LAPORAN FINAL PENELITIAN
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
EVALUASI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN
DI KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI
Drs I Wayan Wenagama,MP NIDN 9908003570
Drs I Nengah Kartika,M.Si NIDN 0031125529
I Ketut Sudiana,SE,MSi NIDN 0012125515
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca, atas karunia-Nya
laporan kemajuan Penelitian dengan judul ”PENYUSUNAN EVALUASI STRATEGI
PENGENTASAN KEMISKINAN DI KECAMATAN TEMBUKU KABUPATEN BANGLI
” Adapun tujuan penelitian ini dalah (1) mengetahui proses serta ketepatan waktu dan
jumlah bantuan program di kecamatan tembukau (2) mengetahui persepsi mengenai
dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku (3) mengetahui apa saja yang
dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam memberikan bantuan kemiskinan.
Sedangkan Manfaat penelitian kepada dunia ilmu pengentahuan adalah berupa
bertambahnya informasi mengenai evaluasi program kemiskinan di Indonesia,dan
manfaat peneltian kepada pemerintah adalah bertambahnya informasi mengenai evaluasi
program kemiskinan sehingga dapat digunakan untuk mengambil kebijakan lebih lanjut di
Kabupaten Bangli pada khususnya dan Provinsi pada umumnya.Berkat dukungngan dari
berbagai pihak maka penelitian ini dapat terlaksana untuk itu saya ucapkan trimkasih
Kepada yth :
1. Bapak Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
2. Bapak Ketua Jurusan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
3. Bapak Ketua LPPM Universitas Udayana
4. Bapak Camat Tembuku serta Kepala Desa di seluruh Kecamatan Tembuku
.
Demikian dapat disampaikan laporan final penelitian ini dapat memberikan
gambaran secara jelas mengenai Evaluasi Strategi Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan
Tembuku Kabupaten Bangli.
Denpasar, Septemberr 2015
Ketua Tim,
Drs. I Wayan
Wenagama,MP
EVALUATION OF POVERTY REDUCTION STRATEGY IN DISTRICT DISTRICT TEMBUKU
BANGLI
Drs I Wayan Wenagama,MP
Drs I Nengah Kartika,M.Si
I Ketut Sudiana,SE,MSi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ABSTRACT
World bank defines poverty is the ability or purchasing power based on US $1 or US$ 2 per capita per day. In another case Badan Pusat Statistik (BPS) defines poverty based on the poverty line. The measure of the poverty line used to determine poverty is refers to minimum requirement every is 2100 calories per capita per day. Many programs that have been implemented by the Indonesia Government, Bali provincial government, and also Bangli Regency Government. Tembuku Districts which is divide into 6 village and number of poor households in 2013 is :Undisan Village 29,54 %, Yangapi Village 34,9%, Tembuku Village 21,16%, Undisan Village 23,2%, Bangbang Village 16,68%, and also Peninjoan Village 22,05%. The subject matter in this research is : 1) Poor Families received improper subsidy o r accommodation that required of regulation because of inaccurate data validation 2) Many subsidy are received by non poor families. The purpose of this study is :1) Evaluate the poverty programs in Tembuku District 2) Evaluate the program progressed on target based on poverty programs in Tembuku Districs of Bangli Regency.
This research was evaluated by doing study and survey, and used secondary data study and primary data study. Primary data study done by submitting a list of question and interview. This study used descriptive statistical methods of data analysis that use Mean Method and Frequency table method to discover general overview of respondent from poor families
This research discover that Poverty Programs of Bangli Regency Government can’t not reach the target that can be seen from several programs from Regency Government such as GGS (Gerbang Gita Shanti) that has started in 2014 and this program is establish for PNPM programs substitute and also from the Government has Another program called Menyame Anyar (Be Family) for Government Official . That various Government programs was have bias goal that shown from existing data that many subsidy are received by non poor families and also there is another program from Government called KUBE (A Joint Program) for Cattle Farm, however the goal is still bias because of uncontrolled government that makes decrease of farm result. In other case that found in Yangapi Village Subsidy for poor families was distributed into non poor families
Key Word : Poor Family. Alleviation of poverty.
EVALUASI STRATEGI PENGENTASAN KEMISKINAN DI KECAMATAN TEMBUKU
KABUPATEN BANGLI
Drs I Wayan Wenagama,MP
Drs I Nengah Kartika,M.Si
I Ketut Sudiana,SE,MSi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ABSTRAK
World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan menggunakan ukuran kemampuan/ daya beli,
yaitu US $1 atau US $2 per kapita per hari. Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan berdasarkan
pada garis kemiskinan,(poverty line). Ukuran garis kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum yang
dibutuhkan oleh seseorng yaitu 2100 kalori per kapita per hari. Berbagai Program yang telah dilaksanakan
oleh Pemeritah Pusat,Pemeritah Provinsi Bali serta Pemerintah Kabupaten Bangli. Kecamatan Tembuku
yang terbagi menjadi 6 Desa Dinas distribusi KK miskin pada tahun 2013 yaitu Desa Jehem persentase KK
miskin sebesar 29,54 %, Desa Yangapi KK miskinnya 34,9 %, Desa Tembuku KK miskinya 21,16 %,
Desa Undisan KK miskinnya sebesar 23,32 %, Desa Bangbang KK miskinnya sebesar 16,68% serta Desa
Peninjoan KK miskinnya sebesar 22,05 %. Pokok permasalahan dalam peneilitian ini adalah (1) Masih
banyaknya KK miskin yang menerima bantuan tidak sesuai dengan persyaratan indikator kemiskinan akibat
validasi data yang masih rendah (2) Masih banyak bantuan yang diterima oleh KK miskin tidak tepat
sasaran. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan evaluasi terhadap program-program pengentasan
kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli, (2) untuk mengetahui ketepatan sasaran dari
program pengentasan kemiskinan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli.
Jenis data yang digunakan adalah data skunder dan data primer,data primer dilakukan dengan
mengunakan daptar pertanyaan terstruktur dan wawancara dengan kepala desa. Dalam penelitian ini
digunakan metode analisis data statistik deskritif antara menggunakan nilai mean (rata-rata), tabel
frekewnsi. Melalui metode ini didapatkan gambaran umum mengenai kondisi responden penelitian.
Selanjutnya untuk mengetehuai kondisi persepsi responden maka digunakan alat analisis cross tab atau tabel
silang.
Hasil penelitian menunjukan program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Kepala Derah
Kabupaten Bangli yaitu GGS ( Gerbang Gita Shanti) yang dilaksanakan mulai tahu 2014 sebagai
penggantinya PNPM, disamping itu juga adanya program Menyama Anyar ( menjadikan keluarga ) untuk
pejabat yang menduduki eselon di Kabupaten Bangli. Hasil temuan dilapangan untuk Pedesaan Jehem
belum sepenuhnya tepat sasaran , karena adanya anggota masyarakat yang seharusnya menerima bantuan
tetapi tidak dapat bantuan. Temuan yang lainya di desa ini adanya program KUBE ( kelompok usaha
bersama) dibidang peternakan sapi, namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan yang
menyebabkan kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan kelompoknya, Hasil temuan yang
lainya bahwa di Dusun Yangapi jatah raskin dibagi rata oleh seluruh KK di dusun yang bersangkutan. Key word : KK Miskin, Pengentasan kemiskinan.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan ........................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1
1.2 Pokok Masalah .........................................................................................................................9
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................................................10
1.4 Manfaat penelitian ..................................................................................................................10
BAB II Kajian Pustaka. ...............................................................................................................11
2.1.Konsep Kemiskinan
……………………………………………………………………..11
2.2 Penyebab Kemiskinan ..............................................................................................................14
2.3 Jenis Jenis Kemiskinan ...........................................................................................................16
2.4 Strategi Pengentasan Kemiskinan ............................................................................................20
BAB III Metoda Penelitian .......................................................................................................37
3.1 Lokasi Penelitian .....................................................................................................................37
3.2 Objek Penelitian ...................................................................................................................... 37
3.3 Desain Penelitian .................................................................................................................... 37
3.4 Metode Penentuan Sampel ..................................................................................................... 37
3.4.1 Besarnya sampel .................................................................................................................. 37
3.5 Metode Pengambilan Sampel ................................................................................................. 38
3.6 Metode Pengumpulan Data ..................................................................................................... 39
3.7 Definisi Oprasional ................................................................................................................. 40
3.8 Metode Analisis Data .............................................................................................................. 40
3.8.1 Statistik Diskritif .................................................................................................................. 40
3.8.2. Crosstab/ Tabel Silang .................................................................................................41
BAB IV.PEMBAHASAN ........................................................................................................... 42
4.1.Gambaran Umum Daerah Penelitian ...................................................................................... 42
4.1 .1 Keadaan Geografis .............................................................................................................. 42
4.1.2 Pemerintahan Desa............................................................................................................... 42
4.1.3 Jumlah Penduduk di Kecamatan Tembuku.......................................................................... 43
4.2. Kondisi Umum Responden .................................................................................................... 47
4.2.1 Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin ......................................................................... 47
4.2.2 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden ...................................................................... 48
4.2.3 Jumlah Tanggungan Responden .......................................................................................... 49
4.2.3 Jenjang Pendidikan Tertinggi yang mampu diraih oleh keluarga Responden ..................... 50
4.2.4 Jumlah Anggota Keluarga Responden Yang Bekerja .......................................................... 51
4.2.5 Jenis Bantuan Atau Program Yang Di Terima Oleh Responden ......................................... 51
4.3 Persepsi Kemiskinan yang Dialami Oleh Responden ............................................................. 52
4.4 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Proses serta Ketepatan waktu dan Jumlah
Bantuan Program ................................................................................................................... 55
4.5 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Dampak Program Kemiskinan ......................... 58
4.5.1 Hasil Wawancara Dengan Bapak Sekcam Tembuku ........................................................... 61
4.5.2 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Jehem ................................................................... 61
4.5.3 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Tembukui ............................................................. 61
4.5.4 Hasil Wawancara Dengan Dkepala Desa Yangapi .............................................................. 62
4.5.5 Hasil Wawancara Dengan Kepala Desa Undisan ................................................................ 52
4.5.6 Hasil Wawancara Dengan kepala Desa Bangbang .............................................................. 52
4.5.7 Hasil Wawancara Dengan kepala Desa Peninjoan .............................................................. 62
BAB
V.Penutup………………………………………………………………………………..63
5.1.Simpulan……………………………………………………………………………………
64
5.2.Saran………………………………………………………………………………………
…64 Daftar Pustaka. .................................................................................................................... 65
Daftar Tabel
1.1 Jumlah Penduduk Miskin Di Provinsi Bali ................................................................................5
1.2 PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2013, 2011, 2010, 2009, 2008 (dalam, 000) .... 5
1.3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Bangli dan kepadatan Penduduk tahun 2010 ............6
1.4. Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Bangl Tahun 2005/2006-
2009/2010 ........................................................................................................................................7
1.5 Jumlah Rumah Tangga, Rumah tangga Miskin,% Rumah Tangga Miskin Di Kecamatan
Tembuku Kabuapaten Bangli Tahun 2013 ...............................................................................8
1.7 Jumlah Sampel Per Desa ..........................................................................................................39
4.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah Tahun 2013 .........................................................43
4.2 Banyaknya Desa Adat, Banjar Dinas dan Aparat Desa Dirinci per DesaTahun
2013………43
4.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa Keadaan
Tahun 2013 ..............................................................................................................................43
4.4 Jumlah Penduduk, Keluarga dan Rata-Rata Jiwa Per KK Tahun 2013 ...................................43
4.5 Jumlah Kelahiran dan Kematian Menurut Jenis Kelamin per Desa Tahun 2013 ....................45
4.6 Jumlah Penduduk Datang dan Pergi Menurut Jenis Kelamin per Desa Tahun
2013……….46
4.7 Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian Utama Dirinci per Desa Tahun
2013………46
4.8 Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kelompok Industri Dirinci per Desa Tahun 2013 .47
4.9 Jenis Kelamin ..........................................................................................................................48
4.10 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden .........................................................................48
4.11 Jumlah Tanggungan Responden ............................................................................................49
4.12 Jenjang Pendidikan yang Mampu diraih oleh Anggota Keluarga Miskin .............................50
4.13 Jumlah Anggota Keluarga Sampel Yang bekerja .................................................................51
4.14 Jenis Bantuan Yang Diterima Oleh Keluarga Responden .................................................. 53
4.15 Ketidak Hadiran dalam rapat penerima bantuan ................................................................. 53
4.16 Kemiskinan yang disebabkan adat yang
ketat…………………………………………....53
4.17 Kemiskinan karena kurang mendapatkan bantuan dari pemerintah ..................................... 54
4.18 Proses untuk masuk dalam daftar menerima bantuan ........................................................... 55
4.19 Pengetahuan masuk daftar dalam penerimaan bantuan ....................................................... 56
4.20 Kesesuai dengan keperluan ................................................................................................... 57
4.21 Bantuan sesuai dengan yang dijanjikan ................................................................................ 58
4.22 Melallui bantuan mampu meningkatkan kesejahtraan .......................................................... 58
4.23 Melalui bantuan rasa aman dalam kelangsungan hidup ....................................................... 59
4.24 Setelah mendapatkan bantuan mampu hidup mandiri
BAB I
PENDAHULUAN.
1.1.Latar Belakang.
Krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis multi-dimensi salah satunya berdampak
pada meningkatnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan berdampak pada
meningkatnya jumlah penduduk yang berada di garis kemiskinan dan penduduk yang rentan
jatuh di bawah garis kemiskinan juga meningkat. Kemiskinan adalah kondisi dimana
sesorang atau kelompok orang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupannya secara bermartabat. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan
sebagai Poverty is concern with absolute standard of living of part of society the poor in
equality refers to relative living standards across the whole society (Sumodiningrat, 1999).
