Download - Laporan akhir ina
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan sekelompok penyakit kompleks
dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai
setiap lokasi di sepanjang saluran nafas (WHO, 1986).
ISPA merupakan salah satu penyebab utama dari tingginya angka kematian
dan angka kesakitan pada balita dan bayi di Indonesia. Dalam Pelita IV penyakit
tersebut mendapat prioritas tinggi dalam bidang kesehatan (Depkes, 1998). ISPA
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit
ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30 %.
Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia
per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data
penelitian dilapangan (Kecamatan Kediri, NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten
Indramayu adalah 9,8 %) (Rasmaliah, 2004).
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984,
dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA. Namun
tampaknya upaya ini belum membuahkan hasil yang optimal melihat angka
morbiditas di atas.
1
ISPA hingga saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kota
Jambi karena masih tingginya angka kesakitan dan kematian akibat ISPA. Data
Profil Dinas Puskesmas Tanjung Pinang tahun 2010 menunjukkan bahwa
penyakit ISPA masih menempati posisi pertama dari 10 penyakit terbanyak.
Dari permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui bagaimana
pengelolaan program P2 ISPA balita di Puskesmas Tanjung Pinang
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan program
pengendalian penyakit ISPA di Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Mengetahui gambaran balita yang menderita ISPA di Puskesmas Inpres
5/74 Tanjung Pinang.
2) Mengetahu input pelaksanaan program P2 ISPA yaitu tenaga, sarana dan
kebijakan dalam program P2 ISPA Balita di Puskesmas Inpres 5/74
Tanjung Pinang.
3) Mengetahui proses pelaksanaan program P2 ISPA yaitu perencanaan,
penggerakan pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian di
Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang.
4) Mengetahui output pelaksanaan program P2 ISPA yaitu pola pengobatan
ISPA balita rawat jalan di Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut,
dengan pengertian sebagai berikut:3
2.1.1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.1.2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan
(respiratory tract).
2.1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
2.2. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus,
Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya
antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus,
Micoplasma, Herpesvirus.
3
Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.
2.3. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan
atau stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam
hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan
ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak
merah dan membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan
sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan
berkurang sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis,
faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis
dan pneumonia (radang paru).
2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka
4
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
2.5. Diagnosa ISPA2
Diagnosis etiologi pnemonia pada balita sulit untuk ditegakkan karena
dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru
serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif
untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun disisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
5
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat
minum.
Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek
biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia
lainnya.
2.6. Klasifikasi ISPA
2.6.1.
WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat
keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul,
dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988. Adapun
pembagiannya sebagai berikut:
a. ISPA ringan, ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut:
Batuk
Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang, meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala
berikut:
Pernafasan cepat.
Umur < 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.
Umur 1-4 tahun : 40 kali / menit atau lebih.
Wheezing (nafas menciut-ciut).
Sakit/keluar cairan dari telinga.
Bercak kemerahan (campak).
Khusus untuk bayi <2 bulan hanya dikenal ISPA ringan dan ISPA berat
dengan batasan frekuensinya nafasnya 60 kali / menit.
c. ISPA berat, meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala
berikut:
Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi
6
Kesadaran menurun
Bibir / kulit pucat kebiruan.
Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat
Adanya selaput membran difteri.
2.6.2. Klasifikasi Berdasarkan Umur
Depkes RI (1991) membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda
klinis yang didapat yaitu :
a. Kelompok umur < 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a.1. Pneumonia berat: bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti
menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak
wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau
lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernafasan cepat 60 kali
atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah),
serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
a.2. Bukan pneumonia: jika anak bernafas dengan frekuensi kurang dari 60 kali
permenit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti diatas.
b. Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun, diklasifikasikan atas :
b.1. Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang
dan sulit dibangunkan.
b.2. Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
2.6.3. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
7
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
2.7. Epidemiologi Penyakit ISPA4
2.7.1. Distribusi Penyakit ISPA
a. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Orang
Penyakit ISPA lebih sering diderita oleh anak-anak. Daya tahan tubuh
anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistim pertahanan tubuhnya
belum kuat. Kalau di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,
anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih
lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun
seorang anak rata-rata bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA.
b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab
morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang
morbiditasnya relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama
disebabkan oleh ISPA bagian bawah atau pneumonia.
c. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Waktu
Berdasarkan hasil kesepakatan Declaration of the World Summit for
Children pada 30 desember 1999 di New York, AS ditargetkan bahwa penurunan
kematian akibat pneumonia balita sampai 33% pada tahun 1994-1999. Sedangkan
di Indonesia sendiri oleh Dirjen PPM & PL menargetkan bahwa angka kematian
balita akibat penyakit ISPA 5 per 1000 pada tahun 2000 akan diturunkan menjadi
3 per 1000 pada akhir tahun 2005.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, terlihat bahwa
cakupan pneumonia penderita dan pengobatan dari target (perkiraan penderita)
masih relatif rendah, tahun 2000 ada 30,1%; tahun 2001 ada 25%; tahun 2002 ada
8
22,1%; tahun 2003 ada 30%; tahun 2004 ada 36%; tahun 2005 ada 27,7%. Hasil
pantauan yang dilakukan ini belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya
oleh karena masih ada beberapa wilayah yang belum menyampaikan laporannya.
2.7.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit ISPA
a. Agent
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie,
dan Echo.
b. Manusia
b.1. Umur
Anak-anak berumur 0-24 bulan merupakan kelompok umur yang rentan
terhadap berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang relatif tinggi
dibandingkan dengan kelompok umur lain Usia sangat terpengaruh terhadap
kejadian ISPA, bayi lebih mudah terkena ISPA dan lebih berat dibandingkan
dengan anak balita. Adanya hubungan antara umur anak dengan kejadian ISPA
mudah dipahami karena semakin muda umur balita semakin rendah daya tahan
tubuhnya.5
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian
ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan,
terutama anak usia muda, dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak
laki-laki lebih rentan terhadap ISPA yang lebih berat, dibandingkan dengan anak
perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996),
didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada anak laki-laki sebesar
58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.
9
10
b.3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab
utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak
yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi
yang kurang memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat
memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
Hasil penelitian Dewi, dkk (1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain
cross sectional didapatkan bahwa anak yang berstatus gizi kurang/buruk
mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
berstatus gizi baik/normal.
Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk keperluan
Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan terhadap
umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD
2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD
3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD
4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26
b.4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir
<2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka
kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama
tahun pertama kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar
akibat infeksi pada bayi baru lahir.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat
badan lahir <2.500 gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia dengan balita
BBLR (p <0,05). Nilai Or 2,2 (CI 95%; 1,481-4,751), artinya anak balita yang
menderita pneumonia risikonya 2,2 kali lebih besar pada anak balita yang BBLR.
b.5. Status ASI Eksklusif
10
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya
akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama
selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu
ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin,
bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari
infeksi. Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan
makanan padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan
ASI saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam
bulan baru diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada
beberapa kasus tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu
dengan komplikasi postnatal.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006),
didapatkan bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita
pneumonia sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil
uji statistik diperoleh bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2
kali lebih besar pada anak balita yang tidak mendapat ASI eksklusif.
b.6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap
penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu.
Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit
merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak. Imunisasi
bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO (lumpuh
layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis. Bahkan
imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita
dengan status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%;
2.929 – 4.413), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali
lebih besar pada anak yang status imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan
hasil penelitian Afrida (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit
ISPA (p>0,05).
11
c. Lingkungan
c.1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah
40-70%, optimum 60%. Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala
Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban
ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji
regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097,
yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi
faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali.6
c.2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum
18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas
300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita
sebesar 4 kali.6
c.3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang
berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum
harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.1
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens
rate ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi
syarat kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat
kesehatan sebesar 30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).6
c.4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, ≤3,9
m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, ≥9 m2/orang.
12
Dikatakan padat jika luas lantai rumah ≤3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas
lantai rumah ≥4 m2/orang.
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)
menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak
yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di
rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004,
kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.6
c.5. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk
dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan
bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan
pernafasan.
c.6. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat
menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah
pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini
menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan penyakit paru ini telah
menyebabkan 1,3 juta kematian.6
c.7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap
rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain
Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain
lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara
keseluruhan prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah
sebesar 48,9% atau 97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki
32,67% atau 31.879.188 penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814
penduduk. Sedangkan prevalensi perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke
atas adalah sebesar 54,5%, pada perempuan 1,2%. Prevalensi perokok pasif pada
balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan
kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok
13
pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena mereka masih tinggal
serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.5
c.8. Status Ekonomi dan Pendidikan
Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu
individu dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap
penyakitnya merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut.
Untuk bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan
yang akan diterima oleh anaknya.
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila
rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar,
maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih
banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status
ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan
dibandingkan dengan ibu yang status ekonominya rendah.6 Ibu dengan
pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke fasilitas
kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati
sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan
minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan
kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini
disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
yang diderita oleh balitanya.4
2.8. Pencegahan Penyakit ISPA
Penyelenggaraan Program P2 ISPA dititikberatkan pada penemuan dan
pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif
masyarakat terutama kader, dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan
secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait.
