Download - Laporan PBL Kel. 4
LAPORAN PBL
SISTEM UROGENITAL
Tutor: dr. Yusnam Sjarief
Kelompok 4
Ketua : Mahardika (2011730153)
Sekretaris : Lia Dafia (2011730148)
Anggota : Arafani Putri Yaman (2011730123)
Gustiayu Putri Pitoyo (2011730138)
Havara Kausar Akbar (2011730139)
Intan Azzahra (2011730141)
Kusuma Intan (2011730145)
M. Hafidz Ramadhan (2011730150)
Nindya Adeline (2011730156)
Yudha Daud Pratama (2011730168)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN AJARAN 2012-2013
I. Skenario
Seorang pria, 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan produksi kencing
berkurang. Gejala ini disertai muntah-muntah, merasa sangat lemas, dan malaise. Dua
minggu sebelumnya penderita sangat lemas dan sakit seluruh tubuh, terutama lengan
dan kaki, dan penderita minum obat untuk mengurangi rasa sakit tersebut.
II. Kalimat Kunci
1. Pria, 68 tahun.
2. Produksi kencing berkurang.
3. Muntah-muntah, sangat lemas, dan malaise.
4. Dua miggu sebelumnya sangat lemas dan sakit seluruh tubuh, lengan dan kaki.
5. Minum obat untuk mengurangi rasa sakit
III. Pertanyaan
1. Jelaskan mekanisme uropoiesis secara anatomi fisiologis, dan biokimia!
2. Jelaskan klasifikasi produksi urine! (Oliguria, anuria, dan polyuria)
3. Jelaskan produksi urine menurun secara fisiologis dan patologisnya!
4. Jelaskan hubungan jenis kelamin dan usia terhadap produsi urin menurun!
5. Jelaskan bagaimana mekanisme muntah!
6. Jelaskan bagaimana mekanisme malaise!
7. Jelaskan pengaruh minum obat analgetik terhadap produksi urin menurun! Dan
jelaskan dosis, indikasi, kontraindikasi, dan efek samping dari obat tersebut!
8. DD?
i. Gangguan Ginjal Akut
ii. Hiperplasia Prostat
iii. Urolitiasis
iv. Acute Necrosis Tubular
v. Urophaty Obstructif
IV. Jawaban
M. Hafidz Ramadhan (2011730150)
1. Jelaskan mekanisme uropoiesis secara anatomi fisiologis, dan biokimia!
A Mekanisme Pembentukan urin
1. Penyaringan ( Filtrasi )
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan struktur spesifik
dibuat untuk menahan komponen selular dan medium-molekular-protein besar kedalam
vascular system, menekan cairan yang identik dengan plasma di elektrolitnya dan
komposisi air. Cairan ini disebut filtrate glomerular. Tumpukan glomerulus tersusun dari
jaringan kapiler. Di mamalia, arteri renal terkirim dari arteriol afferent dan melanjut
sebagai arteriol eferen yang meninggalkan glomrerulus. Tumpukan glomerulus
dibungkus didalam lapisan sel epithelium yang disebut kapsula bowman. Area antara
glomerulus dan kapsula bowman disebut bowman space dan merupakan bagian yang
mengumpulkan filtrate glomerular, yang menyalurkan ke segmen pertama dari tubulus
proksimal. Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler,
membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel yang
perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate (Guyton.1996).
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan solute
menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam kapiler dan tekanan
oncotik dari cairan di dalam bowman space merupakan kekuatan untuk proses filtrasi.
Normalnya tekanan oncotik di bowman space tidak ada karena molekul protein yang
medium-besar tidak tersaring. Rintangan untuk filtrasi ( filtration barrier ) bersifat selektif
permeable. Normalnya komponen seluler dan protein plasma tetap di dalam darah,
sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring (Guyton.1996).
Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring, sebaliknya molekul
2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan. Bagaimanapun karakteristik juga
mempengaruhi kemampuan dari komponen darah untuk menyebrangi filtrasi. Selain itu
beban listirk (electric charged ) dari setiap molekul juga mempengaruhi filtrasi. Kation
( positive ) lebih mudah tersaring dari pada anion. Bahan-bahan kecil yang dapat terlarut
dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam
lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di
glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan
darah tetapi tidak mengandung protein (Guyton.1996).
2. Penyerapan ( Absorbsi)
Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar dari filtered
solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari tubulus renal tidak sama.
Pada umumnya pada tubulus proksimal bertanggung jawab untuk mereabsorbsi
ultrafiltrate lebih luas dari tubulus yang lain. Paling tidak 60% kandungan yang tersaring
di reabsorbsi sebelum cairan meninggalkan tubulus proksimal. Tubulus proksimal
tersusun dan mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular yang memfasilitasi
pergerakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur : jalur transeluler dan jalur
paraseluler. Jalur transeluler, kandungan ( substance ) dibawa oleh sel dari cairan tubulus
melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial dibagian darah
dari sel, melewati basolateral membrane plasma (Sherwood, 2001).
Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler bergerak dari
cairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan struktur permeable yang
mendempet sel tubulus proksimal satu dan lainnya. Paraselluler transport terjadi dari
difusi pasif. Di tubulus proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi
optimal, Na, K, ATPase pump menekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan
mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan konsentrasi K
di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui canal K membuat sel polar.
Jadi interior sel bersifat negative .
Pergerakan Na melewati sel apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di
membrane. Pergerakan Na melewati transporter ini berpasangan dengan larutan lainnya
dalam satu pimpinan sebagai Na ( contransport ) atau berlawanan pimpinan
( countertransport ) (Sherwood, 2001).
Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini ( secondary
active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat, dan organic anion.
Pengambilan active substansi ini menambah konsentrasi intraseluler dan membuat
substansi melewati membrane plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau difusi
terfasilitasi. Reabsorbsi dari bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi gradient
Na (Sherwood, 2001)
3. Penyerapan Kembali ( Reabsorbsi )
Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat
glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi
penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal. Substansi yang masih
berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan
garam, dan bahan lain pada filtrate dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal
mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar
dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali (Sherwood.2001).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang
komposisinya sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat yang masih
diperlukan tidak akan ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme
yang bersifat racun bertambah, misalnya ureum dari 0,03′, dalam urin primer dapat
mencapai 2% dalam urin sekunder. Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara.
Gula dan asam mino meresap melalui peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa
osmosis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus proksimal dan tubulus distal
(Sherwood.2001).
4. Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus
kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5%
garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi
memberi warna dan bau pada urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat
makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh.
Sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam urat
(Cuningham, 2002). Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa
pembakaran zat makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua
senyawa tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan. Walaupun CO2 berupa
zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai sebagai penjaga kestabilan PH dalam darah.
Demikian juga H2O dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut
(Sherwood.2001).
Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein, merupakan zat yang beracun
bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika
untuk sementara disimpan dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang
kurang beracun, yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu adalah sisa hasil
perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong
empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna memberi warna
pada tinja dan urin. Asam urat merupakan sisa metabolisme yang mengandung nitrogen
(sama dengan amonia) dan mempunyai daya racun lebih rendah dibandingkan amonia,
karena daya larutnya di dalam air rendah (Sherwood.2001).
B. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Urine
Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Urine adalah :
1. Hormon
ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat
mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh
hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan
meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairan ekstrasel ( Frandson,2003 )
Aldosteron
Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di
tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan
konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin rennin ( Frandson, 2003)
Prostaglandin
Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berlungsi
merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan
pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur
sirkulasi ginjal ( Frandson, 2003)
Gukokortikoid
Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang
menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium ( Frandson,
2003)
Renin
Selain itu ginjal menghasilkan Renin; yang dihasilkan oleh sel-sel apparatus
jukstaglomerularis pada :
a. Konstriksi arteria renalis ( iskemia ginjal )
b. Terdapat perdarahan ( iskemia ginjal )
c. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra )
d. Innervasi ginjal dihilangkan
e. Transplantasi ginjal ( iskemia ginjal )
Sel aparatus juxtaglomerularis merupakan regangan yang apabila regangannya turun
akan mengeluarkan renin. Renin mengakibatkan hipertensi ginjal, sebab renin
mengakibatkan aktifnya angiotensinogen menjadi angiotensin I, yg oleh enzim lain
diubah menjadi angiotensin II; dan ini efeknya menaikkan tekanan darah (sherwood,
2001).
2. Zat - zat diuretik
Banyak terdapat pada kopi, teh, alkohol. Akibatnya jika banyak mengkonsumsi zat
diuretik ini maka akan menghambat proses reabsorpsi, sehingga volume urin bertambah.
3. Suhu internal atau eksternal
Jika suhu naik di atas normal, maka kecepatan respirasi meningkat dan mengurangi
volume urin.
4. Konsentrasi Darah
Jika kita tidak minum air seharian, maka konsentrasi air dalam darah rendah.Reabsorpsi
air di ginjal mengingkat, volume urin menurun.
5. Emosi
Emosi tertentu dapat merangsang peningkatan dan penurunan volume urin.
C. Mekanisme Miksturisi
Mekanisme proses Miksi ( Mikturisi ) Miksi ( proses berkemih ) ialah proses dimana
kandung kencing akan mengosongkan dirinya waktu sudah penuh dengan urine. Mikturisi
ialah proses pengeluaran urine sebagai gerak refleks yang dapat dikendalikan
(dirangsang/dihambat) oleh sistim persarafan dimana gerakannya dilakukan oleh kontraksi
otot perut yg menambah tekanan intra abdominalis, dan organ organ lain yang menekan
kandung kencing sehigga membantu mengosongkan urine.