Kemiskinan yang merupakan ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar
minimal untuk hidup layak. Ketidakmampuan tersebut ditunjukkan oleh kondisinya yang
berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non
makanan. Garis kemiskinan merupakan sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu
untuk dapat membayar kebutuhan makanan, setara 2100 kalori per orang per hari dan
kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Selanjutnya BKKBN memiliki kategori
yang mengklasifikasikan keluarga miskin sebagai berikut dalam 14 indikator.
BKKBN . Profil Hasil Pendataan Keluarga miskin yang meliputi Pra KS, KS I,KS
II,KSIII dan KSIII plus yang didasarkan pada 14 indikator yang meliputi
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitasrendah/
tembok tanpa diplester
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tanggalain
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung / sungai /air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu
9. Hanya membeli satu stel pakian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas /poliklinik
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan,buruh perkebunan, atau pekerjaan lainya
dengan pendapatan di bawah Rp.600.000 per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah di jual dengan nilai Rp.500.000,
seperti sepeda motor( kridit /non kridit ) emas, ternak kapal motor atau barang
modal lainya.
Kemiskinan menurut Sayogya (1971) tingkat pengeluaran ekuivalen beras per orang
pertahun ( Kg), katagori Miskin ( M) Kota 480 Kg, Desa 320 Kg, katagori Miskin Sekali
(MS) Kota 360 Kg, Desa 240 Kg, dan katagori Paling miskin (PM) Kota 270 kg, Desas 180
Kg. Selanjutnya di Indonesia terdapat tiga ciri menonjol kemiskinan di Indonesia, ciri
Pertama, banyak rumah tangga yang berada di sekitar garis kemiskinan nasional, yang setara
dengan PPP AS$1,55-per hari, sehingga banyak penduduk yang meskipun tergolong tidak
miskin tetapi rentan terhadap kemiskinan. Kedua, ukuran kemiskinan didasarkan pada
pendapatan, sehingga tidak menggambarkan batas kemiskinan yang sebenarnya. Banyak
orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi pendapatan, dapat dikategorikan
sebagai miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya
indikator-indikator pembangunan manusia. Ketiga, mengingat sangat luas dan beragamnya
wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di
Indonesia (World Bank, 2006: 11).
Terdapat penyebab kemiskinan yang terdiri atas berbagai jenis faktor penyebab.
Faktor penyebab kemiskinan antara lain sebagai berikut.
1. Perbedaan Kepemilikan Kekayaan
Perbedaan kepemilikan kekayaan, ini karena terdapat kekayaan yang
diwarisakan dalam bentuk piramida kekayaan. Piramida kekayaan diwariskan
kepada anak cucu. Sedangkan terdapat individu yang tidak memiliki warisan
piramida kekayaan, sehingga individu tersebut tidak memiliki modal
akumulasi yang akan digunakan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan.
2. Perbedaan dalam Kemampuan Pribadi
Perbedaan kemampuan pribadi adalah perbedaan karena perbedaan mental dan
fisik. Perbedaan mental dan fisik ini menyebabkan terdapatnya perbedaan
kamampuan untuk mendapatkan pendapatan karena produktifitas yang
berbeda karena kemampuan mental dan fisik yang berbeda.
3. Perbedaan dalam Bidang Pengalaman
Perbedaan bidang pengalaman ini karena faktor pendidikan. Pendidikan yang
memiliki yang berbeda menyebabkan seseorang tidak memiliki kemampuan
yang sama untuk mencapai tingkat pendapatan yang sama. Kepemilikan
tingkat pendidikan yang berbeda ini bersumber dari akumulai capital yang
dimiliki yang belum tentu dimiliki oleh setiap orang.
Kasus kemiskinan di Indonesia terjadi disetiap provinsi di Indonesia, termasuk
Provinsi Bali. Provinsi Bali yang meliputi sembilan kabupaten kota dimana Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar penduduk miskinnya kalau dilihat dari persentasenya relatif
rendah sedangkan kalau dilihat dari persentase penduduk miskin pada tahun 2011 terdapat di
Kabupaten Jembrana 6,56%, Kabupaten Klungkung 6,10% disusul Kabupaten Buleleng
5,93% disusul Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Gianyar untuk tahun 2012 Kabupaten
Jembrana 5,74%, disusul Kabupaten Klungkung 5,37% disusul Kabupaten Buleleng 5,19%
pada tahun 2013. Kabupaten Klungkung 7,01%, disusul Kabupaten Karangasem 6,88% dan
Kabupaten Buleleng 6,31%.
Menurut data BKKBN Provinsi Bali, selama tahun 2000-2004 jumlah keluarga
miskin yaitu keluarga yang berada pada tahapan keluarga pra sejahtera dan sejahtera I terus
mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 jumlah keluarga miskin 88.035 KK atau 12,20%,
meningkat menjadi 88.885 KK pada tahun 2001 tetapi persentasenya menurun menjadi
12,16%. Pada tahun 2002 keluarga miskin meningkat menjadi 98.189 KK dan persentasenya
meningkat menjadi 12,81%. Peningkatan keluarga miskin berlanjut pada tahun 2003 dan
2004. Pada tahun 2003 jumlah keluarga miskin 109.193 KK atau 13,91% dan tahun 2004
sebanyak 119.893 KK atau 14,92%.
BKKBN Provinsi Bali menunjukkan jumlah keluarga miskin pada tahun 2004
terbanyak terdapat di Kabupaten Buleleng yaitu 39.568 KK atau 25,98% dari total jumlah
keluarga di wilayah tersebut. Sedangkan dilihat dari persentasenya terhadap jumlah keluarga
di masing-masing wilayah, persentase keluarga miskin tertinggi terdapat di Kabupaten
Karangasem yaitu mencapai 34,18% (33.336 KK). Jumlah keluarga miskin juga relatif tinggi
terdapat di Kabupaten Bangli 12.374 KK (22,08%), Tabanan 11.513 KK (10,04%),
Klungkung 8.658 KK (20,43) dan Jembrana 6.034 KK (9,15%). Sedangkan di Kabupaten
Gianyar, Badung dan Kota Denpasar relatif lebih kecil yaitu masing-masing 5.126 KK
(5,00%); 2.713 KK (3,27%); dan 571 KK (0,64%).
Dilihat dari angka abolutnya yang tertinggi pada tahun 2011 Kabupaten Gianyar dan
Tabanan dan tahun 2012 serta tahun 2013 posisinya hampir sama dengan tahun 2011. yang
datanya disajikan pada Tabel berikut :
Tabel 1.1.Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Bali tahun 2011-2013.
No Kab/Kota Jlh Pddk Miskin (000) % Penduduk Miskin
2011 2012 20913 2011 2012 2013
1 Jembrana 17.6 15.3 14.9 6.56 5.74 5.56
2 Tabanan 24.2 21.0 22.5 5.62 4.90 5.21
3 Badung 14.6 12.5 14.5 2.62 2.16 2.46
4 Gianyar 26.0 22.6 20.8 5.40 4.69 4.27
5 Klungkung 10.7 9.3 12.2 6.10 5.37 7.01
6 Bangli 11.4 9.9 12.0 5.16 4.52 5.45
7 Karangasem 26.1 22.7 27.8 6.43 5.63 6.88
8 Buleleng 37.9 33.0 40.3 5.93 5.19 6.31
9 Denpasar 14.5 12.7 17.6 1.79 1.52 2.07
B A L I 183.1 158.9 182.8 4.59 3.95 4.49
Sumber : Bali Dalam Angka (2014)
Kabupaten Bangli merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali yang
mempunyai Pendapatan Asli Daerah yang paling rendah diantara Kabupaten yang lainya,
sehingga adanya keterbatasan dalam membiayai pembangunan untuk meningkatkan
kesejahtraan masyarakatnya. Tabel 1.2 berikut ini menyajikan data PAD di Kabupaten/Kota
Provinsi Bali tahun 2008 – 2013
Tabel 1.2 PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Bali tahun 2013, 2011, 2010, 2009, 2008
(dalam, 000)
Kab/Kota 2013 2011 2010 2009 2008
Jembrana 68485482 41 330 606 34 380 823 33952879 21235505
Tabanan 255418 218 141 046 017 107 836 348 93840478 87379829
Badung 2279113502 1 406298099 979 241 565 850170021 449674873
Gianyar 319 612005 175273 316 771 595 587 112322710 96922244
Klungkung 67401910 40735 839 447 067 232 29566917 29028565
Bangli 55986570 22 961 237 475 578 526 16329747 12655751
Karangasem 168652790 129556 195 673 678 128 47842960 43005827
Buleleng 160292 011 109167 026 852 341 270 63487192 52662170
Denpasar 658 974707 424959 413 903 834 642 215156916 176072308
Sumber : Bali Dalam Angka 2014,2013,2012,2011,2010.
Kabupaten Bangli yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Susut yang luas
wilayahnya 49,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 873 Km2, Kecamatan Bangli
luas wilayahnya 56,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 804 Km2, Kecamatn
Tembuku luas wilayahnya 48,3 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya 725 Km2 dan
Kecamatan Kintamani luas wilayahnya 366,9 Km2 dengan tingkat kepadatan penduduknya
252 Km2, datanya sajikan di Tabel 1.3
Tabel 1.3 Luas wilayah kecamatan di Kabupaten Bangli dan kepadatan Penduduk
tahun 2010
Kecamatan Luas Wilayah ( Km2 ) Kepadatan Km2
Susut 49,3 873
Bangli 56,3 804
Tembuku 48,3 725
Kintamani 366,9 252
Sumber: Bali Dalam Angka (2011)
Kecamatan Kintamani mempunyai wilayah yang paling luas dengan tingkat
kepadatan yang paling rendah dan kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Susut.
Kepadatan penduduk berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi dalam satu
wilayah. Tingkat pertumbuhan penduduk selama lima tahun akan disajikan dalam tabel
berikut :
Tabel 1.4. Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Bangl Tahun
2005/2006-2009/2010
Kecamatan Tahun (%)
2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010
Susut 0,04 0,19 0,16 0,15 0,10
Bangli 0,49 0,46 0,40 0,82 0,56
Tembuku -0,05 -0,11 0,14 0,01 0,00
Kintamani 0,08 0,74 0,65 0,60 0,71
Sumber : Bangli Dalam Angka 2010
Kepadatan penduduk suatu wilayah sangat ditentukan dengan pertumbuhan
penduduk. Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh tingkat kelahiran, tingkat kematian,
penduduk keluar dan penduduk masuk kewilayah yang bersangkutan. Penduduk melakukan
migrasi adanya faktor pendodrong dan faktor penarik. Migrasi keluar tersebut sebagai faktor
penariknya karena adanya harapan bahwa ditempat lain lebih mudah mendapatkan pekerjaan,
fasilitas pendidikan serta kesehatan lebih baik, sedangkan faktor pendorongnya karena
kesulitan memproleh pekerjaan, tingkat keamanan kurang kondusif. Data pertumbuhan
penduduk di Kecamatan tembuku dapat disajikan di Tabel 1.4
Pertumbuhan Penduduk di lihat perkecamatan yang paling rendah pertumbuhan
penduduknya adalah Kecamatan Tembuku. Selama tiga tahun terakhir di Kabupaten Bangli
perkembangan penduduk miskinnya pada tahun 2011 berjumlah 11.400 penduduk miskin
(5,16%), tahun 2012 sebanyak 9.900 penduduk miskin (4,52 % ) dan tahun 2013 sebanyak
12.000 penduduk miskin (5,45 %), sedangkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bangli dari
tahun 2010 sebesar 4,97 %, tahun 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 5,84 %, tahun
2012 pertumbuhan ekonominya sebesar 5,99 % dan tahun 2013 pertumbuhan ekonominya
mencapai 5,61 %. Perkembangan penduduk miskin yang ada di Kabupaten Bangli yang
mengalami pluktuasi, sangat diperlukan strategi serta kebijakan yang lebih memadai dalam
rangka menurunkan angka kemiskinan yang terjadi.
Kabupaten Bangli yang meliputi empat Kecamatan yakni Kecamatan Susut,
Kecamatan Bangli, Kecamatan Tembuku serta Kecamatan Kintamani. Kecamatan Tembuku
yang mempunyai pertumbuhan penduduk yang paling rendah bahkan sempat negatip,
mempunyai perkembangan penduduk miskin yang relatif besar. Jumlah penduduk miskin di
Kecamatan Tembuku di sajikan di Tabel 1.5
Tabel 1.5 . Jumlah Rumah Tangga, Rumah tangga Miskin,% Rumah Tangga Miskin
Di Kecamatan Tembuku Kabuapaten Bangli Tahun 2013
No Desa Jumlah KK Jumlah KK
Miskin
% KK
Miskin
1 Jehem 1896 560 29,54
2 Yangapi 1947 681 34,9
3 Tembuku 1125 238 21,16
4 Undisan 802 187 23,32
5 Bangbang 1019 170 16,68
6 Peninjoan 2122 468 22,05
8911 2304 25,86
Sumber : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Unud 2013.
Tabel 1.5 menunujukan bahwa Desa Yangapi jumlah KK miskin terbanyak yaitu 681
KK, disusul dengan Desa Jehem yaitu 560 KK dan yang paling kecil jumlah KK miskinnya
adalah di Desa Bangbang yaitu 170 KK. Masih tingginya KK miskin adanya kecendrungan
bahwa penetapan KK miskin yang digunakan sebagai acuan adalah empat belas indikator.
Kasus kemiskinan di Kabupaten Bangli telah dicoba ditanggulangi dengan berbagai program
yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten.
Program yang berasal dari pemerintah tersebut meliputi pemberian beras raskin, BLT, bea
siswa, pengobatan gratis, bedah rumah, bantuan simantri, gerbangsadu, Klompok Usaha
Bersama.
Perbedaan pengentasa kemiskinan denga munculnya program dari tiap pemerintah
meliputi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten ini karena penerapan otonomi
daerah. Penetapan otonomi daerah menyebabkan setiap pemerintah daerah di tingkat provinsi
dan kabupaten bisa memiliki keleluasaan dalam menentukan arah pembangunan termasuk
program pengentasan kemiskinan berdasarkan potensi dan kendala yang berbeda sesuai
dengan daerahnya masing-masing. Selain itu perbedaan jenis program kemiskinan sangat
tergantung pada visi dan misi pemimpin daerah yang dicetuskan pada saat melakukan pemilu.