2.8.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai
strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia. Termasuk disini ialah :
a. Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
14
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan (insiden) pneumonia.
c. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah.
e. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.
2.8.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini
mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi ISPA
yaitu :
a. Untuk kelompok umur < 2 bulan, pengobatannya meliputi :
a.1. Pneumonia Berat: rawat dirumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami
sianosi sentral, tidak dapat minum, terdapat penarikan dinding dada yang hebat),
terapi antibiotik dengan memberikan benzilpenisilin dan gentamisin atau
kanamisin.
a.2 Bukan Pneumonia: terapi antibiotik sebaiknya tidak diberikan, nasihati ibu
untuk menjaga agar bayi tetap hangat, memberi ASI secara sering, dan bersihkan
sumbatan pada hidung jika sumbatan itu menggangu saat memberi makan.
b. Untuk kelompok umur 2 bulan - <5 tahun, pengobatannya meliputi :
b.1 Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6
jam.Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari),
pemberiannya diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi,
perawatan suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali
sehari.
b.2 Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling
sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati
pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
15
b.3 Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati
demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.
b.4. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik
sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati
demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
b.5. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya
infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
2.8.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak
bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian
kloramfenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia
stafilokokus.
b. Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian
benzilpenisilin dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah
pemberian benzipenisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti
dengan kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda pneumonia
setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka cari penyebab pneumonia
persistensi.
c. c. Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa
adanya tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang,
nafsu makan membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak
dapat minum, terdapat penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat
berat maka lakukan kegiatan ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia
berat atau pneumonia sangat berat. Jika anak tidak membaik sama sekali
tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau tanda lain penyakit sangat
berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
16
2.9. Penanganan Penyakit ISPA
Hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh
ISPbA, paling sering adalah pneumonia. Bayi baru lahir dan bayi berusia satu
bulan atau disebut ’bayi muda’ yang menderita pneumonia dapat tidak mengalami
batuk dan frekuensi pernfasannya secara normal sering melebihi 50 kali permenit.
Infeksi bakteri pada kelompok usia ini dapat hanya menampakkan tanda klinis
yang spesifik, sehingga sulit untuk membedakan pneumonia dari sepsis dan
meningitis. Infeksi ini dapat cepat fatal pada bayi muda yang telah diobati dengan
sebaik-baiknya di rumahsakit dengan antibiotik parenteral. Cara yang paling
efektif untuk mengurangi angka kematian karena pneumonia adalah dengan
memperbaiki manajemen kasus dan memastikan adanya penyediaan antibiotik
yang tepat secara teratur melalui fasilitas perawatan tingkat pertama dokter
praktik umum. Langkah selanjutnya untuk mengurangi angka kematian karena
pneumonia dapat dicapai dengan menyediakan perawatan rujukan untuk anak
yang mengalami ISPbA berat memerlukan oksigen, antibiotik lini II, serta
keahlian klinis yang lebih hebat.
2.10 Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama.
Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di
wilayah kerjanya.
Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum
penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif
masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan kasus-
kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan
kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera dirujuk ke rumah sakit.
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut:
− Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau
sarana dan tenaga yang tersedia.
17
− Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar
kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.
− Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia
berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh
perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.
− Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke
rumah sakit.
− Bersama dengan staff puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu
yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit
pneumonia serta tindakan penunjang di rumah.
− Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang diberi
wewenang mengobati penderita penyakit ISPA.
− Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat
memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA.
− Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan
pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta
menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta
pencapaian target.
Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu
− Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk
yang
ada.
− Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA
tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor.
− Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
− Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
− Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas
sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.
Kader kesehatan:
18
− Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan
pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.
− Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa
(bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal
tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit.
− Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan
pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat
batuk putih.
− Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.
− Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-
daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak
menjangkau daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati kasus-
kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.
− Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.
19
BAB III
METODA PENGUMPULAN DATA
3.1 Data Yang Dikumpulkan
Data untuk penelitian ini berupa data primer dan sekunder.
3.2 Cara Pengambilan Data
Pengambilan data dilaksanankan pada tanggal 23 Februari – 5 Maret 2011.
Data primer diperoleh melalui wawancara yang mendalam untuk menggali data
dari responden yang dicatat ke dalam kertas. Dan data sekunder diperoleh dari
sumber data di bagian pencatatan dan pelaporan P2 ISPA di Puskesmas Tanjung
Pinang. Setelah proses pengumpulan data selesai, data dimasukkan dan dianalisa.
