Download - Laporan Kelompok 1
PEMBAHASAN
1.1 Etiologi degenerasi TMJ dan tulang rawan
Etiologi Degenerasi Sendi dan Tulang Rahang.
teori utama terjadinya degenerasi sendi dan tulang adalah wear and tear dimana
pemakaian yang terus menerus ditambah beban yang dikenai daerah tersebut dapat menyebabkan
degenerasi tulang dan sendi. Hal ini dibuktikan dengan ebagian besar penyakit degenerasi sendi
terjadi pada sendi – sendi yang mempunyai aktivitas besar dan beban yang berat dalam tubuh
manusia. Namun selain hal tersebut, terdapat pula faktor – faktor yang menyebabkan mudahnya
sendi dan tulang mengalami degenerasi :
1. Faktor usia :
Pada masa menopause produksi hormon esterogen menurun. Penurunan hormon
esterogen ini mengakibatkan kenaikan jumlah osteoklas, oleh karena itu tulang menjadi
lebih rapuh. Selain itu hormon esterogen juga membantu penyerapan kalsium pada
tulang, sehingga kekurangan esterogen juga dapat menyebabkan tulang kekurangan
kalsium yang dapat berakibat pada rapuhnya tulang.
Pada masa menopause kadar air pada tulang rawan meningkat dan susunan protein tulang
rawan terdegradasi. Tulang rawan mulai menipis dan akan mengalami retakan kecil,
apabila mengalami peradangan maka akan merangsang pertumbuhan tulang baru
disekitar sendi. (osteophyte)
Penggunaan sendi yang berulang ulang selama bertahun-tahun membuat tulang rawan
teriritasi atau terinflamasi.
Pada masa menua kontrasi otot akan bertambah panjang pada saat menutup mulut
sehingga menyebabkan kerja sendi lebih kompleks.
Jaringan sendi akan mengalami reduksi sel yang progresif yang mengakibatkan penipisan
miniskus sendi dan dapat mengalami arthritis.
Proses repair pada orang usia lanjut juga sudah mulai terganggu .
2. Trauma Fisik :
Sendi yang digunakan terus menerus seperti akan cepat mengalami peradangan. Sendi
yang digunakan terus menerus dengan beban yang berat akan dapat mudah mengalami
degenerasi.
3. Hormonal :
Turunnya kadar estrogen saat menopause menghambat pengangkutan kalsium dalam
tulang. Sehingga pada wanita usia lanjut lebih cenderung terkena penyakit sendi
dibanding dengan laki-laki.
4. Kondisi tubuh :
Apabila kondisi tubuh mengalami obesitas maka dapat meningkatkan tekanan pada sendi
sehingga meningkatkan pula resiko kerusakan pada tulang rawan.
5. Hereditas
Kecenderungan genetik. Beberapa orang memiliki gen yang menyebabkan tulang rawan
mudah rusak dengan gejala yang muncul biasanya pada umur pertengahan.
Ada pula beberapa penyakit yang menjadi faktor predisposisi memperbesar resiko
seseorang mengalami penyakit degenerasi sendi. Contohnya adalah penyakit
alkaptonuria. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan dengan manifestasi klinis urin
berwarna hitam. Penderita penyakit ini memiliki gangguan pada gen HGD. Gen HGD
berfungsi sebagai pengendali untuk membuat enzim yang disebut homogentisate
oksedase. Enzim ini membantu memecah asam amini fenilalanin dan tirosin, kekurangan
hormon ini dapat menyebabkan tingginya kadar tirosin dalam darah. Tingginya tirosin
dalam darah dapat menghasilkan suatu zat beracun yang disebut alkapton. hal ini yang
menyebabkan warna urin penderita menjadi hitam. Selain itu alkapton ini juga
menyebabkan kerusakan pada tulang rawan.
6. Asupan Nutrisi :
Asupan nutrisi yang kurang seperti susu dan olahannya dapat mengurangi kepadatan
tulang, karena susu mengandung kalsium,magnesium,zinc,Mg, vitamin dan mineral
penting lainnya yang berfungsi untuk membentuk tulang dan kepatan tulang.