Perbedaan program kemiskinan terkesan bahwa ada egosentri kedaerahaan yang
menyebabkan kurangnya kordinasi pengentasan kemiskinan, sehingga terkesan pogram
kemiskinan berjalan secara parsial karena pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten memiliki
jenis pogram pengentasan kemiskinan yang berbeda.
Perbedaan program tersebut dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten telah
menyebabkan dampak yang berbeda-beda, padahal pengentasan kemiskinan bisa dilakukan
secara bersama-sama sehingga dana program dapat dikumpulkan menjadi satu dan disalurkan
dengan lebih baik. Perbedaan program ini juga menimbulkan dampak dan menghadapi
masalah yang berbeda. Dampak Program yang berbeda tersebut juga dirasakan oleh
penduduk miskin yang berada di kecamatan tembuku, sehingga perlu dilakukan evaluasi
program kemiskinan atas
1.2.Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini memiliki Pertanyaan peneltian
sebagai berikut.
1. Bagaimana proses serta ketepatan waktu dan jumlah bantuan program di kecamatan
tembukau?
2. Bagaimana persepsi mengenai dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku?
3. Permasalah apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam memberikan
bantuan kemiskinan?
1.3.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses serta ketepatan waktu dan jumlah bantuan program di kecamatan
tembukau
2. Mengetahui persepsi mengenai dampak program kemiskinan di kecamatan tembuku
3. Mengetahui apa saja yang dihadapi oleh masing-masing pemerintah desa dalam
memberikan bantuan kemiskinan.
1.4. Manfaat Penelitian
5. Manfaat penelitian kepada dunia ilmu pengentahuan adalah berupa bertambahnya
informasi mengenai evaluasi program kemiskinan di Indonesia
6. Manfaat peneltian kepada pemerintah adalah bertambahnya informasi mengenai evaluasi
program kemiskinan sehingga dapat digunakan untuk mengambil kebijakan lebih lanjut di
Kabupaten Bangli pada khususnya dan Provinsi pada umumnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kemiskinan
Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. World Bank mendefinisikan kemiskinan
dengan menggunakan ukuran kemampuan/ daya beli, yaitu US $1 atau US $2 per kapita per
hari. Sementara itu, BPS mendefinisikan kemiskinan didasarkan pada garis
kemiskinan,(poverty line). Nilai garis kemiskinan yang digunakan untuk menentukan
kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum yang dibutuhkan oleh seseorng yaitu 2100
kalori per kapita per hari, ditambah dengan kebutuhan minimurn non-makan yang merupakan
kebutuhan dasar seseorang yang meliputi: papan, sandang, sekolah, transportasi, serta
kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar. Menurut BPS, seseorang/ individu
yang pengeluarannya lebih rendah dari Garis Kemiskinan maka seseorang/individu tersebut
dikatakan miskin. Sedangkan kemiskinan menurut Bappenas (2004) adalah kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang laki dan perempuan, yang tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak
dasar manusia tersebut meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial politik.
Dalam pandangan Friedman, kemiskinan berarti ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial ini meliputi: (1) Modal
produktif seperti tanah, alat produksi, Perumahan, kesehatan. (2) Sumber keuangan, (3)
Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk kepentingan bersama seperti
koperasi, partai potitik, organisasi sosial, (4) jaringan sosial, (5) Pengetahuan dan
ketrampilan. (6) Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto,
dkk., 2004).
Menurut Sadono (2008), pendapatan individu merupakan pendapatan yang diterima
seluruh rumah tangga dalam perekonomian dari pembayaran atas penggunaan faktor-faktor
produksi yang dimilikinya dan dari sumber lain. Dalam penelitian ini salah satu faktor
produksi yang digunakan adalah modal untuk usaha-usaha ekonomi produktif dalam rangka
meningkatkan pendapatan keluarga, khususnya Rumah tangga Miskin.
Menurut Mubyarto (2003) pendapatan merupakan penerimaan yang dikurangi dengan
biaya–biaya yang dikeluarkan. Pendapatan seseorang pada dasarnya tergantung dari
pekerjaan dibidang jasa atau produksi, serta waktu jam kerja yang dicurahkan, tingkat
pendapatan perjam yang diterima, serta jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendapatan
perjam yang diterima dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan dan sumber – sumber non
tenaga kerja yang dikuasai, seperti tanah, modal dan teknologi.
United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan
kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan berobat ke
dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf, tidak mempunyai
pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian, ketidakmampuan
mendapatkan air bersih, ketidakberdayaan, serta tidak ada keterwakilan dan kebebasan.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1981, fakir miskin adalah orang
yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang
mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi
kemanusiaan.
Meskipun miskin bukan kenyataan baru dalam masyarakat, namun sampai saat ini
definisi kemiskinan masih bersifat problematik karena sifatnya yang begitu rumit dalam
beberapa tataran variabel pengukuran. Belum ada definisi baku yang dapat diterima bersama
oleh para ahli seputar kemiskinan. Namun dengan memperhatikan definisi-definisi teoritis
yang dikemukakan diatas, maka definisi operasional dari kemiskinan yang diutarakan disini
adalah kondisi seseorang atau kelompok orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimum yang diperlukan untuk dapat hidup layak dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat, sesuai dengan hak-hak dasar mereka.
Menurut BAPPENAS (2004), hak-hak dasar masyarakat miskin ini yang tertuang
dalam Rencana Strategis (Renstra) beberapa daerah di Indonesia diantaranya: (1) hak untuk
memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) hak untuk memperoleh
perlindungan hukum; (3) hak untuk memperoleh rasa aman; (4) hak memperoleh akses
atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, papan) yang terjangkau; (5) hak untuk memperoleh
akses atas kebutuhan pendidikan; (6) hak untuk memperoleh akses atas kesehatan; (7) hak
untuk memperoleh keadilan; (8) hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
publik dan pemerintahan; (9) hak untuk berinovasi, serta (1) hak untuk berpartisipasi dalam
menata dan mengelola pemerintahan yang baik.
Orang yang setidaknya bisa memenuhi hak-hak dasar tersebut dianggap tidak miskin,
sedangkan yang tidak dapat memenuhinya maka dapat dikategorikan miskin. Meskipun pada
kenyataannya, untuk dapat hidup layak berbeda untuk tiap individu tergantung pada usia,
tempat tinggal, dan lain-lain. Kemiskinan juga memiliki wujud yang majemuk, termasuk
rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan yang
berkesinambungan, kelaparan dan kekurangan gizi, rendahnya tingkat kesehatan,
keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan pokok lainnya, kondisi tak
wajar, serta kematian akibat penyakit yang terus meningkat, kehidupan menggelandang
dan tempat tinggal yang tidak memadai, lingkungan yang tidak aman, serta diskriminasi
dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam
proses pengambilan keputusan serta dalam kehidupan, sosial, dan budaya.
2.2. Penyebab Kemiskinan
Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan penyebab terjadinya kemiskinan,
yaitu: Policy Induces Processes. Proses kemiskinan yang dilestarikan,
direproduksimelaluipelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya
adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi realitasnya justru melestarikan. Sosio
Economic Dualism. Yakni negara eks koloni mengalami kemiskinan karena pola
produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanahyang subur dikuasai para
petani skala besar dan berorientasi ekspor. Population Growth. Perspektif yang didasari
oleh teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur, sedang
pertambahan pangan seperti deret hitung.ResourcesManagement and The Environment.
Adanya unsure mismanagement sumberdaya alam daningkungan, seperti manajemen
pertanian yang asal tebang dan dapat menurunkan produktivitas.
Natural Cycles and Processes. Yakni kemiskinan terjadi karena siklus
alam.Misalkan yang tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir, namun jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus enerus. menurunkan
produktivitas.Natural Cycles and Processes. Yaknikemiskinan terjadi karena siklus
alam.Misalkan yang tinggal di lahan kritis,dimana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir, namun jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus menerus.
The Marginalitation of Woman. Adalah peminggiran kaum perempuan karena masih
dianggap sebagai golongan kelas dua sehingga akses dan penghargaan lebih rendah
ketimbang laki-laki. peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai golongan
kelas dua sehingga akses dan penghargaan lebih rendah ketimbang laki-laki.
Culture and Etnik Factor. Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang eksis
memelihara kemiskinan. Misalnya pola hidup yang konsumtif pada petani dan nelayan ketika
panen, serta adat istiadat saat upacara adat yang dapat menyedot biaya mahal. Exploitative
Intermediation. Keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir. Internal
Political Fragmentation and Civil Stratfe. Yakni suatu kebijakan yang diterapkan pada
suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dan dapat menjadi penyebab kemiskinan.
International Processes. Yakni bekerjanya sistem-sistem internasional seperti kolonialisme
dan kapitalisme yang membuat banyak negara menjadi miskin.
Menurut pandangan secara umum, kemiskinan jika dilihat dari faktor
penyebabnya, maka dibedakan atas : kemiskinan kultural, natural dan struktural.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti: malas,
tidak disiplin, boros dan lain sebagainya. Kemiskinan natural adalah kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti: karena cacat, sakit, lanjut usia, dan karena
bencana alam. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor-faktor buatan manusia, seperti: distribusi aset produktif yang tidak merata, kebijakan
ekonomi yang tidak adil, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian yang cenderung
menguntungkan kelompok tertentu
2.3 Jenis-Jenis Kemiskinan
Menurut Baswir, (1997: 23), Sumodiningrat, (1998: 90).Secara sosioekonomis,
terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu :
1. Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki
tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan
kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita,
pengeluaran konsumsi dan lain-lain.
2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu
tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong
kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa
yang lain.Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi
faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural,
(2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan structural (Kartasasmita, 1996: 235,
Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997: 23).
a Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin.
Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang
memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan,
atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan
pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalah kemiskinan
yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena
bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut
sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah
seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya ataudaerah
yang terisolir.
b`. Kemiskinan kuktural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat
yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup
berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah
untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan
merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut
ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997:
21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-
lainnya.
c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh factor-faktorbuatan
manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak
merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan
kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27)
mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya
menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program
dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak
merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak
merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut
Kartasasmita (1996: 236) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena
dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat
kesejahteraan masyarakat. Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese
(dalam Sumodiningrat. 1999: 150) sebagai suatu “lingkaran setan kemiskinan” yang meliputi
enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah,
Pendapatan rendah, Produksi rendah.
Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah
kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana “deprivation trap” atau jebakan
kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi,
Kerentanan, Ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan
yang lain dan saling mempengaruhi(Chambers, 1983 : 145-147).
Data kemiskinan agregat hanya menggambarkan persentase dan jumlah penduduk
miskin. Walaupun sangat berguna untuk mengetahui kemajuan pembangunan suatu bangsa,
namun tidak dapat digunakan sebagai penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan.
Program penanggulangan kemiskinan seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Bantuan Pendidikan membutuhkan informasi
tentang siapa dan dimana penduduk miskin itu berada (by name dan by address).
Penyaluran program penanggulangan kemiskinan memerlukan nama dan alamat rumah
tangga sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) ini sering disebut data kemiskinan mikro.
Pengumpulan datanya harus dilakukan secara sensus. Pengumpulan data rumah tangga sasaran
didasarkan pada ciri-ciri rumah tangga miskin yang diperoleh dari survei kemiskinan agregat.
2.3. 1. Ukuran Kemiskinan lain
Ukuran kemiskinan lain yang sering digunakan adalah Poverty Gap Index atau P1.
Indeks ini menggambarkan selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan) rata-rata antara
pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh populasi digunakan
untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol) bagi penduduk
yang berada di atas garis kemiskinan. Indeks ini menggambarkan kedalaman kemiskinan (the
depth of poverty). Perkembangan angka indeks P1 dari waktu ke waktu yang semakin kecil
menunjukkan terjadinya perbaikan.
Ukuran kemiskinan lain adalah Poverty Severity Index atau P2. Indeks Keparahan
Kemiskinan ini adalah jumlah dari kuadrat selisih (dalam persen terhadap garis kemiskinan)
rata-rata antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan. Jumlah seluruh
populasi digunakan untuk menghitung rata-rata dengan menganggap selisih sama dengan 0 (nol)
bagi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Dengan melakukan pengkuadratan, indeks
ini memberi bobot yang lebih besar bagi penduduk miskin yang memiliki pengeluaran jauh di
bawah garis kemiskinan. Serupa dengan P1, Perkembangan angka indeks P2 dari waktu ke waktu
yang semakin kecil menunjukkan terjadinya perbaikan. Baik menggunakan P1 maupun
menggunakan P2, menunjukan adanya perbaikan dari waktu ke waktu, ukuran kemiskinan lain
yang sering digunakan adalah menggunakan batas kemiskinan 1 (satu) US$ dan 2 (dua) US$ per
kapita per hari. Batas kemiskinan menggunakan US$ ini sering disalah artikan dengan
menggunakan nilai tukar biasa (exchange rate) untuk mendapatkan garis kemiskinan. Sehingga
kalau nilai tukar adalah Rp. 8.500 per satu dolar, maka garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita
per hari, menjadi Rp. 255.000 per kapita per bulan. Bila perhitungan ini benar maka menjadi
lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional yang sebesar Rp. 233.740 per kapita per bulan,
kenyataannya tidak begitu. Nilai tukar yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan 1
(satu) US$ dan 2 (dua) US$ adalah nilai tukar dolar PPP (Purchasing Power Parity). Nilai tukar
PPP menunjukkan daya beli mata uang di suatu negara, dalam hal ini US$, untuk membeli
barang dan jasa yang "sama" di negara lain.
Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikuti, bila seseorang di Indonesia membeli beras
seharga Rp. 5000 per liter, sementara di Amerika satu liter beras dengan kualitas yang sama
harganya adalah 1 (satu) US$, dengan nilai tukar biasa artinya Rp. 8.500, dengan pengertian nilai
tukar PPP, maka orang di Indonesia yang membeli beras tadi dianggap telah membelanjakan 1
(satu) US$, walaupun pada kenyataannya dia hanya mengeluarkan Rp. 5000. Dalam realitanya
tidak sesederhana ilustrasi di atas, barang dan jasa yang tersedia tidak hanya beras melainkan
ratusan barang dan jasa lainnya.Dengan menggunakan US$ PPP tadi, maka garis kemiskinan
nasional pada saat ini adalah sekitar 1,25 US$ PPP per kapita per hari. Dengan demikian garis
kemiskinan nasional yang digunakan selama ini lebih tinggi dari batas 1 (satu) US$ PPP. Tidak
heran, bila kita menggunakan ukuran garis kemiskinan 1 (satu) US$ per kapita per hari, justru
jumlah orang miskin di Indonesia hanya sekitar 10,01 % pada tahun 2009 lebih sedikit dengan
jumlah orang miskin yang dikeluarkan oleh BPS yaitu 14,15 % pada tahun 2009. Untuk
kepentingan tujuan Millenium Development Goals (MDGs), digunakan ukuran kemiskinan 1 US$
per kapita per hari. Sasaran MDGs untuk tingkat kemiskinan Indonesia adalah 10,3% pada tahun
2015. Dengan ukuran ini Indonesia telah mencapai sasaran MDGs pada tahun 2009, jauh sebelum
tahun 2015.Dengan menggunakan ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per kapita per hari,
jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sekitar 50 %. Ukuran kemiskinan 2 (dua) US$ PPP per
kapita per hari biasanya digunakan untuk negara yang kondisi ekonominya jauh lebih baik. Untuk
negara berkembang ukuran 2 US$ per kapita per hari dianggap terlalu tinggi. Namun
demikian, jika perkembangan tingkat kemiskinan menggunakan ukuran yang konsisten, maka baik
dengan menggunakan 1 US$ per kapita per hari, maupun dengan 2 US$ per kapita per hari,
maupun dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan nasional, tingkat kemiskinan di
Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus menurun setiap tahunnya.
2.4 Strategi Pengentasan kemiskinan
Menurut Bank Dunia adanya dua jalan penting yang perlu diambil oleh rumah tangga
miskin untuk keluar dari kemiskinan di Indonesia.. Jalan keluar pertama dari kemiskinan
adalah peningkatan produktivitas pertanian. Kondisi akan mampu meningkatkan
produktivitas pada pertanian berskala kecil. Peningkatan produktivitas pertanian sebagai hasil
revolusi hijau merupakan salah satu pemicu utama pertumbuhan selama tiga dasawarsa yang
bermula pada tahun 1970an. Dewasa ini, harga komoditas dunia yang tinggi telah menopang
pertumbuhan output, sedangkan pergeseran tenaga kerja keluar dari sektor pertanian telah
menjaga pertumbuhan produktivitas kerja di bidang pertanian. Akibatnya, diagnosa
kemiskinan menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan di sektor pertanian tetap menjadi
pendorong utama untuk pengurangan kemiskinan. Data panel antara tahun 1993 dan 2000
menunjukkan bahwa 40 persen pekerja pertanian di daerah pedesaan mampu keluar dari
jeratan kemiskinan dengan tetap bekerja di sektor pertanian pedesaan.
Jalan keluar kedua dari kemiskinan adalah peningkatan produktivitas non-pertanian,
baik di daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan yang dikotakan dengan cepat. Dalam
hal ini, transisi melalui usaha non-tani pedesaan merupakan suatu pijakan penting untuk
bergerak keluar dari kemiskinan, baik melalui upaya menghubungkan usaha pedesaan dengan
proses pertumbuhan perkotaan, atau lebih penting lagi, dengan memasukkan usaha-usaha di
daerah pedesaan pinggir kota ke dalam daerah perkotaan. Antara tahun 1993 dan 2002,
pangsa pekerja non-miskin di lapangan kerja non-tani pedesaan mengalami peningkatan
sebesar 6,7 poin persentase, menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas non-pertanian di
daerah pedesaan merupakan jalan penting untuk keluar dari kemiskinan. Lagi pula, banyak
di antara daerah pedesaan tersebut berubah menjadi daerah perkotaan pada akhir jangka
waktu tersebut, yang menunjukkan peranan saling melengkapi antara urbanisasi dan
peningkatan produktivitas.
Strategi pengentasan kemiskinan ( Bank Dunia)yang efektif bagi Indonesia terdiri dari
tiga komponen. Pertama, membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.
Pertama, langkah «membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin» merupakan kunci
bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam
konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan
pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua,
dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi
distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat
akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.
Kedua, membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Penyediaan
layanan sosial bagi rakyat miskinbaik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah
mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam
menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan
manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan
memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari
sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan
perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses
kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh
perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya
perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan
demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci
dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
Ketiga, membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Di
samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran
untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan
(baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat
digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan
melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka
sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat
digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat
mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Membuat pengeluaran bermanfaat bagi
masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi
fiscal yang ada di Indonesia saat kini.
Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius,
bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa
Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar
yang disebut “Grand Strategy” . Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk
menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan
masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan
untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan
memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik
yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hakhak dasar. Ketiga,
peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan
berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat,
perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi
kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan
antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima,
kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan
kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat
strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007 ).
Secara umum program-program pengentasan kemiskinan dapat dikategorikan
menjadi dua kelompok besar (Bappenas, 2007). Kelompok pertama terdiri dari program-
program yang ditujukan hanya pada orang miskin. Jika program-program ini dilaksanakan
secara efektif, maka keluarga-keluarga miskin yang benar-benar akan menikmati hampir
seluruh manfaatnya. Kelompok program ini sangat tergantung pada pentargetan awal yang
akurat untuk memastikan bahwa penerima manfaat teridentifikasi dengan benar. Contoh
programnya adalah bantuan beras untuk rakyat miskin (RASKIN) (2007), BLT (2006),
Jaminan Kesehatan (Askeskin) (2006), PNPM Mandiri (2007), PKPS BBM (2005).
Kelompok kedua terdiri dari program-program yang ditujukan tidak hanya untuk
rakyat miskin tapi juga untuk masyarakat dari semua golongan pendapatan, tapi secara
proporsional akan memberi manfaat lebih bagi rakyat miskin. Contoh program ini adalah
pendanaan pelayanan kesehatan, penyediaan obat generik, dan pengurangan biaya sekolah,
BOS (2005). Pemberdayaan masyarakat juga dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-
prinsip dasar pendampingan masyarakat, yaitu (Karsidi, 2002):
(1) Belajar dari masyarakat;
(2) Pendamping sebagai fasilitator, masyarakat sebagai pelaku;
(3) Saling belajar, saling berbagi pengalaman
Terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Pertama,
pendekatan yang terarah, artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah yakni berpihak
kepada orang miskin. Kedua, pendekatan kelompok, artinya secara bersama-sama untuk
memudahkan pemecahan masalah yang dihadapi. Ketiga, pendekatan pendampingan, artinya
selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu
didampingi oleh pendamping yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan
dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian (Soegijoko,
1997). Selanjutnya arah baru strategi pembangunan diwujudkan dalam bentuk: (1) upaya
pemihakan kepada yang lemah dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemantapan otonomi dan
desentralisasi, dan (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur social
ekonomi masyarakat (Sumodiningrat, 1999) Menurut Kuncoro, (1997: 102–103).
Mengemukakan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi
standar hidup minimum. Definisi tersebut menyiratkan tiga pernyataan dasar, yaitu :
1. Bagaimanakah mengukur standar hidup ?
2. Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum ?
3. Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalahkemiskinan yang
begitu rumit?
Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknyamemunculkan
beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedmann,1992: 89) sebagai berikut :
1. Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang
dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya
digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai
persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinanabsolut adalah
kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada
kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relative adalah kemiskinan yang eksis di atas garis
kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan
kelompok non miskin berdasarkan income relatif.
3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-
miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah
yang ditawarkan.
4. Target population (populasi sasaran adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan
sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah.
Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani
yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni
ampung kumuh perkotaan.Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya
kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976.
Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut :
1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan
dan sebagainya).
2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada
umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan
dan pendidikan).
3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka
4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari
hak-hak dasar manusia.
5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi
kebutuhan dasar. Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbedabeda.
Konduisi ini menunjukan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang
dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan digunakan
patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan
meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode
1976 sampai 1993, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan
kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini
dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan lain yang paling dikenal
adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan
suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas
gariskemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras.
Dengan menerapkan garis kemiskinan ini kedalam data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentasi penduduk yang
hidup di bawah kemiskinan (dalam Kuncoro, 1997: 116). Kemiskinan bersifat
multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan
aspek lainnya (Sumodiningrat, 1989: 26).
Selanjutnya Kartasasmita (1997: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang
kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam
kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal
jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi(Kartasasmita, 1997: 234).
Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan
sebagai akibat dari ketidak-samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial
(Friedmann , 1992: 123).
Menurut Brendley (dalam Ala, 1981: 4) kemiskinan adalah ketidaksanggupan untuk
mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa
kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan
hidup yang pokok(Salim dalam Ala, 1981: 1). Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan
sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu
standar hidup yang layak.
Dalam mengkaji pemberdayaan, sebagianbesar literatur mengakui pentingnya rumah
tangga sebagai sumber utama pemberdayaan. Rumah tangga disini dapat diartikan sebagai
sekelompok penduduk yang hidup dibawah satu atap, makan dari panci yang sama, dan
bersama-sama terlibat dalam proses pembuatan keputusan sehari-hari. Pada dasarnya, rumah
tangga merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Sebagai unit dasar dari masyarakat
sipil, maingmasing rumah tangga membentuk pemerintahan dan ekonomi dalam bentuk
miniature (Pranarka dalam Priyono, 1998; 61).
Menurut Friedmann(1992:32-33), rumah tangga menempatkan tiga macam kekuatan,
yaitu sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar
produksi tertentu suatu rumah tangga, misalnya informasi, pengetahuan dan ketrampilan.
Partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumbersumber keuangan. Bila ekonomi rumah tangga
tersebut meningkatkan aksesnya pada dasar-dasar produksi diatas, maka kemampuannya
dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga meningkat. Peningkatan akses rumah tangga
terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka.
Pemahaman keluarga dibedakan menurut pendekatannya. Pendekatan struktural
fungsional memandang keluarga sebgai group kecil yang memiliki cirri tertentu(struktur dan
fungsi) untuk memelihara kelangsungan hidup (Soemardjan, 1986). Pendekatann antropologi
memandang keluarga memilikiarti yang berbeda sesuai adat istiadat setempat. Secara umum
memiliki ciri-ciri yang relatif sama, terbentuk dari ikatan perkawinan yang diakui
masyarakat, daerah dan adopsi sesuai dengan adat, merupakan unit orang yang berinteraksi,
diidentifikasi sebagai sistem penanaman kekerabatan (Geertz, 1985). Didalam wadah
keluarga, penting untuk melengkapi pembagian kerja dan fungsi(peranan) yang terorganisasi
berdasarkan status setiap anggota keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan anak (Sumantri, 2000)
Penggunaan kata “empowerment” dan “to empower” diterjemahkan menjadi
pemberdayaan dan memberdayakan. Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis
oleh Friedmann (1992: 124) memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu “kegagalan
dan harapan” dalam memandang konsep konsep keneysian. Kegagalan yang dimaksud
adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam menanggulangi
masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan
harapan muncul karena adanya model-model pembangunan alternatif yang memasukkan
nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan
ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat
ukur dari hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai nilai normatif
dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata
pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah
gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pada
hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individu.
Sementara itu Blanchard (2001: 6) mendefisikan bahwa pemberdayaan sebagai upaya
untuk menguraiakan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan
pengetahuan, pengalaman, motivasinya. “The real essence f empowerment comes from
releasing the knowledge, experience, and motivarional power that is already in people but is
being severely underutilized” Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat lapisan masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain,
memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian
masyarakat. Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh
Paul dalam Cohen sebagai berikut : “Participation refers to an active process whereby
beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely
receive a share of project benefits”. Definisi di atas memandang keterlibatan masyarakat
mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi
(Cohen & Uphoff, 1980: 215-223).
Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang
dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi
masalahnya. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial
ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat “Delivery system”
(sistem distribusi) di tingkat bawah. Soetrisno (1995: 74) menyatakan bahwa ada dua definisi
partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu: Definisi pertama partisipasi rakyat dalam
pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang
dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi
masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung
biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek
pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi ini tidak dapat dikatakan
sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam
pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang
erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur
dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada
tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun diwilayah
mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan hasil proyek
itu. Sementara itu para ahli yang berpendapat bahwa partisipasi dikonsepsikan secara baru
sebagai suatu insentif moral yang mengijinkan kaum miskin yang tidak berdaya untuk
merundingkan insentif-insentif material baru bagi diri mereka dan sebagai suatu terobosan
yang memperbolehkan masyarakat grassroot berhasil mendapatkan jalan menuju bidang-
bidang makro pembuatan keputusan. Dengan demikian, partisipasi merupakan aspek
terpenting dalam upaya memberdayakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok.
Kemampuan masyarakat untuk “mewujudkan” dan “mempengaruhi” arah serta pelaksanaan
suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga
pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya
aktif dan kreatif. “Participation is concerned with the distribution of power in society, for it
is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met
through the distribution of resources” (Curtis, et. Al., 1978: 1). Pemberdayaan merupakan
the missin ingredient (unsur tersembunyi) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang
aktif dan kreatif.
Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk
mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup penting.
Upaya masyarakat miskin melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang
dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia (personal/human development).
Pembangunan manusia merupakan proses kemandirian (self-reliance), kesediaan bekerjasama
dan toleran terhadap sesamanya dengan manyadari potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat
terwujud dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dalam komunitas mereka. Bagaimana
pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah sendiri yang berkaitan dengan hakekat
dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisan-lapisan sosial yang lain.
Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan kekuasaan. Hanya saja kadar dari
kekuasaan itu akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Kondisi ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait (interlinking factors) antara lain seperti
pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang
saling terkait itu pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek
(penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi
subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses
pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan
obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau power yang
dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow of power (transfer
kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan, kebebasan dan pengakuan dari
subyek ke obyek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan
memakai sumber daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat
mewujudkan harapannya dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa
individu tersebut memiliki kekuasaan/daya.
Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat terwujud suatu upaya aktualisasi diri
dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta
dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir
dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi
subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai dengan
relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. atau proses pemberdayaan adalah
mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi relasi subyek-subyek.
Dengan demikan, transfer kekuasaan ini merupakan faktor yang penting dalam
mewujudkan pemberdayaan. Terdapat dua perspektif atas dimensi power itu, yaitu perspektif
distributif yang menghambat pemberdayaan, dan perspektif generatif yang cenderung
mendukung pemberdayaan (Mas’oed, 1994: 100-101). Bila power ditinjau dalam perspektif
distributif, maka ia bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Kalau yang satu mempunyai
daya berarti yang lain tidak tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya,
berarti pihak yang lain kehilangan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, aktor yang
berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri
sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan si
pemegang kekuasaan, maka pasti si penguasa akan berusaha mencegah proses pemberdayaan
itu. Sebaliknya, yang berlaku pada sisi perspektif generatif bersifat positivesum. Artinya,
pemberian pada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri. Kalau daya suatu unit sosial
secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersama-sama. Dalam
kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan
meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa. Dengan menggunakan kajian teori yang
ditawarkan oleh Sarah Cook dan Steve ini, maka perubahan yang akan dihasilkan merupakan
suatu perubahan yangbersifat terencana karena input yang akan digunakan dalam perubahan
telah diantisipasi sejak dini sehingga out put yang akan dihasilkan mampu berdaya guna
secara optimal. Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan
(Kartasasmita, 1995: 4) yaitu:
1. Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong,
memberikanmotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta
berupaya untuk mengembangkan.
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering ). Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi
makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.
3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah
yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara
yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan
dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil
termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan
momentum globalisasi bagi pertumbuhannya. Namun Friedmann juga mengingatkan bahwa
sangatlah tidak realistic apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar
masyarakat madani diabaikan.
Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas
ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki
posisi tawar menawar yang kompetitif, baik secara nasional maupun internasional. Paradigma
pemberdayaan ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom
dengan cara member kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan
kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang
miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari
pemerintah maupun pihak luar (Soetrisno, 1995: 80). Peningkatan partisipasi masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan
unsur yang sungguh penting dalam hal ini.
Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat
kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalamandemokrasi. Dalam konteks dan
alur pikir ini Friedmann (1992: 34) menyatakan : “The empowerment approach, which is
fundamental to alternative development, places the emphasis on autonomy in decesion
making of territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy)
democracy and experiental social learning”. Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah
lokalitas, karena civil society, menurut Friedmann lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal.
Empowerment dapat berarti menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar
kepada si miskin. Hal senada diberikan oleh Paulo Freire (dalam Soetrisno, 1995: 27) yang
menyatakan bahwa empowerment bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk
menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu,
empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara
menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang represif (bersifat menekan). Dengan kata
lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Rumusan lain tentang konsep
empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher yang kurang berbau politik dan
lebih menekankan pada halhal sebagai berikut : “Economic development can succed only if it
is carried forward as a broad popular „movement reconstruction‟ with the primary emphasis
on the full utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every one”
(Schumacher, 1973: 132).
Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan
ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsepini mencerminkan
paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people centered, participatory, empowering,
and sustainable” (Berpusat pada rakyat, partisipatoris, memberdayakan dan berkelanjutan)
(Chambers, 1983: 290). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan
dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinanlebih
lanjut (safety net). Alternatif konsep pertumbuhan ini oleh Friedmann (1992: 68) disebut
sebagai alternative development (pembangunan alternatif) yang menghendaki “inclusive
democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenarational equity”
(demokrasi inklusif, pertumbuhan ekonomi yang memadai, kesetaraan gender dan persamaan
antara generasi).
Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena,
keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible and anthithetical” (tidak cocok dan
antitetis). Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “Zero sum game” dan “trade-
off” (prinsip pilih salah satu). Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan
tercipta landasan yang lebih luas untukpertumbuhan serta akan menjamin pertumbuhan yang
berkelanjutan. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (dalam Kartasasmita,
1996: 90), “the right kinds of growth” (pertumbuhan yang benar), yakni bukan pertumbuhan
vertikal yang menghasilkan “trickle-down” seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang
bersifat horisontal (horizontal flows), yakni broadly based,employment intensive, and
compartmentalized (berbasis luas, intensif tenaga kerja, dan saling melengkapi).
BAB III
METODA PENELITIAN
3.1. .Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli yang
meliputi enam desa yaitu : Desa Jehem, Desa Tembuku, Desa Yangapi, Desa Undisan, Desa
Bangbang dan Desa Peninjoan.
3.2 Obyek Peneltian.
Adapun yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah penduduk miskin yang
didasarkan pada indicator kemiskinan yang meliputi 14 indikator
3.3 Desain Penelitian
Desain Penelitian dalam Penelitian ini adalah merupakan Penelitian Deskriptif yang
memaparkan data yang ditabulasi dari data lapangan serta menganalisis variabel-variabel
yang terkait.
3.4 Metode Penentuan sempel.
3.4.1 Besarnya sampel
Sampel yang diambil dilaksanakan dengan mempergunakan simple random sampling
dengan menggunakan rumus Frank Lynnch ( Gama 2000,397 ) :
NZ2.p (1-p)
n = -------------------------
Nd2
+ Z2.p (1-p)
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
Z = Nilai normal variable (1,96) untuk tingkat kepercayaan 95%
p = Harga patokan terbatas
d = Sampel error ( 0,01)
NZ2.p(1-p)
n = ---------------------
Nd2 + Z2.p(1-p)
Ket:
n = Sampel yang dicari
N = Populasi = 2304
Z = Nilai standar (tk kepercayaan signifikansi = 0,10) , Z=1,64
p = Proporsi nilai tengah /Harga patokan terbtas (proporsi) yaitu 50% = 0,5)
d = Tingkat kesalahan dari perkiraan p ditetapkan 10% = 0,1
2304 .(1,64)2. 0.5 (1 – 0.5)
n = --------------------------------------------
2304. (0.1)2 + (1,64)2. 0.5 (1 -0,5)
2304.(2,6896)2. 0.5 (0,5)
= ----------------------------------
2304. (0,01) + 2,6896. 0,5 .(0,5)
6196,8384. 0,25
= ---------------------------
23,04 + 2,6896 . 0,25
1549,2096
= -------------------
23,04 + 0, 6724
1549, 2096
= ----------------
23,7124
= 65,3333 (dibulatkan)
= 65
3.5 Metode Pengambilan sampel
Metode pengambilan sampel adalah secara proporsional random sampling di masing-
masing Desa adalah sebagai berikut:
Tabel 1.7 Jumlah Sampel Per Desa
No Desa Jumlah KK Miskin Besarnya Sampel
1 Jehem 560 16
2 Yangapi 681 19
3 Tembuku 238 7
4 Undisan 187 5
5 Bangbang 170 5
6 Peninjoan 468 13
Total 2304 65
Sumber: Data Diolah
3.6.Metode Pengumpulan Data
Metoda pengumpulan data menggunakan beberapa metode. Metode tersebut adalah
sebagai berikut.
a.Wawnacara mendalam
Wawancara mendalam dalam penelitian ini akan dilakukan dengan sumber terkait
untuk mengetahui informasi yang tersimpan dan terkadung yang tidak dapat
ditemukan menggunakan pertanyaan tersruktur. Wawancara mendalam dilakukan
dengan beberapa sumber teraikt yang mengetahui langsung dan memiliki pengalaman
mengenai proses pemberian bantuan dan lain sebagainya termasuk wawancara dengan
penerima bantuan kemiskinan.
b.Mengunakan daftar pertanyaan yang terstruktur.
Pertanyaan tersruktur merupakan pertanyaan yang dibuat dengan tunjuan tertetntu.
Pada penelitian ini pertanyaan tertruktur terdiri atas pertanyaan persepsi mengenai
program kemiskinan yang ditujukan kepada penerima bantuan. Pada pertanyaan
terstruktur menggunakan skala likert mengenai persepsi dari responden, dimana
skalanya antara 1-5
3.7. Definisi Operasional
a.Evaluasi adalah penilian terhadap program yang dilaksankan oleh Pemerintah dalam
penegentasan kemiskinan di Kecamatan Tembuku.
b.Program adalah aktivitas yang dilaksankan dalam hal penanggulangan kemiskinan yang
meliputi Program Berbasis Bantuan dan Perlindungan Sosial, Program Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat, Program Berbasis Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah dan Program Pro Rakyat Lainnya .
c KK Miskin adalah keluarga baik secara ekonomi maupun social tidak mempunyai
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.
3.8. Metoda Analisis Data.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis
data strategi pengentasan RTM, ketepatan pemberian bantuan RTM digunakan teknik
statistik deskriptif dengan menggunakan tabel. Analisis data dilakukan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Data yang diperoleh dalam studi kepustakaan dianalisis dengan teknik
analisis kualitatif berupa interpretasi sehingga makna yang terkandung dari setiap informasi
dapat dipahami dan dipergunakan untuk memperkuat analisis dan penarikan kesimpulan,
sedangkan data yang diperoleh melalui penelitian lapangan terlebih dahulu dianalisis secara
kuantitatif dalam bentuk tabulasi persentase agar diperoleh gambaran menyeluruh, kemudian
dapat dilakukan interpretasi.
3.8.1 Statitik Deskriptif
Statistik deskrifi adalah berkaitan dengan penerapan metode statistik untuk
mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menganalisis data kuantitatif secara deskriptif.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode dalam statistik deskritif antara
menggunakan nilai mean (rata-rata), tabel frekewnsi dan masih banyak lagi. Melalui metode
ini didapatkan gambaran umum mengenai kondisi responden penelitian. Selanjutnya untuk
mengetehuai kondisi persepsi responden maka digunakan alat analisis cross tab atau tabel
analisis silang. Tabel silang lebih lanjut akan dijelaskan sebagai berikut.
3.8.2. Crosstab/ Tabel Silang
Pada tabel silang di penelitian ini adalah digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel nominal dan ordinal untuk melihat kondisi persepsi responden mengenai program
kemiskinan yang telah diterima. Pada penelitian ini disilangkan pertanyaan dengan jenis
kelamin. Sehingga nanti dari sini akan diambil kesimpulan dan dikombinasikan dengan
analisis yang bersumber datanya dari wawancara mendalam.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1.1. .Keadaa Geografis
Kecamatan Tembuku merupakan salah satu kecamatan yang terdapat diKabupaten
Bangli dengan luas wilayah sebesar 48,32 km2. Kecamatan Tembuku yang terbagi menjadi 6
(enam) desa, semuanya merupakan desa bukan pantai yang berarti tidak ada yang berbatasan
dengan laut.Menurut jenis penggunaannya, tanah/lahan di Kecamatan Tembuku terbagi
menjadi beberapa fungsi yakni paling luas digunakan untuk tanah perkebunan seluas1.929,00
hektar , sawah seluas 808 hektar dan tegalan/huma seluas 2213,94 hektar. Kecamatan
Tembuku secara administrative terbagi menjadi enam desa yang meliputi Desa Jehem, Desa
Tembuku , Desa Undisan, Desa Babang, dan Desa Peninjoan. Seluruh desa yang ada di
Kecamatan Tembuku termasuk pedesaan serta dari ketinggian berada diatas 500- 1000
Meter, serta dari setatus desa termasuk desa swadaya.. Luas Kecamatan Tembuku 48,82
Km2 serta kalau dilihat perdesanya serta pereuntukanya akan disajikan pada tabel berikut
Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Tanah Tahun 2013
Desa Luas
Wilayah
Km2
Penggunaanya
Sawah Perkebunan Tegal/Huma Perkaranga Kuburan Lainya
Jehem 9,00 212,00 332,59 157,32 44,00 3,15 150,94
Tembuku 6,00 139,00 242,30 94,35 34,00 3,80 82,55
Yangapi 14,32 53,00 582,39 426,96 51,00 1,95 316,70
Undisan 3,00 85,00 111,54 34,25 22,00 2,23 44,98
Bangbang 44,00 143,00 124,90 63,25 15,00 1,51 51,74
Peninjoan 12,00 176,00 522,32 207,85 48,09 3,51 242,33
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
4.1.2. Pemerintah Desa
Untuk menjalankan suatu roda pemerintahan terdapat tiga unsur yang harus dipenuhi
yaitu unsur politik, ekonomi dan birokrasi. Ketiga unsur tersebut harus saling mendukung
satu sama lainnya. Unsur politik dan birokrasi masing-masing dapat diwakili oleh lembaga-
lembaga yang berperan dalam mengambil suatu keputusan dalam pemerintahan tersebut.
Dalam hal ini unsur tersebut dapat diwakili oleh sisi administif dan personil atau aparat yang
ada didalammnya, sedangkan dari sisi ekonomi dapat dilihat dari anggaran yang dikelola dan
juga lembaga-lembaga ekonomi yang ada. Secara administratif Kecamatan Tembuku terdiri
dari 6 (enam) desa, selain itu terdapat pula desa adat (pekraman) sebanyak 36 Desa, serta 57
Banjar Dinas dan mempunyai 93 Pamong Desa.