20
BAB IV
HASIL KEGIATAN PUSKESMAS
4.1 Profil Puskesmas Tanjung Pinang9
4.1.1 Histori
Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang Kota Jambi berdiri Tahun 1974,
dengan nama Puskesmas Inpres 5/74. Puskesmas Tanjung Pinang berada bersama
3 puskesmas lainnya dalam Kecamatan Jambi Timur,Puskesmas Payoselincah dan
Puskesmas Talang banjar. Keberadaannya strategis dengan wilayah kerja yang
luas dan jumlah penduduk yang banyak.
4.1.2 Visi dan Misi
Visi
Menjadikan PUSKESMAS Inpres 5/74 Tanjung Pinang sebagai pusat
pelayanan kesehatan masyarakat yang terdepan dan bermutu di kota JAMBI.
Misi
1. Melaksanakan 6 program pokok PUSKESMAS: Pemberantasan
Penyakit menular, Kesehatan ibu dan anak, Gizi, Promosi kesehatan,
Kesehatan lingkungan serta pelayanan kesehatan yang bermutu pada
masyarakat
2. Memelihara dan meningkatkan kerjasama lintas sektoral, lintas
program, masyarakat dalam upaya melaksanakan program kesehatan
3. Membina SDM PUSKESMAS menjadi terampil dan bertanggung
jawab terhadap tugasnya.
4. Memelihara sarana dan prasarana PUSKESMAS yang mendukung
pelayanan kesehatan.
5. Melaksanakan sistim pembiayaan PUSKESMAS sesuai PERDA yang
berlaku dengan sistim pelayanan satu pintu.
6. Melaksanakan sistim informasi kesehatan yang cepat dan tepat.
21
4.1.3 Geografis
Puskesmas Tanjung Pinang terletak di kecamatan Jambi Timur kota
Jambi.Wilayah kerja puskesmas mencakup 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Tanjung
Pinang, Kelurahan Kasang, Kelurahan Kasang Jaya, Kelurahan Rajawali dan
Kelurahan Sijenjang.
Batas-batas wilayah Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang adalah :
Sebelah Timur berbatasan Kelurahan Payoselincah
Sebelah Barat berbatasan Kelurahan Pasar Jambi
Sebelah Utara berbatasan Sungai Batanghari
Sebelah Selatan berbatasan Kelurahan Talang Banjar.
P ETA PUSKESMAS
4.1.4 Demografi
PUSKESMAS INPRES 5/74 TANJUNG PINANG MEMILIKI LUAS
WILAYAH 2.021 KM2. JUMLAH PENDUDUK SAMPAI DESEMBER
TAHUN 2006 BERDASARKAN DATA DARI KECAMATAN ADALAH
37.140 JIWA (DATA PROYEKSI DINAS KESEHATAN KOTA JAMBI
ADALAH 37.603 JIWA), YANG TERDIRI DARI :
No Kelurahan Jumlah penduduk
1. Tanjung Pinang 13.002 jiwa
2. Rajawali 8.271 jiwa
3. Kasang 5.996 jiwa
4. Kasang Jaya 6.560 jiwa
5. Sijenjang 3.341 jiwa
22
J U M L A H 37.140 jiwa
4.1.5 Sosial Budaya
Mayoritas penduduk pribumi dengan persentase 85,05% dan 14,94%
adalah warga keturunan (tiong hoa).
4.1.6 Pendidikan
No Tingkat pendidikan Persentase (%)
1. Tamat S1/Akademi 4,01
2. Tamat SLTA 20,11
3. Tamat SLTP 18,13
4. Tamat SD 15,23
5. Masih sekolah SD /sederajat 11,47
6. Tidak/Belum sekolah 31,05
4.1.7 Ekonomi
No Pekerjaan Persentase (%)
1. Petani sendiri 0,21
2. Buruh tani 1,81
3. Nelayan 0,14
4. Pengusaha 1,93
5. Buruh bangunan 4,45
6. Pedagang 4,8
7. Pengangkut jasa-jasa 2,2
8. Pertukangan/kerajinan 1,6
9. Pensiunan 3,3
10. PNS/ABRI 2,1
11. Lain-lain 14,9
JUMLAH 41,44
23
4.1.8 Agama
No Agama Persentase (%)
1. Islam 79,5
2. Kristen Protestan 6,3
3. Kristen Katolik 10,1
4. Hindu/Budha 6
4.1.9 Sarana
Fasilitas kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang
antara lain :
1 Puskesmas rawat jalan/puskesmas induk (Puskesmas Inpres 5/74
Tanjung Pinang)
3 buah puskesmas pembantu (PUSTU)
o Pustu Kasang Jaya
o Pustu Sijenjang I
o Pustu Sijenjang II1 buah puskesmas keliling (ambulan)
9 unit kendaraan dinas roda dua,
42 POSYANDU
4 sub pos KB.