Pada dasarnya, proses miksi/mikturisi merupakan suatu refleks spinal yg dikendalikan oleh
suatu pusat di otak dan korteks cerebri. Proses miksturisi dapat digambarkan dalam skema di
bwah ini :
Pertambahan vol urine → tek intra vesicalis ↑ → keregangan dinding vesicalis (m.detrusor)
→ sinyal-sinyal miksi ke pusat saraf lebih tinggi (pusat kencing) → untuk diteruskan
kembali ke saraf saraf spinal → timbul refleks spinal → melalui n. Pelvicus → timbul
perasaan tegang pada vesica urinaria shg akibatnya menimbulkan permulaan perasaan ingin
berkemih.
Kandungan Urin Normal
Urin mengandung sekitar 95% air. Komposisi lain dalam urin normal adalah bagian padaat
yang terkandung didalam air. Ini dapat dibedakan beradasarkan ukuran ataupun
kelektrolitanya, diantaranya adalah :
Molekul Organik : Memiliki sifat non elektrolit dimana memiliki ukaran yang reativ besar,
didalam urin terkandung : Urea CON2H4 atau (NH2)2CO, Kreatin, Asam Urat C5H4N4O3,
Dan subtansi lainya seperti hormon (Guyton, 1996)
Ion : Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl-), Magnesium (Mg2+, Calcium (Ca2+).
Dalam Jumlah Kecil : Ammonium (NH4+), Sulphates (SO42-), Phosphates (H2PO4-,
HPO42-, PO43-), (Guyton, 1996)
Warna : Normal urine berwarna kekuning-kuningan. Obat-obatan dapat mengubah warna
urine seperti orange gelap. Warna urine merah, kuning, coklat merupakan indikasi adanya
penyakit ( Anonim, 2008 ).
Bau : Normal urine berbau aromatik yang memusingkan. Bau yang merupakan indikasi
adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu.
Berat jenis : Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan dengan suatu
volume yang sama dari yang lain seperti air yang disuling sebagai standar.
Kejernihan : Normal urine terang dan transparan. Urine dapat menjadi keruh karena ada
mukus atau pus.
pH : Normal pH urine sedikit asam (4,5 - 7,5). Urine yang telah melewati temperatur ruangan
untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri. Vegetarian urinennya
sedikit alkali.
Mahardika (2011730153)
2. Jelaskan klasifikasi produksi urine! (Oliguria, anuria, dan polyuria)
3. Jelaskan produksi urine menurun secara fisiologis dan patologisnya!
FISIOLOGI PEMBENTUKAN URIN
Fungsi Ginjal
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal sebagian besar ditunjukan untuk mempertahankan
kestabilan lingkungan cairan internal ,yaitu :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES,termasuk
Na+,Cl-,K+,HCO3-,Ca++,Mg++,So4--,Po4-- dan H+.
3. Memelihara Volume plasma yang sesuai(sebagai pengatur keseimbangan garam dan
H2O.
4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
5. Memelihara Osmolaritas (Konsentrasi asam basa tubuh dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin.
6. Mengeksresikan(eliminasi) produk-produk sisa dari metabolisme tubuh misalnya urea ,
asam urat dan Kreatinin
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing.
8. Mengeksresikan eritpodetin
9. Mengeksresikan renin
10. Mengubah Vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
Pembentukan Urin
Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin ,yaitu:
Filtrasi Glomerulus : Pada saat darah mengalir melalui Glomerulus ,terjadi filtrasi plasma bebas
protein menembus kapiler glomerulus ke dalam Kapsula Bowman.Cairan yang difiltrasi dari
glomerulus ke dalam kapsul Bowman harus melewati 3 lapisan yang Membran
Glomerulus ,yaitu:dinding kapiler glomerulus,lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai
membran basal dan lapisan dalam kapsul bowman secara kolektif.Ketiga lapisan ini berfungsi
sebagai saringan molekul halus yang menahan sel darah merah dan protein plasma tetapi
melewatkan H2O dan zat terlarut lain yang ukuran molekulernya cukup kecil.
Reabsorpsi Tubulus : Pada saat filtrat mengalir melalui tubulus , zat-zat yang bermanfaat bagi
tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Zat-zat reabsorbsi tidak keluar dari tubuh
melalui urin tapi diangkut oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung
untuk kembali diedarkan.Untuk dapat di reabsorpsi , suatu bahan harus melewati 5 langkah yang
disebut Transportasi Transepitel ,berikut ini langkahnya: Pertama bahan tersebut harus
meninggalkan cairan tubulus dengan melintasi membran luminal sel tubulus,selanjutnya bahan
tersebut harus berjalan menyeberangi membran basolateral Sel tubulus untuk masuk ke cairan
interstisium.Lalu Bahan tersebut harus menyebrangi membran basolateral sel tubulus untuk
masuk ke cairan interstisium.Selanjutnya,bahan tersebut harus berdifusi melintasi cairan
interstisium dan terakhir bahan tersebut harus menembus dinding kapiler untuk masuk ke dalam
plasma darah.
2 Jenis reabsorpsi tubulus:
Reabsorpsi pasif : Semua langkah dalam transportasi transepitel suatuu bahan dari lumen
tubulus ke plasma bersifat pasif(tidak ada penggunaan energi untuk memindahkan secara
netto bahan tersebut tapi terjadi karena mengikuti penurunan gradien elektrokimia atau
osmotik
Reabsorpsi aktif : Bila salah satu dari rangkaian tersebut memerlukan energi , walaupun
keempat lainnya pasif.Perpindahan netto suatu bahan dari lumen ke plasma berlangsung
melawan gradien elektrokimia yang diabsorpsi merupakan bahan yang penting bagi
tubuh.Misalnya glukosa,asam amino dan nutrien organik lain.
Sekresi Tubulus
Mekanisme yang dapat lebih cepat mengeleminasi zat-zat terterntu dari plasma dengan
mengeksresikan lebih banyak zat yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan
menambahkan zat yang sama ke jumlah yang sudah ada di dalam tubulus akibat filtrasi
Bahan yang paling penting disekresikan oleh tubulus adalah ion Hidrogen,ion kalium
serta anion dan kation organik yan banyak diantaranya adalah senyawa yang asing bagi
tubuh
Ekskresi Urin
Eleminasi zat-zat dari tubuh di urin
Semua konstituen plasma yang mencapai tubulus yaitu yang difitrasi atau
disekresikan ,tapi tidak direabsorpsi akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke
pelvis ginjal untuk dieksresikan sebagai urin
Aspek Biokimia Peran Ginjal
Fungsi Regulasi Ginjal
1. Ginjal mengatur dan konsentrasi sebagian besar elektrolit CES,termasuk elektrolit yang
penting untuk mengatur ekstrabilitas neuromuskulus
2. Berperan mempertahankan PH yang sesuai dengan mengeleminasi kelebihan (H+)asam
atau HCO3- (basa) dalam urin
3. Membantu mempertahankan volume plasma yang sesuai,yang penting untuk pengaturan
jangka panjang tekanan darah arteri dengan mengontrol keseimbangan garam dalam
tubuh
4. Ginjal mempertahankan keseimbangan air dalam tubuh,yang penting untuk
mempertahankan osmolaritas CES yang sesuai
KLASIFIKASI PRODUKSI URIN
OLIGURIA
Oliguria mengacu pada volume air kemih yang tidak memadai untuk mempertahankan hidup,
yaitu biasanya kurang dari 400mL/hari pada orang dewasa berukuran rata-rata. Volume urin
sehari-hari sulit diukur jika kecepatan aliranya rendah, karena kesalahan absolut kecil dalam
mengukur volume dalam kisaran 50-100mL/hari urin, atau waktu pengumpulan dapat
memberikan kesalahan presentase yang besar. Oliguria merupakan salah satu tanda klinik dari
gagal ginjal. Mula timbul oliguria sering akut, sering merupakan tanda pertama dari kemunduran
fungsi ginjal, dan merupakan tantangan diagnostik dan manajemen bagi dokter. Pada sebagian
besar situasi klinik, oliguria akut bersifat reversibel dan tidak mengakibatkan gagal ginjal.
ANURIA
Anuria adalah tidak adanya aliran kenih, biasanya disebabkan oleh obstruksi saluran kemih, yang
harus disingkirkan sebagai penghentian pertama ataupun akibat oklusi total arteria dan vena
renalis. Penyakit ginjal yang berat seperti nekrosis korteks dan glomerulusnefritis progresif cepat
sangat jarang menyebabkan anuria pada orang dewasa, sehingga anuria seharusnya tidak pernah
dikaitkan dengan suatu penyakit ginjal primer sebelum patensi saluran kenih pembuluh darah
ginjal utama dipastikan.
POLIURIA
Poliruia secara definisi yang masuk akal adalah volume air kemih yang melebihi 3 L/hari dengan
pengetahuan bahwa individu yang normal yang meminum asupan cairan yang jumlah besar
mampu membentuk volume air kemih yang besar pula. Pasien tidak selalu dapat membedakan
polyuria dari frekuensi, yaitu gejala sering berkemih dalam volume kecil. Karena volume air
kemih tidak jelas dari anamnesis, maka poliuria perlu dipastikan dengan pengumpulan air kemih
24 jam sebelum menyelidiki penyebabnya.
Sebab-sebab polyuria dapat disebabkan oleh sekresi vasopresin yang tidak memadai , kegagalan
tubulus ginjal bereaksi terhadap vasopresin, diuresis solute, atau natriuriesis. Juga dapat terjadi
sebagai respons fisiologik bila minum yang terlalu banyak.
NOKTURIA
Nokturia adalah berkemih lebih dari satu kali pada malam hari, di antara episode tidur. Pasien
akan merasa tidak nyaman jika semalaman harus bangun untuk miksi lebih dari satu kali. Seperti
polakisuria, pada nokturia mungkin disebabkan karena produksi urin meningkat ataupun karena
kapasitas buli-buli yang menurun. Orang yang mengkonsumsi banyak air sebelum tidur apalagi
mengandung alcohol dan kopi menyebabkan produksi urine meningkat. Pada malam hari,
produksi urine meningkat pada pasien gagal jantung kongestif dan udem perifer karena berada
pada posisi supinasi. Demikian halnya pada pasien usia tua tidak jarang terjadi peningkatan
produksi urine pada malam hari karena kegagalan ginjal melakukan konsentrasi (pemekatan)
urine.