Mereka yang kurang mengonsumsi vitamin C dan D mempunyai risiko tiga kali lebih
banyak untuk berkembangnya osteoartritis. Antioksidan dalam vitamin C diketahui dapat
menekan onset osteoartritis.
Mengkonsumsi soft drink ternyata juga dapat menyebabkan radang sendi karena
kandungan asam fosfat yang menyegarkan ternyata dapat mengurangi kepadatan tulang
sehingga resiko radang sendi dan osteoatritis meningkat.
7. Kondisi gigi yang tanggal :
Apabila mayoritas gigi sudah tanggal terutama bagian posterior maka dapat menyebabkan
perubahan dimensi vertical yang menyebabkan kerja sendi lebih kompleks sehingga
menyebabkan radang sendi.
8. Radikal bebas
Tingginya radikal bebas dapat menyebabkan mudah rusaknya bagian – bagian tubuh
manusia termasuk tulang rawan sendi. Oleh karena itu berbagai aktifitas yang dapat
meningkatkan resiko radikal bebas pada diri individu seperti merokok sangat tidak
dianjurkan.
1.2 Mekanisme degenerasi TMJ dan bagaimana pmekanisme terbentuknya osteofit
Patogenesis degenerativ pada tulang rawan sendi TMJ
Patogenesis dari degenerativ pada tulang rawan sendi TMJ tidak hanya melibatkan proses
degenerative saja,tetapi hal ini juga melibatkan proses degenerasi sendi,remodeling tulang serta
inflamasi pada cairan sinovial yaitu cairan pada kapsul sendi.Namun selain itu patogenesis dari
kerusakan tulang rawan sendi ini sendiri juga dijelaskan oleh mekanisme biokimia dan molekular
yang melibatkan mediator-mediator inflamasi serta produk kimia lainnya.
Secara fisiologis tulang rawan kartilago terbentuk oleh kondrosit,yang mana kondrosit ini
berfungsi dalam mensintesis matriks tulang rawan sendi serta dalam kandungannya terdapat
proteoglikan yang bergabung dengan protein glikosaminoglikan,kondroitin sulfat dan keratan
sulfat yang bertugas dalam memberi kepadatan pada tulang rawan sendi agar tidak rapuh.Selain
itu terdapat kolagen type II yang bertugas dalam memberi dan menjaga integritas struktur dari
rulang rawan sendi.
Keadaan metabolisme Kondrosit akan terganggu dan menjadi patologis apabila faktor
pencetus berupa stress mekanik(radikal bebas,trauma,tekanan berlebih dan terus
menerus,overuse) hadir dalam aktifitas sendi,sehingga ketika itu metabolisme dari kondrosit
bukan lagi menghasilkan matriks fisiologis melainkan menghasilkan matriks patologis dengan
komposisi MMPs (Matriks Metalloproteinase) serta mediator – mediator inflamasi berupa IL-
1,TNF a, NO,PGE-2.