24
4.2 Hasil Tujuan Makalah
4.3 4.2.1 Mengetahui gambaran balita yang menderita ISPA di
Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Jambi bahwa pola penyakit
rawat jalan di Puskesmas seluruh Kota Jambi untuk semua golongan umur di
dominasi oleh penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Untuk pola
penyakit golongan umur pada anak balita masih di dominasi oleh penyakit
ISPA, dimana ISPA menempati urutan pertama. Demikian halnya dengan
Puskesmas Tanjung Pinang dengan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) merupakan penyakit yang setiap tahun menempati urutan
pertama dari sepuluh pola penyakit rawat jalan. Dari rekapitulasi laporan
bulanan ISPA balita tahun 2010 di Puskesmas Tanjung Pinang jumlah
penderita ISPA yaitu 2008 orang, dengan penderita umur <1 tahun berjumlah
480 orang (23,91%) dan penderita umur 1-4 tahun berjumlah 1528 orang
(76,09%). (lihat lampiran 1. )
Pada kegiatan Pengendalian Penyakit ISPA, pengamatan lebih intensif
dilakukan terutama penderita Pneumonia pada usia balita, karena penyakit ini
secara nasional masih sering menimbulkan kematian. Jumlah kasus
pneumonia pada balita yang dilaporkan berobat ke Puskesmas pada tahun
2010 adalah sebanyak 10 penderita. Dengan penderita yang di tangani oleh
puskesmas 100 % dan angka kematian balita di wilayah kerja puskesmas
Tanjung Pinang sebanyak 0 orang. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pelayanan penatalaksanaan terhadap kasus penyakit Pnemonia sudah
semakin baik.
4.2.2 Mengetahui input pelaksanaan program P2 ISPA yaitu tenaga, sarana
dan kebijakan dalam program P2 ISPA Balita di Puskesmas Inpres 5/74
Tanjung Pinang
a. Tenaga
Program P2 ISPA adalah program yang telah lama disosialisasikan
sejak tahun 1984. Program tersebut telah disosialisasikan hingga ke
25
pelayanan dasar, baik melalui pelatihan maupun dikeluarkannya buku
pedoman P2 ISPA dan pengelolaan program P2 ISPA Balita dilakukan
oleh dokter dan paramedis.
b. Sarana Pemeriksaan
Sarana standar untuk pemeriksaan ISPA Balita di Puskesmas
Tanjung Pinang sudah lengkap. Alat-alat seperti ARI timer, termometer,
stetoskop, timbangan, bagan protap maupun bahan penyuluhan ISPA pada
pasien tersedia. Kondisi tersebut sesuai dengan Pedoman Pemberantasan
Penyakit ISPA.
c. Sarana Obat-obatan
Sistem penyimpanan obat di puskesmas cukup baik, karena telah
mempunyai gudang khusus untuk obat. Obat tertata dengan rapi dan telah
dikelompokkan berdasarkan jenisnya, sehingga memudahkan untuk
mencarinya. Gudang obat diurus oleh petugas yang telah ditunjuk.
Pemberian obat diberikan ke pasien melalui satu pintu. Persediaan obat-
obatan untuk program P2 ISPA disaat dilakukan observasi ke gudang
tersedia dan cukup untuk persedian hingga droping tiwulanan mendatang.
d. Sarana Regrister
Sarana register P2 ISPA hasil cek dokumentasi tentang sarana
register menunjukan bahwa Puskesmas Tanjung Pinang mempunyai
formulir register P2 ISPA yang terdiri dari kartu rawat jalan, registrasi
rawat jalan, dan buku pencatatan program P2 ISPA. Formulir register tidak
disediakan dari Dinas Kesehatan. Puskesmas terpaksa mengadakan sendiri
formulir tersebut. Pengadaan formulir sering dilakukan hanya dengan
mengkopi formulir lama dalam jumlah yang sangat terbatas tergantung
kondisi pendanaan yang tersedia di puskesmas masing-masing.
e. Dana
Sumber dana untuk pelaksanaan program P2 ISPA di puskesmas
berasal dari Dana Alokasi Umum dan didistribusikan melalui Dinas
Kesehatan berwujud dana operasional. Puskesmas tidak mempunyai
sumber dana khusus untuk program P2 ISPA Balita. Penggunaan dana
untuk kegiatan program P2 ISPA di tingkat Pusekesmas masih terbatas
26
untuk kegiatan di dalam gedung, seperti pengadaan formulir, biaya
perjalanan petugas dan pembelian sarana yang tidak mahal harganya.
