam. Menurutku, ini adalah tugas
yang cukup berat. Menyampaikan dakwah di depan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
107
masyarakat bukanlah hal yang mudah. Perlu persiapan
dan mental yang matang sebelum menyampaikannya.
“Insya Allah, saya akan mempersiapkan dulu,
Ustadz.” Akhirnya kuiyakan tawaran Ustadz Yusuf
walau masih ada sejumput keraguan yang menyelinap
di bilik hatiku.
Tanpa terasa perbincanganku dengan Ustadz
Yusuf semakin jauh. Dari masalah tradisi masyarakat
yang masih belum berubah sampai perselisihan
masalah “paham” yang akhir-akhir ini cukup hangat di
masyarakat. Aku cukup serius mendengarkan semua
cerita Ustadz Yusuf.
Doakan saya semoga lancar dan bisa pulang
dengan cepat ke kampung ini, Ustadz. Bisikku dalam
hati. Memang, mau tidak mau aku harus pulang ke
kampung ini. Walau bagaimanapun ladang dakwah di
sini harus selalu dipupuk agar masyarakat awam di
kampung ini juga mempunyai daya pikir yang
seimbang. Agar mereka juga merasa bertanggung
jawab atas kampung Sepanjang yang lumayan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
108
potensial ini. Apalagi saat ini, di kampungku ini
ditemukan ada sumber Migas. Sekian hektar lahan
pertanian dibeli pemerintah untuk jalan dan lokasi
pelabuhan. Itu berarti masyarakat di sini harus
mempersiapkan SDM yang memadai agar tidak
mudah dibodohi
17 Ramadhan 1426
Malam ini ada musyawarah keluarga.
Musyawarah tentang rencana kedua orang tuaku. Aku
masih bingung. Entah apa yang akan aku ungkapkan
nanti pada mereka.
Alhamdulillah suasana musyawarah berlangsung
cukup lancar. Bapak dan Ibu akhirnya menyerahkan
semuanya kepadaku. Sekarang tinggal bagaimana aku
menyikapi rencana mereka. Pada intinya mereka
sangat mengharapkan aku bisa menikah dengan
Aisyah, putri Bapak Wahyono yang sedang nyantri di
Al-Ihsan, pesantren tempatku belajar waktu
Tsanawiyah dulu.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
109
Aku sama sekali tidak menyangka. Ternyata calon
yang ditawarkan kepadaku adalah sosok akhwat sejati.
Asli. Kemarin aku melihatnya saat lewat di jalan raya
depan rumahku. Masya Allah, aku tidak pernah
menyangka. Busana yang dikenakannya benar-benar
busana yang menutup seluruh anggota tubuhnya.
Jilbab yang dikenakannya pun sangat besar dan lebar.
Bukan kudung gaul yang biasa digunakan untuk
penutup kepala. Aisyah adalah sosok perempuan yang
selama ini aku impi-impikan.
Allah… Jika dia memang ditakdirkan sebagai
jodoh hamba, izinkan hamba mencintainya, setulus
hati hamba.
18 Ramadhan 1426
Atas izin orang tuanya, akhirnya aku menemui
Aisyah di rumahnya tadi pagi. Pertemuan pertama
semenjak orang tuaku merencanakan perjodohan itu.
Hati-hati aku coba bercerita tentang latar pendidikan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
110
dan pengalamanku selama ini. Aku agak rikuh juga.
Ternyata dia pendiam. Dia sama sekali tidak
memandang ke arahku selama aku bicara.
Pandangannya tetap tertuju pada tikar plastik yang
menghiasi lantai papan rumah Aisyah.
“Bapak banyak cerita tentang Antum.” Ucapnya
tetap dengan pandangan tertunduk.
“Begitulah. Sebenarnya tidak ada yang bisa saya
andalkan kecuali pengetahuan yang masih sangat
sedikit. Kalau Anti sendiri bagaimana?”
“Saya sudah kelas tiga Aliyah. Beberapa bulan
lagi lulus.”
“Ada rencana untuk kuliah?” tanyaku hati-hati.
“Entahlah. Belum ada rencana. Kalau kemauan
ada, tapi yang saya pikirkan adalah biaya. Biaya
kuliah kan mahal.”
Aku terdiam. Begitu juga Aisyah. Rasanya materi
pembicaraan yang kupersiapkan habis sudah. Apa lagi
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
111
ya, yang belum? Oh, ya. Aku masih belum membahas
tentang masalah ini. Tentang perjodohan ini.
“Sebelumnya maaf. Menurut Anti bagaimana
tentang rencana orang tua kita ini? Kalau memang
Anti keberatan sebaiknya kita bicarakan. Kita harus
sama-sama terbuka. Karena saya tidak mau ada
penyesalan di kemudian hari. Maksud saya….”
Sepi. Cukup lama kami sama-sama terdiam. Larut
dalam pikiran masing-masing.
“Saya tidak bisa menjawab sekarang. Tapi yang
jelas saya masih ragu dengan rencana ini. Maksud
saya, saya khawatir Antum sudah punya calon di
tempat Antum mengajar.”
Aku tersentak. Kenapa justru Aisyah yang punya
pikiran seperti itu? Seharusnya aku kan yang lebih
dulu bertanya apa dia sudah punya calon atau belum?
Kok jadi seperti ini sih? Aku semakin bingung.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
112
19 Ramadhan 1426
Pertemuanku dengan Aisyah kemarin menyisakan
beribu pertanyaan dalam hatiku. Apa maksud
pembicaraannya kemarin? Apa dia yang sudah atau
sedang menjalani ta’aruf dengan orang lain?
Kalau aku sendiri, jujur kurang suka dengan
perjodohan ini. Tapi melihat keseriusan orang tuaku
yang ingin menyandingkanku dengan Aisyah, rasanya
aku terlalu egois jika menolak rencana mereka.
Karena menurutku, apa sih yang kurang dari sosok
Aisyah? Jika melihat dari keluarganya, kurasa dia
berasal dari keluarga yang baik-baik. Dan agamanya
menurutku tidak perlu diragukan lagi. Tapi
masalahnya sekarang adalah; apakah dia juga
menerima perjodohan ini?
Ah… entahlah. Aku juga tidak tahu. Rasanya aku
terlalu lancang kalau harus bertanya langsung masalah
ini kepada Aisyah. Aku khawatir Aisyah tersinggung
dengan pertanyaanku. Tapi apa yang harus aku
lakukan? Kalau hanya aku saja yang merespon
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
113
perjodohan ini, sedangkan dia tidak? Ah… kenapa
aku berpikir sejauh itu? Ini kan baru proses. Entahlah.
Kok tiba-tiba pikiranku jadi seperti ini?
Aku jadi teringat Kak Wahyu saat melakukan
khitbah setahun yang lalu. Menurutku proses khitbah
antara dia dan tunangannya tidak begitu rumit. Setelah
melakukan proses ta’aruf mereka langsung melakukan
khitbah. Walau tanpa ada yang menduga hubungan
mereka kandas di tengah jalan. Tepatnya dua bulan
yang lalu. Semua teman di pesantren terkejut dan
tidak menduga kalau Kak Wahyu akan menggagalkan
khitbah.
“Bertunangan terlalu lama itu rawan fitnah, Di.”
Kilah Kak Wahyu saat aku menanyakan tentang
masalahnya. Kak Wahyu hanya tersenyum.
“Kok nggak langsung nikah aja, Kak? Itu kan
lebih baik.”
“Menikah?” dahi Kak Wahyu berkerut. Aku
hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
114
“Menikah bukan hal yang mudah, Di. Perlu
kesiapan mental yang matang. Juga persiapan
finansial yang harus kita persiapkan semenjak
sekarang. Sudahlah, mungkin antara aku dan dia
hanya ditakdirkan bertemu sampai masa khitbah saja.
Aku pasrahkan semua urusan ini pada Kuasa-Nya.”
Ah… aku jadi kasihan sama Kak Wahyu. Karena
ternyata, seperti yang kudengar masalahnya bukan
karena kekurangsiapan Kak Wahyu untuk
melangsungkan pernikahan yang menyebabkan
gagalnya khitbah itu. Konon ada orang ketiga yang
berusaha menghancurkan hubungan mereka. Entahlah.
Semuanya sudah terjadi. Dan Kak Wahyu sekarang
kembali serius menekuni profesinya sebagai staf
pengajar di pesantren di samping menjadi salah
seorang pengurus sebuah Yayasan Sosial dekat
pesantren.
23 Ramadhan 1426
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
115
Aku masih kurang yakin dengan isu yang
berhembus tentang Aisyah. Ada yang bilang kalau
Aisyah sudah melakukan ta’aruf dengan seseorang.
Andai saja orang tuanya tidak mempunyai rencana,
laki-laki itu akan melamar Aisyah. Ah, entahlah. Yang
jelas kabar itu hanya kabar angin. Mungkin itu hanya
ulah orang iseng yang berusaha mematahkan
semangatku.
Penasaran, aku langsung mendatangi Aisyah. Aku
harus tahu kebenaran isu itu. Kalau memang isu itu
benar, rencana orang tuaku harus digagalkan. Aku
tidak mau mengganggu hubungan orang lain. Aku
tidak mau menghancurkan kebahagiaan Aisyah. Aku
tidak bisa membayangkan seandainya aku berada di
posisi teman Aisyah itu. Aku tidak mau dianggap
sebagai perusak hubungan mereka.
Dan kekhawatiranku terbukti. Seperti kata orang,
ternyata Aisyah memang sedang melakukan proses
ta’aruf dengan salah seorang temannya di pesantren.
Dia hanya tertunduk saat menjawab semua
pertanyaanku.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
116
“Maafkan saya, Kak Ardi. Bukan maksud saya
untuk menyakiti hati kakak dan orang tua kakak. Saya
yakin orang tua saya juga kurang setuju dengan
pilihan saya ini. Tapi begitulah. Kami sudah sepakat
untuk sama-sama berusaha meyakinkan hati orang
tua.” Ada titik-titik air menetes dari sudut mata
Aisyah. Ya, Allah… Baru kali ini aku melihat
perempuan menangis di depanku.
“Saya sudah menduga, kalau rencana ini tidak
akan berlangsung mulus seperti harapan kedua orang
tua kita. Kalau Anti sudah mantap dengan pilihan Anti,
kenapa harus ragu? Sekarang tinggal bagaimana Anti
untuk bisa meyakinkan orang tua Anti. Dan saya yakin
orang tua Anti akan memahami posisi Anti.” Aku
tertunduk. Aku berusaha untuk meredam gejolak
dalam hati yang nyaris menggelegak. Aku harus kuat.
