Download - Laporan Kasus Anemia Hemolitik Auto Imun
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 1
Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI)
Anemia Hemolitik Auto Imun (AHAI)
Herlinda Gustia Puteri1 Ligat Pribadi Sembiring2
1Penulis untuk korespondensi: Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau,
E-mail: [email protected] 2Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Riau/RSUD
Arifin Achmad Provinsi Riau
Abstrak
Anemia hemolitik auto imun (AHAI) adalah sebuah kelainan pada sel darah
merah yang ditandai dengan kerusakan eritrosit oleh autoantibodi dalam tubuh
seseorang. AHAI biasa terjadi pada penderita-penderita Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). Seorang wanita berusia 23 tahun datang dengan keluhan
lemas pada seluruh tubuh sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas disertai
dengan nyeri sendi, nyeri kepala dan nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan konjungtiva anemis, gusi berdarah dan sariawan, kemerahan pada
wajah, nyeri pada regio epigastrium, limpa di Schuffner 3. Dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hemoglobin (Hb) 5,9 g/dL, pada pemeriksaan morfologi
apusan darah tepi ditemukan anemia normositik normokrom suspect anemia
penyakit inflamasi kronis dengan hasil coombs test positif. Pasien diterapi dengan
IVFD NaCl 0,9%, methylprednisolone 125 mg/12 jam injeksi dan transfusi PRC.
Pasien dirawat selama sembilan hari di ruang penyakit dalam dan hasil ANA test
positif. Pasien pulang dengan perbaikan kondisi serta kadar Hb mencapai 9,5
g/dL.
Kata kunci: AHAI, SLE, coombs test, ANA test.
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 2
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik auto imun
(AHAI) merupakan sebuah kelainan
yang dikarakteristikkan dengan
adanya reaksi autoantibodi yang
diproduksi sistem imun tubuh
sendiri yang menyerang langsung
sel darah merah sehingga
mengalami lisis. AHAI
diklasifikasikan kedalam tiga tipe,
yaitu tipe hangat (75%), tipe dingin
(15%) dan tipe campuran (5%).
Sedangkan, berdasarkan ada atau
tidaknya penyakit yang mendasari
AHAI dibagi menjadi dua yaitu
primer dan sekunder.1
Manifestasi klinis dari AHAI
umumnya akan terlihat dalam
jangka waktu beberapa bulan hingga
tahun, tergantung pada keparahan
anemia yang diderita pasien.
Manifestasi klinis tersebut juga
dibedakan berdasarkan adanya
penyakit dasar dan derajat hemolisis
yang bergantung pada tipe
autoantibodi. Pasien dengan tipe
hangat (IgM dan IgG) dilaporkan
cenderung memiliki keparahan
hemolisis yang tinggi dan angka
mortalitasnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan AHAI tipe
dingin.2 Pendekatan diagnosis
AHAI secara garis besar cukup
membutuhkan pembuktian adanya
anemia yang disebabkan proses
hemolisis dan hasil pemeriksaan
serologis yang membuktikan adanya
antibodi anti-eritrosit yang dapat
terdeteksi dengan direct antiglobulin
test (DAT).3 AHAI juga sangat erat
kaitannya dengan penyakit SLE.
SLE merupakan suatu penyakit
autoimun heterogen yang
menyerang multi organ dan
memberikan klinis bervariatif sesuai
dengan organ yang terkena. SLE
sendiri mengklasifikasikan AHAI
sebagai gejala klinis dari kelainan
hematologis yang umum. Pada
AHAI oleh karena SLE, gejala
selain AHAI akan nampak yaitu
terdapat gangguan pada organ lain
karena SLE.4
Oleh karena insidensi AHAI pada
kasus SLE semakin meningkat dan
penyakit ini membutuhkan terapi
segera, maka pendekatan diagnosis
dan tatalaksana yang benar akan
memberikan hasil yang signifikan.