4.2.3 Mengetahui proses pelaksanaan program P2 ISPA yaitu perencanaan,
penggerakan pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian di
Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang.
a. Perencanaan
Puskesmas Tanjung Pinang mempunyai Kembangseri mempunyai
dokumentasi perencanaan POA, data yang digunakan untuk pembuatan
perencanaan dan arsip laporan bulanan.Penggerakan Pelaksanaan
Puskesmas Tanjung Pinang telah menunjuk petugas pengelola P2
ISPA dengan mengeluarkan surat penunjukan. Puskesmas telah melakukan
kegiatan penemuan kasus pneumonia balita.
b. Pergerakan Pelaksanaan
Puskesmas telah menunjuk petugas pengelola P2 ISPA dengan
mengeluarkan surat penunjukan. Puskesmas yang diteliti juga telah
melakukan kegiatan penemuan kasus pneumonia balita. Keterbatasan dana
dan sarana promosi menyebabkan upaya promotif program P2 ISPA di
puskesmas dilaksanakan masih terbatas di puskesmas.
c. Pengawasan, Pengendalian, dan Penilaian
Hasil wawancara mendalam dengan kepala puskesmas menunjukan
bahwa kepala puskesmas telah melakukan bimbingan tehnis dan supervisi
pada petugas pengelola program P2 ISPA. Supervisi dan pembinaan teknis
khusus P2 ISPA yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten tidak
ada karena program P2 ISPA telah diintegrasikan ke MTBS. Materi
supervisi dan pembinaan tehnis yang disampaikan oleh petugas Dinas
Kesehatan ke petugas di puskesmas berupa materi MTBS.
Hasil wawancara dengan kepala puskesmas yang diamati
menunjukan puskesmas tidak mempunyai dana khusus untuk pelaksanaan
program P2 ISPA balita. Pengelola program tidak membuat laporan
keuangan program untuk kepala puskesmas, karena pengelolaan dana
27
langsung terpusat pada bendahara puskesmas. Laporan keuangan
puskesmas untuk kepala puskesmas dibuat oleh bendahara puskesmas.
Hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan kepala
puskesmas yang diamati telah melakukan pencatatan dan merekapitulasi
data program serta membahas data tersebut dalam minilokarya di tingkat
puskesmas.
4.2.4 Mengetahui output pelaksanaan program P2 ISPA yaitu kepatuhan
penatalaksanaan, cakupan di Puskesmas Inpres 5/74 Tanjung Pinang
a. Kepatuhan penatalaksanaan
Observasi ini dilakukan terhadap petugas (dokter maupun
petugas/perawat) yang melayani pasien yang diduga menderita ISPA Balita untuk
melihat kepatuhan petugas terhadap penatalaksanaan ISPA Balita yaitu antara
lain: Identifikasi pasien, penilaian dan klasifikasi tanda bahaya, batuk atau sukar
bernafas, pengobatan dan tindakan, penyuluhan serta pencatatan dan pelaporan
Puskesmas Tanjung Pinang secara keseluruhan cukup baik. Namun ada beberapa
hal yang perlu di tingkatkan.
Penggunaan antibiotika pada pasien Balita oleh paramedis di puskesmas
Tanjung Pinang sudah menggunakan penggunaan obat yang rasional merupakan
salah satu output yang diharapkan dari penatalaksanaan dengan pendekatan
MTBS. Penggunaan obat yang tidak rasional berdampak negatif terhadap
kualitas, keamanan, biaya pelayanan pengobatan, dan dampak psikologis terhadap
masyarakat.
b. Cakupan
Pelaksanaan program pencegahan penyakit ISPA diprioritaskan pada
kelompok balita dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit pneumonia.
Jumlah kasus pneumonia pada balita yang dilaporkan berobat ke Puskesmas pada
tahun 2010 adalah sebanyak 10 penderita. Dengan penderita yang di tangani oleh
puskesmas 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pelayanan
penatalaksanaan terhadap kasus penyakit pneumonia sudah semakin baik
28
BAB V
IDENTIFIKASI MASALAH
Pada makalah ini didapatkan beberapa penemuan masalah dalam
pelaksanaan program pengendalian penyakit (P2) ISPA di Puskesmas Tanjung
Pinang, yaitu :
1. Peran Serta Kader Kesehatan
Kurangnya peran serta kader kesehatan dalam penemuan atau deteksi
balita yang menderita ISPA. Tambahakn
Faktor Penyebab:
- Kurangnya pengetahuan kader akan penyakit ISPA dan pneumonia.