DISURIA
Dysuria adalah nyeri saat miksi dan terutama disebabkan karena inflamasi pada buli-buli atau
ureta. Seringkali nyeri ini dirasakan paling sakit disekitar meatus uretra eksternus. Dysuria yang
terjadi pada awal miksi biasanya berasal dari kelainan pada uretra, dan jika terjadi pada akhir
miksi adalah kelainan buli-buli. Perasaan miksi sangat nyeri dan disertai dengan hematuria
disebut sebagai stranguria.
Lia Dafia (2011730148)
4. Jelaskan hubungan jenis kelamin dan usia terhadap produsi urin menurun!
Volume urin yang dikeluarkan sangat berpengaruh dengan usia, karena disetiap tingkatan usia,
volume urin yang dihasilkan berbeda-beda. Volume urine menentukan beberapa jumlah urine
yang di keluarkan dalam waktu 24 jam. Berdasarkan usia, volume urine normal dapat di tetukan
sebagai berikut:
Usia 1-2 hari : 15-60 ml/hari
Usia 3-10 hari : 100-300 ml/hari
Usia 10-12 bulan : 250-400 ml/hari
Usia 1-3 tahun : 500-600 ml/hari
Usia 3-5 tahun : 600-700 ml/hari
Usia 5-8 tahun : 700-1000 ml/hari
Usia 8-14 tahun : 800-1400 mll/hari
Usia 14 tahun – dewasa : 1500 ml/hari
Dewasa tua : <1500 ml/hari
Sedangkan hubungan jenis kelamin dengan produksi urin, wanita lebih sering pergi ke toilet
daripada pria. Hal ini berkaitan dengan volume kandung kemih, yang lebih besar pada pria
dibandingkan pada wanita. Pria memakan waktu lebih lama untuk memenuhi kandung kemihnya
sehingga mereka lebih jarang buang air kecil. Dan dalam sebab lain, produksi urin antara pria
dan wanita berbeda ketika wanita sedang megalami menstruasi dan dalam keadaan hamil. Pada
wanita, Hormon dalam tubuh berubah terus sepanjang bulan. Tepat sebelum menstruasi biasanya
kelembaban wanita meningkat. Dalam beberapa hari menstruasi, kelembaban ekstra itu
meninggalkan tubuh sehingga meningkatkan frekuensi buang air kecil. Sedangkan dalam kondisi
hamil, pada minggu-minggu awal kehamilan rahim mengalami perkembangan sehingga
menekan kandung kemih, menyebabkan sering buang air kecil.
Intan Azzahra (2011730141)
5. Jelaskan bagaimana mekanisme muntah!
6. Jelaskan bagaimana mekanisme malaise!
Muntah didefinisikan sebagai suatu reflek yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi
lambung atau usus atau keduanya ke mulut. Pusat muntah menerima masukan dari korteks
serbral, organ vestibular, daerah pemacu kemoreseptor (chemoreceptor trigger zone, CTZ), dan
serabut aferen. Muntah terjadi akibat rangsangan pada pusat muntah yang terletak di daerah
postrema medulla oblongata. Muntah dapat dirangsang melalui jalur saraf aferen oleh
rangsangan nervus vagus dan simpatis atau oleh rangsangan emetik yang menimbulkan muntah
dengan aktivasi CTZ. Jalur eferen menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya gerakan
ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal, dan pernapasan yang terkordinasi dengan epifenomena
emetic yang menyertai.
Sinyal sensoris yang mencentuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus,
lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian di transmisikan oleh serabut saraf
aferen vagal maupun oleh saraf simpatis ke bagian nucleus yang tersebar di batang otak yang
semuanya bersama sama disebut ”pusat muntah”. Dari sini, impuls-impuls motorik yang
menyebabkan muntah melalui jalur saraf kranialis V, VII, IX,X, dan XII ke traktus
gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah, dan
melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.
Hubungan Muntah dengan oliguria
Gangguan ginjal menyebabkan ekskresi senyawa-senyawa yang tidak berguna terganggu,
sehingga zat-zat yang seharusnya dibuang di simpan dalam darah, jika terus menrus akan
menumpuk di darah kemudian menyebabkan azotemia di mana terjadi peningkatan kadar
kreatinin dan nitrogen urea darah. Kondisi ini dapat disebabkan oleh filtrasi darah pada ginjal
yang kurang memadai. Kemudian kondisi azotemia tersebut merangsang kemoreseptor trigger
zone yang akan merangsang vomiting center atau pusat muntah untuk mengeluarkan isi dalam
lambung atau usus.
Hubungan lemas malaise dengan oliguria
Gangguan pada ginjal menyebabkan produksi urin menurun, yang mengakibatkan
terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kemudian terjadi hipoosmolaritas di
mana terjadi kelebihan cairan dan menyebabkan penurunan cairan ekstraselular dalam jumlah
signifikan. Cairan bergerak dari ekstraseluler ke intraselular, Natrium yang berada di dalam
cairan ekstraselular ikut masuk ke intraselular. Dalam kondisi normal Natrium lebih banyak
terdapat di ekstraseluler. Kompensasi tubuh untuk mengembalikan Natrium ke intraseluler
membutuhkan energi cukup besar yang menyebabkan pasien lelah dan malaise.
Havara Kausar Akbar (2011730
7. Jelaskan pengaruh minum obat analgetik terhadap produksi urin menurun! Dan jelaskan
dosis, indikasi, kontraindikasi, dan efek samping dari obat tersebut!
Analgesik – Antipiretik – Anti-inflamasi
Analgesik adalah golongan obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri seperti nyeri
kepala, nyeri gigi, nyeri sendi, dan lain-lain. Contoh obat analgesik misalnya aspirin,
parasetamol, antalgin, dan lain-lain. Ada juga analgesik potent yang biasanya termasuk golongan
opium seperti morfin, pethidin, fentanil, dan lain-lain (Lubis., 1993).
Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu
kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun
demikian obat-obat ini ternyata memeliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping. Protip obat gologan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga
sebagai obat mirip aspirin Sifat dasar obat antiinflamasi non-steroid. Golongan obat ini
menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadfi PGG2
terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus
parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid
seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan
oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek antiinflamasi parasetamol praktis tidak ada.
Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur
dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi
obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat dengan bahan-bahan lain tersebut
termasuk obat tradisional dansenyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika
duaatau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakanbersama-sama. Interaksi
obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek.
Di dalam tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di
keluarkan lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat diberikan
secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat juga dapat berinteraksi
dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan obat.
Penggolongan Analgetika
Atas kerja farmakologisnya, analgesic dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu:
A. Analgetik Perifer (non narkotik)
Terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Obat- obat
inidinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak
menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetika perifer juga memiliki
kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga
analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di
hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya
pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat.
Penggolongan analgetika perifer secara kimiawi adalah sebagai berikut:
1. Salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, dan benirilat
2. Derivat-derivat p-aminofenol:fenasetin dan parasetamol
3. Derivat-derivat pirozolon:antipirin,aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-
turunannya
4. Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat.
Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah gangguan-gangguan lambung-usus,
kerusakan darah, kerusakan hati, dan ginjal dan juga reaksi-reaksi alergi kulit. Efek-efek
samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau pada dosis besar, maka sebaiknya
janganlah menggunakan analgetika ini secara terus-menerus.
B. Analgetik Narkotik
Khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti fraktur dan kanker. Nyeri pada
kanker umumnya diobati menurut suatu skema bertingkat empat, yaitu : obat perifer (non
Opioid) peroral atau rectal; parasetamol, asetosal, obat perifer bersama kodein atau tramadol,
obat sentral (Opioid) peroral atau rectal, obat Opioid parenteral. Guna memperkuat analgetik
dapat dikombinasikan dengan co-analgetikum, seperti psikofarmaka (amitriptilin, levopromazin
atau prednisone).
Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang
terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan
menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman (euforia). Dapat mengakibatkan toleransi dan
kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-
gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan
selektivitas yang berbeda. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan
COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik.
Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di
berbagai jaringan khususnya ginjal, salurancerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi
COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga
diinduksi berbagai stimulusinflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan
(growth factors).
Ternyata COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskulardan
pada proses perbaikan jaringan. Aspirin 166 kali lebih kuat menghambat COX-1 dari pada COX-
2. Penghambat COX-2 dikembangkan dalam mencari penghambat COX untuk pengobatan
inflamasi dan nyeri yang kurang menyebabkan toksisitas saluran cerna dan pendarahan. Khusus
parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi pada lingkungan yang rendah kadar peroksid
yaitu di hipotalamus.
Parasetamol diduga menghambat isoenzim COX-3,suatu variant dari COX-1. COX-3 ini hanya
terdapat di otak. Aspirin sendirimenghambat dengan mengasetilasi gugus aktiv serin dari COX-
1, trombosit sangat rentan terhadap enzim karena trombosit tidak mampu mensintesis enzim
baru. Dosis tunggal aspirin 40 mg sehari cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit
manusia selama masa hidup trombosit, yaitu 8-11 hari. Ini berarti bahwa pembentukan trombosit
kira-kira 10% sehari. Untuk fungsi pembekuan darah aktivitas siklooksigenase mencukupi
sehingga pembekuan darah tetap dapat berlangsung. Semua obat mirip-aspirin bersifat
antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut,
misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat
antiinflamasinya lemah sekali. Sebagai antipiretik, obat mirip-aspirin akan menurunkan suhu
badan dalam keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek
antipiretik ,tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena sifat toksik bila digunakan secara
rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis bahwa COX yang ada di sentral otak
terutamaCOX-3 dimana hanya parasetamol dan beberapa obat AINS lainnya dapat menghambat.
Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik atas alasan
tersebut menghambat enzim siklooksigenase (COX 2), dapat memproduksi leukotrien, sehingga
produksi prostaglandin turun, jumlah prostaglandin turun sehingga set point mengatur suhu
tubuh. Obat: paracetamol, peroksikam, fenilbutazon, diklofenak, ibuprofen(neoremasil),
metamizol (antalgin), asetosal (aspirin), indometasin, dan naproxen.
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin
mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh
karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1).
struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan
sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1
inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif
COX-2 inhibiotr. Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis
prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX.
Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di
plasma berkurang setelah pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/-
2.86 ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74
+/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian
diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam
pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan sinovium dapat turun
menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu menurunkan kadar prostaglandin
di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002). Dari berbagai uji klinik pada penderita
osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif
menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen
dkk, 1999). Hasil temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk,
1999) serta diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri
celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini menemukan
bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi pada penderita
rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1
makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya dengan sediaan yang makin
lebih selektif menghambat COX-2. Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan
menunjukkan efek mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan
tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik
yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah
daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling
effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin
meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak
dianjurkan.
Ada 3 jenis obat golongan NSAID:
1. COX-1 selective inhibitor. Yaitu obat golongan NSAID yang cenderung menghambat
aktivitas COX-1, contohnya asam mefenamat. Pernah denger asam mefenamat kan? itu
lho yang biasanya digunakan untuk menghilangkan nyeri di persendian karena terkilir.
2. COX-2 selective inhibitor. Golongan obat NSAID yang punya kecenderungan
menghambat aktivitas COX-2, contohnya celecoxib, kalo di apotik biasanya namanya
celebrex.
3. Non-selective COX inhibitor. Obat NSAID golongan ini menghambat aktivitas COX-1
dan COX-2, contohnya aspirin dan parasetamol
Gangguan ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan
rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan
COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan
menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita.
Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan
hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin
nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg)
(Whelton,2001).
8. DD?
Kusuma Intan (2011730145)
i. Gangguan Ginjal Akut
GANGGUAN GINJAL AKUT
Definisi dan Klasifikasi
Secara konseptual gangguan ginjal akut adalah suatu sindrom yang reversible dan
memiliki banyak etiologi dengan karakteristik peningkatan konsentrasi kreatinin dan sampah
nitrogen didalam darah dan ketidakmampuan ginjal untuk meregulasi homeostasis cairan dan
elektrolit.
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (gangguan
ginjal akut “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu, hal di atas
disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi operasional yang seragam, sehingga
parameter dan batas parameter gagal ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai
kepustakaan. Hal itu menyebabkan permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil
penelitian untuk kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat
diagnosis dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien.
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan
para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF (Acute
Renal Failure) menjadi AKI (Acute Kidney Injury). Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah
failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria
yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain :
1. kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit;
2. sedikit saja perbedaan kadar kreatinin serum ternyata mempengaruhi prognosis penderita;
3. kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu penurunan
produksi urin yang seringkali mendahului peningkatan serum kreatinin;
4. penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar serum kreatinin, produksi urin dan laju
filtrasi glomerulus mengingat belum adanya penanda biologis (biomarker) penurunan
fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di mana saja.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi gangguan ginjal akut dengan kriteria RIFLE yang
terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar serum kreatinin dan kriteria produksi urin)
yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggambarkan
prognosis gangguan ginjal.
Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Ginjal akut berdasarkan kriteria RIFLE, ADQI revisi 2007
Epidemiologi
Angka kejadian gangguan ginjal akut akut pada anak secara pasti tidak diketahui. Namun
pada penelitihan akhir-akhir ini di negara maju diperoleh gangguan ginjal akut pada anak yang
dirawat di rumah sakit banyak disebabkan tindakan pembedahan jantung dan terapi stem cell.
Pada keadaan ini gangguan ginjal akut akibat multi faktor, namun faktor terpenting adalah akibat
hipoksia/iskemia serta akibat bahan nefrotoksik. Gangguan ginjal akut akibat faktor pre-renal,
bagian interinsik ginjal masih normal. Fungsi ginjal akan kembali normal setelah dilakukan
dilakukan penggantian cairan sehingga perfusi ginjal kembali normal. Sedang pada gangguan
interinsik ginjal misalnya nikrosis tubular akut, fungsi ginjal akan membaik setelah interinsik
ginjal membaik. Penelitian epidemiologi pada anak dengan gangguan ginjal akut belum banyak
dilakukan. Namun demikian, hipoksia/iskemia dan gangguan ginjal akut akibat bahan
nefrotoksik tampaknya merupakan penyebab penting terjadi gangguan ginjal akut pada neonatus,
anak dan remaja.
Dengan klasifikasi RIFLE terbukti dapat mendeteksi gangguan fungsi ginjal paling ringan
sampai keadaan paling berat. Evaluasi penggunaan klasifikasi RIFLE dicetuskan dengan
melakukan penelitian 247 penderita yang dirawat di perawatan intensif (ICU). Penderita dengan
kadar kreatinin awal diatas 1,5 mg/dl, tidak ada satupun yang menjadi gagal ginjal akut. Pada
penelitian ini juga ditemukan bahwa penderita klasifikasi F (failure), mempunyai mortalitas
paling tinggi yaitu 74,5% dibandingkan dengan klasifikasi I (injury) mortalitas 50% sedang pada
klasifikasi R (Risk) mortalitas 38,3%.
Penelitian lebih besar dengan melibatkan 5383 penderita yang dirawat di ICU, penderita
dengan gangguan ginjal akut ditemukan 67% di mana 12% klasifikasi R, 28% klasifikasi F. Dari
kelompok penderita dengan klasifikasi R, 56% progress menjadi klasifikasi I atau F. Penderita
dengan klasifikasi R mortalitas 8,8%, sedangkan klasifikasi I mortalitas 11,4% dan klasifikasi F
mortalitas 26,3%. Penelitian lebih besar dengan melibatkan 20126 penderita juga mendapatkan
hasil lebih kurang sama. Pada penelitian ini juga mendapatkan hubungan linier antara klasifikasi
RIFLE dengan mortalitas penderita. Pada penderita dengan klasifikasi I mempunyai mortalitas
dua kali dari pada R. Sedang penderita dengan klasifikasi F mempunyai mortalitas sepuluh kali
lebih tinggi dari pada penderita yang dirawat tanpa gangguan ginjal akut. Analisis lebih lanjut
didapatkan bahwa penderita dengan klasifikasi R mempunyai odds ratio mortalitas 2,5, odds
ratio klasifikasi I sebesar 5,4 dan odds ratio klasifikasi F sebesar 10,1. Dengan demikian
klasifikasi RIFLE dapat memprediksi prognosis penderita. Penggunaan klasifikasi RIFLE pada
penderita dengan gangguan ginjal akut, dengan intervensi lebih dini, dapat mencegah penderita
mengalami gangguan ginjal dengan klasifikasi lebih berat.
Etiologi
Etiologi gangguan ginjal akut pada anak dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu prerenal,
renal/ intrinsik, dan pascarenal. Pembagian ini berdasarkan lokasi terjadinya kelainan
patofisiologi yang menimbulkan gangguan ginjal akut.
Tabel Etiologi gangguan ginjal akut pada anak
Tipe Etiologi
Prerenal 1. Kehilangan volume cairan tubuh : Dehidrasi,Perdarahan
2. Penurunan volume vaskular efektif:
Sepsis akibat vasodilatasi
Luka bakar, terutama akibat pengumpulan cairan di
ruang ketiga
Sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia
3. Penurunan curah jantung : gagal jantung, kardiomiopati,
pasca bedah jantung
4. Nekrosis tubular akut
5. Hipoksia/iskemik
6. Obat-obatan
Penyakit ginjal
intrinsic
1. Toksin :
Toksin endogen : hemoglobin, mioglobin
Toksin eksogen : Etilen glikol, metanol
2. Nefropati asam urat dan sindrom lisis tumor
3. Nefritis intertisial :Obat-obatan, Idiopatik
4. Glomerulonefritis:
Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)
5. Kelainan vaskuler :
Trombosis arteri renalis
Trombosis vena renalis
Nekrosis kortikal
Hemolytic Uremic Syndrome (HUS)
Hipoplasia/diaplasia dengan/tanpa uropati obstruksi
Idiopatik
Paparan obat-obat nefrotoksik intrauterin
Penyakit
pascarenal
Obstruksi ureter bilateral
Obstruksi uretra
Obstruksi ginjal soliter
Patogenesis
Gangguan Ginjal Akut Prerenal
Jejas iskemi pada ginjal akan berlanjut menjadi kerusakan parenkim ginjal melalui empat
fase yaitu :
Fase awal : Terjadi penurunan perfusi ginjal dan kekurangan adenine mono phosphate
(ATP)
Fase lanjut : terjadi reperfusi, proses inflamasi, iskemi berkepanjangan sehingga jejas
menjadi lebih berat. Pada fase ini mulai terjadi regenerasi tubulus proksimal dan
ascenden yang merupakan unit nefron, namun juga dapat berlanjut menjadi nekrosis dan
apoptosis, Beratnya jejas pada fase ini akan menentukan prognosis.
Fase rumatan : proses inflamasi, jejas pada sel ginjal terus berlangsung. Sehingga akan
terjadi nekrosis dan apoptosis.
Fase final atau penyembuhan : terjadi regenerasi, perbaikan dan proliferasi dari sel yang
mengalami jejas.
Derajat dan luas jejas akan menentukan apakah ginjal akan mengalami perbaikan secara
penuh, berproses menjadi penyakit renal fase akhir, atau menjadi penyakit ginjal kronik.