Dimana peran dari MMPs akan mendestruksi ikatan proteoglikan dan kolagen dalam tulang
rawan dimana peristiwa destruksi ini berjalan dengan 4 tahap singkat:
1. Tahap 1: Tulang rawan akan terdapat celah multiple tidak teratur dan terdapat retakan
disekitarnya,selain itu keadaan proteoglikan sudah terkikis sedangkan unsur kolagen
belum sepenuhnya terkikis
2. Tahap 2 : celah serta retakan pada tulang rawan terlihat semakin dalam ,disamping itu
produk matriks patologis yang berupa IL-1 merangsang agar kondrosit menghasilkan
matriks patologis lebih cepat dan lebih banyak dibanding matriks fisiologi dari tulang
rawan sehingga matriks patologis mengkontaminasi cairan sinovial,dengan cara melewati
celah celah pada tulang rawan tersebut.Selain itu IL-1 juga mampu mengaktifasi
osteoklas untuk meresorpsi tulang dan membantudalam destruksi tulang rawan
sendi.Dengan adanya kerusakan ini proses homeostatis dari tubuh membentuk sebuah
remodeling tulang – tulang yang teresorbsi tersebut,namun remodeling tersebut tidak
terarah dan tak teratut sehingga pada tahap kedua ini sedikit demi sedikit menampakkan
tonjolan tulang baru yang bernama osteofit
3. Tahap 3 : celah yang semakin dalam tersebut hingga mencapai tulang subkondral akirnya
terlepas menjadi serpihan-serpihan mengapung pada kontaminasi cairan sinovial,karena
serpihan ini tergolong benda asing ,sehingga sinoviosit pada membran sinovium akan
memfagosit benda asing ini dan menghadirkan prajurit inflamasi salah satunya PMN dan
mediator-mediato inflamasi berupa IL-1,TNF a,NO dan PGE2.Namun sayangnya PMN
pun menghasilkan R.O.S dan Protease yang justru akan membantu resorbsi tulang rawan
dan tulang subkondral.Sehingga cairan sinovial sudah benar – benar terkontaminasi dan
mendesak pada celah celah dan retakan yang terdapat pada tulang rawan hingga tulang
subkondral.Mendesaknya cairan sinovial yang terkontaminasi ini mengakibatkan
terbentuknya sebuah celah pada tulang subkondral yang berisi cairan sinovial yang
tekontaminasi dengan nama kista subkondral.
4. Tahap 4 :terbentuknya kista subkondral semakin memeperparah keadaan karena cairan
sinovial yang terkontaminasi tadi berisi unsur-unsur peresorbsi tulang sehingga
perusakan tulang tidak hanya sebatas pada tulang rawan dan tulang subkondral namun
akan menjalar kedalam tulang yang lebih dalam.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa proses degenerasi dan regenerasi pada tulang
maupun sendi adalah suatu bentuk normalitas, tetapi ketika faktor-faktor yang mengaktivasi
maupun menghamabat tidak bekerja secara maksimal akan memicu aktivitas abnormal baik pada
proses regenerasi yang berlebih maupun proses dekstruksi yang berlebih.
Bagi penderita radang sendi, khususnya osteoarthritis (OA) yang terjadi bukan karena
infeksi yakni lebih condong disebabkan oleh trauma, terjadi ketidakseimbangan factor-faktor
tersebut dimana akan terjadi proses regenerasi berlebih dan membentuk tulang baru bukan pada
tempatnya dan tidak mampu mengalami remodeling yang sempurna pula yang disebut dengan
osteophyte.
Pada dasarnya pembentukan osteophyte ini dipicu oleh 3 faktor:
1. Adanya proses degeneratis tulang yang dijelaskan sebelumnya memacu peningkaktan
vascularisasi di daerah sekitar tulang rawan bahkan pembentukkan pembuluh
darah(angiogenesis) baru yang juga akan memicu proses regenari tulang
2. Adanya kista yang terbentuk akibat aktivitas degenerative tersebut yang mampu
mendesak tulang subchondral dibawahnya yang juga akan memicu adanya proses
regenerative dan pembentukkan osteophyte
3. Dengan adanya proses degenartive pada tulang rawan. Akan terdapat serpihan tulang
rawan yang mengapung pada synovial fluid yang kemudian memicu proses inflamasi dan
proses regenerative dan menghasilkan osteophyte bila proses regenerative tersebut
berlebih.
Untuk mekanisme pembentukkan osteophyte tersebut pada dasarnya akan diaktivasi oleh
aktivitas inflamasi. Untuk pertumbuhan osteophyte biasanya paling sering ditemukan pertama
kali tumbuh pada daerah marginalis dari tulang yang degenerative atau pada daerah antero-
posterior pada condylus mandibula. Hal ini dikarenakan yang pertama kali diaktivasi dalam
pertumbuhan osteophyte adalah sel mesenkim, yang mana sel mesenkin ini ditemukan pada
lapisan periosteum tulang. Disamping itu, di lapisan lebih dalam dari periosteum dan sangat
dekat dengannya ditemukan mikrovesel yang akan memicu aktivitas diferensiasi dari sel
mesenkim melalui mekanisme inflamasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan yang paling
dasar yang perlu untuk dipahami bahwasannya sel mesenkimk ini mampu berdiferensiasi
menjadi beberapa sel, termasuk dalam proses regenatif tulang, yakni kondroblas dan osteoblas.