- Tidak pernah diadakannya pelatihan khusus tentang penyakit ISPA
- Tidak tersedianya dana khusus untuk megadakan pelatihan
2. Pencatatan dan Pelaporan ISPA
Adanya balita yang menderita ISPA (yang mana !!!) yang tidak tercatat di
dalam laporam bulanan ISPA. Dari LB 1
Faktor penyebab:
- Tugas rangkap di puskesmas dan petugas lalai mencatat kasus walaupun
telah memberikan pengobatan menyebabkan penemuan kasus berkurang.
3. Penyalahgunaan antibiotika
Wawancara "dikutip”Rata-rata masyarakat atau pasien yang anaknya
menderita ISPA selalu menggunakan antibiotika, karena kebiasaan mereka
membeli sendiri secara bebas obat antibiotika diluar menyebabkan
pengobatan tidak rasional. Demikian halnya, kebanyakan pasien cenderung
29
menanyakan dan malah meminta obat antibiotika, yang sebenarnya
pengobatan ISPAnya tidak memerlukan pengobatan antibiotika.
Faktor penyebab:
- Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit ISPA
- Penyuluhan yang hanya terbatas di dalam gedung
- Tidak tersedianya dana khusus untuk program penyuluhan mengenai
penyakit ISPA
4. Pengetahuan masyarakat tentang ISPA
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit ISPA. Ketika
dilakukan wawancara mendalam kepada masyarakat yang datang ke
puskesmas maupun yang diluar puskesmas, mereka sangat kurang
mengetahui tentang penyakit ISPA.
Faktor penyebab:
- Kurangnya penyuluhan khusus tentang P2 ISPA dari petugas kesehatan,
karena
5. Pengobatan ISPA berulang
Dari pengamatan rekam medis Penderita ISPA cenderung melakukan
pengobatan secara berulang lebih dari 2 kali. Walaupun pengobatan telah
dilakukan dengan benar sesuai dengan MTBS dan pasien sembuh,
kebanyakan pasien datang lagi dengan keluhan yang sama.
Faktor penyebab: dengan fish bone
- Adanya lingkungan yang kurang sehat yang cenderung membuat penderita
mengalami penyakit yang berulang.
- Faktor gizi mempengaruhi kesembuhan pasien
30
BAB VI
PRIORITAS DAN PEMECAHAN MASALAH
6.1 Prioritas Masalah
Karena banyaknya permasalahan yang ada maka diperlukan
kecermatan dalam menentukan prioritas masalah agar lebih efektif dan
efisien berdasarkan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Penentuan
prioritas dari masalah yang ada pada pelaksanaan program P2 ISPA
menggunakan metode MCUA (Multiple Criteria Utility Assessment).
Dalam menentukan prioritas masalah maka digunakan metode MCUA,
sebagai berikut :
Penetapan Prioritas masalah dengan metode MCUA
No Masal
ah
Peran Serta
Kader kes
Pencatatan pelaporan
ISPA
Penyalahgunaan
antibiotika
Pengetahuan pasien ttg
tanda
Pengobatn yg
berulang
Kriteria (bobot) S BS S BS S BS S BS S BS
1Besarnya masalah (4) 3 12 3 12 3 12 5 12 5 12
2Keseriusan masalah (5) 4 20 5 25 3 15 4 20 5 25
3Kemampuan sumber daya (3) 3 9 3 9 3 9 3 9 3 3
4Kerawanan Politis (4) 4 16 3 12 3 12 3 12 4 4
57 58 48 53 62
Peringkat 3 2 5 4 1
Dari hasil tersebut diperoleh urutan prioritas masalah sebagai berikut :
1. Pengobatan ISPA berulang
31
2. Pencatatan dan pelaporan ISPA
3. Peran kader kesehatan
4. Pengetahuan pasien tentang penyakit ISPA
5. Penyalahgunaan antibiotika
Dicari penyebab dengan isikawa... dominan diskusi argumnetasi
alternatif pemecahan masalah
6.2 Pemecahan Masalah
1. Pengobatan ISPA berulang
Alternatif Pemecahan Masalah :
- Melakukan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat kepada
masyarkat
- Meningkatkan status gizi yang kurang, karena status gizi sangat
mempengaruhi kesembuhan penyakit ISPA
2. Pencatatan dan Pelaporan ISPA yang terlewati
Pemecahan Masalah :
- Meningkatkan kinerja petugas pencatatan dan pelaporan ISPA agar jangan
sampai ada laporan ISPA yang tidak terlapor.
- Memfokuskan petugas hanya dengan satu program.
3. Peran serta kader kesehatan dalam penemuan atau deteksi balita yang
menderita ISPA.