Karena aku sama sekali tidak berhak memaksa Aisyah
untuk menerima hatiku. Setulus apapun cinta yang ada
dalam hati ini.
“Demi suci cintanya, terimalah dia! Insya Allah
kalian akan bahagia….”
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
117
“Amiin…. Sekali lagi afwan. Semoga Allah
menganugerahkan Antum jodoh yang lebih baik, yang
sesuai dengan pilihan dan kriteria Antum….” Lirih
suara itu membelai halus gendang telingaku.
Setelah beberapa saat, aku pamitan. Kulihat ada
sisa air mata yang melekat di pelupuk matanya.
“Assalamu’alaikum….” Ucapku lirih seraya
meninggalkan halaman rumah Aisyah. Mungkin ini
untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di
rumahnya. Aku hanya bisa berdoa untuk
kebahagiaannya.
24 Ramadhan 1426
Samar bahagia yang kudamba
Ternyata masihlah damba
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
118
Yang entah kapan menjelma nyata
Kata dan asa yang telah megah terbentang
Di ujung bendera cinta dan kebanggaan
Masihlah bukan suatu jaminan
Dan di barisan depan medan pertempuran
Aku masih menimbang bimbang
Adakah aku sudah tumbang
Ataukah masih tersisa setitik harapan
Penghilang luka dan dahaga
Oleh cinta, rindu-dendam
Yang mengoyak luka sekujur badan
Sepanjang jejak kenangan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
119
Kudekap erat nganga luka
Lalu kurentangkan pada bendera cinta
Lalu selalu kubertanya pada Tuhan
Apakah makna sebuah harapan?
Dalam setiap kisah, entah mengapa
Selalu saja
Aku dipaksa untuk kalah28
Malam 26 Ramadhan 1426….
Jam 03. 00 dini hari. Aku tersungkur dalam sujud
panjangku. Kupasrahkan semua masalah ini kepada-
28 Puisi ini dikutip dari buku Risalah Patah Hati karya Fahruddin Faiz ((Penerbit Tinta, Yogyakarta)
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
120
Mu ya, Rabb. Beri hamba ketenangan hati. Singkirkan
dari hati hamba sifat-sifat dengki yang berusaha
menggerogoti amal hamba. Hamba yakin, takdir, maut
dan jodoh ada di tangan-Mu. Semua adalah Rahasia-
Mu.
Astaghfirullah… robbal baroyaa…
astaghfirullah… minal khataayaa….
* * *
Sumenep, Malam 27 Ramadhan 1426 / 00.00
Sepenggal kenangan di Pulau Sepanjang.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
121
ROKOK OZY
Siang yang muram di RSUD Sumenep. Aku duduk di
samping tubuh Ozy yang dihiasi selang infus. Sesekali
kuperhatikan tubuhnya yang kian menirus. Matanya yang
cekung dan hampir satu jam tidak berkedip membuatku
bergidik. Pelan perasaan bersalah berkelebat dalam
pikiran. Sebagai salah seorang teman dekatnya aku merasa
bersalah karena telah gagal menyadarkan kebiasaannya.
Sebuah kebiasaan yang telah menyebabkan ia terbaring
tak berdaya di tempat yang serba putih ini.
Semua penghuni Al-Azhar tahu siapa Ozy. Sifatnya
yang pembangkang dan bengal membuatnya kian terkenal
di seantero pesantren. Kebiasaannya melanggar disiplin
pesantren telah menyebabkan namanya tercoreng tinta
hitam. Cap santri pembangkang telah melekat pada
dirinya.
Ia perokok berat. Bahkan baginya rokok adalah candu
yang membuatnya ketagihan. Semenit saja tidak mengisap
asap beracun itu ia tidak akan betah. Makanya ia yang
paling sering melanggar disiplin dilarangnya merokok.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
122
Pernah suatu ketika aku didera rasa bersalah dan
gelisah saat memergoki Ozy merokok di kamar mandi saat
semua penghuni pesantren tertidur pulas. Waktu itu tengah
malam. Dentang bel di depan kantor pusat berbunyi dua
belas kali. Saat itulah semua bulis malam bangun untuk
menjaga keamanan. Aku baru saja hendak ke kamar
mandi untuk membuang hajat saat kulihat Ozy keluar dari
kamar mandi belakang asrama. Di genggamannya ada
sebungkus rokok yang hendak dimasukkan ke kantong
celananya. Aku buru-buru menghindar. Menyelinap di
balik tembok asrama. Aku khawatir ia tahu kalau aku
melihatnya.
Setelah kembali ke kamar tiba-tiba aku sangat sulit
untuk memejamkan mata. Rasa kantuk yang semula
menyerang tiba-tiba hilang setelah melihat apa yang
dilakukan teman dekatku itu. Perasaan gelisah mulai
muncul dalam benakku. Aku bingung. Apa aku harus
melaporkan kejadian ini kepada keamanan? Atau aku
harus tutup mulut, membiarkan pelanggaran demi
pelanggaran merajalela di pesantren ini?
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
123
“Ozy itu teman dekatmu. Kalau kau melaporkan
kejadian itu, berarti Ozy akan diberi sanksi lagi. Bahkan
ia bisa-bisa diskorsing dari pesantren ini.”
“Tapi ini masalah disiplin. Siapapun orangnya,
kauharus melaporkan! Ingat, apa yang akan kamu
lakukan ini benar. Kau bukan menfitnah!”
Suara-suara itu terus berdenging memenuhi ruang
pikiranku. Ya Allah, kalau apa yang akan hamba lakukan
ini benar, lindungi hamba dari hal-hal yang tidak hamba
inginkan, doaku dalam hati. Walau tidak jua
menghilangkan perasaan gelisah dalam hatiku.
Keesokan harinya Al-Azhar geger. Bagian keamanan
organisasi menemukan beberapa puntung rokok
berserakan di kamar mandi belakang asrama Abu Bakar.
Semua penghuni asrama dikumpulkan, termasuk aku dan
Ozy yang menghuni kamar IV. Satu persatu kami
diinterogasi. Ustadz Taufik, bagian keamanan pusat yang
menangani langsung kasus ini. Tapi semua santri tutup
mulut. Mereka tidak ada yang melihat santri yang masuk
kamar mandi tepat pada jam dua belas malam.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
124
“Sekali lagi saya tanya, siapa di antara kalian yang
melihat ada seorang santri masuk kamar mandi sebelum
jam setengah satu tadi malam?” suara Ustadz Taufik mulai
meninggi. Namun seperti sebelumnya semua bungkam.
Tak ada yang angkat bicara. Mulut-mulut mereka seolah-
olah terkunci. Aku sendiri semakin salah tingkah dan
mulai gelisah. Berarti hanya aku yang melihat kejadian
semalam? Pikiranku kalut. Bingung. Tak tahu apa yang
harus aku lakukan.
“Kamu nggak lihat, Fir?” bisik Ozy di sampingku.
Aku menoleh. Kulihat raut wajahnya biasa-biasa saja.
Seolah-olah tidak ada beban masalah bersemayam dalam
pikirannya. Mungkin ia mengira tidak ada yang
melihatnya tadi malam.
“Mungkin ada Ustadz yang merokok di kamar mandi
tadi malam. Yang boleh merokok di pesantren ini kan
hanya Ustadz?” seru seseorang di pojok ruangan. Semua
mata menoleh ke arah santri yang angkat bicara. Apa yang
disampaikan salah seorang teman kami itu benar. Yang
boleh merokok di tempat ini hanya orang yang
menyandang predikat Ustadz. Yang lain tidak ada yang
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
125
boleh merokok. Makanya tidak sedikit dari kami yang
kadang protes karena merasa hal ini tidak adil.
“Memangnya kalian pikir para Ustadz tidak punya
tempat untuk merokok? Sampai mau merokok di kamar
mandi kalian?” seru Ustadz Taufik. Kami hanya diam.
Setelah beberapa saat kemudian kami diperbolehkan
keluar dari ruang sidang. Kali ini Ozy benar-benar
selamat, pikirku. Tapi perasaan bersalah dan berdosa
karena telah berbohong terus membayangi perasaanku.
Aku harus melaporkan kejadian ini! Pekikku dalam hati.
***
Ba’da Isya’ aku membulatkan tekad untuk menghadap
Ustadz Taufik. Lama aku berdiri di depan kamar beliau
yang tidak jauh dari kantin dekat asrama itu.
“Assalamu’alaikum….” Akhirnya kuucapkan salam.
Lama tidak ada jawaban, ketika samar kudengar kaki
melangkah dari dalam.
“Waalaikum salam. Ada apa, Fir?” tanya ustadz
Taufik seraya menyilakan aku duduk.
“Ada yang ingin saya sampaikan, Ustadz.” Kataku
agak gugup.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
126
“Tentang apa?”
“Tentang kejadian semalam,”
“Kau tahu siapa yang melakukan?” tanya Ustadz
Taufik dengan nada menyelidik. Aku diam beberapa saat.
Sambil kuatur nafas kuceritakan semua apa yang kulihat.
Ustadz Taufik tampak serius mendengar penuturanku.
“Tapi kau tidak salah lihat, kan?” kulihat ada
keraguan di wajah beliau.
“Insya Allah saya tidak salah lihat. Saya benar-benar
melihat Ozy keluar kamar mandi dan membawa
sebungkus rokok.” Kataku meyakinkan keraguan beliau.
“Benar-benar belum kapok anak itu!” Seru Ustadz
Taufik penuh sesal. Aku tahu apa yang ada dalam pikiran
beliau sekarang. Berulangkali beliau menangani kasus
serupa dan pelanggarnya itu-itu saja. Ozy. Ya, Ozy adalah
langganan pelanggar disiplin ini. Entah sudah berapa kali
rambutnya dibotak gara-gara merokok semenjak ia
mondok. Membaca surat pernyataan di depan seluruh
santri sudah menjadi langganannya.
“Syukran atas laporan kamu. Lain kali jangan sungkan
untuk melaporkan kejadian seperti ini. Kerena dengan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
127
melaporkan kejadian ini berarti kau sudah membantu
melancarkan jalannya disiplin pesantren.” Akhirnya
Ustadz Taufik menyilakan aku keluar.
Lega. Ya, perasaan itu yang aku rasakan setelah
keluar dari ruang Ustadz Taufik.
