Download - Laptut SKEN 4 Blok 17
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. PERBEDAAN PSIKOSIS DAN NEUROSIS
Faktor Neurosis Psikosis
Perilaku umum Gangguan terjadi pada sebagian
kepribadian, kontak dengan realitas
masih ada.
Gangguan terjadi pada seluruh aspek
kepribadian, tidak ada kontak dengan
realitas.
Gejala-gejala Gejala psikologis dan somatikbisa
bervariasi, tetapi bersifat
temporer dan ringan.
Gejala-gejala bervariasi luas dengan
waham, halusinasi, kedangkalan emosi
dan gangguan perilaku yang hebat yang
terjadi secara terus menerus.
Orientasi Penderita tidak atau jarang mengalami
disorientasi.
Penderita sering mengalami disorientasi
(waktu, tempat, dan orang-orang)
Pemahaman
(insight)
Penderita memahami bahwadirinya
mengalami gangguan jiwa.
Penderita tidak memahami bahwa dirinya
sakit.
Resiko sosial Perilaku penderita jarang atau tidak
membahayakan oranglain dan diri sendiri.
Perilaku penderita dapat membahayakan
orang lain dan diri sendiri.
Pengobatan Tidak begitu memerlukan pe-rawatan
di rumah sakit. Ke-sembuhan seperti
semula dan permanen sangat mungkin
untuk dicapai..
Penderita memerlukan perawatan di
rumah sakit. Kesembuhan seperti
keadaan semula dan permanen sulit
dicapai
1.2. PSIKOSIS
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidakmampuan individu menilai
kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau perilaku kacau/aneh.
Gangguan Psikotik Akut
Manifestasi Klinis
Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
Kebingungan atau disorientasi
Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri, kecurigaan
berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan, bicara dan tertawa serta marah-
marah atau memukul tanpa alasan.
Penegakan diagnosi s
1
Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misalnya, mendengar suara
yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu yang tidak ada bendanya).
Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima oleh kelompok
sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan
dari televisi, atau merasa diamati/diawasi oleh orang lain).
Agitasi atau perilaku aneh (bizar)
Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel)
Tatalaksana
Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
Beberapa informasi yang perlu disampaikan pada pasien dan keluarga antara lain tentang :
a. Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama perjalanan penyakit sukar
diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode akut saja.
b. Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat, memerlukan hospitalisasi
atau pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan,
mungkin diperlukan tindakan dengan bantuan perawat kesehatan jiwa masyarakat dan
perangkat desa serta keamanan setempat.
c. Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya:
– Keluarga atau teman harus mendampingi pasien
– Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan
kebersihan)
– Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera
Konseling pasien dan keluarga
1. Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan psikiatrik antara
lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam pengobatan pasien.
2. Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stres dan kontak dengan stressor.
3. Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik.
Farmakoterapi
Obat Antipsikosis
a. Tipikal
– Phenothiazine : CPZ, levopromazine, fluphenazine, thioridazine, dll
– Butyrophenone : haloperidol
– Diphenyl-butylpiperidine : pimozide
b. Atipikal
– Benzamide : sulpride
2
– Dibenzodiazepine : clozapine, olanzapine
– Benzisoxazole : risperidon
Mekanisme kerja
a) Obat antipsikosis tipikal : Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di
otak khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (efektif untuk gejala positif).
b) Obat antipsikosis atipikal : Disamping berafinitas terhadap reseptor dopamine D2 juga
terhadap reseptor serotonin 5 HT2 (efektif untuk gejala negatif).
Efek samping
Sedasi dan inhibisi psikomotor
Gangguan otonomik
Gangguan ekstrapiramidal
Gangguan endokrin
Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk mengendalikan
agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari).
Gangguan Psikotik kronik
Manifestasi Klinis
Penarikan diri secara sosial
Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri
Gangguan berpikir (tampak dari pembicaraan yang tidak nyambung atau aneh).
Perilaku aneh seperti apatis, menarik diri, tidak memperhatikan kebersihan yang dilaporkan
keluarga.
Perilaku lain yang dapat menyertai adalah :
Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi
Melaporkan bahwa individu mendengar suara-suara
Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal sepert : memiliki kekuatan supranatural, merasa
dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal.
Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seperti : merasa ada hewan atau objek yang tak lazim di
dalam tubuhnya.
Bermasalah dalam melaksanakan pekerjaan atau pelajaran
Tatalaksana
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga
1. Gejala penyakit jiwa (perilaku aneh dan agitasi)
2. Antisipasi kekambuhan
3
3. Penanganan psikosis akut
4. Pengobatan yang akan mengurangi gejala dan mencegah kekambuhan
5. Perlunya dukungan keluarga terhadap pengobatan dan rehabililtasi pasien
6. Perlunya organisasi kemasyarakatan sebagai dukungan yang berarti bagi pasien dan
keluarga.
Konseling pasien dan keluarga
1. Pengobatan dan dukungan keluarga terhadap pasien
2. Membantu pasien untuk berfungsi pada taraf yang optimal dalam pekerjaan dan kegiatan
sehari-hari.
3. Kurangi stres dan kontak dengan stress
Farmakoterapi
1. Antipsikotik
Obat antipsikotik diberikan sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah episode pertama
penyakitnya dan lebih lama sesudah episode berikutnya.
Obat antipsikotik mempunyai efek jangka panjang yang disuntikkan jika pasien gagal untuk
minum obat oral.
Berikan terapi untuk mengatasi efek samping yang mungkin timbul :
Kekakuan otot (distonis dan spasme akut), yang dapat diatasi dengan obat anti
parkinson atau benzodiazepine yang disuntikkan .
Kegelisahan motorik yang berat (Akatisia) yang dapat diatasi dengan pengurangan dosis
terapi atau pemberian beta-bloker.
Obat anti parkinson yang dapat mengatasi gejala parkinson (antara lain trihexyphenidil 2 mg
sampai 3 kali sehari, ekstrak belladonna 10-20 mg 3x sehari, diphenhydramine 50 mg 3 x
sehari).
1.3. SKIZOFRENIA
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah” atau “pecah”, dan
“phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi,
kognitif dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu
simptom positif, simptom negatif, dan gangguan dalam hubungan interpersonal.
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat
yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.
Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran
dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang
4
jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.
Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam
hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat
juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang
terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap
skizofrenia.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25
tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30
tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.
Etiologi
1. Model Diatesis-stres
Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model ini
mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika
dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan
skizofrenia.
Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau psikologis (misal kematian
orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh
epigenetik seperti penyalahgunaan obat, stres psikososial, dan trauma.
Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat menerangkan mengapa orang
tersebut dapat menjadi skizofrenia. Semakin besar kerentanan seseorang maka stresor kecilpun dapat
menyebabkan menjadi skizofrenia. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang besar untuk
membuatnya menjadi penderita skizofrenia. Sehingga secara teoritis seseorang tanpa diatesis tidak
akan berkembang menjadi skizofrenia, walau sebesar apapun stresornya.
2. Faktor Neurobiologi
Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada
bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada
bagian otak tertentu dengan munculnya simptom skizofrenia.
Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam membuat seseorang menjadi
patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal, serebelum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut
saling berhubungan, sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis primer
pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian adalah waktu dimana kerusakan
neuropatologis muncul pada otak, dan interaksi antara kerusakan tersebut dengan stresor lingkungan
dan sosial.