Tabel 4.2 Banyaknya Desa Adat, Banjar Dinas dan Aparat Desa Dirinci per DesaTahun
2013
Desa Desa Adat Banjar Aprat Desa
Jehem 8 13 19
Tembuku 7 8 14
Yangapi 3 11 17
Undisan 4 7 11
Bangbang 4 6 12
Penin joan 10 15 20
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
4.1.3 Jumlah Penduduk di Kecamatan Tembuku.
Sensus Penduduk merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan data
kependudukan yang pelaksanaannya dilakukan setiap 10 tahun sekali (setiap tahun yang
berakhiran nol). Di samping itu juga dilakukan pengumpulan melalui registrasi penduduk,
berdasarkan pelaporan jumlah penduduk yang ada di desa. Berdasarkan hasil proyeksi
penduduk jumlah penduduk Kecamatan Tembuku pada tahun 2013 adalah 34,32 ribu jiwa
yang terdiri dari 17,36 ribu laki-laki dan 16,96 perempuan, dengan sex ratio 102, kepadatan
710 Jiwa/Km2. Sedangkan berdasarkan registrasi penduduk, penduduk Kecamatan Tembuku
berjumlah 35.108 jiwa yang terdiri dari laki 17.432 jiwa, dan perempuan 17.676 jiwa.
Tabel 4.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Dirinci Per Desa
Keadaan Tahun 2013
Desa Luas
(km2 )
Laki Perempuan Jumlah Kepadatan Sex Ratio
Jehem 9,00 3 451 3 573 7 024 788 97
Tembuku 6,00 2435 2 490 4 925 816 98
Yangapi 14,32 3 742 3 688 7 430 513 101
Undisan 3,00 1 853 1800 3653 1223 103
Bangbang 44,00 2113 2187 4300 1072 97
Penin
joan
12,00 3838 3938 7776 645 97
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Jumlah penduduk di Kecamatan Tembuku dalam tahun 2013 berjulah 35.108 jiwa
dan penduduk yang paling besar jumlahnya terdapat di Desa Peninjoan dengan jumlah
7.776 jiwa dan yang terendah berada di Desa Undisan dengan jumlah 3 653 jiwa ,dan jumlah
keluarga di Kecamatan Tembuku pada tahun yang sama berjumlah 7 820 Keluarga serta
jumlah keluara yang paling banyak jumlahnya ada di Desa Peninjoan berjumlah 1 563
keluarga sedangkan rata-rata perkeluara Desa Yangapi 4 jiwa dan lima desa yang lainya 5
jiwa
Tabel 4.4Jumlah Penduduk, Keluarga dan Rata-Rata Jiwa Per KK Tahun 2013
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Tingkat Kelahiran di Kecamatan Tembuku berjumlah 125 laki-laki dan 129
perempuan dengan tingkat kelahiran yang paling banyak di Desa Yangapi yang berjumlah 63
jiwa laki-laki dan 65 jiwa perempuan dan desa Jehem dalam tahun 2013 tidak ada kelahiran
sengkan tingkat kematian tahun yang sama di Kecamatan Tembuku kematian laki-laki
berjumlah 93 jiwa dan perempuan berjumlah 92 perempuan dan kematian yang tertinggi
untuk kematian ada di Desa Peninjoan berjumlah 49 jiwa dan perempuan berjumlah 43
Jiwa, yang disajikan
pada tabel berikut.
Tabel 4.5 Jumlah
Kelahiran dan
Kematian Menurut
Jenis Kelamin
per Desa Tahun
2013
Desa Kelahiran Kematian
L P L P
Jehem 0 0 0 2
Tembuku 12 18 9 9
Desa Jumlah
Penduduk
Jumlah
Kleluarga
Rata-rata per
jiwa per kepala
keluarga
Jehem 7 024 1 362 5
Tembuku 4 925 1 068 5
Yangapi 7 430 2 098 4
Undisan 3 653 774 4
Bangbang 4 300 955 5
Penin joan 7 776 1 563 5
Yangapi 63 65 16 5
Undisan 1 0 8 11
Bangbang 8 9 11 12
Penin
joan
41 37 49 43
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Penduduk pendatang dan penduduk keluar merupakan variabel yang mempengaruhi
pertumbuhan penduduk disuatu daerah selain kelahiran dan kematian. Jumlah penduduk
pendatang berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan Tembuku adalah 22 jiwa untuk laki-laki
dan 82 jiwa untuk berjenis kelamin perempuan. Penduduk yang pergi meninggalkan
Kecamatan Tembuku adalah berjumlah 25 jiwa laki-laki dan 66 jiwa untuk jenis kelamin
perempuan. Penduduk pendatang paling banyak untuk jenis kelamin laki-laki adalah di desa
Peninjoan yaitu 7 jiwa, disusul desa Tembuku berjumlah 6 jiwa, sedangkan penduduk
pendatang untuk jenis kelamin perempuan paling banyak di Desa Peninjoan yaitu 31 jiwa dan
menyusul Desa Tembuku dan Yangapi yaitu sama berjumlah 21 jiwa. Penduduk yang pergi
meninggalkan desa di Kecamatan Tembuku paling banyak di Desa Jehem sebanyak 20 jiwa
untuk laki-laki sedangkan penduduk perempuan yang pergi meninggalkan desa paning
banyak ada di Desa Jehem yaitu 26 jiwa dan disusul oleh Desa Peninjoan 24 jiwa dan
tembuku 21 jiwa. Sedangkan Desa yang paling netral dengan tidak ada datang dan pergi baik
laki-laki maupun perempuan adalah Desa Undisan. Tabel berikut merupakan data jumlah
penduduk datang dan pergi menurut jenis kelamin per Desa di Kecamatan Tembuku sebagai
berikut.
Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Datang dan Pergi Menurut Jenis Kelamin per Desa Tahun
2013
Desa Datang Pergi
L P L P
Jehem 4 2 20 26
Tembuku 6 21 3 21
Yangapi 1 21 1 18
Undisan 0 0 0 0
Bangbang 4 7 1 1
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Mata pencaharian penduduk merupakan merupakan hal yang penting dikemukakan ,
karena sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi maupun status social masyarakat.
Tabel berikut menunjukkan sumber mata pencaharian penduduk desa di Kecamatan tembuku
tahun 2013 adalah sebagai berikut :
Tabel 4.7 Penduduk Menurut Sumber Mata Pencaharian Utama Dirinci per Desa
Tahun 2013
Desa Pertania
n
Peternaka
n
perikana
n
perkebuna
n
perdanga
n
Industr
i
Jehem 321 214 0 150 192 153
Tembuku 980 447 0 97 59 166
Yangapi 497 674 0 337 205 167
Undisan 147 191 0 112 154 142
Bangban
g
956 1105 0 124 12 52
Penin
joan
508 328 0 284 174 540
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Tabel 4.7 menunjukkan sumber mata pencaharian utama penduduk di masing-masing
Desa di Kecamatan Tembuku Kabupaten Bangli. Mata pencaharian pertanian paling banyak
di Desa Tembuku yaitu sebanyak 980 jiwa, mata pencaharian peternakan paling banyak
terdapat di Desa Bangbang yaitu sebanyak 1105 jiwa, Mata pencaharian perkebunan paling
banyak di Desa Yangapi sebanyak 337 jiwa, Pedagang terdapat paling banyak di Desa
Yangapi sebanyak 205 jiwa dan mata pencaharian industry paling banyak di Desa Peninjoan
Penin
joan
7 31 0 24
yaitu sebanyak 540 jiwa. Dilihat dari banyaknya Perusahaan industry menurut kelompok
Industri di masing-masing Desa disajikan di Tabel 4.8
Tabel 4.8 Banyaknya Perusahaan Industri Menurut Kelompok Industri Dirinci per
Desa Tahun 2013
Sumber : Kecamatan Tembuku Dalam Angfka 2014
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa Tidak terdapat industry besar maupun sedang di
kecamatan Tembuku, namun yang ada hanyalah industry kecil dan kerajinan Rumah Tangga.
Industri kecil paling banyak terdapat di Desa Jehem yaitu 23 buah, kemudian disusul Desa
Tembuku dan Desa Yangapi. Sedangkan kerajinan rumah tangga paling banyak terdapat di
Desa Yangapi yaitu sebanyak 255 buah dan disusul oleh Desa Tembuku dan Desa Undisan
dan Desa Yang dan paling sedikit di Desa Bangbang yaitu 97 buah perusahaan.
4.2 Kondisi Umum Responden
4.2.1 Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Responden dalam penelitian ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jumlah
responden secara keseluruhan adalah 65 orang. Responden berjenis kelamin laki-laki
berjumlah 59 orang atau 90.8 persen dari keseluruhan total responden. Responden berjenis
kelamin perempuan adalah 6 orang atau hanya 9.2 persen. Jumlah ini memang tidak
sebanding karena pada saat penelitian, peneliti megambil responden yang masuk keluarga
miskin dalam daftar yang ditemui pada saat melakukan survey. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4.9 Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 59 90.8 90.8 90.8
Desa Besar Sedang Kecil Kerajinan Rumah
Tangga
Jehem 0 0 23 149
Tembuku 0 0 17 229
Yangapi 0 0 15 255
Undisan 0 0 2 228
Bangbang 0 0 3 97
Penin
joan
0 0 9 198
Perempuan 6 9.2 9.2 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.2.2 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden
Luas fisik bangunan tempat tinggal responden dalam hal ini cukup menjadi acuan
penting dalam menggambarkan kondisi responden. Responden pada penelitian ini paling
sempit memiliki luas bangunan sebesar 16 meter persegi berjumlah 16.9 persen atau 11
orang. Selanjutnya terdapat 26.2 persen responden memiliki luas bangunan 36 meter persegi.
Responden yang memiliki luas bangunan 72 meter persegi hanya 3.1 persen. Ini tentu masuk
akal karena secara umum penduduk miskin tidak memiliki kemampuan pendapatan untuk
memiliki bangunan dengan luas diatas 72 meter persegi. Secara lengkap data luas bangunan
dapat dilihat pada tabel 4.10 berikut.
Tabel 4.10 Luas Bangunan Tempat Tinggal Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 16 11 16.9 16.9 16.9
20 1 1.5 1.5 18.5
24 11 16.9 16.9 35.4
26 3 4.6 4.6 40.0
28 1 1.5 1.5 41.5
30 3 4.6 4.6 46.2
32 5 7.7 7.7 53.8
35 1 1.5 1.5 55.4
36 17 26.2 26.2 81.5
40 1 1.5 1.5 83.1
42 2 3.1 3.1 86.2
46 1 1.5 1.5 87.7
48 3 4.6 4.6 92.3
60 1 1.5 1.5 93.8
62 1 1.5 1.5 95.4
64 1 1.5 1.5 96.9
72 2 3.1 3.1 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.2.3 Jumlah Tanggungan Responden
Jumlah tanggungan responden menjadi sangat penting untuk diketahui, karena
semakin banyak tanggungan keluarga miskin, maka semakin besar beban pengeluaran yang
harus terjadi juga. Jumlah tanggungan yang banyak pada keluarga miskin tanpa diikuti oleh
kemampuan keuangan yang baik akan menyebabkan keluarga miskin jatuh pada kondisi
ekonomi yang lebih buruk. Keluarga miskin paling banyak memiliki jumlah tanggungan
adalah nol orang sebanyak 4.6 persen responden keluarga miskin. Selanjutnya 29.2 persen
responden keluarga miskin memiliki 1 orang tanggungan. Responden yang memiliki jumlah
tanggungan mencapai 6 orang sebesar 3.1 persen dari keseluruhan responden. Sehingga dari
dilihat jumlah tanggungan keluarga miskin tidak relative banyak, hal ini bisa disebabkan
keberhasilan program rencana keluarga berencana yang dilakukan semenjak era Presiden
Soeharto. Untuk lebih jelas dapat dilihat data pada tabel 4.11 berikut.
Tabel 4.11 Jumlah Tanggungan Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 0 3 4.6 4.6 4.6
1 19 29.2 29.2 33.8
2 17 26.2 26.2 60.0
3 9 13.8 13.8 73.8
4 10 15.4 15.4 89.2
5 5 7.7 7.7 96.9
6 2 3.1 3.1 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.2.4 Jenjang Pendidikan Tertinggi Yang Mampu Diraih oleh Anggota Keluarga
Responden
Jenjang pendidikan tertinggi yang diraih oleh anggota keluarga reponden di
Kecamatan Tembuku hanya mencapai jenjang SMA (sekolah menengah atas). Jumlah
anggota keluarha yang mencapai jenjang pendidikan SMA hanya 21,5 persen. Jumlah
anggota keluarga yang paling banyak mencapai jenjang pendidikan SD adalah sebesar 58
persen.
Hampir setengah responden memiliki anggota keluarga paling tinggi mampu
mencapai pendidikan SD. Kondisi ini relative mengkawatirkan karena semakin rendah
tingkat pendidikan maka menyebabkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki akan
semakin rendah, sehingga untuk mendapatkan peluang pendapatan yang lebih tinggi menjadi
semakin rendah. Berikut pada tabel 4.12 data mengenai jenjang pendidikan tertinggi yang
mampu diraih oleh anggota keluarga miskin dari responden.
Tabel 4.12 Jenjang Pendidikan Yang Mampu diraih oleh anggota keluarga miskin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak sekolah 1 1.5 1.5 1.5
SD 38 58.5 58.5 60.0
SMP 12 18.5 18.5 78.5
SMA 14 21.5 21.5 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.2.5 Jumlah Anggota Keluarga Responden Yang Bekerja
Jumlah anggota keluarga yang bekerja perlu diketahui. Ini penting diketahui karena
semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja, maka semakin banyak sumber
pemasukan produktif yang ada untuk tiap keluarga miskin. Semakin banyak sumber
pendapatan paling tidak dapat meringankan beban dari keluarga miskin tersebut. Pada
penelitian ini sebanyak 84 persen responden hanya memiliki 1 anggota keluarga yang
bekerja, Ini relative memperihatinkan karena tiap keluarga hanya mengandalkan seorang
sebagai tulang punggung yang bekerja, sehingga kemungkinan pada saat satu orang yang
bekerja untuk satu keluarga tersebut meninggal maka keluarga tersebut akan mengalami
resiko yang sangat tinggi masuk ke dalam jurang kemiskinan yang lebih buruk. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada tabel 4.13 berikut.