Dimana tahap-tahap dari pembentukkan osteophyte adalah sebagai berikut.
Tahap 1 :
Adanya inflamasi akibat proses degenerasi akan mengaktivasi molekul BMPs (Bone
Morphogenic protein)(utama) dan Wnt(golongan protein signaling) untuk mengaktivasi
diferensiasi sel mesenkim menjadi osteoblast.
Tahap 2
Pada tahap kedua ini sel mesenkim tidak langsung sepenuhnya melakukan diferensiasi, tetapi
lebih dahulu melakukan penumpukkan yang kemudia disertai dengan indurasi daerah
setempat. Yang kemudian diferensiasi dari sel mesenkim yang menjadi kondroblas
mengalami hyperplasia dan tertumpuk di bawahnya .( gambar 1)
Tahap 3
Dengan adanya aktivitas osteoblas akan memicu aktivitas kondroblas tersebut untuk
menghasilkan matriks ekstraseluler.
Dalam keadaan yang tidak seimbang dengan adanya aktivitas inflamasi yang terus
menerus maka aktivitas BMPs dan Wnt protein tidak ada yang menghambat. Akibatnya
osteophyte yang mulanya adalah sebuah tulang rawan akan mengalami osifikasi dan terus
melakukan pertumbuhan, atau bahkan terjadi pertumbuhan di sisi marginal lainya membentuk
beberapa osteophyte .
Gambar 1:
(a)Proliferasi sel mesenkim,(b) hyperplasia kondrosit yang menumpuk di bawah sel mesenkim,(c) dimulainya aktivitas sekresi matriks ektraseluler oleh kondrosit,(d) osteophyte hampir sepenuhnya teremodelling membentuk tulang mature(osifikasi)
1.3 Gejala klinis yang ditimbulkan pada degenerasi TMJ dan tulang rahang
Terjadi ke kakuan sendiKekakuan sendi terjadi setelah tidak di gerakkan beberapa lama. Seperti pada saat
bangun pagi atau setelah beristirahat. Kekakuan disebabkan karena cairan peradangan yang menumpuk di sekitar kapsul sendi.
NyeriAkan timbun rasa nyeri saat sendi digunakan dan menanggung beban, hal ini
disebabkan karena adanya proses menipisnya tulang rawan.
KrepitasiKrepitasi terjadi akibat adanya sendi-sendi yang saling bergesekan.
Gambar 2 : gambaran HPA dari pembentukkan osteophyte.(a) tulang normal,(b)(c)(d) dimulainya aktivitas penumpukkan sel mesenkim,(e) tahap awal penumpukan kondrosit dibawahnya,(f) penumpukan lebih lanjut kondrosit,(g) tahap awal pergantian kondrosit dengan matriks ekstraseluler,(h) proses osifikasi dan pembentukkan osteophyte yang hampir sempurna.
PembengkakanTerdapat pembengkakan sendi karena terjadi peradang yang disertai warna
kemerahan pada kulit dan terasa panas saat diraba.
Tanda-Tanda Peradang
Terdapat tanda-tanda peradangan seperti nyeri, gangguan gerak, terasa hangat, dan kemerahan.
Rasa sakit disekitar telinga dan wajahRasa sakit yang ada disekitar telinga dan wajah berhubungan dengan adanya
disfungsi pada TMJ karena kekurangan berkurangnya cairan synovial.
Kesulitan menggunakan persendianKesulitan menggunakan persendian disebabkan karena adanya kekakuan sendi
yang kemudian menyebabkan rahang terkunci sehingga akan mengalami kesulitan saat membuka mulut.
Clicking Clicking yang timbul pada proses degenerasi TMJ ini disebabkan karena adanya
disfungsi pada TMJ
Gigi-gigi yang tidak mengalami perlekatan yang samaPada degenerasi TMJ ditemukan adanya gigi-gigi yang tidak mengalami
perlekatan yang sama, hal ini disebabkan adanya sebagian gigi yang mengalami kontak prematur.