5
Hipotesa Dopamin
Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter
dopaminergik. Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine,
terlalu banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamine,
atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :
a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik dengan kemampuannya
bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine D2.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-dapat menimbulkan gejala
psikotik pada siapapun.
3. Faktor Genetika
Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor genetik/keturunan merupakan salah satu
penyumbang bagi jatuhnya seseorang menjadi skizofrenia. Resiko seseorang menderita skizofrenia
akan menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya yang juga menderita skizofrenia,
apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan
pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar satu telur
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.
Gejala Klinis
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu primer
dan sekunder.
Gejala-gejala primer :
1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran)
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran. Yang terganggu
terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau
terdapat pemindahan maksud, umpamanya maksudnya “tani” tetapi dikatakan “sawah”.
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan “merah” bila dimaksudkan
“berani”. Atau terdapat “clang association” oleh karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan
tertentu, umpamanya piring-miring, atau “…dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya lari…”.
Semua ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti dan dimengerti.
Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran mudah dibelokkan dan hal ini menambah
inkoherensinya.
Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan hal-hal, umpamanya
seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian seorang lain yang ada disampingnya juga dimarahi
dan dipukuli.
Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan ini dinamakan
“blocking”, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.
6
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya yang
berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure of thoughts”. Bila
suatu ide berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada
hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi biasanya
jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat cepat, tetapi
masih dapat diikuti, masih bertujuan.
2. Gangguan afek dan emosi
Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :
Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak
acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa
depannya. Perasaan halus sudah hilang.
Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita
timbul rasa sedih atau marah.
Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan
paramimi bersama-sama dalam bahasa Inggris dinamakan “incongruity of affect” dalam
bahasa Belanda hal ini dinamakan “inadequat”.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan, umpamanya
sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Semua
ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan
emosi lain adalah :
- Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti penderita yang
sedang bermain sandiwara.
- Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk melakukan
hubungan emosi yang baik (“emotional rapport”). Karena itu sering kita tidak dapat
merasakan perasaan penderita.
- Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin terdapat
bersama-sama, umpamanya mencintai dan membenci satu orang yang sama ; atau
menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi pada afek.
3. Gangguan kemauan
Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat
mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan. Mereka selalu memberikan alasan,
meskipun alasan itu tidak jelas atau tepat, umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju dengan
pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau mereka menganggap hal itu biasa saja dan tidak perlu
diterangkan.
7
Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-bulan. Perilaku
demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor katatonik.
Negativisme : sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan.
Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada waktu yang sama,
umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau tangan diulurkan untuk berjabat tangan, tetapi
belum sampai tangannya sudah ditarik kembali; hendak masuk kedalam ruangan, tetapi sewaktu
melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi sebelum suatu perbuatan selesai sudah timbul dorongan
yang berlawanan.
Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau tenaga dari luar,
sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.
4. Gejala psikomotor
Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan. Kelompok gejala ini oleh
Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada
penyakit lain.
Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya
ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau yang agak kaku. Penderita
dalma keadaan stupor tidak menunjukkan pergerakan sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang bertahun-tahun lamanya pada skizofrenia yang
menahun. Mungkin penderita mutistik. Mutisme dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang
melarang ia bicara. Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena hubungan
penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.
Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik menunjukkan hiperkinesa, ia terus
bergerak saja, maka keadaan ini dinamakan logorea. Kadang-kadang penderita menggunakan atau
membuat kata-kata yang baru: neologisme.
Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi; umpamanya menarik-
narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi mengetok piring dulu beberapa kali. Keadaan ini
dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan
verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Mannerisme adalah stereotipi yang tertentu pada
skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.
Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk waktu yang lama.
Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin.
Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan dengan apa yang disuruh.
Otomatisme komando (“command automatism”) sebetulnya merupakan lawan dari negativisme :
semua perintah dituruti secara otomatis, bagaimana ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini adalah
echolalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan ekophraksia (penderita meniru
perbuatan atau pergerakan orang lain).
8
Gejala-gejala sekunder :
1. Waham
Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizarre. Tetapi penderita
tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya adalah fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.
Sebaliknya ia tidak mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita berwaham bahwa ia
raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer
gross membagi waham dalam dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham
sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar.
Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang
berbuat serong sebab ia melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita
berkata “dunia akan kiamat sebab ia melihgat seekor anjing mengangkat kaki terhadap sebatang pohon
untuk kencing”.
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan merupakan cara bagi
penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya :
waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan
sebagainya.
2. Halusinasi
Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan gejala
yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling sering pada keadaan skizofrenia ialah
halusinasi (oditif atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Kadang-
kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi citrarasa (gustatorik) atau halusinasi
singgungan (taktil). Umpamanya penderita mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang
yang menyinarinya dengan alat rahasia atau ia merasa ada racun dalam makanannya. Halusinasi
penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada psikosa akut yang berhubungan dengan
sindroma otak organik bila terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya penderita
melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.
Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi tidak menurun
pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan jelas pengalamannya dan perasaannya.
Kadang-kadang didapati depersonalisasi atau “double personality”, misalnya penderita
mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan menganggap dirinya sudah tidak adalagi. Atau
pada double personality seakan-akan terdapat kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau
yang menguasai dan menyuruh penderita melakukan sesuatu.
Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan dunia luar ia
seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan apa yang terjadi di sekitarnya.
9
Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan sebagai gejala
primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi karena sangat terganggunya afek dan
kemauan.
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala klinis skizofrenia adalah:
Tidak ada simptom atau gejala klinis yang patognomonik untuk skizofrenia. Artinya tidak ada
simptom yang khas atau hanya terdapat pada skizofrenia. Tiap simptom skizofrenia mungkin
ditemukan pada gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf lainnya. Karena itu diagnosis
skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan status mental saat ini. Riwayat penyakit
pasien merupakan hal yang esensial untuk menegakkan diagnosis skizofrenia.
Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena
itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis subtipenya dari perawatan sebelumnya (yang
lalu). Bahkan dalam satu kali perawatanpun diagnosis subtipe mungkin berubah.
Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar belakang sosial budaya
pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat dari sosial budaya tertentu mungkin
dipandang sebagai suatu hal yang aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai koteka di Papua
merupakan hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta. Selain itu hal
yang tampaknya merupakan gangguan realitas mungkin akibat keterbatasan intelektual dan
pendidikan pasien.
Diagnosis
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua gejala atau lebih
bila gejala-gejala itu kurang jelas :
(a) - “Thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak
keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau
- “Thought insertion or withdrawal”: isi pikiran yang asing dari luar masuk kedalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan
- “Thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya;
(b) - “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dati luar;
atau
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari
luar; atau
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan
dari luar; (tentang ‘dirinya”: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
10
(c) Halusinasi auditorik :
‐ Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau
‐ Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara),
atau
‐ Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan
sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi
dengan makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan (interpolation), yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis tubuh tertentu (posturing),
atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
(h) Gejala-gejala “negative” seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude),
dan penarikan diri secara sosial.
Klasifikasi
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ
III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing,
yang kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
11
Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi
auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif
tidak nyata/menonjol.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik
terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Pasien yang
sehat sampai akhir usia 20 atau 30 tahunan biasanya mencapai kehidupan sosial yang dapat membantu
mereka melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari pasien
katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid menunjukkan regresi yang lambat dari
kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah.
Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka secara adekuat di dalam situasi sosial. Kecerdasan mereka tidak
terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.
2. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri (solitary),
namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu
selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
memang benar bertahan :
‐ Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa
tujuan dan hampa perasaan;
‐ Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh
cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-
absorbed smiling), atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai
12
(grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial,
dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);
‐ Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta
inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination)
hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia ini disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
3. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan
serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara);
b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi
oleh stimuli eksternal);
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan
posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau
upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan
dirinya);
f. Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam
posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap
perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik,
diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang
adanya gejala-gejala lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk
skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau
alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
13
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang
ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin
ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh
dirinya sendiri.
4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).
Seringkali. pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam
salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria
diagnostik menurut PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
5. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizofrenia)
selama 12 bulan terakhir ini;
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran
klinisnya); dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk
episode depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif.
Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu
dari subtipe skizofrenia yang sesuai.
6. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
a. Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi
muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang
buruk;
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi
kriteria untuk diagnosis skizofenia;
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala
yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negative” dari skizofrenia;
14
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya
gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk
memenuhi tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan sosial, perilaku eksentrik, pikiran
yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika
waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
‐ Gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi,
waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
‐ Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan
diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai
menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
8. Skizofrenia lainnya
9. Skizofrenia YTT
Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya (yang tidak
berdasarkan DSM IV TR), antara lain :
Bouffe delirante (psikosis delusional akut).
Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas dasar lama gejala yang
kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan diagnosis gangguan skizofreniform didalam
DSM-IV. Klinisi Perancis melaporkan bahwa kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante
berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media skizofrenia.
15
Skizofrenia laten.
Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat terdapat konseptualisasi
diagnostik skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien harus sangat sakit mental untuk
mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi pada konseptualisasi diagnostik skizofrenia yang
luas, pasien yang sekarang ini tidak terlihat sakit berat dapat mendapatkan diagnosis
skizofrenia. Sebagai contohnya, skizofrenia laten sering merupakan diagnosis yang digunakan
gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal. Pasien tersebut mungkin kadang-kadang
menunjukkan perilaku aneh atau gangguan pikiran tetapi tidak terus menerus
memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga dinamakan skizofrenia ambang (borderline
schizophrenia) di masa lalu.
Oneiroid.
Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien mungkin pasien
sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi terhadap waktu dan tempat. Istilah
“skizofrenik oneiroid” telah digunakan bagi pasien skizofrenik yang khususnya terlibat
didalam pengalaman halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan di dalam dunia nyata.
Jika terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa pasien untuk
adanya suatu penyebab medis atau neurologis dari gejala tersebut.
Parafrenia.
Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk “skizofrenia paranoid”. Dalam
pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit yang memburuk secara progresif
atau adanya sistem waham yang tersusun baik. Arti ganda dari istilah ini menyebabkannya
tidak sangat berguna dalam mengkomunikasikan informasi.
Pseudoneurotik.
Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu seperti kecemasan,
fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan gejala gangguan pikiran dan psikosis.
Pasien tersebut ditandai oleh gejala panansietas, panfobia, panambivalensi dan kadang-kadang
seksualitas yang kacau. Tidak seperti pasien yang menderita gangguan kecemasan, mereka
mengalami kecemasan yang mengalir bebas (free-floating) dan yang sering sulit menghilang.
Didalam penjelasan klinis pasien, mereka jarang menjadi psikotik secara jelas dan parah.
Skizofrenia Tipe I.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom positif yaitu
asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan bertambah banyaknya pembicaraan. Disertai
dengan struktur otak yang normal pada CT dan respon yang relatif baik terhadap pengobatan.
16
Skizofrenia tipe II.
Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah simptom negatif yaitu
pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan pembicaraan atau isi pembicaraan,
penghambatan (blocking), dandanan yang buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan
sosial, defek kognitif, dan defisit perhatian. Disertai dengan kelainan otak struktural pada
pemeriksaan CT dan respon buruk terhadap pengobatan.
Perjalanan Penyakit
Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid. Biasanya simtom
ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan berkembangnya simtom prodormal dalam
kurun waktu beberapa hari sampai beberapa bulan. Adanya perubahan sosial/lingkungan dapat
memicu munculnya simtom gangguan. Masa prodormal ini bisa langsung sampai bertahun-tahun
sebelum akhirnya muncul simtom psikotik yang terlihat.
Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi. Setelah sakit yang
pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk waktu lama (remisi), keadaan ini
diusahakan dapat terus dipertahankan. Namun yang terjadi biasanya adalah pasien mengalami
kekambuhan. Tiap kekambuhan yang terjadi membuat pasien mengalami deteriorasi sehingga ia tidak
dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh. Kadang, setelah episode psikotik lewat, pasien menjadi
depresi, dan ini bisa berlangsung seumur hidup.
Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap ada,
sedangkan simtom negatif relatif sulit hilang bahkan bertambah parah.
Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah mempunyai anggota
keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah satu orang tuanya/saudara kembar
monozigotnya menderita skizofrenia, kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan
trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan kepribadian, yang terlihat sebagai
anak yang sangat pemalu, menarik diri, tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat
penurut, proses berpikir idiosinkratik, sensitif dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap
paranoid dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,
menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain, mempunyai riwayat epilepsi,
memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur, kontrol suhu tubuh yang jelek dan tonus otot
yang jelek.
Penatalaksanaan
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :
1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat
individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.
17
2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar monozigotik adalah 50
persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk menyarankan bahwa faktor lingkungan
dan psikologis yang tidak diketahui tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam
perkembangan gangguan.
3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapuetik tunggal
jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah
menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikkan klinis.
Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :
1. Untuk tujuan diagnostik.
2. Menstabilkan medikasi.
3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.
4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.
5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem
pendukung masyarakat.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun
aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis kearah masalah
kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan hubungan sosial. Perawatan di rumah
sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya,
keluarga angkat, board and care homes, dan half way house. Pusat perawatan di siang hari (day care
center) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di luar rumah sakit untuk
periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.
Terapi Somatik
a) Antipsikotik
Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:
1. Antagonis reseptor dopamine
2. Risperidone ( risperdal )
3. Clozapine ( clozaril )
18
Pemilihan Obat
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia. Obat ini
memiliki dua kekurangan utama, yaitu:
Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi
mental yang cukup normal.
Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek mengganggu yang
paling utama adalah akatisia dan gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek
serius yang potensial adalah tardive dyskinesia dan sindroma neuroleptik malignan.
“Remoxipride“ adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang berbeda dari pada
antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia. Awalnya obat ini disertai efek samping
neurologis yang bermakna, tetapi akhirnya remoxipride disertai dengan anemia aplastik, jadi
membatasi nilai klinisnya.
2. Risperidone
Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor
serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 ( D2 ). Risperidone menjadi obat
lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif
dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.
3. Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum diketahui secara
pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 tetapi merupakan
antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonis pada reseptor
serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek samping yang mengharuskan monitoring
setiap minggu pada indeks-indeks darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada
pasien dengan tardive dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak
disertai dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.
Prinsip-Prinsip Terapuetik
1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus digunakan
lagi.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis yang
adekuat.
4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah jarang
diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang diperlukan untuk
mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.
19
Pemeriksaan Awal
Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu yang cukup singkat.
Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan
fisik atau laboratorium pada diri pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah
lengkap dengan indekss sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang
berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.
Kontraindikasi Utama Antipsikotik:
1. Riwayat respon alergi yang serius
2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi dengan antipsikotik
sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.
3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organik atau audiopatik.
4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan aktivitas
antikolinergik yang bermakna.
Kegagalan Pengobatan
1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alas an utama untuk terjadinya relaps dan
kegagalan percobaan obat.
2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.
Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi antipsikotik, dapat
dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang berbeda dari obat yang pertama. Strategi
tambahan adalah suplementasi antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti
carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine. Pemakaian terapi
antipsikotik dosis besar jarang diindikasikan, karena hampir tidak ada data yang mendukung
praktek tersebut.
b) Obat Lain
Lithium
Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen pasien dengan
skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk dicoba pada pasien yang tidak mampu
menggunakan medikasi antipsikotik.
Antikonvulsan
Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam kombinasi dengan
lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti efektif dalam menurunkan gejala psikotik
pada skizofrenia, namun jika digunakan sendiri-sendiri mungkin efektif dalam menurunkan
episode kekerasan pada beberapa pasien skizofrenia.
20
Benzodiazepin
Pemakaian bersama-sama alprazolam (xanax) dan antipsikotik bagi pasien yang tidak
berespon terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien skizofrenia yang berespon terhadap
dosis tinggi diazepam (valium) saja. Tetapi keparahan psikosis dapat dieksaserbasi setelah putus
dari benzodiazepine.
c) Terapi Somatik Lainnya
Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik dan bagi pasien yang
karena suatu alasan tidak dapat menggunakan antipsikotik (kurang efektif). Pasien yang telah sakit
selama kurang dari satu tahun adalah yang paling mungkin berespon.
Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin (insulin-induced
coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-induced coma).
d) Terapi Psikososial
Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan
komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang
dapat diturunkan.
Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )
Sering dinamakan terapi keterampilan sosial (social skills therapy). Terapi ini dapat
secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi
terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini melibatkan penggunaan kaset video orang lain
dan pasien permainan simulasi (role playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang
keterampilan yang telah dilakukan.
Terapi Berorientasi Keluarga
Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan
menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul
pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi keluarga
adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.
Di dalam keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus mengendalikan
intensitas emosional keluarga.
21
Prognosis
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5 sampai 10 tahun setelah
perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit karena skiofrenia, hanya kira-kira 10-20 % pasien
dapat digambarkan memliki hasil yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil
yang buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala, episode gangguan
mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka yang kurang bagus tersebut, skizofrenia
memang tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan
dengan prognosis yang baik.
Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah dari 10-60% dan
perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua pasien skizofrenia mampu untuk menjalani
kehidupan yang agak normal. Kira-kira 20-30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang,dan
40-60% dari pasien terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh hidupnya.
Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:
1. Usia pertama kali timbul (onset) : makin muda makin buruk
2. Mula timbulnya akut atau kronik : bila akut lebih baik
3. Tipe skizofrenia : episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik
4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat
5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya : jika ada lebih baik
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan : jika ada lebih jelek
7. Kepribadian prepsikotik : jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek
8. Keadaan sosial ekonomi : bila rendah lebih jelek
1.4. POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah
peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana
terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam. Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah
sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda
atau membuat anda merasa tidak berdaya.
Patofisiologi
Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD,
ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan
rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman
traumatik tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak
dan nukleus, mengaktifkan neurotransmitter, dan endokrin untuk menghasilkan hormon-hormon yang
berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk
22
menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang
mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi sistem amigdala.
Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian memicu respon
emosional termasuk fight, flight, or freezing dan perubahan dalam hormon stres dan katekolamin.
Hipokampus dan korteks prefrontal medial mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon
ketakutan akhir. Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight
or flight. Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah, denyut jantung, glikogenolisis, dll. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makat ubuh akan
memulai proses inaktivasi respon stres dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika
tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stres maka kemungkinan kita
masih akan merasakan efek stres dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon stimulasi
(katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus
berespon seakan bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, di mana hormon stres
meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan fisik. Beberapa studi telah menemukan
konsentrasi kortisol rendah orang dengan PTSD dan berlawanan menanggapi penindasan tes
deksametason daripada yang terlihat dengan depresi berat.
Fase-fase
Fase keadaan mental pasca bencana:
a. Fase kritis
Fase dimana terjadi gangguan stres pasca akut (dini/cepat) yang mana terjadi selama
kira-kira kurang dari sebulan setelah menghadap bencana. Pada fase ini kebanyakan orang
akan mengalami gejala-gejala depresi seperti keinginan bunuh diri, perasaan sedih mendalam,
susah tidur,dan dapat juga menimbulkan berbagai gejala psikotik.
b. Fase setelah kritis
Fase dimana telah terjadi penerimaan akan keadaan yang dialami dan penstabilan
kejiwaan, umumnya terjadi setelah 1 bulan hingga tahunan setelah bencana, pada fase ini telah
tertanam suatu mindset yang menjadi suatu phobia/trauma akan suatu bencana tersebut
(PTSD) sehingga bila bencana tersebut terulang lagi, orang akan memasuki fase ini dengan
cepat dibandingkan pengalaman terdahulunya.
c. Fase stressor
Fase dimana terjadi perubahan kepribadian yang berkepanjangan (dapat berlangsung
seumur hidup) akibat dari suatu bencana dimana terdapat dogma “semua telah berubah”.
23
Gejala
Tiga kategori utama gejala yang terjadi pada PTSD adalah :
1. Mengalami kembali kejadian traumatik (reexperience). Seseorang kerap teringat akan
kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Gejala flashback (merasa
seolah-olah peristiwa tersebut terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-
kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu
oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran (avoidance) stimulus yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang
trauma atau menghadapi stimulus yang akan mengingatkan akan kejadian tersebut, dapat
terjadi amnesia terhadap kejadian tersebut. Mati rasa adalah menurunnya ketertarikan pada
orang lain, suatu rasa keterpisahan dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi
positif. Gejala ini menunjukkan adanya penghindaran aktivitas, tempat, berpikir, merasakan,
atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu, juga kehilangan minat terhadap
semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
3. Gejala ketegangan (hyperarousal). Gejala ini meliputi sulit tidur atau mempertahankannya,
sulit berkonsentrasi, wasapada berlebihan, respon terkejut yang berlebihan, termasuk
meningkatnya reaktivitas fisiologis.
Kriteria Diagnosis
Sebelum diagnosis PTSD dapat dibuat, gejala harus bertahan setidaknya satu bulan,
signifikan, dan harus mengganggu aktivitas normal. Pada orang yang telah selamat dari peristiwa
traumatis, sindrom kecemasan yang berlangsung selama kurang dari satu bulan disebut gangguan stres
akut. Kondisi ini membutuhkan tiga atau lebih gejala disosiatif selain gejala persisten terkait dengan
PTSD. Gejala PTSD yang berlangsung kurang dari tiga bulan menunjukkan kondisi akut.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis gangguan stress akut berdasarkan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV-Revisi atau DSM IV-R:
1. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua ciri berikut ini dapat
ditemukan, yaitu:
a. Orang yan mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian yang berupa
ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atau
ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain.
b. Respon berupa rasa takut yan kuat dan rasa tidak berdaya atau selalu dihantui perasaan
takut yang berlebihan.