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya jejas pre-renal yaitu perdarahan, dehidrasi
akibat gangguan gastrointestinal, gangguan adrenal misalnya diabetes insipidus, luka bakar.
Penyakit lain yang dapat meningkatkan ekskresi cairan yaitu nefrotik sindrom, sepsis, sindrom
kebocoran kapiler. Penurunan volume darah efektif pada ginjal juga dapat menyebabkan
gangguan ginjal akut pre-renal misalnya gagal jantung kongestif, tamponade jantung, sindrom
hepato renal. Apapun jenis penurunan volume darah penyebab jejas pre renal, koreksi gangguan
yang mendasari akan mengembalikan fungsi ginjal.
Beberapa parameter dapat dipergunakan untuk membedakan antara jejas pre-renal dengan
gangguan ginjal akut akibat hipoksi/iskemi. Pemeriksaan urin yaitu osmolaritas urin, konsentrasi
sodium urin, fraksi ekskresi urin. Pada gangguan ginjal akut karena faktor pre-renal, tubulus
ginjal akan meningkatkan absorbsi sodium dan air oleh karena terjadi penurunan perfusi ginjal.
Akibatnya akan terjadi peningkatan osmolalitas urin menjadi 400-500 mosmol/L. Ekskresi
sodium dalam urin menurun menjadi lebih kecil dari 10-20 mEq/L dan fraksi ekskresi sodium
lebih kecil dari 1%. Keadaan ini tidak terjadi pada gangguan ginjal akut akibat hipoksi/iskemi
yang disebut juga nefropati vasomotor atau nikrosis tubular akut. Oleh karena pada
hipoksi/iskemi terjadi kerusakan tubulus ginjal.
Pada anak dengan gangguan ginjal akut akibat keadaan hipoksia/iskemia, sindrom
hemolitik–uremik (HUS), glomerulonefritis akut (GNA) pada umumnya mempunyai gejala
oligouri atau anuri. Produksi urin pada keadaan ini kurang dari 500 ml/24 jam untuk anak lebih
besar, sedang pada anak lebih kecil produksi urin lebih kecil 1 ml/kg per jam. Pada penderita
dengan nefritis akut interstisiel, obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida dan nefropati akibat
pemakaian kontras, gangguan ginjal akut terjadi dengan produksi urin normal. Pada penelitian
diperoleh bahwa gangguan ginjal akut non oliguri mempunyai mortalitas lebih kecil dari pada
penderita dengan oliguri.
Gangguan Ginjal Akut renal
Hipoksi/iskemi sebagai penyebab gangguan ginjal akut interinsik telah dijelaskan diatas
dapat merupakan kelanjutan gangguan ginjal akut pre-renal yang berkepanjangan. Pada keadaan
ini tidak hanya terjadi gangguan pada epitel tubulus ginjal tetapi juga terjadi kerusakan pada
vaskuler ginjal dan sel endotel. Kerusakan ini juga sangat penting untuk menentukan apakah
fungsi ginjal akan kembali normal atau berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik. Kerusakan
vaskuler dan endotel ini akan memicu terjadinya proses inflamasi yang akan menyebabkan
kerusakan fungsi organ tidak hanya di ginjal tetapi juga organ diluar ginjal misalnya otak, paru-
paru, jantung, hati, sumsum tulang dan saluran cerna.
Bahan nefrotoksik dapat menyebabkan kerusakan ginjal, tergantung pada jenis bahan
nefrotoksiknya. NSAID, diuretik, ACE-inhibitor akan menurunkan perfusi ginjal.
Aminoglikosida, cephalosporin, amphoterisin B, rifampin, vancomicin, bahan kontras,
myoglobin/hemoglobin akan merusak secara langsung pada epitel tubulus ginjal. Penelitian oleh
Zappitelli mendapatkan bahwa penggunaan aminoglikosida paling sedikit lima hari akan
menyebabkan terjadinya gangguan ginjal akut sebesar 33%. Bahan lain yang diduga dapat
mengganggu fungsi ginjal adalah asiklovir, asam urat. Pada intersisial akut, sindrom tumor lisis
juga terjadi mekanisme yang sama.
Glomerulonefritis/gangguan vaskuler harus menjadi pertimbangan bila gangguan ginjal
akut tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Pemeriksaan sedimen urin antara lain adanya cast
eritrosit, dapat membedakan gangguan di glomerulus atau tubulus ginjal. Pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi adanya gangguan autoimmune misalnya anti neutrophil
cytoplasmic antibody (p-ANCA), C-ANCA, antiglomerular basement membrane antibody,
antinuclear antibody, complement C3 (C3), C4 dan biopsi ginjal kadang diperlukan untuk
mengetahui penyebab dan derajat beratnya gangguan ginjal akut.
Gangguan Ginjal Akut pascarenal
Gangguan obstruksi akut sebagai penyebab gangguan ginjal akut pada anak terutama
akibat kelainan kongenital misalnya sindrom prune belly, obstruksi katup urethra posterior,
prepusium imperforata, neurogenik bladder, batu ginjal dan sumbatan akibat jamur. Tergantung
pada penyebab sumbatan, usaha untuk menghilangkan sumbatan dengan segera sangat penting
menentukan fungsi ginjal.
Pendekatan Diagnosis
Diagnosis gangguan ginjal akut dapat ditegakkan berdasarkan adanya peningkatan
kreatinin serum dan atau peningkatan kadar ureum, dan atau penurunan produksi urin.
Peningkatan ureum dan kreatinin serum bukan hanya disebabkan oleh kerusakan ginjal, tetapi
dapat sebagai respon normal ginjal terhadap deplesi volume intraselular atau penurunan aliran
darah ginjal. Serum kreatinin merupakan gambaran dari laju fltrasi glomerulus.
Dalam perkembangannya, untuk menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
menggunakan kriteria RIFLE menurut Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) dan biomarker
untuk gangguan ginjal akut. Beberapa biomarker (penanda biologis) dapat digunakan untuk
mendeteksi gangguan ginjal akut secara dini, antara lain cystatin C serum, neutrophil gelatinase
associated lipocalin (NGAL), interleukin 18, and kidney injury molecule-1(KIM-1).
Tabel. Biomarker gangguan ginjal akut
Pemeriksaan Klinis
Keluhan dan gejala klinis gangguan ginjal akut pada anak tidak spesifik, dan seringkali
merupakan gejala dari penyakit awalnya, misalnya glomerulonefritis akut. Pendekatan diagnosis
gangguan ginjal akut dapat ditentukan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis
yang baik untuk menentukan penyebab prerenal, renal, atau pascarenal.
Anamnesis yang baik akan sangat membantu mencari penyebab terjadinya gangguan ginjal
akut. Adanya riwayat diare, muntah, trauma atau pascaoperasi menunjukkan ke arah gangguan
ginjal akut prerenal. Sakit tenggorok, 1-2 minggu sebelumnya atau koreng di kulit, hematuria,
sembab periorbita menunjukkan ke arah gangguan ginjal akut renal, yaitu GNA pasca
streptococcus. Adanya riwayat sering panas, ruam kulit, artritis menunjukkan ke arah lupus
eritematosus sistemik atau vaskulitis. Adanya riwayat obstruksi saluran kemih, seperti kurang
lancar, frekuensi, menetes merupakan petunjuk gangguan ginjal akut postrenal.
Tabel. Gejala klinis yang berkaitan dengan nekrosis tubular akut
Gejala klinis Frekuensi
Leukocyturia 82%
Microhematuria 67%
Fever 42%
Eosinophilia 34%
Rash
Oliguria
23%
23%
Tabel. Gejala klinis yang sering didapatkan pada AKI
Gejala pada intravascular
Takikardi
Hipotensi
Akral dingin
Mukosa membrane kering
Cappilary refill time > 2 detik
Gejala Akibat Kelebihan Cairan
Edema
Hipertensi
Irama Gallop
Hepatomegali
Krepitasi
JVP meningkat
Gejala dari Penyakit Penyebab
Anemia (penyakit ginjal kronik)
Purpura (Henoch_Schonlein purpura)
Malar Rash (SLE)
Pembesaran ginjal (Trombosis vena renalis, Hidronefrosis)
Gangguan pertumbuhan
Tender kidney (Pyelonefritis, penolakan transplantasi)
Pembesaran ginjal (Uropati Obstruksi)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut terdiri dari
urinalisis, kimia darah, pemeriksaan radiologis, dan bila perlu dilakukan pemeriksaan biopsi
ginjal.
1. Urinalisis
Pemeriksaan urin sebaiknya dilakukan sebelum pemberian diuretika. Adanya proteinuria
(> 3 g/24 jam), eritrosit, silinder eritrosit,dan silinder granular ditemukan pada glomerulonefritis
atau vaskulitis. Bila tidak ditemukan adanya elemen seluler dan proteinuria maka kemungkinan
gangguan ginjal akut prerenal dan pascarenal.
Untuk membedakan gangguan ginjal akut prerenal dan renal dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium urin, sebagai berikut :
Tabel. Perbedaan pemeriksaan urin antara gangguan ginjal akut prarenal dengan renal14
Urine Prarenal Renal
Warna
Volume
Kuning pekat
Sedikit
Kuning
Sedikit
Protein Negatif Sering positif
Sedimen Normal Torak granular, eritrosit
Berat jenis > 1020 1010 – 1015
Na urin (mmol/l) < 10 > 25
Urea urin (mmol/l) > 250 < 160
Osmolalitas (mmol/l) > 500 200-350
Rasio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1
FENa < 1 > 1
2. Pemeriksaan Radiologis
Ultrasonografi (USG) ginjal merupakan pemeriksaan radiologis yang harus dilakukan
pada anak dengan gangguan ginjal akut yang etiologinya tidak jelas. Tujuan pemeriksaan USG
ginjal adalah untuk menentukan apakah kedua ginjal ada, menentukan ukuran/besar ginjal,
mengevaluasi parenkim ginjal, mengevaluasi adanya obstruksi pada saluran kemih, melihat
aliran darah ginjal. Untuk mengevaluasi aliran darah ginjal dari arteri dan vena renalis,
digunakan pemeriksaan radiologis USG Doppler.
3. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal digunakan apabila hasil evaluasi pemeriksaan yang non-invasif tidak dapat
menegakkan diagnosis etiologinya, atau pada keadaan tertentu yaitu dicurigai kemungkinan
glomerulonefritis progresif cepat atau nefritis interstisial.
Pengobatan
Tatalaksana gangguan ginjal akut secara garis besar terdiri dari terapi konservatif dan
terapi pengganti ginjal. Terapi konservatif dilakukan sesuai keadaan penderita. Pada gangguan
ginjal akut karena faktor interinsik pemberian diuretik, norepineprin, fenoldopam diduga
mempunyai efek untuk meningkatkan produksi urin. Pemberian dopamin masih kontroversi.
Pemberian nutrisi adekuat diperlukan walaupun keadaan ini tidak mudah karena biasanya
penderita gangguan ginjal akut disertai oliguri. Pada gangguan ginjal akut pre-renal penggantian
cairan untuk mengembalikan volume intra vaskuler sangat penting. Terapi pengganti ginjal perlu
dipertimbangkan terutama penderita disertai overload cairan. Hasil jangka panjang tergantung
keadaan penderita. Bila penderita dalam keadaan sehat sebelum menderita gangguan ginjal akut,
pada umumnya morbiditas dan mortalitasnya rendah. Sedang penderita gangguan ginjal akut
yang sebelumnya mengalami hiperfiltrasi, hipertensi dan mikroalbumin urin mempunyai
prognosis yang kurang baik. Pengobatan gangguan ginjal akut pada anak meliputi pengobatan
konservatif dan renal replacement therapy (RRT) atau terapi pengganti ginjal.
1. Pengobatan Konservatif
Pengobatan konservatif gangguan ginjal akut pada anak, antara lain pengaturan
keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, stabilisasi tekanan darah, penanganan anemia,
pemberian nutrisi yang adekuat, pengaturan pemberian dosis dan jenis obat-obatan. Perawatan
dapat dilakukan di ruang bangsal atau di ruang intensive care unit (ICU) tergantung pada gejala
klinis. Apabila penderita dengan manifestasi klinis didapatkan adanya gangguan jantung-paru,
harus dilakukan pengamatan ketat, atau pada penderita dengan dialisis harus dirawat di ruang
ICU.
2. Diuretika
Pemberian diuretika dan obat-obat vasoaktif seringkali digunakan untuk mencegah atau
mengurangi gangguan ginjal akut. Diuretika furosemid intravena (1-5 mg/kg/dosis) dapat
meningkatkan produksi urin. Pemberian diuretika dapat diberikan dengan cara diuresis paksa,
meskipun tindakan ini masih kontroversi. Sebelum melakukan tindakan ini, penderita tidak
dehidrasi dan tidak didapatkan adanya obstruksi saluran kemih (gangguan ginjal akut
pascarenal). Efek samping pemberian furosemid adalah eksaserbasi gagal ginjal dan ototoksisitas
terutama bila diberikan dalam dosis tinggi dan keadaan asidosis metabolik.
Obat manitol (0.5-1.0 g/kg) dapat pula digunakan untuk meningkatkan produksi urin.
Apabila anak tidak respon terhadap pemberian diuretika, maka melanjutkan pemberian diuretika
tidak boleh dilakukan karena membahayakan dengan efek samping obat yaitu meningkatkan
volume darah dan edema paru. Obat dopamin dapat memperbaiki tekanan darah dan
memperbaiki perfusi ginjal. Untuk menjaga perfusi yang adekuat diperlukan pengawasan ketat
tekanan vena sentral.
Dopamin dosis rendah (0,5 – 3.0 µg/kg/ menit) dapat memperbaiki aliran darah ginjal
melalui vasodilatasi. Perfusi glomerulus dipengaruhi oleh tekanan dan volume glomerulus.
Dilaporkan bahwa pemberian dopamin dosis rendah pada anak-anak belum efektif untuk
meningkatkan perfusi glomerulus. Bahkan dapat meningkatkan risiko terjadinya takiaritmia dan
iskemik miokardium oleh karena konsumsi oksigen miokardium meningkat.
Fenolodam, agonis dopamine selektif dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan mungkin
mengurangi mortalitas dan terapi pengganti ginjal pada dewasa. Fenolodam dosis 0.07 +
0.08μg/kg/min meningkatkan produksi urin pada anak dengan progresif oliguria tetapi tidak
mempengaruhi hasil akhir secara umum.
3. Terapi cairan
Terapi cairan dan oksigen adalah landasan resusitasi untuk semua pasien dengan penyakit
kronis. Sangat penting untuk mengenali bahwa defisit cairan dapat terjadi karena vasodilatasi
atau perubahan permeabilitas kapiler. Hipovolemi mengakibatkan aliran darah tidak memadai
untuk memenuhi metabolism jaringan dan harus ditangani dengan segera jika ingin menghindari
gangguan ginjal akut.
Sebelum pemberian terapi cairan, harus ditentukan terlebih dahulu apakah anak dalam
keadaan hipovolemia, euvolemia atau kelebihan cairan. Parameter untuk menentukan status
volume cairan adalah gejala klinis, yaitu adanya perubahan berat badan secara mendadak dan
laboratorium seperti Na urin, fraksi ekskresi Natrium (FeNa) BJ dan osmolalitas urin. Bila tidak
dapat ditentukan maka diberikan percobaan (challenge) cairan normal saline/ringer lactate (RL),
10-20 ml/kg selama 30-60 menit. Kemudian dilakukan penilaian lagi. Biasanya terjadi diuresis
setelah 2-4 jam setelah rehidrasi. Bila setelah resusitasi cairan, produksi urin tidak meningkat
dan azotemia tidak membaik, maka indikasi umtuk dilakukan pemasangan tekanan vena
sentral / central venous pressure (CVP) yang dapat membantu untuk memantau apakah cairan
yang diberikan sudah mencukupi.
Terapi cairan pada gangguan ginjal akut renal harus dilakukan balans cairan secara cermat.
Balans cairan yang benar adalah bila berat badan menurun 0,1-0,2% setiap hari. Pemberian
cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss (IWL) + jumlah produksi urin 1 hari
sebelumya serta ditambahkan dengan cairan yang keluar melalui muntah, feses, slang
nasogastrik, dan lain-lain. Dan dikoreksi dengan kenaikan suhu tubuh setiap 10C sebanyak 12%.
Perhitungan IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure, sebagai berikut :
Tabel Perhitungan IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure
Berat badan 0-10 kg : 100 kal/kg/hari
11-20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari
> 20 kg : 1500 kal + 20 kal/kg/hari
Jumlah IWL = 25 ml per 100 kal.
4. Renal Replacement Therapy
Tujuan renal replacement theraphy (RRT) atau terapi pengganti ginjal adalah untuk
menghilangkan toksin endogen dan eksogen dan menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan
asam basa sampai ada perbaikan fungsi ginjal. Renal replacement theraphy terdiri dari peritoneal
dyalisis atau dialisis peritoneal (DP), hemodialisis (HD), dan transplantasi ginjal. Beberapa
faktor, seperti usia, berat badan, penyebab gangguan ginjal akut, derajat gangguan metabolik,
tekanan darah, status gizi harus diketahui sebelum memulai RRT dan menentukan modalitas
yang akan digunakan. Tiga hal yang harus diperhatikan ketika akan memulai dialisis pada
penderita gangguan ginjal akut, yaitu saat memulai dialisis, modalitas dialisis, dan dosis
pemberian dialysis.
Gustiayu Putri Pitoyo (2011730138)
ii. Hiperplasia Prostat Benigna
Definisi
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit yang muncul ketika
pertumbuhan prostat tidak semestinya menghambat aliran urine sehingga mengakibatkan gejala
traktus urinaria, infeksi dan hematuria (Black & Hawks, 2005).
BPH adalah suatu kondisi yang sering terjadi pada pria dengan usia di atas 50 tahun,
dimana kelenjer prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra. ( Smeltzer,2001).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua
dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius
( Marilynn, 2000). Menurut Nursalam (2006) pada usia lanjut, beberapa pria menagalami
pembesaran prostate benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan
kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjer prostat mengakibatkan
terganggunya aliran urin sehingga menimbulkan gangguan miksi.
Etiologi
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, beberapa hipotesis menyatakan
bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT)
dan proses penuaan. Hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia
prostate adalah:
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT).
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostate mengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron.
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen
dan penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan
terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma – epitel.
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan
penurunan transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell.
Teori ini menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjer prostat menjadi berlebihan.
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi terbentuknya selula, sakula, dan divetrikel buli-buli. Perubahan struktur
pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah
atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik
urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi reflukx hidro nefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot
polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot
polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Gejala Klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi.Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau
miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen
karena overflow yaitu:
1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu
untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara
lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan
ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000).
1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Gejala generalisata atau gejala secara umumnya meliputi:
1. Keletihan
2. Anoreksia
3. Mual dan muntah
4. Rasa tidak nyaman pada epigastrik
Alur Diagnostik
Anamnesis
Pada anamnesis biasanya akan ditemukan keluhan-keluhan:
1. Bila miksi harus mengejan
2. Pancaran lemah
3. Pengosongan tidak sempurna
4. Kencing tidak puas
5. Kencing terputus
6. Sering kencing
7. Kesulitan menahan rasa ingin kencing
8. Menetes setelah kencing
Pemeriksaan Fisik
1. Kandung kencing penuh (Adanya retensio urine)
2. Nyeri Suprapubik (Tanda-tanda infeksi saluran kencing)
3. Pada pemeriksaan colok dubur teraba perbesaran prostat
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel leukosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus di perhitungkan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran kemih,
walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit, kadar ureum dan
kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate Specific
Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD
≥ 0,15 maka sebaiknya di lakukan biopsi prostat. Demikian pula bila nilai PSAD >
10 ng/ml (Mansjoer, 2000).