Tapi apa yang telah aku lakukan? Aku telah
melaporkan temanku sendiri. Aku telah memberikan Ozy
peluang untuk segera diskorsing dari pesantren ini. Namun
aku berharap pihak pesantren tidak akan mengeluarkan
Ozy dari pesantren ini. Karena aku masih berharap suatu
saat Ozy sadar dan mau menghentikan kebiasaan
buruknya itu.
Dan Ozy benar-benar disidang. Entah bagaimana
ekspresi kemarahan Ustadz Taufik saat menyidangnya.
Aku tahu Ustadz Taufik penyabar. Tapi sebagai
keamanan, aku tahu beliau akan bertindak tegas demi
kelancaran disiplin pesantren. Kalau tidak, maka disiplin
hanya akan dianggap suatu yang tidak penting. Bahkan
mereka akan menginjak-injak disiplin yang diterapkan di
pesantren ini.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
128
Aku sempat terkejut saat hendak menubruk Ozy yang
tiba-tiba melintas di depanku yang hendak ke kamar. Di
wajahnya sempat kutangkap ada raut kekesalan dan
kemarahan yang aku yakin akan dilimpahkan kepadaku.
Tapi aku sudah siap dengan apa yang akan terjadi.
Selama itu tidak menginjak-injak harga diriku. Karena aku
yakin apa yang aku lakukan benar. Aku tidak menfitnah
Ozy. Dan tujuanku hanya satu; berharap Ozy menyadari
perbuatannya yang selama ini salah. Bahwa kelakuannya
di sini sudah membuat resah pengurus pesantren. Dan
kalau itu dibiarkan, maka pihak pesantren tidak akan
segan-segan mengeluarkannya dari tempat ini.
“Hei, Fir! Aku nggak nyangka kalau ternyata kau
bermulut ember. Mulutmu tak jauh beda dengan mulut
ibu-ibu RT yang suka ngerumpi, ngegosip. Ternyata kau
tidak bisa menyimpan rahasia. Semula aku mengira kalau
benar kau melihatku waktu itu, kau akan diam karena aku
tahu kau tidak akan melakukan perbuatan yang pantas
dilakukan oleh seorang pengecut itu. Tapi ternyata?”
geram suara Ozy bergetar. Kulihat api kemarahan di
wajahnya berkobar-kobar. Hilang sudah semua
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
129
kelembutan dan keakrabannya selama ini. Berganti kata-
kata kasar yang membuat emosiku juga terangsang.
“Aku hanya ingin kau bisa menghentikan kebiasaan
burukmu itu, Zy. Aku tahu itu masalah pribadi kamu. Tapi
kalau ini kau lakukan terus menerus, maka kamu sendiri
yang susah. Kau tidak mau kan diskorsing hanya gara-
gara masalah ini?” kataku mencoba menenangkan
suaranya.
“Alah, persetan dengan itu semua! Dan itu tidak akan
terjadi kalau tidak ada santri yang melaporkan. Sudahlah,
ini urusanku. Kau tidak akan bisa membuatku alim dan
penurut sepertimu. Kau ajak yang lain saja untuk
mendengarkan ceramahmu. Dan sekali lagi kau tidak usah
ikut campur!”
“Tapi aku kan juga temanmu, Zy?”
Ozy tergelak. Sinis.
“Teman? Jadi ini yang kauanggap pertemanan? Apa
bentuk persahabatan seperti ini yang kau pertahankan?”
suara Ozy kian meninggi. Beberapa pasang mata sempat
menoleh ke arah kami.
“Tapi….”
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
130
“Ah! Jangan banyak bacot! Aku tidak butuh khotbah
murahanmu lagi. Aku muak!” tanpa kuduga nada kasar itu
keluar dari mulut Ozy. Ia melangkah meninggalkanku
yang masih termangu di depan pintu. Beberapa teman
kulihat menghampiriku. Sungguh, aku tidak
membayangkan Ozy akan semarah itu!
***
Semenjak kejadian itu Ozy tidak lagi menyapaku.
Setiap kusapa ia selalu cuek dan menghindar. Aku tahu
dia marah besar. Dan kini, rambutnya yang mulai
memanjang itu sudah hilang. Tak selembar rambut pun
yang tersisa di batok kepalanya. Ia dibotak! Dan ini gara-
gara aku! Gara-gara laporanku yang kini juga meretakkan
hubungan persahabatanku.
Sesekali melintas pikiran sesal dalam pikiranku
setelah kutahu semua seperti ini. Tapi perasaan itu
berusaha kubuang jauh-jauh. Aku yakin suatu saat hati
Ozy akan melunak. Dan tali persahabatanku dengannya
akan kembali terikat. Entah kapan.
“Sudahlah, Fir. Aku tahu kau masih merasa bersalah
setelah kejadian itu. Tapi aku yakin Ozy akan menyadari
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
131
perbuatannya.” Kata Kak Ikbal, kakak kelasku yang
setengah tahun lalu terpilih sebagai ketua bagian
keamanan organisasi.
“Sebenarnya aku hanya khawatir Ozy akan
diskorsing,” kilahku seraya kubuka buku pelajaran Ushul
Fiqih. Kulihat kak Ikbal tersenyum.
“Aku yakin pihak pesantren tidak akan semudah itu
mengeluarkan santrinya. Kecuali mungkin pelanggaran
yang sifatnya syar’i seperti mencuri atau pacaran.” Aku
coba menyimak kata-kata Kak Ikbal dengan baik. “Kalau
dia diskorsing, aku belum yakin kalau dia akan sembuh
seratus persen. Bahkan aku khawatir kebiasaannya akan
semakin menjadi-jadi. Makanya kami selaku pengurus
berusaha untuk menyadarkan mereka sebelum benar-benar
di-DO dari pesantren.”
Bel berdentang pertanda belajar malam sudah dimulai.
Aku segera ke aula untuk belajar bersama teman-teman
sekelas. Semua santri kulihat tampak berhamburan keluar
kamar menuju masjid, aula dan tempat belajar yang lain.
“Selamat belajar, ya.” Ujar Kak Ikbal seraya beranjak
dari tempat duduknya. Sebenarnya aku masih betah dan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
132
ingin sekali berbincang-bincang bersama Kak Ikbal yang
selalu memotivasiku. Menurutku Kak Ikbal lah sosok
pengurus yang patut dicontoh. Perangainya yang baik
membuat para santri tidak sungkan untuk konsultasi. Ia
termasuk pengurus yang disegani, beda dengan pengurus
lain yang kebanyakan ditakuti karena sikap dan
tampangnya yang sok bijak dan jutek di depan santri.
***
Al-Azhar kembali geger. Tapi kali ini bukan karena
ditemukannya puntung rokok seperti kejadian
sebelumnya. Tiga orang bulis malam menemukan aku
terbaring pingsan di kamar mandi. Aku juga baru sadar
saat beberapa orang mengerumuniku di Unit Kesehatan
As-Syifa milik pesantren.
Kata Parman, teman dekatku, pipiku lebam dan leher
belakangku juga luka akibat pukulan. Semua menanyaiku.
Semua menginterogasiku. Tapi aku tidak bisa menjawab
apa-apa. Seingatku, sebelum keluar dari kamar mandi tadi
malam aku sempat mendengar bisikan-bisikan
mencurigakan di luar. Aku hanya berusaha tenang.
Sehingga saat aku membuka pintu, sebuah pukulan telak
mengenai punggung dan sekujur tubuhku. Tidak sempat
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
133
kulihat wajah dua orang itu karena mareka menggunakan
kain sarung untuk menutupi wajah mereka. Dan waktu itu
aku tidak ingat apa-apa.
Semua penghuni Al-Azhar panik. Karena ini kasus
langka yang terjadi di pesantren. Kalau kasus perkelahian
antara dua orang atau antar beberapa kelompok santri
sering terjadi. Tapi kejadian seperti yang menimpaku
seingatku baru kali ini.
“Apa mungkin ini ulah Ozy?” Parman tampak curiga.
Di antara teman-temanku, hanya dia yang tahu masalahku
dengan Ozy. Tapi aku tidak yakin. Aku tahu siapa Ozy. Ia
tidak akan melakukan hal ini kepadaku.
“Ah, kupikir nggak mungkin, Man. Ia tidak mungkin
melakukan ini.” Aku berusaha menepis kecurigaan yang
bercokol di benak Parman. Parman hanya memandangku
iba.
“Tapi ini sangat mungkin ada kaitannya dengan apa
yang terjadi antara kamu dan Ozy, Fir.” Bisik Parman.
Mungkin ia khawatir ada orang yang mendengar
pembicaraan kami.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
134
“Entahlah, yang jelas aku tidak punya bukti. Kita
tidak bisa menuduh seseorang tanpa ada bukti yang kuat.
Karena aku tidak melihat wajah mereka saat kejadian.”
“Tapi kau pasti ingat kan ciri-ciri mereka?”
“Sudahlah, Man. Aku tidak ingin memperpanjang
masalah. Mungkin ini memang nasib naasku. Lain kali
aku akan hati-hati.”
Parman mendesah perlahan. Aku tahu ia kecewa
dengan apa yang aku sampaikan.
***
Dan waktu pun berlalu. Hari-hari Ozy kian hari kian
kelabu. Keangkuhannya dulu kini tak terlihat lagi.
Tubuhnya kian menirus. Matanya cekung. Desah nafasnya
sangat mengerikan. Mungkin akibat saluran pernafasannya
yang mulai terganggu.
Kami sempat tidak percaya mendengar vonis dokter
Herman yang menangani Ozy. Ozy mengalami serangan
jantung pada stadium lanjut. Dokter Herman memberikan
kami rekomendasi agar Ozy dirujuk ke RSUD Pamekasan
karena sarana di RSUD Sumenep belum memadai.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
135
Kami pun sepakat membawa Ozy ke RSUD
Pamekesan. Namun sekitar seperempat jam perjalanan ke
Pamekasan, detak jantung di dada Ozy tidak terlihat lagi.
Denyut nadinya tak lagi berfungsi. Nyawanya tidak dapat
tertolong lagi.
Innalillahi wainna lillahi raajiun. Serempak dalam
mobil kami mengucapkan kalimat istirja’ itu. Tanpa terasa
mataku berkaca-kaca. Kelopak mataku memanas melihat
wajah Ozy tak dibalut senyum lagi. ***
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
136
CATATAN HATI SEORANG SANTRI
Awal Mei 2002
Diary….