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Jenis Kelamin : Perempuan
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 3
Umur : 23 tahun
Alamat : Tanjung Lebam,
Kubu, Rokan Hilir
MR: 01017624
Tgl MRS: 24 Juni 2019
Anamnesis
Keluhan utama
Lemas sejak 3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
- 3 hari SMRS pasien
mengeluhkan lemas yang
dirasakan pada seluruh
badan. Lemas berlangsung
sepanjang hari, memberat
ketika beraktivitas dan tidak
menghilang setelah pasien
beristirahat. Lemas disertai
dengan demam, nyeri sendi,
nyeri kepala dan nyeri pada
ulu hati.
- Pasien juga mengeluhkan
gusi berdarah, sariawan dan
mual sehingga nafsu makan
pasien menurun. Keluhan
rambut sering rontok (+),
rasa terbakar dan bercak
kemerahan dikulit yang
timbul karena terkena sinar
matahari (+). BAK dan BAB
dalam batas normal.
- 4 bulan SMRS pasien pernah
mengalami keluhan yang
sama dan dirawat selama 4
hari. Pasien mengatakan
telah didiagnosis SLE sejak
2 tahun yang lalu namun
pasien tidak melanjutkan
pengobatannya karena
merasa kondisi pasien sudah
baik.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Darah tinggi (-)
- Kencing manis (-)
- Penyakit jantung (-)
- Penyakit ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang
mengeluhkan keluhan
yang sama.
- Riwayat darah tinggi (-)
- Riwayat kencing manis
(-)
Riwayat Pekerjaan, Sosial,
Ekonomi dan Kebiasaan
• Pasien merupakan seorang
mahasiswa
• Jarang berolahraga (+)
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 4
• Merokok (-), konsumsi
alkohol (-).
Pemeriksaan Fisik Umum
- Keadaan Umum: Tampak
sakit sedang
- Kesadaran :
Komposmentis kooperatif
- TD : 104/85
mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Suhu : 36,2°C
- Pernafasan : 20 x/menit
- Keadaan gizi
- BB : 54 kg
- TB : 155 cm
- IMT :
normoweight (22,47)
Pemeriksaan Fisik
Kepala dan leher
- Mata: konjungtiva anemis
(+) sklera ikterik (+), edema
palpebra (-/-)
- Hidung: keluar cairan (-)
darah (-)
- Telinga: keluar cairan (-),
darah (-)
- Mulut: sariawan (+) gusi
berdarah (+)
- Leher: pembesaran KGB (-)
pembesaran tiroid (-)
peningkatan JVP (-) 5+1
cmH2O.
Thoraks paru depan
- Inspeksi: bentuk dinding
dada pasien normochest,
pergerakan dada simetris kiri
dan kanan, penggunaan otot
bantu pernapasan (-).
- Palpasi : vocal fremitus sama
kiri dan kanan.
- Perkusi: sonor pada kedua
lapangan paru.
- Auskultasi: vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Thoraks paru belakang
- Inspeksi: kelainan tulang
belakang (-).
- Palpasi : vocal fremitus sama
kiri dan kanan.
- Perkusi: sonor pada kedua
lapangan paru.
- Auskultasi: vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung:
- Inspeksi: ictus cordis tidak
terlihat
- Palpasi : ictus cordis teraba
di SIK V linea midclavicula
sinistra.
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 5
- Perkusi: batas kanan jantung
linea sternalis dextra SIK IV,
batas kiri jantung di linea
midclavicula sinistra SIK V
- Auskultasi: S1 S2 reguler,
M2<M1, A1<A2, P1<P2,
A2>P2, murmur (-), gallop (-
Abdomen:
- Inspeksi: perut tampak datar,
scar (-), venektasi (-),
distensi (-), vena kolateral (-
), caput medusae (-)
- Auskultasi : BU (+) 8x/menit
- Palpasi: nyeri tekan
epigastrium(+),
splenomegali (+) Shuffner 3,
ballotement (-).
- Perkusi: timpani pada
seluruh regio abdomen.
Ekstremitas:
- Atas : Kulit pucat (+) CRT
<2 detik, pitting udem (-/-),
sianosis (-), clubbing finger
(-), akral hangat.