Tabel 4.13 Jumlah Anggota keluarga yang bekerja
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 55 84.6 84.6 84.6
2 5 7.7 7.7 92.3
3 3 4.6 4.6 96.9
4 1 1.5 1.5 98.5
6 1 1.5 1.5 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.2.6 Jenis Bantuan atau Program yang diterima oleh Responden
Pada penelitian ini terdapat hal menarik, yaitu terdapat beberapa jenis program
bantuan kemiskinan dimana tiap responden paling tidak menerima 2 jenis bantuan sekaligus.
Program bantuan tersebut terdiri atas bantuan pusat dan daerah. Tiap responden paling
banyak menerima program raskin dan blt adalah sebanyak 75 persen dari keseluruhan
responden. Selanjutnya sebenyak 4.6 persen mendapatkan kombinasi bantuan berupa raskin,
blt, bedah rumah, simantri. Kombinasi bantuan tersebut bersumber dari program bantuan
pusat dan daerah. Untuk lebih jelas jenis kombinasi bantuan lebih lengkap dapat pada tabel
4.14 berikut.
Tabel 4.14 Jenis bantuan yang diterima oleh keluarga miskin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Raskin dan BLT 49 75.4 75.4 75.4
Raskin, BLT, Bedah Rumah 3 4.6 4.6 80.0
Raskin, BLT, Biaya Sekolah 7 10.8 10.8 90.8
Raskin, BLT, Bedah Rumah,
Simantri 3 4.6 4.6 95.4
Raskin, BLT, Simantri 3 4.6 4.6 100.0
Total 65 100.0 100.0
Sumber: Data Diolah
4.3 Persepsi Mengenai Kemiskinan Yang dialami oleh Reponden
Kemiskinan merupakan keadaan yang dialami sesorang karena berbagai factor. Tiap
responden memiliki berbagai jenis persepsi kenapa sesorang masuk dalam keadaan dimana
orang tersebut masuk ke dalam kategori miskin. Terdapat beberapa persepsi menurut
responden kenapa seseorang masuk dalam lingkaran kemiskinan. Persepsi pertama apakah
kemiskinan disebabkan karena takdir yang harus diterima dan dijalani. Responden menggap
bahwa kemiskinan adalah takdir hanya sebanyak 41 persen dari keseleruhan reponden, dan
sisanya menggap kemiskinan bukan karena takdir adalah 58 persen. Sebanyak 41 reseponden
menggap kemiskinan adalah takdir menganggap kemiskinan adalah kondisi yang tidak dapat
dirubah kembali dengan usaha, sehingga responden ini cenderung menunggu bantuan tanpa
melakukan usaha meningkatkan pendapatannya, responden tersebut cenderung menginginkan
bantuan pemerintah mampu merubah atau membantu keadaan mereka. Untuk lebih lengkap
dapat dilihat pada tabel crosstabulation 4.15 berikut.
Tabel 4.15 Jenis Kelamin * Kemiskinan karena takdir Crosstabulation
Kemiskinan karena takdir Total
kemiskinan
karena ini adalah
takdir
Kemiskinan
bukan karena
takdir
Jenis Kelamin laki-laki Count 23 36 59
% within Jenis Kelamin 39.0% 61.0% 100.0%
% of Total 35.4% 55.4% 90.8%
Perempuan Count 4 2 6
% within Jenis Kelamin 66.7% 33.3% 100.0%
% of Total 6.2% 3.1% 9.2%
Total Count 27 38 65
% within Jenis Kelamin 41.5% 58.5% 100.0%
% of Total 41.5% 58.5% 100.0%
Sumber: Data Diolah
Persepsi kedua adalah kemiskinan karena factor adat yang relative ketat sehingga
tidak memberikan keleluasaan keluarga miskin menari nafkah dengan maksimal. Sebanyak
67 persen responden menjawab kemiskinan karena adat yang ketat. Ini karena terdapat
beberapa aturan adat dan kegiatan yang menyebabkan waktu mencari nafkah seseorang
tersebut tidak maksimal. Ini menyebabkan waktu yang digunakan seharusnya untuk bekerja
di luar desa lebih banyak digunakan untuk kegiatan adat. Lebih lengkap kondisi tersebut
dapat dilihat pada tabel crosstabulation 4.16 berikut
Tabel 4.16Jenis Kelamin * Kemiskinan karena adat relatif ketat Crosstabulation
Kemiskinan karena adat relatif
ketat
Total
kemiskinan
karena adat
yang letat
Kemiskinan
bukan karena
adat yang ketat
Jenis Kelamin laki-laki Count 41 18 59
% within Jenis Kelamin 69.5% 30.5% 100.0%
% of Total 63.1% 27.7% 90.8%
Perempuan Count 3 3 6
% within Jenis Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
% of Total 4.6% 4.6% 9.2%
Total Count 44 21 65
% within Jenis Kelamin 67.7% 32.3% 100.0%
% of Total 67.7% 32.3% 100.0%
Sumber: Data Diolah
Selanjutnya terdapat persepsi 53 persen menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami
karena kurang mendapatkan bantuan pemerintah. Mereka menggap bahwa dengan bantuan
pemerintah maka seseorang dapat keluar dari kondisi kemiskinan yang sedang dihadapi.
Bantuan pemerintah dianggapsatui-satunya penyelamat dalam kondisi kemiskinan seperti
sekarnag ini. Berikut tabel 4.17crosstabulation mengenai persepsi kemiskinan karena
kurangnya bantuan pemerintah.
Tabel 4.17Jenis Kelamin * Kemiskinan karena kurang mendapat bantuan pemerintah Crosstabulation
Kemiskinan karena kurang
mendapat bantuan pemerintah
Total
kemiskinan
karena
kurangnya
bantuan
pemerintah
Kemiskinan
bukan karena
kurangnya
bantuan
pemerintah
Jenis Kelamin laki-laki Count 32 27 59
% within Jenis Kelamin 54.2% 45.8% 100.0%
% of Total 49.2% 41.5% 90.8%
Perempuan Count 3 3 6
% within Jenis Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
% of Total 4.6% 4.6% 9.2%
Total Count 35 30 65
% within Jenis Kelamin 53.8% 46.2% 100.0%
% of Total 53.8% 46.2% 100.0%
Sumber: Data Diolah
4.4 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Proses serta Ketepatan waktu dan
Jumlah Bantuan Program
Evaluasi program kemiskinan diawali dengan evaluasi terhadap proses dan pelayanan
program untuk melihat seberapa baik dan tepat program kemiskinan tersebut. Proses masuk
keluarga miskin untuk masuk daftar penerima bantuan miskin terdapat melalui 2 proses yaitu
proses survei langsung dari pemberi bantuan dan proses pendataan dari kelian. Pada proses
pendataan ini, sebanyak 93 persen menyatakam bahwa proses masuk ke dalam daftar
penerima bantuan adalah melalui kelian adat. Selanjutnya sebanyak 6.2 persen proses masuk
ke dalam daftar penerima bantuan adalah melalui survei. Terdapat beberapa kasus unik
dimana proses penentuan keluarga miskin di desa penida melalui musyawarah dusun dimana
penentuan seseorang masuk program kemiskinan dilakukan berdasarkan mufakat. Hal ini
menyebabkan orang yang mendapat bantuan memang betul masuk kategori miskin sesuai,
sehingga dalam hal ini tidak terjadi konflik pada orang yang ingin mendapatkan bantuan
namun tidak masuk kategori miskin. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 4.18
sebagai berikut.
Tabel 4.18Jenis Kelamin * Proses keluarga miskin masuk dalam daftar penerima bantuan miskin
Crosstabulation
Proses keluarga miskin masuk
dalam daftar penerima bantuan
miskin
Total
Proses masuk
ke dalam daftar
penerima melalui
kelian adat
Proses masuk
ke dalam daftar
penerima melalui
proses survei
Jenis Kelamin laki-laki Count 55 4 59
% within Jenis Kelamin 93.2% 6.8% 100.0%
% of Total 84.6% 6.2% 90.8%
Perempuan Count 6 0 6
% within Jenis Kelamin 100.0% .0% 100.0%
% of Total 9.2% .0% 9.2%
Total Count 61 4 65
% within Jenis Kelamin 93.8% 6.2% 100.0%
% of Total 93.8% 6.2% 100.0%
Selanjutnya 84 persen responden telah mengetahui bahwa dirinya masuk dalam daftar
program penerima bantuan untuk keluarga miskin. Ini berarti sosialisasi dalam proses
penerimaan bantuan sudah sangat baik. Sehingga hal ini akan menyebabkan pengawasan
dalam pemberian bantuan lebih mudah dari pihak masyarakat. Untuk lebih jelas dapat dilihat
tabel 4.19
Tabel 4.19 Jenis Kelamin * Keluarga miskin mengetahui bahwa keluarga miskin masuk daftar
penerima bantuan miskin Crosstabulation
Keluarga miskin mengetahui
bahwa keluarga miskin masuk
daftar penerima bantuan miskin
Total
Tidak tahu
masuk daftar
penerima
bantuan
mengetahui
masuk dalam
daftar penerima
bantuan
Jenis Kelamin laki-laki Count 9 50 59
% within Jenis Kelamin 15.3% 84.7% 100.0%
% of Total 13.8% 76.9% 90.8%
Perempuan Count 0 6 6
% within Jenis Kelamin .0% 100.0% 100.0%
% of Total .0% 9.2% 9.2%
Total Count 9 56 65
% within Jenis Kelamin 13.8% 86.2% 100.0%
% of Total 13.8% 86.2% 100.0%
Apabila dilihat dari ketepatan waktu penerimaan bantuan, terdapat 36 persen
responden menggap waktu penerimaan bantuan tidak sesuai dengan yang dijadwalkan oleh
petugas. Selanjutnya 55 persen menggap waktu penerimaan bantuan cukup tepat seperti yang
dijadwalkan oleh petugas. Hal ini cukup baik, karena hampir 55 persen telah mendapatkan
cukup tepat seperti yang duharapkan sehingga bantuan dirasakan tepat pada waktunya oleh
tiap responden. Lebih jelas kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel 4.20.
Tabel 4.20 Jenis Kelamin * Waktu penerimaan bantuan sesuai yang dijadwalkan petugas Crosstabulation
Waktu penerimaan bantuan sesuai yang
dijadwalkan petugas
Total
Waktu
peneirmaan
bantuan tidak
tepat seperti
dijadwalkan
Waktu
peneirmaan
bantuan cukup
tepat seperti
dijadwalkan
Waktu
peneirmaan
bantuan
tepat seperti
dijadwalkan
Jenis Kelamin laki-laki Count 21 34 4 59
% within
Jenis
Kelamin
35.6% 57.6% 6.8% 100.0%
% of Total 32.3% 52.3% 6.2% 90.8%
Perempuan Count 3 2 1 6
% within
Jenis
Kelamin
50.0% 33.3% 16.7% 100.0%
% of Total 4.6% 3.1% 1.5% 9.2%
Total Count 24 36 5 65
% within
Jenis
Kelamin
36.9% 55.4% 7.7% 100.0%
% of Total 36.9% 55.4% 7.7% 100.0%
Selanjutnya apabila dilihat dari jumlah bantuan yang diterima, maka terdapat 47
persen responden mengetakan bahwa jumlah bantuan tidak sesuai dengan yang dijanjikan
oleh petugas. Kasus yang terjadi di kecamatan tembuku adalah pembagian berasa secara
merata untuk setiap penduduk walaupun bukan warga miskin di banjar yang api. Hal ini
disebabkan karena warga menganggap bantuan tersebut adalah hak setiap warga dan
mengghindari kecemburuan serta konflik yang terjadi apabila hanya warga miskin yang
mendapatkan, sehingga warga sepakat untuk membagi rata keseluruhan bantuan raskin.
Untuk lebih jelas kesesuaian jumlah bantuan yang diterima oleh warga miskin pada tabel 4.21
sebagai berikut.
Tabel 4.21 Jenis Kelamin * Jumlah bantuan sesuai dengan yang dijanjikan petugas Crosstabulation
Jumlah bantuan miskin sesuai dengan yang dijanjikan
petugas
Total
Jumlah bantuan
tidak sesuai
Jumlah bantuan
kurang sesuai
Jumlah bantuan
sudah sesuai
Jenis Kelamin laki-laki Count 29 22 8 59
% within Jenis
Kelamin 49.2% 37.3% 13.6% 100.0%
% of Total 44.6% 33.8% 12.3% 90.8%
Peremp
uan
Count 2 0 4 6
% within Jenis
Kelamin 33.3% .0% 66.7% 100.0%
% of Total 3.1% .0% 6.2% 9.2%
Total Count 31 22 12 65
% within Jenis
Kelamin 47.7% 33.8% 18.5% 100.0%
% of Total 47.7% 33.8% 18.5% 100.0%
4.5 Evaluasi Program Kemiskinan Berdasarkan Dampak Program Kemiskinan
Evaluasi program kemiskinan dilihat berdasarkan dampak yang dirasakan. Dampak
ini dilihat berdasarkan persepsi mengenai dampak program dari tiap responden. Sebanyak 55
persen responden pria dan wanita menjawab bahwa bantuan kemiskinan masih kurang
meningkatkan kesehjateraan masyarakat miskin, dan sisanya 44 persen menyatakan cukup
meningkatkan kesehjateraan. Ini berarti program kemiskinan sudah cukup baik dalam
meningkatkan kesehkateraan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.22 berikut.