Pemecahan Masalah :
- Memberikan pelatihan khusus P2 ISPA kepada kader kesehatan.
- Memberikan usulan dana untuk mengadakan pelatihan kader kepada dinas
kesehatan yang berwenang.
32
4. Pengetahuan pasien/masyarakat tentang penyakit ISPA
Pemecahan Masalah :
- Memberikan penyuluhan baik didalam maupun diluar gedung kepada
pasien/masyarakat mengenai tanda dan gejala ISPA sehingga cepat
tertangani dan segera di bawa ke sarana kesehatan setempat.
- Adanya dana khusus penyuluhan ISPA
5. Penyalahgunaan Antibiotika
Pemecahan Masalah :
- Memberikan penyuluhan kepada pasien/masyarakat mengenai
penyalahgunaan antibiotik akan menimbulkan resiko seperti resistensi obat
dan sebagainya.
33
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
7.1.1 Balita yang menderita ISPA pada tahun 2010 di Puskesmas Tanjung
Pinang berjumlah 2008 orang, dengan penderita umur <1 tahun berjumlah 480
orang (23,91%) dan penderita umur 1-4 tahun berjumlah 1528 orang (76,09%)
serta jumlah penderita pneumonia sebanyak 10 orang.
7.1.2 Ketersediaan dan ketercukupan input (tenaga, sarana, dana dan metode) di
Puskesmas Tanjung Pinang cukup memadai, kecuali tidak adanya dana khusus
untuk program P2 ISPA seperti penyuluhan masyarakat maupun pelatihan kader
kesehatan.
7.1.3 Proses pelaksanaan program P2 ISPA balita yang meliputi perencanaan,
penggerakan pelaksanaan dan pengawasan, pengendalian dan penilaian di
Puskesmas Tanjung Pinang sudah dilaksanakan dengan baik, namun peran serta
kader kurang dalam program P2 ISPA.
7.1.3 Output pelaksanaan program P2 ISPA di Puskesmas Tanjung Pinang yaitu
kepatuhan penatalaksanaan sudah baik, hanya ada beberapa penderita ISPA yang
tidak tercatat dalam laporan bulanan ISPA, dan cakupan penemuan balita
khususnya penumonia telah tertangani 100%.
7.2 Saran
- Kepada Pemerintah Daerah Jambi diharapkan lebih memperhatikan bidang
kesehatan dengan meningkatkan anggaran untuk kegiatan program, termasuk
program P2 ISPA Balita.
- Dinas Kesehatan Jambi disarankan untuk mengadakan pelatihan dan pembinaan
agar kemampuan petugas meningkat, termasuk kepatuhan petugas terhadap
standar pelayanan.
34
- Pengawasan obat perlu ditingkatkan agar penggunaan dana dapat dihemat dan
digunakan untuk kegiatan program.
- Kepala Puskesmas perlu meningkatkan pembinaan dan bimbingan teknis serta
supervisi terhadap petugas pelaksana program P2 ISPA.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI, 2002, Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Balita, Jakarta.
2. WHO, 1990, Evaluasi Program Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
3. Santoso, G. Pendekatan Epidemiologi I dan Dasar-Dasar Surveilans.
Untuk Pelatihan Prajabatan Umum dan Khusus Tenaga Paramedis di
Puskesmas. Jakarta. 1992.
4. Tim Penelitian Dinkes Kabupaten Banjarnegara/Dinkes Provinsi Jawa
Tengah. Faktor Risiko ISPA di Wilayah Hasil Kerja Puskesmas
Merden, Kabupaten Banjarnegara. Buletin Epidemiologi Provinsi
Jawa Tengah Edisi Januari – Maret 2001.
5. Saftari Dewi, 2009, Hubungan Antara Faktor Usia Dengan Kejadian Ispa
Bagian Bawah Pada Anak Usia 1 Bulan – 5 Tahun, Skripsi S1- Fkm
Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Barat.
6. Yusuf A. Nur, Sulistyorini Lilis, 2005, Hubungan Sanitasi Rumah Secara
Fisik dengan Kejadian ISPA Pada Balita, FKM UNAIR, Surabaya.
7. Silalahi, L. ISPA dan Pneumonia. http://www.tempointeraktif.com. 2004.
8. Depkes RI, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Ditjen PPM PLP. Depkes RI. 2001.
9. Profil Kesehatan Puskesmas Tanjung Pinang, Jambi. 2010
10. Edi Rosdyd, dkk. Pengelolaan Program Pemberantasan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut di Puskesmas Kabupaten Bengkulu Utara.
Bengkulu. 2004
11. Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Dan
Penanggulangannya.Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatra Utara.
36