- Bawah : Kulit pucat (+) CRT
<2 detik, pitting edema (-/-),
sianosis (-), akral hangat.
Pemeriksaan Penunjang
Darah rutin
1. Hb: 5,9 g/dL
2. Leukosit: 6.460 uL
3. Trombosit: 181.000./uL
4. Eritrosit: 1.700.000/uL
5. Hematokrit: 15,8 %
6. Basofil: 0,6 %
7. Eosinofil: 0,3 %
8. Neutrofil: 84,4 %
9. Limfosit: 11,6 %
10. Monosit: 3,1 %
Kimia Klinik
1. Ureum : 42 mg/dL (12.8-
42.8)
2. Creatinin : 0,85 mg/dL
(0,55-1,30)
Kimia Urin
1. Warna : kuning tua
2. Kejernihan: keruh
3. Protein : Positif (+2)
4. Glukosa : Negatif
5. Bilirubin : Negatif
6. Urobilirubin: 0,2 Umol/L
(normal)
7. pH : 6,0 (4,5-8,0)
8. BJ : 1,010
(1,003-1,030)
9. Darah : Positif (+3)
10. Keton : Negatif
11. Nitrit : Positif
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 6
Gambaran Darah Tepi
Kesan: Anemia normositik
normokrom ec. anemia
penyakit inflamasi kronis
ANA Profile: SLE (+)
Direct Coombs Test: (+3)
Resume
Anamnesis
- Lemas pada seluruh tubuh
yang berlangsung sepanjang
hari, memberat ketika
beraktifitas dan tidak
menghilang dengan istirahat.
- Demam, nyeri pada sendi,
nyeri kepala dan nyeri ulu
hati.
- Sariawan, gusi berdarah,
mual dan nafsu makan
menurun.
- Rasa terbakar dan bercak
kemerahan dikulit ketika
terkena sinar matahari.
- Telah didiagnosis SLE sejak
2 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik
- Konjungtiva anemis, sklera
ikterik, sariawan dan gusi
berdarah.
- Nyeri tekan epigastrium,
splenomegali pada Schuffner
3
- Ekstremitas atas dan bawah
pucat.
Pemeriksaan penunjang
- Anemia
- Neutrofilia
- Proteinuria
- Hematuria
GDT: Anemia normositik
normokrom ec. anemia
penyakit inflamasi kronis
- Ana Profile: SLE (+)
- Coombs test: (+3)
Diagnosa: Anemia Hemolitik Auto
Imun pada SLE.
Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
- Tirah baring
- IVFD NaCl 0,9% 2000
cc/hari
- Transfusi PRC
Farmakologis:
- Methylprednisolon 2x125
mg IV
- Lansoprazole 2x30 mg IV
- Ondansentron tab 3x4 mg
- Paracetamol tab 3x500 mg
- Sandimun tab 2x100 mg
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 7
DISKUSI
Diagnosis AHAI dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis
didapatkan keluhan utama lemas
pada seluruh tubuh sejak 3 hari
SMRS. Lemas berlangsung
sepanjang hari, memberat ketika
beraktivitas dan tidak menghilang
setelah pasien beristirahat. Lemas
disertai dengan demam, nyeri sendi,
nyeri kepala dan nyeri pada perut.
Keluhan lain didapatkan adanya
gusi berdarah, sariawan dan mual
sehingga menyebabkan penurunan
nafsu makan pasien menurun.
Selain itu, pasien juga mengatakan
rambut sering rontok dan ada rasa
terbakar dan bercak kemerahan
dikulit yang timbul bila terkena
sinar matahari. Pada pemeriksaan
fisik kepala dan leher didapatkan
konjungtiva anemis, sklera ikterik,
sariawan dan gusi berdarah. Pada
pemeriksaan abdomen, didapatkan
nyeri tekan pada regio epigastrium,
limpa teraba pada Schuffner 3 dan
ekstremitas pucat.
Das et al. melaporkan bahwa
penderita AHAI 66% adalah wanita.