Tabel 4.22 Jenis Kelamin * Apakah bantuan kemiskinan mampu meningkatkan kesehjateraan (minimal
meningkatkan kecukupan konsumsi dasar) Crosstabulation
Apakah bantuan kemiskinan
mampu meningkatkan
kesehjateraan (minimal
meningkatkan kecukupan
konsumsi dasar)
Total
Masih Kurang
meningkatkan
kesehjateraan
Cukup
meningkatkan
kesehjateraan
Jenis Kelamin laki-laki Count 33 26 59
% within Jenis Kelamin 55.9% 44.1% 100.0%
% of Total 50.8% 40.0% 90.8%
Perempuan Count 3 3 6
% within Jenis Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
% of Total 4.6% 4.6% 9.2%
Total Count 36 29 65
% within Jenis Kelamin 55.4% 44.6% 100.0%
% of Total 55.4% 44.6% 100.0%
Selanjutnya, jika dilihat dari persepsi rasa aman. Program bantuan kemiskinan sudah
cukup meningkatkan rasa aman dalam keberlangsungan hidup, sebanyak 63 persen
menyatakan bahwa adanya program bantuan mampu meningkatkan rasa aman. Rasa aman ini
merupakan salah satu efek non-sosial yang dapat ditimbulkan yang diharapkan.
Tabel 4.23 Jenis Kelamin * Bantuan kemiskinan meningkatkan rasa aman dalam keberlangsungan
hidup Crosstabulation
Bantuan kemiskinan meningkatkan
rasa aman dalam
keberlangsungan hidup
Total
masih kurang
meningkatkan
rasa aman
cukup
meningkatkan
rasa aman
Jenis Kelamin laki-laki Count 21 38 59
% within Jenis Kelamin 35.6% 64.4% 100.0%
% of Total 32.3% 58.5% 90.8%
Perempuan Count 3 3 6
% within Jenis Kelamin 50.0% 50.0% 100.0%
% of Total 4.6% 4.6% 9.2%
Total Count 24 41 65
% within Jenis Kelamin 36.9% 63.1% 100.0%
% of Total 36.9% 63.1% 100.0%
Selanjutnya program kemiskinan yang telah berlangsung belum memberikan efek
dalam meningkatkan kemampuan keluarga miskin dalam memenuhi kebutuhan secara
mandiri. Sebanyak 52 persen menyatakan bahwa bantuak belum menyebabkan kemampuan
pemenuhan kebutuhan secara mandiri. Hal ini wajar terjadi karena bantuan selama ini
merupakan bantuan langsung tunai dan raskin yang tidak menyebabkan peningkatan
kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan secara mandiri. Jika dilihat program
kemiskinan yang meningkatkan kemandirian masih sedikit, hanya simantri yang merupakan
bantuan yang meningkatkan kemandirian yang masuk menjadi responden dalam penelitian
ini, sisanya cenderung responden yang menerima bantuan langsung tunai dan raskin saja.
Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel 4.24 sebagai berikut.
Tabel 4.24 Jenis Kelamin * Setelah mendapatkan bantuan maka keluraga miskin mampu memenuhi
kebutuhan secara mandiri Crosstabulation
Setelah mendapatkan bantuan maka keluraga
miskin mampu memenuhi kebutuhan secara
mandiri Total
Bantuan belum
menyebabkan
kemampuan
pemenuhan
kebutuhan
secara mandiri
Bantuan
cukup
menyebabkan
kemampuan
pemenuhan
kebutuhan
secara mandiri
Bantuan
meningkatkan
kemampuan
pemenuhan
kebutuhan
secara mandiri
Jenis Kelamin laki-
laki
Count 30 25 4 59
% within Jenis Kelamin 50.8% 42.4% 6.8% 100.0%
% of Total 46.2% 38.5% 6.2% 90.8%
Pere
mpua
n
Count 4 0 2 6
% within Jenis Kelamin 66.7% .0% 33.3% 100.0%
% of Total 6.2% .0% 3.1% 9.2%
Total Count 34 25 6 65
% within Jenis Kelamin 52.3% 38.5% 9.2% 100.0%
% of Total 52.3% 38.5% 9.2% 100.0%
4.5. 1. Hasil Waneancara Dengan Bapak Sekcam Tembuku.
Wanwancara yang dilakukan bersama dengan Bapak Sekretaris Camat
Tembuku, bawa program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Kepala
Derah Kabupaten Bangli yaitu GGS ( Gerbang Gita Shanti) yang dilaksanakan mulai
tahu 2014 sebagai penggantinya PNPM.Disamping itu juga adanya program
Menyama Anyar ( menjadikan keluarga ) untuk pejabat yang menduduki eselon 2
mempunyai tanggung jawab terhadap lima (5) KK miskin, eselon 3 a mempunyai
tanggung jawab terhadap tiga (3) KK miskin, untuk eselon 3 b mempunyai tanggung
jawab dua (2) KK miskin dan untuk eselon 4 a satu (1) KK miskin yang pada
umumnya dibelikan pakian sekolah, buku-buku serta peralatan sekolah yang lainya.
Namun informasi yang sempat digali masih adanya program yang langsung
diluncurkan langsung kemasyrakat tanpa adanya koodinasi pada pejabat pada tingkat
kecamatan.
4.5.2. Hasil Wawancara dengan Kepala Desa Jehem.
Dari hasil wawancara yang dilaksanakan dengan Bapak Kepala Desa Jehem
program pengentasan kemiskinan sudah sudah tapat sasaran, namun dari hasil
pantauan dilapangan masih adanya perbedaan persepsi yang seharusnya mendapatkan
bantuan tetapi karena status kekeluargaan yang bersangkutan karena tidak punya anak
laki sehingga menjadi satu KK dengan kemenakanya kendatipun kondis nyata bahwa
yang bersangkutan satu dapur dengan istrinya dan yang bersangkutan cacat pisik
mengalami kebutaan sehingga tidak bisa menghasilkan. Temuan yang lainya pada
dusun ini adanya program KUBE ( kelompok usaha bersama) dibidang peternakan
sapi namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan yang menyebabkan
kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan kelompoknya.
4.5.3. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Tembuku
Hasil wawancara dengan Bapak Kepala Desa Tembuku menunjukan bahwa
program pengentasan kemiskinan sudah tepat sasaran, sehingga tidak meninbulkan
komplik,dimana penetapan keluarga miskin didasarkan pada muswarah dusun.Hasil
pantauan menunjukan bahwa di Dusun Penida kelod penetapan didasarka pada
muswarah dusun sehingga masyarakat merasa puas dalam menerima bantuan
kemiskinan. Program yang diluncurkan dari Pemerintah Provinsi Bali yaitu program
Simantri 414 Garapan Serta Merta yang beranggotakan 22 orang dengan bantuan
ternaknya 21 ekor, dilakukan pertanian integrasi sperti pemeliharaan lelle,kacang
tanah.Hasil yang dinikmati hasil pupuk Rp 500.000 setiap bulanya,hasil penjualan lele
Rp.600.000 perbulan serta menghasilkan gas untuk memenuhi para anggotanya,
namun hasil dari wawancara para anggota kelompok ini campuran arti banyak diluar
penduduk miskin.
4.5.4. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Yangapi
Penetapan data miskin yang ada di wilayah desa Yangapi ditetapkan oleh BPS
yang pendatanya dilakukan tahun 2013.Menurut kepala Dea bahwa kemiskinan yang
terjadi diwilayahnya karena disesbkan oleh rendahnya pendidikan. Dari temuan yang
ada di Dusun Yangapi bahwa rakin untuk pengentasan kemiskinan dalam kenyataanya
dibagi oleh anggota masyarakat secara keseluruhan, kondisini menunujukan bahwa
pengentasan kemiskinan kurang efektif.
4.5.5. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Undisan
Program pengentasan kemiskinan di Dusun Undisan Kelod datanya didasarka
pada data yang bersumber dari BPS, sehingga adanya komplin dari masyarakat
tanggung jawabanya bukan di Kepala Lingkungan. Untuk Program Simantri yang
mencapai 2 kelompok langsung mendapatkan pengawasan dari pertanian.
4.5.6. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Babngbang
Program pengentasan kemiskinan meliputi bedah rumah, raskin dan BLT,Kube
serta Simantri. Pada awalnya di Desa Bangbang karena datanya tidak dilakukan
perubahan menyebabkan adanya keributan kecil karena masyarakat yang mampu
mendapatkan bantuan, tapi sekarang menetapan penduduk miskin itu sudah ditetapkan
melalui musawarah lingkungan sehingga sasaran dari program ini tapat sasaran.
4.5.7. Hasil Wawancara dengan Pak Kepala Desa Peninjoan.
Pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang dilaksankan di Desa
Peninjoan didasarkan pada data dari BPS.Program pengentasan kemiskinan yang ada
di Desa Peninjoaan meliputi Raskin, bedah Rumah,Simantri Beasiswa juga awalnya
ada BLT. Penetapan awalnya sasaran penduduk miskin ditetapkan oleh BPS, sehingga
meninmulkan banyak yang komplin karana orang mampu mendapatkan bantuan
sedangkan orang miskin tidak dapat bantuan.Sekarang sudah dilakukan pendataan
baru atas dasar muswarah lingkungan namun datanya belum selesai divalidasi,
sehingga harapan dari Kepala Desa danya bisa akurat untuk menekan kecemburuan
masyarakat. Program Simantri yang bernama Kelompok Ternak Manik Bayu Kebon
Kangin dengan Nomor 040 dengan jumlah ternak 20 ekor. Hasil yang sudah ada pada
kelompok ini meliputi Biogas pupuk serta sudah adanya Koperasi, yang harapanya
dari kelompok ini pemerintah bisa memberikan bantuan permodalan.
BAB V
PENUTUP
5.1.Simpulan.
Dari hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh Kepala Derah Kabupaten Bangli
yaitu GGS ( Gerbang Gita Shanti) yang dilaksanakan mulai tahu 2014 sebagai
penggantinya PNPM, disamping itu juga adanya program Menyama Anyar ( menjadikan
keluarga ) untuk pejabat yang menduduki eselon di Kabupaten Bangli.
2. Program pengentasan kemiskinan di Pedesaan Jehem belum sepenuhnya tepat sasaran ,
karena adanya anggota masyarakat yang seharusnya menerima bantuan tetapi tidak dapat
bantuan Temuan yang lainya pada dusun ini adanya program KUBE ( kelompok usaha
bersama) dibidang peternakan sapi namun sapinya terpencar dan tidak adanya pengawasan
yang menyebabkan kondisi peternakan kurang menguntungkan bagi kegiatan
kelompoknya
3. Program pengentasan Kemiskinan akan tepat sasaran apabila dalam penentuan miskin tsb
melalui musawarah dusun.
4.Masih adanya jatah raskin dibagi rata antara masyarakat tanpa melihat apakah yang
bersangkutan masuk miskin atau tidak.
5.Program usaha kelompok bersama belum mampu meningkatkan usahanya dalam
mendorong kemandirian masyarakat disebabkan masih minimnya pengawasan dari
pemerintah.
5.2.Saran
Setelah peneliti melakukan analisis berdasarkan hasil temuan dilapangan maka dapat
diajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Dalam penetapan sasaran keluarga miskin sebaiknya menggunakan musawarah dusun
sehingga datanya sangat akurat yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan
keadailan sehingga akan menghilangkan komplik dalam masarakat dalam pembagian
berbagai program kemiskinan.
2. Diperlukan berbagai koodinasi antara level Pemerintahan dalam pelaksanaan proram
pengentasan kemiskinan baik kepala Desa, Camat maupun SKP yang megerakan
program pengentasan kemiskinan.
3. Setiap program pengentasan kemiskinan diperlukan pengawasan yang lebih terpadu
sehingga program pengentasan kemiskinan akan bisa berjalan sesuai dengan
perencanaan yang ada.
Daftar Pustaka
Bappenas. 2004. Strategi Nasional penanggulangan Kemiskinan Bab II. http://bappenas.go.id
Bappenas, 1994. Kaji Tindak Desa TertinggalTahun Pertama Yogjakarta: Aditya Media.
Bappenas. 2007. Penggunaan Hasil Evaluasi: Cara Meningkatkan Program-Program yang
Berpihak pada Rakyat Miskin.
Baswir, revrisond.2004. Drama Ekonomi Indonesia. Yogyakarta : Kreasi Wacana
BKKBN, 2009. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2009, BKKBN, Jakarta
Chambers, R. (1983). Rural development: Putting the last first. UK: Longman-Harlow.
Friedman, John, 1992. Empowerment: Politics of Alternation Development,
Massachusetts, Blackwell Publisher
Kartasamita, Ginandjar. 1996. PembangunanUntuk Rakyat; Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. Jakarta. CIDES
Kartasasmita, Ginandjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran
dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES Meier,
Kuncoro Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah, dan
Kebijakan, Edisi Ketiga, Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta : Penerbit
Erlangga, Jakarta
Kuncoro Mudrajad, (2006). Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah, dan
Kebijakan, UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN
Mubyarto, 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan, P3PK UGM Yogyakarta.
Mubyarto .1993, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan.Jakarta: LP3ES.
Mubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: LP3ES
Mubyarto 2003'Penanggulangan Kemiskinan di Lrdonesia.' Jurnal Ekonomi Rakyaf Th.II
No.2, April, 2003. Access via internet:
Mubyarto (2004) Ekonomi dan Kemiskinan. Access via internet httP: / /
www.ekonomiPancasila. org'artikel 26.htm'
NASIKUN. 2001. Bahan Kuliah ; Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister
Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Soegijoko dan Kusbiantoro. 1997, Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia,
Grasindo, Jakarta
Soetrisno, Loekman. 1995Memberdayakan Rakyat Dalam Pembangunan Indonesia
dalam Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat (Anggito Abimanyu,
dkk) (Yogyakarta: PAU-Se UGM bersama BPFE UGM,
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Sumodiningrat, Gunawan, 1999, Pemberdayaan Masyarakat Dan JPS, PT Gramedia, Jakarta
Sumodiningrat, Gunawan. 2003 Kebijakan P enanggulangan Kemiskinan Indonesia: Agenda
Kini dan ke Depan
Sumardjan, Selo. 1993. Kemiskinan (Suatu Pandangan Sosiologis).Makalah, Jakarta.
Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa, Yayasan Obor Indonesia.
UNDP, 2005. ’ The Indonesia MDGsReport 2005. (http://undp.or.id/ pubs/imdg
World Bank, 1993, the East Asian Miracle:Economic Growth and Public Policy, Oxford:
Oxford University Press