Penurunan densitas tulang rahang
1.4 Pemeriksaan klinis terhadap degenerasi TMJ dan tulang rahang
Pemeriksan Klinis Degenerasi Sendi dan Tulang Rahang
Degenerasi sendi dan tulang rahang disebut juga osteoarthritis yang dapat dibedakan menjadi dua yakni OA primer dan sekunder. Dalam Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment Tenth Edition dijabarkan bahwa OA primer merupakan penyakit yang tidak diketahui penyebabnya namun genetic memiliki peranan yang penting dalam etiologi penyakit ini. Umumnya penyakit ini asimptomatik dan banyak di jumpai pada penderita berusia 50 tahun
keatas. OA sekunder dapat timbul sebagai akibat dari trauma, dysplasia congenital atau penyakit metabolic.
Untuk mendukung diagnose penyakit ini dapat dilakukan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan dengan radiograf dan HPA. Untuk pemeriksaan klinis, dapat dilakukan pemeriksaan secara ekstra dan intra oral.
Pemeriksaan secara ekstra oral dapat dilakukan dengan cara melakukan palpasi pada daerah sekitar TMJ (depan tragus). Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kelainan yang terlihat secara visual maupun yang terdeteksi dengan palpasi.
Pemeriksaan regio TMJ dapat dilakukan dengan melakukan inspeksi (melihatsecara visual), palpasi daerah 1 cm didepan tragus untuk mengetahui sinkronasi pergerakan kedua TMJ ketika menutup dan membuka, serta auskultasi menggunakan alat bantu stetoskop untuk mendengar apakah ada bunyi abnormal ketika melakukan pergerakan sendi. Untuk mengetahui adanya peradangan dapat pula dilakukan palpasi disekitar kelenjar limfe. Adanya inflamasi ditunjukkan dengan adanya rasa nyeri dan fluktuasi kelenjar limfe.
Pemeriksaan intraoral dilakukan untuk mengamati factor predisposisi OA seperti adanya kehilangan gigi dan polaoklusi. Kehilangan gigi terutama gigi posterior dapat menyebabkan oklusi tidak harmonis karena hilangnya kontak antar gigi sehingga dapat menyebabkan gigi lainnya mengalami migrasi, rotasi bahkan ekstrusi. Hal inimemicuturunnya dimensi vertical. Pada kondisi ini terjadi dislokasi diskuske anterior ketika membuka mulut. Ketika condyle bergerak ke depan mendorong diskuske anterior maka akan terjadi lipatan diskus yang pada kondisi tertentu diskus tersebut tidak dapat kembali keposisi normal sehingga condyle akanmelompati lipatan tersebut yang menyebabkan timbulnya bunyi klik (Peter dan Gross, 1995; Alkoury, 2006).
Pemeriksaan Klinis
Oklusi
Pemerikaan gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan khususnya factor oklusi.
Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa yaitu misalnya gigitan silang (crossbite),
gigitan dalam (deep overbite), gigi supraerupsi dan daerah tak bergigi yang tidak direstorasi.
Pemeriksaan antar insisal
Pembukaan antar insisal bervariasi lebarnya, tetapi biasanya pada orang dewasa sekitar 40
hingga 50 mm. Spasme otot juga menyebabkan keterbatasan pembukaan antarinsisal yang nyata,
yang berkisar dari fiksasi total yakni penutupan mandibula dengan paksaan hingga pengurangan
10-30 persen. Spasme otot juga menyebabkan rasa sakit pada akhir pergerakan mandibula.
Pergerakan lain
Pergerakan lateral juga diukur, biasanya pada titik atau garis tengah, dan dibandingkan
kesimetrisannya. Gangguan internal, misalnya dislokasi discus, akan membatasi pergerakan ke
sisi yang berlawanan.
Deviasi
Deviasi mandibula baik pada saat membuka mulut atau protrusi akan terlihat jelas dan
seringkali berhubungan dengan gangguan fungsi pasca-trauma atau gangguan kronis atau akut.
Osteoarthritis akan menyebabkan deviasi ke arah sisi yang terkena pada saat membuka mulut.