Manifestasi klinis AHAI tidak jauh
berbeda dengan manifestasi anemia
lainnya, pasien akan memberikan
klinis khas anemia seperti lemas
pada seluruh tubuh, konjungtiva
anemis, kulit pucat, serta pada
anemia hemolitik bisa juga
didapatkan ikterus dan pembesaran
pada organ retikuloendothelial
sistem (RES) seperti limpa dan
hepar.5
Ikterus dan pembesaran organ RES
disebabkan karena banyaknya
eritrosit yang terdestruksi masuk ke
dalam RES sehingga memberikan
beban kerja yang lebih berat pada
hepar atau limpa. Hal tersebut
menyebabkan tidak optimalnya
kerja dari organ retikuloendothelial
sehingga timbul gangguan konjugasi
pada bilirubin yang berakhir dengan
banyaknya bilirubin tak terkonjugasi
yang beredar disirkulasi.5
Selain itu pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb pasien
5,9 gr/dL, hematokrit 15,8% dan
coombs test (+3). Semua pasien
AHAI akan memberikan gejala
klinis khas anemia tetapi pada
AHAI yang disebabkan oleh
penyakit autoimun seperti SLE,
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 8
akan memberikan gejala yang
predominan SLE.
Pasien ini didiagnosis SLE karena
memenuhi minimal 10 point dari
kriteria SLE berdasarkan American
College of Rheumatology (ACR).
Akan tetapi pada pasien ini tetap
dilakukan profil ANA untuk
mengonfirmasi SLE.6
Pada pasien ini juga didapatkan
proteinuria dan hematuria sebagai
pertanda bahwa sudah terjadi
nefritis lupus (NL) yang merupakan
salah satu manifestasi dari SLE.
Gambaran klinis nefritis lupus
sangat bervariasi, mulai dari
asimtomatis atau hanya proteinuria
atau hematuria ringan sampai
dengan gambaran klinis yang berat
yaitu sindrom nefrotik atau
glomerulonefritis yang disertai
penurunan fungsi ginjal yang
progresif.
Pada SLE semua partikel sel
dikenali sebagai antigen, maka
antibodi yang ditemukan pada
pasien SLE sangat banyak, oleh
karena itu pemeriksaan berbagai
antibodi perlu dilakukan,
pemeriksaan tersebut disebut dengan
profil ANA. Akan tetapi, hasil
pemeriksaan antibodi yang positif
tidak selalu sesuai dengan adanya
penyakit autoimun yang terkait
dengan antibodi tersebut karena
beberapa antibodi dapat ditemukan
pada penyakit hati kronik,
keganasan dan infeksi.7
Antibodi antieritrosit pada penderita
SLE diketahui sebagian besar adalah
IgG (tipe hangat). Patogenesis
terjadinya AHAI pada pasien SLE
belum sepenuhnya diketahui.
Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa IgG menyebabkan terjadinya
aktivasi sistem komplemen, reaksi
diawali dengan aktivasi C1, suatu
protein yang dikenal sebagai
recognition unit. Protein C1 akan
berikatan dengan kompleks imun
antigen antibodi dan menjadi aktif
serta mampu mengkatalisis reaksi –
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 9
reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
akan mengaktifkan C4 dan C2
menjadi suatu kompleks C4b2b (C3
convertase). C4b2b akan memecah
C3 menjadi fragmen C3b dan C3a.
C3b mengalami perubahan
konformasional sehingga mampu
berikatan secara kovalen dengan sel
darah merah yang berlabel antibodi
sehingga mengaktifkan komplemen.