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencintraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume
residu urin dan mencari kelainan patologi lain, baik yag berhubungan maupun tidak
dengan BPH. Dari foto polos ndapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius ,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga di lihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berbelok-
belok di vesika), indentasi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin atau filling
defect di vesika.
USG dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi
residu urin, batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli. (Mansjoer, 2000).
Penatalaksanaan
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
a. Mengharnbat adrenoreseptor α
b. Obat anti androgen
c. Penghambat enzim α -2 reduktase
d. Fisioterapi
3. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter,
hidronefrosis, jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
Nindya Adeline (2011730156)
iii. Urolitiasis
BATU SALURAN KEMIH (UROLITHIASIS)
Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan zaman Mesir
kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukan batu pada kandung kemih seorang mumi.
Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang banyak
ditemukan pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu
saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-
hari.
Di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu saluran kemih.
Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping infeksi saluran
kemih dan pembesaran prostat benigna.
Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih didiga ada hubungannya dengan gangguan aliran urin,
gangguan metabolic, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih
belum terungkap (idiopatik).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya baru
saluran kemih pada seseorang, faktor tersebut yaitu intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik antara lain:
1. Herediter (keturunan)
2. Umur: 30-50 tahun
3. Jenis kelamin: laki-laki 3 kali lebih banyak daripada perempuan
Sedangkan faktor ekstrinsiknya, yaitu:
1. Geografi: pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada
daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).
2. Iklim dan temperature
3. Asupan air: kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet: diet banyak purin, oksalat dan kalsium.
5. Pekerjaan: lebih banyak diderita oleh orang yang pekerjaannya lebih banyak duduk atau
kurang aktifitas atau sedentary life.
Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih
Batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama tempat-tempat yang sering
mengalami hambatan aliran urin (statis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli,
adanya kelainan bawaan pada pelvikalises (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi
infravesika kronis seperti pada hyperplasia prostat benigna, striktura dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun
anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut berada dalam keadaan metastable
(tetap terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga
menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar, agregat kristal masih rapuh
dan belum cukup mampu membantu saluran kemih. Untuk itu agregat kristal menempel pada
epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada
agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Kondisi metastable dipengaruhi suhu, pH larutan, adanya koloid dalam urin, konsentrasi
solute dalam urin, laju aliran urin dalam saluran kemih atau adanya korpus alineum di dalam
saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran kemih terdiri atas
batu kalsium, baik yang berikatan dengan oksalat maupun fosfat.
Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih ditentukan juga oleh adanya
keseimbangan antara zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat yang mampu mencegah
timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat menghambat terbentuknya batu saluran kemih,
yang bekerja mulai dari proses reabsorpsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan inti batu
atau kristal, proses agregasi kristal hingga retensi kristal. Beberapa protein atau senyawa organic
lain mampu bertindak sebagai inhibitor, senyawa itu adalah glikosaminoglikan (GAG), protein
Tamm Horsfall (THP) atau uromukoid, nefrokalsin dan osteopontin. Defisiensi zat yang
berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan salah satu factor penyebab timbulnya batu saluran
kemih.
Batu Ginjal dan Batu Ureter
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum, pelvis
ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan
lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehingga disebut batu
staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal mempermudah timbulnya batu
saluran kemih.
Batu yang tidak terlalu besar didorong oelh peristaltic otot pelvikaliks dan turun ke ureter
menjadi batu ureter. Tenaga peristaltic ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke
buli-buli. Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan
yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi radang (periureteritis)
serta manimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau hidronefrosis.
Alur Diagnosis dan Gambaran Klinis
Keluhan yang disampaikan tergantung pada: posisi atau letak batu, besar batu dan
penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling dirasakan adalah nyeri pinggang, bisa kolik
ataupun non-kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltic otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan
peristaltic itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari
terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non-kolik terjadi akibat peregangan kapusl
ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat
kencing atau sering kencing. Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar spontan setelah
melalui hambatan pada perbatasan uretero-pelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat
ureter masuk ke dalam buli-buli. Hematuria sering kali dikeluhkan oleh pasien akibat trauma
pada mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu. Kadang-kadang hematuria didaptkan
dari pemeriksaan urunalisis berupa hematuria mikroskopik.
Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan ini juga merupakan
kedaruratan di bidang urologi. Dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomi
pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsi dan segera dilakukan terapi berupa
drainase dan pemberian antibiotic.
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kostovertebra,
teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urin dan
jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Sedimen Urin
Pemeriksaan sedimen urin menunjukkan adanya leukosituria, hematuria dan dijumpai
berbagai Kristal pembentuk batu.
Pemeriksaan Kultur Urin
Dalam pemeriksaan ini mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah
urea.
Pemeriksaan Faal Ginjal
Hal ini bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan
untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVU. Perlu juga diperiksa
kadar elektrolit yang diduga sebagai factor penyebab timbulnya batu saluran kemih
(antara lain: kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di dalam darah atau urin).
Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radio-opak
di saluran kemih. Batubatu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan
paling sering dijumpai diantara batu jenis lain. Sedangkan batu asam urat bersifat non-opak
(radio-lusen).
JENIS BATU RADIO-OPASITAS
Kalsium Opak
MAP Semi-opak
Urat/Sistin Non-opak
Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu
IVU dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non-opak yang tidak terlihat
oleh foto polos perut. Jika IVU belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih
akibat penurunan fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah pemeriksaan pielografi retrogard.
Ultrasonografi (USG)
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVU, yaitu pada
keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan pada
wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di
buli-buli (echoic shadow), hidronefrosis, pielonefrosis atau pengerutan ginjal.
Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan
agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih parah. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi
pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi atau harus
diambil karena sesuatu indikasi social.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya <5mm karena diharapkan
batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri,
memperlancar aliran urin dengan pemberian diuretikum dan minum banyak supaya dapat
mendorong batu keluar dari saluran kemih.
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada
tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal atau batu buli-buli
tanpa melaui tindakan invasive dan tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-
fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasive minal untuk mengeluarkan batu saluran
kemih yang terdiri atas memecah batu dan kemudian mengeluarkannya dari saluran
kemih melalui alat yang dimasukan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu
dimasukkan melaui uretra atau melaului insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses
pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik dengan memakai energy hidraulik,
energy gelombang suara atau dengan enersi laser. Beberapa tindakannya adalah:
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) usaha untuk mengeluarkan batu yang
berada di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem
kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih
dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
2. Litotripsi memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat
pemecah batu (lititriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan
evakuator Ellik.
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi memasukkan alat ureteroskopi per-uretram
guna melihat keadaan ureter atau sisten pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energy
tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah
melalui tuntunan ereteroskopi/ ureteronoskopi ini.
4. Ekstraksi Dormi mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia
Bedah Laparoskopi
Ini untuk mengambil batu saluran kemih yang sedang berkembang.
Bedah Terbuka
Pembedahan terbuka ini antara lain: pielotitiomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu
pada saluran ginjal dam ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang pasien harus
menjalani tindakan nefrotomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis atau mengalami
pengkertutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang
menahun.
Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan ada;ah berdasarkan kandungan unsure yang menyusun batu
saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya, yaitu: 1) menghindari dehidrasi
dengan minum cukup dan diusahakan produksi urin sebanyak 2-3 liter per hari, 2) diet untuk
mengurangi kadar zat komponen penyusun batu, 3) aktivitas harian yang cukup dan 4)
pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah: 1) Rendah protein,
karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi
lebih asam, 2) Rendah oksalat, 3) Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya
hiperkalsiuria dan 4) Rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada
hiperkalsiuria absorbtif type II.
Arafani Putri Yaman (2011730123)
iv. Acute Necrosis Tubular
Acute Tubular Necrosis
Akut tubular nekrosis atau bisa disebut juga akut tubular nefropati merupakan Gagal
ginjal akut, yang terkait dengan kerusakan sel-sel tubulus ginjal karena banyak penyebab.
Diklasifikasikan menjadi dua subkelompok, ATN iskemik dan ATN nefrotoksik. Dapat
mengenai semua usia dan semua populasi.
Etiologi
Akut Tubular Nekrosis Iskemik, merupakan hasil dari penurunan perfusi dan / atau
oksigenasi memadai untuk tubulus ginjal. Paling umum setelah episode yang mendalam
peredaran darah perifer tapi mengejutkan langka setelah pendarahan besar rumit. Hemolisis
masif atau otot rangka yang parah cedera, dengan pelepasan protein heme atau mioglobin otot
menyebabkan bentuk khusus dari iskemik
ATN Nefrotoksik, merupakan hasil dari banyak agen yang secara langsung dan secara khusus
merusak epitel tubulus ginjal
Patogenesis
Patogenesis ATN bervariasi dengan agen penyebab, tetapi beberapa mekanisme dapat bertindak
sendiri-sendiri atau dalam kombinasi untuk menghasilkan penurunan aliran darah ginjal,
menurunkan filtrasi glomerulus, mengurangi aliran darah tubular, dan perkembangan akhir
oliguria. Ini termasuk: (1) depolarisasi dari sel epitel tubular karena cedera iskemik atau
beberapa agen toksik, (2) Persistent vasokonstriksi preglomerular arteriol dari pelepasan agen
vasokonstriksi (angiotensin II, tromboksan, katekolamin) atau hilangnya efek vasodilator
(prostaglandin). (3) arus balik tubular yang diikuti dengan kerusakan atau perubahan intergritas
tubular, (4) Obstruksi Tubular dari sel tubular nekrotik dan materi protein, (5) Pengaruh
langsung permeabilitas glomerulus dengan menumpulkan aksi vasodilator.