2. Perstiwa traumatik secara terus-menerus muncul kembali (reexperiance) melalui satu atau
lebih dari cara berikut:
24
a. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialami dan bersifat
mengganggu (bisa berupa gambaran, pikiran, persepsi).
b. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya (mencemaskan).
c. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang dialaminya terjadi
kembali, hal ini bisa terjadi karena ilusi atau halusinasi).
d. Kecemasan pskologis dan fisik bersamaan dengan hal yang mengingatkan terhadap
kejadian trauma (kenangan atau peristiwa trauma).
3. Menghindari (avoidance) secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan
mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma masih berespon).
Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di bawh ini:
a. Kemampuan untuk enghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan
kejadian trauma.
b. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali
kenangan akan trauma yang dialaminya.
c. Ketidakmampuan mengingat aspsek penting dari peristiwa trauma yang dialaminya.
d. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting berkurang.
e. Merasa terasing dari orang disekitarnya
f. Terbatasnya rentang emosi (seperti tidak dapat merasakan cinta)
g. Perassan bahwa masa depan suram
4. Gejala hyperarousal atau sangat sensitif yang persisten meliputi dua atau lebih gejala di
bawah ini:
a. Sulit untuk memulai tidur atau sulit mempertahankannya
b. Sulit berkonsentrasi
c. Mudah kesal dan meledak-ledak emosinya
d. Hypervigilance (kewaspadaan berlebihan)
e. Reaksi kaget yang berlebihan
Durasi kriteria 2, 3, dan 4 terjadi lebih dari sebulan. Gangguan atau gejala di atas
menyebabkann kecemasan dan gangguan fungsional dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi
penting lainnya. Selain itu, secara spesifikasi diagnosis PTSD dapat dibagi menjadi: 1) akut, bila
gejala berlangsung satu sampai tiga bulan 2) kronis, bila gejala berlangsung lebih dari tiga bulan 3)
awal gejala atau onset yang tertunda bila gejala dimulai sedikitnya enam bulan setelah kejadian
traumatik/stressor.
Menurut International Classification of Diseases 10 (ICD-X), kriteria diagnosis PTSD sebagai
berikut:
25
1. Pasien harus pernah terpapar pada suatu peristiwa atau situasi yang menimbulkan strss
(sebentar/lama) yang sifatnya malapetaka atau sangat mengancam sehingga mungkin akan
menyebabkan stres pada hampir semua orang.
2. Terus menerus mengingat atau menghayati lagi penyebab stres dalam bentuk kilas balik yang
mengganggu, kenangan yang jelas sekali atau mimpi yang berulang, atau mengalami
kecemasan ketika menghadapi keadaan yang mirip atau berkaitan dengan penyebab stres.
3. Pasien harus memperlihatkan suatu penghindaran nyata dari keadaan yang mirip atau
berhubungan dengan penyebab stres yang tidak ada sebelumnya.
4. Salah satu dari hal berikut ini harus terjadi:
a. Tidak mampu mengingat sebagian atau seluruhnya dari beberapa aspek penting selama
masa terpapar pada penyebab stres.
b. Gejala yang terus menerus dari adanya peningkatan kepekaaan psikologis dan sensasi
(tidak ada sebelum terpapar dengan penyebab stres), ditunjukkan oleh dua dari berikut ini:
(1) sulit untuk memulai tidur dan mempertahankannya, (2) mudah marah atau amarah
yang meledak-ledak, (3) sulit berkonsentrasi, (4) kewaspadaan yang sangat tinggi, dan (5)
reaksi kaget yag berlebihan.
Kriteria 2, 3, dan 4 semuanya terjadi dalam kurun waktu enam bulan setelah peristiwa traumatik
terjadi.
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis PTSD sebagai berikut:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gannguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan
setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai
beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat
ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu
enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori
gangguan lainnya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi
dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks)
3. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai
diagnosis tetapi tidak khas
4. Suatu sequele menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja
beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa)
Kriteria Pasien PTSD dan harus dihospitalisasi
- Gejala PTSD sudah mengganggu aktivitas sehari-hari
- Penghayatan berulang dari trauma
- Kurang sosialisasi
26
Penatalaksanaan
Non Farmakologi
1. Terapi perilaku kognitif atau CBT
a. Exposure Therapy
Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka. Karena
menghadapkan mereka pada trauma yang mereka alami dengan cara yang aman.
Menggunakan mental imagery, menulis, atau kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu
terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi
perasaan mereka. Terapi ini dapat dilakukan dengan 2 cara:
- Exposure in the imagination. Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-
ulang cerita secara detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak
mengalami hambatan untuk menceritakannya.
- Exposure in reality. Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman,
tetapi ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan membantu
kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan kita
dapat mengatasinya
b. Kognitif restrukturisasi
Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang orang mengingat
kejadian berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau
malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD
melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.
c. Stress inoculation training
Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang bagaimana
untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu
orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.
2. Cognitive Therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan mengganggu kegiatan-kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin
menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi
pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional
untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
27
3. Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
Sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model pemrosesan informasi di dalam
otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan
mental, karena jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku kita.
Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori.
4. Anxiety management
a. Relaxation training
Belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan
kelompok otot-otot utama
b. Breathing retraining
Belajar bernafas dengan perut secara perlahan-lahan, santai, dan menghindari bernafas
dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang
tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala
c. Positive thinking dan self-talk
Belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika
menghadapi hal-hal yang membuat stres (stresor)
d. Assertiveness training
Belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau
menyakiti orang lain
e. Thought stopping
Belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang
membuat kita stress
5. Terapi bermain (play therapy)
6. Debriefing therapy
7. Support group therapy dan terapi bicara
8. Terapi psikodinamik
9. Terapi keluarga
Farmakologi
1. Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
Obat line pertama dan satu-satunya obat yang direkomendasikan Food and Drug
Administration (FDA) dalam mengatasi gejala cemas, depresi, perilaku menghindar, dan
pikiran yang intrusif (mengganggu) pada penderita PTSD. Obat ini secara primer
mempengaruhi neurotransmitter serotonin yang penting untuk regulasi mood, anxietas,
appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya. Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara
menginhibisi reuptake serotonin diotak. First line medikasi yang direkomendasikan FDA
untuk PTSD adalah sertraline dan paroxetine masing-masing 20-60 mg/hari.
28
2. Mood stabilizer
Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang meninggi dan gejala impulsif
3. Beta adrenergic blocking agents
4. Antidepresan
5. Atipikal antipsikotik
1.5. OBSESIF KOMPULSIF DISORDER
Gangguan obsesif-kompulsif adalah suatu contoh dari efek positif dimana penelitian moderen
telah menemukan gangguan di dalam waktu singkat. Pada awal tahun 1980-an gangguan obsesif-
kompulsif dianggap sebagai gangguan yang jarang dan berespon buruk terhadap terapi. Sekarang
diketahui bahwa gangguan obsesif-kompulsif adalah sering ditemukan dan sangat responsif terhadap
terapi.
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang mengganggu (intrusif). Suatu
kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan dan rekuren, seperti menghitung,
memeriksa atau menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang sedangkan melakukan
kompulsi menurunkan kecemasan seseorang tetapi jika seseorang memaksa untuk melakukan suatu
kompulsi, kecemasan adalah meningkat. Seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya
menyadari irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.