Selanjutnya, C3 juga akan
membelah menjadi C3d, C3g dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap
berikatan pada mebran sel darah
merah dan merupakan produk final
aktivasi C3. C3b akan berikatan
dengan C4b2b menjadi kompleks
C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5
menjadi C5a (anafilaktosin) dan
C5b yang berperan dalam kompleks
penghancur membran. Kompleks
penghancur membran terdiri dari
molekul C5b, C6, C7, C8 dan
beberapa molekul C9. Kompleks ini
akan menyisip kedalam mebran sel
sebagai suatu aluran transmembran
sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion
akan masuk kedalam sel sehingga
sel menjadi bengkak dan ruptur.8
Selain itu, terdapat adanya
keterkaitan dari SLE sebagai
penyebab penurunan ekspresi gen
CD55 dan CD59 pada eritrosit
penderita yang akan memicu
terjadinya AHAI. Protein membran
ini merupakan suatu barier
pertahanan untuk melawan adanya
mekanisme lisis yang berasal dari
antibodi, sebagaimana penjelasan
AHAI itu sendiri. Jika barier ini
tidak ada maka akan timbul
penghancuran eritrosit secara
progresif.8
Pemeriksaan Direct Antiglobulin
Test atau Coombs test merupakan
suatu pemeriksaan yang cukup
sensitif adanya AHAI. Coombs test
bertujuan untuk menunjukkan
adanya antibodi atau komplemen
pada permukaan eritrosit.
Pemeriksaan ini menggunakan darah
pasien yang dicampur dengan
antibodi kelinci yang melawan IgG
atau C3 manusia. Hasil tes positif
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 10
menunjukkan adanya aglutinasi
antara antibodi penderita atau
eritrosit yang diliputi komplemen
dengan serum anti-IgG atau anti-C3.
Pada pemeriksaan lebih lanjut akan
dilihat apakah aglutinasinya dengan
anti-IgG (pada AHAI warm type).
atau anti-C3 (pada AHAI cold
type).9
Pendekatan tatalaksana AHAI
meliputi tatalaksana nonfarmakologi
dan farmakologi. Pada pengobatan
nonfarmakologi pasien ini,
diberikan cairan NaCl 0,9% 2000 cc
per hari. Pasien ini juga diberikan
transfusi PRC sebanyak 2 unit per
hari. Transfusi dianjurkan pada
anemia yang mengancam nyawa dan
umumnya pada AHAI warm type
diberikan ketika Hb kurang dari 5
g/dL.10
Pada pasien ini diberikan steroid
Methylprednisolon (MP) dengan
dosis 2x125 mg. Terapi ini disebut
dengan terapi pulse. Terapi pulse
merupakan terapi dengan dosis yang
sangat tinggi dalam waktu singkat
digunakan pada keadaan yang
mengancam nyawa, induksi atau
pada kekambuhan.11
Penelitian menyebutkan pada 75-
96% pasien AHAI yang disebabkan
oleh SLE akan berespon pada
steroid (1 mg/kg/hari prednison atau
steroid jenis lain yang ekuivalen
dibagi dalam beberapa dosis)
sebagai agen imunosupresan.
Umumnya tubuh akan memberikan
respon 2-3 minggu pengobatan.
Prednison 1 mg/kg/hari merupakan
pengobatan AHAI lini pertama dan
apabila tidak ada respon terhadap
terapi, pemberian steroid dosis
tinggi dianjurkan (1000 mg MP).
Steroid baru diturunkan dosisnya
atau di-taperring-off ketika kadar
hematokrit dalam darah mengalami
peningkatan dan kadar retikulosit
menurun.11
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 11
Pasien juga diberikan terapi
lansoprazole dan ondansentron
untuk mengurangi gejala penyerta,
paracetamol sebagai antipiretik dan
sandimun (siklosporin) sebagai
immunosuppressant.
KESIMPULAN
AHAI merupakan salah satu
kelainan yang sering ditemukan
pada penderita SLE. Oleh karena itu
penting untuk memiliki pengetahuan
tentang pendekatan diagnosis dan
penanganan dini untuk kasus ini.
Pada kasus ini, dapat disimpulkan
bahwa penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan pada AHAI sesuai
dengan referensi yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Parjono E, Widyawati K.
Anemia Hemolitik
Autoimun. Buku Ajar
penyakit. Jakarta: Pusat
penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. hal.660-2.
2. Zanella A, Barcellini W.
Treatment of autoimmune
hemolytic anemia. J
Haemotologica.
2014;99(10):1547-8.
3. Kamesaki T, Toyotsuji T,
Kaijii E. Characterization of
direct antiglobulin test-
negative autoimmune
hemolytic anemia: a study of
154 cases. J American of
Hematology. 2013;88:93-6.