Faktor Risiko
Reaksi transfusi darah
Cedera atau trauma yang merusak otot
Tekanan darah rendah (hypotension) yang berlangsung lebih dari 30 menit
Operasi besar
Syok septik karena infeksi berat
Penyakit liver dan kerusakan ginjal akibat diabetes (nefropati diabetik) dapat membuat
seseorang lebih rentan terhadap kondisi tersebut.
Dye (kontras) yang digunakan untuk x-ray (radiologi) studi obat-obatan yang toxicto
ginjal (seperti antibiotik aminoglycoside atau amfoterisin)
Gejala Klinis
Asidosis Metabolik
Demam
Penurunan Kesadaran, atau Koma
Ketidakseimbangan cairan elektrolit
Output urine berkurang (oliguria) atau tidak ada produksi urin (anuria)
Edema sistemik, retensi cairan
Mual muntah
Konsekuensi dari Acute Renal Failure ; volume overload dari CHF (Congestive Heart
Failure) dan edema paru. Aritmia Jantung, peningkatan kerentanan infeksi.
Anemia normositik normokrom, terlihat dari penurunan atau menghilangkan produksi
eritropoetin
Alur Diagnostik
Anamnesis
1. Apakah pasien pernah mengalami jatuh atau trauma di sekitar punggung atau perut ?
2. Apakah pasien memiliki riwayat operasi besar beberapa waktu sebelumnya ?
3. Apakah sebelumnya pasien mengalami batuk pilek ? atau demam ?
4. Apakah pasien memiliki riwayat diabetes mellitus ?
5. Apakah pasien pernah melakukan pemeriksaan radiologi/ transfusi darah ?
Pemeriksaan Fisik
1. Terdengar suara paru dan jantung yang abnormal
2. GCS menurun
3. Edema Sistemik
4. Turgor menurun
Pemeriksaan Laboratorium
Beberapa gejala klinis yang ditemukan pada Acute Tubulus Nekrosis
1. Urinalisis
Gejala klinis Frekuensi
Leukocyturia 82%
Microhematuria 67%
Fever 42%
Oliguria 23%
- Muddy Brown Casts : Bila pada urinalisis ditemukan
adanya Muddy Brown Casts maka diagnosis yang
mendukung dari Acute Tubular Necrosis, karena
Muddy Brown Casts biasa ditemukan pada hematuria,
Sel Tubular yang mengalami nekrosis.
- Adanya kristal asam urat dapat mewakili ATN berhubungan dengan nefropati
asam urin, sedangkan kristal kalsium mengoksidasi mungkin hadir dalam ARF
karena keracunan etylene glikol. Urin dan nilai serum asam urat mungkin menjadi
indikator yang berguna untuk sindrom tumor lisis, penyebab penting AFR
2. Biopsi Ginjal
3. KIM-1 adalah glikoprotein transmembran tipe 1 yang mempunyai domain ekstraselular
dan domain sitoplasmik dengan berat molekul 80-85 kDa. Beberapa hal yang mendukung
KIM-1 sebagai penanda NTA dan/atau dediferensiasi awal yaitu KIM-1 tidak terdeteksi
pada ginjal normal tetapi diekspresikan dengan kadar sangat tinggi setelah cedera atau
iskemia epitel tubulus proksimal, akan tetap ada di epitel hingga sel sembuh dari cedera
dan ektodomain KIM-1 diekskresikan di urin. Pemeriksaan KIM-1 yang saat ini
digunakan adalah dengan metode enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan
lateral-flow assay.
Terapi
Pada kebanyakan orang, nekrosis tubular akut reversibel. Tujuan dari pengobatan adalah untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa gagal ginjal akut selama waktu lesi hadir.
Pengobatan berfokus pada pencegahan kelebihan penumpukan cairan dan limbah, sementara
memungkinkan ginjal untuk menyembuhkan. Paten harus diawasi untuk penurunan fungsi ginjal.
Pengobatan dapat meliputi:
- Mengidentifikasi dan mengobati penyebab masalah
- Membatasi asupan cairan dengan volume sama dengan volume urin yang diproduksi
- Membatasi zat yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal (seperti protein, natrium, kalium)
untuk meminimalkan penumpukan mereka dalam tubuh
- Mengambil obat untuk membantu mengontrol kadar kalium dalam darah
- Mengambil pil air (diuretik) untuk meningkatkan pemindahan cairan dari ginjal
- Dialisis dapat menghapus kelebihan limbah dan cairan. Hal ini dapat membuat Anda
merasa lebih baik, dan dapat membuat gagal ginjal lebih mudah untuk mengontrol.
Dialisis mungkin tidak diperlukan bagi semua orang, tetapi sering menyelamatkan
nyawa, terutama jika kalium serum sangat tinggi.
Dialisis mungkin diperlukan dalam kasus berikut:
- Penurunan status mental
- overload cairan
- Peningkatan kadar kalium
- pericarditis
- Total kurangnya produksi urin
- Penumpukan terkendali produk limbah nitrogen
Prognosis
Lamanya gejala bervariasi. Penurunan urin output fase dapat berlangsung dari beberapa hari
sampai 6 minggu atau lebih. Hal ini kadang-kadang diikuti dengan periode output urin yang
tinggi, di mana sembuh dan baru berfungsi ginjal mencoba untuk membersihkan tubuh dari
cairan dan limbah. Satu atau dua hari setelah urin output meningkat, gejala mengurangi dan nilai-
nilai laboratorium mulai kembali normal.
Komplikasi
- Gagal ginjal kronis
- Stadium akhir penyakit ginjal
- Kehilangan darah gastrointestinal
- Hipertensi
- Peningkatan risiko infeksi
Yudha Daud Pratama (2011730168)
v. Urophaty Obstructif
Obstruksi saluran kemih
Etiologi:
Disebabkan oleh :
Congenital (bawaan)
Didapat (acquired)
Penyakit yang ada di dalam lumen
Desakan dari lumen saluran kemih
Obstruksi saluran kemih sebelah atas mengakibatkan kerusakan saluran kemih (utreter dan
ginjal) pada sisi yang terkenapada kedua sistem saluran kemih sebelah atas (bilateral)
Patofisiologi:Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan ginjal, baik struktur maupun
fungsinya. Keursakan itu tergantung pada :
1. Lama obstruksi
2. Derajat obstruksi
3. Unilateral atau bilateral
4. Adanya infeksi yang menyertainya
Trifase obstruksi:
1. Fase I atau akut ( 0-90menit)
2. Fase II atau pertengahan ( 2-5jam)
3. Fase III atau lanjut ( 24jam)
Pengaruh trifase obstruksi terhadap :
Tekanan hidrostatik sistem pelvikalises: tekanan intraureter pada saat istirahat adalah 0-10cm
H2O. tekanan peristaltic urine bervariasi sekitar 20 dan 60 cm H2O . pada obstruksi akut,
terjadi kenaikan tekanan intraureter dan intrarenal yang terjadi mendadak, yang sejalan
dengan keadaan diuresis. Kenaikan tekanan itu akan di transmisikan balik ke lumen tubulus.
Kenaikan tekanan tidak berlangsung lama, kemudian diikuti penurunan secara perlahan.
Aliran darah ginjal (RBF): pada fase akut, RBF meningkat perlahan, terutama korteks
sebelah dalam dan daerah kortiko-medular. Hal ini disebabkan karena vasodilatasi, yang
diinduksi prostaglandin E2. Jika obstruksi berlangsung lama, maka akan terjadi
vasokonstriksi dan dapat mengakibatkan penurunan RBF yang lebih bermakna
Rerata Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) : Penurunan RBF dengan sendirinya akan
menurunkan GFR
Fungsi tubulus sebelah distal (DTF) : pada obstruksi akut, aliran urine menjadi lambat
sehingga kolum cariran yang diteruskan ke nefron distal berkurang. Akibatnya pembentukan
cairan berkurang. Reabsorpsi garam bertambah, dan tubulus menjadi tidak responsive
terhadap ADH sehingga ginjal tak dapat menghasilkan urine yang pekat.
Fungsi Tubulus:
Pada obstruksi unilateral, eksresi kalium menurun lebih kurang sebanding dengan GFR. Pada
obstruksi bilateral, eksresi kalium meningkat yang sebanding dengan eksresi natrium.
Osmolalitas urine pada saat obstruksi hampir sama dengan osmolalitas plasma, hal ini
menunjukkan ginjal gagal melakukan fungsi konsentrasi maupun difusi urine. Kelainan ini akibat
kemampuan thick ascending limb untuk mengambil solute tanpa air dari urine dan kegagalan
duktus kolengentes meningkatkan permeabilitas air terhadap respon ADH dan cAMP.
Hipertensi akibat uropati obstruktif : diakibatkan kelebihan cairan dan elektrolit tidak dapat
dikeluarkan oleh urine.
Diagnosis:
Gejala Klinis:
1. Nyeri hebat pada pinggang yang menjalar sepanjang ureter
2. Hematuria makroskopik
3. Gejala gastrointestinal
4. Demam dan menggigil
5. Perasaan panas saat berkemih
6. Urine keruh
Pemfis:
1. Ginjal yang hidronefrosis teraba pada palpasi
2. Terasa nyeri saat perkusi
PP:
1. Pemlab
2. USG
3. IVU dan uterorenoskopi
4. Renografi
Medikamentosa:
1. NSAID untuk inflamasi
2. Antipiretik
3. Pemasangan kateter (bila terjadi anuria obstruktif)