Dua bulan lagi aku lulus dari Al-Mukmin. Pesantren
tempatku belajar sejak pertengahan tahun 1996 silam.
Alhamdulillah akhirnya aku bisa menyelesaikan study-ku
sampai SMA. Dulu aku hampir berhenti dari pesantren ini.
Bapak yang hanya seorang petani sudah hampir tidak bisa
membiayai pendidikanku. Sejak krisis moneter melanda
negeri ini sekitar tahun 1998, Bapak hampir kehilangan
kemampuan untuk membayar SPP dan biaya hidupku di
pesantren. Aku hanya mampu berdoa semoga Allah
memberikan Bapak kesabaran dan ketabahan dalam
menghadapi cobaan ini. Aku nggak bisa membayangkan
bagaimana seandainya aku benar-benar putus sekolah.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
137
Waktu itu aku kelas 3 SMP. Hampir semua sembako
dan alat-alat kebutuhan sekolah melonjak naik. Tapi
alhamdulillah, berkat doa, kegigihan dan kesabaran Bapak
dalam mencari nafkah akhirnya sampai detik ini aku bisa
menyelesaikan pendidikanku. Aku bersujud, bersyukur
kepada-Nya. Betapa aku dulu hampir putus asa dan nyaris
menyalahkan takdir dan suratan Ilahi. Dulu aku pernah
merutuk diri, kenapa terlahir sebagai orang miskin, serba
kekurangan dan orang tuaku selalu hidup dalam
kemelaratan. Padahal kalau aku melihat sebagian teman-
temanku di pesantren, mereka dengan mudah membeli apa
saja yang mereka suka. Mereka tinggal kirim surat dan
nelepon saat stok kiriman di pesantren menipis. Tapi
sekali lagi aku bersyukur atas nikmat dan karuni Allah
yang sangat besar ini.
Tapi kini, kebingungan dan kegamangan hati itu
datang lagi. Saat teman-teman sekelas bersemangat untuk
melanjutkan pendidikan mereka ke Universitas aku hanya
mampu berdecak kagum melihat kegembiraan mereka.
Siapa yang tidak ingin kuliah? Siapa yang tidak ingin
menikmati manisnya duduk di bangku Universitas? Aku
yakin semua orang mengimpikannya, menginginkannya.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
138
Termasuk aku. Tapi kalau melihat kondisi ekonomi orang
tua sekarang apakah mungkin?
Memang aku terlahir sebagai bungsu, yang kata orang
anak bungsu itu selalu dituruti keinginannya. Tapi bukan
berarti aku harus memaksa orang tua untuk tetap ngotot
mau kuliah. Rasanya untuk ke sana aku harus berpikir
sepuluh atau seratus kali. Semestinya aku harus
mensyukuri keadaan ini. Karena hanya aku lah di antara
kakak-kakakku yang bisa mengenyam pendidikan sampai
tingkat SMA. Kakak-kakakku sudah berkeluarga semua.
Walau mereka harus puas sampai bangku Sekolah Dasar.
Kakak-kakakku tidak ada yang melanjutkan sekolah. Saat
seusiaku dulu mereka sudah akrab dengan cangkul, sabit
dan alat-alat pertanian yang lain. Dalam usia yang sangat
muda mereka dengan senang hati membantu Bapak dan
Ibu. Nyabit rumput untuk pakan sapi yang digembala
Bapak bahkan ikut tetangga sebagai kuli bangunan.
Kakak sulungku yang laki-laki bahkan sudah menikah
saat umurnya masih duapuluh tahun. Dan dalam usia
duapuluh dua dia sudah menimang seorang anak.
Sehingga bertambahlah beban kakakku itu dengan
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
139
kehadiran si buah hatinya. Sedih rasanya mengenang
perjalanan mereka yang sangat susah. Dalam usia muda
mereka sudah berusaha bekerja, menjadi kuli sebagai
buruh tani demi sesuap nasi. Ya Allah, berkahilah
pekerjaan mereka. Semoga mereka tercatat sebagai anak
yang birrulwalidain di hadapan-Mu.
Awal Juni 2002
Tadi malam sehabis Isya’ semua kelas akhir yang
akan lulus dipanggil Pimpinan pesantren, Dy. Ada
pengisian angket dan tajuk rencana kami setelah lulus dari
pesantren ini. Bagi teman-teman yang mampu mereka
pasti memilih kuliah sebagai pilihan mereka. Tapi bagi
yang kurang mampu, maka mereka akan memilih
mengabdi di pesantren. Baik di dalam atau di luar
pesantren ini. Aku sendiri, setelah berulangkali istikharah
akhirnya memilih mengabdi sebagai alternatif terakhir.
“Kamu mau ngabdi di mana, Yud?” tanya Rozy, salah
seorang teman akrabku yang setelah lulus nanti akan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
140
kuliah ke Jakarta. Ia ingin ikut SPMB dan berobsesi untuk
masuk Psikologi UI.
“Pasti ngabdi di dalam.” Seru Tikno, temanku yang
suka ngocol itu. Tikno adalah satu di antara sekian
temanku yang bikin suasana cair. Tak jarang ia suka
membuat kami tertawa terpingkal-pingkal oleh
banyolannya.
“Aku nggak milih di mana-mana. Yang penting
mengabdi. Kalo aku memilih di dalam, aku khawatir
dibilang ‘muluk-muluk’ dan terlalu PD. Karena aku tidak
sepandai guru-guru yang ada di dalam.” Ujarku sembari
menyerahkan lembaran angket ke Ustadz Suryadi, wali
kelas kami.
“Kok nggak milih di dalam aja, Yud? Di sini
fasilitasnya kan lengkap. Di sini sudah ada komputer yang
bisa ngebantu aktifitas menulismu.” Adi mengeluarkan
argumen. Aku hanya tersenyum.
Dalam urusan tempat pengabdian, memang pihak
pesantren lah yang menentukan. Makanya aku nggak
menentukan tempat. Di taruh di dalam, insya Allah aku
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
141
akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan di
sini. Di tempatkan di luar, kupikir juga oke. No problem.
Itung-itung nyari pengalaman baru di luar sono. Ah,
betapa hidup di pesantren sangat menyenangkan. Di
tempat inilah aku banyak menempa berbagai disiplin ilmu.
Agama, umum dan yang lainnya. Rasaya baru kemarin
kami tinggal di sini.
30 Juni 2002
Aku masih nggak percaya, Dy dengan keputusan
Pimpinan Pesantren. Aku ternyata terpilih untuk mengabdi
di pesantren ini bersama enam teman sekelasku. Ya, aku
nggak mau milih-milih, Dy. Ini adalah pengalaman
pertamaku mengajar, menjadi seorang pendidik yang
mampu mengayomi para santri dengan baik dan penuh
kesabaran. Semoga saja aku diberikan kesabaran juga
kekuatan dalam mengemban amanah besar ini.
15 Juli 2002
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
142
Hari ini hari pertamaku mengajar di depan para santri,
Dy. Di depan murid-murid yang memiliki bermacam
karakter. Yang rajin, yang nakal, yang suka bolos dan
seabrek tingkah laku santri yang memerlukan ekstra
kesabaran.
Aku baru tahu dan sadar, beginilah susahnya jadi
seorang Murabbi. Dulu saat jadi santri, aku juga seperti
mereka. Suka melanggar dan tak jarang membuat para
pengurus pesantren kelabakan. Aku masih ingat, saat aku
harus baca surat pernyataan di depan para santri gara-gara
melanggar disiplin bagian keamanan, plus minta tanda
tangan pada semua selebritis, eh Asatidz di pesantren.
Benar-benar memalukan. Tapi itu dulu saat aku menginjak
masa-masa transisi dari kanak-kanak ke masa remaja. Aku
masih ingat, pada waktu itu aku merasakan ada
pemberontakan-pemberontakan dalam hati dan sering aku
lampiaskan untuk melanggar disiplin pesantren yang
menurutku sangat otoriter itu. Tapi sekarang aku sadar,
betapa pentingnya sebuah disiplin dalam kehidupan
seseorang.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
143
Pada kesempatan ini aku juga diberi tugas untuk
menjadi wali kelas 3 Madrasah Tsnawiyah yang setaraf
SMP. Belum apa-apa aku sudah pusing bin puyeng
duluan. Bayangkan, mengurusi anak-anak kelas 3 yang…?
Aku jadi ingat saat kelas 3 dulu. Kami sekelas pernah
menggugat seorang pengurus pesantren yang ketahuan
punya hubungan dengan seseorang di pesantren ini. Tapi
sungguh, bukan aku minder dengan tugas baru ini. Tapi
menangani anak-anak kelas 3 yang “over” itu? Ah, moga-
moga mereka nggak akan bikin ulah.
Awal Agustus 2002
Kekhawatiranku terjadi, Dy. Andi, salah seorang anak
didikku di kelas 3 ketahuan punya hubungan dengan
seorang santriwati. Surat cintanya yang romantis
ketangkep bagian keamanaan saat ada pemeriksaan
lemari. Aku selaku wali kelas bersama koordinator
keamanan MPO (Majelis Pertimbangan Organisasi) harus
menyelesaikan kasus ini.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
144
Setelah melalui proses sidang yang cukup
menegangkan, akhirnya aku panggil Andi ke kantor guru.
Kulihat Andi hanya menunduk. Mungkin ia malu atau
takut rambutnya yang lurus dan bagus itu dipangkas ala
ABRI atau diplontos kayak punya Rohaye pemeran Kecil-
kecil Jadi Manten itu.
“Kau mau kehilangan rambutmu, Andi?” tanyaku
mulai menginterogasi. Kubuka kopiah di atas kepalanya
seraya memegang-megang rambutnya yang agak panjang.
Ia semakin gugup dan takut.
“Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Sa… saya. Berhubungan dengan seorang santriwati,
Ustadz.” Jawabnya gugup. Ia semakin menunduk.
“Kenapa kau masih nekad? Kau tahu kan disiplin
pesantren ini. Boleh nggak pacaran di tempat ini?”
“Saya hanya iseng, Ustadz.” Jawabnya lagi. Santri
lima belas tahunan di depanku itu terus menekuri lantai
keramik yang ia tempati. Ia semakin menyembunyikan
wajahnya yang kian kusut. Setelah kusampaikan beberapa
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
145
wejangan dan peringatan, akhirnya kuperkenankan Andi
keluar. Tentu setelah kusampaikan sanksi yang harus ia
kerjakan.
Awal Januari 2003
Diary….