Gangguan obsesif-kompulsif dapat merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan karena
obsesi dapat menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal
seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasanya atau hubungan dengan teman dan anggota
keluarga.
Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif-kompulsif pada populasi umum diperkirakan
adalah 2 sampai 3 persen dimana pria dan wanita memiliki resiko sama. Beberapa peneliti telah
memperkirakan bahwa gangguan obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat
jalan di klinik psikiatrik. Angka tersebut menyebabkan gangguan obsesif-kompulsif sebagai diagnosis
psikiatrik tersering yang keempat setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan depresif
berat. Penelitian epidemiologis di Eropa, Asia, dan Afrika telah menegakkan angka tersebut melewati
ikatan kultural.
Untuk orang dewasa, laki-laki dan wanita sama mungkin terkena; tetapi untuk remaja, laki-
laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata
adalah kira-kira 20 tahun walaupun laki-laki memiliki onset usia yang agak lebih awal (rata-rata
sekitar usia 19 tahun) dibandingkan wanita (rata-rata sekitar 22 tahun). Secara keseluruhan, kira-kira
duapertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15 persen pasien
memiliki onset gejala setelah usia 35 tahun. Gangguan obsesif-kompulsif dapat memiliki onset pada
remaja atau masa anak-anak pada beberapa kasus dapat pada usia 2 tahun. Orang yang hidup sendirian
29
lebih banyak terkena gangguan obsesif-kompulsif dibandingkan orang yang menikah, walaupun
temuan tersebut kemungkinan mencerminkan kesulitan yang dimiliki pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif dalam mempertahankan suatu hubungan. Gangguan obsesif-kompulsif ditemukan lebih
jarang diantara golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih walaupun tersedianya jalur ke pelayanan
kesehatan dapat menjelaskan sebagian besar variasi tersebut ketimbang perbedaan prevalensi antara
ras-ras.
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh gangguan mental lain.
Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat pada pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan untuk fobia sosial adalah 25 persen. Diagnosis psikiatrik
komorbid lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah gangguan pengaruh
alkohol, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan.
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya merupakan orang-orang yang sukses,
pemalu, keras kepala, perfeksionis, suka menghakimi, sangat berhati-hati, kaku, dan pencemas yang
kronis yang menghindari keintiman dan hanya menikmati sedikit kesenangan dalam hidupnya. Mereka
suka bimbang dan banyak permintaannya dan sering kali dianggap sebagai orang yang dingin,
pendiam, dan tidak ramah.
Etiologi
1. Faktor Biologis
a. Neurotransmiter
Banyak uji coba kinis yang telah dilakukan terhadap berbagai obat mendukung hipotesis
bahwa suatu disregulasi serotonin adalah terlibat di dalam pembentukan gejala obsesi dan
kompulsi dari gangguan. Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan
obat yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain. Tetapi apakah serotonin terlibat di dalam
penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah tidak jelas pada saat ini. Penelitian klinis telah
mengukur konsentrasi metabolit serotonin sebagai contohnya, 5-hydroxyndoleacetic acid (5-
HIAA) di dalam cairan serebrospinal dan afinitas sertai jumlah tempat ikatan trombosit pada
pemberian imipramine (yang berikatan dengan tempat ambilan kembali serotonin) dan telah
melaporkan berbagai temuan pengukuran tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif. Beberapa penelitian telah mengatakan bahwa sistem neurotransmiter kolinergik dan
dopaminergik pada pasien gangguan obsesif-kompulsif adalah dua bidang penelitian riset untuk di
masa depan.
b. Penelitian pencitraan otak
Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai contoh PET (positron emission
tomography), telah menemukan peningkatan aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan aliran
darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan singulum pada pasien dengan
gangguan obsesif kompulsif. Baik tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi
30
magnetik (MRI) telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara biateral pada pasien
dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik penelitian pencitraan otak fungsional maupun struktural
konsisten dengan pengamatan bahwa prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-
kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu penelitian
MRI baru-baru ini melaporkan peningkatan waktu relaksasi T1 di korteks frontalis.
c. Genetika
Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan obsesif-kompulsif telah secara
konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar
monozigotik dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif
kompulsif telah menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien gangguan
obsesif-kompulsif juga menderita gangguan.
d. Data biologis lainnya
Penelitian elektrofisiologis, penelitian elektroensefalogram (EEG) tidur, dan penelitian
neuroendokrin telah menyumbang data yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan
depresif dan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu insidensi kelainan EEG nonspesifik yang lebih
tinggi dari biasanya telah ditemukan pada pasien gangguan obsesif-kompulsif. Penelitian EEG
tidur telah menemukan kelainan yang mirip dengan yang terlihat pada gangguan depresif, seperti
penurunan latensi REM (rapid eye movement). Penelitian neuroendokrin juga telah menemukan
beberapa kemiripan dengan gangguan depresif, seperti nonsupresi pada dexamethasone-
suppression test pada kira-kira sepertiga pasien dan penurunan sekresi hormon pertumbuhan pada
infus clonidine (catapres).
2. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus yang relatif
netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui proses pembiasaan responden
dengan memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya atau
menghasilkan kecemasan. Jadi, objek dan pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli yang
terbiasakan yang mampu menimbulkan kecemasan atau gangguan.
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa tindakan
tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi, strategi
menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsif atau ritualistik dikembangkan untuk
mengendalikan kecemasan. Secara bertahap, karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan
dorongan sekunder yang menyakitkan (kecemasan), strategi menghindar menjadi terfiksasi
sebagai pola perilaku kompulsif yang dipelajari.
3. Faktor Psikososial
a. Faktor kepribadian
Gangguan obsesif-kompulsif adalah berbeda dari gangguan kepribadian obsesif-
kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki gejala kompulsif 31
pramorbid. Dengan demikian, sifat kepribadian tersebut tidak diperlukan atau tidak cukup untuk
perkembangan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15 sampai 35 persen pasien
gangguan obsesif-kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.
b. Faktor psikodinamika
Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan psikologis utama yang
menentukanbentuk dan kualitas gejala dan sifat karakter obsesif-kompulsif; isolasi, meruntuhkan
(undoing), dan pembentukan reaksi.
1) Isolasi
Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang dari afek dan impuls
yang mencetuskan kecemasan. Jika terjadi isolasi, afek dan impuls yang didapatkan darinya
adalah dipisahkan dari komponen idesional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi
berhasil sepenuhnya, impuls dan afek yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara
sadar hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan dengannya.
2) Undoing
Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa impuls mungkin dapat lolos dari
mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan sekunder diperlukan untuk
melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang mengancam keluar ke kesadaran.
Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan operasi defensif yang ditujukan
untuk menurunkan kecemasan dan mengendalikan impuls dasar yang belum diatasi secara
memadai oleh isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adalah mekanisme
meruntuhkan (undoing). Seperti yang disebutkan sebelumnya, meruntuhkan adalah suatu
tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan akibat
yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls obsesional yang
menakutkan.
3) Pembentukan reaksi
Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi dan sikap yang
secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls dasar. Seringkali, pola yang terlihat
oleh pengamat adalah sangat dilebih-lebihkan dan tidak sesuai.