Palpasi
Palpasi dilakukan perkutan maupun peroral dan melibatkan jaringan lunak dan keras. Pada
bagian fasial, mandibula dapat dipalpasi pada tepi posterior dan tepi bawah, dari symphisis
hingga processus condylaris.
Auskultasi
Auskultasi stetoskop pada sendi memungkinkan penentuan sifat dan waktu timbulnya bunyi
abnormal secara lebih tepat. Penentuan kliking dan besar pembukaan insisal dipermudah dengan
auskultasi.
Pemeriksaan Radiografi
Pemeriksaan radiografi dari sendi temporomadibula memerlukan pengetahuan tentang anatomi dan fungsi pada keadaan normal dan patologi. Biasanya sebagian besar pasien dengan kelainan sendi temporomandibula juga memiliki kelainan intra-artikular karea susunan internal yang tidak tepat dan degenerasi artritis. Pada pasien yang lain, faktor ektra-artikular mungkin juga ikut berperan. Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan radiografi untul menentukan adanya kelainan intra-artikular selain itu kita harus mempertimbangkan juga penyebab ektra-artikulardari disfungsi.
Teknik Radiografi
Teknik radiografi konvensional merupakan metode untuk mengevaluasi komponen-komponen tulang sendi. Sedangkan teknik radiografi modern menjadi metode yang yang tepat untuk mengevaluasi tulang dan anatomi meniskus dari sendi temporo mandibula
Radiografi Konvensional
Pada keadaan klinis, proyeksi transkranial dan transparingeal merupakan proyeksi yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi sendi TMJ. Teknik lain seperti submento vertek (SVM) atau towne juga digunakan pada keadaan tertentu.
Pilihan Proyeksi untuk Pemeriksaan Radiograd dari Condyle
Condyle ProyeksiPermukaan superior Transkranial, Transparingeal, TownePermukaan depan dan belakang Transkranial, SVMKutup lateral dan medial Towne, SVMRuang sendi, glenoid fosa TranskranialRentang pergerakan transkranial Transkranial
Proyeksi Transkranial
Radiografi transkranial sulit digunakan pada beberapa pasien karena variasi hubungan condyle terhadap tulang dasar kepala. Seri proyeksi transkranial terdiri dari beberapa gambar tiap condyle dalam posisi mulut tertutup (pusat oklusi) dan mulut terbuka lebar. Bila merupakan indikasi, gambar pada derajat intermediate dari posisi mulut terbuka juga dapat dibuat. Dengan teknik ini bentuk condyle, ukuran, derajat gerak meluncur, dan hubungannya terhadap tulang temporal dapa diketahui. Proyeksi ini merupakan radiograf tunggal, konvensional yang paling bermanfaat karena dapat menunjukkan condyle, ruang sendi, eminence, fossa glenoid, dan rentang pergerakan dengan lebih baik daripada proyeksi transfaringeal yang hanya menunjukkan condyle dan eminence.
Proyeksi Transfaringeal
Gerak membuka rahang memungkinkan sinar x berjalan melalui sigmoid notch, melewati bagian pharynx di belakang dari bidang pterigoid dan ke arah permukaan medial condyle pada sisi yang berlawanan. Proyeksi ini sangat bermanfaat untuk mendeteksi fraktur leher condyle dan perubahan morfologi yang besar dari permukaan condyle. Teknik ini lebih mudah dilakukan dan direproduksi dengan kaset gigi.
Radiograf Panoramik
Proyeksi ini dapat menunjukkan kedua condyle pada satu buah film. Pada proyeksi dengan mulut terbuka overlap berkurang
Tomografi
Tomografi merupakan metode radiograf untuk mengevaluasi komponen tulang dari sendi temporomandibula. Walaupun beberapa teknik tomografi yang berbeda, namun semuanya menggunakan prinsip dasar dari radiografi struktur yang digeser. Walaupun bidang tomografi lebih unggul daripada radiograf konvensional untuk mengevaluasi struktur tulang sendi TMJ, namun gambar ini tidak dapat menunjukkan keadaan jaringan lunak intra dan ekstra-artikular.