Ternyata jadi seorang pendidik itu nggak mudah.
Rasanya aku harus banyak belajar memahami anak didik.
Mereka yang mayoritas anak-anak sangat membutuhkan
perhatian dan pengayoman yang mampu membuat mereka
sadar dan berkembang. Berubah sesuai harapan orang tua
mereka saat memasukkan anak-anaknya ke pesantren ini.
Capek juga ya, Dy mengawasi mereka selama dua
puluh empat jam. Tapi ini tugas dan kewajiban yang harus
aku lakukan. Aku hanya berharap apa yang aku dan rekan-
rekan Asatidz berikan kepada mereka bisa bermanfaat.
Dunia akhirat.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
146
15 Januari 2003
Aku rindu dan kangen teman-temanku, Dy. Di mana
mereka sekarang? Apa yang mereka lakukan di malam
yang dingin dan hujan yang lebat ini? Pasti mereka senang
jadi Mahasiswa, ya, Dy. Pasti mereka lagi asyik ngalor-
ngidul bersama teman-teman baru mereka di kampus.
Aduh, enak nggak ya Dy, jadi anak kampus itu…?
“Aku paham apa yang kamu pikirkan, Yud. Kamu
pasti sedih karena belum bisa melanjutkan kuliah. Tapi
jangan putus asa, Yud. Kalau kau berusaha dan berdoa
insya Allah akan ada jalan terbaik untukmu.” Kata-kata
Rozy yang selalu mendongkrak semangatku itu masih
mengiang-ngiang di telingaku. Dialah teman sejatiku.
Dialah yang selalu mensupport aku supaya mencari jalan
lain menuju sukses. Menurutnya kuliah itu hanya
formalitas. Kalau kita berusaha menggali kreatifitas, insya
Allah akan ada jalan lain yang akan membawa kita ke
tangga kesuksesan.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
147
Pesan itulah yang sampai saat ini masih melekat dan
hatiku. Ia yang selalu mendukung aktifitas menulisku saat
aku keranjingan menulis saat kelas 2 SMA dulu.
“Tema ceritamu bagus. Cuman tema ini sudah umum.
Cobalah untuk menggali tema yang lebih unik, modern
dan Islami.” Begitu komentar Rozy saat membaca salah
satu cerpenku di mading kelas dulu. Terima kasih, Zy.
Semoga Allah selalu bersama langkahmu….
20 Januari 2003
Hobi menulisku terangsang lagi, Dy. Setelah sekian
bulan vacum. Maklum, kegiatan dan tugas yang lumayan
padat membuatku kurang membagi waktu. Padahal kalau
memang punya tekad kuat, menulis itu bisa dilakukan
pada malam hari. Saat suasana sunyi dan sepi. Tapi dasar
aku yang memang sering bergantung pada mood dalam
menulis. Aku lebih memilih tidur daripada menghayalkan
sebuah cerita.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
148
Tapi aku janji, Dy. Aku akan lebih rajin lagi menulis.
Aku akan terus berlatih dan terus berlatih. Aku ingin
sekali suatu saat karyaku bisa dimuat media massa dan
dinikmati oleh masyarakat luas. Walau sampai detik ini
tak satu pun karyaku yang kukirim ke media dimuat.
Padahal kalau nggak salah itung, sudah hampir dua puluh
karyaku yang kukirim ke media massa.
Tapi tak apa-apa, aku jadi ingat perjalanan
kepenulisan Mas Joni Ariadinata, salah seorang pengarang
favoritku yang tinggal di Yogya. Dulu sebelum menjadi
sastrawan terkenal ia pernah bekerja sebagai penarik
becak dan buruh pabrik. Tapi ia selalu menyempatkan diri
untuk menulis di sela-sela kesibukan dan rasa penat yang
merejam-rejam tubuhnya. Hingga pada suatu ketika,
cerpen ‘Lampor’ karyanya mengantarkannya menjadi
seorang cerpenis terbaik harian Kompas pada tahun 1994.
Bayangkan, dari Abang Becak ke Sastrawan terkenal!
Sungguh, aku ingin meniru kegigihan dan semangat
Mas Joni Ariadinata yang menurutku sangat luar biasa
itu….
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
149
Akhir Maret 2003
Hadiah dari Allah itu….
Aku menangis, Dy. Bersyukur atas kebesaran Allah.
Rasa tak percaya masih belum bisa kuhilangkan. Tapi ini
bukan mimpi, Dy. Mungkin ini benar-benar hadiah dari
Allah atas usahaku selama ini. Salah satu cerpenku yang
kukirim sebulan yang lalu ke sebuah penerbit di
Yogyakarta diterbitkan dalam sebuah Antologi Sastra
Pesantren, Dy.
Tanganku gemetar saat membuka paket buku yang
kuterima dari Pak Pos tadi siang. Subhanallah… Benar,
Dy. Cerpenku ada di antara 17 cerpen karya para penulis
lain yang hampir kesemuanya dari pesantren. Ya, Allah….
Maha suci Engkau atas segala nikmat dan karunia-Mu.
***
Sumenep, 2004
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
150
LUKA-LUKA PEMILU
Awal Maret 2004
"Pemilu kali ini katanya berbeda ya, Tung?" Tanya
Pak Yarto, pemilik warung samping rumahku saat aku
mampir ke warungnya kemarin malam. Aku hanya
mengangguk seraya menimpali pertanyaan cerdasnya.
"Benar, Pak. Pemilu kali ini sangat berbeda dengan
Pemilu tahun-tahun yang lalu. Pada Pemilu yang sudah
tinggal beberapa minggu ini, kita selaku warga Indonesia
akan memilih langsung para wakil rakyat yang akan
duduk di 'kursi panas' DPR." Kataku menimpali
pertanyaan lelaki separo baya itu. Pak Yarto tampak
sedikit bingung, tak paham dengan apa yang barusan aku
paparkan.
"Memilih langsung bagaimana, Cong?" tanyanya
mencoba mengusir rasa penasaran dalam benaknya. Aku
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
151
hanya mampu menyunggingkan sedikit senyum melihat
reaksi ketidakmengertiannya.
"Begini, Pak. Kalau pada Pemilu 1999 kemarin kita
hanya memilih gambar partai saja, saat ini kita akan
memilih langsung para calon legislatif yang akan kita
pilih. Calon pemimpin yang nantinya benar-benar akan
memperjuangkan kepentingan rakyat. Bukan untuk
kepentingan perut mereka sendiri." Kataku meyakinkan
ketidaktahuan Pak Yarto. Pak Yarto hanya mengangguk-
angguk.
"Wah… kalau begitu, kita yang awam dan tidak bisa
baca-tulis pasti kebingungan pada hari pencoblosan nanti."
Lagi-lagi aku tersenyum.
"Insya Allah akan ada latihan bagaimana cara nyoblos
yang benar, Pak." Jawabku seraya pamitan pada laki-laki
di depanku. Malam mulai merambat, tak mungkin kalau
aku harus lama-lama berbicara dengan Pak Yarto. Karena
berbicara dengan Pak Yarto memang tak 'kan pernah ada
habis-habisnya. Ada saja yang ingin ia tanyakan tentang
apa yang tidak diketahuinya.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
152
Walau hanya seorang petani biasa yang hanya
menghabiskan hari-harinya di warung kopi miliknya itu, ia
termasuk orang yang cerdas kendati pun tak pernah
mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA. Ia hanya
lulusan SD di desa kami yang sekarang sudah tak terpakai
lagi. Tapi ia sangat peduli dengan keadaan Negara
Indonesia yang memang sedang kacau-balau ini. Bahkan
ia tak pernah absen nonton “Dunia dalam Berita” yang
dulu sempat menjadi acara favorit di TVRI untuk
mengetahui nasib bangsa. Apalagi menjelang pemilu kali
ini. Hampir semua televisi yang ada menayangkan info
tentang Pemilu yang sudah tinggal hitungan jari itu. Dan
Pak Yarto tak mau ketinggalan itu semua.
Aku hanya mampu membatin memperhatikan Pak
Yarto yang begitu antusias menyimak info seputar Pemilu
dan carut-marut politik Indonesia. Andai saja semua
pemuda di desa ini peduli dengan apa yang sebentar lagi
akan terjadi itu….
11 Maret 2004
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
153
Putaran pertama Pemilu. Aku menyambutnya dengan
biasa-biasa saja. Karena kupikir kampanye kali ini tak
jauh beda dengan kampanye-kampanye Pemilu tahun
sebelumnya. Walaupun hampir semua orang di kampugku
menyambutnya dengan bergembira. Hura-hura, ikut
konvoi dengan arak-arakan keliling kota dan sebagainya.
Aku hanya berharap kampanye kali ini berjalan dengan
aman, tidak memakan korban seperti yang terjadi pada
pemilu tahun 1999 atau Pemilu tahun sebelumnya. Saat
para pendukung partai politik saling menghujat dan
berakhir dengan bentrok.
"Kamu nggak ikut kampanye, Tung?" Tanya Yono,
tetanggaku yang sedang memakai kaos sebuah partai besar
peserta Pemilu kali ini.
"Nggak tahu ya… lagi males. Aku baru datang dari
kebun, bantu Bapak nyabit rumput. Kamu mau ikut?"
timpalku balik bertanya. Kulihat Yono mengangguk.
"He-eh. Hari ini hari pertama kampanye, kan? Kalau
nggak ikut pasti rugi. Ada hiburan dangdut-nya loh…"
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
154
sergah Yono yang memang penikmat berat lagu-lagu
dangdut.
Aku hanya beristighfar dalam hati. Apa mungkin
moment kampanye yang seharusnya diisi dengan tajuk
rencana dan program-program partai diisi dengan
dangdutan? Ah… ada-ada saja cara mereka untuk
menggaet massa.
"Gimana, Tung? Mo ikutan nggak…?"
"Nggak… entar kapan-kapan saja." Jawabku singkat.
Yono pamit seraya menaiki sadel motor Shogun-nya.
"Aku berangkat, ya…"
"Hati-hati, Yon…"
13 Maret 2004
Aku menggelengkan kepala. Tak yakin dengan apa
yang disampaikan Pak Yarto. Aku baru dengar kalau Haji
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
155
Hasyik, salah seorang yang cukup kaya di kampungku jadi
Caleg pada pemilu kali ini.
"Apa benar, Pak?" tanyaku masih tak percaya.
"Benar, Cong. Kemarin, orang-orang-nya nabur kaos
sebelum berangkat kampanye. Sepertinya banyak sekali
kaosnya."