4. Kuhn A, Bonsmann G,
Anders H, Herzer P,
Tenbrock K, Schneider M, et
al. The diagnosis and
treatment of systemic lupus
erythematosus. J Deutsches
Arzteblatt International.
2015;112(25):423-32.
5. Zeerleder S. Autoimmune
hemolytic anemia-a practical
guide to cope with a
diagnostic and therapeutic
challenge. J Netherland of
Medicine. 2011;69(4):177-
80.
6. American College of
Rheumatology. ACR Criteria
for Systemic Lupus
Erythematosus (SLE). 2017.
7. Petri M, Orbai AM, Alarcon
GS, Gordon C, Merril JT,
Fortin PRN, et al. Derivation
and validation of the
Systemic Lupus
International Collaborating
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 12
Clinics classification criteria
for systemic lupus
erythematosus. J Arthritis
Rheumatology.
2012;64:2677–86.
8. Sullivan MO, McLean-
Tooke A, Loh RKS.
Antinuclear antibody test. J
American Academy of
Family Physcian. 2013;
42(10):718-21.
9. Alegretti AP, Mucenic T,
Brenol JCT, Xavier RM. The
role of (CD55 and CD59)
complement regulatory
proteins on peripheral blood
cells of systemic lupus
erythematosus patients. J
Brasiliera of Rheumatology.
2009;49(3):276-87.
10. Dhaliwal G, Cornett P,
Tierney LM. Hemolytic
anemia. J American
Academy Family Physcian.
2004;69(11):2599-609.
11. Bashal F. Hematological
disorders in patients with
systemic lupus
erythematosus. J Open
Rheumatology. 2013;7:87-
95.
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 13
Follow-up
25/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 111/69 mmHg, HR: 91x/i,
RR: 20x/i, T: 35,6. Hb: 5,9 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
26/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 99/56 mmHg, HR: 87x/i,
RR: 20x/i, T: 35,6. Hb: 5,9 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
27/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 110/72 mmHg, HR: 97x/i,
RR: 20x/i, T: 36,8. Hb: 5,5 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
Sandimun tab 2x100 mg
Transfusi PRC 2 unit
28/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 133/80 mmHg, HR: 97x/i,
RR: 20x/i, T: 36,8. Hb: 5,7 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x250 mg IV
Ketorolac 2x30 mg IV
Omeprazole 2x40 mg IV
Sandimun tab 2x100 mg
Transfusi PRC 2 unit
29/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 121/79 mmHg, HR: 82x/i,
RR: 20x/i, T: 36,4. Hb: 5,7 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x250 mg IV
Ketorolac 2x30 mg IV
Omeprazole 2x40 mg IV
Sandimun tab 2x100 mg
Transfusi PRC 2 unit
30/06/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas
dan nyeri pada sendi dan ulu hati.
O : TD: 110/60 mmHg, HR: 72x/i,
RR: 20x/i, T: 35,8. Hb: 9,5 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
Sandimun tab 2x100 mg
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 14
1/07/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas.
O : TD: 110/65 mmHg, HR: 75x/i,
RR: 20x/i, T: 36,7. Hb: 9,5 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
2/07/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas.
O : TD: 115/68 mmHg, HR: 71x/i,
RR: 20x/i, T: 35,8. Hb: 9,5 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
3/07/2019
S : Pasien mengatakan badan lemas.
O : TD: 110/70 mmHg, HR: 80x/i,
RR: 20x/i, T: 36,7. Hb: 9,5 gr/dL.
A : AHAI pada SLE.
P : Methylprednisolon 2x125 mg IV
Lansoprazole 2x30 mg IV
4/07/2019
PASIEN BOLEH PULANG.
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 15
Lampiran 1
American College of Rheumatology
Criteria for SLE
LAPORAN KASUS
Ilmu Penyakit Dalam FK UNRI Agustus 2019 Page 16
Lampiran 2
Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik
REKOMENDASI Perhimpunan
Rheumatologi Indonesia 2011