Artografi
Artografi merupakan cara satu-satunya untuk menentukan adanya gangguan susunan internal meniskal pada pasien dengan disfungsi sendi TMJ. Artografi bermanfaat untuk membedakan penyebab intra-artikular dan etiologi ekstra-artikular dari disfungsi sendi TMJ terutama bila bidang film normal. Artografi sebaiknya hanya digunakan pada pasien dengan rasa sakit yang berhubungan dengan gejala disfungsi seperti klicking atau locking.
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiografi sangat membantu dalam penegakan diagnosis dari gangguan sendi yang khususnya di akibatkan oleh penyakit degenerasi. Misalnya, penyakit Osteoartrhitis. Namun, dengan perkembangan teknologi pemeriksaan penunjang yang lebih sensitive untuk mendeteksi mulai berkembang. Seperti Magnetic Resonanse – Imaging (MRI) dan Computed Tomografi (CT – scan).
1. Computed Tomografi (CT – scan)
Gambar yang di hasilkan oleh CT-scan adalah hasil rekontruksi computer
terhadap gambar X-ray. Gambaran dari berbagai lapisan secara multiple dilakukan
dengan cara mengukur densitas dari substansi yang dilalui oleh sinar X.
Pada kasus Osteoartrhitis, CT (computed tomography) merupakan pemeriksaan
yang sangat baik untuk menunjukkan tingkat pembentukan osteofit dan hubungannya
dengan jaringan lunak sekitar.
2. Magnetic Resonance-Imaging (MRI)
Resonansi magnetik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1946, dan pada tahun
1970-an dikatakan bahwa resonansi magnetic dapat digunakan untuk membuat gambar.
Keuntungan utama dari MRI dibanding CT dan tehnik radiograf yang lain adalah tidak
adanya radiasi yang diterima, baik oleh pasien ataupun operator.
Gambar resonansi magnetic bergantung pada kepadatan dan pergerakan proton
serta sifat relaksasi jaringan magnetik. Jadi, gambar resonansi magnetic dibentuk
berdasarkan kepadatan proton. Kepadatan proton yang berbeda disebabkan karena
perbedaan kepadatan air dalam tubuh.
Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa MRI memiliki peranan yang besar
pada gambar sendi. MRI dapat menunjukkan edema reaktif tulang atau pembengkakan
jaringan lunak serta tulang rawan kecil atau fragmen tulang pada sendi.
A dan B. Potongan axial dan koronal dari hasil CT-scan dari pasien Osteoartrhitis, menunjukan pendataran dari kondilus sebelah kanan dengan penyempitan ruang sendi . Kondil sebelah kiri normal.
Pemeriksaan HPA
• Osteophyte
• Terjadinya kerusakan kartilago hyalin
• Tulang mengalami perubahan bentuk
• Imunology dalam batas normal
• OA disertai peradangan sendi terdapat peningkatan ringan sel radang (soroso,2006)
Osteoartritis merupakan penyakit dimana terjadi perubahan-perubahan degeneratif pada tulang rawan sendi disertai oleh perubahan destruktif dan reaktif pada tulang sekitarnya.
Osteoartritis memiliki ciri-ciri pada gambaran histopatologinya diantara lain :
a. Erosi permukaan sendib. Fragmen kartilago yang terlepas pada sendic. Osteosklerosisd. Perubahan kistik pada tulange. Adanya osteofit
C. Gambar menunjukkan penyempitan sendi anterior dan osteofit di sekitar kepala femoral
f. Infiltrasi sel radang
Di bawah ini gambaran histopatology dari osteoartritis :
A. Kartilago tampak berlapis-lapis (gambar 1)B. Tulang subkondral tampak irreguler dan mengandung rongga kistik (gambar
2)C. Tulang subkondral sklerotik (gambar 3)D. Osteofit terbentuk di sisi lateral sendi (gambar 4)
F
Gambar 1. Kartilago tampak berlapis-lapis
Gambar 2. Tulang subkondral tampak irreguler dan mengandung rongga kistik
Gambar 3. Tulang subkondral sklerotik
Gambar 4. Osteofit terbentuk di sisi lateral sendi