Aku masih tak percaya. Kalau begitu…?
"Kita doakan saja semoga tujuannya mencalonkan diri
itu baik. Bukan karena uang atau jabatan."
"Benar, Nak Untung. Saya juga khawatir kalau
niatnya salah." Timpal Pak Yarto penuh harap.
15 Maret 2004
Kampanye yang diadakan di sebuah lapangan besar di
kecamatan alhamdulillah kemarin berjalan lancar. Tak ada
halangan atau gangguan seperti yang pernah aku
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
156
khawatirkan. Tapi satu yang membuat aku khawatir,
bahkan sampai saat ini. Ada indikasi money pilitic yang
terjadi di kampungku.
Memang semua sokongan dari beberapa Caleg kepada
warga bukan uang. Tapi kalau berbentuk barang apa itu
bukan praktik politik uang yang memang jelas-jelas
menyalahi aturan main dalam Pemilu?
Aku masih belum bisa menghilangkan
ketidakpercayaanku saat sebuah truk yang sarat dengan
batu bata datang ke kampungku. Batu itu diturunkan tepat
di pinggir jalan raya yang memang rusak berat. Jalan yang
menghubungkan jalan utama desa dengan jalan raya
Kecamatan. Aku bertanya-tanya dalam hati. Dari mana
bantuan batu yang datang tiba-tiba itu…?
"Kau tahu, Yon dari mana bantuan batu-batu itu?"
akhirnya kulontarkan unek-unek yang sempat mengganjal
dalam hatiku itu kepada Yono.
"Jadi kamu belum tahu, Tung? Batu-batu itu bantuan
dari salah seorang Caleg di Kecamatan. Kudengar bukan
hanya batu saja sokongan itu. Selain kaos, juga ada beras
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
157
yang diberikan cuma-cuma kepada warga." Yono bercerita
panjang lebar. Aku baru tahu kalau semua itu salah satu
taktik mereka untuk meraup suara.. Ah… lagi-lagi
pelanggaran, dengusku dalam hati.
"Kau tahu berapa habisnya uang untuk bantuan itu?"
Yono kembali menyodorkan pertanyaan yang lagi-lagi aku
tidak mengetahuinya.
"Nggak…" aku menggeleng.
"Hampir 200 juta. Banyak sekali, ya? Kalau aku
punya uang sebanyak itu, pasti aku gunakan untuk
berbisnis."
"Mungkin dia memang punya uang lebih." Timpalku.
Yono hanya tersenyum.
20 Maret 2004
Pemilu tinggal setengah bulan lagi. Tapi sayang tak
ada latihan penyoblosan yang diadakan di kampungku.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
158
Aku hanya khawatir orang-orang kampung yang
mayoritas awam kebingungan saat penyoblosan nanti.
Karena kudengar ada 4 (empat) kartu suara yang harus
dicoblos pada Pemilu legislatif nanti. Kartu suara untuk
DPR, DPD, DPRD Kota/kabupaten dan DPRD provinsi.
Ah… aku saja bingung dengan kartu sebanyak itu, apalagi
orang-orang kampung yang buta huruf itu.
"Wah… aku lihat kamu nggak pernah ikutan
kampanye, Tung? Kamu Golput, ya?" Tanya Ipul, teman
sepermainanku dulu ketika kecil. Dua minggu yang lalu
dia pulang kampung setelah kira-kira dua tahun tak pernah
pulang. Dia salah seorang yang beruntung di kampungku.
Dia diterima kerja di sebuah perusahan di Surabaya.
"Sebenarnya partai kamu apa sih?" tambahnya.
"Kalau aku mau pilih partai yang bersih saja. Para
Caleg-nya yang amanah dan tidak menghabur-hamburkan
banyak uang saat kampanye. Karena aku punya asumsi,
kalau pada saat kampanye mereka banyak menghabiskan
uang, maka bukan hal mustahil lagi kalau ia jadi akan
minta ganti rugi. Nyolong uang rakyat, korupsi dan entah
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
159
apa lagi namanya. Pokoknya aku pilih yang bersih saja…"
responku panjang lebar.
"Sebenarnya, sampai saat ini aku juga sangsi, partai
apa yang akan aku pilih pada pemilu legislatif nanti." Ipul
tampak bingung. Kulihat ada sorot kekecewaan pada rona
wajahnya.
"Emang kenapa, Pul? Bukankah sekarang sudah
banyak partai Islam yang dimotori oleh para Ulama?
Kenapa nggak pilih partai itu saja?" aku mencoba
memberikan solusi.
"Tung, partai Islam itu banyak. Tapi kita jangan
sampai salah pilih dan terbodohi dengan iming-iming itu."
Kulihat air muka Ipul berubah delapan puluh derajat. Raut
kekesalan di wajahnya kian jelas terlihat. Aku jadi
penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ipul?
"Sebenarnya apa yang terjadi, Pul? Kau mendapatkan
keganjalan-keganjalan yang terjadi saat kampanye
kemarin?" aku mencoba menerka apa yang berada di
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
160
batok kepala Ipul. Tapi kulihat Ipul menunduk. Aku tak
habis pikir.
"Aku kecewa berat, Tung." Akhirnya Ipul bersuara.
"Ternyata isu tentang para Caleg non Muslim dari sebuah
partai Islam yang selama ini aku kagumi bukan kabar
burung belaka. Partai itu memang mencalonkan beberapa
Caleg non Muslim di beberapa kota dan Provinsi di
seluruh Indonesia."
Kebingunganku terjawab. Ada rasa kesal tiba-tiba saja
melintas dalam benakku mendengar penuturan Ipul. Aku
tak habis pikir. Ternyata mereka memang sangat lihai
mengelabui rakyat. Mereka memang pengecut, pecundang
sejati!
Putaran kedua kampanye Pemilu,
Sesuai rencana, pada kampanye putaran kedua ini Pak
Yarto mau ikut kampanye di stadion Ahmad Yani
Panglegur, Sumenep. Aku hanya mendukung saja
rencananya saat ia minta pertimbangan. Katanya, ia ingin
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
161
sekali ikut mendukung kampanye partai politik jagoannya
pada kampanye putaran kedua ini.
"Saya pikir nggak masalah, Pak." Ujarku seraya
menyeruput kopi suguhannya. Pak Yarto hanya
tersenyum.
"Benar, Cong Untung. Kalau tidak sekarang kapan
lagi Bapak mau ikutan kampanye. Eman-eman kan.
Apalagi pesta demokrasi ini hanya diadakan lima tahun
sekali."
"Benar, Pak. Yang penting niat kita baik saya pikir itu
tidak masalah. Hanya saja kita jangan sampai terpancing
emosi massa yang mencoba memprovokasi keadaan."
Pukul 17.00 WIB,
Matahari mulai condong ke Barat. Siluet senja pun
tampak terlukis indah di langit Barat. Tapi Pak Marto
belum juga datang dari kampanye. Apa mungkin
pelaksanaan kampanye sampai selama ini…? Aku jadi
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
162
khawatir terjadi apa-apa dengannya. Sedang Bibi Saidah,
istri pak Yarto juga tak tahu bagaimana kabar Pak Yarto.
Tak ada seorang pun yang tahu ke mana perginya Pak
Yarto usai kampanye.
"Tadi saya hanya ketemu di pintu masuk stadion,
Tung." Ujar salah seorang tetangga yang aku tanyai.
"Terus sampeyan tidak ketemu lagi…?" Tanyaku.
Lelaki separo baya di depanku hanya menggelengkan
kepala. Perasaanku jadi tidak enak. Rasa was-was dan
khawatir pun mulai berkelebat, menggerayangi ruang
pikiranku. Ya Allah… semoga tidak terjadi apa-apa
dengan Pak Yarto….
Beberapa saat kemudian aku dikejutkan oleh suara
sirine ambulan yang tiba-tiba datang dari arah Timur jalan
raya. Perasaanku kian galau. Pasti sudah terjadi apa-apa
dengan Pak Yarto, dugaku dalam hati.
Gemuruh dalam hati ini kian kencang saat mobil putih
itu berhenti tepat di depan warung Pak Yarto. Bibi Saidah
tak mampu membendung lagi pertahanannya. Butir-butir
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
163
air matanya berloncatan membanjiri kedua pipi
keriputnya.
"Sabar, Bi. Kita belum tahu siapa sebenarnya yang
kecelakaan." Ucapku mencoba menenangkan hati Bi
Saidah. Namun bahu wanita itu kian berguncang menahan
isak tangis yang tak mampu dibendungnya.
Aku terperanjat saat kulihat seorang lelaki melompat
dari dalam mobil ambulan. Pak Yarto? Aku masih tak
percaya. Begitu juga Bi Saidah yang masih tampak
sesenggukan. Tapi siapa yang terbaring kaku di dalam
mobil itu?
"Cong Untung, Yono Cong Untung…" kalimat Pak
Yarto terbata-bata. Aku mencoba untuk menenangkannya.
"Kenapa dengan Yono, Pak?" tanyaku mendesak. Pak
Yarto tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tak sabar, aku
masuk ke dalam ambulan dan mencoba membuka kain
penutup raga seseorang yang terbaring. Aku tersentak
kaget. Aliran darahku seolah-olah berhenti seketika
melihat wajah Yono bersimbah darah. Tiba-tiba saja
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
164
kepalaku pening. Tak kuat, aku keluar dari mobil dan
membimbing Pak Yarto duduk untuk menceritakan apa
yang sebenarnya terjadi. Sedang beberapa orang sudah
mengangkat jasad Yono keluar mobil dan
membaringkannya di rumah Pak Yarto. Sedu sedan dan
isak tangis kembali terdengar dari para tetangga yang
melihat dari dekat keadaan Yono.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Yono, Pak?
Kenapa dia jadi seperti itu?" aku mulai menanyakan
tentang apa yang menjadi ganjalan hatiku sejak tadi. Pak
Yarto menghela napas perlahan. Aku menunggunya
dengan sabar sampai akhirnya ia mulai bicara.
"Sebelum arak-arakan dan konvoi sepeda motor
berlangsung, saya sudah mengingatkan Yono untuk tidak
duduk di atas boks pick-up yang mengangkut para peserta
kampanye. Tapi dia tidak menggubris sedikit pun kata-
kata saya. Bahkan dia sambil berdiri bersama teman-
teman yang lainnya." Pak Yarto menghentikan
kalimatnya. Sepertinya ia sangat shok melihat kecelakaan
yang terjadi itu. Aku menunggunya sambil
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
165
menyuguhkannya segelas air putih agar Pak Yarto tampak
tenang.