4) Faktor psikodinamik lainnya
Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-kompulsif dinamakan neurosis
obsesif-kompulsif dan merupakan suatu regresi dari fase perkembangan oedipal ke fase
psikoseksual anal. Jika pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh
kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan objek cinta yang penting, mereka
mundur dari fase oedipal dan beregresi ke stadium emosional yang sangat ambivalen yang
berhubungan dengan fase anal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada orang
yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Suatu
ciri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah derajat dimana
32
mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala mereka atau
dalam hubungan yang terletak di belakangnya. Dengan demikian, psikogenesis gangguan
obsesif-kompulsif, mungkin terletak pada gangguan dan perkembangan pertumbuhan normal
yang berhubungan dengan fase perkembangan anal-sadistik.
5) Ambivalensi
Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam karakteristik kehidupan
impuls. Hal ini adalah ciri yang penting pada anak normal selama fase perkembangan anal-
sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian kepada suatu objek. Konflik emosi yang
berlawanan tersebut mungkin ditemukan pada pola perilaku melakukan-tidak melakukan pada
seorang pasien dan keragu-raguan yang melumpuhkan dalam berhadapan dengan pilihan.
c. Pikiran magis
Pikiran magis adalah regresi yang mengungkapkan cara pikiran awal, ketimbang
impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada
pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan. Orang merasa bahwa mereka dapat
menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi tanpa tindakan fisik yang menyebabkannya,
semata-mata hanya dengan berpikir tentang peristiwa tersebut. Perasaan tersebut
menyebabkan memiliki suatu pikiran agresif akan menakutkan bagi pasien gangguan obsesif-
kompulsif.
Gejala Klinis
Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:
1. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi dan terus-menerus ke
dalam kesadaran seseorang.
2. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi sentral dan
seringkali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan melawan gagasan atau impuls
awal.
3. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien), yaitu dialami sebagai suatu yang asing
bagi pengalaman seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk psikologis.
4. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau kompulsi tersebut, orang biasanya
menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk akal.
5. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan suatu dorongan yang
kuat untuk menahannya.
Gambaran obsesi dan kompulsi adalah heterogen pada dewasa, pada anak-anak dan remaja.
Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih dan berubah dengan berjalannya waktu, tetapi
gangguan obsesif-kompulsif memiliki empat pola gejala yang utama. Pola yang paling sering
ditemukan adalah suatu obsesi tentang kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai penghindaran obsesif
terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi. Objek yang ditakuti seringkali sukar untuk
33
dihindari, sebagai contoh feses, urin, debu atau kuman. Pasien mungkin secara terus-menerus
menggosok kulit tangannya dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin tidak mampu
pergi keluar rumah karena takut akan kuman. Walaupun kecemasan adaloah respon emosional yang
paling sering terhadap objek yang ditakuti, rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga sering
ditemukan. Pasien dengan obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi ditularkan dari
objek ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan.
Pola kedua yang sering adalah obsesi keragu-raguan, diikuti oleh pengecekan yang kompulsi.
Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya kekerasan, seperti lupa mematikan kompor atau tidak
mengunci pintu. Pengecekan tersebut mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke rumah
untuk memeiksa kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri sendiri yang obsesional, saat
mereka selalu merasa bersalah karena melupakan atau melakukan sesuatu.
Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan pikiran semata-mata pikiran obsesional yang
mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut biasanya berupa pikiran berulang akan suatu
tindakan seksual atau agresi yang dicela oleh pasien.
Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas atau ketepatan, yang dapat
menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara harfiah menghabiskan waktu berjam-jam untuk
makan atau mencukur wajahnya. Penumpukan obsesi dan kompulsi religius adalah sering pada pasien
obsesif-kompulsif. Trichotillomania (menarik rambut kompulsif) dan menggigit kuku mungkin
merupakan kompulsi yang berhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif.
Terdapat juga beberapa gangguan yang biasa merupakan bagian merupakan bagian dari atau
dengan kuat dihubungkan dengan spectrum GOK (gangguan gangguan obsesif-kompulsif) :
1. Gangguan dismorfik tubuh (body Dysmorphic Disorder)
Pada gangguan ini orang terobsesi dengan keyakinan bahwa mereka buruk rupa atau bagian
tubuh mereka berbentuk tidak normal.
2. Trikhotilomania
Orang dengan trikhotilomania terus menerus mencabuti rambut mereka sehingga timbul
daerah-daerah botak.
3. Sindrom Tourettes
Gejala sindrom Tourettes meliputi gerakan yang pendek dan cepat, tik dan ucapan kata-kata
kotor yang tak terkontrol.
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV:
1. Salah satu obsesi atau kompulsi
Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami, pada
suatu saat dimana selama gangguan, sebagai intrusif dan tidak sesuai, dan menyebabkan
kecemasan dan penderitaan yang jelas.
34
b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang
berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.
c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan-
bayangan tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.
d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan obsesional adalah
keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran).
Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental
(misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang
dirasakannya mendorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi, atau
menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.
b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan penderitaan
atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan
mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka
dianggap untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.
2. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak
a. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas, menghabiskan waktu
(menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas
normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik) atau aktivitas atau hubungan sosial yang
biasanya.
b. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya
(misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan, menarik rambut
jika terdapat trikotilomania, permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan
dismorfik tubuh, preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat,
preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis,
preokupasi dengan dorongan atau fanatasi seksual jika terdapat parafilia, atau perenungan
bersalah jika terdapat gangguan depresif berat).
c. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika selama
sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:
1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-
duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut.
35
2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu aktivitas penderita.
3. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal yang memberi
kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak
dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas).
d. Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang
tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
4. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan depresi. penderita
gangguan obsesif kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya
penderita gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama
episode depresifnya. Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan perubahan gejala
obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut, maka diagnosis diutamakan dari
gejala-gejala yang timbul lebih dahulu. Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan
hanya bila tidak ada gangguan depresif pada saat gejala obsesif kompulsif tersebut timbul.
Bila dari keduanya tidak adayang menonjol, maka baik menganggap depresi sebagai diagnosis
yang primer. Pada gangguan menahun maka prioritas diberikan pada gejala yang paling
bertahan saat gejala yang lain menghilang.
5. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia, sindrom Tourette, atau
gangguan mental organk, harus dianggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan
Pedoman Diagnostik
1. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan perbuatan), yang
sifatnya mengganggu (ego alien).
2. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan
penderitaan (distress).
F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif (obsesional ritual)
Pedoman Diagnostik
1. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya mencuci tangan),
memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya
terjadi, atau masalah kerapian dan keteraturan. Hal tersebut dilatarbelakangi perasaan takut
terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual
tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut.
36
2. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam sehari
dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan mengambil keputusan dan
kelambanan.
F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
Pedoman Diagnostik
1. Kebanyakan dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif serta tindakan
kompulsif. Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut sama-sama menonjol, yang
umumnya memang demikian.
2. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya dinyatakan dalam diagnosis F42.0
atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda terhadap pengobatan. Tindakan
kompulsif lebih respondif terhadap terapi perilaku.
F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya
F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT
Terapi
Farmakoterapi
a) Penggolongan
1. Obat Anti-obsesif kompulsif trisiklik
Contoh: Clomipramine.