"Terus bagaimana, Pak?" kejarku sesaat setelah laki-
laki di depanku itu meneguk segelas air di tangannya.
"Saat Yono dan teman-temannya menyerukan yel-yel
sambil berdiri di atas boks pick-up, ada sebuah truk
menyalip dan mengendus semua orang yang ada di atas
boks. Beberapa orang termasuk Yono jatuh dan terlindas
mobil di belakangnya…." Pak Yono menghentikan kata-
katanya. Ada air mata terburai dari kedua sudut matanya.
"Innaalillahi wainna ilaihi raaji'un…" ucapku seraya
bergegas menuju tempat Yono terbaring.
Ya Allah…kampanye memakan korban lagi,
gumamku dalam hati. Kemarin lusa peristiwa serupa
terjadi di sebuah kota besar di Indonesia. Beberapa stasiun
televisi serentak menayangkan peristiwa tragis yang
menelan banyak korban itu.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
166
11 April 2004, pasca Pemilu.
Seminggu yang lalu semua rakyat di negeri ini sudah
menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu. Tentu
mereka memilih atas kehendak sendiri. Bukan atas
paksaan apalagi karena beberapa lembar uang puluhan
ribu dan selembar kaos usang yang sengaja diiming-
imingi oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab.
Semoga saja mereka tidak salah pilih, apalagi memilih
calon pemimpin busuk yang jelas-jelas punya rapor merah
dan terlibat beberapa kasus seperti korupsi, penipuan dan
tindakan amoral yang kerap dilakukan oleh beberapa
oknum penguasa selama ini.
Dan aku… sudah menggunakan hak pilihku sendiri.
Tentu tak ada yang tahu, partai apa dan siapa Caleg yang
aku pilih seminggu yang lalu itu. Tapi yang jelas aku
sudah yakin bahwa partai yang aku pilih adalah salah satu
partai Islam yang ada di negeri ini, yang dipimpin oleh
beberapa cendekiawan sejati yang kelak akan
memperbaiki keadaan negeri yang nyaris porak-poranda
ini….
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
167
Awal Mei 2004
Aku baru selesai nonton televisi di tetangga terdekat
ketika sebuah suara teriakan terdengar dari rumah
tetangga sebelah. Aku dan Pak Yarto yang saat itu hendak
pulang terpaksa mampir ke tempat kerumunan warga.
"Tolong… tolong…!! Haji Hasyik gila...!! Pak Hasyik
gila…!!" seru seseorang sambil lari tunggang langgang.
"Ada apa, Pak?" tanyaku pada seseorang yang aku
temui.
"Pak Hasyik sepertinya kesurupan dan ngamuk-
ngamuk sejak ba'da Isya' tadi."
"Bapak tahu kenapa?" tanyaku lagi. Seorang Bapak di
depanku itu menggeleng. Aku jadi penasaran.
"Saya tahu, Pak apa yang terjadi." Seru seseorang
yang tiba-tiba muncul di hadapan kami. "Pak Hasyik
tampak shok dan mengamuk-ngamuk setelah ia tahu kalau
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
168
ia hanya mengantongi sedikit suara pada pemilu 5 April
kemarin." Tambahnya.
Aku mengangguk-angguk. Itu pantas terjadi. Pak
Hasyik sudah banyak berkorban dan menghabiskan
banyak uang untuk menarik simpati masyarakat pada saat
hari penyoblosan. Tapi yang terjadi…? Ternyata orang-
orang hanya mengambil pemberian Pak Hasyik tanpa
mencoblos gambar partai dan namanya pada Pemilu
kemarin.
* * *
Kamar Bujang, 05 Mei 2004
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
169
KEKASIH RAHASIA
"Di dekatmu
Aku seperti batu
Kaku
Membisu
Hanya desah nafas yang menderu
Namun saat kau jauh dariku
Dalam galau
Aku mencarimu
Mengejar sisa bayangmu
Karena hanya kau satu
Yang kurindu
Walau hanya semu…"
Tiba-tiba bibirku membentuk seulas senyum. Refleks
kugeser dan kututup diary biru milik Fahri yang tergeletak
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
170
di atas meja. Benar-benar kurang hati-hati, keluhku
dalam hati. Padahal itu barang privacy Fahri yang tidak
seharusnya dibeberkan kepada siapa pun, termasuk aku.
Sudah delapan semester aku dan Fahri tinggal satu
kost. Untuk menghemat biaya, awal-awal masuk kuliah
kami sepakat untuk menyewa satu kamar untuk dua orang,
walau hanya sederhana.
Dan keakraban antara aku dan Fahri pun terjalin. Aku
dan Fahri tak ubahnya saudara kandung. Kebahagiaan
demi kebahagiaan kami rasakan bersama. Begitu juga
kesusahan demi kesusahan hidup berusaha kami hadapi
bersama.
Namun begitu aku selalu berusaha untuk selalu
menjaga privacy yang menurutku tidak seharusnya
diketahui Fahri. Termasuk buku catatan harian yang penuh
dengan luapan perasaan. Sejuta resah dan galau semua aku
tumpahkan di sana. Di tubuh benda mati bernama Diary.
Begitu juga Fahri yang memang lebih introvert.
Masalah-masalah pribadinya tak pernah ia ceritakan
padaku.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
171
Tapi kali ini Fahri membiarkan buku catatan
hariannya tergeletak dan terbuka begitu saja di atas meja?
Aku yakin ia terburu-buru sampai lupa untuk menutup
kembali buku hariannya yang selama ini biasanya
tersimpan rapi di rak bukunya itu.
Dan puisi itu?
Ah, aku tidak tahu. Konon sebuah karya tidak akan
jauh dari cuaca hati Sang Pengarang. Hampir semua isi
hati para penulis mendominasi karya-karya mereka. Dan
puisi Fahri menurutku adalah puisi cinta. Setangkai puisi
yang mungkin akan ia dedikasikan untuk seseorang. Entah
siapa.
Is he fells in love? Ah… kenapa aku harus ikut
campur urusan orang lain? Bukankah itu hal yang wajar
dan manusiawi? Bukankah Tuhan memang telah
menganugerahkan cinta kepada semua makhluk-Nya?
***
Sudah dua hari tumpukan Lembaran Kerja Siswa
(LKS) Bahasa Indonesia itu menumpuk di atas mejaku.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
172
Namun tak tak satu pun yang selesai aku koreksi. Hari ini
konsentrasiku benar-benar terbelah-belah. Bukan hanya
tugas beberapa mata kuliah yang memang masih
terbengkalai. Masalah-masalah sepele pun kian hari kian
menumpuk tanpa aku tahu bagaimana cara
memecahkannya. Dan yang membuat aku tidak mengerti,
aku semakin penasaran, siapa sebenarnya gadis yang telah
berhasil mencuri hati Fahri. Seorang bidadari yang telah
membuat Fahri menjelma menjadi seorang pujangga
dadakan dengan puisi-puisinya yang romantis dan
melankolis?
Sudah kualami perih karena kehilangan
Sudah kureguk kecewa karena ditinggalkan
Sudah ku didera luka karena dikhianati
Semuanya belum seberapa
Hanya satu derita yang paling menyiksa
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
173
Jatuh cinta
Tapi tak bisa memiliki29
Puisi itu kembali aku temukan di diary Fahri yang
lagi-lagi dibiarkan tergeletak di atas meja. Seolah-olah ia
mengijinkanku untuk membacanya. Sebuah puisi yang
menambah keyakinanku kalau Fahri memang benar-benar
jatuh cinta! Ya, sekali lagi; JATUH CINTA!
"Pak Zaky, ada dua siswa Anda yang bolos selama
dua hari ini. Roni dan Ferdi," suara Bapak Mulyadi,
bagian kesiswaan sekolah tempat aku mengajar
membuyarkan lamunanku.
"Oh, ya? " Responku pendek sembari meraih selembar
kertas dari tangan Bapak Mulyadi. Bapak Mulyadi
meninggalkan ruang wali kelas yang tidak begitu jauh dari
ruang bagian kesiswaan.
29 Puisi karya Andrei Aksana dalam novel Lelaki Terindah (Gramedia)
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
174
Dan sekarang benar-benar purna! Masalah baru kini
kembali jatuh menimpa pundakku. Tiba-tiba kepalaku
berdenyut pusing.
***
"Salah nggak, ya kalau aku jatuh cinta?" Suara itu
milik Fahri. Karena memang hanya aku dan Fahri yang
berada di kamar kost ini. Jari-jemariku berhenti mengetik.
Kugeser tumpukan buku yang kusiapkan untuk referensi
pembuatan proposal TA-ku. Kutatap mata Fahri untuk
melihat keseriusan di sana.
"Ternyata dugaanku nggak salah, Ri. Dari puisi-
puisimu yang romantis itu aku sudah bisa menebak kalau
kau sedang jatuh cinta." Responku sembari duduk di sisi
tempat tidur. Sementara sepasang mata Fahri
menerawang. Menukik langit-langit kamar.
"Tapi aku tidak mungkin bisa memilikinya, Zak."
Suara Fahri terdengar lirih. Aku sedikit tersentak. Tak
percaya dengan apa yang ia ungkapkan. Kenapa tiba-tiba
Fahri menjadi pesimis dan sentimental begini? Apa ia
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
175
tidak yakin kalau kekuatan cintanya bisa mengalahkan apa
saja?
"Jangan pesimis dulu, Ri. Kalau kau serius aku siap
jadi MC-nya. Menjadi jembatan penghubung cinta kamu.
Asalkan kau tidak main-main dengan urusan ini." Tegasku
mencoba menyalakan kembali api semangat dalam hati
Fahri yang nyaris padam. "Kalau boleh aku tahu, siapa sih
gadis yang beruntung itu? Cerita dong, Ri…," desakku
mencoba menggoda Fahri. Berharap bisa membuatnya
berterus terang dan mampu membunuh rasa penasaranku
selama ini.
"Nggak, Zak. Karena semua itu hanya semu. Percuma
meskipun aku menceritakannya…"
Sepi. Tiba-tiba kamar yang kami tempati menjadi
sunyi. Hanya desahan pendek Fahri yang terdengar. Dan
aku semakin tidak mengerti. Ada apa dengan Fahri?
"Kenapa, Ri? Seharusnya kamu optimis. Kamu harus
bisa membuktikan kalau cinta kamu tulus dan suci. Dan
ingat, Ri. Cinta adalah anugerah terindah yang diberikan
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
176
Tuhan kepada kita. Hanya benih cinta yang ditanam pada
"tempat" yang semestinya lah yang bisa kita semai…"
Aku mencoba menghibur Fahri. Karena aku semakin tidak
mengerti dengan jalan pikirannya yang tiba-tiba aneh ini.
"Benarkah…??"
"Ya, Ri. Tak ada seorang pun di dunia yang terlahir
tanpa cinta di dalam hatinya. Karena semua ada atas nama
cinta. Dan tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa
melarang seseorang jatuh cinta. Termasuk menghalangi
langkahmu untuk meraih cinta yang tumbuh dalam hatimu
itu…."
***
Ada yang aneh pada diri Fahri akhir-akhir ini. Sejak ia
menceritakan masalahnya beberapa hari yang lalu. Aku
lihat ia tampak sering murung. Seolah-olah ada yang
mengganggu pikirannya. Ia semakin pendiam dan tertutup.
Berkali-kali aku berusaha mencoba membujuknya agar
sedikit bercerita, berbagi agar beban masalah yang sedang
dipikulnya berkurang. Namun berkali-kali pula ia
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
177
mengelak, menghindar dan selalu mengalihkan
pembicaraan.
"Nggak ada, Zak. Hanya masalah sepele…," begitu
alasannya setiap aku menanyakan masalahnya.
Dan yang membuat aku semakin tidak mengerti,
sudah hampir seminggu ia tidak tidur di kamar kost. Aku
sungguh semakin tidak paham dengan jalan pikirannya.
Aku tidak menanyakannya lebih jauh kepentingannya
yang membuatnya harus menginap di rumah salah seorang
temannya di kampus selama beberapa malam ini.
***
"Selama beberapa malam ini, Fahri bermalam di
rumah kamu, kan, Man?" Tanyaku pada Arman, salah
seorang teman Fahri. Kulihat jidat Arman mengernyit.
"Emang dia nggak bilang kalau tidur di rumahku?"
Responnya balik bertanya. Aku menggelengkan kepala.
Dan kulihat raut keterkejutan semakin tampak di wajah
Arman.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
178
"Kalian ada masalah, ya?" Tanyanya lagi. Seperti
seorang polisi yang sedang menginsterogasi.
"Hubungan pertemananku dengan Fahri selama ini
baik-baik saja. Dia hanya bilang kalau mau bermalam di
rumah seorang temannya." Tegasku. " Tapi dia nggak
cerita apa-apa…?"
Kali ini Arman yang menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Dia hanya minta izin kalau selama beberapa malam
akan nginap di rumahku. Itu saja…"
"Terus orang tuamu?"
"Aku sudah terbiasa membawa teman-temanku ke
rumah. Jadi ortu-ku nggak masalah. Yang penting bukan
tampang preman… he…he…"
Aku terdiam beberapa saat. Teringat Fahri yang
semakin hari bertambah misterius saja. Andai saja ia mau
terbuka, mungkin aku bisa sedikit membantu meringankan
masalahnya.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
179
"Tapi selama di rumah, aku kayaknya melihat ada
kegelisahan di wajah Fahri…" suara Arman membuyarkan
lamunanku.
"Terus…?"
"Dia tampak murung. Bahkan sampai larut malam dia
tenggelam dengan buku bacaannya. Kayaknya novel.
Kalau nggak salah judulnya Ayat-Ayat Cinta… sampai-
sampai dia terlelap dengan buku di wajahnya."
Aku semakin khawatir. Ada apa sebenarnya dengan
Fahri? Apa ini ada hubungannya dengan sikapku selama
ini? Apa ada yang salah dengan sikapku? Padahal
seingatku aku tidak pernah ikut campur dengan
masalahnya. Bahkan saat ia menceritakan tentang
seseorang yang "mengganggu" hatinya, aku justru
mendukungnya. Karena menurutku usianya sudah cukup
untuk memikirkan hal-hal semacam itu. Apa cintanya
ditolak oleh gadis itu? Ah, aku tidak tahu. Karena aku
bukan Psikolog yang bisa menafsirkan gerak-geriknya.
***
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
180
Petang ini Fahri kembali keluar tanpa meninggalkan
pesan. Aku tidak sempat menanyakannya karena aku
sendiri baru dari kampus, mengecek persiapan acara bedah
buku Lelaki Terindah karya Andrei Aksana besok.
Namun tiba-tiba hatiku berdesir saat kedua mataku
tertumbuk pada sebuah amplop putih yang tergeletak di
atas meja komputer di sudut kamar. Buru-buru aku
meraihnya. Menyobek ujung amplop dan membaca isinya.
Untuk Saudaraku;
Ahmad Zaky
Sebelumnya aku minta maaf, Zak.
Mungkin inilah saatnya untuk menguak
sesuatu yang mengganjal dalam hatiku
selama ini. Sesuatu yang telah membuat alur
hidupku menjadi stagnan. Bosan, bingung,
semua berbaur menjadi satu. Menggumpal
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
181
dan kian menyesakkan hati dan pikiranku.
Terima kasih atas perhatianmu selama ini.
Motivasimu sungguh telah banyak
membuatku sadar dan semakin mengerti apa
tujuan hidup ini. Bahwa hidup ini adalah
perjuangan. Seperti katamu, hidup harus
diperjuangkan. Dan jangan pernah menyerah
terhadap keadaan. Once more thanks for your
support!
Zaky, aku yakin sampai detik ini hatimu
masih diselimuti rasa penasaran tentang
sesuatu yang pernah aku ceritakan. Tentang
seseorang yang katamu telah berhasil
mencuri hatiku.
Kuakui, Zak, kalau selama ini aku
memang jatuh cinta. Namun aku sendiri tidak
tahu, perasaan cinta seperti apa yang
bersarang di dalam hati yang lemah dan
kotor ini? Perasaan cinta yang aku sendiri
tidak tahu bagaimana memaknainya. Rasanya
tak cukup kata untuk menjabarkan semua
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
182
yang ada. Aku benar-benar bingung dan
pusing. Kenapa justru "rasa cinta" seperti ini
yang bersemayan dalam hati ini?
Selama beberapa malam ini, sengaja aku
memilih menginap di rumah seorang teman di
kampus. Karena aku tidak kuasa menahan
guncangan perasaan yang semakin hari kian
mengkhawatirkan ini. Aku tidak mau
terperangkap oleh "jaring-jaring cinta" yang
tidak semestinya dan "menyesatkan" ini. Aku
sakit, Zak. Sekali lagi selama ini aku sakit!
Dan aku tidak mau kau tertular "virus" ini.
Dan sejak malam ini kuputuskan untuk
memilih pergi dari tempat kost ini. Untuk
mengubur perasaan tidak wajar yang
menghuni ruang hatiku. Biarlah untuk
sementara waktu kita pisah tempat kost
sampai gejolak dalam hati ini benar-benar
reda. Doakan aku agar bisa menjadi manusia
tegar sepertimu. Tidak rapuh dan mudah
pesimis menghadapi hidup.
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
183
Aku harap kau mengerti dan tidak
tersinggung dengan keputusanku ini. Semoga
keputusanku ini mampu meredakan gejolak
perasaan dan bisa menyembuhkan "sakit
jiwa"-ku selama ini. Harapanku, jangan
pernah lupakan aku dalam setiap doamu! Aku
masih mengharapkan doa dan dukunganmu.
Selamat berjuang!
Pengagum Rahasiamu,
Fahri Fahrezy
Tiba-tiba saja kelopak mataku memanas bersama
gejolak perasaan yang berdentam-dentam. Jantungku
berdebam. Setengah tidak percaya aku bangkit, mendekati
kotak pakaian Fahri di sudut kamar. Kosong. Tak
sepotong pakaian pun yang tersisa di sana. Rak bukunya
yang selama ini penuh dengan buku-buku sastra pun
bersih.
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
184
Aku benar-benar bingung. Tak mampu memahami
rentetan peristiwa yang selama ini terjadi. Apa yang
terjadi dengan Fahri? Penyakit apa yang bersarang di
dalam hatinya? Masa lalu apa yang telah mengungkung
hati dan pikirannya selama ini? Benarkah perhatianku
yang telah membuatnya seperti ini? Allah…, lindungi
sahabatku. Lindungi dia dari perbuatan yang hanya akan
membuat murka-Mu.
***
Sumenep, 06 Juni 2006
Kumpulan Cerpen
Untung Wahyudi
185
TENTANG PENULIS
Untung Wahyudi lahir di
Sumenep. Alumnus Pon Pes
Mathlabul Ulum Jambu, Lenteng,
Sumenep dan IAIN Sunan Ampel
Surabaya ini menggeluti dunia tulis
menulis sejak masuk pesantren. Hobi
membaca telah menyeret dan "memaksa"-nya untuk terus
menulis, terutama karya fiksi. Selama di pesantren pernah
memprakarsai berdirinya majalah dan bulletin El-Fikr,
Pena, Al-Itqan, El-Kahfi, Bidadari, dan sekarang
dipercaya menjadi konsultan bulletin ZHAFIR organisasi
OSIS MA Putri Al-Amien Jambu-Sumenep.
Beberapa karyanya baik fiksi maupun non fiksi
dimuat antara lain di majalah Fadilah, Permata, Annida,
Saksi, Gizone dan Radar Madura (Jawa Pos Grup).
Cerpennya Lingkaran Setan dinobatkan sebagai Juara
Harapan I Lomba Cipta Cerpen Islami Se-Jawa Timur
yang diadakan Forum Lingkar Pena (FLP) Jember (2006).
Kumpulan Cerpen PANITIA HARI KIAMAT
186
Salah satu cerpennya, Sahabat Sejati masuk dalam
Antologi Sastra Pesantren Kopiah dan Kun Fayakuun
(GitaNagari, 2003). Kumpulan cerpen indie-nya yang
telah dibukukan Tak Seindah Asa (Ma’hadi Publishing,
2006). Tulisan non fiksinya juga tergabung dalam buku
Menulis Tradisi Intelektual Muslim (Youth Publisher,
2010).
Penulis adalah anggota FLP Sumenep, Madura.
Pernah bergabung dengan majalah Sastra Pesantren
Fadilah (Yogyakarta) sebagai reporter untuk wilayah
Madura (Juni-Desember 2003). Kritik dan saran demi
perbaikan bisa melalui [email protected] dan
www.untunx83.multiply.com