2. Obat Anti-obsesif kompulsif SSRI (Serotonin Reuptake Inhibitors)
Contoh: Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram
b) Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran (target syndrome) : Sindrom Obsesif Kompulsif
Butir-butir diagnostik Sindrom Obsesif Kompulsif:
1. Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami gejala-gejala obsesif
kompulsif yang memiliki ciri-ciri berikut:
a. Diketahui/disadari sebagai pikiran, bayangan atau impuls dari diri individu sendiri;
b. Pikiran, bayangan, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan (ego-distonik);
c. Melaksanakan tindakan sesuai dengan pikiran, bayangan atau impuls tersebut diatas
bukan merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan
lega dari ketegangan atau ansietas);
d. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang masih tidak berhasil
dilawan/dielakkan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan/dielakkan oleh
penderita;
2. Gejala-gejala tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menggangu aktivitas
sehari-hari (disability)
37
Respon penderita gangguan obsesif kompulsif terhadap farmakoterapi seringkali hanya
mencapai pengurangan gejala sekitar 30%-60% dan kebanyakan masih menunjukkan gejala secara
menahun. Namun demikian, umumnya penderita sudah merasa sangat tertolong. Untuk mendapatkan
hasil pengobatan yang lebih baik, perlu disertai dengan terapi perilaku (behavior therapy).
Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai 50 mg sebelum
tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari setiap dua sampai tiga hari, sampai
dosis maksimum 250 mg sehari atau tampak efek samping yang membatasi dosis. Karena Clopramine
adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai dengan efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi
seksual dan efek samping antikolinergik, seperti mulut kering.
SSRI. Penelitian tentang fluoxetine dalam gangguan obsesif-kompulsif menggunakan dosis
sampai 80 mg setiap hari untuk mencapai manfaat terapeutik. Walaupun SSRI mempunyai efek seperti
overstimulasi, kegelisahan, nyeri kepala, insomnia, mual, dan efek samping gastrointestinal, SSRI
dapat ditoleransi dengan lebih baik daripada obat trisiklik. Dengan demikian, kadang-kadang SSRI
digunakan sebagai obat lini pertama dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif.
Obat lain. Jika pengobatan dengan clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak ahli terapi
menambahkan lithium (Eskalith). Obat lain yang dapat digunakan dalam pengobatan gangguan obsesif
kompulsif adalah inhibitor monoamin oksidase (MAOI = monoamine oxidase inhibitor), khususnya
phenelzine (Nardil).
Terapi perilaku
Walaupun beberapa perbandingan telah dilakukan, terapi perilaku sama efektifnya dengan
farmakoterapi pada gangguan obsesif-kompulsif. Dengan demikian, banyak klinisi
mempertimbangkan terapi perilaku sebagai terapi terpilih untuk gangguan obsesif-kompulsif. Terapi
perilaku dapat dilakukan pada situasi rawat inap maupun rawat jalan. Pendekatan perilaku utama pada
gangguan obsesif-kompulsif adalah pemaparan dan pencegahan respon. Desensitisasi, menghentikan
pikiran, pembanjiran, terapi implosi, dan pembiasaan tegas juga telah digunakan pada pasien
gangguan obsesif kompulsif. Dalam terapi perilaku pasien harus benar-benar menjalankannya untuk
mendapatkan perbaikan.
Psikoterapi
Psikoterapi suportif jelas memiliki bagiannya, khususnya untuk pasien gangguan obsesif-
kompulsif, walaupun gejalanya memiliki berbagai derajat keparahan, adalah mampu untuk bekerja dan
membuat penyesuaian sosial. Dengan kontak yang kontinu dan teratur dengan tenaga yang
profesional, simpatik, dan mendorong, pasien mungkin mampu untuk berfungsi berdasarkan bantuan
tersebut, tanpa hal tersebut gejalanya akan menyebabkna gangguan. Kadang-kadang jika ritual dan
38
kecemasan obsesional mencapai intensitas yang tidak dapat ditoleraansi, perlu untuk merawat pasien
di rumah sakit sampai tempat penampungan institusi dan menghilangkan stres lingkungan eksternal
menurunkan gejala sampai tingkat yang dapat ditoleransi.
Anggota keluarga pasien seringkali menjadi putus asa karena perilaku pasien. Tiap usaha
psikoterapik harus termasuk perhatian pada anggota keluarga melalui dukungan emosional,
penentraman, penjelasan dan nasihat tentang bagaimana menangani dan berespons terhadap pasien.
Terapi lain
Terapi keluarga seringkali berguna dalam mendukung keluarga, membantu menurunkan
percekcokan perkawinan yang disebabkan gangguan, dan membangun ikatan terapi dengan anggota
keluarga untuk kebaikan pasien. Terapi kelompok berguna sebagai sistem pendukung bagi beberapa
pasien.
Cognitive Behavior Therapy
Cognitive Behavior Therapy untuk mengatasi gangguan Obsesif-Kompulsif. Mendasarkan
pada perspektif kognitif dan perilaku, teknik yang umumnya diterapkan untuk mengatasi gangguan
obsesif-kompulsif adalah exposure with response prevention. Pasien dihadapkan pada situasi dimana
ia memiliki keyakinan bahwa ia harus melakukan tingkah laku ritual yang biasa dilakukannya namun
mereka cegah untuk tidak melakukan ritual itu. Jika klien dapat mencegah untuk tidak melakukan
ritual tersebut dan ternyata sesuatu yang mengerikannya tidak terjadi. Hal ini dapat membantu dalam
mengubah keyakinan individu akan tingkah laku ritual. Teknik lain berupa terapi kognitif dimana
mengajarkan jalan terbaik dan efektif untuk merespon pikiran obsesif tanpa perlu sampai ke
kompulsif.
Prognosis
Gangguan obsesif-kompulsif merupakan penyakit yang kronik dengan perode dari gejala-
gejala yang seiring dengan berjalannya waktu akan mengalami peningkatan. Penderita gangguan ini
tidak biasanya sembuh sempurna atau bebas dari gejala. Walaupun demikian dengan pengobatan,
banyak orang yang mengalami perbaikan. Perbaikan tersebut berupa gejala yang berbeda seperti cara
merealisasikan suatu obsesif yang berbeda. Diagnosis awal dan terapi yang dilakukan secepatnya akan
memberikan hasil yang lebih baik di mana penekanan onset usia dini adalah hal yang patut untuk
segera didiagnosis. Selain itu, mereka yang bergerak di bidang kesehatan mesti memahami perbedaan
antara gangguan obsesif-kompulsif dengan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif yang mana untuk
jenis gangguan kepribadian biasanya dimulai pada saat dewasa muda, yaitu umur di atas 20 tahun
sedangkan untuk gangguan obsesif kompulsif biasanya dimulai pada usia anak-anak.
BAB III
39
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan skenario kali ini, kelompok kami membahas mengenai gangguan dengan
keluhan kejiwaan. Dari anamnesis yang dilakukan, kelompok kami mendiagnosis banding
dengan gangguan neurosis (PTSD dan obsesif-kompulsif) dan gangguan psikosis
(skizofrenia). Untuk memastikan diagnosis dari skenario ini, masih diperlukan anamnesis
lebih lanjut serta pemeriksaan status mental dan penunjang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
APA. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 5th ed. Arlington:
American Psychiatric Assocations.
Maramis, W.F., Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Maslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Ilmu Kedokteran Jiwa
Unika Atmajaya.
Sadock, B.J., Kaplan, H.I. 2010. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara.
40